FRAGMENTASI HUTAN : Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

142
FRAGMENTASI HUTAN FRAGMENTASI HUTAN Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan Hendra Gunawan Lilik Budi Prasetyo Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan KEMENTERIAN KEHUTANAN

Transcript of FRAGMENTASI HUTAN : Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

FRAGMENTASI HUTAN FRAGMENTASI HUTAN Teori yang mendasari penataan ruang hutan

menuju pembangunan berkelanjutan

Hendra Gunawan

Lilik Budi Prasetyo

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

KEMENTERIAN KEHUTANAN

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

i

ISBN :978–602–1681–03-9

PRAGMENTASI HUTAN

ii

Judul : FRAGMENTASI HUTAN :

Teori yang mendasari penataan ruang hutan

menuju pembangunan berkelanjutan

ISBN : 978–602–1681–03-9

Penulis : Hendra Gunawan

Lilik Budi Prasetyo

Penelaah Ilmiah : Prof. Dr. Tukirin Partomiharjo, M.Sc.

Disain dan Tata Letak : Tatang Rohana

Foto Sampul Depan : Hendra Gunawan

Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan

Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610

© Copyright 2013

Hak cipta dilindungi oleh undang-Undang

Dilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya.

Saran pengutipan :

Gunawan, H. dan L.B. Prasetyo. 2013. Fragmentasi Hutan :

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan

Rehabilitasi. Bogor.

Saran tentang buku mohon disampaikan ke :

[email protected]

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

iii

KATA PENGANTAR KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

KONSERVASI DAN REHABILITASI, BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

Salah satu tugas pokok lembaga penelitian adalah menghasilkan dan

mempublikasikan buku buku, baik yang bersifat teoritis maupun praktis,

baik hasil penelitian maupun hasil pemikiran dan pengkajian literatur.

Buku berjudul ”Fragmentasi Hutan : Teori yang mendasari penataan ruang

hutan menuju pembangunan berkelanjutan” merupakan salah satu produk

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi yang

diharapkan dapat membantu para prakitsi kehutanan, khususnya dalam

pengaturan tata ruang kawasan hutan.

Kepada penulis disampaikan penghargaan dan terima kasih atas

upayanya membukukan berbagai teori dalam sebuah buku yang mudah

dimengerti, baik oleh para praktisi maupun akademisi sehingga dapat

menjadi referensi, baik dalam penelitian maupun pengambilan keputusan.

Kepada Penelaah Ilmiah juga disampaikan terima kasih atas telaah dan

saran perbaikan untuk buku tersebut.

Akhirnya, semoga buku ini dapat bermanfaat untuk meningkatkan

kualitas pengelolaan hutan dalam rangka pembangunan berkelanjutan dan

berwawasan lingkungan.

Bogor, November 2013

Kepala Pusat,

Ir. Adi Susmianto, M.Sc.

NIP.195712211982031002

PRAGMENTASI HUTAN

iv

KATA PENGANTAR

Isu kepunahan keanekaragaman hayati tropika menjadi isu krusial

yang menjadi perhatian internasional pada dua dekade terakhir.

Fragmentasi hutan merupakan salah satu penyebab utama punahnya

keanekaragaman hayati di beberapa lokasi. Fragmentasi hutan merupakan

proses dan hasil dari peri laku manusia dalam memanfaatkan sumbedaya

hutan, seperti konversi, penebangan liar, pembakaran hutan, perladangan

dan perambahan kawasan hutan.

Keberhasilan pengelolaan keanekaragaman hayati di kantong-

kantong hutan yang telah terfragmentasi memerlukan pemahaman konsep-

konsep yang lahir dari teori biogeografi pulau, seperti fragmentasi, koridor

dan single large or several small (SLOSS). Buku ini membantu para

mahasiswa, praktisi konservasi, manajer satwaliar serta pengambil

kebijakan penataan ruang pembangunan dalam memahami fragmentasi

hutan dan kaitannya dengan pengelolaan dan konservasi keanekaragaman

hayati.

Buku ini merupakan kompilasi dari hasil terjemahan, penelaahan

dan analisis dari berbagai buku teks dan website yang relevan. Untuk

memahami dan mengetahui lebih detail, para pembaca dipesilakan

membaca buku-buku teks yang menjadi sumber penulisan buku ini.

Penulis menyadari, buku ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh

karena itu saran-saran dari peminat akan dipertimbangkan untuk perbaikan.

Akhirnya, semoga buku ini bermanfaat bagi para peminat dan pemerhati

masalah konservasi keanekaragaman hayati.

Bogor, November 2013

Penulis

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

v

DAFTAR ISI

Halaman

BAB 1. FRAGMENTASI: SUATU PENDAHULUAN ..................... 1

BAB 2. MASALAH DAN PROSES FRAGMENTASI ...................... 10

BAB 3. TEORI BIOGEOGRAFI PULAU vs FRAGMENTASI HUTAN ... 16

BAB 4. FRAGMENTASI HABITAT DIPANDANG DALAM SKALA LANSKAP ........................................................

30

BAB 5. KONSEP KORIDOR DAN SINGLE LARGE OR SEVERAL SMALL (SLOSS) .................................................

42

BAB 6. DINAMIKA POPULASI PADA SKALA LANSKAP ................ 52

BAB 7. PENGARUH FRAGMENTASI TERHADAP SATWALIAR ....... 71

BAB 8. PERPINDAHAN SATWA DALAM LANSKAP .................... 95

BAB 9. FRAGMENTASI DAN DINAMIKA METAPOPULASI ............. 103

BAB 10. IMPLIKASI PENGELOLAAN KONSERVASI ..................... 109

BAB 11. STUDI KASUS: Evaluasi Lanskap Kawasan Merapi –

Merbabu Dan Telaah Kemungkinan Sebaran Macan Tutul Di Katong-Kantong Hutan Yang Terfragmentasi ...

112

RIWAYAT PENULIS ..................... ..................... .............. 130

PRAGMENTASI HUTAN

vi

DAFTAR GAMBAR Nomor Teks Halaman

Gambar 1. Model konseptual pengaruh fragmentasi

(Kupfer et al. 2004) ...............................................

13

Gambar 2. Jumlah jenis relatif pada (a) pulau-pulau kecil, dekat,

(b) pulau-pulau besar, jauh atau kecil, dekat, dan (c) pulau-pulau besar, dekat (Mac Arthur and

Wilson 1967) ..................................................

21

Gambar 3. Mekanisme bekerjanya pengaruh isolasi ................. 27

Gambar 4. Klasifikasi rejim gangguan berdasarkan pada luas yang

terganggu dan luas lanskap (diadaptasi oleh Shugart 1984; dari Shugart and West 1981)……………..............

32

Gambar 5. Empat tipe gangguan yang ditunjukkan oleh derajat

gangguan dan luas geografis yang dipengaruhinya (Morrison et al. 1992) .......................................

32

Gambar 6. Fungsi insiden dari pelatuk totol besar (Picoides

major) (Dari Moore dan Hooper dalam Wilcove et al. 1986) ...................................................

35

Gambar 7. Contoh koridor perpindahan yang dibuat di

pegunungan Costa Rica (Dari Stiles and Clark 1989) …

45

Gambar 8. Perbandingan SLOSS (Dari berbagai sumber) ............ 50

Gambar 9. Gradien pertukaran di dalam metapoulasi dari

berbagai struktur internal (Morrison et al. 1992) ......

56

Gambar 11a. Batas Das dan sistem riparian (riverine) (Morrison et al. 1992) .......................................

58

Gambar 11b. Kejadian sepuluh patches dari hutan tua

(Morrison et al. 1992) .......................................

58

Gambar 11c. Kejadian vertebrata obligat dewasa di tujuh dari 10

patches (Morrison et al. 1992) .............................

59

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

vii

Gambar 11d. Seleksi tiga patches untuk pemanenan tebang habis

(Morrison et al. 1992) ....................................... 59

Gambar 11e. Akibat langsung dari ganguan pemanenan : hilangnya

spesies pada tiga patches (Morrison et al. 1992) ......

60

Gambar 11f. Kehilangan spesies kemudian pada patch hutan yang

jauh, terisolasi dan kecil (faunal relaxation) (Morrison et al. 1992) ...................................................

60

Gambar 11g. Masih kehilangan spesies kemudian pada suatu patch

hutan lebih besar yang kini terisolasi (Morrison et al. 1992) .......................................

61

Gambar 12. Contoh habitat yang terfragmentasi oleh: (1) jaringan

listrik, (2) jalan raya, (3) tebang habis dan (4)

pertanian (Foto: Hendra Gunawan, 2008) ...............

73

Gambar 13. Sekumpulan patch hutan yang ditempati oleh

populasi-populasi penghuni hutan. Tebal tipisnya

panah menunjukkan laju pertukaran individu antar populasi (panah tebal menunjukkan lebih banyak

pertukaran). Catatan: Laju pertukaran dikoreksi oleh seberapa dekat patch-patch dalam ruang (Sumber:

http://chesapeake.towson. edulandscape/forestfrag/effects.asp ....................

76

Gambar 14. Penghunian (occupancy) sekumpulan patch hutan yang

mendukung suatu metapopulasi spesies penghuni hutan pada dua waktu yang berbeda. Patch hitam

ditempati dan patch putih tidak ditempati. Catatan: penghunian pada patch individual berubah sepanjang

waktu (seperti patch-patch dikolonisasi dan populasi-populasi di dalam patch punah), tetapi jumlah patch-

patch yang ditempati tetap sama sepanjang waktu (Sumber: http://chesapeake. towson.edu/landscape/

forestfrag/effects.asp ......................................

76

Gambar 15. Grafik menunjukkan hubungan antara kelembaban

tanah dan edge dan core habitat dala patch hutan.

Banyak spesies burung tidak dapat mentolerir kondisi tepi habitat (edge habitat) dan hanya ditemukan di

core habitat (Sumber:http://chesapeake.towson. edulandscape/forestfrag/effects.asp) ...................

78

Gambar 16. Berbagai bentuk fragment dan gambaran luas

interior-nya ...................................................

80

PRAGMENTASI HUTAN

viii

Gambar 17. Pengaruh kehilangan dan fragmentasi habitat pada

ukuran patch dan isolasi (Fahrig 1997) …………………….. 82

Gambar 18. Ilustrasi zona pengaruh tepi (edge effect) suatu pulau

habitat………………………………………………………….............

86

Gambar 19. Koridor harus cukup lebar untuk memberikan manfaat

positif lebih banyak bagi satwaliar. Koridor riparian yang sempit seperti yang tampak dalam gambar

berpeluang menghasilkan damak negatif bagi satwaliar ………………………………………………………………………

101

Gambar 20. Metapopulasi adalah suatu populasi sumber (source)

dan populasi penerima (sink) (Barnes 2000) ……….………

106

Gambar 21. Ukuran, bentuk, konfigurasi dan jumlah patch semua

mempengaruhi jumlah habitat interior dalam patch kecil, tunggal, patch-patch persegi memberikan

jumlah habitat interior yang kecil dan patch-patch lingkaran besar memberikan habitat interior terbesar

(Barnes 2000) ................................................

110

Gambar 22. Tahapan prosedur kajian evaluasi lanskap dan ana lisis

spasial .........................................................

115

Gambar 23. Komposisi luas setiap kelas penutupan lahan di

kawasan lanskap Merapi Merbabu .........................

118

Gambar 24. Jumlah patch setiap kelas penutupan lahan ……………… 119

Gambar 25. Luas patch rata-rata setiap kelas penutupan lahan .... 120

Gambar 26. Total edge setiap kelas penutupan lahan ................ 120

Gambar 27. Edge density setiap kelas penutupan lahan ............. 121

Gambar 28. Mean patch edge setiap kelas penutupan lahan ………… 121

Gambar 29. Mean shape index setiap kelas penutupan lahan …..... 121

Gambar 30. Mean patch fractal dimension untuk setiap kelas

penutupan lahan …………………...............................

123

Gambar 31. Lokasi dugaan habitat macan tutul terpilih (warna

kuning) hasil query ..........................................

125

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

Tabel 1. Implikasi dispersi habitat pada skala berbeda untuk berbagai atribut lanskap terfragmentasi ....................

33

Tabel 2. Klasifikasi faktor-faktor untuk dievaluasi dalam suatu studi gangguan lanskap ……………...............................

54

Tabel 3. Komposisi pentutupan lahan AOI Kawasan Merapi-Merbabu 116

Tabel 4. Hasil patch analyses pada skala lanskap kawasan Merapi-

Merbabu ............................................................

117

Tabel 5. Hasil patch analyses skala kelas kawasan Merapi–Merbabu 117

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

1

1

FRAGMENTASI : SUATU PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

DEFINISI DAN PENGERTIAN

MENGAPA PERLU MEMPELAJARI FRAGMENTASI?

DAFTAR PUSTAKA

I. PENDAHULUAN

Mempelajari fragmentasi merupakan bagian dari i lmu ekologi

lanskap. Ekologi lanskap merupakan i lmu baru yang diturunkan dari disiplin

terdahulu sebagai suatu gabungan arsitektur lanskap, zoogeografi, geografi

tumbuhan dan sinekologi. Ekologi lanskap merupakan i lmu yang

mempelajari respon spesies atau komunitas terhadap pola-pola (patterns)

patch dalam suatu lanskap (Morrison et al. 1992). Banyak prinsip-prinsip

dasar ekologi lanskap diturunkan dari biogeografi pulau, zoogeografi dan

fitogeografi, yaitu i lmu yang mempelajari penyebaran dan pergerakan

satwa dan tumbuhan melintasi pulau-pulau dan wilayah geografi yang lebih

luas (Morrison et al. 1992).

Ekologi lanskap banyak memfokuskan pada dinamika tumbuhan dan

satwa di dalam patches (kantong habitat), khususnya di pulau-pulau dan

lingkungan terisolasi lainnya. Teori pulau klasik menyatakan bahwa di

pulau, dinamika populasi dan struktur komunitas ditentukan oleh beberapa

faktor : ukuran (pulau kecil memiliki resiko kepunahan lokal lebih besar);

jarak dari sumber spesies yang mengkolonisasi (semakin jauh, semakin

tinggi laju kepunahannya); dan atribut spesies meliputi kemampuan

PRAGMENTASI HUTAN

2

dispersal, demografik (survivorship, rekrutmen); dan spesialisasi

penggunaan habitat (Morrison 1992).

Pemukiman manusia dan kegiatan terkait lainnya, seperti hutan

tanaman dan pertanian telah mengubah lanskap alami menghasilkan suatu

mosaik dari habitat yang terfragmentasi. Fragmentasi habitat dapat

memberikan pengaruh merugikan pada flora dan fauna dari habitat alami

yang sebelumnya masih utuh dan berkesinambungan. Ada dua pengaruh

utama dari fragmentasi yaitu : mengurangi total luas dari habitat asal dan

menciptakan wilayah tepi (edge area) di antara habitat asal dengan lanskap

yang terganggu oleh manusia, yang dikenal sebagai efek tepi (edge effects).

Dalam fragmentasi habitat ada enam proses terpisah yang dapat

dipertimbangkan yaitu:

Berkurangnya luas total dari habitat

Meningkatnya jumlah wilayah tepi (edge)

Berkurangnya luasan habitat interior

Terisolasinya suatu fragment (potongan) habitat dari wilayah habitat

lainnya

Terpecahnya satu patch (kantong) habitat menjadi beberapa patch

(kantong) habitat yang lebih kecil

Berkurangnya ukuran rata-rata setiap patch (kantong) habitat

II. DEFINISI DAN PENGERTIAN

A. Ekologi Lanskap

Ekologi lanskap merupakan suatu bagian dari i lmu ekologi yang

mempelajari bagaimana struktur lanskap mempengaruh kelimpahan dan

distribusi organisme. Ekologi lanskap juga didefinisikan sebagai ilmu yang

mempelajari pengaruh pola (pattern) dan proses, dimana pola di sini

khususnya mengacu pada struktur lanskap. Dengan demikian secara

lengkap ekologi lanskap dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari

bagaimana struktur lanskap mempengaruhi (memproses dan membentuk)

kelimpahan dan distribusi organisme.

Definisi lain menyebutkan, ekologi lanskap merupakan sub disiplin

ekologi dan geografi yang khusus mempelajari variasi spasial dalam lanskap

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

3

yang mempengaruhi proses-proses ekologi seperti distribusi, aliran energi,

materi dan individu dalam lingkungannya (yang pada gilirannya mungkin

mempengaruhi ditribusi elemen-elemen lanskap itu sendiri). Teori

biogeografi pulau dari MacArtur dan Wilson merupakan fokus dari ekologi

lanskap yang oleh Levin digunakan untuk menjelaskan model metapopulasi.

Dalam ekologi lanskap dapat dipelajari bagaimana fragmentasi habitat

mempengaruhi daya hidup suatu populasi (population viability). Dalam

perkembangannya ekologi lanskap banyak menggunakan teknologi Sistem

Informasi Geografis (SIG) dan banyak data habitat yang tersedia (seperti

citra satelit dan foto udara.

Sebagai bagian dari ekologi, ekologi lanskap ditujukan mempelajari

sebab dan akibat dari heterogenitas spasial (Forman 1995). Heterogenitas

merupakan ukuran bagaimana bagian-bagian suatu lanskap berbeda satu

sama lain. Ekologi lanskap melihat pada bagaimana struktur spasial

mempengaruhi kelimpahan organisme pada skala lanskap, serta perilaku

dan fungsi lanskap secara keseluruhan. Hal ini berarti juga mempelajari

pola, atau keteraturan internal lanskap, proses atau operasi kontinu dari

fungsi organisme (Turner 1989). Ekologi lanskap juga mencakup

geomorfologi dalam penerapannya untuk disain dan arsitektur lanskap

(Allaby 1998). Geomorfologi merupakan i lmu yang mempelajari bagaimana

formasi geologi mempengaruhi struktur lanskap.

B. Fragmentasi

Fragmentasi hutan terjadi karena hutan yang luas dan menyambung

terpecah menjadi blok-blok lebih kecil akibat pembangunan jalan,

pertanian, urbanisasi atau pembangunan lain. Akibatnya mengurangi fungsi

hutan sebagai habitat berbagai spesies tumbuhan dan satwaliar.

Fragmentasi juga mempengaruhi struktur, temperatur, kelembaban dan

pencahayaan yang akan mengganggu satwa hutan yang adpatasinya telah

terbentuk selama ribuan tahun. Fragmentasi didefinisikan sebagai

pemecahan habitat organisme menjadi kantong-kantong (patches) habitat

yang membuat organisme kesulitan melakukan pergerakan dari kantong

habitat yang satu ke yang lainnya. Fragmentasi dapat disebabkan oleh

penghilangan vegetasi pada areal yang luas atau oleh jalan yang

PRAGMENTASI HUTAN

4

memisahkan habitat bahkan oleh jaringan kabel listrik (Rusak & Dobson

2007).

Fragmentasi adalah proses pemecahan suatu habitat, ekosistem

atau tipe landuse menjadi bidang-bidang lahan yang lebih kecil dan

fragmentasi juga merupakan sebuah hasil dimana proses fragmentasi

mengubah atribut-atribut habitat dan karakteristik suatu lanskap yang ada.

Fragmentasi habitat mengubah konfigurasi spasial suatu kantong habitat

(habitat patches) besar dan menciptakan isolasi atau perenggangan

hubungan antara kantong-kantong (patches) habitat asli karena terselingi

oleh mosaik yang luas atau tipe habitat lain yang tidak sesuai bagi spesies

yang ada (Wiens 1990).

Franklin et al. (2002) mengembangkan definisi baru tantang

fragmentasi sebagai hasil (outcome) dan proses. Hasil (outcome) dari

fragmentasi habitat adalah diskontinuitas yang diperoleh dari serangkaian

mekanisme, di dalam distribusi spasial suatu sumberdaya dan kondisi yang

ada dalam suatu areal pada suatu skala tertentu yang mempengaruhi

okupansi, reproduksi atau survival suatu spesies. Fragmentasi habitat

didefinisikan sebagai serangkaian mekanisme yang mengakibatkan

diskontinuitas distribusi spasial suatu habitat. Ada empat komponen kunci

dari dua definisi tersebut yaitu : (1) diskontinuitas, (2) mekanisme, (3)

distribusi spasial dari suatu sumberdaya dalam suatu area, dan (4) atribut

demografik (Franklin et al. 2002).

Konsep fragmentasi habitat diturunkan dari teori biogeografi pulau

(MacArthur & Wilson 1967), yakni jumlah spesies meningkat dengan

meningkatnya ukuran pulau (Haila 2002). Fragmentasi penting mendapat

perhatian karena berpengaruh pada kekayaan spesies dari komunitas, trend

populasi beberapa spesies dan keanekaragaman hayati ekosistem secara

keseluruhan (Morrison et al. 1992).

Menurut Wilcove (1987) dalam Morrison et al. (1992) ada empat

cara fragmentasi dapat menyebabkan kepunahan lokal : (1) spesies dapat

mulai keluar dari kantong habitat yang terlindungi; (2) kantong habitat

gagal menyediakan habitat karena pengurangan luas atau hilangnya

heterogenitas internal; (3) fragmentasi menciptakan populasi yang lebih

kecil dan terisolasi yang memiliki resiko lebih besar terhadap bencana,

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

5

variabilitas demografik, kemunduran genetik atau disfungsi sosial; (4)

fragmentasi dapat mengganggu hubungan ekologis yang penting sehingga

dapat menimbulkan sebab sekunder kepunahan dari hilangnya spesies kunci

dan pengaruh merugikan dari lingkungan luar dan efek tepi (edge effect).

C. Patch

Patch, merupakan suatu terminologi dasar dalam ekologi lanskap

didefinisikan sebagai sebuah area yang relatif homogen yang berbeda

dengan sekelilingnya (Forman 1995). Patch merupakan unit dasar dari

lanskap yang berubah dan berfluktuasi. Proses perubahan dan fluktuasi ini

disebut sebagai dinamika patch. Patch memiliki bentuk tertentu dan

konfigurasi spasial, dan dapat digambarkan dalam komposisi variabel-

variabel internalnya seperti jumlah pohon, jumlah jenis pohon, tinggi

pohon, atau variabel lainnya (Forman 1995).

D. Matrix

Matrix merupakan latar belakang (background) sistem ekologi dari

suatu lanskap dengan derajat konektifitas yang tinggi. Konektivitas adalah

ukuran bagaimana suatu koridor, jaringan (network) atau matrix terhubung

atau berkesinambungan (Forman, 1995). Sebagai contoh, suatu lanskap

berhutan (matrix) yang memiliki sedikit celah (gap) dalam tutupan

hutannya berarti memiliki konektifitas lebih tinggi. Koridor memiliki fungsi

penting sebagai jalur penghubung antara suatu tipe tutupan lahan yang

berbeda dengan tetangga di kedua sisinya (Forman, 1995). Suatu jaringan

(network) merupakan suatu sistem hubungan antar koridor, sementara

mosaik menggambarkan pola (pattern) dari patch, koridor dan matrix yang

membentuk suatu lanskap dalam suatu kesatuan (Forman 1995).

E. Boundary dan Edge

Patches bisa memiliki batas (boundary) yang jelas atau tidak jelas

(kabur) (Sanderson & Harris 2000). Suatu zona yang tersusun atas ekosistem

edge di perbatasan disebut boundary (Forman 1995). Edge (tepi) berarti

bagian dari suatu ekosistem yang berdekatan dengan garis kelilingnya

(perimeter), dimana pengaruh-pengaruh dari patch yang berdekatan dapat

PRAGMENTASI HUTAN

6

menyebabkan perbedaan lingkungan antara interior suatu patch dengan

tepiannya (edge). Efek tepi (edge effect) ini meliputi perbedaan komposisi

spesies atau kelimpahan di bagian luar patch (Forman 1995). Sebagai

contoh, ketika suatu lanskap merupakan sebuah mosaik dari tipe-tipe

seperti hutan berdekatan dengan padang rumput, maka edge-nya adalah

lokasi di mana kedua tipe tersebut bergabung. Dalam lanskap yang

kontinu, seperti dari hutan ke kebun kayu, maka lokasi edge-nya menjadi

kabur dan kadang-kadang dibedakan oleh gradien lokal ketika melampaui

suatu ambang batas, misalnya penutupan pohonnya di bawah 35 persen

(Turner and Gardner 1991).

F. Habitat

Habitat adalah suatu tipe komunitas biotik atau kesatuan komunitas

biotik dimana spesies atau populasi hidup (Bailey, 1984). Habitat adalah

suatu unit lingkungan, alami maupun tidak (meliputi iklim, makanan, cover

dan air) dimana seekor satwa, tumbuhan atau populasi secara alami dan

normal hidup dan berkembang (Helms, 1998). Definisi habitat terbaru yang

relevan untuk pengelola satwa liar datang dari Hall et al. (1997) yaitu

sumberdaya dan kondisi yang ada pada suatu tempat yang memberikan

tempat hidup (occupancy), termasuk survival dan reproduksi suatu

organisme. Definisi ini berimplikasi bahwa habitat adalah sejumlah

sumberdaya spesifik yang dibutuhkan oleh suatu spesies (Hall et al. 1997).

III. MENGAPA PERLU MEMPELAJARI FRAGMENTASI?

Sampai saat ini para ahli satwa memiliki pandangan tradisioanal

tentang edges dan ekoton sebagai sesuatu yang positif. Dalam buku-buku

teks klasik (Leopold 1933; Thomas et al. 1979; Yoakum & Dasmann 1971

dalam Morrison et al. 1992) merekomendasikan bahwa pengelola satwa

seharusnya meningkatkan jumlah edges, karena satwa melimpah pada

pertemuan habitat (mereka menganggap habitat sebagai vegetasi atau

lingkungan secara umum, bukan habitat spesifik suatu spesies yang

memerlukan syarat khusus). Anggapan bahwa pembukaan dan pembersihan

hutan menguntungkan satwa ternyata tidak selalu benar. Dalam beberapa

dekade terakhir terbukti bahwa banyak hutan yang dulunya

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

7

berkesinambungan sekarang terancam karena dibuka untuk membuat

ekoton sehingga berdampak negatif bagi satwa seperti meningkatnya

pemangsaan dan overbrowsing. Anggapan bahwa menciptakan edges dan

membuka hutan itu bermanfaat perlu diteliti lagi dengan seksama (Morrison

et al. 1992).

Jumlah spesies satwa dan tumbuhan berhubungan dengan kondisi

yang ada dalam interior yang relatif luas dari vegetasi matang atau

dipengaruhi oleh vegetasi terganggu dan pengaruh tepi. Komposisi dan

kelimpahan relatif dari asosiasi spesies dalam komunitas biotik bervariasi

antar lanskap menurut jumlah dan sebaran habitat secara spasial. Dengan

demikian fragmentasi berpengaruh terhadap kekayaan spesies dari suatu

komunitas, kecenderungan populasi spesies tertentu dan keanekaragaman

hayati secara keseluruhan dari suatu ekosistem. Apakah pengaruh tersebut

disukai atau tidak bergantung pada jumlah dan komposisi spesies yang ada

pada suatu area. Hal ini memiliki implikasi kuat untuk pengelolaan lanskap

(Morrison et al. 1992).

Fragmentasi hutan juga menjadi perhatian di dalam hutan tropis.

Klein (1989) dalam Morrison et al. (1992) yang melakukan penelitian

terhadap kumbang bangkai dan organisme pada kotoran (feces) di hutan

bersinambung dan hutan terfragmentasi, menyimpulkan bahwa fragmentasi

menyebabkan berkurangnya spesies pengurai kotoran dan secara tidak

langsung fragmentasi hutan berpengaruh pada siklus hara dan proses -

proses ekosistem terkait lainnya, dan mungkin mempengaruhi produktivitas

tapak dalam jangka panjang.

Fragmentasi hutan temperate di Amerika Serikat bagian barat

dapat mengurangi atau menghilangkan populasi pengerat kecil pemakan

jamur (mycophagus) yang menjadi agen kunci penyebaran sejumlah spesies

jamur hypogeous (di bawah tanah), khususnya mychorrizae yang penting

bagi hutan konifer (Maser et al. 1978 dalam Morrison et al. 1992). Jamur-

jamur michorrizae tumbuh di rambut-rambut akar pohon konifer dan

membantu menyerap hara. Pengerat (rodent) kecil yang bertindak sebagai

agen kunci penyebaran membutuhkan tegakan hutan yang tua atau pohon

tumbang yang besar. Fragmentasi hutan dapat mengurangi ketersediaan

tegakan hutan tua tersebut dan elemen-elemen vegetasi lainnya, yang

PRAGMENTASI HUTAN

8

mungkin secara tidak langsung mengurangi produktivitas hutan dalam

jangka panjang (Morrison et al. 1992).

Fragmentasi lingkungan merupakan suatu isu perencanaan dan

konservasi habitat, yakni peningkatan fragmentasi dapat mempengaruhi

ketahanan populasi dan keragaman spesies dan komunitas. Fragmentasi

dapat mengisolasi individu, unit berkembangbiakan, dan sub populasi dari

spesies-spesies dalam patch interior. Isolasi ini dapat meningkatkan resiko

kepunahan lokal karena peningkatan variasi ukuran populasi dalam peluang

untuk hidup dan kesempatan berkembangbiak; fluktuasi di lingkungan dan

kualitas dan kuantitas sumberdaya; peningkatan kerentanan untuk punah

dari patch yang lebih kecil, lebih terisolasi jika menghadapi bencana seperti

angin badai dan kebakaran (Morrison et al. 1992).

Saat ini di banyak negara, perhatian publik terhadap perencanaan

habitat telah meningkat karena adanya peningkatan isu terkait seperti

penurunan keanekaragaman hayati, peningkatan fragmentasi lingkungan

yang dianggap berdampak buruk bagi keanekaragaman hayati dan hilangnya

hutan-hutan tua serta semakin langka dan berkurangnya habitat. Oleh

karena itu, baik dari perspektif sosial dan perhatian publik maupun

perspektif ilmiah, fragmentasi lingkungan dan pengelolaan habitat dalam

skala lanskap perlu mendapat perhatian dan dipelajari secara benar.

DAFTAR PUSTAKA

Allaby, M. 1998. Oxford Dictionary of Ecology. Oxford University Press, New

York, NY.

Bailey, J.A. 1984. Princples of Wildlife Management. John Wiley and Sons. New York.

Forman R.T.T. 1995. Land mosaics: the ecology of landscapes and regions.

Cambridge University Press, Cambridge, 632 pp.

Franklin, A.B., B.R. Noon, And T. L.George. 2002. What Is Habitat

Fragmentation? Studies in Avian Biology No. 25:20-29. http://www. humboldt. edu/-tlg2/publications/whatis

habitat20fragmentation.Pdf. Diakses Tanggal 11 Mei 2007.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

9

Haila, Y. 2002. A conceptual genealogy of fragmentation research: from island biogeography to landscape ecology. Ecological Applications

12:321–334.

Hall, L. S., P. R. Krausman, And M. L.Morrison. 1997. The habitat concept and a plea for standard terminology. Wildlife Society Bulletin

25:173–182.

Helms, J.a. (ed). 1998. The Dictionary of Forestry. The Society of

American Forestry and CABI Publishing. Bethesda, MD and Oxon, UK.

http://www.everythingbio.com/glos/definition.php?word=fragmentation.

Diakses Tanggal 17 Oktober 2006.

http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation. Diakses Tanggal 17

Oktober 2006.

http://en.wikipedia.org/wiki/Landscape ecology. Diakses Tanggal 24 Februari 2007.

http://www.carleton.ca/lands-ecol/whatisle.html. Diakses Tanggal 24

Februari 2007.

MacArthur, R. H., and E. O. Wilson. 1967. The theory of island

biogeography. Princeton University Press, Princeton, New Jersey, USA.

Morrison, M.L., B.G. Marcot and R.W. Mannan. 1992. Wildlife-Habitat

Relationships. The University of Wisconsisn. Madison, Wisconsin.

Rusak, H. and C. Dobson. 2007. Forest Fragmentation. www.ontarionature

.org. Diakses tanggal 26 Februari 2007.

Sanderson, J. and L. D. Harris (eds.). 2000. Landscape Eco logy: A Top-Down Approach. Lewis Publishers, Boca Raton, Florida, USA.

Turner, M.G. and R. H. Gardner (eds.). 1991. Quantitative Methods in Landscape Ecology. Springer-Verlag, New York, NY, USA.

Wiens, J. A. 1989. Spatial scaling in ecology. Functional Ecology 3:385–397.

PRAGMENTASI HUTAN

10

2

MASALAH DAN PROSES FRAGMENTASI

MASALAH FRAGMENTASI

PROSES FRAGMENTASI

PENGARUH FRAGMENTASI

MENGUKUR FRAGMENTASI

DAFTAR PUSTAKA

I. MASALAH FRAGMENTASI

Fragmentasi habitat merupakan masalah penting di seluruh dunia.

Penyempitan habitat secara luas memang cukup serius, tetapi ketika

dikombinasikan dengan fragmentasi maka dapat meruntuhkan kesatuan

ekosistem secara keseluruhan. Jalan, urbanisasi dan pertanian merupakan

kegiatan utama manusia yang memecah-mecah wilayah alami yang

seringkali diikuti oleh malapetaka bagi satwa. Wilayah yang sebelumnya

merupakan hutan yang kompak dan utuh menjadi terpecah-pecah,

berukuran kecil dan terisolasi, sehingga beberapa jenis satwa tidak dapat

melakukan perpindahan atau pergerakan untuk mencari makan atau untuk

berkembang biak.

Di sisi lain, ada beberapa jenis satwa dan tumbuhan yang lebih

menyukai habitat interior berupa hutan yang rapat dan gelap, maka jika

50% hutan tersebut dibabat, misal untuk membuat jalan atau lapangan

parkir dan sisanya terbelah oleh jalan, maka hutan yang lebat, sejuk dan

gelap berubah menjadi terang benderang, kelembaban dan temperaturnya

berubah dan tidak sesuai lagi sebagai habitat satwa dan tumbuhan tersebut.

Dengan demikian, fragmentasi juga meningkatkan efek tepi (edge effect).

Sejalan dengan itu area habitat interior dipengaruhi oleh kondisi berbeda

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

11

dari habitat lainnya di sekitarnya. Semakin kecil suatu habitat, semakin

besar proporsi yang terkena efek tepi dan hal ini dapat menyebabkan

perubahan yang dramatis bagi komunitas satwa dan tumbuhan.

Bila suatu populasi satwa menjadi kesulitan menyeberangi jalan

raya yang menghalanginya untuk mencapai kantong habitat lainnya yang

berjarak cukup jauh, maka satwa tersebut hanya dapat berkembang biak

terbatas di kantong habitat tempatnya tinggal yang dapat dikatakan sebagai

pulau dan populasinya akan menghadapi resiko inbreeding. Lebih jauh, jika

populasi diserang wabah penyakit atau bencana alam lainnya, maka satwa

tersebut akan mengalami kepunahan lokal dan sulit untuk rekolonisasi dari

populasi lainnya. Sejalan dengan itu, maka jelas bahwa kesinambungan

atau konektivitas dari hutan sangat penting.

Suatu hutan yang sehat dan cukup besar akan mampu mendukung

organisme dengan jelajah luas, seperti jenis-jenis satwa besar atau satwa

pemangsa. Pengurangan luas dapat memiliki dampak langsung pada spesies

ini dan karena predator sering memainkan peran penting sebagai pengatur

populasi spesies lain, maka keseimbangan ekos istem dapat sangat

terganggu. Dalam skala luas, perubahan ik lim juga mungkin memaksa suatu

spesies untuk bermigrasi, jika habitat alaminya sangat terfragmentasi,

banyak di antara mereka tidak dapat bermigrasi dan akan menghadapi

resiko kepunahan. Ini juga membuktikan betapa pentingnya suatu lanskap

yang berkesinambungan.

II. PROSES FRAGMENTASI

Fragmentasi umumnya terjadi melalui hilangnya habitat (habitat

loss), sebaliknya hilangnya habitat dapat dipandang sebagai akibat

fragmentasi. Tetapi fragmentasi dapat disertai hi langnya habitat

(berkurangnya jumlah) seiring dengan pemecahan atau pembagian kantong

habitat besar menjadi kantong-kantong habitat berukuran kecil dan lebih

terisolasi (Hunter 1997; Haila 1999; Franklin et al. 2002; Fahrig 2003). Jika

hilangnya habitat dan fragmentasi dipandang secara terpisah, maka

hilangnya habitat memiliki dampak lebih signifikan bagi kelangsungan hidup

(viability) spesies daripada fragmentasi (Haila 2002; Fahrig 2003). Namun,

PRAGMENTASI HUTAN

12

karena fragmentasi dan hilangnya habitat terjadi bersamaan maka sangat

sulit untuk menentukan mana yang lebih penting bagi perubahan habitat

(Haila 1999).

Fragmentasi bekerja dalam empat cara ketika hilangnya habitat dan

fragmentasi digabung untuk menggambarkan dan mengkategorikan

prosesnya (Franklin et al. 2002; Fahrig 2003) : (1) habitat hilang tanpa

fragmentasi; (2) pengaruh kombinasi hilangnya habitat dan pemecahan

habitat menjadi patches lebih kecil; (3) pemecahan habitat menjadi patch-

patch lebih kecil tanpa kehilangan habitat; dan (4) hilangnya habitat dan

pemecahan habitat menjadi patch-patch lebih kecil serta penurunan

kualitas habitat. Contoh ini berlaku untuk lanskap yang terdiri lebih dari

satu habitat dan dikeli lingi oleh matriks di dalam suatu kesatuan lanskap.

Kasus pertama dan kedua berlaku ketika lanskap keseluruhan berisi satu

habitat dan tidak ada matriks di sekeli lingnya. Dalam kenyataan, kasus dua

dan empat merupakan cara yang paling umum dalam fragmentasi habitat.

Fragmentasi habitat merupakan satu aspek dari tahapan proses

yang secara spasial dan temporal mengubah habitat dan lanskap yang

diakibatkan oleh sebab-sebab alami maupun antropogenik (Forman 1995).

Tetapi, perubahan habitat tidak dapat dihindari karena tidak ada habitat

atau lanskap yang tetap (Forman 1995). Lanskap berubah melalui lima

proses spasial dengan berbagai derajat overlap sepanjang periode

perubahan lahan (Forman 1995), dan fragmentasi hanyalah satu outcome.

Proses ini dapat diakibatkan oleh penyebab alami dan antropogenik.

Perforasi (Perforation) merupakan proses membuat lubang di dalam

habitat. Pemotongan (Dissection) adalah pemotongan atau pembagian area

menjadi habitat berbeda dengan lebar yang relatif sama. Fragmentasi

(Fragmentation) adalah pemecahan habitat menjadi potongan-potongan

yang lebih kecil. Penyusutan (Shrinkage) terjadi seiring potongan habitat

berlanjut dengan penurunan luas. Erosi habitat (Attrition) adalah proses

dimana kantong habitat yang tersisa berangsur hilang karena degradasi

habitat atau suksesi.

Fragmentasi dimulai dengan dissection ketika jalan, jaringan

transmisi, sungai dan fitur linear lainnya menjadi penghalang pergerakan.

Kemudian diikuti perforation ketika muncul kantong-kantong habitat

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

13

(habitat patches) kecil yang dibuat oleh manusia atau sebab alami dan efek

tepi menjadi nyata. Fragmentasi merupakan tahap ketiga yang terjadi

ketika kantong habitat yang lebih kecil meningkat frekuensinya dan

berkurang luasnya sampai pada tingkat di mana habitat yang terfragmentasi

mulai mendominasi lanskap. Attrition merupakan tahap akhir dimana lahan

alami atau habitat asli tersisa sebagai kantong yang kecil dan terisolasi di

tengah-tengah lanskap yang sekarang didominasi oleh suatu mosaik habitat

yang telah berubah dan terfragmentasi. Proses fragmentasi membuat

habitat menjadi tidak sesuai atau memiliki kesesuaian rendah bersamaan

dengan berkurangnya kualitas habitat satwaliar. Sebaliknya, jika proses

gangguan mengubah mosaik habitat tetapi tidak ada perubahan kualitas

habitat berarti tidak terjadi fragmentasi, atau habitatnya berubah tetapi

tidak terfragmentasi (Hunter 1997)

III. PENGARUH FRAGMENTASI

Ada empat cara primer fragmentasi hutan dapat mempengaruhi

keanekaragaman hayati, yaitu: (1) keterwakilan (sample effect); (2) luas

area (area effect); (3) isolasi (isolation effect) dan (4) pengaruh tepi (edge

effect) (Gambar 1). Masing-masing pada gilirannya akan berpengaruh pada

sebaran populasi, komunitas dan proses ekosistem (Kupfer et al. 2004).

Gambar 1. Model konseptual pengaruh fragmentasi (Kupfer et al. 2004).

PRAGMENTASI HUTAN

14

Mekanisme dan proses fragmentasi menghasilkan tiga tipe

pengaruh: (1) ukuran patch; (2) pengaruh tepi (edge effect); dan (3)

pengaruh isolasi (Fahrig, 2003). Ahli satwa harus memperhatikan semua

karena ketiganya terjadi pada fragmentasi habitat dan masing-masing

memerlukan penanganan yang berbeda (Franklin et al. 2002; Fahrig 2003).

Fragmentasi habitat dapat dipandang dari segi positif dan negatif.

Pengaruh positifnya adalah meningkatkan keragaman habitat, menciptakan

penjajaran habitat yang bermanfaat, dan meningkatkan edge yang disukai

spesies satwaliar generalis. Fragmentasi memberikan pengaruh negatif

ketika: (1) ada habitat yang hilang; (2) terbentuk kantong habitat lebih

kecil yang mendorong pada kepunahan lokal dan isolasi; (3) habitat-habitat

tidak lagi bersambungan, khususnya jika fragmentasi disebabkan oleh

aktifitas non kehutanan; dan (4) jumlah edge meningkat sehingga

fragmentasi habitat merugikan spesies interior (Barnes 2000).

IV. MENGUKUR FRAGMENTASI

Mengukur fragmentasi sangat menarik, ada banyak ukuran yang

dapat digunakan untuk mengkuantifikasikan fragmentasi habitat. Sebagai

contoh dalam program FRAGSTATS tersedia 100 matrix fragmentasi habitat

(McGarigal and Marks 1995), tetapi hanya sedikit kesepakatan matrik mana

yang paling sesuai dan bisa diterjemahkan ke dalam tindakan manajemen

konservasi (Garrison 2005).

Indeks-indeks struktur lanskap seringkali digunakan untuk

mengkuantifikasikan fragmentasi habitat. Indeks-indeks telah

dikembangkan untuk mengukur tiga aspek struktur lanskap: (1) komposisi

lanskap; (2) konfigurasi lanskap; dan (3) bentuk patch di dalam lanskap.

Komposisi menunjukkan jumlah dari tipe penutupan (cover) yang berbeda

yang ditemukan dalam lanskap. Konfigurasi menunjukkan bagaimana patch

dari tipe cover yang sama atau berbeda tersusun di dalam lanskap dan

hubungannya satu sama lain. Lanskap dengan komposisi sama dapat

memiliki konfigurasi yang berbeda, sehingga diperlukan beberapa indeks

aspek untuk menggambarkan suatu lanskap. Harus dicatat bahwa beberapa

indeks tidak sesuai benar untuk ketiga kategori tersebut.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

15

Program Patch Anlayst yang kompatibel dengan ArcView 3.x cukup

handal untuk menghitung statistik fragmentasi, karena merupakan

modifikasi dari program Fragstats dan dapat digunakan untuk menghitung

statistik spasial, baik file poligon (seperti shape files) dan file raster

(seperti Arc grids) (Elkie et al., 1999). Penjelasan dan contoh aplikasi

program Patch Analyst dibahas secara terpisah pada Bab 11.

DAFTAR PUSTAKA

Barnes, T.G. 2000. Landscape Ecology and Ecosystems Management. Cooperative Extension Services, University of Kentucky, College of Agriculture. UK. http://www.ca.uky.edu. Diakses Tangal 24 Februari 2007.

Elkie, P.C., R.S. Rempel and A.P. Carr. 1999. Patch Analyst User’s Manual. Ontario Ministry of Natureal Resources, Northwest Science & Technology. Thunder Bay. Ontario.

Fahrig, L. 2003. Effects of habitat fragmentation on biodiversity. Annual Reviews of Ecology and Systematics 34:487–515.

Forman, R. T. T. 1995. Some general principles of landscape and regional ecology. Landscape Ecology 10:133–142.

Franklin, A.B., B.R. Noon, and T. L.George. 2002. What Is Habitat Fragmentation? Studies in Avian Biology No. 25:20-29. http://www. humboldt. edu/-tlg2/publications/whatis habitat20fragmentation.Pdf. Diakses Tanggal 11 Mei 2007.

Garrison, B.A. 2005. Fragmentation of Terrestrial Habitat : An Overview for Wildlife Biologists. Trans.W.Sect.Wildl. Soc. 41:2005.

Haila, Y. 2002. A conceptual genealogy of fragmentation research: from island biogeography to landscape ecology. Ecological Applications 12:321–334.

http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/what_habitat.asp. Diakses Tanggal 1 Mei 2007.

Hunter, M. L., JR. 1997. The biological landscape. Pages 57–67 in K. A. Kohm and J. Franklin (eds). Creating a Forestry for the 21st Century. Island Press. Washington, D.C.

Kupfer, J.A., G.P. Malanson and S.B. Franklin. 2004. Identifying the Biodiversity Research Needs Related to Forest Fragmentation. A report prepared for the National Commission on Science for Sustainable Forestry (NCSSF) and funded by the National Council for Science and the Environment (NCSE).

McGarigal, K., and B. J. Marks. 1995. Fragstats: spatial pattern analysis program for quantifying landscape structure. USDA For. Serv. Gen. Tech. Rep. PNW-351. http://www. innovativegis.com/basis/Supplements/BM_Aug_99/FRAG_expt.htm. Diakses Tanggal 12 April 2006.

PRAGMENTASI HUTAN

16

3

TEORI BIOGEOGRAFI PULAU vs FRAGMENTASI HUTAN

PENDAHULUAN

TIPE-TIPE PULAU

HUBUNGAN SPESIES-AREA

KEPUNAHAN LOKAL DAN PERUBAHAN KOMUNITAS

EFEK ISOLASI

PERBEDAAN ANTARA BIOGEOGRAFI PULAU SEJATI DENGAN PULAU HABITAT

DAFTAR PUSTAKA

I. PENDAHULUAN

Teori Biogeografi pulau pertama dikemukakan oleh Mac Arthur dan

Wilson (1967). Dalam teorinya mereka memprediksi jumlah spesies yang

mungkin akan bertahan pada suatu pulau yang baru ter bentuk. Dalam

biogeografi pulau dipelajari dan dijelaskan faktor-faktor yang

mempengaruhi keragaman spesies dari sauatu komunitas tertentu. Dalam

konteks ini, “pulau” dapat berupa areal habitat yang dikeli lingi oleh areal

lain yang tidak sesuai untuk spesies dalam “pulau” tersebut; bukan hanya

pulau sesungguhnya yang dikeli lingi lautan, tetapi juga gunung yang

dikeli lingi oleh gurun pasir, danau yang dikelilingi daratan, dan fragment

hutan yang dikeli lingi oleh lanskap yang terganggu oleh manusia.

Model biogeografi pulau adalah suatu model kaidah umum mengenai

penyebaran keanekaragaman hayati yang menjelaskan hubungan antara

luas areal dan jumlah spesies (species-area relationship). Pulau-pulau yang

luas memiliki jumlah spesies yang lebih banyak dari pada pulau-pulau kecil.

Hal ini karena pulau-pulau yang lebih luas biasanya memiliki tipe habitat

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

17

dan komunitas yang lebih banyak, menyediakan kemungkinan isolasi

geografis dan jumlah populasi yang lebih banyak untuk setiap spesies

sehingga memperbesar kemungkinan spesiasi dan memperkecil

kemungkinan kepunahan dari spesies yang baru terbentuk atau dari spesies

yang baru datang (Primack et al. 1998). Model biogeografi pulau

memperkirakan jika 50% dari wilayah pu lau rusak, sekitar 10% spesies yang

hidup di pulau tersebut akan punah. Apabila spesies ini endemik di wilayah

tersebut, maka spesies akan punah. Apabila 90% dari habitat rusak, pulau

akan kehilangan 50% spesiesnya, dan jika 99% habitatnya hilang, maka 75%

spesies alami akan hilang (Primack et al. 1998).

Biogeografi pulau dapat diaplikasikan pada fragmentasi lanskap

sebagai model bagaimana “pulau-pulau” habitat kecil dapat berpengaruh

buruk pada keragaman hayati habitat as linya (Harris 1984). Teori ini sangat

penting dalam mendisain kawasan konservasi karena memberikan panduan

kuantitatif tentang luas kawasan dan kesinambungan antara kawasan

konservasi yang bertetangga, berdasarkan karakteristik ekologi di wilayah

tersebut (Diamond 1975).

Menurut teori biogeografi pulau (Mac Arthur & Wilson 1967),

kekayaan spesies suatu pulau bergantung pada:

Isolasi pulau, karena isolasi mempengaruhi laju kolonisasi. Pulau yang

terisolasi atau jauh, memiliki spesies yang lebih sedikit dari pada pulau

yang dekat dengan sumber spesies yang mengkolonisasi. Pulau yang

lebih jauh, lebih sedikit didatangi pengkoloni dibandingkan pulau yang

lebih dekat. Jika ada pulau-pulau di antara sumber kolonisasi (daratan

utama) dengan pulau, maka dapat berperan sebagai batu loncatan

(stepping stones) dan dapat meningkatkan laju kolonisasi pulau yang

jauh. Jika ada dua pulau dengan jarak yang sama dari sumber

kolonisasi, maka pulau yang lebih besar akan memiliki laju kolonisasi

yang lebih tinggi karena adanya Target Effect (The bigger targets are

easier to hit).

Luas pulau, karena luas pulau mempengaruhi laju kepunahan. Pulau

yang besar memiliki jumlah spesies yang lebih banyak dibandingkan

pulau yang kecil. Pulau kecil memiliki ukuran populasi yang lebih kecil,

PRAGMENTASI HUTAN

18

lebih sedikit refugia (area untuk mengungsi) dan memiliki laju

kepunahan lebih tinggi.

Dinamika kolonisasi dan kepunahan, kolonisasi menggantikan spesies

yang punah (species turnover).

Kekayaan spesies mencerminkan suatu keseimbangan (equilibrium)

antara kolonisasi dan kepunahan.

II. TIPE-TIPE PULAU

Pulau adalah daratan yang dikeli lingi air. Kondisi fisik pulau

biasanya sempit, tipe habitatnya sedikit, sedangkan pengaruh laut sangat

besar. Pulau digunakan oleh para ahli ilmu pengetahuan alam sebagai

laboratorium lapangan untuk menelaah masalah biogeografi. Darwin dan

Wallace membedakan antara pulau benua (continental island) dan pulau

laut (oceanic island) (Haris 1984). Pulau laut adalah pulau yang belum

pernah berhubungan dengan daratan lainnya (misalnya : P. Nias, P.

Bawean, P. Natuna, P. Belitung, P. Sumba dan P. Aru). Pulau Benua adalah

pulau yang pada masa lampau mempunyai hubungan dengan darata n atau

benua lainnnya karena turunnya permukaan laut (misalnya : Pulau Sumatra,

P. Jawa, P. Kalimantan, P. Papua, P. Simeulue, P. Enggano, P. Buru, P. Kai

dan P. Tanimbar) (Primack et al. 1998).

Ahli lain membagi pulau menjadi tiga tipe yaitu (Ripley 1985):

1. Pulau benua (continental island) yang dulunya merupakan bagian

daratan benua tetapi sekarang terpisah dari daratan induknya, ciri -ciri

kehidupan serupa dengan benua/daratan utamanya dan dekat dengan

benua.

2. Pulau gunung berapi (volcanic island) yang berasal dari gunung berapi

dan tidak terbentuk sebagai bagian benua. Pulau-pulau gunung berapi

berada di dekat pulau-pulau besar membentuk busur pulau gunung

berapi di laut. Pulau-pulau gunung berapi di bagian sisi yang

menghadap benua biasanya dikeli lingi perairan dangkal sedangkan di

tepi luarnya selalu mempunyai tebing yang terjal yang turun ke bagian

laut paling dalam.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

19

3. Pulau samudera (oceanic island) sejati yang terbentuk dari proses

geologi. Biasanya berukuran kecil dan seringkali letaknya jauh dari

daratan utama. Pulau ini dapat berbentuk pulau tunggal atau

membentuk kepulauan kecil. Suksesi yang terjadi di pulau ini adalah

suksesi primer

Disamping ketiga tipe pulau tersebut juga ada tipe pulau lain yaitu

(Whitten et al., 1988):

1. Pulau atol. Pulau atol terbentuk dari binatang karang yang telah mati,

berukuran kecil, biasanya berbentuk cincin dan banyak terdapat di

Lautan Pasifik (Contoh : Pulau Takabonerate dan Tukang Besi).

2. Pulau purba (ancient island). Pulau purba telah terpisah dari daratan

utama sejak lama sekali (lebih dari 100 juta tahun) oleh karenanya

memiliki tingkat endemisme tinggi (misalnya P. Madagaskar dan

Kepulauan Selandia Baru).

Pulau-pulau benua memperoleh keanekaragaman hayatinya ketika

pulau-pulau tersebut berhubungan dengan benua. Selanjutnya pulau-pulau

ini memperoleh tambahan dari hasil migrasi hewan/tumbuhan (Primack et

al. 1998). Pulau laut asal mulanya merupakan substrat kosong, komunitas

hewan berkembang dari kolonisasi awal yang kemudian berkembang

semakin kaya dan kompleks (Haris 1984). Dengan perkataan lain, pulau-

pulau laut hanya dapat memperoleh keanekaragaman hayatinya dari

kemampuan migrasi hewan dan tumbuhan yang berasal dari tempat-tempat

lain (Primack et al. 1998). Laju imigasi dan kolonisasi serta faktor-faktor

lingkungan laut sangat mempengaruhi karakteristik biota pulau-pulau laut,

setidakya pada tingkat hunian awalnya (Haris 1984).

III. HUBUNGAN SPESIES-AREA

Menurut teori biogeografi, jumlah spesies (jumlah equilibrium)

yang terdapat di suatu pulau ditentukan oleh dua faktor, yaitu jarak dari

daratan utama dan ukuran pulau. Keduanya akan mempengaruhi laju

kepunahan di pulau dan tingkat imigrasi. Pulau-pulau yang dekat dengan

daratan utama kemungkinan menerima imigran dari daratan utama lebih

besar dari pada pulau-pulau yang jauh dari daratan utama. Pada pulau-

PRAGMENTASI HUTAN

20

pulau yang lebih kecil peluang kepunahan lebih besar dari pada pulau-pulau

besar. Pulau-pulau besar memiliki jumlah spesies lebih banyak dari pada

pulau-pulau kecil (Mac Arhtur & Wilson 1967).

Kekayaan spesies suatu pulau juga tergantung pada: (1) isolasi,

karena isolasi mempengaruhi laju kolonisasi dan (2) ukuran pulau karena

ukuran pulau mempengaruhi laju kepunahan. Kolonisasi dan kepunahan

adalah dinamis, kolonisasi menggantikan spesies yang punah, atau disebut

turn over. Kekayaan spesies suatu pulau menunjukkan keseimbangan

(equilibrium) antara kecepatan kolonisasi dan kecepatan kepunahan (Mac

Arhtur & Wilson 1967).

Hubungan antara jumlah spesies dan luas pulau digambarkan

dengan rumus sebagai berikut (Mac Arhtur & Wilson 1967):

Dimana S = jumlah spesies, A = luas pulau, z dan c adalah konstanta yang

diperlukan untuk menyesuaikan data luas (dalam m2, km2, dll) dengan

jumlah spesies. Hubungan ini dapat dibuat linier dengan menggunakan log

sehingga rumusnya menjadi (Mac Arhtur & Wilson 1967):

Log S = Log c + z log A

Laju kolonisasi lebih tinggi pada pulau yang dekat dengan daratan

utama karena lebih banyak spesies yang dapat menyeberang laut yang

relatif dekat. Laju kepunahan lebih besar pada pulau yang lebih kecil

karena populasi-populasi berukuran lebih kecil dan kemungkinan terkena

penyakit dan kejadian merugikan lainnya yang dapat menghabiskan populasi

atau menurunkannya sampai tingkat yang tidak viable. Hubungan ini

merupakan prinsip dasar teori biogeografi pulau seperti dtunjukkan pada

Gambar 2.

Hubungan antara ukuran pulau dan jumlah jenis relatif konstan

untuk kelompok-kelompok hewan atau tumbuhan. Secara umum

berkurangnya sepuluh kali ukuran pulau mengurangi setengah jumlah jenis.

Jika suatu pulau mendukung lebih sedikit jenis dari yang diharapkan sampai

di bawah garis (Gambar 2), mungkin disebabkan oleh (Whitten et al. 1988):

1. Kelompok tersebut belum diketahui dengan baik.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

21

2. Keseimbangan jumlah jenis belum tercapai.

3. Pulau terdiri atas jumlah habitat yang relatif terbatas atau habitat

tidak mendukung jumlah jenis yang banyak.

4. Pulau sangat jauh dan sulit dikolonisasi.

Jika suatu pulau mendukung lebih banyak jenis dari pada yang

diharapkan sampai di atas garis (Gambar 2), mungkin disebabkan oleh

(Whitten et al. 1988):

1. Jumlah melebihi keseimbangan, namun beberapa jenis pada waktunya

nanti akan hilang.

2. Pulau sangat kaya akan tipe-tipe habitat.

3. Pulau merupakan pusat penyebaran jenis kelompok tertentu.

Gambar 2. Jumlah jenis relatif pada (a) pulau-pulau kecil, dekat, (b)

pulau-pulau besar, jauh atau kecil, dekat, dan (c) pulau-pulau besar, dekat (Mac Arthur and Wilson 1967).

Laju Imigrasi Laju Kepunahan

Jumlah spesies pada sebuah pulau

Jauh

Dekat

Kecil

Besar

a b c

PRAGMENTASI HUTAN

22

Sebagai contoh, untuk total jenis, Sulawesi berada di bawah garis

dari jumlah yang seharusnya untuk hewan dan tumbuhan, tetapi berada di

atas garis untuk mamalia, hal ini mungkin disebabkan oleh sebaran jenis-

jenis tikus yang luar biasa dan juga ular. Sulawesi juga berada di atas garis

untuk jenis endemik, hal ini disebabkan oleh sejarah geologinya (Whitten et

al. 1988).

Pengaruh ukuran pulau pada tingkat endemisitas juga sangat tinggi.

Pulau-pulau besar mempunyai jumlah spesies dengan tingkat endemisitas

yang jauh lebih tinggi, tetapi korelasinya tidak begitu tampak dengan

kekayaan spesies. Spesies endemik berkorelasi negatif dengan kekayaan

spesies dan berkorelasi positif dengan tingkat isolasi. Disamping itu juga

ada perbedaan antara tumbuhan dan hewan dalam tingkat endemisitas.

Tingginya jumlah hewan endemik tidak selalu diikuti oleh tingginya

tumbuhan endemik, tetapi seringkali tingginya tumbuhan endemik diikuti

oleh tingginya hewan endemik (Primack et al. 1998).

Tumbuhan endemik lebih terpengaruh oleh ukuran pulau dari pada

isolasi geografik. Sebaliknya endemisitas burung sangat bergantung pada

isolasi geografik. Pulau-pulau yang jauh dan kecil dapat mempunyai tingkat

endemisitas burung yang tinggi, tetapi tingkat endemisitas tumbuhannya

dapat rendah (Primack et al. 1998).

IV. KEPUNAHAN LOKAL DAN PERUBAHAN KOMUNITAS

Istilah pulau bisa diartikan mulai dari sebuah pulau kecil, pulau

karang (atol) terpencil yang dikeli lingi laut sampai pada kawasan hutan

yang ditetapkan secara hukum. Suatu komunitas alami yang ada sebagai

sebuah pusat dari suatu habitat regional yang lebih besar akan berisi banyak

spesies langka yang tergantung pada sistem yang lebih besar untuk

eksistensinya. Seiring dengan cepatnya perubahan penggunaan lahan di

sekitarnya, maka akan tercipta suatu kantong pulau habitat (habitat patch)

yang terisolasi. Seiring dengan pulau habitat yang semakin terisolasi

dengan cepat dari vegetasi di sekitarnya yang serupa, spesies langka dengan

cepat akan hilang.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

23

Kepunahan mengurangi satwa di setiap pulau habitat sehingga

memainkan peran penting dalam menentukan komposisi spesies. Tidak

adanya kompensasi kolonisasi, proses tersebut menghasilkan kemiringan

(slope) yang lebih tajam pada kurva species-area. Dengan demikian

perbedaan nilai kemiringan antara pulau-pulau samudera dan pulau-pulau

benua dapat dijelaskan oleh ketidakseimbangan relatif dari proses

kepunahan dan kolonisasi (Harris 1984).

Picton (1979) dalam Harris (1984) menganalisis perubahan populasi

10 spesies mamalia besar pada 24 wilayah pegunungan kontinental yang

semi terisolasi di Rocky Mountains bagian utara. Luas arealnya bervariasi

dari 11 – 4.480 mil persegi (29 – 11.600 km2). Persentasi spesies asli yang

telah hilang selama periode pembagunan pemukiman, pertanian dan

peternakan ranch, perburuan subsisten, pembalakan dan penambangan

berbanding terbalik dengan ukuran luas areal. Sementara areal yang lebih

kecil kehilangan lebih dari 50% spesies aslinya, areal yang lebih besar

kehilangan sekitar 4% dari spesies yang pernah ada (Picton 1979 dalam

Harris 1984). Dengan perkataan lain, faktor-faktor yang meningkatkan

perbedaan antara kepunahan dan kolonisasi menyebabkan kemiringan

hubungan spesies-area meningkat seperti ni lai yang ditunjukkan oleh pulau-

pulau sebenarnya.

Kepunahan lokal atau hilangnya spesies dari taman nasional, cagar

alam dan pulau-pulau habitat mempengaruhi kelompok spesies tertentu

lebih dari lainnya. Secara umum, spesies yang paling rawan untuk hilang

ditunjukkan oleh populasi yang kecil. Populasi kecil dapat dihasilkan oleh

keterbatasan sumberdaya spasial dan temporal (seperti habitat yang sangat

spesialis atau sumberdaya pakan), eksploitasi berlebih atau areal yang

relatif lebih kecil dari pada daerah jelajah spesies tersebut. Spesies yang

sangat spesialis, yang menunjukkan jumlah terbesar dari kelas makanannya

(seperti raptor, karnivora darat, pemakan serangga di batang pohon) dan

yang berada pada tropic level yang lebih tinggi biasanya yang pertama

mengalami kepunahan. Walaupun spesies dengan jelajah luas memiliki

potensi kolonisasi yang lebih tinggi, laju kepunahan lokalnya lebih tinggi

dari rata-rata untuk semua spesies dalam komunitas (Harris 1984).

PRAGMENTASI HUTAN

24

Untuk berbagai alasan, fenomena yang digambarkan di atas sangat

penting untuk mamalia. Beruang grizzly, srigala abu-abu, dan fisher telah

hilang dari Oregon Barat dan wolverine (sejenis anjing hutan) dan Lynx

menjadi sangat jarang. Semua jenis tersebut adalah karnivora puncak.

Olterman & Verts (1982) dalam Harris (1984) meninjau status 41 spesies

mamalia di Oregon. Tujuh dari 8 spesies (88%) yang pernah ada di fragment

bagian barat dan dinyatakan ”punah”, ”jarang” atau ”terancam punah

(endangered)” adalah karnivora. Sebaliknya, lima dari delapan spesies

(62%) dalam kategori ”tidak jarang atau tidak endagered” adalah herbivora.

Picton (1979) dalam Harris (1984) membatasi analisisnya untuk wialyah

Rocky Mountains pada herbivora besar karena karnivora sudah sangat serius

menurun sehingga analisisnya tidak dapat dijamin. Di Great Basin, spesies

herbivora dengan kebutuhan habitat yang umum (generalis) dan berukuran

tubuh kecil sampai sedang masih bertahan pada sebagian besar pulau

habitat, herbivora dengan ukuran tubuh besar dan/atau memerlukan

habitat khusus (spesialis) serta karnivora memiliki laju kepunahan yang

lebih tinggi dan hanya bertahan di sedikit areal dari 19 pulau habitat

(Brown 1978 dalam Harris 1984).

V. EFEK ISOLASI

Baik komunitas tropika maupun temperate sama-sama menghadapi

masalah inbreeding dan hilangnya keragaman genetik yang disebabkan oleh

sub populasi tumbuhan dan satwa yang terisolasi satu sama lain akibat

fragmentasi. Jika jarak yang memisahkan antara dua fragment terlalu

besar dan suatu spesies tidak dapat menyeberanginya, populasi di kedua

fragment tersebut benar-benar terpisahkan. Inbreeding biasa terjadi jika

sub populasi di fragment tersebut kecil. Walaupun hal ini belum ada

catatannya tetapi potensial terjadi (Harvey and Lyles 1986).

Hilangnya keragaman genetik dapat terjadi bahkan tanpa

inbreeding, dan homozigositas yang dihasilkan dalam gen-gen tertentu

dapat membawa suatu spesies pada kepunahan secara perlahan

(evolusioner) (Soule 1986). Untuk meningkatkan pertukaran antar

fragment, banyak pengelola satwa memanfaatkan koridor yang

menghubungkan dua atau lebih pulau habitat. Koridor meningkatkan

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

25

kekayaan spesies burung-burung yang sedang berkembangbiak (MacClintock

et al. 1977) dan meningkatkan mobilitas satwa penyebar biji (Haris 1984).

Koridor mungkin bisa menghambat hilangnya keragaman genetik dan

memungkinkan penyebaran spesies antar fragment, tetapi pengurangan

ekosistem alami ke dalam fragment-fragment terus saja terjadi. Penurunan

luas ekosistem alami ini hanya dapat merugikan spesies yang bergantung

padanya untuk bertahan hidup.

Salah satu prinsip biogeografi yang telah lama dianut adalah

pentingnya isolasi dalam menentukan karakteristik komunitas biotik.

Walaupun jarak dianggap sebagai ukuran utama dari isolasi, tetapi

konsepnya jauh lebih kompleks. Mungkin ukuran jarak absolut lebih mudah

dipahami oleh pengelola, tetapi kenyataannya tidak selalu demikian karena

yang dihadapi oleh spesies-spesies tumbuhan dan satwa berbeda. Ada

ribuan perbedaan antara jarak tempuh normal rutin bulanan antara

mamalia kecil seperti mole (sejenis tikus mondok) dan beruang grizzly atau

srigala. Dengan demikian jarak 0,6 mil bisa 75 kali radius jelajah seekor

tikus mondok, tetapi hanya 1% dari radius jelajah seekor coughar (Harris

1984).

Alasan kedua mengapa ukuran jarak absolut tidak begitu menjadi

perhatian, karena perilaku menetap (sedentary) versus berpindah-pindah

(migratory) setiap spesies berbeda. Suatu spesies migratory dengan

anggota yang menjelajahi ribuan kilometer secara musiman memiliki

peluang lebih tinggi untuk mengkolonisasi pulau terisolasi dalam jarak

tempuhnya dari pada penghuni yang memiliki sifat menetap. Untuk spesies

seperti pika, jarak 1.000 feet (300 m) antara singkapan talus merupakan

rintangan yang sulit dan sangat tidak mungkin menyebar dengan jarak lebih

dari beberapa kilometer dari lingkungannya (Smith 1974 dalam Harris

1984).

Pertimbangan ketiga adalah spesialisasi habitat dan toleransi

terhadap variasi klimatik, edafik dan perubahan (gradient) vegetasi.

Spesies tertentu (misalnya beruang hitam) menjelajah seluruh wilayah

ketinggian, seluruh gradient kelembaban dan seluruh tahapan suksesi

vegetasi. Spesies lain seperti red tree vole (sejenis tikus kecil) mungkin

menghadapi rintangan besar yang tak terlihat (Grinnell 1941b dalam Harris

PRAGMENTASI HUTAN

26

1984), hanya ada di tajuk beberapa spesies konifer (kecuali dalam situasi

tidak umum), dan hanya terbatas di Oregon bagian barat dan California

Barat Laut. Dengan demikian tebang habis yang luas dan hutan sekunder,

bagi spesies tertentu bisa tidak berpengaruh tetapi bisa mengisolasi secara

total bagi spesies lainnya (Harris 1984).

Derajat isolasi harus dilihat sebagai suatu kontinum bagi spesies

secara spesifik dan harus dilihat dari aspek biologi spesies tersebut dan

kondisi lingkungannya. Findley & Anderson (1956) dalam Harris (1984)

menyatakan bahwa spesies arboreal seperti tupai dan spesies lain seperti

marten dan fisher yang sangat tergantung pada habitat hutan, akan sangat

terbatasi oleh sungai besar dan ngarai. Mereka juga menyatakan bahwa

penyebaran spesies mamalia di Colorado Rockies merupakan kebalikan dari

ketergantungannya pada hutan. Keberadaan hutan riparian yang dapat

digunakan sebagai koridor penyebaran sangat penting bagi penyebaran

banyak spesies (Findley & Anderson 1956 dalam Harris 1984).

Pengaruh tidak langsung tambahan dari isolasi adalah sangat

penting bagi satwa, karena sebaran tumbuhan di habitat terisolasi juga

masalah bagi sebaran satwa. Isolasi mungkin memiliki pengaruh

mengurangi keragaman sumberdaya tumbuhan dan kualitas habitat

(Johnson 1975 dalam Harris 1984). Dengan demikian meskipun suatu

spesies satwa dapat mencapai suatu pulau habitat, habitat tersebut

mungkin tidak cukup beragam dan kompleks untuk mendukung spesies

tersebut. Johnson (1975) dalam Harris (1984) menyimpulkan bahwa

pemiskinan spesies burung dan kerapatan yang lebih rendah spesies di

Pegunungan Great Basin diakibatkan oleh pemiskinan tumbuhan dan

serangga yang merupakan makanan dan habitatnya.

Pengaruh gabungan dari semua faktor tampaknya bekerja secara

signifikan pada amfibia dan reptilia, diikuti oleh mamalia, burung penghuni

tetap dan burung migran. Dengan kata lain, burung secara proporsional

lebih melimpah di komunitas terisolasi seperti Mary’s Peak dan Steens

Mountains dari pada rata-rata di habitat terfragmentasi lainnya. Isolasi

juga kurang penting untuk menentukan di tipe habitat apa burung berada di

pulau-pulau habitat pegunungan tetapi penting untuk menentukan

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

27

keberadaan mamalia (Brown 1978 dalam Harris 1984). Secara grafis, efek

isolasi diperlihatkan pada Gambar 3.

VI. PERBEDAAN ANTARA BIOGEOGRAFI PULAU SEJATI DENGAN PULAU HABITAT

Disamping kemiripan antara biogeografi pulau samudera sejati

dengan pulau-pulau habitat (habitat islands) dan pegunungan, terdapat

beberapa perbedaan yang harus dijelaskan (Wilcox 1980 dalam Harris

1984). Pulau-pulau sejati dikeli lingi oleh media yang bisa berfungsi sebagai

agen penyebaran tetapi tidak akan cukup sebagai habitat spesies daratan.

Puncak pegunungan Mesic dikelilingi oleh lingkungan yang sangat ekstrim

perbedaannya seperti gurun pasir bisa menjadi analogi baik sebagai

perbandingan. Tebang habis secara total di sekeli ling suatu pulau tua juga

berbeda dari habitat tua yang tidak sesuai bagi penghuni yang lama tinggal

disana. Hal ini digunakan untuk membenarkan analogi, tetapi analogi ini

tidak memiliki konsistensi kuat (Harris 1984).

Gambar 3. Mekanisme bekerjanya pengaruh isolasi.

Perbedaan kedua antara pulau-pulau sejati dan pulau-pulau tua

masa mendatang bisa memiliki konsekuensi yang lebih berat. Pulau-pulau

PRAGMENTASI HUTAN

28

sehati selalu dianggap dekat dengan benua yang berperan sebagai sumber

imigran. Benua secara implisit berisi sejumlah besar dan pemasok jenis-

jenis potensial yang tak pernah habis menjadi pengkoloni. Imigrasi dan

kolonisasi dari sumber spesies selalu mungkin. Tetapi, beberapa dekade

mendatang ketika hutan terdiri dari tanaman monokultur rotasi pendek dan

ketika banyak spesies terbatasi hanya di cagar alam yang terpisah jauh,

maka tidak ada “benua” sumber spesies yang dapat mengkoloni. Sama

halnya, tidak akan ada benua sumber spesies untuk memperkaya pulau-

pulau tua. Seperti halnya Burgess & Sharpe (1981) dalam Harris (1984) yang

menganggap pulau-pulau tua akan terjadi di sebuah lautan tanpa “benua”

di Amerika Serikat Bagian Timur. Pulau-pulau tersebut menggambarkan

kantong-kantong habitat yang harus berperan sebagai satu-satunya sumber

spesies. Tidak akan ada lagi cadangan spesies yang dapat menjadi sumber

imigrasi (Harris 1984).

DAFTAR PUSTAKA

Amos, W.H. 1980. Wildlife of Islands. H.arry N. Abrams, Incorporated. New York.

Brown, J.H. and M.V. Lomolino. 1998. Biogeography. Sinauer Associates,

Inc. Sunderland, Massachusetts.

Diamond, J.M. 1975. The Island Dillema : Lessons of Modern Biogeograpgic

Studies for the Design of Natural Reserves. Biological Conservation 7:129-146.

Haris, L.D. 1984. The Fragmented Forest : Island Biogeography Theory and the Preservation of Biotic Diversity. The University of Chicago

Press. Chicago.

Harvey, P.H. and A.M. Lyles. 1986. Inbreeding in natural populatio n of

birds and mammals. In M.E. Soule (ed). Conservation Biology : The Science of Scarcity and Diversity. Sinauer Assoc. Inc., Sunderland,

M.A.

http://learning.turner.com/efts/rforest/habfrag.htm. Eco-Link Habitat

Fragmnentation. Diakses Tanggal 17-10-2006.

http://www.abdn.ac.uk/zoohons/lecture4/sld017.htm. Diakses Tanggal 6-

11-2007.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

29

Mac Arthur, R.H. and E.O. Wilson. 1967. The Theory of Island Biogeography. Princeton University Press. Princeton, New Jersey.

MacClintock, L., R.F. Whitcomb and B.L. Whitcomb. 1977. Island Biogeography and Habitat Island of Eastern Forests. II. Evidence

for the Value of Corridors and Minimization of Isolation in Preservation of Biotic Diversity. American Birds 31: 6-16.

Primack, R.B., J. Supriatna, M. Indrawan dan P. Kramadirata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Ripley, S.D. 1985. Tropical Asia. Time-Life Books Inc. U.S.A.

Whitten, A.J., M. Mustafa dan G.S. Henderson. 1988. The Ecology of

Sulawesi. Gadjahmada University Press. Yogyakarta.

Wikipedia. 2007. Island Biogeography. http://en.wikipedia.org/

wiki/Island_ biogeography. Diakses Tanggal 30-01-2007.

WWF. 1973. The Atlas of World Wildlife. Portland House. Barcelona.

PRAGMENTASI HUTAN

30

4

FRAGMENTASI HABITAT DIPANDANG DALAM SKALA LANSKAP

DINAMIKA PATCH

DESKRIPSI POLA PATCH

PENGARUH UKURAN PATCH

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR LAIN

DAFTAR PUSTAKA

I. DINAMIKA PATCH

Kejadian (occurance) dan distribusi patch-patch dalam suatu

lanskap adalah tidak statis. Mereka terus berubah sepanjang waktu

dibawah kekuatan sistematis seperti suksesi dan erosi serta di bawah

kekuatan bencana alam seperti badai dan gangguan jangka pendek oleh

manusia. Gangguan bencana alam umumnya menciptakan patch-patch

dengan suksesi awal di dalam suatu lanskap dan mengurangi patch-patch

dengan suksesi lebih tua yang sudah ada. Hal ini merupakan ciri khas

proses dimana hutan yang sudah matang terfragmentasi menjadi blok-blok.

Gangguan bencana alam juga mempengaruhi ukuran patch, biasanya

meningkatkan patch-patch dengan suksesi baru dan mengurangi ukuran

patch-patch dengan suksesi lama. Tetapi beberapa gangguan bisa lebih

berpengaruh di dalam patch itu sendiri dari pada antar patch.

Heterogenitas dalam patch vegetasi dapat meningkat dengan membuka

kanopi, menciptakan pohon tumbang, dan meningkatkan pancaran cahaya

dan panas ke strata kanopi yang lebih rendah dan permukaan tanah.

Gangguan mengubah rejim energi dan aliran hara di dalam lanskap,

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

31

walaupun juga dapat meningkatkan atau menurunkan aliran-aliran tertentu

tergantung pada tipe gangguannya (Morrison et al. 1992).

Shugart (1984) mengusulkan suatu cara untuk mengklasifikasi

gangguan berdasarkan pada hubungan antara luas lanskap dan luas yang

terganggu (Gambar 4). Sistemnya mengkarakterisasi gangguan sebagai

rentang dari pohon kecil tumbang yang mempengaruhi kurang dari 1.000 m2

dalam hutan individual 100 ha sampai kebakaran hutan yang mempengaruhi

lebih dari 100 ha di hutan wisata lebih dari 10.000 ha atau badai yang

mempengaruhi 1.000.000 ha atau lebih dari suatu pulau. Sughart

mengusulkan bahwa kondisi kesetimbangan dalam suatu lanskap yang

sedang terganggu memerlukan sesuatu kurang lebih luas lanskap mendekati

50 kali dari ukuran gangguan. Dengan demikian, suatu kumpulan pohon

kecil dapat menyerap gangguan pohon tumbang, tetapi luas hutan nasional

atau taman nasional diperlukan untuk menyerap kebakaran acak untuk

menjaga kesetimbangan lanskap. Pada lanskap yang tidak dalam

kesetimbangan, dimana gangguan bervariasi ukurannya, mungkin diperlukan

oleh manajer untuk mengubah skala gangguan atau untuk meningkatkan

luas di bawah manajemen dalam rangka memberikan kondisi gangguan

kesetimbangan (Morrison et al. 1992).

Cara lain untuk mengkarakterisasi gangguan adalah dengan derajat

perubahan lingkungan. Empat tipe gangguan umum dapat digambarkan

dalam cara ini (Gambar 5). Gangguan Tipe I adalah bencana lingkungan

seperti gunung meletus, kebakaran luas yang berdampak pada skala

geografis luas. Gangguan Tipe II adalah bersifat lebih lokal dan meliputi

pengaruh topan, serangga dan penyakit. Gangguan Tipe III tersebar luas

tetapi relatif berdampak rendah per unit waktu dan meliputi pengaruh

kronik dan sistematik dari predator dan kompetitor dan perubahan gradual

dalam penggunaan lahan dalam suatu wilayah yang luas. Gangguan Tipe IV

adalah bersifat setempat dan umumnya berdampak rendah dan meliputi

perubahan kecil pada lingkungan yang disebabkan oleh kebakaran lokal dan

pembangunan oleh manusia (Morrison et al. 1992).

Kebanyakan perhatian tentang dampak dari fragmentasi hutan

diturunkan dari pengurangan dan isolasi habitat lokal dari gangguan Tipe I

dan Tipe IV. Tetapi dampak sekunder dari fragmentasi seperti

PRAGMENTASI HUTAN

32

meningkatnya pemangsaan atau spesies kompetitor, terjadi pada skala

sebaran yang lebih luas dan sulit untuk diramalkan dan dimonitor secara

lokal. Sementara, para perencana ingin melacak dampak kumulatif dari

gangguan Tipe IV. Dampak kumulatif ini mungkin bisa menjadi gangguan

Tipe III pada wilayah yang lebih luas. Dampak yang menyebar lebih luas ini

harus dipelajari sebagai bagian dari program monitoring fragmentasi atau

penelitian (Morrison et al. 1992).

Gambar 4. Klasifikasi rejim gangguan berdasarkan pada luas yang

terganggu dan luas lanskap (diadaptasi oleh Shugart, 1984; dari Shugart & West 1981).

Gambar 5. Empat tipe gangguan yang ditunjukkan oleh derajat gangguan dan luas geografis yang dipengaruhinya (Morrison et al. 1992).

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

33

Kondisi lingkungan mencirikan edges dari patch-patch yang tersisa –

sinar matahari langsung dan sering serta fluktuasi temperatur dan

kelembaban yang besar – sering masuk ke suatu patch. Dengan demikian,

ukuran patch yang secara ekologis efektif, dimana sejumlah lingkungan

interior yang sebenarnya adalah lebih kecil dari pada ukuran fisik patch.

Demikian juga bentuk patch dipengaruhi oleh fragmentasi. Gangguan dan

fragmentasi bisa menciptakan edges, islands, rings, peninsulas dan bentuk

patch-patch lainnya yang tidak kondusif bagi spesies interior tetapi

menguntungkan spesies yang menyukai suksesi edges dan spesies suksesi

awal. Pada umumnya, jumlah dan konfigurasi patch-patch dan

perubahannya dari waktu ke waktu bervariasi menurut kondisi gangguan

yang berbeda (Morrison et al. 1992).

Kita juga dapat mengkarakterisasi fragmentasi lingkungan menurut

skala spasial dimana terjadinya serta menurut ukuran dan pola penggunaan

areal oleh spesies satwaliar. Lord dan Norton (1990) memandang

fragmentasi sebagai suatu diskontinuitas gradient lingkungan dan skalanya

bebas. Mereka menyarankan agar sebaran patch-patch dipandang dalam

skala luas, dari struktural sampai geografik (Tabel 1).

Tabel 1. Implikasi dispersi habitat pada skala berbeda untuk berbagai atribut lanskap terfragmentasi.

Atribut Dispersi

Geografik Struktural

Ukuran (m2) Besar > 1000 Kecil < 10

Isolasi Biasanya sedang sampai besar Biasanya kecil

Gradien batas Curam Dangkal

Dampak gangguan ekstrinsik

Terbatas pada edge dan sampai beberapa ratus meter masuk

Menyeluruh

Kerawanan terhadap gangguan fungsional

Sedang sampai kecil Sedang sampai besar

Skala organisme yang dipengaruhi

Generalis besar sampai spesialis sedang

Spesialis sedang sampai spesialis kecil

Manfaat konservasi Biasanya memilki interior yang utuh (intact)

Biasanya lebih besar dari luas total

Sumber: Lord dan Norton (1990).

PRAGMENTASI HUTAN

34

II. DESKRIPSI POLA PATCH

Memahami dampak gangguan dan proses-proses dalam fragmentasi

lingkungan merupakan kunci untuk menggambarkan dan meramalkan pola-

pola patch. Pada skala lanskap dari beberapa sampai lusinan patch,

penggambaran matematis konfigurasi patch, travel corridor ( lintasan

koridor) dan pathway serta struktur edge merupakan alat yang berguna

untuk mengkarakterisasi pola patch pada suatu lanskap (Morrison et al.

1992).

Forman & Gordon (1986) me-review sejumlah cara untuk

menggambarkan pola patch. Hal ini meliputi menggambarkan patch-patch

sebagai matrix dan jaringan (network). Dengan penggambaran tersebut,

matematika network dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana pola

patch tertentu memberikan konektivitas (connectivity) – potensi pergerakan

satwa – antar patch-patch. Forman dan Gordon juga menyarikan dalam

sebuah matrix ada enam ukuran karakteristik patch meliputi: patch shape,

isolation, accessibility, interaction dan dispersion (Morrison et al. 1992).

Patch-patch juga telah dideskripsikan dari perspektif kehadiran

edges dalam suatu lanskap. Kemampuan satwa untuk bergerak melalui

berbagai tipe edge yang disebut porosity atau permeability dari suatu edge.

Dari perspektif ini, beberapa model pergerakan satwa dalam suatu lanskap

berhubungan langsung dengan pola patch-patch sebagaimana

mempengaruhi jalan-jalan lebar (highways) untuk pergerakan, filters dan

barriers. Model demikian berguna untuk menggambarkan kondisi spesifik

spesies dari patch terisolasi dan terkoneksi (Buechner, 1987a,1987b; Stamps

et al. 1987). Buechner (1987b) memodelkan pergerakan satwa melintasi

taman nasional semenanjung dan menyimpulkan bahwa arah dan magnitude

pergerakan dapat dipengaruhi oleh ratio perimeter-area patch, edge

permeability, tingkah laku dan preferensi habitat suatu spesies dan ukuran

relatif menurunnya dispersal dan sumber asal satwa yang berpindah.

Konektivitas patch dan permebilitas edge bervariasi menurut

ukuran tubuh spesies, kekhususan habitat dan luas daerah jelajah (home

range). Patch yang berperan sebagai kesesuaian habitat secara keseluruhan

dalam tipe dan jumlah untuk melestarikan suatu satwa bertubuh kecil

berhabitat spesifik seperti red tree vole (Arborimus longicaudus), suatu

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

35

jenis spesialis pada Douglas fir, juga mungkin berperan, pada banyak skala

lebih luas, hampir sebagai batu loncatan (stepping stone) dalam dispersal

spesies bertubuh lebih besar dan tidak memerlukan habitat spesifik seperti

singa gunung (Felis concolor) (Morrison et al. 1992).

Spesies berbeda merespon lanskap dengan berbeda pula yang

mencerminkan apa yang dimaksud environmental grain size (ukuran

hambatan lingkungan). Satwa dengan perbedaan sumberdaya orientasi,

ukuran tubuh dan luas home range menerima dan menggunakan patch dan

sumberdaya pada skala yang berbeda. Serangkaian patch-patch spesifik

dapat muncul sebagai coarse grained (hambatan berat) bagi spesies dengan

jelajah sempit dan fine grained (hambatan ringan) untuk spesies dengan

jelajah luas. Dengan demikian asesmen apakah suatu konfigurasi patch-

patch tertentu dan derajat fragmentasi menguntungkan atau merugikan

sangat banyak tergantung pada karakteristik spesies dalam menggunakan

lanskap (Morrison et al. 1992).

III. PENGARUH UKURAN PATCH

Ukuran patch atau jumlah tipe lingkungan yang ada dalam suatu

lanskap secara langsung mempengaruhi kolonisasi oleh individu, ketahanan

(persistence) individu dan unit perkembangbiakan (breeding unit) serta

jumlah spesies dalam areal tersebut. Ukuran patch hutan di hutan gugur

sebelah timur telah dihubungkan dengan peluang (propbability) kehadiran

burung penyanyi dan

jenis jenis burung

lainnya (Whitcomb et

al., 1981; lihat

Gambar 6).

Gambar 6. Fungsi insiden dari pelatuk totol besar (Picoides major)

(Dari Moore & Hooper dalam Wilcove et al., 1986).

PRAGMENTASI HUTAN

36

Kurva peluang demikian disebut sebagai fungsi insiden (incidence

function). Fungsi insiden menggambarkan kemiripan spesies yang

ditemukan di dalam suatu patch habitat dari suatu areal tertentu. Fungsi

insiden dapat juga diinterpretasikan sebagai proporsi dari patch dengan

ukuran tertentu mengandung spesies yang ada.

Fungsi insiden juga digunakan untuk menggambarkan jumlah spesies

berbeda yang ada pada suatu areal (island atau patch) dengan ukuran

tertentu. Hubungan demikian disebut “hubungan kekayaan spesies - area”

(species richness - area relationship) dan secara matematis digambarkan

sebagai :

zCAS

dimana S adalah jumlah spesies yang ada, A adalah luas pulau atau patch, C

adalah konstanta skala yang nilainya bervariasi menurut takson dan lokasi,

dan z adalah laju dimana jumlah spesies meningkat dengan meningkatnya

luas. Dari sejumlah penelitian kekayaan spesies pada kepulauan samudera,

z bervariasi dari 0,24 untuk lahan perkembangbiakan dan burung-burung air

di West Indies dan vertebrata daratan di Kepulauan Danau Michigan, sampai

0,49 untuk lahan perkembangbiakan dan burung-burung air di teluk Guinea

(MacArthur & Wilson 1967). Preston (1962a, 1962b) menghitung sebuah

nilai teoritis 0,263. Ketika diplotkan pada sebuah hubungan log-log, dimana

S = log C + z log A, fungsinya tampak sebagai sebuah garis lurus dan z

menjadi slope dari garis tersebut. Sebagai konsekuensi dari faktor z,

sebagai hukum umum, dua kali lipat jumlah spesies tampaknya

membutuhkan 10 kali luas (Darlington 1957; Haris 1984). Hubungan

species-area melemah (nilai z menurun) dengan semakin terisolasinya pulau

dan dengan spesies yang kurang vagil.

Parameter atau ukuran-ukuran karakteristik patch dalam sebuah

matrix antara lain (Morrison et al. 1992):

Bentuk Patch (Shape of Patch)

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

37

dimana Di adalah indeks bentuk dari patch i, P adalah perimeter patch dan

A adalah luas patch.

Isolasi sebuah Patch (Isolation of a Patch)

dimana ri adalah indeks isolasi patch i, n adalah jumlah bertetangga yang

dipertimbangkan dan di j adalah jarak antara patch i dan patch

tetangganya j.

Isolasi Beberapa Patch (Isolation of Patches)

dimana D adalah indeks isolasi seluruh patch yang ada. Patch-patch

diletakkan pada sebuah grid dengan koordinat x dan y. Rata-rata lokasi

dan ragam (variance) untuk semua patch dihitung untuk kordinat y,

22

yx vv masing-masing adalah ragam pada koordinat x dan y.

Aksesibilitas sebuah patch (Accessibility of a Patch)

n

i

iji da1

dimana ai adalah indeks aksesibilitas patch i; dij adalah jarak yang

menghubungkan antara patch i dan patch manapun dari n patch tetangga j.

Interaksi antara patch-patch (Interction among patches)

n

i j

j

id

AI

12

PRAGMENTASI HUTAN

38

dimana Ii adalah derajat interaksi dari patch i dengan n patch-patch

tetangganya; A adalah luas patch tetangga j; dan d j adalah jarak antara

edges dari patch i dan patch-patch j.

Dispersi Patches (Dispersion of Pacthes)

cc dR 2

dimana Rc adalah indeks dispersi; dc adalah jarak rata-rata dari suatu patch

(pusatnya atau centroid) ke patch tetangga terdekatnya; dan adalah

kepadatan rata-rata dari patch-patch. Rc =1 untuk patch-patch tersebar

acak; Rc <1 untuk patch-patch menggerombol (aggregat); dan 1 < Rc ≤

2,149 untuk patch-patch tersebar teratur (regularly). Dengan demikian Rc

adalah ukuran penggerombolan (aggregation).

IV. PENGARUH FAKTOR-FAKTOR LAIN

Peluang kehadiran spesies tertentu atau tingkat kekayaan spesies

total tidak hanya dipengaruhi oleh luas (area) (Usher, 1985). Faktor kunci

lainnya meliputi keberadaan sumberdaya esensial seperti pakan, air dan

bahan pembuat sarang; heterogenitas lingkungan; dan keberadaan pesaing,

pemangsa dan penyakit (Morrison et al. 1992).

Freemark & Merriam (1986) melaporkan bahwa keragaman avi-

fauna hutan di antara 21 fragment hutan pada suatu lanskap pertanian

dekat Ottawa, Canada tergantung pada ukuran dan heterogenitas hutan

tetapi bahwa fragment berukuran besar penting untuk spesies interior

hutan dan penghuni tetap (resident). Askin (1984) dan Askin et al. 1987)

melaporkan bahwa keragaman dan kelimpahan burung-burung interior

hutan di tenggara Connecticut berkaitan dengan luas fragment hutan dan

luas hutan regional dan bahwa sebaran hutan regional merupakan faktor

yang lebih signifikan. Tempat yang lebih terisolasi dari hutan-hutan lainnya

memiliki lebih sedikit spesies interior hutan.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

39

Lynch dan Whigham (1984) menghitung kembali kelimpahan lokal

spesies burung yang berkembang biak di hutan interior upland di pantai

Maryland ternyata secara signifikan dipengaruhi oleh luas hutan, isolasi,

struktur dan floristik. Mereka menemukan bahwa pengaruh fragmentasi

hutan adalah kompleks dan bersifat spesifik terhadp spesies. Walaupun

fragmentasi secara umum memiliki pengaruh negatif pada spesies interior

hutan, struktur hutan dan floristik ternyata lebih penting dari pada ukuran

patch dan isolasi bagi banyak spesies.

Keberadaan spesies lain dapat sangat mempengaruhi efek prinsip

species-area. Sebagai contoh, laba-laba orb (Aranae) mencapai kepadatan

ekstrim sangat tinggi di pulau-pulau sub tropikal karena tidak ada predator

(Schoener dan Toft, 1983).

Soule et al. (1979) menyimpulkan bahwa laju kepunahan mamalia

besar di 19 cagar alam di Afrika Timur akibat ukuran cagar yang kecil tetapi

kenyataannya cagar terbesarpun gagal memberikan habitat yang cukup

untuk memelihara viabilitas populasi selama beberapa abad. Kushlan

(1979) mengingatkan bahwa ukuran saja tidak cukup sebagai kriteria untuk

menetapkan cagar alam. Ia mencontohkan kasus Taman Nasional

Everglades di Florida yang kehilangan spesies walaupun ukurannya relatif

besar. Taman nasional tersebut bukan ekosistem mandiri tetapi sangat

tergantung pada nutrien dan air yang diterima dari luar batas taman

nasional.

Soule et al. (1988) juga melaporkan bahwa empat variabel biotik

dan biogeografik di habitat chaparral di California Selatan,

bertanggungjawab atas 90% dari variasi dalam kekayaan spesies burung.

Kekayaan spesies burung yang lebih besar berkorelasi dengan umur patch-

patch yang lebih muda, chaparral-nya lebih luas, luas total lembah yang

diteliti lebih besar dan keberadaan coyote (Canis latrans) dan ketiadaan

rubah abu-abu (Urocyon cinereoargenteus). Peneliti berhipotesis bahwa

keberadaan coyote menekan pemangsaan oleh rubah abu-abu, sementara

coyote sendiri tidak memakan burung.

PRAGMENTASI HUTAN

40

DAFTAR PUSTAKA

Askins, R.A. 1984. Effect of regional Forest Configuration on the Species Richness and Density of Forest Birds. Abstract of Paper Presented

at the 1984 Meeting of the American Ornitologists’ Union, August, in Lawrence, Kans.

Askins, R.A., M.J.Philbrick dan D.S. Sugeno. 1987. Relationship Between the Regional Abudance of Forest and the Compposition of Forest

Bird Comunities. Biological Conservation 39 : 129-152.

Buechner, M. 1987a. Conservation in Insular Parks : Simulation Models of

Factors Affecting the Movement of Animals Across Park Boundaries. Biological Conservation 41 : 57 – 76.

Buechner, M. 1987b. A Geometric Model of Vertebrate Dispersal : Tests and Implications. Ecology 68 : 310-318.

Forman, R.T.T. dan M. Gordon. 1986. Landscape Ecology. John Wiley and Sons. New York.

Freemark, K.E. dan H.G. Merriam. 1986. Important of Area and Habitat Heterogenity to Bird Assemblages in Temperate Forest Fragments.

Biological Conservation 36 : 115 -141.

Kushlan, J.A. 1979. Design and Management of Continental Nature

Reserves. Lessons from the Everglades. Biological Conservation 15 : 281-290.

Lord, J.M. dan D.A. Norton. 1990. Scale and the Spatial Concept of Fragmentation. Conservation Biology 4 : 197-2002.

Lynch, J.F. dan D.F.Whigham. 1984. Effects of Forest Fragmentation on Breeding Bird Communities in Maryland, USA. Biological

Conservation 28 : 287-324.

Morrison, M.L., B.G. Marcot and R.W. Mannan. 1992. Wildlife-Habitat Relationship: Consepts and Applications. The University of

Wisconsisn Press. Madison, Wisconsin.

Schoener, T.W. dan C.A. Toft. 1983. Spider Populations : Extraordinary

high Densities on Islands Without Top Predator. Science 219 : 1353-1355.

Shugart, H.H., Jr. 1984. A theory of Forest Dynamics. Springer-Verlag. New York.

Shugart, H.H., Jr. dan D.C. West. 1981. Long-term Dynamics of Forest Ecosystems. American scientist 69 : 672-652.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

41

Soule, M.E., B.A.Wilcox dan C. Holtby. 1979. Benign Neglect : A Model of faunal Colapse in the Game Reserves of east Africa. Biological

Conservation 15 : 259-272.

Soule, M.E., D.T. Bolger, A.C. Alberts, J.Wright, M.Sorice dan S.Hill. 1988.

Reconstructed Dynamics of Rapid Extinctions of Chaparral-Requiring Birds in Urban Habitat Islands. Conservation Biology 2 : 75-92.

Stamps, J.A., M. Buechner dan V.V. Krishnan. 1987. The Effects of Edge Permeaability and Habitat Geometry on Emigration from Patches of

Habitat. American Naturalist 129 : 533 – 552.

Usher, M.B. 1985. Implication of Species-Area Relationship for Wildlife

Conservation. Journal of Environmental Management 21 : 181-191.

Whitcomb, R.F., C.S. Robbins, J.F. Lynch, B.L. Whitcomb,

M.K.Klimkiewecz, and D.Bystrak. 1981. Effects of Forest Fragmentation on Avifauna of the Eastern Deciduous Forest. In Ed.

R.L. Burgess and D.M. Sharpe (eds). Forest Island Dynamics in Man-Dominate Landscape. Pp.125-206. Springer-Verlag. Bew York.

Wilcove, D.S., C.H. McLellan dan A.P. Dobson. 1986. Habitat Fragmentation in the Temperate Zone. In M.E.Soule (ed). Conservation Biology. Pp. 237-256. Sinauer Associates.

Sunderland, Mass.

PRAGMENTASI HUTAN

42

5

KONSEP KORIDOR DAN SINGLE LARGE OR SEVERAL SMALL

(SLOSS)

KORIDOR

PERANAN KORIDOR

SINGLE LARGE OR SEVERAL SMALL (SLOSS)

DAFTAR PUSTAKA

I. KORIDOR

Koridor merupakan komponen lanskap berbentuk strip atau jalur

lahan yang berbeda dengan matrix di sekitarnya. Koridor merupakan areal

yang menghubungkan antar patch-patch sehingga berperan sebagai lintasan

atau saluran bagi organisme untuk bertukar atau berpindah dari suatu patch

ke patch lain. Koridor dapat menjadi saluran untuk perpindahan atau

penghalang (barrier) atau penyaring (filter), misalnya untuk aliran gen.

Bentuk lain konektivitas habitat adalah batu loncatan (stepping stone) yaitu

satu atau lebih kantong habitat (habitat patches) yang secara ekologis

terisolasi yang memberikan sumberdaya dan tempat pengungsian bagi satwa

dalam perpindahan menjelajahi suatu lanskap.

Struktur dan fungsi koridor tergantung pada beragam faktor

meliputi derajat liku-liku (semakin berliku-liku semakin banyak edges),

perpotongan dengan matrix (bagi tumbuhan dapat menghambat aliran

spesies, gen dan energi), penyempitan (dapat menghentikan perpindahan

beberapa spesies), perpotongan antar koridor (kadang-kadang ditemukan

banyak jenis interior) dan konektivitas yang harus dijaga agar tidak

terputus. Hal paling penting dalam koridor adalah pola lanskap yang mampu

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

43

mendukung konektivitas bagi spesies, komunitas dan proses ekologi

sehingga konservasi populasi dan komunitas dapat efektif dan proses

ekologi dalam lanskap terpelihara.

Walaupun koridor dapat berupa jalur terisolasi, tetapi sering

terhubungkan pada patch-patch dengan karakteristik vegetasi yang mirip

(Forman & Godron 1986). Beberapa studi telah menunjukkan bahwa koridor

dapat membantu organisme berpindah dari satu patch ke patch lainnya,

karena menghubungkan habitat dengan kondisi yang sesuai. Koridor dapat

dibagi ke dalam tiga kategori yaitu: koridor habitat, koridor perpindahan

(movement) dan koridor penghalang (barrier) yang dideskripsikan sebagai

berikut (Forman 1985) :

1. Koridor habitat – elemen lanskap linear yang memberikan daya

survival, natalitas dan pergerakan, juga dapat memberikan habitat,

baik sementara maupun permanen. Koridor ini secara pasif

meningkatkan konektivitas patch-patch. Contoh koridor habitat

adalah sabuk lahan basah bervegetasi yang dapat melestarikan

populasi salamander.

2. Koridor yang memfasilitasi perpindahan–elemen lanskap linear yang

memberikan daya survival dan perpindahan antara patch-patch

habitat tetapi tidak sampai diperlukan untuk melahirkan di dalam

koridor. Koridor yang memfasilitasi perpindahan secara aktif

meningkatkan konektivitas. Suatu lahan bervegetasi jalur yang

memiliki karakteristik edge dapat memberikan suatu lintasan untuk

suatu jenis satwa hutan interior tetapi tdak memberikan habitat.

Sebagai contoh, jalur vegetasi sepanjang jalan dapat memberikan

sumber pakan untuk seekor vole tetapi tidak cukup memberikan

lindungan untuk anak-anaknya.

3. Koridor penghalang (barrier) atau penyaring (filter) – elemen

lanskap linear yang menghalangi (barrier) atau menghambat (filter)

aliran energi, mineral, nutrien dan/atau spesies untuk melintasinya

(seperti : aliran tegak lurus terhadap panjang koridor). Sebagai

contoh koridor barrier atau filter adalah suatu jalan tol yang

menghalangi satwa melintasinya.

PRAGMENTASI HUTAN

44

Koridor satwaliar menjadi pertimbangan dalam konservasi di

populasi-populasi kecil yang terfragmentasi karena merupakan sarana untuk

menghubungkan populasi-populasi tersebut. Dengan memberikan lintasan

untuk perpindahan antar populasi tersebut melalui koridor maka dapat

meningkatkan peluangnya untuk survival. Koridor satwaliar dapat

berbentuk seperti tanaman pagar, kanal, selokan, pinggiran jalan dan rel,

serta sungai (Meret 2007).

II. PERANAN KORIDOR

Manfaat atau keuntungan potensial dari koridor satwaliar adalah

(Meret, 2007):

1. Meningkatkan laju imigrasi antara populasi sehingga dapat memelihara

keragaman, meningkatkan ukuran populasi, menurunkan kemungkinan

kepunahan dan menghindarkan inbreeding.

2. Meningkatkan areal untuk mencari makan bagi spesies dengan jelajah

yang luas.

3. Memberikan tempat melarikan diri dan bersembunyi dari predator,

kebakaran dan gangguan lainnya.

Koridor juga memiliki kerugian, seperti meningkatnya predasi

terhadap spesies asli terutama jenis-jens satwa kecil serta meningkatnya

perburuan atau perusakan o leh manusia karena lebih mudah dilakukan

terutama di koridor yang sempit. Koridor juga dapat menjadi saluran bagi

alien species yang bersifat invasif, penyakit dan patogen. Prinsipnya

semakin lebar koridor adalah semakin baik karena menurunkan peluang

predator menemukan mangsanya, memberikan habitat bagi jenis -jenis

interior dan memberikan fungsi yang lebih baik bagi pergerakan satwa.

Potensi merugikan lainnya dari koridor bagi satwaliar adalah

(Meret 2007):

1. meningkatkan imigrasi dapat menyebarkan penyakit, hama, spesies

asing, menurunkan tingkat keragaman genetik dan tekanan

outbreeding.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

45

2. Memfasilitasi penyebaran kebakaran dan meningkatkan keterbukaan

terhadap predator, pemburu dan pencuri.

3. Biaya

Koridor satwaliar telah diusulkan untuk Gunung Kilimanjaro di

Tanzania. Meningkatnya pertanian di sekeli ling kaki gunung telah banyak

mengisolasi padang rumput dataran tinggi atau habitat moorland di gunung

dari padang rumput dataran rendah atau habitat savana. Isolasi ini telah

menjadi faktor dalam kepunahan dua spesies mamalia pegunungan. Ada

satu koridor yang menghubungkan dua areal dan banyak mamalia

menggunakannya. Gajah menggunakan koridor ini secara musiman untuk

berpindah antara gunung dan taman nasional yang jauhnya sekitar 20 km.

Kerbau, eland (antelop tanduk spiral) dan anjing liar telah diteliti

menggunakan koridor ini. Pergerakan satwa dari habitat dataran tinggi ke

dataran rendah melalui koridor

ini, barangkali penting dalam

menjaga populasi yang dapat

bertahan (viable population) dari

spesies yang ada (Meret 2007).

Sutcliffe & Thomas

(1996) dalam (Meret 2007) telah

mempelajari kupu-kupu ikal kecil

(ringlet butterfly) di Inggris

menggunakan metode mark-

recapture, menunjukkan bahwa

koridor dapat mengurangi resiko

kepunahan dan dapat membantu

rekolonisasi areal populasi kupu-

kupunya yang telah punah

(Gambar 7)

Gambar 7.

Contoh koridor perpindahan yang dibuat di pegunungan Costa Rica

(Dari Stiles & Clark, 1989).

PRAGMENTASI HUTAN

46

Haas (1995) dalam (Meret 2007) mempelajari persebaran burung-

burung dalam patch-patch berhutan. Tidak seperti yang diduga, ternyata

koridor tidak penting bagi burung-burung migran (karena mereka dapat

terbang melewati areal-areal yang tidak cocok dengan rute tahunan ke

suatu areal perkembangbiakan), Haas menemukan bahwa tempat-tempat

bervegetasi adalah penting sebagai batu loncatan (stepping stone) dan

dapat berfungsi sebagai koridor untuk burung robin dan trasher. Dengan

demikian koridor ini menjadi penting bagi burung-burung di areal yang

terisolasi.

III. SINGLE LARGE OR SEVERAL SMALL (SLOSS)

Perdebatan SLOSS (Single Large Or Several Small) adalah

perdebatan dalam ekologi dan biologi konservasi selama tahun 1970-an dan

1980-an yang memperdebatkan apakah cagar tunggal besar (single large)

atau kecil banyak (several small) yang terbaik untuk mengkonservasi

keanekaragaman hayati pada suatu habitat terfragmentasi. Pada Tahun

1975 Jared Diamond menyarankan beberapa “aturan” untuk mendisain

kawasan konservasi berdasarkan teori Bogeografi pulau dari MacArthur dan

Wilson (1967). Salah satu dari sarannya adalah bahwa suatu cagar tunggal

besar lebih baik dari pada cagar banyak tetapi lebih kecil walaupun luas

totalnya sama. Karena kekayaan spesies meningkat seiring luas habitat,

suatu blok habitat yang lebih besar akan mendukung lebih banyak spesies

dari pada beberapa blok habitat kecil-kecil. Ide ini dipopulerkan oleh

banyak pakar ekologi lainnya, dan telah dimasukkan ke dalam sebagian

besar buku teks standar dalam biologi konservasi, juga telah digunakan

dalam praktek perencanaan konservasi di dunia. Ide ini ditentang oleh

murid pendahulu Wilson, yaitu Daniel Simberloff yang menunjukkan bahwa

ide ini didasarkan pada asumsi cagar lebih kecil memiliki suatu komposisi

spesies yang terkumpul (nested) - dengan asumsi bahwa setiap cagar besar

memiliki semua spesies yang ada di cagar-cagar yang lebih kecil. Jika

cagar-cagar lebih kecil memiliki spesies yang tidak dimiliki oleh cagar

lainnya, maka ada kemungkinan bahwa dua cagar kecil dapat memiliki lebih

banyak spesies dari pada sebuah cagar besar tunggal.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

47

Debat terjadi karena cagar-cagar kecil berbagi spesies satu dengan

lainnya (memiliki spesies yang sama), sehingga membawa pada

pengembangan teori nested subset oleh Bruce Patterson dan Wirt Atmar

pada tahun 1980-an dan pada pembentukan Biological Dynamics of Forest

Fragment Project (BDFFP) dekat Manaus, Brazil pada tahun 1980 oleh

Thomas Lovejoy.

Bila masih ada peluang atau potensi untuk memilih single large,

maka lebih baik memilih single large dari pada several small, tetapi bila

dihadapkan pada keterbatasan kawasan hutan dan fragmentasi yang tidak

dapat dihindarkan, mungkin several small menjadi pilihan. Masing-masing

memiliki kelebihan dan kelemahan, dengan campur tangan manajemen

kelemahan bisa dikurangi.

Single large memang memiliki banyak kelebihan maka lebih

banyak dianut para ahli dan praktisi konservasi. Satu kelemahan fatal

adalah jika terjadi bencana hebat seperti tsunami, kebakaran hutan atau

pandemi suatu penyakit atau hama, maka bisa memusnahkan seluruh

spesies yang ada tanpa ada yang tersisa. Hal tersebut dapat dihindari jika

habitat-habitat tersimpan dalam beberapa lokasi (several small), sehingga

jika satu habis terkena bencana, masih ada habitat lain yang tersisa di

tempat lain.

Kelebihan lain several small adalah mewakili tipe habitat yang

lebih beragam, lebih banyak menampung populasi spesies langka.

Kelemahan pada several small antara lain meningkatnya resiko kepunahan

lokal karena masalah genetik (menurun, inbreeding, hanyutan genetik),

perubahan demografik (laju kelahiran dan kematian terkait variasi atau

peluang acak) dan perubahan lingkungan (pemangsaan, kompetisi,

penyakit, bencana). Habitat yang terfragmentasi juga menurunkan peluang

rekolonisasi dan meningkatnya efek tepi (edge effect).

Untuk mengurangi efek tepi dan efek fragmentasi maka perlu

dibuat koridor yang menghubungkan kantong-kantong habitat yang terpisah

agar dapat saling berhubungan. Namun koridor juga memiliki kelemahan

antara lain dapat menjadi jalan penularan penyakit, meningkatnya predasi

dan perburuan di sepanjang koridor

PRAGMENTASI HUTAN

48

Bagaimanapun juga single large merupakan pilihan prioritas

karena dengan ukuran yang besar dapat mengurangi pengaruh edge, dapat

mencakup lebih banyak spesies dan mempunyai keanekaragaman habitat

yang lebih besar. Kelebihan ini dijelaskan dalam teori island biogeography.

Dukungan awal penggunaan teori biogeografi pulau dengan argumen bahwa

cagar besar tunggal umumnya lebih baik dalam melestarikan populasi lebih

banyak dan lebih besar dari pada luasan yang sama tetapi terbagi ke dalam

sekumpulan cagar kecil. Ada dua alasan untuk argumen tersebut yaitu:

Areal-areal berdekatan lebih bisa melestarikan komunitas utuh dari

spesies-spesies yang saling bebas (interdependent).

Areal-areal lebih bisa untuk memelihara viable population dari spesies

yang terjadi pada kepadatan populasi rendah, khususnya vertebrata

besar.

Meskipun demikian, sedikitnya ada dua masalah dengan dua

argumen tersebut yaitu:

Ukuran besar dipandang dari sudut mana? Untuk tanaman tahunan,

untuk vegetasi perennial dan untuk satwa kecil penghuni tetap,

beberapa hektar mungkin memenuhi semua kebutuhan habitat,

misalnya suatu lumpur gambut atau singkapan tebing. Oleh karena itu,

ahli konservasi yang ingin melindungi keanekaragaman tumbuhan,

mungkin lebih memilih membeli beberapa cagar berukuran 10 – 100

hektar dengan beragam habitat, tipe tanah dan rejim geologi dari pada

membeli satu cagar tunggal dengan luas 2.000 hektar. Tetapi jika kita

tertarik pada burung-burung hutan, cagar-cagar kecil berukuran 100 –

200 hektar mungkin tidak cukup besar untuk mendukung populasi yang

bersarang.

Beberapa kritik cepat menunjuk, bahwa menurut teori biogeografi

pulau, spesies pada pulau kecil tidak perlu menjadi subset dari pulau

besar. Kenyataannya, jika teori kesetimbangan diinterpretasikan

dengan tegas, maka setidaknya mereka memang bukan subset. Sebagai

hasilnya, kita mungkin menyelamatkan lebih banyak spesies dalam

suatu sistem cagar-cagar kecil dari pada dalam cagar besar tunggal,

walaupun setiap cagar bisa saja berisi lebih sedikit spesies.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

49

Sebagai tambahan, ada kritik mendasar pada pendekatan ini karena ada

sedikit bukti bahwa perbedaan dalam keanekaragaman spesies dalam

pulau adalah kesetimbangan (equilibrium) antara kolonisasi dan

kepunahan. Secara spesifik, terdapat sedikit bukti untuk species

turnover.

Meskipun demikian, debat tersebut secara keseluruhan seperti

kehilangan arah yang menjadi perhatian. Bagaimanapun, kita akan

membuat cagar dimana kita menemukan spes ies atau komunitas yang ingin

kita selamatkan. Kita akan membuat cagar sebesar mungkin yang kita

dapat, atau sebesar yang diperlukan untuk melindungi elemen-elemen yang

menjadi perhatian kita. Kita biasanya tidak berhadapan dengan pilihan

optimasi seperti yang diperdebatkan.

Perdebatan panjang tentang SLOSS membawa implikasi dalam

menetapkan luas cagar, dimana pemilihan single large beralasan karena

cagar besar dapat mengurangi edge effect dan dapat mencakup lebih

banyak spesies dan mempunyai keanekaragaman habitat yang lebih besar

dibandingkan cagar kecil. Hal ini didasarkan pada teori biogeografi pulau

yang berimplikasi praktis: (1) tetapkan kawasan perlindungan seluas

mungkin agar dapat melestarikan spesies sebanyak mungkin, (2) bila

memungkinkan lahan-lahan di sekitar kawasan tersebut diambil alih untuk

meningkatkan luas kawasan yang telah ada (3) bila harus memilih maka

pilih cagar yang lebih besar.

Cagar kecil yang ditempatkan secara baik akan memiliki beberapa

kelebihan antara lain : dapat mencakup tipe-tipe habitat yang lebih

beragam, menampung lebih banyak populasi spesies langka, lebih mudah

terhindar dari bencana seperti spesies asing, penyakit atau kebakaran.

Cagar kecil yang dekat dengan pemukiman juga dapat berfungsi sebagai

pusat pendidikan konservasi yang berguna untuk mendukung usaha

konservasi jangka panjang.

Daerah konservasi yang berbentuk membulat akan meminimalkan

rasio atau perbandingan edge-to-area, sehingga mempunyai pusat yang

berada relatif jauh dari tepi. Kawasan yang berbentuk memajang akan

memiliki tepi atau pinggir yang luas dan seluruh lokasi di kawasan tersebut

akan berada dekat tepi. Kawasan yang berbentuk segi empat bujur sangkar

PRAGMENTASI HUTAN

50

lebih banyak memberikan perlindungan dibandingkan persegi panjang. Ide

tersebut belum diterapkan karena kebanyakan kawasan konservasi

ditetapkan secara kebetulan sehingga bentuknya tidak beraturan.

Untuk mengurangi efek fragmentasi, cagar sebaiknya dikelola

sebagai sistem regional untuk memperlancar aliran genetik serta migrasi

antar populasi dan menjamin perwakilan yang cukup bagi spesies dan

habitat. Bila memungkinkan, kawasan perlindungan perlu mencakup

keseluruhan ekosistem (misalnya DAS, danau maupun gunung) sehingga

memungkinkan pengelola mempertahankannya secara lebih efektif dari

pengaruh luar yang bersifat

merusak.

Untuk mengelola cagar-cagar

kecil dan menyebar perlu dibuat

koridor habitat yang menghubungkan

kawasan-kawasan dilindungi tersebut

sehingga membentuk suatu sistem

yang lebih besar. Koridor dapat

memungkinkan perpindahan

tumbuhan dan satwa untuk

menyebar sehingga memungkinkan

aliran gen serta koloniasasi lokasi

yang sesuai. Koridor dapat berfungsi

melestarikan satwa yang harus

bermigrasi musiman di antara seri

habitat yang berbeda. Kendala

potensial dari koridor adalah dapat

menjembatani pergerakan spesies

hama dan penyakit yang dapat

mengancam kepunahan spesies

langka yang dilindungi dan resiko

predasi yang lebih besar dari satwa

lain atau pemburu yang biasanya

terkonsentrasi di jalur lintasan satwa.

Gambar 8. Perbandingan SLOSS (Dari berbagai sumber)

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

51

DAFTAR PUSTAKA

Forman, R.T.T. and M. Gordon. 1986. Landscape Ecology. John Wiley and Sons. New York.

Forman, R.T.T. 1985. Land Mosaics: The Ecology of Landscapes and Regions. Cambridge University Press, Cambridge, Uk.

Meret, J. 2007. Habitat Fragmentation and Wildlife Corridors. http://www.science. mcmaster.ca.htm. Diakses Tanggal 02-11-

2007.

Stiles, F.G. and D.A. Clark. 1989. Conservation of Tropical rain Forest

Birds : A Case Study from Costa Rica. American Birds 43 (Fall) : 420-428.

Mac Arthur, R.H. and E.O. Wilson. 1967. The Theory of Island Biogeography. Princeton University Press. Princeton, New Jersey.

http://en.wikipedia.org/wiki/SLOSS_Debat. Diakses Tanggal 10 Desember 2007.

PRAGMENTASI HUTAN

52

6

DINAMIKA POPULASI PADA SKALA LANSKAP

PROSES-PROSES LANSKAP

DINAMIKA METAPOPULASI

PULAU SAMUDERA (OCEANIC ISLAND) DAN KANTONG HABITAT (HABITAT PATCH)

KESETIMBANGAN (EQUILIBRIUM ) POPULASI ANTAR KANTONG HABITAT (HABITAT PATCH) DAN SUBPOPULASI

DAFTAR PUSTAKA

I. PROSES-PROSES LANSKAP

Untuk memberikan distribusi habitat yang mencukupi di dalam dan

lintas lanskap, kita harus memahami agen-agen yang mengubah kondisi

lingkungan. Proses-proses lanskap terdiri atas abiotik dan biotik. Proses

abiotik mempengaruhi pola habitat dalam lanskap meliputi pembuangan

massa, pembentukan tanah, kualitas air dan udara serta pengaruh bahan

induk pada perkembangan vegetasi. Secara umum, proses abiotik

melibatkan pertukaran material - udara, gas, partikel, tanah dan air – di

dalam dan di antara lanskap. Mengelola habitat pada skala lanskap harus

menjawab bagaimana pertukaran material dari dan ke tapak mempengaruhi

tujuan perencanaan tapak dan bagaimana kegiatan transport materia l di

tapak tersebut ke areal lainnya. Menilai dampak kumulatif dari kedua

aktivitas di dalam dan di luar tapak adalah penting ketika merencanakan

jumlah dan konfigurasi habitat spesifik.

Gangguan alami juga merupakan bagian dari proses abiotik dalam

lanskap. Gangguan dapat bersifat kronik atau perlahan, contohnya meliputi

suksesi vegetasi, perubahan iklim dan perubahan frekuensi dan intensitas

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

53

kebakaran. Gangguan juga dapat bersifat katastropik atau cepat seperti

kebakaran, badai, banjir dan gunung meletus.

Karr and Freemark (1985) menawarkan suatu klasifikasi faktor-

faktor untuk dievaluasi dalam studi gangguan (Tabel 2). Faktor-faktor

untuk dipertimbangkan meliputi tipe dan rejim gangguan, tipe sistem

biologis, dan konteks regional (context). Karr dan Freemark juga

menyebutkan bahwa respon biotik terhadap gangguan, bervariasi mulai dari

kepunahan populasi sampai perubahan dalam laju pertumbuhan yang

membawa perubahan perilaku dan ekologi dalam seleksi habitat.

Shugart and Seagle (1985) memodelkan Okupansi patch (patch

occupancy) oleh vertebrata dalam kehadiran distribusi di suatu ekosistem

hutan hujan basah di Tanzania dan menyimpulkan bahwa keanekaragaman

(diversity) hutan dan lingkungannya secara konstan sepanjang waktu

mempengaruhi kekayaan spesies di dalam suatu lanskap. Semakin besar

lanskap, semakin besar penyokong variasi lingkungan. Dalam modelnya

juga, kehadiran interaksi kompetitif di antara pengkoloni sangat

menurunkan jumlah spesies potensial di dalam suatu lanskap.

Proses-proses biotik meliputi peran invasi spesies sebagai parasit

sarang dan kompetitor. Karena habitatnya dieksploitasi manusia, burung

cowbird kepala cokelat (Molothrus ater) telah menginvasi Sierra Nevada,

California sejak 1930. Mereka sekarang menjadi parasit sarang dari 22

spesies burung yang menjadi inangnya dan dapat mengancam

keberlangsungan survival beberapa spesies di Sierra, khususnya burung

warbling vireo (Vireo gilvus) (Rothstein et al., 1980).

Proses-proses biotik lainnya seperti epidemi, meningkatnya atau

invasi spesies hama yang menekan ukuran populasi atau trend spesies lain–

juga mempengaruhi distribusi dan kelimpahan suatu populasi pada suatu

lanskap. Spesiasi dan subspesiasi merupakan proses biotik yang

mempengaruhi bagaimana spesies merespon kondisi lanskap di berbagai

zona geografis yang luas selama ribuan tahun generasi. Gangguan oleh

manusia, seperti eksploitasi, perburuan dan introduksi spesies eksotik dapat

dipandang sebagai suatu proses biotik.

Ekologi lanskap kebanyakan ditujukan pada bagaimana satwa

menggunakan lingkungan yang heterogen. Mempelajari pola seleksi

PRAGMENTASI HUTAN

54

sumberdaya, perilaku mencari makan (foraging behaviour) serta pola dan

derajat spesialisasi sumberdaya, semua memberikan informasi tentang

penggunaan habitat. Dinamika fauna berhubungan dengan bagaimana

satwa berpindah melalui lanskap. Dengan demikian, kita juga mempelajari

tipe-tipe perpindahan, seperti dispersal satwa muda (juvenile), migrasi

musiman dan tahunan satwa dewasa serta pola perpindahan kurang teratur

(reguler). Yang menjadi perhatian dalam disain lanskap adalah pola, laju

dan jarak pergerakan spesies, serta perilaku perkembangbiakan dan sosial

spesies yang terkait.

Tabel 2. Klasifikasi faktor-faktor untuk dievaluasi dalam suatu studi gangguan lanskap.

Faktor Contoh Hasil Respon Biotik

Tipe Gangguan

Faktor fisik Dampak kekeringan terhadap

distribusi burung dan katak di hutan tropis

Perilaku dan ekologi seleksi

habitat

Faktor biologi Demam kuning menurunkan

populasi monyet howler

Evolusi resistensi penyakit,

kepunahan indang, atau perubahan siklus kelimpahan

monyet

Interaksi faktor fisik dan biologi

Hujan musim semi dan distribusi burung mempengaruhi

ikan di Everglades

Laju pertumbuhan, survivorship dan reproduksi ikan

Rejim Gangguan

Dimensi spasial Distribusi pohon tumbang vs badai di areal hutan yang luas

Waktu untuk rekolonisasi dan kumpulan vertebrata akan bervariasi

Dimensi temporal

Frekuensi Serangan musim kering tahunan vs tidak menentu

Adaptasi fisiologi vs respon perilaku, ekologi dan evolusi

Waktu kejadian Pakan dan sedimentasi selama periode ikan bertelur

(spawning)

Kepunahan kohort (populasi awal)

Tipe Sistem Biologi

Individu –

populasi spesies

Burung dan kadal bervariasi

dalam mobilitas, lamanya dan kemampuan untuk

menghentikan reproduksi pada pulau jembatan (land bridge island)

Laju kepunahan burung tinggi,

tetapi laju kepunahan kadal rendah di Pulau Barro Colorado,

Panama.

Tipe Kumpulan/ lingkungan ekosistem – biotik

dan abiotik

Ikan lebih terbatasi oleh kimiawi lingkungan perairannya dari pada burung oleh kimiawi

udara yang beracun

Rangkaian adaptasi fisiologi dan perilaku yang berbeda, tetapi polusi udara dari manusia

mengubah kesetimbangan ini.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

55

Faktor Contoh Hasil Respon Biotik

Konteks Regional

Dalam areal Ukuran luas dan sifat internal

mosaik habitat

Survivorship, kolonisasi, pola

kepunahan bervariasi antar pulau.

Antara Areal dan

wilayah didekatnya

Habitat pulau hutan pada

samudera dan pulau hutan pada lahan pertanian

Variasi kepunahan dan dinamika

kolonisasi antar kelompok vertebrata; membedakan

pengaruh kolonisasi dari patch-patch tetangganya dari rumput vs air

Sumber: Karr & Freemark (1985).

II. DINAMIKA METAPOPULASI

Memahami dan memprediksi respon satwaliar terhadap konfigurasi

patch dan fragmentasi pada skala lanskap memerlukan pemahaman

dinamika populasi. Pada bab ini akan dibahas konsep dinamika

metapopulasi. Kita diskusikan implikasi dari konsep metapopulasi untuk

mendisain pola patch pada skala lanskap dalam rangka melestarikan

viabilitas populasi. Kemudian kita membandingkan konsep ekologi pulau

samudera dengan bagaimana populasi menggunakan patch-patch di suatu

setting benua dan menggarisbawahi dinamika kedua setting tersebut saling

memiliki persamaan. Dengan cara demikian kita dapat memahami lebih

baik bagaimana populasi mungkin merespon pola patch-patch habitat dan

kondisi pada tingkat lanskap. Kemudian kita dapat mendiskusikan pengaruh

pola juxtaposition, yang meliputi fragmentasi lingkungan. Akhirnya kita

mendiskusikan bagaimana ukuran populasi dan trends yang mungkin

mencapai kesetimbangan (equilibrium) di antara patch-patch (Morrison et

al. 1992).

Suatu metapopulasi adalah suatu spesies yang jelajahnya terdiri

atas patch-patch yang berbeda secara geografis yang dihubungkan melalui

pola aliran genetik, kepunahan dan rekolonisasi (Lande and Barrowclough

1987). Metapopulasi umumnya terjadi ketika kondisi lingkungan dan

karakteristik spesies memberikan pertukaran yang kurang sempurna dari

sumber individu dan genetik di antara sub populasi. Ini terjadi khususnya

ketika habitat berada pada kondisi heterogen pada suatu wilayah, provinsi

PRAGMENTASI HUTAN

56

atau lanskap yang menyebabkan isolasi parsial individu yang

berkembangbiak (Morrison et al. 1992).

Metapopulasi secara khusus dipahami sebagai kantong atau sub

populasi yang laju pertukaran material genetiknya lebih signifikan di dalam

sub populasi dari pada dengan sub populasi lainnya. Dengan demikian

metapopulasi dapat menunjukkan suatu gradien struktur internal berkisar

dari seluruhnya interbreeding (panmictic) sampai interbreeding yang

longgar, dengan kantong-kantong lokal sampai berisi hampir seluruhnya sub

populasi terisolasi yang jarang interbreeding (Gambar 9) (Morrison et al.

1992).

Gambar 9. Gradien pertukaran di dalam metapoulasi dari berbagai

struktur internal (Morrison et al. 1992).

Dalam hal ini, struktur genetik metapopulasi dapat terdiri atas gen

tunggal, mendekati panmictic genome; demes (kelompok sekerabat; sub

populasi) lokal terisolasi jarak dari demes lainnya; atau hampir seluruh sub

populasi terisolasi berbagi material genetik dengan sub populasi lainnya

hanya jarang-jarang melalui kesempatan kejadian dispersal. Secara

definisi, suatu populasi panmictic seluruhnya tidak memiliki struktur

metapopulasi sendiri karena ia berperan sebagai genetik tunggal dan

kesatuan demografik. Perbedaan antara suatu struktur metapopulasi

dengan kurang lebih sub populasi terputus (disjunction subpopulation) dan

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

57

suatu struktur populasi yang kontinyu (clinal population) dengan

intergrading sub populasi, bagaimanapun merupakan suatu masalah tingkat

pertukaran di antara unit-unit sub populasi (Morrison et al. 1992).

Suatu contoh distribusi metapopulasi terdiri atas hampir

seluruhnya sub populasi terisolasi terjadi pada spesies burung pegunungan

di sepanjang pegunungan Great Basin (Johnson 1975; 1978). Johnson

mengeksplorasi sumber keanekaragaman komunitas burung boreal (Gambar

10). Ia melaporkan bahwa agen berikut diurutkan menurut kore lasi

penurunannya, mempengaruhi jumlah spesies burung boreal; luas hutan

woodland, latitude puncak tertinggi, elevasi puncak tertinggi, dan lebar

barrier (derajat isolasi). Dengan demikian, distrubusi metapopulasi secara

keseluruhan dari suatu spesies dipengaruhi oleh karakteristik lokal yang

mempengaruhi kepunahan lokal seperti halnya isolasi mempengaruhi

kolonisasi (Morrison et al. 1992).

Gambar 10. Sumber keragaman komunitas burung boreal di bagian barat daya Amerika Serikat (Sumber: Johnson 1975).

Secara khusus, ilmuwan mempersepsikan metapopulasi sebagai

kelompok-kelompok individu yang menempati luasan habitat terbatas

secara lokal. Dari waktu ke waktu, individu dalam patch-patch atau

kelompok patch mungkin menjadi punah dari peluang keragaman dalam

survivorship dan rekrutmen atau dari penurunan katastropik atau sistematik

berdasarkan sumbernya (Gambar 10) Tapaknya mungkin bahkan menjadi

PRAGMENTASI HUTAN

58

dikolonisasai oleh individu yang menyebar atau hanyut dari patch-patch di

sekitarnya. Dengan cara ini, pola okupansi patch dalam luasan geografik

yang besar mungkin berlaku sebagai suatu bank dari cahaya berkedip-kedip.

Beberapa cahaya masih berkedip dalam periode waktu yang lebih lama

karena mereka mewakili kondisi optimal, areal-areal dengan jumlah habitat

yang banyak, atau patch-patch yang menjadi pusat dari sebaran geografik.

Cahaya lainnya mungkin menjadi gelap dan berkedip secara jarang dan

hanya untuk periode pendek karena mereka mewakili kondisi sub optimal,

areal-areal dengan jumlah habitat lebih sedikit, atau patch-patch pinggiran

untuk sebaran geografis secara umum. Gambar 11a – 11g berikut ini

menunjukan gambaran skematik dinamika lanskap kolonisasi dan okupansi

patch (Morrison et al. 1992).

11a. Batas Das dan sistem riparian (riverine) (Morrison et al. 1992).

11b. Kejadian sepuluh patches dari hutan tua (Morrison et al. 1992).

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

59

11c. Kejadian vertebrata obligat dewasa di tujuh dari 10 patches

(Morrison et al. 1992).

11d. Seleksi tiga patches untuk pemanenan tebang habis (Morrison et al.

1992).

PRAGMENTASI HUTAN

60

11e. Akibat langsung dari ganguan pemanenan : hilangnya spesies.pada

tiga patches (Morrison et al. 1992).

11f. Kehilangan spesies kemudian pada patch hutan yang jauh,

terisolasi dan kecil (faunal relaxation) (Morrison et al. 1992).

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

61

Struktur metapopulasi dapat muncul dari beragam faktor,

termasuk pengurangan populasi yang dulu berdekatan akibat fragmentasi

atau kehilangan habitat; invasi tapak-tapak yang sampai kini tidak dihuni,

karena ekspansi jelajah spesies karena habitatnya menjadi available atau

tidak adanya kompetitor kunci, predator, atau penyakit; kejadian dan

kolonisasi penggunaan sink habitat (habitat yang selama ini tidak

digunakan), untuk reproduktif pada tahun-tahun yang baik; heterogenitas

disribusi sumberdaya, seperti buah-buahan tropika, dari waktu ke waktu di

berbagai ruang; heterogenitas atau distribusi habitat yang berkantong -

kantong (patchy), seperti substrat lithic atau lingkungan akuatik; dan

introduksi populasi oleh manusia (Morrison et al. 1992).

Dinamika metapopulasi adalah kompleks, mencakup dinamika

spasial, temporal dan numerik, seiring kondisi biologis dan sumbedaya

berubah dari waku ke waktu dan sejauh jelajah spesies. Dari perspektif

manajemen, resiko potensial terhadap kepunahan dari struktur

metapopulasi adalah sulit untuk dianalisis. Pertanyaan penting untuk

merencanakan habitat bagi konservasi viabilitas suatu metapopulasi

memperhatikan perkiraan peluang bahwa populasi yang menyebar dengan

11g. Masih kehilangan spesies kemudian pada suatu patch hutan lebih

besar yang kini terisolasi (Morrison et al. 1992).

PRAGMENTASI HUTAN

62

baik akan terpelihara sepanjang waktu. Distribusi patch-patch dalam

lanskap, khususnya karena pengaruhnya terhadap aksesibiltas di antara

individu dan sub populasi, adalah penting untuk membantu menjamin

populasi terdistribusi dengan baik (Morrison et al. 1992).

Apakah implikasi dari dinamika tersebut bagi perencanaan dan

pengelolaan patch atau habitat? Satu panduan yang mungkin adalah untuk

mengatur patch habitat-habitat sub optimal (sink) di sekelilingnya tetapi

dekat ke habitat-habitat (sumberdaya) optimal. Hal ini akan

memungkinkan rekolonisasi sink habitat selama periode dimana

sumberdayanya baik. Namun seringkali kita tidak tahu apa penyusun

kondisi sub optimal dan optimal. Dalam kasus ini, ada dua kemungkinan

penyebab kejadian. Kita dapat melihat pada professional judgement dan

melakukan survei tipe Delphi mencari pendapat ahli untuk memulai

membuat penduan perencanaan patch-patch. Panduan harus

diimplementasikan dan respon individu dan populasi dimonitor. Atau kita

dapat mendasarkan perencanaan awal panduan pada parameter-parameter

habitat untuk memprediksi model seperti model indeks kesesuaian habitat

(habitat suitability index model). Sekali lagi, respon individu dan populasi

harus dimonitor (Morrison et al. 1992).

Pickett & Thompson (1978) juga menyimpulkan bahwa

memelihara sumber kolonisasi adalah vital untuk melestarikan spesies di

dalam cagar alam. Mereka merekomendasikan bahwa disain cagar alam

harus didasarkan pada ”minimum dynamic area” yaitu luas minimal dengan

rejim gangguan alami yang menyeimbangkan laju emigrasi dari sumber

eksternal dengan laju kepunahan internal.

Pada skala home range individu atau unit reproduksi, pedoman

lain adalah untuk memberikan kantong-kantong habitat (habitat patches)

untuk makan dan istirahat di dalam jarak jelajah harian. Tetapi hal ini juga

menyebabkan meningkatnya kebutuhan sumberdaya ketika merencanakan

foraging habitat di dekat struktur atau habitat berkembangbiak; hal ini

akan membantu perencanaan untuk ukuran patch-patch yang cukup dan

pendekatan tipe habitat berbeda yang diperlukan untuk kebutuhan yang

berbeda pada berbagai tahap kehidupan (Morrison et al. 1992).

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

63

Dinamika kolonisasi patch-patch tampaknya tidak semua patch

yang cocok (suitable) akan ditempati oleh satwa dalam satu waktu. Oleh

karena itu, dari perspektif manajemen, tidak perlu mengkonservasi patch-

patch yang potensial suitable jika tidak ditempati. Lebih baik memonitor

patch-patch dari waktu ke waktu untuk mengetahui pola penghunian

(occupancy) sebelum mengubah arah manajemen yang akan sangat

menurunkan kualitas patch-patch. Tampaknya patch-patch yang kosong

mungkin masih vital untuk dispersal dan distribusi. Monitoring harus

digunakan untuk mengetahui frekuensi dan tipe penggunaan patch-patch

untuk keperluan tersebut (Morrison et al. 1992).

Konsep dinamika metaopulasi dapat bermanfaat untuk

menetapkan kriteria dalam mencantumkan (listing) spesies yang terancam

(threatened), dalam bahaya (endangered), jarang (rare) atau rawan

(sensitive) sebagaimana dinamika kepunahan lokal dan kolonisasi

meningkatkan resiko menjadi viability. Sebaliknya, konsep tersebut juga

bisa memberikan pedoman untuk mengeluarkan suatu spesies dari daftar

(delisting). Membuat kriteria delisting akan memerlukan penetapan target

tujuan recovery yang realistik untuk distribusi suatu populasi yang cukup,

memungkinkan tingkat isolasi yang dikehendaki dan interaksi sub populasi

dan derajat realistik penghunian patch (Morrison et al. 1992).

Variasi kondisi dan kualitas patch mungkin diperlukan untuk

menjaga populasi terdistrubusi dengan baik. Kita harus mempe rtimbangkan

areal-areal yang digunakan secara musiman untuk migrasi, dispersal dan

beristirahat dalam rangka membantu pertukaran individu di dalam dan

antar sub populasi. Secara umum, hal tersebut mungkin yang terbaik untuk

memberikan variasi kondisi habitat untuk menjaga keragaman genetik di

seluruh ekotipe, sub populasi dan ras-ras metapopulasi. Memberikan hanya

kondisi optimal – lingkungan dengan okupansi tertinggi atau konsisten –

mungkin tidak memberikan untuk spesiasi jangka panjang dan diversifikasi

stok genetik (Morrison et al. 1992).

Secara umum, memahami dinamika metapopulasi merupakan

kunci untuk memberikan koreksi jumlah, kualitas dan distribusi habitat

pada berbagai skala. Hal tersebut harus dapat memberikan panduan dalam

rehabilitasi habitat dan penambahan lahan, misalnya untuk penggunaan

PRAGMENTASI HUTAN

64

musiman atau migrasi (Gambar 4). Patch lebih besar, berdekatan lebih

disukai dari pada patch kecil dan terisolasi. Tetapi dalam memberikan

sambungan antar patch-patch, hanya ada sedikit pilihan untuk disain

(Morrison et al. 1992).

Suatu struktur metapopulasi tidak selalu lebih buruk (inferior)

dibandingkan suatu populasi panmictic secara keseluruhan. Tidak jelas

apakah menghubungkan sub populasi dari suatu metapopulasi selalu

bermanfaat. Keuntungan yang diberikan oleh suatu struktur metapoulasi

meliputi pertahanan (buffering) yang lebih besar terhadap penyebaran

penyakit dan kejadian-kejadian katastropik. Disamping itu, semakin besar

keragaman lokasi tidak tersambung yang dihuni memungkinkan terjadinya

manfaat evolusi yang lebih besar. Ekotipe lokal mungkin dapat berkembang

menjadi lebih cocok dengan kondisi lingkungan lokal dari pada jika genome

terbanjiri dari panmixia dengan semua sub populasi lainnya (Morrison et al.

1992).

III. PULAU SAMUDERA (OCEANIC ISLAND) DAN KANTONG HABITAT (HABITAT PATCH)

Dalam beberapa hal, dinamika populasi dan metapopulasi pada

kantong (patch) habitat benua (continental) menunjukkan karakteristik

yang berbeda dengan pulau samudera (oceanic island). Misalnya, pada

pulau samudera, laut di sekililingnya tidak dapat dihuni dan dispersal

melaluinya adalah kejadian yang jarang. Sebaliknya, pada lanskap benua,

lahan terganggu mungkin sub optimal tetapi dapat digunakan untuk

dispersal, istirahat atau migrasi musiman atau tahunan (Whitcomb 1977).

Oleh karena itu, pola perpindahan di antara kantong (patch) habitat pada

lanskap benua dapat lebih kompleks dari pada di antara pulau.

Disamping itu, ada perbedaan dalam pengaruh dari pola dan

juxtaposition dari patch habitat. Pada lanskap benua, pola patch secara

langsung mempengaruhi laju penghunian dan dinamika kolonisasi dan

dengan demikian populasi bertahan (persistent) di dalam areal. Mengingat

hal ini juga benar pada pulau samudera, maka umumnya tidak

dipertimbangkan dalam teori kesetimbangan pulau. Dengan demikian

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

65

penggambaran proses kolonisasi dan kepunahan bisa lebih kompleks dalam

lanskap hutan dari pada dalam pulau (Morrison et al. 1992).

Juga terdapat perbedaan dalam pengaruh ukuran patch.

Walaupun sebuah patch kecil dalam lanskap benua dapat berhenti berfungsi

sebagai habitat, sama halnya dengan pulau samudera yang kecil dan

terisolasi, ini dapat menyumbang pada kejadian (occurance) dan

keberadaan (persistence) dari suatu spesies dalam sebuah lanskap jika

kondisi di dekatnya atau sekitarnya suitable untuk spesies yang

dipertanyakan. Patch-patch di dalam lanskap benua memiliki ciri mendapat

tekanan invasi pengaruh tepi (edge effect) ke dalam interior patch.

Semakin kecil patch, semakin besar fraksi patch dipengaruhi oleh edge.

Tidak ada pesamaan yang jelas antara pengaruh tersebut dengan pulau

samudera. Demikian juga, bahkan jika patch lebih kecil dari yang

dibutuhkan untuk memberikan kebutuhan pokok bagi berbagai tahapan

kehidupan suatu asosiasi spesies, patch-patch mungkin masih memberikan

sumbangan berarti bagi dispersal, mencari makan, pelindung atau tempat

istirahat, tergantung pada lanskap dimana patch itu ada. Di sisi lain, suatu

pulau samudera yang kecil tidak memberikan sumbangan apa-apa (Morrison

et al. 1992).

Mungkin ada perbedaan dalam pengaruh kompetisi antara spesies

dalam pulau dan spesies dalam lanskap benua. Martin (1981) meneliti

burung-burung di 69 pulau hutan (shelterbelt) di Dakota selatan bagian

timur menemukan bahwa ketidakhadiran spesies tidak sesederhana karena

preferensi habitat atau isolasi. Interaksi kompetitif antar spesies

mempengaruhi jumlah individu dan spesies dalam komunitas dan struKtur

ekologi komunitas, sementara interaksi kondisi lingkungan, kesempatan dan

kompetisi menentukan pola distribusi individu spesies di antara komunitas.

Sebaliknya, spesies mamalia kecil di pulau barrier Virginia menunjukkan

tidak ada pengaruh dari kompetisi pada sumberdaya yang digunakan oleh

setiap spesies, walaupun tingkat segregasi habitat yang tinggi teramati

(Dueser & Porter 1986).

Laju kepunahan spesies, baik di pulau samudera maupun kantong

habitat dalam suatu lanskap merupakan fungsi dari meningkatnya isolasi,

yang diakibatkan oleh fragmentasi dan menurunnya luasan. Pada pulau-

PRAGMENTASI HUTAN

66

pulau dan dalam lanskap benua, laju kepunahan umumnya lebih tinggi pada

spesies dengan spesialisasi pada sumberdaya atau lingkungan tertentu dari

pada spesies yang lebih generalis (Morrison et al. 1992).

Schoener & Schoener (1983) yang meneliti kadal pada pulau-pulau

kecil Bahama melaporkan bahwa waktu untuk kepunahan secara langsung

meningkat dengan luas pulau. Di atas suatu luasan tertentu, kolonisasi

cepat, tetapi di bawahnya, pengkoloni dengan cepat menjadi punah.

Menurut Whitcomb et al. (1981) dalam kantong habitat benua, fungsi-fungsi

insiden (incidence functions) menunjukkan hubungan yang serupa antara

ukuran patch dan kehadiran spesies ketika patch cukup terisolasi dari

sumber spesies pengkoloni (Gambar 3). Pengaruh-pengaruh tersebut kurang

jelas ketika kantong habitat tenggelam dalam suatu matrix lanskap patch-

patch dengan berbagai kualitas lingkungan dan jarak antar patch.

Suatu konsep yang berhubungan dengan oceanic maupun

continental adalah laju penghunian (occupancy rate). Laju penghunian

suatu spesies dan kekayaan spesies dalam pulau-pulau, seperti juga dalam

patch-patch pada lanskap umumnya dipengaruhi tidak hanya oleh luas.

Sebagai contoh, Howe et al. (1981) melaporkan bahwa sekitar 75% spesies

burung di hutan hujan yang luas yang diteliti di New South Wales juga

teramati di hutan-hutan sisa (remnant forest). Spesies yang tidak tercatat

di remnant forest juga jarang di hutan hujan atau memiliki home range

yang luas sehingga tidak didukung o leh fragment-fragment yang terisolasi.

Ketidak hadiran spesies langka pada fragment-fragment tersebut mungkin

disebabkan oleh pengaruh kombinasi ukuran fragment yang kecil dan

isolasi, juga mungkin pengaruh sampling. Karena ukuran populasi yang

rendah, peluang kepunahan spesies langka di dalam fragment-fragment

tersebut mungkin tinggi, dan laju kolonisasi ke dalam fragment-fragment

tersebut dari sumber spesies di hutan yang lebih luas adalah rendah.

Dilaporkan juga beberapa spesies burung yang biasa di desa terbuka

ditemukan di remnant forest dan tidak di hutan yang luas, hal ini

membuktikan bahwa remnant forest berisi spesies edge dan suksesi awal

(Morrison et al. 1992).

Konsep relevan lainnya adalah prinsip founder (founder principle).

Prinsip ini menyatakan bahwa suatu kumpulan individu yang bermigrasi

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

67

dapat memulai sebuah sub populasi lokal pada suatu areal yang sebelumnya

tidak berpenghuni. Berkaitan dengan prinsip founder adalah rescue effect

yang terjadi ketika seekor imigran mengisi suatu patch-patch tidak

berpenghuni tetapi sebelumnya berpenghuni (Brown & Brown 1977).

Memahami bagaimana segment suatu populasi, seperti nonbreeding floaters

dapat berperan sebagai founder dan penyelamat adalah penting dalam

mendisain lanskap.

Lomolino (1984) melaporkan bahwa rescue effect mungkin

mempengaruhi distribusi dalam pulau (insular distribution) dua spesies vole

(Microtus pennsylbanicus dan Blarina brevicauda) di wilayah pulau seribu

sungai St. Lawrence, New York. Distribusi spesies di pulau-pulau tersebut

dihasilkan dari seleksi imigrasi – seleksi untuk untuk fenotip lebih vagile

dari populasi di dalam daratan sumbernya – dan tidak adanya predator di

pulau-pulau tersebut.

Jika lingkungan terganggu pada laju yang lebih cepat dari pada

yang dapat direspon oleh populasi secara demografik, maka faunal

relaxation penurunan kekayaan spesies atau penghunian pulau atau patch-

patch bisa terjadi. Faunal relaxation terjadi di dalam pulau atau lanskap

yang mengalami isolasi. Penurunan terjadi karena laju kolonisasi menurun

tetapi laju kepunahan lokal tidak. Relaxation tejadi dengan isolasi

mendadak dari lingkungan yang kaya (Morrison et al. 1992).

Faunal relaxation mungkin merupakan penyebab penurunan atau

hilangnya tujuh spesies burung yang menjadi ciri hutan tua di fragment

hutan oak-hemlock, di arboretum Connecticut antara tahun 1853 dan 1976.

Meskipun demikian, pada beberapa tahun belakangan ini, fragment-

fragment telah menjadi kurang terisolasi seiring suksesi vegetasi yang

meluas di areal-areal sekitarnya yang menghasilkan kondisi yang kondusif

untuk mendukung kembali spesies burung-burung hutan tua (Askin dan

Philbrick, 1983). Faunal relaxation mungkin sekarang tejadi di beberapa

taman nasional (Newmark 1986), walaupun bukti-buktinya diperdebatkan.

Faunal relaxation juga dapat terjadi di alam liar setelah 50 tahun

mendatang, seiring hutan tua menjadi berkurang pada lahan hutan produksi

kayu komersial, jika kesinambungan patch tidak dibuat (Morrison et al.

1992).

PRAGMENTASI HUTAN

68

Hasil dari faunal relaxation adalah kepunahan populasi lokal atau

terjadinya populasi relict (populasi bertahan hanya di sedikit lokasi).

Populasi relict tampaknya akhir-akhir ini terjadi di lokasi-lokasi yang

terasing dan terputus dan mungkin merupakan hasil dari kondisi lingkungan

sebelumnya. Kejadian dan distribusi populasi relict mungkin tidak

mencerminkan kondisi lingkungan saat ini maupun kemampuan disperasl

dari spesies. Dengan demikian, akan menjadi salah bila mendefinisikan

kebutuhan manajemen habitat dan lanskap berdasarkan studi pola kejadian

sekarang dan asosiasi lingkungan dari populasi relict tersebut (Morrison et

al., 1992).

Secara umum, pola kehadiran spesies pada patch-patch benua dan

lanskap, seperti halnya pada pulau-pulau samudera, merupakan hasil

turunan dari proses kolonisasi dan kepunahan. Hal ini pada gilirannya

adalah fungsi dari faktor-faktor seperti kemampuan dispersal spesies,

sejarah hidup dan karakteristik demografik; variasi dari kondisi iklim dan

sumberdaya lokal; ukuran patch dan spacing; perubahan dalam koridor

antar pacth dan tipe lingkungan yang digunakan untuk dispersal; dan

kehadiran kompetitor, predator, parasit dan penyakit (Morrison et al.,

1992).

IV. KESETIMBANGAN (EQUILIBRIUM) POPULASI ANTAR KANTONG HABITAT

(HABITAT PATCH) DAN SUB POPULASI

Titik dimana suatu spesies menempati kantong-kantong habitat di

dalam dan di antara lanskap bergantung dinamika pada dua skala;

kesetimbangan antara kolonisasi dengan kepunahan antar patch-patch lokal

dalam lanskap tertentu, dan kesetimbangan antar imigrasi (spesies yang

masuk) dengan emigrasi (spesies yang keluar) dan kematian antar sub

populasi dari suatu metapopulasi. Dua skala ini overlap antar spesies

dengan berbagai ukuran tubuh, areal yang digunakan, dan struktur

populasi. Tetapi prinsip utamanya adalah keseimbangan (balance) antara

laju kolonisasi dan kepunahan. Dengan demikian, kesetimbangan

(equilibrium) populasi merupakan suatu fungsi dari dinamika dispersal,

migrasi musiman, dan pergerakan (movement) lainnya dan menggambarkan

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

69

suatu keseimbangan (balance) antara rekruitmen dan kehilangan

demografik (Morrison et al. 1992).

Temple & Cary (1988) mengembangkan suatu model simulasi

komputer dari suatu lanskap yang berisi populasi hipotetik burung-burung

hutan interior yang fekunditasnya berhubungan negatif dengan

kedekatannya pada suatu edge dalam lanskap. Model ini

mendemonstrasikan jika beberapa spesies yang menunjukkan fekunditas

yang lebih rendah di dekat edge, kemudian persistensi mereka dalam suatu

lanskap dapat dikendalikan dengan mengatur jumlah keberadaan edge.

Dengan suatu populasi yang sederhana, bila emigrasi dari wilayah lain yang

reproduksinya lebih baik sama dengan nol atau sedikit, maka populasi yang

bergantung pada interior dalam lanskap yang sangat terfragmentasi dapat

menjadi punah secara lokal.

Dalam suatu model dinamik patch yang serupa, Fahrig dan Merriam

(1985) mengukur survival dari suatu populasi tikus kaki putih (Peromyscus

leucopus) di antara kantong-kantong hutan (forest patches) dalam suatu

lanskap pertanian. Model tersebut memprediksi bahwa tikus dalam areal-

areal berhutan yang terisolasi akan memiliki laju pertumbuhan lebih rendah

dan akan lebih rawan terhadap kepunahan lokal dari pada di dalam areal-

areal berhutan yang berkesinambungan. Prediksi ini telah diverifikasi

dengan observasi empiris terhadap populasi di alam liar (Morrison et al.

1992).

DAFTAR PUSTAKA

Askin, R.A. and M. Philbrick. 1983. Changes in Bird Community as a Forest

Fragment Becomes Less Isolated. Abstract of a paper presented at the 1983 meeting of the American Ornitologist’ Union, August, in

New York.

Brown, C.W. and A.K. Brown. 1977. Turnover Rates in Insular

Biogeography : Effects of Immigration on Extinction. Ecology 58 : 445-449.

Dueser, R.D. and J.H. Porter. 1986. Habitat Use by Insular Small Mammals. Relative Effects of Competition and Habitat Structure. Ecology 67 :

195-201.

Fahrig, L. and G. Merriam. 1985. Habitat Patch Connectivity and

Population Survival. Ecology 66 : 1762-1768.

PRAGMENTASI HUTAN

70

Howe, R.W., T.D. Howe and H.A. Ford. 1981. Bird Distribution on Small Rainforest Remnants in New South Wales. Australian Wildlife

Research 8 : 637-651.

Johnson, N.K. 1975. Controls of Number of Bird Species on Montane Islands

in Great Basin. Evolution 29:545-567.

Johnson, N.K. 1978. Patterns of Avian Geography and Speciation in the

intermountain. In Intermountain Biogeography : A Symposium. Pp.137-158. Great Basin naturalist Memoirs No. 2.

Karr, J.R. and K.E. Freemark. 1985. Disturbance and vertebrates : An Integrative Perpective. In S.T.A.Picket and P.S.White (eds). The

Ecology of Natural Disturbance and Patch Dynamics. Pp. 153-168. Academic Press. Orlando, Fla.

Lande, R. and G.F.Barrowclough. 1987. Effective Population Size, Genetic Variation, and Their Use in Population Management. In M.E.Soule

(ed). Viable Population for Conservation. Pp.189. Cambridge Univerity Press. Cambridge.

Lomolino, M.V. 1984. Immigrant Selection, Predation, and the Distributions of Microtus pennsylvanicus and Blarina brevicauda on Islands. American Naturalist 123 : 468-483.

Martin, T.E. 1981. Limitation in Small Habitat Islands : Chance or Competition? Auk 98 : 715-734.

Morrison, M.L., B.G. Marcot and R.W. Mannan. 1992. Wildlife-Habitat Relationship: Consepts and Applications. The University of

Wisconsisn Press. Madison, Wisconsin.

Newmark, W. 1986. Mammalian Richness, Colonization, and Extinction in

western North American National Parks. Ph.D. thesis University of Michigan, Ann Arbor.

Pickett, S.T.A. dan J.N. Thomson. 1978. Patch Dynamics and The Design of Nature Reserves. Biological Conservation 13 : 27-37.

Rothstein, S.I., J. Verner and E. Stevens. 1980. Range Expansion and Diurnal Changes in Dispersion of the Brown-Headed Cowbird in the

Sierra Nevada. Auk 97 : 253-267.

Schoener, T.W. and A. Schoener. 1983. The Time to Extinction of a

Colonizing Propagule of Lizards Increases with Siland Area. Natural Resources Conference 45 : 245-251.

Temple, S.A. dan J.R. Cary. 1988. Modeling Dynamcs of Habitat-Interior Bird Populations in Fragmented Landscapes. Conservation Biology 2

: 340-347.

Wilcove, D.S., C.H. McLellan and A.P. Dobson. 1986. Habitat

Fragmentation in the Temperate Zone. In M.E.Soule (ed). Conservation Biology. Pp. 237-256. Sinauer Associates.

Sunderland, Mass.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

71

7

PENGARUH FRAGMENTASI TERHADAP SATWALIAR

PENDAHULUAN

KERUSAKAN HABITAT

MENGURANGI DAYA HIDUP (VIABILITY)

PENGARUH PADA POPULASI

PENGURANGAN LUAS HABITAT

PERUBAHAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

PENGARUH ISOLASI PATCH

EFEK TEPI (EDGE EFFECT)

SPESIES, RELUNG MAKAN DAN FRAGMENTASI

FRAGMENTASI HABITAT DAN KEPUNAHAN

PEMANGSAAN DAN FRAGMENTASI

FRAGMENTASI HABITAT DAN PERILAKU SATWA

DAFTAR PUSTAKA

I. PENDAHULUAN

Fragmentasi habitat merupakan proses perubahan lingkungan yang

penting dalam evolusi dan biologi konservasi. Fragmentasi menggambarkan

terjadinya ketidaktersambungan/ discontinuity (fragmentasi) dalam

lingkungan (habitat) suatu organisme. Fragmentasi habitat dapat

disebabkan oleh proses-proses geologi yang secara perlahan mengubah tata

letak lingkungan fisik atau oleh kegiatan manusia seperti konversi lahan

yang dapat mengubah lingkungan dengan lebih cepat. Proses geologis

PRAGMENTASI HUTAN

72

dianggap sebagai penyebab utama terjadinya spesiasi, sedangkan kegiatan

manusia dianggap sebagai penyebab kepunahan banyak spesies

(http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation).

Fragmentasi habitat seringkali disebabkan oleh manusia ketika

vegetasi alami ditebang untuk kegiatan manusia seperti pertanian,

pengembangan pedesaan atau perkotaan. Habitat-habitat yang sebelumnya

kontinyu menjadi terpecah ke dalam fragment-fragment yang terpisah.

Setelah penebangan yang intensif, fragment yang terpisah cenderung

menjadi ”pulau-pulau” yang sangat kecil dan terisolasi satu sama lain oleh

lahan budidaya, peternakan, jalan pengerasan atau bahkan lahan terbuka.

Lahan terbuka seringkali merupakan hasil dari sistem pertanian tebas-bakar

(slash and burn) di hutan-hutan tropika. Di jalur lahan gandum di New

South Wales Tengah bagian barat, Australia, 90% dari vegetasi alami telah

ditebang dan mengakibatkan fragmentasi habitat yang ekstrim

(http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation).

Fragmentasi habitat dapat mencakup enam proses diskrit yaitu

(http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation):

Pengurangan luas total habitat

Meningkatnya jumlah habitat pinggiran (edge)

Menurunnya jumlah habitat bagian dalam (interior)

Isolasi fragment habitat yang satu dari fragment habitat lainnya

Memecah satu kantong habitat (habitat patch) menjadi beberapa

kantong (patch) yang lebih kecil.

Menurunnya luas rata-rata dari setiap kantong habitat (habitat patch).

II. KERUSAKAN HABITAT

Salah satu cara utama bagaimana fragmentasi habitat

mempengaruhi keanekaragaman hayati adalah mengurangi jumlah habitat

yang tersedia (available) bagi tumbuhan dan satwa seperti hutan hujan,

hutan lainnya, samudera dan lain-lain. Fragmentasi habitat selalu

menyebabkan sejumlah kerusakan habitat. Tumbuhan dan organisme lain

yang tak dapat pindah (sessile) dalam areal ini biasanya langsung punah.

Satwa yang dapat bergerak (khususnya burung dan mamalia)

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

73

menyelamatkan diri ke kantong habitat yang tersisa. Hal ini dapat

menyebabkan terjadinya pengaruh kerumuman (crowded effect) dan

meningkatkan kompetisi. (http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation).

Gambar 12. Contoh habitat yang terfragmentasi oleh: (1) jaringan listrik,

(2) jalan raya, (3) tebang habis dan (4) pertanian (Foto: Hendra Gunawan, 2008).

Fragment habitat yang tersisa selalu lebih kecil dari habitat

aslinya. Spesies yang tidak dapat berpindah antar fragment harus bertahan

dengan sumberdaya yang ada pada fragment tunggal dimana mereka

menghabiskan sisa hidupnya. Karena satu dari penyebab utama kerusakan

habitat adalah pembangunan pertanian, fragment habitat jarang mewakili

lanskap semula (http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation).

1

1

2

4

3

2

3

PRAGMENTASI HUTAN

74

III. MENGURANGI DAYA HIDUP (VIABILITY)

Luas area merupakan petunjuk utama jumlah spesies di dalam

sebuah fragment. Ukuran fragment akan mempengaruhi jumlah spesies

ketika fragment terjadi, dan akan memepengaruhi kemampuan spesies

tersebut untuk bertahan di dalam fragment itu. Fragment-fragment

habitat yang kecil hanya dapat mendukung populasi-populasi kecil

tumbuhan dan satwaliar dan populasi-populasi kecil lebih rentan terhadap

kepunahan. Fluktuasi kecil dalam iklim, sumberdaya atau fakor-faktor lain

yang dianggap tidak penting dan diharapkan bisa cepat terkoreksi dalam

populasi-populasi besar dapat menjadi kastatropik dalam populasi-populasi

kecil dan terisolasi. Dengan demikian fragmentasi habitat merupakan suatu

penyebab penting dari kepunahan spesies. Dinamika dari populasi -populasi

yang telah terbagi cenderung tidak sama satu sama lain

(http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation).

Dalam sebuah lanskap yang tidak terfragmentasi, penurunan

populasi dapat diselamatkan oleh imigrasi dari limpahan populasi di

dekatnya. Dalam lanskap terfragmentasi, jarak antar fragment dapat

mencegah hal tersebut terjadi. Sebagai tambahan, fragment-fragment

habitat yang tidak dihuni yang terpisahkan dari suatu sumber pengkoloni

oleh beberapa penghalang memiliki peluang yang kecil untuk dihuni

kembali (repopulated) dari pada fragment-fragment yang tersambung.

Bahkan spesies kecil seperti katak totol Colombia tergantung pada rescue

effect. Penelitian menunjukkan 25% juvenil menempuh jarak lebih 200m

dibandingkan dengan 4% dewasa. Sisanya, 95% di lokasi baru mereka,

menunjukkan bahwa perjalanan ini diperlukan untuk bertahan hidup.

Dispersal yang tinggi pada amfibia lainnya mengindikasikan bahwa spesies

langka ini terancam kepunahan dalam kelasnya

(http://en.wikipedia.org/wiki/ Habitat_fragmentation).

Sebagai tambahan, fragmentasi habitat membawa pada edge

effect. Perubahan iklim mikro dalam penyinaran, temperatur dan angin

dapat mengubah ekologi di sekitar fragment, di bagian interior dan

eksterior fragment. Kebakaran menjadi lebih berpeluang terjadi seiring

merosotnya kelembaban dan meningkatnya temperatur dan kecepatan

angin. Spesies eksotik dan hama dapat berkembang dengan sendirinya lebih

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

75

mudah dalam lingkungan yang terganggu tersebut, dan hewan ternak yang

berdekatan sering mengganggu ekologi alami. Demikian juga, habitat

sepanjang edge dari fragment memiliki iklim berbeda dan menyenangkan

spesies yang berbeda dari habitat interior. Oleh karena itu, fragment-

fragment kecil tidak disukai oleh spesies yang membutuhkan habitat

interior (http://en.wikipedia.org/wiki/ Habitat_fragmentation).

IV. PENGARUH PADA POPULASI Fragmentasi hutan mempengaruhi populasi-populasi tumbuhan dan

satwa pada beberapa skala. Pada skala lanskap yang lebih besar seperti

Daerah Aliran Sungai (DAS) Teluk Chesapeake, populasi-populasi penghuni

hutan yang sebelumnya berkesinambungan te lah mengalami pemecahan

menjadi sub populasi yang lebih kecil menempati fragment-fragment hutan

yang tersisa. Ilmuwan percaya bahwa sub populasi-sub populasi ini dapat

berperan sebagai metapopulasi. Suatu metapopulasi merupakan kumpulan

dari populasi-populasi kecil yang menempati sejumlah kantong habitat

(Gambar 13). (http://chesapeake.towson. dulandscape/forestfrag/effects.asp).

Individu-individu secara tidak teratur berpindah antar patch, dan

populasi dapat menjadi punah di dalam patch individual sebagai akibat dari

peluang kejadian (chance events). Sebagai contoh, dua jantan dalam suatu

populasi dari enam betina dapat dimakan predator. Jika tidak ada jantan

lain yang imigrasi ke dalam patch tersebut dari patch lain, populasi di

dalam patch tersebut akan mengalami kepunahan. Populasi-populasi kecil

dianggap rawan mengalami tipe peluang kepunahan ini. Tetapi, karena

individu-individu secara tidak teratur berpindah antar patch, maka patch

yang kosong akhirnya akan dikolonisasi dan ditempati lagi di masa

mendatang (Gambar 14) (http://chesapeake.towson.edu/landscape/

forestfrag/effects.asp).

PRAGMENTASI HUTAN

76

Gambar 13. Sekumpulan patch hutan yang ditempati oleh populasi-populasi penghuni hutan. Tebal tipisnya panah menunjukkan laju pertukaran individu antar populasi (panah tebal menunjukkan lebh banyak pertukaran). Catatan : Laju pertukaran dikoreksi oleh seberapa dekat patch-patch dalam ruang (Sumber: http://chesapeake.towson.

edulandscape/forestfrag/effects.asp).

Jika laju kolonisasi pada patch-patch kosong lebih tinggi dari laju

kepunahan, metapopulasi akan bertahan. Hal ini karena ketika beberapa

patch mengalami kepunahan, yang lainnya dikolonisasi. Akibatnya,

perpindahan individu-individu antar populasi mengikat semua populasi ke

dalam suatu metapopulasi yang dapat bertahan dalam lanskap yang

terganggu.

Gambar 14. Penghunian (occupancy) sekumpulan patch hutan yang mendukung

suatu metapopulasi spesies penghuni hutan pada dua waktu yang berbeda. Patch hitam ditempati dan patch putih tidak ditempati. Catatan: penghunian pada patch individual berubah sepanjang waktu (seperti patch-patch dikolonisasi dan populasi-populasi di dalam patch punah), tetapi jumlah patch-patch yang ditempati tetap sama sepanjang waktu. Sumber: http://chesapeake.towson.edu/ andscape/forestfrag/effects.asp).

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

77

Masalah bagi perencana lahan adalah bahwa laju perpindahan

individu-individu antar patch ditentukan oleh seberapa dekat atau

bagaimana patch-patch itu terpisahkan. Patch-patch yang berjauhan dari

patch lainnya tidak akan bertukaran individu denga patch-patch lainnya,

dan populasi kecil yang tersisa dalam patch akhirnya akan mengalami

kepunahan. Patch-patch menjadi lebih terisolasi satu sama lain, laju

kolonisasi merosot ke titik dimana laju kepunahan lebih tinggi dari laju

kolonisasi, dan seluruh metapopulasi akan mengalami kepunahan. Hal ini

akan terjadi sebelum semua patch di dalam suatu lanskap hilang. Yang

perlu digaris-bawahi adalah bahwa patch-patch yang berdekatan satu sama

lain memberikan habitat yang lebih baik dari pada patch-patch yang

terisolasi walau memiliki ukuran yang sama

http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/effects.asp).

Pada skala patch hutan individual, beberapa faktor mempengaruhi

nilainya sebagai habitat tumbuhan dan satwaliar. Secara umum, patch-

patch yang lebih besar mendukung lebih banyak spesies. Hal ini karena

patch hutan yang lebih besar memiliki lebih banyak variasi habitat dan

mendukung populasi yang lebih besar sehingga kurang rawan terhadap

peluang kepunahan. Lagipula, hanya patch-patch besar cenderung berisi

habitat yang cukup untuk mendukung spesies seperti mamalia yang lebih

besar yang membutuhkan areal yang lebih luas

(http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/effects.asp).

Patch hutan individual juga dipengaruhi oleh kondisi di sekitarnya.

Pada tepi hutan (forest edge), angin dan sinar matahari mengakibatkan

kondisi yang lebih kering dari pada di dalam interior patch hutan. Tepi

hutan juga lebih mudah dicapai oleh predator dan parasit yang dapat

terjadi di lahan tetangganya atau areal yang terbangun di sekitarnya.

Sebagai contoh, kucing rumah yang membunuh burung kecil seringkali lebih

umum ada di tepi hutan yang dekat dengan pemukiman. Cowbird, yang

merupakan burung parasit sarang juga lebih umum terdapat di hutan yang

dekat dengan lahan terbuka dimana mereka biasa mencari makan. Cowbird

meletakkan telurnya di sarang burung lain (burung inang). Burung-burung

inang akan merawat telur-telur burung cowbird. Ketika telur menetas,

burung cowbird yang tubuhnya lebih besar akan berebut makanan dengan

PRAGMENTASI HUTAN

78

anak burung inangnya dan bahkan dapat mendorong anak inangnya keluar

dari sarang (http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/effects.asp).

Beberapa spesies burung interior hutan tidak toleran terhadap

kondisi yang lebih kering atau terhadap predator dan parasit yang terjadi di

tepi hutan. Spesies ini hanya ada di pusat habitat dari patch hutan

(Gambar 15).http://chesapeake.towson. edulandscape/forestfrag/effects.asp).

Gambar 15.

Grafik menunjukkan hubungan antara kelembaban tanah dengan

edge dan core habitat dalam patch hutan. Banyak spesies burung tidak

dapat mentolerir kondisi tepi habitat (habitat edge) dan hanya ditemukan

di dalam core habitat (Sumber:http://chesapeake.towson.

edulandscape/forestfrag/ effects.asp).

V. PENGURANGAN LUAS HABITAT

Fragmentasi habitat, meskipun terjadi secara alami tetap saja

mengurangi luas total suatu habitat asli. Keller and Anderson (1992)

menyatakan bahwa kehilangan habitat absolut dari suatu habitat asli dan

pengurangan kepadatan sumberdaya sehubungan dengan fragmentasi

berpotensi mempengaruhi biota lebih dari faktor-faktor tunggal lainnya.

Fragmentasi habitat mempengaruhi flora dan fauna dari suatu ekosistem

dengan mengganti ekosistem alami dengan lanskap yang didominasi

manusia yang mungkin tidak cocok bagi sejumlah spesies asli tertentu.

Meskipun demikian, berbeda dengan samudera sebagai penghalang

geografik, matrix lanskap buatan manusia dapat dicapai/dilewati oleh flora

dan fauna, karena mereka dapat dengan mudah menyebar melewatinya,

jika tidak tinggal di dalamnya

http://learning.turner.com/efts/rforest/habfrag.htm).

Di sisi lain, lanskap buatan manusia dapat secara langsung

menyumbang pada kepunahan spesies di dalam “pulau habitat” (habitat

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

79

island) dengan menggangu keseimbangan ekosistem yang disukai oleh

spesies yang sangat beradaptasi dengan kondisi yang berubah. Sebagai

contoh, meningkatnya jumlah lanskap yang didominasi manusia

memungkinkan spesies tertentu untuk tumbuh secara fenomenal, tetapi

dapat membahayakan spesies yang secara ekslusif tergantung pada patch

habitat interior. Contoh yang sering dikutip adalah burung parasit

cowbird kepala cokelat (Molothrus ater) yang populasinya meningkat secara

dramatis sejak manusia mulai mengganggu lanskap pada skala luas di

Amerika Utara. Cowbird kepala cokelat merupakan parasit sarang, yaitu

mengganti telur-telur burung inangnya dan menggantikannya dengan

telurnya sendiri dan membiarkan burung inang yang tidak menyadarinya

mengerami dan membesarkannya. Peningkatan jumlah burung cowbird

tersebut berdampak negatif terhadap keberhasilan perkembangbiakan

banyak burung-burung penyanyi penghuni tetap hutan (Mayfield 1977).

Disamping gangguan keseimbangan ekosistem yang disukai oleh

spesies yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi, kehilangan habitat

akibat fragmentasi dengan mudah dapat menyebabkan populasi dan jelajah

spesies interior berkurang. Saunders (1989) mencatat satu contoh yang

jelas, bagaimana perubahan areal yang luas dari habitat yang utuh menjadi

pulau-pulau yang terfragmentasi mempengaruhi avifauna. Ia meneliti

perubahan avifauna di jalur ladang gandum Australia bagian barat sebagai

akibat dari fragmentasi. Ia menunjukkan bahwa 41% burung-burung asli di

wilayah tersebut telah menurun kelimpahan dan jelajahnya sejak 1900-an

dan menunjukkan bahwa hampir semua perubahan ini secara langsung

diakibatkan oleh fragmentasi habitat dan penurunan kelimpahan vegetasi

alami. Walaupun beberapa spesies meningkat kelimpahannya, ia

menekanankan bahwa lebih banyak spesies yang dirugikan dari pada yang

diuntungkan.

Bentuk fragment hutan mempengaruhi luasan interior yang

terkandung di dalamnya, seperti diperllihatkan pada Gambar 16, dimana

luas dari seluruh fragment hutan contoh adalah sekitar 50 ha. Fragment

hutan mungkin cukup besar tetapi memiliki interior yang kecil karena

bentuknya linear. Bentuk fragment seperti lingkaran atau bujur sangkar

memiliki proporsi interior terbesar dibandingkan terhadap luas totalnya dan

PRAGMENTASI HUTAN

80

dapat memiliki hampir dua kali lipat luas interior fragment berbentuk

persegi panjang sempit dengan luas total yang sama

(http://www.lrconline.com).

Sumber: http://www.lrconline.com

Gambar 16. Berbagai bentuk fragment dan gambaran luas interior-nya.

Spesies yang meningkat kelimpahan dan jelajahnya ketika terjadi

fragmentasi habitat adalah spesies yang mampu beradaptasi. Dengan

perkataan lain, kebutuhan sumberdayanya dapat dipenuhi oleh berbagai

kondisi sehingga sering diuntungkan oleh kegiatan manusia yang mengurangi

kompetisi dengan spesies lain. Karena hal ini, spesies yang diuntungkan

oleh kegiatan manusia bukanlah spesies yang harus kita kelola dan lindungi.

Sebaliknya, kita perlu melindungi spesies yang berjuang sendiri untuk

bertahan dalam habitat yang terus menghilang dengan cepat (Harris 1984).

Kita dapat membuat prediksi skala lanskap tentang efek

kehilangan hutan dari efek isolasi skala patch, karena isolasi patch

merupakan fungsi khas dari jumlah hutan dalam suatu lanskap. Prediksi

skala lanskap berdasarkan pada efek ukuran patch tidaklah jelas karena

ukuran patch dapat dikurangi oleh kehilangan atau oleh kombinasi

kehilangan habitat dan fragmentasi (Gambar 17).

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

81

VI. PERUBAHAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

Disamping mengubah fisik bagian habitat as li, berkurangnya luas

habitat as li dapat menurunkan keanekaragaman hayati suatu areal melalui

beberapa cara. Menurunnya keanekaragaman hayati suatu areal dapat

terjadi jika fragment habitat lebih kecil dari pada home range satwa yang

memiliki home range terbesar yang ada di dalam ekosistem utuhnya.

Banyak burung memiliki home range besar karena mereka membutuhkan

sumberdaya yang terdistribusi dalam patch-patch. Sebagai contoh,

sepasang burung pelatuk paruh gading (Campephilus principalis) yang

berkembangbiak membutuhkan hutan dataran bawah (bottomland) kontinyu

yang tak terganggu seluas 6,5-7,6 km2, dan Elang goshawk Eropa (Accipiter

gentilis) membutuhkan 30-50 km2 untuk home range-nya (Wilcove et al.

1986).

Jika fragment habitat yang ada lebih kecil dari pada luas minimum

yang dibutuhkan oleh suatu spesies, individu-individu spesies tersebut

berpeluang tidak akan ditemukan di dalam fragment habitat tersebut.

Sebagai contoh, sejenis burung wabler Lousiana waterthrush (Seirus

motacilla) jarang ditemui di tegakan pohon yang sempit karena mereka

membutuhkan perairan terbuka di dalam home range mereka, dan hampir

semua tegakan pohon yang sempit tidak memiliki sungai atau kolam yang

sepanjang tahun berair (Robbins, 1980). Jika suatu spesies membutuhkan

dua atau lebih tipe habitat, mereka sering dianggap dapat mengalami

kepunahan lokal akibat fragmentasi habitat, karena seringkali mereka tidak

dapat dengan bebas berpindah antara tipe habitat yang berbeda. Burung

blue-grey gnatcatcher (Polioptila caerulea) berpindah dari hutan deciduous

ke padang chaparral selama musim berkembangbiak, dan jika satu dari

kedua habitat tersebut tidak dapat dijangkau, mereka diduga kuat akan

mengalami kepunahan lokal (Wilcove et al. 1986).

PRAGMENTASI HUTAN

82

Gambar 17. Pengaruh kehilangan dan fragmentasi habitat pada ukuran

patch dan isolasi (Fahrig, 1997).

Hilangnya beberapa spesies dari suatu komunitas bisa memiliki

pengaruh sekunder yang beruntun di seluruh ekosistem. Sebagai contoh,

hilangnya predator puncak dari suatu areal karena fragment terlalu kecil

dapat menyebabkan meningkatnya omnivora kecil, yang pada gilirannya

nanti dapat menyebabkan tekanan pemangsaan yang berlebihan pada telur

dan anak burung-burung penyanyi, akhirnya menyebabkan penurunan

keberhasilan perkembangbiakan burung-burung tersebut.

Komunitas tropika sering dianggap kehilangan keanekaragaman

hayati dari pada komunitas daerah temperate karena spesies tropika

biasanya ditemukan dalam kepadatan yang lebih rendah dan tidak

terdistribusi secara luas, dan sering memiliki kemampuan dispersal yang

lebih lemah (Wilcove et al. 1986). Banyak spesies tropika terlibat dalam

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

83

hubungan mutualisme yang kompleks seperti hubungan tumbuhan-

penyerbuk, tumbuhan-penyebar biji, dan parasit-inang, sehingga tidak

dapat dihindari kepunahan lokal salah satu spesies menyebabkan kepunahan

spesies lainnya. Burung kasuari (Casuarius casuarius), pemakan buah di

hutan hujan di Australia, diduga kuat mengalami kepunahan lokal akibat

fragmentasi habitat karena kebutuhan habitatnya berupa hutan hujan

kontinyu yang luas berkaitan dengan hubungan mutualisme yang unik antara

keduanya yaitu tumbuhan-penyebar biji. Burung besar yang tak dapat

terbang ini mengembara secara nomaden dalam mencari musim berbuah.

Kasuari berfungsi sebagai satu dari sedikit penyebar biji -biji berukuran

besar, yang banyak diantaranya perlu dikupas dan dipecah (dicerna)

sebelum berkecambah. Kepunahan kasuari dari fragment hutan hujan tak

dapat dihindarkan akan membawa kepunahan pohon-pohon atau tumbuhan

yang tergantung padanya sebagai penyebar/pemecah biji.

Disamping menjadi rumah bagi spesies terancam punah, komunitas

tropika terancam kerusakan dan fragmentasi karena lokasi fisiknya overlap

dengan batas-batas geografis negara-negara dunia ketiga. Dalam negara-

negara ini, masyarakatnya seringkali terantung pada penghasilan yang

didapatkan dari kayu hutan hujan atau ternak yang dibudidayakan dengan

menebang habis hutan hujan. Tekanan yang konstan pada komunitas hutan

hujan ini mengakibatkan fragmentasi habitat yang sangat luas. Fragment-

fragment kecil terisolasi yang dihasilkan menyebabkan ganguan pada

keseimbangan ekosistem. Ahli ekologi Thiollay dan Myberg (1988) meneliti

status dari semua burung pemangsa (raptor) yang ditemukan tersisa di

habitat hutan hujan di pulau tropika Jawa, dimana hampir semua habitat

asli hanya tersisa di cagar-cagar alam. Hampir semua raptor sangat jarang

ditemukan di luar cagar-cagar alam sebagaimana telah diduga sebelumya.

Mereka juga menemukan bahwa semakin besar ukuran cagar, semakin padat

populasi raptor di dalamnya.

Menariknya, Lovejoy et al. (1986) menemukan fenomena yang

serupa dengan burung-burung Amazon dalam proyek dinamika biologi

fragment hutan (Biological Dynamics of Forest Fragments = BDFF;

sebelumnya Minimum Critical Size of Ecosystem) di Brazil. Tujuan utama

proyek BDFF adalah untuk menemukan bagaimana komunitas hutan hujan

PRAGMENTASI HUTAN

84

merespon setelah suatu ekosistem utuh terpecah menjadi fragment-

fragment dengan ukuran berbeda. Mereka menemukan suatu crowding

effect, dimana kelimpahan burung-burung dalam fragment hutan langsung

meningkat secara signifikan setelah terjadi deforestasi di areal

tetangganya. Meningkatnya jumlah burung disebabkan oleh migrasi burung -

burung dari areal yang baru saja ditebang habis ke dalam fragment hutan

tersebut. Crowding effect menurun dengan meningkatnya ukuran suatu

fragment hutan.

VII. PENGARUH ISOLASI PATCH

Isolasi kantong-kantong habitat (habitat patches) terjadi seiring

lanskap yang terus terfragmentasi. Areal-areal dari tipe yang sama menjadi

terisolasi, tidak hanya oleh jarak tetapi juga oleh ketidakcocokan karena

gangguan lingkungan, memposisikan tumbuhan dan satwa tanpa adaptasi

untuk perpindahan jarak panjang pada situasi yang tidak menguntungkan.

Ketidakmampuan spesies untuk berpindah antar kantong habitat

menyebabkan hilangnya variasi genetik dan keanekaragaman yang akhirnya

dapat mengakibatkan hilangnya spesies tersebut di dalam habitat yang

tefragmentasi itu. Seiring dengan lingkungan yang terganggu menjadi

meningkat ketidakcocokannya, bahkan spesies yang lebih mobile pun dapat

terhambat dalam perpindahan antar pulau habitat. Saat ini banyak

komunitas dan fragment-fragment ekosistem yang terpisah jauh dan sangat

berkurang luasnya sehingga banyak satwa gagal mempertahankan

populasinya. Komunitas-komunitas tersebut menjadi sistem tertutup

sehingga rawan menghadapi perubahan katastropik dari kejadian-kejadian

seperti penyakit, kekeringan, angin topan atau banjir.

Beberapa contoh paling penting isolasi yang dihasilkan dari

fragmentasi habitat atau komunitas dapat ditemukan adalah ada pada apa

yang tertingal dari ekosistem prairie. Ekosistem ini sekarang sangat

berkurang menjadi fragment-fragment kecil yang terisolasi dan terpencar

di tengah ”lautan” pertanian dan lahan yang tidak cocok lainnya bagi

banyak spesies prairie, khususnya invertebrata dan tumbuhan. Tanpa

koridor penghubung atau stepping stones, spesies-spesies tersebut

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

85

menghadapi ancaman inbreeding yang berlanjut pada penurunan jumlah

dan bahkan kepunahan dari kantong habitatnya.

Baik komunitas tropika maupun temperate menghadapi masalah

yang sama yaitu inbreeding dan kehilangan keanekaragaman genetik, yang

dihasilkan oleh sub populasi tumbuhan dan satwa yang terisolasi satu sama

lain akibat dari fragmentasi habitat. Jika ada jarak yang terlalu besar

antara dua fragment dan suatu spesies tidak dapat menyebar melintasi

areal di antaranya, populasi tersebut secara prinsip telah terpecah.

Inbreeding bisa terjadi jika sub populasi pada fragment yang ada kecil. Hal

ini tidak langsung didokumentasikan, tetapi potensial terjadi.

Hilangnya keanekaragaman genetik dapat terjadi bahkan tanpa

inbreeding dan hasilnya homosigositas pada gen-gen tertentu dapat

menyebabkan evolusi yang berakhir pada kematian suatu spesies (Soule

1986). Dalam rangka meningkatkan pertukaran antara fragment-fragment,

banyak manajer satwaliar mengaplikasikan koridor-koridor yang

menghubungkan dua atau lebih pulau-pulau habitat. Berdasarkan

penelitian MacClintock et al. (1977) koridor-koridor meningkatkan kekayaan

spesies burung-burung yang berkembangbiak dan meningkatkan perjalanan

satwa penyebar biji (Harris 1984). Koridor-koridor dapat mencegah

hilangnya keanekaragaman genetik dan memungkinkan dispersal spesies

antar fragment, tetapi hilangnya ekosistem asli menjadi fragment-

fragment terus saja terjadi. Berkurangnya luas ekosistem alami hanya

dapat merugikan spesies yang tergantung padanya untuk hidup.

VIII. EFEK TEPI (EDGE EFFECT)

Edge adalah bagian luar dari batas (boundary) suatu kantong

habitat (habitat patch). Efek tepi (Edge effect) adalah suatu kondisi

dimana habitat yang sesuai menjadi kurang sesuai atau sebaliknya bagi

suatu spesies karena bersebelahan dengan lahan bukan habitat (non

habitat). Degradasi habitat ini dapat terjadi karena pemangsaan dari

spesies yang hidup di luar patch, atau meningkatnya kompetisi dengan

spesies yang hidup di luar kantong habitat.

PRAGMENTASI HUTAN

86

Edge effect terjadi di dekat perbatasan dua atau lebih tipe

habitat yang berbeda. Edge effect menguntungkan bagi banyak spesies

tumbuhan dan satwa karena edge memberikan mereka manfaat dari dua

atau lebih tipe habitat untuk survival mereka. Tetapi banyak spesies lain

yang mendapatkan pengaruh negatif akibat terlalu banyaknya edge.

Konsentrasi banyak spesies dekat edge menyebabkan meningkatnya

kompetisi, pemangsaan dan parasitisme. Perambahan spesies eksotis

sangat berkaitan dengan dinamika edge. Di hutan-hutan, banyak spesies

eksotik masuk ke interior, bermula dari zona tergangu yang berkaitan

dengan gangguan yang ditimbulkan oleh manusia.

Satu aspek lain areal yang

harus dipertimbangkan adalah batas

(boundary) antara habitat yang

menjadi perhatian dan habitat-

habitat di sekelilingnya (Gambar 18).

Hal ini melahirkan pertanyaan

tentang edge effect, karena boundary

umumnya gradual, tidak tajam

http://faculty.plattsburgh.edu/thom

as. wolosz/extinction.htm.

Kita tertarik pada edge bagian luar (outer edge) atau zone edge

effect akan memiliki beberapa kondisi yang berbeda dengan kondisi di

dalam habitat. Jika kita membicarakan tentang boundary antara hutan dan

ladang, misalnya, edge effect dapat meliputi derajat yang lebih tinggi dari

penyinaran matahari di edge hutan, kecepatan angin yang lebih besar, dan

kondisi yang lebih kering dan teduh. Zona edge ini dapat berfungsi sebagai

jebakan ekologi dimana ia menggambarkan habitat yang diinginkan untuk

beberapa satwa, tetapi mungkin tidak diinginkan oleh sejumlah besar

Gambar 18.

Ilustrasi zona pengaruh tepi (edge effect) suatu pulau habitat

(Sumber:http://faculty.plattsburgh.edu/thomas.wolosz/ extinction.htm).

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

87

pemangsaan oleh satwa yang tinggal di habitat sekeli lingnya. Di antara

burung-burung, masalah umum sepanjang zona edge meliputi pemangsaan

sarang dan parasit terhadap anakan oleh spesies seperti burung cowbird.

IX. SPESIES, RELUNG MAKAN DAN FRAGMENTASI

Beberapa spesies sensitif terhadap ukuran habitat dan disebut

“area-sensitive” (sensitif terhadap luas). Dengan demikian spesies interior

hutan yang berkembagbiak seperti burung oven dan wabler Kentucky

menurun populasinya jika terjadi fragmentasi (Gibbs & Faarborg 1990).

Pengaruh fragmentasi hutan tropika pada komunitas kumbang

kotoran dan bangkai telah dipelajari oleh Klein (1989) di Amozonia Tengah.

Fragment-fragment memiliki spesies lebih sedikit, lebih jarang dan lebih

tersebar. Perbedaan ini merupakan bukti ketika fragment satu hektar

dibandingkan dengan hutan tak terganggu. Perpindahan kumbang

terinterupsi oleh penebangan habis dan hanya setelah hutan sekunder

tumbuh kembali, beberapa kumbang dapat berpindah di dalam fragment-

fragment, walaupun jaraknya hanya beberapa meter. Mungkin iklim mikro

dan khususnya pengeringan di batas tegakan kayu menciptakan kondisi

penghalang untuk kumbang-kumbang hutan bagian bawah (understorey)

(Farina 2000).

Peranan kumbang kotoran dan bangkai sebagai pemusnah larva

nematoda (cacing) dan parasit gastrointestinal lainnya dari vertebrata

adalah sangat penting dalam pengendalian penyakit. Dengan meningkatnya

fragmentasi hutan tropika dan konsekuensinya pengurangan jumlah

kumbang tersebut, kita dapat menduga akan terjadi peningkatan pe nyakit

vertebrata (Farina 2000).

Ketika pengaruh-pengaruh fragmentasi habitat diteliti pada skala

spesies tunggal atau kelompok spesies yang berkerabat/berhubungan,

adalah mungkin untuk menemukan hasil yang mengejutkan, menarik dan

tak terprediksi. Contohnya adalah kalajengking Cercophonius squama dan

Amphipoda, famili Tallitridae, sebagaimana dilaporkan oleh Margules et al.

(1994). Dalam waktu jeda 8 tahun yaitu 3 tahun sebelum fragmentasi dan 5

tahun setelah fragmentasi dalam plot yang diberi perlakukan dan terkontrol

PRAGMENTASI HUTAN

88

dari hutan kayu keras Australia yang didominasi oleh Eucalyptus,

fragmentasi tidak memberikan pengaruh pada kelimpahan kalajengking.

Berbeda untuk Amphipoda, yang menurun dengan jelas setelah fragmentasi,

penurunan lebih besar terjadi di sisa hutan yang kecil dibandingkan di sisa

hutan yang luas (Farina 2000).

Kemungkinan kalajengking, sebagai hewan purba menggunakan

perilaku membuat lubang selama periode kering, dan memiliki kemampuan

untuk menghindar dari tekanan lingkungan akibat fragmetasi. Hal ini tidak

dapat dilakukan oleh Amphipoda, yang lebih sensitif terhadap ik lim mikro

dan memiliki sejarah evolusi yang lebih muda. Ini merupakan i lustrasi yang

baik bahwa ketika kita mempelajari fragmentasi pada level spesies,

hasilnya bisa sangat berbeda sama sekali (Farina 2000).

Tindakan pengelolaan harus diambil sehubungan dengan tingkah

laku populasi dan skala lanskap dan populasi di dalam hutan-hutan sisa

(remnant), daripada hanya mempertimbangkan jumlah spesies.

Malacosoma disstria merupakan larva kupu-kupu yang berlindung di hutan

yang mengalami outbreak (meledak) selama periode berbeda dan

berhubungan dengan struktur hutan (Roland 1993). Jumlah edge hutan per

kilometer persegi merupakan penduga yang baik bagi periode outbreak.

Parasitoid mungkin kurang efisien dalam mengendalikan Malacosoma

disstria sepanjang fragment. Sebagaimana dengan banyak spesies

Lepidoptera, Malacosoma disstria meletakkan lebih banyak telurnya

sepanjang edge dan pemangsaan telur spesies ini tampaknya pada tingkat

yang lebih rendah daripada di dalam hutan interior (Farina 2000).

Sepanjang edge, kondisi iklim mikro yang lebih disukai dan

temperatur yang lebih tinggi menurunkan periode perkembangan larva,

sehingga mengurangi resiko pemangsaan dibandingkan de ngan larva di

tegakan yang kontinyu (Farina 2000).

Spesies yang sensitif terhadap fragmentasi habitat kurang efisien

dalam berpindah dan mengkolonisasi habitat baru, dan konsekuensinya

memiliki kemampuan dispersal yang lebih rendah (Villard & Taylor 1994;

Villard et al. 1995). Burung-burung understorey hutan tropis Afrika

khususnya sensitif pada fragmentasi (Newmark 1990). Spesies interior

hutan dan langka merupakan satu yang paling terkena pengaruh buruk oleh

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

89

pengurangan habitat, dan pemeliharaan koridor bisa menjadi langkah

penceghan kepunahan lokal (Farina 2000).

Serangga-serangga penyerbuk di hutan kering sub tropika di

Argentina bagian utara berkurang, menurunkan ukuran fragment-fragment,

tetapi sebaliknya lebah madu (Apis melifera) meningkat frekuensi

kunjungannya ke bunga (Aizen & Feinsinger 1994).

Walaupun diduga kuat adanya laju yang tinggi pada alien species

di tegakan hutan yang kecil dan terisolasi, penginvasi dihentikan oleh

konkurensi cahaya (rendah di interior) dan oleh isolasi tanaman budidaya,

digabung dengan kapasitas yang rendah alien species untuk berpindah.

Fragment-fragment tersebut memiliki edge dan vegetasi semak yang lebat

yang mencegah alien species masuk, walaupun pada waktu yang sama edge

yang hangat ini menarik alien species (Brother & Spingarn 1992).

X. FRAGMENTASI HABITAT DAN KEPUNAHAN

Pengaruh fragmentasi pada keanekaragaman jenis burung telah

didokumentasikan di hutan dataran tinggi San Antonio, Colombia oleh

Kattan et al. (1994). Di wilayah ini hasil sensus burung tahun 1911

dibandingkan dengan data tahun 1959, 1963 dan 1989-1990. Hilangnya 24

spesies atau 31% dari spesies burung-burung asli, merupakan informasi yang

relevan tentang pemiskinan (impoverishment) fauna di lanskap ini. Peneliti

yang melakukan sensus dan perbandingan terkini memberikan alasan bahwa

tingginya laju kepunahan terutama disebabkan oleh posisi banyak spesies

pada batas atas dari sebaran menurut ketinggiannya, dan kelompok yang

lebih rawan adalah burung pemakan serangga pada understorey dan burung

pemakan buah di tajuk-tajuk besar.

Kerja Kattan et al (1994) tersebut penting dari berbagai sudut

pandang, pertama karena sejarah penurunan keanekaragaman jenis burung

secara lengkap terdokumentasikan, kedua karena pengaruh fragmentasi

tergantung di bagian besar biogeografi spesies dan pada kompleksitas dari

struktur foraging.

PRAGMENTASI HUTAN

90

XI. PEMANGSAAN DAN FRAGMENTASI

Tegakan-tegakan hutan (woodlots) yang terisolasi umumnya

mengalami lebih banyak pemangsaan. Wilcove (1985) menemukan laju

pemangsaan yang lebih tinggi pada tegakan-tegakan hutan yang kecil dari

pada tegakan-tegakan hutan yang besar, tetapi pemangsaan juga lebih

tinggi di daerah sub-urban tetangganya dari pada di tegakan-tegakan hutan

yang terisolasi oleh lahan pertanian. Ketika sarang cawan terbuka

ditempatkan di tanah dan pada ketinggian 1-2 m di atas tanah, pemangsaan

ditemukan lebih tinggi di kedua kasus tersebut dari pada di sarang-sarang

percobaan berbentuk lobang. Mengingat kebanyakan burung-burung

penyanyi migran neotropikal membangun sarang-sarang cawan terbuka,

maka penurunan spesies ini yang disebabkan oleh pemangsaan bisa jadi

lebih dari yang diduga.

Pada kelompok-kelompok hutan besar di Virginia, pemangsaan pada

sarang buatan bervariasi dari 5 sampai 40%, tergantung pada banyak

variabel vegetasi dan tekanan komunitas pemangsa (Leimgruber et al.

1994).

Fragmentasi prairie dan marshland terus terjadi dengan sangat

cepat di beberapa wilayah di dunia, seperti di Canada, karena tekanan

dampak agroindustri modern. Walaupun banyak burung-burung air memiliki

kemampuan memulihkan diri (resilient cappacity) dari dampak kehilangan

habitat, namun hilangnya sebagian besar habitat alami tempat

berkembangbiak sangat meningkatkan resiko pemangsaan. Pasitschniak dan

Messier (1995) menggunakan sarang-sarang buatan yang ditempatkan pada

jarak yang berbeda, untuk mensimulasikan resiko pemangsaan di edge.

Resiko pemangsaan sarang itik liar berhubungan dengan jarak dari edge di

dalam cover sarang yang rapat, tetapi tidak ada pengaruh edge yang

teramati di dalam peternakan yang terbengka lai atau ladang pakan ternak

yang belum dipanen. Hal ini bisa jadi karena edge yang tiba-tiba antara

lahan budidaya tersebut dan aksesibilitas yang lebih besar untuk pemangsa.

Oleh karena itu, pada lanskap buatan manusia bisa jadi kurang penting

dibandingkan struktur vegetasi.

Argumen ini dipertanyakan oleh peneliti-peneliti lain. Pemangsaan

sarang di tanah pada fragment-fragment prairie di Missouri diteliti oleh

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

91

Burger et al. (1994). Sarang-sarang buatan di prairie < 15 ha lebih banyak

dimangsa daripada di sisa-sisa prairie yang besar (37% vs 13,9%). Sarang-

sarang yang ditempatkan pada jarak < 60 m dari tegakan hutan (woodlots)

kurang berpeluang untuk berhasil dari pada sarang-sarang buatan yang

ditempatkan lebih jauh (28,7% vs 7,9% dari pemangsaan).

Fragmentasi hutan-hutan holarctic (nearctic dan palearctic) telah

mengganggu dinamika banyak herbivora kecil dibandingkan dengan hutan

tak terganggu. Menghilangnya siklus dalam kelimpahan berpindah ke

selatan terutama disebabkan oleh meningkatnya tekanan dari pemangsa.

Andren et al. (1985) meneliti tekanan pemangsa terhadap tetranoidae

menggunakan sarang-sarang model. Tekanan pemangsa tinggi di selatan,

seperti yang telah diduga, dan pemangsa utamanya adalah corvidae yang

lebih melimpah di wilayah selatan. Burung-burung ini berkorelasi positif

dengan sistem pertanian, fragmentasi hutan dan dengan rejim gangguan

manusia yang lebih besar.

XII. FRAGMENTASI HABITAT DAN PERILAKU SATWA

Fragmentasi habitat mengubah beberapa aspek perilaku satwa,

seperti perpindahan dan pencarian makan. Respon mamalia kecil terhadap

fragmentasi telah diuji oleh Diffendorfer et al. (1995) pada tiga plot 0,5

hektar dengan patch yang lebih besar 5.000 m2, patch medium 288 m2 dan

patch kecil 32 m2 dari tahun 1984 sampai 1992; spesies yang diteliti adalah

tikus kapas (Sigmodon hispidus), tikus rusa (Peromyscus maniculatis) dan

vole (sejenis tikus) prairie (Microtus ochrogaster). Seperti yang sudah

diduga, satwa berpindah menempuh jarak yang panjang dan satwa dalam

proporsi yang lebih rendah berpindah, sehingga meningkatkan fragmentasi.

Burung hantu oranye kecokelatan (Strix aluco) merupakan

pemangsa nokturnal di Eropa, tampaknya sensitif terhadap fragmentasi

hutan (woodland). Peri laku foraging 24 ekor burung hantu yang diberi

radio tracking oleh Redpath (1992) telah dianalisis baik di hutan kontinyu

maupun di lahan pertanian dengan tegakan hutan (woodlots) yang

terpencar. Di dalam tegakan hutan yang terfragmentasi burung hantu

memiliki jarak antar perch (tempat istirahat/roosting) lebih jauh dan waktu

PRAGMENTASI HUTAN

92

perch (beristirahat/ roosting) yang lebih lama. Jantan memiliki waktu

perch yang lebih lama dari pada betina, dan jantan di hutan yang

terfragmentasi menggunakan waktu untuk terbang 40% lebih banyak dari

pada betina di hutan kontinyu. Dengan demikian fragmentasi sangat

berpengaruh terhadap aktifitas dan perilaku burung hantu.

Pada beberapa spesies, adaptasi terhadap fragmentasi bisa jadi

merupakan naluri/bawaan sejak lahir, seperti yang terjadi pada kambing

gunung penghuni padang pasir (Ovis canadensis). Spesies ini teradaptasi

untuk hidup di pegunungan yang terjal, dataran terbuka, terfragmentasi

alami, dan telah mengembangkan kemampuan yang tinggi di habitat

terfragmentasi dalam keadaan dimana koridor yang sesuai tersedia (Bleich

et al. 1990).

Persebaran (dispersion) mengurangi efek isolasi tetapi mendukung

penyebaran penyakit dan kematian yang lebih besar pada organisme yang

berpindah (Burkey 1995).

DAFTAR PUSTAKA

Aizen, M.A. dan P. Feinsinger. 1994. Habitat Fragmentation, Naive Insect Polllinators and Feral Honey Bee in Argentine, Chaco Serrano.

Ecological Application 4 : 378-392.

Andren, H., P. Angelstam, E. Lindtstrom, dan P. Widen. 1985. Difference

in Predation Pressure in Relation to Habitat Fragmentation : An Experiment. Oikos 45 : 273-277.

Bleich, V.C., J.D. Wehausen, dan S.A. Holl. 1990. Dessert Dwelling

Mountain Sheep : Conservation Implication of a Naturally Fragmented Distribution. Conservation Biology 4 : 383-390.

Brothers, T.S. dan A. Spingarn. 1992. Forest Fragmentation and Alien Plant Invasion of Central Indiana Old-Growth Forests.

Conservation Biology 6: 91-100.

Burger, L.D., L.W. Burger, J. Faaborg. 1994. Effects of Prairies

Fragentation on Predation on Artificial Nests. Journal of Wildlife Management 58 : 249-254.

Burkey, T.V. 1995. Extinction Rates in Archipelagoes : Implication for Population in Fragmented Habitats. Conservation Biology 9 : 527-

541.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

93

Farina, A. 2000. Principles and Methods in Landscape Ecology. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht, The Netherlands.

Gibbs, J.P. dan J. Faarborg. 1990. Estimating the Viability of Oven Bird and Kentucky Wabler Populastions in Forest Fragment.

Conservation Biology 4 : 193-196.

Harris, L.D. 1984. The Fragmented Forest. University of Chicago Press.

Chicago, IL.

http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/effects.asp. Diakses

Tanggal 01-02-2008.

http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/glossary.asp. Diakses

Tanggal 01-02-2008.

http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation. Diakses Tanggal 01-

02-2008.

http://faculty.plattsburgh.edu/thomas. wolosz/extinction.htm. Diakses

Tanggal 01-02-2008.

http://learning.turner.com/efts/rforest/habfrag.htm. Diakses Tanggal 17-

10-2006.

http://www.brocku.ca/epi/lebk/ lebk.html. Diakses Tanggal 01-02-2008.

http://www.dnr.state. wi.us/org/land/er/biodiversity/concepts/

fragmentation.htm. Diakses Tanggal 01-02-2008.

http://www.Lrconline.Com. Conserving The Forest Interior: A Threatened

Wildlife Habitat. Diakses Tanggal 01-02-2008.

Kattan, G.H., H. Alvares-Lopez, M. Giraldo. 1994. Forest Fragmentation

dan Kepunahan Burung : San Antonio Eighty Years Later. Conservation Biology 8 : 138-146.

Keller, M.E. dan S.H. Anderson. 1992. Avian Use of Habitat Configurations Created by Forest cutting in Southestern Wyoming. Condor 94:

55-65.

Klein, B.C. 1989. Effect of Forest Fragmentation on Dung and Carrion

Beetle Communities in Central Amazonia. Ecology 70 : 1715-1725.

Leimgrurber, P., W.J. McShea, dan J.H. Rappole. 1994. Predation on Artificial Nests in Large Forest Blocks. Journal of Wildlife

Management 58 : 254-260.

MacClintock, L., R.F. Whitcomb dan B.L. Whitcomb. 1977. Island

Biogeography and “Habitat Island” of Eastern Forest. II. Evidence for The Value of Corridors and Minimization of

PRAGMENTASI HUTAN

94

Isolationin Preservation of Biotic Diversity. American Birds 31 : 6-16.

Mayfield, H. 1977. Brown-headed Cowbird : Agent of Extermination? American Birds 31 : 107-112.

Newmark, W. 1986. Mammalian Richness, Colonization, and Extinction in western North American National Parks. Ph.D. thesis University

of Michigan, Ann Arbor.

Pasutschniak, M. dan F. Messier. 1995. The Fragility of Ecosystems : A

Review. Journal of Applied Ecology 32 : 677-692.

Redpath, S.M. 1995. Impact of Habitat Fragmentation on Activity and

Hunting Behaviour in The Tawny Owl, Strix aluco. Ecology 6 : 410-415.

Robbins, C.S. 1980. Effects of Forest Fragmentation on Breeding Bird Populations in the Piedmont of the Mid-Atlantic Region. Atlantic

Naturalist 33 : 31-36.

Roland, J. 1993. Large Scale Forest Fragmentation Increases the Duration

of tent Caterpilar Outbreak. Oecologia 93 : 25-30.

Soule, M.E. 1986. The Fitness and Viability of Populations. Pp. 13-18 in M.E. Soule (ed). Conservation Biology : The Science of Scarcity

and Diversity. Sinauer Assoc. Inc., Sunderland, MA.

Thiollay, J.M. dan B.U. Meyburg. 1988. Forest Fragmentation and the

Conservation of Raptors on the Island of Java. Biological Conservation 44 : 229 – 250.

Villard, M.A. dan Taylor, P.D. 1994. Tolerance to Habitat Fragmentation Influences the Colonization of New Habitat by Forest Birds.

Oecologia 98 : 393-401.

Villard, M.A., G. Merriam, B.A. Maurer. 1995. Dynamics in Subdivided

Population of Neotripocal Migratory Birds in a Fragmented Temperate Forest. Ecology 76 : 27-40.

Wilcove, D.S. 1985. Nest Predation in Forest Tracts and the Decline of Migratory Songbirds. Ecology 66 : 1211-1214.

Wilcove, D.S., C.H. McLellan dan A.P. Dobson. 1986. Habitat Fragmentation in the Temperate Zone. Pp 237-285 in M.E. Soule

(ed). Conservation Biology : The Science of Scarcity and Diversity. Sinauer Assoc. Inc., Sunderland, MA.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

95

8

PERPINDAHAN SATWA DALAM LANSKAP

POLA PERGERAKAN

SALTATORY MOVEMENT

HOME RANGE

DISPERSAL

MIGRASI

DAFTAR PUSTAKA

I. POLA PERGERAKAN

Suatu obyek berpindah di antara dua titik menunjukkan

pergerakan sinambung (continuous movement) jika kecepatanya tidak

pernah turun sampai nol, tetapi mungkin memiliki kecepatan yang tetap,

meningkat signifikan atau melambat. Teta pi umumnya suatu obyek

menunjukkan pergerakan melompat atau bertahap (saltatory movement),

yaitu berhenti sekali atau beberapa kali selama dalam perpindahannya

antara dua titik (Forman dan Gordon, 1986).

Jika kita memandang aspek spasial dari suatu lanskap, kita

temukan bahwa dua pola perpindahan menggambarkan dua tipe utama

aliran spesies, energi dan materi. Partikel, gas dan energi panas berpindah

secara kontinu melintasi suatu lanskap dalam aliran yang tetap (steady).

Banyak spesies menunjukkan perpindahan yang seragam (uniform)

sepanjang koridor atau melalui matrix lanskap. Perpindahan pada

kecepatan yang relatif konstan cenderung terjadi di areal-areal yang

heterogenitasnya rendah. Elemen-elemen lanskap seperti padang rumput,

PRAGMENTASI HUTAN

96

hutan atau jalan setapak yang disukai oleh spesies akan membuat

perpindahan kontinyu jika heterogen, karena tidak ada penghalang

(barrier) atau areal yang tidak cocok yang dapat menurunkan kecepatan

organisme yang berpindah (Forman & Gordon, 1986).

Percepatan atau perlambatan perpindahan bisa terjadi ketika satu

bagian rute relatif homogen dan bagian lainnnya heterogen. Seekor satwa

mulai dari areal heterogen dimana beberapa elemen lanskap tidak cocok

atau sulit ditinggali sehingga rata-rata bergerak dengan lambat (walaupun

mungkin juga bergerak cepat ketika melintasi tempat berbahaya seperti

jalan). Ketika ia memasuki lintasan (tract) yang lebih homogen atau lahan

yang cocok ditinggali, ia dapat berpindah melewati lintasan (tract) rata-

rata dengan lebih cepat (kecuali tract tersebut adalah tujuannya, dimana

satwa memperlambat mungkin untuk makan). Sebaliknya, seekor satwa

memulai di habitat homogen yang disukai seringkali memperlambat ketika

menghadapi lahan heterogen dengan patch-patch yang tidak disukai

(Forman & Gordon 1986).

Pengaruh-pengaruh dibalik pola perpindahan ini dapat

digambarkan atau diukur lebih tepat. Pada level resolusi pertama, kita

dapat mengukur derajat heterogenitas lanskap. Sebagai tambahan

terhadap ukuran heterogenitas, adalah bermanfaat untuk memperkirakan

derajat kontras yang ada di antara elemen-elemen lanskap yaitu bagaimana

perbedaan berbagai tipe yang dilewati satwa. Elemen-elemen lanskap

dapat dikategorikan pada suatu skala misalnya dari 1 sampai 10

berdasarkan kemiripannya dengan matrix (Forman & Gordon 1986).

Sebuah pendekatan lain dalam memahami pengaruh-pengaruh

dibalik pola perpindahan adalah dengan mempertimbangkan peran batas-

batas (boundaries) antara elemen-elemen lanskap. Batas (boundaries)

adalah tempat-tempat dimana satwa harus melewati dari satu elemen ke

elemen lainnya. Berbeda dengan konektivitas (connectivity) yaitu derajat

kemana suatu tipe elemen lanskap tertentu terpisah atau menyambung di

dalam lanskap, di sini kita menggunakan konsep yang agak mirip yaitu

frekuensi melintasi batas (boundary crossing frequency). Pada dasarnya

merupakan ukuran dari jumlah boundary per unit panjang dimana suatu

obyek melewatinya dalam perpindahannya melintasi lanskap. Satwa yang

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

97

menghadapi ruang yang lebih heterogen memiliki boundary crossing

frequency (BCF) yang lebih rendah dan mungkin berpindah lebih cepat

melintasi suatu areal. BCF dapat dikombinasikan dengan ukuran derajat

kontras elemen lanskap untuk memberikan perkiraan yang sangat tepat

kecepatan relatif dari satwa melintasi lanskap (Forman & Gordon 1986).

Kemudahan mengukur BCF menjadikannya digunakan dalam

perencanaan dan manajemen, karena dapat dihitung untuk sejumlah rute

alternatif yang mungkin antara dua titik. Dengan cara ini, sebagai contoh,

kita dapat langsung membandingkan sebuah garis lurus dengan suatu rute

menggunakan koridor dan dengan suatu rute yang menghindarinya. BCF

menjadi perhatian khusus dalam memahami perpindahan spesies interior,

termasuk spesies yang sulit ditemui (secretive) yang melintasi sedikit

boundary dan membutuhkan areal yang jauh dari edge (Forman & Gordon

1986).

II. SALTATORY MOVEMENT

Suatu obyek dapat berpindah untuk sementara, berhenti dan

berpindah lagi. Selagi ia berpindah melintasi suatu lanskap antara dua

titik, tempat-tempat tertentu sepanjang rute perpindahannya berfungsi

sebagai titik pemberhentian bagi obyek tersebut. Tipe perpindahan ini

disebut saltatory movement (perpindahan melompat) atau dalam hal

spesies disebut jump dispersal (pemencaran melompat) (Pielou 1979).

Jika hujan deras mengguyur ladang yang dibajak di atas bukit, air

mengalir melalui permukaan tanah membawa butiran-butiran partikel

(erosi), membawanya menuruni lereng bukit beberapa jauh dan

mengumpulkannya segera setelah hujan berhenti. Butiran partikel tetap

tinggal sampai hujan besar berikutnya turun yang akan mengerosi lagi dan

membawanya menuruni lereng bukit lebih jauh. Proses perpindahan dan

penghentian ini terus berlangsung di lereng bukit sampai butiran partikel

tertumpuk ke dalam sungai di bawah. Dalam contoh saltatory movement

ini, partikel memiliki sedikit interaksi dengan obyek-obyek sepanjang jalur

yang dilewatinya tetapi bisa memiliki interaksi yang signifikan pada titik -

titik pemberhentian, misalnya memberikan nutrisi mineral kepada

PRAGMENTASI HUTAN

98

tumbuhan pada titik-titik tersebut atau bisa menghaluskan tanah untuk

satwa atau biji. Dengan demikian nilai penting saltatory movement

terutama terletak pada seringnya interaksi utama antara obyek yang

berpindah dengan obyek-obyek pada titik pemberhentian. Pada continuous

movement, interaksi seperti ini sedikit, atau setidaknya tersebar sepanjang

rute dan tidak terkumpul pada titik-titik (Forman & Gordon 1986).

Contoh di atas juga menekankan bagaimana struktur lanskap

mempengaruhi aliran. Jika ladang tunggal yang dibajak sangat luas dengan

galur vertikal lurus menutupi bukit turun ke arah sungai, hujan besar

pertama dapat mengangkut partikel dalam jarak yang jauh, bahkan sampai

ke sungai. Di sisi lain, jika petani mengerjakan bajakan sesuai kontur, laju

air aliran permukaan dan erosi menjadi lambat, dan butiran tanah tidak

berpindah sampai jauh menuruni bukit, atau memiliki tanaman pagar

sejajar dengan kontur lereng bukit, butiran partikel berpindah dalam jarak

yang lebih pendek setiap kali hujan. Tiga perubahan yang dihasilkan dari

heterogenitas tambahan dalam struktur lanskap adalah (Forman dan Gordon

1986):

1. Perubahan partikel dari continuous movement ke saltatory movement.

2. Dengan bertambahnya jumlah pembehentian sepanjang rute,

bertambah pula interaksi antara partikel dengan lingkungan di

sepanjang rute,

3. Penurunan laju perpindahan dari bukit ke sungai – sebagai bagian dari

bertambahnya boundary yang dilewati – dari beberapa jam, barangkali

menjadi beberapa tahun atau bahkan abad.

Demikian juga, seekor satwa berpindah secara kontinyu

(continuous movement) melintasi suatu lanskap biasanya memiliki dampak

minimal pada lanskap tersebut, sementara pada satwa dengan saltatory

movement terdapat banyak interaksi sering terjadi pada pemberhentian.

Satwa tersebut mungkin banyak makan dedaunan (browsing) di tempat

tersebut, menginjak/merusaknya, memupuknya, bersarang di dalamnya

atau dimakan predator di tempat tersebut (Forman and Gordon 1986).

Dua kemungkinan interaksi ini memberikan dua tipe

pemberhentian penting yang dibuat oleh spesies yang menyebar. Ketika

individu satwa sampai pada suatu tempat (spot), tinggal untuk periode yang

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

99

singkat, dan berpindah lagi, tempat tersebut dapat disebut pemberhentian

untuk istirahat (rest stop). Sebaliknya, suatu tempat yang dikolonisasi oleh

suatu spesies – dimana spesies tersebut datang kemudian tumbuh dan

berkembangbiak dengan berhasil – disebut batu loncatan (stepping stone)

(Kimura & Weiss 1964; MacArthur & Wilson 1967). Pada beberapa kasus,

seekor individu mungkin tinggal untuk waktu yang lama pada rest stop

tanpa berkembangbiak, misalnya ketika individu mamalia membuat rumah,

atau suatu benih tumbuh menjadi tumbuhan dewasa tanpa menghasilkan

bunga dan buah. Apa yang penting dari dua tipe pemberhentian ini adalah

ketika suatu spesies menggunakan suatu tempat (spot) tertentu sebagai

stepping stone, spesies tersebut memperluas distrbusinya sebagai individu

yang berkembangbiak. Hal ini memberikan sumber baru untuk penyebaran

individu berikutnya. Sebaliknya, rest stop hanya lokasi sementara untuk

spesies. Penyebaran banyak spesies tumbuhan dari Amerika Selatan ke

utara melintasi Laut Karibia bisa terjadi karena adanya serangkaian pulau

sebagai stepping stones. Suatu penyebaran serupa terjadi melintasi

Samudera Pasifik, karena adanya beberapa stepping stones (Forman dan

Gordon, 1986).

III. HOME RANGE

Satwa di dalam suatu lanskap berpindah dengan tiga cara – di

dalam suatu home range, dalam dispersal, dan dalam migrasi (Swingland

and Greenwood, 1983). Home range seekor satwa adalah suatu areal

sekitar rumahnya (seperti sarang, tempat tinggal atau lubang) yang

digunakan untuk mencari makan dan kegiatan harian lainnya. Umumnya

sepasang satwa dan anak-anak mereka menggunakan suatu home range

bersama, walaupun ada beberapa spesies yang berbagi home range dalam

kelompok besar. Territory adalah suatu areal yang dipertahankan dari

masuknya individu lain dari spesies yang sama. Satwa-satwa memiliki

territory yang dipertahankan, home range mereka biasanya lebh besar,

karena mereka biasanya mencari makan di luar batas yang

dipertahankannya (Forman dan Gordon, 1986).

PRAGMENTASI HUTAN

100

IV. DISPERSAL

Dispersal satwa adalah perpindahan satu arah seekor individu dari

home range dimana ia dilahirkan ke home range yang baru. Home range

baru biasanya jauh dari asalnya, normalnya berjarak beberapa kali dari

diameter home range. Satwa-satwa dewasa muda (sub adult) yang

meninggalkan induknya dan membuat home range sendiri merupakan

sebagian besar dari satwa-satwa yang melakukan dispersal, walaupun ada

juga beberapa dewasa yang menyebar dengan cara ini. Dispersal bisa juga

memperluas distribusi suatu spesies secara keseluruhan. Sebagai contoh,

vole (sejenis tikus) padang rumput (Microtus pennsylvanicus) memperluas

jelajahnya secara cepat ke Illinois tengah (Amerika Serikat) ketika super

highway dibangun (Getz et al. 1978). Jelaslah, bahu jalan yang berumput

kontinyu sepanjang super highway berfungsi menjadi saluran dispersal.

Sebelumnya, dispersal dilakukan melewati koridor berumput dari sisi jalan

yang lebih kecil, namun adanya perkampungan menjadi penghalang yang

menghambat dispersal (Forman & Gordon 1986).

V. MIGRASI

Migrasi adalah siklus perpindahan satwa antar areal yang terpisah

yang digunakan selama musim yang berbeda. Spesies yang bermigrasi telah

teradaptasi dengan iklim dan kondisi lainnya yang berhubungan dengan

perubahan musim dan dengan demikian cenderung untuk menghindari

kondisi lingkungan yang tidak disukainya dan menggunakan lingkungan yang

disukainya. Contoh klasik adalah migrasi sejumlah besar burung-burung

antara wilayah lebih dingin dan lebih hangat dan kelompok besar caribou

yang bermigrasi antara tundra dan batas (edge) hutan boreal. Aliran

beberapa kelelawar dan kupu-kupu dari utara ke selatan dan sebaliknya

merupakan kasus yang sama menariknya yang disebut latitudinal migration.

Migrasi seperti ini umumnya melintasi beberapa atau banyak lanskap

(Forman & Gordon 1986).

Migrasi vertikal merupakan perpindahan spesies satwa antara

elevasi lebih tinggi dan elevasi lebih rendah pada suatu gunung yang umum

terjadi untuk menghindari kondisi tidak disukai dan memilih kondisi yang

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

101

disukai. Sebagai contoh di pegunungan Alpin, Swis, ibex Eropa (Capra ibex

L.) mencari makan di vegetasi alpine pada musim panas dan pada musim

dingin di padang rumput dengan elevasi yang lebih rendah. Banyak spesies

burung di Rocky Mountains berkembang biak di elevasi tinggi pada musim

panas dan di elevasi rendah pada musim dingin. Elk (Cervus canadensis),

rusa mule (Odocoileus hemionus) dan herbivora berkuku lainnya pada

musim dingin dalam kawanan yang besar berada di areal terbuka dengan

elevasi rendah. Pada awal musim panas kawanan tersebut pecah.

Kelompok-kelompok kecil mengikuti salju mencair sampai melalui beberapa

zona hutan ke padang-padang rumput di elevasi tinggi. Pada musim gugur

mereka turun lagi ke tempatnya mencari makan waktu musim dingin. Hal

yang sama terjadi pada beberapa lanskap pegunungan, domba domestik

berkelompok melewati sistem lembah dari elevasi rendah pa da musim

dingin ke wilayah elevasi tinggi pada musim panas (Forman & Gordon 1986).

Foto: Doc. Hendra Gunawan

Gambar 19. Koridor harus cukup lebar untuk memberikan manfaat positif

lebih banyak bagi satwaliar. Koridor riparian yang sempit seperti yang tampak dalam gambar berpeluang menghasilkan

dampak negatif bagi satwaliar.

PRAGMENTASI HUTAN

102

Beberapa perpindahan satwa musim dingin-musim panas dapat

dianggap sebagai transisi antara migrasi dan penjelajahan home range.

Home range spesies tertentu menyempit selama musim dingin ketika

penjelajahannya terhalangi oleh salju. Padahal, beberapa spesies

membutuhkan home range musim dingin yang lebih luas karena distribusi

makanan yang jarang. Pada kedua kasus tersebut, tempat tinggal atau

sarang ada di dalam home range musim dingin dan musim panas. Spesies

lainnya berpindah ke habitat berbeda di dalam suatu lanskap pada musim

dingin dan panas dengan mudahnya, seperti migrasi vertikal. Sebagai

contoh di Maine, rusa (Odocoileus virginiana) terkumpul di rawa cedar

(Thuja, sejenis konifer yang selalu hijau) selama musim dingin karena rawa

ini memberikan persediaan makanan serta melindungi dari predator dan

cuaca. Pheasant (sejenis burung buruan) di Texas berpindah dari tekanan

basah (playas yaitu daerah datar yang mengering) pada musim panas ke

daerah tanaman musim sejuk pada musim semi, dan kemudian ke suatu

lajur tanaman campuran, biji kecil, dan tekanan basah di musim panas dan

gugur (Whiteside & Guthery 1983).

DAFTAR PUSTAKA

Forman, R.T.T. dan M. Gordon. 1986. Landscape Ecology. John Wiley and Sons. New York.

Getz, L.L., R. Cole dan D.L. Gates. 1978. Interstates Roadsides as Dispersal Routes for Microtus Pennsylvanicus. J. Mammal 59 : 208-212.

Kimura, M. dan G.H. Weiss. 1964. The Stepping Stone Model of Population Structure and the Decrease of Genetic. Correlation with Distance. Genetics 49 : 561-576.

MacArthur, R. H., and E. O. Wilson. 1967. The theory of island biogeography. Princeton University Press, Princeton, New Jersey, USA.

Pielou, E.C. 1979. Biogeography. Wiley. New York. Swingland, I.R. dan P.J. Greenwood (eds). 1983. The Ecology of Animal

Movement. Clarendon Press. Oxford. Whiteside, R.W. dan F.S. Guthery. 1983. Ring-Necked Pheasant Movement,

Home Range, and Habitat Us in Wst Texas. J. Wildlife Management 47 : 1097-1104.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

103

9

FRAGMENTASI DAN DINAMIKA METAPOPULASI

Levins (1970) merupakan orang pertama yang menggunakan istilah

metapopulasi dan memperkenalkan konsep metapopulasi sebagai suatu

populasi yang tersusun atas populasi-populasi lokal yang dianggap akan mati

dan dikolonisasi lagi secara lokal. Ia memperkenalkan model matematik

untuk menggambarkan metapopulasi:

dp/dt = m p (1 - p) - e p ,

dimana p adalah proporsi (fraksi) pusat-pusat populasi (seperti pulau

habitat atau patch), m adalah laju migrasi (kolonisasi), dan e adalah laju

dimana populasi lokal menjadi punah.

Pada equilibrium p*=1 – e/m. Metapopulasi akan terjadi (yaitu p* > 0)

hanya jika e < m.

Suatu metapopulasi dapat hidup di suatu wilayah hanya jika laju

rata-rata kepunahan lebih kecil dari laju rata-rata migrasi. Populasi-

populasi lokal terbangun pada patch habitat tertentu yang bisa ditempati

atau kosong pada suatu waktu. Beberapa individu yang menyebar dapat

meninggalkan suatu patch pergi untuk mengkolonisasi suatu elemen kosong

atau mengisi kembali (reinforce) suatu populasi kecil. Populasi-populasi

yang terbentuk di dalam sebuah patch dapat menghilang megikuti kejadian

lingkungan (kebakaran, pohon tumbang) atau kejadian demografik

(epidemik, penuaan). Model Levins sangat sederhana. Ia memberikan

setiap patch ni lai yang sama sebagai sumber individu yang menyebar dan

PRAGMENTASI HUTAN

104

memiliki peluang kepunahan yang sama, dan peluang keberhasilan dispersal

adalah sama di semua patch (Burel dan Baudry, 2003).

Model dan konsep Levins telah menjadi metapopulasi klasik. Yang

lebih baru didefinisikan oleh Hanski dan Gilpin (1991), metapopulasi

didefinisikan sebagai sekumpulan (set) populasi-populasi lokal yang

berinteraksi melalui perpindahan individu antar populasi-populasi tersebut.

Hanski dan Simberloff (1997) mendefinisikan metapopulasi sebagai

sekumpulan (set) populasi-populasi lokal di dalam beberapa area yang lebih

besar, dimana ditandai migrasi dari satu populasi lokal ke beberapa patch

lain yang memungkinkan.

Dengan demikian, suatu metapopulasi minimal merupakan

sekumpulan populasi-populasi lokal yang relatif terisolasi, terdistribusi

secara spasial yang terikat bersama karena peristiwa dispersal antar

populasi. Peristiwa dispersal yang jaraknya relatif panjang mungkin tidak

sering, tetapi harus terjadi cukup sering untuk memberikan rekolonisasi

populasi yang telah mengalami kepunahan lokal. Metapopulasi regional

menghadapi kepunahan lokal dengan pasti karena dispersal yang cukup

antar populasi. Jika dispersal antar populasi begitu sering dimana

kepunahan lokal tidak terjadi, konsep metapopulasi tidak diperlukan

(berlebihan), dan populasi regional lebih baik dipandang secara sederhana

sebagai sebuah populasi tunggal yang terdistribusi secara spasial (walaupun

berkantong-kantong/patchily). Di sisi lain, jika dispersal terlalu jarang dan

peluang kepunahan lokal tidak nol, metapopulasi regional tidak dapat

berlangsung dan akan punah.

Sebuah metapopulasi biasanya dianggap terdiri dari beberapa

populasi berbeda bersama dengan areal-areal habitat yang cocok yang saat

ini tidak dihuni. Setiap populasi bersiklus dengan relatif bebas dari populasi

lainnya dan akhirnya menjadi punah sebagai akibat stokastiksitas demografi

(fluktuasi dalam ukuran populasi akibat kejadian demografik random);

populasi yang lebih kecil lebih rentan menghadapi kepunahan.

Walaupun populasi-populasi secara sendiri-sendiri memiliki masa

hidup terbatas, populasi secara keseluruhan seringkali stabil karena imigrasi

dari satu populasi (misalnya, yang mungkin mengalami ledakan populasi)

berpeluang merekonlonisasi habitat yang telah ditinggalkan populasi lain

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

105

karena punah. Mereka dapat juga emigrasi ke populasi kecil dan

menyelamatkan populasi tersebut dari kepunahan (disebut rescue effect).

Gangguan manusia pada lanskap seringkali menyebabkan

fragmentasi dan isolasi (insularization) dari habitat satwaliar yang pernah

kontinyu. Persamaan antara patcth-patch yang tidak kontinyu dari habitat

terfragmetasi dan populasi lokal yang relatif terisolasi dari suatu

metapopulasi adalah jelas. Paling tidak secara prinsip, dinamika populasi

dapat memungkinkan keberadaan spesies regional yang menempati suatu

jaringan patch atau pulau habitat yang tidak kontinyu. Tidak mengejutkan

bila biologi konservasi telah berpaling ke dinamika metapopulasi sebagai

solusi yang mungkin untuk keberlangsungan spesies di lanskap yang

terfragmentasi. Meskipun demikian, banyak asumsi yang diberikan untuk

kesederhanaan dan kebaikan model k lasik metapopulasi dari Levins (yaitu

ukuran dan ruang populasi yang sama) berpeluang terlalu membatasi

aplikasi pada spesies tertentu dan lanskap atau wilayah dimana ukuran

patch dan jarak antar patch bisa sangat bervariasi. Populasi pulau (insular)

saat kini terbentuk oleh fragmentasi habitat mungkin tidak berfungsi

sebagai metapopulasi menurut definisi klasik, tetapi mungkin lebih

menggambarkan suatu metapopulasi tidak setimbang (non equilibrium).

Sesungguhnya, mereka mungkin tidak mengambarkan metapopulasi sama

sekali, tetapi lebih sebagai kumpulan populasi terisolasi yang tidak saling

berinteraksi.

Dalam dinamika metapopulasi, individu populasi individual bisa

menjadi punah, tetapi mereka juga dapat dikolonisasi lagi dari populasi-

populasi lain (Gambar 20). Jika kita membuat populasi-populasi ini

menurun sampai jumlah yang cukup rendah dan tidak ada perpindahan

antara populasi-populasi tersebut, maka masalah genetik yang serius bisa

terjadi untuk melestarikan spesies. Walaupun sejumlah kecil perpindahan

antara populasi akan memelihara keadan genetik agak stabil (Barnes, 2000).

Pengembangan teori metapopulasi, dalam hubungannya dengan

pengembangan dinamika Source-Sink, menekankan pentingnya konektivitas

antara populasi-populasi yang tampaknya terisolasi. Walaupun tidak ada

populasi tunggal yang dapat menjamin survival jangka panjang dari suatu

spesies, pengaruh kombinasi dari banyak populasi dapat melakukan ini.

PRAGMENTASI HUTAN

106

Jika tidak ada perpindahan, populasi-populasi tersebut berpeluang

untuk punah, tergantung apakah mereka merupakan patch sumber (source)

atau patch penerima (sink) dari suatu metapopulasi. Patch-patch sumber

akan selalu tetap dalam kondisi lokalnya dan menyumbang individu-individu

ke semua patch lain di dalam lanskap. Patch-patch penerima (sink)

membiarkan populasi-populasi atau indvidu-individu menjadi punah karena

mereka tidak memiliki habitat yang kondusif bagi spesies untuk bertahan.

Contohnya seringkali terjadi dengan spesies satwaliar daratan, suatu patch

sumber habitat atau populasi akan penuh atau mencapai daya dukungnya

sehingga beberapa satwa harus berpindah ke patch sink. Walaupun patch

itu mungkin bukan habitat terbaik untuk beberapa spesies, misalnya

burung-burung mungkin dapat bersarang dan bertahan di sana (Barnes

2000).

Gambar 20. Metapopulasi adalah suatu populasi sumber (source) dan populasi penerima (sink) (Barnes 2000).

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

107

Manfaat lain dari populasi sink adalah jika beberapa kejadian

katastropik terjadi di satu patch sink dan memusnahkan anggotanya, patch

lainnya dapat membantu mengisi kembali populasinya (repopulate).

Dengan demikian, patch-patch sink membantu menstabilkan populasi dari

waktu ke waktu. Apa yang terjadi dalam satu patch tidak sama dengan apa

yang terjadi dalam patch-patch lainnnya (Barnes 2000).

Atribut penting lainnya dari metapopulasi adalah bahwa pada

beberapa kasus mereka sebenarnya dapat mencegah spesies dari kepunahan

karena patch-patch sumber dan patch-patch sink yang relatif terlindungi

dan terisolasi. Sebagai contoh, jika suatu penyakit di satu patch

memusnahkan semua individu di sana, karena tidak ada konektivitas antar

patch, maka tidak ada jalan penyebaran penyakit tersebut ke semua

populasi. Oleh karena itu, konsep metapopulasi memainkan peran yang

sangat penting dalam manajemen satwaliar saat ini. Sebuah contoh

memberikan gambaran pentingnya pemahaman metapopulasi ketika

mengelola satwaliar pada level lanskap. Bobwhite qail (sejenis burung

puyuh) di Amerika Utara masih ada dalam serangkaian metapopulasi. Saat

ini, mereka hidup dalam fragment-fragment habitat dengan beberapa

perpindahan satwa antar fragment. Kadang-kadang perpindahannya sangat

sedikit. Pada musim dingin 1976 dan 1977 di Kentucky, terjadi musim

dingin yang sangat dingin dengan banyak salju dan es yang mengakibatkan

beberapa patch quail kehilangan seluruh populasinya. Dari waktu ke

waktu, walaupun dengan perpindahan yang sangat sedikit, patch-patch

tersebut akhirnya berpopulasi lagi, walaupun memerlukan 20 tahun untuk

memulihkan beberapa populasi lokal (Barnes 2000).

Dalam kasus-kasus lain, perubahan habitat yang signifikan terjadi

sehingga menghambat quail untuk me-repopulasi beberapa areal, dan

menyebabkan populasi-populasi tersebut menjadi punah. Dalam kasus ini,

metapopulasi memungkinkan spesies untuk survive dan akhirnya

memulihkan populasi-populasi keci l melalui penyebarannya (Barnes 2000).

Seringkali ahli biologi membuat keputusan berdasarkan pada level

populasi pada saat ini. Tetapi, dengan dinamika metapopulasi, kita harus

mempetimbangkan kepunahan dan indikasi dari total areal yang potensial.

Seperti pada kasus quail yang memerlukan 20 tahun untuk merestorasi

PRAGMENTASI HUTAN

108

beberapa populasi lokal, walaupun masih banyak yang belum terpulihkan

dan mungkin tidak akan pernah terpulihkan karena degradasi habitat yang

terus berlangsung (Barnes 2000).

DAFTAR PUSTAKA

Barnes, T.G. 2000. Landscape Ecology and Ecosystems Management.

Cooperative Extension Services, University of Kentucky, College of Agriculture. UK. http://www.ca.uky.edu. Diakses Tangal 24

Februari 2007.

Burel, F., dan J. Baudry. 2003. Landscape Ecology : Consepts, Methods

and Application. Science Publishers, Inc. Enfield (NH), USA.

Hanski, I., and D. Simberloff. 1997. The metapopulation approach, its history, conceptual domain, and application to conservation. pp.

5–26. In I. A. Hanski and M. E. Gilpin (eds.), Metapopulation Biology. Academic Press, San Diego, Californina.

Hanski, I., and M. Gilpin. 1991. Metapopulation dynamics: brief history and conceptual domain. Biological Journal of the Linnean Society

42:3–16.

http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation. Diakses Tanggal 01-

02-2008.

http://www.esd.ornl.gov/programs/SERDP/EcoModels/metapop.html.

Diakses Tanggal 06-02-2008.

http://en.wikipedia.org/wiki/ Metapopulation. Diakses Tanggal 01-02-2008.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

109

10

IMPLIKASI PENGELOLAAN KONSERVASI

Dengan memahami dinamika metapopulasi dapat membuat

kebijakan pengelolaan konservasi spesies pada level lanskap lebih baik.

Seiring kita mengubah patch-patch habitat yang relatif seragam di dalam

matrix lanskap, perubahan fisik terjadi dan menciptakan efek pulau (island

effect) pada fragment-fragment yang tercipta. Perubahan-perubahan

tersebut meliputi: (1) penurunan ukuran patch; (2) peningkatan proporsi

edge dan (3) perubahan ik lim mikro pada patch, meliputi peningkatan

penyinaran matahari, fluktuasi temperatur yang lebih besar dan terpaan

angin yang lebih besar. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat menyebabkan:

(1) kepunahan organisme secara lokal; (2) mengurangi dispersal dan re-

kolonisasi patch-patch habitat; (3) invasi spesies eksotis atau tidak asli; (4)

meningkatnya parasitisme sarang atau pemangasaan pada burung; dan (5)

menurunnya keanekaragaman spesies satwa interior hutan (Barnes 2000).

Walaupun dinamika metapopulasi dan konsep ekologi lanskap

rumit dan sulit dipahami oleh orang awam, kita harus berupaya memahami

konsep ini karena pentingnya konsep tersebut untuk menentukan keputusan

pada level lanskap dan pengelolaan satwaliar (Barnes, 2000).

Fragmentasi habitat seringkali merupakan penyebab spesies

menjadi terancam atau dalam bahaya kepunahan (endangered).

Keberadaan habitat yang viable adalah penting untuk survival spesies dan

dalam banyak kasus fragmentasi habitat yang tersisa dapat menyulitkan

pengambilan keputusan bagi para ahli biologi konservasi. Sumberdaya

tersedia yang terbatas untuk konservasi, lebih baik untuk melindungi patch-

patch habitat terisolasi yang ada atau untuk membeli kembali lahan untuk

mendapatkan lahan yang lebih luas dan kontinyu sebanyak mungkin.

Satu solusi untuk masalah fragmentasi habitat adalah

menghubungkan fragment-fragment dengan cara menanami koridor dengan

PRAGMENTASI HUTAN

110

vegetasi asli. Hal ini potensial untuk mencegah masalah isolasi tetapi tidak

mencegah kehilangan habitat interior. Dalam beberapa kasus suatu spesies

terancam mungkin mendapatkan keuntungan terlindungi dari penyakit

karena tersebar di habitat-habitat yang terisolasi.

Upaya pencegahan lainnnya adalah memperluas sisa habitat kecil

untuk meningkatkan jumlah habitat interior. Hal ini mungkin tidak dapat

dilakukan karena lahan-lahan terbangun seringkali lebih mahal dan

membutuhkan waktu dan usaha yang tidak sedikit untuk merestorasi.

Solusi terbaik umumnya tergantung pada spesies tertentu atau

ekosistem yang sedang menjadi perhatian. Spesies yang lebih mobile,

seperti burung tidak memerlukan habitat yang tersambung, sementara

beberapa satwa yang lebih kecil seperti pengerat mungkin lebih terbuka

terhadap pemangsaan di lahan terbuka.

Dari pemahaman konsep-konsep terkait dengan fragmentasi

habitat dan metapopulasi dapat dirangkum seperti disajikan pada Gambar

21 sebagai pertimbangan dalam pengelolaan populasi pada level lanskap

dan pengelolaan satwaliar (Barnes 2000).

Gambar 21. Ukuran, bentuk, konfigurasi dan jumlah patch, semua mempengaruhi jumlah habitat interior dalam patch kecil,

tunggal, patch-patch persegi memberikan jumlah habitat interior yang kecil dan patch-patch lingkaran besar

memberikan habitat interior terbesar (Barnes 2000).

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

111

DAFTAR PUSTAKA

Barnes, T.G. 2000. Landscape Ecology and Ecosystems Management. Cooperative Extension Services, University of Kentucky, College

of Agriculture. UK. http://www.ca.uky.edu. Diakses Tangal 24 Februari 2007.

http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation. Diakses Tanggal 01-02-2008.

PRAGMENTASI HUTAN

112

11

STUDI KASUS: Evaluasi Lanskap Kawasan Merapi – Merbabu Dan Telaah Kemungkinan Sebaran Macan Tutul Di Kantong-Kantong

Hutan Yang Terfragmentasi1)

PENDAHULUAN

METODOLOGI

HASIL DAN PEMBAHASAN

SIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bentang lanskap Gunung Merapi – Gunung Merbabu merupakan

kawasan yang sedang terancam karena terkepung oleh daerah pemukiman

dan budidaya yang terus berkembang pesat akibat pertumbuhan penduduk

yang tinggi. Pelan tetapi pasti kedua gunung tersebut seperti dikuliti

vegetasinya dari kaki hingga mendekati puncaknya. Dalam skala lanskap

kedua gunung tersebut tampak seperti bertelanjang kaki, atau dengan

perkataan lain vegetasinya hanya mengumpul di sekitar puncak yang sulit

dijangkau sehingga belum dimanfaatkan.

Kawasan Merapi – Merbabu dikelilingi oleh beberapa kabupaten

yang sedang berkembang cepat seperti Sleman, Magelang, Klaten, Boyolali

1)

Tulisan pada Bab ini merupakan Paper Hendra Gunawan untuk Mata Kuliah Ekologi Lanskap

yang diasuh oleh Prof. Dr. Lilik Prasetyo, M.Sc. pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian bogor.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

113

dan Semarang. Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan perkembangan

pembangunan yang pesat telah menyebabkan ekspansi wilayah sampai ke

kaki Gunung Merapi dan Merbabu. Akibatnya kawasan ini mengalami

kehilangan habitat yang parah dan tingkat fragmentasi yang tinggi. Hal ini

tentu saja tidak menguntungkan bagi konservasi keanekaragaman hayati

dan perlindunguan sistem penyangga kehidupan yang menjadi peran utama

dari kawasan tersebut.

Mengingat pentingnya kawasan Merapi – Merbabu sebagai kawasan

perlindungan sistem penyangga kehidupan dan konservasi keanekaragaman

hayati, maka kedua Gunung tersebut telah ditetapkan sebagai taman

nasional sejak tahun 2004. TN. Merapi ditetapkan berdasarkan Keputusan

Menteri Kehutanan Nomor : 134/Menhut-II/2004, tanggal 4 Mei 2004

dengan luas luas ± 6.410 Ha dan TN. Merbabu berdasarkan Keputusan

Menteri Kehutanan Nomor : 135/Kpts-II/2004, tanggal 4 Mei 2004 dengan

luas ± 5.725 hektar.

Kawasan Merapi – Merbabu, dari tahun ke tahun terus mengalami

perubahan struktur, komposisi dan konfigurasi lanskapnya akibat adanya

gangguan dan perkembangan pembangunan yang tidak dapat dihindarkan.

Untuk mengetahui kondisi lanskap secara statistik, perlu dilakukan evaluasi

atau analisis spasial dari citra landsat.

B. Tujuan

Kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi kondisi lanskap kawasan

Merapi-Merbabu pada tahun 2005 dan memprediksi kemungkinan sebaran

populasi macan tutul berdasarkan syarat kecukupan luas dan tipe vegetasi

di kantong-kantong habitat (habitat patches) yang ada.

II. METODOLOGI

A. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan adalah seperangkat komputer (laptop)

dan printer. Software yang digunakan adalah ERDAS Imagine 8.5 dan

ArcView GIS 3.2. Bahan yang digunakan adalah citra landsat TM (tahun

2005), band 3, 4 dan 5 yaitu:

L7G120065_06520050509_B30.TIF

PRAGMENTASI HUTAN

114

L7G120065_06520050509_B40.TIF

L7G120065_06520050509_B50.TIF

untuk wilayah Jawa Tengah yang di dalamnya mencakup kawasan Gunung

Merapi dan Gunung Merbabu, yang akan dijadikan Area Of Interest (AOI).

Panduan yang digunakan adalah ERDAS IMAGINE Tour Guides dari ERDAS Inc.

Atlanta, Gorgia (1997).

B. Metode

1. Analisis Citra

Untuk kepentingan interpretasi citra, band combination yang

digunakan adalah 5-4-3. Penutupan lahan (land cover) diklasifikasikan

menjadi delapan kelas yaitu : (1) hutan primer; (2) hutan sekunder; (3)

kebun; (4) lahan terbuka; (5) lahar; (6) pemukiman (7) sawah dan (8)

sungai.

Areal yang akan dikaji dipilih menjadi Area Of Interest (AOI) yaitu

kawasan lanskap Gunung Merapi–Gunung Merbabu. AOI ini kemudian

diklasifikasikan tipe penutupan lahannya (land cover). Klasifikasi dilakukan

secara unsupervised dan bertahap dari 90 kelas pada tahap pertama

direklaifikasi lagi sampai akhirnya menjadi 8 kelas. Hasil klasifikasi

diekspor ke shape file untuk kemudian dilakukan opearasi spasial dengan

program ArcView GIS. Secara skematis tahapan prosedur kajian ini

disajikan pada Gambar 22.

2. Evaluasi Lanskap

Untuk mengetahui struktur lanskap dilakukan analisis patch

dengan extension Patch Analyst yang ada dalam program ArcView GIS.

Analisis dilakukan pada skala lanskap dan skala kelas.

3. Analisis Spasial

Dari literatur diketahui bahwa macan tutul dapat hidup di berbagai

ketinggian dan di berbagai tipe hutan. Oleh karena itu, yang akan dijadikan

persyaratan dalam analisis spasial ini hanyalah tipe vegetasi, dimana yang

diangap cocok untuk habitat macan tutul adalah hutan primer dan hutan

sekunder. Sementara ketinggian tidak dijadikan penentu karena macan

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

115

tutul masih dapat hidup sampai ketinggian 6.700 m dpl, sementara Gunung

Merapi hanya 2.911 m dpl dan Gunung Merbabu 3.142 m dpl.

Dalam analisis spasial ingin diketahui patch dengan tutupan lahan

hutan primer dan hutan sekunder dengan luas 1.000 hektar atau lebih

sebagai persyaratan habitat macan tutul. Dengan tutupan lahan berupa

hutan primer dan luas minimal 1000 hektar, diduga macan tutul dapat

hidup di dalam patch tersebut. Untuk itu dilakukan query dengan query

builder.

Gambar 22. Tahapan prosedur kajian evaluasi lanskap dan ana lisis spasial.

CITRA LANDSAT TM

ERDAS IMAGINE 8.5 Image Pre Processing

Georeference

Subset/AOI

Unsupervised Classification

Band Combination 5 – 4 – 3

Peta Tipe Penutupan Lahan

Export ke Arcview GIS 3.2 Convert ke Gr id

Extension Patch Analyst Evaluasi Lanskap

Query Builder Hutan Primer ≥ 2000 Ha

Peluang Okupansi Macan Tutul

PRAGMENTASI HUTAN

116

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Klasifikasi Penutupan Lahan

Hasil klasifikasi penutupan lahan dengan cara unsupervised

terhadap Area of Interest (AOI) seluas 73.620,83 hektar dapat

dikelompokkan dalam delapan kelas dengan luas masing-masing kelas sepeti

disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi pentutupan lahan AOI Kawasan Merapi-Merbabu.

Kelas Penutupan Lahan Jumlah Lokasi Total Luas (Ha) Persentase

1. Hutan Primer 2,611 8,298.83 11.27

2. Hutan Sekunder 1,542 1,658.52 2.25

3. Kebun 5,219 45,438.78 61.72

4. Lahan Terbuka 1,872 1,673.41 2.27

5. Lahar (Merapi) 73 494.70 0.67

6. Pemukiman 6,727 12,587.94 17.10

7. Saw ah 3,942 2,819.52 3.83

8. Sungai 413 649.14 0.88

Jumlah 22,399 73,620.83 100.00

Dari Tabel 3 tampak bahwa hutan primer yang tersisa di kawasan

Merapi – Merbabu hanya 11,27 %. Lanskap secara umum telah didominasi

oleh kebun (61,72%). Luas pemukiman di kawasan tersebut baru mencapai

17,10% yang tersebar terutama di kaki-kaki gunung. Sawah tidak terlalu

signifkan, hanya 3,83% dari total luas dan umumnya tersebar di kaki -kaki

kedua gunung tersebut. Dalam citra satelit ini juga tampak adanya lahar di

puncak merapi dengan luas 494,70 hektar (lihat peta pada lampiran).

B. Evaluasi Lanskap

Paramater-parameter struktur lanskap AOI dalam skala lanskap

disajikan pada Tabel 4. Dari Tabel 4 terlihat bahwa bentang lanskap AOI

Merapi – Merbabu dengan luas 73.618,92 hektar terdiri dari 22.399 patches

dengan ukuran rata-rata 3,29 hektar/patch dan standar deviasi 256,57.

Total edge 13.097.558,52 meter dengan rata-rata edge setiap patch 584,74

meter/patch dan kerapatan edge 177,91 meter/hektar.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

117

Tabel 4. Hasil patch analyses pada skala lanskap kawasan Merapi- Merbabu.

CA TLA NumP MPS MedPS PSCoV PSSD TE ED

73,618.92 73,618.92 22,399.00 3.29 0.1972 7,806.28 256.57 13,097,558.52 177.91

MPE MSI AWMSI MPAR MPFD AWMPFD SDI SEI

584.74 1.3357 25.0335 1,062.61 1.3966 1.4468 1.5790 0.7593

Indeks bentuk rata-rata (Mean Shape Index) pada skala lanskap ini

adalah 1,3357. Indeks bentuk ideal adalah 1 untuk yang berbentuk

lingkaran sempurna (McGarigal & Marks 1995). Hal ini berarti, semakin

tinggi nilai indeks bentuk maka semakin banyak memiliki edge dan hal ini

dapat berarti semakin tidak baik dipandang dalam konteks konservasi

keanekaragaman hayati.

Indeks Shannon untuk keanekaragaman patch (Shannon’s Diversity

Index) pada lanskap Merapi – Merbabu adalah 1,5790. Nilai terendah adalah

0 jika hanya ada satu patch dalam lanskap, nilai ini semakin besar dengan

semakin banyaknya tipe patch atau meningkat secara proporsional dengan

distribusi patch (McGarigal & Marks 1995). Indeks Shanon untuk

keseragaman patch (Shannon’s Evennes Index) adalah 0,7593. Indeks

keseragaman mendekati nol jika distribusi patch rendah dan mendekati satu

jika distribusi patch semakin tinggi (McGarigal & Marks 1995). Untuk kasus

ini, baik nilai indeks keanekaragaman maupun indeks keseragaman

termasuk sedang.

Parameter-paremeter struktur lanskap kawasan Merapi – Merbabu

pada skala kelas disajikan pada Tabel 5

Tabel 5. Hasil patch analyses skala kelas kawasan Merapi – Merbabu.

Class CA NumP MPS MedPS PSCoV PSSD TE

Sawah 28192101 3942 7151.7251 2034.0509 255.07803 18242.48 1330783.1

Kebun 454382416 5219 87063.119 900 6080.1411 5293560.5 5141951.7

Pemukiman 125874100 6727 18711.774 2900.5908 559.25734 104646.97 3579670.7

Lahan Terbuk a 16732817 1872 8938.4709 2700 646.68564 57803.808 647774.29

Sungai 6491018.9 413 15716.753 2781.6902 890.84809 140012.39 192236.24

Hutan Primer 82985824 2611 31783.157 1800 2007.1677 637941.27 1551770.7

Hutan Sekunder 16584002 1542 10754.865 2467.5327 687.82708 73974.876 610193.86

Lahar 4946920.7 73 67766.037 1228.8443 785.0915 532025.4 43177.901

PRAGMENTASI HUTAN

118

Komposisi Luas Setiap Kelas Penutupan Lahan

Di Kawasan Lanskap Merapi - Merbabu

Kebun

62%

Hutan Sekunder

2%Hutan Primer

11%Sungai

1%

Lahan Terbuka

2%

Pemukiman

17%

Lahar

1%Sawah

4%

Class ED MPE MSI AWMSI MPAR MPFD AWMPFD

Sawah 0.0018077 337.59084 1.1753858 1.5932474 0.1064781 1.0358913 1.0753844

Kebun 0.0069846 985.23696 1.1743595 33.639594 0.1188159 1.0333634 1.338805

Pemukiman 0.0048624 532.13479 1.2044895 2.4834018 0.097942 1.0377723 1.109076

Lahan Terbuk a 0.0008799 346.03328 1.15755 2.0174635 0.1016752 1.0329523 1.0920544

Sungai 0.0002611 465.46305 1.1800859 3.5735501 0.0991964 1.0345259 1.1488919

Hutan Primer 0.0021078 594.32046 1.1835092 6.9835049 0.1082887 1.0345488 1.2068266

Hutan Sekunder 0.0008289 395.71586 1.1789416 2.4164773 0.1027523 1.0354675 1.1118753

Lahar 5.865E -05 591.47809 1.1814022 2.6891076 0.1225719 1.0381473 1.1282568

1. Class Area

Class area (CA)

menunjukkan luas masing-

masing kelas penutupan

lahan disajikan pada

Tabel 3, sedangkan

komposisinya dapat di-

lihat pada Gambar 23.

Gambar 23. Komposisi luas setiap kelas penutupan lahan di

kawasan lanskap Merapi Merbabu.

Dari Gambar 23, tampak bahwa kawasan lanskap Merapi – Merbabu

sudah didominasi oleh kebun (62%) dan pemukiman (17%). Sementara hutan

primer yang tersisa tinggal 11%. Dari segi konservasi, tampaknya kawasan

ekosistem Merapi – Merbabu sedang mengalami tekanan yang sangat berat.

Akibatnya kawasan budidaya berkembang pesat dan kawasan lindung

mungkin akan terus menurun. Pada kondisi seperti ini, penataan ruang

perlu menjadi perhatian, mengingat kawasan Merapi–Merbabu merupakan

kawasan yang memiliki fungsi lindung, terutama sebagai daerah tangkapan

air dan dikeli lingi oleh kota-kota penting yang setiap saat dapat terancam

banjir, tanah longsor dan kekeringan.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

119

Number of Patches

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

Kelas Penggunaan Lahan

Ju

mla

h P

atc

h

Series1 3942 5219 6727 1872 413 2611 1542 73

Sawah Kebun PemukimanLahan

TerbukaSungai

Hutan

Primer

Hutan

SekunderLahar

2. Number of Patch

Dari Gambar 24 tampak bahwa kelas penutupan (penggunaan) lahan

berupa pemukiman memiliki jumlah patches atau Number of Patches

(NumP) terbanyak yaitu 6.727 (30,03%), disusul oleh kebun 5.219 patches

(23,30%) dan sawah 3942 patches (17,60%). Hutan primer dengan luas

8,298.83 hektar tersebar dalam 2.611 patches atau rata-rata luas setiap

patches hanya 3,18 hektar. Hal ini merupakan indikator yang buruk bagi

kepentingan konservasi keanekaragaman hayati maupun sebagai tempat

perlindungan satwaliar.

Lahan terbuka walaupun hanya menempati 2.27% wilayah namun

memiliki jumlah patches yang cukup besar yaitu 1.872. Hal ini

mengindikasikan banyaknya okupasi hutan yang dilakukan secara sporadis,

hal ini pula yang

mungkin menjadi

salah satu

penyebab hutan

primer menjadi

terfragmentasi

dan memiliki

jumlah patches

yang relatif tinggi

dibandingkan

luasnya.

Gambar 24. Jumlah patch setiap kelas penutupan lahan.

3. Mean Patch Size

Dari Gambar 25 terlihat jelas bahwa luas rata-rata patch atau Mean

Patch Size (MPS) yang terbesar adalah kebun yaitu 8,71 hektar. Lahar

merapi juga terkumpul dalam patch dengan luas rata-rata 6,78 hektar.

Hutan primer dan hutan sekunder terpecah dalam patches dengan rata-rata

luas masing-masing 3,18 hektar dan1,08 hektar. Ukuran patches hutan yang

kecil-kecil ini kurang baik untuk konservasi keanekaragaman hayati,

khususnya satwaliar, karena satwa liar memerlukan luasan minimum untuk

areal jelajahnya (home range) agar bertahan hidup.

PRAGMENTASI HUTAN

120

Total Edge

0

1,000

2,000

3,000

4,000

5,000

6,000

Kelas

Km

Series1 1,331 5,142 3,580 648 192 1,552 610 43

Sawah Kebun PemukimanLahan

TerbukaSungai

Hutan

Primer

Hutan

SekunderLahar

Gambar 25. Luas patch rata-rata setiap kelas penutupan lahan.

4. Total Edge

Total Edge (TE) atau keliling dari patch yang terpanjang adalah

pada kelas penutupan lahan kebun yaitu 5.142 km, diikuti oleh pemukiman

3.142 km dan hutan primer 1.552 km. Semakin panjang edge dapat

menjadi indikasi bentuk patch yang semakin tidak beraturan (kompleks) dan

jumlah patch yang semakin banyak (Gambar 26).

Gambar 26. Total edge setiap kelas penutupan lahan.

Mean Patch Size

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

Kelas

Hekta

r

Series1 0.72 8.71 1.87 0.89 1.57 3.18 1.08 6.78

Sawah Kebun PemukimanLahan

TerbukaSungai

Hutan

Primer

Hutan

SekunderLahar

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

121

Edge Density

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

Kelas

Per H

a

Series1 18.08 69.85 48.62 8.80 2.61 21.08 8.29 0.59

Sawah Kebun PemukimanLahan

TerbukaSungai

Hutan

Primer

Hutan

SekunderLahar

Mean Patch Edge

0.00

200.00

400.00

600.00

800.00

1000.00

1200.00

Kelas

Mete

r/P

atc

h

Series1 337.59 985.24 532.13 346.03 465.46 594.32 395.72 591.48

Sawah Kebun PemukimanLahan

TerbukaSungai

Hutan

Primer

Hutan

SekunderLahar

5. Edge Density

Edge density (ED) adalah jumlah edge relatif terhadap luas lanskap.

Edge density terbesar pada AOI lanskap Merapi – Merbabu adalah kebun

yaitu 69,85 meter/hektar, disusul oleh pemukiman 48,62 meter/hektar dan

hutan primer 21,08 meter/hektar. Semakin tinggi edge density menjadi

indikasi semakin

tidak baik untuk

habitat satwa yang

sensitif terhadap

edge (Gambar 27).

Gambar 27.

Edge density setiap kelas penutupan

lahan.

6. Mean Patch Edge

Mean patch edge (MPE) adalah jumlah rata edge per patch. Pada

AOI lanskap Merapi – Merbabu, nilai MPE tertinggi adalah kebun dengan

985,24 meter/patch. Hutan primer juga memiliki MPE yang relatif tinggi

dibandingkan kelas penutupan lahan lain, yaitu 594,32 mater/patch

dibandingkan dengan sawah, pemukiman, lahan terbuka dan hutan

sekunder (Gambar 28).

Gambar 28. Mean

patch edge setiap kelas penutupan

lahan.

PRAGMENTASI HUTAN

122

7. Mean Shape Index

Mean shape index (MSI) menggambaran kompleksitas bentuk patch.

Tingkat kompleksitas bersifat relatif dibandingkan terhadap bentuk

lingkaran atau bujur sangkar. Nilai MSI lebih dari 1, nilai MSI sama dengan 1

ketika semua patches berbentuk lingkaran atau bujur sangkar (MacGarigal

and Marks, 1995).

Nilai MSI diperoleh dengan membagi jumlah keliling setiap patches

dengan akar kuadrat dari luas patch (hektar) dan disesuaikan untuk standar

lingkaran (poligon) atau bujur sangkar (grid), dibagi dengan jumlah patches

(MacGarigal and Marks, 1995). Hal ini berarti semakin tinggi ni lai MSI suatu

kelas penutupan lahan maka semakin kompleks bentuk-bentuk patches-nya

dan semakin besar juga edge-nya. Hal ini untuk satwa-satwa yang tidak

menyukai edge dapat berakibat buruk karena mengurangi luas habitatnya.

Gambar 29. Mean shape index setiap kelas penutupan lahan.

8. Mean Patch Fractal Dimension

Mean Patch Fractal Dimension (MPFD) juga merupakan ukuran

kompleksitas bentuk patch. Nilai MPFD mendekati satu untuk bentuk

dengan keli ling (perimeter) sederhana dan mendekati dua jika bentuknya

lebih kompleks (MacGarigal and Marks, 1995).

Mean Shape Index

1.1200

1.1400

1.1600

1.1800

1.2000

1.2200

Kelas

Ind

ex

Series1 1.1754 1.1744 1.2045 1.1576 1.1801 1.1835 1.1789 1.1814

Sawah Kebun PemukimanLahan

TerbukaSungai

Hutan

Primer

Hutan

SekunderLahar

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

123

Gambar 30. Mean patch fractal dimension untuk setiap kelas penutupan lahan.

Untuk studi kasus ini, kompleksitas bentuk patches tertinggi dimiliki

oleh patch lahar Gunung Merapi dengan nilai MPFD 1,0381 disusul oleh

pemukiman dengan nilai 1,0378, sawah 1,0359 dan hutan sekunder 1,0355.

Secara umum nilai MPFD pada lanskap Merapi – Merbabu ini lebih mendekati

nilai satu, yang berarti lebih dekat ke bentuk sederhana.

C. Potensi Sebaran Habitat Macan Tutul

Dari hasil query diperoleh hanya ada dua lokasi yang memenuhi

syarat sebagai habitat macan tutul (Gambar 11), masing-masing dengan luas

1.784,039 hektar dan 2.690,736 hektar yang berada di sekitar puncak

Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Keduanya merupakan hutan primer,

sementara hutan sekundernya tidak ada yang memenuhi syarat luas

minimal. Namun karena hutan sekunder yang berada di Gunung Merapi

(warna hijau muda) berada bersambungan dengan hutan primer maka,

secara bersama-sama dengan hutan primer dapat berfungsi sebagai habitat

macan tutul.

Berdasarkan Tabel 3 dan Tabel 5 tampak bahwa ada 2.611 patches

hutan primer dan 1.542 patches hutan sekunder, masing-masing dengan luas

patches rata-rata 3,18 ha untuk hutan primer dan 1,08 untuk hutan

sekunder. Total hutan primer sendiri hanya 8.298,83 hektar, sementara

hutan sekunder 1.658,5 hektar, sehingga areal berhutan di lanskap Merapi

Mean Patch Fractal Dimension

1.0300

1.0320

1.0340

1.0360

1.0380

1.0400

Kelas

Series1 1.0359 1.0334 1.0378 1.0330 1.0345 1.0345 1.0355 1.0381

Sawah Kebun PemukimanLahan

TerbukaSungai Hutan Primer

Hutan

SekunderLahar

PRAGMENTASI HUTAN

124

Merbabu pada tahun 2005 (saat pengambi lan citra) hanyalah 9.957,35

hektar.

Ukuran home range macan tutul sangat bervariasi dan sangat

tergantung pada ketersediaan jumlah dan penyebaran satwa mangsa (IUCN -

The World Conservation Union 1996). Ukuran home range macan tutul

rata-rata berkisar antara 30 – 78km2 (jantan) dan 23 – 33 km2 (betina) di

kawasan yang dilindungi (Bailey 1993). Tetapi home range mungkin jauh

lebih besar ketika ketersediaan makanan berkurang dan kepadatan macan

tutul rendah.

Di Taman Nasional Royal Chitwan, Nepal, jumlah ungulata per

kilometer persegi sangat tinggi, macan tutul betina menjelajahai wilayah

antara 6 – 13 km2. Di Taman Nasional Serengeti dan Tsavo, Afrika Timur,

teritori mereka berkisar antara 11 – 121 km2. Tetapi di Pegunungan

Stellenbosch, Afrika Selatan, di Kalahari dan di Pegunungan Sikhote Alin,

Rusia Timur, macan tutul jantan berburu di teritori yang kadang-kadang

lebih dari 400 km2 (IUCN - The World Conservation Union, 1996).

Berdasarkan informasi home range dan bukti bahwa di Cagar Alam

Pulau Sempu (Kabupaten Malang) dengan luas 877 ha ditemukan macan

kumbang (Surabaya Post Hot News, Selasa, 17/09/1996), maka pada studi

ini, diasumsikan seekor macan tutul memiliki daerah jelajah antara 600 –

1.000 hektar. Dengan demikian kawasan ekosistem Gunung Merapi –

Gunung Mebabu tersebut hanya mampu mendukung 10 - 17 ekor macan

tutul.

Jika dilihat dari Gambar 31, tampak bahwa kecil kemungkinan

masih adanya pertukaran genetik antara populasi macan tutul di Gunung

Merapi dan populasi macan tutul di Gunung Merbabu. Hal ini disebabkan

tidak adanya konektivitas berupa koridor yang menghubungkan kedua

populasi tersebut. Bila diperhatikan dengan seksama, hutan primer yang

tampaknya sebelumnya pernah menyatu antara Gunung Merapi dan Gunung

Merbabu, kini sudah terpecah-pecah dan terpotong oleh pemukiman dan

kebun. Pemukiman dan kebun ini merupakan barrier bagi pergerakan

macan tutul antar kedua populasi.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

125

Gambar 31. Lokasi dugaan habitat macan tutul terpilih (warna kuning) hasil query.

Meskipun demikian, masih ada harapan untuk membuat koridor

antara Gunung Merapi dan Merbabu. Kemungkinan koridor dapat dibuat

dengan merekonstruksi tutupan hutan melalui tepi sungai yang saling

bertemu dari Gunung Merapi dan dari Gunung Merbabu atau melalui jarak

terdekat melalui kawasan Selo (sela antara G. Merapi dan G. Merbabu)

(Gambar 31).

Tanpa adanya koridor, bila macan tutul dari Gunung Merapi akan

menjelajah ke Gunung Merbabu, maka harus melewati kebun dan

pemukiman. Hal ini dapat membahayakan macan tutul itu sendiri dan

masyarakat. Dengan kondisi habitat macan tutul (hutan) yang dikepung

oleh pemukiman dan kebun, dikhawatirkan akan sering terjadi konflik

G. Merapi

G. Merbabu

PRAGMENTASI HUTAN

126

antara macan tutul dan masyarakat. Hal ini bisa terjadi jika di habitat

alaminya (hutan) kekurangan persediaan satwa mangsa, maka macan tutul

dikhawatirkan akan masuk ke kampung dan memangsa hewan ternak dan

bila bertemu dengan manusia bisa melukai manusia atau manusia yang

membantai macan tutul.

Kondisi kawasan lanskap Merapi-Merbabu dengan struktur,

komposisi dan konfigurasi lanskap seperti saat ini, tampaknya kurang

menguntungkan bagi kepentingan konservasi keanekaragaman hayati,

khususnya satwa langka dengan home range luas seperti macan tutul.

Fragmentasi habitat dan habitat loss telah membatasi pergerakan macan

tutul dan menurunkan kualitas habitatnya sehingga dapat mengancam

kelestariannya.

Upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mengindari kehancuran

ekosistem Merapi – Merbabu dan kepunahan berbagai jenis spesies langka

antara lain dapat di lakukan dengan :

1. Segera menetapkan kawasan-kawasan hutan negara yang memiliki

fungsi lindung hidrologi dan konservasi keanekaragaman hayati sebagai

kawasan konservasi.

2. Melakukan restorasi ekosistem hutan, terutama di sepanjang kawasan

penghubung antara Merapi dan Merbabu.

3. Menghentikan okupasi hutan yang dilakukan secara ilegal dan

merehabilitasi kawasan hutan yang rusak serta melakukan revegetasi

lahan-lahan terbuka di kawasan hutan negara.

4. Meninjau kembali rencana tata ruang wilayah regional, khususnya yang

menyangkut wilayah penyangga kehidupan di bentang lanskap Merapi –

Merbabu.

5. Melakukan perluasan habitat dengan membangun daerah-daerah

penyangga di sekitar kawasan konservasi Taman Nasional Merapi dan

Taman Nasional Merbabu.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

127

IV. SIMPULAN DAN SARAN

1. Kawasan Merapi – Merbabu sedang mengalami tekanan perubahan

struktur, komposisi dan konfigurasi lanskap.

2. Parameter-parameter lanskap hasil patch analyses menunjukkan kondisi

yang kurang menguntungkan bagi kepentingan konservasi

keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.

3. Kawasan berhutan yang tersisa tinggal 13,52% (9.957,35 hektar) dari

sekitar total lanskap seluas 73.620,83 hektar. Kebun dan pemukiman

sudah mendominasi lanskap ini, masing-masing dengan penutupan lahan

61,72% dan 17,10%.

4. Tingkat fragmentasi dan isolasi hutan juga tinggi yang ditunjukkan oleh

banyaknya patches hutan yaitu 2.611 untuk hutan primer dari luasnya

8.298,83 hektar dan 1.542 patches untuk hutan sekunder dari luasnya

1.658,52 hektar.

5. Peluang keberadaan macan tutul (Panthera pardus melas) di lanskap

Merapi – Merbabu hanya berada di dua lokasi yaitu di sekitar puncak

kedua gunung tersebut dengan luas total 8.298,83 hektar hutan primer.

Bila ditambah dengan hutan sekunder 1.658,5 hektar maka luasnya

menjadi 9.957,35 hektar.

6. Dengan asumsi home range seekor macan tutul berkisar 600 – 1.000

hektar maka kawasan tersebut diperkirakan hanya mampu mendukung

populasi 10 – 17 ekor.

7. Untuk mencegah kehancuran ekosistem Merapi – Merbabu lebih parah,

perlu segera dilakukan peninjauan dan pembenahan rencana tata ruang

regional dan penetapan kawasan-kawasan hutan negara menjadi

kawasan konservasi sebagai perluasan TN Merapi dan TN Merbabu.

8. Ekspansi wilayah pemukiman dan budidaya dengan mengokupasi hutan

perlu segera dihentikan dan kawasan hutan yang sudah terlanjur rusak

perlu segera direstorasi.

PRAGMENTASI HUTAN

128

DAFTAR PUSTAKA

http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2002/Friedman/socialsystem.html. Diakses Tanggal 4 Mei 2007.

IUCN - The World Conservation Union. 1996. Leopard Panthera pardus Linnaeus 1758. IUCN - The World Conservation Union.

McGarigal, K., and B. J. Marks. 1995. Fragstats: spatial pattern analysis program for quantifying landscape structure. U.S. Forest Service

General Technical Report PNW-GTR-351.

Surabaya Post Hot News, Selasa, 17/09/1996. Perburuan Liar Ancam

Kelestarian Pulau Sempu dan Satwa Langka. http://www.wp.com/64257/170996/05sempu.htm. Diakses 01-02-

2007.

Lampiran : Penutupan Lahan Kawasan Gunung Merapi-Gunung Merbabu.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan PRAGMENTASI HUTAN 129

PRAGMENTASI HUTAN

130

BIODATA PENULIS

Dr. Ir. Hendra Gunawan, M.Si. dilahirkan pada 3

April 1964 di Kabupaten Banjarnegara. Putera

keempat dari pasangan Alimah (Ibu) dan

Aswowikarto (ayah) menyelesaikan pendidikan SD

(1976) dan SMP (1980) di Kabupaten Banjarnegara

dan SMA di SMAN 1 Kota Cirebon (1980). Meraih

gelar sarjana kehutanan (1980), Magister Sains

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

(2000) dan Doktor Ilmu Kehutanan (2010) di Institut

Pertanian Bogor.

Dalam karirnya penulis pernah menjadi manajer pembinaan hutan di sebuah

HPH (1989-1991), kemudian menjadi Pegawai Negeri Sipil di Kementerian

Kehutanan sejak 1992 dengan profesi sebagai peneliti di bidang konservasi

sumberdaya alam. Saat ini jabatannya adalah Peneliti Utama di Bidang

Konservasi Sumberdaya Alam di Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi,

Badan Litbang Kementerian Kehutanan.

Penulis telah menghasilkan lebih dari 110 karya tulis ilmiah dan populer.

Selain meneliti, penulis juga sering diminta sebagai konsultan, narasumber,

pembimbing mahasiswa, pengajar diklat dan tenaga ahli di berbagai tim

dan kelompok kerja. Menjadi anggota Dewan Riset Badan Litbang

Kehutanan, Dewan Redaksi di beberapa jurnal dan majalah, anggota Pokja

Konservasi Badak Indonesia dan Pokja Restorasi Ekosistem Kawasan

Konservasi merupakan kesibukannya akhir-akhir ini.

Penulis menaruh perhatian pada dampak lingkungan, baik akibat

pembangunan maupun bencana alam. Di sela kesibukannya sebagai peneliti,

masih menyempatkan diri menjadi penyusun AMDAL dan telah mendapatkan

sertifikasi kompetensi Ketua Tim Penyusun AMDAL (KTPA) dengan bidang

keahlian dampak ekologis.

Kegiatan yang sedang disibukinya saat ini antara lain melanjutkan

penelitian Restorasi Ekosistem Gunung Merapi, penelitian Sebaran Macan

Tutul Di Jawa Barat, penyusunan buku Bioekologi dan Konservasi Badak

Indonesia, buku Restorasi Ekosistem Pegunungan Pasca Perambahan Di

Gunung Ciremai dan buku Penanganan Satwaliar Pasca Erupsi Gunung

Merapi.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

131

BIODATA PENULIS

Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc, lahir di

Salatiga, 16 Maret 1962. Menyelesaikan pendidikan

dasarnya hingga Seklah menengah Atas di Salatiga.

Gelar sarjana S-1 diperolehnya tahun 1986 dari

Departemen Agronomi, Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor. Penulis mendapatkan kesempatan

melanjutkan pendidikan pascasarjana di bidang

Perencanaan Lanskap, Departemen Lingkungan

University of Tsukuba Jepang dan tamat tahun

1993.

Pendidikan Doktor diambil di universitas yang sama di bidang Manajemen

Hutan dan tamat pada tahun 1996 dengan disertasi berjudul : Application of

Geographical Information System (GIS) for Land-Use Changes Study Toward

Better Understanding of Deforestration Process: case Studies in JABOTABEK

and South Sumatra, Indonesia. Lanskap, Pemodelan Spasial

Penulis saat ini adalah guru besar di bidang ekologi lanskap dan dipercaya

sebagai Kepala Laboratorium Analisis Lingkungan dan Permodelan Spasial,

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan-Fakultas Kehutanan – IPB.

Penulis mengasuh mata kuliah Analisis Spasial Lingkungan, Sistem Informasi

Geografi dan Ekologi Lanskap. Selain itu, penulis juga menjadi Kepala

Program Perubahan Lingkungan Global, dan Kepala Lab. Analisis Lingkungan

Spasial, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-IPB.

Penulis pernah menjadi peneliti tamu di Institut of Agroenvironmental

Sciences, Tsukuba dan Universita Tokyo. Penelitian yang dilakukan saat ini

banyak berkaitan dengan permasalahan deforestasi, perubahan penggunaan

lahan, fragmentasi habitat dan peranan elemen lanskap. Email:

[email protected] dan hompage: http://lbprastdp.staff.ipb.ac.id

FRAGMENTASI HUTAN Teori yang mendasari penataan ruang hutan

menuju pembangunan berkelanjutan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

KEMENTERIAN KEHUTANAN