Laporan Bioteknologi Kultur Jaringan

50
LAPORAN PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI Acara III (Kultur Organ) Oleh Winda Dwi Astuti NIM. 110210153015 Program Studi Pendidikan Biologi LABORATORIUM KULTUR JARINGAN TUMBUHAN

Transcript of Laporan Bioteknologi Kultur Jaringan

LAPORAN

PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI

Acara III

(Kultur Organ)

Oleh

Winda Dwi Astuti

NIM. 110210153015

Program Studi Pendidikan Biologi

LABORATORIUM KULTUR JARINGAN TUMBUHAN

JURUSAN BUDIDAYA PERTANIANFAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS JEMBER

2014

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Program revitalisasi yang digalakkan mulai tahun

2010 dapat diprediksi membutuhkan bahan tanam sekitar

50 juta dalam hal peremajaan, proses rehabilitasi dan

perluasan areal yang diharapkan. Hal ini ikut serta

diiringi dengan faktor diluar kebutuhan revitalisasi,

sehingga diperlukan bahan tanam sekitar 80 juta pada

tahun 2010. Namun hal ini sangat kontras dengan teknik

konvensional yang telah dilakukan oleh beberapa ahli

yang hanya bisa menyediakan bahan tanam sekitar 35-50

juta pada setiap tahunnya. Oleh karena itu untuk

memenuhi kebutuhan akan bahan tanam maka perlu

ditambahkan suatu alternatif yang dapat digunakan dalam

proses perbanyakan, yaitu teknik kultur jaringan

(Wahyudi et al dalam Sholeh, 2011).

Teknik untuk mengatasinya dengan menggunakan

teknik kultur jaringan dengan tahap organogenesis.

Sebelumnya dapat diperjelas dari pengertian kultur

jaringan yang merupakan suatu teknik untuk mendapatkan

tanaman dalam jumlah yang besar dalam waktu yang

relatif lebih singkat serta dapat dipastikan bebas dari

virus dan penyakit. Multiplikasi atau perbanyakan yang

diperoleh melalui penanaman secara in vitro sangat

tinggi. Produksi bibit yang berkualitas, hasil yang

homogen, dan dalam waktu yang singkat dapat diperoleh

jumlah yang sangat banyak juga dapat diperoleh melalui

teknik budidaya konvensional (Hobir et al dalam Anna,

2013).

Perbanyakan yang diperoleh menggunakan teknik

kultur jaringan dapat menghasilkan tanaman yang seragam

hal ini dikarenakan perbanyakan yang dilakukan

dipengaruhi beberapa faktor yang diantaranya dapat

mempengaruhi inisiasi akar dan pertumbuhan kultur

jaringan yaitu garam mineral, auksin, gula, suhu, dan

cahaya, pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara

kultur jaringan dapat dikendalikan dengan keseimbangan

yang diperoleh dari interaksi zat pengatur tumbuh (ZPT)

dalam eksplan dan juga media yang dipergunakan (Dwi,

2010).

Kultur jaringan secara klonal dapat menggunakan

eksplan bunga, akar, dan daun serta embrio zigotik. Hal

ini dikarenakan faktor yang sangat berperan dalam

perbanyakan dengan eksplan embrio adalah umur dari

embrio yang digunakan sebagai eksplan. Karena semakin

kecil ukuran embrio maka jaringan meristematiknya juga

semakin muda. Oleh karena itu dalam hal ini planlet

dapat diperoleh dari jaringan embrio zigotik muda yang

berumur 120-150 hari (Lopez dalam Sholeh, 2011). Dalam

praktikum kultur jaringan ini yang bertujuan untuk

mengetahui organ yang dapat digunakan dalam proses

kultur jaringan yang salah satunya diperuntukkan pada

daun tembakau yang dapat diamati pada hari ke-7 dan

hari ke-14. Dalam hal ini maka dapat disajikan melalui

grafik pertumbuhan bahan tanam tembakau untuk

mengetahui proses pertumbuhan yang dapat dilihat selama

proses pengamatan.

1.2 Tujuan

1. Mengetahui organ tanaman yang mampu beregenerasi

menjadi tanaman lengkap

2. Mendapatkan eksplan yang steril

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Kultur jaringan dapat mempergunakan bahan tanam

berupa tunas lateral. Hal ini mengacu pada salah satu

konsep dasar yang mendasari teknik kultur jaringan

yaitu organ yang digunakan dalam kultur jaringan harus

mempunyai sifat totipotensi. Sifat totipotensi adalah

kemampuan masing-masing sel dalam hal tumbuh dan

beregenerasi menjadi tanaman lengkap yang disertai

dengan kondisi lingkungan yang memadai. Maka dari itu

eksplan yang digunakan berasal dari jaringan yang masih

muda (juvenil) yang dikarenakan dapat mudah tumbuh dan

beregenerasi dibandingkan jaringan yang sudah mature

atau sudah mengalami diferensiasi lanjut. Jaringan muda

yang digunakan memiliki sifat sel yang sangat aktif

membelah dengan dinding sel yang masih belum kompleks.

Jaringan muda yang sering digunakan antara lain: pucuk

muda, kuncup muda, hipokotil, inflorescence yang belum

dewasa.

Penggunaan tunas lateral juga dapat digunakan

sebagai eksplan yang bertujuan untuk mendapatkan organ

dengan jaringan yang masih bersifat meristematik,

artinya jaringan tersebut masih aktif membelah.

Disamping kultur pucuk yang telah berkembang pada tahun

60-an, berdasarkan Yuliarti (2010: 46) kultur dapat

digunakan dalam bermacam-macam kultur yaitu kultur

organ yang bersumber dari eksplan yang dapat berasal

dari bagian organ tanaman seperti tunas, akar, batang,

biji, umbi, daun, dan tangkai daun. Kultur meristem

yang menggunakan eksplan dari tunas pucuk atau tunas

aksiler, dan juga ruas batang.

Kultur sel yang mempunyai tipe khusus seperti

serbuk sari (sel haploid) dan endosperm dengan sel

triploid. Setelah itu, kultur anter atau polen yang

menggunakan eksplan dari anter atau kepala sari yang

mengandung polen. Kultur embrio bertujuan memperpendek

waktu berkecambah, menguji kecepatan viabilitas biji,

memperbanyak tanaman langka yang mempunyai embrio pada

keadaan normal sering mati pada awal tingkat

perkembangannya. Langkah dalam kultur embrio dengan

memisahkan embrio yang masih belum dewasa dan

menumbuhkannya secara in vitro.

Kultur protoplas yang bertujuan untuk mempelajari

komponen penyusun sel atau organel hingga dapat

melakukan fusi protoplas. Selain itu juga untuk

mendapatkan tanaman hybrid dan cybrid somatic yang

dapat digunakan dalam transplantasi dan transformasi

genetik. Kultur biji yang mempercepat waktu untuk

berkecambah dan mengatasi masalah pada tanaman langka,

mempelajari kecepatan pertumbuhan hingga diperoleh biji

steril untuk mengatasi kontaminasi yang terjadi pada

eksplan yang dibudidayakan.

Keberhasilan kultur jaringan sangat dipengaruhi

oleh zat pengatur tumbuh tanaman. Zat pengatur tumbuh

ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam

kultur sel, jaringan dan organ. Zat pengatur tumbuh

dapat digolongan menjadi beberapa golongan, yaitu

auksin, sitokinin, giberelin, dan inhibitor. Hal ini

dikarenakan interaksi dan perimbangan antara zat

pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang

diproduksi oleh sel secara endogen, menentukan arah

perkembangan suatu kultur (Gunawan, 1988 dalam Anna,

2013).

Inisiasi tunas dapat dirangsang dengan penambahan

zat pengatur tumbuh golongan sitokinin seperti

benzilamino purin (BAP), Rinosil, Kinetin, Zeatin. Zat

pengatur tumbuh sitokinin yang berperan dalam

pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Fungsi dari

aktivitas utama sitokinin adalah untuk mendorong

pembelahan sel, menginduksi pembentukan tunas adventif

dan dalam konsentrasi tinggi menghambat inisiasi akar.

Namun sitokinin juga aktif menghambat perombakan

protein dan klorofil dan menghambat penuaan

(senescence) (Gunawan, 1988 dalam Anna, 2013).

Sedangkan zat pengatur tumbuh yang termasuk

golongan auksin yaitu, Indol Asam Asetat (IAA), Indol

Asam Butirat (IBA), Naftalen Asam Asetat (NAA), dan 2,4

D Dikhlorofenoksiasetat. Hormon auksin menjadi dasar

penggunaan jaringan meristem sebagai eksplan, karena

jaringan ini terdapat banyak sekali hormone yang

mengatur pembelahan sehingga keadaan jaringan ini

selalu membelah. Golongan zat pengatur tumbuh dari

giberelin antara lain adalah GA1, GA2, GA3, dan GA4.

Sedangkan golongan inhibitor terdiri atas fenolik dan

asam absisat (Hendaryono, 1994: 18).

Dalam setiap teknik kultur jaringan menggunakan

zat pengatur tumbuh auksin yaitu NAA dan 2,4 D yang

mempunyai sifat lebih stabil dibandingkan dengan IAA,

karena IAA dapat mengalami degradasi oleh adanya cahaya

ataupun dapat diuraikan oleh enzim oksidatif (Dods

dalam Hendaryono, 1994:20). Sedangkan keunggulan dari

NAA dan 2,4 D tidak mudah terurai oleh enzim-enzim yang

dikeluarkan oleh sel atau pemanasan pada saat proses

sterilisasi (Gamborg dalam Hendaryono, 1994: 21).

Auksin yang pada umumnya berfungsi untuk memacu

pembelahan sel, pemanjangan sel dan berperan dalam

pengakaran. NAA dan BAP merupakan jenis zat pengatur

tumbuh yang sering digunakan dalam kultur jaringan.

BAP golongan sitokinin sering digunakan bersamaan

dengan NAA untuk mendapatkan morfogenesis tanaman yang

diinginkan. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya akar,

tinggi planlet, jumlah daun, jumlah tunas, dan jumlah

akar. Media yang digunakan mampu mendorong

organogenesis pertumbuhan. Sehingga menunjukkan adanya

keseimbangan antara hormon endogen dan zat pengatur

tumbuh yang diberikan pada setiap perlakuan guna

mendorong proses organogenesis. Pertumbuhan dan

perkembangan eksplan dipengaruhi oleh interaksi dan

keseimbangan antara zat pengatur tumbuh endogen dan zat

pengatur tumbuh eksogen (Mirni, 2011).

Pertumbuhan juga memerlukan pembentukan senyawa

bahan baku dinding sel. Pembuatan komponen-komponen ini

dan penyusunan kembali ke dalam suatu matriks yang utuh

dipengaruhi oleh auksin, dengan jalan mengaktifkan

enzim yang berperan dalam pembentukan dinding sel

(Wattimena, 1991 dalam Anna, 2013). Sel dapat

mengembang dengan berbagai cara. Salah satunya

dikarenakan beberapa bahan osmotik seperti gula, dapat

diangkut masuk ke vakuola. Air akan masuk ke sel dan

dinding sel akan mengembang sampai suatu tekanan

dinding sel tertentu yang dapat menghalangi masuknya

air selanjutnya. Dinding sel yang retak diakibatkan

oleh pengembangan sel ini diperbaiki dengan penambahan

atau pembentukan bahan dinding sel yang baru (Noggle

dan Fritz, 1983 dalam Anna, 2013).

Pertumbuhan berkaitan dengan pertambahan volume

dan jumlah sel, pembentukan protoplasma, pertambahan

berat dan selanjutnya terjadi pertambahan berat kering.

Pengeringan bertujuan untuk menghentikan metabolisme

sel dari bahan tersebut (Sitompul dan Guritno, 1995

dalam Reynold, 2010). Gunawan dkk. (1992) mengemukaan

bahwa berat kering yang dihasilkan dalam hal ini berat

kering kalus tergantung dari kecepatan sel-sel tersebut

untuk membelah diri, memperbanyak diri, yang

dilanjutkan dengan pembesaran sel. Kecepatan sel

membelah ini dapat dipengaruhi oleh adanya hormon

tumbuh seperti auksin dan sitokinin. Hal ini diduga

dengan penambahan kedua hormon tersebut dapat

mempengaruhi metabolisme RNA yang berperan dalam

sintesis protein melalui proses transkripsi molekul

RNA. Kenaikan sintesis protein sebagai sumber tenaga

dapat digunakan untuk pertumbuhan sehingga dapat

meningkatkan berat kering dari tanaman (Marlin, 2012).

ZPT yang sering digunakan untuk menstimulasi

pembentukan kalus dari golongan auksin adalah 2,4-D.

Umumnya auksin meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan

sel, dan pembentukan akar adventif, dalam medium kultur

auksin dibutuhkan untuk meningkatkan embryogenesis

somatic pada kultur suspense sel. Konsentrasi auksin

yang tinggi akan merangsang pembentukan kalus dan

menekan morfogenesis (George dan Sherrington, 1984

dalam Marlin, 2012). Kalus merupakan sumber bahan

tanam yang sangat penting dalam meregenerasi tanaman

yang baru. Penggunaan kalus akan sangat menguntungkan

karena pembentukan kalus dapat diinisiasi dari jaringan

manapun dari tanaman. Pembengkakan eksplan yang terjadi

adalah sebagai respon dari tanaman yang mengakibatkan

sebagian besar karbohidrat dan protein yang ada akan

terakumulasi pada jaringan yang luka (Barahima, 2012).

Faktor lain dalam hal mempengaruhi keberhasilan

teknik kultur jaringan menggunakan kultur organ yaitu

adalah lingkungan tumbuh dengan beberapa parameter

lingkungan yang ada dalam botol kultur terhadap

pertumbuhan talus atau tunas, antara lain: suhu,

kelembaban dan cahaya. Tanaman umumnya dapat tumbuh

pada lingkungan dengan suhu yang sama di setiap proses

pertumbuhannya. Dapat dimisalkan bahwa suhu pada siang

hari dengan malam hari sangatlah berbeda sehingga

tanaman mengalami perbedaan kondisi suhu yang lumayan

cukup besar. Oleh karena itu, dalam laboratorium kultur

in vitro dapat diatur dengan suhu yang selalu konstan

yang tidak lebih tinggi dari suhu pada kondisi in vivo.

Suhu yang dipergunakan dalam laboratorium suhu 21-25°C.

Tanaman tropis dapat dikulturkan pada suhuyang lebih

tinggi dari tanaman empat musim sekitar 27°C (24-32°C)

(Yuliarti, 2010: 50).

Kelembaban relative dalam botol kultur dengan

mulut botol yang ditutup dengan aluminium foil umumnya

diperoleh kelembaban yang tinggi antara 80-99%. Namun

apabila sudah ditutup tapi masih sedikit longgar maka

kelembaban relative dalam botol dapat lebih rendah dari

80%. Kelembaban di ruangan kultur berada pada

kelembaban relative dibawah 70% dapat mengakibatkan

botol kutur yang tidak tertutup rapat dapat cepat

menguap dan kering sehingga eksplan dan planlet yang

dikulturkan akan kehilangan nutrisi yang terkandung

pada media. Kelembaban udara relatif yang tinggi dalam

botol kultur juga tidak baik untuk eksplan dan planlet

dikarenakan menyebabkan tanaman dapat tumbuh abnormal

dengan daun yang lemah, mudah patah, tanaman kecil-

kecil sehingga kondisi ini disebut vitrifikasi atau

hiperhidrocity (Yusnita dalam Mirni, 2011).

Pada teknik perbanyakan tanaman secara in vitro,

kultur umumnya diinkubasikan pada sebuah ruang

penyimpanan dengan penyinaran yang cukup. Hal ini

dikarenakantunas umumnya dapat dirangsang

pertumbuhannya dengan adanya penyinaran. Sumber cahaya

yang biasanya digunakan dalam ruangan kultur jaringan

adalah lamu fluorescent (TL) yang dapat menghasilkan

warna putih, selain itu suhu ruang kultur dapat

meningkat namun dalam jumlah yang sedikit. Intesitas

yang digunakan dalam ruang kultur sekitar 1/10 dari

intensitas cahaya yang dibutuhkan dalam keadaan normal.

Intensitas yang digunakan untuk pertumbuhan tunas

sekitar 600-1000 lux. Sedangkan pada tahap

perkecambahan dan inisiasi akar hanya dapat dilakukan

pada intensitas cahaya yang lebih sedikit dibandingkan

dengan pertumbuhan tunas (Triningsih, 2013). Oleh

karena itu kuantitas dan kualitas dari cahaya, lama

waktu penyinaran, dan panjang gelombang cahaya dapat

mempengaruhi pertumbuhan eksplan dalam kultur in vitro

disamping adanya suhu dan kelembaban relatif udara.

BAB 3. METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum Kultur Jaringan Tumbuhan dengan acara

Kultur Organ dilaksanakan pada hari Minggu, 11 Mei 2014

pukul 12.00 s/d selesai bertempat di Laboratorium

Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan Budidaya Pertanian,

Fakultas Pertanian, Universitas Jember.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

1. Laminar Air Flow (LAF)

2. Botol semprot

3. Pinset

4. Pisau

5. Seal (segel)

6. Kertas label

7. Alat tulis

8. Bunsen

9. Petridish

3.2.2 Bahan

1. Medium padat kultur jaringan yang telah dibuat

pada praktikum sebelumnya dengan 5 macam perlakuan

2. Kultur tembakau dalam botol kultur

3. Pestisida/ Fungisida

4. Aquades

5. Alkohol 70%

3.3 Prosedur Kerja

Bahan tanam Tembakau disamakan berdasarkan praktikum

yang telah dilakukan

1. Membuka plastik yang membungkus petridish yang

sebelumnya telah disterilkan menggunakan

autoclave, mensterilkan di atas nyala api Bunsen

2. Menjaga agar alat tetap steril maka sebelum

digunakan memanaskan terlebih dahulu di atas nyala

api Bunsen

3. Mengangin-anginkan peralatan yang telah steril

sebelum masuk dalam botol kultur

4. Mengeluarkan kultur dari dalam botol dengan sangat

hati-hati agar merusak kultur

5. Meletakkan kultur pada petridish menggunakan

pinset steril

6. Setelah meletakkan kultur pada petridish pinset

yang telah digunakan harus disterilkan kembali

sebelum digunakan lagi.

7. Mensterilkan dahulu Pisau dan Pinset yang hendak

digunakan dengan nyala api pada Bunsen

8. Memotong kultur tembakau tepat pada bagian daun

yang masih muda dan sehat

9. Memotong daun yang utuh menjadi 2 bagian yang sama

dan begitu pula seterusnya hingga di dapatkan

jumlah yang diharapkan

10. Mensterilkan kembali potongan yang telah di

dapatkan beserta petridishnya

11. Sebelum dibuka, maka hendaklah

mensterilkannya dalam nyala api pada Bunsen

12. Mengambil beberapa potongan daun tembakau

13. Meletakkan potongan daun (menanam potongan

daun) yang telah di ambil ke dalam botol kultur

yang telah disediakan hingga tepat pada medium

14. Setelah selesai menanam atau meletakkan

kultur pada media media tersebut harus ditutup

kembali dengan aluminium foil

15. Memasang kembali karet gelang pada leher

botol kutur agar tidak ada rongga udara pada botol

untuk mencegah kontaminan

16. Untuk mengunci media agar tidak terpengaruh

dari luar atau mendapat kontaminan dari luar

selain dileher botol dipasang karet gelang harus

di seal atau di segel lagi

17. Mengamati kultur pada hari ke-7 dan ke-14

3.4 Parameter Pengamatan

1. Mengamati perubahan yang terjadi pada bahan tanam.

Perubahan dapat ditunjukkan dengan adanya proses

pertumbuhan pada bahan tanam baik dalam bentuk

kalus, akar atau tunas.

2. Membuat grafik yang menyatakan pertubuhan kalus,

tunas, dan akar.

Tabel 1. Pertumbuhan Bahan Tanam Tembakau

Zat

Pengat

ur

Tumbuh

Bahan Tanam TembakauHari ke-7 Hari ke-14

Kalus Tunas Akar Kalus Tuna

sAkar

MS = 0 1 1 1NAA

0,25

ppm

dan

BAP 1

ppm

1 2 1

NAA 1

ppm

1 1 1

dan

BAP

0,25

ppmBAP

0,5

ppm1 2 1

2,4 D

0,5

ppm2 2 2 dst dst dst

Gambar 1. Grafik Pertumbuhan Tembakau pada hari ke-7

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil PengamatanTabel 1. Pertumbuhan Bahan Tanam Tembakau

Zat

Pengat

ur

Tumbuh

Bahan Tanam TembakauHari ke-7 Hari ke-14Kalus Tunas Akar Kalus Tuna

sAkar

MS = 0 0 0 0 0 0 0NAA

0,25

ppm

0 0 0 0 0 0

dan

BAP 1

ppmNAA 1

ppm

dan

BAP

0,25

ppm

0 0 0 0 0 0

BAP

0,5

ppm

0 0 0 0 0 0

2,4 D

0,5

ppm

0 0 0 0 0 0

Pertumbuhan Tembakau dalam grafik

Gambar 1. Grafik Pertumbuhan Tembakau pada hari ke-7

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan Tembakau pada hari ke-14

4.2 Pembahasan

Pada praktikum kultur jaringan dengan acara kultur

organ yang bertujuan untuk mengetahui organ tanaman

yang mampu beregenerasi menjadi tanman lengkap dan

untuk mendapatkan eksplan yang steril. Alat yang

digunakan dalam praktikum ini sama dengan praktikum

teknik aseptik karena dilakukan pada waktu yang

bersamaan yaitu, Laminar Air Flow (LAF), Botol semprot

yang berisi alkohol 70%, Pinset, Pisau, Seal wrap

(segel), Kertas label, Alat tulis, Bunsen dan Petri

dish. Sedangkan bahan yang harus disediakan yaitu

medium padat kultur jaringan yang telah dibuat pada

praktikum sebelumnya, Pestisida/ Fungisida, Aquades

serta Alkohol 70%.

Setelah alat dan bahan sudah lengkap tersedia,

maka praktikan dapat memulai praktikum acara kultur

organ dengan prosedur yang sudah terdapat dalam modul

yaitu membuka plastik yang membungkus petridish yang

sebelumnya telah disterilkan menggunakan autoclave,

mensterilkan di atas nyala api Bunsen. Menjaga agar

alat tetap steril maka sebelum digunakan memanaskan

terlebih dahulu di atas nyala api Bunsen. Mengangin-

anginkan peralatan yang telah steril sebelum masuk

dalam botol kultur. Mengeluarkan kultur dari dalam

botol dengan sangat hati-hati agar merusak kultur.

Meletakkan kultur pada petridish menggunakan pinset

steril. Setelah meletakkan kultur pada petridish pinset

yang telah digunakan harus disterilkan kembali sebelum

digunakan lagi. Mensterilkan dahulu Pisau dan Pinset

yang hendak digunakan dengan nyala api pada Bunsen.

Memotong kultur tembakau tepat pada bagian daun

yang masih muda dan sehat. Memotong daun yang utuh

menjadi 2 bagian yang sama dan begitu pula seterusnya

hingga di dapatkan jumlah yang diharapkan. Mensterilkan

kembali potongan yang telah di dapatkan beserta

petridishnya Sebelum dibuka, maka hendaklah

mensterilkannya dalam nyala api pada Bunsen. Mengambil

beberapa potongan daun tembakau. Meletakkan potongan

daun (menanam potongan daun) yang telah di ambil ke

dalam botol kultur yang telah disediakan hingga tepat

pada medium. Setelah selesai menanam atau meletakkan

kultur pada media media tersebut harus ditutup kembali

dengan aluminium foil. Memasang kembali karet gelang

pada leher botol kutur agar tidak ada rongga udara pada

botol untuk mencegah kontaminan. Untuk mengunci media

agar tidak terpengaruh dari luar atau mendapat

kontaminan dari luar selain dileher botol dipasang

karet gelang harus di seal atau di segel lagi.

Mengamati kultur pada hari ke-7 dan ke-14

Setelah praktikum selesai dilakukan maka

dilakukanlah pengamatan pada hari ke-7 dan hari ke-14.

Parameter yang digunakan untuk mengamatinya adalah

mengamati perubahan yang terjadi pada bahan tanam.

Perubahan dapat ditunjukkan dengan adanya proses

pertumbuhan pada bahan tanam baik dalam bentuk kalus,

akar atau tunas. Pertumbuhan bahan tanam tembakau dapat

diperjelas dengan menggunakan grafik. Berdasarkan tabel

hasil pengamatan dapat diperoleh bahwasanya pada hari

ke-7 dan ke-14 menunjukkan hasil yang sama. Bahan tanam

tembakau yang telah ditanam dengan perlakuan MS=0

menunjukkan bahwa tidak ada perubahan bahan tanam baik

dari segi kalus = 0, tunas = 0, dan juga akar= 0.

Pada perlakuan MS dengan ZPT NAA 0,25ppm dan BAP

1ppm diperoleh hasil tidak ada perubahan bahan tanam

baik dari segi kalus = 0, tunas = 0, dan juga akar= 0.

Pada perlakuan selanjutnya dengan menggunakan media MS

yang di tambahi dengan ZPT NAA 1ppm dan BAP 0,25ppm

menunjukkan hal yang sama bahwa tidak ada perubahan

bahan tanam baik dari segi kalus = 0, tunas = 0, dan

juga akar= 0. Pada perlakuan ke-4 dengan media MS

menggunakan ZPT BAP 0,5ppm menunjukkan tidak ada

perubahan bahan tanam baik dari segi kalus = 0, tunas =

0, dan juga akar= 0. Perlakuan yang terakhir dengan

media MS yang ditambahi dengan 2,4 D 0,5 ppm tidak ada

perubahan bahan tanam baik dari segi kalus = 0, tunas =

0, dan juga akar= 0. Sehingga dapat disimpulkan

berdasarkan hasil pengamatan hari ke-7 dan hari ke-14

dapat diketahui tidak ada aktivitas pertumbuhan. Hal

ini dikarenakan tidak adanya perubahan yang dapat

dilihat dengan munculnya kalus, tunas, dan akar pada

eksplan. Oleh karena itu dapat diperjelas dalam grafik

pertumbuhan pada hari ke-7 dan hari ke-14.

Pada grafik pertumbuhan hari ke-14 juga diperoleh

grafik yang sama dengan grafik pertumbuhan pada hari

ke-7.

Berdasarkan grafik yang telah ditampilkan maka,

waktu pertumbuhan untuk bahan tanam tembakau

membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membentuk kalus

hingga menjadi tunas dan menjadi planlet dengan adanya

akar. Karena pada dasarnya kultur organ merupakan salah

satu teknik dalam hal perbanyakan tanaman dengan kultur

jaringan. Perbanyakan secara in vitro dapat dilakukan

melalui tiga cara yaitu pembentukan tunas adventif,

proliferasi tunas lateral, dan embriogenesis somatic

(Rossa, 2011).

Tidak hanya bahan tanam yang telah disebutkan

karena pada dasarnya kultur jaringan dapat dilakukan

dalam berbagai jenis berdasarkan Yuliarti (2010: 46)

kultur dapat digunakan dalam bermacam-macam kultur

yaitu kultur organ yang bersumber dari eksplan yang

dapat berasal dari bagian organ tanaman seperti tunas,

akar, batang, biji, umbi, daun, dan tangkai daun.

Kultur meristem yang menggunakan eksplan dari tunas

pucuk atau tunas aksiler, dan juga ruas batang. Kultur

sel yang mempunyai tipe khusus seperti serbuk sari (sel

haploid) dan endosperm dengan sel triploid. Setelah

itu, kultur anter atau polen yang menggunakan eksplan

dari anter atau kepala sari yang mengandung polen.

Kultur embrio bertujuan memperpendek waktu

berkecambah, menguji kecepatan viabilitas biji,

memperbanyak tanaman langka yang mempunyai embrio pada

keadaan normal sering mati pada awal tingkat

perkembangannya. Langkah dalam kultur embrio dengan

memisahkan embrio yang masih belum dewasa dan

menumbuhkannya secara in vitro. Kultur protoplas yang

bertujuan untuk mempelajari komponen penyusun sel atau

organel hingga dapat melakukan fusi protoplas. Selain

itu juga untuk mendapatkan tanaman hybrid dan cybrid

somatic yang dapat digunakan dalam transplantasi dan

transformasi genetik. Kultur biji yang mempercepat

waktu untuk berkecambah dan mengatasi masalah pada

tanaman langka, mempelajari kecepatan pertumbuhan

hingga diperoleh biji steril untuk mengatasi

kontaminasi yang terjadi pada eksplan yang

dibudidayakan.

Salah satu faktor keberhasilan kultur jaringan

sangat dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh tanaman.

Zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan

morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Zat

pengatur tumbuh dapat digolongan menjadi beberapa

golongan, yaitu auksin, sitokinin, giberelin, dan

inhibitor. Hal ini dikarenakan interaksi dan

perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan

dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara

endogen, menentukan arah perkembangan suatu kultur

(Gunawan, 1988 dalam Anna, 2013).

Hal ini dikarenakan pertumbuhan juga memerlukan

pembentukan senyawa bahan baku dinding sel. Pertumbuhan

berkaitan dengan pertambahan volume dan jumlah sel,

pembentukan protoplasma, pertambahan berat dan

selanjutnya terjadi pertambahan berat kering.

Pengeringan bertujuan untuk menghentikan metabolisme

sel dari bahan tersebut (Sitompul dan Guritno, 1995

dalam Reynold, 2010). Gunawan dkk. (1992) mengemukaan

bahwa berat kering yang dihasilkan dalam hal ini berat

kering kalus tergantung dari kecepatan sel-sel tersebut

untuk membelah diri, memperbanyak diri, yang

dilanjutkan dengan pembesaran sel. Kecepatan sel

membelah ini dapat dipengaruhi oleh adanya hormon

tumbuh seperti auksin dan sitokinin. Hal ini diduga

dengan penambahan kedua hormon tersebut dapat

mempengaruhi metabolisme RNA yang berperan dalam

sintesis protein melalui proses transkripsi molekul

RNA. Kenaikan sintesis protein sebagai sumber tenaga

dapat digunakan untuk pertumbuhan sehingga dapat

meningkatkan berat kering dari tanaman (Marlin, 2012).

Zat pengatur tumbuh yang digunakan pada praktikum

kultur organ kali ini adalah NAA (Naftalen Asam

Asetat), BAP (benzyl amino purin), dan 2,4 D. Naftalen

Asam Asetat (NAA), dan 2,4 D Dikhlorofenoksiasetat yang

termasuk zat pengatur tumbuh golongan auksin. Hormon

auksin menjadi dasar penggunaan jaringan meristem

sebagai eksplan, karena jaringan ini terdapat banyak

sekali hormone yang mengatur pembelahan sehingga

keadaan jaringan ini selalu membelah. (Hendaryono,

1994: 18).

ZPT golongan auksin 2,4-D yang digunakan untuk

menstimulasi pembentukan kalus dari. Umumnya auksin

meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan sel, dan

pembentukan akar adventif, dalam medium kultur auksin

dibutuhkan untuk meningkatkan embryogenesis somatic

pada kultur suspense sel. Konsentrasi auksin yang

tinggi akan merangsang pembentukan kalus dan menekan

morfogenesis (George dan Sherrington, 1984 dalam

Marlin, 2012). Kalus merupakan sumber bahan tanam yang

sangat penting dalam meregenerasi tanaman yang baru.

Penggunaan kalus akan sangat menguntungkan karena

pembentukan kalus dapat diinisiasi dari jaringan

manapun dari tanaman. Pembengkakan eksplan yang terjadi

adalah sebagai respon dari tanaman yang mengakibatkan

sebagian besar karbohidrat dan protein yang ada akan

terakumulasi pada jaringan yang luka (Barahima, 2012).

Benzyl amino purin (BAP) termasuk ke dalam zat

pengatur tumbuh golongan sitokinin, yang berperan dalam

merangsang proses inisiasi tunas, pengaturan pembelahan

sel dan morfogenesis. Fungsi dari aktivitas utama

sitokinin adalah untuk mendorong pembelahan sel,

menginduksi pembentukan tunas adventif dan dalam

konsentrasi tinggi menghambat inisiasi akar. Namun

sitokinin juga aktif menghambat perombakan protein dan

klorofil dan menghambat penuaan (senescence) (Gunawan,

1988 dalam Anna, 2013).

BAP termasuk ke dalam golongan sitokinin sering

digunakan bersamaan dengan NAA untuk mendapatkan

morfogenesis tanaman yang diinginkan. Hal ini

ditunjukkan dengan munculnya akar, tinggi planlet,

jumlah daun, jumlah tunas, dan jumlah akar. Media yang

digunakan mampu mendorong organogenesis pertumbuhan.

Sehingga menunjukkan adanya keseimbangan antara hormon

endogen dan zat pengatur tumbuh yang diberikan pada

setiap perlakuan guna mendorong proses organogenesis.

Pertumbuhan dan perkembangan eksplan dipengaruhi oleh

interaksi dan keseimbangan antara zat pengatur tumbuh

endogen dan zat pengatur tumbuh eksogen (Mirni, 2011).

Faktor lain dalam hal mempengaruhi keberhasilan

teknik kultur jaringan menggunakan kultur organ yaitu

adalah pengaruh lingkungan tumbuh dengan beberapa

parameter lingkungan yang ada dalam botol kultur

terhadap pertumbuhan talus atau tunas, antara lain:

suhu, kelembaban dan cahaya. Tanaman umumnya dapat

tumbuh pada lingkungan dengan suhu yang sama di setiap

proses pertumbuhannya. Dapat dimisalkan bahwa suhu pada

siang hari dengan malam hari sangatlah berbeda sehingga

tanaman mengalami perbedaan kondisi suhu yang lumayan

cukup besar. Oleh karena itu, dalam laboratorium kultur

in vitro dapat diatur dengan suhu yang selalu konstan

yang tidak lebih tinggi dari suhu pada kondisi in vivo.

Suhu yang dipergunakan dalam laboratorium suhu 21-25°C.

Tanaman tropis dapat dikulturkan pada suhuyang lebih

tinggi dari tanaman empat musim sekitar 27°C (24-32°C)

(Yuliarti, 2010: 50).

Kelembaban relatif dalam botol kultur dengan mulut

botol yang ditutup dengan aluminium foil umumnya

diperoleh kelembaban yang tinggi antara 80-99%. Namun

apabila sudah ditutup tapi masih sedikit longgar maka

kelembaban relative dalam botol dapat lebih rendah dari

80%. Kelembaban di ruangan kultur berada pada

kelembaban relative dibawah 70% dapat mengakibatkan

botol kutur yang tidak tertutup rapat dapat cepat

menguap dan kering sehingga eksplan dan planlet yang

dikulturkan akan kehilangan nutrisi yang terkandung

pada media. Kelembaban udara relatif yang tinggi dalam

botol kultur juga tidak baik untuk eksplan dan planlet

dikarenakan menyebabkan tanaman dapat tumbuh abnormal

dengan daun yang lemah, mudah patah, tanaman kecil-

kecil sehingga kondisi ini disebut vitrifikasi atau

hiperhidrocity (Yusnita dalam Mirni, 2011).

Pada teknik perbanyakan tanaman secara in vitro,

kultur umumnya diinkubasikan pada sebuah ruang

penyimpanan dengan penyinaran yang cukup. Hal ini

dikarenakantunas umumnya dapat dirangsang

pertumbuhannya dengan adanya penyinaran. Sumber cahaya

yang biasanya digunakan dalam ruangan kultur jaringan

adalah lamu fluorescent (TL) yang dapat menghasilkan

warna putih, selain itu suhu ruang kultur dapat

meningkat namun dalam jumlah yang sedikit. Intesitas

yang digunakan dalam ruang kultur sekitar 1/10 dari

intensitas cahaya yang dibutuhkan dalam keadaan normal.

Intensitas yang digunakan untuk pertumbuhan tunas

sekitar 600-1000 lux. Sedangkan pada tahap

perkecambahan dan inisiasi akar hanya dapat dilakukan

pada intensitas cahaya yang lebih sedikit dibandingkan

dengan pertumbuhan tunas (Triningsih, 2013).

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dapat

disimpulkan bahwasanya lingkungan seperti suhu,

kelembaban relatif udara, kuantitas serta kualitas

cahaya yang disebut intensitas cahaya, lama penyinaran,

dan panjang gelombang dalam botol kultur sangat

berpengaruh terhadap pertumbuhan kalus, sebelum terjadi

pertumbuhan organ atau juga jaringan yang tidak

terpengaruh oleh beberapa parameter lingkungan yang ada

dalam botol kultur selama proses kultur jaringan.

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Organ tanaman yang mampu beregenerasi menjadi

tanaman lengkap sehingga mempunyai sifat totipotensi.

Karena sifat tersebut tanaman dapat diperbanyak

dengan menggunakan teknik kultur jaringan. Maka dari

itu eksplan yang digunakan berasal dari jaringan yang

masih muda (juvenil) yang dikarenakan dapat mudah

tumbuh dan beregenerasi dibandingkan jaringan yang

sudah mature atau sudah mengalami diferensiasi

lanjut. Jaringan muda yang digunakan memiliki sifat

sel yang sangat aktif membelah dengan dinding sel

yang masih belum kompleks. Jaringan muda yang sering

digunakan antara lain: pucuk muda, kuncup muda,

hipokotil, inflorescence yang belum dewasa.

2. Eksplan yang steril dapat dihasilkan melalui

proses sterilisasi bahan tanam dengan menggunakan

bahan sterilisasi seperti Clorox atau bayclin

ditujukan karena bayclin memiliki kandungan yang

dapat membersihkan eksplan dari berbagai macam

kontaminan baik berupa jamur, virus, bakteri.

Sehingga pada eksplan yang steril dapat diperoleh

planlet murni atau stok murni tanaman dalam jumlah

yang besar dalam waktu yang relatif lebih singkat

serta dapat dipastikan bebas dari virus dan penyakit.

Multiplikasi atau perbanyakan yang diperoleh melalui

penanaman secara in vitro sangat tinggi. Produksi bibit

yang berkualitas, hasil yang homogen, dan dalam waktu

yang singkat dapat diperoleh jumlah yang sangat

banyak juga dapat diperoleh melalui teknik budidaya

konvensional (Hobir et al dalam Anna, 2013).

5.2 Saran

Dalam hal menaikkan keberhasilan pada praktikum

ini, adapun beberapa saran yang pastinya perlu untuk

diperhatikan, yaitu

1. Sangat memperhatikan kesterilan alat dan bahan dan

memastikan semuanya dalam keadaan steril.

2. Selalu memakai jas praktikum saat praktikum maupun

pada saat pengamatan baik pada praktikan maupun

asisten laboratorium untuk menghindari adanya

kontaminasi.

DAFTAR PUSTAKA

Anna Rufaida, Waeniaty, Muslimin, I NengahSuwastika. 2013. Organogenesis Tanaman BawangMerah (Allium ascalonicum L.) Lokal Palu Secara InVitro Pada Medium Ms Dengan Penambahan AnnaRufaida IAA dan BAP. Online Jurnal of Natural Science,Vol. 2 (2) ISSN: 2338-0950

Barahima Abbas, Florentina Heningtyas Listyorini,

Eko Agus Martanto, dan Yanuarius Renwarin. 2012.Pertumbuhan Jaringan Stipe dari Jamur Sagu(Volvariella sp) Endemik Papua dalam Kultur invitro Jurnal Natur Indonesia 14(3): 184-190 ISSN1410-9379

Dwi Wahyuni Ardiana dan Ida Fitrianingsih. 2010.

Teknik Kultur Jaringan Tunas Pepaya dengan

Menggunakan Beberapa Konsentrasi IBA. Dwi W Buletin

Teknik Pertanian Vol. 15, No. 2 :52-55

Hendaryono, Daisy P Sriyanti; Wijayanti, Ari. 1994.

Teknik Kultur Jaringan Cetakan ke-13. Yogyakarta:

Kanisius

Marlin, Yulian, dan Hermansyah. 2012. Inisiasi KalusEmbriogenik Pada Kultur Jantung Pisang ‘Curup’Dengan Pemberian Sukrosa, Bap Dan 2,4-D.Initiation of embryogenic callus formation of

Banana ‘Curup’ male bud culture supplementedwith sucrose, BAP, and 2,4-D. J. Agrivigor 11(2): 275-283,; ISSN 1412-2286

Mirni Ulfa Bustami. 2011. Penggunaan 2, 4-D Untuk Induksi Kalus Kacang Tanah. Media Litbang Sulteng IV (2): 137 – 141, ISSN: 1979 – 5971

Reynold P. Kainde dan Billi, Wagania. 2010. KajianPerkecambahan Benih Mahoni pada Beberapa MediaSecara In vitro. Eugenia Volume 16 Nomor 1.

Rossa Yunita, Endang dan Gati Lestarai. 2011.Perbanyakan Tanaman Pulai Pandak (Rauwolfiaserpentina L.) dengan Teknik Kultur Jaringan.Jurnal Natur Indonesia 14(1): 68-72 ISSN 1410-9379,Keputusan Akreditasi No 65a/DIKTI/Kep./2008

Sholeh Avivi, Didik Pudji Restanto, dan Tri

Widyastuti. 2011. Pengaruh Ukuran Embriozigot

terhadap Regenerasi Beberapa Klon Kakao. Jurnal

Natur Indonesia 13(3): 237-243 ISSN 1410-9379,

Keputusan Akreditasi No 65a/DIKTI/Kep.

Triningsih, Luthfi A. M Siregar, Lollie A. P. Putri.2013. Pertumbuhan Eksplan Puar Tenangau

(Elettariopsis Sp.) Secara In Vitro. Jurnal OnlineAgroekoteknologi Vol.1, No.2, ISSN No. 2337- 6597

Yuliarti, Nurheti. 2010. Kultur Jaringan Tanaman Skala

Rumah Tangga. Yogyakarta: Lily Publisher 1