KEDUDUKAN ISBAT PENGADILAN AGAMA DALAM ...

113
KEDUDUKAN ISBAT PENGADILAN AGAMA DALAM KESAKSIAN RUKYATUL HILAL DI INDONESIA (STUDI ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Anggit Nilam Cahya 11180440000051 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1443 H/ 2022 M

Transcript of KEDUDUKAN ISBAT PENGADILAN AGAMA DALAM ...

KEDUDUKAN ISBAT PENGADILAN AGAMA

DALAM KESAKSIAN RUKYATUL HILAL DI INDONESIA (STUDI ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Anggit Nilam Cahya

11180440000051

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1443 H/ 2022 M

i

KEDUDUKAN ISBAT PENGADILAN AGAMA

DALAM KESAKSIAN RUKYATUL HILAL DI INDONESIA(STUDI ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA)

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBINGSkripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

ANGGIT NILAM CAHYA

NIM : 11180440000051

Dibawah Bimbingan

17- 4-2022

Dr. Maskufa, M.A

NIP. 196807031994032002

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

ii

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini. Saya :

Nama Lengkap : Anggit Nilam Cahya

NIM : 11180440000051

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 16 Oktober 1998

Prodi/Fakultas : Hukum Keluarga/ Fakultas Syariah dan Hukum

Alamat : Kp. Sawah, No. 9, Desa Ragajaya, Kecamatan

Bojonggede, Kabupaten Bogor, 16920

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S-1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia untuk menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 18 April 2022

Anggit Nilam Cahya

NIM.11180440000051

iv

ABSTRAK

Anggit Nilam Cahya. NIM 11180440000051. KEDUDUKAN ISBAT PENGADILAN AGAMA DALAM KESAKSIAN RUKYATUL HILAL DI INDONESIA (Studi Analisis Penetapan Pengadilan Agama). Program Studi Hukum Keluarga, fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1433 H/ 2022 M.

Isbat kesaksian rukyat hilal menjadi perbincangan, urgensi isbat rukyat hilal oleh Pengadilan Agama sedang penetapan awal bulan Kamariah ditetapkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia. Peneltian ini bertujuan untuk menganalisa Kedudukan Isbat Pengadilan Agama dalam Kesaksian Rukyatul Hilal di Indonesia seperti yang terkandung pada Pasal 52A UU Nomor 3 Tahun 2006. Sumber data dalam penelitian ini UU Nomor 3 Tahun 2006, Penetapan Pengadilan Agama Nomor.01/Itsb.R.H./2016/PA. Gs, Nomor.121/Pdt.P/2016/PA.Bjn, dan Nomor. 01/Itsbat.R.H/2016/PA.Cbd. Adapun jenis penelitiannya adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Penetapan Nomor. 01/Itsb.R.H./2016/PA. Gs, dan Nomor. 121/Pdt.P/2016/PA.Bjn yang pada amarnya dikabulkan permohonannya memiliki kewenangan sebagai bahan pertimbangan Menteri Agama dalam menetapkan awal bulan Kamariah, sedang Penetapan Nomor. 01/Itsbat.R.H/2016/PA.Cbd yang pada amarnya tidak dikabulkan permohonannya tidak memiliki kewenangan dalam hal tersebut.. Prosedur isbat rukyat hilal pada Pengadilan Agama tertera pada Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Itsbat Rukyat Hilal serta dilakukan seperti halnya permohonan pada umumnya, perbedaannya hanya menggunakan hakim tunggal. Faktor-faktor penerimaan isbat rukyatul hilal pengadilan agama memenuhi kriteria yang disepakati, dan berdasarkan pengetahuan yang terbaru (mu’tabar), serta perukyat/syahid yang telah melihat hilal serta diisbatkan kesaksiannya oleh hakim Pengadilan Agama. Isbat Pengadilan Agama dalam hal ini merupakan wujud pelaksanaan tugas bagi Mahkamah Agung beserta jajarannya yang termaktub pada pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006. Pengadilan Agama tidak berwenang dalam menetapkan kapan awal bulan Kamariah, melainkan hanya memberikan isbat kesaksian rukyat hilal.

Kata Kunci : Isbat Rukyat Hilal, Kewenangan Pengadilan Agama

Pembimbing : Dr. Hj. Maskufa, M.A.

Daftar Pustaka : 1996 s.d 2021.

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi merupakan aksara dari tulisan bahasa asing (terutama Arab) ke

dalam tulisan latin. Dalam skripsi, tesis, dan disertasi yang meneliti bidang

keagamaan (baca: Islam), alih aksara atau transliterasi, adalah sebuah keniscayaan.

Demi menjaga konsistensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara dalam

penulisan penting diberikan.

a. Pedoman Aksara

Padanan daftar aksara Arab dalam aksara latin :

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan Tidak dilambangkan ا

b Be ب

t Te ت

ts te dan es ث

j Je ج

h h dengan garis bawah ح

kh ka dan ha خ

d De د

dz de dan zet ذ

r Er ر

z Zet ز

s Es س

sy es dan ya ش

s es dengan garis di bawah ص

d de dengan garis di bawah ض

t te dengan garis di bawah ط

vi

z zet dengan garis bawah ظ

koma terbalik di atas hadap ‘ ع

kanan

gh ge dan ha غ

f Ef ف

q Ki ق

k Ka ك

l El ل

m Em م

n En ن

w We و

h Ha ھ

Apostrof ` ء

y Ya ي

b. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti halnya vokal pada bahasa Indonesia,

terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

Ketentuan alih aksara vokal tunggal, adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ــ A Fathah ـ

ــ I Kasrah ـ

ــ U Dammah ـ

Untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

vii

ai a dan i ـــ ي

و ـــ au a dan u

c. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dengan topi di atas ــا

ي ــ î i dengan topi di atas

û u dengan topi di atas ــو

d. Kata Sandang

Dalam sistem aksara Arab kata sandang, dilambangkan dengan huruf, yaitu

dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyah maupun

huruf kamariah. Contoh: al-rukyat bukan ar-rukyat, al-dîwân bukan ad-dîwân.

e. Tasydīd (Syaddah)

Dalam sistem tulisan Arab syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan

sebuah tanda (ـــ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yakni

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Namun, hal ini

tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata ( ورةلضرا )

tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

f. Ta Marbûtah

Dalam hal ini, jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri,

maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (lihat contoh 1). Berlaku

juga ketika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2).

viii

Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf

tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t” (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

syarî’ah شريعة 1

al-syarî’ah al-islâmiyyah الشريعة اإلسالمية 2

muqâranat al-madzhâhib مقارنة املذاهب 3

g. Huruf Kapital

Walau pada sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih

aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan

yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), guna menuliskan

permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-

lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan

huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata

sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-

Kindi bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD dapat diterapkan dalam alih aksara ini,

misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal

(bold). Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang

berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan

meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad

al-Palimbani, tidak ‘Abd al- Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak

Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

h. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)

ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-

kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di

atas:

ix

Kata Arab Alih Aksara

al-darûrah tubîhu al-mahzûrât الضرورة تبيح احملظورات

اإلسالمي االقتصاد al-iqtisād al-islâmî

usûl al-fiqh أصول الفقه

al-‘asl fi al-asyy’â’ al-ibâhah األصل يف األشياء اإلابحة

al-maslahah al-mursalah املصلحة املرسلة

x

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa

memberikan kelimpahan rahmat serta hidayah-Nya, serta berkat kuasa dan rida-

Nya yang tidak bisa diungkapkan, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat

seiring salam senantiasa haturkan kepada Nabi Muhammad saw. yang telah

membimbing umatnya dari zaman kegelapan hingga zaman terang benderang

seperti saat ini, semoga kita mendapatkan syafaatnya di akhirat kelak.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat agar dapat lulus dan

memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Hukum Keluarga,

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini penulis sembahkan kepada kedua orang tua serta keluarga yang telah

memfasilitasi pendidikan serta selalu mendukung dalam perjalanan ini, yaitu Bapak

Aris Siswanto dan Ibu Mia Sumiati, Almarhum dan Almarhumah Kakek Nenek,

serta Adik saya Abel Muhammad Gibran Dwiputro, mereka adalah alasan saya

untuk menyelesaikan studi dan menambah wawasan, serta kebaikan-kebaikan

lainnya yang tidak dapat dituliskan satu persatu.

Proses penulisan skripsi ini, tentu tidaklah mudah, terjadinya pasang surut

semangat kerap hadir, namun pada akhirnya Alhamdulillah penulis banyak

diberikan kemudahan jalan oleh Allah Swt. dan Nabi Muhammad saw. Banyak

pihak yang memberikan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung

memiliki peran penting dalam proses penulisan ini, penulis ingin menyampaikan

terima kasih kepada para pihak yang telah mendukung, kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A., selaku Rektor

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A., selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Mesraini, M.Ag., selaku ketua Program Studi Hukum Keluarga yang

mendorong semangat mahasiswa untuk menyelesaikan pendidikan Strata 1.

xi

4. Ahmad Chairul Hadi, M.A., selaku Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga

yang membantu program kerja Kaprodi dalam mendorong semangat

mahasiswa untuk menyelesaikan pendidikan Strata 1.

5. Dr. Hj. Maskufa, M.A., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang senantiasa

selalu meluangkan waktunya untuk melaksanakan bimbingan, memberikan

arahan, masukan serta nasehat ditengah kesibukannya sebagai Wakil Dekan

Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama FSH UIN Jakarta. Terima

kasih atas saran dan kritik yang membangun, semoga Ibu selalu diberikan

kesehatan oleh Allah Swt. dan senantia membalas kebaikan Ibu dengan banyak

berkah dan rahmat-Nya.

6. Drs. Ahmad Yani, M.Ag., selaku Dosen Penasihat Akademik atas bimbingan,

masukan serta motivasi yang diberikan.

7. Segenap Dosen Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, yang

telah mendidik serta memberikan ilmunya kepada penulis.

8. Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Nasional, yang telah

banyak membantu dalam mencari sumber penulisan.

9. Dr. Asadurrahman, M.H., selaku narasumber pada penelitian ini, terima kasih

banyak telah meluangkan waktu dalam kesibukannya.

10. Keluarga Besar Hukum Keluarga 2018, terkhusus KURAS HK-B 2018 yang

telah memberikan banyak cerita, serta memberikan banyak motivasi.

11. Keluarga Besar LSO Islamic Astronomy Student Council (IASC), yang banyak

memberikan banyak pengalaman lapangan dalam Ilmu Falak kepada penulis.

Terima kasih atas kesempatannya untuk mengikuti segala kegiatannya.

12. Keluarga Besar Lembaga Kajian Mahasiswa Ahwal Syakhsiyyah

(ELKAMASY), yang menambah wawasan berpikir penulis.

13. Serta kepada Gilang Akbar El-Hakam, Tasya Nabilah Herman, Nur Fadhilah

Novianti, yang selalu meluangkan waktu berdiskusi dan memberikan motivasi

begitupula Fitiriati Salamah, Sephia Nurbaiti, Putri Humaira Djufri dan

Rivaldo Alfi Nugraha.

xii

Dengan segala rasa terima kasih yang mendalam, penulis berharap semoga

Allah Swt. membalas semua kebaikan mereka dan selalu diberikan kemudahan dan

kelancaran dalam setiap urusannya.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata

sempurna, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi

pembaca.

Jakarta, 18 April 2022

Anggit Nilam Cahya

NIM.11180440000051

xiii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ....................................................................... iii

ABSTRAK ............................................................................................................. iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. v

KATA PENGANTAR ............................................................................................ x

DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................................... 5

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian .................................................. 6

D. Kajian Pustaka ............................................................................................. 7

E. Metode Penelitian...................................................................................... 10

F. Pedoman Penulisan ................................................................................... 14

G. Sistematika Pembahasan ........................................................................... 14

BAB II ISBAT RUKYAT HILAL DALAM HUKUM ISLAM DAN PRAKTIKNYA DI INDONESIA ............................................................. 16

A. Isbat (Penetapan) Rukyat Hilal ................................................................. 16

B. Isbat Rukyat Hilal dalam Hukum Islam .................................................... 27

C. Praktik Pelaksanaan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal di Indonesia .............. 33

BAB III KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA TENTANG RUKYAT HILAL DAN PENETAPAN ISBAT KESAKSIAN RUKYAT HILAL .. 41

A. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 ........................................................................................................... 41

B. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Pemeriksaan Laporan Penyaksian Hilal di Indonesia ...................................................................................... 45

C. Kewenangan Memeriksa Kesaksian Hilal menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 52A ............................................................... 46

D. Deskripsi Penetapan Pengadilan Agama tentang Isbat Kesaksian Rukyat Hilal ........................................................................................................... 47

xiv

BAB IV KEDUDUKAN ISBAT PENGADILAN AGAMA DALAM KESAKSIAN RUKYATUL HILAL DI INDONESIA ............................ 62

A. Prosedur Isbat Rukyatul Hilal di Pengadilan Agama ................................ 62

B. Dasar Pertimbangan Hakim pada Penetapan Nomor. 01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd, Nomor. 1/Itsb.R.H/2016/PA.Gs, dan Nomor. 121/Pdt.P/2016/PA.Bjn ............................................................................. 66

C. Faktor-faktor Penerimaan dan Penolakan Isbat Rukyat Hilal Pengadilan Agama ....................................................................................................... 69

D. Kedudukan Isbat Rukyatul Hilal Pengadilan Agama dalam Kesaksian Rukyat Hilal di Indonesia .......................................................................... 76

BAB V KSESIMPULAN ...................................................................................... 82

A. Kesimpulan ............................................................................................... 82

B. Saran .......................................................................................................... 83

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 84

LAMPIRAN .......................................................................................................... 89

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyatuan awal bulan Kamariah di Indonesia secara umum dan

keseluruhan masih menjadi persoalan, apalagi bila berkaitan dengan awal puasa

dan dua hari raya, Idul Fitri dan Idul Adha, dan persoalan tersebut sangat

kompleks. Persoalan dimaksud antara lain mencakup persoalan-persoalan:

rukyat, hisab, paham keagamaan, ketaatan individual/kultural-struktural, dan

kosntitusi. Purwanto dan D. W. Dawanas mengatakan bahwa penentuan hari

raya umat Islam melibatkan aspek-aspek yang bersifat kompleks seperti fikih,

sosial politik, dan ilmiah.1 Thomas Djamaluddin mengatakan bahwa masalah

penetapan awal bulan Ramadan, Idul Fitri, dan idul adha fokusnya memang

merupakan masalah ilmiah astronomis, namun dalam pelaksanaannya sering

terbentur masalah sosiologis.2

Persoalan yang dihadapi dalam penyatuan awal bulan Kamariah bukan

semata-mata persoalan rukyat dan hisab semata, melainkan terdapat juga faktor

paham keagamaan individu dan ormas keagamaan terhadap hasil pengamatan

dan perhitungannya masing-masing, dapat menjadi kendala dalam menyatukan

awal bulan Kamariah. Selain itu faktor perkembangan teknologi informasi

memberikan peluang perbedaan dengan hisab dan rukyat nasional, dan/atau

dengan keputusan Menteri Agama, apalagi jika keputusan-keputusan Menteri

Agama tidak mempunyai standar, kriteria, atau tidak menggunakan dasar yang

secara konsisten dipedomani dan dijadikan dasar pembinaan teori substantif

awal bulan Kamariah yang digunakan khususnya untuk awal-awal Ramadan,

1 Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Selayang Pandang Hisab Rukyat, (Jakarta:

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggara Haji, 2004), h. 102. 2Thomas Djamaluddin, “Visibilitas Hilal di Indonesia” Warta Lapan, vol. 2, No. 4, Oktober-

Desember ([t.tp.] LAPAN, 2000), hal 1. Lihat pula, Thomas Djamaluddin, Menggagas Fiqh Astronomi [Telaah Hisab-Rukyat dan Pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya] (Bandung Kaki Langit, 2005), hal. 57-72, dikutip dari Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang

Hisab dan Rukyat, (Ciputat, Gaung Persada, 2012), h. 1.

2

Syawal, dan Zulhijah, sehingga keputusan Menteri Agama dalam

menyelesaikan kasus yang akan dihadapi, tidak dapat diprediksi secara tepat

dan berkesinambungan, kecuali bila seluruh hisab sepakat bahwa hilal terbenam

lebih dahulu daripada matahari3

Sejak 30 Juni 2004 Peradilan Agama resmi beralih ke Mahkamah

Agung RI namun tugas hisab rukyat tetap menjadi tugas Kementerian Agama

yang tidak ikut dilimpahkan ke Mahkamah Agung. Selain itu, perpindahan

organisasi Peradilan Agama dari Departemen/Kementerian Agama secara

keseluruhan ke bawah atap Mahkamah Agung Republik Indonesia (selanjutnya

disebut MA-RI) tidak melepaskan hubungan keduanya dalam penanganan

masalah-masalah keumatan salah satunya yang berkaitan dengan hisab rukyat,

hal ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang

Kekuasaan Kehakiman, yang mencabut Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, sementara Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman ini dicabut dan

diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman. Penggantian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dengan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 menjadi dasar bagi perubahan-

perubahan undang-undang lainnya yang terkait dengan kekuasaan kehakiman,

salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama.

Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dengan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 melahirkan beberapa perubahan, salah satunya

adalah di antara Pasal 52 dan 53 disisipkan satu pasal baru yakni Pasal 52A.

Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 berbunyi "Pengadilan Agama

memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada

3 Thomas Djamaluddin, “Visibilitas Hilal di Indonesia”/,h. 3-4.

3

tahun Hijriah.”4 Pengadilan Agama hanya mengisbatkan kesaksian Rukyatul

hilal atau memberikan isbat saja. Pasal 52A tersebut menegaskan bahwa

pemberian isbat kesaksian rukyat hilal berada dalam rangkaian pelaksanaan

penentuan awal bulan Tahun Hijriah, sedangkan penjelasan pasal tersebut lebih

tegas lagi menyatakan bahwa isbat dimaksud dalam rangka penetapan tanggal

1 Ramadan dan 1 Syawal secara nasional oleh Menteri Agama.

Dalam rangka pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pasal tersebut

Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan Penetapan

Nomor: KMA/095/X/2006 tentang Penetapan Izin Sidang Isbat Kesaksian

Rukyat Hilal dengan Hakim Tungal Kepada Mahkamah Syariah Sewilayah

Hukum Provinsi NAD dan Pengadilan Agama Seluruh Indonesia, tanggal 17

Oktober 2006, yang memberikan izin sidang isbat kesaksian rukyat hilal dengan

hakim tunggal kepada Mahkamah Syarʼiyah sewilayah hukum Provinsi NAD

dan Pengadilan Agama seluruh Indonesia. Pada penjelasan Pasal 52A

disebutkan bahwa selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama

untuk memberikan penetapan (isbat) terhadap kesaksian orang yang telah

melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadan

dan awal bulan Syawal tahun Hijriah dalam rangka Menteri Agama

mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadan dan

1 (satu) Syawal.5

Kewenangan absolut Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah tersebut

sebagaimana Pasal 52A UU Nomor 3 Tahun 2006 tidak efektif. Karena dalam

praktiknya penetapan tersebut tidak mengikat dan yang berlaku secara nasional

adalah Keputusan Menteri Agama.6 Sementara Pengadilan Agama/Mahkamah

Syar’iyah tetap melakukan pemantauan di lapangan, menerima, memeriksa dan

4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama 5Muh. Irfan Husaeni, Menyoal Kewenangan Penetapan Itsbat Rukyat Hilal (Pasal 52 A UU

Nomor 3 Tahun 2006), Jurnal Badilag Mahkamah Agung Tahun 2013, h. 3. 6M. Irfan Husaeni, Menyoal Kewenangan Penetapan Itsbat Rukyat..,hal. 5.

4

menetapkan isbat rukyatul hilal. 7 Kementerian Agama juga mengklaim

berwenang menentukan awal bulan qomariah berdasarkan Penetapan

Pemerintah Nomor: 2/Um.7/Um/9/Um/1946 tentang Aturan Tentang Hari

Raya. Kewenangan tersebut semakin eksis setelah hadirnya Lembaga Rukyat

dan Hisab melalui Keputusan Menteri Agama RI No. 77 Tahun 1972. Aturan

yang berlaku selama ini pemohon dan pelapor adalah Pejabat Kantor

Kementrian Agama. Mereka mengajukan permohonan isbat kesaksian rukyat

hilal kepada MS/PA yang mewilayahi tempat pelaksanaan rukyat hilal. Akan

tetapi mereka juga yang menetukan kriteria waktu rukyatul hilal. Dan data yang

harus dipakai oleh MS/PA untuk pertimbangan membuat penetapan isbat adalah

data yang diterbitkan oleh Badan Hisab Rukyat Kementrian Agama.8

Menurut Muh. Irfan Husaeni pada praktik pelaksanaan Pasal 52A UU

Nomor 3 Tahun 2006, penetapan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah

hanya dijadikan alat pertimbangan Menteri Agama dalam mengambil

keputusan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah. Menurut pendapatnya,

memperlakukan penetapan tersebut dengan tidak semestinya dapat dianggap

sebagai contempt of court. Dalam permasalahan contempt of court ini, jika

merujuk kepada jalannya sidang isbat penetapan 1 Ramadan dan 1 Syawal yang

disiarkan langsung oleh beberapa stasiun televisi, sebelum Menteri Agama

memutuskan penetapan terlebih dahulu mendengarkan pendapat ormas Islam

dan laporan dari beberapa daerah yang telah ditentukan, termasuk penetapan

tersebut di berbagai daerah.9 Pasal 52A UU Nomor 3 Tahun 2006 menyisakan

7Surat Badilag Nomor 249/DJA.4/OT.01.1/VII/2013 tertanggal 3 Juli 20013 Tentang Rukyat

Awal Ramadan Syawal dan Zulhijah 1434 H. Ditjen Badilag menginstruksikan kepada Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Ketua Pengadilan Tinggi Agama Seluruh Indonesia dan Ketua Mahkamah Syar’iyah Kab/Kota se-Provinsi Aceh serta Ketua Pengadilan Agama Seluruh Indonesia untuk Melaksanakan Sidang Itsbat Kesaksian Rukyat Hilal pada wilayah yurisdiksi Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama masing-masing bagì perukyat yang melaporkan telah melihat hilal pada tanggal 29 bulan Syakban, 29 Ramadan dan 29 Zulkaidah. Perintah Badilag ini benar dan tepat karena yang diperiksa dalam sidang istbat hanya perukyat yang melaporkan telah melihat hilal pada tanggal tersebut di atas. Dikutip dari Muh. Irfan Husaeni, S.Ag., MSI., Menyoal Kewenangan Penetapan Itsbat Rukyat Hilal (Pasal 52 A UU Nomor 3 Tahun 2006), Jurnal Badilag Mahkamah Agung Tahun 2013.

8 M. Irfan Husaeni, Menyoal Kewenangan Penetapan Itsbat Rukyat..,h. 10. 9 M. Irfan Husaeni, Menyoal Kewenangan Penetapan Itsbat Rukyat.,hal. 4.

5

permasalahan serius terhadap Mahkamah Syariah/Pengadilan Agama yang

memiliki kewenangan dalam perkara Isbat Kesaksian Rukyat Hilal.

Pada praktiknya, pelaksanaan Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006, tidak semua hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah

memberikan isbat berbentuk penetapan, karena beberapa hanya menyumpah

perukyat saja dan tidak dimasukkan ke dalam perkara permohonan.

Studi ini penting dilakukan, atas pertimbangan latar belakang di atas,

penelitian ini menganalisis permasalahan yang ada, dan tertarik menganalisis

lebih lanjut mengenai kedudukan isbat kesaksian rukyat hilal pengadilan agama

di Indonesia khususnya dalam penentuan awal bulan Kamariah dan Hari besar

umat Islam. Penelitian atau kajian terdahulu yang membahas tentang penentuan

awal bulan Hijriah, hisab dan rukyat, dasar hukumnya, serta keunggulan

masing-masing metode telah banyak dibahas oleh para penulis terdahulu,

sehingga penelitian ini tidak membahas lagi keunggulan masing-masing

mazhab baik mazhab rukyat maupun mazhab hisab. Oleh karenanya penulis

tertarik untuk meneliti “Kedudukan Isbat Pengadilan Agama Dalam Kesaksian

Rukyatul Hilal Di Indonesia (Studi Analisis Penetapan Pengadilan Agama)”.

Adapun penetapan Pengadilan Agama yang akan dianalisa adalah sebagai

berikut; Nomor. 01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd, Nomor. 1/Itsb.R.H./2016/PA.Gs

dan Nomor.121/Pdt.P/2016/PA.Bjn tentang Penetapan Isbat Kesaksian Rukyat

Hilal.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah adalah beberapa permasalahan yang berkaitan

dengan tema yang dibahas, permasalahan yang muncul dalam latar belakang

di atas adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam sejarah Peradilan

Islam di Indonesia?

b. Bagaimana kewenangan keperkaraan Pengadilan Agama?

c. Bagaimana struktur penetapan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal di

Indonesia?

6

d. Bagaimana pelaksanaan Sidang Isbat di Kementerian Agama jika

tidak ada Penetapan Pengadilan Agama?

e. Bagaimana Kedudukan Isbat Pengadilan Agama dalam Kesaksian

Rukyatul Hilal di Indonesia seperti yang terkandung pada Pasal 52A

UU Nomor 3 Tahun 2006?

f. Bagaimana prosedur serta faktor-faktor penerimaan isbat rukyatul

hilal di pengadilan agama?

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka penelitian ini akan

dibatasi pada bagaimana Kedudukan Isbat Pengadilan Agama dalam

Kesaksian Rukyatul Hilal di Indonesia (Studi Analisis Penetapan

Pengadilan Agama). Penetapan Pengadilan Agama yang dimaksud dalam

penelitian ini dibatasi pada penetapan Nomor. 01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd,

Nomor.1/Itsb.R.H./2016/PA.Gs, dan Nomor.121/Pdt.P/2016/PA.Bjn

tentang Penetapan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka rumusan masalahnya

dibuat tunggal dan fokus kepada isu utama yang diteliti, sebagai berikut

“Bagaimana kedudukan penetapan isbat Pengadilan Agama dalam

kesaksian rukyatul hilal di Indonesia?”

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis

Kedudukan Isbat Pengadilan Agama dalam Kesaksian Rukyatul Hilal di

Indonesia, adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk menganalisa Kedudukan Isbat Pengadilan Agama dalam

Kesaksian Rukyatul Hilal di Indonesia seperti yang terkandung pada

Pasal 52A UU Nomor 3 Tahun 2006.

7

2. Untuk menganalisa prosedur serta faktor-faktor penerimaan isbat

rukyatul hilal di pengadilan agama.

3. Untuk menganalisa kedudukan penetapan isbat Pengadilan Agama

dalam kesaksian rukyatul hilal di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Dalam hal penelitian skripsi ini, diharapkan dapat menghasilkan

manfaat sebagai berikut: Pertama, memberikan informasi terkait

kedudukan Isbat Pengadilan Agama dalam kesaksian rukyat hilal di

Indonesia sebagaimana amanat Pasal 52A Undang-Undang No. 3 Tahun

2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Kedua,

menambah khazanah ilmu pengetahuan kepada akademisi dan pihak-pihak

yang berkenan meneliti lebih lanjut mengenai hal terkait. Ketiga,

menghasilkan Karya Tulis Ilmiah yang berguna bagi penulis, guna

memenuhi tugas akhir dan syarat untuk menyelesaikan program strata satu

(S-1) di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Kajian Pustaka

1. Kajian Terdahulu

Dari hasil penelitian pada beberapa karya tulis ilmiah, kajian yang

berkaitan dengan Isbat Kesaksian Dalam Sidang Rukyat Hilal di Indonesia

adalah suatu hal yang relatif baru. Penelitian tersebut telah dipublikasikan

dalam beberapa karya sebagai berikut:

M. Syamsu (2018),10 membahas tentang kedudukan hukum isbat

kesaksian rukyatul hilal dihubungkan dengan metode hisab Imkanur Rukyat

dalam menentukan 1 Ramadan dan 1 Syawal 1438 H/2017 M. Selanjutnya

membahas tentang implementasi penetapan Pengadilan Agama Gresik

terhadap isbat kesaksian rukyat hilal dalam menentukan 1 Ramadan dan 1

10 Muhammad Syamsu Alam Darajat, Analisis Isbat Kesaksian Rukyatul Hilal dalam

Menentukan Tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawal 1438 H/2017 M Menurut Pasal 52a Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama (Studi Pelaksanaan di Balai Rukyat NU Bukit Condrodipo Gresik), Skripsi Tahun 2018 di Universitas Muhammadiyah Malang.

8

Syawal 1438 H/2017 M yang dihubungkan dengan Pasal 52A Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dan implementasi jaminan

pemerintah terhadap kebebasan berkeyakinan umat Islam Indonesia yang

berbeda penetapan 1 Ramadan dan 1 Syawal 1438 H/2017 M. Yang

membedakannya dengan penelitian ini adalah penelitian ini

menitikberatkan pada pembahasan isbat kesaksian di Pengadilan Agama,

dan penetapan Pengadilan Agama, sedangkan penelitian sebelumnya

pelaksanaan Isbat Kesaksian di Balai Rukyat NU Bukit Condrodipo Gresik.

Ahmad Fadholi (2019),11 membahas tentang urgensi, dinamika, dan

sejarah sidang isbat di Indonesia. Bagaimana Pemerintah menghadapi

keberagaman latar belakang dari masyarakat di Indonesia terutama Ormas.

Yang membedakannya adalah, penelitian ini tidak banyak membahas

sejarah hanya relevansi UU No. 3 tahun 2006.

Eko Heri Santoso (2012),12 Kesimpulan yang bisa ditarik dalam

skripsi tersebut adalah : bahwa kewenangan Pengadilan Agama dalam

penentuan awal dan akhir Ramadan berdasar Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006 yakni hanya memberikan penetapan Isbat atas kesaksian dilihat

atau tidak dilihatnya hilal saja. Akibat hukum penetapan isbat rukyatul hilal

adalah mengikat pemohon. Dalam memberikan putusan penetapan atas

isbat kesaksian rukyatul hilal, hakim mempertimbangkan peneguhan atas

terlihatnya hilal oleh syahid/ rukyatan, kesesuaian antara laporan perukyat

dengan perhitungan hisab, laporan yang disampaikan pemohon sesuai akal

sehat, laporan yang disampaikan sesuai kaidah syar׳i, dan laporan pemohon

sesuai dengan ilmu pengetahuan. Yang membedakannya adalah penelitian

11 Ahmad Fadholi, Sidang Isbat, Urgensi dan Dinamikanya, Jurnal Ilmu Syari’ah dan

Perbankan Islam Tahun 2019 di IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung. 12Eko Heri Santoso, “Sidang Itsbat Rukyatul Hilal Berdasar Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang

Peradilan Agama (Studi Penetapan Pengadilan Agama Gresik Nomor: 01/Itsbat.RH/2008/ PA.GS), Skripsi tahun 2012 di Universitas Jember.

9

ini meneliti beberapa penetapan Pengadilan Agama sedangkan penelitian

sebelumnya meneliti satu penetapan Pengadilan Agama, serta kedudukan

isbat kesaksian rukyat hilal pengadilan agama di Indonesia.

Muh. Irfan (2013),13 Perlu peninjauan ulang Pasal 52A UU Nomor

3 Tahun 2006 tentang kewenangan penetapan isbat rukyatul hilal, karena

sesuai pasal tersebut penetapan MS/PA hanya dijadikan pertimbangan

dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional

untuk penetapan 1 (satu) Ramadan dan 1 (satu) Syawal. Konsekwensinya,

penetapan MS/PA mungkin dipakai dan mungkin tidak. Memperlakukan

penetapan MS/PA dengan tidak semestinya dapat dinilai sebagai contempt

of court. Jika kewenangan penetapan isbat rukyatul hilal tetap menjadi

kewenangan absolute MS/PA maka harus diperkuat dengan lahirnya UU

yang mengatur isbat rukyatul hilal itu merupakan perkara dan Penetapan

isbat rukyatul hilal MS/PA bersifat final dan binding, mengikat seluruh

umat Islam di Indonesia (include Menteri Agama). Perbedaanya adalah

bagaimana kedudukan isbat ksaksian rukyat hilal pengadilan agama di

Indonesia.

Dari karya ilmiah di atas yang memiliki kemiripan dengan penelitian

ini adalah karya M. Syamsu (2018), Eko Heri Santoso (2012), dan Muh.

Irfan (2013). Yang membedakan penelitian M. Syamsu (2018) dengan

penelitian ini adalah penelitian ini menitikberatkan pada pembahasan isbat

kesaksian di Pengadilan Agama, dan putusan Pengadilan Agama,

sedangkan penelitian sebelumnya pelaksanaan Isbat Kesaksian di Balai

Rukyat NU Bukit Condrodipo Gresik. Selanjutnya, penelitian Eko Heri

Santoso (2012), yang membedakannya adalah penelitian ini meneliti

beberapa penetapan Pengadilan Agama sedangkan penelitian sebelumnya

meneliti satu penetapan Pengadilan Agama. Selanjutnya, penelitian Muh.

Irfan (2013) yang membahas relevansi UU No. 3 tahun 2006, perbedaanya

13Muh. Irfan Husaeni, Menyoal Kewenangan Penetapan Itsbat Rukyat Hilal (Pasal 52 A UU

Nomor 3 Tahun 2006), Jurnal Badilag Mahkamah Agung Tahun 2013.

10

dengan penelitian ini adalah bagaimana kedudukan isbat kesaksian rukyat

hilal pengadilan agama di Indonesia.

2. Kerangka Konseptual

Kerangka konsepsional sering dirasakan abstrak, oleh karenanya,

diperlukan definisi-definisi operasional, sebagaimana pada kata-kata atau

frasa di bawah ini:

a. Isbat. Kata “isbat” berasal dari bahasa Arab, yang berarti penetapan.

b. Kesaksian. Kata “kesaksian” berarti keterangan (pernyataan) yang

diberikan oleh saksi. Sedangkan saksi adalah: a) orang yang melihat

atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian), b) orang yang

dimintai hadir pada suatu peristiwa yang dianggap mengetahui

kejadian tersebut agarpada suatu ketika, apabila diperlukan, c) orang

yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan

pendakwa atau terdakwa, d) keterangan (bukti pernyataan) yang

diberikan oleh orang yang melihat atau mengetahui, e) bukti kebenaran,

f) orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana

yang didengarnya, dilihatnya, atau dialaminya sendiri.

c. Rukyat. Rukyat adalah usaha melihat hilal pada saat matahari terbenam

akhir tanggal bulan Kamariah, dalam hal ini akhir tanggal 29 Ramadan,

Syawal, dan/atau Zulhijah.

d. Hilal. Hilal adalah bulan sabit, bulan yang terbit pada tanggal satu

bulan Kamariah. Hilal diartikan juga dengan anak bulan.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan adalah Kualitatif. Penelitian

kualitatif merupakan suatu strategi inquiry yang menekankan pencarian

makna, pengertian, konsep, karakteristik, gejala, simbol, maupun deskripsi

tentang suatu fenomena, fokus dan multimetode, bersifat alami dan holistik,

11

mengutamakan kualitas, menggunakan beberapa cara, serta disajikan secara

naratif. 14 Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum

normatif. Penelitian hukum normatif dikonsepkan sebaga apa yang tertulis

dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum yang

dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan

berperilaku masyarakat terhadap apa yang dianggap pantas.15

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan Penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah

pendekatan Perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus

(case approach).

Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) merupakan

penelitian yang acuan dasar yang utama dalam melakukan penelitian adalah

bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan. Pendekatan ini biasa

digunakan dengan tujuan mengetahui peraturan perundang-undangan mana

yang sedang memupuk pada tataran teknis, atau apakah masih terdapat

kekurangan dalam pelaksanaannya, atau bahkan praktik-praktik yang

menyimpang. Pendekatan ini dilakukan dengan mengkaji semua peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan persoalan (legal issue) yang

muncul. Pendekatan hukum ini dilakukan misalnya dengan memeriksa

konsistensi/kesesuaian antara Undang-Undang Dasar dengan undang-

undang, atau antara kedua undang-undang tersebut.16

Pendekatan kasus adalah jenis pendekatan penelitian hukum

normatif dimana peneliti berusaha mengkonstruksikan perdebatan hukum

dalam hal kasus-kasus tertentu yang terjadi di lapangan, termasuk kasus,

14 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,

(Jakarta, Kencana, 2017), h. 329. 15 Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,

(Jakarta, Prenadamedia Grup, 2016), h. 124. 16 Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), https://www.saplaw.top/

pendekatan-perundang-undangan-statute-approach-dalam-penelitian-hukum/, diakses pada tanggal 17 April 2022, pukul 08.07 WIB.

12

serta proses dan kejadian di lapangan yang berkaitan erat. Untuk itu,

pendekatan jenis ini biasanya mengikuti prinsip-prinsip keadilan dan

bertujuan untuk mencari nilai yang benar dan solusi terbaik dari kasus

hukum yang muncul. Pendekatan ini dilakukan dengan melihat kasus-kasus

yang berkaitan dengan masalah hukum yang dihadapi. Perkara yang disidik

adalah perkara yang telah mendapat putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap. Pertimbangan utama dalam setiap

putusan tersebut adalah pertimbangan hakim untuk mencapai suatu putusan

yang dapat digunakan sebagai sengketa untuk menyelesaikan masalah

hukum dengan segera.17

3. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer penulis peroleh langsung dari sumbernya yaitu

UU Nomor 3 Tahun 2006, Penetapan Pengadilan Agama (Nomor:

01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd, Nomor: 01/Itsbat.RH/2016/PA.Gs, dan

Nomor. 121/Pdt.P/2016/PA.Bjn), Peraturan Direktorat Jenderal Badan

Peradilan Agama Mahkamah Agung RI dan Direktorat Jenderal

Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama beserta hasil

wawancara Hakim Pengadilan Agama sekaligus sejarawan Hisab Rukyat

dalam hal ini Dr. H. Asadurrahman, S.H., M.H.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-

dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang

akan dibahas, hasil penelitian yang berwujud laporan, dan peraturan

perundang-undangan seperti Surat Keputusan dari Mahkamah Agung

atau Menteri Agama dan Berita Acara Sidang Isbat, buku-buku yang

berhubungan dengan masalah yang akan dibahas, hasil penelitian

17 Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), https://www.saplaw.top

/pendekatan-perundang-undangan-statute-approach-dalam-penelitian-hukum/, diakses pada tanggal 17 April 2022, pukul 08.08 WIB.

13

terdahulu yang berwujud laporan, dan peraturan perundang-undangan

yang sudah disebutkan di atas.

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode Teknik pengumpulan data dilakukan dalam dua tahap yaitu

dokumentasi dan wawancara.

a. Dokumentasi yang dimana menganalisa Undang-Undang dan Surat

Keputusan baik dari Mahkamah Agung ataupun Menteri Agama,

berikut daftarnya :

1) Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

2) Surat Ditjen Badilag Nomor 249/DJA.4/OT.01.1/VII/2013

tertanggal 3 Juli 2013 Tentang Rukyat Awal Ramadan Syawal dan

Zulhijah 1434 H.

3) Surat Penetapan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor:

KMA/095/X/2006 Tertanggal 17 Oktober 2006 Tentang Sidang

Itsbat Kesaksian Rukyatul Hilal.

4) Surat Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 269 Tahun 2016

5) Penetapan Pengadilan Agama Nomor. 01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd,

Nomor.1/Itsb.R.H./2016/PA.Gs, dan Nomor.121/Pdt.P/2016

/PA.Bjn tentang Penetapan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal.

6) Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Itsbat Rukyat Hilal, Direktorat

Pratalak Perdata Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan

Agama, Mahkamah Agung RI

b. Wawancara

Wawancara dilakukan terhadap Hakim Pengadilan Agama sekaligus

sejarawan pada Hisab Rukyat, yaitu Dr. H. Asadurrahman, M.H.

5. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini

adalah deskriftif analisis, dengan menguraikan fakta yang telah ada dalam

14

skripsi ini kemudian ditarik suatu kesimpulan dan saran, menggambarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mengaitkan atau

menghubungkan pada suatu perundang-undangan dengan pelaksanaan

kebijakan di lapangan, yang harus saling berhubungan dan berkoordinasi

dengan permasalahan-permasalahan yang dihadapi.

F. Pedoman Penulisan

Pedoman penulisan yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan

kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.

G. Sistematika Pembahasan

Sebagai upaya mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi, penulis

menyusun suatu sistematika pembahasannya sebagai berikut:

Pada BAB I, berisikan Pendahuluan yang mencakup Latar Belakang

Masalah, Pembahasan dan Rumusan Masalah, Tujuan serta manfaat Penelitian.

Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Pada BAB II, memaparkan isbat rukyatul hilal dalam hukum Islam dan

praktiknya di Indonesia.

Pada BAB III, memuat tentang Kewenangan Pengadilan Agama dalam

Isbat Kesaksian Rukyat Hilal pada Undang-Undang No. 3 tahun 2006. Bab ini

berisi kewenangan Pengadilan Agama tentang isbat rukyatul hilal dalam UU

No. 3 Tahun 2006. Bab ini akan menjelaskan tentang kewenangan PA dalam

UU Nomor 3 tahun 2006, Kewenangan Pengadilan Agama dalam Pemeriksaan

Laporan Penyaksian Hilal di Indonesia, dan kewenangan memeriksa kesaksian

Hilal menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 52A.

Pada BAB IV, memuat hasil penelitian yang akan dideskripsikan secara

utuh, kemudian terdapat analisis penulis terhadap penelitian tersebut. Dalam

bab ini mencakup mendeskripsikan hasil penelitian kedudukan isbat Pengadilan

Agama dalam kesaksian rukyatul hilal di Indonesia, yang meliputi prosedur

isbat rukyatul hilal di pengadilan agama, faktor-faktor penerimaan isbat

15

rukyatul hilal di pengadilan agama dan kedudukan isbat rukyatul hilal

pengadilan agama.

Pada BAB V Penutup, merupakan bab yang berisi kesimpulan, dan

saran dari hasil penelitian ntuk pengembangan ilmu hukum yang dapat

digunakan oleh praktisi dan masyarakat pada umumnya.

16

BAB II

ISBAT RUKYAT HILAL DALAM HUKUM ISLAM DAN

PRAKTIKNYA DI INDONESIA

A. Isbat (Penetapan) Rukyat Hilal

1. Isbat (Penetapan)

Isbat (Penetapan) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, isbat

berarti penyungguhan, penetapan, penentuan. Makna lainnya menurut

Bahasa Arab (al-Isbat) atau bahasa Belanda (beschiking), yaitu produk

Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang

diistilahkan jurisdiction voluntaria. Permohonan dimaknai sebagai bukan

peradilan sesungguhnya karena hanya terdapat pemohon, yang memohon

untuk ditetapkan tentang suatu hal, sedangkan ia tidak perkara dengan

lawan.18 Pada dasarnya, perkara tersebut tidak dapat diterima oleh proses

pengadilan, kecuali apabila ada kepentingan undang-undang yang

mengendaki demikian. 19 Keputusan pengadilan atas perkara permohonan

(volunter), misalnya penetapan dalam perkara dispensasi nikah, izin nikah,

wali adhal, poligami, perwalian, isbat nikah, dan sebagainya.20 Bentuk dan

isi penetapan, yaitu sebagai berikut:21

a. Identitas para pihak pada permohonan dan penetapan hanya memuat

identitas pemohon. Walaupun telah dimuat identitas termohon, tetapi

termohon bukanlah pihak.

b. Tidak ditemui kata-kata “berlawanan dengan”, seperti pada putusan.

18 Ernawati, Hukum Acara Peradilan Agama, (Depok: Rajagrafindo Persada, 2020), h. 199. 19 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia

Indonesia, 2012), h. 97. 20 Madani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2009), h. 123. 21 Ernawati, Hukum Acara Peradilan Agama, h. 199.

17

c. Tidak ditemui kata-kata “tentang duduk perkaranya”, seperti pada

putusan, melainkan langsung diuraikan apa permohonan pemohon.

d. Amar penetapan bersifat declaratoire atau constitutoire.

e. Kalau pada putusan didahului kata “memutuskan”, pada penetapan

dengan kata “menetapkan”.

f. Biaya perkara selalu dipikul oleh pemohon.

g. Pada penetapan tidak terdapat reconventie atau interventie atau

vrijwaring.

Jika melihat kepada sisi kemurniannya penetepan dapat dibagi

menjadi dua macam, yakni :22

a. Penetapan dalam bentuk murni voluntaria bahwa penetapan merupakan

hasil dari perkara permohonan (voluntair) yang sifatnya tidak ada

perlawanan dari pihak.

b. Penetapan bukan dalam bentuk voluntaria. Di lingkungan peradilan

agama ada beberapa jenis perkara di bidang perkawinan yang produk

pengadilan agamanya berupa penetapan, tetapi bukan merupakan

voluntaria murni. Meskipun dalam produk penetapan tersebut ada

pihak pemohon dan termohon, para pihak tersebut harus dianggap

sebagai penggugat dan tergugat sehingga penetapan ini harus diangap

sebagai putusan. Contohnya adalah penetapan ikrar talak.

Kekuatan Hukum Penetapan hanya memilik kekuatan hukum sepihak,

dan pihak lainnya tidak dapat dipaksakan untuk mengikuti kebenaran hal-hal

yang dideklarasikan dalam putusan volunter, karena itu pula maka putusan

volunter tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai pembuktian.23

2. Rukyat Hilal

a. Rukyat

22 Zulkarnaen, Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung:

Pustaka Setia, 2017), h. 318-319. 23 Madani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, h. 123.

18

Jika dilihat, makna Rukyat sendiri secara harfiah berarti melihat.

Menurut Susiknan Azhari, arti yang paling lumrah digunakan adalah

melihat dengan mata kepala. 24 Kata tersebut merupakan kata bentuk

masdar dari fi’il رأى . 25 Makna dari kata tersebut adalah “melihat”.

Menurut Farid Ruskanda, makna rukyat yang paling umum yaitu “melihat

dengan mata kepala”.26 Kata tersebut berasal dari kata ra’a, dalam kata

lain dapat diartikan sebagai melihat bukan dengan cara visual, contohnya

melihat dengan pikiran atau ilmu (pengetahuan). Ragam arti dara kata

tersebut bergantung pada objek yang menjadi sasarannya.27

Selanjutnya, menurut Muhyidin Khazin, Rukyat adalah aktivitas

mengamati visibilitas hilal, penampakan bulan sabit yang pertama kali

tampak setelah terjadinya ijtimak28. Rukyat dapat dilakukan dengan mata

telanjang (secara langsung) atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.

Aktivitas rukyat biasanya dilakukan saat menjelang terbenamnya

Matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu tersebut, posisi Bulan

berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya

Matahari). Apabila hilal terlihat dengan jelas, maka pada petang

(Maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal 1.29

24 Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 183. 25 Ahmad Warson Munawwir., Kamus Arab-Indonesia , (Yogyakarta: Pustaka Progresif,

1997), h.460. 26 Farid Ruskanda., 100 Masalah Hisab dan Rukyat Telaah Syariah, Sains, dan Teknologi.

(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.41. Dikutip dari Abdul Karim & M. Rifa Jamaluddin Nasir., Mengenal Ilmu Falak (Teori dan Implementasi), (Yogyakarta: Qudsi Media, 2012), h. 64.

27 A. Ghozali Masroeri., Rukyatul Hilal, Pengertian dan Aplikasinya, Disampaikan dalam

Musyawarah Kerja dan Evaluasi Badan Hisab Rukyat Departemen Agama RI di Ciawi Bogor Tanggal 27-29 Februari 2008, h. 1-2. . Dikutip dari Abdul Karim & M. Rifa Jamaluddin Nasir., Mengenal Ilmu Falak (Teori dan Implementasi), h. 64.

28 Ijtimak dalam Enslikopedia karangan Susiknan Azhari, biasa disebut Iqtiran merupakan

pertemuan atau berkumpulnya (berimpitnya) dua benda yang berjalan secara aktif. Jika dikaitkan dengan bulan baru kamariah adalah suatu peristiwa saat bulan dan matahari terletak pada posisi garis bujur yang sama, bila dilihat dari arah timur ataupun arah barat.

29 Muhyidin Khazin, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab dan Rukyah, (Yogyakarta: Ramadan

Press. 2009), h. 143. Dikutip dari Watni Marpaung, Pengantar Ilmu Falak, (Jakarta: Kencana: 2015), h. 39.

19

Dalam konteks bulan Kamariah atau penetapan hilal, yang dimaksud

dengan rukyat adalah rukya al-hilal, menurut Watni Marpaung, yang

artinya melihat hilal dengan melihat langsung atau menggunakan alat

bantu (teropong, binokuler, kamera, teleskop, theodolite, dan alat

lainnya). Kegiatan ini disebut juga dengan ru'yah hilal bil fi'li. Rukyat

hilal dilaksanakan pada hari ke-29 pada bulan Kamariah (yaitu sore

menjelang/sesudah maghrib). Jika pada pelaksanaannya, hilal belum

dapat terlihat baik karena mendung (ada gangguan cuaca), oleh karena itu

disempurnakan bulan tersebut menjadi 30 hari.30

Kata Rukyat yang dihubungkan menggunakan istilah hilal, maka ia

bermakna sesuai dengan definisi hilal yang digunakan. Rukyat dalam

makna melihat secara visual (menggunakan mata kepala) atau ru’yat-

bashariyah atau disebut pula dengan ru’yat bi al-fi’li, hanya tepat

digunakan pada hilal pada pengertian hilal aktual.31 Ru’yat al-hilal yang

ada pada sejumlah hadis Nabi saw mengenai rukyat hilal Ramadan dan

Syawal merupakan rukyat al-hilal pada pengertian hilal aktual. Secara

umum Rukyat dapat pula dikatakan sebagai “Pengamatan terhadap

hilal”.32

Rukyat yang bermakna pengamatan hilal awal bulan baru adalah

kegiatan yang telah dilakukan oleh umat Islam sejak masa Nabi

Muhammad saw. hingga dewasa ini. Umat Islam pada masa tersebut,

dalam menentukan awal bulan Qamariah berdasarkan kepada pengamatan

hilal jika tidak terlihat hilal pada hari tersebut, maka digenapkan manjadi

30 hari, cara ini yang umat Islam yakini sebagai cara yang paling sesuai

dengan tuntunan Rasulullah saw., dan pemahaman seperti ini juga yang

30 Ahmad Izzudin, FIQIH HISAB RUKYAH Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam

Penentuan Awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha, (Jakarta : Erlangga : 2007), h.44. 31 A. Ghozali Masroeri., Rukyatul Hilal, Pengertian dan Aplikasinya, h.2. Dikutip dari K.H.

Abdul Karim & M. Rifa Jamaluddin Nasir., Mengenal Ilmu Falak (Teori dan Implementasi), h. 65. 32 Farid Ruskanda., 100 Masalah Hisab dan Rukyat Telaah Syariah, Sains, dan

Teknologi,h.41. Dikutip dari K.H. Abdul Karim & M. Rifa Jamaluddin Nasir., Mengenal Ilmu Falak

(Teori dan Implementasi), h. 64.

20

telah dianut oleh jumhur ulama termasuk empat Imam Mazhab (Syafi’i,

Hambali, Hanafi dan Maliki).33

Dalam rukyat sendiri pada hakikatnya para pakar mempunyai makna

yang berbeda dalam memahami istilah tersebut, sehingga munculah

pembagian rukyat ke dalam 2 jenis, yaitu:34

1) Bil fi’li, Kelompok terakhir atau golongan mutaakhirin menafsirkan

Hadis secara harfiah, bahwa hilal harus dilihat dengan mata secara

langsung. Hal ini masih menimbulkan tanda tanya, apakah harus

dengan mata telanjang? Terdapat pendapat lainnya, bahwa hilal harus

dilihat dengan mata langsung dan tidak boleh menggunakan alat yang

memantulkan cahaya. Adapun Sebagian yang lain memperbolehkan.35

2) Bil ilmi, mereka yang bersepakat atau setuju dengan rukyat dalam hal

ini menggunakan ilmu sebagai alat untuk melihat hilal. Tidak melihat

apakah langit sedang mendung atau terjadi badai sekalipun, selama

perhitungan di atas kertas telah membuktikan sudah terjadi hilal

(bulan berada di atas ufuk saat Matahari terbenam), pergantian bulan

tetap terjadi.

b. Hilal

Makna hilal (jamaknya Ahilla) yang bermakna Bulan Sabit, dalam

bahasa Inggris disebut Cresent, yaitu Bulan Sabit yang tampak pada

beberapa saat sesudah ijtima’.36 Orang Arab mempunyai tingkat-tingkat

penaman pada Bulan (1) Hilal, sebutan Bulan yang tampak seperti sabit,

33 Ridhokimura Soderi dan Ahmad Izuddin, Kajian Faktor Psikologi yang Berpotensi

Mempengaruhi Keberhasilan Rukyat, Jurnal Ilmiah Syari’ah, Volume 19, No. 1. Januari 2020. h.

60. 34 Watni Marpaung, Pengantar Ilmu Falak, (Jakarta: Kencana: 2015), h. 39. 35 Muhyidin Khazin, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab, h. 143. Dikutip dari Watni Marpaung,

Pengantar Ilmu Falak,.h. 39. 36 Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, h. 76.

21

antara tanggal sampai menjelang terjadinyarupa semu Bulan pada terbit

awwal. (2) Badr, sebujauhar pada Bulan pada setiap keadaan.37

Menurut ahli linguistik Arab, al-Khalid bin Ahmad, hilal

didefinisikan dengan : sinar bulan pertama, ketika orang melihat dengan

nyata bulan sabit pada awal sebuah bulan. Kata ini bisa saja berakar dari

dua bentuk kalimat aktif maupun pasif seperti : dia muncul (halla) atau

dia kelihatan (uhilla) yang kedua-duanya melibatkan proses menyaksikan.

Ahli linguistik Arab lainnya, Raghib al-Isbahani menjelaskan : Bulan

sabit (hilal) berarti Bulan yang khusus kelihatan pada hari pertama dan

kedua dalam sebuah bulan, stelah itu, maka dinamakan “Bulan” (qamar)

saja. Ibnu Manzur mengatakan hilal dapat pula berasal dari teriakan

gembira karena melihat atau mengalami sesuatu, misalnya tangisan bayi

Ketika baru lahir (ihlal al-saby), atau teriakan gembira : bulan sabit telah

muncul (ahalla al-hilal!).38

Hilal secara astronomi merupakan bagian dari bulan yang cahayanya

terlihat dari bumi, setelah matahari terbenam sebelum ijtimak atau

konjungsi. Pada dasarnya Bulan tidak memancarkan cahaya sendiri,

bentuk cahaya hilal berasal pantulan dari sinar matahari. Bentuk bulan

berubah seiiring waktu dari hari ke hari, namun pada dasarnya bentuk

bulan tidak berubah, hal ini disebakan oleh peredarannya.(1) Rotasi (2)

Revolusi (3) Gerakan bersama bulan dan bumi mengelilingi matahari.39

Hilal sebagai objek rukyat memiliki beberapa konsep posisi yang

berbeda-beda. Kriteria posisi hilal yang dijadikan sebagai penentu waktu

masuk awal bulan Kamariyah adalah apabila perhitungan hilal sudah

memenuhi kriteria sebagai penentu awal bulan (tidak memperhitungkan

37 Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, h. 76-77. 38 Tono Saksono, Mengkrompomikan Rukyat dan Hisab, (Jakarta, Amythas Publicita dan

Center for Islamic Studies, 2007), h. 83-84. 39 Ridhokimura Soderi dan Ahmad Izuddin, Kajian Faktor Psikologi yang Berpotensi

Mempengaruhi Keberhasilan Rukyat, h. 62.

22

apakah hilal dapat dilihat atau tidak).40 Dalam hal penentuan posisi hilal,

berpedoman pada:41

1) Ufuk hissi, bidang datar yang lurus dan searah dengan peninjau dan

sejajar dengan ufuk haqiqi. Menurut pendapat ini, bahwa apabila pada

saat matahari terbenam (setelah terjadinya ijtima’) dan posisi hilal

sudah tampak di atas ufuk hissi, maka malam harinya terhitung sudah

masuk awal bulan (Penentuan ketinggian hilal, diukur dari permukaan

bumi).

2) Ufuk haqiqi, ufuk yang berjarak 90 derajat dari titik zenit (lingkaran

bola langit yang bidangnya melalui titik pusat bumi dan tegak lurus

pada garis vertikal peninjau). Menurut pendapat ini, bahwa apabila

pada saat matahari terbenam (setelah terjadinya ijtima’), posisi hilal

sudah berada di atas ufuk haqiqi.42

3) Ufuk mar’i, ufuk yang terlihat (bidang datar yang merupakan batas

pandangan) mata peninjau. Menurut pendapat ini, bahwa apabila

posisi piringan bulan (pada saat terbenamnya matahari) berada di arah

Timur dari posisi piringan matahari. Awal bulan ditentukan dengan,

pada saat matahari terbenam sedangkan posisi hilal berada di atas ufuk

mar’i, yaitu ufuk hakiki dengan koreksi seperti kerendahan ufuk,

refraksi, semi diameter, dan parallax.43

Definisi yang telah dipaparkan di atas merupakan penjelasan mengenai

makna berdasarkan pecahan kalimat Rukyat Hilal. Apabila kedua kalimat

tersebut disandingkan maka maknanya melihat atau mengamati hilal pada saat

40 Abdul Karim & M. Rifa Jamaluddin Nasir., Mengenal Ilmu Falak, h. 66. 41 Susiknan Azhari., Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia., (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2002), h. 32-37. Dikutip dari Abdul Karim & M. Rifa Jamaluddin Nasir., Mengenal Ilmu

Falak (Teori dan Implementasi, h. 66. 42 Abdul Karim & M. Rifa Jamaluddin Nasir., Mengenal Ilmu Falak (Teori dan Implementasi,

h. 66-67. 43 Mudzakir., Pedoman Hisab Rukyah Departemen Agama RI., (Semarang: Diklat Hisab dan

Rukyah Nasional, 2006), h. 4. Dikutip dari Abdul Karim & M. Rifa Jamaluddin Nasir., Mengenal

Ilmu Falak (Teori dan Implementasi), h. 67.

23

matahari terbenam menjelang awal bulan kamariah, menggunakan mata atau

teleskop, dalam astronomi dikenal sebagai Observasi.44 Menurut T. Mahmud

Ahmad, Rukyatul Hilal memiliki makna metode praktis dalam pembuktian

apakah bulan sabit baru (hilal) terlihat atau tidak. Melakukan rukyatul hilal

pada hakikatnya tidaklah mudah, sekalipun bagi astronom. Dalam astronomi

obyek langit yang biasa dirukyat dianjurkan di atas sudut 15 derajat. Sedang

rukyatul hilal justru dilakukan saat irtifa’ bulan masih sangat rendah.

Rukyatul hilal pada hakikatnya dilakukan sesudah ijtimak, namun secara

syar’i rukyat selalu harus dilaksanakan setiap tanggal 29 Syakban atau

Ramadan tanpa melihat sudah masuk ijtimak atau belum. Secara metodologi,

dalam waktu ini rukyatul hilal sporadis dilakukan secara ilmiah, yaitu

obyektif, terekam dan replicable. Pada umumnya, yang kesaksian orang yang

dipercaya jujur yang diandalkan, walau kini telah terdapat laporan rukyat

yang ditolak lantaran konkret karena dimustahilkan hisab (missal irtifa’

negatif atau belum ijtimak/masih bulan tua.)45

3. Problematika Pelaksanaan Rukyat Hilal

Sebelum pesatnya kemajuan perkembangan ilmu astronomi,

kenampakan (visibility) hilal ini dinilai sangat krusial dalam proses aplikasi

penentuan awal bulan. Teknik ini dinamakan pula dengan rukyat, yang telah

menginterpretasikan hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa melihat itu

harus secara visual. Dalam pelaksanaannya, banyak permasalahan yang

menjadi penghambat pelaksanaan rukyat hilal secara visual di antaranya:46

a. Kondisi cuaca (mendung, tertutup awan, dsb)

b. Ketinggian dan jarak hilal terhadap matahari

44 Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, h.183. 45 T. Mahmud Ahmad, Ilmu Falak, (Banda Aceh, PeNA Banda Aceh, 2013), h. 98. 46 Tono Saksono, Mengkrompomikan Rukyat dan Hisab, h. 87.

24

c. Jarak antara bulan dan matahari (bila terlalu dekat, meskipun Matahari

tenggelam, berkas sinarnya masih menyilaukan sehingga hilal tidak

akan tampak)

d. Kondisi Atmosfir Bumi (asap akibat polusi, kabut, dsb)

e. Kualitas mata pengamat

f. Kualitas alat (optik) untuk pengamatan

g. Kondisi psikologis pengamat (perukyat)

h. Waktu dan biaya

i. Transparasi proses

Beberapa hal seperti kondisi cuaca, kondisi atmosfir Bumi, kualitas

mata pengamat, kualitas alat (optik), maupun waktu dan biaya hal tersebut

menurut Tono Saksono visibilitas niscaya akan terganggu dan akibatnya

berdampak pada tidak memungkinkan untuk pelaksanaan rukyat hilal

dilakukan secara visual. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah :

a. Ketinggian dan jarak hilal terhadap matahari

Pada awal bulan pada kalender Islam, terdapat persyaratan sahnya

sebuah hilal yang menandainya persyaratan tersebut adalah : Hilal

tersebut harus tenggelam setelah Matahari tenggelam. Jika terjadi jarak

Matahari dan Bulan terlalu dekat, meskipun matahari telah tenggelam,

intensitas cahayanya masih terlalu kuat sehingga mengakibatkan hilal

tetap tidak tampak secara visual. Adanya ketentuan hukum bagi

penganut mazhab rukyat bil fi’li seperti faktor apa pun penyebab tidak

nampaknya hilal yang dilihat secara visual akan menggugurkan

penentuan awal bulan pada maghrib hari itu, maka dibuatlah Kriteria

Danjon yaitu syarat minimum jarak Matahari dan Bulan. Jarak tersebut

meliputi komponen jarak azimut relatif dan jarak ketinggian minimum

yang bervariasi antara 2°, 4°, 5°, dan 7° atau kombinasi keduanya.47

47 Tono Saksono, Mengkrompomikan Rukyat dan Hisab, h. 90-91.

25

Gambar 1: Kriteria Danjon

b. Peluang terlihatnya hilal secara geometris

Jarak Bulan dari Bumi adalah 384.400 km sedangkan jejari Bulan

adalah 1.738 km (garis tengah bulan = 3.476 km). Dalam kondisi Bulan

Purnama, Bulan hanya mengisi sudut sekitar 31’ dari sudut pandang

mata manusia. Obyek yang akan diamati saat pelaksanaan rukyat hanya

menempati 0,36% (pada arah horizontal) dan 0,52 % (pada arah

vertikal) dari lebar sudut pandang mata manusia yang rentang

sesunguhnya setidaknya sekitar 145° (horizontal) dan 100° (vertikal).

Pada saat hilal, presentase ini jauh lebih kecil (hanya sekitar 0,008%

nya saja) karena maksimum lebar hilal biasanya harus sekitar 30”.

Dapat dipahami bahwa pengaruh benda-benda lain yang ada disekitar

hilal yang mengisi sekitar 99,992% sudut pandang mata manusia akan

sangat berpengaruh besar bagi seorang perukyat untuk meentukan

keputusan bahwa dia telah melihat hilal.48

c. Kondisi psikologis perukyat

Faktor psikologis dirasa sangat penting, hal yang sering menambah

beban psikologis seorang perukyat adalah : kesempatan melihat hilal

juga sebetulnya sangat pendek sekali yaitu hanya sekitar 15

menitsampai 1 jam (tergantung ketinggian hilal). Karena tekanan

psikologis yang sangat besar ini, beban spiritual yang dibebankan

kepadanya ditakutkan menghasilkan keputusan yang keliru. Misal,

48 Tono Saksono, Mengkrompomikan Rukyat dan Hisab, h. 93-94.

26

melihat dengan tanduk mengarah ke bawah (seharusnya ke atas),

padahal yang dilihatnya hanyalah celah di antara gumpalan awan

maupun kabut yang berkilat terkena cahaya twilight senja dan

diinterpretasikan sebagai hilal.49

Menurut Ridhokimura Soderi dan Ahmad Izuddin pada

penelitiannya yang berjudul Kajian Faktor Psikologi Yang Berpotensi

Mempengaruhi Keberhasilan Rukyat, Faktor yang mempengaruhi

perukyat adalah sebagai berikut;

1) Penglihatan, penglihatan adalah panca indra pertama bagi manusia

untuk menerima informasi dari dunia luar.

2) Persepsi adalah proses suatu informasi yang di lihat oleh mata

yang dikirimkan sinyal ke otak

3) Atensi yaitu suatu pemfokusan dalam suatu proses melihat.

4) Konsentrasi.

5) Pengalaman yaitu suatu bentuk kemampuan kita dalam

memutuskan suatu hal karena adanya ilmu yang sudah kita

dapatkan sebelumnya.

d. Transparasi proses melihat

Masalah obyektifitas proses pengamatan rukyat, meskipun perukyat

termasuk ke dalam orang-orang pilihan yang diangkat dengan sumpah,

dengan beban psikologis dan teknis yang dihadapinya, jelaslah bawa

proses pengamatan rukyat merupakan proses yang tida transparan dan

pada tingkat tertentu sangat riskan karena sahnya ibadah ratusan juta

umat Islam hanya tergantung pada hasil pengamatan beberapa puluh

orang saja.50

Pelaksanaan rukyat hilal terlebih jika dilakukan secara mata telanjang

memiliki banyak problematika yang dihadapi oleh perukyat, dimulai dari

dirinya sendiri seperti halnya kesiapan, benda-benda langit yang berada

49 Tono Saksono, Mengkrompomikan Rukyat dan Hisab, h. 98-99. 50 Tono Saksono, Mengkrompomikan Rukyat dan Hisab, h. 99.

27

disekitar Bumi dan Bulan pada saat pengamatan, menimbulkan

kemungkinan-kemungkinan terjadinya hilal tidak nampak. Menurut Tono

Saksono, umat Islam dapat menggunakan beberapa program astronomis

secara bersamaan sebagai upaya cross check.

B. Isbat Rukyat Hilal dalam Hukum Islam

Pada dasarnya hukum mengamati hilal (rukyat hilal) adalah fardlu

kifayah bagi kaum muslimin,51 namun Penentuan awal bulan Kamariah dari

zaman Nabi Muhammad saw. sampai saat ini mendapat perhatian khusus dari

masyarakat Islam karena berkaitan dengan puasa, kegiatan ekonomi, sosial dan

politik. Para ahli hukum Islam menetapkan aturan yang mengatur tata cara

penentuan awal bulan, lembaga mana yang berwenang untuk itu, serta

prosedur dan mekanismenya.

Penentuan awal bulan Ramadan, pedoman syariah yang paling

fundamental tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 185 :52

منكم انزل فيه القران هدى ل لناس وب ي نت م ن الدى والفرقان فمن شهر رمضان الذي شهد

هر ف ليصمه ........ الش

Artinya: “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya

diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-

penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang

batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau

bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah..........."53 (Q.S al-Baqarah : 185)

51 Abdurrahman Al-Juzairi, Fiqh Empat Madzhab, Terj. Chatibul Umam, Abu Hurairah

(Jakarta, Darul Ulum Press, 1996), h. 22. 52 Tono Saksono, Mengkrompomikan Rukyat dan Hisab, h. 71-72. 53 Al-Qur'an dan Terjemahan Kementerian Agama, Al-Quran Surah Al-Baqarah/2: 185

28

Tantawi Jauhari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa kata “syahida”

(Bahasa arabnya) artinya menyaksikan hilal dengan rukyat. 54 Ulama yang

berada di bawah koordinasi Organisasi Koferensi Islma (OKI) menetapkan,

bahwa dimana saja hilal dapat dilihat oleh orang terpercaya, maka seluruh umat

Islam wajib berpuasa dan berlebaran. Dalam arti lain apabila hilal Ramadan

dapat dilihat tanda wajib berpuasa, sebagaimana hilal Syawal dapat dilihat

tanda berakhir puasa Ramadan.55

Ayat ini juga menjelaskan puasa yang diwajibkan ialah pada bulan

Ramadan. Untuk mengetahui awal dan akhir bulan Ramadan Rasulullah saw

telah bersabda:56

شعبان لوا عدة صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غب عليكم )ويف رواية فإن غم عليكم( فأكم

(ثالثي )ويف رواية مسلم فاقدروا ثالثي( )رواه البخاري ومسلم

Artinya: “Berpuasalah kamu karena melihat bulan (Ramadan) dan

berbukalah kamu, karena melihat bulan (Syawal), apabila tertutup bagi kamu,

(dalam satu) riwayat mengatakan: Apabila tertutup bagi kamu disebabkan

cuaca yang berawan), maka sempurnakanlah bulan Syakban tiga puluh hari

(dan dalam satu riwayat Muslim takdirkanlah atau hitunglah bulan Syakban

tiga puluh hari).” (H.R al-Bukhari dan Muslim).

Makna Hadis di atas bahwa apabila keadaan langit cerah, maka perkara

puasa bergantung pada rukyat al-hilal. Karena tidak diperbolehkannya

berpuasa kecuali apabila hilal Ramadan telah terlihat. Sedangkan apabila

kondisi langit tertutup awan, maka hendaklah dikembalikan pada bulan

54 Al-Qur'an dan Terjemahan Kementerian Agama, Al-Quran Surah Al-Baqarah/2: 185 55 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 1 (Ciputat, Lentera Hati, 2007), h. 404-405. 56 Departmen Agama RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), (Jakarta:

Departemen Agama RI), h. 273

29

Syakban, yang berarti bahwa kita harus menyempurnakan hitungannya

menjadi 30 (tigapuluh) hari.57

Tiga mazhab telah menyepakati hal ini. Namun Hanabilah menyangkal

pendapat tersebut, dengan mengambil lafaz lain pada hadis lain yang ada dalam

hadis berbeda yaitu :

فاقدروا له صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غب عليكم

Artinya: “Puasalah bila kamu melihatnya (hilal Ramadan) dan

berbukalah kamu bila melihatnya (hilal syawal); dan jika kamu terhalang oleh

awan, maka tentukanlah untuk puasa.”

Mereka berpendapat bahwa bila hilal tertutup awan ketika matahari terbenam

pada tanggal 29 Syakban, maka tidak diwajibkan menyempurnakan Syakban

menjadi tigapuluh hari, melainkan wajib menentukan niat pada malam harinya

dan berpuasa pada hari berikutnya. Baik kenyataannya pada hari itu masih

Syakban atau sudah memasuki Ramadan. Hendaklah meniatkan puasanya

tersebut sebagai puasa pada bulan Ramadan. Apabila di tengah-tengah puasa

ia tahu bahwa hari itu masih Syakban, maka ia tidak wajib menyempurnakan

puasanya.58

Dasar hukum selanjutnya adalah hasil ijtihad ulama pelopor empat

mazhab yang juga mengatakan bahwa untuk penentuan awal bulan Hijriah

wajib mengatakan bahwa untuk penentuan awal bulan Hijriah wajib

menggunakan metode rukyatul hilal bil fi’li. Organisasi Islam di dunia,

khususnya di Indonesia, melakukan sunnah Nabi ini dengan melakukan rukyat

secara langsung, dan melakukan istikmal bila menghadapi halangan visibilitas

57 Abdurrahman Al-Juzairi, Fiqh Empat Madzhab, Terj. Chatibul Umam, Abu Hurairah,h.

16. 58 Abdurrahman Al-Juzairi, Fiqh Empat Madzhab, Terj. Prof. H. Chatibul Umam, Abu

Hurairah, h. 18.

30

atas hilal sewaktu melakukan rukyat karena faktor apa pun,59 atas dasar hadis

dan ijtihad empat ulama besar sebagai sumber syariah inilah.

Penetapan awal bulan Ramadan dan Syawal termasuk ke dalam

masalah fikih atau ijtihad. Mengenai hal tersebut, Ibrahim Hosen berpendapat

bahwa Hukum Islam telah mengatur bahwa dalam persoalan yang bersifat

kemasyarakatan perlu dan dibenarkan campur tangan Ulil Amri (pemerintah).

Dalam hal penetapan permulaan hari puasa Ramadan dan hari raya Syawal

agar dipercayakan kepada pemerintah, sehingga jika terjadi perbedaan

pendapat bisa dihilangkan dengan satu keputusan pemerintah, sesuai dengan

kaidah yang berlaku.60 Kaidah tersebut adalah;

ي رفع الالف و إلزام حكم احلاكم

Artinya: “Keputusan pemerintah adalah mengikat, dan

menghilangkan silang pendapat.”

Kaidah di atas merupakan prinsip yang dipedomani dalam pemikiran

hukum Islam yakni Musayarah bi mashalih an-nas yang berarti bahwa

penetapan suatu hukum hasruslah sejalan dengan kemaslahatan manusia, baik

dalam konteks individu maupun sosial.61

Persoalan tentang penetapan awal/akhir Ramadan merupakan

persoalan fikih yang bersifat kemasyarakatan, maka demi tercapainya

kemaslahatan umum, keseragaman dan kebersatuan umat, pemerintah perlu

turut campur tangan dan satu-satunya yang berwenang menetapkan serta

mengumumkan awal maupun akhir Ramadan kepada masyarakat.62 Apabila

59 Tono Saksono, Mengkrompomikan Rukyat dan Hisab, h. 74-75. 60 Departmen Agama RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), (Jakarta:

Departemen Agama RI), h. 274. 61 Duski Ibrahim, Al-Qawa’ide al-Fiqhiyah (Kaidah-kaidah Fiqih), (Palembang: Amanah,

2019), h. 33. 62 Ibrahim Hosen, Tinjauan Hukum Islam terhadap penetapan Awal Bulan Ramadan, Syawal

dan Dzulhijjahl, dalam Buku Hisab Rukyat DITJEN BIMAS Islam dan Penyelenggaraan Haji (Jakarta, 2004), h. 144-245.

31

pemerintah (dalam kitab-kitab fikih dikenal sebagai Qadi atau Hakim) telah

menetapkannya dan tentu harus berlandaskan laporan dari pihak yang dapat

dipercaya dan data-data yang terbukti akurat, serta mengumumkannya. Maka

ketetapan awal bulan Kamariah ini berlaku umum dan mengikat dan atas dasar

ini jika ada pernyataan perorangan mengenai hal tersebut maka tidak

dibenarkan.

Fuqaha mazhab Syafi’i dalam masalah penyelidikan hilal dan wajibnya

puasa bagi orang-orang dengan segala keperluannya mensyaratkan adanya

keputusan hakim. Jika sudah diputuskan, maka semua elemen masyarakat

muslim wajib puasa, sekalipun keputusannya didasarkan pada kesaksian satu

orang yang adil. Namun pendapat mazhab lainnya dalam menetapkan hilal dan

wajibnya puasa dengan segala keperluan yang berkaitan dengannya tidak

disyaratkan adanya keputusan hakim. Namun jika hakim telah memutuskan

tetapnya hilal dengan cara apa saja yang ada dalam mazhabnya, maka seluruh

kaum muslimin wajib berpuasa, sekalipun sebagian mazhab ada yang tidak

sependapat, karena keputusan hakim dapat menghapuskan perselisihan.63 Titik

temunya adalah pemerintah telah menetapkan awal maupun akhir Ramadan

maka semua umat Islam/masyarakat umum harus tunduk pada ketetapan

tersebut.

Hadis tentang sumpah perukyat yang bersaksi melihat hilal merupakan

salah satu dasar hukum pelaksanaan isbat rukyat hilal yang dimana pada

pemeriksaannya hakim menyumpah para perukyat yang telah melihat hilal,

berikut hadis yang berhubungan dengan hal tersebut :

قال احلسن يف حديثه ي عن (جاء أعرب إل النب صلى هللا عليه وسلم ف قال إن رأيت الالل

د رسول هللا ق اهد أن ال اله اال هللا ق ف قال اتش )رمضان قال ي بالل .ل ن عمال اتشهد أن مم

.يصوموا غدا )رواه أبو داود(لس ف ااذن يف الن

63 Abdurrahman Al-Juzairi, Fiqh Empat Madzhab, Terj. Chatibul Umam, Abu Hurairah, h.

23.

32

Artinya : “Datang seorang Badui ke Rasulullah saw. seraya berkata:

Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadis menjelaskan

bahwa hilal yang dimaksud sang badui yaitu hilal Ramadan). Rasulullah saw.

bersabda: Apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah? Dia

berkata: Benar. Beliau meneruskan pertanyaanya seraya berkata : Apakah

kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah? Dia berkata: Ya benar.

Kemudian Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berpuasa besok.”

(H.R. Abu Daud).

Isbat Kesaksian Rukyat Hilal dijadikan sebagai kewenangan

Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, hal tersebut berasal dari kebijakan

pemerintah yang menambah kewenangannya pada Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama. Seluruh elemen pemerintahan dan Pemimpin dalam

mengambil suatu kebijakan harus didasarkan oleh pertimbangan kebaikan

(maslaħah).

تصرف اإلمام على الرعية منوط ابملصلحة

Artinya: “Kebijakan seorang pemimpin atas rukyat harus berdasarkan

kemaslahatan.”

Kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan rakyat dalam

memutusnya, para pemimpin menggunakan kaidah tersebut sebagai acuan

dalam mengambil kebijakan. Agar tercapainya tegaknya ukhuwah Islamiyah,

dengan tidak adanya silang pendapat maka semua umat muslim Indonesia

wajib mengikuti dan mentaati apa yang telah pemerintah tetapkan:64

Selanjutnya, pada Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penentuan

Awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Berdasarkan tugasnya yang

memberikan nasihat serta fatwa perihal permasalahan keagamaan yang muncul

dalam lingkup masyarakat dan pemerintah, serta mencapai ukhuwah Islamiyah

serta kerukunan antar umat beragama. Latar belakang munculnya fatwa

64 Ephemeris Hisab Rukyat 2021, h. 401

33

tersebut adalah menyuarakan suara Pemerintah Republik Indonesia dalam hal

menjembatani perbedaan antara organisasi masyarakat Islam dalam hal

penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah. Hal tersebut dilakukan

agar terjadi penyatuan persepsi dan kriteria dalam penetuan awal bulan

Kamariah, sehingga tidak terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan.65

Dalam fatwanya Nomor 2 Tahun 2004, MUI menetapkan bahwa:66

1. Penetapan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah dilakukan berdasarkan

metode ru’ya dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan

berlaku secara nasional.

2. Seluruh umat Islam di Indonesia wajib mentaati ketetapan pemerintah RI

tentang penetapan awal bulan Ramadan, syawal dan Zulhijah.

3. Dalam menetapkan awal Ramadan, syawal dan Zulhijah, menteri Agama

wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas

Islam dan Instansi terkait.

C. Praktik Pelaksanaan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal di Indonesia

Sejak zaman berkuasanya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, umat

Islam mulai menggunakan almanak Islam sebagai penanggalan resmi. Pada

masa berkuasanya penjajah Belanda di Indonesia, penanggalan Masehi

dijadikan sebagai penanggalan resmi di Indonesia serta digunakan pada

aktivitas administrasi, demikian pada daerah-daerah kerajaan Islam, umat

Islam masih menggunakan tanggal Hijriah. Pemerintahan Belanda

membiarkan hal tersebut tetap terjadi, bahkan kepengurusannya diserahkan

65 Arino Bemi Sedo, Analisis Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal

Ramdhan, Syawal dan Dzulhijjah dengan Pendekatan Hermeneutika Schleiemacher, Jurnal Hukum

Islam (Istinbath), Volume 14, Nomor 1, Juni 2015, h.75. 66 Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramdhan, Syawal, dan

Dzulhijjah.

34

pada penguasa kerajaan-kerajaan Islam yang masih ada, terutama pengaturan

mengenai tanggal 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 10 Zulhijah.67

Bagaimanakah umat Islam pada masa kolonial mengetahui hari

Lebaran? Penasihat Urusan Bahasa-Bahasa Timur dan Hukum Islam di Hindia

Belanda pada 1897 Snouck Hurgonje, mengemukakan dua cara umat Islam

dalam menentukan akhir Ramadan sekaligus awal bulan Syawal (Lebaran).

“Yang pertama, selain menurut perhitungan penanggalan, juga berdasarkan

pada penglihatan pancaindera terhadap bulan baru. 68 Dan metode ini

menurut pendapat orang-orang Mohammadan (umat Islam, red.) yang relatif

terpelajar di Nusantara ini berlaku sebagai satu-satunya yang benar,” tulis

Snouck dalam Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya

pada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 Jilid VIII. Metode kedua ialah

hisab murni. “Perhitungannya berjalan berdasarkan metode-metode yang

terdapat dalam setiap Almanak Pemerintah Hinda Belanda memiliki tugas

menentukan hari lebaran yang diserahkan pada tangan penghulu melalui

sidang penentuan hari raya Islam.”69

Berbeda dengan pemahaman dewasa ini, penghulu pada masa kolonial

mempunyai spektrum tugas lebih luas dari sekadar menikahkan orang. Karel

A. Steenbrink dalam Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19

menyebut tugas-tugas penghulu, antara lain menjadi mufti (penasihat hukum

Islam), Qadi (hakim pada pengadilan agama), imam masjid, wali hakim

(urusan pernikahan), dan pengumpul zakat. “Para penghulu diangkat dari

67 Badan Hisab dan Rukyat. Almanak Hisab Rukyah.(Jakarta: Proyek Pembinaan Badan

Peradilan Agama, 1981), cet. I, h. 22. Dikutip dari Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah Indonesia

tentang Hisab dan Rukyat, h.58. 68 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,

(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. Ke-1, 1999), hlm. 203. Dikutip dari Jaenal Arifin, “Dialektika

Hubungan Ilmu Falak dan Penentuan Awal Ramadan, Syawal, Dzulhijjah di Indonesia (Sinergi

Antara Independensi Ilmuwan dan Otoritas Negara)”, Jurnal penelitian, Volume 13, No. 1. Februari 2019. h. 48.

69 Susiknan Azhari, Revitalisasi Studi Ilmu Falak di Indonesia, dalam al-Jami’ah, Pasca IAIN

Yogyakarta, No. 65/VI/(2000), hlm. 111. Dikutip dari Jaenal Arifin, “Dialektika Hubungan Ilmu

Falak dan Penentuan Awal Ramadan, Syawal, Dzulhijjah di Indonesia (Sinergi Antara

Independensi Ilmuwan dan Otoritas Negara)”, h.48.

35

sistem pemerintahan kolonial oleh gubernur jenderal atau atas namanya,

setelah melalui pencalonan menurut bupati dan menerima persetujuan dari

residen,” catat Karel. Apabila penghulu menggunakan metode pancaindera

(rukyat), maka ia memperoleh bantuan dari beberapa orang terpercaya.70

Setelah kelahiran organisasi masyarakat Islam (Ormas) yang

memperjuangkan kemerdekaan, kebangsaan dan agama berdasarkan

penjajahan Belanda, umat Islam mempunyai keyakinan hukum masing-masing

pada pelaksanaan menjalankan ajaran agamanya, salah satunya memulai

dan/atau mengakhiri ibadah puasa Ramadan. Dalam pelaksanaannya terkadang

umat Islam Bersama-sama memulai dan/atau mengakhirinya, atau berbeda

dalam hal tersebut, pada saat itu pemerintah Belanda membiarkan hal

tersebut.71

Sebelum kemerdekaan, ormas-ormas Islam yang mempunyai warga

yang sangat banyak saat itu adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Pada masa awal-awal kemerdekaan, perbedaan yang terjadi dinisbahkan

kepada organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, sementara

pemerintah tidak diposisikan memihak atau tidak terbawa-bawa, namun

berupaya untuk mendekatkan kedua pemahaman tersebut secara eksplisit ke

dalam kebijakannya, seperti yang terdapat pada Keputusan Menteri Agama RI

tentang Penetapan Awal Ramadan 1391 H/1971 M. Alasan hal tersebut

dilakukan adalah perbedaan kedua organisasi tersebut dalam memulai puasa

Ramadan saat itu.72

Setelah terbentuknya Departemen Agama pada tanggal 2 Januari

1946, pengaturan tentang hari-hari libur nasional dan penetuan awal-awal

bulan Kamariah yang terkait dengan masalah peribadatan diserahkan kepada

70 Jaenal Arifin, “Dialektika Hubungan Ilmu Falak dan Penentuan Awal Ramadan, Syawal,

Dzulhijjah di Indonesia (Sinergi Antara Independensi Ilmuwan dan Otoritas Negara)”, Jurnal penelitian, Volume 13, No. 1. Februari 2019. h. 49.

71 Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Hisab dan Rukyat, h.58. 72 Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Hisab dan Rukyat, h.59.

36

Menteri Agama. Termuat dalam Penetapan Pemerintah Nomor 2/Um, 7/Um,

9/Um, yang dipertegas dengan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1967,

Nomor 148 Tahun 1968, dan Nomor 10 Tahun 1971.73 Keputusan pelaksanaan

dari Keputusan Presiden tersebut adalah Keputusan Menteri Agama Nomor

335 Tahun 1989 tentang Uraian Tugas dan Pekerjaan Direktorat Jeneral

Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, tangal 28 Desember 1989, dimana

tugas dan fungsinya dari Direktur Badan Peradilan Agama Islam hingga

Kepala Seksi terkaitnya adalah sebagai berikut:74

“Tugas Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam

adalah melaksanakan Sebagian tugas pokok Direktorat Jenderal

Pembinaan Kelembagaan Agama Islam di bidang pembinaan hukum

agama, badan peradilan agama serta hisab dan rukyat berdasarkan

kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam, yang fungsinya melaksanakan pembinaan

kegiatan di bidang hisab dan rukyat…”75

“Tugas tersebut secara khusus dilaksanakan oleh Sub Direktorat

Pertimbangan Hukum Agama dan Hisab Rukyat sebagaimana pada huruf

F-5 yang berbunyi “membina.., hisab dan pelaksanaan rukyat”, dengan

fungsinya “membina… hisab dan pelaksanaan rukyat”76, melalui Seksi

Hisab Rukyat, sebagaimana pada F.5.3 yang tugasnya “membina hisab,

menentukan hari besar Islam, kalender Islam, arah Kiblat, dan waktu

salat, serta pelaksanaan rukyat77, yang uraian tugas terkaitnya adalah : 1)

menghimpun bahan-bahan untuk pembinaan hisab, penentuan hari besar

Islam, kalender Islam, arah kiblat, dan waktu salat, 2) menjalin kerja sama

dengan unit-unit lain baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dalam

rangka penetapan awal dan akhir bulan Kamariah, 3) menyiapkan konsep

Surat Keputusan Menteri Agama tentang Hari Libur Nasional, 4) meneliti

kalender yang dikeluarkan oleh berbagai organisasi/instansi sehubungan

dengan hari libur dan awal bulan Kamariah, 5) menyiapkan almanak

73 Badan Hisab dan Rukyat. Almanak Hisab Rukyah, h. 22. Dikutip dari Asadurrahman,

Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Hisab dan Rukyat, h.58. 74 Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Hisab dan Rukyat, h.60. 75 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 335 Tahun 1989 Tentang Uraian

Tugas dan Pekerjaan Ditjen Bimbingan Islam Huruf F.f, tanggal 28 Desember 1989. 76 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 335 Tahun 1989 Tentang Uraian

Tugas dan Pekerjaan Ditjen Bimbingan Islam Huruf F-5, tanggal 28 Desember 1989. 77 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 335 Tahun 1989 Tentang Uraian

Tugas dan Pekerjaan Ditjen Bimbingan Islam Huruf F.5.3, tanggal 28 Desember 1989.

37

Islam/Hijriah untuk tiap tahun, 6)menyiapkan data awal bulan Kamariah

untuk seluruh Indonesia, 7)mengumpulkan, menghimpun hasil rukyat di

daerah-daerah, dan 8)mengoreksi/meneliti laporan hasil perhitungan dari

badan Peradilan Agama.”78

Berdirinya Departmen Agama, yang dimana telah mengatur prosedur

serta mekanisme penentuan awal bulan Ramadan serta Syawal dan bulan-bulan

Kamariyah lainnya. Hal ini dilakukan untuk menjamin ketentraman, keamanan

dan ketertiban masyarakat dalam negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila

dan UUD 1945.79

Kegiatan hisab rukyat, terutama yang berhubungan dengan kesaksian

rukyat dan penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, Zulhijah, selalu dikaitkan

dan tidak bisa dilepaskan dengan peran hakim, walaupan banyak yang

memaksudkan bahwa “hakim” tidak harus hakim pengadilan, tetapi uli al-

‘amr/ pemerintah, dalam kitab-kitab fikih terkadang disebut dengan al-hakim,

serta kadang-kadang menyebutnya dengan al-qadi.80 Di Indonesia, kegiatan

hisab rukyat tidak dapat dipisahkan dari Pengadilan Agama dan Pengadilan

Tinggi Agama.81

Metode yang digunakan pada penetuan awal bulan Kamariah di

Indonesia beraneka ragam. Metode rukyatul hilal yang dipedomani oleh

Nahdlatul Ulama (NU), hisab wujudul hilal yang dipedomani oleh

Muhammadiyah, imkanur rukyah yang dipedomani oleh MABIMS (Menteri

78 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 335 Tahun 1989 Tentang Uraian

Tugas dan Pekerjaan Ditjen Bimbingan Islam Huruf F.f, tanggal 28 Desember 1989. 79 Taufiq, Mekanisme Penentuan Awal Bulan Ramadan dan Syawal, h. 122. 80 Wahyu Widiana, Hisab Rukyat Jembatan Menuju Pemersatu Umat,(Tasikmalaya: Yayasan

Asy-Syakirin, 2005), h. 167. Dikutip dari Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang

Hisab dan Rukyat, h.61. 81 Wahyu Widiana Hisab Rukyat Jembatan Menuju Pemersatu Umat, h. 167. Dikutip dari

Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Hisab dan Rukyat, h.61. Keberadaan sebutan Lembaga peradilan agama tersebut terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 Tentang Pembentukan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di Luar Jawa dan Madura, dan Luar Kalimantan Selatan.

38

Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura) dan Lapan

(Persis), Rukyah Globlal yang dipedomani oleh HTI.

Rukyat pada BAB ini identik dengan yang dipedomani oleh NU. Pasca

1998 NU menggunakan kriteria pedoman untuk menyaring laporan rukyat

guna membedakan hilal nyata dengan hilal palsu, terkhusus dalam proses

penetapan awal bulan yang berhubungan dengan ibadah kaum muslim yakni

Ramadan, Syawal dan Zulhijah. NU tidak menggunakan rukyat murni,

melainkan dikombinasikan dengan hisab. Tidak semua laporan hilal dapat

diterima secara langsung sebelum diproses pada lembaga khusus yakni

Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) dan lolos dari kriteria yang telah

disepakati.82

Penetuan awal bulan Kamariah di Indonesia berdasar pada sistem

hisab Hakiki tahqīqī dan atau rukyat, terkhusus pada bulan Ramadan, Syawal,

dan Zulhijah. Kesaksian rukyat dalam pelaksanaannya tidak secara langsung

diterima, melainkan mencapai kriteria yang telah disepakati oleh pemerintah

yakni komite Penyelarasan Rukyat dan Taqwim Islam MABIMS (Menteri

Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Keputusan

penting yang disepakati terkait kalender Islam adalah teori visibilitas hilal

dikenal dengan istilah “Visibilitas Hilal MABIMS”, 83 yang mensyaratkan

ketinggian hilal minimal 2°, elongasi atau jarak sudut matahari dan bulan

minimal 3°, atau umur bulan minimal 8 jam. Namun pada penetuan awal bulan

Ramadan 1443 H/2022 M melalui surat pemberitahuan nomor B-

79/DJ.III/HM.00/02/2022, Menteri Agama memberitahukan bahwa terdapat

kriteria MABIMS baru yang telah disepakati yaitu tinggi hilal minimal 3° dan

sudut elongasi minimal 6,4°.

Menurut Taufiq, Kementerian Agama RI dalam memberikan

keputusan perihal penentuan awal bulan Ramadan dan Syawal berdasarkan

82 Mutoha Arkanuddin, Muh. Ma’rufin Sudibyo, Kriteria Hilal Rukyatul Hilal Indonesia

(RHI) (Konsep, Kriteria, dan Implementasi), Jurnal Al-Marshad, Volume 1, No. 1. Juni 2015. h. 38. 83 Arino Bemi Sado, Imkan al-Rukyat MABIMS Solusi Penyeragaman Kalender Hijriah,

Jurnal (Istinbath) Hukum Islam, Volume 13, No. 1. Juni 2014. h. 25.

39

prinsip-prinsip antara lain: 84 Rukyat yang dijadikan sebagai acuan dalam

penentuan awal bulan Ramadan dan Syawal harus memenuhi syarat sebagai

berikut :

1. Rukyat harus diisbatkan oleh Hakim Peradilan Agama/Mahkamah

Syar’iyah setelah diteliti dari aspek syariat dan aspek ilmu hisab.85

2. Rukyat tidak bertentangan dengan hasil perhitungan pakar hisab qat’i.

3. Apabila hilal tidak dapat dirukyat karena ada halangan seperti mendung,

awan, polusi dan lain-lain, sedang menurut perhitungan hisab hilal

memungkinkan untuk dirukyat, maka dalam penetapannya berdasarkan

pada imkān al-ru’yah.

Pasal 52A Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 menegaskan bahwa

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memberikan isbat kesaksian

rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyyah. Dalam tataran

praktis, isbat kesaksian rukyat hilal oleh Pengadilan Agama dijadikan sebagai

salah satu acuan oleh Menteri Agama selaku Ketua Sidang isbat, dalam

menentukan awal atau akhir bulan Kamariah, terutama awal dan akhir bulan

Ramadan. Demikian atas dasar tersebut, aparat Pengadilan Agama

berkewajiban melaksanakan tugas dan kewenangan tersebut dengan penuh

kesungguhan, apatah lagi tugas dan kewenangan dimaksud sungguh sangat

mulia karena berkaitan dengan hajat umat Islam.

Pelaksanaan rukyat hilal awal dan akhir ramadan dilaksanakan di

bawah koordinasi Kementerian Agama. Tim rukyat yang ditunjuk di suatu

lokasi rukyat, biasanya berasal dari ahli falak/astronomi dari lingkungan

pesantren, instansi pemerintah dan perguruan tinggi serta Pengadilan Agama

(hakim dan panitera). Bahkan di luar tim yang telah ditunjuk, rukyat

84 Taufiq, Mekanisme Penentuan Awal Bulan Ramadan dan Syawal, (Jakarta : Direktorat

Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departmen Agama RI, 2004), dikutip dari Khaerun Nufus, Sidang Isbat Penetuan Awal Bulan Kamariah Perspektif Hukum Islam, Jurnal INKLUSIF, Volume 3, No. 1. Juni 2018. h. 8.

85 Abi Bakar ibnu Muhammad Syatha’, ad-Dimyati Hasiyah I’anah al-Talibin, Jilid 2.

(Surabaya: Dar al-Ilm t.th), dikutip dari Khaerun Nufus, Sidang Isbat Penetuan Awal Bulan

Kamariah Perspektif Hukum Islam. h. 9

40

dilaksanakan juga oleh ulama yang berasal dari pondok pesantren/ormas Islam

yang ada di kabupaten/daerah di mana tempat rukyat berada. Dalam

pelaksanaan rukyat tersebut biasanya dihadiri juga oleh masyarakat umum.

41

BAB III

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA TENTANG

RUKYAT HILAL DAN PENETAPAN ISBAT KESAKSIAN

RUKYAT HILAL

A. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun

2006

Kompetensi Pengadilan Agama berarti kewenangan Pengadilan Agama

untuk menentukan atau memutus sesuatu. Kompetensi peradilan agama

dirumuskan sebagai kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa,

mengadili, memutus, serta menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara

orang-orang yang beragama Islam dalam proses penegakan hukum dan

keadilan.86

Kewenangan Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama menurut

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 atas Perubahan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kewenangan pengadilan di

lingkungan Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan

hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim.

Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari’ah. Dalam kaitannya

dengan perubahan Undang-Undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam

penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama yang menyatakan: “Para Pihak sebelum berperkara dapat

mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam

pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.87

Kekuasaan mengadili suatu peradilan (kompetensi) dalam hukum acara

perdata dikenal dengan dua macam kompetensi, yakni kekuasaan kehakiman

86 Zulkarnaen, Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung:

Pustaka Setia, 2017), h.115. 87 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 atas perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama.

42

atribusi atau kompetensi absolut (attributtie van rechsmacht) dan kekuasaan

kehakiman distribusi atau kompetensi relatif (distributtie van rechsmacht).88

1. Kewenangan Absolut

Kewenangan absolut atau kewenangan mutlak adalah kewenangan

suatu badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara

mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan Pengadilan lain. 89 Kompetensi

absolut merupakan pembagian kekuasaan antara badan peradilan, dilihat

dari macam pengadilan dan menyangkut pemberian kekuasaan mengadili

atau dalam bahasa Belanda disebut attributtie van rechsmacht90, contohnya

perkara perceraian bagi orang-orang yang memeluk agama Islam dan

pelaksanaan perkawinan dilakukan secara Islam menjadi kewenangan

absolut pengadilan agama.91 Dalam istilah lain, tidak bisa pengadilan agama

menerima perkara dari orang-orang yang tidak beragama Islam.

Kompetensi absolut Peradilan Agama tertuang dalam Pasal 49 UU

Peradilan Agama. Berdasarkan ketentuan tersebut, Pengadilan Agama

berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat

pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a. Perkawinan yang dilakukan menurut syariah Islam;

b. Waris;

c. Wasiat;

d. Hibah;

88 Zulkarnain,“Hukum Kompetensi Peradilan Agama : Pergeseran Kompetensi Peradilan

Agama dalam Hukum Positif di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2021), h. 116-117. 89 Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Buku II Edisi Revisi:

Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. (Jakarta: Dit. Badilag MARI., 2013), h. 77

90 Zulkarnain, “Hukum Kompetensi Peradilan Agama : Pergeseran Kompetensi Peradilan

Agama dalam Hukum Positif di Indonesia”, h.117. 91 Zulkarnaen, Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung:

Pustaka Setia, 2017), h.117.

43

e. Wakaf;

f. Zakat;

g. Infaq;

h. Sedekah; dan

i. Ekonomi syariah.92

Kandungan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama tersebut, ditemukan 2 (dua) hal yang menjadi tolok ukur kompetensi

absolut Peradilan Agama, yaitu subjek hukumnya yang merupakan orang-

orang yang beragama Islam dan objek perkaranya yang merupakan sengketa

hukum Islam.93

Kendati demikian, pada Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 terdapat kewenangan dalam hal memberikan keterangan,

pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah

di daerah hukumnya, apabila diminta. Selain itu pada ayat 2 disebutkan

bahwa, pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau

berdasarkan undang-undang.94

2. Kewenangan Relatif

Kompetensi relatif adalah pembagian kewenangan atau kekuasaan

mengadili antar pengadilan. Pengertian lain dari kewenangan relatif adalah

kekuasaan Peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam

perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan tingkatan.

Kekuasaan atau wewenang yang diberikan kepada pengadilan dalam

lingkungan peradilan yang sama jenis dan tingkatan yang berhubungan

92 Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 atas perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama. 93 Zulkarnain,“Hukum Kompetensi Peradilan Agama : Pergeseran Kompetensi Peradilan

Agama dalam Hukum Positif di Indonesia”, h.118. 94 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

44

dengan wilayah hukum pengadilan dan wilayah tempat tinggal/tempat

kediaman atau domisili pihak yang berperkara.95

Sesuai ketentuan Pasal 118 HIR / 142 RBg, Pengadilan Agama

berwenang memeriksa gugatan yang daerah hukumnya, meliputi :96

a. Tempat tinggal Tergugat atau tempat Tergugat sebenarnya

berdiam.

b. Tempat tinggal salah satu Tergugat, jika tedapat lebih dari satu

Tergugat, yang tempat tinggalnya tidak berada dalam satu daerah

hukum Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah menurut

pilihan Penggugat.

c. Tergugat utama bertempat tinggal, jika hubungan antara

Tergugat-tergugat adalah sebagai yang berhutang dan

penjaminnya.

d. Tempat tinggal Penggugat atau salah satu dari Penggugat, dalam

hal :

1) Tergugat tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak diketahui

dimana ia berada.

2) Tergugat tidak dikenal. (Dalam gugatan disebutkan dahulu

tempat tinggalnya yang terakhir, baru keterangan bahwa

sekarang tidak diketahui lagi tempat tinggalnya di Indonesia).

e. Dalam hal Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya dan yang

menjadi objek gugatan adalah benda tidak bergerak, maka

gugatan diajukan di tempat benda yang tidak bergerak terletak

(Pasal 118 ayat (3) HIR / Pasal 142 ayat (5) RBg).

f. Jika ada pilihan domisili yang tertulis dalam akta, maka gugatan

diajukan di tempat domisili yang dipilih itu (Pasal 118 ayat (4)

HIR / Pasal 142 ayat (4) RBg).

95 Linda Firdawaty, “Analisis Terhadap UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Peradilan Agama”, Jurnal Al-‘Adalah, Voume X, No. 2, Juli 2011.. h. 214-215. 96 Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Buku II Edisi Revisi:

Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. (Jakarta: Dit. Badilag MARI., 2013), h. 76.

45

Terdapat hubungan antara kompetensi absolut dan kompetensi relatif

Pengadilan Agama. Apabila terjadi suatu perkara yang termasuk dalam

kompetensi absolut Pengadilan Agama, namun perkara tersebut terjadi di luar

daerah hukumnya, maka secara relatif Pengadilan Agama tersebut tidak

berwenang mengadili. Jika Pengadilan Agama tersebut tetap mengadili, maka

Pengadilan Agama yang bersangkutan telah melakukan tindakan melampaui

batas kewenangan (exceeding its power). Hal ini mengakibatkan pemeriksaan

dan putusan yang dijatuhkan dalam perkara itu tidak sah.

Kesimpulannya, kompetensi absolut Pengadilan Agama adalah

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan suatu perkara antara orang-orang

yang beragama Islam pada tingkat pertama. Ada pun objek perkara diatur

secara limitatif dalam UU Peradilan Agama. Sejalan dengan hal tersebut,

kompetensi relatif Pengadilan Agama ditentukan berdasarkan wilayah tempat

tinggal atau tempat kediaman atau domisili pihak yang berperkara.

B. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Pemeriksaan Laporan Penyaksian

Hilal di Indonesia

Selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk

memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat

atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadan dan awal

bulan Syawal tahun Hijriah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan

penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadan dan 1 (satu)

Syawal. Pengadilan agama dapat memberikan keterangan atau nasihat

mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.97

Dalam Penetapan Mahkamah Agung nomor KMA/095/X/2006,

Mahkamah Agung memberikan izin sidang itsbat kesaksian rukyat hilal

dengan hakim tunggal kepada Mahkamah Syar’iyah sewilayah hukum

Provinsi NAD dan Pengadilan Agama seluruh Indonesia.98 Pelaksanaan atau

97 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. 98 Penetapan Ketua Mahkamah Agung nomor KMA/095/X/2006.

46

tata cara pemeriksaan laporan penyaksian hilal di Indonesia terdapat pada

Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Itsbat Rukyat Hilal yang dikeluarkan oleh

Direktorat Pratalak Perdata Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan

Agama, Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pada pedoman tersebut

menyebutkan bahwa pelaksanaan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal dilaksanakan

dengan Hakim Tunggal dan diselenggerakan dengan cepat dan sederhana.

C. Kewenangan Memeriksa Kesaksian Hilal menurut Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 52A

Pada Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 disebut

bahwa peradilan agama juga diberikan tugas dan kewenangan lain, yaitu dalam

hal memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam

kepada instansi pemerintah di daerah kekuasaan hukumnya, apabila diminta.

Namun pemberian keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang hukum Islam

tersebut tidak dibenarkan dalam hal-hal yang berhubungan dengan perkara yang

sedang atau akan diperiksa pada pengadilan.99

Dalam ketentuan baru yang termuat pada Pasal 52A Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama berwenang memberikan

isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriah.

Penjelasan Pasal 52A Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama, selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk

memberikan penetapan (isbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau

menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki awal bulan Ramadan dan awal

bulan Syawal tahun Hijriah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan

penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadan dan 1 (satu)

Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan atau nasehat

mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.

99 Zulkarnaen, Dewi Mayaningsih,Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, h. 141-142.

47

Berdasarkan Penetapan Nomor : KMA 095/X/2006 Menetapkan,

Memberi ijin sidang itsbat kesaksian rukyat hilal dengan hakim tunggal kepada

Mahkamah Syar'iyyah se-wilayah hukum Provinsi NAD dan Pengadilan Agama

seluruh Indonesia.

Pasal 52A Undang-Undang No 3 Tahun 2006 mengatur bahwa Pengadilan

Agama memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan

tahun Hijriah. Dalam penjelasannya Pasal 52A disebutkan bahwa: “Pengadilan

Agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat)

terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal pada

setiap memasuki bulan Ramadan dan awal bulan Syawal tahun Hijriah dalam

rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara Nasional untuk

penetapan 1 Ramadan dan 1 Syawal. Peradilan Agama dapat memberikan

keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan

penentuan waktu salat.”100

Pengadilan Agama dalam hal ini, hanya diberikan kewenangan

mengisbatkan rukyat hilal dan bukan menyatakan atau bahkan memutuskan

kapan tepatnya awal bulan Ramadan, Syawal dan lainnya. Prosesnya adalah

Pengadilan Agama memeriksa apakah benar hasil rukyatnya, betulkah orang

telah melihatnya dengan dibuktikan dengan sumpah, begitu pula saksinya,

apakah ada kendala dalam proses pelaksanaannya dan semacamnya. Jika hal

tersebut dapat dibuktikan pada proses sidang, maka dalam hal tersebut dapat

menjadi pertimbangan Menteri Agama untuk mengeluarkan penetapan secara

nasional untuk penetapan awal bulan Kamariah.

D. Deskripsi Penetapan Pengadilan Agama tentang Isbat Kesaksian Rukyat

Hilal

1. Nomor. 01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd

a. Kasus Posisi

100 Linda Firdawaty, “Analisis Terhadap UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Peradilan Agama”,.... h. 219.

48

Penetapan Nomor. 01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd merupakan

penetapan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal yang diajukan oleh Kepala

Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sukabumi kepada Pengadilan

Agama Cibadak

b. Duduk Perkara

Pada tanggal 27 Mei 2016, pemohon telah mengajukan permohonan

penetapan (istbat) rukyatul hilal awal Ramadan 1437 H dan terdaftar di

Pengadilan Agama Cibadak dengan register perkara

01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd. Pemohon dalam hal ini Kepala Kantor

Kementerian Agama Kabupaten Sukabumi telah menunjuk petugas

tenaga pelaksana untuk melakukan rukyatul hilal awal Ramadan 1437 H

pada hari Minggu, tanggal 05 Juni 2016, di Pos Observasi Bulan (POB)

Cibeas, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.

Identitas tenaga pelaksana rukyatul hilal tersebut adalah :

- K.H. Aang Yahya bin K.H. Mahmud Zamahsyari, umur 46 tahun,

agama Islam, pekerjaan Pimpinan Pondok Pesantren Darul Hikmah

Sukaraja, bertempat tinggal di Goalpara Sukaraja Sukabumi,

selanjutnya disebut Perukyat I.

- K.H. Anshor Fudloli bin K.H. Muhammad Fudloli, umur 53 tahun,

agama Islam, pekerjaan Pimpinan Pondok Pesantren Sunanul Huda,

bertempat tinggal di Cikaroya Cisaat Sukabumi, selanjutnya disebut

Perukyat II.

- K.H. Mashudi bin K.H. Mahmud Zamahsyari, umur 53 tahun,

agama Islam, pekerjaan Pimpinan Pondok Pesantren Darul Hikmah

Sukaraja, bertempat tinggal di Goalpara Sukaraja Sukabumi,

selanjutnya disebut Perukyat III.

Para Perukyat tersebut adalah orang yang dipandang cakap dan

mampu untuk melaksanakan rukyatul hilal awal Ramadan 1437 H.

Berdasarkan hasil Hisab pada Kalender Taqwim Standar Indonesia

Kementerian Agama Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat, ijtima awal

49

bulan Ramadan 1437 H jatuh pada hari Ahad (Minggu), tanggal 05 Juni

2016 M/ 29 Syakban 1437 H, pada pukul 10.00 WIB, saat matahari

terbenam (Ghurub al-Syams) tinggi hilal +04°36'32", umur hilal 7 jam

45 menit. Berdasarkan data tersebut, visibilitas hilal awal Ramadan 1437

H termasuk ke dalam imkaanur rukyah.

Hasil penetapan (isbat) rukyatul hilal ini dilaporkan kepada

Kementerian Agama Pusat untuk dijadikan alat bukti dan bahan

pertimbangan menetapkan tanggal 01 Ramadan 1437 H.

c. Petitum

Pemohon memohon agar Ketua Pengadilan Agama Cibadak c.q

Hakim yang memeriksa perkara ini agar menjatuhkan penetapan yang

amarnya berbunyi sebagai berikut :

- Mengabulkan permohonan Pemohon

- Menyatakan bahwa hilal awal Ramadan 1437 H telah terlihat dalam

rukyatul hilal di Pos Observasi Bulan (POB) Cibeas, Palabuhanratu,

Kabupaten Sukabumi

- Membebankan biaya perkara menurut hukum.

d. Proses Pemeriksaan

Pada hari sidang yang telah ditentukan, Pemohon telah menghadap

ke persidangan dan menyatakan tetap dengan permohonannya dan

mohon agar diberi penetapan.

Guna meneguhkan dalil-dalil permohonan, Pemohon telah

menghadapkan para Perukyat yang memberikan kesaksian masing-

masing sebagai berikut:

- Perukyat I memberikan keterangan pada pokoknya sebagai berikut:

Bahwa Perukyat I tidak berhasil melihat hilal awal Ramadan 1437

H karena cuaca mendung dan tertutup awan.

- Perukyat II memberikan keterangan pada pokoknya sebagai berikut:

Bahwa Perukyat I tidak berhasil melihat hilal awal Ramadan 1437

H karena cuaca mendung dan tertutup awan.

50

- Perukyat III memberikan keterangan pada pokoknya sebagai

berikut: Bahwa Perukyat I tidak berhasil melihat hilal awal Ramadan

1437 H karena cuaca mendung dan tertutup awan.

e. Pertimbangan Hakim

Pertimbangan Hakim pada penetapan Nomor.

01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd berlandaskan pada kompetensi absolut

Pengadilan Agama pada Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang

Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Perkara permohonan a quo adalah termasuk kompetensi absolut

Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal 52A Undang-Undang

No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (vide

penjelasan Pasal demi Pasal, angka 39). Oleh karena itu perkara a quo

dapat diperiksa lebih lanjut.

Data hisab pada Kalender Taqwim Standar Indonesia Kementerian

Agama kantor wilayah Provinsi Jawa Barat yang menerangkan bahwa

Ijtimak awal bulan Ramadan 1437 H jatuh pada hari Ahad (Minggu)

tanggal 05 Juni 2016, pukul 10.00 WIB, dan saat matahari terbenam

tinggi hilal +04°36'32" dan umur hilal 7 jam 45 menit, jika dilihat

berdasarkan kriteria imkanur rukyat MABIMS yang mensyariatkan

ketentuan minimum visibilitas hilal dengan tinggi hilal minimum 2°,

elongasi sudut bulan dan matahari minimum 3° atau umur bulan sejak

ijtimak sampai dengan saat matahari terbenam minimum 8 jam,

visibilitas hilal dalam kondisi ini adalah hal yang logis dan secara

empiris telah sering dilaporkan oleh perukyat Indonesia.

51

Para perukyat menyatakan tidak berhasil melihat hilal awal bulan

Ramadan karena cuaca mendung dan tertutup awan. Walaupun dalam

segi perhitungan hisab visibilitas hilal dimungkinkan, namun keadaan

cuaca yang menghalangi pandangan mata untuk melihat hilal adalah

peristiwa alam yang logis, sehingga kesaksian para Perukyat yang

menyatakan tidak berhasil melihat hilal Ramadan 1437 H dapat diterima.

Keterangan para Perukyat yang menyatakan tidak berhasil melihat

hilal Ramadan 1437 H di Pos Observasi Bulan Cibeas, Palabuhanratu,

Kabupaten Sukabumi, bila terjadi hal yang sama, kesaksiannya dapat

menjadi pertimbangan bagi Menteri Agama Republik Indonesia.

f. Amar Penetapan

MENETAPKAN

- Menolak permohonan Pemohon

- Menyatakan bahwa hilal awal Ramadan 1437 H tidak terlihat dalam

rukyatul hilal di Pos Observasi Bulan (POB) Cibeas, Palabuhanratu,

Kabupaten Sukabumi pada hari Minggu, tanggal 05 Juni 2016.

- Membebankan kepada negara melalui DIPA Kementerian Agama

Kabupaten Sukabumi untuk membayar biaya perkara sejumlah

Rp.91.000,- (Sembilan puluh satu ribu rupiah).

2. Nomor. 1/Itsb.R.H./2016/PA.Gs

a. Kasus Posisi

Penetapan Nomor. 1/Itsb.R.H./2016/PA.Gs merupakan penetapan

Isbat Kesaksian Rukyat Hilal yang diajukan oleh Kasi Penyelenggara

Syariah Kementerian Agama Kabupaten Gresik kepada Pengadilan

Agama Gresik

b. Duduk Perkara

Pada tanggal 23 Mei 2016, pemohon telah mengajukan permohonan

penetapan (istbat) rukyatul hilal awal Ramadan 1437 H dan terdaftar di

Pengadilan Agama Gresik dengan register perkara

01/Itsbat.RH/2016/PA.Gs. Pemohon dalam hal ini PNS/ Kasi

Penyelenggara Syariah pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten

52

Gresik. Pemohon akan melaksanakan rukyatul hilal awal Ramadan 1437

H pada hari Minggu, tanggal 05 Juni 2016, di Balai Rukyat Bukit

Condrodipo Markas.

Identitas para syahid (perukyat) rukyatul hilal tersebut adalah :

- Muhammad Iwanuddin bin H. Muh. Khudori, umur 37 tahun,

agama Islam, pekerjaan Swasta, bertempat tinggal di Jl. Sunan

Giri Gg. 15 C No. 2, Gresik, selanjutnya disebut Perukyat I.

- Muhammad Sholekhuddin, umur 41 tahun, agama Islam,

pekerjaan Guru/Dosen, bertempat tinggal di Jalan Abdul Karim

Rt. 03 Rw. 03, Yosowilangun, Gresik, selanjutnya disebut

Perukyat II.

Pemohon mengajukan permohonan dengan menyerahkan data-data

menurut perhitungan berdasarkan methode ephemeris sebagai berikut:

1) Lokasi Balai Rukyat Bukit Condrodipo Markas : 7° 10' 11.1"

LS/ 112° 37' 2,5" BT

2) Waktu Ijtima’

- Jam : 10 : 02 : 04 WIB

- Hari : Ahad Legi

- Tanggal : 05 Juni 2016

3) Waktu Matahari terbenam (ghurub) : 17.21' 25" WIB

4) Arah/ Azimuth Matahari (Az0 ) : 292° 38' 21" UTSB

5) Arah/ Azimuth Hilal/Bulan : 288° 45' 13" UTSB

6) Perkiraan tinggi hilal dari ufuk saat di lihat

- Haqiqi (Geocentric) : 04° 03' 22"

- Mar’iy (Topocentric) : 03° 50' 38"

7) Lama hilal saat di lihat : 00 j 17 m 35 d

8) Hilal Terbenam : 17 : 39 : 00 WIB

9) Besar Cahaya : 0,33 %

c. Petitum

Pemohon memohon agar Ketua Pengadilan Agama Gresik c.q

Hakim Tunggal yang menyidangkan perkara ini agar berkenan

53

memanggil, memeriksa, dan mengadili perkara serta menjatuhkan

penetapan sebagai berikut :

- Mengabulkan permohonan Pemohon

- Menetapkan (mengitsbatkan) bahwa pemohon telah menerima

laporan perukyat kesaksian hilal pada awal bulan Ramadan 1437

H.

- Membebankan biaya penetapan ini kepada anggaran Dinas

Kantor Kementerian Agama Kabupatebn Gresik.

d. Proses Pemeriksaan

Hakim telah memeriksa laporan para syahid (perukyat) dengan

mengajukan pertanyaan kepada para syahid (perukyat) tersebut

mengenai bagaimana yang bersangkutan melihat hilal, kemudian Hakim

telah meneliti (memverifikasi) titik koordinat hilal yang dilihat oleh Para

Perukyat ditempat rukyat dilaksanakan dan memperoleh data-data yang

bersesuaian antara hasil perhitungan Pemohon dengan laporan Perukyat

sebagai berikut:

1) Waktu Matahari terbenam : 17° 32' 02" WIB

2) Waktu melihat hilal : 17° 32" sampai 17° 50" WIB

3) Perkiraan tinggi hilal dari ufuk

saat dilihat

: ± 2°

4) Lama hilal saat dilihat tertutup

awan

: 1 menit 57 detik kemudian

tertutup awan

5) Cara Syahid melihat hilal : Dengan mata telanjang dan di

Verifikasi dengan menggunakan

alat bantu teodolit dan handy cam

yang ditransfer dan direkam ke

LCD Projektor

6) Arah (Azimut) Hilal saat

terlihat

: Sebelah selatan matahari

dengan selisih azimuth 06° 06'

54

02" yaitu azimuth Matahari 286°

16' 55" UTSB 280° 22' 53"

UTSB (Data Teodolit)

7) Keadaan posisi dan bentuk

hilal saat di lihat

: Keadaan posisi bulan (hilal) di

sebelah kiri atas matahari bentuk

Sabit menghadap selatan dan

keatas dengan gambar

8) Kondisi kecerahan

langit/horizon dari ufuk saat

dilihat

: Cerah berawan

Atas perintah Hakim para syahid (perukyat) sekaligus saksi

Bernama : H. Muhammad Iwanuddin bin H. Muh. Khudori dan

Muhammad Sholekhuddin telah mengucapkan sumpah dengan lafazh

sebagai berikut:

“Asyhadu an laa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadar

Rasulullah”. Wallahi, Wabillahi, Watallahi, Demi Allah, saya bersumpah

bahwa pada hari ini Ahad tanggal 29 Syakban 1437 H mulai jam 17 : 21 :

29 sampai jam 17 : 22 : 25 saya benar-benar telah melihat hilal di Bukit

Condrodipo, Desa Kembangan, Kecamatan Kebomas, Kabupaten

Gresik”.

e. Pertimbangan Hakim

Pertimbangan Hakim pada perkara Nomor: 1/Isbt.R.H/2016/PA.Gs.

Setelah membaca surat penetapan ketua Mahkamah Agung RI Nomor

KMA/095/X/2006 tentang sidang Isbat Kesaksian Rukyat Hilal. Surat

Mahkamah Agung RI, Dirjen Badilag, Direktorat Pranata dan Tata

Laksana Perkara Perdata Agama, tanggal 31 Mei 2016 nomor

151/DJA.4/OT.01.3/V/2016 perihal Isbat Rukyatul Hilal awal Ramadan,

Syawal, dan Zulhijah 1437 H. Surat Dirjen Bimas Islam Kemenag RI

Nomor 1265/Dt.III.1/5/HM.00.05/2016 tanggal 12 Mei 2016.

55

Berdasarkan permohonan pemohon, keterangan saksi 2 orang

perukyat (syahid) serta penelitian (verifikasi hakim) terhadap koordinat

hilal yang dilaporkan yang telah dilihat oleh para syahid di tempat rukyat

tersebut terdapat fakta-fakta sebagaimana telah diurai pada duduk perkara.

Pada masa permulaan Islam penetapan awal bulan Ramadan

dilaksanakana berdasarkan laporan perukyat (syahid) tanpa ada ketentuan

harus sesuai dengan kriteria Imkanurrukyah atau jika tidak ada laporan

perukyat yang melihat hilal ditetapkan dengan menggenapkan bulan

sebelumnya menjadi 30 hari, sebagaimana Hadis-Hadis Nabi Muhammad

saw. antara lain sebagai berikut :

(1) Riwayat Bukhori Muslim :

ة شعبان ثالثي )متفق صموا لرئ يته وافطروا لرئ يته فإن غب عليكم فأكملوماالعد

عليه(

Artinya : “Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal) dan

ahirilah shaum bila kalian melihatnya (hilal). Tetapi jika

terhalang maka genapkanlah bilangan Syakban 30 hari.” (HR.

Bukhari Muslim)

(2) Riwayat Imam Abu Daud :

م رأوالالل ابألمس أن ركبا جاءوا إل النب صلى هللا عليه وسلم يشهدون أن

هم فأمرهم أن يث فطروا وإذا أصبحوا أن ي غدوا إل مصال

Artinya : “Ada sekelompok orang datang kepada Rasulullah

saw. bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal, kemudian Rasul

memerintahkan untuk berbuka dan esok harinya Rasul

memerintahkan mereka pergi ke masjid (Sholat Ied).”

Bahwa pemerintah Republik Indonesia Cq. Kementerian Agama RI

dan Negara-negara yang tergabung dalam MABIMS (Menteri-menteri

Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) telah

menentukan standar Imkanur Rukyat (Crescent Visibility) dengan 3 (tiga)

56

parameter yang telah dijadikan dasar kriteria tersebut telah terpenuhi

untuk data hilal awal Ramadan 1437 H, oleh karena itu maka hilal pada

hari ahad 29 Syakban 1437 H/ 05 Juni 2016 M termasuk hilal yang

mungkin dapat dilihat.

Hakim perbendapat bahwa kesaksian rukyatul hilal tersebut telah

sesuai dengan perhitungan hisab, tidak bertentangan dengan akal sehat,

kaidah ilmu hisab dan kaidah syar’i, kesaksian rukyatul hilal tersebut telah

memenuhi syarat formil maupun materiil, dan oleh karena itu maka

permohonan harus dikabulkan dengan menetapkan (mengisbatkan)

kesaksian rukyatul hilal oleh para perukyat pada awal bulan Ramadan

1437 H/ 2016 M yang dilaksanakan pada hari Ahad tanggal 05 Juni 2016

di Balai Rukyat NU Bukit Condro Dipo, Desa Kembangan, Kecamatan

Kebomas, Kabupaten Gresik, telah berhasil melihat hilal.

f. Amar Penetapan

MENETAPKAN

- Mengabulkan permohonan Pemohon

- Menetapkan (mengisbatkan) kesaksian Rukyatul Hilal oleh para

perukyat pada awal bulan Ramadan 1437 H / 2016 M yang

dilaksanakan pada hari Ahad tanggal 5 Juni 2016 di Balai Rukyat NU

Bukit Condro Dipo, Desa Kembangan, Kecamatan Kebomas,

kabupaten Gresik, telah berhasil melihat hilal.

- Membebankan biaya penetapan ini kepada anggaran Kantor

Kementerian Agama Kabupaten Gresik sebesar Rp.91.000,-

(Sembilan puluh satu ribu rupiah).

3. Nomor. 121/Pdt.P/2016/PA.Bjn

a. Kasus Posisi

Penetapan Nomor.121/Pdt.P/2016/PA.Bjn merupakan penetapan

Isbat Kesaksian Rukyat Hilal yang diajukan oleh Kasi Penyelenggara

Syariah Kementerian Agama Kabupaten Bojonegoro kepada Pengadilan

Agama Bojonegoro.

b. Duduk Perkara

57

Pemohon selaku Kepala Seksi Penyelenggara Syariah Kantor

Kementerian Agama Kabupaten Bojonegoro mengajukan permohonan

tertanggal 05 Juni 2016, dengan nomor register perkara

Nomor.121/Pdt.P/2016/PA.Bjn yang pada pokoknya pemohon

melaporkan 2 (dua) orang Syahid/perukyat telah melihat hilal awal bulan

Ramadan 1437 H dalam rukyat yang dilaksanakan di Bukit Wonocolo

Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur pada hari

Ahad tanggal 5 Juni 2016 bertepatan dengan tanggal 29 Syakban 1437 H

pada jam 17:26:15 s.d 17:43:06 WIB, masing-masing bernama :

1) Nama : Harun

Umur : 45

Agama : Islam

Pekerjaan : Tani/Tokoh Masyarakat

Alamat : Ds. Wonocolo, Kec. Kasiman, Kab. Bojonegoro

2) Nama : Drs. Much Tarom

Umur : 56

Agama : Islam

Pekerjaan : PNS/ Camat Kasiman

Alamat : Ds. Klampon, Kec. Ngraho, Kab. Bojonegoro

c. Proses Pemeriksaan

Para Syahid (Perukyat) telah memberikan keterangan rukyat hilal

dengan hasil sebagai berikut :

- Waktu matahari terbenam pukul 17.26 WIB

- Waktu melihat hilal pukul 17.34 WIB

- Perkiraan tinggi hilal saat dilihat 2 Derajat 10 Menit Busur

- Lama hilal saat dilihat 30 detik

- Cara melihat hilal dengan mata telanjang

- Arah Matahari terbenam disebelah utara hilal

- Arah bulan/ hilal pada sat dilihat miring ke selatan

- Kondisi kecerahan langit/horizon dari ufuk saat dilihat cerah

- Keadaan cuaca saat hilal terlihat cerah

58

Para Syahid (perukyat) telah mengangkat sumpah dihadapan sidang di

tempat yang dihadiri oleh pemohon dan 2 (dua) orang saksi masing-

masing bernama:

a. Nama : KH. Thuhri

Umur : 60

Agama : Islam

Pekerjaan : Anggota BHR Kab. Bojonegoro

Alamat : Ds. Tanjungharjo, Kec. Kapas, Kab. Bojonegoro

b. Nama : H. Nasiuddin

Umur : 49

Alamat : Islam

Pekerjaan : Anggota BHR Kab. Bojonegoro

Alamat : Ds. Tanjungharjo, Kec. Kapas, Kab. Bojonegoro

d. Pertimbangan Hakim

Pertimbangan Hakim pada penetapan Nomor.

121/Pdt.P/2016/PA.Bjn berlandaskan pada Pasal 52A Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa Pengadilan

Agama berwenang memberikan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal dalam

penentuan awal bulan pada tahun Hijriah, sebab itu perkara ini menjadi

wewenang Pengadilan Agama Bojonegoro.

Pemohon melaporkan 2 (dua) orang Syahid/perukyat telah melihat

hilal awal bulan Ramadan 1437 H dalam rukyat yang dilaksanakan di

Bukit Wonocolo Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa

Timur pada hari Ahad tanggal 5 Juni 2016 bertepatan dengan tanggal 29

Syakban 1437 H pada jam 17:26:15 s.d 17:43:06 WIB, masing-masing

bernama :

1) Nama : Harun

Umur : 45

Agama : Islam

Pekerjaan Tani/Tokoh Masyarakat

59

Alamat : Ds. Wonocolo, Kec. Kasiman, Kab. Bojonegoro

2) Nama : Drs. Much Tarom

Umur : 56

Agama : Islam

Pekerjaan : PNS/ Camat Kasiman

Alamat : Ds. Klampon, Kec. Ngraho, Kab. Bojonegoro

Para Syahid (Perukyat) telah memberikan keterangan rukyat hilal

dengan hasil sebagai berikut :

- Waktu matahari terbenam pukul 17.26 WIB

- Waktu melihat hilal pukul 17.34 WIB

- Perkiraan tinggi hilal saat dilihat 2 Derajat 10 Menit Busur

- Lama hilal saat dilihat 30 detik

- Cara melihat hilal dengan mata telanjang

- Arah Matahari terbenam disebelah utara hilal

- Arah bulan/ hilal pada sat dilihat miring ke selatan

- Kondisi kecerahan langit/horizon dari ufuk saat dilihat cerah

- Keadaan cuaca saat hilal terlihat cerah

Para Syahid (perukyat) telah mengangkat sumpah dihadapan sidang

di tempat yang dihadiri oleh pemohon dan 2 (dua) orang saksi masing-

masing bernama:

c. Nama : KH. Thuhri

Umur : 60

Agama : Islam

Pekerjaan : Anggota BHR Kab. Bojonegoro

Alamat : Ds. Tanjungharjo, Kec. Kapas, Kab. Bojonegoro

d. Nama : H. Nasiuddin

Umur : 49

Alamat : Islam

Pekerjaan : Anggota BHR Kab. Bojonegoro

Alamat : Ds. Tanjungharjo, Kec. Kapas, Kab. Bojonegoro

Bahwa sebagaimana pada salah satu Hadis menyebutkan :

60

قال احلسن يف حديثه (جاء أعرب إل النب صلى هللا عليه وسلم ف قال إن رأيت الالل

د رسول هللا ق اف قال اتشهد أن ال اله اال هللا ق )ي عن رمضان .عمل ن ال اتشهد أن مم

س فاليصوموا غدا )رواه أبو داود( اقال ي بالل اذن يف الن

Artinya : “Datang seorang Badui ke Rasulullah saw. seraya

berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. (Hasan, perawi hadis

menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud sang badui yaitu hilal

Ramadan). Rasulullah saw. bersabda: Apakah kamu bersaksi bahwa

tiada Tuhan selain Allah? Dia berkata: Benar. Beliau meneruskan

pertanyaanya seraya berkata : Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad

adalah utusan Allah? Dia berkata: Ya benar. Kemudian Rasulullah

memerintahkan orang-orang untuk berpuasa besok.”

Sesuai dengan Penetapan Nomor KMA.095/X/2006 telah

menetapkan memberi izin sidang isbat kesaksian rukyat hilal dengan

hakim tunggal kepada Mahkamah Syar’iyyah se wilayah hukum Provinsi

NAD dan Pengadilan Agama seluruh Indonesia. Berdasarkan laporan

pemohon tentang kesaksian rukyat hilal telah bersesuaian dengan

perhitungan hisab, tidak bertentangan dengan akal sehat, kaidah ilmu

pengetahuan dan kaidah syar’i, maka permohonan patut dikabulkan.

e. Amar Penetapan

MENETAPKAN

- Mengabulkan permohonan Pemohon

- Menetapkan (mengisbatkan) bahwa 2 (dua) orang Syahid

(saksi/perukyat) yaitu:

• Nama : Harun

Umur : 45

Agama : Islam

Pekerjaan : Tani/Tokoh Masyarakat

Alamat : Ds. Wonocolo, Kec. Kasiman, Kab. Bojonegoro

61

• Nama : Drs. Much Tarom

Umur : 56

Agama : Islam

Pekerjaan : PNS/ Camat Kasiman

Alamat : Ds. Klampon, Kec. Ngraho, Kab. Bojonegoro

- Membebankan biaya penetapan ini kepada anggaran Kantor

Kementerian Agama Kabupaten Bojonegoro sebesar Rp.91.000,-

(Sembilan puluh satu ribu rupiah).

62

BAB IV

KEDUDUKAN ISBAT PENGADILAN AGAMA DALAM

KESAKSIAN RUKYATUL HILAL DI INDONESIA

A. Prosedur Isbat Rukyatul Hilal di Pengadilan Agama

1. Pelaksanaan dan Pencatatan Sidang Isbat Rukyat Hilal

a. Pelaksanaan Sidang Isbat Rukyat Hilal

Pelaksanaan sidang isbat kesaksian rukyat hilal berada di tempat

pengamatan rukyat hilal (sidang di tempat). Persidangan dilakukan sesuai

dengan Asas Peradilan yakni Asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Selain

itu, pelaksanaannya menyesuaikan dengan kondisi setempat.

Kantor Kementerian Agama atau Instansi lain yang terkait

merupakan pemohon beserta pelapor, mengajukan perkara permohonan

isbat kesaksian rukyat hilal kepada Pengadilan Agama/Mahkamah

Syar'iyah yang mewilayahi tempat pelaksanaan rukyat hilal. Sesuai dengan

kewenangan Relatif Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah.

Setelah perukyat (syahid) diperiksa oleh hakim, apabila berpendapat

syahid/ perukyat serta kesaksiannya memenuhi syarat formil dan materiil,

syaratnya adalah sebagai berikut:101

a. Syarat Formil :

1) Aqil baligh atau sudah dewasa.

2) Beragama Islam.

3) Laki-laki atau perempuan.

4) Sehat akalnya.

5) Mampu melakukan rukyat.

6) Jujur, Adil dan dapat dipercaya.

101 Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Isbat Rukyat Hilal, Direktorat Pratalak Perdata Agama,

Direktorat Jenderal Peradilan Agama, Mahkamah Agung.

63

7) Mengucapkan sumpah kesaksian rukyat hilal di muka sidang

Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyyah dan disaksikan oleh 2

(dua) orang saksi.

b. Syarat Materiil :

1) Perukyat menerangkan tanpa diwakilkan bahwa ia melihat hilal dan

melihat sendiri dengan mata kepala maupun menggunakan alat

penunjang.

2) Perukyat benar-benar mengetahui bagaimana proses melihat hilal

(rukyat), yaitu kapan waktu melihat hilalnya, di mana tempatnya,

berapa lama waktu untuk melihatnya, di mana letak, arah posisi dan

keadaan hilal saat dilihat, serta bagaimana kecerahan cuaca

langit/horizon saat hilal dapat dilihat.

3) Keterangan yang dilaporkan oleh perukyat dari hasil rukyat tidak

bertentangan dengan akal sehat, perhitungan ilmu hisab, kaidah

ilmu pengetahuan serta kaidah syar’i.

Selanjutnya hakim tersebut memerintahkan perukyat (syahid) mengucapkan

sumpah dengan lafaz sebagai berikut: "Asyhadu an laa ilaaha illa Allah wa

asyhadu anna Muhammadar rasulullah, demi Allah Saya bersumpah bahwa

Saya telah melihat hilal awal bulan tahun ini”. Pengangkatan sumpah para

perukyat (syahid) didampingi 2 (dua) orang saksi. Selanjutnya, hakim

menetapkan/memberikan isbat kesaksian rukyat tersebut, dan dicatat dalam

berita acara persidangan oleh panitera sidang yang bertugas. Isbat kesaksian

rukyat hilal tersebut diserahkan kepada penanggung jawab rukyat hilal (Cq.

Kantor Kementerian Agama setempat). Selanjutnya petugas Kementerian

Agama melaporkan penetapan tersebut kepada panitia sidang Isbat Nasional

Kementerian Agama RI di Jakarta.

b. Pencatatan Sidang Isbat Rukyat Hilal

Panitera atau petugas yang diberi amanah oleh Pengadilan

Agama/Mahkamah Syar'iyah mencatat permohonan tersebut dalam

Register Permohonan Sidang Isbat Rukyatul Hilal. Selanjutnya, Ketua

Pengadilan Agama /Mahkamah Syar’iyah sesuai dengan aturan yang tertera

64

pada KMA 095/X/2016 menunjuk hakim tunggal untuk menyidangkan

permohonan tersebut.

Panitera Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah menugaskan

panitera sidang untuk mendampingi hakim dan mencatat persidangan dalam

berita acara. Hakim dan panitera sidang yang bertugas harus menyaksikan

prosesi rukyat hilal. Waktu pelaksanaannya harus sesuai dengan data yang

diterbitkan oleh Badan Hisab Rukyat atau nama lainnya yang ditetapkan

oleh Menteri Agama. Register permohonan sidang isbat rukyat hilal, telah

tersedia di kantor PA. masing-masing Nomor perkara dibuat seperti ini

Nomor : 000/Isbat R.H/2015/PA. Cth

2. Tata Cara Pemeriksaan Penetapan Penyaksian Rukyat Hilal

a. Kelengkapan dalam pemeriksaan

Hasil rukyat dapat disampaikan baik secara lisan maupun tulisan dan

memberikan kesaksian selengkap mungkin tentang penangkapan hilal yang

telah berhasil dilihat, seperti posisi hilal saat terlihat, warna hilal, orientasi

sabit hilal (dengan cara memperlihatkan gambar), kemiringan dan dasar

berfikir yang dapat dipercaya dan meyakinkan bahwa yang dilihat adalah

hilal bukan pantulan cahaya matahari oleh awan atau obyek lainnya.

Kesaksian rukyat hilal dapat diterima setelah dilakukan pemeriksaan. Sebab

itu, keyakinan dan pengetahuan dasar tentang penampakan hilal adalah

modal penting bagi perukyat hilal.

b. Kelengkapan administrasi permohonan isbat kesaksian rukyat hilal

Pengaturan administreas peradilan dipersiapkan guna kelancaran

serta ketertiban dalam pemeriksaan, penyumpahan dan penetapan isbat

rukyatul hilal, hal tersebut meliputi :

1) Register permohonan Isbat kesaksian rukyat hilal

2) Permohonan isbat kesaksian rukyatul hilal;

3) Berita acara persidangan pemeriksaan isbat kesaksian rukyatul

hilal;

4) Penetapan isbat kesaksian rukyatul hilal;

5) Biaya perkara.

65

Hal tersebut menjadi tanggung jawab kepaniteraan dan dimasukkan

ke dalam tugas Kepaniteraan Permohonan yang diproses seperti halnya

perkara permohonan. Selanjutnya, diperlukan pula adanya tenaga teknik

yang menguasai hal tersebut baik hakim, kepaniteraan maupun staf serta

sarana dan prasarana yang memadai agar dapat memberikan pelayanan yang

optimal

3. Data Hisab dan Rukyat

Data perhitungan hisab dan rukyat yang digunakan adalah

bersumber dari data astronomi, antara lain Almanak Nautika, Ephemeris Hisab

Rukyat, dan Ephemeris Al-Falakiyah, atau data yang dihimpun dari Badan

Hisab Rukyat Kementerian Agama, atau nama lainnya yang ditetapkan.

4. Syahadah Kesaksian Rukyat Hilal

Saksi dalam kesaksian rukyat dibedakan menjadi 2 ( dua ) macam :102

a. Syahid/perukyat : Saksi yang mengetahui langsung, melapor melihat

hilal dan diambil sumpahnya oleh hakim.

b. Saksi yang menyaksikan seseorang atau beberapa orang yang melapor

telah melihat hilal, dan hadir serta diangkat sumpahnya di persidangan

dengan jumlah 2 (dua) orang.

5. Permohonan, Berita Acara Persidangan, dan Penetapan

Permohonan sidang isbat awal bulan Ramadan, Syawal dan

Zulhijjjah merupakan kewenangan Peradilan Agama yang diamanahkan oleh

Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Prosedur permohonan

begitu pula dengan surat permohonan dibuat seperti halnya permohonan pada

umumnya. 103 Penanganan hal ini dapat diajukan pula mengikuti prosedur

khusus, yaitu terdapat pengajuan permohonan, pencatatan dalam register

khusus, pemeriksaan dan penetapan.104

102 Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Isbat Rukyat Hilal, Direktorat Pratalak Perdata Agama,

Direktorat Jenderal Peradilan Agama, Mahkamah Agung. 103 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022. 104 Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Isbat Rukyat Hilal, Direktorat Pratalak Perdata Agama,

Direktorat Jenderal Peradilan Agama, Mahkamah Agung.

66

Berita acara sidang isbat kesaksian rukyat hilal dibuat oleh Panitera

sidang yang telah ditunjuk oleh Panitera serta Ketua Pengadilan Agama,

dengan mengacu pada ketentuan Pembuatan Berita Acara Sidang perkara

permohonan yang lain, baik itu format, isi dan tata caranya, yang ditanda

tangani oleh Hakim yang bersidang dan Panitera Sidang.

Penetapan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal yang telah dibuat dan

ditanda-tangani oleh hakim, bukan merupakan putusan akhir atau final dan

mengikat untuk semua orang. Tetapi penetapan ini merupakan alat bukti dan

bahan pertimbangan Menteri Agama dalam “sidang isbat penentuan awal

bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah” secara Nasional. Penetapan hakim

tersebut dapat diterima atau pun tidak diterima oleh para peserta sidang isbat

atau Menteri Agama sekaligus memberikan pengumuman atau pemberitahuan

kepada masyarakat umum, kapan memulai ibadah puasa Ramadan, hari raya

Idul Fitri (1 Syawal) dan awal bulan Zulhijah (Idul Adha 10 Zulhijah). Biaya

permohonan pelaksanaan sidang isbat atau sidang di tempat ini sepenuhnya

dibebankan atas biaya dinas dari Kementerian Agama sebagai pihak pemohon.

B. Dasar Pertimbangan Hakim pada Penetapan Nomor.

01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd, Nomor. 1/Itsb.R.H/2016/PA.Gs, dan Nomor.

121/Pdt.P/2016/PA.Bjn

Berdasarkan perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama yakni

perihal Isbat Kesaksian Rukyat Hilal yang termuat pada penetapan Nomor.

01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd, Nomor. 1/Itsb.R.H/2016/PA.Gs, dan Nomor.

121/Pdt.P/2016/PA.Bjn yang pada ketiga penetapan tersebut mengajukan perkara

permohonan untuk mengisbatkan atau menetapkan kesaksian rukyat yang akan

dilaksanakan pada hari Ahad, 05 Juni 2016.

Dalam penetapan tersebut pembuktian yang dilakukan pada pemeriksaan

perkara dalam sidang adalah sumpah perukyat/syahid. Pembuktian menurut Eddy

O.S Hiariej bahwa pembuktian merupakan hal yang sangat krusial dalam

menyelesaikan suatu permasalahan hukum, di mana pembuktian merupakan

jantung dalam persidangan suatu perkara di pengadilan karena berdasarkan

67

pembuktianlah hakim akan mengambil keputusan mengenai benar atau salahnya

seseorang dalam berperkara.105 Istilah pembuktian dalam Bahasa Arab dikenal

sebagai al-bayyinah yang memiliki arti satu yang menjelaskan. Pembuktian

bermakna memberikan keterangan dengan dalil yang dapat meyakinkan,

sedangkan makna membuktikan yakni mempertimbangkan secara logis

kebenaran terhadap fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan

menurut hukum berlaku, guna mendapatkan kepastian atas suatu peristiwa atau

fakta yang diajukan itu benar terjadi, kebenarannya dibuktikan, sehingga terlihat

adanya hubungan hukum antara para pihak.106

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman

bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata

tertentu yang diatur dalam Undang-Undang.107 Pada Pasal 52 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tertera “Pengadilan

dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam

kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta”. Pada tahun

2006 seiring dengan perubahannya Undang-Undang tentang Kekuasaan

Kehakiman, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 diubah menjadi Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006, pada Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 terdapat kewenangan yang diamanahkan kepada Pengadilan

Agama/Mahkamah Syar’iyah menjadi dasar pelaksanaan Isbat Rukyat Hilal.

Hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah diminta memberikan

keterangan, pertimbangan, serta nasihat oleh Kementerian Agama dalam

pelaksanaan rukyat hilal yang dilaksanakan dibeberapa titik di Indonesia, hal ini

sesuai dengan kompetensi absolut dari Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah

itu sendiri. Permintaan tersebut sesuai dengan Pasal 52 UU No. 7 Tahun 1989,

yakni sesuai dengan daerah hukumnya, di mana Pengadilan Agama diminta oleh

105 Rahman Amin, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana dan Perdata, (Sleman:

Deepublish, 2020), h. 15. 106 Zulkarnaen, Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia……. h. 283. 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

68

Kementerian Agama Kabupaten di wilayah yuridiksinya. Sesuai dengan

kewenangan relatifnya, jika tidak sesuai maka perkara tidak bisa dilanjutkan ke

tahap berikutnya.

Pasal 52A berbeda dengan penetapan hakim dalam kitab-kitab fikih,

hakim sekadar memberikan pertimbangan berupa penetapan, sebab Menteri

Agama yang berwenang menetapkan awal bulan Kamariah. Lain hal dengan

pertimbangan atau keterangan perihal arah kiblat dan awal waktu salat, tidak

berbentuk penetapan seperti pada awal bulan Kamariah.108

Pelaksanaan isbat kesaksian rukyat hilal, dalam hal ini hakim diberikan

surat edaran yang diberikan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia,

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.

Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama beserta

Negara-negara yang tergabung dalam MABIMS (Menteri Agama Brunei

Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) menentukan standar imkān al-

ru’yah yang dijadikan sebagai parameter untuk data hilal awal bulan Kamariah.

Kriteria yang digunakan pada penetapan ini menggunakan kesepakatan yang telah

disepakai yaitu tinggi hilal minimal 2°, sudut elongasi minimal 3°, dan umur

bulan minimal 8 jam.

Pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara Nomor.

1/Itsb.R.H/2016/PA.Gs, dan Nomor. 121/Pdt.P/2016/PA.Bjn, setelah memeriksa

perukyat/syahid beserta saksi, dan pada laporan yang dipaparkan telah

bersesuaian dengan perhitungan hisab, tidak bertentangan dengan akal sehat,

kaidah ilmu pengetahuan (hisab) serta kaidah syar’i, kesaksiannya telah

memenuhi syarat formil maupun materiil. Selanjutnya, pada perkara Nomor.

01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd ditetapkan bahwa hilal awal Ramadan 1437 H tidak

terlihat dalam pelaksanaan rukyat hilal di Pos Observasi Bulan (POB) Cibeas,

Palabuhanratu di mana di bawah wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Cibadak.

Hal tersebut terjadi karena cuaca di daerah tersebut mendung dan tertutup awan,

walaupun pada hitungan hisab visibilitas memungkinkan.

108 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022.

69

Dalam penetapan yang telah dipaparkan, pada proses pemeriksaan hakim

tidak hanya menanyakan “apakah kamu sudah melihat hilal?” dan

menyumpahnya, namun mengajukan beberapa pertanyaan kepada para

perukyat/syahid mengenai bagaimana yang bersangkutan melihat hilal, dalam

kitab al-Khulasah al-Wafiyah disebutkan oleh ar-Royani (Hakim):

mengibaratkan ar-Royani dan sifat penyaksian (syahadah) pemberian keterangan/

pemberian kesaksian adalah berkata saya melihat di sebelah barat. Beberapa hal

seperti posisi hilal yang terlihat, bentuk serta ukuran hilal, posisi hilal dengan

matahari, serta keadaan alam ketika pelaksanaan rukyat.109 Setelah itu hakim

meneliti serta memverifikasi hal yang disampaikan oleh perukyat/syahid dengan

data-data antara hasil perhitungan (hisab) dengan laporan perukyat/syahid.

Keberlangsungan perkara dilihat dari proses pelaksanaan prosedur sidang

Pengadilan Agama. Amar penetapan dapat ditetapkan setelah prosesi rukyat hilal

dilaksanakan, berhasil atau tidaknya rukyat hilal mempengaruhi amar penetapan.

C. Faktor-faktor Penerimaan dan Penolakan Isbat Rukyat Hilal Pengadilan

Agama

1. Faktor Penerimaan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal Pengadilan Agama

a. Memenuhi Kriteria yang Disepakati

Kementerian Agama RI mengambil kebijakan perihal kriteria yang

digunakan, yakni imkān al-ru’yah. Imkān al-ru’yah sendiri memiliki makna

secara harfiah “kemungkinan dapat dilihat”, kebijakan yang diambil oleh

Kementerian Agama RI yakni ketinggian hilal ditentukan 2° di atas ufuk

dan umur 8 jam110, elongasi 3°111.

Pada proses pelaksanaan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal Rukyat dan

Hisab tidak dapat dipisahkan. Selain kriteria tersebut, sebelum didirikannya

109 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022. 110 Taufiqurrahman K., Ilmu Falak & Tinjauan Matlak Global, (Yogyakarta: MPKSDI,

2010), h. 44. 111 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022.

70

Badan Hisab Rukyat (BRH), hisab yang dilaporkan pada pelaksanaan

Sidang Isbat adalah Hisab Haqiqi Taqribi.112 Pada tahun 1972, Badan Hisab

Rukyat (BRH) dibentuk berlandaskan SK Menteri Agama No. 76 Tahun

1972 tentang pembentukan Badan Hisab Rukyat Departemen Agama pada

tanggal 16 Agustus 1972.113 Setelah lahir Badan Hisab Rukyat terdapat

perimbangan antara Hisab Hakiki tahqīqī dan kontemporer menyeimbangi

Hisab Haqiqi Taqribi. Pada perkembangan proses pelaksanaan pada tahun

1992 Hisab Hakiki tahqīqī menjadi lebih dominan digunakan, sementara

Hisab Haqiqi Taqribi digunakan sebagai pendamping.114 Dengan kata lain,

Hisab Haqiqi Taqribi dikatakan sebagai sistem hisab yang digantikan, dan

sistem Hisab Hakiki tahIqīqī dan Kontemporer yang menggantikannya.115

Kriteria yang disepakati lalu menjadi dasar acuan pada proses pelaksanaan

rukyat yang akan ditetapkan (isbat) oleh Pengadilan Agama, namun pada

mulai tahun 2022, ditetapkan kriteria baru imkān al-ru’yah telah berubah

menjadi tinggi hilal minimal 3° dan elongasi minimal 6,4°.

b. Sumpah Perukyat

Sebelum tahun 1990, sebab diterimanya adalah di sumpah oleh

hakim. Sejalan dengan hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abu Daud

yang telah dipaparkan penulis pada Bab II serta menjadi salah satu

pertimbangan hakim pada penetapan Nomor 121/Pdt.P/2016/PA.Bjn

tentang datangnya seorang Badui yang berkata bahwa ia telah melihat hilal

kepada Rasulullah saw., kemudian Rasulullah saw. bersabda: Apakah kamu

bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah? Dia berkata: Benar. Beliau

meneruskan pertanyaanya seraya berkata: Apakah kau bersaksi bahwa

Muhammad adalah utusan Allah? Dia berkata: Ya benar. Sesaat kemudian

112 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022. 113 Suhardiman, Fikih Hisab Rukyat (Peran Badan Hisab Rukyat terhadap Dinamika dalam

Penentuan Awal Bulan Kamariah di Indonesia), Jurnal at-Turats (Jurnal Pemikiran Pendidikan Islam), Volume 12, No. 1. 2018. h. 9.

114 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022. 115 Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Hisab dan Rukyat, h.245.

71

Rasulullah saw. memerintahkan kepada orang-orang untuk berpuasa esok

harinya. Kekurangan dari sumpah ini adalah, tidak diketahuinya berapa

tinggi hilal sudah positif atau belum, posisi hilal seperti apa, dan sebagainya.

Namun seiring perkembangan kemajuan zaman, serta amanah tugas

yang diberikan pada Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

proses pemeriksaan syahid/perukyat sangat detail. Dalam kitab

iqadzunniyam karangan Utsman bin Yahya, terdapat keterangan

bahwasannya sekarang ini, banyak orang berani bohong maka dari itu perlu

diperiksa secara teliti, kalau zaman nabi orang tidak berani berbohong.116

Selain itu, menurut Fuqaha mazhab Syafi’i yang berpendapat bahwa

dalam masalah penyelidikan hilal serta diwajibkannya puasa bagi kaum

muslim mensyaratkan keputusan hakim. Hakim yang dimaksud di sini

biasanya memiliki makna pemerintah namun dalam beberapa hal memiliki

makna pengadilan. Kata hakim dalam kitab-kitab Fikih bersifat lokal, yakni

hanya satu wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Berbeda dengan Indonesia,

hakim hanya menetapkan atau menerima kesaksiannya tetapi tidak

menetapkan atau memutus kapan awal atau akhir dari bulan Kamariah.117

Penjelasan di atas merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi

dikabulkannya permohonan Pemohon pada penetapan Nomor.

1/Itsb.R.H/2016/PA.Gs dan Nomor. 121/Pdt.P/2016/PA.Bjn, memenuhi

kriteria yang disepakati serta adanya sumpah perukyat. Hakim menyumpah

kesaksianya dengan menanyakan beberapa pertanyaan guna verifikasi apakah

kesaksian hilal perukyat tersebut benar dan sesuai dengan data-data yang

dipegang oleh hakim. Pelaksanaan sidang isbat kesaksian rukyat hilal berada

pada lokasi pelaksanaan rukyat, sehingga selain menyumpah hakim dapat

memeriksa pelaksanaan rukyat. Pertimbangan hukum yang diberikan setelah

membaca dokumen terkait tentang rukyat hilal dan pelaksanaan prosedur

pemeriksaan, hakim menimbang amar penetapan berdasarkan data terkait,

116 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022. 117 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022.

72

permohonan Pemohon, keterangan kesaksian perukyat/syahid serta verifikasi

hakim pada data yang tercantum dengan koordinat hilal yang dilaporkan telah

dilihat oleh perukyat/syahid pada lokasi pelaksanaan rukyat. Permohonan

pemohon dikabulkan sebab kesaksian rukyat hilal yang disampaikan oleh

perukyat/syahid yakni hilal terlihat pada hari Ahad, 05 Juni 2016 di Balai

Rukyat NU Bukit Condro Dipo, Desa Kembangan, Kecamatan Kebomas,

Kabupaten Gresik dan Bukit Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten

Bojonegoro, beberapa pendapat hakim pada pertimbangannya adalah sebagai

berikut;

1) Telah sesuai dengan perhitungan hisab dimana keduanya saling

berkaitan. Tidak ada diantara keduanya ketidaksinkronan, seperti pada

data hisab yang terdapat pada penetapan tersebut yang pada

pelaksanaan rukyat sama keduanya.

2) Kesaksiannya tidak bertentangan dengan akal sehat, sebab faktor

psikologis dalam hal ini sangat mempengaruhi keberhasilan rukyat.

3) Kesaksiannya tidak bertentangan dengan kaidah ilmu hisab dan kaidah

syar’i, jika bertentangan maka kesaksiannya tidak dapat diterima

kesaksiannya.

4) Kesaksiannya telah memenuhi syarat formil dan materiil sebagaimana

telah dipaparkan pada BAB IV Prosedur Isbat Rukyatul Hilal di

Pengadilan Agama.

2. Faktor Penolakan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal Pengadilan Agama

a. Data Hisab Tidak Mu’tabar

Dalam proses penentuan awal bulan Kamariah, Hisab dan Rukyat

saling menguatkan. Hisab merupakan sebuah kaidah Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi, dan Rukyat merupakan sebuah kaidah Agama. Keduanya tidak

dapat dipisahkan begitu saja pada proses pelaksanaan rukyat hilal, terbukti

pada penetapan yang terlampir pada BAB III, pada pertimbangan hakim

didasari oleh data hisab.

73

Penjelasan point sebelumnya yang telah dipaparkan, bahwasannya

Hisab yang digunakan sebagai acuan setelah lahirnya Badan Hisab Rukyat

(BRH) adalah Hisab Hakiki tahqīqī atau Kontemporer dan Hisab Hakiki

taqrībī digunakan hanya sebagai pendamping.

1) Kasus pada tahun 1993

Terletak pada Keputusan Menteri Agama Nomor 84 Tahun 1993

tentang Penetapan Tanggal 1 Syawal 1413 H/1993 M yang

menyebutkan hisab yang tidak mu’tabar adalah salah satu alasan

penolakan dari pelaksanaan Rukyat di Cakung. Contohnya, pada hisab

diperhitungan itu untuk tahun 1992 M/1412 H, 1993 M/1413 H, 1994

M/1414 H ijtimak terjadi setelah zuhur. Saat maghrib sesudah ijtimak

itu sudah mencapai 2° lebih menurut Hisab Hakiki taqrībī, namun

menurut data Hisab Hakiki tahqīqī atau kontemporer yang dimana

ijtimaknya sama, masih mencapai -2° dibawah ufuk.118

2) Kasus pada tahun 1998

Hisab yang tidak mu’tabar terjadi pada tahun ini. Laporan Rukyat

Cakung dan Bawean. Posisi hial di Bawean 0°30' belum mencapai 1°,

begitupula pada Cakung sekitar 0°45', di Aceh saja itu baru 1°45.

Pedomannya di ambil dari kitab Khulashoh Wafiyah yakni : fawujudul

hilali ghoiru mu’tabarin syar’an fii itsbaatil hukmi illa idza utsbita

‘indal hakim. Hakim tidak menetapkan karena wujudul hilal pada

pelaksanaan rukyat yang tidak mu’tabar, hal ini yang mendasari alasan

laporan rukyat hilal ditolak.

b. Rukyat Tidak Berhasil

Faktor tersebut jelas mempengaruhi tugas dari Pengadilan

Agama/Mahkamah Syar’iyah yang diamanahkan sebagai petugas yang

berwenang pada Isbat Kesaksian Rukyat Hilal. Salah satu contoh pada

penetapan Nomor. 01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd, yang pada proses

118 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022.

74

pelaksanaan rukyat pada datanya telah menunjukan bahwa Ijtimak awal

bulan Ramadan 1437 H jatuh pada hari Ahad tanggal 05 Juni 2016, dan

kondisi hilal pada saat itu telah mencapai kriteria imkān al-ru’yah. Namun

pada hari tersebut, perukyat tidak berhasil melihat hilal dan menyatakan ke

Hakim yang bertugas bahwasannya mereka tidak berhasil melihat hilal awal

bulan Ramadan karena cuaca mendung dan tertutup awan.

Pemaparan di atas terjadi jika salah satu lokasi rukyat tidak dapat

melihat hilal karena faktor tertentu, maka penetapan oleh hakim tidak dapat

dijadikan landasan oleh Menteri Agama dalam menetapkan awal bulan

Kamariah. Pada Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 269 Tahun

20016 tentang Penetapan Tanggal 1 Ramadan 1437 H, yang dikeluarkan

Pengadilan Agama Cibadak tidak dimasukkan kepada pertimbangan

Menteri Agama dalam memberi keputusan. Jika terjadi pada lokasi

pelaksanaan rukyat, perukyat tidak berhasil melihat hilal, namun di lokasi

lainnya telah melihat maka isbat kesaksian rukyat yang berhasil tersebut

menjadi bahan pertimbangan Menteri Agama dalam memutuskannya.

Pertimbangan hakim dalam penetapan Pengadilan Agama Cibadak

Nomor.01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd yang menolak permohonan pemohon

dalam permohonan isbat kesaksian rukyat hilal yang dilaksanakan pada Pos

Observasi Bulan Cibeas, Palabuhanratu. Dasar pertimbangan hakim,

berdasarkan pada data hisab pada Kalender Taqwim Standar Indonesia

Kementerian Agama yang dimana tertulis bahwasannya saat matahari

terbenam tinggi hilal +04°36'32" dan umur hilal 7 jam 45 menit, yang

dimana dalam kriteria MABIMS tinggi hilal sudah mencapai kriteria yang

telah disepakati. Para perukyat juga merupakan orang yang dipandang

cakap dan mampu melaksanakan rukyat hilal, sehingga kesaksiannya dalam

hal ini tidak dapat diragukan. Pada pelaksanaannya para perukyat tidak

berhasil melihat hilal, sebab faktor cuaca mendung dan langit tertutup awan,

sehingga tidak dapat merukyat hilal dengan baik.

Diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a.,

75

عت رسول الل صلى هللا عليه وسلم ي قول: ) إذا هما قال: س عن وعن ابن عمر رضي الل

رأي تموه فصوموا, وإذا رأي تموه فأفطروا, فإن غم عليكم فاقدروا له ( مت فق عليه.

Artinya : “Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku

mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila

engkau sekalian melihatnya (bulan) shaumlah, dan apabila engkau

sekalian melihatnya (bulan) berbukalah, dan jika awan menutupi kalian

maka perkirakanlah." Muttafaq Alaihi.

Hadis di atas terdapat kalimat “jika awan menutupi kalian maka

perkirakanlah”, yang dimana bermakna bahwasannya jika dalam

pelaksanaan rukyat para perukyat/syahid tidak dapat melihat hilal sebab

terhalangi oleh awan. Cuaca sendiri merupakan salah satu penghambat

dalam pelaksanaan rukyat hilal yang dilaksanakan secara visual.

Berdasarkan hal tersebut, sesuai dengan pelaksanaan tugas pada Pasal 52A

Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 yang dimana hakim memberikan

penetapan (isbat) kesaksian rukyat hilal perukyat. Selanjutnya berdasarkan

pemeriksaan yang dilaksanakan pada persidangan, perukyat/syahid

menyatakan dimuka sidang bahwasanya perukyat tidak berhasil melihat

hilal, maka atas pertimbangannya hakim menetapkan bahwa awal Ramadan

1437 H tidak terlihat dalam rukyatul hilal di Pos Observasi Bulan (POB)

Cibeas, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Bagaimana jika di seluruh Indonesia para perukyat di berbagai

lokasi tidak berhasil melihat hilal karena faktor yang termasuk ke dalam

problematika pelaksanaan rukyat yang telah dipaparkan di BAB II, namun

data hisab telah menyatakan telah memasuki kriteria imkān al-ru’yah? Hal

ini pernah terjadi pada penetapan awal Ramadan 1407 H/1987 M, di seluruh

Indonesia, Aceh hingga Jayapura tidak ada laporan kesaksian rukyat hilal.

Menteri Agama yang menjabat saat itu adalah Munawir Syadzali, beliau

memutuskan bahwal awal bulan Ramadan 1407 H/1987 M ditetapkan

berdasarkan imkān al-ru’yah. Selain itu, saat Zulhijah tahun 1999 M, tidak

76

ada laporan rukyat pada saat itu. Menteri Agama menetapkannya

berdasarkan Surat Keterangan (SK) hari-hari libur, serta didasarkan pada

imkān al-ru’yah. 119

Isbat rukyat hilal yang didalamnya terdapat penjelasan bahwa hilal

tidak terlihat, tidak dapat diterima sebagai pertimbangan Menteri Agama

dalam menetapkan awal bulan Kamariah.

D. Kedudukan Isbat Rukyatul Hilal Pengadilan Agama dalam Kesaksian

Rukyat Hilal di Indonesia

1. Latar Belakang Lahirnya Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006

Pada pendahuluan telah dipaparkan bahwasannya lahirnya Pasal

52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tidak terlepas dari Undang-

Undang tentang Peradilan Agama serta Undang-Undang Pokok-Pokok

Kekuasaan Kehakiman. Pada tahun 2004, lahirlah Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004 yang mencabut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Undang-

Undang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Saat itu Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang masih bersanding

dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, mengalami pembaharuan

menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.

Pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 52 ayat (1) yang

berbunyi :

(1) Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan

nasihat tentang hukum Islam kepada Instansi pemerintah di daerah

hukumnya, apabila diminta.

Ditambah dengan Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006,

yang berbunyi :

Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam

penentuan awal bulan pada tahun Hijriah.

119 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022.

77

Menurut Asadurrahman, 120 hal tersebut termasuk ke dalam hak inisiatif

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam melihat Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006. Hak inisiatif DPR dalam prosedur pembentukan undang-undang

diatur secara jelas dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yakni

:

(1) Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan

rancangan undang-undang

2. Kedudukan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal pada Kesaksian Rukyat Hilal di

Indonesia

Secara yuridis isbat kesaksian rukyat hilal Pengadilan

Agama/Mahkamah Syar’iyyah terdapat pada Pasal 52A Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 yang berbunyi “Pengadilan agama memberikan istbat

kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriah.”

Berdasarkan Pasal tersebut, dapat dipahami sebagai kewenangan absolut yang

disisipkan dari Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.

Kewenangannya adalah mengisbatkan kesaksian rukyat yang dilaksanakan

oleh pihak yang mumpuni dalam hal rukyat, serta berada di wilayah yuridiksi

Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. Berdasarkan kenyataannya

keberlangsungan rukyat sudah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah saw.

dengan adanya hadis-hadis yang dijadikan pertimbangan oleh hakim pada

ketiga penetapan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya.

Pemerintah di Indonesia dalam pelaksanaan kesaksian rukyat hilal,

memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama dalam pasal 52A

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan penetapan awal bulan Kamariah

yang masih menjadi kewenangan Menteri Agama. Keputusan pemerintah

dalam memberikan kewenangan tersebut berdasarkan kemaslahatan, sebab

dinamika persoalan penetapan awal bulan Kamariah khususnya Ramadan,

Syawal, dan Zulhijah baik perihal hasil rukyat, hisab atau hal lain yang

berkaitan. Menyatukan pendapat perihal penentuan awal bulan yang sangat

120 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022.

78

krusial tersebut merupakan upaya mewujudkan persatuan umat Islam dalam

beribadah sehingga terciptanya persatuan umat, dan penuh rasa toleransi dan

berkesinambungan dalam kehidupan, hal tersebut sesuai dengan kaidah:

ي رفع الالف و إلزام حكم احلاكم

Artinya: “Keputusan pemerintah adalah mengikat, dan

menghilangkan silang pendapat.”

Keutamaan Isbat (penetapan) Pemerintah dinilai perlu karena beberapa

hal berikut :121

1. Isbat diperlukan untuk mendapatkan keabsahan

2. Isbat diperlukan untuk mencegah kerancuan dan keraguan sistem

pelaporan.

3. Isbat diperlukan untuk penyatuan umat dan menghilangkan perbedaan

pendapat.

Penetapan awal bulan Kamariah yang berasal dari Menteri Agama

perlu memiliki dasar yang kuat, agar dapat menghilangkan perselisihan

pendapat dan bertujuan untuk kemaslahatan umat. Sesuai dengan kaidah:

تصرف اإلمام على الرعية منوط ابملصلحة

Artinya: “Kebijakan seorang pemimpin atas rukyat harus berdasarkan

kemaslahatan.”

Dasar dalam penetapan secara Nasional oleh Menteri Agama, isbat

rukyat hilal oleh Pengadilan Agama dijadikan dasar dalam penetapannya. Hal

tersebut berdasar kepada:122

a. Data hisab dan hasil rukyat sebagai masukan

b. Ditetapkan dalam sidang isbat

121 Ephemeris Hisab Rukyat 2021, h. 401 122 Ephemeris Hisab Rukyat 2021, h. 400

79

c. Rukyat dilaksanakan oleh Pengawai Kementerian Agama, Kanwil

Kementerian Agama, Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota,

instansi terkait, Ormas Islam dan masyarakat luas.

d. Isbat rukyat hilal yang dilaksanakan oleh hakim Pengadilan Tingi

Agama/ Pengadilan Agama.

Isbat kesaksian rukyat hilal Pengadilan Agama/Mahkamah

Syar’iyah menjadi konsiderans keputusan Menteri Agama dalam menetapkan

awal bulan Kamariah.123 Tidak semua isbat kesaksian rukyat hilal Pengadilan

Agama dapat digunakan sebagai konsiderans penetapan awal bulan Kamariah

oleh Menteri Agama, namun pada umumnya mempengaruhi penetapan

Sidang Isbat yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama jika laporan rukyat

ditetapkan dan permohonannya dikabulkan oleh Pengadilan Agama. Contoh

konkret dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia (KMA) Nomor

269 Tahun 2016 tentang Penetapan Tanggal 1 Ramadan 1437 H, hanya ada 2

penetapan yang terdapat pada penelitian ini serta beberapa penetapan

Pengadilan Agama yang digunakan. Penetapan yang digunakan adalah

penetapan yang memenuhi faktor penerimaan rukyat hilal, sesuai dengan

kriteria yang disepakati pemerintah, serta data hisab yang dihimpun oleh Tim

Hisab Rukyat Kementerian Agama dan Direktorat Jenderal Badan Peradilan

Agama.

Pelaksanaan rukyat beberapa yang tidak dimasukkan ke dalam

perkara, sehingga isbat kesaksiannya tidak dimasukkan ke dalam perkara

penetapan oleh Pengadilan Agama. Pada Masjid Raya K.H. Hasyim Asy’ari,

Jakarta Barat yang menjadi wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta

Barat pelaksanaannya tidak dimasukkan ke dalam perkara permohonan yang

ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama. Kementerian Agama setempat

hanya memberikan surat berbentuk undangan menjadi hakim sumpah. Tugas

hakim pada pelaksanaan tersebut berbeda dengan tugas hakim jika

pelaksanaan rukyat dimasukkan ke dalam perkara permohonan. Tugasnya

123 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022.

80

dalam hal ini adalah menyumpah dan menjadi tenaga ahli, serta tidak perlu

memberikan penetapan seperti halnya jika dimasukkan ke dalam perkara

permohonan, dan hal tersebut berbeda dengan Pedoman Tata Cara

Pelaksanaan Itsbat Rukyat Hilal yang diterbitkan oleh Direktorat Pratalak

Perdata Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah

Agung RI. Hal tersebut pada praktiknya tetap dapat menjadi konsiderans

penetapan Isbat secara Nasional oleh Menteri Agama.

Jika pelaksanaan rukyat dimasukkan ke dalam perkara permohonan

pada Pengadilan Agama, maka haruslah sesuai dengan proses berjalannya

perkara penetapan pada umumnya. Permohonan diajukan dengan surat

permohonan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama sesuai dengan

lokasi dilaksanakannya rukyat hilal, permohonan didaftarkan ke dalam buku

register perkara dan diberi nomor urut, proses pemeriksaan permohonan

dilaksanakan secara ex-parte yang bersifat sederhana yaikni mendengar

keterangan pemohon, dan hal lain yang tertera pada penjelasan sebelumnya,

selanjutnya perkara ditetapkan setelah hakim melaksanakan pemeriksaan.

Seperti yang diketahui oleh sebagian masyarakat, bahwasannya

Hakim Pengadilan Agama hanya menyumpah syahid/perukyat saja, namun

seperti apa yang tertera pada buku Almanak Hisab Rukyat, perlu diteliti secara

detail dan mendalam serta dipertegas perihal kesamaan antara laporan rukyat

serta hisab yang sudah diteliti oleh pihak yang berwenang124, seperti waktu

pelaksanaan rukyat, lalu apakah hilal muncul bersamaan dengan waktu

maghrib, sesudah atau sebelumnya, serta letak dimana posisi hilal, apakah

sejajar dengan matahari atau sebelah Utara atau Selatan.125 Dapat disimpulkan

bahwa, tugas hakim selain menyumpah yakni memeriksa dan memverifikasi

data-data yang ada dengan pelaksanaan rukyat.

Pada penetapan Nomor. 1/Itsb.R.H./2016/PA.Gs dan Nomor.

121/Pdt.P/2016/PA.Bjn dipaparkan bahwa hakim memeriksa laporan para

124 Kementerian Agama cq. Badan Hisab Rukyat dan Direktorat Jenderal Peradilan Agama. 125 Asadurrahman, Hakim, Interview Pribadi Depok Sabtu, 12 Maret 2022.

81

perukyat/syahid dengan mengajukan pertanyaan kepada perukyat/syahid

bagaimana yang bersangkutan melihat hilal, dan hakim juga meneliti serta

memverifikasi titik koordinat hilal yang dilihat beserta data-data yang telah

diberikan. Hakim menyumpah perukyat/syahid yang pada proses

pemeriksaan ia menjelaskan pada pukul berapa melihat hilal, dan hal lainnya

yang terjadi di lapangan. Kedua penetapan ini menjadi konsiderans Menteri

Agama dalam menetapkan awal bulan ramadan 1437 H dengan Keputusan

Menteri Agama Republik Indonesia (KMA) nomor 269 Tahun 2016 tentang

Penetapan Tanggal 1 Ramadan 1437 H. Sedangkan penetapan Nomor.

01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd yang pada saat pemeriksaan sidang para

perukyat/syahid tidak berhasil melihat hilal karena masalah cuaca mendung

serta tertutup awan, tidak dijadikan konsidernas Menteri Agama.

82

BAB V

KESIMPULAN A. Kesimpulan

Kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan adalah :

Kebijakan pemerintah menyoal upaya penyatuan dalam penetapan awal

bulan Kamariah yang memberikan kewenangan kepada Menteri Agama dan

penetapan Menteri Agama yang salah satunya berdasar kepada Isbat Kesaksian

Rukyat oleh Pengadilan Agama dalam hal ini sejalan dengan kaidah fikih:

تصرف اإلمام على الرعية منوط ابملصلحة

Artinya: “Kebijakan seorang pemimpin atas rukyat harus berdasarkan

kemaslahatan.”

Selanjutnya, perihal Penetapan yang berasal dari Menteri Agama perlu

memiliki dasar yang kuat, agar dapat menghilangkan perselisihan pendapat

dan bertujuan untuk kemaslahatan umat. Sesuai dengan kaidah:

ي رفع الالف و إلزام حكم احلاكم

Artinya: “Keputusan pemerintah adalah mengikat, dan

menghilangkan silang pendapat.”

Isbat Pengadilan Agama dalam kesaksian rukyatul hilal di Indonesia

merupakan bentuk pelaksanaan tugas bagi Mahkamah Agung beserta

jajarannya yang termaktub pada Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun

2006. Pengadilan Agama tidak berwenang dalam menetapkan kapan awal

bulan Kamariah, melainkan hanya memberikan isbat dan memeriksa kesaksian

perukyat/syahid melihat hilal. Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006

tidak bisa dipisahkan dengan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989,

terkait dengan pertimbangan, pendapat, keterangan, apabila diminta. Isbat

kesaksian ini dijadikan sebagai konsiderans oleh Menteri Agama dalam

memberikan penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, Zulhijah secara

nasional.

83

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan serta dianalisa,

penulis menyampaikan saran yakni :

Pertimbangan hakim perlu didasari oleh pengetahuan terbaru, sehingga

tidak terjadi kembali hal-hal yang membuat penetapan isbat kesaksian rukyat

hilal dijadikan pertimbangan dalam siding Isbat secara Nasional. Pada

pelaksanaan tugas diharap agar selalu membawa surat edaran yang telah

diberikan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, serta ditulis secara

rinci pada pertimbangan penetapan yang diberikan.

Penulis berharap agar pelaksanaan rukyat dikembangkan sehingga dapat

mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan terutama human eror.

84

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Al-Qur'an dan Terjemahan Kementerian Agama

Ahmad, T. Mahmud, Ilmu Falak, Banda Aceh: PeNA Banda Aceh, 2013.

Al-Juzairi, Abdurrahman, Fiqh Empat Madzhab, Terj. Chatibul Umam, Abu

Hurairah, Jakarta: Darul Ulum Press, 1996.

Amhar, Fahmi, Seputar Hisab dan Rukyat 1427 H. Bandung: Suara Islam, Minggu

I-II Oktober, 2006.

Amin, Rahman, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana dan Perdata, Sleman:

Deepublish, 2020.

Asadurrahman, Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Hisab dan Rukyat.

Ciputat: Gaung Persada, 2012.

Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Departmen Agama RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan),

Jakarta: Departemen Agama RI.

Direktorat Pembinaan Peradilan Agama. Selayang Pandang Hisab Rukyat. Jakarta:

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggara Haji,

2004.

Efendi, Jonaedi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris, Jakarta: Prenadamedia Grup, 2016.

Ephemeris Hisab Rukyat 2021, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam,

Kementerian Agama.

Ernawati, Hukum Acara Peradilan Agama, Depok: Rajagrafindo Persada, 2020.

Hosen, Ibrahim, Tinjauan Hukum Islam terhadap penetapan Awal Bulan Ramadan,

Syawal dan Dzulhijjah, Jakarta, DITJEN BIMAS Islam dan

Penyelenggaraan Haji, 2004.

Izzudin, Ahmad Izzudin, FIQIH HISAB RUKYAH Menyatukan NU dan

Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul

Adha, Jakarta: Erlangga, 2007.

85

K, Taufiqurrahman, Ilmu Falak & Tinjauan Matlak Global, Yogyakarta: MPKSDI,

2010.

Karim, Abdul dan M. Rifa Jamaluddin Nasir., Mengenal Ilmu Falak (Teori dan

Implementasi), Yogyakarta: Qudsi Media, 2012.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 1, Ciputat: Lentera Hati, 2007.

Madani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, Jakarta:

Sinar Grafika, 2009.

Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Buku II Edisi

Revisi: Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama.

Jakarta: Dit. Badilag MARI., 2013.

Marpaung, Watni, Pengantar Ilmu Falak, Jakarta: Kencana, 2015.

Mujahidin, Ahmad, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, Bogor: Ghalia

Indonesia, 2012.

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka

Progresif, 1997.

Saksono, Tono, Mengkrompomikan Rukyat dan Hisab, Jakarta, Amythas Publicita

dan Center for Islamic Studies, 2007.

Taufiq, Mekanisme Penentuan Awal Bulan Ramadan dan Syawal, Jakarta: DITJEN

BIMAS Islam dan Penyelenggaraan Haji 2004.

Yusuf, A. Muri, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian

Gabungan, Jakarta: Kencana, 2017.

Zulkarnaen, Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia,

Bandung: Pustaka Setia, 2017.

Zulkarnain, “Hukum Kompetensi Peradilan Agama : Pergeseran Kompetensi

Peradilan Agama dalam Hukum Positif di Indonesia”, Jakarta: Kencana,

2021.

ARTIKEL DAN SKRIPSI

Arifin, Jaenal, “Dialektika Hubungan Ilmu Falak dan Penentuan Awal Ramadan,

Syawal, Dzulhijjah di Indonesia (Sinergi Antara Independensi Ilmuwan

dan Otoritas Negara)”, Jurnal penelitian, Volume 13, No. 1. Februari 2019.

86

Arkanuddin, Mutoha, Muh. Ma’rufin Sudibyo, Kriteria Hilal Rukyatul Hilal

Indonesia (RHI) (Konsep, Kriteria, dan Implementasi), Jurnal Al-Marshad,

Volume 1, No. 1. Juni 2015.

Darajat, Muhammad Syamsu Alam, Analisis Isbat Kesaksian Rukyatul Hilal dalam

Menentukan Tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawal 1438 H/2017 M Menurut

Pasal 52a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan

Agama (Studi Pelaksanaan di Balai Rukyat NU Bukit Condrodipo Gresik),

Skripsi Universitas Muhammadiyah Malang, 2018.

Djamaluddin, Thomas. “Visibilitas Hilal di Indonesia”. Warta Lapan, vol. 2, No.

4, Oktober-Desember. [t.tp.] LAPAN, 2000.

Djamaluddin, Thomas. 2005. Menggagas Fiqh Astronomi [Telaah Hisab-Rukyat

dan Pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya]. Bandung Kaki Langit.

Fadholi, Ahmad. Sidang Isbat, Urgensi dan Dinamikanya, Jurnal Ilmu Syari’ah dan

Perbankan Islam Tahun 2019 di IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka

Belitung.

Firdawaty, Linda, “Analisis Terhadap UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Peradilan Agama”, Jurnal Al-‘Adalah, Voume X,

No. 2, Juli 2011.

Husaeni, Muh. Irfan. 2013. Menyoal Kewenangan Penetapan Itsbat Rukyat Hilal

(Pasal 52A UU Nomor 3 Tahun 2006). Jurnal Badilag Mahkamah Agung.

Nufus, Khaerun, Sidang Isbat Penetuan Awal Bulan Kamariah Perspektif Hukum

Islam, Jurnal INKLUSIF, Volume 3, No. 1. Juni 2018.

Sado, Arino Bemi, Imkan al-Rukyat MABIMS Solusi Penyeragaman Kalender

Hijriah, Jurnal (Istinbath) Hukum Islam, Volume 13, No. 1. Juni 2014.

Santoso, Eko Heri, “Sidang Itsbat Rukyatul Hilal Berdasar Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (Studi Penetapan

Pengadilan Agama Gresik Nomor: 01/Itsbat.RH/2008/ PA.GS)”, Skripsi

Universitas Jember, 2012.

87

Soderi, Ridhokimura dan Ahmad Izuddin, Kajian Faktor Psikologi yang

Berpotensi Mempengaruhi Keberhasilan Rukyat, Jurnal Ilmiah Syari’ah,

Volume 19, No. 1. Januari 2020.

Suhardiman, Fikih Hisab Rukyat (Peran Badan Hisab Rukyat terhadap Dinamika

dalam Penentuan Awal Bulan Kamariah di Indonesia), Jurnal at-Turats

(Jurnal Pemikiran Pendidikan Islam), Volume 12, No. 1. 2018.

PERATURAN-PERATURAN

Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 269 Tahun 2016 tentang

Penetapan Tanggal 1 Ramadan 1437 H.

Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 335 Tahun 1989 Tentang

Uraian Tugas dan Pekerjaan Ditjen Bimbingan Islam tanggal 28 Desember

1989.

Surat Ditjen Badilag Nomor 249/DJA.4/OT.01.1/VII/2013 tertanggal 3 Juli 20013

Tentang Rukyat Awal Ramadan Syawal dan Zulhijah 1434 H.

Surat Penetapan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/095/X/2006

Tertanggal 17 Oktober 2006 Tentang Sidang Itsbat Kesaksian Rukyatul

Hilal.

Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

DOKUMEN-DOKUMEN

Pedoman Tata Cara Pelaksanaan Isbat Rukyat Hilal, Direktorat Pratalak Perdata

Agama, Direktorat Jenderal Peradilan Agama, Mahkamah Agung.

Penetapan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor 121/Pdt.P/2016/PA.Bjn tentang

Isbat Rukyatul Hilal Awal Ramadan 1437 H.

88

Penetapan Pengadilan Agama Cibadak Nomor 01/Itsbat.RH/2016/PA.Cbd tentang

Isbat Rukyatul Hilal Awal Ramadan 1437 H.

Penetapan Pengadilan Agama Gresik Nomor 1/Itsb.R.H./2016/PA.Gs tentang Isbat

Rukyatul Hilal Awal Ramadan 1437 H.

WEBSITE

https://www.saplaw.top/pendekatan-perundang-undangan-statute-approachdalam-

penelitian hukum/, diakses pada tanggal 17 April 2022, pukul 08.08 WIB.

89

LAMPIRAN

Nama : Dr. Asadurrahman, S.H., M.H.

Jabatan : Hakim

Waktu : 12 maret 2022

Apa yang melatarbelakangi lahirnya Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ada berdasarkan Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang

tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah dengan Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 1999. Kemudian setelah Reformasi pada tahun 2004 ada Undang-

Undang terdapat perubahan yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang

mencabut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Sementara Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 masih menyangkut pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1970, dengan semua itu maka berubahlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, hal tersebut hak inisiatif DPR.

Mengapa demikian, saya juga kurang tahu karena belum pernah penelitian ke sana.

Yang jelas hal tersebut inisiatif DPR, maunya DPR waktu itu semuanya itu

Mahkamah Agung yang memutuskan termasuk penetapan 1 Ramadan dan 1

Syawal, semuanya. Karena di Luar Negeri termasuk Arab Saudi juga Mahkamah

Agung semuanya. Namun berdasarkan rekomendasi Musyawarah Kerja (MUKER)

sebelum tahun 2006, ada permintaan dari peserta muker/ ormas-ormas agar itu tetap

yang menetapkan adalah Menteri Agama. Akhirnya Menteri agama mentapkan itu

dalam penjelasan Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 itu yang

menetapkan secara Nasional, mengapa secara Nasional? Karena Kementerian

Agama itu bukan otonomi daerah. Ada 5 kementerian yang bukan otonomi daerah

kehakiman, kemenag, dan lain-lain.

Apa saja yang menjadi faktor penerimaan dan penolakan pada Isbat

Kesaksian Rukyat Hilal?

Penolakan pada Tahun 1993, pernah ada laporan rukyat itu, sudah ada laporan

rukyat tapi ditolak, karena laporan rukyat itu kalo gak salah dari Bekasi ya, itu

didasarkan pada Hisab Haqiqi Taqribi. Hisab itu, dianggap tidak mu’tabar, dalam

SK isbatnya tidak mu’tabar. Contohnya begini, di perhitungan itu untuk tahun 1992

M/1412 H, 1993 M/1413 H, 1994 M/1414 H itu ijtimaknya sesudah zuhur semua.

Pada saat maghrib sesudah ijtima itu sudah 2° lebih menurut Hisab Haqiqi Taqribi,

tapi menurut yang Hisab Haqiqi Tahqiqi atau yang kontemporer yang ijtimaknya

sama-sama sesudah zuhur juga itu masih -2° dibawah ufuk, makanya yangg tadi

disebut tidak mu’tabar. Tidak mu’tabar itu tahun 1992-1994, dan yang masuk di

dalam SK Isbat itu hanya tahun 1993.

Penolakan pada Tahun 1998, rukyat dari Cakung dan Bawean. Di Bawean 0°30'

belum 1°, di Cakung sekitar 0°45', di Aceh saja itu baru 1°45. Penolakan yang

terjadi pada tahun ini, untuk penetapan awal Syawal 1418 H itu dengan alasan

belum imkaanurrukyah, baru pertama kali rukyat di tolak karena belum

imkaanurrukyah. Ada dalam SK Isbat, pedomannya di ambil dari kitab Khulashoh

Wafiyah bunyinya begini : fawujudul hilali ghoiru mu’tabarin syar’an fii itsbaatil

syahri hukmi illa idza utsbita ‘indal hakim. Hakim tidak menetapkan oleh karena

itu ditolak.

Sebabnya diterima ada perbedaan

Sebelum ada Badan Hisab Rukyat, semua hisab yang dilaporkannya adalah Hisab

Taqribi, setelah lahir Badan Hisab Rukyat itu ada perimbangan antara Hisab Haqiqi

Tahqiqi atau kontemporer menyeimbangi Hisab Haqiqi Taqribi. Lama kelamaan

mulai tahun 1992 itu sudah mulai dominan yang Haqiqi Tahqiqi, sementara yang

Haqiqi Taqribi hanya sebagai pendamping.

Kalau dulu sebab diterima ya disumpah oleh hakim, sebelum tahun 90-an lah. Waah

sudah disumpah, akhirnya diterima, padahal tingginya hilal belum diketahui atau

mungkin masih minus, tetapi karena disumpah maka diterima saja begitu.

Yang di atas tadi semuanya termaktub pada SK, jadi jelas diketahui mengapa

ditolaknya sedangkan pada tahun 2011 tidak dimasukkan ke dalam SK sehingga

tidak jelas apa alasan ditolaknya.

Maksud dari kata Hakim dalam kitab-kitab fikih bermakna Hakim

(Pengadilan) atau Pemerintah?

Ada yang bahasanya hakim, ada yang bahasanya qadhi. Kalau hakim biasanya

pemerintah tetapi bisa juga pengadilan, tetapi kalau qadhi itu pengadilan. Kalau

yang di kitab sifatnya lokal, hanya satu wilayah kabupaten atau kotamadya. Kalau

di Indonesia itu dia tetap menetapkan atau menerima kesaksiannya tetapi dia tidak

menetapkan, besok awal puasa, besok akhir puasa, tidak. Karena itu hanya

melaksanakan tugas dan penetapannya ada di secara Nasional.

Bagaimana Kewenangan Isbat Rukyat Hilal pada penetuan awal bulan

Kamariah sebagaimana amanat Pasal 52A UU Nomor 3 Tahun 2006?

Sebenarnya sudah direvisi tentang tata cara termasuk isbat. Jadi karena tugasnya

yang ada di Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah mengisbatkan

kesaksian rukyat, hanya memeriksa betul tidak rukyatnya, bagaimana meriksanya?

Yang ada di kementerian agama sejak ada buku almanak hisab rukyat itu teliti sudah

betul. Misalnya rukyatnya jam berapa, sudah maghrib belum, masih ada ga waktu

ngelihatnya? Jangan-jangan sudah terbenam dia ngaku ngeliat. Terus, sebelah mana

matahari itu yang dilihat apakah berjurusan dengan matahari atau agak miring ke

kanan atau ke kiri utara atau selatan, dan ternyata ulama-ulama terdahulu sudah

memberi petunjuk tentang memeriksa kesaksian rukyat.

Kalau dulu kan zaman Nabi, lapor ya Rasulullah saya sudah melihat hilal, cukup

dan disumpah dengan nama Allah dan Rasul. Tapi dalam kitab al-khulashoh al-

wafiyah disebutkan oleh ar Royani (Hakim) : dan lain-lain , mengibaratkan ar

Royani dan sifat penyaksian (syahadah) pemberian keterangan/ pemberian

kesaksian adalah ataquulu saya melihat di sebelah barat, artinya si saksi yang

melihat itu dia memberikan keterangan seperti itu, artinya ada pertanyaan kan.

Dimana kamu melihatnya? Fi nahiyatil maghrib di arah sebelah barat, wa bizikri

wa yazburu shighorohu dan lihat kecilnya atau bentuknya, wa kibarohu besarnya,

wa tadzwirahu bulatannya, wataqdirahu ukurannya. Wa annahu hiidzai syamsyi dan

dia berjurusan dengan matahari, aw fii janibi atau di sebelahnya, kanan sebelah

utara atau selatan, itu ada. Wa annazhorohu ilal janub, punggungnya itu menghadap

ke selatan atau ke utara, di sekitar itu mendung atau tidak mendung, itu termasuk

keterangan-keterangan yang diberikan oleh orang yang mengaku melihat hilal.

Kenapa kalau zaman nabi cukup dengan sumpah, sementara sekarang ini sangat

detail sekali itu dalam kitab iqadzunniyam habib usman bin yahya, terdapat

keterangan seperti ini sekarang ini, banyak orang berani bohong maka dari itu perlu

diperiksa secara teliti, kalau zaman nabi orang tidak berani berbohong.

Bagaimana prosedur pengajuan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal di Pengadilan

Agama?

Sebetulnya sama dengan penetapan biasa pada PA, tetapi banyak yang cuek.

Misalnya ada permohonan, permohonan itu diberi nomor baik nomor perdata pada

umumnya atau perdata khusus. Artinya pada umumnya sama, tetapi banyak yang

kurang perhatian. Di Jawa Timur agak peduli, kemenag mengajukan surat ke PA

setempat minta ada hakim yang datang ke lokasi rukyat tapi ada juga yang pakai

surat umum. Di Jombang, ada juga yang dari kemenag dan pesantren. Pesantren itu

ada laporan rukyat.

Sejauhmana kekuatan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal Pengadilan Agama

mempengaruhi keputusan Menteri Agama dalam memutus awal bulan

Kamariah?

Pada umumnya mempengaruhi ketika, rukyat itu tidak di tolak. Jika ditolak ini tidak

memberikan pengaruh, artinya rukyatnya di tolak di Pengadilan Agama itu

ditetapkan diterima tetapi ketika masuk di sidang isbat itu di tolak. Kenapa ditolak?

Karena seperti yang 2011 M/1432 H, itu di tolak karena hakim yang melakukan

pemeriksaan atas laporan rukyat tidak berdasarkan pengetahuan yang baru. Hakim

itu mungkin ke tempat rukyat hanya membawa surat tugas, ia tidak membawa surat

edaran dari Dirjen BADILAG. Bawa surat tugas ada laporan padahal itu taqribi dia

periksa sumpah tetapi itu ditolak di sidang isbat pada dasarnya hal itu tidak

imkaanurrukyah. Kenapa ditolak itu alasanya, kemudian hakim Pengadilan Agama

Jakarta Timur yang menerima laporan rukyat itu ukan berarti jika diterima besok

itu sudah wajib puasa, itu hanya menerima laporan kesaksiannya. Sementara untuk

penetapan puasa tetap diberikan oleh Menteri Agama.

Hakim yang menetapkan harus berdasarkan hal yang baru, yakni tinggi hilal 2°,

elongasi 3° dan umur bulan 8 jam. Sebetulnya sudah diingatkan oleh as-Subki dari

jauh-jauh hari : alangkah herannya kepada hakim karena sebab keteledorannya,

ngawur, mereka sembarangan menerima kesaksian rukyat padahal, ma’a adami

wujudil hilal padahal tsaat itu hilal belum wujud, fadlan ‘an imkaanirrukyah. Apa

yang terjadi? Seperti tahun 1998 di Jayapura, semuanya ngaku melihat hilal, waktu

itu saya bilang coba mereka telpon saya. Saya tanya pak matahari terbenam 18.06

bulan terbenam 18.03, ketika bulan terbenam matahari masih di atas. Bagaimana

mungkin bapak bisa melihat sementara matahari masih di atas? Tidak sedikit yang

datang ke lokasi rukyat, mau isbat tapi hanya bawa surat tugas dan dia lupa surat

edarannya, padahal dari dulu selalu ada surat edaran, baik ketika Pengadilan Agama

itu belum satu atap dengan Mahkamah Agung maupun setelah satu atap, selalu ada

surat edaran menjelang Ramadan tentang pedoman yang harus diperhatikan seperti

perkembangan ilmu pengetahuan, kesepakatan dan sebagainya.

Jika tidak ada penetapan Isbat Kesaksian Rukyat Hilal oleh Pengadilan

Agama, apakah Penetapan awal bulan Kamariah dapat dilaksanakan?

Di seluruh Indonesia misalnya tidak ada laporan kesaksian rukyat hilal, tetapi

menurut hisab di seluruh Indonesia sudah Imkaanurrukyah, hal ini pernah terjadi di

tahun 1987. Ketika menetapkan awal Ramadan pada tanggal 27 atau 28 ketika

sidang isbat tidak ada laporan Isbat dari Papua sampai Aceh, tetapi ditetapkan awal

bulan Kamariah oleh Pak Munawwir karena sudah imkaaanurrukyah, NU tidak ikut

karena NU pakai Rukyat makanya NU Istikmal. Pertama kali menggunakan hisab

yang sudah imkan untuk metepakan awal bulan. Yang kedua itu saat Zulhijah tahun

1999 itu sudah imkan, tetapi tidak ada laporan rukyat akhirnya menetapkannya

berdasarkan hari-hari libur, dan didasarkan pada imkanurrukyat dan sk hari-hari

libur.

Bagaimana Mahkamah Agung dan Kementerian Agama melihat Isbat

Kesaksian Rukyat Hilal Pengadilan Agama?

Kalo Kementerian Agama pada umumnya rukyat yang diterima atau menjadi

konsideran keputusan menteri adalah rukyat yang diisbatkan oleh Peradilan Agama.

Mahkamah Agung melihat isbat Pengadilan Agama itu dalam rangka melaksanakan

tugas Pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006. Ingat Pengadilan Agama

tidak menetapkan, Pengadilan Agama hanya memeriksa isbat. Pasal 52A Undang-

Undang Nomor 3 tahun 2006 tidak bisa dipisahkan dengan Pasal 52 Undang-

Undang Nomor 7 tahun 1989, disitu terkait dengan pertimbangan, pendapat,

keterangan, apabila diminta. Karena bagaimana pun itu tugas Pengadilan Agama,

dan penetapan nasionalnya adalah tugas Menteri Agama.

Pasal 52A itu bukan seperti penetapan hakim-hakim dalam kitab-kitab fikih, jadi

semacam pertimbangan, pemberian keterangan bahwasannya hakim ini sudah

menyumpah keputusan ada di tangan menteri. Karena Menteri Agama yang

berwenang menetapkan, maka hakim sekedar memberikan pertimbangan. Hanya

saja, pertimbangannya berupa penetapan. Sementara pertimbangan atau keterangan

tentang arah kiblat dan awal waktu salat, tidak berupa penetapan.

Apakah hakim yang menetapkan harus memiliki keilmuan yang mendalam

pada Ilmu Falak?

Sebetulnya hakim tidak harus tahu detailnya, karena itu bukan tugas pokok hakim

tetapi tugas lain. Artinya dia tidak harus ahli dan tahu detail, tapi sekedar tahu yang

diperlukan. Misalnya jam berapa matahari terbenam, hilal berapa derajat, dari saat

matahari terbenam atau hilal terbenam, matahari di mana hilal dimana utara atau

selatan. Dan data itu sudah dikirim Dirjen badilag ke seluruh Pengadilan Agama

tentang data-data hilal mencakup elongasi, dan sebagainya.

Foto peneliti dengan Dr. Asadurrahman, M.H., pada tanggal 12 Maret 2022.