Menggugat Tanggungjawab Agama-agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia
KEDUDUKAN ISBAT PENGADILAN AGAMA DALAM ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of KEDUDUKAN ISBAT PENGADILAN AGAMA DALAM ...
KEDUDUKAN ISBAT PENGADILAN AGAMA
DALAM KESAKSIAN RUKYATUL HILAL DI INDONESIA (STUDI ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Anggit Nilam Cahya
11180440000051
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1443 H/ 2022 M
i
KEDUDUKAN ISBAT PENGADILAN AGAMA
DALAM KESAKSIAN RUKYATUL HILAL DI INDONESIA(STUDI ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA)
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBINGSkripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ANGGIT NILAM CAHYA
NIM : 11180440000051
Dibawah Bimbingan
17- 4-2022
Dr. Maskufa, M.A
NIP. 196807031994032002
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini. Saya :
Nama Lengkap : Anggit Nilam Cahya
NIM : 11180440000051
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 16 Oktober 1998
Prodi/Fakultas : Hukum Keluarga/ Fakultas Syariah dan Hukum
Alamat : Kp. Sawah, No. 9, Desa Ragajaya, Kecamatan
Bojonggede, Kabupaten Bogor, 16920
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S-1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia untuk menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 18 April 2022
Anggit Nilam Cahya
NIM.11180440000051
iv
ABSTRAK
Anggit Nilam Cahya. NIM 11180440000051. KEDUDUKAN ISBAT PENGADILAN AGAMA DALAM KESAKSIAN RUKYATUL HILAL DI INDONESIA (Studi Analisis Penetapan Pengadilan Agama). Program Studi Hukum Keluarga, fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1433 H/ 2022 M.
Isbat kesaksian rukyat hilal menjadi perbincangan, urgensi isbat rukyat hilal oleh Pengadilan Agama sedang penetapan awal bulan Kamariah ditetapkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia. Peneltian ini bertujuan untuk menganalisa Kedudukan Isbat Pengadilan Agama dalam Kesaksian Rukyatul Hilal di Indonesia seperti yang terkandung pada Pasal 52A UU Nomor 3 Tahun 2006. Sumber data dalam penelitian ini UU Nomor 3 Tahun 2006, Penetapan Pengadilan Agama Nomor.01/Itsb.R.H./2016/PA. Gs, Nomor.121/Pdt.P/2016/PA.Bjn, dan Nomor. 01/Itsbat.R.H/2016/PA.Cbd. Adapun jenis penelitiannya adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Penetapan Nomor. 01/Itsb.R.H./2016/PA. Gs, dan Nomor. 121/Pdt.P/2016/PA.Bjn yang pada amarnya dikabulkan permohonannya memiliki kewenangan sebagai bahan pertimbangan Menteri Agama dalam menetapkan awal bulan Kamariah, sedang Penetapan Nomor. 01/Itsbat.R.H/2016/PA.Cbd yang pada amarnya tidak dikabulkan permohonannya tidak memiliki kewenangan dalam hal tersebut.. Prosedur isbat rukyat hilal pada Pengadilan Agama tertera pada Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Itsbat Rukyat Hilal serta dilakukan seperti halnya permohonan pada umumnya, perbedaannya hanya menggunakan hakim tunggal. Faktor-faktor penerimaan isbat rukyatul hilal pengadilan agama memenuhi kriteria yang disepakati, dan berdasarkan pengetahuan yang terbaru (mu’tabar), serta perukyat/syahid yang telah melihat hilal serta diisbatkan kesaksiannya oleh hakim Pengadilan Agama. Isbat Pengadilan Agama dalam hal ini merupakan wujud pelaksanaan tugas bagi Mahkamah Agung beserta jajarannya yang termaktub pada pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006. Pengadilan Agama tidak berwenang dalam menetapkan kapan awal bulan Kamariah, melainkan hanya memberikan isbat kesaksian rukyat hilal.
Kata Kunci : Isbat Rukyat Hilal, Kewenangan Pengadilan Agama
Pembimbing : Dr. Hj. Maskufa, M.A.
Daftar Pustaka : 1996 s.d 2021.
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi merupakan aksara dari tulisan bahasa asing (terutama Arab) ke
dalam tulisan latin. Dalam skripsi, tesis, dan disertasi yang meneliti bidang
keagamaan (baca: Islam), alih aksara atau transliterasi, adalah sebuah keniscayaan.
Demi menjaga konsistensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara dalam
penulisan penting diberikan.
a. Pedoman Aksara
Padanan daftar aksara Arab dalam aksara latin :
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan Tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ts te dan es ث
j Je ج
h h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d De د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ya ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
t te dengan garis di bawah ط
vi
z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap ‘ ع
kanan
gh ge dan ha غ
f Ef ف
q Ki ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ن
w We و
h Ha ھ
Apostrof ` ء
y Ya ي
b. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti halnya vokal pada bahasa Indonesia,
terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Ketentuan alih aksara vokal tunggal, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ــ A Fathah ـ
ــ I Kasrah ـ
ــ U Dammah ـ
Untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
vii
ai a dan i ـــ ي
و ـــ au a dan u
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ــا
ي ــ î i dengan topi di atas
û u dengan topi di atas ــو
d. Kata Sandang
Dalam sistem aksara Arab kata sandang, dilambangkan dengan huruf, yaitu
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyah maupun
huruf kamariah. Contoh: al-rukyat bukan ar-rukyat, al-dîwân bukan ad-dîwân.
e. Tasydīd (Syaddah)
Dalam sistem tulisan Arab syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan
sebuah tanda (ـــ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yakni
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Namun, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata ( ورةلضرا )
tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
f. Ta Marbûtah
Dalam hal ini, jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri,
maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (lihat contoh 1). Berlaku
juga ketika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2).
viii
Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t” (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
syarî’ah شريعة 1
al-syarî’ah al-islâmiyyah الشريعة اإلسالمية 2
muqâranat al-madzhâhib مقارنة املذاهب 3
g. Huruf Kapital
Walau pada sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), guna menuliskan
permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-
lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata
sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-
Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD dapat diterapkan dalam alih aksara ini,
misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal
(bold). Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad
al-Palimbani, tidak ‘Abd al- Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak
Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di
atas:
ix
Kata Arab Alih Aksara
al-darûrah tubîhu al-mahzûrât الضرورة تبيح احملظورات
اإلسالمي االقتصاد al-iqtisād al-islâmî
usûl al-fiqh أصول الفقه
al-‘asl fi al-asyy’â’ al-ibâhah األصل يف األشياء اإلابحة
al-maslahah al-mursalah املصلحة املرسلة
x
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa
memberikan kelimpahan rahmat serta hidayah-Nya, serta berkat kuasa dan rida-
Nya yang tidak bisa diungkapkan, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat
seiring salam senantiasa haturkan kepada Nabi Muhammad saw. yang telah
membimbing umatnya dari zaman kegelapan hingga zaman terang benderang
seperti saat ini, semoga kita mendapatkan syafaatnya di akhirat kelak.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat agar dapat lulus dan
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Hukum Keluarga,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini penulis sembahkan kepada kedua orang tua serta keluarga yang telah
memfasilitasi pendidikan serta selalu mendukung dalam perjalanan ini, yaitu Bapak
Aris Siswanto dan Ibu Mia Sumiati, Almarhum dan Almarhumah Kakek Nenek,
serta Adik saya Abel Muhammad Gibran Dwiputro, mereka adalah alasan saya
untuk menyelesaikan studi dan menambah wawasan, serta kebaikan-kebaikan
lainnya yang tidak dapat dituliskan satu persatu.
Proses penulisan skripsi ini, tentu tidaklah mudah, terjadinya pasang surut
semangat kerap hadir, namun pada akhirnya Alhamdulillah penulis banyak
diberikan kemudahan jalan oleh Allah Swt. dan Nabi Muhammad saw. Banyak
pihak yang memberikan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung
memiliki peran penting dalam proses penulisan ini, penulis ingin menyampaikan
terima kasih kepada para pihak yang telah mendukung, kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A., selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Mesraini, M.Ag., selaku ketua Program Studi Hukum Keluarga yang
mendorong semangat mahasiswa untuk menyelesaikan pendidikan Strata 1.
xi
4. Ahmad Chairul Hadi, M.A., selaku Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga
yang membantu program kerja Kaprodi dalam mendorong semangat
mahasiswa untuk menyelesaikan pendidikan Strata 1.
5. Dr. Hj. Maskufa, M.A., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang senantiasa
selalu meluangkan waktunya untuk melaksanakan bimbingan, memberikan
arahan, masukan serta nasehat ditengah kesibukannya sebagai Wakil Dekan
Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama FSH UIN Jakarta. Terima
kasih atas saran dan kritik yang membangun, semoga Ibu selalu diberikan
kesehatan oleh Allah Swt. dan senantia membalas kebaikan Ibu dengan banyak
berkah dan rahmat-Nya.
6. Drs. Ahmad Yani, M.Ag., selaku Dosen Penasihat Akademik atas bimbingan,
masukan serta motivasi yang diberikan.
7. Segenap Dosen Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, yang
telah mendidik serta memberikan ilmunya kepada penulis.
8. Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Nasional, yang telah
banyak membantu dalam mencari sumber penulisan.
9. Dr. Asadurrahman, M.H., selaku narasumber pada penelitian ini, terima kasih
banyak telah meluangkan waktu dalam kesibukannya.
10. Keluarga Besar Hukum Keluarga 2018, terkhusus KURAS HK-B 2018 yang
telah memberikan banyak cerita, serta memberikan banyak motivasi.
11. Keluarga Besar LSO Islamic Astronomy Student Council (IASC), yang banyak
memberikan banyak pengalaman lapangan dalam Ilmu Falak kepada penulis.
Terima kasih atas kesempatannya untuk mengikuti segala kegiatannya.
12. Keluarga Besar Lembaga Kajian Mahasiswa Ahwal Syakhsiyyah
(ELKAMASY), yang menambah wawasan berpikir penulis.
13. Serta kepada Gilang Akbar El-Hakam, Tasya Nabilah Herman, Nur Fadhilah
Novianti, yang selalu meluangkan waktu berdiskusi dan memberikan motivasi
begitupula Fitiriati Salamah, Sephia Nurbaiti, Putri Humaira Djufri dan
Rivaldo Alfi Nugraha.
xii
Dengan segala rasa terima kasih yang mendalam, penulis berharap semoga
Allah Swt. membalas semua kebaikan mereka dan selalu diberikan kemudahan dan
kelancaran dalam setiap urusannya.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca.
Jakarta, 18 April 2022
Anggit Nilam Cahya
NIM.11180440000051
xiii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ....................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................................ x
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................................... 5
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian .................................................. 6
D. Kajian Pustaka ............................................................................................. 7
E. Metode Penelitian...................................................................................... 10
F. Pedoman Penulisan ................................................................................... 14
G. Sistematika Pembahasan ........................................................................... 14
BAB II ISBAT RUKYAT HILAL DALAM HUKUM ISLAM DAN PRAKTIKNYA DI INDONESIA ............................................................. 16
A. Isbat (Penetapan) Rukyat Hilal ................................................................. 16
B. Isbat Rukyat Hilal dalam Hukum Islam .................................................... 27
C. Praktik Pelaksanaan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal di Indonesia .............. 33
BAB III KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA TENTANG RUKYAT HILAL DAN PENETAPAN ISBAT KESAKSIAN RUKYAT HILAL .. 41
A. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 ........................................................................................................... 41
B. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Pemeriksaan Laporan Penyaksian Hilal di Indonesia ...................................................................................... 45
C. Kewenangan Memeriksa Kesaksian Hilal menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 52A ............................................................... 46
D. Deskripsi Penetapan Pengadilan Agama tentang Isbat Kesaksian Rukyat Hilal ........................................................................................................... 47
xiv
BAB IV KEDUDUKAN ISBAT PENGADILAN AGAMA DALAM KESAKSIAN RUKYATUL HILAL DI INDONESIA ............................ 62
A. Prosedur Isbat Rukyatul Hilal di Pengadilan Agama ................................ 62
B. Dasar Pertimbangan Hakim pada Penetapan Nomor. 01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd, Nomor. 1/Itsb.R.H/2016/PA.Gs, dan Nomor. 121/Pdt.P/2016/PA.Bjn ............................................................................. 66
C. Faktor-faktor Penerimaan dan Penolakan Isbat Rukyat Hilal Pengadilan Agama ....................................................................................................... 69
D. Kedudukan Isbat Rukyatul Hilal Pengadilan Agama dalam Kesaksian Rukyat Hilal di Indonesia .......................................................................... 76
BAB V KSESIMPULAN ...................................................................................... 82
A. Kesimpulan ............................................................................................... 82
B. Saran .......................................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 84
LAMPIRAN .......................................................................................................... 89
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyatuan awal bulan Kamariah di Indonesia secara umum dan
keseluruhan masih menjadi persoalan, apalagi bila berkaitan dengan awal puasa
dan dua hari raya, Idul Fitri dan Idul Adha, dan persoalan tersebut sangat
kompleks. Persoalan dimaksud antara lain mencakup persoalan-persoalan:
rukyat, hisab, paham keagamaan, ketaatan individual/kultural-struktural, dan
kosntitusi. Purwanto dan D. W. Dawanas mengatakan bahwa penentuan hari
raya umat Islam melibatkan aspek-aspek yang bersifat kompleks seperti fikih,
sosial politik, dan ilmiah.1 Thomas Djamaluddin mengatakan bahwa masalah
penetapan awal bulan Ramadan, Idul Fitri, dan idul adha fokusnya memang
merupakan masalah ilmiah astronomis, namun dalam pelaksanaannya sering
terbentur masalah sosiologis.2
Persoalan yang dihadapi dalam penyatuan awal bulan Kamariah bukan
semata-mata persoalan rukyat dan hisab semata, melainkan terdapat juga faktor
paham keagamaan individu dan ormas keagamaan terhadap hasil pengamatan
dan perhitungannya masing-masing, dapat menjadi kendala dalam menyatukan
awal bulan Kamariah. Selain itu faktor perkembangan teknologi informasi
memberikan peluang perbedaan dengan hisab dan rukyat nasional, dan/atau
dengan keputusan Menteri Agama, apalagi jika keputusan-keputusan Menteri
Agama tidak mempunyai standar, kriteria, atau tidak menggunakan dasar yang
secara konsisten dipedomani dan dijadikan dasar pembinaan teori substantif
awal bulan Kamariah yang digunakan khususnya untuk awal-awal Ramadan,
1 Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Selayang Pandang Hisab Rukyat, (Jakarta:
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggara Haji, 2004), h. 102. 2Thomas Djamaluddin, “Visibilitas Hilal di Indonesia” Warta Lapan, vol. 2, No. 4, Oktober-
Desember ([t.tp.] LAPAN, 2000), hal 1. Lihat pula, Thomas Djamaluddin, Menggagas Fiqh Astronomi [Telaah Hisab-Rukyat dan Pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya] (Bandung Kaki Langit, 2005), hal. 57-72, dikutip dari Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang
Hisab dan Rukyat, (Ciputat, Gaung Persada, 2012), h. 1.
2
Syawal, dan Zulhijah, sehingga keputusan Menteri Agama dalam
menyelesaikan kasus yang akan dihadapi, tidak dapat diprediksi secara tepat
dan berkesinambungan, kecuali bila seluruh hisab sepakat bahwa hilal terbenam
lebih dahulu daripada matahari3
Sejak 30 Juni 2004 Peradilan Agama resmi beralih ke Mahkamah
Agung RI namun tugas hisab rukyat tetap menjadi tugas Kementerian Agama
yang tidak ikut dilimpahkan ke Mahkamah Agung. Selain itu, perpindahan
organisasi Peradilan Agama dari Departemen/Kementerian Agama secara
keseluruhan ke bawah atap Mahkamah Agung Republik Indonesia (selanjutnya
disebut MA-RI) tidak melepaskan hubungan keduanya dalam penanganan
masalah-masalah keumatan salah satunya yang berkaitan dengan hisab rukyat,
hal ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang mencabut Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, sementara Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman ini dicabut dan
diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Penggantian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 menjadi dasar bagi perubahan-
perubahan undang-undang lainnya yang terkait dengan kekuasaan kehakiman,
salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 melahirkan beberapa perubahan, salah satunya
adalah di antara Pasal 52 dan 53 disisipkan satu pasal baru yakni Pasal 52A.
Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 berbunyi "Pengadilan Agama
memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada
3 Thomas Djamaluddin, “Visibilitas Hilal di Indonesia”/,h. 3-4.
3
tahun Hijriah.”4 Pengadilan Agama hanya mengisbatkan kesaksian Rukyatul
hilal atau memberikan isbat saja. Pasal 52A tersebut menegaskan bahwa
pemberian isbat kesaksian rukyat hilal berada dalam rangkaian pelaksanaan
penentuan awal bulan Tahun Hijriah, sedangkan penjelasan pasal tersebut lebih
tegas lagi menyatakan bahwa isbat dimaksud dalam rangka penetapan tanggal
1 Ramadan dan 1 Syawal secara nasional oleh Menteri Agama.
Dalam rangka pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pasal tersebut
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan Penetapan
Nomor: KMA/095/X/2006 tentang Penetapan Izin Sidang Isbat Kesaksian
Rukyat Hilal dengan Hakim Tungal Kepada Mahkamah Syariah Sewilayah
Hukum Provinsi NAD dan Pengadilan Agama Seluruh Indonesia, tanggal 17
Oktober 2006, yang memberikan izin sidang isbat kesaksian rukyat hilal dengan
hakim tunggal kepada Mahkamah Syarʼiyah sewilayah hukum Provinsi NAD
dan Pengadilan Agama seluruh Indonesia. Pada penjelasan Pasal 52A
disebutkan bahwa selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama
untuk memberikan penetapan (isbat) terhadap kesaksian orang yang telah
melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadan
dan awal bulan Syawal tahun Hijriah dalam rangka Menteri Agama
mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadan dan
1 (satu) Syawal.5
Kewenangan absolut Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah tersebut
sebagaimana Pasal 52A UU Nomor 3 Tahun 2006 tidak efektif. Karena dalam
praktiknya penetapan tersebut tidak mengikat dan yang berlaku secara nasional
adalah Keputusan Menteri Agama.6 Sementara Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah tetap melakukan pemantauan di lapangan, menerima, memeriksa dan
4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama 5Muh. Irfan Husaeni, Menyoal Kewenangan Penetapan Itsbat Rukyat Hilal (Pasal 52 A UU
Nomor 3 Tahun 2006), Jurnal Badilag Mahkamah Agung Tahun 2013, h. 3. 6M. Irfan Husaeni, Menyoal Kewenangan Penetapan Itsbat Rukyat..,hal. 5.
4
menetapkan isbat rukyatul hilal. 7 Kementerian Agama juga mengklaim
berwenang menentukan awal bulan qomariah berdasarkan Penetapan
Pemerintah Nomor: 2/Um.7/Um/9/Um/1946 tentang Aturan Tentang Hari
Raya. Kewenangan tersebut semakin eksis setelah hadirnya Lembaga Rukyat
dan Hisab melalui Keputusan Menteri Agama RI No. 77 Tahun 1972. Aturan
yang berlaku selama ini pemohon dan pelapor adalah Pejabat Kantor
Kementrian Agama. Mereka mengajukan permohonan isbat kesaksian rukyat
hilal kepada MS/PA yang mewilayahi tempat pelaksanaan rukyat hilal. Akan
tetapi mereka juga yang menetukan kriteria waktu rukyatul hilal. Dan data yang
harus dipakai oleh MS/PA untuk pertimbangan membuat penetapan isbat adalah
data yang diterbitkan oleh Badan Hisab Rukyat Kementrian Agama.8
Menurut Muh. Irfan Husaeni pada praktik pelaksanaan Pasal 52A UU
Nomor 3 Tahun 2006, penetapan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah
hanya dijadikan alat pertimbangan Menteri Agama dalam mengambil
keputusan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah. Menurut pendapatnya,
memperlakukan penetapan tersebut dengan tidak semestinya dapat dianggap
sebagai contempt of court. Dalam permasalahan contempt of court ini, jika
merujuk kepada jalannya sidang isbat penetapan 1 Ramadan dan 1 Syawal yang
disiarkan langsung oleh beberapa stasiun televisi, sebelum Menteri Agama
memutuskan penetapan terlebih dahulu mendengarkan pendapat ormas Islam
dan laporan dari beberapa daerah yang telah ditentukan, termasuk penetapan
tersebut di berbagai daerah.9 Pasal 52A UU Nomor 3 Tahun 2006 menyisakan
7Surat Badilag Nomor 249/DJA.4/OT.01.1/VII/2013 tertanggal 3 Juli 20013 Tentang Rukyat
Awal Ramadan Syawal dan Zulhijah 1434 H. Ditjen Badilag menginstruksikan kepada Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Ketua Pengadilan Tinggi Agama Seluruh Indonesia dan Ketua Mahkamah Syar’iyah Kab/Kota se-Provinsi Aceh serta Ketua Pengadilan Agama Seluruh Indonesia untuk Melaksanakan Sidang Itsbat Kesaksian Rukyat Hilal pada wilayah yurisdiksi Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama masing-masing bagì perukyat yang melaporkan telah melihat hilal pada tanggal 29 bulan Syakban, 29 Ramadan dan 29 Zulkaidah. Perintah Badilag ini benar dan tepat karena yang diperiksa dalam sidang istbat hanya perukyat yang melaporkan telah melihat hilal pada tanggal tersebut di atas. Dikutip dari Muh. Irfan Husaeni, S.Ag., MSI., Menyoal Kewenangan Penetapan Itsbat Rukyat Hilal (Pasal 52 A UU Nomor 3 Tahun 2006), Jurnal Badilag Mahkamah Agung Tahun 2013.
8 M. Irfan Husaeni, Menyoal Kewenangan Penetapan Itsbat Rukyat..,h. 10. 9 M. Irfan Husaeni, Menyoal Kewenangan Penetapan Itsbat Rukyat.,hal. 4.
5
permasalahan serius terhadap Mahkamah Syariah/Pengadilan Agama yang
memiliki kewenangan dalam perkara Isbat Kesaksian Rukyat Hilal.
Pada praktiknya, pelaksanaan Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006, tidak semua hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah
memberikan isbat berbentuk penetapan, karena beberapa hanya menyumpah
perukyat saja dan tidak dimasukkan ke dalam perkara permohonan.
Studi ini penting dilakukan, atas pertimbangan latar belakang di atas,
penelitian ini menganalisis permasalahan yang ada, dan tertarik menganalisis
lebih lanjut mengenai kedudukan isbat kesaksian rukyat hilal pengadilan agama
di Indonesia khususnya dalam penentuan awal bulan Kamariah dan Hari besar
umat Islam. Penelitian atau kajian terdahulu yang membahas tentang penentuan
awal bulan Hijriah, hisab dan rukyat, dasar hukumnya, serta keunggulan
masing-masing metode telah banyak dibahas oleh para penulis terdahulu,
sehingga penelitian ini tidak membahas lagi keunggulan masing-masing
mazhab baik mazhab rukyat maupun mazhab hisab. Oleh karenanya penulis
tertarik untuk meneliti “Kedudukan Isbat Pengadilan Agama Dalam Kesaksian
Rukyatul Hilal Di Indonesia (Studi Analisis Penetapan Pengadilan Agama)”.
Adapun penetapan Pengadilan Agama yang akan dianalisa adalah sebagai
berikut; Nomor. 01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd, Nomor. 1/Itsb.R.H./2016/PA.Gs
dan Nomor.121/Pdt.P/2016/PA.Bjn tentang Penetapan Isbat Kesaksian Rukyat
Hilal.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah adalah beberapa permasalahan yang berkaitan
dengan tema yang dibahas, permasalahan yang muncul dalam latar belakang
di atas adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam sejarah Peradilan
Islam di Indonesia?
b. Bagaimana kewenangan keperkaraan Pengadilan Agama?
c. Bagaimana struktur penetapan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal di
Indonesia?
6
d. Bagaimana pelaksanaan Sidang Isbat di Kementerian Agama jika
tidak ada Penetapan Pengadilan Agama?
e. Bagaimana Kedudukan Isbat Pengadilan Agama dalam Kesaksian
Rukyatul Hilal di Indonesia seperti yang terkandung pada Pasal 52A
UU Nomor 3 Tahun 2006?
f. Bagaimana prosedur serta faktor-faktor penerimaan isbat rukyatul
hilal di pengadilan agama?
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka penelitian ini akan
dibatasi pada bagaimana Kedudukan Isbat Pengadilan Agama dalam
Kesaksian Rukyatul Hilal di Indonesia (Studi Analisis Penetapan
Pengadilan Agama). Penetapan Pengadilan Agama yang dimaksud dalam
penelitian ini dibatasi pada penetapan Nomor. 01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd,
Nomor.1/Itsb.R.H./2016/PA.Gs, dan Nomor.121/Pdt.P/2016/PA.Bjn
tentang Penetapan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka rumusan masalahnya
dibuat tunggal dan fokus kepada isu utama yang diteliti, sebagai berikut
“Bagaimana kedudukan penetapan isbat Pengadilan Agama dalam
kesaksian rukyatul hilal di Indonesia?”
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
Kedudukan Isbat Pengadilan Agama dalam Kesaksian Rukyatul Hilal di
Indonesia, adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk menganalisa Kedudukan Isbat Pengadilan Agama dalam
Kesaksian Rukyatul Hilal di Indonesia seperti yang terkandung pada
Pasal 52A UU Nomor 3 Tahun 2006.
7
2. Untuk menganalisa prosedur serta faktor-faktor penerimaan isbat
rukyatul hilal di pengadilan agama.
3. Untuk menganalisa kedudukan penetapan isbat Pengadilan Agama
dalam kesaksian rukyatul hilal di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Dalam hal penelitian skripsi ini, diharapkan dapat menghasilkan
manfaat sebagai berikut: Pertama, memberikan informasi terkait
kedudukan Isbat Pengadilan Agama dalam kesaksian rukyat hilal di
Indonesia sebagaimana amanat Pasal 52A Undang-Undang No. 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Kedua,
menambah khazanah ilmu pengetahuan kepada akademisi dan pihak-pihak
yang berkenan meneliti lebih lanjut mengenai hal terkait. Ketiga,
menghasilkan Karya Tulis Ilmiah yang berguna bagi penulis, guna
memenuhi tugas akhir dan syarat untuk menyelesaikan program strata satu
(S-1) di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Kajian Pustaka
1. Kajian Terdahulu
Dari hasil penelitian pada beberapa karya tulis ilmiah, kajian yang
berkaitan dengan Isbat Kesaksian Dalam Sidang Rukyat Hilal di Indonesia
adalah suatu hal yang relatif baru. Penelitian tersebut telah dipublikasikan
dalam beberapa karya sebagai berikut:
M. Syamsu (2018),10 membahas tentang kedudukan hukum isbat
kesaksian rukyatul hilal dihubungkan dengan metode hisab Imkanur Rukyat
dalam menentukan 1 Ramadan dan 1 Syawal 1438 H/2017 M. Selanjutnya
membahas tentang implementasi penetapan Pengadilan Agama Gresik
terhadap isbat kesaksian rukyat hilal dalam menentukan 1 Ramadan dan 1
10 Muhammad Syamsu Alam Darajat, Analisis Isbat Kesaksian Rukyatul Hilal dalam
Menentukan Tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawal 1438 H/2017 M Menurut Pasal 52a Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama (Studi Pelaksanaan di Balai Rukyat NU Bukit Condrodipo Gresik), Skripsi Tahun 2018 di Universitas Muhammadiyah Malang.
8
Syawal 1438 H/2017 M yang dihubungkan dengan Pasal 52A Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dan implementasi jaminan
pemerintah terhadap kebebasan berkeyakinan umat Islam Indonesia yang
berbeda penetapan 1 Ramadan dan 1 Syawal 1438 H/2017 M. Yang
membedakannya dengan penelitian ini adalah penelitian ini
menitikberatkan pada pembahasan isbat kesaksian di Pengadilan Agama,
dan penetapan Pengadilan Agama, sedangkan penelitian sebelumnya
pelaksanaan Isbat Kesaksian di Balai Rukyat NU Bukit Condrodipo Gresik.
Ahmad Fadholi (2019),11 membahas tentang urgensi, dinamika, dan
sejarah sidang isbat di Indonesia. Bagaimana Pemerintah menghadapi
keberagaman latar belakang dari masyarakat di Indonesia terutama Ormas.
Yang membedakannya adalah, penelitian ini tidak banyak membahas
sejarah hanya relevansi UU No. 3 tahun 2006.
Eko Heri Santoso (2012),12 Kesimpulan yang bisa ditarik dalam
skripsi tersebut adalah : bahwa kewenangan Pengadilan Agama dalam
penentuan awal dan akhir Ramadan berdasar Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 yakni hanya memberikan penetapan Isbat atas kesaksian dilihat
atau tidak dilihatnya hilal saja. Akibat hukum penetapan isbat rukyatul hilal
adalah mengikat pemohon. Dalam memberikan putusan penetapan atas
isbat kesaksian rukyatul hilal, hakim mempertimbangkan peneguhan atas
terlihatnya hilal oleh syahid/ rukyatan, kesesuaian antara laporan perukyat
dengan perhitungan hisab, laporan yang disampaikan pemohon sesuai akal
sehat, laporan yang disampaikan sesuai kaidah syar׳i, dan laporan pemohon
sesuai dengan ilmu pengetahuan. Yang membedakannya adalah penelitian
11 Ahmad Fadholi, Sidang Isbat, Urgensi dan Dinamikanya, Jurnal Ilmu Syari’ah dan
Perbankan Islam Tahun 2019 di IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung. 12Eko Heri Santoso, “Sidang Itsbat Rukyatul Hilal Berdasar Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama (Studi Penetapan Pengadilan Agama Gresik Nomor: 01/Itsbat.RH/2008/ PA.GS), Skripsi tahun 2012 di Universitas Jember.
9
ini meneliti beberapa penetapan Pengadilan Agama sedangkan penelitian
sebelumnya meneliti satu penetapan Pengadilan Agama, serta kedudukan
isbat kesaksian rukyat hilal pengadilan agama di Indonesia.
Muh. Irfan (2013),13 Perlu peninjauan ulang Pasal 52A UU Nomor
3 Tahun 2006 tentang kewenangan penetapan isbat rukyatul hilal, karena
sesuai pasal tersebut penetapan MS/PA hanya dijadikan pertimbangan
dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional
untuk penetapan 1 (satu) Ramadan dan 1 (satu) Syawal. Konsekwensinya,
penetapan MS/PA mungkin dipakai dan mungkin tidak. Memperlakukan
penetapan MS/PA dengan tidak semestinya dapat dinilai sebagai contempt
of court. Jika kewenangan penetapan isbat rukyatul hilal tetap menjadi
kewenangan absolute MS/PA maka harus diperkuat dengan lahirnya UU
yang mengatur isbat rukyatul hilal itu merupakan perkara dan Penetapan
isbat rukyatul hilal MS/PA bersifat final dan binding, mengikat seluruh
umat Islam di Indonesia (include Menteri Agama). Perbedaanya adalah
bagaimana kedudukan isbat ksaksian rukyat hilal pengadilan agama di
Indonesia.
Dari karya ilmiah di atas yang memiliki kemiripan dengan penelitian
ini adalah karya M. Syamsu (2018), Eko Heri Santoso (2012), dan Muh.
Irfan (2013). Yang membedakan penelitian M. Syamsu (2018) dengan
penelitian ini adalah penelitian ini menitikberatkan pada pembahasan isbat
kesaksian di Pengadilan Agama, dan putusan Pengadilan Agama,
sedangkan penelitian sebelumnya pelaksanaan Isbat Kesaksian di Balai
Rukyat NU Bukit Condrodipo Gresik. Selanjutnya, penelitian Eko Heri
Santoso (2012), yang membedakannya adalah penelitian ini meneliti
beberapa penetapan Pengadilan Agama sedangkan penelitian sebelumnya
meneliti satu penetapan Pengadilan Agama. Selanjutnya, penelitian Muh.
Irfan (2013) yang membahas relevansi UU No. 3 tahun 2006, perbedaanya
13Muh. Irfan Husaeni, Menyoal Kewenangan Penetapan Itsbat Rukyat Hilal (Pasal 52 A UU
Nomor 3 Tahun 2006), Jurnal Badilag Mahkamah Agung Tahun 2013.
10
dengan penelitian ini adalah bagaimana kedudukan isbat kesaksian rukyat
hilal pengadilan agama di Indonesia.
2. Kerangka Konseptual
Kerangka konsepsional sering dirasakan abstrak, oleh karenanya,
diperlukan definisi-definisi operasional, sebagaimana pada kata-kata atau
frasa di bawah ini:
a. Isbat. Kata “isbat” berasal dari bahasa Arab, yang berarti penetapan.
b. Kesaksian. Kata “kesaksian” berarti keterangan (pernyataan) yang
diberikan oleh saksi. Sedangkan saksi adalah: a) orang yang melihat
atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian), b) orang yang
dimintai hadir pada suatu peristiwa yang dianggap mengetahui
kejadian tersebut agarpada suatu ketika, apabila diperlukan, c) orang
yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan
pendakwa atau terdakwa, d) keterangan (bukti pernyataan) yang
diberikan oleh orang yang melihat atau mengetahui, e) bukti kebenaran,
f) orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang didengarnya, dilihatnya, atau dialaminya sendiri.
c. Rukyat. Rukyat adalah usaha melihat hilal pada saat matahari terbenam
akhir tanggal bulan Kamariah, dalam hal ini akhir tanggal 29 Ramadan,
Syawal, dan/atau Zulhijah.
d. Hilal. Hilal adalah bulan sabit, bulan yang terbit pada tanggal satu
bulan Kamariah. Hilal diartikan juga dengan anak bulan.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan adalah Kualitatif. Penelitian
kualitatif merupakan suatu strategi inquiry yang menekankan pencarian
makna, pengertian, konsep, karakteristik, gejala, simbol, maupun deskripsi
tentang suatu fenomena, fokus dan multimetode, bersifat alami dan holistik,
11
mengutamakan kualitas, menggunakan beberapa cara, serta disajikan secara
naratif. 14 Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum normatif dikonsepkan sebaga apa yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum yang
dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
berperilaku masyarakat terhadap apa yang dianggap pantas.15
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan Penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah
pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus
(case approach).
Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) merupakan
penelitian yang acuan dasar yang utama dalam melakukan penelitian adalah
bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan. Pendekatan ini biasa
digunakan dengan tujuan mengetahui peraturan perundang-undangan mana
yang sedang memupuk pada tataran teknis, atau apakah masih terdapat
kekurangan dalam pelaksanaannya, atau bahkan praktik-praktik yang
menyimpang. Pendekatan ini dilakukan dengan mengkaji semua peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan persoalan (legal issue) yang
muncul. Pendekatan hukum ini dilakukan misalnya dengan memeriksa
konsistensi/kesesuaian antara Undang-Undang Dasar dengan undang-
undang, atau antara kedua undang-undang tersebut.16
Pendekatan kasus adalah jenis pendekatan penelitian hukum
normatif dimana peneliti berusaha mengkonstruksikan perdebatan hukum
dalam hal kasus-kasus tertentu yang terjadi di lapangan, termasuk kasus,
14 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta, Kencana, 2017), h. 329. 15 Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Jakarta, Prenadamedia Grup, 2016), h. 124. 16 Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), https://www.saplaw.top/
pendekatan-perundang-undangan-statute-approach-dalam-penelitian-hukum/, diakses pada tanggal 17 April 2022, pukul 08.07 WIB.
12
serta proses dan kejadian di lapangan yang berkaitan erat. Untuk itu,
pendekatan jenis ini biasanya mengikuti prinsip-prinsip keadilan dan
bertujuan untuk mencari nilai yang benar dan solusi terbaik dari kasus
hukum yang muncul. Pendekatan ini dilakukan dengan melihat kasus-kasus
yang berkaitan dengan masalah hukum yang dihadapi. Perkara yang disidik
adalah perkara yang telah mendapat putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Pertimbangan utama dalam setiap
putusan tersebut adalah pertimbangan hakim untuk mencapai suatu putusan
yang dapat digunakan sebagai sengketa untuk menyelesaikan masalah
hukum dengan segera.17
3. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer penulis peroleh langsung dari sumbernya yaitu
UU Nomor 3 Tahun 2006, Penetapan Pengadilan Agama (Nomor:
01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd, Nomor: 01/Itsbat.RH/2016/PA.Gs, dan
Nomor. 121/Pdt.P/2016/PA.Bjn), Peraturan Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama Mahkamah Agung RI dan Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama beserta hasil
wawancara Hakim Pengadilan Agama sekaligus sejarawan Hisab Rukyat
dalam hal ini Dr. H. Asadurrahman, S.H., M.H.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-
dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang
akan dibahas, hasil penelitian yang berwujud laporan, dan peraturan
perundang-undangan seperti Surat Keputusan dari Mahkamah Agung
atau Menteri Agama dan Berita Acara Sidang Isbat, buku-buku yang
berhubungan dengan masalah yang akan dibahas, hasil penelitian
17 Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), https://www.saplaw.top
/pendekatan-perundang-undangan-statute-approach-dalam-penelitian-hukum/, diakses pada tanggal 17 April 2022, pukul 08.08 WIB.
13
terdahulu yang berwujud laporan, dan peraturan perundang-undangan
yang sudah disebutkan di atas.
4. Teknik Pengumpulan Data
Metode Teknik pengumpulan data dilakukan dalam dua tahap yaitu
dokumentasi dan wawancara.
a. Dokumentasi yang dimana menganalisa Undang-Undang dan Surat
Keputusan baik dari Mahkamah Agung ataupun Menteri Agama,
berikut daftarnya :
1) Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2) Surat Ditjen Badilag Nomor 249/DJA.4/OT.01.1/VII/2013
tertanggal 3 Juli 2013 Tentang Rukyat Awal Ramadan Syawal dan
Zulhijah 1434 H.
3) Surat Penetapan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor:
KMA/095/X/2006 Tertanggal 17 Oktober 2006 Tentang Sidang
Itsbat Kesaksian Rukyatul Hilal.
4) Surat Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 269 Tahun 2016
5) Penetapan Pengadilan Agama Nomor. 01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd,
Nomor.1/Itsb.R.H./2016/PA.Gs, dan Nomor.121/Pdt.P/2016
/PA.Bjn tentang Penetapan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal.
6) Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Itsbat Rukyat Hilal, Direktorat
Pratalak Perdata Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama, Mahkamah Agung RI
b. Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap Hakim Pengadilan Agama sekaligus
sejarawan pada Hisab Rukyat, yaitu Dr. H. Asadurrahman, M.H.
5. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah deskriftif analisis, dengan menguraikan fakta yang telah ada dalam
14
skripsi ini kemudian ditarik suatu kesimpulan dan saran, menggambarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mengaitkan atau
menghubungkan pada suatu perundang-undangan dengan pelaksanaan
kebijakan di lapangan, yang harus saling berhubungan dan berkoordinasi
dengan permasalahan-permasalahan yang dihadapi.
F. Pedoman Penulisan
Pedoman penulisan yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan
kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
G. Sistematika Pembahasan
Sebagai upaya mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi, penulis
menyusun suatu sistematika pembahasannya sebagai berikut:
Pada BAB I, berisikan Pendahuluan yang mencakup Latar Belakang
Masalah, Pembahasan dan Rumusan Masalah, Tujuan serta manfaat Penelitian.
Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Pada BAB II, memaparkan isbat rukyatul hilal dalam hukum Islam dan
praktiknya di Indonesia.
Pada BAB III, memuat tentang Kewenangan Pengadilan Agama dalam
Isbat Kesaksian Rukyat Hilal pada Undang-Undang No. 3 tahun 2006. Bab ini
berisi kewenangan Pengadilan Agama tentang isbat rukyatul hilal dalam UU
No. 3 Tahun 2006. Bab ini akan menjelaskan tentang kewenangan PA dalam
UU Nomor 3 tahun 2006, Kewenangan Pengadilan Agama dalam Pemeriksaan
Laporan Penyaksian Hilal di Indonesia, dan kewenangan memeriksa kesaksian
Hilal menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 52A.
Pada BAB IV, memuat hasil penelitian yang akan dideskripsikan secara
utuh, kemudian terdapat analisis penulis terhadap penelitian tersebut. Dalam
bab ini mencakup mendeskripsikan hasil penelitian kedudukan isbat Pengadilan
Agama dalam kesaksian rukyatul hilal di Indonesia, yang meliputi prosedur
isbat rukyatul hilal di pengadilan agama, faktor-faktor penerimaan isbat
15
rukyatul hilal di pengadilan agama dan kedudukan isbat rukyatul hilal
pengadilan agama.
Pada BAB V Penutup, merupakan bab yang berisi kesimpulan, dan
saran dari hasil penelitian ntuk pengembangan ilmu hukum yang dapat
digunakan oleh praktisi dan masyarakat pada umumnya.
16
BAB II
ISBAT RUKYAT HILAL DALAM HUKUM ISLAM DAN
PRAKTIKNYA DI INDONESIA
A. Isbat (Penetapan) Rukyat Hilal
1. Isbat (Penetapan)
Isbat (Penetapan) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, isbat
berarti penyungguhan, penetapan, penentuan. Makna lainnya menurut
Bahasa Arab (al-Isbat) atau bahasa Belanda (beschiking), yaitu produk
Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang
diistilahkan jurisdiction voluntaria. Permohonan dimaknai sebagai bukan
peradilan sesungguhnya karena hanya terdapat pemohon, yang memohon
untuk ditetapkan tentang suatu hal, sedangkan ia tidak perkara dengan
lawan.18 Pada dasarnya, perkara tersebut tidak dapat diterima oleh proses
pengadilan, kecuali apabila ada kepentingan undang-undang yang
mengendaki demikian. 19 Keputusan pengadilan atas perkara permohonan
(volunter), misalnya penetapan dalam perkara dispensasi nikah, izin nikah,
wali adhal, poligami, perwalian, isbat nikah, dan sebagainya.20 Bentuk dan
isi penetapan, yaitu sebagai berikut:21
a. Identitas para pihak pada permohonan dan penetapan hanya memuat
identitas pemohon. Walaupun telah dimuat identitas termohon, tetapi
termohon bukanlah pihak.
b. Tidak ditemui kata-kata “berlawanan dengan”, seperti pada putusan.
18 Ernawati, Hukum Acara Peradilan Agama, (Depok: Rajagrafindo Persada, 2020), h. 199. 19 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012), h. 97. 20 Madani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), h. 123. 21 Ernawati, Hukum Acara Peradilan Agama, h. 199.
17
c. Tidak ditemui kata-kata “tentang duduk perkaranya”, seperti pada
putusan, melainkan langsung diuraikan apa permohonan pemohon.
d. Amar penetapan bersifat declaratoire atau constitutoire.
e. Kalau pada putusan didahului kata “memutuskan”, pada penetapan
dengan kata “menetapkan”.
f. Biaya perkara selalu dipikul oleh pemohon.
g. Pada penetapan tidak terdapat reconventie atau interventie atau
vrijwaring.
Jika melihat kepada sisi kemurniannya penetepan dapat dibagi
menjadi dua macam, yakni :22
a. Penetapan dalam bentuk murni voluntaria bahwa penetapan merupakan
hasil dari perkara permohonan (voluntair) yang sifatnya tidak ada
perlawanan dari pihak.
b. Penetapan bukan dalam bentuk voluntaria. Di lingkungan peradilan
agama ada beberapa jenis perkara di bidang perkawinan yang produk
pengadilan agamanya berupa penetapan, tetapi bukan merupakan
voluntaria murni. Meskipun dalam produk penetapan tersebut ada
pihak pemohon dan termohon, para pihak tersebut harus dianggap
sebagai penggugat dan tergugat sehingga penetapan ini harus diangap
sebagai putusan. Contohnya adalah penetapan ikrar talak.
Kekuatan Hukum Penetapan hanya memilik kekuatan hukum sepihak,
dan pihak lainnya tidak dapat dipaksakan untuk mengikuti kebenaran hal-hal
yang dideklarasikan dalam putusan volunter, karena itu pula maka putusan
volunter tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai pembuktian.23
2. Rukyat Hilal
a. Rukyat
22 Zulkarnaen, Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung:
Pustaka Setia, 2017), h. 318-319. 23 Madani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, h. 123.
18
Jika dilihat, makna Rukyat sendiri secara harfiah berarti melihat.
Menurut Susiknan Azhari, arti yang paling lumrah digunakan adalah
melihat dengan mata kepala. 24 Kata tersebut merupakan kata bentuk
masdar dari fi’il رأى . 25 Makna dari kata tersebut adalah “melihat”.
Menurut Farid Ruskanda, makna rukyat yang paling umum yaitu “melihat
dengan mata kepala”.26 Kata tersebut berasal dari kata ra’a, dalam kata
lain dapat diartikan sebagai melihat bukan dengan cara visual, contohnya
melihat dengan pikiran atau ilmu (pengetahuan). Ragam arti dara kata
tersebut bergantung pada objek yang menjadi sasarannya.27
Selanjutnya, menurut Muhyidin Khazin, Rukyat adalah aktivitas
mengamati visibilitas hilal, penampakan bulan sabit yang pertama kali
tampak setelah terjadinya ijtimak28. Rukyat dapat dilakukan dengan mata
telanjang (secara langsung) atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.
Aktivitas rukyat biasanya dilakukan saat menjelang terbenamnya
Matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu tersebut, posisi Bulan
berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya
Matahari). Apabila hilal terlihat dengan jelas, maka pada petang
(Maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal 1.29
24 Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 183. 25 Ahmad Warson Munawwir., Kamus Arab-Indonesia , (Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1997), h.460. 26 Farid Ruskanda., 100 Masalah Hisab dan Rukyat Telaah Syariah, Sains, dan Teknologi.
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.41. Dikutip dari Abdul Karim & M. Rifa Jamaluddin Nasir., Mengenal Ilmu Falak (Teori dan Implementasi), (Yogyakarta: Qudsi Media, 2012), h. 64.
27 A. Ghozali Masroeri., Rukyatul Hilal, Pengertian dan Aplikasinya, Disampaikan dalam
Musyawarah Kerja dan Evaluasi Badan Hisab Rukyat Departemen Agama RI di Ciawi Bogor Tanggal 27-29 Februari 2008, h. 1-2. . Dikutip dari Abdul Karim & M. Rifa Jamaluddin Nasir., Mengenal Ilmu Falak (Teori dan Implementasi), h. 64.
28 Ijtimak dalam Enslikopedia karangan Susiknan Azhari, biasa disebut Iqtiran merupakan
pertemuan atau berkumpulnya (berimpitnya) dua benda yang berjalan secara aktif. Jika dikaitkan dengan bulan baru kamariah adalah suatu peristiwa saat bulan dan matahari terletak pada posisi garis bujur yang sama, bila dilihat dari arah timur ataupun arah barat.
29 Muhyidin Khazin, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab dan Rukyah, (Yogyakarta: Ramadan
Press. 2009), h. 143. Dikutip dari Watni Marpaung, Pengantar Ilmu Falak, (Jakarta: Kencana: 2015), h. 39.
19
Dalam konteks bulan Kamariah atau penetapan hilal, yang dimaksud
dengan rukyat adalah rukya al-hilal, menurut Watni Marpaung, yang
artinya melihat hilal dengan melihat langsung atau menggunakan alat
bantu (teropong, binokuler, kamera, teleskop, theodolite, dan alat
lainnya). Kegiatan ini disebut juga dengan ru'yah hilal bil fi'li. Rukyat
hilal dilaksanakan pada hari ke-29 pada bulan Kamariah (yaitu sore
menjelang/sesudah maghrib). Jika pada pelaksanaannya, hilal belum
dapat terlihat baik karena mendung (ada gangguan cuaca), oleh karena itu
disempurnakan bulan tersebut menjadi 30 hari.30
Kata Rukyat yang dihubungkan menggunakan istilah hilal, maka ia
bermakna sesuai dengan definisi hilal yang digunakan. Rukyat dalam
makna melihat secara visual (menggunakan mata kepala) atau ru’yat-
bashariyah atau disebut pula dengan ru’yat bi al-fi’li, hanya tepat
digunakan pada hilal pada pengertian hilal aktual.31 Ru’yat al-hilal yang
ada pada sejumlah hadis Nabi saw mengenai rukyat hilal Ramadan dan
Syawal merupakan rukyat al-hilal pada pengertian hilal aktual. Secara
umum Rukyat dapat pula dikatakan sebagai “Pengamatan terhadap
hilal”.32
Rukyat yang bermakna pengamatan hilal awal bulan baru adalah
kegiatan yang telah dilakukan oleh umat Islam sejak masa Nabi
Muhammad saw. hingga dewasa ini. Umat Islam pada masa tersebut,
dalam menentukan awal bulan Qamariah berdasarkan kepada pengamatan
hilal jika tidak terlihat hilal pada hari tersebut, maka digenapkan manjadi
30 hari, cara ini yang umat Islam yakini sebagai cara yang paling sesuai
dengan tuntunan Rasulullah saw., dan pemahaman seperti ini juga yang
30 Ahmad Izzudin, FIQIH HISAB RUKYAH Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam
Penentuan Awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha, (Jakarta : Erlangga : 2007), h.44. 31 A. Ghozali Masroeri., Rukyatul Hilal, Pengertian dan Aplikasinya, h.2. Dikutip dari K.H.
Abdul Karim & M. Rifa Jamaluddin Nasir., Mengenal Ilmu Falak (Teori dan Implementasi), h. 65. 32 Farid Ruskanda., 100 Masalah Hisab dan Rukyat Telaah Syariah, Sains, dan
Teknologi,h.41. Dikutip dari K.H. Abdul Karim & M. Rifa Jamaluddin Nasir., Mengenal Ilmu Falak
(Teori dan Implementasi), h. 64.
20
telah dianut oleh jumhur ulama termasuk empat Imam Mazhab (Syafi’i,
Hambali, Hanafi dan Maliki).33
Dalam rukyat sendiri pada hakikatnya para pakar mempunyai makna
yang berbeda dalam memahami istilah tersebut, sehingga munculah
pembagian rukyat ke dalam 2 jenis, yaitu:34
1) Bil fi’li, Kelompok terakhir atau golongan mutaakhirin menafsirkan
Hadis secara harfiah, bahwa hilal harus dilihat dengan mata secara
langsung. Hal ini masih menimbulkan tanda tanya, apakah harus
dengan mata telanjang? Terdapat pendapat lainnya, bahwa hilal harus
dilihat dengan mata langsung dan tidak boleh menggunakan alat yang
memantulkan cahaya. Adapun Sebagian yang lain memperbolehkan.35
2) Bil ilmi, mereka yang bersepakat atau setuju dengan rukyat dalam hal
ini menggunakan ilmu sebagai alat untuk melihat hilal. Tidak melihat
apakah langit sedang mendung atau terjadi badai sekalipun, selama
perhitungan di atas kertas telah membuktikan sudah terjadi hilal
(bulan berada di atas ufuk saat Matahari terbenam), pergantian bulan
tetap terjadi.
b. Hilal
Makna hilal (jamaknya Ahilla) yang bermakna Bulan Sabit, dalam
bahasa Inggris disebut Cresent, yaitu Bulan Sabit yang tampak pada
beberapa saat sesudah ijtima’.36 Orang Arab mempunyai tingkat-tingkat
penaman pada Bulan (1) Hilal, sebutan Bulan yang tampak seperti sabit,
33 Ridhokimura Soderi dan Ahmad Izuddin, Kajian Faktor Psikologi yang Berpotensi
Mempengaruhi Keberhasilan Rukyat, Jurnal Ilmiah Syari’ah, Volume 19, No. 1. Januari 2020. h.
60. 34 Watni Marpaung, Pengantar Ilmu Falak, (Jakarta: Kencana: 2015), h. 39. 35 Muhyidin Khazin, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab, h. 143. Dikutip dari Watni Marpaung,
Pengantar Ilmu Falak,.h. 39. 36 Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, h. 76.
21
antara tanggal sampai menjelang terjadinyarupa semu Bulan pada terbit
awwal. (2) Badr, sebujauhar pada Bulan pada setiap keadaan.37
Menurut ahli linguistik Arab, al-Khalid bin Ahmad, hilal
didefinisikan dengan : sinar bulan pertama, ketika orang melihat dengan
nyata bulan sabit pada awal sebuah bulan. Kata ini bisa saja berakar dari
dua bentuk kalimat aktif maupun pasif seperti : dia muncul (halla) atau
dia kelihatan (uhilla) yang kedua-duanya melibatkan proses menyaksikan.
Ahli linguistik Arab lainnya, Raghib al-Isbahani menjelaskan : Bulan
sabit (hilal) berarti Bulan yang khusus kelihatan pada hari pertama dan
kedua dalam sebuah bulan, stelah itu, maka dinamakan “Bulan” (qamar)
saja. Ibnu Manzur mengatakan hilal dapat pula berasal dari teriakan
gembira karena melihat atau mengalami sesuatu, misalnya tangisan bayi
Ketika baru lahir (ihlal al-saby), atau teriakan gembira : bulan sabit telah
muncul (ahalla al-hilal!).38
Hilal secara astronomi merupakan bagian dari bulan yang cahayanya
terlihat dari bumi, setelah matahari terbenam sebelum ijtimak atau
konjungsi. Pada dasarnya Bulan tidak memancarkan cahaya sendiri,
bentuk cahaya hilal berasal pantulan dari sinar matahari. Bentuk bulan
berubah seiiring waktu dari hari ke hari, namun pada dasarnya bentuk
bulan tidak berubah, hal ini disebakan oleh peredarannya.(1) Rotasi (2)
Revolusi (3) Gerakan bersama bulan dan bumi mengelilingi matahari.39
Hilal sebagai objek rukyat memiliki beberapa konsep posisi yang
berbeda-beda. Kriteria posisi hilal yang dijadikan sebagai penentu waktu
masuk awal bulan Kamariyah adalah apabila perhitungan hilal sudah
memenuhi kriteria sebagai penentu awal bulan (tidak memperhitungkan
37 Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, h. 76-77. 38 Tono Saksono, Mengkrompomikan Rukyat dan Hisab, (Jakarta, Amythas Publicita dan
Center for Islamic Studies, 2007), h. 83-84. 39 Ridhokimura Soderi dan Ahmad Izuddin, Kajian Faktor Psikologi yang Berpotensi
Mempengaruhi Keberhasilan Rukyat, h. 62.
22
apakah hilal dapat dilihat atau tidak).40 Dalam hal penentuan posisi hilal,
berpedoman pada:41
1) Ufuk hissi, bidang datar yang lurus dan searah dengan peninjau dan
sejajar dengan ufuk haqiqi. Menurut pendapat ini, bahwa apabila pada
saat matahari terbenam (setelah terjadinya ijtima’) dan posisi hilal
sudah tampak di atas ufuk hissi, maka malam harinya terhitung sudah
masuk awal bulan (Penentuan ketinggian hilal, diukur dari permukaan
bumi).
2) Ufuk haqiqi, ufuk yang berjarak 90 derajat dari titik zenit (lingkaran
bola langit yang bidangnya melalui titik pusat bumi dan tegak lurus
pada garis vertikal peninjau). Menurut pendapat ini, bahwa apabila
pada saat matahari terbenam (setelah terjadinya ijtima’), posisi hilal
sudah berada di atas ufuk haqiqi.42
3) Ufuk mar’i, ufuk yang terlihat (bidang datar yang merupakan batas
pandangan) mata peninjau. Menurut pendapat ini, bahwa apabila
posisi piringan bulan (pada saat terbenamnya matahari) berada di arah
Timur dari posisi piringan matahari. Awal bulan ditentukan dengan,
pada saat matahari terbenam sedangkan posisi hilal berada di atas ufuk
mar’i, yaitu ufuk hakiki dengan koreksi seperti kerendahan ufuk,
refraksi, semi diameter, dan parallax.43
Definisi yang telah dipaparkan di atas merupakan penjelasan mengenai
makna berdasarkan pecahan kalimat Rukyat Hilal. Apabila kedua kalimat
tersebut disandingkan maka maknanya melihat atau mengamati hilal pada saat
40 Abdul Karim & M. Rifa Jamaluddin Nasir., Mengenal Ilmu Falak, h. 66. 41 Susiknan Azhari., Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia., (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), h. 32-37. Dikutip dari Abdul Karim & M. Rifa Jamaluddin Nasir., Mengenal Ilmu
Falak (Teori dan Implementasi, h. 66. 42 Abdul Karim & M. Rifa Jamaluddin Nasir., Mengenal Ilmu Falak (Teori dan Implementasi,
h. 66-67. 43 Mudzakir., Pedoman Hisab Rukyah Departemen Agama RI., (Semarang: Diklat Hisab dan
Rukyah Nasional, 2006), h. 4. Dikutip dari Abdul Karim & M. Rifa Jamaluddin Nasir., Mengenal
Ilmu Falak (Teori dan Implementasi), h. 67.
23
matahari terbenam menjelang awal bulan kamariah, menggunakan mata atau
teleskop, dalam astronomi dikenal sebagai Observasi.44 Menurut T. Mahmud
Ahmad, Rukyatul Hilal memiliki makna metode praktis dalam pembuktian
apakah bulan sabit baru (hilal) terlihat atau tidak. Melakukan rukyatul hilal
pada hakikatnya tidaklah mudah, sekalipun bagi astronom. Dalam astronomi
obyek langit yang biasa dirukyat dianjurkan di atas sudut 15 derajat. Sedang
rukyatul hilal justru dilakukan saat irtifa’ bulan masih sangat rendah.
Rukyatul hilal pada hakikatnya dilakukan sesudah ijtimak, namun secara
syar’i rukyat selalu harus dilaksanakan setiap tanggal 29 Syakban atau
Ramadan tanpa melihat sudah masuk ijtimak atau belum. Secara metodologi,
dalam waktu ini rukyatul hilal sporadis dilakukan secara ilmiah, yaitu
obyektif, terekam dan replicable. Pada umumnya, yang kesaksian orang yang
dipercaya jujur yang diandalkan, walau kini telah terdapat laporan rukyat
yang ditolak lantaran konkret karena dimustahilkan hisab (missal irtifa’
negatif atau belum ijtimak/masih bulan tua.)45
3. Problematika Pelaksanaan Rukyat Hilal
Sebelum pesatnya kemajuan perkembangan ilmu astronomi,
kenampakan (visibility) hilal ini dinilai sangat krusial dalam proses aplikasi
penentuan awal bulan. Teknik ini dinamakan pula dengan rukyat, yang telah
menginterpretasikan hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa melihat itu
harus secara visual. Dalam pelaksanaannya, banyak permasalahan yang
menjadi penghambat pelaksanaan rukyat hilal secara visual di antaranya:46
a. Kondisi cuaca (mendung, tertutup awan, dsb)
b. Ketinggian dan jarak hilal terhadap matahari
44 Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, h.183. 45 T. Mahmud Ahmad, Ilmu Falak, (Banda Aceh, PeNA Banda Aceh, 2013), h. 98. 46 Tono Saksono, Mengkrompomikan Rukyat dan Hisab, h. 87.
24
c. Jarak antara bulan dan matahari (bila terlalu dekat, meskipun Matahari
tenggelam, berkas sinarnya masih menyilaukan sehingga hilal tidak
akan tampak)
d. Kondisi Atmosfir Bumi (asap akibat polusi, kabut, dsb)
e. Kualitas mata pengamat
f. Kualitas alat (optik) untuk pengamatan
g. Kondisi psikologis pengamat (perukyat)
h. Waktu dan biaya
i. Transparasi proses
Beberapa hal seperti kondisi cuaca, kondisi atmosfir Bumi, kualitas
mata pengamat, kualitas alat (optik), maupun waktu dan biaya hal tersebut
menurut Tono Saksono visibilitas niscaya akan terganggu dan akibatnya
berdampak pada tidak memungkinkan untuk pelaksanaan rukyat hilal
dilakukan secara visual. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah :
a. Ketinggian dan jarak hilal terhadap matahari
Pada awal bulan pada kalender Islam, terdapat persyaratan sahnya
sebuah hilal yang menandainya persyaratan tersebut adalah : Hilal
tersebut harus tenggelam setelah Matahari tenggelam. Jika terjadi jarak
Matahari dan Bulan terlalu dekat, meskipun matahari telah tenggelam,
intensitas cahayanya masih terlalu kuat sehingga mengakibatkan hilal
tetap tidak tampak secara visual. Adanya ketentuan hukum bagi
penganut mazhab rukyat bil fi’li seperti faktor apa pun penyebab tidak
nampaknya hilal yang dilihat secara visual akan menggugurkan
penentuan awal bulan pada maghrib hari itu, maka dibuatlah Kriteria
Danjon yaitu syarat minimum jarak Matahari dan Bulan. Jarak tersebut
meliputi komponen jarak azimut relatif dan jarak ketinggian minimum
yang bervariasi antara 2°, 4°, 5°, dan 7° atau kombinasi keduanya.47
47 Tono Saksono, Mengkrompomikan Rukyat dan Hisab, h. 90-91.
25
Gambar 1: Kriteria Danjon
b. Peluang terlihatnya hilal secara geometris
Jarak Bulan dari Bumi adalah 384.400 km sedangkan jejari Bulan
adalah 1.738 km (garis tengah bulan = 3.476 km). Dalam kondisi Bulan
Purnama, Bulan hanya mengisi sudut sekitar 31’ dari sudut pandang
mata manusia. Obyek yang akan diamati saat pelaksanaan rukyat hanya
menempati 0,36% (pada arah horizontal) dan 0,52 % (pada arah
vertikal) dari lebar sudut pandang mata manusia yang rentang
sesunguhnya setidaknya sekitar 145° (horizontal) dan 100° (vertikal).
Pada saat hilal, presentase ini jauh lebih kecil (hanya sekitar 0,008%
nya saja) karena maksimum lebar hilal biasanya harus sekitar 30”.
Dapat dipahami bahwa pengaruh benda-benda lain yang ada disekitar
hilal yang mengisi sekitar 99,992% sudut pandang mata manusia akan
sangat berpengaruh besar bagi seorang perukyat untuk meentukan
keputusan bahwa dia telah melihat hilal.48
c. Kondisi psikologis perukyat
Faktor psikologis dirasa sangat penting, hal yang sering menambah
beban psikologis seorang perukyat adalah : kesempatan melihat hilal
juga sebetulnya sangat pendek sekali yaitu hanya sekitar 15
menitsampai 1 jam (tergantung ketinggian hilal). Karena tekanan
psikologis yang sangat besar ini, beban spiritual yang dibebankan
kepadanya ditakutkan menghasilkan keputusan yang keliru. Misal,
48 Tono Saksono, Mengkrompomikan Rukyat dan Hisab, h. 93-94.
26
melihat dengan tanduk mengarah ke bawah (seharusnya ke atas),
padahal yang dilihatnya hanyalah celah di antara gumpalan awan
maupun kabut yang berkilat terkena cahaya twilight senja dan
diinterpretasikan sebagai hilal.49
Menurut Ridhokimura Soderi dan Ahmad Izuddin pada
penelitiannya yang berjudul Kajian Faktor Psikologi Yang Berpotensi
Mempengaruhi Keberhasilan Rukyat, Faktor yang mempengaruhi
perukyat adalah sebagai berikut;
1) Penglihatan, penglihatan adalah panca indra pertama bagi manusia
untuk menerima informasi dari dunia luar.
2) Persepsi adalah proses suatu informasi yang di lihat oleh mata
yang dikirimkan sinyal ke otak
3) Atensi yaitu suatu pemfokusan dalam suatu proses melihat.
4) Konsentrasi.
5) Pengalaman yaitu suatu bentuk kemampuan kita dalam
memutuskan suatu hal karena adanya ilmu yang sudah kita
dapatkan sebelumnya.
d. Transparasi proses melihat
Masalah obyektifitas proses pengamatan rukyat, meskipun perukyat
termasuk ke dalam orang-orang pilihan yang diangkat dengan sumpah,
dengan beban psikologis dan teknis yang dihadapinya, jelaslah bawa
proses pengamatan rukyat merupakan proses yang tida transparan dan
pada tingkat tertentu sangat riskan karena sahnya ibadah ratusan juta
umat Islam hanya tergantung pada hasil pengamatan beberapa puluh
orang saja.50
Pelaksanaan rukyat hilal terlebih jika dilakukan secara mata telanjang
memiliki banyak problematika yang dihadapi oleh perukyat, dimulai dari
dirinya sendiri seperti halnya kesiapan, benda-benda langit yang berada
49 Tono Saksono, Mengkrompomikan Rukyat dan Hisab, h. 98-99. 50 Tono Saksono, Mengkrompomikan Rukyat dan Hisab, h. 99.
27
disekitar Bumi dan Bulan pada saat pengamatan, menimbulkan
kemungkinan-kemungkinan terjadinya hilal tidak nampak. Menurut Tono
Saksono, umat Islam dapat menggunakan beberapa program astronomis
secara bersamaan sebagai upaya cross check.
B. Isbat Rukyat Hilal dalam Hukum Islam
Pada dasarnya hukum mengamati hilal (rukyat hilal) adalah fardlu
kifayah bagi kaum muslimin,51 namun Penentuan awal bulan Kamariah dari
zaman Nabi Muhammad saw. sampai saat ini mendapat perhatian khusus dari
masyarakat Islam karena berkaitan dengan puasa, kegiatan ekonomi, sosial dan
politik. Para ahli hukum Islam menetapkan aturan yang mengatur tata cara
penentuan awal bulan, lembaga mana yang berwenang untuk itu, serta
prosedur dan mekanismenya.
Penentuan awal bulan Ramadan, pedoman syariah yang paling
fundamental tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 185 :52
منكم انزل فيه القران هدى ل لناس وب ي نت م ن الدى والفرقان فمن شهر رمضان الذي شهد
هر ف ليصمه ........ الش
Artinya: “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya
diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang
batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau
bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah..........."53 (Q.S al-Baqarah : 185)
51 Abdurrahman Al-Juzairi, Fiqh Empat Madzhab, Terj. Chatibul Umam, Abu Hurairah
(Jakarta, Darul Ulum Press, 1996), h. 22. 52 Tono Saksono, Mengkrompomikan Rukyat dan Hisab, h. 71-72. 53 Al-Qur'an dan Terjemahan Kementerian Agama, Al-Quran Surah Al-Baqarah/2: 185
28
Tantawi Jauhari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa kata “syahida”
(Bahasa arabnya) artinya menyaksikan hilal dengan rukyat. 54 Ulama yang
berada di bawah koordinasi Organisasi Koferensi Islma (OKI) menetapkan,
bahwa dimana saja hilal dapat dilihat oleh orang terpercaya, maka seluruh umat
Islam wajib berpuasa dan berlebaran. Dalam arti lain apabila hilal Ramadan
dapat dilihat tanda wajib berpuasa, sebagaimana hilal Syawal dapat dilihat
tanda berakhir puasa Ramadan.55
Ayat ini juga menjelaskan puasa yang diwajibkan ialah pada bulan
Ramadan. Untuk mengetahui awal dan akhir bulan Ramadan Rasulullah saw
telah bersabda:56
شعبان لوا عدة صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غب عليكم )ويف رواية فإن غم عليكم( فأكم
(ثالثي )ويف رواية مسلم فاقدروا ثالثي( )رواه البخاري ومسلم
Artinya: “Berpuasalah kamu karena melihat bulan (Ramadan) dan
berbukalah kamu, karena melihat bulan (Syawal), apabila tertutup bagi kamu,
(dalam satu) riwayat mengatakan: Apabila tertutup bagi kamu disebabkan
cuaca yang berawan), maka sempurnakanlah bulan Syakban tiga puluh hari
(dan dalam satu riwayat Muslim takdirkanlah atau hitunglah bulan Syakban
tiga puluh hari).” (H.R al-Bukhari dan Muslim).
Makna Hadis di atas bahwa apabila keadaan langit cerah, maka perkara
puasa bergantung pada rukyat al-hilal. Karena tidak diperbolehkannya
berpuasa kecuali apabila hilal Ramadan telah terlihat. Sedangkan apabila
kondisi langit tertutup awan, maka hendaklah dikembalikan pada bulan
54 Al-Qur'an dan Terjemahan Kementerian Agama, Al-Quran Surah Al-Baqarah/2: 185 55 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 1 (Ciputat, Lentera Hati, 2007), h. 404-405. 56 Departmen Agama RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), (Jakarta:
Departemen Agama RI), h. 273
29
Syakban, yang berarti bahwa kita harus menyempurnakan hitungannya
menjadi 30 (tigapuluh) hari.57
Tiga mazhab telah menyepakati hal ini. Namun Hanabilah menyangkal
pendapat tersebut, dengan mengambil lafaz lain pada hadis lain yang ada dalam
hadis berbeda yaitu :
فاقدروا له صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غب عليكم
Artinya: “Puasalah bila kamu melihatnya (hilal Ramadan) dan
berbukalah kamu bila melihatnya (hilal syawal); dan jika kamu terhalang oleh
awan, maka tentukanlah untuk puasa.”
Mereka berpendapat bahwa bila hilal tertutup awan ketika matahari terbenam
pada tanggal 29 Syakban, maka tidak diwajibkan menyempurnakan Syakban
menjadi tigapuluh hari, melainkan wajib menentukan niat pada malam harinya
dan berpuasa pada hari berikutnya. Baik kenyataannya pada hari itu masih
Syakban atau sudah memasuki Ramadan. Hendaklah meniatkan puasanya
tersebut sebagai puasa pada bulan Ramadan. Apabila di tengah-tengah puasa
ia tahu bahwa hari itu masih Syakban, maka ia tidak wajib menyempurnakan
puasanya.58
Dasar hukum selanjutnya adalah hasil ijtihad ulama pelopor empat
mazhab yang juga mengatakan bahwa untuk penentuan awal bulan Hijriah
wajib mengatakan bahwa untuk penentuan awal bulan Hijriah wajib
menggunakan metode rukyatul hilal bil fi’li. Organisasi Islam di dunia,
khususnya di Indonesia, melakukan sunnah Nabi ini dengan melakukan rukyat
secara langsung, dan melakukan istikmal bila menghadapi halangan visibilitas
57 Abdurrahman Al-Juzairi, Fiqh Empat Madzhab, Terj. Chatibul Umam, Abu Hurairah,h.
16. 58 Abdurrahman Al-Juzairi, Fiqh Empat Madzhab, Terj. Prof. H. Chatibul Umam, Abu
Hurairah, h. 18.
30
atas hilal sewaktu melakukan rukyat karena faktor apa pun,59 atas dasar hadis
dan ijtihad empat ulama besar sebagai sumber syariah inilah.
Penetapan awal bulan Ramadan dan Syawal termasuk ke dalam
masalah fikih atau ijtihad. Mengenai hal tersebut, Ibrahim Hosen berpendapat
bahwa Hukum Islam telah mengatur bahwa dalam persoalan yang bersifat
kemasyarakatan perlu dan dibenarkan campur tangan Ulil Amri (pemerintah).
Dalam hal penetapan permulaan hari puasa Ramadan dan hari raya Syawal
agar dipercayakan kepada pemerintah, sehingga jika terjadi perbedaan
pendapat bisa dihilangkan dengan satu keputusan pemerintah, sesuai dengan
kaidah yang berlaku.60 Kaidah tersebut adalah;
ي رفع الالف و إلزام حكم احلاكم
Artinya: “Keputusan pemerintah adalah mengikat, dan
menghilangkan silang pendapat.”
Kaidah di atas merupakan prinsip yang dipedomani dalam pemikiran
hukum Islam yakni Musayarah bi mashalih an-nas yang berarti bahwa
penetapan suatu hukum hasruslah sejalan dengan kemaslahatan manusia, baik
dalam konteks individu maupun sosial.61
Persoalan tentang penetapan awal/akhir Ramadan merupakan
persoalan fikih yang bersifat kemasyarakatan, maka demi tercapainya
kemaslahatan umum, keseragaman dan kebersatuan umat, pemerintah perlu
turut campur tangan dan satu-satunya yang berwenang menetapkan serta
mengumumkan awal maupun akhir Ramadan kepada masyarakat.62 Apabila
59 Tono Saksono, Mengkrompomikan Rukyat dan Hisab, h. 74-75. 60 Departmen Agama RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), (Jakarta:
Departemen Agama RI), h. 274. 61 Duski Ibrahim, Al-Qawa’ide al-Fiqhiyah (Kaidah-kaidah Fiqih), (Palembang: Amanah,
2019), h. 33. 62 Ibrahim Hosen, Tinjauan Hukum Islam terhadap penetapan Awal Bulan Ramadan, Syawal
dan Dzulhijjahl, dalam Buku Hisab Rukyat DITJEN BIMAS Islam dan Penyelenggaraan Haji (Jakarta, 2004), h. 144-245.
31
pemerintah (dalam kitab-kitab fikih dikenal sebagai Qadi atau Hakim) telah
menetapkannya dan tentu harus berlandaskan laporan dari pihak yang dapat
dipercaya dan data-data yang terbukti akurat, serta mengumumkannya. Maka
ketetapan awal bulan Kamariah ini berlaku umum dan mengikat dan atas dasar
ini jika ada pernyataan perorangan mengenai hal tersebut maka tidak
dibenarkan.
Fuqaha mazhab Syafi’i dalam masalah penyelidikan hilal dan wajibnya
puasa bagi orang-orang dengan segala keperluannya mensyaratkan adanya
keputusan hakim. Jika sudah diputuskan, maka semua elemen masyarakat
muslim wajib puasa, sekalipun keputusannya didasarkan pada kesaksian satu
orang yang adil. Namun pendapat mazhab lainnya dalam menetapkan hilal dan
wajibnya puasa dengan segala keperluan yang berkaitan dengannya tidak
disyaratkan adanya keputusan hakim. Namun jika hakim telah memutuskan
tetapnya hilal dengan cara apa saja yang ada dalam mazhabnya, maka seluruh
kaum muslimin wajib berpuasa, sekalipun sebagian mazhab ada yang tidak
sependapat, karena keputusan hakim dapat menghapuskan perselisihan.63 Titik
temunya adalah pemerintah telah menetapkan awal maupun akhir Ramadan
maka semua umat Islam/masyarakat umum harus tunduk pada ketetapan
tersebut.
Hadis tentang sumpah perukyat yang bersaksi melihat hilal merupakan
salah satu dasar hukum pelaksanaan isbat rukyat hilal yang dimana pada
pemeriksaannya hakim menyumpah para perukyat yang telah melihat hilal,
berikut hadis yang berhubungan dengan hal tersebut :
قال احلسن يف حديثه ي عن (جاء أعرب إل النب صلى هللا عليه وسلم ف قال إن رأيت الالل
د رسول هللا ق اهد أن ال اله اال هللا ق ف قال اتش )رمضان قال ي بالل .ل ن عمال اتشهد أن مم
.يصوموا غدا )رواه أبو داود(لس ف ااذن يف الن
63 Abdurrahman Al-Juzairi, Fiqh Empat Madzhab, Terj. Chatibul Umam, Abu Hurairah, h.
23.
32
Artinya : “Datang seorang Badui ke Rasulullah saw. seraya berkata:
Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadis menjelaskan
bahwa hilal yang dimaksud sang badui yaitu hilal Ramadan). Rasulullah saw.
bersabda: Apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah? Dia
berkata: Benar. Beliau meneruskan pertanyaanya seraya berkata : Apakah
kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah? Dia berkata: Ya benar.
Kemudian Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berpuasa besok.”
(H.R. Abu Daud).
Isbat Kesaksian Rukyat Hilal dijadikan sebagai kewenangan
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, hal tersebut berasal dari kebijakan
pemerintah yang menambah kewenangannya pada Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Seluruh elemen pemerintahan dan Pemimpin dalam
mengambil suatu kebijakan harus didasarkan oleh pertimbangan kebaikan
(maslaħah).
تصرف اإلمام على الرعية منوط ابملصلحة
Artinya: “Kebijakan seorang pemimpin atas rukyat harus berdasarkan
kemaslahatan.”
Kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan rakyat dalam
memutusnya, para pemimpin menggunakan kaidah tersebut sebagai acuan
dalam mengambil kebijakan. Agar tercapainya tegaknya ukhuwah Islamiyah,
dengan tidak adanya silang pendapat maka semua umat muslim Indonesia
wajib mengikuti dan mentaati apa yang telah pemerintah tetapkan:64
Selanjutnya, pada Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penentuan
Awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Berdasarkan tugasnya yang
memberikan nasihat serta fatwa perihal permasalahan keagamaan yang muncul
dalam lingkup masyarakat dan pemerintah, serta mencapai ukhuwah Islamiyah
serta kerukunan antar umat beragama. Latar belakang munculnya fatwa
64 Ephemeris Hisab Rukyat 2021, h. 401
33
tersebut adalah menyuarakan suara Pemerintah Republik Indonesia dalam hal
menjembatani perbedaan antara organisasi masyarakat Islam dalam hal
penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah. Hal tersebut dilakukan
agar terjadi penyatuan persepsi dan kriteria dalam penetuan awal bulan
Kamariah, sehingga tidak terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan.65
Dalam fatwanya Nomor 2 Tahun 2004, MUI menetapkan bahwa:66
1. Penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah dilakukan berdasarkan
metode ru’ya dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan
berlaku secara nasional.
2. Seluruh umat Islam di Indonesia wajib mentaati ketetapan pemerintah RI
tentang penetapan awal bulan Ramadan, syawal dan Zulhijah.
3. Dalam menetapkan awal Ramadan, syawal dan Zulhijah, menteri Agama
wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas
Islam dan Instansi terkait.
C. Praktik Pelaksanaan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal di Indonesia
Sejak zaman berkuasanya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, umat
Islam mulai menggunakan almanak Islam sebagai penanggalan resmi. Pada
masa berkuasanya penjajah Belanda di Indonesia, penanggalan Masehi
dijadikan sebagai penanggalan resmi di Indonesia serta digunakan pada
aktivitas administrasi, demikian pada daerah-daerah kerajaan Islam, umat
Islam masih menggunakan tanggal Hijriah. Pemerintahan Belanda
membiarkan hal tersebut tetap terjadi, bahkan kepengurusannya diserahkan
65 Arino Bemi Sedo, Analisis Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal
Ramdhan, Syawal dan Dzulhijjah dengan Pendekatan Hermeneutika Schleiemacher, Jurnal Hukum
Islam (Istinbath), Volume 14, Nomor 1, Juni 2015, h.75. 66 Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramdhan, Syawal, dan
Dzulhijjah.
34
pada penguasa kerajaan-kerajaan Islam yang masih ada, terutama pengaturan
mengenai tanggal 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 10 Zulhijah.67
Bagaimanakah umat Islam pada masa kolonial mengetahui hari
Lebaran? Penasihat Urusan Bahasa-Bahasa Timur dan Hukum Islam di Hindia
Belanda pada 1897 Snouck Hurgonje, mengemukakan dua cara umat Islam
dalam menentukan akhir Ramadan sekaligus awal bulan Syawal (Lebaran).
“Yang pertama, selain menurut perhitungan penanggalan, juga berdasarkan
pada penglihatan pancaindera terhadap bulan baru. 68 Dan metode ini
menurut pendapat orang-orang Mohammadan (umat Islam, red.) yang relatif
terpelajar di Nusantara ini berlaku sebagai satu-satunya yang benar,” tulis
Snouck dalam Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya
pada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 Jilid VIII. Metode kedua ialah
hisab murni. “Perhitungannya berjalan berdasarkan metode-metode yang
terdapat dalam setiap Almanak Pemerintah Hinda Belanda memiliki tugas
menentukan hari lebaran yang diserahkan pada tangan penghulu melalui
sidang penentuan hari raya Islam.”69
Berbeda dengan pemahaman dewasa ini, penghulu pada masa kolonial
mempunyai spektrum tugas lebih luas dari sekadar menikahkan orang. Karel
A. Steenbrink dalam Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19
menyebut tugas-tugas penghulu, antara lain menjadi mufti (penasihat hukum
Islam), Qadi (hakim pada pengadilan agama), imam masjid, wali hakim
(urusan pernikahan), dan pengumpul zakat. “Para penghulu diangkat dari
67 Badan Hisab dan Rukyat. Almanak Hisab Rukyah.(Jakarta: Proyek Pembinaan Badan
Peradilan Agama, 1981), cet. I, h. 22. Dikutip dari Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah Indonesia
tentang Hisab dan Rukyat, h.58. 68 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. Ke-1, 1999), hlm. 203. Dikutip dari Jaenal Arifin, “Dialektika
Hubungan Ilmu Falak dan Penentuan Awal Ramadan, Syawal, Dzulhijjah di Indonesia (Sinergi
Antara Independensi Ilmuwan dan Otoritas Negara)”, Jurnal penelitian, Volume 13, No. 1. Februari 2019. h. 48.
69 Susiknan Azhari, Revitalisasi Studi Ilmu Falak di Indonesia, dalam al-Jami’ah, Pasca IAIN
Yogyakarta, No. 65/VI/(2000), hlm. 111. Dikutip dari Jaenal Arifin, “Dialektika Hubungan Ilmu
Falak dan Penentuan Awal Ramadan, Syawal, Dzulhijjah di Indonesia (Sinergi Antara
Independensi Ilmuwan dan Otoritas Negara)”, h.48.
35
sistem pemerintahan kolonial oleh gubernur jenderal atau atas namanya,
setelah melalui pencalonan menurut bupati dan menerima persetujuan dari
residen,” catat Karel. Apabila penghulu menggunakan metode pancaindera
(rukyat), maka ia memperoleh bantuan dari beberapa orang terpercaya.70
Setelah kelahiran organisasi masyarakat Islam (Ormas) yang
memperjuangkan kemerdekaan, kebangsaan dan agama berdasarkan
penjajahan Belanda, umat Islam mempunyai keyakinan hukum masing-masing
pada pelaksanaan menjalankan ajaran agamanya, salah satunya memulai
dan/atau mengakhiri ibadah puasa Ramadan. Dalam pelaksanaannya terkadang
umat Islam Bersama-sama memulai dan/atau mengakhirinya, atau berbeda
dalam hal tersebut, pada saat itu pemerintah Belanda membiarkan hal
tersebut.71
Sebelum kemerdekaan, ormas-ormas Islam yang mempunyai warga
yang sangat banyak saat itu adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Pada masa awal-awal kemerdekaan, perbedaan yang terjadi dinisbahkan
kepada organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, sementara
pemerintah tidak diposisikan memihak atau tidak terbawa-bawa, namun
berupaya untuk mendekatkan kedua pemahaman tersebut secara eksplisit ke
dalam kebijakannya, seperti yang terdapat pada Keputusan Menteri Agama RI
tentang Penetapan Awal Ramadan 1391 H/1971 M. Alasan hal tersebut
dilakukan adalah perbedaan kedua organisasi tersebut dalam memulai puasa
Ramadan saat itu.72
Setelah terbentuknya Departemen Agama pada tanggal 2 Januari
1946, pengaturan tentang hari-hari libur nasional dan penetuan awal-awal
bulan Kamariah yang terkait dengan masalah peribadatan diserahkan kepada
70 Jaenal Arifin, “Dialektika Hubungan Ilmu Falak dan Penentuan Awal Ramadan, Syawal,
Dzulhijjah di Indonesia (Sinergi Antara Independensi Ilmuwan dan Otoritas Negara)”, Jurnal penelitian, Volume 13, No. 1. Februari 2019. h. 49.
71 Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Hisab dan Rukyat, h.58. 72 Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Hisab dan Rukyat, h.59.
36
Menteri Agama. Termuat dalam Penetapan Pemerintah Nomor 2/Um, 7/Um,
9/Um, yang dipertegas dengan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1967,
Nomor 148 Tahun 1968, dan Nomor 10 Tahun 1971.73 Keputusan pelaksanaan
dari Keputusan Presiden tersebut adalah Keputusan Menteri Agama Nomor
335 Tahun 1989 tentang Uraian Tugas dan Pekerjaan Direktorat Jeneral
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, tangal 28 Desember 1989, dimana
tugas dan fungsinya dari Direktur Badan Peradilan Agama Islam hingga
Kepala Seksi terkaitnya adalah sebagai berikut:74
“Tugas Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam
adalah melaksanakan Sebagian tugas pokok Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam di bidang pembinaan hukum
agama, badan peradilan agama serta hisab dan rukyat berdasarkan
kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, yang fungsinya melaksanakan pembinaan
kegiatan di bidang hisab dan rukyat…”75
“Tugas tersebut secara khusus dilaksanakan oleh Sub Direktorat
Pertimbangan Hukum Agama dan Hisab Rukyat sebagaimana pada huruf
F-5 yang berbunyi “membina.., hisab dan pelaksanaan rukyat”, dengan
fungsinya “membina… hisab dan pelaksanaan rukyat”76, melalui Seksi
Hisab Rukyat, sebagaimana pada F.5.3 yang tugasnya “membina hisab,
menentukan hari besar Islam, kalender Islam, arah Kiblat, dan waktu
salat, serta pelaksanaan rukyat77, yang uraian tugas terkaitnya adalah : 1)
menghimpun bahan-bahan untuk pembinaan hisab, penentuan hari besar
Islam, kalender Islam, arah kiblat, dan waktu salat, 2) menjalin kerja sama
dengan unit-unit lain baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dalam
rangka penetapan awal dan akhir bulan Kamariah, 3) menyiapkan konsep
Surat Keputusan Menteri Agama tentang Hari Libur Nasional, 4) meneliti
kalender yang dikeluarkan oleh berbagai organisasi/instansi sehubungan
dengan hari libur dan awal bulan Kamariah, 5) menyiapkan almanak
73 Badan Hisab dan Rukyat. Almanak Hisab Rukyah, h. 22. Dikutip dari Asadurrahman,
Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Hisab dan Rukyat, h.58. 74 Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Hisab dan Rukyat, h.60. 75 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 335 Tahun 1989 Tentang Uraian
Tugas dan Pekerjaan Ditjen Bimbingan Islam Huruf F.f, tanggal 28 Desember 1989. 76 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 335 Tahun 1989 Tentang Uraian
Tugas dan Pekerjaan Ditjen Bimbingan Islam Huruf F-5, tanggal 28 Desember 1989. 77 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 335 Tahun 1989 Tentang Uraian
Tugas dan Pekerjaan Ditjen Bimbingan Islam Huruf F.5.3, tanggal 28 Desember 1989.
37
Islam/Hijriah untuk tiap tahun, 6)menyiapkan data awal bulan Kamariah
untuk seluruh Indonesia, 7)mengumpulkan, menghimpun hasil rukyat di
daerah-daerah, dan 8)mengoreksi/meneliti laporan hasil perhitungan dari
badan Peradilan Agama.”78
Berdirinya Departmen Agama, yang dimana telah mengatur prosedur
serta mekanisme penentuan awal bulan Ramadan serta Syawal dan bulan-bulan
Kamariyah lainnya. Hal ini dilakukan untuk menjamin ketentraman, keamanan
dan ketertiban masyarakat dalam negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.79
Kegiatan hisab rukyat, terutama yang berhubungan dengan kesaksian
rukyat dan penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, Zulhijah, selalu dikaitkan
dan tidak bisa dilepaskan dengan peran hakim, walaupan banyak yang
memaksudkan bahwa “hakim” tidak harus hakim pengadilan, tetapi uli al-
‘amr/ pemerintah, dalam kitab-kitab fikih terkadang disebut dengan al-hakim,
serta kadang-kadang menyebutnya dengan al-qadi.80 Di Indonesia, kegiatan
hisab rukyat tidak dapat dipisahkan dari Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama.81
Metode yang digunakan pada penetuan awal bulan Kamariah di
Indonesia beraneka ragam. Metode rukyatul hilal yang dipedomani oleh
Nahdlatul Ulama (NU), hisab wujudul hilal yang dipedomani oleh
Muhammadiyah, imkanur rukyah yang dipedomani oleh MABIMS (Menteri
78 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 335 Tahun 1989 Tentang Uraian
Tugas dan Pekerjaan Ditjen Bimbingan Islam Huruf F.f, tanggal 28 Desember 1989. 79 Taufiq, Mekanisme Penentuan Awal Bulan Ramadan dan Syawal, h. 122. 80 Wahyu Widiana, Hisab Rukyat Jembatan Menuju Pemersatu Umat,(Tasikmalaya: Yayasan
Asy-Syakirin, 2005), h. 167. Dikutip dari Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang
Hisab dan Rukyat, h.61. 81 Wahyu Widiana Hisab Rukyat Jembatan Menuju Pemersatu Umat, h. 167. Dikutip dari
Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Hisab dan Rukyat, h.61. Keberadaan sebutan Lembaga peradilan agama tersebut terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 Tentang Pembentukan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di Luar Jawa dan Madura, dan Luar Kalimantan Selatan.
38
Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura) dan Lapan
(Persis), Rukyah Globlal yang dipedomani oleh HTI.
Rukyat pada BAB ini identik dengan yang dipedomani oleh NU. Pasca
1998 NU menggunakan kriteria pedoman untuk menyaring laporan rukyat
guna membedakan hilal nyata dengan hilal palsu, terkhusus dalam proses
penetapan awal bulan yang berhubungan dengan ibadah kaum muslim yakni
Ramadan, Syawal dan Zulhijah. NU tidak menggunakan rukyat murni,
melainkan dikombinasikan dengan hisab. Tidak semua laporan hilal dapat
diterima secara langsung sebelum diproses pada lembaga khusus yakni
Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) dan lolos dari kriteria yang telah
disepakati.82
Penetuan awal bulan Kamariah di Indonesia berdasar pada sistem
hisab Hakiki tahqīqī dan atau rukyat, terkhusus pada bulan Ramadan, Syawal,
dan Zulhijah. Kesaksian rukyat dalam pelaksanaannya tidak secara langsung
diterima, melainkan mencapai kriteria yang telah disepakati oleh pemerintah
yakni komite Penyelarasan Rukyat dan Taqwim Islam MABIMS (Menteri
Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Keputusan
penting yang disepakati terkait kalender Islam adalah teori visibilitas hilal
dikenal dengan istilah “Visibilitas Hilal MABIMS”, 83 yang mensyaratkan
ketinggian hilal minimal 2°, elongasi atau jarak sudut matahari dan bulan
minimal 3°, atau umur bulan minimal 8 jam. Namun pada penetuan awal bulan
Ramadan 1443 H/2022 M melalui surat pemberitahuan nomor B-
79/DJ.III/HM.00/02/2022, Menteri Agama memberitahukan bahwa terdapat
kriteria MABIMS baru yang telah disepakati yaitu tinggi hilal minimal 3° dan
sudut elongasi minimal 6,4°.
Menurut Taufiq, Kementerian Agama RI dalam memberikan
keputusan perihal penentuan awal bulan Ramadan dan Syawal berdasarkan
82 Mutoha Arkanuddin, Muh. Ma’rufin Sudibyo, Kriteria Hilal Rukyatul Hilal Indonesia
(RHI) (Konsep, Kriteria, dan Implementasi), Jurnal Al-Marshad, Volume 1, No. 1. Juni 2015. h. 38. 83 Arino Bemi Sado, Imkan al-Rukyat MABIMS Solusi Penyeragaman Kalender Hijriah,
Jurnal (Istinbath) Hukum Islam, Volume 13, No. 1. Juni 2014. h. 25.
39
prinsip-prinsip antara lain: 84 Rukyat yang dijadikan sebagai acuan dalam
penentuan awal bulan Ramadan dan Syawal harus memenuhi syarat sebagai
berikut :
1. Rukyat harus diisbatkan oleh Hakim Peradilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah setelah diteliti dari aspek syariat dan aspek ilmu hisab.85
2. Rukyat tidak bertentangan dengan hasil perhitungan pakar hisab qat’i.
3. Apabila hilal tidak dapat dirukyat karena ada halangan seperti mendung,
awan, polusi dan lain-lain, sedang menurut perhitungan hisab hilal
memungkinkan untuk dirukyat, maka dalam penetapannya berdasarkan
pada imkān al-ru’yah.
Pasal 52A Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 menegaskan bahwa
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memberikan isbat kesaksian
rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyyah. Dalam tataran
praktis, isbat kesaksian rukyat hilal oleh Pengadilan Agama dijadikan sebagai
salah satu acuan oleh Menteri Agama selaku Ketua Sidang isbat, dalam
menentukan awal atau akhir bulan Kamariah, terutama awal dan akhir bulan
Ramadan. Demikian atas dasar tersebut, aparat Pengadilan Agama
berkewajiban melaksanakan tugas dan kewenangan tersebut dengan penuh
kesungguhan, apatah lagi tugas dan kewenangan dimaksud sungguh sangat
mulia karena berkaitan dengan hajat umat Islam.
Pelaksanaan rukyat hilal awal dan akhir ramadan dilaksanakan di
bawah koordinasi Kementerian Agama. Tim rukyat yang ditunjuk di suatu
lokasi rukyat, biasanya berasal dari ahli falak/astronomi dari lingkungan
pesantren, instansi pemerintah dan perguruan tinggi serta Pengadilan Agama
(hakim dan panitera). Bahkan di luar tim yang telah ditunjuk, rukyat
84 Taufiq, Mekanisme Penentuan Awal Bulan Ramadan dan Syawal, (Jakarta : Direktorat
Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departmen Agama RI, 2004), dikutip dari Khaerun Nufus, Sidang Isbat Penetuan Awal Bulan Kamariah Perspektif Hukum Islam, Jurnal INKLUSIF, Volume 3, No. 1. Juni 2018. h. 8.
85 Abi Bakar ibnu Muhammad Syatha’, ad-Dimyati Hasiyah I’anah al-Talibin, Jilid 2.
(Surabaya: Dar al-Ilm t.th), dikutip dari Khaerun Nufus, Sidang Isbat Penetuan Awal Bulan
Kamariah Perspektif Hukum Islam. h. 9
40
dilaksanakan juga oleh ulama yang berasal dari pondok pesantren/ormas Islam
yang ada di kabupaten/daerah di mana tempat rukyat berada. Dalam
pelaksanaan rukyat tersebut biasanya dihadiri juga oleh masyarakat umum.
41
BAB III
KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA TENTANG
RUKYAT HILAL DAN PENETAPAN ISBAT KESAKSIAN
RUKYAT HILAL
A. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun
2006
Kompetensi Pengadilan Agama berarti kewenangan Pengadilan Agama
untuk menentukan atau memutus sesuatu. Kompetensi peradilan agama
dirumuskan sebagai kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa,
mengadili, memutus, serta menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara
orang-orang yang beragama Islam dalam proses penegakan hukum dan
keadilan.86
Kewenangan Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama menurut
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 atas Perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kewenangan pengadilan di
lingkungan Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan
hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim.
Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari’ah. Dalam kaitannya
dengan perubahan Undang-Undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama yang menyatakan: “Para Pihak sebelum berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam
pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.87
Kekuasaan mengadili suatu peradilan (kompetensi) dalam hukum acara
perdata dikenal dengan dua macam kompetensi, yakni kekuasaan kehakiman
86 Zulkarnaen, Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung:
Pustaka Setia, 2017), h.115. 87 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 atas perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
42
atribusi atau kompetensi absolut (attributtie van rechsmacht) dan kekuasaan
kehakiman distribusi atau kompetensi relatif (distributtie van rechsmacht).88
1. Kewenangan Absolut
Kewenangan absolut atau kewenangan mutlak adalah kewenangan
suatu badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara
mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan Pengadilan lain. 89 Kompetensi
absolut merupakan pembagian kekuasaan antara badan peradilan, dilihat
dari macam pengadilan dan menyangkut pemberian kekuasaan mengadili
atau dalam bahasa Belanda disebut attributtie van rechsmacht90, contohnya
perkara perceraian bagi orang-orang yang memeluk agama Islam dan
pelaksanaan perkawinan dilakukan secara Islam menjadi kewenangan
absolut pengadilan agama.91 Dalam istilah lain, tidak bisa pengadilan agama
menerima perkara dari orang-orang yang tidak beragama Islam.
Kompetensi absolut Peradilan Agama tertuang dalam Pasal 49 UU
Peradilan Agama. Berdasarkan ketentuan tersebut, Pengadilan Agama
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan yang dilakukan menurut syariah Islam;
b. Waris;
c. Wasiat;
d. Hibah;
88 Zulkarnain,“Hukum Kompetensi Peradilan Agama : Pergeseran Kompetensi Peradilan
Agama dalam Hukum Positif di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2021), h. 116-117. 89 Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Buku II Edisi Revisi:
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. (Jakarta: Dit. Badilag MARI., 2013), h. 77
90 Zulkarnain, “Hukum Kompetensi Peradilan Agama : Pergeseran Kompetensi Peradilan
Agama dalam Hukum Positif di Indonesia”, h.117. 91 Zulkarnaen, Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung:
Pustaka Setia, 2017), h.117.
43
e. Wakaf;
f. Zakat;
g. Infaq;
h. Sedekah; dan
i. Ekonomi syariah.92
Kandungan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama tersebut, ditemukan 2 (dua) hal yang menjadi tolok ukur kompetensi
absolut Peradilan Agama, yaitu subjek hukumnya yang merupakan orang-
orang yang beragama Islam dan objek perkaranya yang merupakan sengketa
hukum Islam.93
Kendati demikian, pada Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 terdapat kewenangan dalam hal memberikan keterangan,
pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah
di daerah hukumnya, apabila diminta. Selain itu pada ayat 2 disebutkan
bahwa, pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau
berdasarkan undang-undang.94
2. Kewenangan Relatif
Kompetensi relatif adalah pembagian kewenangan atau kekuasaan
mengadili antar pengadilan. Pengertian lain dari kewenangan relatif adalah
kekuasaan Peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam
perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan tingkatan.
Kekuasaan atau wewenang yang diberikan kepada pengadilan dalam
lingkungan peradilan yang sama jenis dan tingkatan yang berhubungan
92 Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 atas perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. 93 Zulkarnain,“Hukum Kompetensi Peradilan Agama : Pergeseran Kompetensi Peradilan
Agama dalam Hukum Positif di Indonesia”, h.118. 94 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
44
dengan wilayah hukum pengadilan dan wilayah tempat tinggal/tempat
kediaman atau domisili pihak yang berperkara.95
Sesuai ketentuan Pasal 118 HIR / 142 RBg, Pengadilan Agama
berwenang memeriksa gugatan yang daerah hukumnya, meliputi :96
a. Tempat tinggal Tergugat atau tempat Tergugat sebenarnya
berdiam.
b. Tempat tinggal salah satu Tergugat, jika tedapat lebih dari satu
Tergugat, yang tempat tinggalnya tidak berada dalam satu daerah
hukum Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah menurut
pilihan Penggugat.
c. Tergugat utama bertempat tinggal, jika hubungan antara
Tergugat-tergugat adalah sebagai yang berhutang dan
penjaminnya.
d. Tempat tinggal Penggugat atau salah satu dari Penggugat, dalam
hal :
1) Tergugat tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak diketahui
dimana ia berada.
2) Tergugat tidak dikenal. (Dalam gugatan disebutkan dahulu
tempat tinggalnya yang terakhir, baru keterangan bahwa
sekarang tidak diketahui lagi tempat tinggalnya di Indonesia).
e. Dalam hal Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya dan yang
menjadi objek gugatan adalah benda tidak bergerak, maka
gugatan diajukan di tempat benda yang tidak bergerak terletak
(Pasal 118 ayat (3) HIR / Pasal 142 ayat (5) RBg).
f. Jika ada pilihan domisili yang tertulis dalam akta, maka gugatan
diajukan di tempat domisili yang dipilih itu (Pasal 118 ayat (4)
HIR / Pasal 142 ayat (4) RBg).
95 Linda Firdawaty, “Analisis Terhadap UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Peradilan Agama”, Jurnal Al-‘Adalah, Voume X, No. 2, Juli 2011.. h. 214-215. 96 Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Buku II Edisi Revisi:
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. (Jakarta: Dit. Badilag MARI., 2013), h. 76.
45
Terdapat hubungan antara kompetensi absolut dan kompetensi relatif
Pengadilan Agama. Apabila terjadi suatu perkara yang termasuk dalam
kompetensi absolut Pengadilan Agama, namun perkara tersebut terjadi di luar
daerah hukumnya, maka secara relatif Pengadilan Agama tersebut tidak
berwenang mengadili. Jika Pengadilan Agama tersebut tetap mengadili, maka
Pengadilan Agama yang bersangkutan telah melakukan tindakan melampaui
batas kewenangan (exceeding its power). Hal ini mengakibatkan pemeriksaan
dan putusan yang dijatuhkan dalam perkara itu tidak sah.
Kesimpulannya, kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan suatu perkara antara orang-orang
yang beragama Islam pada tingkat pertama. Ada pun objek perkara diatur
secara limitatif dalam UU Peradilan Agama. Sejalan dengan hal tersebut,
kompetensi relatif Pengadilan Agama ditentukan berdasarkan wilayah tempat
tinggal atau tempat kediaman atau domisili pihak yang berperkara.
B. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Pemeriksaan Laporan Penyaksian
Hilal di Indonesia
Selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk
memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat
atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadan dan awal
bulan Syawal tahun Hijriah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan
penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadan dan 1 (satu)
Syawal. Pengadilan agama dapat memberikan keterangan atau nasihat
mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.97
Dalam Penetapan Mahkamah Agung nomor KMA/095/X/2006,
Mahkamah Agung memberikan izin sidang itsbat kesaksian rukyat hilal
dengan hakim tunggal kepada Mahkamah Syar’iyah sewilayah hukum
Provinsi NAD dan Pengadilan Agama seluruh Indonesia.98 Pelaksanaan atau
97 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. 98 Penetapan Ketua Mahkamah Agung nomor KMA/095/X/2006.
46
tata cara pemeriksaan laporan penyaksian hilal di Indonesia terdapat pada
Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Itsbat Rukyat Hilal yang dikeluarkan oleh
Direktorat Pratalak Perdata Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama, Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pada pedoman tersebut
menyebutkan bahwa pelaksanaan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal dilaksanakan
dengan Hakim Tunggal dan diselenggerakan dengan cepat dan sederhana.
C. Kewenangan Memeriksa Kesaksian Hilal menurut Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 52A
Pada Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 disebut
bahwa peradilan agama juga diberikan tugas dan kewenangan lain, yaitu dalam
hal memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam
kepada instansi pemerintah di daerah kekuasaan hukumnya, apabila diminta.
Namun pemberian keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang hukum Islam
tersebut tidak dibenarkan dalam hal-hal yang berhubungan dengan perkara yang
sedang atau akan diperiksa pada pengadilan.99
Dalam ketentuan baru yang termuat pada Pasal 52A Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama berwenang memberikan
isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriah.
Penjelasan Pasal 52A Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk
memberikan penetapan (isbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau
menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki awal bulan Ramadan dan awal
bulan Syawal tahun Hijriah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan
penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadan dan 1 (satu)
Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan atau nasehat
mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.
99 Zulkarnaen, Dewi Mayaningsih,Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, h. 141-142.
47
Berdasarkan Penetapan Nomor : KMA 095/X/2006 Menetapkan,
Memberi ijin sidang itsbat kesaksian rukyat hilal dengan hakim tunggal kepada
Mahkamah Syar'iyyah se-wilayah hukum Provinsi NAD dan Pengadilan Agama
seluruh Indonesia.
Pasal 52A Undang-Undang No 3 Tahun 2006 mengatur bahwa Pengadilan
Agama memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan
tahun Hijriah. Dalam penjelasannya Pasal 52A disebutkan bahwa: “Pengadilan
Agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat)
terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal pada
setiap memasuki bulan Ramadan dan awal bulan Syawal tahun Hijriah dalam
rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara Nasional untuk
penetapan 1 Ramadan dan 1 Syawal. Peradilan Agama dapat memberikan
keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan
penentuan waktu salat.”100
Pengadilan Agama dalam hal ini, hanya diberikan kewenangan
mengisbatkan rukyat hilal dan bukan menyatakan atau bahkan memutuskan
kapan tepatnya awal bulan Ramadan, Syawal dan lainnya. Prosesnya adalah
Pengadilan Agama memeriksa apakah benar hasil rukyatnya, betulkah orang
telah melihatnya dengan dibuktikan dengan sumpah, begitu pula saksinya,
apakah ada kendala dalam proses pelaksanaannya dan semacamnya. Jika hal
tersebut dapat dibuktikan pada proses sidang, maka dalam hal tersebut dapat
menjadi pertimbangan Menteri Agama untuk mengeluarkan penetapan secara
nasional untuk penetapan awal bulan Kamariah.
D. Deskripsi Penetapan Pengadilan Agama tentang Isbat Kesaksian Rukyat
Hilal
1. Nomor. 01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd
a. Kasus Posisi
100 Linda Firdawaty, “Analisis Terhadap UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Peradilan Agama”,.... h. 219.
48
Penetapan Nomor. 01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd merupakan
penetapan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal yang diajukan oleh Kepala
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sukabumi kepada Pengadilan
Agama Cibadak
b. Duduk Perkara
Pada tanggal 27 Mei 2016, pemohon telah mengajukan permohonan
penetapan (istbat) rukyatul hilal awal Ramadan 1437 H dan terdaftar di
Pengadilan Agama Cibadak dengan register perkara
01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd. Pemohon dalam hal ini Kepala Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Sukabumi telah menunjuk petugas
tenaga pelaksana untuk melakukan rukyatul hilal awal Ramadan 1437 H
pada hari Minggu, tanggal 05 Juni 2016, di Pos Observasi Bulan (POB)
Cibeas, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.
Identitas tenaga pelaksana rukyatul hilal tersebut adalah :
- K.H. Aang Yahya bin K.H. Mahmud Zamahsyari, umur 46 tahun,
agama Islam, pekerjaan Pimpinan Pondok Pesantren Darul Hikmah
Sukaraja, bertempat tinggal di Goalpara Sukaraja Sukabumi,
selanjutnya disebut Perukyat I.
- K.H. Anshor Fudloli bin K.H. Muhammad Fudloli, umur 53 tahun,
agama Islam, pekerjaan Pimpinan Pondok Pesantren Sunanul Huda,
bertempat tinggal di Cikaroya Cisaat Sukabumi, selanjutnya disebut
Perukyat II.
- K.H. Mashudi bin K.H. Mahmud Zamahsyari, umur 53 tahun,
agama Islam, pekerjaan Pimpinan Pondok Pesantren Darul Hikmah
Sukaraja, bertempat tinggal di Goalpara Sukaraja Sukabumi,
selanjutnya disebut Perukyat III.
Para Perukyat tersebut adalah orang yang dipandang cakap dan
mampu untuk melaksanakan rukyatul hilal awal Ramadan 1437 H.
Berdasarkan hasil Hisab pada Kalender Taqwim Standar Indonesia
Kementerian Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat, ijtima awal
49
bulan Ramadan 1437 H jatuh pada hari Ahad (Minggu), tanggal 05 Juni
2016 M/ 29 Syakban 1437 H, pada pukul 10.00 WIB, saat matahari
terbenam (Ghurub al-Syams) tinggi hilal +04°36'32", umur hilal 7 jam
45 menit. Berdasarkan data tersebut, visibilitas hilal awal Ramadan 1437
H termasuk ke dalam imkaanur rukyah.
Hasil penetapan (isbat) rukyatul hilal ini dilaporkan kepada
Kementerian Agama Pusat untuk dijadikan alat bukti dan bahan
pertimbangan menetapkan tanggal 01 Ramadan 1437 H.
c. Petitum
Pemohon memohon agar Ketua Pengadilan Agama Cibadak c.q
Hakim yang memeriksa perkara ini agar menjatuhkan penetapan yang
amarnya berbunyi sebagai berikut :
- Mengabulkan permohonan Pemohon
- Menyatakan bahwa hilal awal Ramadan 1437 H telah terlihat dalam
rukyatul hilal di Pos Observasi Bulan (POB) Cibeas, Palabuhanratu,
Kabupaten Sukabumi
- Membebankan biaya perkara menurut hukum.
d. Proses Pemeriksaan
Pada hari sidang yang telah ditentukan, Pemohon telah menghadap
ke persidangan dan menyatakan tetap dengan permohonannya dan
mohon agar diberi penetapan.
Guna meneguhkan dalil-dalil permohonan, Pemohon telah
menghadapkan para Perukyat yang memberikan kesaksian masing-
masing sebagai berikut:
- Perukyat I memberikan keterangan pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa Perukyat I tidak berhasil melihat hilal awal Ramadan 1437
H karena cuaca mendung dan tertutup awan.
- Perukyat II memberikan keterangan pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa Perukyat I tidak berhasil melihat hilal awal Ramadan 1437
H karena cuaca mendung dan tertutup awan.
50
- Perukyat III memberikan keterangan pada pokoknya sebagai
berikut: Bahwa Perukyat I tidak berhasil melihat hilal awal Ramadan
1437 H karena cuaca mendung dan tertutup awan.
e. Pertimbangan Hakim
Pertimbangan Hakim pada penetapan Nomor.
01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd berlandaskan pada kompetensi absolut
Pengadilan Agama pada Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Perkara permohonan a quo adalah termasuk kompetensi absolut
Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal 52A Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (vide
penjelasan Pasal demi Pasal, angka 39). Oleh karena itu perkara a quo
dapat diperiksa lebih lanjut.
Data hisab pada Kalender Taqwim Standar Indonesia Kementerian
Agama kantor wilayah Provinsi Jawa Barat yang menerangkan bahwa
Ijtimak awal bulan Ramadan 1437 H jatuh pada hari Ahad (Minggu)
tanggal 05 Juni 2016, pukul 10.00 WIB, dan saat matahari terbenam
tinggi hilal +04°36'32" dan umur hilal 7 jam 45 menit, jika dilihat
berdasarkan kriteria imkanur rukyat MABIMS yang mensyariatkan
ketentuan minimum visibilitas hilal dengan tinggi hilal minimum 2°,
elongasi sudut bulan dan matahari minimum 3° atau umur bulan sejak
ijtimak sampai dengan saat matahari terbenam minimum 8 jam,
visibilitas hilal dalam kondisi ini adalah hal yang logis dan secara
empiris telah sering dilaporkan oleh perukyat Indonesia.
51
Para perukyat menyatakan tidak berhasil melihat hilal awal bulan
Ramadan karena cuaca mendung dan tertutup awan. Walaupun dalam
segi perhitungan hisab visibilitas hilal dimungkinkan, namun keadaan
cuaca yang menghalangi pandangan mata untuk melihat hilal adalah
peristiwa alam yang logis, sehingga kesaksian para Perukyat yang
menyatakan tidak berhasil melihat hilal Ramadan 1437 H dapat diterima.
Keterangan para Perukyat yang menyatakan tidak berhasil melihat
hilal Ramadan 1437 H di Pos Observasi Bulan Cibeas, Palabuhanratu,
Kabupaten Sukabumi, bila terjadi hal yang sama, kesaksiannya dapat
menjadi pertimbangan bagi Menteri Agama Republik Indonesia.
f. Amar Penetapan
MENETAPKAN
- Menolak permohonan Pemohon
- Menyatakan bahwa hilal awal Ramadan 1437 H tidak terlihat dalam
rukyatul hilal di Pos Observasi Bulan (POB) Cibeas, Palabuhanratu,
Kabupaten Sukabumi pada hari Minggu, tanggal 05 Juni 2016.
- Membebankan kepada negara melalui DIPA Kementerian Agama
Kabupaten Sukabumi untuk membayar biaya perkara sejumlah
Rp.91.000,- (Sembilan puluh satu ribu rupiah).
2. Nomor. 1/Itsb.R.H./2016/PA.Gs
a. Kasus Posisi
Penetapan Nomor. 1/Itsb.R.H./2016/PA.Gs merupakan penetapan
Isbat Kesaksian Rukyat Hilal yang diajukan oleh Kasi Penyelenggara
Syariah Kementerian Agama Kabupaten Gresik kepada Pengadilan
Agama Gresik
b. Duduk Perkara
Pada tanggal 23 Mei 2016, pemohon telah mengajukan permohonan
penetapan (istbat) rukyatul hilal awal Ramadan 1437 H dan terdaftar di
Pengadilan Agama Gresik dengan register perkara
01/Itsbat.RH/2016/PA.Gs. Pemohon dalam hal ini PNS/ Kasi
Penyelenggara Syariah pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten
52
Gresik. Pemohon akan melaksanakan rukyatul hilal awal Ramadan 1437
H pada hari Minggu, tanggal 05 Juni 2016, di Balai Rukyat Bukit
Condrodipo Markas.
Identitas para syahid (perukyat) rukyatul hilal tersebut adalah :
- Muhammad Iwanuddin bin H. Muh. Khudori, umur 37 tahun,
agama Islam, pekerjaan Swasta, bertempat tinggal di Jl. Sunan
Giri Gg. 15 C No. 2, Gresik, selanjutnya disebut Perukyat I.
- Muhammad Sholekhuddin, umur 41 tahun, agama Islam,
pekerjaan Guru/Dosen, bertempat tinggal di Jalan Abdul Karim
Rt. 03 Rw. 03, Yosowilangun, Gresik, selanjutnya disebut
Perukyat II.
Pemohon mengajukan permohonan dengan menyerahkan data-data
menurut perhitungan berdasarkan methode ephemeris sebagai berikut:
1) Lokasi Balai Rukyat Bukit Condrodipo Markas : 7° 10' 11.1"
LS/ 112° 37' 2,5" BT
2) Waktu Ijtima’
- Jam : 10 : 02 : 04 WIB
- Hari : Ahad Legi
- Tanggal : 05 Juni 2016
3) Waktu Matahari terbenam (ghurub) : 17.21' 25" WIB
4) Arah/ Azimuth Matahari (Az0 ) : 292° 38' 21" UTSB
5) Arah/ Azimuth Hilal/Bulan : 288° 45' 13" UTSB
6) Perkiraan tinggi hilal dari ufuk saat di lihat
- Haqiqi (Geocentric) : 04° 03' 22"
- Mar’iy (Topocentric) : 03° 50' 38"
7) Lama hilal saat di lihat : 00 j 17 m 35 d
8) Hilal Terbenam : 17 : 39 : 00 WIB
9) Besar Cahaya : 0,33 %
c. Petitum
Pemohon memohon agar Ketua Pengadilan Agama Gresik c.q
Hakim Tunggal yang menyidangkan perkara ini agar berkenan
53
memanggil, memeriksa, dan mengadili perkara serta menjatuhkan
penetapan sebagai berikut :
- Mengabulkan permohonan Pemohon
- Menetapkan (mengitsbatkan) bahwa pemohon telah menerima
laporan perukyat kesaksian hilal pada awal bulan Ramadan 1437
H.
- Membebankan biaya penetapan ini kepada anggaran Dinas
Kantor Kementerian Agama Kabupatebn Gresik.
d. Proses Pemeriksaan
Hakim telah memeriksa laporan para syahid (perukyat) dengan
mengajukan pertanyaan kepada para syahid (perukyat) tersebut
mengenai bagaimana yang bersangkutan melihat hilal, kemudian Hakim
telah meneliti (memverifikasi) titik koordinat hilal yang dilihat oleh Para
Perukyat ditempat rukyat dilaksanakan dan memperoleh data-data yang
bersesuaian antara hasil perhitungan Pemohon dengan laporan Perukyat
sebagai berikut:
1) Waktu Matahari terbenam : 17° 32' 02" WIB
2) Waktu melihat hilal : 17° 32" sampai 17° 50" WIB
3) Perkiraan tinggi hilal dari ufuk
saat dilihat
: ± 2°
4) Lama hilal saat dilihat tertutup
awan
: 1 menit 57 detik kemudian
tertutup awan
5) Cara Syahid melihat hilal : Dengan mata telanjang dan di
Verifikasi dengan menggunakan
alat bantu teodolit dan handy cam
yang ditransfer dan direkam ke
LCD Projektor
6) Arah (Azimut) Hilal saat
terlihat
: Sebelah selatan matahari
dengan selisih azimuth 06° 06'
54
02" yaitu azimuth Matahari 286°
16' 55" UTSB 280° 22' 53"
UTSB (Data Teodolit)
7) Keadaan posisi dan bentuk
hilal saat di lihat
: Keadaan posisi bulan (hilal) di
sebelah kiri atas matahari bentuk
Sabit menghadap selatan dan
keatas dengan gambar
8) Kondisi kecerahan
langit/horizon dari ufuk saat
dilihat
: Cerah berawan
Atas perintah Hakim para syahid (perukyat) sekaligus saksi
Bernama : H. Muhammad Iwanuddin bin H. Muh. Khudori dan
Muhammad Sholekhuddin telah mengucapkan sumpah dengan lafazh
sebagai berikut:
“Asyhadu an laa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadar
Rasulullah”. Wallahi, Wabillahi, Watallahi, Demi Allah, saya bersumpah
bahwa pada hari ini Ahad tanggal 29 Syakban 1437 H mulai jam 17 : 21 :
29 sampai jam 17 : 22 : 25 saya benar-benar telah melihat hilal di Bukit
Condrodipo, Desa Kembangan, Kecamatan Kebomas, Kabupaten
Gresik”.
e. Pertimbangan Hakim
Pertimbangan Hakim pada perkara Nomor: 1/Isbt.R.H/2016/PA.Gs.
Setelah membaca surat penetapan ketua Mahkamah Agung RI Nomor
KMA/095/X/2006 tentang sidang Isbat Kesaksian Rukyat Hilal. Surat
Mahkamah Agung RI, Dirjen Badilag, Direktorat Pranata dan Tata
Laksana Perkara Perdata Agama, tanggal 31 Mei 2016 nomor
151/DJA.4/OT.01.3/V/2016 perihal Isbat Rukyatul Hilal awal Ramadan,
Syawal, dan Zulhijah 1437 H. Surat Dirjen Bimas Islam Kemenag RI
Nomor 1265/Dt.III.1/5/HM.00.05/2016 tanggal 12 Mei 2016.
55
Berdasarkan permohonan pemohon, keterangan saksi 2 orang
perukyat (syahid) serta penelitian (verifikasi hakim) terhadap koordinat
hilal yang dilaporkan yang telah dilihat oleh para syahid di tempat rukyat
tersebut terdapat fakta-fakta sebagaimana telah diurai pada duduk perkara.
Pada masa permulaan Islam penetapan awal bulan Ramadan
dilaksanakana berdasarkan laporan perukyat (syahid) tanpa ada ketentuan
harus sesuai dengan kriteria Imkanurrukyah atau jika tidak ada laporan
perukyat yang melihat hilal ditetapkan dengan menggenapkan bulan
sebelumnya menjadi 30 hari, sebagaimana Hadis-Hadis Nabi Muhammad
saw. antara lain sebagai berikut :
(1) Riwayat Bukhori Muslim :
ة شعبان ثالثي )متفق صموا لرئ يته وافطروا لرئ يته فإن غب عليكم فأكملوماالعد
عليه(
Artinya : “Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal) dan
ahirilah shaum bila kalian melihatnya (hilal). Tetapi jika
terhalang maka genapkanlah bilangan Syakban 30 hari.” (HR.
Bukhari Muslim)
(2) Riwayat Imam Abu Daud :
م رأوالالل ابألمس أن ركبا جاءوا إل النب صلى هللا عليه وسلم يشهدون أن
هم فأمرهم أن يث فطروا وإذا أصبحوا أن ي غدوا إل مصال
Artinya : “Ada sekelompok orang datang kepada Rasulullah
saw. bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal, kemudian Rasul
memerintahkan untuk berbuka dan esok harinya Rasul
memerintahkan mereka pergi ke masjid (Sholat Ied).”
Bahwa pemerintah Republik Indonesia Cq. Kementerian Agama RI
dan Negara-negara yang tergabung dalam MABIMS (Menteri-menteri
Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) telah
menentukan standar Imkanur Rukyat (Crescent Visibility) dengan 3 (tiga)
56
parameter yang telah dijadikan dasar kriteria tersebut telah terpenuhi
untuk data hilal awal Ramadan 1437 H, oleh karena itu maka hilal pada
hari ahad 29 Syakban 1437 H/ 05 Juni 2016 M termasuk hilal yang
mungkin dapat dilihat.
Hakim perbendapat bahwa kesaksian rukyatul hilal tersebut telah
sesuai dengan perhitungan hisab, tidak bertentangan dengan akal sehat,
kaidah ilmu hisab dan kaidah syar’i, kesaksian rukyatul hilal tersebut telah
memenuhi syarat formil maupun materiil, dan oleh karena itu maka
permohonan harus dikabulkan dengan menetapkan (mengisbatkan)
kesaksian rukyatul hilal oleh para perukyat pada awal bulan Ramadan
1437 H/ 2016 M yang dilaksanakan pada hari Ahad tanggal 05 Juni 2016
di Balai Rukyat NU Bukit Condro Dipo, Desa Kembangan, Kecamatan
Kebomas, Kabupaten Gresik, telah berhasil melihat hilal.
f. Amar Penetapan
MENETAPKAN
- Mengabulkan permohonan Pemohon
- Menetapkan (mengisbatkan) kesaksian Rukyatul Hilal oleh para
perukyat pada awal bulan Ramadan 1437 H / 2016 M yang
dilaksanakan pada hari Ahad tanggal 5 Juni 2016 di Balai Rukyat NU
Bukit Condro Dipo, Desa Kembangan, Kecamatan Kebomas,
kabupaten Gresik, telah berhasil melihat hilal.
- Membebankan biaya penetapan ini kepada anggaran Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Gresik sebesar Rp.91.000,-
(Sembilan puluh satu ribu rupiah).
3. Nomor. 121/Pdt.P/2016/PA.Bjn
a. Kasus Posisi
Penetapan Nomor.121/Pdt.P/2016/PA.Bjn merupakan penetapan
Isbat Kesaksian Rukyat Hilal yang diajukan oleh Kasi Penyelenggara
Syariah Kementerian Agama Kabupaten Bojonegoro kepada Pengadilan
Agama Bojonegoro.
b. Duduk Perkara
57
Pemohon selaku Kepala Seksi Penyelenggara Syariah Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Bojonegoro mengajukan permohonan
tertanggal 05 Juni 2016, dengan nomor register perkara
Nomor.121/Pdt.P/2016/PA.Bjn yang pada pokoknya pemohon
melaporkan 2 (dua) orang Syahid/perukyat telah melihat hilal awal bulan
Ramadan 1437 H dalam rukyat yang dilaksanakan di Bukit Wonocolo
Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur pada hari
Ahad tanggal 5 Juni 2016 bertepatan dengan tanggal 29 Syakban 1437 H
pada jam 17:26:15 s.d 17:43:06 WIB, masing-masing bernama :
1) Nama : Harun
Umur : 45
Agama : Islam
Pekerjaan : Tani/Tokoh Masyarakat
Alamat : Ds. Wonocolo, Kec. Kasiman, Kab. Bojonegoro
2) Nama : Drs. Much Tarom
Umur : 56
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS/ Camat Kasiman
Alamat : Ds. Klampon, Kec. Ngraho, Kab. Bojonegoro
c. Proses Pemeriksaan
Para Syahid (Perukyat) telah memberikan keterangan rukyat hilal
dengan hasil sebagai berikut :
- Waktu matahari terbenam pukul 17.26 WIB
- Waktu melihat hilal pukul 17.34 WIB
- Perkiraan tinggi hilal saat dilihat 2 Derajat 10 Menit Busur
- Lama hilal saat dilihat 30 detik
- Cara melihat hilal dengan mata telanjang
- Arah Matahari terbenam disebelah utara hilal
- Arah bulan/ hilal pada sat dilihat miring ke selatan
- Kondisi kecerahan langit/horizon dari ufuk saat dilihat cerah
- Keadaan cuaca saat hilal terlihat cerah
58
Para Syahid (perukyat) telah mengangkat sumpah dihadapan sidang di
tempat yang dihadiri oleh pemohon dan 2 (dua) orang saksi masing-
masing bernama:
a. Nama : KH. Thuhri
Umur : 60
Agama : Islam
Pekerjaan : Anggota BHR Kab. Bojonegoro
Alamat : Ds. Tanjungharjo, Kec. Kapas, Kab. Bojonegoro
b. Nama : H. Nasiuddin
Umur : 49
Alamat : Islam
Pekerjaan : Anggota BHR Kab. Bojonegoro
Alamat : Ds. Tanjungharjo, Kec. Kapas, Kab. Bojonegoro
d. Pertimbangan Hakim
Pertimbangan Hakim pada penetapan Nomor.
121/Pdt.P/2016/PA.Bjn berlandaskan pada Pasal 52A Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa Pengadilan
Agama berwenang memberikan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal dalam
penentuan awal bulan pada tahun Hijriah, sebab itu perkara ini menjadi
wewenang Pengadilan Agama Bojonegoro.
Pemohon melaporkan 2 (dua) orang Syahid/perukyat telah melihat
hilal awal bulan Ramadan 1437 H dalam rukyat yang dilaksanakan di
Bukit Wonocolo Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa
Timur pada hari Ahad tanggal 5 Juni 2016 bertepatan dengan tanggal 29
Syakban 1437 H pada jam 17:26:15 s.d 17:43:06 WIB, masing-masing
bernama :
1) Nama : Harun
Umur : 45
Agama : Islam
Pekerjaan Tani/Tokoh Masyarakat
59
Alamat : Ds. Wonocolo, Kec. Kasiman, Kab. Bojonegoro
2) Nama : Drs. Much Tarom
Umur : 56
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS/ Camat Kasiman
Alamat : Ds. Klampon, Kec. Ngraho, Kab. Bojonegoro
Para Syahid (Perukyat) telah memberikan keterangan rukyat hilal
dengan hasil sebagai berikut :
- Waktu matahari terbenam pukul 17.26 WIB
- Waktu melihat hilal pukul 17.34 WIB
- Perkiraan tinggi hilal saat dilihat 2 Derajat 10 Menit Busur
- Lama hilal saat dilihat 30 detik
- Cara melihat hilal dengan mata telanjang
- Arah Matahari terbenam disebelah utara hilal
- Arah bulan/ hilal pada sat dilihat miring ke selatan
- Kondisi kecerahan langit/horizon dari ufuk saat dilihat cerah
- Keadaan cuaca saat hilal terlihat cerah
Para Syahid (perukyat) telah mengangkat sumpah dihadapan sidang
di tempat yang dihadiri oleh pemohon dan 2 (dua) orang saksi masing-
masing bernama:
c. Nama : KH. Thuhri
Umur : 60
Agama : Islam
Pekerjaan : Anggota BHR Kab. Bojonegoro
Alamat : Ds. Tanjungharjo, Kec. Kapas, Kab. Bojonegoro
d. Nama : H. Nasiuddin
Umur : 49
Alamat : Islam
Pekerjaan : Anggota BHR Kab. Bojonegoro
Alamat : Ds. Tanjungharjo, Kec. Kapas, Kab. Bojonegoro
Bahwa sebagaimana pada salah satu Hadis menyebutkan :
60
قال احلسن يف حديثه (جاء أعرب إل النب صلى هللا عليه وسلم ف قال إن رأيت الالل
د رسول هللا ق اف قال اتشهد أن ال اله اال هللا ق )ي عن رمضان .عمل ن ال اتشهد أن مم
س فاليصوموا غدا )رواه أبو داود( اقال ي بالل اذن يف الن
Artinya : “Datang seorang Badui ke Rasulullah saw. seraya
berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadis
menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud sang badui yaitu hilal
Ramadan). Rasulullah saw. bersabda: Apakah kamu bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah? Dia berkata: Benar. Beliau meneruskan
pertanyaanya seraya berkata : Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad
adalah utusan Allah? Dia berkata: Ya benar. Kemudian Rasulullah
memerintahkan orang-orang untuk berpuasa besok.”
Sesuai dengan Penetapan Nomor KMA.095/X/2006 telah
menetapkan memberi izin sidang isbat kesaksian rukyat hilal dengan
hakim tunggal kepada Mahkamah Syar’iyyah se wilayah hukum Provinsi
NAD dan Pengadilan Agama seluruh Indonesia. Berdasarkan laporan
pemohon tentang kesaksian rukyat hilal telah bersesuaian dengan
perhitungan hisab, tidak bertentangan dengan akal sehat, kaidah ilmu
pengetahuan dan kaidah syar’i, maka permohonan patut dikabulkan.
e. Amar Penetapan
MENETAPKAN
- Mengabulkan permohonan Pemohon
- Menetapkan (mengisbatkan) bahwa 2 (dua) orang Syahid
(saksi/perukyat) yaitu:
• Nama : Harun
Umur : 45
Agama : Islam
Pekerjaan : Tani/Tokoh Masyarakat
Alamat : Ds. Wonocolo, Kec. Kasiman, Kab. Bojonegoro
61
• Nama : Drs. Much Tarom
Umur : 56
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS/ Camat Kasiman
Alamat : Ds. Klampon, Kec. Ngraho, Kab. Bojonegoro
- Membebankan biaya penetapan ini kepada anggaran Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Bojonegoro sebesar Rp.91.000,-
(Sembilan puluh satu ribu rupiah).
62
BAB IV
KEDUDUKAN ISBAT PENGADILAN AGAMA DALAM
KESAKSIAN RUKYATUL HILAL DI INDONESIA
A. Prosedur Isbat Rukyatul Hilal di Pengadilan Agama
1. Pelaksanaan dan Pencatatan Sidang Isbat Rukyat Hilal
a. Pelaksanaan Sidang Isbat Rukyat Hilal
Pelaksanaan sidang isbat kesaksian rukyat hilal berada di tempat
pengamatan rukyat hilal (sidang di tempat). Persidangan dilakukan sesuai
dengan Asas Peradilan yakni Asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Selain
itu, pelaksanaannya menyesuaikan dengan kondisi setempat.
Kantor Kementerian Agama atau Instansi lain yang terkait
merupakan pemohon beserta pelapor, mengajukan perkara permohonan
isbat kesaksian rukyat hilal kepada Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar'iyah yang mewilayahi tempat pelaksanaan rukyat hilal. Sesuai dengan
kewenangan Relatif Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah.
Setelah perukyat (syahid) diperiksa oleh hakim, apabila berpendapat
syahid/ perukyat serta kesaksiannya memenuhi syarat formil dan materiil,
syaratnya adalah sebagai berikut:101
a. Syarat Formil :
1) Aqil baligh atau sudah dewasa.
2) Beragama Islam.
3) Laki-laki atau perempuan.
4) Sehat akalnya.
5) Mampu melakukan rukyat.
6) Jujur, Adil dan dapat dipercaya.
101 Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Isbat Rukyat Hilal, Direktorat Pratalak Perdata Agama,
Direktorat Jenderal Peradilan Agama, Mahkamah Agung.
63
7) Mengucapkan sumpah kesaksian rukyat hilal di muka sidang
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyyah dan disaksikan oleh 2
(dua) orang saksi.
b. Syarat Materiil :
1) Perukyat menerangkan tanpa diwakilkan bahwa ia melihat hilal dan
melihat sendiri dengan mata kepala maupun menggunakan alat
penunjang.
2) Perukyat benar-benar mengetahui bagaimana proses melihat hilal
(rukyat), yaitu kapan waktu melihat hilalnya, di mana tempatnya,
berapa lama waktu untuk melihatnya, di mana letak, arah posisi dan
keadaan hilal saat dilihat, serta bagaimana kecerahan cuaca
langit/horizon saat hilal dapat dilihat.
3) Keterangan yang dilaporkan oleh perukyat dari hasil rukyat tidak
bertentangan dengan akal sehat, perhitungan ilmu hisab, kaidah
ilmu pengetahuan serta kaidah syar’i.
Selanjutnya hakim tersebut memerintahkan perukyat (syahid) mengucapkan
sumpah dengan lafaz sebagai berikut: "Asyhadu an laa ilaaha illa Allah wa
asyhadu anna Muhammadar rasulullah, demi Allah Saya bersumpah bahwa
Saya telah melihat hilal awal bulan tahun ini”. Pengangkatan sumpah para
perukyat (syahid) didampingi 2 (dua) orang saksi. Selanjutnya, hakim
menetapkan/memberikan isbat kesaksian rukyat tersebut, dan dicatat dalam
berita acara persidangan oleh panitera sidang yang bertugas. Isbat kesaksian
rukyat hilal tersebut diserahkan kepada penanggung jawab rukyat hilal (Cq.
Kantor Kementerian Agama setempat). Selanjutnya petugas Kementerian
Agama melaporkan penetapan tersebut kepada panitia sidang Isbat Nasional
Kementerian Agama RI di Jakarta.
b. Pencatatan Sidang Isbat Rukyat Hilal
Panitera atau petugas yang diberi amanah oleh Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar'iyah mencatat permohonan tersebut dalam
Register Permohonan Sidang Isbat Rukyatul Hilal. Selanjutnya, Ketua
Pengadilan Agama /Mahkamah Syar’iyah sesuai dengan aturan yang tertera
64
pada KMA 095/X/2016 menunjuk hakim tunggal untuk menyidangkan
permohonan tersebut.
Panitera Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah menugaskan
panitera sidang untuk mendampingi hakim dan mencatat persidangan dalam
berita acara. Hakim dan panitera sidang yang bertugas harus menyaksikan
prosesi rukyat hilal. Waktu pelaksanaannya harus sesuai dengan data yang
diterbitkan oleh Badan Hisab Rukyat atau nama lainnya yang ditetapkan
oleh Menteri Agama. Register permohonan sidang isbat rukyat hilal, telah
tersedia di kantor PA. masing-masing Nomor perkara dibuat seperti ini
Nomor : 000/Isbat R.H/2015/PA. Cth
2. Tata Cara Pemeriksaan Penetapan Penyaksian Rukyat Hilal
a. Kelengkapan dalam pemeriksaan
Hasil rukyat dapat disampaikan baik secara lisan maupun tulisan dan
memberikan kesaksian selengkap mungkin tentang penangkapan hilal yang
telah berhasil dilihat, seperti posisi hilal saat terlihat, warna hilal, orientasi
sabit hilal (dengan cara memperlihatkan gambar), kemiringan dan dasar
berfikir yang dapat dipercaya dan meyakinkan bahwa yang dilihat adalah
hilal bukan pantulan cahaya matahari oleh awan atau obyek lainnya.
Kesaksian rukyat hilal dapat diterima setelah dilakukan pemeriksaan. Sebab
itu, keyakinan dan pengetahuan dasar tentang penampakan hilal adalah
modal penting bagi perukyat hilal.
b. Kelengkapan administrasi permohonan isbat kesaksian rukyat hilal
Pengaturan administreas peradilan dipersiapkan guna kelancaran
serta ketertiban dalam pemeriksaan, penyumpahan dan penetapan isbat
rukyatul hilal, hal tersebut meliputi :
1) Register permohonan Isbat kesaksian rukyat hilal
2) Permohonan isbat kesaksian rukyatul hilal;
3) Berita acara persidangan pemeriksaan isbat kesaksian rukyatul
hilal;
4) Penetapan isbat kesaksian rukyatul hilal;
5) Biaya perkara.
65
Hal tersebut menjadi tanggung jawab kepaniteraan dan dimasukkan
ke dalam tugas Kepaniteraan Permohonan yang diproses seperti halnya
perkara permohonan. Selanjutnya, diperlukan pula adanya tenaga teknik
yang menguasai hal tersebut baik hakim, kepaniteraan maupun staf serta
sarana dan prasarana yang memadai agar dapat memberikan pelayanan yang
optimal
3. Data Hisab dan Rukyat
Data perhitungan hisab dan rukyat yang digunakan adalah
bersumber dari data astronomi, antara lain Almanak Nautika, Ephemeris Hisab
Rukyat, dan Ephemeris Al-Falakiyah, atau data yang dihimpun dari Badan
Hisab Rukyat Kementerian Agama, atau nama lainnya yang ditetapkan.
4. Syahadah Kesaksian Rukyat Hilal
Saksi dalam kesaksian rukyat dibedakan menjadi 2 ( dua ) macam :102
a. Syahid/perukyat : Saksi yang mengetahui langsung, melapor melihat
hilal dan diambil sumpahnya oleh hakim.
b. Saksi yang menyaksikan seseorang atau beberapa orang yang melapor
telah melihat hilal, dan hadir serta diangkat sumpahnya di persidangan
dengan jumlah 2 (dua) orang.
5. Permohonan, Berita Acara Persidangan, dan Penetapan
Permohonan sidang isbat awal bulan Ramadan, Syawal dan
Zulhijjjah merupakan kewenangan Peradilan Agama yang diamanahkan oleh
Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Prosedur permohonan
begitu pula dengan surat permohonan dibuat seperti halnya permohonan pada
umumnya. 103 Penanganan hal ini dapat diajukan pula mengikuti prosedur
khusus, yaitu terdapat pengajuan permohonan, pencatatan dalam register
khusus, pemeriksaan dan penetapan.104
102 Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Isbat Rukyat Hilal, Direktorat Pratalak Perdata Agama,
Direktorat Jenderal Peradilan Agama, Mahkamah Agung. 103 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022. 104 Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Isbat Rukyat Hilal, Direktorat Pratalak Perdata Agama,
Direktorat Jenderal Peradilan Agama, Mahkamah Agung.
66
Berita acara sidang isbat kesaksian rukyat hilal dibuat oleh Panitera
sidang yang telah ditunjuk oleh Panitera serta Ketua Pengadilan Agama,
dengan mengacu pada ketentuan Pembuatan Berita Acara Sidang perkara
permohonan yang lain, baik itu format, isi dan tata caranya, yang ditanda
tangani oleh Hakim yang bersidang dan Panitera Sidang.
Penetapan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal yang telah dibuat dan
ditanda-tangani oleh hakim, bukan merupakan putusan akhir atau final dan
mengikat untuk semua orang. Tetapi penetapan ini merupakan alat bukti dan
bahan pertimbangan Menteri Agama dalam “sidang isbat penentuan awal
bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah” secara Nasional. Penetapan hakim
tersebut dapat diterima atau pun tidak diterima oleh para peserta sidang isbat
atau Menteri Agama sekaligus memberikan pengumuman atau pemberitahuan
kepada masyarakat umum, kapan memulai ibadah puasa Ramadan, hari raya
Idul Fitri (1 Syawal) dan awal bulan Zulhijah (Idul Adha 10 Zulhijah). Biaya
permohonan pelaksanaan sidang isbat atau sidang di tempat ini sepenuhnya
dibebankan atas biaya dinas dari Kementerian Agama sebagai pihak pemohon.
B. Dasar Pertimbangan Hakim pada Penetapan Nomor.
01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd, Nomor. 1/Itsb.R.H/2016/PA.Gs, dan Nomor.
121/Pdt.P/2016/PA.Bjn
Berdasarkan perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama yakni
perihal Isbat Kesaksian Rukyat Hilal yang termuat pada penetapan Nomor.
01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd, Nomor. 1/Itsb.R.H/2016/PA.Gs, dan Nomor.
121/Pdt.P/2016/PA.Bjn yang pada ketiga penetapan tersebut mengajukan perkara
permohonan untuk mengisbatkan atau menetapkan kesaksian rukyat yang akan
dilaksanakan pada hari Ahad, 05 Juni 2016.
Dalam penetapan tersebut pembuktian yang dilakukan pada pemeriksaan
perkara dalam sidang adalah sumpah perukyat/syahid. Pembuktian menurut Eddy
O.S Hiariej bahwa pembuktian merupakan hal yang sangat krusial dalam
menyelesaikan suatu permasalahan hukum, di mana pembuktian merupakan
jantung dalam persidangan suatu perkara di pengadilan karena berdasarkan
67
pembuktianlah hakim akan mengambil keputusan mengenai benar atau salahnya
seseorang dalam berperkara.105 Istilah pembuktian dalam Bahasa Arab dikenal
sebagai al-bayyinah yang memiliki arti satu yang menjelaskan. Pembuktian
bermakna memberikan keterangan dengan dalil yang dapat meyakinkan,
sedangkan makna membuktikan yakni mempertimbangkan secara logis
kebenaran terhadap fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan
menurut hukum berlaku, guna mendapatkan kepastian atas suatu peristiwa atau
fakta yang diajukan itu benar terjadi, kebenarannya dibuktikan, sehingga terlihat
adanya hubungan hukum antara para pihak.106
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
tertentu yang diatur dalam Undang-Undang.107 Pada Pasal 52 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tertera “Pengadilan
dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam
kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta”. Pada tahun
2006 seiring dengan perubahannya Undang-Undang tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 diubah menjadi Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006, pada Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 terdapat kewenangan yang diamanahkan kepada Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah menjadi dasar pelaksanaan Isbat Rukyat Hilal.
Hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah diminta memberikan
keterangan, pertimbangan, serta nasihat oleh Kementerian Agama dalam
pelaksanaan rukyat hilal yang dilaksanakan dibeberapa titik di Indonesia, hal ini
sesuai dengan kompetensi absolut dari Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah
itu sendiri. Permintaan tersebut sesuai dengan Pasal 52 UU No. 7 Tahun 1989,
yakni sesuai dengan daerah hukumnya, di mana Pengadilan Agama diminta oleh
105 Rahman Amin, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana dan Perdata, (Sleman:
Deepublish, 2020), h. 15. 106 Zulkarnaen, Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia……. h. 283. 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
68
Kementerian Agama Kabupaten di wilayah yuridiksinya. Sesuai dengan
kewenangan relatifnya, jika tidak sesuai maka perkara tidak bisa dilanjutkan ke
tahap berikutnya.
Pasal 52A berbeda dengan penetapan hakim dalam kitab-kitab fikih,
hakim sekadar memberikan pertimbangan berupa penetapan, sebab Menteri
Agama yang berwenang menetapkan awal bulan Kamariah. Lain hal dengan
pertimbangan atau keterangan perihal arah kiblat dan awal waktu salat, tidak
berbentuk penetapan seperti pada awal bulan Kamariah.108
Pelaksanaan isbat kesaksian rukyat hilal, dalam hal ini hakim diberikan
surat edaran yang diberikan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.
Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama beserta
Negara-negara yang tergabung dalam MABIMS (Menteri Agama Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) menentukan standar imkān al-
ru’yah yang dijadikan sebagai parameter untuk data hilal awal bulan Kamariah.
Kriteria yang digunakan pada penetapan ini menggunakan kesepakatan yang telah
disepakai yaitu tinggi hilal minimal 2°, sudut elongasi minimal 3°, dan umur
bulan minimal 8 jam.
Pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara Nomor.
1/Itsb.R.H/2016/PA.Gs, dan Nomor. 121/Pdt.P/2016/PA.Bjn, setelah memeriksa
perukyat/syahid beserta saksi, dan pada laporan yang dipaparkan telah
bersesuaian dengan perhitungan hisab, tidak bertentangan dengan akal sehat,
kaidah ilmu pengetahuan (hisab) serta kaidah syar’i, kesaksiannya telah
memenuhi syarat formil maupun materiil. Selanjutnya, pada perkara Nomor.
01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd ditetapkan bahwa hilal awal Ramadan 1437 H tidak
terlihat dalam pelaksanaan rukyat hilal di Pos Observasi Bulan (POB) Cibeas,
Palabuhanratu di mana di bawah wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Cibadak.
Hal tersebut terjadi karena cuaca di daerah tersebut mendung dan tertutup awan,
walaupun pada hitungan hisab visibilitas memungkinkan.
108 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022.
69
Dalam penetapan yang telah dipaparkan, pada proses pemeriksaan hakim
tidak hanya menanyakan “apakah kamu sudah melihat hilal?” dan
menyumpahnya, namun mengajukan beberapa pertanyaan kepada para
perukyat/syahid mengenai bagaimana yang bersangkutan melihat hilal, dalam
kitab al-Khulasah al-Wafiyah disebutkan oleh ar-Royani (Hakim):
mengibaratkan ar-Royani dan sifat penyaksian (syahadah) pemberian keterangan/
pemberian kesaksian adalah berkata saya melihat di sebelah barat. Beberapa hal
seperti posisi hilal yang terlihat, bentuk serta ukuran hilal, posisi hilal dengan
matahari, serta keadaan alam ketika pelaksanaan rukyat.109 Setelah itu hakim
meneliti serta memverifikasi hal yang disampaikan oleh perukyat/syahid dengan
data-data antara hasil perhitungan (hisab) dengan laporan perukyat/syahid.
Keberlangsungan perkara dilihat dari proses pelaksanaan prosedur sidang
Pengadilan Agama. Amar penetapan dapat ditetapkan setelah prosesi rukyat hilal
dilaksanakan, berhasil atau tidaknya rukyat hilal mempengaruhi amar penetapan.
C. Faktor-faktor Penerimaan dan Penolakan Isbat Rukyat Hilal Pengadilan
Agama
1. Faktor Penerimaan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal Pengadilan Agama
a. Memenuhi Kriteria yang Disepakati
Kementerian Agama RI mengambil kebijakan perihal kriteria yang
digunakan, yakni imkān al-ru’yah. Imkān al-ru’yah sendiri memiliki makna
secara harfiah “kemungkinan dapat dilihat”, kebijakan yang diambil oleh
Kementerian Agama RI yakni ketinggian hilal ditentukan 2° di atas ufuk
dan umur 8 jam110, elongasi 3°111.
Pada proses pelaksanaan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal Rukyat dan
Hisab tidak dapat dipisahkan. Selain kriteria tersebut, sebelum didirikannya
109 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022. 110 Taufiqurrahman K., Ilmu Falak & Tinjauan Matlak Global, (Yogyakarta: MPKSDI,
2010), h. 44. 111 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022.
70
Badan Hisab Rukyat (BRH), hisab yang dilaporkan pada pelaksanaan
Sidang Isbat adalah Hisab Haqiqi Taqribi.112 Pada tahun 1972, Badan Hisab
Rukyat (BRH) dibentuk berlandaskan SK Menteri Agama No. 76 Tahun
1972 tentang pembentukan Badan Hisab Rukyat Departemen Agama pada
tanggal 16 Agustus 1972.113 Setelah lahir Badan Hisab Rukyat terdapat
perimbangan antara Hisab Hakiki tahqīqī dan kontemporer menyeimbangi
Hisab Haqiqi Taqribi. Pada perkembangan proses pelaksanaan pada tahun
1992 Hisab Hakiki tahqīqī menjadi lebih dominan digunakan, sementara
Hisab Haqiqi Taqribi digunakan sebagai pendamping.114 Dengan kata lain,
Hisab Haqiqi Taqribi dikatakan sebagai sistem hisab yang digantikan, dan
sistem Hisab Hakiki tahIqīqī dan Kontemporer yang menggantikannya.115
Kriteria yang disepakati lalu menjadi dasar acuan pada proses pelaksanaan
rukyat yang akan ditetapkan (isbat) oleh Pengadilan Agama, namun pada
mulai tahun 2022, ditetapkan kriteria baru imkān al-ru’yah telah berubah
menjadi tinggi hilal minimal 3° dan elongasi minimal 6,4°.
b. Sumpah Perukyat
Sebelum tahun 1990, sebab diterimanya adalah di sumpah oleh
hakim. Sejalan dengan hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abu Daud
yang telah dipaparkan penulis pada Bab II serta menjadi salah satu
pertimbangan hakim pada penetapan Nomor 121/Pdt.P/2016/PA.Bjn
tentang datangnya seorang Badui yang berkata bahwa ia telah melihat hilal
kepada Rasulullah saw., kemudian Rasulullah saw. bersabda: Apakah kamu
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah? Dia berkata: Benar. Beliau
meneruskan pertanyaanya seraya berkata: Apakah kau bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah? Dia berkata: Ya benar. Sesaat kemudian
112 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022. 113 Suhardiman, Fikih Hisab Rukyat (Peran Badan Hisab Rukyat terhadap Dinamika dalam
Penentuan Awal Bulan Kamariah di Indonesia), Jurnal at-Turats (Jurnal Pemikiran Pendidikan Islam), Volume 12, No. 1. 2018. h. 9.
114 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022. 115 Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Hisab dan Rukyat, h.245.
71
Rasulullah saw. memerintahkan kepada orang-orang untuk berpuasa esok
harinya. Kekurangan dari sumpah ini adalah, tidak diketahuinya berapa
tinggi hilal sudah positif atau belum, posisi hilal seperti apa, dan sebagainya.
Namun seiring perkembangan kemajuan zaman, serta amanah tugas
yang diberikan pada Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
proses pemeriksaan syahid/perukyat sangat detail. Dalam kitab
iqadzunniyam karangan Utsman bin Yahya, terdapat keterangan
bahwasannya sekarang ini, banyak orang berani bohong maka dari itu perlu
diperiksa secara teliti, kalau zaman nabi orang tidak berani berbohong.116
Selain itu, menurut Fuqaha mazhab Syafi’i yang berpendapat bahwa
dalam masalah penyelidikan hilal serta diwajibkannya puasa bagi kaum
muslim mensyaratkan keputusan hakim. Hakim yang dimaksud di sini
biasanya memiliki makna pemerintah namun dalam beberapa hal memiliki
makna pengadilan. Kata hakim dalam kitab-kitab Fikih bersifat lokal, yakni
hanya satu wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Berbeda dengan Indonesia,
hakim hanya menetapkan atau menerima kesaksiannya tetapi tidak
menetapkan atau memutus kapan awal atau akhir dari bulan Kamariah.117
Penjelasan di atas merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
dikabulkannya permohonan Pemohon pada penetapan Nomor.
1/Itsb.R.H/2016/PA.Gs dan Nomor. 121/Pdt.P/2016/PA.Bjn, memenuhi
kriteria yang disepakati serta adanya sumpah perukyat. Hakim menyumpah
kesaksianya dengan menanyakan beberapa pertanyaan guna verifikasi apakah
kesaksian hilal perukyat tersebut benar dan sesuai dengan data-data yang
dipegang oleh hakim. Pelaksanaan sidang isbat kesaksian rukyat hilal berada
pada lokasi pelaksanaan rukyat, sehingga selain menyumpah hakim dapat
memeriksa pelaksanaan rukyat. Pertimbangan hukum yang diberikan setelah
membaca dokumen terkait tentang rukyat hilal dan pelaksanaan prosedur
pemeriksaan, hakim menimbang amar penetapan berdasarkan data terkait,
116 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022. 117 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022.
72
permohonan Pemohon, keterangan kesaksian perukyat/syahid serta verifikasi
hakim pada data yang tercantum dengan koordinat hilal yang dilaporkan telah
dilihat oleh perukyat/syahid pada lokasi pelaksanaan rukyat. Permohonan
pemohon dikabulkan sebab kesaksian rukyat hilal yang disampaikan oleh
perukyat/syahid yakni hilal terlihat pada hari Ahad, 05 Juni 2016 di Balai
Rukyat NU Bukit Condro Dipo, Desa Kembangan, Kecamatan Kebomas,
Kabupaten Gresik dan Bukit Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten
Bojonegoro, beberapa pendapat hakim pada pertimbangannya adalah sebagai
berikut;
1) Telah sesuai dengan perhitungan hisab dimana keduanya saling
berkaitan. Tidak ada diantara keduanya ketidaksinkronan, seperti pada
data hisab yang terdapat pada penetapan tersebut yang pada
pelaksanaan rukyat sama keduanya.
2) Kesaksiannya tidak bertentangan dengan akal sehat, sebab faktor
psikologis dalam hal ini sangat mempengaruhi keberhasilan rukyat.
3) Kesaksiannya tidak bertentangan dengan kaidah ilmu hisab dan kaidah
syar’i, jika bertentangan maka kesaksiannya tidak dapat diterima
kesaksiannya.
4) Kesaksiannya telah memenuhi syarat formil dan materiil sebagaimana
telah dipaparkan pada BAB IV Prosedur Isbat Rukyatul Hilal di
Pengadilan Agama.
2. Faktor Penolakan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal Pengadilan Agama
a. Data Hisab Tidak Mu’tabar
Dalam proses penentuan awal bulan Kamariah, Hisab dan Rukyat
saling menguatkan. Hisab merupakan sebuah kaidah Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, dan Rukyat merupakan sebuah kaidah Agama. Keduanya tidak
dapat dipisahkan begitu saja pada proses pelaksanaan rukyat hilal, terbukti
pada penetapan yang terlampir pada BAB III, pada pertimbangan hakim
didasari oleh data hisab.
73
Penjelasan point sebelumnya yang telah dipaparkan, bahwasannya
Hisab yang digunakan sebagai acuan setelah lahirnya Badan Hisab Rukyat
(BRH) adalah Hisab Hakiki tahqīqī atau Kontemporer dan Hisab Hakiki
taqrībī digunakan hanya sebagai pendamping.
1) Kasus pada tahun 1993
Terletak pada Keputusan Menteri Agama Nomor 84 Tahun 1993
tentang Penetapan Tanggal 1 Syawal 1413 H/1993 M yang
menyebutkan hisab yang tidak mu’tabar adalah salah satu alasan
penolakan dari pelaksanaan Rukyat di Cakung. Contohnya, pada hisab
diperhitungan itu untuk tahun 1992 M/1412 H, 1993 M/1413 H, 1994
M/1414 H ijtimak terjadi setelah zuhur. Saat maghrib sesudah ijtimak
itu sudah mencapai 2° lebih menurut Hisab Hakiki taqrībī, namun
menurut data Hisab Hakiki tahqīqī atau kontemporer yang dimana
ijtimaknya sama, masih mencapai -2° dibawah ufuk.118
2) Kasus pada tahun 1998
Hisab yang tidak mu’tabar terjadi pada tahun ini. Laporan Rukyat
Cakung dan Bawean. Posisi hial di Bawean 0°30' belum mencapai 1°,
begitupula pada Cakung sekitar 0°45', di Aceh saja itu baru 1°45.
Pedomannya di ambil dari kitab Khulashoh Wafiyah yakni : fawujudul
hilali ghoiru mu’tabarin syar’an fii itsbaatil hukmi illa idza utsbita
‘indal hakim. Hakim tidak menetapkan karena wujudul hilal pada
pelaksanaan rukyat yang tidak mu’tabar, hal ini yang mendasari alasan
laporan rukyat hilal ditolak.
b. Rukyat Tidak Berhasil
Faktor tersebut jelas mempengaruhi tugas dari Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah yang diamanahkan sebagai petugas yang
berwenang pada Isbat Kesaksian Rukyat Hilal. Salah satu contoh pada
penetapan Nomor. 01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd, yang pada proses
118 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022.
74
pelaksanaan rukyat pada datanya telah menunjukan bahwa Ijtimak awal
bulan Ramadan 1437 H jatuh pada hari Ahad tanggal 05 Juni 2016, dan
kondisi hilal pada saat itu telah mencapai kriteria imkān al-ru’yah. Namun
pada hari tersebut, perukyat tidak berhasil melihat hilal dan menyatakan ke
Hakim yang bertugas bahwasannya mereka tidak berhasil melihat hilal awal
bulan Ramadan karena cuaca mendung dan tertutup awan.
Pemaparan di atas terjadi jika salah satu lokasi rukyat tidak dapat
melihat hilal karena faktor tertentu, maka penetapan oleh hakim tidak dapat
dijadikan landasan oleh Menteri Agama dalam menetapkan awal bulan
Kamariah. Pada Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 269 Tahun
20016 tentang Penetapan Tanggal 1 Ramadan 1437 H, yang dikeluarkan
Pengadilan Agama Cibadak tidak dimasukkan kepada pertimbangan
Menteri Agama dalam memberi keputusan. Jika terjadi pada lokasi
pelaksanaan rukyat, perukyat tidak berhasil melihat hilal, namun di lokasi
lainnya telah melihat maka isbat kesaksian rukyat yang berhasil tersebut
menjadi bahan pertimbangan Menteri Agama dalam memutuskannya.
Pertimbangan hakim dalam penetapan Pengadilan Agama Cibadak
Nomor.01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd yang menolak permohonan pemohon
dalam permohonan isbat kesaksian rukyat hilal yang dilaksanakan pada Pos
Observasi Bulan Cibeas, Palabuhanratu. Dasar pertimbangan hakim,
berdasarkan pada data hisab pada Kalender Taqwim Standar Indonesia
Kementerian Agama yang dimana tertulis bahwasannya saat matahari
terbenam tinggi hilal +04°36'32" dan umur hilal 7 jam 45 menit, yang
dimana dalam kriteria MABIMS tinggi hilal sudah mencapai kriteria yang
telah disepakati. Para perukyat juga merupakan orang yang dipandang
cakap dan mampu melaksanakan rukyat hilal, sehingga kesaksiannya dalam
hal ini tidak dapat diragukan. Pada pelaksanaannya para perukyat tidak
berhasil melihat hilal, sebab faktor cuaca mendung dan langit tertutup awan,
sehingga tidak dapat merukyat hilal dengan baik.
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a.,
75
عت رسول الل صلى هللا عليه وسلم ي قول: ) إذا هما قال: س عن وعن ابن عمر رضي الل
رأي تموه فصوموا, وإذا رأي تموه فأفطروا, فإن غم عليكم فاقدروا له ( مت فق عليه.
Artinya : “Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku
mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila
engkau sekalian melihatnya (bulan) shaumlah, dan apabila engkau
sekalian melihatnya (bulan) berbukalah, dan jika awan menutupi kalian
maka perkirakanlah." Muttafaq Alaihi.
Hadis di atas terdapat kalimat “jika awan menutupi kalian maka
perkirakanlah”, yang dimana bermakna bahwasannya jika dalam
pelaksanaan rukyat para perukyat/syahid tidak dapat melihat hilal sebab
terhalangi oleh awan. Cuaca sendiri merupakan salah satu penghambat
dalam pelaksanaan rukyat hilal yang dilaksanakan secara visual.
Berdasarkan hal tersebut, sesuai dengan pelaksanaan tugas pada Pasal 52A
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 yang dimana hakim memberikan
penetapan (isbat) kesaksian rukyat hilal perukyat. Selanjutnya berdasarkan
pemeriksaan yang dilaksanakan pada persidangan, perukyat/syahid
menyatakan dimuka sidang bahwasanya perukyat tidak berhasil melihat
hilal, maka atas pertimbangannya hakim menetapkan bahwa awal Ramadan
1437 H tidak terlihat dalam rukyatul hilal di Pos Observasi Bulan (POB)
Cibeas, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Bagaimana jika di seluruh Indonesia para perukyat di berbagai
lokasi tidak berhasil melihat hilal karena faktor yang termasuk ke dalam
problematika pelaksanaan rukyat yang telah dipaparkan di BAB II, namun
data hisab telah menyatakan telah memasuki kriteria imkān al-ru’yah? Hal
ini pernah terjadi pada penetapan awal Ramadan 1407 H/1987 M, di seluruh
Indonesia, Aceh hingga Jayapura tidak ada laporan kesaksian rukyat hilal.
Menteri Agama yang menjabat saat itu adalah Munawir Syadzali, beliau
memutuskan bahwal awal bulan Ramadan 1407 H/1987 M ditetapkan
berdasarkan imkān al-ru’yah. Selain itu, saat Zulhijah tahun 1999 M, tidak
76
ada laporan rukyat pada saat itu. Menteri Agama menetapkannya
berdasarkan Surat Keterangan (SK) hari-hari libur, serta didasarkan pada
imkān al-ru’yah. 119
Isbat rukyat hilal yang didalamnya terdapat penjelasan bahwa hilal
tidak terlihat, tidak dapat diterima sebagai pertimbangan Menteri Agama
dalam menetapkan awal bulan Kamariah.
D. Kedudukan Isbat Rukyatul Hilal Pengadilan Agama dalam Kesaksian
Rukyat Hilal di Indonesia
1. Latar Belakang Lahirnya Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006
Pada pendahuluan telah dipaparkan bahwasannya lahirnya Pasal
52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tidak terlepas dari Undang-
Undang tentang Peradilan Agama serta Undang-Undang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Pada tahun 2004, lahirlah Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 yang mencabut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Undang-
Undang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Saat itu Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang masih bersanding
dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, mengalami pembaharuan
menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 52 ayat (1) yang
berbunyi :
(1) Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan
nasihat tentang hukum Islam kepada Instansi pemerintah di daerah
hukumnya, apabila diminta.
Ditambah dengan Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006,
yang berbunyi :
Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam
penentuan awal bulan pada tahun Hijriah.
119 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022.
77
Menurut Asadurrahman, 120 hal tersebut termasuk ke dalam hak inisiatif
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam melihat Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006. Hak inisiatif DPR dalam prosedur pembentukan undang-undang
diatur secara jelas dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yakni
:
(1) Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan
rancangan undang-undang
2. Kedudukan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal pada Kesaksian Rukyat Hilal di
Indonesia
Secara yuridis isbat kesaksian rukyat hilal Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyyah terdapat pada Pasal 52A Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 yang berbunyi “Pengadilan agama memberikan istbat
kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriah.”
Berdasarkan Pasal tersebut, dapat dipahami sebagai kewenangan absolut yang
disisipkan dari Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
Kewenangannya adalah mengisbatkan kesaksian rukyat yang dilaksanakan
oleh pihak yang mumpuni dalam hal rukyat, serta berada di wilayah yuridiksi
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. Berdasarkan kenyataannya
keberlangsungan rukyat sudah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah saw.
dengan adanya hadis-hadis yang dijadikan pertimbangan oleh hakim pada
ketiga penetapan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya.
Pemerintah di Indonesia dalam pelaksanaan kesaksian rukyat hilal,
memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama dalam pasal 52A
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan penetapan awal bulan Kamariah
yang masih menjadi kewenangan Menteri Agama. Keputusan pemerintah
dalam memberikan kewenangan tersebut berdasarkan kemaslahatan, sebab
dinamika persoalan penetapan awal bulan Kamariah khususnya Ramadan,
Syawal, dan Zulhijah baik perihal hasil rukyat, hisab atau hal lain yang
berkaitan. Menyatukan pendapat perihal penentuan awal bulan yang sangat
120 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022.
78
krusial tersebut merupakan upaya mewujudkan persatuan umat Islam dalam
beribadah sehingga terciptanya persatuan umat, dan penuh rasa toleransi dan
berkesinambungan dalam kehidupan, hal tersebut sesuai dengan kaidah:
ي رفع الالف و إلزام حكم احلاكم
Artinya: “Keputusan pemerintah adalah mengikat, dan
menghilangkan silang pendapat.”
Keutamaan Isbat (penetapan) Pemerintah dinilai perlu karena beberapa
hal berikut :121
1. Isbat diperlukan untuk mendapatkan keabsahan
2. Isbat diperlukan untuk mencegah kerancuan dan keraguan sistem
pelaporan.
3. Isbat diperlukan untuk penyatuan umat dan menghilangkan perbedaan
pendapat.
Penetapan awal bulan Kamariah yang berasal dari Menteri Agama
perlu memiliki dasar yang kuat, agar dapat menghilangkan perselisihan
pendapat dan bertujuan untuk kemaslahatan umat. Sesuai dengan kaidah:
تصرف اإلمام على الرعية منوط ابملصلحة
Artinya: “Kebijakan seorang pemimpin atas rukyat harus berdasarkan
kemaslahatan.”
Dasar dalam penetapan secara Nasional oleh Menteri Agama, isbat
rukyat hilal oleh Pengadilan Agama dijadikan dasar dalam penetapannya. Hal
tersebut berdasar kepada:122
a. Data hisab dan hasil rukyat sebagai masukan
b. Ditetapkan dalam sidang isbat
121 Ephemeris Hisab Rukyat 2021, h. 401 122 Ephemeris Hisab Rukyat 2021, h. 400
79
c. Rukyat dilaksanakan oleh Pengawai Kementerian Agama, Kanwil
Kementerian Agama, Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota,
instansi terkait, Ormas Islam dan masyarakat luas.
d. Isbat rukyat hilal yang dilaksanakan oleh hakim Pengadilan Tingi
Agama/ Pengadilan Agama.
Isbat kesaksian rukyat hilal Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah menjadi konsiderans keputusan Menteri Agama dalam menetapkan
awal bulan Kamariah.123 Tidak semua isbat kesaksian rukyat hilal Pengadilan
Agama dapat digunakan sebagai konsiderans penetapan awal bulan Kamariah
oleh Menteri Agama, namun pada umumnya mempengaruhi penetapan
Sidang Isbat yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama jika laporan rukyat
ditetapkan dan permohonannya dikabulkan oleh Pengadilan Agama. Contoh
konkret dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia (KMA) Nomor
269 Tahun 2016 tentang Penetapan Tanggal 1 Ramadan 1437 H, hanya ada 2
penetapan yang terdapat pada penelitian ini serta beberapa penetapan
Pengadilan Agama yang digunakan. Penetapan yang digunakan adalah
penetapan yang memenuhi faktor penerimaan rukyat hilal, sesuai dengan
kriteria yang disepakati pemerintah, serta data hisab yang dihimpun oleh Tim
Hisab Rukyat Kementerian Agama dan Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama.
Pelaksanaan rukyat beberapa yang tidak dimasukkan ke dalam
perkara, sehingga isbat kesaksiannya tidak dimasukkan ke dalam perkara
penetapan oleh Pengadilan Agama. Pada Masjid Raya K.H. Hasyim Asy’ari,
Jakarta Barat yang menjadi wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta
Barat pelaksanaannya tidak dimasukkan ke dalam perkara permohonan yang
ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama. Kementerian Agama setempat
hanya memberikan surat berbentuk undangan menjadi hakim sumpah. Tugas
hakim pada pelaksanaan tersebut berbeda dengan tugas hakim jika
pelaksanaan rukyat dimasukkan ke dalam perkara permohonan. Tugasnya
123 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022.
80
dalam hal ini adalah menyumpah dan menjadi tenaga ahli, serta tidak perlu
memberikan penetapan seperti halnya jika dimasukkan ke dalam perkara
permohonan, dan hal tersebut berbeda dengan Pedoman Tata Cara
Pelaksanaan Itsbat Rukyat Hilal yang diterbitkan oleh Direktorat Pratalak
Perdata Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah
Agung RI. Hal tersebut pada praktiknya tetap dapat menjadi konsiderans
penetapan Isbat secara Nasional oleh Menteri Agama.
Jika pelaksanaan rukyat dimasukkan ke dalam perkara permohonan
pada Pengadilan Agama, maka haruslah sesuai dengan proses berjalannya
perkara penetapan pada umumnya. Permohonan diajukan dengan surat
permohonan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama sesuai dengan
lokasi dilaksanakannya rukyat hilal, permohonan didaftarkan ke dalam buku
register perkara dan diberi nomor urut, proses pemeriksaan permohonan
dilaksanakan secara ex-parte yang bersifat sederhana yaikni mendengar
keterangan pemohon, dan hal lain yang tertera pada penjelasan sebelumnya,
selanjutnya perkara ditetapkan setelah hakim melaksanakan pemeriksaan.
Seperti yang diketahui oleh sebagian masyarakat, bahwasannya
Hakim Pengadilan Agama hanya menyumpah syahid/perukyat saja, namun
seperti apa yang tertera pada buku Almanak Hisab Rukyat, perlu diteliti secara
detail dan mendalam serta dipertegas perihal kesamaan antara laporan rukyat
serta hisab yang sudah diteliti oleh pihak yang berwenang124, seperti waktu
pelaksanaan rukyat, lalu apakah hilal muncul bersamaan dengan waktu
maghrib, sesudah atau sebelumnya, serta letak dimana posisi hilal, apakah
sejajar dengan matahari atau sebelah Utara atau Selatan.125 Dapat disimpulkan
bahwa, tugas hakim selain menyumpah yakni memeriksa dan memverifikasi
data-data yang ada dengan pelaksanaan rukyat.
Pada penetapan Nomor. 1/Itsb.R.H./2016/PA.Gs dan Nomor.
121/Pdt.P/2016/PA.Bjn dipaparkan bahwa hakim memeriksa laporan para
124 Kementerian Agama cq. Badan Hisab Rukyat dan Direktorat Jenderal Peradilan Agama. 125 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022.
81
perukyat/syahid dengan mengajukan pertanyaan kepada perukyat/syahid
bagaimana yang bersangkutan melihat hilal, dan hakim juga meneliti serta
memverifikasi titik koordinat hilal yang dilihat beserta data-data yang telah
diberikan. Hakim menyumpah perukyat/syahid yang pada proses
pemeriksaan ia menjelaskan pada pukul berapa melihat hilal, dan hal lainnya
yang terjadi di lapangan. Kedua penetapan ini menjadi konsiderans Menteri
Agama dalam menetapkan awal bulan ramadan 1437 H dengan Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia (KMA) nomor 269 Tahun 2016 tentang
Penetapan Tanggal 1 Ramadan 1437 H. Sedangkan penetapan Nomor.
01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd yang pada saat pemeriksaan sidang para
perukyat/syahid tidak berhasil melihat hilal karena masalah cuaca mendung
serta tertutup awan, tidak dijadikan konsidernas Menteri Agama.
82
BAB V
KESIMPULAN A. Kesimpulan
Kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan adalah :
Kebijakan pemerintah menyoal upaya penyatuan dalam penetapan awal
bulan Kamariah yang memberikan kewenangan kepada Menteri Agama dan
penetapan Menteri Agama yang salah satunya berdasar kepada Isbat Kesaksian
Rukyat oleh Pengadilan Agama dalam hal ini sejalan dengan kaidah fikih:
تصرف اإلمام على الرعية منوط ابملصلحة
Artinya: “Kebijakan seorang pemimpin atas rukyat harus berdasarkan
kemaslahatan.”
Selanjutnya, perihal Penetapan yang berasal dari Menteri Agama perlu
memiliki dasar yang kuat, agar dapat menghilangkan perselisihan pendapat
dan bertujuan untuk kemaslahatan umat. Sesuai dengan kaidah:
ي رفع الالف و إلزام حكم احلاكم
Artinya: “Keputusan pemerintah adalah mengikat, dan
menghilangkan silang pendapat.”
Isbat Pengadilan Agama dalam kesaksian rukyatul hilal di Indonesia
merupakan bentuk pelaksanaan tugas bagi Mahkamah Agung beserta
jajarannya yang termaktub pada Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun
2006. Pengadilan Agama tidak berwenang dalam menetapkan kapan awal
bulan Kamariah, melainkan hanya memberikan isbat dan memeriksa kesaksian
perukyat/syahid melihat hilal. Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006
tidak bisa dipisahkan dengan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989,
terkait dengan pertimbangan, pendapat, keterangan, apabila diminta. Isbat
kesaksian ini dijadikan sebagai konsiderans oleh Menteri Agama dalam
memberikan penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, Zulhijah secara
nasional.
83
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan serta dianalisa,
penulis menyampaikan saran yakni :
Pertimbangan hakim perlu didasari oleh pengetahuan terbaru, sehingga
tidak terjadi kembali hal-hal yang membuat penetapan isbat kesaksian rukyat
hilal dijadikan pertimbangan dalam siding Isbat secara Nasional. Pada
pelaksanaan tugas diharap agar selalu membawa surat edaran yang telah
diberikan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, serta ditulis secara
rinci pada pertimbangan penetapan yang diberikan.
Penulis berharap agar pelaksanaan rukyat dikembangkan sehingga dapat
mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan terutama human eror.
84
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Al-Qur'an dan Terjemahan Kementerian Agama
Ahmad, T. Mahmud, Ilmu Falak, Banda Aceh: PeNA Banda Aceh, 2013.
Al-Juzairi, Abdurrahman, Fiqh Empat Madzhab, Terj. Chatibul Umam, Abu
Hurairah, Jakarta: Darul Ulum Press, 1996.
Amhar, Fahmi, Seputar Hisab dan Rukyat 1427 H. Bandung: Suara Islam, Minggu
I-II Oktober, 2006.
Amin, Rahman, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana dan Perdata, Sleman:
Deepublish, 2020.
Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Hisab dan Rukyat.
Ciputat: Gaung Persada, 2012.
Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Departmen Agama RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan),
Jakarta: Departemen Agama RI.
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama. Selayang Pandang Hisab Rukyat. Jakarta:
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggara Haji,
2004.
Efendi, Jonaedi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Jakarta: Prenadamedia Grup, 2016.
Ephemeris Hisab Rukyat 2021, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam,
Kementerian Agama.
Ernawati, Hukum Acara Peradilan Agama, Depok: Rajagrafindo Persada, 2020.
Hosen, Ibrahim, Tinjauan Hukum Islam terhadap penetapan Awal Bulan Ramadan,
Syawal dan Dzulhijjah, Jakarta, DITJEN BIMAS Islam dan
Penyelenggaraan Haji, 2004.
Izzudin, Ahmad Izzudin, FIQIH HISAB RUKYAH Menyatukan NU dan
Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul
Adha, Jakarta: Erlangga, 2007.
85
K, Taufiqurrahman, Ilmu Falak & Tinjauan Matlak Global, Yogyakarta: MPKSDI,
2010.
Karim, Abdul dan M. Rifa Jamaluddin Nasir., Mengenal Ilmu Falak (Teori dan
Implementasi), Yogyakarta: Qudsi Media, 2012.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 1, Ciputat: Lentera Hati, 2007.
Madani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, Jakarta:
Sinar Grafika, 2009.
Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Buku II Edisi
Revisi: Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama.
Jakarta: Dit. Badilag MARI., 2013.
Marpaung, Watni, Pengantar Ilmu Falak, Jakarta: Kencana, 2015.
Mujahidin, Ahmad, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1997.
Saksono, Tono, Mengkrompomikan Rukyat dan Hisab, Jakarta, Amythas Publicita
dan Center for Islamic Studies, 2007.
Taufiq, Mekanisme Penentuan Awal Bulan Ramadan dan Syawal, Jakarta: DITJEN
BIMAS Islam dan Penyelenggaraan Haji 2004.
Yusuf, A. Muri, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan, Jakarta: Kencana, 2017.
Zulkarnaen, Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia,
Bandung: Pustaka Setia, 2017.
Zulkarnain, “Hukum Kompetensi Peradilan Agama : Pergeseran Kompetensi
Peradilan Agama dalam Hukum Positif di Indonesia”, Jakarta: Kencana,
2021.
ARTIKEL DAN SKRIPSI
Arifin, Jaenal, “Dialektika Hubungan Ilmu Falak dan Penentuan Awal Ramadan,
Syawal, Dzulhijjah di Indonesia (Sinergi Antara Independensi Ilmuwan
dan Otoritas Negara)”, Jurnal penelitian, Volume 13, No. 1. Februari 2019.
86
Arkanuddin, Mutoha, Muh. Ma’rufin Sudibyo, Kriteria Hilal Rukyatul Hilal
Indonesia (RHI) (Konsep, Kriteria, dan Implementasi), Jurnal Al-Marshad,
Volume 1, No. 1. Juni 2015.
Darajat, Muhammad Syamsu Alam, Analisis Isbat Kesaksian Rukyatul Hilal dalam
Menentukan Tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawal 1438 H/2017 M Menurut
Pasal 52a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama (Studi Pelaksanaan di Balai Rukyat NU Bukit Condrodipo Gresik),
Skripsi Universitas Muhammadiyah Malang, 2018.
Djamaluddin, Thomas. “Visibilitas Hilal di Indonesia”. Warta Lapan, vol. 2, No.
4, Oktober-Desember. [t.tp.] LAPAN, 2000.
Djamaluddin, Thomas. 2005. Menggagas Fiqh Astronomi [Telaah Hisab-Rukyat
dan Pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya]. Bandung Kaki Langit.
Fadholi, Ahmad. Sidang Isbat, Urgensi dan Dinamikanya, Jurnal Ilmu Syari’ah dan
Perbankan Islam Tahun 2019 di IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka
Belitung.
Firdawaty, Linda, “Analisis Terhadap UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Peradilan Agama”, Jurnal Al-‘Adalah, Voume X,
No. 2, Juli 2011.
Husaeni, Muh. Irfan. 2013. Menyoal Kewenangan Penetapan Itsbat Rukyat Hilal
(Pasal 52A UU Nomor 3 Tahun 2006). Jurnal Badilag Mahkamah Agung.
Nufus, Khaerun, Sidang Isbat Penetuan Awal Bulan Kamariah Perspektif Hukum
Islam, Jurnal INKLUSIF, Volume 3, No. 1. Juni 2018.
Sado, Arino Bemi, Imkan al-Rukyat MABIMS Solusi Penyeragaman Kalender
Hijriah, Jurnal (Istinbath) Hukum Islam, Volume 13, No. 1. Juni 2014.
Santoso, Eko Heri, “Sidang Itsbat Rukyatul Hilal Berdasar Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (Studi Penetapan
Pengadilan Agama Gresik Nomor: 01/Itsbat.RH/2008/ PA.GS)”, Skripsi
Universitas Jember, 2012.
87
Soderi, Ridhokimura dan Ahmad Izuddin, Kajian Faktor Psikologi yang
Berpotensi Mempengaruhi Keberhasilan Rukyat, Jurnal Ilmiah Syari’ah,
Volume 19, No. 1. Januari 2020.
Suhardiman, Fikih Hisab Rukyat (Peran Badan Hisab Rukyat terhadap Dinamika
dalam Penentuan Awal Bulan Kamariah di Indonesia), Jurnal at-Turats
(Jurnal Pemikiran Pendidikan Islam), Volume 12, No. 1. 2018.
PERATURAN-PERATURAN
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 269 Tahun 2016 tentang
Penetapan Tanggal 1 Ramadan 1437 H.
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 335 Tahun 1989 Tentang
Uraian Tugas dan Pekerjaan Ditjen Bimbingan Islam tanggal 28 Desember
1989.
Surat Ditjen Badilag Nomor 249/DJA.4/OT.01.1/VII/2013 tertanggal 3 Juli 20013
Tentang Rukyat Awal Ramadan Syawal dan Zulhijah 1434 H.
Surat Penetapan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/095/X/2006
Tertanggal 17 Oktober 2006 Tentang Sidang Itsbat Kesaksian Rukyatul
Hilal.
Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
DOKUMEN-DOKUMEN
Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Isbat Rukyat Hilal, Direktorat Pratalak Perdata
Agama, Direktorat Jenderal Peradilan Agama, Mahkamah Agung.
Penetapan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor 121/Pdt.P/2016/PA.Bjn tentang
Isbat Rukyatul Hilal Awal Ramadan 1437 H.
88
Penetapan Pengadilan Agama Cibadak Nomor 01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd tentang
Isbat Rukyatul Hilal Awal Ramadan 1437 H.
Penetapan Pengadilan Agama Gresik Nomor 1/Itsb.R.H./2016/PA.Gs tentang Isbat
Rukyatul Hilal Awal Ramadan 1437 H.
WEBSITE
https://www.saplaw.top/pendekatan-perundang-undangan-statute-approachdalam-
penelitian hukum/, diakses pada tanggal 17 April 2022, pukul 08.08 WIB.
89
LAMPIRAN
Nama : Dr. Asadurrahman, S.H., M.H.
Jabatan : Hakim
Waktu : 12 maret 2022
Apa yang melatarbelakangi lahirnya Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ada berdasarkan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang
tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999. Kemudian setelah Reformasi pada tahun 2004 ada Undang-
Undang terdapat perubahan yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang
mencabut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Sementara Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 masih menyangkut pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970, dengan semua itu maka berubahlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, hal tersebut hak inisiatif DPR.
Mengapa demikian, saya juga kurang tahu karena belum pernah penelitian ke sana.
Yang jelas hal tersebut inisiatif DPR, maunya DPR waktu itu semuanya itu
Mahkamah Agung yang memutuskan termasuk penetapan 1 Ramadan dan 1
Syawal, semuanya. Karena di Luar Negeri termasuk Arab Saudi juga Mahkamah
Agung semuanya. Namun berdasarkan rekomendasi Musyawarah Kerja (MUKER)
sebelum tahun 2006, ada permintaan dari peserta muker/ ormas-ormas agar itu tetap
yang menetapkan adalah Menteri Agama. Akhirnya Menteri agama mentapkan itu
dalam penjelasan Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 itu yang
menetapkan secara Nasional, mengapa secara Nasional? Karena Kementerian
Agama itu bukan otonomi daerah. Ada 5 kementerian yang bukan otonomi daerah
kehakiman, kemenag, dan lain-lain.
Apa saja yang menjadi faktor penerimaan dan penolakan pada Isbat
Kesaksian Rukyat Hilal?
Penolakan pada Tahun 1993, pernah ada laporan rukyat itu, sudah ada laporan
rukyat tapi ditolak, karena laporan rukyat itu kalo gak salah dari Bekasi ya, itu
didasarkan pada Hisab Haqiqi Taqribi. Hisab itu, dianggap tidak mu’tabar, dalam
SK isbatnya tidak mu’tabar. Contohnya begini, di perhitungan itu untuk tahun 1992
M/1412 H, 1993 M/1413 H, 1994 M/1414 H itu ijtimaknya sesudah zuhur semua.
Pada saat maghrib sesudah ijtima itu sudah 2° lebih menurut Hisab Haqiqi Taqribi,
tapi menurut yang Hisab Haqiqi Tahqiqi atau yang kontemporer yang ijtimaknya
sama-sama sesudah zuhur juga itu masih -2° dibawah ufuk, makanya yangg tadi
disebut tidak mu’tabar. Tidak mu’tabar itu tahun 1992-1994, dan yang masuk di
dalam SK Isbat itu hanya tahun 1993.
Penolakan pada Tahun 1998, rukyat dari Cakung dan Bawean. Di Bawean 0°30'
belum 1°, di Cakung sekitar 0°45', di Aceh saja itu baru 1°45. Penolakan yang
terjadi pada tahun ini, untuk penetapan awal Syawal 1418 H itu dengan alasan
belum imkaanurrukyah, baru pertama kali rukyat di tolak karena belum
imkaanurrukyah. Ada dalam SK Isbat, pedomannya di ambil dari kitab Khulashoh
Wafiyah bunyinya begini : fawujudul hilali ghoiru mu’tabarin syar’an fii itsbaatil
syahri hukmi illa idza utsbita ‘indal hakim. Hakim tidak menetapkan oleh karena
itu ditolak.
Sebabnya diterima ada perbedaan
Sebelum ada Badan Hisab Rukyat, semua hisab yang dilaporkannya adalah Hisab
Taqribi, setelah lahir Badan Hisab Rukyat itu ada perimbangan antara Hisab Haqiqi
Tahqiqi atau kontemporer menyeimbangi Hisab Haqiqi Taqribi. Lama kelamaan
mulai tahun 1992 itu sudah mulai dominan yang Haqiqi Tahqiqi, sementara yang
Haqiqi Taqribi hanya sebagai pendamping.
Kalau dulu sebab diterima ya disumpah oleh hakim, sebelum tahun 90-an lah. Waah
sudah disumpah, akhirnya diterima, padahal tingginya hilal belum diketahui atau
mungkin masih minus, tetapi karena disumpah maka diterima saja begitu.
Yang di atas tadi semuanya termaktub pada SK, jadi jelas diketahui mengapa
ditolaknya sedangkan pada tahun 2011 tidak dimasukkan ke dalam SK sehingga
tidak jelas apa alasan ditolaknya.
Maksud dari kata Hakim dalam kitab-kitab fikih bermakna Hakim
(Pengadilan) atau Pemerintah?
Ada yang bahasanya hakim, ada yang bahasanya qadhi. Kalau hakim biasanya
pemerintah tetapi bisa juga pengadilan, tetapi kalau qadhi itu pengadilan. Kalau
yang di kitab sifatnya lokal, hanya satu wilayah kabupaten atau kotamadya. Kalau
di Indonesia itu dia tetap menetapkan atau menerima kesaksiannya tetapi dia tidak
menetapkan, besok awal puasa, besok akhir puasa, tidak. Karena itu hanya
melaksanakan tugas dan penetapannya ada di secara Nasional.
Bagaimana Kewenangan Isbat Rukyat Hilal pada penetuan awal bulan
Kamariah sebagaimana amanat Pasal 52A UU Nomor 3 Tahun 2006?
Sebenarnya sudah direvisi tentang tata cara termasuk isbat. Jadi karena tugasnya
yang ada di Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah mengisbatkan
kesaksian rukyat, hanya memeriksa betul tidak rukyatnya, bagaimana meriksanya?
Yang ada di kementerian agama sejak ada buku almanak hisab rukyat itu teliti sudah
betul. Misalnya rukyatnya jam berapa, sudah maghrib belum, masih ada ga waktu
ngelihatnya? Jangan-jangan sudah terbenam dia ngaku ngeliat. Terus, sebelah mana
matahari itu yang dilihat apakah berjurusan dengan matahari atau agak miring ke
kanan atau ke kiri utara atau selatan, dan ternyata ulama-ulama terdahulu sudah
memberi petunjuk tentang memeriksa kesaksian rukyat.
Kalau dulu kan zaman Nabi, lapor ya Rasulullah saya sudah melihat hilal, cukup
dan disumpah dengan nama Allah dan Rasul. Tapi dalam kitab al-khulashoh al-
wafiyah disebutkan oleh ar Royani (Hakim) : dan lain-lain , mengibaratkan ar
Royani dan sifat penyaksian (syahadah) pemberian keterangan/ pemberian
kesaksian adalah ataquulu saya melihat di sebelah barat, artinya si saksi yang
melihat itu dia memberikan keterangan seperti itu, artinya ada pertanyaan kan.
Dimana kamu melihatnya? Fi nahiyatil maghrib di arah sebelah barat, wa bizikri
wa yazburu shighorohu dan lihat kecilnya atau bentuknya, wa kibarohu besarnya,
wa tadzwirahu bulatannya, wataqdirahu ukurannya. Wa annahu hiidzai syamsyi dan
dia berjurusan dengan matahari, aw fii janibi atau di sebelahnya, kanan sebelah
utara atau selatan, itu ada. Wa annazhorohu ilal janub, punggungnya itu menghadap
ke selatan atau ke utara, di sekitar itu mendung atau tidak mendung, itu termasuk
keterangan-keterangan yang diberikan oleh orang yang mengaku melihat hilal.
Kenapa kalau zaman nabi cukup dengan sumpah, sementara sekarang ini sangat
detail sekali itu dalam kitab iqadzunniyam habib usman bin yahya, terdapat
keterangan seperti ini sekarang ini, banyak orang berani bohong maka dari itu perlu
diperiksa secara teliti, kalau zaman nabi orang tidak berani berbohong.
Bagaimana prosedur pengajuan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal di Pengadilan
Agama?
Sebetulnya sama dengan penetapan biasa pada PA, tetapi banyak yang cuek.
Misalnya ada permohonan, permohonan itu diberi nomor baik nomor perdata pada
umumnya atau perdata khusus. Artinya pada umumnya sama, tetapi banyak yang
kurang perhatian. Di Jawa Timur agak peduli, kemenag mengajukan surat ke PA
setempat minta ada hakim yang datang ke lokasi rukyat tapi ada juga yang pakai
surat umum. Di Jombang, ada juga yang dari kemenag dan pesantren. Pesantren itu
ada laporan rukyat.
Sejauhmana kekuatan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal Pengadilan Agama
mempengaruhi keputusan Menteri Agama dalam memutus awal bulan
Kamariah?
Pada umumnya mempengaruhi ketika, rukyat itu tidak di tolak. Jika ditolak ini tidak
memberikan pengaruh, artinya rukyatnya di tolak di Pengadilan Agama itu
ditetapkan diterima tetapi ketika masuk di sidang isbat itu di tolak. Kenapa ditolak?
Karena seperti yang 2011 M/1432 H, itu di tolak karena hakim yang melakukan
pemeriksaan atas laporan rukyat tidak berdasarkan pengetahuan yang baru. Hakim
itu mungkin ke tempat rukyat hanya membawa surat tugas, ia tidak membawa surat
edaran dari Dirjen BADILAG. Bawa surat tugas ada laporan padahal itu taqribi dia
periksa sumpah tetapi itu ditolak di sidang isbat pada dasarnya hal itu tidak
imkaanurrukyah. Kenapa ditolak itu alasanya, kemudian hakim Pengadilan Agama
Jakarta Timur yang menerima laporan rukyat itu ukan berarti jika diterima besok
itu sudah wajib puasa, itu hanya menerima laporan kesaksiannya. Sementara untuk
penetapan puasa tetap diberikan oleh Menteri Agama.
Hakim yang menetapkan harus berdasarkan hal yang baru, yakni tinggi hilal 2°,
elongasi 3° dan umur bulan 8 jam. Sebetulnya sudah diingatkan oleh as-Subki dari
jauh-jauh hari : alangkah herannya kepada hakim karena sebab keteledorannya,
ngawur, mereka sembarangan menerima kesaksian rukyat padahal, ma’a adami
wujudil hilal padahal tsaat itu hilal belum wujud, fadlan ‘an imkaanirrukyah. Apa
yang terjadi? Seperti tahun 1998 di Jayapura, semuanya ngaku melihat hilal, waktu
itu saya bilang coba mereka telpon saya. Saya tanya pak matahari terbenam 18.06
bulan terbenam 18.03, ketika bulan terbenam matahari masih di atas. Bagaimana
mungkin bapak bisa melihat sementara matahari masih di atas? Tidak sedikit yang
datang ke lokasi rukyat, mau isbat tapi hanya bawa surat tugas dan dia lupa surat
edarannya, padahal dari dulu selalu ada surat edaran, baik ketika Pengadilan Agama
itu belum satu atap dengan Mahkamah Agung maupun setelah satu atap, selalu ada
surat edaran menjelang Ramadan tentang pedoman yang harus diperhatikan seperti
perkembangan ilmu pengetahuan, kesepakatan dan sebagainya.
Jika tidak ada penetapan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal oleh Pengadilan
Agama, apakah Penetapan awal bulan Kamariah dapat dilaksanakan?
Di seluruh Indonesia misalnya tidak ada laporan kesaksian rukyat hilal, tetapi
menurut hisab di seluruh Indonesia sudah Imkaanurrukyah, hal ini pernah terjadi di
tahun 1987. Ketika menetapkan awal Ramadan pada tanggal 27 atau 28 ketika
sidang isbat tidak ada laporan Isbat dari Papua sampai Aceh, tetapi ditetapkan awal
bulan Kamariah oleh Pak Munawwir karena sudah imkaaanurrukyah, NU tidak ikut
karena NU pakai Rukyat makanya NU Istikmal. Pertama kali menggunakan hisab
yang sudah imkan untuk metepakan awal bulan. Yang kedua itu saat Zulhijah tahun
1999 itu sudah imkan, tetapi tidak ada laporan rukyat akhirnya menetapkannya
berdasarkan hari-hari libur, dan didasarkan pada imkanurrukyat dan sk hari-hari
libur.
Bagaimana Mahkamah Agung dan Kementerian Agama melihat Isbat
Kesaksian Rukyat Hilal Pengadilan Agama?
Kalo Kementerian Agama pada umumnya rukyat yang diterima atau menjadi
konsideran keputusan menteri adalah rukyat yang diisbatkan oleh Peradilan Agama.
Mahkamah Agung melihat isbat Pengadilan Agama itu dalam rangka melaksanakan
tugas Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006. Ingat Pengadilan Agama
tidak menetapkan, Pengadilan Agama hanya memeriksa isbat. Pasal 52A Undang-
Undang Nomor 3 tahun 2006 tidak bisa dipisahkan dengan Pasal 52 Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1989, disitu terkait dengan pertimbangan, pendapat,
keterangan, apabila diminta. Karena bagaimana pun itu tugas Pengadilan Agama,
dan penetapan nasionalnya adalah tugas Menteri Agama.
Pasal 52A itu bukan seperti penetapan hakim-hakim dalam kitab-kitab fikih, jadi
semacam pertimbangan, pemberian keterangan bahwasannya hakim ini sudah
menyumpah keputusan ada di tangan menteri. Karena Menteri Agama yang
berwenang menetapkan, maka hakim sekedar memberikan pertimbangan. Hanya
saja, pertimbangannya berupa penetapan. Sementara pertimbangan atau keterangan
tentang arah kiblat dan awal waktu salat, tidak berupa penetapan.
Apakah hakim yang menetapkan harus memiliki keilmuan yang mendalam
pada Ilmu Falak?
Sebetulnya hakim tidak harus tahu detailnya, karena itu bukan tugas pokok hakim
tetapi tugas lain. Artinya dia tidak harus ahli dan tahu detail, tapi sekedar tahu yang
diperlukan. Misalnya jam berapa matahari terbenam, hilal berapa derajat, dari saat
matahari terbenam atau hilal terbenam, matahari di mana hilal dimana utara atau
selatan. Dan data itu sudah dikirim Dirjen badilag ke seluruh Pengadilan Agama
tentang data-data hilal mencakup elongasi, dan sebagainya.