ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM DALAM PENETAPAN PERKARA PERMOHONAN ISBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA

168
ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM DALAM PENETAPAN PERKARA PERMOHONAN ISBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA A. Latar Belakang Masalah Fenomena perkawinan sirri atau perkawinan di bawah tangan masih banyak terjadi di kalangan masyarakat kita, baik yang dilakukan oleh masyarakat biasa maupun figur-figur yang dikenal publik. Isu-isu seputar perkawinan sirri masih menjadi bahan perbincangan banyak pihak, apalagi jika praktik tersebut dilakukan oleh orang-orang yang memang dikenal luas oleh masyarakat. Yang terbaru dan paling menyita perhatian adalah kasus perkawinan sirri antara Machicha Muchtar dan Moerdiono. Kasus ini bahkan sampai melibatkan Mahkamah Konstitusi, karena pihak Machicha Muchtar mengajukan Judicial Review terhadap pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Mahkamah Konstitusi bahkan mengabulkan permohonan Machicha dengan melakukan amandemen terhadap pasal tersebut sehingga bunyi pasalnya menjadi berubah dan menguntungkan pelaku perkawinan sirri. 1 Pada hakikatnya perkawinan sirri dari perspektif agama adalah sah, jika rukun dan syaratnya terpenuhi. Namun demi menjaga ketertiban, negara berhak mengatur masalah perkawinan, sehingga perkawinan hendaknya dicatatkan pada Petugas Pencatat Perkawinan (bagi orang Islam). Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 bahwa “tiap-tiap perkawinan 1 Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa anak yang lahir di luar kawin mempunyai akibat hukum dengan ayah biologisnya, tidak lagi hanya dengan keluarga ibu. 1

Transcript of ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM DALAM PENETAPAN PERKARA PERMOHONAN ISBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA

ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM DALAM PENETAPAN PERKARA PERMOHONAN ISBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA

A. Latar Belakang Masalah

Fenomena perkawinan sirri atau perkawinan di bawah tangan masih banyak terjadi di kalangan

masyarakat kita, baik yang dilakukan oleh masyarakat biasa maupun figur-figur yang dikenal

publik. Isu-isu seputar perkawinan sirri masih menjadi bahan perbincangan banyak pihak, apalagi

jika praktik tersebut dilakukan oleh orang-orang yang memang dikenal luas oleh masyarakat. Yang

terbaru dan paling menyita perhatian adalah kasus perkawinan sirri antara Machicha Muchtar dan

Moerdiono. Kasus ini bahkan sampai melibatkan Mahkamah Konstitusi, karena pihak Machicha Muchtar

mengajukan Judicial Review terhadap pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Mahkamah Konstitusi bahkan mengabulkan permohonan Machicha dengan melakukan amandemen terhadap

pasal tersebut sehingga bunyi pasalnya menjadi berubah dan menguntungkan pelaku perkawinan

sirri.1

Pada hakikatnya perkawinan sirri dari perspektif agama adalah sah, jika rukun dan syaratnya

terpenuhi. Namun demi menjaga ketertiban, negara berhak mengatur masalah perkawinan, sehingga

perkawinan hendaknya dicatatkan pada Petugas Pencatat Perkawinan (bagi orang Islam). Hal ini

sesuai dengan bunyi pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 bahwa “tiap-tiap perkawinan

1Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa anak yang lahir di luar kawin mempunyai akibat hukum denganayah biologisnya, tidak lagi hanya dengan keluarga ibu.

1

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.2 Kemudian dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 pada Bab II, pasal 2 dan 3, masalah pencatatan perkawinan dijelaskan kembali.3

Bagi pihak yang tidak mencatatkan perkawinannya, secara hukum negara perkawinannya dianggap

tidak memiliki kekuatan hukum. Artinya jika sesuatu yang buruk menimpa perkawinannya, seperti

suami tidak mau mengakui adanya perkawinan, atau suami tidak mau bertanggung jawab terhadap hak-

hak istri atau anaknya (hak keperdataan), maka negara tidak akan melindungi hak-hak mereka. Pada

kasus seperti ini pihak yang banyak mendapatkan kerugian adalah perempuan dan anak-anak yang

dilahirkan dari perkawinan tersebut. Di antara hak-hak perempuan dan anak-anak yang tidak bisa

dituntut adalah hak waris, nafkah dan perwalian.

Perlunya pencatatan perkawinan juga ditegaskan dalam pasal 9 ayat (1, 2 dan 3) Undang-undang

Tentang Administrasi Kependudukan (UU No. 23 Thn 2006) yang intinya bahwa instansi pelaksana yang

memiliki kewenangan dalam memperoleh data-data mengenai peristiwa kependudukan, peristiwa penting

yang dialami penduduk termasuk di dalamnya adalah Kantor Urusan Agama khususnya untuk pencatatan

nikah, talak, cerai dan rujuk, khususnya bagi penduduk yang beragama Islam. Pentingnya pencatatan

nikah tidak sekedar pernyataan bahwa perkawinan telah sah di mata hukum negara, akan tetapi

keberadaannya akan berimplikasi pada status anak, istri dan harta selama perkawinan. Bagi

2 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 (Surabaya: Pustaka Tintamas, t.t), hlm. 8.3 Pasal 2 dan 3 masing-masing terdiri dari 3 ayat.

2

perkawinan yang belum dicatatkan atau tercatat di KUA, maka untuk menghindari dampak negatifnya

yaitu dengan menempuh solusi hukum atas perkawinannya yaitu dengan mengajukan permohonan

pengesahan perkawinan (isbat nikah) ke Pengadilan Agama pada wilayah di mana mereka bertempat

tinggal atau tempat di mana mereka melangsungkan perkawinan. Hal ini selain bertujuan agar

perkawinannya diakui negara, juga agar perkawinannya memiliki kepastian hukum.

Isbat nikah adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah.4 Isbat nikah kadang-kadang

menggunakan istilah pengesahan perkawinan atau pengesahan nikah, namun dalam penelitian ini

peneliti menggunakan istilah isbat nikah. Permohonan isbat nikah bisa diajukan oleh pihak-pihak

yang berkepentingan (suami, istri, anak-anak mereka, wali nikah)5 ke Pengadilan Agama. Dengan

diterbitkannya putusan atau penetapan isbat nikah dan dengan berpegang padanya, maka pelaku

perkawinan sirri (tidak tercatat) berhak mendapatkan Akta Nikah dari Kantor Urusan Agama di mana

mereka melangsungkan perkawinan.

Secara yuridis, permohonan isbat nikah mestinya diajukan oleh pasangan yang perkawinannya

dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-Undang No.1 tahun 1974. Hal ini sebagaimana disebutkan

dalam penjelasan pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo.UU No.3 Tahun 2006 jo.UU No. 50 Tahun

2009 bahwa salah satu kewenangan Pengadilan Agama dalam bidang perkawinan adalah mengeluarkan

4 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 388.5 Pasal 7 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam.

3

pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun 1974 dan dijalankan

menurut peraturan lain.6

Akan tetapi, realitanya banyak perkawinan yang dilakukan setelah tahun 1974 namun permohonan

isbat nikahnya diterima dan dikabulkan oleh Pengadilan Agama. Hal ini sejalan dengan apa yang

diungkapkan oleh Andi Syamsu Alam (Ketua Muda Uldilag Mahkamah Agung) berkaitan dengan isbat

nikah bahwasannya tidak ada isbat nikah setelah berlakunya UU No.1 Tahun 1974 kecuali perkawinan

itu dilangsungkan sebelum UU tersebut lahir. Namun ketentuan tersebut bisa dikecualikan karena

alasan-alasan tertentu seperti tercantum dalam pasal 7 KHI. Namun demikian beliau tidak

menganalisa permasalahan tersebut dari sisi pertimbangan hukumnya.7

Adanya perkara permohonan isbat nikah yang diterima dan dikabulkan mengindikasikan bahwa

seolah-olah timbul kontradiksi antara aturan legal formal dan kenyataan empiris. Undang-undang

tersebut (UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009) adalah hukum formil dan landasan yuridis

yang berlaku di Pengadilan Agama. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan setiap kasus yang

dihadapkan padanya, Pengadilan Agama semestinya berpegang pada Undang-undang tersebut. Namun

demikian Pengadilan Agama (hakim) justru berpegang pada ketentuan yang terdapat pada pasal 7

Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai dasar pembenaran pengajuan isbat nikah terhadap perkawinan

6 Lihat Penjelasan pasal 49 (2) UU No.7 Tahun 1989 (tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006).7Andi Syamsu Alam dalam “Isbat Nikah Masih Jadi Masalah,” dikutip dari www.hukumonline.com/baca/ho117737/itsbat-nikah-

masih-jadi-masalah, diakses 30 Mei 2013.

4

yang terjadi setelah tahun 1974. Padahal dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, kedudukan

Undang-undang lebih tinggi dibandingkan dengan Instruksi Presiden. Artinya bahwa peraturan yang

kedudukannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang kedudukannya lebih

tinggi. Perlu diketahui bahwa KHI ditetapkan berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Thn. 1991. Oleh

karena itu, putusan atau penetapan majelis hakim yang isinya menerima dan mengabulkan permohonan

isbat nikah yang terjadi setelah tahun 1974, bisa dikatakan sebagai penyimpangan terhadap Undang-

undang, kecuali hakim memang memiliki pertimbangan lain menurut ijtihadnya sendiri.

Penelitian ini akan melihat sejauhmana pertimbangan hukum yang digunakan majelis hakim dalam

menerima, tidak menerima, mengabulkan dan menolak perkara permohonan isbat nikah yang diajukan ke

Pengadilan Agama. Selain itu penelitian ini juga akan melihat validitas pertimbangan hakim dalam

memutuskan permohonan isbat nikah.

B. Batasan Masalah

Penelitian ini difokuskan pada pertimbangan hukum dalam putusan atau penetapan perkara

permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama. Putusan isbat nikah adalah produk Pengadilan Agama

terhadap permohonan isbat nikah yang diajukan oleh salah seorang suami atau istri yang

5

bersifat kontentius, sedangkan penetapan isbat nikah adalah produk Pengadilan Agama terhadap

permohonan isbat nikah yang diajukan oleh suami dan istri yang bersifat voluntair.8

Pengadilan Agama dalam hal ini tidak dibatasi oleh wilayah tertentu tetapi meliputi

beberapa wilayah yang ada di Indonesia. Pertimbangan ini didasarkan pada salah satu kewenangan

absolut Pengadilan Agama yaitu mengeluarkan pernyataan isbat nikah terhadap perkawinan yang

terjadi setelah tahun 1974. Meskipun pengajuan permohonan isbat nikah adalah fenomena yang

umum terjadi di seluruh Pengadilan Agama yang ada di Indonesia, dan alasan pengajuan isbat

nikah pun sama yaitu sebagaimana disebutkan pada pasal 7 ayat 3 (a, b, c, d dan e) Kompilasi

Hukum Islam, akan tetapi pertimbangan hukum yang digunakan hakim bisa saja berbeda satu sama

lain.

C. Rumusan Masalah

1. Apakah alasan Pengadilan Agama (hakim) dalam menerima9 dan tidak menerima permohonan isbat

nikah terhadap perkawinan yang terjadi setelah tahun 1974?

2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menolak dan mengabulkan perkara tersebut?

8 Pelmizar, “Pengesahan Perkawinan (Pengesahan Nikah/Isbat Nikah),” tulisan dalam situs www.pta-padang.go.id, diakses pada 4 September 2013.

9 Istilah menerima permohonan berbeda dengan mengabulkan permohonan, karena menerima berarti terkait dengan terpenuhinya syarat-syarat formil, sedangkan mengabulkan berarti terkait dengan terpenuhinya syarat-syarat materiil.

6

3. Sejauhmana validitas pertimbangan hukum yang digunakan hakim dalam memutus atau menetapkan

perkara permohonan isbat nikah tersebut?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui alasan Pengadilan Agama (hakim) dalam menerima atau tidak menerima

permohonan isbat nikah terhadap perkawinan yang terjadi setelah tahun 1974.

2. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam menolak atau mengabulkan perkara isbat

nikah.

3. Untuk mengetahui validitas pertimbangan hukum yang digunakan hakim dalam memutus atau

menetapkan perkara permohonan isbat nikah tersebut.

E. Signifikansi Penelitian

1.Penelitian ini dilakukan untuk memberi kontribusi ilmiah bagi dunia akademik dalam bidang

hukum Islam, khususnya bagi Program Studi Hukum Keluarga (al-Ahwal asy-Syakhshiyyah), berkaitan

dengan kewenangan absolut Pengadilan Agama di bidang perkawinan dalam menangani perkara

permohonan isbat nikah.

7

2.Penelitian ini bertujuan memberikan masukan bagi lembaga peradilan agama menyangkut

bagaimana variasi pertimbangan hukum Pengadilan Agama (hakim) dalam menyelesaikan kasus atau

perkara permohonan isbat nikah yang diajukan kepadanya.

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim atau yang sering disebut juga considerans merupakan dasar putusan.

Putusan adalah hasil dari pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh hakim sebagai pejabat

negara yang berwenang untuk mengakhiri atau memutuskan suatu perkara yang bersengketa.10

Setelah hakim memeriksa gelar perkara dengan sebenar-benarnya, dan dinyatakan selesai, maka

jatuhlah putusan hakim.

Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim atas sengketa yang diperiksa dan

diadilinya. Hakim harus dapat mengolah dan memproses data-data yang diperoleh selama proses

persidangan, baik dari bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan maupun sumpah yang

terungkap dalam persidangan.11 Sehingga keputusan yang akan dijatuhkan dapat didasari oleh

rasa tanggung jawab, keadilan, kebijaksanaan, profesionalisme dan bersifat obyektif, serta

mengandung adanya kepastian hukum.

10 Mertokusumo, Soedikno, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 175.11 Lihat Pasal 164 HIR

9

Dalam memutus perkara yang terpenting adalah kesimpulan hukum atas fakta yang terungkap

di persidangan. Untuk itu hakim harus menggali nilai-nilai, mengikuti, dan memahami nilai-

nilai hukum (kepastian hukum) dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.12 Sumber hukum

yang dapat diterapkan oleh hakim dapat berupa peraturan perundang-undangan berikut peraturan

pelaksanaannya, hukum tidak tertulis (hukum adat), putusan desa, yurisprudensi, ilmu

pengetahuan maupun doktrin/ajaran para ahli.13

Dasar hukum yang terdapat pada pertimbangan hakim Pengadilan Agama terdiri dari

Peraturan Perundang-undangan Negara dan hukum syara’. Peraturan perundang-undangan Negara

disusun urutan derajatnya, misalnya Undang-Undang didahulukan dari Peraturan Pemerintah,

lalu urutan tahun terbitnya, misalnya UU Nomor 14 Tahun 1970 didahulukan dari UU Nomor 1

Tahun 1974.

Dasar hukum syara’ bersumber dari al-Qur’an, hadits, atau Qaul Fuqaha’. Sumber al

Qur’an yang diterjemahkan menurut bahasa hukum harus menyebut nomor surat, nama surat, dan

nomor ayat. Mengutip hadits harus menyebut siapa sanadnya, bunyi matannya, siapa

pentakhrijnya dan disebutkan pula dikutip dari kitab apa. Kitab ini harus disebutkan juga

siapa pengarang, nama kitab, penerbit, kota tempat diterbitkan, tahun terbit, jilid dan

12Lihat Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 13R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi (Bandung: Mandar Maju, 2005), Hlm. 146.

10

halamannya. Mengutip qaul fuqaha’ juga harus menyebut kitabnya selengkapnya seperti di

atas.14

Apa yang dimuat dalam bagian pertimbangan dari putusan tidak lain adalah alasan-alasan

hakim sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat mengapa ia sampai mengambil keputusan

demikian, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif. Alasan dan dasar putusan harus

dimuat dalam pertimbangan putusan (pasal 184 HIR, 195 Rbg, dan 23 UU 14/1970). Dalam

peraturan tersebut mengharuskan setiap putusan memuat ringkasan yang jelas dari tuntutan dan

jawaban, alasan dan dasar dari putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok

perkara, biaya perkara, serta hadir tidaknya pihak pada waktu putusan diucapkan oleh hakim.

Suatu putusan dapat dinilai cacat tidaknya ditinjau dari asas-asas putusan yang diambil

dalam pertimbangan hakim. Pada hakikatnya asas-asas tersebut terdapat dalam Pasal 178

HIR/189 RBG dan Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu :

a. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci

Putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus bedasarkan pertimbangan yang jelas dan

cukup. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dikategorikan putusan yang tidak

cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd. Alasan yang dijadkan pertimbangan dapat

14Alasan memutus dan dasar memutus yang wajib menunjuk kepada peraturan perundang-undangan negara atau sumberhukum lainnya dimaksudkan (c/q. Dalil syar’i bagi Peradilan Agama) memang diperintahkan oleh pasal 23 ayat (1) UUNomor 14 Tahun 1970.

11

berupa pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi

atau doktrin hukum.15

Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman yang menegaskan bahwasanya Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan

dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Untuk

memenuhi kewajiban itulah Pasal 5 UU Kekuasan Kehakiman memerintahkan hakim untuk

menggali nilai-nilai, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat.

Bertitik tolak dari pasal-pasal yang dikemukakan di atas, putusan yang tidak cukup

pertimbangan adalah masalah yuridis, akibatnya putusan dapat dibatalkan pada tingkat

banding atau kasasi. Begitu pula pertimbangan yang mengandung kontradiksi, putusan

demikian tidak memenuhi syarat sebagai putusan yang jelas dan rinci.

b. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan

Asas kedua yang digariskan oleh Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat (2) RBG dan

Pasal 50 RV adalah putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili

setiap segi gugatan yang diajukan. Tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja

dan mengabaikan gugatan selebihnya. 15M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), Hlm. 798.

12

c. Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan

Berdasarkan Pasal 178 ayat (3) HIR/Pasal 189 ayat (3) RBG dan Pasal 50 RV, putusan

tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Larangan itu

disebut ultra petitum partium. Hakim yang mengabulkan posita maupun petitum gugatan, dianggap

telah melampaui batas wewenang atau ultar vires yakni bertindak melampaui wewenangnya.

Apabila putusan mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat (invalid) meskipun hal itu

dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public

interest). Mengadili dengan cara mengabulkan melebihi dari apa yang di gugat dapat

dipersamakan dengan tindakan yang tidak sah (illegal) meskipun dilakukan dengan itikad baik.

d. Diucapkan di muka Umum

Pemeriksaan persidangan harus berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir

(putusan dijatuhkan). Persidangan dan putusan diucapkan dalam sidang pengadilan yang

terbuka untuk umum atau di muka umum merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan

dari asas fair trial. Pemeriksaan persidangan yang terbuka dari awal sampai akhir

dikecualikan untuk perkara tertentu, misalnya perkara perceraian. Dalam perkara

perceraian dilakukan dalam persidangan tertutup untuk umum, tetapi putusannya wajib

diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.16

16 Pasal 13 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukumapabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

13

2. Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan disebut juga juga dengan pernikahan, secara etimologi adalah persetubuhan

atau perjanjian. Sedangkan secara terminologi ialah akad (perjanjian) yang menjadikan

halal hubungan seksual suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.17

Perkawinan menjadikan sesuatu yang berpasangan dengan yang lainnya, yang keduanya

disebut sepasang (az-zawjain).18 Firman Allah yang menjelaskan tentang penciptaan makhluk

dalam bentuk berpasang-pasangan seperti dalam surat adz-Dzaariyat ayat 49:

Artinya:

dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.19

Perkawinan berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri

antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan antara kedua belah pihak

dengan dasar sukarela dan keridhoan keduanya untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup

17 ? Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Cet IV, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002), hlm. 1.18 ? Mahmud Al Shabbagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, Cet. III, (Bandung: 1994) hlm. 1.19 ? Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah, , 1986, hlm.

862.

14

berkeluarga yang diliput rasa kasih sayang dan ketentraman. Firman Allah SWT. dalam

Surat ar-Ruum ayat 21 :

Artinya:

dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supayakamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.20

Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.21 Sedangkan

menurut Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau Miitsaaqan

ghaliidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.22

Perkawinan tidak hanya dinilai sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah

Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah berarti menurut qudrat dan iradat Allah dalam

20 ? Ibid. hlm. 644.21 ? Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.22 ? Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat, 1999), hlm.14.

15

penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan

oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.23

2. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan kebutuhan manusia dalam

berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang

bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, dan untuk memperoleh keturunan yang sah

dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syari’ah.24

3. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun dari perkawinan adalah hakikat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya

salah satu rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Sedang yang dimaksud dengan

syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam suatu perkawinan tetapi tidak termasuk hakikat

dan perkawinan itu sendiri. Jadi kalau salah satu dari syarat-syarat perkawinan itu tidak

dipenuhi maka perkawinan itu tidak sah.25

Rukun perkawinan secara rinci adalah:

23 ? Amir Syarifudin, Garis-garis Besar Fiqh, Cet. II (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 76.24 ? Soemiyati, Hukum Perkawinan …, hlm. 12.25 ? M Ali Hasan, Pedoman Hidup …, hlm. 56.

16

a. Adanya calon mempelai pria

b. Adanya calon mempelai wanita

c. Wali

d. Saksi

e. Ijab dan kabul

Dari kelima rukun perkawinan diatas, masing-masing harus memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut :

a. Syarat calon mempelai pria

1) Beragama Islam

2) Laki-laki

3) Baligh

4) Berakal

5) Jelas orangnya

6) Dapat memberikan persetujuan

7) Tidak terdapat halangan perkawinan (seperti tidak dalam keadaan ihram dan umroh)

b. Syarat calon mempelai wanita

1) Beragama

2) Perempuan

17

3) Jelas orangnya

4) Dapat dimintai persetujuannya

5) Tidak terdapat dalam halangan perkawinan (wanita-wanita yang haram dinikahi)

c. Syarat wali nikah

1) Laki-laki

2) Dewasa

3) Mempunyai hak perwalian

4) Tidak terdapat halangan perwaliannya.

d. Syarat saksi nikah

1) Minimal dua orang laki-laki

2) Hadir dalam ijab dan kabul

3) Dapat memahami maksud akad

4) Beragama Islam

5) Dewasa

e. Syarat ijab kabul

1) Ada ijab (pernyataan) mengawinkan dari pihak wali

2) Ada kabul (pernyataan) penerimaan dari calon suami

3) Memakai kata-kata “nikah”, “tazwij”, atau terjemahannya seperti “kawin”.

18

4) Antara ijab dan kabul bersambungan tidak boleh terputus

5) Antara ijab dan kabul jelas maksudnya

6) Orang yang terkait dengan ijab dan kabul tidak sedang dalam keadaan haji dan umroh

7) Majlis ijab kabul harus dihadiri paling kurang empat orang yaitu calon mempelai pria

atau wakilnya, wali dari calon mempelai wanita atau wakilnya dan dua orang saksi.26

Adapun syarat-syarat sahnya perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1

Tahun 1974 harus didasarkan pada beberapa hal berikut ini:27

a. Didasarkan kepada persetujuan bebas antara calon suami dan calon istri yang berarti

tidak ada paksaan di dalam perkawinan.

b. Pada asasnya perkawinan itu adalah satu istri bagi satu suami dan sebaliknya hanya satu

suami bagi istri, kecuali mendapat dispensasi oleh Pengadilan Agama.

c. Pria harus telah berumur 19 (Sembilan belas) tahun dan wanitanya 16 (enam belas) tahun.

d. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua mereka, kecuali dalam hal-hal

tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau mendapat

dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon kurang dari 19 dan 16 tahun.

e. Tidak termasuk larangan-larangan perkawinan antara 2 orang yang:

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.

26 ? Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet. VI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 72.27 ? Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan …, hlm. 59.

19

2) Berhubungan darah dalam garis keturunan kesamping yaitu antara saudara, saudara

dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya.

3) Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dengan ibu atau bapak tiri.

4) Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan dan bibi atau paman susuan.

5) Berhubungan saudara dengan istri (ipar) atau sebagai bibi, atau keponakan dari istri,

dalam hal suami beristri lebih dari seorang.

6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang.

f. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali ada dispensasi

oleh pengadilan.

g. Seorang yang telah cerai untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh

dilangsungkan perkawinan lagi sepanjang hukum masing-masing agamanya itu dari yang

bersangkutan tidak menentukan lain

h. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi, telah lampau tenggang

waktu tunggu perkawinan harus dilangsungkan menurut tata cara perkawinan yang diatur

oleh Peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun

1975 tentang pencatatan, Nikah, Talak dan rujuk.

4. Hukum Perkawinan

20

Perkawinan merupakan suatu perbuatan yang diperintah Allah SWT. dan juga perintah

Nabi Muhammad saw. Banyak perintah perintah Allah untuk melaksanakan perkawinan,28

diantaranya firman Allah dalam surat an-Nur ayat 32:

Artinya:

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akanmemampukan mereka dengan kurnia-Nya.29

Perintah Allah tersebut menjelaskan bahwa perkawinan itu adalah perbuatan yang

disenangi Allah dan Nabi untuk dilaksanakan. Atas dasar ini hukum perkawinan menurut

asalnya adalah sunnah. Hukum Sunnah ini berlaku secara umum, namun karena ada tujuan yang

hendak dicapai dari perkawinan itu dan yang melakukan perkawinan itu berbeda pula

kondisinya serta situasi yang melingkupi suasana perkawinan itu berbeda pula, maka secara

rinci jumhur ulama menyatakan hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang

28 ? Amir Syarfudin, Garis-garis Besar …, hlm. 78.29 ? Departemen Agama, Al-Qur’an …, hlm, 549.

21

tertentu.30 Berikut hukum perkawinan sesuai dengan kondisi dan situasi tertentu menurut

Jumhur Ulama:

a.Wajib

Perkawinan hukumnya wajib adalah bagi orang yang telah mempunyai keinginan kuat

untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban

kewajiban dalam hidup perkawinan serta ada kekhawatiran apabila tidak kawin ia akan

mudah tergelincir untuk berbuat zina.

Qai’dah fiqhiyah mengatakan, “sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menjalankan suatu

kewajiban, maka hukumnya adalah wajib”. Penerapan kaidah tersebut dalam masalah

perkawinan adalah apabila seseorang hanya dapat menjaga diri dari perbuatan zina dengan

jalan perkawinan, maka baginya perkawinan itu wajib hukumnya.31

b. Sunnah

Hukum sunnah dalam perkawinan diperuntukkan bagi orang yang telah berkeinginan

kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul

kewajiban-kewajiban dalam perkawinan, tetapi apabila tidak kawin juga tidak ada

kekhawatiran akan berbuat zina.32

30 ? Amir Syarifudin, Garis-garis Besar …, hlm. 79.31 ? Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, cet. X, (Yogyakarta: Press Yogyakarta, 2004), hlm. 14.32 ? Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1980), hlm. 23.

22

c.Haram

Perkawinan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan serta tidak mempunyai

kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban hidup dalam perkawinan

sehingga apabila kawin juga akan berakibat menyusahkan pasangannya.33

Seorang perempuan apabila ia sadar dirinya tidak mampu untuk memenuhi hak-hak

calon suaminya, atau ada hal-hal yang menyebabkan ia tidak bisa melayani kebutuhan

batinnya, maka ia tidak boleh mendustainya, tetapi wajiblah ia menerangkan semuanya itu

kepada laki-lakinya. Bila ternyata salah satu pasangan mengetahui aib pada lawannya,

maka ia berhak untuk membatalkan. Jika yang aib itu perempuannya, maka suami boleh

membatalkannya dan dapat mengambil kembali mahar yang telah diberikannya.34

d. Makruh

Hukum makruh diperuntukkan bagi seorang yang mampu dalam segi materi, cukup

mempunyai daya tahan mental dan agama hingga tidak khawatir terseret dalam perbuatan

zina, tetapi mempunyai kekhawatiran tidak dapat memenuhi kewajiban terhadapa istrinya,

meskipun tidak akan berakibat menyusahkan pihak istri.35

e.Mubah

33 ? Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan …, hlm. 15.34 ? Sayyid Sabiq, Fiqih …, hlm. 25.35 ? Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan …, hlm. 16.

23

Perkawinan hukumnya mubah adalah bagi orang yang mempunyai harta, tetapi apabila

tidak kawin tidak merasa khawatir akan berbuat zina dan andaikata tidak merasa khawatir

akan menyia-nyiakan kewajibanya terhadap istri. Perkawinan dilakukan hanya sekadar

untuk memenuhi syahwat dan kesenangan bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga

keselamatan hidupnya.36

5. Peraturan Perundang-undangan Tentang Perkawinan di Indonesia

Ada beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang

perkawinan. Aturan perkawinan sekarang yang diikuti oleh lembaga negara adalah UU No. 1

tahun 1974 tentang perkawinan dan diterangkan oleh INPRES tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam. Sebelum undang-undang perkawinan tersebut keluar, di Indonesia berlaku

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab undang-undang hukum sipil (Burgerlijk Wetboek),

Ordonasi perkawinan Kristen (Huwelyks Ordonasi voor de Christener Indonesier) staatblad 1933 No. 74,

Peraturan perkawinan campuran (Regeling op de gemengde huwelyken), staatblad 1898 No 158 dan

peraturan-peraturan lain yang menganut tentang perkawinan.

Dengan adanya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tersebut, maka

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang sebelumnya sejauh telah diatur dalam

Undang-undang yang baru dinyatakan tidak berlaku lagi.36 ? Ibid, hlm. 16.

24

Pelaksanaan perkawinan di Indonesia sendiri telah jelas diatur dalam Undang-Undang

maupun peraturan yang berlaku. Adapun yang sudah menjadi peraturan perundang-undangan

tentang perkawinan yang ditetapkan setelah Indonesia merdeka adalah sebagai berikut :

a. Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undang-undang Republik

Indonesia tanggal 21 November 1946 No. 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak

dan rujuk.

b. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang merupakan hukum materiil dari

perkawinan.

c. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun

1974 tentang perkawinan. PP ini hanya memuat pelaksanaan dari beberapa ketentuan yang

terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974.

d. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama. Sebagian materi ini memuat

aturan yang berkenaan dengan tata cara (hukum formil) penyelesaian sengketa perkawinan

di pengadilan.

3. Isbat nikaha. Pengertian Isbat nikah

25

Dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pernikahan yang tidak dapat

dibuktikan dengan Akta Nikah, maka dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

Kata Isbat nikah terdiri dari dua kata “itsbat” dan “nikah”. Kedua istilah tersebut berasal dari

Bahasa Arab. Itsbat merupakan masdar dari kata “atsbata yutsbitu itsbat”berarti penetapan

atau pembuktian.37 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa itsbat adalah

penetapan, penyuguhan, penentuan.38 Sedangkan nikah adalah akad yang sangat kuat atau

mitsaqan ghalizan antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami isteri dengan

terpenuhinya berbagai persyaratan dalam rangka suami isteri dengan terpenuhinya berbagai

persyaratan dalam rangka mentaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.39

Isbat nikah adalah tindakan hukum yang diajukan ke Pengadilan Agama guna mentsabitkan

(menetapkan) pernikahan yang telah dilangsungkan, namun tidak dapat dibuktikan dengan

Akta Nikah. Pasal 7 angka (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan “Perkawinan hanya

dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah” dan “Dalam

hal ini perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan Isbat nikahnya

ke Pengadilan Agama”.

37Ahmad Warsun Munawir, Kamus Al Munawir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997, hlm. 145. 38 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1995, halaman 338. 39

26

Jadi, pada dasarnya isbat nikah adalah penetapan atas perkawinan seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri yang sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama

Islam yaitu sudah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi pernikahan yang terjadi

pada masa lampau ini belum atau tidak dicatatkan ke pejabat yang berwenang, dalam hal ini

pejabat KUA (Kantor Urusan Agama) yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN).

b. Ketentuan Isbat nikah

Ketentuan isbat nikah di Indonesia baru ada setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, walaupun pada masa Penjajahan Belanda di Indonesia telah

mengakui keberadaan Pengadilan Agama dengan stbl. 1882 Nomor 152 yang kemudian

ditambahkan dan dirubah dengan stbl. 1937 nomor 116 dan 160 dan stbl. 1937 nomor 638 dan

639 namun tentang Isbat nikah pada waktu itu belum ada ketentuannya.

Pada dasarnya kewenangan perkara isbat nikah bagi Pengadilan Agama dalam sejarahnya

adalah diperuntukkan bagi mereka yang melakukan perkawinan dibawah tangan sebelum

diberlakukannya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Jo. Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975 (penjelasan pasal 49 ayat (2), Jo. Pasal 64 UU No. 1 Tahun

1974). Pasal 49 ayat (2) tersebut dikatakan bahwa salah satu bidang perkawinan yang

diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah “Pernyataan tentang sahnya perkawinan

27

yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijalankan menurut peraturan

yang lain.40 Dalam pasal 64 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan untuk perkawinan

dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang

ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama adalah sah.41

Namun kewenangan ini berkembang dan diperluas dengan dipakainya ketentuan Kompilasi

Hukum Islam (KHI) pasal 7 ayat 2 dan 3. Pasal 7 ayat (2) dalam KHI disebutkan "Dalam hal

perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat mengajukan isbat nikahnya ke

Pengadilan Agama”. Pasal 7 ayat (3) dalam KHI disebutkan isbat nikah yang diajukan ke

Pengadilan Agama terbatas mengenai hal yang berkenaan dengan:

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;

b. Hilangnya akta nikah;

c. Adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan;

d. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan

menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974.42

40 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Klong Kledejaya, Tahun 1990, halaman 45.41 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Klong Kledejaya, Tahun 1990, halaman 284.42 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Departemen Agama RI,1999/2000, hlm.137.

28

Uraian pasal 7 ayat 2 dan 3 KHI, memaparkan bahwa KHI telah memberikan kewenangan

lebih dari yang diberikan oleh Undang-Undang; baik oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang perkawinan maupun Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Aturan isbat nikah yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan maupun Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama hanya terjadi

pada kasus perkawinan bawah tangan yang terjadi sebelum diberlakukannya UU no. 1 tahun

1974 tentang Perkawinan. Sedangkan Pasal 7 ayat 2 dan 3 dalam KHI menerangkan

dibolehkannya isbat nikah meski perkawinan berlangsung setelah berlakunya UU no. 1 tahun

1974 tentang Perkawinan.

Di sisi lain, menurut pasal 2 TAP MPR RI No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan

tata urutan perundang-undangan; INPRES tidaklah termasuk dalam tata urutan perundang-

undang Republik Indonesia. Dalam hal ini KHI termasuk INPRES tahun 1991.

4. Maqashid Syari’ah

Maqashid syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam.

Tujuan itu dapat diketahui dari penelusuran dalam ayat-ayat al Qur’an dan Sunnah Rasulullah

29

sebagai alasan logis bagi rumusan hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat

manusia.43 Dengan kata lain, maqashid syari’ah adalah tujuan ditetapkannya suatu hukum.

Tujuan ditetapkannya suatu hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka

mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan

hukum kontemporer yang kasusnya secara eksplisit tidak diatur dalam al Qur’an dan al

Hadis.44 Tujuan Allah SWT. mensyari’atkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan umat

dan menghindari kemafsadatan, baik di dunia maupun di akhirat.

Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu adalah untuk memelihara lima pokok; memelihara

agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima hal pokok ini menurut al Syatibi disebut

dengan al qawaid al kulliyat atau alkulliyat al khams. Penetapan kelima hal pokok ini diambil dari

dalil-dalil al Qur’an dan al hadis, seperti dalil kewajiban shalat, larangan membunuh jiwa,

larangan meminum minuman yang memabukkan, larangan berzina, dan larangan memakan harta

orang lain dengan cara yang tidak benar.45

Kelima hal pokok di atas dibagi kepada tiga tingkatan untuk mempermudah penetapan

hukum, yaitu sesuai kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyyat, atau kebutuhan tahsiniyat.

a. Kebutuhan Dharuriyat

43 Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 233.44Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 123-124. 45 Al Syathibi, al Muwafaqat fi Ushul al Ahkam, (T.Tp: Dar al Fikr, tt), III: 62-64 dan 70.

30

Kebutuhan Dharuriyyat merupakan kebutuhan primer, yaitu apabila kebutuhan ini tidak

tercapai maka akan merusak keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.

Kebutuhan dharuriyat ini harus dipelihara karena mempunyai sifat yang esensial bagi umat

manusia. Pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta merupakan kebutuhan

esensial yang harus dijaga, jika tidak dijaga maka akan terancam eksistensi kelima hal

pokok di atas.46

b. Kebutuhan Hajiyyat

Kebutuhan hajiyyat adalah kebutuhan sekunder, yaitu apabila kebutuhan ini tidak terwujud

umat manusia akan mengalami kesulitan tetapi tidak sampai mengancam keselamatannya.47

c. Kebutuhan Tahsiniyyat

Kebutuhan tahsiniiyat merupakan tingkat kebutuhan pelengkap sehingga tidak sampai

menyulitkan manusia atau mengancam keselamatannya. Kebutuhan ini hanya sampai pada

tingkat kepatutan umat manusia.48

46 Al Syathibi, Ibid, II: 4.47 Ibid.48 Ibid., hlm. 5.

31

Pada dasarnya baik kelompok dharuriyat, hajiyyat, maupun tahsiniyyat adalam untuk

memelihara kelima hal pokok yang telah disebutkan di atas. Hanya saja peringkat

kepentingannya berbeda satu sama lain, muali dari kebutuhan primer, sekunder sampai

pelengkap.

Berikut contoh dan penjelasan kelima pokok hal di atas disertai dengan uraian

pemeliharaan kepentingan atau kebutuhannya:49

a. Memelihara agama

- Dharuriyyat: melaksanakan shalat lima waktu. Jika shalat tidak dilaksanakan maka akan

terancamlah eksistensi agama.

- Hajiyyat: shalat jama’ dan shalat qashar bagi yang bepergian. Shalat ini untuk

menghindari kesulitan, jika tidak dilaksanakan maka tidak akan terancam eksistensi

agama tetapi hanya akan mempersulit orang yang sedang bepergian tersebut.

- Tahsiniyyat: menjaga kebersihan badan baik dalam shalat maupun di luar shalat sebagai

bentuk mengikuti petunjuk agama.

b. Memelihara jiwa

- Dharuriyyat: Memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.

- Hajiyyat: berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal.

- Tahsiniyyat: tata cara makan dan minum.49 Fathurrahman Djamil, ..., hlm. 128-131.

32

c. Memelihara akal

- Dharuriyyat: diharamkan meminum minuman keras atau memabukkan untuk menjaga eksistensi

akal.

- Hajiyyat: menuntut ilmu pengetahuan. Jika tidak dilakukan tidak akan merusak akalnya,

tetapi dapat mempersulit dalam pengembangan ilmu pengetahuannya.

- Tahsiniyyat: menghindarkan diri dari mengkhayal.

d. Memelihara keturunan

- Dharuriyyat: disyari’atkan nikah dan dilarang berzina.

- Hajiyyat: suami dianjurkan untuk menyebutkan maharnya pada waktu akad, agar suami

tidak membayar mahal misl. Atau adanya hak thalaq bagi suami jika suatu saat rumah

tangganya tidak harmonis maka suami dapat mempergunakannya agar tidak kesulitan.

- Tahsiniyyat: khitbah atau walimah dalam perkawinan.

e. Memelihara harta

- Dharuriyyat: tidak dibolehkan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar.

- Hajiyyat: jual beli dengan cara salam.

33

- Tahsiniyyat: menghindarkan penipuan dalam jual beli sebagai etika bermu’amalah, bukan

sebagai syarat sah tidaknya jual beli.

B. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian dengan judul “Analisis Pertimbangan Hukum dalam Penetapan Perkara Permohonan

Isbat Nikah di Pengadilan Agama” adalah penelitian yang orisinal, belum pernah diteliti

sebelumnya, namun demikian ada beberapa penelitian yang relevan dengan tema tersebut dan bisa

menjadi referensi bagi peneliti dalam menganalisa aspek pertimbangan hukumnya. Peneliti

berupaya untuk melihat sejauhmana substansi dari penelitian-penelitian yang dimaksud, beberapa

di antaranya adalah:

“Isbat Nikah dan Masalah Sosial”, tulisan Ahmad Fatoni Ramli mencermati problematika isbat

nikah dimana dinyatakan bahwa adanya isbat nikah oleh Pengadilan Agama membuka peluang

munculnya praktik penyelundupan hukum yang mengarah pada banyak bermunculannya praktik

perkawinan siri karena anggapan bahwa pada akhirnya perkawinan siri tersebut dengan mudah bisa

diisbatkan asalkan terpenuhi syarat-syarat formil maupun materiil dalam pengajuannya. Selain

itu, orang cenderung untuk melakukan praktik poligami selanjutnya memohonkan isbat nikah di

Pengadilan Agama. Tulisan beliau juga berupaya mengupas masalah pencatatan perkawinan, apakah

34

merupakan suatu kewajiban untuk mencatatkan nikah setelah isbat. Dan jika diwajibkan, siapa

yang berhak mencatatkannya, apakah para pemohon isbat nikah atau justru Kepala KUA sendiri.50

“Pihak-pihak Dalam Permohonan Isbat Nikah”, tulisan dari Abdil Barid Basith (hakim PA Muara

Labuh) yang menyoroti masalah apakah ijin pengadilan, termasuk di dalamnya ijin istri pertama

termasuk salah satu rukun atau syarat sahnyaperkawinan. Menurutnya pria yag melakukan

perkawina kedua tanpa ijin dari pengadilan maka nikahnya dianggap tidak sah karena terdapatnya

halangan nikah.Selanjutnya Basith juga menyoroti masalah kedudukan hukum/legal standing pihak

isteri terkait permohonan isbat nikah poligami yang dilakukan suaminya, bahwasannya menurutnya

syarat ijin adalah penting dan ijin dari istri bertujuan untuk menghindari mafsadat atau

kerusakan. Dan jika istri tidak mengijinkan, maka salah satu syarat kumulatif untuk menikah

lagi tidak terpenuhi. Dan itu akan menjadi pertimbangan hakim untuk tidak mengabulkan

permohonan ijin poligami.Dan permasalahan lain yang disoroti adalah langkah alternatif pemohon

isbat nikah poligami jika permohonannya ditolak.51

“Kepastian Hukum Isbat Nikah”, tulisan dari Endang Ali Maksum (hakim PTA Banten) yang

menyoroti tentang perkawinan di bawah tangan yang menjadi cikal bakal melonjaknya permohonan

isbat nikah menyertai munculnya fatwa MUI yang menyatakan bahwa perkawinan di bawah tangan

50 Ahmad Fatoni Ramli, Isbat Nikah dan Masalah Sosial artikel dalam situs www.pta-banten.net, diakses 4 September2013.

51 Abdil Barid Basith, Pihak-pihak Dalam Permohonan Isbat Nikah dalam Jurnal mimbar Hukum dan Peradilan, Edisi No.75,2012.

35

adalah sah dengan ketentuan jika syarat dan rukun terpenuhi. Tulisannya juga menyoroti akibat

hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan yaitu bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan

statusnya tidak sah di mata hukum negara dan anak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu

dan keluarga ibunya serta baik anak mauoun ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan. Karena

itu adanya isbat nikah terhadap perkawinan di bawah tangan sekedar menyatakan sahnya suatu

perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama dan tidak dicatatkan ,dengan implikasi hukum

setelah diisbatkan, perkawinannya memiliki kepastian hukum.52

Skripsi yang berjudul “Praktik Isbat Nikah sirri (Analisis Putusan Hakim PA Jaksel No 10/Pdt.P/2008/PAJS)” dari

Rifqy Yatunnisa yang menganalisa salah satu putusan hakim PA Jak Sel yang mencakup alasan

pengajuan isbat nikah, kemudian masuk pada materi jika syarat dan rukun nikah terpenuhi maka

hakim akan mengesahkan perkawinan tersebut termasuk mempertimbangkan kemaslahatannya. Dalam

akhir tulisannya dia menyimpulkan bahwa ketika perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut sudah

diisbatkan/disahkan maka akan memiliki kepastian/kekuatan hukum.53

Suhadak dalam artikelnya yang berjudul “Problematika Isbat Nikah Istri Poligami Dalam Penyelesaian di

PA,” menyoroti masalah bagaimana PA dalam menyelesaikan perkara isbat nikah istri poligami dan

sikap hakim dalam pertimbangan hukumnya di satu sisi untuk menghindari penyelundupan hukum

52 Endang Ali maksum, Kepastian Hukum Isbat Nikah, artikel dalam situs www.litbangdiklatkumdil.net, diakses pada 4September 2013.

53 Rifqy Yatunnisa, Praktik Isbat Nikah Sirri (Analisis Putusan Hakim PA Jaksel No 10/Pdt.P/2008/PAJS), Skripsi S1 Fakultas Syariahdan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2010.

36

karena laki-laki akan cenderung melakukan poligami liar dan di sisi lain sebagai jalan keluar

bagi kepastian hukum dan keadilan di masyarakat. Kemudian beliau juga menyatakan apakah ijin

istri terdahulu sebagai suatu keharusan dan bagaimana jika istri tersebut tidak memberikan

persetujuan.54

Rizki Fitrotuszakiya Adinata dalam skripsinya yang berjudul “Penerapan Isbat Nikah Dalam

Perkawinan Poligami Menurut Hukum Islam dan UUP No 1 Tahun 1974”, menyoroti pelaksanaan isbat nikah

terhadap perkawinan poligami dengan melihat dari aspek yuridis bahwasannya isbat nikah dalam

perkawinan poligami semestinya tidak dikabulkan karena hal tersebut melanggar undang-undang,

terutama jika pihak istri yang sah tidak memberikan ijin. Namun demikian hakim juga harus

mempertimbangkan aspek keadilan terutama terhadap status dan kdudukan anak yang dihasilkan

dari perkawinan tersebut. Menurutnya, isbat nikah terhadap perkawinan poligami adalah sah

menurut UUP dan hukum islam, hanya saja terjadi pelanggaran hukum di awal pernikahan karena

tidak mengajukan izin poligami ke Pengadilan Agama. Kemudian Rizki juga menyimpulkan dalam

tulisannya bahwa perkawinan poligami yang telah diisbatkan memiliki akibat hukum terhadap

status anak dan kedudukan istri. Keduanya memiliki hak-hak sebagaimana kedudukan anak dan

istri dalam perkawinan yang sah menurut negara.55

54 Suhadak, Problematika Isbat Nikah Istri Poligami Dalam Penyelesaian di Pengadilan Agama, artikel dalam situs www.badilag.net,diakses pada 4 September 2013.

55 Rizki Fitrotuszakiya Adinata, Penerapan Isbat Nikah Dalam Perkawinan Poligami Menurut Hukum Islam dan UUP No 1 Tahun 1974dalam Jurnal Hukum Tugas Akhir Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, 2013.

37

Laila Hasanatus Shofa dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Penetapan Permohonan Isbat Nikah

Setelah UUP 1974 di PA Semarang” dalam penelitiannya dia mengungkapkan tentang alasan pengajuan

isbat nikah di Pengadilan Agama Semarang yang selalu ada tiap tahunnya dengan motif untuk

mendapatkan akte kelahiran dan mengurus pensiunan. Adapun pertimbangan hakim dalam mengabulkan

permohonan isbat nikah yang terjadi setelah berlakunya Uup No 1974 adalah karena pengajuan

permohonan isbat atas alasan untuk mengurus akte kelahiran dianggap penting demi kepentingan

anak. Tulisannya tidak menganalisa pertimbangan hakim yang menolak permohonan isbat nikah

serta tidak menganalisa isbat nikah terhadap perkawinan yang dilakukan sebelum 1974.56

“Kepastian Hukum Isbat Nikah Terhadap Status Perkawinan, Status Anak Dan Status Harta Perkawinan”, tulisan

dari Suparman Usman yang menyatakan bahwa dengan adanya isbat nikah maka status perkawinan

menjadi sah menurut agama dan resmi tercatat menurut perundang-undangan serta memiliki bukti

otentik adanya perkawinan. Dari perkawinan yang dianggap sah tersebut akan timbul hubungan

hukum antara suami istri berupa hubungan hak dan kewajiban antara keduanya. Kemudian isbat

nikah juga akan memperjelas status anak menjadi anak yang sah bagi pasangan suami istri

tersebut serta akan memunculkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak (sesuai pasal 45-

56 Laila Hasanatus Shofa, Analisis Penetapan Permohonan Isbat Nikah Setelah UU No.1 Tahun 1974 Di PA Semarang, Skripsi Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Walisongo, 2009 dalam situs library.walisongo.ac.id, diakses pada 4 September 2013.

38

49 UUP). Adanya isbat nikah menurutnya juga akan memperjelas status harta, baik yang

menyangkut harta bawaan maupun harta bersama antara suami istri.57

Tulisan dari Pelmizar (Hakim PTA Padang) tentang “Pengesahan Perkawinan” yang menyoroti

masalah latar belakang pengaturan pengesahan perkawinan, dasar hukum isbat nikah, pasal 7 ayat

2 yang memberi peluang untuk pengesahan perkawinan yang terjadi sebelum dan setelah 1974,

pengesahan dalam rangka perceraian menjadi satu kesatuan dalam putusan perceraian, tujuan

dibolehkannya pengesahan perkawinan antara lain karena terjadinya penyelundupan hukum,

melegalkan poligami tanpa prosedur sehingga PA harus hati-hati dan selektif dalam menangani

perkara permohonan isbat nikah.58

“Nikah Sirri vs Isbat Nikah,” tulisan dari Abdul Rasyid As’ad (hakim PA Mojokerto) yang

menyatakan bahwa mestinya Pengadilan Agama hanya mengabulkan permohonan isbat nikah terhadap

perkawinan yang terjadi setelah tahun 1974 dan telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan. KHI

sebagai dasar hukum isbat nikah terhadap perkawinan setelah 1974 sangat lemah karena

kedudukannya tidak masuk dalam hierarki perundang-undangan. Menurutnya, nikah sirri yang

dilakukan setelah tahun 1974 dan dimohonkan isbatnya menyuburkan praktik nikah sirri di

masyarakat dan sebagai salah satu indikator ketidakpatuhan terhadap pasal 2 ayat 2 UUP. Jika

57 Suparman Usman, Kepastian Hukum Isbat Nikah Terhadap Status Perkawinan, Status Anak Dan Status Harta Perkawinan, artikel dalamsitus www.pta-banten.net, diakses 4 pada September 2013.

58 Pelmizar, Pengesahan Perkawinan, tulisan dalam situs www.pta-padang.go.id, diakses pada 4 September 2013.

39

isbat nikah dinilai sebagai salah satu jalan untuk memperoleh keadilan, maka perlu ada payung

hukum yang jelas sehingga perlu adanya amandemen terhadap pasal 49 ayat 2 huruf (a) angka 22

UU No. 3 tahun 2006 jo. UU no 50 /2009.59

C. Kerangka Berpikir

Isbat nikah adalah penetapan sahnya suatu perkawinan oleh Pengadilan Agama terhadap

perkawinan yang belum tercatat oleh pihak yang berwenang serta belum memiliki akta nikah.

Isbat nikah merupakan salah satu kompetensi absolut Pengadilan Agama di bidang perkawinan.

Hal ini sebagaimana dijelaskan pada pasal 49 huruf a angka 22 bahwasannya wewenang

Pengadilan Agama adalah memberi pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU

No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan lain.60 Dengan demikian

jelas bahwa wewenang Pengadilan Agama terhadap perkara isbat nikah hanya diperuntukkan bagi

perkawinan yang dilakukan sebelum tahun 1974 atau sebelum undang-undang perkawinan

diberlakukan dan sah secara agama.

Berbeda dengan pernyataan dalam undang-undang tersebut, isbat nikah yang terjadi

setelah tahun 1974 mestinya tidak dikabulkan, namun demikian banyak sekali perkawinan yang

59 Abdul Rasyid As’ad, Nikah Sirri vs Isbat Nikah, artikel dalam situs www.badilag.net, diakses pada 4 September 2013.60 Lihat Penjelasan pasal 49 (2) UU No.7 Tahun 1989 jo. UU No.3 Tahun 2006 jo.UU No.50 tahun 2009. Lihat juga

UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 dan PP No.9 tahun 1975.

40

tidak dicatatkan namun disahkan oleh Pengadilan Agama melalui sidang isbat nikah. Hal ini

terjadi karena pemahaman hakim terhadap Kompilasi Hukum Islam yang membuka peluang

dikabulkannya permohonan isbat nikah terhadap perkawinan yang terjadi setelah tahun 1974.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 2 dinyatakan bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat

dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Pada pasal

7 ayat 3 dinyatakan bahwa isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas

mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian

b. Hilangnya akta nikah.

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No.1 tahun 1974 dan

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU

No. 1 tahun 1974.

Pasal 7 poin a, b, c dan e inilah yang membuka peluang bagi hakim/Pengadilan Agama untuk

menerima dan memeriksa permohonan isbat nikah terhadap perkawinan yang terjadi setelah tahun

1974. Padahal kedudukan KHI lebih lemah di hadapan undang-undang karena KHI tidak masuk

41

dalam hierarki perundang-undangan.61 Namun demikian KHI masih menjadi “kitab sakti” atau

dasar hukum bagi Pengadilan Agama untuk menerima atau tidak menerima permohonan isbat nikah.

Poin a sampai e pada pasal 7 ayat 3 di atas merupakan syarat formil pengajuan isbat

nikah ke Pengadilan Agama. Hal-hal lain yang menyangkut persyaratan formil yang harus

dipenuhi oleh pihak-pihak yang mengajukan permohonan isbat nikah antara lain terkait dengan

kewenangan absolut dan relatif Pengadilan Agama dan kelengkapan materi surat permohonan.

Persyaratan-persyaratan ini akan mempengaruhi diterima atau tidak diterimanya permohonan

perkara isbat nikah. Jika permohonannya diterima, maka tahap selanjutnya adalah pemeriksaan

perkara melalui sidang isbat nikah dan pembuktian yang akhirnya akan sampai pada penetapan

atau putusan dikabulkan atau ditolak permohonan isbat nikah tersebut. Namun demikian jika

permohonan tersebut tidak diterima akibat kurangnya atau tidak terpenuhinya syarat-syarat

formil, maka Pengadilan Agama akan mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa permohonan

tersebut tidak diterima setelah sebelumnya melalui tahap pemeriksaan surat permohonan isbat

nikah.

Setelah suatu permohonan dinyatakan diterima maka dilanjutkan dengan tahap pemeriksaan

melalui persidangan untuk menghadirkan bukti-bukti otentik dan saksi-saksi. Pada tahap ini

hakim akan memeriksa bukti-bukti baik berupa surat maupun keterangan saksi. Dalam hal ini

Pengadilan Agama atau hakim akan melihat apakah peristiwa perkawinan yang disebutkan dalam61 Abdul Rasyid As’ad, Nikah Sirri vs Isbat Nikah…, hlm. 7.

42

surat permohonan telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan melalui bukti-bukti yang

diajukan ke muka sidang. Jika syarat dan rukun terpenuhi serta tidak adanya halangan nikah

maka hakim akan mengabulkan permohonan isbat nikah. Sebaliknya jika syarat rukun kurang

terpenuhi, atau ada halangan nikah maka hakim akan menolak permohonan isbat nikah tersebut.

Dari pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara permohonan isbat nikah akan terlihat

bahwa hakim menggunakan pertimbangan yuridis normatif dalam menolak atau mengabulkan perkara

permohonan isbat nikah. Namun dalam kondisi tertentu hakim bisa saja menggunakan hal-hal

lain yang boleh jadi terkait dengan nilai-nilai kemaslahatan sebagaimana dirumuskan dalam

kaidah-kaidah ushul fiqh. Pertimbangan hukum dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif

dilakukan terhadap permohonan isbat nikah yang memang sudah memenuhi syarat dan rukun serta

tidak adanya halangan nikah sebagaimana tercantum dalam aturan hukum baik tertulis maupun

tidak tertulis.

Sedangkan pendekatan maqashid syari’ah digunakan hakim dalam pertimbangan hukumnya jika

dalam analisanya terhadap perkawinan yang diisbatkan terhadap hal-hal yang menuntut hakim

untuk mengambil putusan lain dari yang seharusnya karena malihat adanya unsur kemaslahatan

ynang lebih penting sehingga tidak bisa diabaikan.

43

44

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif atau doktrinal. Penelitian hukum

normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau

data sekunder.62 Pada penelitian ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam

peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma

yang merupakan patokan berperilaku manusia dianggap pantas. 63

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu

yang selanjutnya digunakan dalam memahami sesuatu.64 Penelitian ini menggunakan pendekatan

yuridis normatif dan pendekatan maqashid syari’ah. Pendekatan yuridis digunakan dalam

memahami dasar pertimbangan hukum dari aspek yuridis yang terkait dengan aturan perundang-

undangan dan aspek normatif lainnya.

62 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 13.

63Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 118. 64 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 98.

45

Sementara itu pendekatan maqashid syari’ah digunakan dalam hal ditemukan adanya putusan

atau penetapan yang di luar kebiasaan. Contohnya ada putusan atau penetapan isbat nikah yang

syarat dan rukun nikahnya terpenuhi tetapi hakim menolaknya atau sebaliknya ditemukan

putusan atau penetapan atas permohonan isbat nikah yang syarat dan rukunnya kurang terpenuhi

namun permohonannya dikabulkan. Dalam hal ini hakim menggunakan pertimbangan-pertimbangan

tersendiri.

C. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder yaitu berbagai putusan atau penetapan

Pengadilan Agama terkait dengan perkara permohonan isbat nikah. Sementara bahan hukum

sekunder berupa dokumen-dokumen yang relevan dengan obyek kajian seperti Undang-Undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan

pelaksanaannya, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama beserta perubahannya,

masing-masing Undang-Undang No.3 Tahun 2006 dan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009, Kompilasi

Hukum Islam, dan buku-buku lain yang relevan.

46

D. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dokumentasi, yaitu mengumpulkan

berbagai penetapan atau putusan perkara permohonan isbat nikah dan literatur-literatur lain

seperti perundang-undangan yang menjadi hukum material maupun formal di Pengadilan Agama.

Pengumpulan data dilakukan dengan melihat, mengumpulkan dan menelaah data-data deskriptif

yang terkait dengan isbat nikah.

E. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan data-data yang sifatnya deskriptif65 kemudian dianalisis

secara detail (deskriptif analitis). Proses analisis diawali dengan memaparkan sejumlah

data yang terkait dengan pertimbangan hukum yang digunakan hakim dalam putusan atau

penetapan isbat nikah. Tahap selanjutnya yaitu mencermati dan menganalisa pertimbangan

hukum tersebut dari aspek yuridis dan maqashid syari’ahnya. Setelah dianalisa, peneliti

berupaya untuk mengkritisi sejauhmana validitas pertimbangan hukum yang digunakan hakim

tersebut. Validitas atau ketepatan pertimbangan hukum tersebut akan dilihat dari sisi

ketepatannya dengan aspek yuridis dan maqashid syari’ah, selaras dengan pendekatan

penelitian yang digunakan oleh peneliti.

65 Data-data deskriptif bisa berupa naskah, wawancara, catatan lapangan, dokumen dan bukan angka. Sudarto,Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 66.

47

BAB 1V

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN ATAU PENETAPAN ISBAT NIKAH

A. DESKRIPSI PUTUSAN DAN PENETAPAN HAKIM

Salah satu kewenangan absolut Pengadilan Agama adalah menangani masalah perkawinan, satu

di antaranya adalah menetapkan sahnya perkawinan (pengesahan nikah/isbat nikah). Produk yang

dihasilkan dari pengajuan isbat nikah adalah penetapan dan putusan isbat nikah/pengesahan

nikah. Penetapan isbat nikah adalah produk pengajuan isbat nikah terhadap perkara permohonan

isbat nikah yang tidak memiliki unsur gugatan dan diajukan oleh suami istri. Sedangkan putusan

isbat nikah adalah produk pengajuan isbat nikah terhadap perkara permohonan isbat nikah yang

mengandung gugatan yang diajukan oleh salah satu baik suami atau istri.

Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada penetapan atau putusan isbat nikah Pengadilan

Agama yang diambil dari beberapa Pengadilan Agama yang ada di Indonesia. Berikut ini peneliti

tampilkan data-data berupa penetapan atau putusan isbat nikah dengan mengklasifikasikannya

menjadi penetapan atau putusan yang diterima dan tidak diterima. Dalam putusan atau penetapan

akan dijelaskan lebih lanjut mengenai putusan atau penetapan yang dikabulkan dan yang ditolak.

48

1. Penetapan dan putusan yang diterima

Pengajuan permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama melalui beberapa proses. Setelah

suatu permohonan isbat nikah diajukan ke Pengadilan Agama, tahapan selanjutnya Pengadilan

Agama akan menentukan hari sidang. Melalui persidangan, Pengadilan Agama akan memeriksa

apakah syarat-syarat formil sudah terpenuhi atau belum. Selanjutnya majelis hakim akan

memutuskan atau menetapkan apakah permohonan isbat nikah tersebut diterima atau sebaliknya.

Jika seluruh persyaratan formil sudah terpenuhi, maka Pengadilan Agama akan membuat

penetapan atau putusan yang bunyinya permohonan diterima. Sedangkan jika persyaratan formil

tidak terpenuhi, maka majelis hakim akan membuat penetapan atau putusan yang menyatakan

permohonan tidak dapat diterima.

Untuk permohonan yang diterima akan dilanjutkan pada pemeriksaan materi perkara,

sedangkan bagi permohonan yang tidak dapat diterima maka perkara tidak akan dilanjutkan.

Untuk perkara permohonan isbat nikah yang diterima, jika dalam pemeriksaan unsur-unsur

materiil semua sudah terpenuhi, maka majelis hakim akan mengeluarkan penetapan atau putusan

yang isinya mengabulkan permohonan isbat nikah. Tetapi sebaliknya jika unsur-unsur materiil

tidak atau kurang terpenuhi maka majelis hakim akan mengeluarkan penetapan atau putusan

ditolak. Dengan demikian data-data tentang penetapan atau putusan yang diterima bisa terdiri

dari penetapan atau putusan yang dikabulkan atau ditolak.

49

Berikut beberapa putusan atau penetapan yang diterima dan dikabulkan atau diterima

tetapi ditolak:

a. Putusan atau penetapan yang diterima dan dikabulkan

1) Perkara No.3/Pdt.P/2010/PA. Tgrs. bertempat di Pengadilan Agama Tigaraksa. Tujuan

permohonan isbat nikah untuk meralat tanggal lahir dan tanggal nikah yang tertera

dalam akta nikah almarhum suaminya dan akan digunakan sebagai syarat mengurus pensiun.

Berdasarkan pasal 49 ayat (2) UU No.3 Thn 2006, sesuai dengan kompetensi relatif

dibuktikan dengan fotocopy Surat Keterangan Kematian dan fotocopy Akta Nikah. Isbat

nikah dapat diajukan dalam hal-hal yang secara limitatif diatur dalam pasal 7 ayat 3

dan 4 KHI. Tidak ada halangan nikah sebagaimana disebut pada pasal 8,9,10 UU No.1 Thn.

1974 jo. Pasal 39-44 KHI. Perkawinan telah memenuhi rukun dan syarat sebagaimana

disebut pada pasal 14 KHI. Permohonan pemohon sudah memenuhi pasal 2 ayat 1 dan 4 UU

No.1 Thn. 1974. Pasal 7 ayat 2 dan 3 (e) KHI.

2) Perkara No. 0073/Pdt.P/2011/PA. Wno. Pengadilan Agama Wonosari. Permohonan ini

ditujukan untuk mendapatkan akta nikah dalam rangka mengurus akta kelahiran. Sesuai

dengan kewenangan relatif yang dibuktikan dengan fotocopy KTP dan keterangan saksi-

saksi. Sesuai ketentuan pasal 49 ayat 1 huruf (a) UU No.7. Thn 1989 jo. UU No. 50 Thn.

50

2009. Berdasarkan bukti-bukti dan keterangan saksi, maka majelis hakim menemukan fatwa

perkawinan pemohon sudah memenuhi rukun dan syarat perkawinan sebagaimana tercantum

pada pasal 8 UU No.1 Thn.1974 jo. Pasal 39-44 KHI dan sesuai pasal 2 ayat (1) UU No. 1

Thn. 1974 jo. Pasal 7 ayat (3) huruf d dan e KHI. Majelis hakim mengambil alih

pendapat ahli fiqih dalam Kitab wa ‘amirah Juz IV hal.336 yang berbunyi: “orang yang

hanya menyatakan diri telah menikah, menurut pendapat yang paling shahih secara

muthlaq tidak dianggap cukup, melainkan ia harus menerangkan: Saya menikahi dia dengan

wali orang yang baik (benar) serta dipersaksikan oleh dua orang saksi yang adil dan

atas ridhanya (mempelai wanita) kalau memang keridhaannya memang disyaratkan.”

3) Perkara No.105/Pdt.P/2013/PA. Bkt. Pengadilan Agama Bukittinggi. Yaitu untuk

mendapatkan Akta Nikah yang baru. Sebenarnya pemohon sudah melaksanakan perkawinan

menurut aturan hukum, namun akibat kelalaian petugas KUA yang selalu menjanjikan untuk

memberikan Akta Nikah namun kenyatannya tidak Akta Nikah tidak diserahkan. Akta Nikah

digunakan untuk mengurus akta kelahiran dan keperluan lainnya. Sesuai dengan ketentuan

Pedoman Teknis Administrasi dan Teknik Peradilan Agama Buku II, Edisi 2009 MA RI bahwa

tidak ada pihak yang berkeberatan dengan permohonan ini. Kehadiran saksi secara

pribadi di persidangan dan telah didengar sumpah serta tidak terhalang secara hukum

51

untuk didengar kesaksiannya telah memenuhi syarat formil sebagai saksi sebagaimana

disebut pada pasal 171, 174 dan 175 RB.g. keterangan saksi juga tidak saling

berlawanan sehingga menurut majelis hakim sudah memenuhi syarat materiil kesaksian

sebagaimana disebut pada pasal 308 dan 309 RB.g dan bisa dijadikan alat bukti yang

sah. Dalam persidangan ditemukan fakta bahwa perkawinan pemohon telah memenuhi rukun

dan syarat perkawinan sebagaimana disebut pada pasal 7 ayat ?(3) huruf d KHI jo. Pasal

14 KHI. Perkawinan juga tidak melanggar halangan nikah sebagaimana disebut pada pasal

8-10 UU No.1 Thn. 1974 jo. Pasal 39-44 KHI dengan demikian sesuai dengan pasal 2 ayat

(1) UU No. 1 thn. 1974.

4) Perkara No. 0041/Pdt.P/2011/PA.Tnk. Pengadilan Agama Tanjungkarang. Akta Nikah hilang

sehingga membutuhkan Akta Nikah yang baru untuk mengurus penetapan ahli waris. Sesuai

ketentuan pasal 49 ayat (1) UU No.7 Thn. 1989 jo. UU No.3 Thn. 2006 jo. UU No.50 Thn.

2009 jo. Pasal 7 ayat 2, 3 (d) dan (e) serta ayat 4 KHI. Berdasarkan bukti-bukti dan

keterangan saksi-saksi di bawah sumpah ditemukan fakta-fakta bahwa perkawinan pemohon

sah. Dalil-dalil pembuktian pemohon dinyatakan sudah cukup bukti dan beralasan hukum

sudah sesuai dengan pasal 283 RBg.

52

5) Perkara No.106/Pdt.G/2012/PA.Pkc. Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci. Untuk

mendapatkan Akta Nikah dalam rangka mengajukan perceraian (akumulasi gugatan).

Tergugat meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, tidak menyuruh orang lain

sebagai wakil/kuasanya yang sah untuk hadir di persidangan, namun demikian dan

ketidakhadirannya tersebut disebabkan halangan yang sah, maka perkara ini dapat

diperiksa dan diputus tanpa hadirnya tergugat, sebagaimana disebut pada Pasal 149 ayat

(1) R.Bg. tergugat tidak hadir di persidangan sehingga tidak bisa dilakukan upaya

mediasi sebagaimana ketentuan Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Thn 2008. Sesuai

ketentuan Pasal 154 ayat (1) R.Bg, Pasal 31 PP No.9 Thn. 1975 Jo. Pasal 82 Ayat (1)

Dan Ayat (4) UU No. 50 Thn. 2009 Jo Pasal 143 ayat (1) Dan (2) Inpres No.1 Thn. 1991

bahwa majelis hakim telah mengadakan perdamaian antara penggugat dan tergugat namun

sampai putusan dijatuhkan perdamaian gagal dilaksanakan. Sesuai ketentuan pasal 7 ayat

(3) huruf (a) KHI. Bahwa alasan pengajuan isbat nikah adalah dalam rangka perceraian.

Berdasarkan fakta di persidangan didapatkan bahwa saksi-saksi sudah memenuhi syarat

formil dan materiil berdasarkan pasal 172, 307, 308, 309 R.Bg. perkawinan antara

penggugat dan tergugat sudah memenuhi rukun dan syarat perkawinan sebagaimana.

53

6) Perkara No.2/Pdt.P/2010/PA. Bky. Pengadilan Agama Bengkayang. Akta Nikah hilang

sehingga ingin mendapatkan akta nikah yang baru guna mengurus uang duka dan mengurus

SK Pensiun janda atas nama pemohon. Dalil yang diajukan pemohon pada posita no. 1-9

sesuai dengan pasal 49 ayat (2) UU No.7 Thn.1989 yang diubah menjadi UU No.3 Thn. 2006

dan diubah lagi menjadi UU No.50 Thn. 2009 dan penjelasannya angka (22) jo. Pasal 7

ayat 2 dan 3 huruf (d) KHI. -Untuk menghindari penyelundupan hukum dan poligami liar,

permohonan isbat nikah bisa diajukan secara contentius oleh suami atau istri secara

terpisah dengan mendudukkan suami atau istri yang tidak mengajukan atau ahli waris

apabila salah satu pihak, suami atau istri telah meninggal dunia sebagai pihak lawan

(termohon). Karena pemohon tidak mencantumkan ahli waris lain dan tidak mungkin

melakukan penyelundupan hukum dan poligami tanpa prosedur maka perkara ini ditangani

secara voluntair. Bukti-bukti dan persaksian di persidangan yang sudah sesuai dengan

syarat formil dan materiil, perkawinan pemohon telah memenuhi rukun dan syarat

sebagaimana disebut dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Thn. 1974jo. Pasal 14-38 KHI.

Sejalan dengan ibarat dalam Kitab I’anatut Thalibin Juz IV hal. 254 yang berbunyi:

“Pengakuan seorang bahwa ia sudah menikah dengan seorang perempuan harus dapat

menyebutkan sahnya pernikahan yang lalu, umpamanya adanya wali nikah dan dua orang

saksi yang adil.”

54

7) Perkara No.001/Pdt.P/2013/PA.Plh. Pengadilan Agama Pelaihari. Untuk mendapatkan Akta

Nikah dalam rangka mengurus Akta Kelahiran anak. Sesuai dengan penjelasan pasal 49

ayat (1) angka (22) UU No.7 Thn. 1989 jo. UU No.3 Thn. 2006 jo. UU No.50 Thn. 2009 jo.

Pasal 7 ayat 2, 3 KHI tentang kewenangan Pengadilan Agama dalam pengesahan nikah.

Sesuai dengan pasal 7 ayat 3 huruf (c) yakni menyatakan sah atau tidaknya salah satu

syarat perkawinan serta bukti yang ada (Surat Keterangan Domisili Pemohon I dan II)

menyatakan kewenangan Pengadilan Agama Pelaihari memeriksa perkara tersebut. Sesuai

dengan doktrin hukum Islam yang tercantum dalam Kitab I’anatut Thalibin Juz IV hal.

254 yang berbunyi: “Pengakuan seorang bahwa ia sudah menikah dengan seorang perempuan

harus dapat menyebutkan sahnya pernikahan yang lalu, umpamanya adanya wali nikah dan

dua orang saksi yang adil.” Juga terdapat dalam Kitan Bughyatul Mustarsyidin hal. 298

yang berbunyi:”maka jika telah ada saksi-saksi yang menyaksikan atas perempuan itu

yang sesuai dengan permohonannya itu, maka tetaplah pernikahannya itu. Berdasarkan

fakta-fakta di persidangan disimpulkan bahwa perkawinan pemohon telah memenuhi rukun

dan syarat. Alasan permohonan pemohon sudah sesuai dengan maksud pasal 2 ayat (1) UU

No1 Thn.1974 jo. Pasal 7 ayat 3 huruf (e) dan ayat 4 KHI.

55

8) Perkara No.16/Pdt.G/2013/PA.Trk. Pengadilan Agama Tarakan. Tidak mempunyai Akta Nikah

karena tidak memiliki biaya. Akta Nikah digunakan untuk mengurus Akta Kelahiran.

Sesuai dengan UU No.23 Thn 2006 tentang Administrasi Kependudukan pada pasal 3

disebutkan “setiap penduduk wajib melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa

penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan dalam

pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.” Yang kemudian dijelaskan pada pasal 35

huruf (a) bahwa “pencatatan perkawinan berlaku pula pada pencatatan perkawinan yang

ditetapkan oleh pengadilan” yang proses pencatatannya diatur dalam pasal 36 bahwa

“dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktika dengan Akta Perkawinan, pencatatan

perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan. Sesuai dengan pasal 49 UU

No.7 Thn. 1989 yang diamandemen menjadi UU No.3 Thn.2006 maka perkara tersebut

termasuk kewenangan Pengadilan Agama Tarakan. Sesuai dengan bukti-bukti berupa KTP dan

KK bahwa pemohon adalah penduduk sah kota tarakan dan menjadi yurisdiksi Pengadilan

Agama Tarakan. Perkawinan pemohon telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan serta

tidak adanya halangan nikah. Sesuai dengan Kitab Al-anwar Jilid II hal. 146 yang

berbunyi sebagai berikut:”jika seorang wanita mengaku telah dinikah oleh seorang pria,

maka dapatlah diterima pengakuannya itu, baik yang berhubungan dengan penuntutan,

56

mahar, nafkah, warisan atau yang tidak berhubungan dengan itu.” Alasan pengajuan isbat

nikah sesuai dengan pasal 7 ayat 3 huruf (e) KHI.

9) Perkara No.09/Pdt.P/2011/PA.Ktb. Pengadilan Agama Kotabumi. Untuk mendapatkan Akta

Nikah. Permohonan sudah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Alat bukti

berupa surat-surat dan saksi-saksi telah memenuhi syarat formil dan materiil.

Perkawinan pemohon sudah memenuhi rukun dan syarat perkawinan, sesuai dengan mafhum

ibarat pada Kitan I’anatut Thalibin juz IV hal.254 sesuai dengan mafhum ibarat dalam

Kitab Mughnil Mumtaz juz 12 hal.125 yang berbunyi:”dan diterima pengakuan perempuan

yang sudah baligh dan berakal tentang pernikahannya dengan seseorang, menurut qaul

jadid. Perkawinan pemohon tidak melanggar larangan agama sebagimana disebutkan pada

pasal 9-10 UU No.1 Thn. 1974 (hakim menuliskannya pasal 19-10) jo. Pasal 39-44

KHI.permohonan sudah sesuai dengan pasal 7 ayat 3 huruf (e) dan pasal 4 KHI. Sesuai

dengan pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.1 Thn. 1974 serta pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI

perkawinan harus dilaksanakan secara sah dan dicatat di hadapan pejabat yang

berwenang. Sesuai dengan pasal 7 ayat 3 huruf a,b,c,d dan e.

57

10) Perkara No.005/Pdt.P/2012/PA.Tbnan. Pengadilan Agama Tabanan. Untuk mendapatkan

Akta Nikah sebagai bukti adanya pernikahan antara para pemohon. Sesuai dengan

ketentuan pasal 49 huruf (a) UU No.7 Thn 1989 yang dirubah terakhir menjadi UU No.50

Thn. 2009 jo. Pasal 7 ayat (2) KHI permohonan isbat nikah dapat diterima dan

dilanjutkan pemeriksaannya. Sesuai dengan penjelasan pasal 49 huruf (a) butir 22 UU

No.7 Thn.1989 yang diubah menjadi UU No.3 Thn 2006 tentang kewenangan PA dalam hal

pernyataan tentang sahnya perkawinan hanya dibatasi untuk perkawinan yang terjadi

sebelum 1974. Realitas di lapangan banyak perkawinan yang terjadi setelah 1974 dan

perubyang tidak bisa dibuktikan dengan akta nikah membutuhkan penanganan yang mendesak

bagi terselesaikannya berbagai masalah dan kepentingan sosial kemasyarakatan. Hal ini

ditandai dengan banyaknya perkara isbat nikah yang masuk ke PA Tabanan. Dalam

persidangan terungkap bahwa pemohon sebenranya telah melakukan upaya untuk

mendaftarkan pernikahannya melalui aparat desa yang biasa mengurus namun ternyata

persyaratan yang telah diserahkan oleh para pemohon tidak diteruskan ke KUA setempat,

sehingga tidak tercatatnya perkawinan pemohon adalah di luar kemampuan para pemohon.

Menimbang pasal ayat 5 ayat (1) UU No.48 Thn.2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim

wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat. Pasal 7 ayat (3) huruf e KHI telah memperluas kewenangan PA dalam

58

perkara pengesahan nikah yakni meliputi perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang

tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No.1 Thn.1974 maka permohonan

pengesahan perkawinan yang dilakukan oleh para pemohon telah sesuai dengan ruh dan

semangat ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas. Sesuai dengan pasal 63 ayat

(1) huruf a UU No1.Thn 1974 jo. Pasal 49 ayat a UU No.50 Thn. 2009 perkara ini

termasuk kewenangan PA Tabanan. Terpenuhi syarat dan rukun perkawinan. Dan tidak ada

halangan nikah sebagaimana tersebut dalam pasal 39 KHI atau pernikahan yang diancam

dengan pembatalan atau dapat dibatalkan sebagaimana tersebut dalam pasal 70 dan 71

KHI. Majelis hakim mengemukakan dalil syar’I yang terdapat dalam Kitab I’anatut

Thalibin juz IV hal.254. Berdasarkan fakta-fakta di persidangan, dengan melihat bahwa

perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun Islam dinyatakan sebagai pernikahan yang

sah mempunyai kepentingan yang nyata dan dengan memperhatikan ketentuan pasal 2 UU No

1 Thn. 1974 jo.pasal 4 dan pasal 7 ayat 1,2 dan 3 huruf (e) KHI.

b. Putusan atau penetapan yang diterima dan ditolak

1) Perkara No.044/Pdt.P/2012/PA.ML. Pengadilan Agama Muara Labuh. Untuk mendapatkan Akta

Nikah. Sesuai pasal 7 ayat (1) dan (2) bahwa perkawinan harus dapat dibuktikan dengan

Akta Nikah yang dibuat oleh PPN dan dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan

59

Akta Nikah maka dapat diajukan isbat nikahnya. Alasan isbat nikah hanya apabila sesuai

dengan pasal 7 ayat (3) a-e KHI. Bukti berupa akta cerai di bawah tangan tidak

memiliki kekuatan hukum, sebagaimana bunyi pasal 114 KHI, bahwa perceraian hanya dapat

dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, karena itu pemohon II (istri) dianggap

masih menjadi pria lain. Menurut majelis hakim, para pemohon telah bertindak tidak

sesuai hukum dan tidak ber’iktikad baik, oleh karenanya tidak berhak memperoleh

perlindungan hukum. Majelis hakim berpendapat bahwa kondisi kota Solok yang ada saat

ini dimana transportasi lancar, dengan infrastruktur yang memadai sehingga tidak

sepantasnya menjadi alasan pemohon untuk mengenyampingkan peraturan perundang-

undangan.

2) Perkara No.014/Pdt.P/2011/PA.TBK. Pengadilan Agama Tanjung Balai Karimun. Untuk

mendapatkan Akta Nikah dalam rangka mengurus Akta kelahiran anak. Permohonan pemohon

telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, oleh karena itu

permohonan pemohon secara formil dapat diterima. Berdasarkan ketentuan pasal 49 UU

No.7 Thn 1989 jo.UU No.3 Thn.2006 jo.UU No. 50 Thn 2009 dan alat bukti KTP pemohon

bahwa perkara ini menjadi kewenangan PA Tanjung Balai Karimun. Dalam persidangan para

pemohon tidak dapat menghadirkan alat bukti yang cukup (saksi-saksi) yang mendukung

60

dalil permohonannya, namun demikian pemohon tetap tidak mau mengahadirkan alat bukti

tersebut sehingga hakim berkesimpulan bahwa permohonan tersebut ditolak.

3) Perkara No.22/Pdt.P/2010/PA.Gtlo. Pengadilan Agama Gorontalo. Untuk mendapatkan Akta

Nikah. Menimbang bahwa dalam surat permohonannya, pemohon I dan II menyatakan bahwa

masing-masing berstatus janda dan duda, namun dalam persidangan pemohon I mengaku

bahwa pada saat menikah dengan pemohon II dia masih terikat perkawinan dengan pria

lain yang telah meninggalkannya selama lebih dari 2 tahun. Berdasarkan pengakuan

tersebut maka pemohon I telah melanggar larangan nikah pasal 40 ayat (1) KHI. Karena

perkawinan pemohon sudah melanggar halangan nikah menurut UU No.1 Thn. 1974, maka

perkawinan tersebut tidak bisa diisbatkan, sebagaimana ketentuan pasal 7 ayat 3 huruf

(e) KHI.

4) Perkara No.25/Pdt.P/2012/PA. Bkt. Pengadilan Agama Bukittinggi. Untuk mendapatkan Akta

Nikah dalam rangka mendapatkan Akta Kelahiran. Sesuai dengan ketentuan Teknis

Administrasi dan Teknis Peradilan Agama Buku II Edisi 2009 MA RI, bahwa tidak ada

pihak yang merasa dirugikan atas perkara ini maka perrkara ini bisa diterima dan

dilanjutkan untuk diperiksa. Alasan pengajuan isbat nikah telah sesuai dengan Pasal 7

61

ayat 1 dan 4 KHI. Karena hanya ada satu saksi di persidangan dan telah diambil

keterangan dengan diambil sumpahnya, maka hakim berkesimpulan bahwa satu saksi sama

dengan tidak ada saksi (Unus Testis Nulus Testis, tapi dalam putusan tertulis unus

teslis nulus testis), dengan demikian saksi tidak memenuhi syarat formil, selain itu

keterangan saksi tidak sesuai dengan dalil pemohon I dan II, karena menurut saksi P3N

(Pembantu Pegawai Pencatat Nikah) dari pihak keluarga pria dan saksi nikah tidak

diketahui sehingga secara formil dan materiil alat bukti saksi tidak dapat diterima.

Dalam persidangan ditemukan fakta bahwa saksi tidak kenal dengan ayah pemohon II

(mempelai wanita) apakah masih hidup atau sudah meninggal saat pemohon menikah.

Menurut sepengetahuan saksi P3N dari Pemohon I dan II berasal dari keluarga mempelai

pria. Saksi tidak mengetahui saksi perkawinan dan mahar perkawinan pemohon I dan II.

Majelis hakim menggunakan dalil berupa hadis yang berbunyi:”diterima dari Aisyah, ia

telah berkata bahwa Rasulullah SAW pernah berkata: perempuan mana yang menikah tanpa

izin walinya, maka perkawinannya adalah batal. (HR Arba’ah kecuali An-Nasa’I, Abu

Awanah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim menshahihkannya). Hadis Nabi SAW yang

artinya;”Diterima dari Abdullah bin Mas’ud, ia telah berkata bahwa Rasulullah SAW

pernah bersabda: tidak sah menikah kecuali adanya wali dan dua orang saksi (HR

Daruquthni dan al-Baihaqy). Pendapat ahli fiqh dari kalangan madzhab Syafi’i diambil

62

alih oleh majelis hakim bahwa rukun perkawinan ada 5 yaitu calon mempelai pria, calon

mempelai wanita, wali, dua orang saksi dan ijab kabul, sebagaimana diungkapkan oleh

Abdurrahman al-Jaziry dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Madzahibul Arba’ah bahwa menurut ahli fiqh

dari kalangan madzhab Syafi’I bahwa rukun nikah ada 5 yaitu calon mempelai pria, calon

mempelai wanita, wali, dua orang saksi dan ijab kabul. Berdasarkan pembuktian yang

diajukan pemohon I dan II dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan dan hukum

syara’ maka perkawinan pemohon I dan II belum memenuhi rukun dan syarat perkawinan,

karena walaupun sudah ada wali tapi pemohon I dan II tidak dapat membuktikan dalil

permohonannya. Menimbang bahwa sesuai kaidah fiqh “bagi seseorang yang mendalilkan

sesuatu tapi dia tidak dapat membuktikan dalilnya maka permohonannya ditolak.

5) Perkara No. 26/Pdt.P/2012/PA.TR. Pengadilan Agama Tanjung Redeb. Untuk mendapatkan

Akta Nikah dalam rangka mengurus Akta Kelahiran anak. Sesuai dengan pasal 49 huruf a

UU No.7 Thn.1989 yang diubah menjadi UU No.3 Thn. 2006 dan perubahan kedua UU No.50

Thn. 2009 maka perkara ini menjadi wewenang Pengadilan Agama. Bukti-bukti berupa

surat-surat (Surat Pernyataan Telah menikah dan Kartu Keluarga) dianggap sah.

Berdasarkan fakta di persidangan diketahui bahwa wali dari pemohon II adalah pamannya,

padahal ia masih memiliki kakak kandung laki-laki, maka berdasarkan pasal 6 ayat (4)

63

UU No.1 Thn. 1974 jo.pasal 21 KHI, paman tidak berhak menjadi wali nikah sepanjang

masih ada saudara kandung laki-laki. Oleh karena itu perkawinan pemohon I dan II

dianggap belum memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Berdasarkan ketentuan pasal 2

ayat (2) UU No.1 Thn. 1974 maka diwajibkan kepada pemohon I dan II untuk melakukan

akad nikah yang baru dengan dicatatkan pada PPN KUA Kec. Pulau Derawan sebagaimana

domisili para pemohon.

6) Perkara No.71/Pdt.P/2012/PA. Smpg. Pengadilan Agama Sampang. Untuk mendapatkan Akta

Nikah dalam rangka mengurus Akta Kelahiran anak. Berdasarkan bukti berupa KTP dan KK

para pemohon berada di wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Sampang karena itu PA

Sampang berhak memeriksa dan mengadili perkara ini. Dalil pemohon yang menyatakan

bahwa telah terjadi perkawinan yang dihadiri 3 orang saksi, dikuatkan dan dibenarkan

oleh keterangan saksi. Wali nikahnya adalah ayah kandung pemohon II, namun 3 orang

saksi tersebut tidak mengetahui siapa yang bertindak sebagai wali dan siapa saja

saksinya.oleh karena itu dalil pemohon tentang adanya wali dan saksi tidak terbukti.

Mengingat bahwa wali dan saksi adalah rukun dalam perkawinan sebagaimana pasal 14 KHI

huruf (c) dan (d), sedangkan dalam perkara a quo tidak terbukti wali dan saksi-saksinya

64

maka majelis hakim menyimpulkan bahwa perkawinan tersebut tidak memenuhi rukunnya

karena itu patut ditolak.

7) Perkara No.127/Pdt.P/2010/PA.Tse. Pengadilan Agama Tanjung selor. Untuk mendapatkan

Akta Nikah dalam rangka mengurus Akta Kelahiran. Berdasarkan surat permohonan pemohon

menikah di hadapan sesorang bernama Hasan yang juga bertindak sebagai wali hakim,

pemohon tidak mengetahui apakah Hasan itu penghulu resmi atau penghulu liar, dia juga

tidak berhak menjadi wali hakim.perkawinan pemohon tidak memenuhi rukun dan syarat

perkawinan sebagaimana terdapat pada pasal 19-23 KHI yakni persyaratan wali nikah

serta Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Thn. 1987 tentang Wali Hakim, sehingga dengan

demikian perkawinan antara pemohon I dan Iitidak sesuai dengan hukum Islam dan

peraturan yang berlaku karena cacatnya wali. Anak-anak yang dilahirkan dari

perkawinan tersebut tetap dinasabkan kepada kedua orang tuanya sebagaimana dinyatakan

dalam dalil fiqhiyyah dalam Kitab Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu Juz V hal 690 yang

diambil alih oleh majelis hakim sebagai berikut: “pernikahan baik yang sah maupun yang

fasid adalah merupakan sebab untuk menetapkan nasab di dalam suatu kasus. Maka apabila

telah nyata terjadi suatu pernikahan, walaupun pernikahan itu fasid (rusak) atau

pernikahan yang dilakukan secara adat, yang terjadi dengan cara-cara akad tertentu

65

(tradisional) tanpa didaftarkan di dalam akta pernikahan secara resmi, dapatlah

ditetapkan bahwa nasab anak yang dilahirkan oleh perempuan tersebut sebagai anak dari

suami istri yang bersangkutan.

8) No.195/Pdt.G/2011/PA.Krui. Pengadilan Agama Krui. Untuk mendapatkan Akta Nikah dalam

rangka mengurus peerceraian). Berdasarkan UU No.1 Thn 1974 pasal 4 bahwasannya

perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat

(1) UU No.1 Thn 1974. Pasal 5 ayat (1) agar terjamin ketertiban perkawinan bagi

masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Ayat (2) pencatatan perkawinan

tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diateur

dalam UU No. 22 Tahun 1946 jo. UU No. 32 Thn. 1954. Pasal 6 ayat (1) untuk memenuhi

ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah

pengawasan PPN. Pasal 6 Ayat (2) perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan PPN

tidak mempunyai kekuatan hukum. Menimbang berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas dan

berdasarkan dalil-dalil gugatan penggugat, ternyata perkawinan yang dilakukan oleh

penggugat dan tergugat adalah perbuatan melawan hukum, karena tergugat masih berstatus

suami perempuan lain yang belum diceraikan tergugat dan juga perkawinan tersebut tidak

dilangsungkan di hadapan pejabat yang berwenag sehingga pelaksanaan perkawinan

66

tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (dalam amar

putusan terdapat kesalahan pada penulisan pertimbangan hukum yang digunakan, mestinya

tertulis pasal 4,5 dan 6 KHI, namun ditulis UU No.1 Thn.1974).

9) No.0266/Pdt.P/2011/PA. Pyk. Pengadilan Agama Payakumbuh. Untuk mengurus segala

keperluan yang terkait dengan Akta Nikah. Permohonan telah sesuai dengan pasal 49 ayat

a UU No.7 Thn 1989 yang diubah menjadi UU No.3 Thn 2006 dan perubahan kedua UU No.50

thn. 2009 sehingga secara formil sudah memenuhi ketentuan yang berlaku. Berdasarkan

Pedoman Teknis administrasi dan Teknis Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi tahun 2010

MA RI bahwa permohonan pemohon sudah sesuai, tidak ada pihak yang keberatan/dirugikan

dengan permohonan tersebut maka perkara bisa diperiksa. Alasan permohonan isbat nikah

adalah sesuai dengan pasal 7 angka 2 dan 4 KHI sehingga pengadilan Agama berwenang

memeriksa dan menetapkan perkara ini. Terhadap alat bukti dalam persidangan berupa dua

orang saksi, majelis berpendapat bahwa keduanya telah memenuhi persyaratan formil

karena hadir secara pribadi (in person) di persidangan, telah memberikan keterangan di

bawah sumpah, tidak terhalang secara hukum untuk didengar kesaksiannya, dan diperiksa

satu per satu. Secara materiil kesaksian saksi I dan II saling bersesuaian satu sama

lain sehingga sesuai dengan pasal 171-176 R.Bg jo. Pasal 308-309 R. Bg sehingga secara

67

formil dan materiil alat bukti saksi yang diajukan dapat diterima. Berdasarkan

keterangan saksi di persidangan ditemukan fakta bahwa saksi perkawinan hanya satu

orang dan wali nikahnya adalah ayah kandung pemohon II. Pemohon I adalah bujang dan

pemohon II adalah gadis. Perkawinan pemohon I dan II tidak memiliki halangan nikah

baik secara agama maupun adat. Tidak ada gugatan terhadap perkawinan keduanya.

Perkawinan yang sah adalah sebagaimana yang disebut pada pasal 2 ayat (1) UU No.1 Thn

1974. Keabsahan suatu perkawinan adalah terpenuhinya rukun nikah yaitu kedua mempelai,

wali, dua orang saksi, ijab kabul sebagaimana dimaksud pada pasal 14 KHI. Keabsahan

suatu perkawinan juga harus terpenuhi syarat-syarat nikah bahwa tidak ada mahram al-

nikah antara calon mempelai baik selama-lamanya maupun sementara sebagaimana dimaksud

pada pasal 8-10 UU No.1 Thn. 1974. Berdasarkan dalil-dalil para pemohon dikaitkan

dengan ketentuan perundang-undangan maka perkawinan pemohon I dan II kurang memenuhi

rukun nikah karena saksi hanya terdiri dari 1 orang, sementara ayah kandung pemohon II

bertindak sebagai wali nikah, sehingga tidak bisa dijadikan saksi nikah. Dengan

demikian majelis hakim berkesimpulan bahwa permohonan isbat nikah para pemohon

ditolak.

68

10) No.0162/Pdt.P/2013/PA.GM. Pengadilan Agama Giri Menang. Untuk mendapatkan Akta

Nikah sebagai kelengkapan identitas diri dan status anak-anak yang dilahirkan serta

mohon berperkara secara cuma-cuma (prodeo). Menimbang bahwa dari posita pemohon I dan

II, majelis hakim menilai bahwa pemohon I dan II mendalilkan telah melaksanakan

perkawinan secara syari’at Islam dengan wali nikah ayah kandung yang berwakil pada

kakeknya dan dihadiri lebih dari dua orang saksi. Namun pemohon tidak dapat

membuktikan dalil-dalil permohonannya tersebut maka permohonannya ditolak oleh majelis

hakim.

2. Penetapan dan putusan yang tidak diterima

a. Perkara N0.055/Pdt.P/2012/PA. Smi. Pengadilan Agama Sukabumi. Untuk mendapatkan akta

nikah dalam rangka pengurusan akte kelahiran anak. Permohonan dianggap prematur dan tidak

konsisten karena tidak sesuai dengan realita bahwa pemohon II (istri) tidak dalam kondisi

hamil dan belum dikaruniai anak. Isbat nikah bukan semata-mata pengganti perkawinan yang

tidak dicatatkan oleh pejabat KUA sehingga ada orang-orang yang memilih untuk menikah

dahulu kemudian baru mengajukan isbat ke Pengadilan Agama seperti halnya perkara ini.

Perkawinan dilakukan pada 10 Maret 2012 dan diisbatkan pada tahun yang sama yaitu 27

September 2012.

69

b. Perkara No.0008/Pdt.P/2011/PA. Lrt. Pengadilan Agama Larantuka. Untuk mendapatkan akta

nikah dalam rangka poligami. Pemohon I dan II tidak merubah surat permohonan yang

menjadikan istri I dan anak dari istri II sebagai pihak dalam perkara permohonan isbat

nikah.

c. Perkara No. 10/Pdt.P/2011/PA. Stg. Pengadilan Agama Sintang. Untuk mendapatkan akta

nikah. Surat permohonan mengandung cacat formil error in persona karena diskualifikasi in

person karena identitas para pemohon berbeda dengan identitas yang tertulis dalam surat

permohonan. Surat permohonan tidak dibuat dan ditanda tangani oleh para pemohon.

d. Perkara No. 26/Pdt.P/2013/PA. Bkt. Pengadilan Agama Bukittinggi. Untuk mendapatkan akta

nikah dan keperluan mengurus Kartu Keluarga dan Akte Kelahiran Anak. Menimbang pasal 2

ayat 2 UU Perkawinan No. 1 Thn 1974 jo. Pasal 5 ayat 1 KHI bahwa untuk menjaga ketertiban

perkawinan bagi masyarakat Islam maka perkawinan harus dicatatkan. Sesuai pasal 6 ayat 1

KHI bahwa perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan PPN. Pemohon

sengaja tidak mencatatkan perkawinannya di hadapan dan di bawah pengawasan PPN sehingga

pemohon tidak memenuhi maksud pasal 6 ayat 1 KHI.

70

e. Perkara No. 52/Pdt.G/2013/ PA.PP. Pengadilan Agama Padang Panjang. Untuk mendapatkan akta

nikah guna mengurus akte kelahiran anak dan mengurus perceraian. -sesuai dengan pasal 2

ayat (1) dan (2) UU No.1 Thn. 1974 jo. Pasal 4 dan 5 KHI, bahwasannya perkawinan dianggap

sah dan berkekuatan hukum apabila dilaksanakan menurut hukum Islam dan dicatat. -

perkawinan harus memenuhi rukun dan syarat sebagaimana tercantum dalam pasal 8 UU No.1

Thn. 1974 dan pasal 14 KHI, serta dilaksanakan di hadapan dan di bawah pengawasan PPN

sesuai dengan maksud pasal 6 ayat (1) KHI. -sesuai dengan pasal 9 KHI bahwasannya

“seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi,

kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU No. 1 Thn. 1974.”

Padahal pada waktu menikah dengan penggugat, status tergugat adalah masih menjadi suami

perempuan lain. -berdasarkan pasal 8 KHI bahwasannya “putusnya perkawinan selain cerai

mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang

berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk maupun putusan taklik talak.” Penggugat

yang mengaku sebagai janda pada waktu menikah dengan tergugat tidak dapat menunjukkan

surat cerai dengan suami pertamanya kepada qadhi yang menikahkan. -berdasarkan pasal 3

dan 4 UU No.1 Thn. 1974 jo. Pasal 56 ayat (1) KHI bahwa suami yang hendak beristri lebih

dari 1 (satu) orang harus mendapat izin dari Pengadilan, yang dalam hal ini adalah

71

Pengadilan Agama. Sedangkan tergugat telah melangsungkan perkawinan dengan penggugat

tanpa mendapat izin dari Pengadilan Agama.

f. Perkara No.352/Pdt.G/2012/PA. Bkt. Pengadilan Agama Bukittinggi. Untuk mendapatkan akta

nikah dalam rangka mengurus perceraian. -dalam surat gugatan dinyatakan bahwa penggugat

menikah dengan wali hakim yang ditunjuk oleh penggugat sendiri tanpa sepengetahuan wali

nasab yaitu ayah kandungnya sendiri. Pada saat menikah, penggugat dalam kondisi hamil.

Dalam persidangan penggugat mempertegas bahwa ia tidak mengenal wali hakim tersebut,

sedangkan ayah kandungnya masih hidup dan saat penggugat menikah, ayahnya berada di

Pekanbaru Riau. -berdasarkan posita poin 3 gugatan penggugat dan pernyataan penggugat di

persidangan, Majelis menemukan fakta bahwa perkawinan penggugat dan tergugat tidak jelas

status hukumnya karena tidak sesuai dengan ketentuan syar’I dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

g. Perkara No.08/Pdt.G/2010/Ms. Aceh. Mahkamah Syar’iyyah Aceh. Penggugat ingin mendapatkan

akta nikah yang baru karena akta nikah yang lama berada di tangan tergugat. –untuk

mengurus perceraian dengan tergugat. Pada posita dalam surat gugatan penggugat tidak

menguraikan tentang kejadian-kejadian perkawinan penggugat dan tergugat tahun 1978, siapa

72

saksinya, siapa walinya, apa maharnya, status calon suami apakah jejeka atau duda, calon

istri apakah gadis atau janda, apakah kedua calon pengantin memiliki hubungan darah atau

sepersusuan yang menjadi halangan perkawinan, apakah perkawinan itu telah dicatat oleh

pejabat yang berwenang. Sehingga hakim memutuskan bahwa gugatan ini obscuur libel (kabur).

B. ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM ATAS PUTUSAN ATAU PENETAPAN ISBAT NIKAH

Perkawinan bagi umat Islam Indonesia dikatakan sah jika dilakukan menurut hukum Islam dan

Undang-Undang Perkawinan no. 1 tahun 1974 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam. Negara

mengharuskan adanya pencatatan perkawinan, sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat 2 Undang-

Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perkawinan bagi negara Indonesia harus dicatatkan pada lembaga yang diberi kewenangan

agar perkawinan tersebut mempunyai kedudukan dalam hukum. Bagi perkawinan yang telah dilakukan

menurut agama Islam dan terpenuhi syarat serta rukunnya, tetapi belum dicatatkan dalam lembaga

pencatat perkawinan, negara memberi ruang untuk mendapatkan pengakuan perkawinan tersebut

melalui penetapan (isbat) nikah.

Isbat nikah dalam sejarahnya diperuntukkan bagi perkawinan yang terjadi sebelum tahun

1974, perkara isbat nikah bagi pengadilan agama diperuntukkan bagi mereka yang melakukan

perkawinan dibawah tangan sebelum diberlakukannya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

73

perkawinan. Jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 (penjelasan pasal 49 ayat (2), Jo. Pasal

64 UU No. 1 Tahun 1974). Namun fakta empirik menampilkan banyaknya perkawinan yang dilakukan

setelah tahun 1974 jika dilihat dari syarat dan rukunnya terpenuhi, hanya saja perkawinan

tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatat perkawinan (KUA). Lalu bagaimana payung hukum

bagi para pelaku perkawinan tersebut? Apakah mereka tidak dapat mendapatkan isbat nikah,

sehingga perkawinannya tidak diakui oleh negara, keturunannya juga tidak dapat melakukan

perbuatan berkenaan dengan hukum Indonesia. Sungguh ironis peristiwa tersebut, karena mereka

sebetulnya melakukan perkawinan yang telah terpenuhi syarat dan rukunnya, hanya tidak

dicatatkan pada lembaga negara.

Pada tahun 1991 muncul Inpres tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang salah satu

pasalnya memberi ruang bagi para pencari keadilan dalam perkawinan. Pada Pasal-pasal yang

terdapat dalam KHI, Pasal 7 ayat 2 dan 3, dalam ayat (2) "isbat nikah yang diajukan ke

pengadilan agama”, pada ayat (3) isbat nikah yang diajukan ke pengadilan agama terbatas

mengenai hal yang berkenaan dengan : a. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian

perceraian; b. hilangnya akta nikah; c. adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat

perkawinan; d. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan

menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974.

74

Pasal 7 ayat 2 dan 3 KHI tersebut, memberikan kewenangan lebih dari yang diberikan oleh

Undang-Undang; baik oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun Undang-

Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Di sisi lain, pasal 2 TAP MPR RI No.

III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan; INPRES tidaklah termasuk

dalam tata urutan perundang-undang Republik Indonesia.

Pada kenyataannya perkara isbat nikah ini menjadi menarik ketika mengalami perluasan

permohonan yang diajukan ke Pengadilan Agama, di antaranya: 1) Isbat nikah untuk melengkapi

persyaratan akta kelahiran anak; 2) Isbat nikah untuk melakukan perceraian secara resmi di

pengadilan; 3) Isbat nikah untuk mendapatkan pensiunan janda; 4) Isbat nikah isteri poligami.

Perkara isbat nikah hampir setiap tahun diajukan oleh para pemohon pada setiap Pengadilan

Agama di Indonesia. Para pemohon isbat nikah tidak melihat apakah perkawinan mereka termasuk

sebelum diberlakukannya Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 atau sesudahnya. Dengan

bermacam-macam alasan permohonan, mereka mengajukannya pada pengadilan Agama.

Persoalan yang timbul dari isbat nikah berkaitan dengan ketentuan waktu pelaksanaan

perkawinan antara sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana

diatur Pasal 7 Ayat 3 (d) KHI, dengan kenyataaan permohonan Isbat nikah yang diajukan sesudah

tahun 1974. Terhadap hal demikian, yaitu adanya permohonan bagi perkawinan yang dilakukan

75

setelah berlakunya UUP no. 1 tahun 1974, hakim perlu meramu ratio legis dan mencari alasan hukum

yang membolehkan pengadilan agama menerima perkara isbat nikah tersebut.

Setidaknya terdapat beberapa alasan pengadilan agama dapat menerima dan memutus perkara

isbat nikah terhadap perkawinan pasca berlakunya Undang-Undang Perkawinan no 1 tahun 1974.

Pertama, berkaitan dengan asas ius curia novit yakni hakim dianggap mengetahui hukum isbat nikah,

dan asas kebebasan Hakim untuk menemukan hukumnya terhadap masalah atau kasus yang tidak

terdapat peraturan hukumnya (rechtsvacuum).66 Kedua, pendekatan sosiologis yang mendorong hakim

menganalisis suatu kasus dengan pendekatan sosiologi hukum dan melakukan penafsiran sosiologis

terhadap peraturan lain yang ada hubungannya dengan masalah yang dihadapi supaya hukum tidak

stagnan, melainkan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat atau sesuai dengan hukum yang

hidup dan berkembang (living law) di masyarakat. Langkah-langkah ini kemudian dikenal dengan

sebutan penemuan hukum (rechtsvinding). Dasar hukum peran hakim terdapat pada Pasal 28 ayat (1)

66 Beberapa ketentuan yang menjadi alas hukum argumentasi ini antara lain: 1) Pasal 10 ayat (1) Undang-UndangNomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkanwajib untuk memeriksa dan mengadilinya. 2) Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang KekuasaanKehakiman yang berbunyi: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum danrasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; 3) Pasal 56 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahanatas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berbunyi: “Pengadilan tidak boleh menolak untukmemeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajibmemeriksa dan memutusnya;”

76

UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti

dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Pasal di atas memberi penjelasan bahwa, seorang hakim diberi kebebasan untuk menemukan

hukum terhadap masalah atau kasus yang tiada peraturan hukumnya atau adanya peraturan yang

multitafsir tentang hal-hal yang diajukan kepadanya. Selain Pasal tersebut ada aturan lain

yang memberi kewenangan hakim dan pengadilan untuk menerima setiap permohonan kemudian

memeriksa dan memutuskannya, di antaranya: Pasal 56 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berbunyi

sebagai berikut “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang

diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan

memutusnya” atau Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,

berbunyi “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara

yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk

memeriksa dan mengadilinya”.

Beberapa alasan inilah yang menurut peneliti, para hakim dapat menerima permohonan isbat

nikah meski perkawinannya terjadi setelah diberlakukannya Undang-Undang Perkawinan no. 1 tahun

1974. Hakim akan mencari kebenaran formil dan materiil dalam permohonan isbat nikah. Kebenaran

formil dan materiil yang dicari oleh hakim terwujud dalam amar putusan atau penetapan.

77

Putusan atau penetapan isbat nikah oleh majelis hakim di Pengadilan Agama dilakukan

melalui proses tahapan dari permohonan sampai putusan atau penetapan. Setelah permohonan isbat

nikah diajukan ke Pengadilan Agama, tahapan selanjutnya Pengadilan Agama akan menentukan hari

sidang. Pada saat persidangan, Pengadilan Agama memeriksa apakah syarat-syarat formil sudah

terpenuhi atau belum. Jika seluruh persyaratan formil sudah terpenuhi, maka Pengadilan Agama

melalui majelis hakim membuat penetapan atau putusan yang bunyinya permohonan diterima.

Sedangkan jika persyaratan formil tidak terpenuhi, maka majelis hakim membuat penetapan atau

putusan yang menyatakan permohonan tidak diterima.

Syarat-syarat formil yang harus dipenuhi dalam tata cara beracara di Pengadilan Agama

antara lain:

a. Permohonan/gugatan diajukan ke Pengadilan Agama sesuai dengan kompetensi/kewenangan

relatifnya.

b. Surat permohonan/gugatan diberi tanggal dan ditandatangani oleh pemohon/penggugat.

c. Identitas pihak berperkara harus jelas.

d. Fundamentum petendi/posita harus jelas.

e. Petitum harus jelas.

Di antara syarat formil di atas diperinci lagi menjadi permohonan/gugatan obscuur libel (tidak

jelas) yang bisa dilihat dari fundamentum petendi/posita yang kontradiktif dengan petitum,

78

nebis in idem, error in persona yang disebabkan oleh kesalahan dalam mencantumkan nama, atau

kurangnya pihak yang dijadikan sebagai termohon/tergugat, dll.67

Permohonan isbat nikah yang telah memenuhi syarat-syarat formil dinyatakan diterima dan

dilanjutkan pada pemeriksaan selanjutnya oleh majelis hakim. Sedangkan permohonan yang tidak

memenuhi syarat formil maka permohonan tidak dapat diterima, dan tidak dapat dilanjutkan pada

pemeriksaan selanjutnya.

Beberapa contoh kasus permohonan isbat nikah di atas yang persyaratan formil tidak

terpenuhi sehingga permohonan tidak diterima disebabkan karena surat permohonan isbat nikah

tidak sesuai dengan unsur-unsur perkawinan yang sah, atau karena kesalahan surat permohonan.

Misalnya permohonan yang tidak memenuhi unsur-unsur perkawinan yang sah di negara Indonesia

adalah Penetapan No. 26/Pdt.P/2013/PA. Bkt. Pengadilan Bukit Tinggi memohon untuk mendapatkan

akta nikah dalam rangka kepengurusan kartu keluarga dan akte anak. Permohonan ini tidak dapat

diterima karena pemohon dengan sengaja tidak mencatatkan perkawinannya di sepan Pegawai

Pencatat Nikah (PPN). Sesuai Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan No. 1 Thn 1974 jo. Pasal 5 ayat 1

KHI.

Permohonan karena kesalahan permohonan misalnya Penetapan No. 10/Pdt.P/2011/PA. Stg

(Pengadilan Agama Sintang). Permohonan isbat nikah untuk mendapatkan akta nikah ini tidak

67 ? M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, hlm. 51-66.

79

diterima karena surat permohonan mengandung cacat formil error in persona yaitu identitas para

pemohon berbeda dengan identitas yang tertulis dalam surat permohonan. Penetapan

N0.055/Pdt.P/2012/PA. Smi. Pengadilan Sukabumi yang meminta akta nikah dalam rangka pengurusan

akte anak. Permohonan ini tidak diterima karena ternyata pemohon II (istri) tidak dalam

keadaan hamil.

Sementara itu, permohonan isbat nikah yang di dalamnya ada unsur gugatan dan tidak

diterima oleh majelis hakim biasanya karena adanya fakta yang disembunyikan, unsur perkawinan

yang tidak sah atau karena kaburnya permohonan. Misalnya putusan No.52/Pdt.G/2013/PA.PP

pengadilan Padang Panjang yang menginginkan adanya akta nikah dalam rangka pengurusan akte

anak dan perceraian. Permohonan ini tidak diterima karena perkawinan yang dilakukan penggugat

dengan tergugat tidak memenuhi pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.1 Thn. 1974 jo. pasal 4 dan 5

KHI. Perkawinan penggugat dan tergugat tidak memenuhi pasal 8 UU No.1 Thn. 1974, pasal 6 dan

14 KHI. Demikian juga penggugat tidak memenuhi pasal 8 KHI bahwasannya “putusnya perkawinan

selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama

baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk maupun putusan taklik talak.”

Perkawinan penggugat dan tergugat tidak memenuhi pasal 9 UU No.1 Thn. 1974 yang berbunyi

“seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi,

kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU No. 1 Thn. 1974.”

80

Penggugat ketika menikah dengan tergugat adalah seorang janda cerai, namun penggugat

tidak dapat menunjukkan surat cerai dari Pengadilan. Tergugat ketika menikah dengan penggugat

adalah seorang duda, namun ternyata ia masih terikat pernikahan dengan istri sebelumnya karena

tidak ada surat cerai. Perkawinan antara penggugat dan tergugat yang dilangsungkan di rumah

penggugat ternyata tidak dicatatkan di depan Pegawai Pencatat Perkawinan.

Putusan No.352/Pdt.G/2012/PA. Bkt. Pengadilan Bukit Tinggi yang memohon untuk mendapatkan

akta nikah dalam pengurusan surat cerai tidak diterima oleh majelis hakim. Penggugat (istri)

dan tergugat (suami) melakukan perkawinan tidak sesuai dengan ketentuan hukum dan syara’.

Pernikahan dilakukan di bawah tangan (tidak dicatatkan di depan Pegawai Pencatat Nikah) dengan

wali hakim yang ditunjuk sendiri tanpa sepengetahuan wali nasab (ayah kandungnya) yang masih

hidup. Perkawinan dilakukan karena saat itu penggugat dalam keadaan hamil.

Permohonan yang kabur putusan No.08/Pdt.G/2010/Ms. Aceh. Pada posita dalam surat gugatan

penggugat tidak menguraikan tentang kejadian-kejadian perkawinan penggugat dan tergugat tahun

1978, siapa saksinya, siapa walinya, apa maharnya, status calon suami apakah jejeka atau duda,

calon istri apakah gadis atau janda, apakah kedua calon pengantin memiliki hubungan darah atau

sepersusuan yang menjadi halangan perkawinan, apakah perkawinan itu telah dicatat oleh pejabat

yang berwenang. Sehingga hakim memutuskan bahwa gugatan ini obscuur libel (kabur).

81

Paparan ini menjelaskan betapa pentingnya pencatatan perkawinan, yaitu untuk kemaslahatan

orang yang melakukan perkawinan dan ahli warisnya serta demi ketertiban umum. Kemaslahatan

yang diatur oleh negara berkaitan pencatatan perkawinan ditujukan untuk pelaku perkawinan yang

mendapatkan kekuatan di muka hukum, ahli waris juga mempunyai kekuatan hukum. Kekuatan hukum

berupa kepastian mendapatkan hak di muka hukum, mendapatkan keadilan dan ketertiban di

masyarakat. Orientasi negara untuk mewujudkan kemaslahatan umatnya berdasarkan pada kaidah:

ف� ر ص ام ت لى الام ع ة ي� اع ر وط ال ن� ة" م لح مص ال )ب“Tindakan pemimpin (pemerintah) untuk kepentingan umum rakyatnya didasarkan atas kemaslahatan”

Dengan keinginan untuk menggapai kemaslahatan, maka secara otomatis kemadharatan harus

dihindarkan. Perilaku-perilaku yang dapat menyebabkan timbulnya kemadharatan harus

dihindarkan. Misalnya perkawinan yang tidak dicatatkan mengindikasikan munculnya peluang

pelaku perkawinan yang tidak bertanggung jawab, contoh yang paling banyak terjadi adalah

menghilangnya seorang suami dengan meninggalkan istri dan atau anak-anaknya tanpa status yang

jelas di masyarakat, tidak mendapatkan nafkah dan tidak mendapatkan kedudukan di muka hukum.

Oleh sebab itu perilaku-perilaku seperti ini harus dihindarkan demi mendapatkan kemaslahatan

bersama. Kaidah yang biasa digunakan adalah:

82

د" درء اس م المف� د ف لى م لب( ع )ح ج المصال“Menolak kemudharatan lebih didahulukan dari pada memperoleh kemaslahatan”

Alasan inilah yang menjadi pertimbangan hakim tidak menerima isbat nikah yang tidak

memenuhi syarat formilnya.

Penetapan atau putusan isbat nikah yang tidak dapat diterima karena tidak terpenuhinya

syarat-syarat formil dalam perkara isbat nikah oleh majelis hakim tidak akan dilanjutkan pada

pemeriksaan secara materiil. Pada tahap ini unsur materiil dalam perkawinan ditentukan oleh

terpenuhinya syarat dan rukun perkawinan yang sah menurut agama dan negara yang telah diatur

dalam Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2 UUP no 1 tahun 1974. Perkawinan yang tidak sah menurut agama

dan menurut negara tidak mempunyai kepastian hukum dan juga akan menyebabkan hilangnya unsur

keadilan dan kemanfaatan bagi pelaku perkawinan dan ahli waris atau anak-anaknya.

Perkawinan yang dilakukan sah menurut agama tetapi dilakukan di bawah tangan (tidak

dicatatkan di depan Pegawai Pencatat Nikah) sehingga tidak mendapat kepastian hukum masih

dapat mengajukan penetapan (isbat) perkawinannya. Jika permohonan isbat nikah dikabulkan maka

pelaku perkawinan ini mendapatkan kedudukan yang sama di muka hukum, dan perkawinannya sah

menurut agama dan negara. Pada kasus ini hakim tidak hanya melihat sisi kepastian hukum tetapi

juga melihat dari sisi keadilan dan kemaslahatannya.83

Permohonan isbat nikah yang telah diterima (karena telah memenuhi syarat formilnya) dapat

dilanjutkan proses selanjutnya, yaitu pemeriksaan terhadap unsur-unsur materiil. Jika unsur-

unsur materiil juga sudah terpenuhi, maka putusan atau penetapan isbat nikah akan dikabulkan

oleh majelis hakim, namun sebaliknya ketika unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi maka

permohonan atas putusan atau penetapan isbat nikah ditolak.

Unsur materiil berkaitan dengan syarat dan rukun nikah atau tata cara pernikahan dalam

agama Islam dan negara Indonesia. Permohonan isbat nikah yang diterima dan dikabulkan telah

memenuhi persyaratan formil dan pernikahannya telah dijalankan sesuai dengan syarat dan rukun

pernikahan serta sesuai dengan hukum yang berlaku. Permohonan isbat nikah ini diajukan untuk

memperbarui akta nikah yang lama karena terdapat kesalahan dari pejabat yang membuat, atau

karena akta nikah yang lama hilang.

Permohonan isbat nikah untuk meminta akta nikah yang baru karena di dalam akta nikah lama

terdapat kesalahan seperti penetapan No.3/Pdt.P/2010/PA. Tgrs. Pengadilan Agama Tigaraksa. Di

dalam permohonan isbat nikah ini pemohon meminta untuk mendapat akta nikah yang baru dalam

rangka mengurus syarat pensiun karena akta nikah yang lama terdapat kesalahan tanggal lahir

dan tanggal nikah. Secara formil, permohonan isbat nikah ini terpenuhi dan dalam pemeriksaan

di persidangan unsur materiil juga terpenuhi, baik dari syarat dan rukun perkawinan maupun

tata cara perkawinan.

84

Berdasarkan pasal 49 ayat (2) UU No.3 Thn 2006, sesuai dengan kompetensi relatif

dibuktikan dengan fotocopy Surat Keterangan Kematian dan fotocopy Akta Nikah.

Isbat nikah dapat diajukan dalam hal-hal yang secara limitatif diatur dalam pasal 7 ayat 3 dan

4 KHI. Tidak ada halangan nikah sebagaimana disebut pada pasal 8,9,10 UU No.1 Thn. 1974 jo.

Pasal 39-44 KHI. Perkawinan telah memenuhi rukun dan syarat sebagaimana disebut pada pasal 14

KHI. Permohonan pemohon sudah memenuhi pasal 2 ayat 1 dan 4 UU No.1 Thn. 1974. Pasal 7 ayat 2

dan 3 (e) KHI.

Selanjutnya penetapan No.105/Pdt.P/2013/PA. Bkt. Pengadilan Bukittinggi yang meminta akta

nikah sebagai syarat mengurus akte anak dan lain sebagainya. Akta nikah tidak diberikan oleh

pegawai pencatat nikah karena ada kelalaian dari pegawai KUA dan pemohon tidak mempunyai biaya

pengurusan akta nikah. Dalam kasus ini semua syarat formil dan materiil dapat ditunjukkan pada

majelis hakim selama pemeriksaan dalam persidangan. Oleh sebab itu permohonan isbat nikah

diterima dan dikabulkan. Perkara No.16/Pdt.G/2013/PA.Trk Pengadilan Agama Tarakan juga

menerima dan mengabulkan permohonan isbat nikah untuk mendapatkan akta nikah baru, karena

selama ini pemohon tidak mempunyai biaya untuk mengurus akta nikah. Permohonan isbat nikah ini

diterima dan dikabulkan karena semua syarat formil dan materiil dapat ditunjukkan oleh pemohon

selama persidangan berlangsung.

85

Pada penetapan No. 0041/Pdt.P/2011/PA.Tnk, Pengadilan Agama Tanjung Karang juga menerima

dan mengabulkan permohonan isbat nikah untuk meminta akta nikah baru sebagai syarat pengurusan

akte kelahiran. Hal ini dikarenakan akta nikah yang lama telah hilang. Perkara ini sama dengan

perkara No.2/Pdt.P/2010/PA. Bky Pengadilan Agama Bengkayang.

Permohonan isbat nikah No.106/Pdt.G/2012/PA.Pkc.Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang

di dalamnya terdapat unsur gugatan untuk memperoleh akta nikah sebagai pengurusan perceraian.

Selama persidangan penggugat dapat menunjukkan bahwa pernikahannya sah dilakukan menurut agama

dan di depan Pegawai Pencatat Nikah, namun sampai sekarang penggugat tidak menerima akta

nikah. Karena selama pemeriksaan dalam persidangan penggugat dapat menunjukkan syarat formil

dan materiil maka majelis hakim menerima dan mengabulkan permohonan penggugat.

Contoh di atas menunjukkan bahwa para pemohon dapat memenuhi syarat formil dan materiil

selama persidangan berlangsung. Majelis hakim memeriksa kelengkapan permohonan isbat nikah dan

kesesuaiannya dengan fakta persidangan, majelis hakim juga memeriksa syarat dan rukun nikah

yang telah dilakukan para pemohon dan penggugat, seperti adanya sepasang mempelai, wali, 2

orang saksi, dan ijab kabul. Majelis hakim berpegang pada kitab fikih atau mereka sependapat

dengan para ahli fikih mengenai syarat dan rukun nikah yang harus dipenuhi pada perkawinan.

Selain itu, untuk mencari kemaslahatan bersama, majelis hakim juga mengadakan mediasi bagi

para pemohon isbat nikah yang di dalamnya terdapat unsur gugatan. Selama persidangan

86

berlangsung majelis hakim selalu menanyakan fakta-fakta yang berkaitan dengan permohonan isbat

nikah, selain untuk mencari kebenaran formil dan materiilnya majelis hakim juga bertujuan

untuk mencari kemaslahatan bersama. Seperti kemaslahatan bagi ahli waris pemohon, agar

memperoleh kedudukan di mata hukum. Anak dari perkawinan tersebut berhak mendapatkan akte

kelahiran sebagai bukti kependudukan dan ia juga mendapat hak waris. Seorang istri yang sah

dengan mendapatkan akta nikah mendapatkan hak di mata hukum, ia juga berhak mendapat nafkah

atau hak waris. Fakta-fakta inilah yang dilihat sebagai kemaslahatan oleh majelis hakim.

Karena syarat formil dan materiil dapat dipenuhi oleh para pemohon, majelis hakim

berdasarkan peraturan Undang-Undang yang berlaku dan berdasarkan atas kemaslahatan pemohon,

maka majelis hakim menerima dan mengabulkan isbat nikah yang diminta.

Putusan atau penetapan hakim yang diterima tetapi ditolak adalah yang telah memenuhi

syarat formil tetapi tidak memenuhi syarat materiilnya. Berikut contoh-contoh perkara

permohonan isbat nikah yang diterima tetapi ditolak. Putusan pengadilan agama

No.044/Pdt.P/2012/PA.ML Pengadilan Agama Muara Labuh yang menginginkan akta nikah baru.

Pemohon I dan pemohon II telah memenuhi syarat formil dalam pengajuan isbat nikah, tetapi

ketika dilihat syarat materiilnya, seperti proses perkawinan dan syarat serta rukunnya,

ternyata syarat materiil tersebut tidak terpenuhi. Saat berlangsungnya perkawinan pemohon I

berstatus jejaka, sedangkan pemohon II adalah janda cerai hidup. Pada saat perkawinan

87

dilangsungkan pemohon II tidak dapat menunjukkan surat cerai dari suami sebelumnya, tetapi

pemohon I dan II meminta akta nikah dari P3N (Pembantu Pegawai Pencatat Nikah). Oleh P3N akta

nikah tidak dikeluarkan karena pemohon II tidak dapat menunjukkan surat cerai. Atas dasar ini

majelis hakim memutuskan bahwa perlindungan hukum yang diinginkan oleh pemohon I dan II dengan

meminta akta nikah (melalui isbat nikah) tidak dapat dilakukan (ditolak), karena majelis hakim

memandang pemohon I dan II telah bertindak tidak sesuai hukum.

Kasus yang hampir sama dengan kasus di atas adalah putusan hakim

No.22/Pdt.P/2010/PA.Gtlo. Pengadilan Agama Gorontalo. Para pemohon I dan II adalah duda dan

janda cerai hidup, namun pemohon II melakukan perkawinan keduanya tanpa melampirkan surat

cerai, sehingga pegawai KUA tidak bisa mengeluarkan akta nikah, begitu juga dalam persidangan,

Pengadilan Agama tidak dapat mengelurkan pernyataan pengesahan nikahnya. Meskipun permohonan

isbat nikah ini diterima (telah memenuhi unsur formil) namun ditolak (tidak memenuhi syarat

materiil, yaitu perkawinan tidak sesuai aturan agama dan negara).

Putusan hakim No.014/Pdt.P/2011/PA.TBK Pengadilan Agama Tanjung Balai Karimun meminta

penetapan isbat nikah berupa akta nikah. Saat proses uji formil, pemohon dapat memenuhi syarat

formil, sehingga permohonan isbat diterima kemudian persidangan dilanjutkan untuk uji

materiil. Saat uji materiil, para pemohon tidak dapat membuktikan kebenaran materiilnya

melalui fakta persidangan, mereka tidak bisa menghadirkan para saksi saat berlangsungnya

88

perkawinan, wali, dan lain sebagainya. Para pemohon hanya mempunyai bukti Kartu Tanda

Penduduk, sehingga permohonan isbat nikah ini ditolak.

Perkara permohonan isbat nikah ini ditolak karena tidak memenuhi unsur materiil, namun di

sisi lain para pemohon menginginkan adanya akta nikah sebagai pengurusan akte kelahiran kedua

putranya. Saat persidangan majelis hakim sudah meminta para pemohon agar menghadirkan para

saksi nikah atau wali, namun para pemohon tidak dapat menghadirkannya karena orang tua pemohon

II (istri) tidak setuju dengan perkawinan mereka. Majelis hakim melihat perkawinan ini

dilakukan di bawah tangan atau bahkan perkawinan tanpa aturan agama yang sah. Dengan perkara

ini maka putra-putra pemohon menjadi korban dari perkawinan kedua orang tuanya, mereka tidak

mempunyai akte kelahiran sebagai bukti kependudukan. Perkara ini hampir sama dengan putusan

No.0162/Pdt.P/2013/PA.GM Pengadilan Agama Giri Menang yang tidak dapat menghadirkan para saksi

di dalam persidangan.

Selanjutnya Penetapan No.0266/Pdt.P/2011/PA. Pyk Pengadilan Agama Payakumbuh, di mana

pemohon hanya dapat menghadirkan satu orang saksi pernikahan mereka, sementara syarat dan

rukun lainnya terpenuhi. Dalam hal ini hakim menolak mengabulkan permohonan isbat nikah

tersebut karena kekurangan pada jumlah saksi.

Putusan No.127/Pdt.P/2010/PA.Tse Pengadilan Agama Tanjung Selor. Para pemohon dianggap

melakukan kesalahan dalam perkawinan karena mengangkat wali hakim yang tidak jelas apakah

89

resmi dari pemerintah atau tidak. Ketidakjelasan status wali hakim ini dalam pandangan majelis

hakim dianggap sebagai kekurangan pada unsur syarat wali, karena sebab itu maka permohonan

isbat nikah ditolak.

Putusan No. 26/Pdt.P/2012/PA.TR Pengadilan Agama Tanjung Redeb menolak isbat nikah yang

telah memenuhi unsur formil (diterima) namun tidak memenuhi unsur materiilnya, yaitu

perkawinan para pemohon dianggap tidak sah karena mengangkat wali nasab dari paman padahal

masih ada kakak kandung yang berhak sebagai wali nasab. Selanjutnya perkara

No.25/Pdt.P/2012/PA. Bkt Pengadilan Bukit Tinggi yang menolak permohonan isbat nikah karena

para saksi yang dihadirkan di dalam fakta persidangan tidak mengetahui siapa yang menjadi wali

dari pemohon II. Padahal di dalam KHI pasal 21 dan 22 kedudukan wali nasab sudah sangat jelas.

Wali nasab tidak bisa bergeser kepada wali nasab berikutnya tanpa alasan yang jelas.

Keberadaan paman sebagai pengganti ayah dalam kedudukannya sebagai wali nikah dianggap tidak

tepat. Apalagi didukung oleh pernyataan saksi yang tidak mengenal siapa wali nikah dari

pemohon.

Perkara-perkara yang disebutkan dalam 4 perkara terakhir di atas cukup menarik berkaitan

dengan tidak terpenuhinya syarat materiil berupa saksi yang kurang atau saksi yang tidak

jelas, wali nikah yang tidak tepat.

90

Dari paparan dan penjelasan pertimbangan dan analisis pertimbangan hakim dapat diketahui

bahwa meski ada aturan tentang isbat nikah ditujukan pada perkawinan sebelum tahun 1974,

tetapi majelis hakim tidak hanya melihat aturan tersebut, majelis hakim menerima dan memutus

perkara tersebut dengan melihat kepada itikad baik dari para pihak.

Hakim dapat menerima dan memutus atau menetapkan perkara berlandaskan pada kebebasan

hakim untuk menemukan hukum terhadap masalah atau kasus yang tidak ada peraturan hukumnya

terhadap hal-hal yang diajukan kepadanya (masih terdapat kekosongan hukum atau terdapat hukum

yang multitafsir). Dasar hakim untuk menemukan hukum, antara lain terdapat dalam beberapa

pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi payung hukumnya seperti :

1) Pasal 56 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berbunyi sebagai berikut “Pengadilan tidak boleh

menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum

tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya”.

2) Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi

“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang

diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk

memeriksa dan mengadilinya”.

91

3) Pasal 28 Ayat 1 yang berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Selain dasar hukum tersebut bersumber dari aturan perundang-undangan, para hakim juga

menganalisa dari segi pendekatan sosiologi hukum dengan mencari penafsiran baru terhadap

peraturan lain yang ada hubungannya dengan masalah yang dihadapi supaya hukum tidak stagnan

melainkan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu al-

Qayyim al-Jauziyah al-Hambali yang mengatakan bahwa “hukum itu berubah karena ada perubahan,

waktu, tempat, keadaan, adat dan niat”.68

Dalam sosiologi hukum dikenal istilah “ the maturity of law ” atau hukum yang matang yaitu

hukum yang benar-benar efektif sebagai busana masyarakat (clothes body of society), yang bersifat

praktis, rasional dan aktual, sehingga dapat menjembatani dinamika nilai kesadaran hukum dan

rasa keadilan dalam masyarakat. Hukum tidak hanya selalu berupa aturan formalistik, bahkan

kalau perlu harus ada keberanian untuk melakukan “contra legem” untuk menghadapi peraturan atau

ketentuan yang kurang logis.69 Keadilan atau kemaslahatan dalam hukum harus dipertimbangkan

dalam pengambilan hukum.

68 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, I’lama al-Muwaqi’in, Bairut, Libanon : Dar al-Fikr, 1397H/1977M, VII : 14 - 15.69 Abdul Manaf, Refleksi beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, Bandung : CV.Mandar Maju, Cet.I., 2008,

hlm. 215.

92

Sedangkan menurut kajian hukum Islam ijtihad selain melihat dari sumber hukum yang

berlaku, juga perlu memperhatikan norma yang berlaku di masyarakat sesuai dengan waktu dan

keadaan mereka. Ibnu al Qayyim berkata:

د :ة والاحوال والعواب مانA والامكي� ر الار� ي� غ� ت )وى ب ن ر الف� ي� غ� ت“perubahan fatwa adalah karena perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan”70

Dengan demikian pembaruan hukum Islam dapatlah terus diadakan dengan menyesuaikannya dengan

situasi, kondisi serta perkembangan zaman.71 Disinilah diperlukan keberanian hakim untuk

mewujudkan kepastian hukum dan keadilan sosial serta kemaslahatan bersama.

Dalam kasus isbat nikah, hakim melihat syarat formil dan materiilnya terlebih dahulu.

Jika kedua syarat tersebut sudah terpenuhi, selanjutnya hakim melihat sisi maslahahnya. Jika

semua unsur ini terpenuhi maka hakim akan menerima dan mengabulkan permohonan isbat nikah.

Namun ketika syarat formil terpenuhi dan materiilnya belum terpenuhi, hakim akan menolak

permohonan isbat nikah tanpa harus melihat sisi kemaslahatan hukumnya. Hal ini dapat dilihat

dari contoh 4 kasus terakhir di atas, dimana hakim menolak permohonan isbat nikah yang syarat

materiilnya tidak terpenuhi (sebetulnya masih dipertanyakan, apakah sudah terpenuhi apa belum,

70 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, I’lama al-Muwaqi’in..., III: 14.71 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Cet.I, 2006, hlm. 296.

93

seperti beralihnya wali nasab dari kakak kandung ke paman, atau saksi yang tidak bisa

dihadirkan dua-duanya dalam persidangan).

Pengadilan Agama menolak perkara permohonan isbat nikah dengan alasan tidak memenuhi

syarat materiil, sebetulnya bisa saja diperiksa dari segi maslahahnya. Maslahah bagi

kepentingan manusia, mencakup lima perkara yaitu untuk memelihara agama, jiwa, akal, harta dan

keturunan yang dalam istilah fiqih disebut “al-kulliyat al-Khamsah” dengan klasifikasi maslahah ini

menjadi 3 hal yaitu:72

a. Maslahah dharuriyat (essensial): dimaksudkan untuk menerapkan dan memelihara lima prinsip

pokok tersebut dalam kehidupan manusia. Jika lima hal tersebut di atas tidak dilakukan,

maka akan terancam kehidupannya.

b. Maslahah al-hajjiyat (keperluan/kebutuhan): dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan dalam

memelihara lima prinsip pokok agar dapat berjalan dengan baik.

c. Maslahah al-tahsiniyat (keindahan): dimaksudkan supaya manusia dapat melakukan yang terbaik

untuk kesempurnaan pemeliharaan lima prinsip pokok tersebut.

Oleh karena itu menggunakan teori maslahah haruslah dengan kerangka kehati-hatian,

seperti yang disinyalir oleh Abdul wahab Khallaf dengan memenuhi persyaratan kemaslahatan,

yaitu :

a. Maslahah itu hakiki, bukan dugaan; 72 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet. III, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 126-127.

94

b. Maslahah itu untuk kepentingan umum bukan untuk kepentingan perorangan;

c. Maslahah itu tidak bertentangan dengan maqashid syari’ah;

d. Maslahah itu harus dapat menjaga hal-hal yang dharuri dan menghindarkan kesusahan;

e. Maslahah itu dapat diterima oleh akal sehat.73

Uraian permohonan isbat nikah yang diterima dan dikabulkan di atas menunjukkan bahwa

ketika seseorang menikah secara sah menurut agama (terpenuhi syarat dan rukun perkawinan)

tetapi tidak mampu untuk mengurus biaya pada negara (biaya menikah di depan PPN dan biaya

pembuatan akta nikah), maka negara memberi kesempatan kepadanya untuk menetapkan (isbat)

pernikahannya dengan tanpa biaya. Negara melalui majelis hakim melihat perkara ini tidak hanya

dari unsur formil dan materiilnya tetapi juga untuk kemaslahatan bersama, yaitu untuk menjaga

keturunan dan kehormatan. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka dianggap sah juga oleh negara

(kemaslahatan untuk menjaga keturunan), sehingga keturunan yang lahir dari perkawinan ini dan

juga orang tuanya mendapat kedudukan di muka hukum (kemaslahatan untuk menjaga kehormatan).

Kemaslahatan yang dilihat majelis hakim untuk menjaga keturunan dan menjaga kehormatan

bersama juga terlihat pada putusan atau penetapan hakim yang diterima dan dikabulkan lainnya,

seperti permohonan isbat nikah untuk membuat akta nikah karena dalam akta nikah yang lama

terdapat kekeliruan tanggal lahir dan kekeliruan tanggal pernikahan, atau karena akta nikah

73 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Cairo : Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah Shabab al-Azhar, 1990, hlm. 85.

95

yang lama hilang, atau karena adanya kekeliruan yang dibuat oleh PPN yang tidak memberikan

akta nikah.

Sebaliknya, ketika majelis hakim melihat bahwa syarat materiil dalam suatu permohonan

isbat nikah tidak terpenuhi yaitu perkawinan yang dilakukan oleh para pemohon tidak sesuai

dengan agama (syarat dan rukun pernikahan kurang) dan tidak sah di hadapan negara (dengan

sengaja tidak mencatatkan perkawinannya di depan PPN), maka oleh majelis hakim permohonan

isbat nikah tersebut ditolak (meski dalam pengajuan isbatnya diterima). Perkawinan ini menurut

majelis hakim mengandung kemadharatan dan tidak ada kemaslahatannya. Perkawinan yang tidak sah

oleh agama (tidak memenuhi syarat dan rukun pernikahan) dianggap tidak bisa menjaga keturunan

dan kehormatan. Begitu juga perkawinan yang sengaja tidak dicatatkan di depan pegawai PPN juga

dianggap tidak dapat menjaga keturunan dan kehormatan, karena akan muncul perbuatan penundukan

terhadap hukum.

Di sinilah peran vital hakim yang tidak hanya dapat mewujudkan kepastian hukum, tetapi

juga diharapkan dapat mewujudkan kemaslahatan bagi para pencari keadilan. Hakim sebagai penemu

dan penggali hukum yang hidup di dalam masyarakat banyak menemui kendala, berkaitan dengan

hukum dan moralitas bangsa. Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi

segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum di dalam masyarakat sehingga menimbulkan apa yang

lazim disebut kekosongan hukum atau “rechtsvacuum” atau lebih tepatnya adalah kekosongan

96

peraturan perundang-undangan atau “ wetsvacuum”. Jika terdapat kekosongan hukum seyogyanya para

penegak keadilan dan masyarakat mempunyai mekanisme untuk menciptakan kaidah-kaidah penemuan

hukum.74 Dengan demikian pekerjaan penafsiran hukum bukan semata-mata membaca peraturan

melainkan juga membaca kenyataan atau yang terjadi dalam masyarakat, sehingga antara peraturan

dengan norma masyarakat atau kepastian hukum dan keadilan masyarakat keduanya dapat disatukan

agar tercipta hukum yang progresif.75

Hukum yang tidak progresif masih terlihat di lembaga Pengadilan Agama. Misalnya kasus di

Pengadilan Agama kelas IB XY yang selalu menolak permohonan isbat nikah untuk mencari akta

kelahiran anak karena perkawinan terjadi setelah tahun 1974 atau kumulasi isbat nikah dengan

permohonan talak acapkali ditolak karena cacat hukum. Pertimbangan hakim di Pengadilan Agama

ini seringkali mengabulkan permohonan isbat nikah untuk pensiunan janda, karena sesuai dengan

peraturan dan kewenangan peradilan agama.76

Contoh kasus penanganan permohonan isbat nikah di lembaga Pengadilan Agama di atas

memperlihatkan bahwa pertimbangan hakim hanya melihat syarat formil dan materiil. Konsep

maslahah tidak digunakan bagi pemohon yang tidak dapat memenuhi syarat formil dan materiilnya.74 Abdurrahman dkk, Bagir Manan Ilmuwan dan Penegak Hukum (Kenangan Sebuah Pengabdian), Jakarta : Mahkamah Agung RI, 2008,

hlm.13.75 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, Cet.I , 2009, hlm.

127.76 Beberapa masalah itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas Ib Amuntai, http//www.google.com diakses pada tanggal 1 September

2013.

97

Padahal hukum dituntut oleh masyarakat sesuai dengan kemaslahatan yang kuat bagi mereka.

Sesuai kaidah:

حة )ع المصلحة الراج ت( ت �الحكم ي“hukum itu mengikuti kemaslahatan yang lebih kuat”77

Adanya perbedaan penerimaan isbat nikah oleh majelis hakim mengindikasikan adanya

perbedaan pemahaman hakim untuk menggali dan menemukan hukum. Dengan kewenangan yang telah

diberikan negara kepadanya untuk menerima persoalan, memeriksa dan memutuskan perkara, hakim

dituntut dapat mewujudkan kepastian hukum melalui pasal-pasal atau aturan-aturan yang

digunakan oleh hakim dan juga untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat dalam bentuk

terciptanya kemaslahatan bersama.

Dari paparan dan penjelasan di atas peneliti melihat bahwa banyak hakim yang telah

melihat, memeriksa, dan memutuskan perkara dengan mewujudkan unsur kepastian hukum dan juga

mempertimbangkan unsur keadilan. Kepastian hukum dapat terlihat pada putusan hakim dengan

menerapkan aturan formal yang berlaku dalam permohonan isbat nikah. Sedangkan keadilan hakim

terlihat pada pertimbangan hakim yang berpegang pada kemaslahatan dan menolak kemadharatan

dalam memutus permohonan isbat nikah.

77 Fathurrohman, Filsafat Hukum..., hlm. 79.98

Namun tidak semua hakim melakukan langkah-langkah tersebut, ada juga hakim yang hanya

ingin mewujudkan kepastian hukum dalam memutuskan perkara permohonan isbat nikah.

99

BAB V

KESIMPULAN

Banyaknya perkara permohonan isbat nikah yang masuk ke Pengadilan Agama, khususnya

terhadap perkawinan yang terjadi setelah tahun 1974 mengindikasikan bahwa ada kesepakatan

diam-diam di antara para hakim untuk menerima perkara tersebut dengan didasarkan pada

ketentuan pasal 7 ayat 2 dan 3 Kompilasi Hukum Islam yang memberikan peluang bagi pasangan

nikah sirri atau nikah di bawah tangan untuk mengisbatkan perkawinan mereka. Di antara

alasan pengajuan isbat nikah antara lain:

a. Adanya perkawinan dalam rangka perceraian.

b. Hilangnya Akta Nikah.

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974.

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut

Undang-undang No. 1 tahun 1974.

Mencermati pertimbangan hukum dari beberapa putusan atau penetapan isbat nikah di atas,

tampak bahwa alasan pengajuan isbat nikah perkawinan yang terjadi setelah tahun 1974

100

didasarkan pada poin a, b dan e. Alasan pengajuan isbat nikah mengalami perluasan menjadi

untuk mengurus Akta kelahiran dan mengurus pensiunan.

Adapun adanya permohonan isbat nikah yang tidak dapat diterima bukan terkait dengan

perkawinan yang terjadi setelah tahun 1974, tapi lebih kepada permohonan tersebut tidak

memenuhi syarat-syarat formil seperti permohonan dianggap prematur, kurangnya pihak dalam

perkara (dalam isbat poligami), error in persona, pemohon sengaja tidak mencatatkan

perkawinannya sehingga tidak memenuhi pasal 6 ayat 1 KHI, tidak menyertakan akta cerai

sebagai syarat untuk melengkapi persyaratan administrasi, perkawinan tidak jelas statusnya

dan gugatan obscuur libel.

Pada putusan atau penetapan yang diterima selanjutnya dilanjutkan pada pemeriksaan

materi perkara sehingga dihasilkan putusan atau penetapan yang dikabulkan dan ditolak.

Putusan atau penetapan dikabulkan jika rukun dan syarat terpenuhi (pasal 14-29 KHI dan pasal

6-7 UU No. 1 Tahun 1974) serta tidak ada halangan nikah sebagaimana dijelaskan pada pasal 8-

10 UU No.1 Tahun 1974 dan pasal 39-44 KHI. Adapun putusan atau penetapan isbat nikah ditolak

karena kurang atau tidak memenuhi rukun dan syarat nikah serta memiliki halangan nikah. Pada

beberapa contoh putusan atau penetapan yang ditolak di atas, pertimbangan yang digunakan

hakim antara lain karena wali nikah yang salah/cacat (No.127/Pdt.P/2010/PA.Tse), kurangnya

saksi nikah (No.0266/Pdt.P/2011/PA.Pyk), penggugat masih berstatus suami perempuan lain yang

101

belum diceraikan (No.195/Pdt.G/2011/PA.Krui), dan pemohon II masih terikat perkawinan dengan

pria lain (No.22/Pdt.P/2010/PA.Gtlo), adanya halangan nikah karena para pihak (suami atau

istri) tidak mencantumkan akta cerai resmi dari Pengadilan Agama dalam pernikahan terdahulu

yang telah putus (No.044/Pdt.P/2012/PA.ML), dan karena pemohon tidak dapat membuktikan dalil

permohonannya di persidangan (No.0162/Pdt.P/2013/PA.GM dan No.71/Pdt.P/2012/PA.Smpg,

No.014/Pdt.P/2011/PA.TBK).

Dari berbagai pertimbangan yang digunakan hakim di atas, peneliti menilai bahwa alasan

yuridis dan maqashid yang digunakan hakim dalam menerima, tidak menerima, mengabulkan dan

menolak permohonan isbat nikah mayoritas sudah tepat. Namun demikian ada bunyi pertimbangan

hukum yang terdapat kesalahan yaitu dalam menerjemahkan wali dengan P3N

(No.25/Pdt.P/2012/PA.Bkt) serta kesalahan menulis unus testis nulus testis dengan unus teslis nulus testis

(No.25/Pdt.P/2012/PA.Bkt). Kesalahan lain yang dilakukan hakim dalam pertimbangan hukumnya

adalah dalam mencantumkan pasal, mestinya tertulis pasal 4, 5 dan 6 KHI namun dalam amar

putusan tertulis UU No.1 Thn.1974 (No.195/Pdt.G/2011/PA.Krui).

Dalam kasus isbat nikah dalam rangka perceraian, hakim seharusnya melihat sah tidaknya

perkawinan yang dilakukan. Untuk mengetahui sah tidaknya perkawinan harus melalui pembuktian

materi perkawinan yang menyangkut rukun, syarat dan tidak adanya halangan nikah. Namun pada

putusan No. 52/Pdt. G/2013/PA. PP semestinya hakim memutuskan bahwa permohonan isbat nikah

102

itu ditolak, namun hakim memutus perkara tidak dapat diterima. Padahal dalam pertimbangan

hukumnya hakim menyatakan bahwa pemohon/penggugat tidak memperlihatkan akta cerai dengan

suami sebelumnya, dimana hal ini semestinya sudah masuk pada pemeriksaan materi. Oleh

karena itu hakim melakukan kesalahan dalam membuat amar putusan.

103

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman dkk, Bagir Manan Ilmuwan dan Penegak Hukum (Kenangan Sebuah Pengabdian), (Jakarta : Mahkamah

Agung RI, 2008).

Adinata, Rizki Fitrotuszakiya, Penerapan Isbat Nikah Dalam Perkawinan Poligami Menurut Hukum Islam dan UUP No 1

Tahun 1974 dalam Jurnal Hukum Tugas Akhir Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran

Bandung, 2013.

Al Shabbagh, Mahmud, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, Cet. III, (Bandung: 1994).

Al Syathibi, al Muwafaqat fi Ushul al Ahkam, jilid.III (T.Tp: Dar al Fikr, tt).

al-Jauziyah, Ibnu al-Qayyim, I’lama al-Muwaqi’in, Juz VII,( Bairut, Libanon : Dar al-Fikr,

1397H/1977M).

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006).

Andi Syamsu Alam dalam “Isbat Nikah Masih Jadi Masalah,” dikutip dari

www.hukumonline.com/baca/ho117737/itsbat-nikah-masih-jadi-masalah, diakses 30 Mei 2013.

As’ad, Abdul Rasyid, Nikah Sirri vs Isbat Nikah, artikel dalam situs www.badilag.net, diakses pada 4

September 2013.

Basith, Abdil Barid, Pihak-pihak Dalam Permohonan Isbat Nikah dalam Jurnal mimbar Hukum dan Peradilan,

Edisi No.75, 2012.

104

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, cet. X, (Yogyakarta: Press Yogyakarta, 2004).

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1986).

Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Departemen Agama RI,

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat, 1999).

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1995).

Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).

Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, cet. III, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).

Effendi, Satria, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005).

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005)..

Hasan, M Ali, Pedoman Hidup …, hlm. 56.

Http//www.google.com, Beberapa masalah itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas Ib Amuntai, diakses pada tanggal

1 September 2013.

Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Cairo : Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah Shabab al-Azhar,

1990).

Maksum, Endang Ali, Kepastian Hukum Isbat Nikah, artikel dalam situs www.litbangdiklatkumdil.net,

diakses pada 4 September 2013.

Manaf, Abdul, Refleksi beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, (Bandung : CV.Mandar Maju,

Cet.I., 2008).

105

Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Cet.I, 2006).

Mertokusumo, Soedikno, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1999).

Munawir, Ahmad Warsun, Kamus Al Munawir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997).

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).

Pelmizar, “Pengesahan Perkawinan (Pengesahan Nikah/Isbat Nikah),” tulisan dalam situs www.pta-padang.go.id,

diakses pada 4 September 2013.

Rahardjo, Satjipto, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, (Yogyakarta : Genta Publishing,

Cet.I , 2009).

Ramli, Ahmad Fatoni, Isbat Nikah dan Masalah Sosial artikel dalam situs www.pta-banten net , diakses 4

September 2013.

Ramulyo, Idris, Hukum Perkawinan Islam, Cet IV, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002).

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Cet. VI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003).

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1980).

Shofa, Laila Hasanatus, Analisis Penetapan Permohonan Isbat Nikah Setelah UU No.1 Tahun 1974 Di PA Semarang,

Skripsi Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Walisongo, 2009 dalam situs

library.walisongo.ac.id, diakses pada 4 September 2013.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2003).

106

Soeparmono, R., Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi (Bandung: Mandar Maju, 2005).

Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995).

Suhadak, Problematika Isbat Nikah Istri Poligami Dalam Penyelesaian di Pengadilan Agama, artikel dalam situs

www.badilag.net, diakses pada 4 September 2013.

Syarifudin, Amir, Garis-garis Besar Fiqh, Cet. II (Jakarta: Prenada Media, 2005).

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 388.

Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 (Surabaya: Pustaka Tintamas, t.t), hlm. 8.

Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ( Klong Kledejaya, Tahun 1990).

Usman, Suparman, Kepastian Hukum Isbat Nikah Terhadap Status Perkawinan, Status Anak Dan Status Harta Perkawinan,

artikel dalam situs www.pta-banten.net, diakses 4 pada September 2013.

UU No.7 Tahun 1989 jo.UU No.3. Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009.

UU Nomor 14 Tahun 1970 jo.UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Yatunnisa, Rifqy, Praktik Isbat Nikah Sirri (Analisis Putusan Hakim PA Jaksel No 10/Pdt.P/2008/PAJS), Skripsi S1

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2010.

107

LAMPIRAN:

TABEL 1PENETAPAN DAN PUTUSAN YANG DITERIMA DAN DIKABULKAN

No

.

No.Penetapan/

Putusan

Nama

Pengadilan

Agama

Hasil Keterangan (Pertimbangan Hakim)

1. No.105/Pdt.P/2013/

PA Bkt.

Pengadilan

Agama

Bukittingg

i

Diterima

dan

dikabulkan

Untuk memperoleh Akta Nikah.

Perkawinan sudah dilaksanakan

sesuai aturan hukum. Akibat

kelalaian petugas KUA yang tidak

memberikan akta nikah2. No.

617/Pdt.G/2010/PA.J

b.

Pengadilan

Agama

Jambi

Diterima

dan

dikabulkan

Untuk mendapatkan akta nikah.

Sesuai dengan ketentuan pasal 49

ayat (2) UU No.50 Thn. 2009 dan

sesuai dengan pasal 7 ayat (4)

KHI.3. No.07/Pdt.P/2011/

Kdi.

Pengadilan

Agama

Diterima

dan

Untuk mendapatkan akta nikah dan

pengurusan akta kelahiran anak.

108

Kendari dikabulkan4. No.0001/Pdt.P/2011/

PAWt.

Pengadilan

Agama

Wates

Diterima

dan

dikabulkan

Untuk mendapatkan akta nikah dalam

rangka mengurus akta kelahiran.

Sesuai dengan pasal 49 ayat 2 UU

No. 7 Thn. 1989 jo. Pasal 7 ayat 2

dan 3 KHI.5. No.0041/Pdt.P/2011/

PA.Tnk.

Pengadilan

Agama

Tanjung

Karang

Diterima

dan

dikabulkan

Untuk mendapatkan akta nikah dan

sebagai dasar hukum dalam rangka

penetapan ahli waris.

Sesuai dengan pasal 49 ayat (1) UU

No. 50 Thn. 2009 sebagai perubahan

kedua atas UU No.7 Thn. 1989 dan

sesuai dengan pasal 7 ayat 2, 3

(d), (e) serta ayat 4 KHI.6. No.

56/Pdt.P/2011/PA.Kd

r.

Pengadilan

Agama

Kediri

Diterima

dan

ditolak

Untuk mendapatkan akta nikah yang

baru dan mencabut akta nikah

No.0397/24NI112011.

Pemohon tidak mengetahui bahwa

109

akta nikah berlaku untuk

pengurusan akta kelahiran anak.7. No.

12/Pdt.P/2010/PA.Bs

k.

Pengadilan

Agama

Batusangka

r

Diterima

dan

ditolak

Untuk mendapatkan akta nikah dalam

rangka persyaratan mengurus akta

kelahiran.

Permohonan telah sesuai dengan

pasal 49 huruf (a) UU No.7 Thn

1989 jo. UU No. 3 thn. 2006 jo.

Pasal 7 ayat (3) huruf d dan e dan

pasal 4 KHI serta peraturan lain

tentang syarat formil berperkara.8. No.238/Pdt.G/2012/

PA.Jnp.

Pengadilan

Agama

Jeneponto

Diterima

dan

ditolak

Untuk mendapatkan akta nikah dalam

rangka perceraian.

9. No.111/Pdt.G/2010/

PA.Dbs.

Pengadilan

Agama Dabo

Singkep

Diterima

dan

ditolak

Untuk mendapatkan akta nikah orang

tua pemohon dan pengesahan pemohon

sebagai anak.

Sesuai pasal 7 ayat (2) dan (4)

110

KHI.10

.

No.99/Pdt.G/2010/

PA.Slk.

Pengadilan

Agama

Solok

Diterima

dan

ditolak

Untuk mendapatkan akta nikah dalam

rangka pengurusan surat-surat

seperti kartu keluarga, KTP, Akta

Nikah.

Sesuai pasal 7 ayat (2) KHI.

111

TABEL 2PENETAPAN DAN PUTUSAN YANG TIDAK DAPAT DITERIMA

NoNo.

Penetapan/Putusan

Nama

Pengadila

n Agama

Alasan

Pengajuan

Isbat

Nikah

Keterangan (Pertimbangan Hakim)

1. N0.055/Pdt.P/

2012/PA.Smi.

Pengadila

n Agama

Sukabumi

Untuk

mendapatk

an akta

nikah

dalam

rangka

pengurusa

n akte

kelahiran

anak

Permohonan dianggap prematur dan

tidak konsisten karena tidak

sesuai dengan realita bahwa

pemohon II (istri) tidak dalam

kondisi hamil dan belum

dikaruniai anak.

Isbat nikah bukan semata-mata

pengganti perkawinan yang tidak

dicatatkan oleh pejabat KUA

sehingga ada orang-orang yang

memilih untuk menikah dahulu

112

kemudian baru mengajukan isbat ke

Pengadilan Agama seperti halnya

perkara ini. Perkawinan dilakukan

pada 10 Maret 2012 dan diisbatkan

pada tahun yang sama yaitu 27

September 2012.2. No.0008/Pdt.P/

2011/PA.Lrt.

Pengadila

n Agama

Larantuka

Untuk

mendapatk

an akta

nikah

dalam

rangka

poligami

Pemohon I dan II tidak merubah

surat permohonan yang menjadikan

istri I dan anak dari istri II

sebagai pihak dalam perkara

permohonan isbat nikah.

3. No.

10/Pdt.P/2011/PA.S

tg

Pengadila

n Agama

Sintang

Untuk

mendapatk

an akta

nikah

Surat permohonan mengandung cacat

formil error in persona karena

diskualifikasi in person karena

identitas para pemohon berbeda

dengan identitas yang tertulis

113

dalam surat permohonan. Surat

permohonan tidak dibuat dan

ditanda tangani oleh para

pemohon.4. No.

26/Pdt.P/2013/PA.B

kt.

Pengadila

n Agama

Bukitting

gi

Untuk

mendapatk

an akta

nikah dan

keperluan

mengurus

Kartu

Keluarga

dan Akte

Kelahiran

Anak

Menimbang pasal 2 ayat 2 UU

Perkawinan No. 1 Thn 1974 jo.

Pasal 5 ayat 1 KHI bahwa untuk

menjaga ketertiban perkawinan

bagi masyarakat Islam maka

perkawinan harus dicatatkan.

Sesuai pasal 6 ayat 1 KHI bahwa

perkawinan harus dilangsungkan di

hadapan dan di bawah pengawasan

PPN. Pemohon sengaja tidak

mencatatkan perkawinannya di

hadapan dan di bawah pengawasan

PPN sehingga pemohon tidak

memenuhi maksud pasal 6 ayat 1

114

KHI.5. No.52/Pdt.G/2013/

PA.PP

Pengadila

n Agama

Padang

Panjang

Untuk

mendapatk

an akta

nikah

dalam

rangka

mengurus

akte

kelahiran

anak dan

mengurus

perceraia

n

Perkawinan penggugat (pemohon

isbat) dengan tergugat dinyatakan

tidak sah karena penggugat

berstatus janda cerai namun

penggugat tidak

melampirkan/memperlihatkan akta

cerai kepada qadhi yang

menikahkannya. Sedangkan tergugat

tidak melengkapi persyaratan

administrasinya karena masih

berstatus suami perempuan lain.

Maka dalam hal ini tergugat tidak

memenuhi pasal 2 ayat (1) dan (2)

UU No.1 Thn. 1974 jo. pasal 4 dan

5 KHI. Perkawinan penggugat dan

tergugat tidak memenuhi pasal 8

UU No.1 Thn. 1974, pasal 6 dan 14

115

KHI. Demikian juga penggugat

tidak memenuhi pasal 8 KHI

bahwasannya “putusnya perkawinan

selain cerai mati hanya dapat

dibuktikan dengan surat cerai

berupa putusan Pengadilan Agama

baik yang berbentuk putusan

perceraian, ikrar talak, khuluk

maupun putusan taklik talak.”

Perkawinan penggugat dan tergugat

tidak memenuhi pasal 9 UU No.1

Thn. 1974 yang berbunyi

“seseorang yang masih terikat

tali perkawinan dengan orang lain

tidak dapat kawin lagi, kecuali

dalam hal yang tersebut pada

pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU

No. 1 Thn. 1974.”

116

6. No. 52/Pdt.G/2013/

PA.PP

Pengadila

n Agama

Padang

Panjang

Untuk

mendapatk

an akta

nikah

guna

mengurus

akte

kelahiran

anak dan

mengurus

perceraia

n.

- Sesuai dengan pasal 2 ayat (1)

dan (2) UU No.1 Thn. 1974 jo.

Pasal 4 dan 5 KHI, bahwasannya

perkawinan dianggap sah dan

berkekuatan hukum apabila

dilaksanakan menurut hukum

Islam dan dicatat.

- Perkawinan harus memenuhi rukun

dan syarat sebagaimana

tercantum dalam pasal 8 UU No.1

Thn. 1974 dan pasal 14 KHI,

serta dilaksanakan di hadapan

dan di bawah pengawasan PPN

sesuai dengan maksud pasal 6

ayat (1) KHI.

- Berdasarkan pasal 8 KHI

bahwasannya “putusnya

perkawinan selain cerai mati

117

hanya dapat dibuktikan dengan

surat cerai berupa putusan

Pengadilan Agama baik yang

berbentuk putusan perceraian,

ikrar talak, khuluk maupun

putusan taklik talak.”

Penggugat yang mengaku sebagai

janda pada waktu menikah dengan

tergugat tidak dapat

menunjukkan surat cerai dengan

suami pertamanya kepada qadhi

yang menikahkan.

- Sesuai dengan pasal 9 KHI

bahwasannya “seseorang yang

masih terikat tali perkawinan

dengan orang lain tidak dapat

kawin lagi, kecuali dalam hal

yang tersebut pada pasal 3 ayat

118

(2) dan pasal 4 UU No. 1 Thn.

1974.” Padahal pada waktu

menikah dengan penggugat,

status tergugat adalah masih

menjadi suami perempuan lain.

- berdasarkan pasal 3 dan 4 UU

No.1 Thn. 1974 jo. Pasal 56

ayat (1) KHI bahwa suami yang

hendak beristri lebih dari 1

(satu) orang harus mendapat

izin dari Pengadilan, yang

dalam hal ini adalah Pengadilan

Agama. Sedangkan tergugat telah

melangsungkan perkawinan dengan

penggugat tanpa mendapat izin

dari Pengadilan Agama.7. No.352/Pdt.G/

2012/PA.Bkt.

Pengadila

n Agama

Untuk

mendapatk

- Dalam surat gugatan dinyatakan

bahwa penggugat menikah dengan

119

Bukitting

gi

an akta

nikah

dalam

rangka

mengurus

perceraia

n

wali hakim yang ditunjuk oleh

penggugat sendiri tanpa

sepengetahuan wali nasab yaitu

ayah kandungnya sendiri. Pada

saat menikah, penggugat dalam

kondisi hamil. Dalam

persidangan penggugat

mempertegas bahwa ia tidak

mengenal wali hakim tersebut,

sedangkan ayah kandungnya masih

hidup dan saat penggugat

menikah, ayahnya berada di

Pekanbaru Riau.

- Berdasarkan posita poin 3

gugatan penggugat dan

pernyataan penggugat di

persidangan, Majelis menemukan

fakta bahwa perkawinan

120

penggugat dan tergugat tidak

jelas status hukumnya karena

tidak sesuai dengan ketentuan

syar’I dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.8. No.08/Pdt.G/2010/

Ms.Aceh

Mahkamah

Syar’iyya

h Aceh

- Penggug

at ingin

mendapat

kan akta

nikah

yang

baru

karena

akta

nikah

yang

lama

berada

Pada posita dalam surat gugatan

penggugat tidak menguraikan

tentang kejadian-kejadian

perkawinan penggugat dan tergugat

tahun 1978, siapa saksinya, siapa

walinya, apa maharnya, status

calon suami apakah jejeka atau

duda, calon istri apakah gadis

atau janda, apakah kedua calon

pengantin memiliki hubungan darah

atau sepersusuan yang menjadi

halangan perkawinan, apakah

perkawinan itu telah dicatat oleh

121

di

tangan

tergugat

.

- untuk

mengurus

percerai

an

dengan

tergugat

.

pejabat yang berwenang. Sehingga

hakim memutuskan bahwa gugatan

ini obscuur libel (kabur).

122

TABEL 3PUTUSAN DAN PENETAPAN YANG DITERIMA DAN DIKABULKAN

NoNo.Putusan/

Penetapan

Nama

Pengadila

n Agama

Alasan

Pengajuan

Isbat

Nikah

Keterangan (Pertimbangan Hakim)

1. No.3/Pdt.P/2010/

PA.Tgrs.

Pengadila

n Agama

Tigaraksa

Untuk

meralat

tanggal

lahir dan

tanggal

nikah

yang

tertera

dalam

akta

nikah

alm.

suaminya

Berdasarkan pasal 49 ayat (2) UU

No.3 Thn 2006, sesuai dengan

kompetensi relatif dibuktikan

dengan fotocopy Surat Keterangan

Kematian dan fotocopy Akta Nikah.

Isbat nikah dapat diajukan dalam

hal-hal yang secara limitatif

diatur dalam pasal 7 ayat 3 dan 4

KHI.

Tidak ada halangan nikah

sebagaimana disebut pada pasal

8,9,10 UU No.1 Thn. 1974 jo.

Pasal 39-44 KHI. Perkawinan telah123

dan

digunakan

sebagai

syarat

mengurus

pensiun.

memenuhi rukun dan syarat

sebagaimana disebut pada pasal 14

KHI. Permohonan pemohon sudah

memenuhi pasal 2 ayat 1 dan 4 UU

No.1 Thn. 1974. Pasal 7 ayat 2

dan 3 (e) KHI.

2. No.

073/Pdt.P/2011/PA.W

no

Pengadila

n Agama

Wonosari

Untuk

mendapatk

an akta

nikah

dalam

rangka

mengurus

akta

kelahiran

Sesuai dengan kewenangan relatif

yang dibuktikan dengan fotocopy

KTP dan keterangan saksi-saksi.

Sesuai ketentuan pasal 49 ayat 1

huruf (a) UU No.7. Thn 1989 jo.

UU No. 50 Thn. 2009.

Berdasarkan bukti-bukti dan

keterangan saksi, majelis hakim

menemukan fatwa perkawinan

pemohon sudah memenuhi rukun dan

124

syarat perkawinan sebagaimana

tercantum pada pasal 8 UU No.1

Thn.1974 jo. Pasal 39-44 KHI dan

sesuai pasal 2 ayat (1) UU No. 1

Thn. 1974 jo. Pasal 7 ayat (3)

huruf d dan e KHI.

Majelis hakim mengambil alih

pendapat ahli fiqih dalam Kitab

wa ‘amirah Juz IV hal.336 yang

berbunyi: “orang yang hanya

menyatakan diri telah menikah,

menurut pendapat yang paling

shahih secara muthlaq tidak

dianggap cukup, melainkan ia

harus menerangkan: Saya menikahi

dia dengan wali orang yang baik

(benar) serta dipersaksikan oleh

dua orang saksi yang adil dan

125

atas ridhanya (mempelai wanita)

kalau memang keridhaannya memang

disyaratkan.” 3. No.105/Pdt.P/

2013/PA.Bkt.

Pengadila

n Agama

Bukitting

gi

Untuk

mendapatk

an Akta

Nikah

yang

baru.

Sebenarny

a pemohon

sudah

melaksana

kan

perkawina

n menurut

aturan

hukum,

Sesuai dengan ketentuan Pedoman

Teknis Administrasi dan Teknik

Peradilan Agama Buku II, Edisi

2009 MA RI bahwa tidak ada pihak

yang berkeberatan dengan

permohonan ini.

Kehadiran saksi secara pribadi di

persidangan dan telah didengar

sumpah serta tidak terhalang

secara hukum untuk didengar

kesaksiannya telah memenuhi

syarat formil sebagai saksi

sebagaimana disebut pada pasal

171, 174 dan 175 RB.g. keterangan

126

namun

akibat

kelalaian

petugas

KUA yang

selalu

menjanjik

an untuk

memberika

n Akta

Nikah

namun

kenyatann

ya tidak

memberika

n Akta

Nikah.

Akta

saksi juga tidak saling

berlawanan sehingga menurut

majelis hakim sudah memenuhi

syarat materiil kesaksian

sebagaimana disebut pada pasal

308 dan 309 RB.g dan bisa

dijadikan alat bukti yang sah.

Dalam persidangan ditemukan fakta

bahwa perkawinan pemohon telah

memenuhi rukun dan syarat

perkawinan sebagaimana disebut

pada pasal 7 ayat ?(3) huruf d

KHI jo. Pasal 14 KHI. Perkawinan

juga tidak melanggar halangan

nikah sebagaimana disebut pada

pasal 8-10 UU No.1 Thn. 1974 jo.

Pasal 39-44 KHI dengan demikian

sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU

127

Nikah

digunakan

untuk

mengurus

akta

kelahiran

dan

keperluan

lainnya.

No. 1 thn. 1974.

4. No.

0041/Pdt.P/2011/PA

.Tnk.

Pengadilan

Agama

Tanjungkar

ang

Akta

Nikah

hilang

sehingga

membutuhk

an Akta

Nikah

yang baru

untu

Sesuai ketentuan pasal 49 ayat

(1) UU No.7 Thn. 1989 jo. UU No.3

Thn. 2006 jo. UU No.50 Thn. 2009

jo. Pasal 7 ayat 2, 3 (d) dan (e)

serta ayat 4 KHI.

Berdasarkan bukti-bukti dan

keterangan saksi-saksi di bawah

sumpah ditemukan fakta-fakta

bahwa perkawinan pemohon sah.

128

mengurus

penetapan

ahli

waris.

Dalil-dalil pembuktian pemohon

dinyatakan sudah cukup bukti dan

beralasan hukum sudah sesuai

dengan pasal 283 RBg.5. No.106/Pdt.G/

2012/PA.Pkc.

Pengadila

n Agama

Pangkalan

Kerinci

Untuk

mendapatk

an Akta

Nikah

dalam

rangka

mengajuka

n

perceraia

n

(akumulas

i

gugatan)

Tergugat Meskipun Telah Dipanggil

Secara Sah Dan Patut, Tidak

Menyuruh Orang Lain Sebagai

Wakil/Kuasanya Yang Sah Untuk

Hadir Di Persidangan, Namun

Demikian Dan Ketidakhadirannya

Tersebut Disebabkan Halangan Yang

Sah, Maka Perkara Ini Dapat

Diperiksa Dan Diputus Tanpa

Hadirnya Tergugat, Sebagaimana

Disebut Pada Pasal 149 Ayat (1)

R.Bg.

Tergugat Tidak Hadir Di

Persidangan Sehingga Tidak Bisa

129

Dilakukan Upaya Mediasi

Sebagaimana Ketentuan Peraturan

Mahkamah Agung RI No. 1 Thn 2008.

Sesuai Ketentuan Pasal 154 Ayat

(1) R.Bg, Pasal 31 PP No.9 Thn.

1975 Jo. Pasal 82 Ayat (1) Dan

Ayat (4) UU No. 50 Thn. 2009 Jo

Pasal 143 Ayat (1) Dan (2)

Inpres No.1 Thn. 1991 bahwa

majelis hakim telah mengadakan

perdamaian antara penggugat dan

tergugat namun sampai putusan

dijatuhkan perdamaian gagal

dilaksanakan. Sesuai ketentuan

pasal 7 ayat (3) huruf (a) KHI.

Bahwa alasan pengajuan isbat

nikah adalah dalam rangka

perceraian.

130

Berdasarkan fakta di persidangan

didapatkan bahwa saksi-saksi

sudah memenuhi syarat formil dan

materiil berdasarkan pasal 172,

307, 308, 309 R.Bg. perkawinan

antara penggugat dan tergugat

sudah memenuhi rukun dan syarat

perkawinan sebagaimana 6. No.2/Pdt.P/2010/

PA. Bky

Pengadila

n Agama

Bengkayan

g

Akta

Nikah

Hilang

Sehingga

Ingin

Mendapatk

an Akta

Nikah

yang baru

guna

Dalil yang diajukan pemohon pada

posita no. 1-9 sesuai dengan

pasal 49 ayat (2) UU No.7

Thn.1989 yang diubah menjadi UU

No.3 Thn. 2006 dan diubah lagi

menjadi UU No.50 Thn. 2009 dan

penjelasannya angka (22) jo.

Pasal 7 ayat 2 dan 3 huruf (d)

KHI.

-Untuk menghindari penyelundupan

131

mengurus

uang duka

dan

mengurus

SK

Pensiun

janda

atas nama

pemohon

hukum dan poligami liar,

permohonan isbat nikah bisa

diajukan secara contentius oleh

suami atau istri secara terpisah

dengan mendudukkan suami atau

istri yang tidak mengajukan atau

ahli waris apabila salah satu

pihak, suami atau istri telah

meninggal dunia sebagai pihak

lawan (termohon).

Karena pemohon tidak mencantumkan

ahli waris lain dan tidak mungkin

melakukan penyelundupan hukum dan

poligami tanpa prosedur maka

perkara ini ditangani secara

voluntair.

Bukti-bukti dan persaksian di

persidangan yang sudah sesuai

132

dengan syarat formil dan

materiil, perkawinan pemohon

telah memenuhi rukun dan syarat

sebagaimana disebut dalam pasal 2

ayat (1) UU No.1 Thn. 1974jo.

Pasal 14-38 KHI. Sejalan dengan

ibarat dalam Kitab I’anatut Thalibin

Juz IV hal. 254 yang berbunyi:

“Pengakuan seorang bahwa ia sudah

menikah dengan seorang perempuan

harus dapat menyebutkan sahnya

pernikahan yang lalu, umpamanya

adanya wali nikah dan dua orang

saksi yang adil.”7. No.001/Pdt.P/

2013/PA.Plh

Pengadila

n Agama

Pelaihari

Untuk

mendapatk

an Akta

Nikah

Sesuai dengan penjelasan pasal 49

ayat (1) angka (22) UU No.7 Thn.

1989 jo. UU No.3 Thn. 2006 jo. UU

No.50 Thn. 2009 jo. Pasal 7 ayat

133

dalam

rangka

mengurus

Akta

Kelahiran

anak.

2, 3 KHI tentang kewenangan

Pengadilan Agama dalam pengesahan

nikah. Sesuai dengan pasal 7 ayat

3 huruf (c) yakni menyatakan sah

atau tidaknya salah satu syarat

perkawinan serta bukti yang ada

(Surat Keterangan Domisili

Pemohon I dan II) menyatakan

kewenangan Pengadilan Agama

Pelaihari memeriksa perkara

tersebut.

Sesuai dengan doktrin hukum Islam

yang tercantum dalam Kitab

I’anatut Thalibin Juz IV hal. 254

yang berbunyi: “Pengakuan seorang

bahwa ia sudah menikah dengan

seorang perempuan harus dapat

menyebutkan sahnya pernikahan

134

yang lalu, umpamanya adanya wali

nikah dan dua orang saksi yang

adil.”

Juga terdapat dalam Kitan

Bughyatul Mustarsyidin hal. 298

yang berbunyi:”maka jika telah

ada saksi-saksi yang menyaksikan

atas perempuan itu yang sesuai

dengan permohonannya itu, maka

tetaplah pernikahannya itu.

Berdasarkan fakta-fakta di

persidangan disimpulkan bahwa

perkawinan pemohon telah memenuhi

rukun dan syarat.

Alasan permohonan pemohon sudah

sesuai dengan maksud pasal 2 ayat

(1) UU No1 Thn.1974 jo. Pasal 7

ayat 3 huruf (e) dan ayat 4 KHI.

135

8. No.16/Pdt.G/2013/

PA.Trk

Pengadila

n Agama

Tarakan

Tidak

mempunyai

Akta

Nikah

karena

tidak

memiliki

biaya.

Akta

Nikah

digunakan

untuk

mengurus

Akta

Kelahiran

.

Sesuai dengan UU No.23 Thn 2006

tentang Administrasi Kependudukan

pada pasal 3 disebutkan “setiap

penduduk wajib melaporkan

peristiwa kependudukan dan

peristiwa penting yang dialaminya

kepada Instansi Pelaksana dengan

memenuhi persyaratan dalam

pendaftaran penduduk dan

pencatatan sipil.” Yang kemudian

dijelaskan pada pasal 35 huruf

(a) bahwa “pencatatan perkawinan

berlaku pula pada pencatatan

perkawinan yang ditetapkan oleh

pengadilan” yang proses

pencatatannya diatur dalam pasal

36 bahwa “dalam hal perkawinan

136

tidak dapat dibuktika dengan Akta

Perkawinan, pencatatan perkawinan

dilakukan setelah adanya

penetapan pengadilan.

Sesuai dengan pasal 49 UU No.7

Thn. 1989 yang diamandemen

menjadi UU No.3 Thn.2006 maka

perkara tersebut termasuk

kewenangan Pengadilan Agama

Tarakan. Sesuai dengan bukti-

bukti berupa KTP dan KK bahwa

pemohon adalah penduduk sah kota

tarakan dan menjadi yurisdiksi

Pengadilan Agama Tarakan.

Perkawinan pemohon telah memenuhi

rukun dan syarat perkawinan serta

tidak adanya halangan nikah.

Sesuai dengan Kitan Al-anwar

137

Jilid II hal. 146 yang berbunyi

sebagai berikut:”jika seorang

wanita mengaku telah dinikah oleh

seorang pria, maka dapatlah

diterima pengakuannya itu, baik

yang berhubungan dengan

penuntutan, mahar, nafkah,

warisan atau yang tidak

berhubungan dengan itu.”

Alasan pengajuan isbat nikah

sesuai dengan pasal 7 ayat 3

huruf (e) KHI. 9. No.09/Pdt.P/2011/

PA.Ktb

Pengadila

n Agama

Kotabumi

Untuk

mendapatk

an Akta

Nikah

Permohonan sudah sesuai dengan

perundang-undangan yang berlaku.

Alat bukti berupa surat-surat dan

saksi-saksi telah memenuhi syarat

formil dan materiil. Perkawinan

pemohon sudah memenuhi rukun dan

138

syarat perkawinan, sesuai dengan

mafhum ibarat pada Kitan I’anatut

Thalibin juz IV hal.254. sesuai

dengan mafhum ibarat dalam Kitab

Mughnil Mumtaz juz 12 hal.125

yang berbunyi:”dan diterima

pengakuan perempuan yang sudah

baligh dan berakal tentang

pernikahannya dengan seseorang,

menurut qaul jadid. Perkawinan

pemohon tidak melanggar larangan

agama sebagimana disebutkan pada

pasal 9-10 UU No.1 Thn. 1974

(hakim menuliskannya pasal 19-10)

jo. pasal 39-44 KHI. Permohonan

sudah sesuai dengan pasal 7 ayat

3 huruf (e) dan pasal 4 KHI.

Sesuai dengan pasal 2 ayat (1)

139

dan (2) UU No.1 Thn. 1974 serta

pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI

perkawinan harus dilaksanakan

secara sah dan dicatat di hadapan

pejabat yang berwenang. Sesuai

dengan pasal 7 ayat 3 huruf

a,b,c,d dan e.10

.

No.005/Pdt.P/

2012/PA.

Tbnan.

Pengadila

n Agama

Tabanan

Untuk

mendapatk

an Akta

Nikah

sebagai

bukti

adanya

pernikaha

n antara

para

pemohon.

Sesuai dengan ketentuan pasal 49

huruf (a) UU No.7 Thn 1989 yang

dirubah terakhir menjadi UU No.50

Thn. 2009 jo. Pasal 7 ayat (2)

KHI permohonan isbat nikah dapat

diterima dan dilanjutkan

pemeriksaannya.

Sesuai dengan penjelasan pasal 49

huruf (a) butir 22 UU No.7

Thn.1989 yang diubah menjadi UU

No.3 Thn 2006 tentang kewenangan

140

PA dalam hal pernyataan tentang

sahnya perkawinan hanya dibatasi

untuk perkawinan yang terjadi

sebelum 1974.

Realitas di lapangan banyak

perkawinan yang terjadi setelah

1974 dan yang tidak bisa

dibuktikan dengan akta nikah

membutuhkan penanganan yang

mendesak bagi terselesaikannya

berbagai masalah dan kepentingan

sosial kemasyarakatan. Hal ini

ditandai dengan banyaknya perkara

isbat nikah yang masuk ke PA

Tabanan.

Dalam persidangan terungkap bahwa

pemohon sebenarnya telah

melakukan upaya untuk

141

mendaftarkan pernikahannya

melalui aparat desa yang biasa

mengurus namun ternyata

persyaratan yang telah diserahkan

oleh para pemohon tidak

diteruskan ke KUA setempat,

sehingga tidak tercatatnya

perkawinan pemohon adalah di luar

kemampuan para pemohon.

Menimbang pasal ayat 5 ayat (1)

UU No.48 Thn.2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib

menggali, mengikuti dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam

masyarakat.

Pasal 7 ayat (3) huruf e KHI

telah memperluas kewenangan PA

142

dalam perkara pengesahan nikah

yakni meliputi perkawinan yang

dilakukan oleh mereka yang tidak

mempunyai halangan perkawinan

menurut UU No.1 Thn.1974 maka

permohonan pengesahan perkawinan

yang dilakukan oleh para pemohon

telah sesuai dengan ruh dan

semangat ketentuan-ketentuan

sebagaimana tersebut di atas.

Sesuai dengan pasal 63 ayat (1)

huruf a UU No1.Thn 1974 jo. Pasal

49 ayat a UU No.50 Thn. 2009

perkara ini termasuk kewenangan

PA Tabanan.

Terpenuhi syarat dan rukun

perkawinan. Dan tidak ada

halangan nikah sebagaimana

143

tersebut dalam pasal 39 KHI atau

pernikahan yang diancam dengan

pembatalan atau dapat dibatalkan

sebagaimana tersebut dalam pasal

70 dan 71 KHI.

Majelis hakim mengemukakan dalil

syar’i yang terdapat dalam Kitab

I’anatut Thalibin juz IV hal.254.

Berdasarkan fakta-fakta di

persidangan, dengan melihat bahwa

perkawinan telah memenuhi syarat

dan rukun Islam dinyatakan

sebagai pernikahan yang sah

mempunyai kepentingan yang nyata

dan dengan memperhatikan

ketentuan pasal 2 UU No 1 Thn.

1974 jo.pasal 4 dan pasal 7 ayat

144

1,2 dan 3 huruf (e) KHI.

145

TABEL 4PUTUSAN DAN PENETAPAN YANG DITERIMA DAN DITOLAK

NoNo.Putusan/

Penetapan

Nama

Pengadila

n Agama

Alasan

Pengajuan

Isbat

Nikah

Keterangan (Pertimbangan Hakim)

1. No.044/Pdt.P/

2012/PA.ML

Pengadila

n Agama

Muara

Labuh

Untuk

mendapatk

an Akta

Nikah

Sesuai pasal 7 ayat (1) dan (2)

bahwa perkawinan harus dapat

dibuktikan dengan Akta Nikah yang

dibuat oleh PPN dan dalam hal

perkawinan tidak dapat dibuktikan

dengan Akta Nikah maka dapat

diajukan isbat nikahnya.

Alasan isbat nikah hanya apabila

sesuai dengan pasal 7 ayat (3) a-

e KHI.

Bukti berupa akta cerai di bawah

tangan tidak memiliki kekuatan

hukum, sebagaimana bunyi pasal146

114 KHI, bahwa perceraian hanya

dapat dilakukan di depan sidang

Pengadilan Agama, karena itu

pemohon II (istri) dianggap masih

menjadi pria lain.

Menurut majelis hakim, para

pemohon telah bertindak tidak

sesuai hukum dan tidak

ber’iktikad baik, oleh karenanya

tidak berhak memperoleh

perlindungan hukum.

Majelis hakim berpendapat bahwa

kondisi kota Solok yang ada saat

ini dimana transportasi lancar,

dengan infrastruktur yang memadai

sehingga tidak sepantasnya

menjadi alasan pemohon untuk

mengenyampingkan peraturan

147

perundang-undangan. 2. No.014/Pdt.P/2011/

PA.TBK

Pengadila

n Agama

Tanjung

Balai

Karimun

Untuk

mendapatk

an Akta

Nikah

dalam

rangka

mengurus

Akta

kelahiran

anak.

Permohonan pemohon telah sesuai

dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, oleh

karena itu permohonan pemohon

secara formil dapat diterima.

Berdasarkan ketentuan pasal 49 UU

No.7 Thn 1989 jo.UU No.3 Thn.2006

jo.UU No. 50 Thn 2009 dan alat

bukti KTP pemohon bahwa perkara

ini menjadi kewenangan PA Tanjung

Balai Karimun.

Dalam persidangan para pemohon

tidak dapat menghadirkan alat

bukti yang cukup (saksi-saksi)

yang mendukung dalil

permohonannya, namun demikian

pemohon tetap tidak mau

148

mengahadirkan alat bukti tersebut

sehingga hakim berkesimpulan

bahwa permohonan tersebut

ditolak.

3. No.22/Pdt.P/2010/

PA.Gtlo.

Pengadila

n Agama

Gorontalo

Untuk

mendapatk

an Akta

Nikah

Menimbang bahwa dalam surat

permohonannya, pemohon I dan II

menyatakan bahwa masing-masing

berstatus janda dan duda, namun

dalam persidangan pemohon I

mengaku bahwa pada saat menikah

dengan pemohon II dia masih

terikat perkawinan dengan pria

lain yang telah meninggalkannya

selama lebih dari 2 tahun.

Berdasarkan pengakuan tersebut

maka pemohon I telah melanggar

larangan nikah pasal 40 ayat (1)

149

KHI. Karena perkawinan pemohon

sudah melanggar halangan nikah

menurut UU No.1 Thn. 1974, maka

perkawinan tersebut tidak bisa

diisbatkan, sebagaimana ketentuan

pasal 7 ayat 3 huruf (e) KHI.

4. No.25/Pdt.P/2012/

PA.Bkt

Pengadila

n Agama

Bukitting

gi

Untuk

mendapatk

an Akta

Nikah

dalam

rangka

mendapatk

an Akta

Kelahiran

Sesuai dengan ketentuan Teknis

Administrasi dan Teknis Peradilan

Agama Buku II Edisi 2009 MA RI,

bahwa tidak ada pihak yang merasa

dirugikan atas perkara ini maka

perrkara ini bisa diterima dan

dilanjutkan untuk diperiksa.

Alasan pengajuan isbat nikah

telah sesuai dengan pasal 7 ayat

1 dan 4 KHI.

Karena hanya ada satu saksi di

150

persidangan dan telah diambil

keterangan dengan diambil

sumpahnya, maka hakim

berkesimpulan bahwa satu saksi

sama dengan tidak ada saksi (Unus

Testis Nulus Testis, tapi dalam

putusan tertulis unus teslis

nulus testis), dengan demikian

saksi tidak memenuhi syarat

formil, selain itu keterangan

saksi tidak sesuai dengan dalil

pemohon I dan II, karena menurut

saksi P3N dari pihak keluarga

pria dan saksi nikah tidak

diketahui sehingga secara formil

dan materiil alat bukti saksi

tidak dapat diterima.

Dalam persidangan ditemukan fakta

151

bahwa saksi tidak kenal dengan

ayah pemohon II (mempelai wanita)

apakah masih hidup atau sudah

meninggal saat pemohon menikah.

Menurut sepengetahuan saksi P3N

dari Pemohon I dan II berasal

dari keluarga mempelai pria.

Saksi tidak mengetahui saksi

perkawinan dan mahar perkawinan

pemohon I dan II.

Majelis hakim menggunakan dalil

berupa hadis yang

berbunyi:”diterima dari Aisyah,

ia telah berkata bahwa Rasulullah

SAW pernah berkata: perempuan

mana yang menikah tanpa izin

walinya, maka perkawinannya

adalah batal. (HR Arba’ah kecuali

152

An-Nasa’i, Abu Awanah, Ibnu

Hibban dan Al-Hakim

menshahihkannya).

Hadis Nabi SAW yang

artinya;”Diterima dari Abdullah

bin Mas’ud, ia telah berkata

bahwa Rasulullah SAW pernah

bersabda: tidak sah menikah

kecuali adanya P3N dan dua orang

saksi (HR Daruquthni dan al-

Baihaqy).

Pendapat ahli fiqh dari kalangan

madzhab Syafi’I diambil alih oleh

majelis hakim bahwa rukun

perkawinan ada 5 yaitu calon

mempelai pria, calon mempelai

wanita, P3N, dua orang saksi dan

ijab kabul, sebagaimana

153

diungkapkan oleh Abdurrahman al-

Jaziry dalam kitab Al-Fiqh ‘ala

Madzahibul Arba’ah bahwa menurut

ahli fiqh dari kalangan madzhab

Syafi’I bahwa rukun nikah ada 5

yaitu calon mempelai pria, calon

mempelai wanita, P3N, dua orang

saksi dan ijab kabul.

Berdasarkan pembuktian yang

diajukan pemohon I dan II

dikaitkan dengan peraturan

perundang-undangan dan hukum

syara’ maka perkawinan pemohon I

dan II belum memenuhi rukun dan

syarat perkawinan, karena

walaupun sudah ada wali tapi

pemohon I dan II tidak dapat

membuktikan dalil permohonannya.

154

Menimbang bahwa sesuai kaidah

fiqh “bagi seseorang yang

mendalilkan sesuatu tapi dia

tidak dapat membuktikan dalilnya

maka permohonannya ditolak.5. No.

26/Pdt.P/2012/PA.T

R

Pengadila

n Agama

Tanjung

Redeb

Untuk

mendapatk

an Akta

Nikah

dalam

rangka

mengurus

Akta

Kelahiran

anak.

Sesuai dengan pasal 49 huruf a UU

No.7 Thn.1989 yang diubah menjadi

UU No.3 Thn. 2006 dan perubahan

kedua UU No.50 Thn. 2009 maka

perkara ini menjadi wewenang

Pengadilan Agama.

Bukti-bukti berupa surat-surat

(Surat Pernyataan Telah menikah

dan Kartu Keluarga) dianggap sah.

Berdasarkan fakta di persidangan

diketahui bahwa wali dari pemohon

II adalah pamannya, padahal ia

masih memiliki kakak kandung

155

laki-laki, maka berdasarkan pasal

6 ayat (4) UU No.1 Thn. 1974

jo.pasal 21 KHI, paman tidak

berhak menjadi wali nikah

sepanjang masih ada saudara

kandung laki-laki. Oleh karena

itu perkawinan pemohon I dan II

dianggap belum memenuhi rukun dan

syarat perkawinan.

Berdasarkan ketentuan pasal 2

ayat (2) UU No.1 Thn. 1974 maka

diwajibkan kepada pemohon I dan

II untuk melakukan akad nikah

yang baru dengan dicatatkan pada

PPN KUA Kec. Pulau Derawan

sebagaimana domisili para

pemohon.6. No.71/Pdt.P/2012/ Pengadila Untuk Berdasarkan bukti berupa KTP dan

156

PA.Smpg n Agama

Sampang

mendapatk

an Akta

Nikah

dalam

rangka

mengurus

Akta

Kelahiran

anak.

KK para pemohon berada di wilayah

yuridiksi Pengadilan Agama

Sampang karena itu PA Sampang

berhak memeriksa dan mengadili

perkara ini.

Dalil pemohon yang menyatakan

bahwa telah terjadi perkawinan

yang dihadiri 3 orang saksi,

dikuatkan dan dibenarkan oleh

keterangan saksi. Wali nikahnya

adalah ayah kandung pemohon II,

namun 3 orang saksi tersebut

tidak mengetahui siapa yang

bertindak sebagai wali dan siapa

saja saksinya.oleh karena itu

dalil pemohon tentang adanya wali

dan saksi tidak terbukti.

Mengingat bahwa wali dan saksi

157

adalah rukun dalam perkawinan

sebagaimana pasal 14 KHI huruf

(c) dan (d), sedangkan dalam

perkara a quo tidak terbukti wali

dan saksi-saksinya maka majelis

hakim menyimpulkan bahwa

perkawinan tersebut tidak

memenuhi rukunnya karena itu

patut ditolak. 7. No.127/Pdt.P/

2010/PA.Tse

Pengadila

n Agama

Tanjung

selor

Untuk

mendapatk

an Akta

Nikah

dalam

rangka

mengurus

Akta

Kelahiran

Berdasarkan surat permohonan

pemohon menikah di hadapan

sesorang bernama Hasan yang juga

bertindak sebagai wali hakim,

pemohon tidak mengetahui apakah

Hasan itu penghulu resmi atau

penghulu liar, dia juga tidak

berhak menjadi wali hakim.

Perkawinan pemohon tidak memenuhi

158

rukun dan syarat perkawinan

sebagaimana terdapat pada pasal

19-23 KHI yakni persyaratan wali

nikah serta Peraturan Menteri

Agama RI No. 2 Thn. 1987 tentang

Wali Hakim, sehingga dengan

demikian perkawinan antara

pemohon I dan II tidak sesuai

dengan hukum Islam dan peraturan

yang berlaku karena cacatnya

wali. Anak-anak yang dilahirkan

dari perkawinan tersebut tetap

dinasabkan kepada kedua orang

tuanya sebagaimana dinyatakan

dalam dalil fiqhiyyah dalam Kitab

Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu

Juz V hal 690 yang diambil alih

oleh majelis hakim sebagai

159

berikut: “pernikahan baik yang

sah maupun yang fasid adalah

merupakan sebab untuk menetapkan

nasab di dalam suatu kasus. Maka

apabila telah nyata terjadi suatu

pernikahan, walaupun pernikahan

itu fasid (rusak) atau pernikahan

yang dilakukan secara adat, yang

terjadi dengan cara-cara akad

tertentu (tradisional) tanpa

didaftarkan di dalam akta

pernikahan secara resmi, dapatlah

ditetapkan bahwa nasab anak yang

dilahirkan oleh perempuan

tersebut sebagai anak dari suami

istri yang bersangkutan.8. No.195/Pdt.G/

2011/PA.

Pengadila

n Agama

Untuk

mendapatk

Berdasarkan UU No.1 Thn 1974

pasal 4 bahwasannya perkawinan

160

Krui Krui an Akta

Nikah

dalam

rangka

mengurus

perceraia

n )

adalah sah apabila dilakukan

menurut hukum Islam sesuai dengan

pasal 2 ayat (1) UU No.1 Thn

1974. Pasal 5 ayat (1) agar

terjamin ketertiban perkawinan

bagi masyarakat Islam setiap

perkawinan harus dicatat. Ayat

(2) pencatatan perkawinan

tersebut pada ayat (1), dilakukan

oleh Pegawai Pencatat Nikah

sebagaimana yang diateur dalam UU

No. 22 Tahun 1946 jo. UU No. 32

Thn. 1954. Pasal 6 ayat (1) untuk

memenuhi ketentuan dalam pasal 5,

setiap perkawinan harus

dilangsungkan di hadapan dan di

bawah pengawasan PPN. Pasal 6

Ayat (2) perkawinan yang

161

dilakukan di luar pengawasan PPN

tidak mempunyai kekuatan hukum.

Menimbang berdasarkan pasal-pasal

tersebut di atas dan berdasarkan

dalil-dalil gugatan penggugat,

ternyata perkawinan yang

dilakukan oleh penggugat dan

tergugat adalah perbuatan melawan

hukum, karena tergugat masih

berstatus suami perempuan lain

yang belum diceraikan tergugat

dan juga perkawinan tersebut

tidak dilangsungkan di hadapan

pejabat yang berwenang sehingga

pelaksanaan perkawinan tersebut

bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

(dalam amar putusan terdapat

162

kesalahan pada penulisan

pertimbangan hukum yang

digunakan, mestinya tertulis

pasal 4,5 dan 6 KHI, namun

ditulis UU No.1 Thn.1974)9. No.0266/Pdt.P/

2011/PA.Pyk

Pengadila

n Agama

Payakumbu

h

Untuk

mengurus

segala

keperluan

yang

terkait

dengan

Akta

Nikah

Permohonan telah sesuai dengan

pasal 49 ayat a UU No.7 Thn 1989

yang diubah menjadi UU No.3 Thn

2006 dan perubahan kedua UU No.50

thn. 2009 sehingga secara formil

sudah memenuhi ketentuan yang

berlaku. Berdasarkan Pedoman

Teknis administrasi dan Teknis

Peradilan Agama Buku II Edisi

Revisi tahun 2010 MA RI bahwa

permohonan pemohon sudah sesuai,

tidak ada pihak yang

keberatan/dirugikan dengan

163

permohonan tersebut maka perkara

bisa diperiksa. Alasan permohonan

isbat nikah adalah sesuai dengan

pasal 7 angka 2 dan 4 KHI

sehingga pengadilan Agama

berwenang memeriksa dan

menetapkan perkara ini. Terhadap

alat bukti dalam persidangan

berupa dua orang saksi, majelis

berpendapat bahwa keduanya telah

memenuhi persyaratan formil

karena hadir secara pribadi (in

person) di persidangan, telah

memberikan keterangan di bawah

sumpah, tidak terhalang secara

hukum untuk didengar

kesaksiannya, dan diperiksa satu

per satu. Secara materiil

164

kesaksian saksi I dan II saling

bersesuaian satu sama lain

sehingga sesuai dengan pasal 171-

176 R.Bg jo. Pasal 308-309 R. Bg

sehingga secara formil dan

materiil alat bukti saksi yang

diajukan dapat diterima.

Berdasarkan keterangan saksi di

persidangan ditemukan fakta bahwa

saksi perkawinan hanya satu orang

dan wali nikahnya adalah ayah

kandung pemohon II. Pemohon I

adalah bujang dan pemohon II

adalah gadis. Perkawinan pemohon

I dan II tidak memiliki halangan

nikah baik secara agama maupun

adat. Tidak ada gugatan terhadap

perkawinan keduanya. Perkawinan

165

yang sah adalah sebagaimana yang

disebut pada pasal 2 ayat (1) UU

No.1 Thn 1974. Keabsahan suatu

perkawinan adalah terpenuhinya

rukun nikah yaitu kedua mempelai,

wali, dua orang saksi, ijab kabul

sebagaimana dimaksud pada pasal

14 KHI.

Keabsahan suatu perkawinan juga

harus terpenuhi syarat-syarat

nikah bahwa tidak ada mahram al-

nikah antara calon mempelai baik

selama-lamanya maupun sementara

sebagaimana dimaksud pada pasal

8-10 UU No.1 Thn. 1974.

Berdasarkan dalil-dalil para

pemohon dikaitkan dengan

ketentuan perundang-undangan maka

166

perkawinan pemohon I dan II

kurang memenuhi rukun nikah

karena saksi hanya terdiri dari 1

orang, sementara ayah kandung

pemohon II bertindak sebagai wali

nikah, sehingga tidak bisa

dijadikan saksi nikah. Dengan

demikian majelis hakim

berkesimpulan bahwa permohonan

isbat nikah para pemohon ditolak.10

.

No.0162/Pdt.P/

2013/PA.GM

Pengadila

n Agama

Giri

Menang

Untuk

mendapatk

an Akta

Nikah

sebagai

kelengkap

an

identitas

Menimbang bahwa dari posita

pemohon I dan II, majelis hakim

menilai bahwa pemohon I dan II

mendalilkan telah melaksanakan

perkawinan secara syari’at Islam

dengan wali nikah ayah kandung

yang berwakil pada kakeknya dan

dihadiri lebih dari dua orang

167

diri dan

status

anak-anak

yang

dilahirka

n serta

mohon

berperkar

a secara

cuma-cuma

(prodeo)

saksi. Namun pemohon tidak dapat

membuktikan dalil-dalil

permohonannya tersebut maka

permohonannya ditolak oleh

majelis hakim.

168