Arah Baru Politik Islam di Indonesia: Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-...

27
1

Transcript of Arah Baru Politik Islam di Indonesia: Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-...

1

Arah Baru Politik Islam di Indonesia

Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-Transformatif

Arah Baru Politik Islam di Indonesia: Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-Transformatif

Andar Nubowo Pengajar FISIP UIN Jakarta

ABSTRAK

Pascareformasi, Islam Politik di Indonesia menemukan dan mengisi ruang publik dengan serangkaian agenda dan aksi. Reproduksi mitos syariatik dilakukan secara terang dan terbuka—dengan terutama mengintroduksi sejarah kekalahan Negara Syariat pada awal Kemerdekaan Indonesia serta membangun mistifikasi syariat sebagai the one and only solution bagi persoalan kebangsaan. Nalar syariatik ini lalu secara cukup terbuka mendapatkan ruang manifestasinya di alam demokrasi Post-Soeharto. Namun, limabelas tahun Reformasi justru menelanjangi nalar dan agenda syariatik di Indonesia sebagai telah kurang berhasil –atau gagal, mewujudkan cita-cita kesejahteraan lahir dan batin bagi umat Islam. Akibatnya, partai Islam semakin tidak menarik bagi publik Muslim dan terus mengalami erosi dukungan elektoral dari pemilu ke pemilu. Hal ini disebabkan fakta menonjol bahwa Islam politik atau partai Islam tidak bisa membedakan dirinya secara ideologis, politik dan etika-spritual dengan partai-partai nasional-sekuler lainnya. Selain itu, Islam Politik atau partai Islam telah meninggalkan basis-basis komunitasnya dan terjebak pada konsep syariatik yang sempit dan anakronistik. Untuk itu, perlu upaya reorientasi paradigma dan aksi politik (umat) Islam Indonesia dari yang bernalar syariatik menuju transformasi sosial, politik

14

Andar Nubowo

dan ekonomi yang partisipatoris.

Kata Kunci: Islam Politik, Politik Islam, Reformasi, Syariat Islam, Nalar Syariatik, Islam Partisipatoris, Transformasi, Basis Sosial Muslim.

Limabelas tahun Reformasi dan demokrasi menyajikan fakta baru Islam Politik1 di Indonesia. Ketika legislasi di tingkat regional sebagian dimenangkan oleh aspirasi-aspirasi syariatik, publik Islam tampaknya mulai tidak percaya dengan Islam Politik dan gagasan-gagasannya. Erosi atau krisis kepercayaan ini terekam dalam survei-survei yang dilakukan sejumlah lembaga survei sejak tahun 2004,2 di mana secara politik, partai politik Islam yang mengusung syariat mengalami erosi dukungan elektoral. Survei terakhir mengunci posisi partai Islam di Indonesia pada urutan terbawah pada skala popularitas dan elektabilitas pada Pemilu 2014.3

Pada saat bersamaan, skandal-skandal korupsi, gratifikasi uang dan perempuan yang menimpa elite-elite partai Islam PKS semakin memperburuk partai Islam atau Islam Politik di Indonesia. Skandal korupsi dan aroma gratifikasi perempuan di baliknya mengungkap aib moral sekaligus cacat politik sebuah partai dakwah yang dikenal dengan jargonnya “bersih, peduli dan profesional”. Kepercayaan dan harapan publik (Islam) terhadap PKS jatuh. Terkuaknya skandal ini memperlemah tingkat kepercayaan dan harapan publik terhadap partai Islam. Partai-partai Islam semakin tidak diminati oleh pemilih karena gagal membedakan dirinya secara ideologis dengan partai-partai lainnya. 1 Dalam tulisan ini saya menggunakan istilah Islam Politik untuk merujuk pada parFadigma dan aksi kelompok

Islam yang mencita-citakan penegakan Syariat Islam atau Negara Islam, baik melalui jalur partai politik atau pun gerakan politik non parlementer. Untuk lebih jelasnya mengenai Islam politik, baca sejumlah sumber kepustakaan, antara lain; Are Knudsen, Political Islam in Middle East (Norway: Chr. Michelsen Institute, 2003), hlm. 2-3; Hirschkind, “What is political Islam?” (Middle East Report, Okt/Des 1997), hlm. 12-14; Bjørn Olav Utvik, “Islamism: Digesting Modernity the Islamic Way” (Forum for Development Studies 2), hlm. 201; Olivier Roy, l’Echec de l’Islam Politique (Paris: Collection Esprit/Seuil, 1992); Olivier Roy, Geneologie de l’islamisme (Paris: Hachette Literature, 1995).

Adapun istilah Politik Islam dalam tulisan ini merefleksikan paradigma, gagasan, perilaku, aksi dan identitas politik masyarakat Muslim secara umum, yang juga memayungi ragam dan corak keagamaan dan orientasi politik umat Islam; mulai dari fundamentalisme, radikalisme, moderatisme, integrisme, dan hingga apolitisme-quetis. Baca buku Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997).

2 Jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Oktober 2007 mengungkapkan bahwa 57% Muslim

Indonesia menolak penerapan syariat Islam. Tercatat hanya 33% saja yang setuju syariat. Hasil survei yang dilakukan pada tahun 2005 dan 2006 juga mengungkapkan degradasi dukungan terhadap partai-partai politik Islam. Lembaga Survei Indonesia, “Trend Orientasi Nilai-Nilai Politik Islamis vs Nilai-Nilai Politik Sekuler dan Kekuatan Islam Politik”, Oktober 2007.

3 Survei yang dilakukan Lingkaran Survey Indonesia menunjukkan elektabilitas partai-partai Islam (PKB, PPP,

PAN, PKS) di bawah 5 persen pada Pemilu 2014. Lingkaran Survei Indonesia, “Krisis Capres dan Cawapres Partai Islam: Siapakah Pasangan Capres-Cawapres Terkuat pada Pemilu 2014?”, 17 maret 2013.

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

15

Arah Baru Politik Islam di Indonesia

Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-Transformatif

Catatan kegagalan politik Islam, dalam diskursus dan praktek politik Islam di era Reformasi, sebagaimana dicatat Remy Madinier4 dan Vedi R Hadiz,5 berimplikasi pada citra partai Islam di mata pemillih. Setahun menjelang Pemilu 2014, tepat 15 tahun setelah Reformasi, partai-partai Islam justru ditandai oleh eksodus elektoral pendukungnya ke partai nasionalis-sekuler. Tak pelak, hal ini menimbulkan pertanyaan dan pemikiran mendalam mengenai sebab musabab kegagalan politik Islam dan juga rute baru politik Islam (Muslim) di Indonesia.

Reproduksi Mitos Syariatik

Semenjak sebelum berdirinya Republik Indonesia, di dalam tubuh umat Islam terdapat perdebatan apakah Syariah Islam harus menjadi dasar negara atau tidak, apakah Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim akan menjadi Negara Islam atau Negara Sekular. Debat itu berkulminasi pada penghapusan tujuh kata dalam Pancasila, sila pertama, ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya’. Muslim demokrat seperti Mohammad Roem dari Partai Masyumi melihat penghapusan tersebut tidak mengkhianati aspirasi Islam. Roem juga menilai Pancasila tidak bertabrakan dengan ajaran Islam. Ia juga memahami bahwa tidak ada satupun ayat Qur’an dan Hadis Nabi yang meniscayakan sebuah Negara Islam.6

Kisah penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta ini mempengaruhi hubungan Islam dan negara. Hubungan keduanya berlangsung fluktuatif, pasang surut, penuh kehati-hatian, cinta dan benci. Soekarno membubarkan Partai Masyumi pada 1960, atas tuduhan PRRI. Soeharto melakukan depolitisasi atas Islam politik dan marjinalisasi terhadap politik Islam selama tiga dekade. Namun dalam fluktuasi hubungan itu, terselip hubungan mesra Soekarno dan Soeharto pada akhir masa jabatannya dengan salah satu kelompok Islam: Soekarno menjalin

4 Remy Madinier, “Kegagalan Islam Politik atau Kemenangan Instrumentalisasi Politik Islam?”.

5 Vedi R Hadiz, “Kebuntuan Politik Partai-Partai Islam di Indonesia: Perbandingan PKS dan AKP”.

6 Andrée Feillard et Rémy Madinier, La fin de l’innocence ? L’islam indonésien face à la tentation radicale de 1967 à nos jours (Irasec/Les indes savantes, Paris), 2006. hlm. 156-157.

16 MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Andar Nubowo

kehangatan dengan kalangan Muslim tradisionalis NU7---sebagai unsur ‘agama’ dalam NASAKOM, dan Soeharto menjalin keakraban politik dengan faksi Islam modernis, yang tergabung dalam ICMI. Sebuah pola identik dari instrumentalisasi agama untuk kepentingan politik status quo.

Pada saat katup aspirasi Islam politik ditutup oleh rejim, kelompok Islamis yang hak-hak politiknya dikebiri mengalihkan energi politiknya pada dakwah Islam. Situasi inilah yang menyebabkan proses ‘pengerasan ideologis’ (raidisement ideologique) sejumlah tokoh Masyumi seperti Mohammad Natsir dan Mohammad Roem yang sebelumnya dikenal sebagai Muslim demokrat sejati. Tokoh-tokoh Masyumi yang dididik di Barat dan demokrat sejati lalu mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pada 1967. DDII merupakan etape penting dalam pembentukan nalar syariatik di Indonesia.

Indonesianis Andree Feillard dan Remy Madinier menandai pendirian DDII sebagai tidak hanya mutasi ideologis demokrat Muslim menuju gagasan politik sektarian. DDII diketuai Mohammad Natsir lalu mengamplifikasi kritik atas ajaran mistik Kejawen dan kebencian terhadap Yahud, Amerika Serikat dan Barat.8 Elegi ‘tujuh kata’ disajikan secara dramatis sebagai sebuah ‘mihnah kubro’ umat Islam Indonesia. Akibatnya, penghadap-hadapan Pancasila versus Syariat Islam tak bisa dihindarkan. Yang pertama dipersepsikan sebagai buah karya manusia yang profan, sedang kedua diyakini kemutlakan ilahiahnya. Pemahaman dikotomik ini meluapkan emosi ‘korban’ di kalangan islamis dan menggelorakan spirit ‘balas dendam’ atas negara yang tidak syariatik.

Nalar syariatik makin menguat ketika Soeharto mewajibkan Pancasila sebagai asas tunggal9 melalui UU Ormas No. 8 tahun 1985. Ormas dan partai politik wajib berasas Pancasila dalam AD/ART-nya sebagai

7 Pada Muktamar Alim Ulama Se-Indonesia di Cipanas, Jawa Barat tahun 1953 (awal tahun 1954), NU memberi gelar kepada Presiden Soekarno sebagai “Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukah” (pemimpin berkuasa yang harus dipatuhi). Gelar ini mempertegas dukungan NU kepada Presiden Soekarno di masa-masa revolusi. Pemberian gelar ini dikecam oleh partai Islam modernis, karena Indonesia bukanlah negara Islam, Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 341-344.

8 William Liddle, “Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and Action in New Order

Indonesia”, in Mark R. Woodward (éd.), Toward a New Paradigm. Recent Development in Indonesian Islamic Thought, (Temple: Arizona State University, 1996), hlm. 323-356.

9 Kajian’“asas tunggal” dan dampaknya pada kehidupan politik Indonesia, baca Douglas Ramage, Politics in

Indonesia : Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance (New York : Routledge, 1995).

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

17

Arah Baru Politik Islam di Indonesia

Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-Transformatif

dasar organisasi/partai. Penolakan terhadapnya yang disertai opresi dan represifitas rejim terhadap umat Islam di Tanjung Priok membakar spirit syariatik dan nalar perlawanan terhadap rejim. Semenjak itu, kelompok-kelompok radikal di Indonesia tumbuh berkecambah, yang antara lain ditandai dengan diimpornya aliran Islam transnasional ke Indonesia seperti Ikhwanul Muslimin (PKS), Hizbut Tahrir, serta Salafisme Wahabi di awal tahun 1980-an. 0 Radikalisme Islam menanamkan nalar syariatik dan elegi ‘kekalahan-penderitaan’ umat Islam secara sembunyi melalui kaderisasi usrah. 1

Pasca tumbangnya Soeharto, nalar syariatik Islam Politik menemukan momentumnya. Jika sebelumnya, hasrat kuasa diredam dalam sekam Orde Lama dan Orde Baru, Reformasi memungkinkan mereka untuk mengaplikasikan nalar syariatiknya dalam tata kelola politik dan kenegaraan. Situasi demokrasi yang tak kunjung menyejahterakan, menihilkan konflik dan kekerasan, mengurangi ketimpangan dan kemiskinan serta patologi sosial, politik, ekonomi, dan budaya lainnya menambah keyakinan penganut Islam politik pada gagasan Negara Syariah dan berjuang untuk mengimplementasikannya.

Islam Politik benar-benar menikmati arus keterbukaan dan demokrasi. Dalam sebuah sistem dan situasi yang mereka haramkan karena ke-Baratannya itu, mereka mengorganisir diri dalam wujud partai politik atau perkumpulan sosial dakwah. Tujuannya cukup jelas, yakni menghidupkan kembali ‘tujuh kata’ Piagam Jakarta, dan atau

10 Pada awal tahun 1980-an, mahasiswa Indonesia yang pulang ke Indonesia dari Timur Tengah mengimpor aliran Islam transnasional seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan Salafisme Wahabi di Indonesia. Mereka itulah yang menyebarkan paham keagamaan dan politiknya di Nusantara. Andrée Feillard et Rémy Madinier, La fin de l’innocence..., hlm. 101.

11 Sistem usrah (keluarga) diadopsi dari metode kaderisasi Ikhwanul Muslimin Hasan Al-Banna. Ia terdiri dari

10-14 orang yang melakukan pengkajian Islam dan siap hidup di bawah naungan Syariah. Usrah inilah cikal bakal dari kelompok pejuang Syariah atau Negara Islam Indonesia. Baca laporan International Crisis Group, Recycling Militants in Indonesia: Darul Islam and the Australian Embassy Bombing, 22 Februari 2005, hlm. 12; Salman, “The Tarbiyah Movement: Why People Join This Indonesian Contemporary Islamic Movement”, Studia Islamika, Vol. 13, No. 2, 2006; Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah Movement di Indonesia (Bandung: Teraju, 2003), hlm. 321 – 337.

18 MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

1

1

Andar Nubowo

menggantikan Pancasila dengan sistem Islam atau khilafah. 2 Dalam cita dakwah dan politik mereka, terwujudnya ‘negara syariatik’ merupakan– meminjam teori Jacques Lacan, phallic and surplus jouissance dari sebuah jihad panjang dan melelahkan yang selama ini mereka lakukan.

Untuk mewujudkan “kesenangan surplus” itu, secara struktural kelompok Islam politik melakukan proyek politik Syariatik melalui legislasi perda-perda ‘syariatik’. Praktis, kurang lebih dalam kurun sepuluh tahun, kelompok Islam Politik –yang didukung pula oleh elite-elite partai sekuler, berhasil meratifikasi lebih dari 60 peraturan-peraturan daerah yang dikenal dengan ‘perda-perda Syariah’ di berbagai daerah kabupaten/ kota di Indonesia. Perda-perda Syariah itu lahir pasca penerapan UU Otonomi Daerah No. 10 Tahun 2004 tentang penyusunan peraturan daerah dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah13

yang memungkinkan daerah-daerah berbasis Islam seperti Aceh, Padang-Sumatera Barat, Banten, Cianjur, Tangerang, Jombang, Bulukumba Sulawesi Selatan dan Sumbawa untuk menerapkan peraturan daerah berbasis Syariah. Meskipun perda-perda tersebut tidak secara resmi bernama Syariah, substansi perda tersebut merujuk dan dipengaruhi oleh hukum-hukum Islam (fikih).

Kampanye Islam Politik untuk penegakan syariat Islam di Indonesia cukup mendapat respon antusias di daerah-daerah yang memiliki sejarah kuat pemberontakan Darul Islam seperti Aceh, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Hal ini menunjukkan ‘mitos Syariah’ masih cukup berpengaruh di daerah tersebut. Mitos Syariah dihidupkan oleh kelompok Islam Politik di parlemen atau di luar melalui penyebaran ceramah-ceramah keagamaan, pemanfaatan media konvensional ataupun media sosial, dan publikasi buku-buku kaum Islam Politik. Isinya, perlu penegakan Syariah 12 Islam Politik yang paling militan memperjuangkan penegakan Syariat Islam di Indonesia, adalah Majelis

Mujahidin Indonesia (MMI) yang dipimpin oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Sebelum pecah dari MMI dan mendirikan Jamaah Anshar wa Tauhid, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir adalah Amirul Mu’minin MMI sejak pendiriannya tahun 2000. Kajian mengenai perjuangan penegakan Syariat Islam yang dilakukan MMI, baca antara lain Andar Nubowo, Un Mouvement islamiste post-Soeharto: Le Conseil des Moudjahidines Indonesiens et Son Combat pour l’Application de la charia (Paris: EHESS, 2008), tesis tidak dipublikasikan.

Adapun pejuang penegak khilafah Islam di Indonesia adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI adalah Islam Transnasional yang didirikan oleh Taqiyuddin al-Nabhani untuk merebut kembali tanah Palestina dan menegakkan Khilafah Islamiyyah pasca keruntuhan Turki Usmani pada tahun 1924. Tulisan mengenai HTI bisa dirujuk antara lain; Greg Fealy, “Globalised Islamism: Hizbut Tahrir in Indonesia”, makalah dipresentasikan di Centre for Muslim States and Societies, The University of Western Australia (Perth), 25 februari 2006; Ken Ward, “Non-violent Extremist? Hizbut Tahrir Indonesia” (Australian Journal of International Affairs, Vol. 62, No. 2, Juni 2009), hlm. 149-164.

13 Dewi Candraningrum, Unquetioned Gender Lens in Contemporary Indonesian Sharia Ordinance (Perda

Syariah), Al-Jami‘ah, Vol. 45, No. 2, 2007 M/1428 H, hlm. 296.

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

19

1

Arah Baru Politik Islam di Indonesia

Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-Transformatif

dan penghapusan Pancasila. Pancasila dianggap kelompok penegak syariat Islam sebagai sebuah ideologi yang dilahirkan untuk sengaja menghalangi penerapan Syariah Islam di Indonesia. 4

Islam Politik juga membangun ‘wacana tanding’ atas demokrasi, HAM, gender, kebebasan dan kesetaraan, dan pluralisme. Wacana-wacana tersebut dianggap Islam Politik bertentangan dengan Islam, karena ke-Barat-annya yang dipengaruhi Judeo-Kristiani dan sekularisme-liberalisme. Islam Politik melihat kelompok yang mengusung agenda-agenda tersebut sebagai agen sekularisme, pluralisme dan liberalisme (SIPILIS), yang pada tahun 2005 diharamkan secara resmi oleh fatwa MUI. 5 Untuk itu, mereka giat mengampanyekan antipaham SIPILIS dan proyek-proyek syariatik melalui perda-perda syariat, masjid, dan lembaga pendidikan.

Islam Politik juga bermimpi menjadikan Islam sebagai pondasi kebangsaan dan kenegaraan. Cita-cita Islam yang totalitas dan sempurna (syamil wa kamil) ini dipoles secara apik melalui serangkaian mitologisasi politik tentang keadilan, kesejahteraan, kesetaraan dan kedamaian di dunia dan akhirat---yang hanya dapat terwujud dan dirasakan secara adil dan merata dalam naungan perjuangan partai-partai Islam. Dalam bungkus mitos itu, sanggahan terhadapnya dianggap sebagai sebuah tabu, hujatan dan celaan terhadap Islam secara keseluruhan. Mitos dan tabu itulah yang ditanamkan, dilestarikan dan diwariskan secara turun temurun semenjak kaum Islam Politik gagal menjadikan Islam sebagai platform bersama pada awal Kemerdekaan.

Kegagalan Islam Politik yang berulang-ulang, malah memupuk mitos Negara Syariat. Kampanye “Islam is a solution” kian nyaring terdengar di ruang publik. Persoalan bangsa dan negara hanya dapat diselesaikan dengan Syariat Islam, karena ia adalah obat mujarab (panacea). Islam Politik meyakini kemakmuran dan kesejahteraan rakyat segera terwujud, jika ideologi Pancasila digantikan oleh Islam. Dalam frame berpikir semacam itulah, produk perundangan-undangan dan tatanan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang tidak sempurna dianggap sebagai bukti

14 Opini Abu Bakar Ba’asyir tentang Pancasila dan Syariat Islam, Risalah Muhajidin, Shafar 1428/ Maret 2007, hlm. 31.

15 Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 7/Munas VII/MUI/11/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme,

dan Sekulerisme Agama.

20 MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

1

1

Andar Nubowo

nyata kegagalan ‘produk’ manusia yang harus diganti hukum Tuhan yang abadi.

Fakta sosial politik dan ekonomi yang terjadi dalam 15 tahun belakangan ini memperkuat logika mitologis Islam Politik. Islam Politik memperburuk citra demokrasi yang tengah terseok dalampraktek politik yang kumuh dengan meminggirkan cit-cita kesejahteraan umum. Korupsi, kolusi dan nepotisme, konflik dan kekerasan sosial dan agama, radikalisme dan terorisme, serta kesulitan ekonomi yang kian akut dianggap sebagai hasil nyata dari demokrasi. Kondisi kebatinan rakyat yang tak sabar dan lelah tersebut dimanfaatkan oleh Islam politik untuk mencoba memaksakan ideologi syariatiknya di Indonesia. Propaganda kaum syariatik sebagaimana kaum elite oligarki-plutokratik cukup terang: demokrasi tidak membuahkan kesejahteraan dan keteraturan, tetapi ketidakteraturan.

Mitologisasi syariat ini tampaknya cukup berhasil memengaruhi publik Muslim. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta memublikasikan sebuah survei tentang “Sikap Sosial-Keagamaan Masyarakat di Jawa” yang dilaksanakan sejak bulan Mei hingga Agustus 2008, 6 di mana sekitar 62,4% dari responden (guru agama Islam) menolak wacana memiliki pemimpim publik non Muslim. Sekitar 68,6% dari responden menentang non Muslim menjadi Kepala Sekolah di tempat mereka mengajar. Sekitar 33,8% dari responden menentang mempunyai guru non-Muslim di sekolah tempat mereka mengajar. Sekitar 73,1% dari responden tidak menginginkan pemeluk agama lain mendirikan rumah ibadah di sekitar tempat tinggal mereka. Sekitar 85,6% dari responden melarang siswa-siswinya merayakan peristiwa besar yang jelas-jelas merupakan bagian dari tradisi Barat.

Survei ini juga mengungkap, sekitar 87% dari responden melarang siswa-siswinya mempelajari agama-agama lain. Sekitar 48% dari responden lebih memilih adanya pemisahan kelas antara pelajar putra dan putri. Sekitar 75,4% dari responden meminta siswa-siswinya untuk mengajak guru yang beragama bukan Islam untuk memeluk agama Islam. Sekitar 61,1% dari responden menolak sekte baru dalam Islam. Sekitar 67,4% dari responden mengatakan, mereka lebih merasa sebagai Muslim

16 Detik.com, 25 November 2008; The Jakarta Post online, 26 November 2008.

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

21

1

Arah Baru Politik Islam di Indonesia

Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-Transformatif

dibanding sebagai orang Indonesia. Sekitar 58,9% dari responden mendukung rajam sebagai hukuman bagi berbagai jenis tindakan kriminal. Sekitar 47,5% dari responden mengatakan, hukuman bagi pencuri adalah dengan dipotong tangannya. Sekitar 21,3% dari responden menginginkan hukuman mati bagi mereka yang murtad dari Islam. Sekitar 51% dari responden lebih mementingkan mengajarkan akhlak mulia. Hanya sekitar 3% dari responden mengatakan merupakan tugas mereka menghasilkan pelajar yang toleran, dan hanya sekitar 0,3% dari responden yang mengajarkan menjadi warga negara yang baik.

Fakta di atas makin mengukuhkan ambisi dan hasrat elite politik untuk menjadikan Islam dan syariat sebagai instrumen politik. Elite politik melihat peluang elektabilitas jika dirinya dapat meraih simpati pemilih Muslim dengan berpihak pada isu dan kepentingan kelompok Islam, meski secara simbolik. Sekarang, kurang lebih 60 propinsi dan kabupaten telah menerapkan peraturan berbasis Syariah. Keberhasilan ini bukan hanya disebabkan oleh dukungan partai Islam saja tetapi juga partai nasional sekuler seperti Partai Golkar dan PDIP. Hal ini sekaligus memberitahukan instrumentalisasi Islam oleh partai-partai sekuler nasionalis dan partai Islam membuktikan bahwa nalar syariatik diterima secara luas oleh publik.

Kritik Nalar Syariatik

Semarak Reformasi dan demokrasi yang dikecap bangsa Indonesia memungkinkan kontestasi ideologi dan politik berlangsung secara terbuka. Gagasan dan tuntutan penerapan syariat Islam bukan hanya diwadahi, tetapi juga telah menginspirasi perda-perda ‘Syariah’ di berbagai daerah. Dalam ruang demokratik itulah, warga memperoleh kesempatan untuk merasakan, mengalami dan menilai sejauhmana otentisitas dan efektifitas produk hukum Syariah bagi kemaslahatan publik. Seruan-seruan penerapan syariat tidak lagi berada di ruang mitos, tetapi telah mewujud dalam bangunan empirisme politik, sosial, hukum dan kebudayaan: apakah klaim keunggulan, kemenyeluruhan dan kemampuannya mengabdi dan menyejahterakan urusan publik terbukti ataukah sekedar mitos dan tabu yang dipelihara secara paksa.

Perda-perda yang terinspirasi aspirasi syariatik sebenarnya tidak memiliki argumen keunggulan atas produk hukum lainnya. Hal ini disebabkan

22 MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Andar Nubowo

konsepsi hukum syariat (qanun) masih terjebak pada konsepsi syariat Abad Pertengahan Islam, di mana hukum-hukum fikih yang ditawarkan tampak tidak mampu mencakup persoalan baru abad ke-21. Perda-perda syariat tersebut, secara umum, mengatur tiga aspek kehidupan publik ; (1) pemberantasan kejahatan sosial, terutama prostitusi dan perjudian, (2) penghormatan pada ibadah wajib umat Islam seperti membaca Al-Quran, shalat berjamaah hari Jumat dan puasa Ramadhan, dan (3) peraturan cara berpakaian di ruang publik, terutama jilbab bagi perempuan. 7 Sementara, urusan publik yang lebih luas hampir tidak mendapatkan perhatian, seperti isu lingkungan hidup dan kerusakan alam, kemiskinan, dan perburuhan, isu HAM, korupsi, kolusi dan nepotisme dan sebagainya. Karena itulah, dapat dipahami, penerapan perda-perda Syariah di berbagai daerah di Indonesia lebih banyak membangun kesalihan individual, yang seringkali bersifat dangkal dan terjebak pada banalitas simbolisme relijius yang tidak substantif dan esensial.

Dalam logika syariatik ini, banalitas simbolisme keagamaan yang ditandai dengan maraknya pembangunan tempat ibadah, pengajian dan majelis taklim, lautan baju takwa dan jilbab di mal-mal, jalan dan ruang publik merupakan buah manis dari meningkatnya kesadaran publik Muslim terhadap syariat. Sementara, pada saat yang sama, banalitas korupsi, kolusi dan nepotisme, regresi moralitas dan integritas politik, pembalakan tambang dan hutan, kemungkaran ekonomi dan ketidakadilan kebijakan negara yang digerakkan oleh elite oligarki luput dari perhatian perda-perda bernalar syariatik tersebut. Karena itu, alih-alih menciptakan masyarakat yang “baldatun thayyibatun wa rabbun ghoffur”, “tata titi tentrem karto raharjo, gemah ripah loh jinawi” sebagaimana mandat universal Islam, yang terjadi malah instrumentalisasi Islam dan Syariah oleh elite politik-ekonomi-bisnis dan ---dalam beberapa hal, media untuk kepentingan

egoistik industrial politik mereka.

Secara kultural, perda-perda syariatik tampaknya kurang menumbuhkan relijiusitas paripurna, yakni keimanan dan kesalehan partisipatif Muslim terhadap berbagai persoalan keseharian. Ia malah menumbuhkan sikap dan perilaku keagamaan yang dikotomik dan sekuler; yakni membedakan antara yang sakral dan profan, urusan privat dan publik, agama dan non 17 Dewi Candraningrum, Unquetioned Gender Lens.., hlm. 296.

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

23

1

Arah Baru Politik Islam di Indonesia

Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-Transformatif

agama, muslim dan non-muslim. Sebagian Muslim---terutama generasi mudanya yang haus pengetahuan agama, memperlihatkan kecenderungan untuk menjalankan agama secara simbolik dan ritualistik.

Seakan-akan beragama Islam yang baik adalah menepati aspek eksoteris ritual Islam, bukan pada aspek esoteris moral-spiritual Islam yang mendukung pelibatan Muslim pada persoalan-persoalan masyarakat aktual dari masalah korupsi hingga kebersihan. Dalam hal ini, praktik keagamaan Islam yang dilestarikan oleh partai-partai politik sebenarnya menumbuhkembangkan sikap kebudayaan sekuler-dikotomik; kefasihan membaca Al-Qur’an, jenggot, dan isbal (celana conkrang), lautan jilbab, tetapi acuh pada problematika korupsi, kolusi, dan nepotisme serta ketidaktaatan publik pada hukum yang berlaku.

Dalam posisi dan situasi seperti ini, Indonesia tampaknya tengah mengalami transformasi kultural dan politik menuju Negara Syariah. Namun, gagasan dan cita politik Negara Syariah tampaknya sulit diwujudkan. Penyebabnya, pada level praktis, tidak ada konsensus (ijma’) di kalangan para pengusung ideologi Syariah tentang formulasi Syariah yang akan dijadikan sebagai hukum positif, sebab tiap penegak syariat mempunyai metode formulasi Syariah sendiri (istinbath al-ahkam). Pandangan keagamaan (kalam, teologi) dan mazhab hukum fikih di kalangan umat Islam juga majemuk; Sunni dan Syiah secara teologis (kalam), dan aliran Hambali, Maliki, Hanafi dan Syafii (fikih). Belum lagi aliran politik di kalangan Muslim yang juga variatif. 8

Dalam tradisi yurisprudensi Islam, dua terminologi tersebut dibedakan secara jelas; yang pertama merujuk pada nilai-nilai dan pesan universal Islam seperti kesetaraan (al-musawah), keadilan (al-‘adalah), kebebasan (al-hurriyah), kebenaran (al-haq), musyawarah (al-syura), perlindungan HAM (himayatu huquq al-insan) dan sebagainya, sementara yang kedua merupakan kontekstualisasi dan implementasi prinsip-prinsip umum tersebut menjadi sebuah hukum atau peraturan yang dipengaruhi oleh konteks sosial, politik, budaya dan ekonomi masyarakat Muslim setempat. Syariah, dengan demikian, bersifat otonom dan abadi (shalih li

18 Untuk mengetahui lebih jauh ragam dan corak Islam secara politik, sosial dan budaya di dunia Islam, rujuk Olivier Roy, L’Islam Mondialise (Paris: Seuil, 2002); Olivier Roy, Geneologie de l’Islamisme (Paris: Hachette Litterature, 1995).

24 MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

1

Andar Nubowo

kulli zaman wa makan), 9 sedangkan fikih dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu (muqayyadun bi al-dhuruf).

Ketidakmampuan dalam membedakan Syariah (nilai universal agama) dengan fikih (hukum yang diambil dari prinsip Syariah) memicu “kontestasi” dan perebutan otoritas di kalangan para pengusung Negara Syariah sendiri. Ketika penerapan Syariah Islam diajukan oleh sebuah organisasi pro-Syariah tertentu, maka organisasi pro-Syariah lainnya akan menawarkan formula Syariah yang berbeda. Tidak heran, produk Syariah Islam akan ‘mati’ sesaat setelah ditetapkan, karena kerapuhan dan kontestasi di kalangan Islam Politik sendiri. Muhammad As Sewed, tokoh berpengaruh Forum Komunikasi Ahlus Sunah Wal Jamaah/ Laskar Jihad menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna yang memperjuangkan syariat melalui jalur politik sebagai ahli bid’ah yang dikutuk Islam.20 Abu Bakar Ba’asyir, sebagai anggota Ikhwanul Muslimin, menurutnya, adalah seorang ‘néo-khawarij’ (khawarij gaya baru), yakni aliran Islam Politik radikal yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuannya.21 Panglima Laskar Jihad, Ja’far Umar Thalib menyatakan bahwa Abu Bakar Ba’asyir menyebarkan paham jihad yang keliru dan ekstrimis, sehingga ia bisa disebut sebagai penganut paham hizbiyah: MMI-ABB satu-satunya penegak syah Syariah Islam di Indonesia, sementara yang menentang atau tidak sejalan dengannya dianggap musuh Islam, atau agen musuh Islam.22

Abu Bakar Ba’asyir-MMI sebaliknya menuduh Laskar Jihad sebagai salafi fundamentalis yang dimanfaatkan oleh agen rahasia MOSSAD, untuk menciptakan perpecahan di kalangan gerakan Islam Indonesia.23 Konflik kedua tokoh penganut nalar syariatik ini menjalar hingga persaingan di medan konflik di Poso antara Laskar Jihad dengan Laskar Mujahidin

19 Olivier Roy menyatakan bahwa Syariat itu bersifat otonom dan abadi. Ia otonom karena tidak tergantung pada institusi seperti masjid atau majelis ulama, sedangkan fatwa fikih yang bisa menafsirkan suatu hal di luar apa yang disebut oleh teks bersifat sementara, temporal dan dapat dibatalkan oleh fatwa berikutnya. Syariah tidaklah bersifat tertutup, karena ia tidak tersusun dari bangunan konsep, tetapi himpunan pesan-pesan yang bersifat umum, kadang-kadang khusus, yang mencakup totalitas tindakan manusia melalui pemahaman induktif, analogi, komentar dan penafsiran. Prinsip-prinsip Syariah tidak bisa diganggu gugat, adapun fikih dapat dipersoalkan kembali, karena bersifat kasuistik. Olivier Roy, L’Echec de l’Islam… , hlm. 23.

20 www.tukpencarialhaq.wordpress.com; www.salafi.or.id

21 www.tukpencarialhaq.wordpress.com; www.salafi.or.id

22 Ja’far Umar Thalib, “Salafi Mesti Berani”, Gatra No. 31 14 Juni 2007.

23 Detikcom, 27 Januari 2007 ; Fauzan Anshari, “Siapa Salafi?”, Gatra No.34 5 Juli 2007.

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

25

1

Arah Baru Politik Islam di Indonesia

Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-Transformatif

(MMI). Laskar Jihad memilih strategi pertempuran langsung, sedangkan Laskar Mujahidin yang berjumlah sedikit memilih taktik perang gerilya. Mereka juga bersaing merebut simpati dari kalangan Muslim di wilayah konflik tersebut. Perselisihan memanas ketika Ja’far Umar Thalib yang menghadiri undangan Wapres Jusuf Kalla dalam penyelesain konflik di Poso dinilai oleh MMI sebagai agen rahasia Pemerintah Indonesia.24

Proyek dan nalar syariatik makin tidak populer, manakala Muhammadiyah dan NU menolak. Kedua ormas ini lebih tertarik pada persoalan harian masyarakat Islam daripada penegakan Syariat Islam. Sejak tahun 2000 misalnya, Muhammadiyah dan NU bekerjasama dengan The Partnership memimpin kampanye anti korupsi. Keduanya juga berkonsentrasi pada pengembangan sumberdaya manusia melalui peningkatan pendidikan di seluruh tanah air.25 Karena visi kebangsaan inilah, kedua ormas Islam terbesar ini malah mengokohkan Pancasila sebagai common platform kehidupan bangsa dan Negara. Melalui tokoh-tokohnya di awal Kemerdekaan, Muhammadiyah dan NU mengakui bahwa setiap sila dalam Pancasila selaras dengan ajaran Islam. Kelima sila Pancasila tersebut secara berurutan adalah prinsip Syariah Islam, yakni al-tauhid (ketuhanan), al-musawah baina al-nas (kemanusian), al-ittihad wa al-ukhuwah (persatuan dan kesatuan), al-syura (permusyawaratan), dan al-‘adalah (keadilan).

Oleh karena itu, Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sikap meragukan atau menolak Pancasila bisa dianggap menolak ajaran-ajaran luhur Islam. Buya Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, menilai bahwa penerapan syariat Islam di Indonesia akan membahayakan Pancasila dan heterogenitas masyarakat Indonesia.26

Begitu juga Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin yang melihat pentingnya pelembagaan substansi nilai Islam, bukan bentuk luarnya.27 Pada setiap 1 Juni, PP Muhammadiyah mengadakan peringatan Harlah Pancasila di Gedung Muhammadiyah Jakarta dengan

24 Risalah Mujahidin, 6 Shafar 1428/ Maret 2007, hlm. 28-29.

25 Kerja sama pemberantasan korupsi ditandatangani oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Ma’arif, Direktur The Partnership Indonesia HS. Dillon dan Ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi di Jakarta pada tahun 2000.

26 Ahmad Syafii Ma’arif, « Demi Keutuhan Bangsa », Republika, 11 Juli 2006.

27 Rakyat Merdeka, 17 Desember 2006.

26 MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Andar Nubowo

mengundang tokoh-tokoh nasional dan publik luas.

Dari kalangan NU, KH Hasyim Muzadi, mantan Ketua Tanfidziyah PBNU, meminta pemerintah daerah tidak mengundangkan sebuah peraturan yang berbasis pada Syariah Islam; karena Syariah harus diterapkan di atas prinsip kebebasan beragama, sehingga mustahil Syariah Islam menjadi hukum positif Republik Indonesia.28 Mantan Ketua PBNU sekaligus Presiden RI Abdurahman Wahid berpendapat keras bahwa penerapan syariat Islam bertentangan dengan UUD 1945. ‘’Kita bukan berada di Negara Islam. Oleh karena itu, tidak boleh merubah peraturan apapun hanya berdasarkan Islam,” tegasnya.29

Selain kedua ormas Islam terbesar itu, penolakan terhadap proyek Syariah dari kalangan Islam yang anti Pancasila datang dari intelektual dan cendekiawan Muslim Indonesia yang berasal dari Universitas Islam Negeri (UIN) seperti Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkhan, Kautsar Azhari Noer dan sebagainya. Para kaum cerdik pandai Muslim tersebut menolak Syariah Islam dan membela Pancasila sebagai sebuah ideologi bersama yang dapat menjamin realitas heterogen bangsa Indonesia. Dukungan serupa terhadap Pancasila juga datang dari kaum muda Islam NU dan Muhammadiyah yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL)30 dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) 31 serta LSM-LSM pro demokrasi lainnya. Pada setiap 1 Juni, kelompok intelektual dan LSM tersebut mengadakan aksi memperingati Hari Lahirnya Pancasila. Kampanye dukungan terhadap Pancasila juga dilakukan melalui publikasi di media massa, situs internet, konferensi, kongres dan seminar-seminar. Politik Islam Partisipatoris

Fenomena kegagalan Islam Politik, tampaknya, bukan kekhasan Indonesia. Penggulingan Presiden Mesir Mohammad Mursi, tokoh

28 www.menkokesra.go.id

29 www.menkokesra.go.id 30 Baca tentang JIL dalam Muhammad Ali, “The Rise of Liberal Islam Network (JIL)”, The American Journal of

Islamic Social Sciences 22:1. 31 Baca Ahmad Najib Burhani, “JIMM: Pemberontakan Anak-anak Muda Terhadap Aktivisme, Skripturalisme dan

Orientasi Struktural di Muhammadiyah,” dalam Neng Dara Afifah (ed) Reformasi Gerakan Keislaman Pasca Orde baru: Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, Jakarta: Balitbang Depag RI.

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

27

Arah Baru Politik Islam di Indonesia

Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-Transformatif

Ikhawanul Muslimin, pada 1 Juli 2013 menjadi contoh menarik. Selama 1 tahun berkuasa, pemerintahannya terjebak pada nalar syariatik, yakni mengganti Konstitusi lama dengan Konstitusi Syariah. Padahal, bukan Syariah yang menjadi jawaban krisis multidimensional pasca penggulingan Presiden Hosni Mobarak dua tahun lalu. Kebijakan-kebijakan Morsi yang syariatik dijawab oleh ketidakpuasan rakyat dengan kudeta militer.

Reformasi dan demokrasi di Indonesia juga menguak mitos nalar syariatik dari Islam Politik. Jika pada masa Orde Baru, mitos ‘Islam is one and only solution” menjadi mimpi yang harus direalisasikan, maka Reformasi memungkinkan realisasi mitos tersebut dan sekaligus menelanjanginya. Mimpi mitologis Syariah ternyata tidak seperti yang dimitoskan sebelumnya: ia telah gagal merealisasikan gagasan-gagasan syariatik dalam sistem kehidupan yang lebih menyejahterakan. Sebaliknya, seperti dibahas di muka, nalar syariatik terjebak pada conflicts of interest para pengusungnya sendiri, dan juga ketidakberterimaan mayoritas publik Muslim terhadap gagasan Negara Syariat.

Selain itu, ini yang paling substantif, Islam Politik gagal mentransformasikan nalar syariatik dalam sistem dan institusi politik yang lebih baik,32 karena terjebak pada konsepsi fikih abad pertengahan Islam. Akibatnya, partai politik Islam dan produk perda-perda Syariah tidak dapat menjawab persoalan keseharian rakyat, seperti pengangguran, problem perumahan, urbanisasi, kemiskinan, rendahnya indeks prestasi SDM, kasus korupsi, kolusi dan nepotisme, HAM, problem gender, dan sebagainya. Diperparah oleh instrumentalisasi Islam untuk tujuan-tujuan elektoralis, Islam dan Syariah menjadi tidak ‘berdaya tarik’ di mata publik Muslim sendiri.

Nalar syariatik terbukti tidak mampu menangkap tanda dan problematika jaman. Ia tidak cerdas dan aspiratif, karena terpasung pada paradigma normatif deduktif. Ia tak mampu menjadi tumpuan harapan, tuntutan dan kepentingan rakyat banyak. Oleh karena itu, wajar, jika Islam Politik malah jatuh pada langgam kuasa kaum elite oligarkis yang mengebiri dan merusak narasi reformasi dan demokrasi di Indonesia. Ruang-ruang publik---tempat di mana partisipasi kewargaan tumbuh dan berkembang,

32 Fakta ini menggarisbawahi tesis Olivier Roy dalam bukunya L’Echec de l’Islam Politique , terbit tahun 1992, bahwa Islam Politik mengalami kegagalan dalam penciptaan masyarakat Islam melalui struktur politik negara, yaitu Negara Islam. Meskipun terjadi islamisasi individu dan globalisasi Islam, Roy meyakini bahwa Islam Politik telah gagal, karena bidang politik di dunia Islam tercerabut dari intervensi agama dan yang terjadi adalah sekularisasi kebudayaan Islam.

28 MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Andar Nubowo

dikooptasi oleh kepentingan elit untuk tujuan-tujuan penguasaan kapital politik-ekonomi, dan sosial-budaya. Partai politik—tak terkecuali partai Islam, mendominasi setiap proses pengambilan keputusan dan kebijakan strategis, sehingga menyuburkan praktek gelap politik transaksional yang tak berkeadaban.

Konsekuensinya, seperti halnya elite politik nasionalis-sekuler, Islam Politik tidak berdaya ketika gurita liberalisme ekonomi menjepit kehidupan rakyat yang semakin sulit. Islam Politik juga “buta-tuli” terhadap ketidakteraturan sosial dan budaya yang diakibatkan bangkitnya feodalisme-egoisme dalam nadi kehidupan rakyat: penindasan, pemaksaan kehendak, intoleransi, konflik dan kekerasan atas orang lain. Realitas yang kini tengah mengitari dan mengotori nurani sehat dan akal budi seluruh anak bangsa tersebut, pada kenyataannya, menggerus dan bahkan membabat habis prinsip dan nilai pengabdian pada urusan publik (res-publika).

Republikanisme inilah yang menjadi dasar berdirinya Republik Indonesia. Para pendiri bangsa menyadari pentingnya republikanisme dalam setiap proses penyelenggaraan kekuasaan negara, supaya kepentingan umum diutamakan di atas kepentingan pribadi dan atau golongan. Republikanisme juga mensyaratkan partisipasi kewargaan (popular participation) dalam setiap pengambilan kebijakan. Di sinilah pentingnya agama dan politik (Islam) berkontribusi mendorong warganya untuk berpartisipasi dalam setiap pengambilan dan penyelenggaraan kebijakan negara.

Etika dan etos Islam ini merupakan spirit kemajuan, yang mendorong umatnya untuk berpartisipasi aktif membangun peradaban dunia. Umat Islam dan penganut agama yang lainnya tidak boleh berpangku tangan, sekedar menjadi penonton hiruk pikuk perubahan dunia yang dahsyat. Sebab, sikap acuh dan cuek terhadap dunia menjadikan dunia kehilangan ruh spiritualitasnya dan kering nilai-nilai transendental. Pembangunan yang kering dari nilai-nilai moral dan keimanan akan melahirkan krisis kemanusiaan dan disorientasi keberpihakan pada rakyat miskin, wong cilik. Proyek-proyek yang dilangsungkan hanya berorientasi akumulasi modal dan penyingkiran dan pemiskinan kaum miskin dan mustad’afin.

Dengan kata lain, iman yang benar adalah iman partisipatoris: keimanan yang memadukan tauhid dan kebijakan sosial. Kaum beriman tidak

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

29

Arah Baru Politik Islam di Indonesia

Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-Transformatif

boleh hanya menganggap ibadah mahdlah seperti shalat, puasa, zakat dan haji sebagai one way to paradise, tetapi juga perlu diintegrasikan pada kesalehan dan kebajikan dalam makna berpartisipasi dan berkontribusi sebagai aktor utama pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, orang yang beriman adalah yang tidak saja beribadah di tempat ibadah, tetapi juga tanggap sasmita terhadap lingkungan sekitar, dalam proyek sosial, politik dan ekonomi, dan tekun aktif dalam proses pembangunan. Inilah figur ideal seorang insan kamil, manusia paripurna.

Dus, persoalan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dewasa ini, menurut Kuntowijiyo, bukan terletak pada persoalan teologis ataupun ideologis, yakni persoalan Syariah atau tidak, melainkan persoalan empiris sosial, politik dan ekonomi. Pendekatan teologis dan ideologis-syariatik terbukti dalam 15 tahun belakangan tidak mampu menjawab dan memecahkan problem keumatan, kebangsaan dan kenegaraan, malah sebaliknya semakin memperkeruh dan memperlama proses konsolidasi dan transisi demokrasi Indonesia. Karena itu, masalah-masalah tersebut mesti dipecahkan dan dicarikan solusinya melalui pendekatan ilmiah-empiris.33 Dalam hal ini, Islam sebagai sumber etika politik Islam perlu didekati secara transformatif melalui pisau bedah ilmu-ilmu sosial profetik dan Islam Transformatif—seperti yang pernah dikembangkan Kuntowijoyo dan Moeslim Abdurrahman.

Gagasan ‘ilmu sosial profetik’-nya Kuntowijoyo dan Islam Transformatif-nya Moeslim Abdurrahman, sebenarnya, sebagai kritik cerdas terhadap Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid yang lebih membahas Islam dalam perspektif teologis dan fikih. Kedua pendekatan kajian keagamaan itu tampaknya tidak mampu menangkap Islam dalam pergaulan empiris sosial politik. Pemikiran-pemikiran keislaman Nurcholis Madjid bahkan dinilai cenderung mengukuhkan kebijakan pembangunan Orde Baru dan hegemoni modernitas Barat. Baik Ilmu Sosial Profetik maupun Islam Transformatif adalah sebuah pisau bedah sosial atas pesan-pesan profetik Islam, yang mampu menggerakkan rakyat di bawah untuk mengubah

33 Baca Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), khususnya Pengantar M. Dawan Rahardjo dan Bagian Ketiga, hlm. 11-19 dan 279-366.

30 MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Andar Nubowo

dirinya dan berperan dalam perubahan sosial yang mendasar.34 Di sini, Islam dimaknai sebagai sumber refleksi dan aksi gerakan transformasi sosial untuk memecahkan problem ketertindasan, keterbelakangan sebagai efek dari globalisasi dan neoliberalisasi. Islam Transformatif menghendaki agama sebagai ruang transformasi sosial yang mampu melakukan pemberdayaan (empowerment) terhadap masyarakat. Dalam konteks ini, Islam dapat menemukan ruang artikulasi baru yang mampu menciptakan praksis sejarah yang lebih adil.

Untuk itulah, perlu pemaknaan baru (reproducing new significances) terhadap teks-teks otoritatif Islam, Al-Quran dan Sunnah Nabi, secara kritis dan hermeneutis. Pemaknaan baru ini diperlukan, supaya terma-terma agama, dapat dikontekskan maknanya untuk sebuah gerakan pembebasan rakyat dan dapat memberikan inspirasi untuk sebuah anti-hegemoni atau bahkan counter hegemoni terhadap sistem yang menindas. Farid Essac misalnya memberikan makna hermeneutik pada konsep taqwa, tauhid, al-nâs, al-mustadl’afûn, ‘adl, dan jihâd. Kunci-kunci hermeneutik (hermeneutical keys) ini dipahami dan dimaknai kembali dengan titik tekan pada pengembalian fungsi kemanusiaan untuk pembebasan dan penegakan keadilan.35 Kuntowijoyo juga pernah menawarkan lima program reinterpretasi Al-Qur’an; tafsir struktural bukan individual, tafsir subjektif menjadi objektif, tafsir yang normatif menjadi teoritis, ahistoris menjadi historis dan formulasi general normatif menjadi spesifik empiris.36

Dalam menghadapi realitas ketimpangan sosial, ketertindasan saat ini, umat Islam harus melakukan social struggle untuk menciptakan reformasi struktural yang menyejahterakan. Caranya adalah, menurut Moeslim Abdurrahman, melakukan penyadaran kolektif dalam diri masyarakat dengan mekanisme praksis; yakni pembentukan jaringan atau cluster

34 Gagasan Islam Transformatif Moeslim Abdurrahman tersebar dalam buku dan tulisan-tulisan antropologisnya, antara lain: Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995); Moeslim Abdurrahman, Kang Thowil dan Siti Marjinal (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995); Moeslim Abdurrahman, Semarak Islam Semarak Demokrasi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), dan Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003).

35 Dalam konteks perjuangan rakyat Afrika Selatan melawan rejim Apharteid, Farid Esack secara cerdas

berhasil melakukan reproduksi makna atas teks-teks mormatif Islam sebagai senjata teologis menghadapi kaum apharteid bersama kaum beragama lainnya. Selengkapnya baca Bab 3 dan 4 Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas (Bandung: Mizan, 2000).

36 Baca ulasan lengkap Kuntowijoyo tentang Lima Program Interpretasi dalam Kuntowijoyo, Paradigma Islam…,

hlm. 283-285.

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

31

Arah Baru Politik Islam di Indonesia

Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-Transformatif

sosial seperti buruh, nelayan, petani dan pedagang asongan, regrouping melalui institusi keagamaan seperti masjid, pesantren, surau, jamah pengajian atau majelis taklim, dan pembentukan komunitas-komunitas masyarakat termarjinalkan seperti kaum difabel, LGBT, dan kelompok minoritas agama. 37

Islam diharapkan dapat bersentuhan langsung dengan problem, isu, dan kepentingan publik. Pada saat yang sama, publik atau masyarakat Muslim dapat berkontribusi pada pemecahan masalah, isu dan kepentingan publik aktual dan berpartisipasi pada pengawalan aspirasi-aspirasi kerakyatan tersebut menjadi kebijakan publik yang maslahat. Dalam hal ini, politik umat Islam mengadvokasi dan mengagregasi kepentingan publik pada pemangku dan pengambil kebijakan di tingkat eksekutif, legislatif dan yudikatif. Singkat kata, politik Islam ke depan adalah politik advokasi dan agregasi isu dan kepentingan publik yang digali dari basis, komunitas atau kelas sosial.

Reaktualisasi dan Transformasi Basis Sosial Muslim

Berpijak pada argumen di atas, perlu reorientasi Politik Islam, terutama di bidang politik ekonomi dan sosial. Reorientasi Politik Islam bukan saja difokuskan pada mainstreaming paham-paham moderat dalam beragama, tetapi juga bagaimana agama itu dapat berperan dan berkontribusi positif bagi pembentukan insan kamil Indonesia yang saleh sekaligus kader bangsa Indonesia yang mempunyai kepedulian partisipatoris terhadap persoalan politik, sosial dan budaya serta memiliki kemandirian ekonomi yang kokoh. Islam di Indonesia diharapkan tidak hanya berperan dalam bidang-bidang yang selama ini telah digarap seperti pendidikan, kesehatan, dan amal sosial lainnya, tetapi diperluas pada kaderisasi politik dan ekonomi Indonesia.

Dalam bidang politik praktis, ketidaktautan antara partai politik (Islam) dan gerakan sosial dan basis-basis popularnya perlu segera dipungkasi. Partai politik perlu dikembalikan pada fungsi dan peran strategisnya dalam demokrasi, yakni advokat dan agregator aspirasi rakyat, sebab raison d’etre dari partai politik adalah mewadahi dan menyalurkan aspirasi publik. Dalam perspektif ini, partai politik dituntut menjadi

37 Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003).

32 MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Andar Nubowo

laboratorium kaderisasi politik sekaligus penyemai pendidikan politik, demokrasi serta pemberdayaan ekonomi rakyat secara berkelanjutan dan sistematis. Nalar dan nafas partai politik yang berlalu lalang dari pemilu ke pemilu adalah sebuah kesesatan berpikir dan berstrategi: penghambaan pada kekuasaan yang binal, bukan pada kebijakan dan kebajikan publik yang banal.

Dalam bidang ekonomi kerakyatan, partai politik perlu membangun paradigma, program dan aksi yang memberdayakan dan menyejahterakan manusia Indonesia seutuhnya, lahir dan batin, jasmani dan rohani. Hal ini penting mengingat, ketimpangan dan ketidakadilan distribusi ekonomi masih cukup tinggi. Angka kemiskinan, pengangguran, pemecatan akibat dari liberalisme ekonomi Indonesia tercatat tinggi. Islam dan politik Islam harus terlibat dalam pengentasan problem ekonomi yang mendera umat. Upaya memisahkan gerakan politik Islam dan gerakan sosial-kewargaan dalam upaya pemantapan demokrasi, disadari atau tidak, dapat memicu ketidakseimbangan transformasi sosial dan politik dan memberikan keleluasaan bagi elite oligarkis untuk menancapkan kepentingan politik, ekonomi dan bisnisnya.

Dengan kata lain, Politik Islam perlu melakukan gerakan pemberdayaan dan pencerahan masyarakat. Menyatupadukan gerakan politik dan sosial dapat dimulai dengan menghidupkan kembali basis-basis popular kerakyatan yang memiliki peran strategis, yakni tempat ibadah, balai desa/ kelurahan, dan pasar tradisional. Ketiga lapak kerakyatan itu penting untuk dihidupkan kembali, mengingat di situlah ruang berkumpul, bersilaturahmi dan berdialog antar warga. Di ketiga lapak itu pulalah, petani, buruh, nelayan, hingga pedagang, saudagar, dan para pegawai bertukar sapa.

Masjid, Gereja, Wihara dan tempat ibadah lainnya, adalah sumber inspirasi spiritual sekaligus media transformasi individu menuju kebajikan bersama. Tempat-tempat ibadah perlu dikembalikan pada kedua fungsi tersebut, sehingga terbangun buah spiritualitas yang mencerahkan dan menggerakkan kemajuan dan kebajikan bersama. Tempat ibadah seyogyanya terbebas dari paham-paham kegelapan yang mengerdilkan dan mengucilkan jatidiri kemanusiaan hakiki. Pemahaman keagamaan yang moderat dan sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang ramah seharusnya menjadi paham yang disebarkan dan didakwahkan kepada

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

33

Arah Baru Politik Islam di Indonesia

Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-Transformatif

umat. Dalam hal ini, perlu kaderisasi dai dan para pengkhotbah agama yang memahami agama tidak hanya sebagai kekuatan moral-spiritual tetapi juga mendorong umatnya untuk hidup secara sangkil dalam koridor falsafah Indonesia yang berbhineka tunggal ika.

Selain tempat ibadah, balai desa merupakan tempat berkumpul semua warga, forum sosialisasi sekaligus aktualisasi diri antar warga berdasarkan semangat saling menghargai dan nilai-nilai kegotongroyongan. Balai desa musti dibebaskan dari kuptasi politik golongan, sehingga tercipta masyarakat sadar sosial, politik, sekaligus budaya yang menggerakkan mereka pada kemajuan dan kesejahteraan bersama. Sebagai penggerak ekonomi rakyat, pasar menjadi tempat transaksi ekonomi yang bebas dari syahwat mencari untung sendiri sambil mencekik orang lain, merdeka dari libido kapitalistik yang menghisap habis sumber dan laba ekonomi rakyat.

Tempat ibadah, balai desa, dan pasar rakyat adalah simbol etika-moral-spiritual, politik gotong royong, dan ekonomi kerakyatan yang kini secara berurutan didominasi oleh fundamentalisme dan radikalisme, politik golongan, dan kapitalisme-neoliberal. Oleh karena itu, politik Islam dapat menjadi pelopor reaktualisasi peran empirik dan transformatif Islam melalui agenda aksi politik, ekonomi dan sosial kebudayaan. Upaya ini memungkinkan politik Islam dapat terbebas dari ambisi dan nalar syariatik yang menghalangi terwujudnya transformasi sosial, politik dan ekonomi Islam yang rahmatan lil’alamin, rahmat bagi seru sekalian alam.

34 MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Andar Nubowo

Referensi

Ahmad Najib Burhani, “JIMM: Pemberontakan Anak-anak Muda Terhadap

Aktivisme, Skripturalisme, dan Orientasi Struktural di Muhammadiyah,”

dalam Neng Dara Afifah (ed) Reformasi Gerakan Keislaman Pasca Orde

Baru: Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, Jakarta: Balitbang Depag RI.

Ahmad Syafii Ma’arif, “Demi Keutuhan Bangsa”, Republika, le 11 juillet 2006.

Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan

Tarbiyah Movement di Indonesia. Bandung: Teraju, 2003.

Andar Nubowo, Un Mouvement islamiste post-Soeharto: Le Conseil des Moudjahidines

Indonesiens et Son Combat pour l’Application de la charia (Paris: EHESS,

2008), tesis tidak dipublikasikan.

Andrée Feillard et Rémy Madinier, La fin de l’innocence ? L’islam indonésien face

à la tentation radicale de 1967 à nos jours, Irasec (Les indes savantes), Paris,

2006.

Are Knudsen, Political Islam in Middle East. Norway: Chr. Michelsen Institute,

2003.

Bjørn Olav Utvik, “Islamism: Digesting modernity the Islamic way” (Forum for

Development Studies 2).

Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional. Bandung: Mizan, 2000.

Douglas Ramage, Politics in Indonesia : Democracy, Islam and the Ideology of

Tolerance. New York : Routledge, 1995.

Dewi Candraningrum, Unquetioned Gender Lens in Contemporary

Indonesian Sharia Ordinance (Perda Syariah), Al-Jami‘ah, Vol. 45, No. 2,

2007 M/1428 H.

Greg Fealy, “Globalised Islamism: Hizbut Tahrir in Indonesia”, makalah

dipresentasikan di Centre for Muslim States and Societies, The University of

Western Australia (Perth), 25 februari 2006.

Hirschkind, “What is political Islam?” (Middle East Report, Okt/Des 1997).

International Crisis Group, Recycling Militants in Indonesia: Darul Islam and the

Australian Embassy Bombing, 22 Februari 2005.

Ken Ward, “Non-violent Extremist? Hizbut Tahrir Indonesia” Australian Journal

of International Affairs, Vol. 62, No. 2, Juni (2009).

MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

35

Arah Baru Politik Islam di Indonesia

Dari Nalar Syariatik Menuju Islam Partisipatoris-Transformatif

Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/Munas VII/MUI/11/2005

TentangPluralisme, Liberalisme, dan Sekulerisme Agama.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991.

__________, Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997.

Lembaga Survei Indonesia, “Trend Orientasi Nilai-Nilai Politik Islamis vs Nilai-

Nilai Politik Sekuler dan Kekuatan Islam Politik”, Oktober 2007.

Lingkaran Survey Indonesia, “Krisis Capres dan Cawapres Partai Islam: Siapakah

Pasangan Capres-Cawapres Terkuat pada Pemilu 2014?”, 17 maret 2013.

Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

___________, Kang Thowil dan Siti Marjinal. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

___________, Semarak islam Semarak Demokrasi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.

___________, Islam Sebagai Kritik Sosial. Jakarta: Erlangga, 2003.

___________, Islam Sebagai Kritik Sosial Jakarta: Erlangga, 2003.

Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas

Bandung: Mizan, 2000.

Olivier Roy, l’Echec de l’Islam Politique Paris: Collection Esprit/Seuil, 1992.

_________, Geneologie de l’islamisme. Paris: Hachette Literature, 1995.

_________, L’Islam Mondialise Paris: Seuil, 2002; Olivier Roy, Geneologie de

l’Islamisme Paris: Hachette Litterature, 1995.

Muhammad Ali, “The Rise of Liberal Islam Network (JIL)”, The American Journal

of Islamic Social Sciences 22:1.

Salman, “The Tarbiyah Movement: Why People Join This Indonesian

Contemporary Islamic Movement”, Studia Islamika, Vol. 13, No. 2, (2006)

William Liddle, “Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic Political

Thought and Action in New Order Indonesia”, in Mark R. Woodward

(éd.), Toward a New Paradigm. Recent Development in Indonesian Islamic

Thought, Temple: Arizona State University, 1996.

Detikcom, 27 Januari 2007

Detik.com, 25 November 2008

36 MAARIF Vol. 8, No. 2 — Desember 2013

Andar Nubowo

Gatra No. 31, 14 Juni 2007

Gatra No.34, 5 Juli 2007.

Rakyat Merdeka, 17 Desember 2006

Risalah Mujahidin, 6 Shafar 1428/ Maret 2007

The Jakarta Post online, 26 November 2008

www.menkokesra.go.id

www.tukpencarialhaq.wordpress.com

www.salafi.or.id

MAARIF Vol

1