ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM DALAM PENETAPAN PERKARA PERMOHONAN ISBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA
-
Upload
iain-pekalongan -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
Transcript of ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM DALAM PENETAPAN PERKARA PERMOHONAN ISBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA
ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM DALAM PENETAPAN PERKARA PERMOHONAN ISBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena perkawinan sirri atau perkawinan di bawah tangan masih banyak terjadi di kalangan
masyarakat kita, baik yang dilakukan oleh masyarakat biasa maupun figur-figur yang dikenal
publik. Isu-isu seputar perkawinan sirri masih menjadi bahan perbincangan banyak pihak, apalagi
jika praktik tersebut dilakukan oleh orang-orang yang memang dikenal luas oleh masyarakat. Yang
terbaru dan paling menyita perhatian adalah kasus perkawinan sirri antara Machicha Muchtar dan
Moerdiono. Kasus ini bahkan sampai melibatkan Mahkamah Konstitusi, karena pihak Machicha Muchtar
mengajukan Judicial Review terhadap pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Mahkamah Konstitusi bahkan mengabulkan permohonan Machicha dengan melakukan amandemen terhadap
pasal tersebut sehingga bunyi pasalnya menjadi berubah dan menguntungkan pelaku perkawinan
sirri.1
Pada hakikatnya perkawinan sirri dari perspektif agama adalah sah, jika rukun dan syaratnya
terpenuhi. Namun demi menjaga ketertiban, negara berhak mengatur masalah perkawinan, sehingga
perkawinan hendaknya dicatatkan pada Petugas Pencatat Perkawinan (bagi orang Islam). Hal ini
sesuai dengan bunyi pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 bahwa “tiap-tiap perkawinan
1Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa anak yang lahir di luar kawin mempunyai akibat hukum denganayah biologisnya, tidak lagi hanya dengan keluarga ibu.
1
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.2 Kemudian dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 pada Bab II, pasal 2 dan 3, masalah pencatatan perkawinan dijelaskan kembali.3
Bagi pihak yang tidak mencatatkan perkawinannya, secara hukum negara perkawinannya dianggap
tidak memiliki kekuatan hukum. Artinya jika sesuatu yang buruk menimpa perkawinannya, seperti
suami tidak mau mengakui adanya perkawinan, atau suami tidak mau bertanggung jawab terhadap hak-
hak istri atau anaknya (hak keperdataan), maka negara tidak akan melindungi hak-hak mereka. Pada
kasus seperti ini pihak yang banyak mendapatkan kerugian adalah perempuan dan anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut. Di antara hak-hak perempuan dan anak-anak yang tidak bisa
dituntut adalah hak waris, nafkah dan perwalian.
Perlunya pencatatan perkawinan juga ditegaskan dalam pasal 9 ayat (1, 2 dan 3) Undang-undang
Tentang Administrasi Kependudukan (UU No. 23 Thn 2006) yang intinya bahwa instansi pelaksana yang
memiliki kewenangan dalam memperoleh data-data mengenai peristiwa kependudukan, peristiwa penting
yang dialami penduduk termasuk di dalamnya adalah Kantor Urusan Agama khususnya untuk pencatatan
nikah, talak, cerai dan rujuk, khususnya bagi penduduk yang beragama Islam. Pentingnya pencatatan
nikah tidak sekedar pernyataan bahwa perkawinan telah sah di mata hukum negara, akan tetapi
keberadaannya akan berimplikasi pada status anak, istri dan harta selama perkawinan. Bagi
2 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 (Surabaya: Pustaka Tintamas, t.t), hlm. 8.3 Pasal 2 dan 3 masing-masing terdiri dari 3 ayat.
2
perkawinan yang belum dicatatkan atau tercatat di KUA, maka untuk menghindari dampak negatifnya
yaitu dengan menempuh solusi hukum atas perkawinannya yaitu dengan mengajukan permohonan
pengesahan perkawinan (isbat nikah) ke Pengadilan Agama pada wilayah di mana mereka bertempat
tinggal atau tempat di mana mereka melangsungkan perkawinan. Hal ini selain bertujuan agar
perkawinannya diakui negara, juga agar perkawinannya memiliki kepastian hukum.
Isbat nikah adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah.4 Isbat nikah kadang-kadang
menggunakan istilah pengesahan perkawinan atau pengesahan nikah, namun dalam penelitian ini
peneliti menggunakan istilah isbat nikah. Permohonan isbat nikah bisa diajukan oleh pihak-pihak
yang berkepentingan (suami, istri, anak-anak mereka, wali nikah)5 ke Pengadilan Agama. Dengan
diterbitkannya putusan atau penetapan isbat nikah dan dengan berpegang padanya, maka pelaku
perkawinan sirri (tidak tercatat) berhak mendapatkan Akta Nikah dari Kantor Urusan Agama di mana
mereka melangsungkan perkawinan.
Secara yuridis, permohonan isbat nikah mestinya diajukan oleh pasangan yang perkawinannya
dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-Undang No.1 tahun 1974. Hal ini sebagaimana disebutkan
dalam penjelasan pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo.UU No.3 Tahun 2006 jo.UU No. 50 Tahun
2009 bahwa salah satu kewenangan Pengadilan Agama dalam bidang perkawinan adalah mengeluarkan
4 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 388.5 Pasal 7 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam.
3
pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun 1974 dan dijalankan
menurut peraturan lain.6
Akan tetapi, realitanya banyak perkawinan yang dilakukan setelah tahun 1974 namun permohonan
isbat nikahnya diterima dan dikabulkan oleh Pengadilan Agama. Hal ini sejalan dengan apa yang
diungkapkan oleh Andi Syamsu Alam (Ketua Muda Uldilag Mahkamah Agung) berkaitan dengan isbat
nikah bahwasannya tidak ada isbat nikah setelah berlakunya UU No.1 Tahun 1974 kecuali perkawinan
itu dilangsungkan sebelum UU tersebut lahir. Namun ketentuan tersebut bisa dikecualikan karena
alasan-alasan tertentu seperti tercantum dalam pasal 7 KHI. Namun demikian beliau tidak
menganalisa permasalahan tersebut dari sisi pertimbangan hukumnya.7
Adanya perkara permohonan isbat nikah yang diterima dan dikabulkan mengindikasikan bahwa
seolah-olah timbul kontradiksi antara aturan legal formal dan kenyataan empiris. Undang-undang
tersebut (UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009) adalah hukum formil dan landasan yuridis
yang berlaku di Pengadilan Agama. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan setiap kasus yang
dihadapkan padanya, Pengadilan Agama semestinya berpegang pada Undang-undang tersebut. Namun
demikian Pengadilan Agama (hakim) justru berpegang pada ketentuan yang terdapat pada pasal 7
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai dasar pembenaran pengajuan isbat nikah terhadap perkawinan
6 Lihat Penjelasan pasal 49 (2) UU No.7 Tahun 1989 (tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006).7Andi Syamsu Alam dalam “Isbat Nikah Masih Jadi Masalah,” dikutip dari www.hukumonline.com/baca/ho117737/itsbat-nikah-
masih-jadi-masalah, diakses 30 Mei 2013.
4
yang terjadi setelah tahun 1974. Padahal dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, kedudukan
Undang-undang lebih tinggi dibandingkan dengan Instruksi Presiden. Artinya bahwa peraturan yang
kedudukannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang kedudukannya lebih
tinggi. Perlu diketahui bahwa KHI ditetapkan berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Thn. 1991. Oleh
karena itu, putusan atau penetapan majelis hakim yang isinya menerima dan mengabulkan permohonan
isbat nikah yang terjadi setelah tahun 1974, bisa dikatakan sebagai penyimpangan terhadap Undang-
undang, kecuali hakim memang memiliki pertimbangan lain menurut ijtihadnya sendiri.
Penelitian ini akan melihat sejauhmana pertimbangan hukum yang digunakan majelis hakim dalam
menerima, tidak menerima, mengabulkan dan menolak perkara permohonan isbat nikah yang diajukan ke
Pengadilan Agama. Selain itu penelitian ini juga akan melihat validitas pertimbangan hakim dalam
memutuskan permohonan isbat nikah.
B. Batasan Masalah
Penelitian ini difokuskan pada pertimbangan hukum dalam putusan atau penetapan perkara
permohonan isbat nikah di Pengadilan Agama. Putusan isbat nikah adalah produk Pengadilan Agama
terhadap permohonan isbat nikah yang diajukan oleh salah seorang suami atau istri yang
5
bersifat kontentius, sedangkan penetapan isbat nikah adalah produk Pengadilan Agama terhadap
permohonan isbat nikah yang diajukan oleh suami dan istri yang bersifat voluntair.8
Pengadilan Agama dalam hal ini tidak dibatasi oleh wilayah tertentu tetapi meliputi
beberapa wilayah yang ada di Indonesia. Pertimbangan ini didasarkan pada salah satu kewenangan
absolut Pengadilan Agama yaitu mengeluarkan pernyataan isbat nikah terhadap perkawinan yang
terjadi setelah tahun 1974. Meskipun pengajuan permohonan isbat nikah adalah fenomena yang
umum terjadi di seluruh Pengadilan Agama yang ada di Indonesia, dan alasan pengajuan isbat
nikah pun sama yaitu sebagaimana disebutkan pada pasal 7 ayat 3 (a, b, c, d dan e) Kompilasi
Hukum Islam, akan tetapi pertimbangan hukum yang digunakan hakim bisa saja berbeda satu sama
lain.
C. Rumusan Masalah
1. Apakah alasan Pengadilan Agama (hakim) dalam menerima9 dan tidak menerima permohonan isbat
nikah terhadap perkawinan yang terjadi setelah tahun 1974?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menolak dan mengabulkan perkara tersebut?
8 Pelmizar, “Pengesahan Perkawinan (Pengesahan Nikah/Isbat Nikah),” tulisan dalam situs www.pta-padang.go.id, diakses pada 4 September 2013.
9 Istilah menerima permohonan berbeda dengan mengabulkan permohonan, karena menerima berarti terkait dengan terpenuhinya syarat-syarat formil, sedangkan mengabulkan berarti terkait dengan terpenuhinya syarat-syarat materiil.
6
3. Sejauhmana validitas pertimbangan hukum yang digunakan hakim dalam memutus atau menetapkan
perkara permohonan isbat nikah tersebut?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui alasan Pengadilan Agama (hakim) dalam menerima atau tidak menerima
permohonan isbat nikah terhadap perkawinan yang terjadi setelah tahun 1974.
2. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam menolak atau mengabulkan perkara isbat
nikah.
3. Untuk mengetahui validitas pertimbangan hukum yang digunakan hakim dalam memutus atau
menetapkan perkara permohonan isbat nikah tersebut.
E. Signifikansi Penelitian
1.Penelitian ini dilakukan untuk memberi kontribusi ilmiah bagi dunia akademik dalam bidang
hukum Islam, khususnya bagi Program Studi Hukum Keluarga (al-Ahwal asy-Syakhshiyyah), berkaitan
dengan kewenangan absolut Pengadilan Agama di bidang perkawinan dalam menangani perkara
permohonan isbat nikah.
7
2.Penelitian ini bertujuan memberikan masukan bagi lembaga peradilan agama menyangkut
bagaimana variasi pertimbangan hukum Pengadilan Agama (hakim) dalam menyelesaikan kasus atau
perkara permohonan isbat nikah yang diajukan kepadanya.
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Pertimbangan Hakim
Pertimbangan hakim atau yang sering disebut juga considerans merupakan dasar putusan.
Putusan adalah hasil dari pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh hakim sebagai pejabat
negara yang berwenang untuk mengakhiri atau memutuskan suatu perkara yang bersengketa.10
Setelah hakim memeriksa gelar perkara dengan sebenar-benarnya, dan dinyatakan selesai, maka
jatuhlah putusan hakim.
Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim atas sengketa yang diperiksa dan
diadilinya. Hakim harus dapat mengolah dan memproses data-data yang diperoleh selama proses
persidangan, baik dari bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan maupun sumpah yang
terungkap dalam persidangan.11 Sehingga keputusan yang akan dijatuhkan dapat didasari oleh
rasa tanggung jawab, keadilan, kebijaksanaan, profesionalisme dan bersifat obyektif, serta
mengandung adanya kepastian hukum.
10 Mertokusumo, Soedikno, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 175.11 Lihat Pasal 164 HIR
9
Dalam memutus perkara yang terpenting adalah kesimpulan hukum atas fakta yang terungkap
di persidangan. Untuk itu hakim harus menggali nilai-nilai, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum (kepastian hukum) dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.12 Sumber hukum
yang dapat diterapkan oleh hakim dapat berupa peraturan perundang-undangan berikut peraturan
pelaksanaannya, hukum tidak tertulis (hukum adat), putusan desa, yurisprudensi, ilmu
pengetahuan maupun doktrin/ajaran para ahli.13
Dasar hukum yang terdapat pada pertimbangan hakim Pengadilan Agama terdiri dari
Peraturan Perundang-undangan Negara dan hukum syara’. Peraturan perundang-undangan Negara
disusun urutan derajatnya, misalnya Undang-Undang didahulukan dari Peraturan Pemerintah,
lalu urutan tahun terbitnya, misalnya UU Nomor 14 Tahun 1970 didahulukan dari UU Nomor 1
Tahun 1974.
Dasar hukum syara’ bersumber dari al-Qur’an, hadits, atau Qaul Fuqaha’. Sumber al
Qur’an yang diterjemahkan menurut bahasa hukum harus menyebut nomor surat, nama surat, dan
nomor ayat. Mengutip hadits harus menyebut siapa sanadnya, bunyi matannya, siapa
pentakhrijnya dan disebutkan pula dikutip dari kitab apa. Kitab ini harus disebutkan juga
siapa pengarang, nama kitab, penerbit, kota tempat diterbitkan, tahun terbit, jilid dan
12Lihat Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 13R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi (Bandung: Mandar Maju, 2005), Hlm. 146.
10
halamannya. Mengutip qaul fuqaha’ juga harus menyebut kitabnya selengkapnya seperti di
atas.14
Apa yang dimuat dalam bagian pertimbangan dari putusan tidak lain adalah alasan-alasan
hakim sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat mengapa ia sampai mengambil keputusan
demikian, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif. Alasan dan dasar putusan harus
dimuat dalam pertimbangan putusan (pasal 184 HIR, 195 Rbg, dan 23 UU 14/1970). Dalam
peraturan tersebut mengharuskan setiap putusan memuat ringkasan yang jelas dari tuntutan dan
jawaban, alasan dan dasar dari putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok
perkara, biaya perkara, serta hadir tidaknya pihak pada waktu putusan diucapkan oleh hakim.
Suatu putusan dapat dinilai cacat tidaknya ditinjau dari asas-asas putusan yang diambil
dalam pertimbangan hakim. Pada hakikatnya asas-asas tersebut terdapat dalam Pasal 178
HIR/189 RBG dan Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu :
a. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci
Putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus bedasarkan pertimbangan yang jelas dan
cukup. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dikategorikan putusan yang tidak
cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd. Alasan yang dijadkan pertimbangan dapat
14Alasan memutus dan dasar memutus yang wajib menunjuk kepada peraturan perundang-undangan negara atau sumberhukum lainnya dimaksudkan (c/q. Dalil syar’i bagi Peradilan Agama) memang diperintahkan oleh pasal 23 ayat (1) UUNomor 14 Tahun 1970.
11
berupa pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi
atau doktrin hukum.15
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menegaskan bahwasanya Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan
dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Untuk
memenuhi kewajiban itulah Pasal 5 UU Kekuasan Kehakiman memerintahkan hakim untuk
menggali nilai-nilai, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
Bertitik tolak dari pasal-pasal yang dikemukakan di atas, putusan yang tidak cukup
pertimbangan adalah masalah yuridis, akibatnya putusan dapat dibatalkan pada tingkat
banding atau kasasi. Begitu pula pertimbangan yang mengandung kontradiksi, putusan
demikian tidak memenuhi syarat sebagai putusan yang jelas dan rinci.
b. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan
Asas kedua yang digariskan oleh Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat (2) RBG dan
Pasal 50 RV adalah putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili
setiap segi gugatan yang diajukan. Tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja
dan mengabaikan gugatan selebihnya. 15M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), Hlm. 798.
12
c. Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan
Berdasarkan Pasal 178 ayat (3) HIR/Pasal 189 ayat (3) RBG dan Pasal 50 RV, putusan
tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Larangan itu
disebut ultra petitum partium. Hakim yang mengabulkan posita maupun petitum gugatan, dianggap
telah melampaui batas wewenang atau ultar vires yakni bertindak melampaui wewenangnya.
Apabila putusan mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat (invalid) meskipun hal itu
dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public
interest). Mengadili dengan cara mengabulkan melebihi dari apa yang di gugat dapat
dipersamakan dengan tindakan yang tidak sah (illegal) meskipun dilakukan dengan itikad baik.
d. Diucapkan di muka Umum
Pemeriksaan persidangan harus berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir
(putusan dijatuhkan). Persidangan dan putusan diucapkan dalam sidang pengadilan yang
terbuka untuk umum atau di muka umum merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan
dari asas fair trial. Pemeriksaan persidangan yang terbuka dari awal sampai akhir
dikecualikan untuk perkara tertentu, misalnya perkara perceraian. Dalam perkara
perceraian dilakukan dalam persidangan tertutup untuk umum, tetapi putusannya wajib
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.16
16 Pasal 13 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukumapabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
13
2. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan disebut juga juga dengan pernikahan, secara etimologi adalah persetubuhan
atau perjanjian. Sedangkan secara terminologi ialah akad (perjanjian) yang menjadikan
halal hubungan seksual suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.17
Perkawinan menjadikan sesuatu yang berpasangan dengan yang lainnya, yang keduanya
disebut sepasang (az-zawjain).18 Firman Allah yang menjelaskan tentang penciptaan makhluk
dalam bentuk berpasang-pasangan seperti dalam surat adz-Dzaariyat ayat 49:
Artinya:
dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.19
Perkawinan berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri
antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan antara kedua belah pihak
dengan dasar sukarela dan keridhoan keduanya untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup
17 ? Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Cet IV, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002), hlm. 1.18 ? Mahmud Al Shabbagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, Cet. III, (Bandung: 1994) hlm. 1.19 ? Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah, , 1986, hlm.
862.
14
berkeluarga yang diliput rasa kasih sayang dan ketentraman. Firman Allah SWT. dalam
Surat ar-Ruum ayat 21 :
Artinya:
dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supayakamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.20
Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.21 Sedangkan
menurut Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau Miitsaaqan
ghaliidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.22
Perkawinan tidak hanya dinilai sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah
Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah berarti menurut qudrat dan iradat Allah dalam
20 ? Ibid. hlm. 644.21 ? Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.22 ? Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat, 1999), hlm.14.
15
penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan
oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.23
2. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan kebutuhan manusia dalam
berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang
bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, dan untuk memperoleh keturunan yang sah
dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syari’ah.24
3. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun dari perkawinan adalah hakikat dari perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya
salah satu rukun, perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Sedang yang dimaksud dengan
syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam suatu perkawinan tetapi tidak termasuk hakikat
dan perkawinan itu sendiri. Jadi kalau salah satu dari syarat-syarat perkawinan itu tidak
dipenuhi maka perkawinan itu tidak sah.25
Rukun perkawinan secara rinci adalah:
23 ? Amir Syarifudin, Garis-garis Besar Fiqh, Cet. II (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 76.24 ? Soemiyati, Hukum Perkawinan …, hlm. 12.25 ? M Ali Hasan, Pedoman Hidup …, hlm. 56.
16
a. Adanya calon mempelai pria
b. Adanya calon mempelai wanita
c. Wali
d. Saksi
e. Ijab dan kabul
Dari kelima rukun perkawinan diatas, masing-masing harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
a. Syarat calon mempelai pria
1) Beragama Islam
2) Laki-laki
3) Baligh
4) Berakal
5) Jelas orangnya
6) Dapat memberikan persetujuan
7) Tidak terdapat halangan perkawinan (seperti tidak dalam keadaan ihram dan umroh)
b. Syarat calon mempelai wanita
1) Beragama
2) Perempuan
17
3) Jelas orangnya
4) Dapat dimintai persetujuannya
5) Tidak terdapat dalam halangan perkawinan (wanita-wanita yang haram dinikahi)
c. Syarat wali nikah
1) Laki-laki
2) Dewasa
3) Mempunyai hak perwalian
4) Tidak terdapat halangan perwaliannya.
d. Syarat saksi nikah
1) Minimal dua orang laki-laki
2) Hadir dalam ijab dan kabul
3) Dapat memahami maksud akad
4) Beragama Islam
5) Dewasa
e. Syarat ijab kabul
1) Ada ijab (pernyataan) mengawinkan dari pihak wali
2) Ada kabul (pernyataan) penerimaan dari calon suami
3) Memakai kata-kata “nikah”, “tazwij”, atau terjemahannya seperti “kawin”.
18
4) Antara ijab dan kabul bersambungan tidak boleh terputus
5) Antara ijab dan kabul jelas maksudnya
6) Orang yang terkait dengan ijab dan kabul tidak sedang dalam keadaan haji dan umroh
7) Majlis ijab kabul harus dihadiri paling kurang empat orang yaitu calon mempelai pria
atau wakilnya, wali dari calon mempelai wanita atau wakilnya dan dua orang saksi.26
Adapun syarat-syarat sahnya perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 harus didasarkan pada beberapa hal berikut ini:27
a. Didasarkan kepada persetujuan bebas antara calon suami dan calon istri yang berarti
tidak ada paksaan di dalam perkawinan.
b. Pada asasnya perkawinan itu adalah satu istri bagi satu suami dan sebaliknya hanya satu
suami bagi istri, kecuali mendapat dispensasi oleh Pengadilan Agama.
c. Pria harus telah berumur 19 (Sembilan belas) tahun dan wanitanya 16 (enam belas) tahun.
d. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua mereka, kecuali dalam hal-hal
tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau mendapat
dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon kurang dari 19 dan 16 tahun.
e. Tidak termasuk larangan-larangan perkawinan antara 2 orang yang:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.
26 ? Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Cet. VI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 72.27 ? Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan …, hlm. 59.
19
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan kesamping yaitu antara saudara, saudara
dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya.
3) Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dengan ibu atau bapak tiri.
4) Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan dan bibi atau paman susuan.
5) Berhubungan saudara dengan istri (ipar) atau sebagai bibi, atau keponakan dari istri,
dalam hal suami beristri lebih dari seorang.
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang.
f. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali ada dispensasi
oleh pengadilan.
g. Seorang yang telah cerai untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi sepanjang hukum masing-masing agamanya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain
h. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi, telah lampau tenggang
waktu tunggu perkawinan harus dilangsungkan menurut tata cara perkawinan yang diatur
oleh Peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun
1975 tentang pencatatan, Nikah, Talak dan rujuk.
4. Hukum Perkawinan
20
Perkawinan merupakan suatu perbuatan yang diperintah Allah SWT. dan juga perintah
Nabi Muhammad saw. Banyak perintah perintah Allah untuk melaksanakan perkawinan,28
diantaranya firman Allah dalam surat an-Nur ayat 32:
Artinya:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akanmemampukan mereka dengan kurnia-Nya.29
Perintah Allah tersebut menjelaskan bahwa perkawinan itu adalah perbuatan yang
disenangi Allah dan Nabi untuk dilaksanakan. Atas dasar ini hukum perkawinan menurut
asalnya adalah sunnah. Hukum Sunnah ini berlaku secara umum, namun karena ada tujuan yang
hendak dicapai dari perkawinan itu dan yang melakukan perkawinan itu berbeda pula
kondisinya serta situasi yang melingkupi suasana perkawinan itu berbeda pula, maka secara
rinci jumhur ulama menyatakan hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang
28 ? Amir Syarfudin, Garis-garis Besar …, hlm. 78.29 ? Departemen Agama, Al-Qur’an …, hlm, 549.
21
tertentu.30 Berikut hukum perkawinan sesuai dengan kondisi dan situasi tertentu menurut
Jumhur Ulama:
a.Wajib
Perkawinan hukumnya wajib adalah bagi orang yang telah mempunyai keinginan kuat
untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban
kewajiban dalam hidup perkawinan serta ada kekhawatiran apabila tidak kawin ia akan
mudah tergelincir untuk berbuat zina.
Qai’dah fiqhiyah mengatakan, “sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menjalankan suatu
kewajiban, maka hukumnya adalah wajib”. Penerapan kaidah tersebut dalam masalah
perkawinan adalah apabila seseorang hanya dapat menjaga diri dari perbuatan zina dengan
jalan perkawinan, maka baginya perkawinan itu wajib hukumnya.31
b. Sunnah
Hukum sunnah dalam perkawinan diperuntukkan bagi orang yang telah berkeinginan
kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul
kewajiban-kewajiban dalam perkawinan, tetapi apabila tidak kawin juga tidak ada
kekhawatiran akan berbuat zina.32
30 ? Amir Syarifudin, Garis-garis Besar …, hlm. 79.31 ? Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, cet. X, (Yogyakarta: Press Yogyakarta, 2004), hlm. 14.32 ? Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1980), hlm. 23.
22
c.Haram
Perkawinan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan serta tidak mempunyai
kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban hidup dalam perkawinan
sehingga apabila kawin juga akan berakibat menyusahkan pasangannya.33
Seorang perempuan apabila ia sadar dirinya tidak mampu untuk memenuhi hak-hak
calon suaminya, atau ada hal-hal yang menyebabkan ia tidak bisa melayani kebutuhan
batinnya, maka ia tidak boleh mendustainya, tetapi wajiblah ia menerangkan semuanya itu
kepada laki-lakinya. Bila ternyata salah satu pasangan mengetahui aib pada lawannya,
maka ia berhak untuk membatalkan. Jika yang aib itu perempuannya, maka suami boleh
membatalkannya dan dapat mengambil kembali mahar yang telah diberikannya.34
d. Makruh
Hukum makruh diperuntukkan bagi seorang yang mampu dalam segi materi, cukup
mempunyai daya tahan mental dan agama hingga tidak khawatir terseret dalam perbuatan
zina, tetapi mempunyai kekhawatiran tidak dapat memenuhi kewajiban terhadapa istrinya,
meskipun tidak akan berakibat menyusahkan pihak istri.35
e.Mubah
33 ? Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan …, hlm. 15.34 ? Sayyid Sabiq, Fiqih …, hlm. 25.35 ? Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan …, hlm. 16.
23
Perkawinan hukumnya mubah adalah bagi orang yang mempunyai harta, tetapi apabila
tidak kawin tidak merasa khawatir akan berbuat zina dan andaikata tidak merasa khawatir
akan menyia-nyiakan kewajibanya terhadap istri. Perkawinan dilakukan hanya sekadar
untuk memenuhi syahwat dan kesenangan bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga
keselamatan hidupnya.36
5. Peraturan Perundang-undangan Tentang Perkawinan di Indonesia
Ada beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang
perkawinan. Aturan perkawinan sekarang yang diikuti oleh lembaga negara adalah UU No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan dan diterangkan oleh INPRES tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam. Sebelum undang-undang perkawinan tersebut keluar, di Indonesia berlaku
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab undang-undang hukum sipil (Burgerlijk Wetboek),
Ordonasi perkawinan Kristen (Huwelyks Ordonasi voor de Christener Indonesier) staatblad 1933 No. 74,
Peraturan perkawinan campuran (Regeling op de gemengde huwelyken), staatblad 1898 No 158 dan
peraturan-peraturan lain yang menganut tentang perkawinan.
Dengan adanya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tersebut, maka
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang sebelumnya sejauh telah diatur dalam
Undang-undang yang baru dinyatakan tidak berlaku lagi.36 ? Ibid, hlm. 16.
24
Pelaksanaan perkawinan di Indonesia sendiri telah jelas diatur dalam Undang-Undang
maupun peraturan yang berlaku. Adapun yang sudah menjadi peraturan perundang-undangan
tentang perkawinan yang ditetapkan setelah Indonesia merdeka adalah sebagai berikut :
a. Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undang-undang Republik
Indonesia tanggal 21 November 1946 No. 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak
dan rujuk.
b. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang merupakan hukum materiil dari
perkawinan.
c. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan. PP ini hanya memuat pelaksanaan dari beberapa ketentuan yang
terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974.
d. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama. Sebagian materi ini memuat
aturan yang berkenaan dengan tata cara (hukum formil) penyelesaian sengketa perkawinan
di pengadilan.
3. Isbat nikaha. Pengertian Isbat nikah
25
Dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pernikahan yang tidak dapat
dibuktikan dengan Akta Nikah, maka dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
Kata Isbat nikah terdiri dari dua kata “itsbat” dan “nikah”. Kedua istilah tersebut berasal dari
Bahasa Arab. Itsbat merupakan masdar dari kata “atsbata yutsbitu itsbat”berarti penetapan
atau pembuktian.37 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa itsbat adalah
penetapan, penyuguhan, penentuan.38 Sedangkan nikah adalah akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalizan antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami isteri dengan
terpenuhinya berbagai persyaratan dalam rangka suami isteri dengan terpenuhinya berbagai
persyaratan dalam rangka mentaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.39
Isbat nikah adalah tindakan hukum yang diajukan ke Pengadilan Agama guna mentsabitkan
(menetapkan) pernikahan yang telah dilangsungkan, namun tidak dapat dibuktikan dengan
Akta Nikah. Pasal 7 angka (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan “Perkawinan hanya
dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah” dan “Dalam
hal ini perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan Isbat nikahnya
ke Pengadilan Agama”.
37Ahmad Warsun Munawir, Kamus Al Munawir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997, hlm. 145. 38 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1995, halaman 338. 39
26
Jadi, pada dasarnya isbat nikah adalah penetapan atas perkawinan seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri yang sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama
Islam yaitu sudah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi pernikahan yang terjadi
pada masa lampau ini belum atau tidak dicatatkan ke pejabat yang berwenang, dalam hal ini
pejabat KUA (Kantor Urusan Agama) yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
b. Ketentuan Isbat nikah
Ketentuan isbat nikah di Indonesia baru ada setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, walaupun pada masa Penjajahan Belanda di Indonesia telah
mengakui keberadaan Pengadilan Agama dengan stbl. 1882 Nomor 152 yang kemudian
ditambahkan dan dirubah dengan stbl. 1937 nomor 116 dan 160 dan stbl. 1937 nomor 638 dan
639 namun tentang Isbat nikah pada waktu itu belum ada ketentuannya.
Pada dasarnya kewenangan perkara isbat nikah bagi Pengadilan Agama dalam sejarahnya
adalah diperuntukkan bagi mereka yang melakukan perkawinan dibawah tangan sebelum
diberlakukannya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Jo. Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 (penjelasan pasal 49 ayat (2), Jo. Pasal 64 UU No. 1 Tahun
1974). Pasal 49 ayat (2) tersebut dikatakan bahwa salah satu bidang perkawinan yang
diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah “Pernyataan tentang sahnya perkawinan
27
yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijalankan menurut peraturan
yang lain.40 Dalam pasal 64 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan untuk perkawinan
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang
ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama adalah sah.41
Namun kewenangan ini berkembang dan diperluas dengan dipakainya ketentuan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 7 ayat 2 dan 3. Pasal 7 ayat (2) dalam KHI disebutkan "Dalam hal
perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat mengajukan isbat nikahnya ke
Pengadilan Agama”. Pasal 7 ayat (3) dalam KHI disebutkan isbat nikah yang diajukan ke
Pengadilan Agama terbatas mengenai hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya akta nikah;
c. Adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat perkawinan;
d. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan
menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974.42
40 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Klong Kledejaya, Tahun 1990, halaman 45.41 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Klong Kledejaya, Tahun 1990, halaman 284.42 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Departemen Agama RI,1999/2000, hlm.137.
28
Uraian pasal 7 ayat 2 dan 3 KHI, memaparkan bahwa KHI telah memberikan kewenangan
lebih dari yang diberikan oleh Undang-Undang; baik oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan maupun Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Aturan isbat nikah yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan maupun Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama hanya terjadi
pada kasus perkawinan bawah tangan yang terjadi sebelum diberlakukannya UU no. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan. Sedangkan Pasal 7 ayat 2 dan 3 dalam KHI menerangkan
dibolehkannya isbat nikah meski perkawinan berlangsung setelah berlakunya UU no. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan.
Di sisi lain, menurut pasal 2 TAP MPR RI No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan
tata urutan perundang-undangan; INPRES tidaklah termasuk dalam tata urutan perundang-
undang Republik Indonesia. Dalam hal ini KHI termasuk INPRES tahun 1991.
4. Maqashid Syari’ah
Maqashid syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam.
Tujuan itu dapat diketahui dari penelusuran dalam ayat-ayat al Qur’an dan Sunnah Rasulullah
29
sebagai alasan logis bagi rumusan hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat
manusia.43 Dengan kata lain, maqashid syari’ah adalah tujuan ditetapkannya suatu hukum.
Tujuan ditetapkannya suatu hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka
mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan
hukum kontemporer yang kasusnya secara eksplisit tidak diatur dalam al Qur’an dan al
Hadis.44 Tujuan Allah SWT. mensyari’atkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan umat
dan menghindari kemafsadatan, baik di dunia maupun di akhirat.
Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu adalah untuk memelihara lima pokok; memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima hal pokok ini menurut al Syatibi disebut
dengan al qawaid al kulliyat atau alkulliyat al khams. Penetapan kelima hal pokok ini diambil dari
dalil-dalil al Qur’an dan al hadis, seperti dalil kewajiban shalat, larangan membunuh jiwa,
larangan meminum minuman yang memabukkan, larangan berzina, dan larangan memakan harta
orang lain dengan cara yang tidak benar.45
Kelima hal pokok di atas dibagi kepada tiga tingkatan untuk mempermudah penetapan
hukum, yaitu sesuai kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyyat, atau kebutuhan tahsiniyat.
a. Kebutuhan Dharuriyat
43 Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 233.44Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 123-124. 45 Al Syathibi, al Muwafaqat fi Ushul al Ahkam, (T.Tp: Dar al Fikr, tt), III: 62-64 dan 70.
30
Kebutuhan Dharuriyyat merupakan kebutuhan primer, yaitu apabila kebutuhan ini tidak
tercapai maka akan merusak keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Kebutuhan dharuriyat ini harus dipelihara karena mempunyai sifat yang esensial bagi umat
manusia. Pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta merupakan kebutuhan
esensial yang harus dijaga, jika tidak dijaga maka akan terancam eksistensi kelima hal
pokok di atas.46
b. Kebutuhan Hajiyyat
Kebutuhan hajiyyat adalah kebutuhan sekunder, yaitu apabila kebutuhan ini tidak terwujud
umat manusia akan mengalami kesulitan tetapi tidak sampai mengancam keselamatannya.47
c. Kebutuhan Tahsiniyyat
Kebutuhan tahsiniiyat merupakan tingkat kebutuhan pelengkap sehingga tidak sampai
menyulitkan manusia atau mengancam keselamatannya. Kebutuhan ini hanya sampai pada
tingkat kepatutan umat manusia.48
46 Al Syathibi, Ibid, II: 4.47 Ibid.48 Ibid., hlm. 5.
31
Pada dasarnya baik kelompok dharuriyat, hajiyyat, maupun tahsiniyyat adalam untuk
memelihara kelima hal pokok yang telah disebutkan di atas. Hanya saja peringkat
kepentingannya berbeda satu sama lain, muali dari kebutuhan primer, sekunder sampai
pelengkap.
Berikut contoh dan penjelasan kelima pokok hal di atas disertai dengan uraian
pemeliharaan kepentingan atau kebutuhannya:49
a. Memelihara agama
- Dharuriyyat: melaksanakan shalat lima waktu. Jika shalat tidak dilaksanakan maka akan
terancamlah eksistensi agama.
- Hajiyyat: shalat jama’ dan shalat qashar bagi yang bepergian. Shalat ini untuk
menghindari kesulitan, jika tidak dilaksanakan maka tidak akan terancam eksistensi
agama tetapi hanya akan mempersulit orang yang sedang bepergian tersebut.
- Tahsiniyyat: menjaga kebersihan badan baik dalam shalat maupun di luar shalat sebagai
bentuk mengikuti petunjuk agama.
b. Memelihara jiwa
- Dharuriyyat: Memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
- Hajiyyat: berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal.
- Tahsiniyyat: tata cara makan dan minum.49 Fathurrahman Djamil, ..., hlm. 128-131.
32
c. Memelihara akal
- Dharuriyyat: diharamkan meminum minuman keras atau memabukkan untuk menjaga eksistensi
akal.
- Hajiyyat: menuntut ilmu pengetahuan. Jika tidak dilakukan tidak akan merusak akalnya,
tetapi dapat mempersulit dalam pengembangan ilmu pengetahuannya.
- Tahsiniyyat: menghindarkan diri dari mengkhayal.
d. Memelihara keturunan
- Dharuriyyat: disyari’atkan nikah dan dilarang berzina.
- Hajiyyat: suami dianjurkan untuk menyebutkan maharnya pada waktu akad, agar suami
tidak membayar mahal misl. Atau adanya hak thalaq bagi suami jika suatu saat rumah
tangganya tidak harmonis maka suami dapat mempergunakannya agar tidak kesulitan.
- Tahsiniyyat: khitbah atau walimah dalam perkawinan.
e. Memelihara harta
- Dharuriyyat: tidak dibolehkan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar.
- Hajiyyat: jual beli dengan cara salam.
33
- Tahsiniyyat: menghindarkan penipuan dalam jual beli sebagai etika bermu’amalah, bukan
sebagai syarat sah tidaknya jual beli.
B. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian dengan judul “Analisis Pertimbangan Hukum dalam Penetapan Perkara Permohonan
Isbat Nikah di Pengadilan Agama” adalah penelitian yang orisinal, belum pernah diteliti
sebelumnya, namun demikian ada beberapa penelitian yang relevan dengan tema tersebut dan bisa
menjadi referensi bagi peneliti dalam menganalisa aspek pertimbangan hukumnya. Peneliti
berupaya untuk melihat sejauhmana substansi dari penelitian-penelitian yang dimaksud, beberapa
di antaranya adalah:
“Isbat Nikah dan Masalah Sosial”, tulisan Ahmad Fatoni Ramli mencermati problematika isbat
nikah dimana dinyatakan bahwa adanya isbat nikah oleh Pengadilan Agama membuka peluang
munculnya praktik penyelundupan hukum yang mengarah pada banyak bermunculannya praktik
perkawinan siri karena anggapan bahwa pada akhirnya perkawinan siri tersebut dengan mudah bisa
diisbatkan asalkan terpenuhi syarat-syarat formil maupun materiil dalam pengajuannya. Selain
itu, orang cenderung untuk melakukan praktik poligami selanjutnya memohonkan isbat nikah di
Pengadilan Agama. Tulisan beliau juga berupaya mengupas masalah pencatatan perkawinan, apakah
34
merupakan suatu kewajiban untuk mencatatkan nikah setelah isbat. Dan jika diwajibkan, siapa
yang berhak mencatatkannya, apakah para pemohon isbat nikah atau justru Kepala KUA sendiri.50
“Pihak-pihak Dalam Permohonan Isbat Nikah”, tulisan dari Abdil Barid Basith (hakim PA Muara
Labuh) yang menyoroti masalah apakah ijin pengadilan, termasuk di dalamnya ijin istri pertama
termasuk salah satu rukun atau syarat sahnyaperkawinan. Menurutnya pria yag melakukan
perkawina kedua tanpa ijin dari pengadilan maka nikahnya dianggap tidak sah karena terdapatnya
halangan nikah.Selanjutnya Basith juga menyoroti masalah kedudukan hukum/legal standing pihak
isteri terkait permohonan isbat nikah poligami yang dilakukan suaminya, bahwasannya menurutnya
syarat ijin adalah penting dan ijin dari istri bertujuan untuk menghindari mafsadat atau
kerusakan. Dan jika istri tidak mengijinkan, maka salah satu syarat kumulatif untuk menikah
lagi tidak terpenuhi. Dan itu akan menjadi pertimbangan hakim untuk tidak mengabulkan
permohonan ijin poligami.Dan permasalahan lain yang disoroti adalah langkah alternatif pemohon
isbat nikah poligami jika permohonannya ditolak.51
“Kepastian Hukum Isbat Nikah”, tulisan dari Endang Ali Maksum (hakim PTA Banten) yang
menyoroti tentang perkawinan di bawah tangan yang menjadi cikal bakal melonjaknya permohonan
isbat nikah menyertai munculnya fatwa MUI yang menyatakan bahwa perkawinan di bawah tangan
50 Ahmad Fatoni Ramli, Isbat Nikah dan Masalah Sosial artikel dalam situs www.pta-banten.net, diakses 4 September2013.
51 Abdil Barid Basith, Pihak-pihak Dalam Permohonan Isbat Nikah dalam Jurnal mimbar Hukum dan Peradilan, Edisi No.75,2012.
35
adalah sah dengan ketentuan jika syarat dan rukun terpenuhi. Tulisannya juga menyoroti akibat
hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan yaitu bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan
statusnya tidak sah di mata hukum negara dan anak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu
dan keluarga ibunya serta baik anak mauoun ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan. Karena
itu adanya isbat nikah terhadap perkawinan di bawah tangan sekedar menyatakan sahnya suatu
perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama dan tidak dicatatkan ,dengan implikasi hukum
setelah diisbatkan, perkawinannya memiliki kepastian hukum.52
Skripsi yang berjudul “Praktik Isbat Nikah sirri (Analisis Putusan Hakim PA Jaksel No 10/Pdt.P/2008/PAJS)” dari
Rifqy Yatunnisa yang menganalisa salah satu putusan hakim PA Jak Sel yang mencakup alasan
pengajuan isbat nikah, kemudian masuk pada materi jika syarat dan rukun nikah terpenuhi maka
hakim akan mengesahkan perkawinan tersebut termasuk mempertimbangkan kemaslahatannya. Dalam
akhir tulisannya dia menyimpulkan bahwa ketika perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut sudah
diisbatkan/disahkan maka akan memiliki kepastian/kekuatan hukum.53
Suhadak dalam artikelnya yang berjudul “Problematika Isbat Nikah Istri Poligami Dalam Penyelesaian di
PA,” menyoroti masalah bagaimana PA dalam menyelesaikan perkara isbat nikah istri poligami dan
sikap hakim dalam pertimbangan hukumnya di satu sisi untuk menghindari penyelundupan hukum
52 Endang Ali maksum, Kepastian Hukum Isbat Nikah, artikel dalam situs www.litbangdiklatkumdil.net, diakses pada 4September 2013.
53 Rifqy Yatunnisa, Praktik Isbat Nikah Sirri (Analisis Putusan Hakim PA Jaksel No 10/Pdt.P/2008/PAJS), Skripsi S1 Fakultas Syariahdan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2010.
36
karena laki-laki akan cenderung melakukan poligami liar dan di sisi lain sebagai jalan keluar
bagi kepastian hukum dan keadilan di masyarakat. Kemudian beliau juga menyatakan apakah ijin
istri terdahulu sebagai suatu keharusan dan bagaimana jika istri tersebut tidak memberikan
persetujuan.54
Rizki Fitrotuszakiya Adinata dalam skripsinya yang berjudul “Penerapan Isbat Nikah Dalam
Perkawinan Poligami Menurut Hukum Islam dan UUP No 1 Tahun 1974”, menyoroti pelaksanaan isbat nikah
terhadap perkawinan poligami dengan melihat dari aspek yuridis bahwasannya isbat nikah dalam
perkawinan poligami semestinya tidak dikabulkan karena hal tersebut melanggar undang-undang,
terutama jika pihak istri yang sah tidak memberikan ijin. Namun demikian hakim juga harus
mempertimbangkan aspek keadilan terutama terhadap status dan kdudukan anak yang dihasilkan
dari perkawinan tersebut. Menurutnya, isbat nikah terhadap perkawinan poligami adalah sah
menurut UUP dan hukum islam, hanya saja terjadi pelanggaran hukum di awal pernikahan karena
tidak mengajukan izin poligami ke Pengadilan Agama. Kemudian Rizki juga menyimpulkan dalam
tulisannya bahwa perkawinan poligami yang telah diisbatkan memiliki akibat hukum terhadap
status anak dan kedudukan istri. Keduanya memiliki hak-hak sebagaimana kedudukan anak dan
istri dalam perkawinan yang sah menurut negara.55
54 Suhadak, Problematika Isbat Nikah Istri Poligami Dalam Penyelesaian di Pengadilan Agama, artikel dalam situs www.badilag.net,diakses pada 4 September 2013.
55 Rizki Fitrotuszakiya Adinata, Penerapan Isbat Nikah Dalam Perkawinan Poligami Menurut Hukum Islam dan UUP No 1 Tahun 1974dalam Jurnal Hukum Tugas Akhir Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, 2013.
37
Laila Hasanatus Shofa dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Penetapan Permohonan Isbat Nikah
Setelah UUP 1974 di PA Semarang” dalam penelitiannya dia mengungkapkan tentang alasan pengajuan
isbat nikah di Pengadilan Agama Semarang yang selalu ada tiap tahunnya dengan motif untuk
mendapatkan akte kelahiran dan mengurus pensiunan. Adapun pertimbangan hakim dalam mengabulkan
permohonan isbat nikah yang terjadi setelah berlakunya Uup No 1974 adalah karena pengajuan
permohonan isbat atas alasan untuk mengurus akte kelahiran dianggap penting demi kepentingan
anak. Tulisannya tidak menganalisa pertimbangan hakim yang menolak permohonan isbat nikah
serta tidak menganalisa isbat nikah terhadap perkawinan yang dilakukan sebelum 1974.56
“Kepastian Hukum Isbat Nikah Terhadap Status Perkawinan, Status Anak Dan Status Harta Perkawinan”, tulisan
dari Suparman Usman yang menyatakan bahwa dengan adanya isbat nikah maka status perkawinan
menjadi sah menurut agama dan resmi tercatat menurut perundang-undangan serta memiliki bukti
otentik adanya perkawinan. Dari perkawinan yang dianggap sah tersebut akan timbul hubungan
hukum antara suami istri berupa hubungan hak dan kewajiban antara keduanya. Kemudian isbat
nikah juga akan memperjelas status anak menjadi anak yang sah bagi pasangan suami istri
tersebut serta akan memunculkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak (sesuai pasal 45-
56 Laila Hasanatus Shofa, Analisis Penetapan Permohonan Isbat Nikah Setelah UU No.1 Tahun 1974 Di PA Semarang, Skripsi Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Walisongo, 2009 dalam situs library.walisongo.ac.id, diakses pada 4 September 2013.
38
49 UUP). Adanya isbat nikah menurutnya juga akan memperjelas status harta, baik yang
menyangkut harta bawaan maupun harta bersama antara suami istri.57
Tulisan dari Pelmizar (Hakim PTA Padang) tentang “Pengesahan Perkawinan” yang menyoroti
masalah latar belakang pengaturan pengesahan perkawinan, dasar hukum isbat nikah, pasal 7 ayat
2 yang memberi peluang untuk pengesahan perkawinan yang terjadi sebelum dan setelah 1974,
pengesahan dalam rangka perceraian menjadi satu kesatuan dalam putusan perceraian, tujuan
dibolehkannya pengesahan perkawinan antara lain karena terjadinya penyelundupan hukum,
melegalkan poligami tanpa prosedur sehingga PA harus hati-hati dan selektif dalam menangani
perkara permohonan isbat nikah.58
“Nikah Sirri vs Isbat Nikah,” tulisan dari Abdul Rasyid As’ad (hakim PA Mojokerto) yang
menyatakan bahwa mestinya Pengadilan Agama hanya mengabulkan permohonan isbat nikah terhadap
perkawinan yang terjadi setelah tahun 1974 dan telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan. KHI
sebagai dasar hukum isbat nikah terhadap perkawinan setelah 1974 sangat lemah karena
kedudukannya tidak masuk dalam hierarki perundang-undangan. Menurutnya, nikah sirri yang
dilakukan setelah tahun 1974 dan dimohonkan isbatnya menyuburkan praktik nikah sirri di
masyarakat dan sebagai salah satu indikator ketidakpatuhan terhadap pasal 2 ayat 2 UUP. Jika
57 Suparman Usman, Kepastian Hukum Isbat Nikah Terhadap Status Perkawinan, Status Anak Dan Status Harta Perkawinan, artikel dalamsitus www.pta-banten.net, diakses 4 pada September 2013.
58 Pelmizar, Pengesahan Perkawinan, tulisan dalam situs www.pta-padang.go.id, diakses pada 4 September 2013.
39
isbat nikah dinilai sebagai salah satu jalan untuk memperoleh keadilan, maka perlu ada payung
hukum yang jelas sehingga perlu adanya amandemen terhadap pasal 49 ayat 2 huruf (a) angka 22
UU No. 3 tahun 2006 jo. UU no 50 /2009.59
C. Kerangka Berpikir
Isbat nikah adalah penetapan sahnya suatu perkawinan oleh Pengadilan Agama terhadap
perkawinan yang belum tercatat oleh pihak yang berwenang serta belum memiliki akta nikah.
Isbat nikah merupakan salah satu kompetensi absolut Pengadilan Agama di bidang perkawinan.
Hal ini sebagaimana dijelaskan pada pasal 49 huruf a angka 22 bahwasannya wewenang
Pengadilan Agama adalah memberi pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU
No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan lain.60 Dengan demikian
jelas bahwa wewenang Pengadilan Agama terhadap perkara isbat nikah hanya diperuntukkan bagi
perkawinan yang dilakukan sebelum tahun 1974 atau sebelum undang-undang perkawinan
diberlakukan dan sah secara agama.
Berbeda dengan pernyataan dalam undang-undang tersebut, isbat nikah yang terjadi
setelah tahun 1974 mestinya tidak dikabulkan, namun demikian banyak sekali perkawinan yang
59 Abdul Rasyid As’ad, Nikah Sirri vs Isbat Nikah, artikel dalam situs www.badilag.net, diakses pada 4 September 2013.60 Lihat Penjelasan pasal 49 (2) UU No.7 Tahun 1989 jo. UU No.3 Tahun 2006 jo.UU No.50 tahun 2009. Lihat juga
UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 dan PP No.9 tahun 1975.
40
tidak dicatatkan namun disahkan oleh Pengadilan Agama melalui sidang isbat nikah. Hal ini
terjadi karena pemahaman hakim terhadap Kompilasi Hukum Islam yang membuka peluang
dikabulkannya permohonan isbat nikah terhadap perkawinan yang terjadi setelah tahun 1974.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 2 dinyatakan bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat
dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Pada pasal
7 ayat 3 dinyatakan bahwa isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian
b. Hilangnya akta nikah.
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No.1 tahun 1974 dan
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU
No. 1 tahun 1974.
Pasal 7 poin a, b, c dan e inilah yang membuka peluang bagi hakim/Pengadilan Agama untuk
menerima dan memeriksa permohonan isbat nikah terhadap perkawinan yang terjadi setelah tahun
1974. Padahal kedudukan KHI lebih lemah di hadapan undang-undang karena KHI tidak masuk
41
dalam hierarki perundang-undangan.61 Namun demikian KHI masih menjadi “kitab sakti” atau
dasar hukum bagi Pengadilan Agama untuk menerima atau tidak menerima permohonan isbat nikah.
Poin a sampai e pada pasal 7 ayat 3 di atas merupakan syarat formil pengajuan isbat
nikah ke Pengadilan Agama. Hal-hal lain yang menyangkut persyaratan formil yang harus
dipenuhi oleh pihak-pihak yang mengajukan permohonan isbat nikah antara lain terkait dengan
kewenangan absolut dan relatif Pengadilan Agama dan kelengkapan materi surat permohonan.
Persyaratan-persyaratan ini akan mempengaruhi diterima atau tidak diterimanya permohonan
perkara isbat nikah. Jika permohonannya diterima, maka tahap selanjutnya adalah pemeriksaan
perkara melalui sidang isbat nikah dan pembuktian yang akhirnya akan sampai pada penetapan
atau putusan dikabulkan atau ditolak permohonan isbat nikah tersebut. Namun demikian jika
permohonan tersebut tidak diterima akibat kurangnya atau tidak terpenuhinya syarat-syarat
formil, maka Pengadilan Agama akan mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa permohonan
tersebut tidak diterima setelah sebelumnya melalui tahap pemeriksaan surat permohonan isbat
nikah.
Setelah suatu permohonan dinyatakan diterima maka dilanjutkan dengan tahap pemeriksaan
melalui persidangan untuk menghadirkan bukti-bukti otentik dan saksi-saksi. Pada tahap ini
hakim akan memeriksa bukti-bukti baik berupa surat maupun keterangan saksi. Dalam hal ini
Pengadilan Agama atau hakim akan melihat apakah peristiwa perkawinan yang disebutkan dalam61 Abdul Rasyid As’ad, Nikah Sirri vs Isbat Nikah…, hlm. 7.
42
surat permohonan telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan melalui bukti-bukti yang
diajukan ke muka sidang. Jika syarat dan rukun terpenuhi serta tidak adanya halangan nikah
maka hakim akan mengabulkan permohonan isbat nikah. Sebaliknya jika syarat rukun kurang
terpenuhi, atau ada halangan nikah maka hakim akan menolak permohonan isbat nikah tersebut.
Dari pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara permohonan isbat nikah akan terlihat
bahwa hakim menggunakan pertimbangan yuridis normatif dalam menolak atau mengabulkan perkara
permohonan isbat nikah. Namun dalam kondisi tertentu hakim bisa saja menggunakan hal-hal
lain yang boleh jadi terkait dengan nilai-nilai kemaslahatan sebagaimana dirumuskan dalam
kaidah-kaidah ushul fiqh. Pertimbangan hukum dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif
dilakukan terhadap permohonan isbat nikah yang memang sudah memenuhi syarat dan rukun serta
tidak adanya halangan nikah sebagaimana tercantum dalam aturan hukum baik tertulis maupun
tidak tertulis.
Sedangkan pendekatan maqashid syari’ah digunakan hakim dalam pertimbangan hukumnya jika
dalam analisanya terhadap perkawinan yang diisbatkan terhadap hal-hal yang menuntut hakim
untuk mengambil putusan lain dari yang seharusnya karena malihat adanya unsur kemaslahatan
ynang lebih penting sehingga tidak bisa diabaikan.
43
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif atau doktrinal. Penelitian hukum
normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder.62 Pada penelitian ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma
yang merupakan patokan berperilaku manusia dianggap pantas. 63
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu
yang selanjutnya digunakan dalam memahami sesuatu.64 Penelitian ini menggunakan pendekatan
yuridis normatif dan pendekatan maqashid syari’ah. Pendekatan yuridis digunakan dalam
memahami dasar pertimbangan hukum dari aspek yuridis yang terkait dengan aturan perundang-
undangan dan aspek normatif lainnya.
62 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 13.
63Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 118. 64 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 98.
45
Sementara itu pendekatan maqashid syari’ah digunakan dalam hal ditemukan adanya putusan
atau penetapan yang di luar kebiasaan. Contohnya ada putusan atau penetapan isbat nikah yang
syarat dan rukun nikahnya terpenuhi tetapi hakim menolaknya atau sebaliknya ditemukan
putusan atau penetapan atas permohonan isbat nikah yang syarat dan rukunnya kurang terpenuhi
namun permohonannya dikabulkan. Dalam hal ini hakim menggunakan pertimbangan-pertimbangan
tersendiri.
C. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder yaitu berbagai putusan atau penetapan
Pengadilan Agama terkait dengan perkara permohonan isbat nikah. Sementara bahan hukum
sekunder berupa dokumen-dokumen yang relevan dengan obyek kajian seperti Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan
pelaksanaannya, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama beserta perubahannya,
masing-masing Undang-Undang No.3 Tahun 2006 dan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009, Kompilasi
Hukum Islam, dan buku-buku lain yang relevan.
46
D. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dokumentasi, yaitu mengumpulkan
berbagai penetapan atau putusan perkara permohonan isbat nikah dan literatur-literatur lain
seperti perundang-undangan yang menjadi hukum material maupun formal di Pengadilan Agama.
Pengumpulan data dilakukan dengan melihat, mengumpulkan dan menelaah data-data deskriptif
yang terkait dengan isbat nikah.
E. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan data-data yang sifatnya deskriptif65 kemudian dianalisis
secara detail (deskriptif analitis). Proses analisis diawali dengan memaparkan sejumlah
data yang terkait dengan pertimbangan hukum yang digunakan hakim dalam putusan atau
penetapan isbat nikah. Tahap selanjutnya yaitu mencermati dan menganalisa pertimbangan
hukum tersebut dari aspek yuridis dan maqashid syari’ahnya. Setelah dianalisa, peneliti
berupaya untuk mengkritisi sejauhmana validitas pertimbangan hukum yang digunakan hakim
tersebut. Validitas atau ketepatan pertimbangan hukum tersebut akan dilihat dari sisi
ketepatannya dengan aspek yuridis dan maqashid syari’ah, selaras dengan pendekatan
penelitian yang digunakan oleh peneliti.
65 Data-data deskriptif bisa berupa naskah, wawancara, catatan lapangan, dokumen dan bukan angka. Sudarto,Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 66.
47
BAB 1V
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN ATAU PENETAPAN ISBAT NIKAH
A. DESKRIPSI PUTUSAN DAN PENETAPAN HAKIM
Salah satu kewenangan absolut Pengadilan Agama adalah menangani masalah perkawinan, satu
di antaranya adalah menetapkan sahnya perkawinan (pengesahan nikah/isbat nikah). Produk yang
dihasilkan dari pengajuan isbat nikah adalah penetapan dan putusan isbat nikah/pengesahan
nikah. Penetapan isbat nikah adalah produk pengajuan isbat nikah terhadap perkara permohonan
isbat nikah yang tidak memiliki unsur gugatan dan diajukan oleh suami istri. Sedangkan putusan
isbat nikah adalah produk pengajuan isbat nikah terhadap perkara permohonan isbat nikah yang
mengandung gugatan yang diajukan oleh salah satu baik suami atau istri.
Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada penetapan atau putusan isbat nikah Pengadilan
Agama yang diambil dari beberapa Pengadilan Agama yang ada di Indonesia. Berikut ini peneliti
tampilkan data-data berupa penetapan atau putusan isbat nikah dengan mengklasifikasikannya
menjadi penetapan atau putusan yang diterima dan tidak diterima. Dalam putusan atau penetapan
akan dijelaskan lebih lanjut mengenai putusan atau penetapan yang dikabulkan dan yang ditolak.
48
1. Penetapan dan putusan yang diterima
Pengajuan permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama melalui beberapa proses. Setelah
suatu permohonan isbat nikah diajukan ke Pengadilan Agama, tahapan selanjutnya Pengadilan
Agama akan menentukan hari sidang. Melalui persidangan, Pengadilan Agama akan memeriksa
apakah syarat-syarat formil sudah terpenuhi atau belum. Selanjutnya majelis hakim akan
memutuskan atau menetapkan apakah permohonan isbat nikah tersebut diterima atau sebaliknya.
Jika seluruh persyaratan formil sudah terpenuhi, maka Pengadilan Agama akan membuat
penetapan atau putusan yang bunyinya permohonan diterima. Sedangkan jika persyaratan formil
tidak terpenuhi, maka majelis hakim akan membuat penetapan atau putusan yang menyatakan
permohonan tidak dapat diterima.
Untuk permohonan yang diterima akan dilanjutkan pada pemeriksaan materi perkara,
sedangkan bagi permohonan yang tidak dapat diterima maka perkara tidak akan dilanjutkan.
Untuk perkara permohonan isbat nikah yang diterima, jika dalam pemeriksaan unsur-unsur
materiil semua sudah terpenuhi, maka majelis hakim akan mengeluarkan penetapan atau putusan
yang isinya mengabulkan permohonan isbat nikah. Tetapi sebaliknya jika unsur-unsur materiil
tidak atau kurang terpenuhi maka majelis hakim akan mengeluarkan penetapan atau putusan
ditolak. Dengan demikian data-data tentang penetapan atau putusan yang diterima bisa terdiri
dari penetapan atau putusan yang dikabulkan atau ditolak.
49
Berikut beberapa putusan atau penetapan yang diterima dan dikabulkan atau diterima
tetapi ditolak:
a. Putusan atau penetapan yang diterima dan dikabulkan
1) Perkara No.3/Pdt.P/2010/PA. Tgrs. bertempat di Pengadilan Agama Tigaraksa. Tujuan
permohonan isbat nikah untuk meralat tanggal lahir dan tanggal nikah yang tertera
dalam akta nikah almarhum suaminya dan akan digunakan sebagai syarat mengurus pensiun.
Berdasarkan pasal 49 ayat (2) UU No.3 Thn 2006, sesuai dengan kompetensi relatif
dibuktikan dengan fotocopy Surat Keterangan Kematian dan fotocopy Akta Nikah. Isbat
nikah dapat diajukan dalam hal-hal yang secara limitatif diatur dalam pasal 7 ayat 3
dan 4 KHI. Tidak ada halangan nikah sebagaimana disebut pada pasal 8,9,10 UU No.1 Thn.
1974 jo. Pasal 39-44 KHI. Perkawinan telah memenuhi rukun dan syarat sebagaimana
disebut pada pasal 14 KHI. Permohonan pemohon sudah memenuhi pasal 2 ayat 1 dan 4 UU
No.1 Thn. 1974. Pasal 7 ayat 2 dan 3 (e) KHI.
2) Perkara No. 0073/Pdt.P/2011/PA. Wno. Pengadilan Agama Wonosari. Permohonan ini
ditujukan untuk mendapatkan akta nikah dalam rangka mengurus akta kelahiran. Sesuai
dengan kewenangan relatif yang dibuktikan dengan fotocopy KTP dan keterangan saksi-
saksi. Sesuai ketentuan pasal 49 ayat 1 huruf (a) UU No.7. Thn 1989 jo. UU No. 50 Thn.
50
2009. Berdasarkan bukti-bukti dan keterangan saksi, maka majelis hakim menemukan fatwa
perkawinan pemohon sudah memenuhi rukun dan syarat perkawinan sebagaimana tercantum
pada pasal 8 UU No.1 Thn.1974 jo. Pasal 39-44 KHI dan sesuai pasal 2 ayat (1) UU No. 1
Thn. 1974 jo. Pasal 7 ayat (3) huruf d dan e KHI. Majelis hakim mengambil alih
pendapat ahli fiqih dalam Kitab wa ‘amirah Juz IV hal.336 yang berbunyi: “orang yang
hanya menyatakan diri telah menikah, menurut pendapat yang paling shahih secara
muthlaq tidak dianggap cukup, melainkan ia harus menerangkan: Saya menikahi dia dengan
wali orang yang baik (benar) serta dipersaksikan oleh dua orang saksi yang adil dan
atas ridhanya (mempelai wanita) kalau memang keridhaannya memang disyaratkan.”
3) Perkara No.105/Pdt.P/2013/PA. Bkt. Pengadilan Agama Bukittinggi. Yaitu untuk
mendapatkan Akta Nikah yang baru. Sebenarnya pemohon sudah melaksanakan perkawinan
menurut aturan hukum, namun akibat kelalaian petugas KUA yang selalu menjanjikan untuk
memberikan Akta Nikah namun kenyatannya tidak Akta Nikah tidak diserahkan. Akta Nikah
digunakan untuk mengurus akta kelahiran dan keperluan lainnya. Sesuai dengan ketentuan
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknik Peradilan Agama Buku II, Edisi 2009 MA RI bahwa
tidak ada pihak yang berkeberatan dengan permohonan ini. Kehadiran saksi secara
pribadi di persidangan dan telah didengar sumpah serta tidak terhalang secara hukum
51
untuk didengar kesaksiannya telah memenuhi syarat formil sebagai saksi sebagaimana
disebut pada pasal 171, 174 dan 175 RB.g. keterangan saksi juga tidak saling
berlawanan sehingga menurut majelis hakim sudah memenuhi syarat materiil kesaksian
sebagaimana disebut pada pasal 308 dan 309 RB.g dan bisa dijadikan alat bukti yang
sah. Dalam persidangan ditemukan fakta bahwa perkawinan pemohon telah memenuhi rukun
dan syarat perkawinan sebagaimana disebut pada pasal 7 ayat ?(3) huruf d KHI jo. Pasal
14 KHI. Perkawinan juga tidak melanggar halangan nikah sebagaimana disebut pada pasal
8-10 UU No.1 Thn. 1974 jo. Pasal 39-44 KHI dengan demikian sesuai dengan pasal 2 ayat
(1) UU No. 1 thn. 1974.
4) Perkara No. 0041/Pdt.P/2011/PA.Tnk. Pengadilan Agama Tanjungkarang. Akta Nikah hilang
sehingga membutuhkan Akta Nikah yang baru untuk mengurus penetapan ahli waris. Sesuai
ketentuan pasal 49 ayat (1) UU No.7 Thn. 1989 jo. UU No.3 Thn. 2006 jo. UU No.50 Thn.
2009 jo. Pasal 7 ayat 2, 3 (d) dan (e) serta ayat 4 KHI. Berdasarkan bukti-bukti dan
keterangan saksi-saksi di bawah sumpah ditemukan fakta-fakta bahwa perkawinan pemohon
sah. Dalil-dalil pembuktian pemohon dinyatakan sudah cukup bukti dan beralasan hukum
sudah sesuai dengan pasal 283 RBg.
52
5) Perkara No.106/Pdt.G/2012/PA.Pkc. Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci. Untuk
mendapatkan Akta Nikah dalam rangka mengajukan perceraian (akumulasi gugatan).
Tergugat meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, tidak menyuruh orang lain
sebagai wakil/kuasanya yang sah untuk hadir di persidangan, namun demikian dan
ketidakhadirannya tersebut disebabkan halangan yang sah, maka perkara ini dapat
diperiksa dan diputus tanpa hadirnya tergugat, sebagaimana disebut pada Pasal 149 ayat
(1) R.Bg. tergugat tidak hadir di persidangan sehingga tidak bisa dilakukan upaya
mediasi sebagaimana ketentuan Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Thn 2008. Sesuai
ketentuan Pasal 154 ayat (1) R.Bg, Pasal 31 PP No.9 Thn. 1975 Jo. Pasal 82 Ayat (1)
Dan Ayat (4) UU No. 50 Thn. 2009 Jo Pasal 143 ayat (1) Dan (2) Inpres No.1 Thn. 1991
bahwa majelis hakim telah mengadakan perdamaian antara penggugat dan tergugat namun
sampai putusan dijatuhkan perdamaian gagal dilaksanakan. Sesuai ketentuan pasal 7 ayat
(3) huruf (a) KHI. Bahwa alasan pengajuan isbat nikah adalah dalam rangka perceraian.
Berdasarkan fakta di persidangan didapatkan bahwa saksi-saksi sudah memenuhi syarat
formil dan materiil berdasarkan pasal 172, 307, 308, 309 R.Bg. perkawinan antara
penggugat dan tergugat sudah memenuhi rukun dan syarat perkawinan sebagaimana.
53
6) Perkara No.2/Pdt.P/2010/PA. Bky. Pengadilan Agama Bengkayang. Akta Nikah hilang
sehingga ingin mendapatkan akta nikah yang baru guna mengurus uang duka dan mengurus
SK Pensiun janda atas nama pemohon. Dalil yang diajukan pemohon pada posita no. 1-9
sesuai dengan pasal 49 ayat (2) UU No.7 Thn.1989 yang diubah menjadi UU No.3 Thn. 2006
dan diubah lagi menjadi UU No.50 Thn. 2009 dan penjelasannya angka (22) jo. Pasal 7
ayat 2 dan 3 huruf (d) KHI. -Untuk menghindari penyelundupan hukum dan poligami liar,
permohonan isbat nikah bisa diajukan secara contentius oleh suami atau istri secara
terpisah dengan mendudukkan suami atau istri yang tidak mengajukan atau ahli waris
apabila salah satu pihak, suami atau istri telah meninggal dunia sebagai pihak lawan
(termohon). Karena pemohon tidak mencantumkan ahli waris lain dan tidak mungkin
melakukan penyelundupan hukum dan poligami tanpa prosedur maka perkara ini ditangani
secara voluntair. Bukti-bukti dan persaksian di persidangan yang sudah sesuai dengan
syarat formil dan materiil, perkawinan pemohon telah memenuhi rukun dan syarat
sebagaimana disebut dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Thn. 1974jo. Pasal 14-38 KHI.
Sejalan dengan ibarat dalam Kitab I’anatut Thalibin Juz IV hal. 254 yang berbunyi:
“Pengakuan seorang bahwa ia sudah menikah dengan seorang perempuan harus dapat
menyebutkan sahnya pernikahan yang lalu, umpamanya adanya wali nikah dan dua orang
saksi yang adil.”
54
7) Perkara No.001/Pdt.P/2013/PA.Plh. Pengadilan Agama Pelaihari. Untuk mendapatkan Akta
Nikah dalam rangka mengurus Akta Kelahiran anak. Sesuai dengan penjelasan pasal 49
ayat (1) angka (22) UU No.7 Thn. 1989 jo. UU No.3 Thn. 2006 jo. UU No.50 Thn. 2009 jo.
Pasal 7 ayat 2, 3 KHI tentang kewenangan Pengadilan Agama dalam pengesahan nikah.
Sesuai dengan pasal 7 ayat 3 huruf (c) yakni menyatakan sah atau tidaknya salah satu
syarat perkawinan serta bukti yang ada (Surat Keterangan Domisili Pemohon I dan II)
menyatakan kewenangan Pengadilan Agama Pelaihari memeriksa perkara tersebut. Sesuai
dengan doktrin hukum Islam yang tercantum dalam Kitab I’anatut Thalibin Juz IV hal.
254 yang berbunyi: “Pengakuan seorang bahwa ia sudah menikah dengan seorang perempuan
harus dapat menyebutkan sahnya pernikahan yang lalu, umpamanya adanya wali nikah dan
dua orang saksi yang adil.” Juga terdapat dalam Kitan Bughyatul Mustarsyidin hal. 298
yang berbunyi:”maka jika telah ada saksi-saksi yang menyaksikan atas perempuan itu
yang sesuai dengan permohonannya itu, maka tetaplah pernikahannya itu. Berdasarkan
fakta-fakta di persidangan disimpulkan bahwa perkawinan pemohon telah memenuhi rukun
dan syarat. Alasan permohonan pemohon sudah sesuai dengan maksud pasal 2 ayat (1) UU
No1 Thn.1974 jo. Pasal 7 ayat 3 huruf (e) dan ayat 4 KHI.
55
8) Perkara No.16/Pdt.G/2013/PA.Trk. Pengadilan Agama Tarakan. Tidak mempunyai Akta Nikah
karena tidak memiliki biaya. Akta Nikah digunakan untuk mengurus Akta Kelahiran.
Sesuai dengan UU No.23 Thn 2006 tentang Administrasi Kependudukan pada pasal 3
disebutkan “setiap penduduk wajib melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa
penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan dalam
pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.” Yang kemudian dijelaskan pada pasal 35
huruf (a) bahwa “pencatatan perkawinan berlaku pula pada pencatatan perkawinan yang
ditetapkan oleh pengadilan” yang proses pencatatannya diatur dalam pasal 36 bahwa
“dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktika dengan Akta Perkawinan, pencatatan
perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan. Sesuai dengan pasal 49 UU
No.7 Thn. 1989 yang diamandemen menjadi UU No.3 Thn.2006 maka perkara tersebut
termasuk kewenangan Pengadilan Agama Tarakan. Sesuai dengan bukti-bukti berupa KTP dan
KK bahwa pemohon adalah penduduk sah kota tarakan dan menjadi yurisdiksi Pengadilan
Agama Tarakan. Perkawinan pemohon telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan serta
tidak adanya halangan nikah. Sesuai dengan Kitab Al-anwar Jilid II hal. 146 yang
berbunyi sebagai berikut:”jika seorang wanita mengaku telah dinikah oleh seorang pria,
maka dapatlah diterima pengakuannya itu, baik yang berhubungan dengan penuntutan,
56
mahar, nafkah, warisan atau yang tidak berhubungan dengan itu.” Alasan pengajuan isbat
nikah sesuai dengan pasal 7 ayat 3 huruf (e) KHI.
9) Perkara No.09/Pdt.P/2011/PA.Ktb. Pengadilan Agama Kotabumi. Untuk mendapatkan Akta
Nikah. Permohonan sudah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Alat bukti
berupa surat-surat dan saksi-saksi telah memenuhi syarat formil dan materiil.
Perkawinan pemohon sudah memenuhi rukun dan syarat perkawinan, sesuai dengan mafhum
ibarat pada Kitan I’anatut Thalibin juz IV hal.254 sesuai dengan mafhum ibarat dalam
Kitab Mughnil Mumtaz juz 12 hal.125 yang berbunyi:”dan diterima pengakuan perempuan
yang sudah baligh dan berakal tentang pernikahannya dengan seseorang, menurut qaul
jadid. Perkawinan pemohon tidak melanggar larangan agama sebagimana disebutkan pada
pasal 9-10 UU No.1 Thn. 1974 (hakim menuliskannya pasal 19-10) jo. Pasal 39-44
KHI.permohonan sudah sesuai dengan pasal 7 ayat 3 huruf (e) dan pasal 4 KHI. Sesuai
dengan pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.1 Thn. 1974 serta pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI
perkawinan harus dilaksanakan secara sah dan dicatat di hadapan pejabat yang
berwenang. Sesuai dengan pasal 7 ayat 3 huruf a,b,c,d dan e.
57
10) Perkara No.005/Pdt.P/2012/PA.Tbnan. Pengadilan Agama Tabanan. Untuk mendapatkan
Akta Nikah sebagai bukti adanya pernikahan antara para pemohon. Sesuai dengan
ketentuan pasal 49 huruf (a) UU No.7 Thn 1989 yang dirubah terakhir menjadi UU No.50
Thn. 2009 jo. Pasal 7 ayat (2) KHI permohonan isbat nikah dapat diterima dan
dilanjutkan pemeriksaannya. Sesuai dengan penjelasan pasal 49 huruf (a) butir 22 UU
No.7 Thn.1989 yang diubah menjadi UU No.3 Thn 2006 tentang kewenangan PA dalam hal
pernyataan tentang sahnya perkawinan hanya dibatasi untuk perkawinan yang terjadi
sebelum 1974. Realitas di lapangan banyak perkawinan yang terjadi setelah 1974 dan
perubyang tidak bisa dibuktikan dengan akta nikah membutuhkan penanganan yang mendesak
bagi terselesaikannya berbagai masalah dan kepentingan sosial kemasyarakatan. Hal ini
ditandai dengan banyaknya perkara isbat nikah yang masuk ke PA Tabanan. Dalam
persidangan terungkap bahwa pemohon sebenranya telah melakukan upaya untuk
mendaftarkan pernikahannya melalui aparat desa yang biasa mengurus namun ternyata
persyaratan yang telah diserahkan oleh para pemohon tidak diteruskan ke KUA setempat,
sehingga tidak tercatatnya perkawinan pemohon adalah di luar kemampuan para pemohon.
Menimbang pasal ayat 5 ayat (1) UU No.48 Thn.2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Pasal 7 ayat (3) huruf e KHI telah memperluas kewenangan PA dalam
58
perkara pengesahan nikah yakni meliputi perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang
tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No.1 Thn.1974 maka permohonan
pengesahan perkawinan yang dilakukan oleh para pemohon telah sesuai dengan ruh dan
semangat ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas. Sesuai dengan pasal 63 ayat
(1) huruf a UU No1.Thn 1974 jo. Pasal 49 ayat a UU No.50 Thn. 2009 perkara ini
termasuk kewenangan PA Tabanan. Terpenuhi syarat dan rukun perkawinan. Dan tidak ada
halangan nikah sebagaimana tersebut dalam pasal 39 KHI atau pernikahan yang diancam
dengan pembatalan atau dapat dibatalkan sebagaimana tersebut dalam pasal 70 dan 71
KHI. Majelis hakim mengemukakan dalil syar’I yang terdapat dalam Kitab I’anatut
Thalibin juz IV hal.254. Berdasarkan fakta-fakta di persidangan, dengan melihat bahwa
perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun Islam dinyatakan sebagai pernikahan yang
sah mempunyai kepentingan yang nyata dan dengan memperhatikan ketentuan pasal 2 UU No
1 Thn. 1974 jo.pasal 4 dan pasal 7 ayat 1,2 dan 3 huruf (e) KHI.
b. Putusan atau penetapan yang diterima dan ditolak
1) Perkara No.044/Pdt.P/2012/PA.ML. Pengadilan Agama Muara Labuh. Untuk mendapatkan Akta
Nikah. Sesuai pasal 7 ayat (1) dan (2) bahwa perkawinan harus dapat dibuktikan dengan
Akta Nikah yang dibuat oleh PPN dan dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan
59
Akta Nikah maka dapat diajukan isbat nikahnya. Alasan isbat nikah hanya apabila sesuai
dengan pasal 7 ayat (3) a-e KHI. Bukti berupa akta cerai di bawah tangan tidak
memiliki kekuatan hukum, sebagaimana bunyi pasal 114 KHI, bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, karena itu pemohon II (istri) dianggap
masih menjadi pria lain. Menurut majelis hakim, para pemohon telah bertindak tidak
sesuai hukum dan tidak ber’iktikad baik, oleh karenanya tidak berhak memperoleh
perlindungan hukum. Majelis hakim berpendapat bahwa kondisi kota Solok yang ada saat
ini dimana transportasi lancar, dengan infrastruktur yang memadai sehingga tidak
sepantasnya menjadi alasan pemohon untuk mengenyampingkan peraturan perundang-
undangan.
2) Perkara No.014/Pdt.P/2011/PA.TBK. Pengadilan Agama Tanjung Balai Karimun. Untuk
mendapatkan Akta Nikah dalam rangka mengurus Akta kelahiran anak. Permohonan pemohon
telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, oleh karena itu
permohonan pemohon secara formil dapat diterima. Berdasarkan ketentuan pasal 49 UU
No.7 Thn 1989 jo.UU No.3 Thn.2006 jo.UU No. 50 Thn 2009 dan alat bukti KTP pemohon
bahwa perkara ini menjadi kewenangan PA Tanjung Balai Karimun. Dalam persidangan para
pemohon tidak dapat menghadirkan alat bukti yang cukup (saksi-saksi) yang mendukung
60
dalil permohonannya, namun demikian pemohon tetap tidak mau mengahadirkan alat bukti
tersebut sehingga hakim berkesimpulan bahwa permohonan tersebut ditolak.
3) Perkara No.22/Pdt.P/2010/PA.Gtlo. Pengadilan Agama Gorontalo. Untuk mendapatkan Akta
Nikah. Menimbang bahwa dalam surat permohonannya, pemohon I dan II menyatakan bahwa
masing-masing berstatus janda dan duda, namun dalam persidangan pemohon I mengaku
bahwa pada saat menikah dengan pemohon II dia masih terikat perkawinan dengan pria
lain yang telah meninggalkannya selama lebih dari 2 tahun. Berdasarkan pengakuan
tersebut maka pemohon I telah melanggar larangan nikah pasal 40 ayat (1) KHI. Karena
perkawinan pemohon sudah melanggar halangan nikah menurut UU No.1 Thn. 1974, maka
perkawinan tersebut tidak bisa diisbatkan, sebagaimana ketentuan pasal 7 ayat 3 huruf
(e) KHI.
4) Perkara No.25/Pdt.P/2012/PA. Bkt. Pengadilan Agama Bukittinggi. Untuk mendapatkan Akta
Nikah dalam rangka mendapatkan Akta Kelahiran. Sesuai dengan ketentuan Teknis
Administrasi dan Teknis Peradilan Agama Buku II Edisi 2009 MA RI, bahwa tidak ada
pihak yang merasa dirugikan atas perkara ini maka perrkara ini bisa diterima dan
dilanjutkan untuk diperiksa. Alasan pengajuan isbat nikah telah sesuai dengan Pasal 7
61
ayat 1 dan 4 KHI. Karena hanya ada satu saksi di persidangan dan telah diambil
keterangan dengan diambil sumpahnya, maka hakim berkesimpulan bahwa satu saksi sama
dengan tidak ada saksi (Unus Testis Nulus Testis, tapi dalam putusan tertulis unus
teslis nulus testis), dengan demikian saksi tidak memenuhi syarat formil, selain itu
keterangan saksi tidak sesuai dengan dalil pemohon I dan II, karena menurut saksi P3N
(Pembantu Pegawai Pencatat Nikah) dari pihak keluarga pria dan saksi nikah tidak
diketahui sehingga secara formil dan materiil alat bukti saksi tidak dapat diterima.
Dalam persidangan ditemukan fakta bahwa saksi tidak kenal dengan ayah pemohon II
(mempelai wanita) apakah masih hidup atau sudah meninggal saat pemohon menikah.
Menurut sepengetahuan saksi P3N dari Pemohon I dan II berasal dari keluarga mempelai
pria. Saksi tidak mengetahui saksi perkawinan dan mahar perkawinan pemohon I dan II.
Majelis hakim menggunakan dalil berupa hadis yang berbunyi:”diterima dari Aisyah, ia
telah berkata bahwa Rasulullah SAW pernah berkata: perempuan mana yang menikah tanpa
izin walinya, maka perkawinannya adalah batal. (HR Arba’ah kecuali An-Nasa’I, Abu
Awanah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim menshahihkannya). Hadis Nabi SAW yang
artinya;”Diterima dari Abdullah bin Mas’ud, ia telah berkata bahwa Rasulullah SAW
pernah bersabda: tidak sah menikah kecuali adanya wali dan dua orang saksi (HR
Daruquthni dan al-Baihaqy). Pendapat ahli fiqh dari kalangan madzhab Syafi’i diambil
62
alih oleh majelis hakim bahwa rukun perkawinan ada 5 yaitu calon mempelai pria, calon
mempelai wanita, wali, dua orang saksi dan ijab kabul, sebagaimana diungkapkan oleh
Abdurrahman al-Jaziry dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Madzahibul Arba’ah bahwa menurut ahli fiqh
dari kalangan madzhab Syafi’I bahwa rukun nikah ada 5 yaitu calon mempelai pria, calon
mempelai wanita, wali, dua orang saksi dan ijab kabul. Berdasarkan pembuktian yang
diajukan pemohon I dan II dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan dan hukum
syara’ maka perkawinan pemohon I dan II belum memenuhi rukun dan syarat perkawinan,
karena walaupun sudah ada wali tapi pemohon I dan II tidak dapat membuktikan dalil
permohonannya. Menimbang bahwa sesuai kaidah fiqh “bagi seseorang yang mendalilkan
sesuatu tapi dia tidak dapat membuktikan dalilnya maka permohonannya ditolak.
5) Perkara No. 26/Pdt.P/2012/PA.TR. Pengadilan Agama Tanjung Redeb. Untuk mendapatkan
Akta Nikah dalam rangka mengurus Akta Kelahiran anak. Sesuai dengan pasal 49 huruf a
UU No.7 Thn.1989 yang diubah menjadi UU No.3 Thn. 2006 dan perubahan kedua UU No.50
Thn. 2009 maka perkara ini menjadi wewenang Pengadilan Agama. Bukti-bukti berupa
surat-surat (Surat Pernyataan Telah menikah dan Kartu Keluarga) dianggap sah.
Berdasarkan fakta di persidangan diketahui bahwa wali dari pemohon II adalah pamannya,
padahal ia masih memiliki kakak kandung laki-laki, maka berdasarkan pasal 6 ayat (4)
63
UU No.1 Thn. 1974 jo.pasal 21 KHI, paman tidak berhak menjadi wali nikah sepanjang
masih ada saudara kandung laki-laki. Oleh karena itu perkawinan pemohon I dan II
dianggap belum memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Berdasarkan ketentuan pasal 2
ayat (2) UU No.1 Thn. 1974 maka diwajibkan kepada pemohon I dan II untuk melakukan
akad nikah yang baru dengan dicatatkan pada PPN KUA Kec. Pulau Derawan sebagaimana
domisili para pemohon.
6) Perkara No.71/Pdt.P/2012/PA. Smpg. Pengadilan Agama Sampang. Untuk mendapatkan Akta
Nikah dalam rangka mengurus Akta Kelahiran anak. Berdasarkan bukti berupa KTP dan KK
para pemohon berada di wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Sampang karena itu PA
Sampang berhak memeriksa dan mengadili perkara ini. Dalil pemohon yang menyatakan
bahwa telah terjadi perkawinan yang dihadiri 3 orang saksi, dikuatkan dan dibenarkan
oleh keterangan saksi. Wali nikahnya adalah ayah kandung pemohon II, namun 3 orang
saksi tersebut tidak mengetahui siapa yang bertindak sebagai wali dan siapa saja
saksinya.oleh karena itu dalil pemohon tentang adanya wali dan saksi tidak terbukti.
Mengingat bahwa wali dan saksi adalah rukun dalam perkawinan sebagaimana pasal 14 KHI
huruf (c) dan (d), sedangkan dalam perkara a quo tidak terbukti wali dan saksi-saksinya
64
maka majelis hakim menyimpulkan bahwa perkawinan tersebut tidak memenuhi rukunnya
karena itu patut ditolak.
7) Perkara No.127/Pdt.P/2010/PA.Tse. Pengadilan Agama Tanjung selor. Untuk mendapatkan
Akta Nikah dalam rangka mengurus Akta Kelahiran. Berdasarkan surat permohonan pemohon
menikah di hadapan sesorang bernama Hasan yang juga bertindak sebagai wali hakim,
pemohon tidak mengetahui apakah Hasan itu penghulu resmi atau penghulu liar, dia juga
tidak berhak menjadi wali hakim.perkawinan pemohon tidak memenuhi rukun dan syarat
perkawinan sebagaimana terdapat pada pasal 19-23 KHI yakni persyaratan wali nikah
serta Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Thn. 1987 tentang Wali Hakim, sehingga dengan
demikian perkawinan antara pemohon I dan Iitidak sesuai dengan hukum Islam dan
peraturan yang berlaku karena cacatnya wali. Anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut tetap dinasabkan kepada kedua orang tuanya sebagaimana dinyatakan
dalam dalil fiqhiyyah dalam Kitab Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu Juz V hal 690 yang
diambil alih oleh majelis hakim sebagai berikut: “pernikahan baik yang sah maupun yang
fasid adalah merupakan sebab untuk menetapkan nasab di dalam suatu kasus. Maka apabila
telah nyata terjadi suatu pernikahan, walaupun pernikahan itu fasid (rusak) atau
pernikahan yang dilakukan secara adat, yang terjadi dengan cara-cara akad tertentu
65
(tradisional) tanpa didaftarkan di dalam akta pernikahan secara resmi, dapatlah
ditetapkan bahwa nasab anak yang dilahirkan oleh perempuan tersebut sebagai anak dari
suami istri yang bersangkutan.
8) No.195/Pdt.G/2011/PA.Krui. Pengadilan Agama Krui. Untuk mendapatkan Akta Nikah dalam
rangka mengurus peerceraian). Berdasarkan UU No.1 Thn 1974 pasal 4 bahwasannya
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat
(1) UU No.1 Thn 1974. Pasal 5 ayat (1) agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Ayat (2) pencatatan perkawinan
tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diateur
dalam UU No. 22 Tahun 1946 jo. UU No. 32 Thn. 1954. Pasal 6 ayat (1) untuk memenuhi
ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah
pengawasan PPN. Pasal 6 Ayat (2) perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan PPN
tidak mempunyai kekuatan hukum. Menimbang berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas dan
berdasarkan dalil-dalil gugatan penggugat, ternyata perkawinan yang dilakukan oleh
penggugat dan tergugat adalah perbuatan melawan hukum, karena tergugat masih berstatus
suami perempuan lain yang belum diceraikan tergugat dan juga perkawinan tersebut tidak
dilangsungkan di hadapan pejabat yang berwenag sehingga pelaksanaan perkawinan
66
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (dalam amar
putusan terdapat kesalahan pada penulisan pertimbangan hukum yang digunakan, mestinya
tertulis pasal 4,5 dan 6 KHI, namun ditulis UU No.1 Thn.1974).
9) No.0266/Pdt.P/2011/PA. Pyk. Pengadilan Agama Payakumbuh. Untuk mengurus segala
keperluan yang terkait dengan Akta Nikah. Permohonan telah sesuai dengan pasal 49 ayat
a UU No.7 Thn 1989 yang diubah menjadi UU No.3 Thn 2006 dan perubahan kedua UU No.50
thn. 2009 sehingga secara formil sudah memenuhi ketentuan yang berlaku. Berdasarkan
Pedoman Teknis administrasi dan Teknis Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi tahun 2010
MA RI bahwa permohonan pemohon sudah sesuai, tidak ada pihak yang keberatan/dirugikan
dengan permohonan tersebut maka perkara bisa diperiksa. Alasan permohonan isbat nikah
adalah sesuai dengan pasal 7 angka 2 dan 4 KHI sehingga pengadilan Agama berwenang
memeriksa dan menetapkan perkara ini. Terhadap alat bukti dalam persidangan berupa dua
orang saksi, majelis berpendapat bahwa keduanya telah memenuhi persyaratan formil
karena hadir secara pribadi (in person) di persidangan, telah memberikan keterangan di
bawah sumpah, tidak terhalang secara hukum untuk didengar kesaksiannya, dan diperiksa
satu per satu. Secara materiil kesaksian saksi I dan II saling bersesuaian satu sama
lain sehingga sesuai dengan pasal 171-176 R.Bg jo. Pasal 308-309 R. Bg sehingga secara
67
formil dan materiil alat bukti saksi yang diajukan dapat diterima. Berdasarkan
keterangan saksi di persidangan ditemukan fakta bahwa saksi perkawinan hanya satu
orang dan wali nikahnya adalah ayah kandung pemohon II. Pemohon I adalah bujang dan
pemohon II adalah gadis. Perkawinan pemohon I dan II tidak memiliki halangan nikah
baik secara agama maupun adat. Tidak ada gugatan terhadap perkawinan keduanya.
Perkawinan yang sah adalah sebagaimana yang disebut pada pasal 2 ayat (1) UU No.1 Thn
1974. Keabsahan suatu perkawinan adalah terpenuhinya rukun nikah yaitu kedua mempelai,
wali, dua orang saksi, ijab kabul sebagaimana dimaksud pada pasal 14 KHI. Keabsahan
suatu perkawinan juga harus terpenuhi syarat-syarat nikah bahwa tidak ada mahram al-
nikah antara calon mempelai baik selama-lamanya maupun sementara sebagaimana dimaksud
pada pasal 8-10 UU No.1 Thn. 1974. Berdasarkan dalil-dalil para pemohon dikaitkan
dengan ketentuan perundang-undangan maka perkawinan pemohon I dan II kurang memenuhi
rukun nikah karena saksi hanya terdiri dari 1 orang, sementara ayah kandung pemohon II
bertindak sebagai wali nikah, sehingga tidak bisa dijadikan saksi nikah. Dengan
demikian majelis hakim berkesimpulan bahwa permohonan isbat nikah para pemohon
ditolak.
68
10) No.0162/Pdt.P/2013/PA.GM. Pengadilan Agama Giri Menang. Untuk mendapatkan Akta
Nikah sebagai kelengkapan identitas diri dan status anak-anak yang dilahirkan serta
mohon berperkara secara cuma-cuma (prodeo). Menimbang bahwa dari posita pemohon I dan
II, majelis hakim menilai bahwa pemohon I dan II mendalilkan telah melaksanakan
perkawinan secara syari’at Islam dengan wali nikah ayah kandung yang berwakil pada
kakeknya dan dihadiri lebih dari dua orang saksi. Namun pemohon tidak dapat
membuktikan dalil-dalil permohonannya tersebut maka permohonannya ditolak oleh majelis
hakim.
2. Penetapan dan putusan yang tidak diterima
a. Perkara N0.055/Pdt.P/2012/PA. Smi. Pengadilan Agama Sukabumi. Untuk mendapatkan akta
nikah dalam rangka pengurusan akte kelahiran anak. Permohonan dianggap prematur dan tidak
konsisten karena tidak sesuai dengan realita bahwa pemohon II (istri) tidak dalam kondisi
hamil dan belum dikaruniai anak. Isbat nikah bukan semata-mata pengganti perkawinan yang
tidak dicatatkan oleh pejabat KUA sehingga ada orang-orang yang memilih untuk menikah
dahulu kemudian baru mengajukan isbat ke Pengadilan Agama seperti halnya perkara ini.
Perkawinan dilakukan pada 10 Maret 2012 dan diisbatkan pada tahun yang sama yaitu 27
September 2012.
69
b. Perkara No.0008/Pdt.P/2011/PA. Lrt. Pengadilan Agama Larantuka. Untuk mendapatkan akta
nikah dalam rangka poligami. Pemohon I dan II tidak merubah surat permohonan yang
menjadikan istri I dan anak dari istri II sebagai pihak dalam perkara permohonan isbat
nikah.
c. Perkara No. 10/Pdt.P/2011/PA. Stg. Pengadilan Agama Sintang. Untuk mendapatkan akta
nikah. Surat permohonan mengandung cacat formil error in persona karena diskualifikasi in
person karena identitas para pemohon berbeda dengan identitas yang tertulis dalam surat
permohonan. Surat permohonan tidak dibuat dan ditanda tangani oleh para pemohon.
d. Perkara No. 26/Pdt.P/2013/PA. Bkt. Pengadilan Agama Bukittinggi. Untuk mendapatkan akta
nikah dan keperluan mengurus Kartu Keluarga dan Akte Kelahiran Anak. Menimbang pasal 2
ayat 2 UU Perkawinan No. 1 Thn 1974 jo. Pasal 5 ayat 1 KHI bahwa untuk menjaga ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam maka perkawinan harus dicatatkan. Sesuai pasal 6 ayat 1
KHI bahwa perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan PPN. Pemohon
sengaja tidak mencatatkan perkawinannya di hadapan dan di bawah pengawasan PPN sehingga
pemohon tidak memenuhi maksud pasal 6 ayat 1 KHI.
70
e. Perkara No. 52/Pdt.G/2013/ PA.PP. Pengadilan Agama Padang Panjang. Untuk mendapatkan akta
nikah guna mengurus akte kelahiran anak dan mengurus perceraian. -sesuai dengan pasal 2
ayat (1) dan (2) UU No.1 Thn. 1974 jo. Pasal 4 dan 5 KHI, bahwasannya perkawinan dianggap
sah dan berkekuatan hukum apabila dilaksanakan menurut hukum Islam dan dicatat. -
perkawinan harus memenuhi rukun dan syarat sebagaimana tercantum dalam pasal 8 UU No.1
Thn. 1974 dan pasal 14 KHI, serta dilaksanakan di hadapan dan di bawah pengawasan PPN
sesuai dengan maksud pasal 6 ayat (1) KHI. -sesuai dengan pasal 9 KHI bahwasannya
“seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi,
kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU No. 1 Thn. 1974.”
Padahal pada waktu menikah dengan penggugat, status tergugat adalah masih menjadi suami
perempuan lain. -berdasarkan pasal 8 KHI bahwasannya “putusnya perkawinan selain cerai
mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang
berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk maupun putusan taklik talak.” Penggugat
yang mengaku sebagai janda pada waktu menikah dengan tergugat tidak dapat menunjukkan
surat cerai dengan suami pertamanya kepada qadhi yang menikahkan. -berdasarkan pasal 3
dan 4 UU No.1 Thn. 1974 jo. Pasal 56 ayat (1) KHI bahwa suami yang hendak beristri lebih
dari 1 (satu) orang harus mendapat izin dari Pengadilan, yang dalam hal ini adalah
71
Pengadilan Agama. Sedangkan tergugat telah melangsungkan perkawinan dengan penggugat
tanpa mendapat izin dari Pengadilan Agama.
f. Perkara No.352/Pdt.G/2012/PA. Bkt. Pengadilan Agama Bukittinggi. Untuk mendapatkan akta
nikah dalam rangka mengurus perceraian. -dalam surat gugatan dinyatakan bahwa penggugat
menikah dengan wali hakim yang ditunjuk oleh penggugat sendiri tanpa sepengetahuan wali
nasab yaitu ayah kandungnya sendiri. Pada saat menikah, penggugat dalam kondisi hamil.
Dalam persidangan penggugat mempertegas bahwa ia tidak mengenal wali hakim tersebut,
sedangkan ayah kandungnya masih hidup dan saat penggugat menikah, ayahnya berada di
Pekanbaru Riau. -berdasarkan posita poin 3 gugatan penggugat dan pernyataan penggugat di
persidangan, Majelis menemukan fakta bahwa perkawinan penggugat dan tergugat tidak jelas
status hukumnya karena tidak sesuai dengan ketentuan syar’I dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
g. Perkara No.08/Pdt.G/2010/Ms. Aceh. Mahkamah Syar’iyyah Aceh. Penggugat ingin mendapatkan
akta nikah yang baru karena akta nikah yang lama berada di tangan tergugat. –untuk
mengurus perceraian dengan tergugat. Pada posita dalam surat gugatan penggugat tidak
menguraikan tentang kejadian-kejadian perkawinan penggugat dan tergugat tahun 1978, siapa
72
saksinya, siapa walinya, apa maharnya, status calon suami apakah jejeka atau duda, calon
istri apakah gadis atau janda, apakah kedua calon pengantin memiliki hubungan darah atau
sepersusuan yang menjadi halangan perkawinan, apakah perkawinan itu telah dicatat oleh
pejabat yang berwenang. Sehingga hakim memutuskan bahwa gugatan ini obscuur libel (kabur).
B. ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM ATAS PUTUSAN ATAU PENETAPAN ISBAT NIKAH
Perkawinan bagi umat Islam Indonesia dikatakan sah jika dilakukan menurut hukum Islam dan
Undang-Undang Perkawinan no. 1 tahun 1974 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam. Negara
mengharuskan adanya pencatatan perkawinan, sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat 2 Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perkawinan bagi negara Indonesia harus dicatatkan pada lembaga yang diberi kewenangan
agar perkawinan tersebut mempunyai kedudukan dalam hukum. Bagi perkawinan yang telah dilakukan
menurut agama Islam dan terpenuhi syarat serta rukunnya, tetapi belum dicatatkan dalam lembaga
pencatat perkawinan, negara memberi ruang untuk mendapatkan pengakuan perkawinan tersebut
melalui penetapan (isbat) nikah.
Isbat nikah dalam sejarahnya diperuntukkan bagi perkawinan yang terjadi sebelum tahun
1974, perkara isbat nikah bagi pengadilan agama diperuntukkan bagi mereka yang melakukan
perkawinan dibawah tangan sebelum diberlakukannya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
73
perkawinan. Jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 (penjelasan pasal 49 ayat (2), Jo. Pasal
64 UU No. 1 Tahun 1974). Namun fakta empirik menampilkan banyaknya perkawinan yang dilakukan
setelah tahun 1974 jika dilihat dari syarat dan rukunnya terpenuhi, hanya saja perkawinan
tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatat perkawinan (KUA). Lalu bagaimana payung hukum
bagi para pelaku perkawinan tersebut? Apakah mereka tidak dapat mendapatkan isbat nikah,
sehingga perkawinannya tidak diakui oleh negara, keturunannya juga tidak dapat melakukan
perbuatan berkenaan dengan hukum Indonesia. Sungguh ironis peristiwa tersebut, karena mereka
sebetulnya melakukan perkawinan yang telah terpenuhi syarat dan rukunnya, hanya tidak
dicatatkan pada lembaga negara.
Pada tahun 1991 muncul Inpres tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang salah satu
pasalnya memberi ruang bagi para pencari keadilan dalam perkawinan. Pada Pasal-pasal yang
terdapat dalam KHI, Pasal 7 ayat 2 dan 3, dalam ayat (2) "isbat nikah yang diajukan ke
pengadilan agama”, pada ayat (3) isbat nikah yang diajukan ke pengadilan agama terbatas
mengenai hal yang berkenaan dengan : a. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian
perceraian; b. hilangnya akta nikah; c. adanya keraguan tentang sah tidaknya salah satu syarat
perkawinan; d. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan
menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974.
74
Pasal 7 ayat 2 dan 3 KHI tersebut, memberikan kewenangan lebih dari yang diberikan oleh
Undang-Undang; baik oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Di sisi lain, pasal 2 TAP MPR RI No.
III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan; INPRES tidaklah termasuk
dalam tata urutan perundang-undang Republik Indonesia.
Pada kenyataannya perkara isbat nikah ini menjadi menarik ketika mengalami perluasan
permohonan yang diajukan ke Pengadilan Agama, di antaranya: 1) Isbat nikah untuk melengkapi
persyaratan akta kelahiran anak; 2) Isbat nikah untuk melakukan perceraian secara resmi di
pengadilan; 3) Isbat nikah untuk mendapatkan pensiunan janda; 4) Isbat nikah isteri poligami.
Perkara isbat nikah hampir setiap tahun diajukan oleh para pemohon pada setiap Pengadilan
Agama di Indonesia. Para pemohon isbat nikah tidak melihat apakah perkawinan mereka termasuk
sebelum diberlakukannya Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 atau sesudahnya. Dengan
bermacam-macam alasan permohonan, mereka mengajukannya pada pengadilan Agama.
Persoalan yang timbul dari isbat nikah berkaitan dengan ketentuan waktu pelaksanaan
perkawinan antara sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana
diatur Pasal 7 Ayat 3 (d) KHI, dengan kenyataaan permohonan Isbat nikah yang diajukan sesudah
tahun 1974. Terhadap hal demikian, yaitu adanya permohonan bagi perkawinan yang dilakukan
75
setelah berlakunya UUP no. 1 tahun 1974, hakim perlu meramu ratio legis dan mencari alasan hukum
yang membolehkan pengadilan agama menerima perkara isbat nikah tersebut.
Setidaknya terdapat beberapa alasan pengadilan agama dapat menerima dan memutus perkara
isbat nikah terhadap perkawinan pasca berlakunya Undang-Undang Perkawinan no 1 tahun 1974.
Pertama, berkaitan dengan asas ius curia novit yakni hakim dianggap mengetahui hukum isbat nikah,
dan asas kebebasan Hakim untuk menemukan hukumnya terhadap masalah atau kasus yang tidak
terdapat peraturan hukumnya (rechtsvacuum).66 Kedua, pendekatan sosiologis yang mendorong hakim
menganalisis suatu kasus dengan pendekatan sosiologi hukum dan melakukan penafsiran sosiologis
terhadap peraturan lain yang ada hubungannya dengan masalah yang dihadapi supaya hukum tidak
stagnan, melainkan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat atau sesuai dengan hukum yang
hidup dan berkembang (living law) di masyarakat. Langkah-langkah ini kemudian dikenal dengan
sebutan penemuan hukum (rechtsvinding). Dasar hukum peran hakim terdapat pada Pasal 28 ayat (1)
66 Beberapa ketentuan yang menjadi alas hukum argumentasi ini antara lain: 1) Pasal 10 ayat (1) Undang-UndangNomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkanwajib untuk memeriksa dan mengadilinya. 2) Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang KekuasaanKehakiman yang berbunyi: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum danrasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; 3) Pasal 56 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahanatas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berbunyi: “Pengadilan tidak boleh menolak untukmemeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajibmemeriksa dan memutusnya;”
76
UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Pasal di atas memberi penjelasan bahwa, seorang hakim diberi kebebasan untuk menemukan
hukum terhadap masalah atau kasus yang tiada peraturan hukumnya atau adanya peraturan yang
multitafsir tentang hal-hal yang diajukan kepadanya. Selain Pasal tersebut ada aturan lain
yang memberi kewenangan hakim dan pengadilan untuk menerima setiap permohonan kemudian
memeriksa dan memutuskannya, di antaranya: Pasal 56 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berbunyi
sebagai berikut “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan
memutusnya” atau Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
berbunyi “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya”.
Beberapa alasan inilah yang menurut peneliti, para hakim dapat menerima permohonan isbat
nikah meski perkawinannya terjadi setelah diberlakukannya Undang-Undang Perkawinan no. 1 tahun
1974. Hakim akan mencari kebenaran formil dan materiil dalam permohonan isbat nikah. Kebenaran
formil dan materiil yang dicari oleh hakim terwujud dalam amar putusan atau penetapan.
77
Putusan atau penetapan isbat nikah oleh majelis hakim di Pengadilan Agama dilakukan
melalui proses tahapan dari permohonan sampai putusan atau penetapan. Setelah permohonan isbat
nikah diajukan ke Pengadilan Agama, tahapan selanjutnya Pengadilan Agama akan menentukan hari
sidang. Pada saat persidangan, Pengadilan Agama memeriksa apakah syarat-syarat formil sudah
terpenuhi atau belum. Jika seluruh persyaratan formil sudah terpenuhi, maka Pengadilan Agama
melalui majelis hakim membuat penetapan atau putusan yang bunyinya permohonan diterima.
Sedangkan jika persyaratan formil tidak terpenuhi, maka majelis hakim membuat penetapan atau
putusan yang menyatakan permohonan tidak diterima.
Syarat-syarat formil yang harus dipenuhi dalam tata cara beracara di Pengadilan Agama
antara lain:
a. Permohonan/gugatan diajukan ke Pengadilan Agama sesuai dengan kompetensi/kewenangan
relatifnya.
b. Surat permohonan/gugatan diberi tanggal dan ditandatangani oleh pemohon/penggugat.
c. Identitas pihak berperkara harus jelas.
d. Fundamentum petendi/posita harus jelas.
e. Petitum harus jelas.
Di antara syarat formil di atas diperinci lagi menjadi permohonan/gugatan obscuur libel (tidak
jelas) yang bisa dilihat dari fundamentum petendi/posita yang kontradiktif dengan petitum,
78
nebis in idem, error in persona yang disebabkan oleh kesalahan dalam mencantumkan nama, atau
kurangnya pihak yang dijadikan sebagai termohon/tergugat, dll.67
Permohonan isbat nikah yang telah memenuhi syarat-syarat formil dinyatakan diterima dan
dilanjutkan pada pemeriksaan selanjutnya oleh majelis hakim. Sedangkan permohonan yang tidak
memenuhi syarat formil maka permohonan tidak dapat diterima, dan tidak dapat dilanjutkan pada
pemeriksaan selanjutnya.
Beberapa contoh kasus permohonan isbat nikah di atas yang persyaratan formil tidak
terpenuhi sehingga permohonan tidak diterima disebabkan karena surat permohonan isbat nikah
tidak sesuai dengan unsur-unsur perkawinan yang sah, atau karena kesalahan surat permohonan.
Misalnya permohonan yang tidak memenuhi unsur-unsur perkawinan yang sah di negara Indonesia
adalah Penetapan No. 26/Pdt.P/2013/PA. Bkt. Pengadilan Bukit Tinggi memohon untuk mendapatkan
akta nikah dalam rangka kepengurusan kartu keluarga dan akte anak. Permohonan ini tidak dapat
diterima karena pemohon dengan sengaja tidak mencatatkan perkawinannya di sepan Pegawai
Pencatat Nikah (PPN). Sesuai Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan No. 1 Thn 1974 jo. Pasal 5 ayat 1
KHI.
Permohonan karena kesalahan permohonan misalnya Penetapan No. 10/Pdt.P/2011/PA. Stg
(Pengadilan Agama Sintang). Permohonan isbat nikah untuk mendapatkan akta nikah ini tidak
67 ? M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, hlm. 51-66.
79
diterima karena surat permohonan mengandung cacat formil error in persona yaitu identitas para
pemohon berbeda dengan identitas yang tertulis dalam surat permohonan. Penetapan
N0.055/Pdt.P/2012/PA. Smi. Pengadilan Sukabumi yang meminta akta nikah dalam rangka pengurusan
akte anak. Permohonan ini tidak diterima karena ternyata pemohon II (istri) tidak dalam
keadaan hamil.
Sementara itu, permohonan isbat nikah yang di dalamnya ada unsur gugatan dan tidak
diterima oleh majelis hakim biasanya karena adanya fakta yang disembunyikan, unsur perkawinan
yang tidak sah atau karena kaburnya permohonan. Misalnya putusan No.52/Pdt.G/2013/PA.PP
pengadilan Padang Panjang yang menginginkan adanya akta nikah dalam rangka pengurusan akte
anak dan perceraian. Permohonan ini tidak diterima karena perkawinan yang dilakukan penggugat
dengan tergugat tidak memenuhi pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.1 Thn. 1974 jo. pasal 4 dan 5
KHI. Perkawinan penggugat dan tergugat tidak memenuhi pasal 8 UU No.1 Thn. 1974, pasal 6 dan
14 KHI. Demikian juga penggugat tidak memenuhi pasal 8 KHI bahwasannya “putusnya perkawinan
selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama
baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk maupun putusan taklik talak.”
Perkawinan penggugat dan tergugat tidak memenuhi pasal 9 UU No.1 Thn. 1974 yang berbunyi
“seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi,
kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU No. 1 Thn. 1974.”
80
Penggugat ketika menikah dengan tergugat adalah seorang janda cerai, namun penggugat
tidak dapat menunjukkan surat cerai dari Pengadilan. Tergugat ketika menikah dengan penggugat
adalah seorang duda, namun ternyata ia masih terikat pernikahan dengan istri sebelumnya karena
tidak ada surat cerai. Perkawinan antara penggugat dan tergugat yang dilangsungkan di rumah
penggugat ternyata tidak dicatatkan di depan Pegawai Pencatat Perkawinan.
Putusan No.352/Pdt.G/2012/PA. Bkt. Pengadilan Bukit Tinggi yang memohon untuk mendapatkan
akta nikah dalam pengurusan surat cerai tidak diterima oleh majelis hakim. Penggugat (istri)
dan tergugat (suami) melakukan perkawinan tidak sesuai dengan ketentuan hukum dan syara’.
Pernikahan dilakukan di bawah tangan (tidak dicatatkan di depan Pegawai Pencatat Nikah) dengan
wali hakim yang ditunjuk sendiri tanpa sepengetahuan wali nasab (ayah kandungnya) yang masih
hidup. Perkawinan dilakukan karena saat itu penggugat dalam keadaan hamil.
Permohonan yang kabur putusan No.08/Pdt.G/2010/Ms. Aceh. Pada posita dalam surat gugatan
penggugat tidak menguraikan tentang kejadian-kejadian perkawinan penggugat dan tergugat tahun
1978, siapa saksinya, siapa walinya, apa maharnya, status calon suami apakah jejeka atau duda,
calon istri apakah gadis atau janda, apakah kedua calon pengantin memiliki hubungan darah atau
sepersusuan yang menjadi halangan perkawinan, apakah perkawinan itu telah dicatat oleh pejabat
yang berwenang. Sehingga hakim memutuskan bahwa gugatan ini obscuur libel (kabur).
81
Paparan ini menjelaskan betapa pentingnya pencatatan perkawinan, yaitu untuk kemaslahatan
orang yang melakukan perkawinan dan ahli warisnya serta demi ketertiban umum. Kemaslahatan
yang diatur oleh negara berkaitan pencatatan perkawinan ditujukan untuk pelaku perkawinan yang
mendapatkan kekuatan di muka hukum, ahli waris juga mempunyai kekuatan hukum. Kekuatan hukum
berupa kepastian mendapatkan hak di muka hukum, mendapatkan keadilan dan ketertiban di
masyarakat. Orientasi negara untuk mewujudkan kemaslahatan umatnya berdasarkan pada kaidah:
ف� ر ص ام ت لى الام ع ة ي� اع ر وط ال ن� ة" م لح مص ال )ب“Tindakan pemimpin (pemerintah) untuk kepentingan umum rakyatnya didasarkan atas kemaslahatan”
Dengan keinginan untuk menggapai kemaslahatan, maka secara otomatis kemadharatan harus
dihindarkan. Perilaku-perilaku yang dapat menyebabkan timbulnya kemadharatan harus
dihindarkan. Misalnya perkawinan yang tidak dicatatkan mengindikasikan munculnya peluang
pelaku perkawinan yang tidak bertanggung jawab, contoh yang paling banyak terjadi adalah
menghilangnya seorang suami dengan meninggalkan istri dan atau anak-anaknya tanpa status yang
jelas di masyarakat, tidak mendapatkan nafkah dan tidak mendapatkan kedudukan di muka hukum.
Oleh sebab itu perilaku-perilaku seperti ini harus dihindarkan demi mendapatkan kemaslahatan
bersama. Kaidah yang biasa digunakan adalah:
82
د" درء اس م المف� د ف لى م لب( ع )ح ج المصال“Menolak kemudharatan lebih didahulukan dari pada memperoleh kemaslahatan”
Alasan inilah yang menjadi pertimbangan hakim tidak menerima isbat nikah yang tidak
memenuhi syarat formilnya.
Penetapan atau putusan isbat nikah yang tidak dapat diterima karena tidak terpenuhinya
syarat-syarat formil dalam perkara isbat nikah oleh majelis hakim tidak akan dilanjutkan pada
pemeriksaan secara materiil. Pada tahap ini unsur materiil dalam perkawinan ditentukan oleh
terpenuhinya syarat dan rukun perkawinan yang sah menurut agama dan negara yang telah diatur
dalam Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2 UUP no 1 tahun 1974. Perkawinan yang tidak sah menurut agama
dan menurut negara tidak mempunyai kepastian hukum dan juga akan menyebabkan hilangnya unsur
keadilan dan kemanfaatan bagi pelaku perkawinan dan ahli waris atau anak-anaknya.
Perkawinan yang dilakukan sah menurut agama tetapi dilakukan di bawah tangan (tidak
dicatatkan di depan Pegawai Pencatat Nikah) sehingga tidak mendapat kepastian hukum masih
dapat mengajukan penetapan (isbat) perkawinannya. Jika permohonan isbat nikah dikabulkan maka
pelaku perkawinan ini mendapatkan kedudukan yang sama di muka hukum, dan perkawinannya sah
menurut agama dan negara. Pada kasus ini hakim tidak hanya melihat sisi kepastian hukum tetapi
juga melihat dari sisi keadilan dan kemaslahatannya.83
Permohonan isbat nikah yang telah diterima (karena telah memenuhi syarat formilnya) dapat
dilanjutkan proses selanjutnya, yaitu pemeriksaan terhadap unsur-unsur materiil. Jika unsur-
unsur materiil juga sudah terpenuhi, maka putusan atau penetapan isbat nikah akan dikabulkan
oleh majelis hakim, namun sebaliknya ketika unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi maka
permohonan atas putusan atau penetapan isbat nikah ditolak.
Unsur materiil berkaitan dengan syarat dan rukun nikah atau tata cara pernikahan dalam
agama Islam dan negara Indonesia. Permohonan isbat nikah yang diterima dan dikabulkan telah
memenuhi persyaratan formil dan pernikahannya telah dijalankan sesuai dengan syarat dan rukun
pernikahan serta sesuai dengan hukum yang berlaku. Permohonan isbat nikah ini diajukan untuk
memperbarui akta nikah yang lama karena terdapat kesalahan dari pejabat yang membuat, atau
karena akta nikah yang lama hilang.
Permohonan isbat nikah untuk meminta akta nikah yang baru karena di dalam akta nikah lama
terdapat kesalahan seperti penetapan No.3/Pdt.P/2010/PA. Tgrs. Pengadilan Agama Tigaraksa. Di
dalam permohonan isbat nikah ini pemohon meminta untuk mendapat akta nikah yang baru dalam
rangka mengurus syarat pensiun karena akta nikah yang lama terdapat kesalahan tanggal lahir
dan tanggal nikah. Secara formil, permohonan isbat nikah ini terpenuhi dan dalam pemeriksaan
di persidangan unsur materiil juga terpenuhi, baik dari syarat dan rukun perkawinan maupun
tata cara perkawinan.
84
Berdasarkan pasal 49 ayat (2) UU No.3 Thn 2006, sesuai dengan kompetensi relatif
dibuktikan dengan fotocopy Surat Keterangan Kematian dan fotocopy Akta Nikah.
Isbat nikah dapat diajukan dalam hal-hal yang secara limitatif diatur dalam pasal 7 ayat 3 dan
4 KHI. Tidak ada halangan nikah sebagaimana disebut pada pasal 8,9,10 UU No.1 Thn. 1974 jo.
Pasal 39-44 KHI. Perkawinan telah memenuhi rukun dan syarat sebagaimana disebut pada pasal 14
KHI. Permohonan pemohon sudah memenuhi pasal 2 ayat 1 dan 4 UU No.1 Thn. 1974. Pasal 7 ayat 2
dan 3 (e) KHI.
Selanjutnya penetapan No.105/Pdt.P/2013/PA. Bkt. Pengadilan Bukittinggi yang meminta akta
nikah sebagai syarat mengurus akte anak dan lain sebagainya. Akta nikah tidak diberikan oleh
pegawai pencatat nikah karena ada kelalaian dari pegawai KUA dan pemohon tidak mempunyai biaya
pengurusan akta nikah. Dalam kasus ini semua syarat formil dan materiil dapat ditunjukkan pada
majelis hakim selama pemeriksaan dalam persidangan. Oleh sebab itu permohonan isbat nikah
diterima dan dikabulkan. Perkara No.16/Pdt.G/2013/PA.Trk Pengadilan Agama Tarakan juga
menerima dan mengabulkan permohonan isbat nikah untuk mendapatkan akta nikah baru, karena
selama ini pemohon tidak mempunyai biaya untuk mengurus akta nikah. Permohonan isbat nikah ini
diterima dan dikabulkan karena semua syarat formil dan materiil dapat ditunjukkan oleh pemohon
selama persidangan berlangsung.
85
Pada penetapan No. 0041/Pdt.P/2011/PA.Tnk, Pengadilan Agama Tanjung Karang juga menerima
dan mengabulkan permohonan isbat nikah untuk meminta akta nikah baru sebagai syarat pengurusan
akte kelahiran. Hal ini dikarenakan akta nikah yang lama telah hilang. Perkara ini sama dengan
perkara No.2/Pdt.P/2010/PA. Bky Pengadilan Agama Bengkayang.
Permohonan isbat nikah No.106/Pdt.G/2012/PA.Pkc.Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci yang
di dalamnya terdapat unsur gugatan untuk memperoleh akta nikah sebagai pengurusan perceraian.
Selama persidangan penggugat dapat menunjukkan bahwa pernikahannya sah dilakukan menurut agama
dan di depan Pegawai Pencatat Nikah, namun sampai sekarang penggugat tidak menerima akta
nikah. Karena selama pemeriksaan dalam persidangan penggugat dapat menunjukkan syarat formil
dan materiil maka majelis hakim menerima dan mengabulkan permohonan penggugat.
Contoh di atas menunjukkan bahwa para pemohon dapat memenuhi syarat formil dan materiil
selama persidangan berlangsung. Majelis hakim memeriksa kelengkapan permohonan isbat nikah dan
kesesuaiannya dengan fakta persidangan, majelis hakim juga memeriksa syarat dan rukun nikah
yang telah dilakukan para pemohon dan penggugat, seperti adanya sepasang mempelai, wali, 2
orang saksi, dan ijab kabul. Majelis hakim berpegang pada kitab fikih atau mereka sependapat
dengan para ahli fikih mengenai syarat dan rukun nikah yang harus dipenuhi pada perkawinan.
Selain itu, untuk mencari kemaslahatan bersama, majelis hakim juga mengadakan mediasi bagi
para pemohon isbat nikah yang di dalamnya terdapat unsur gugatan. Selama persidangan
86
berlangsung majelis hakim selalu menanyakan fakta-fakta yang berkaitan dengan permohonan isbat
nikah, selain untuk mencari kebenaran formil dan materiilnya majelis hakim juga bertujuan
untuk mencari kemaslahatan bersama. Seperti kemaslahatan bagi ahli waris pemohon, agar
memperoleh kedudukan di mata hukum. Anak dari perkawinan tersebut berhak mendapatkan akte
kelahiran sebagai bukti kependudukan dan ia juga mendapat hak waris. Seorang istri yang sah
dengan mendapatkan akta nikah mendapatkan hak di mata hukum, ia juga berhak mendapat nafkah
atau hak waris. Fakta-fakta inilah yang dilihat sebagai kemaslahatan oleh majelis hakim.
Karena syarat formil dan materiil dapat dipenuhi oleh para pemohon, majelis hakim
berdasarkan peraturan Undang-Undang yang berlaku dan berdasarkan atas kemaslahatan pemohon,
maka majelis hakim menerima dan mengabulkan isbat nikah yang diminta.
Putusan atau penetapan hakim yang diterima tetapi ditolak adalah yang telah memenuhi
syarat formil tetapi tidak memenuhi syarat materiilnya. Berikut contoh-contoh perkara
permohonan isbat nikah yang diterima tetapi ditolak. Putusan pengadilan agama
No.044/Pdt.P/2012/PA.ML Pengadilan Agama Muara Labuh yang menginginkan akta nikah baru.
Pemohon I dan pemohon II telah memenuhi syarat formil dalam pengajuan isbat nikah, tetapi
ketika dilihat syarat materiilnya, seperti proses perkawinan dan syarat serta rukunnya,
ternyata syarat materiil tersebut tidak terpenuhi. Saat berlangsungnya perkawinan pemohon I
berstatus jejaka, sedangkan pemohon II adalah janda cerai hidup. Pada saat perkawinan
87
dilangsungkan pemohon II tidak dapat menunjukkan surat cerai dari suami sebelumnya, tetapi
pemohon I dan II meminta akta nikah dari P3N (Pembantu Pegawai Pencatat Nikah). Oleh P3N akta
nikah tidak dikeluarkan karena pemohon II tidak dapat menunjukkan surat cerai. Atas dasar ini
majelis hakim memutuskan bahwa perlindungan hukum yang diinginkan oleh pemohon I dan II dengan
meminta akta nikah (melalui isbat nikah) tidak dapat dilakukan (ditolak), karena majelis hakim
memandang pemohon I dan II telah bertindak tidak sesuai hukum.
Kasus yang hampir sama dengan kasus di atas adalah putusan hakim
No.22/Pdt.P/2010/PA.Gtlo. Pengadilan Agama Gorontalo. Para pemohon I dan II adalah duda dan
janda cerai hidup, namun pemohon II melakukan perkawinan keduanya tanpa melampirkan surat
cerai, sehingga pegawai KUA tidak bisa mengeluarkan akta nikah, begitu juga dalam persidangan,
Pengadilan Agama tidak dapat mengelurkan pernyataan pengesahan nikahnya. Meskipun permohonan
isbat nikah ini diterima (telah memenuhi unsur formil) namun ditolak (tidak memenuhi syarat
materiil, yaitu perkawinan tidak sesuai aturan agama dan negara).
Putusan hakim No.014/Pdt.P/2011/PA.TBK Pengadilan Agama Tanjung Balai Karimun meminta
penetapan isbat nikah berupa akta nikah. Saat proses uji formil, pemohon dapat memenuhi syarat
formil, sehingga permohonan isbat diterima kemudian persidangan dilanjutkan untuk uji
materiil. Saat uji materiil, para pemohon tidak dapat membuktikan kebenaran materiilnya
melalui fakta persidangan, mereka tidak bisa menghadirkan para saksi saat berlangsungnya
88
perkawinan, wali, dan lain sebagainya. Para pemohon hanya mempunyai bukti Kartu Tanda
Penduduk, sehingga permohonan isbat nikah ini ditolak.
Perkara permohonan isbat nikah ini ditolak karena tidak memenuhi unsur materiil, namun di
sisi lain para pemohon menginginkan adanya akta nikah sebagai pengurusan akte kelahiran kedua
putranya. Saat persidangan majelis hakim sudah meminta para pemohon agar menghadirkan para
saksi nikah atau wali, namun para pemohon tidak dapat menghadirkannya karena orang tua pemohon
II (istri) tidak setuju dengan perkawinan mereka. Majelis hakim melihat perkawinan ini
dilakukan di bawah tangan atau bahkan perkawinan tanpa aturan agama yang sah. Dengan perkara
ini maka putra-putra pemohon menjadi korban dari perkawinan kedua orang tuanya, mereka tidak
mempunyai akte kelahiran sebagai bukti kependudukan. Perkara ini hampir sama dengan putusan
No.0162/Pdt.P/2013/PA.GM Pengadilan Agama Giri Menang yang tidak dapat menghadirkan para saksi
di dalam persidangan.
Selanjutnya Penetapan No.0266/Pdt.P/2011/PA. Pyk Pengadilan Agama Payakumbuh, di mana
pemohon hanya dapat menghadirkan satu orang saksi pernikahan mereka, sementara syarat dan
rukun lainnya terpenuhi. Dalam hal ini hakim menolak mengabulkan permohonan isbat nikah
tersebut karena kekurangan pada jumlah saksi.
Putusan No.127/Pdt.P/2010/PA.Tse Pengadilan Agama Tanjung Selor. Para pemohon dianggap
melakukan kesalahan dalam perkawinan karena mengangkat wali hakim yang tidak jelas apakah
89
resmi dari pemerintah atau tidak. Ketidakjelasan status wali hakim ini dalam pandangan majelis
hakim dianggap sebagai kekurangan pada unsur syarat wali, karena sebab itu maka permohonan
isbat nikah ditolak.
Putusan No. 26/Pdt.P/2012/PA.TR Pengadilan Agama Tanjung Redeb menolak isbat nikah yang
telah memenuhi unsur formil (diterima) namun tidak memenuhi unsur materiilnya, yaitu
perkawinan para pemohon dianggap tidak sah karena mengangkat wali nasab dari paman padahal
masih ada kakak kandung yang berhak sebagai wali nasab. Selanjutnya perkara
No.25/Pdt.P/2012/PA. Bkt Pengadilan Bukit Tinggi yang menolak permohonan isbat nikah karena
para saksi yang dihadirkan di dalam fakta persidangan tidak mengetahui siapa yang menjadi wali
dari pemohon II. Padahal di dalam KHI pasal 21 dan 22 kedudukan wali nasab sudah sangat jelas.
Wali nasab tidak bisa bergeser kepada wali nasab berikutnya tanpa alasan yang jelas.
Keberadaan paman sebagai pengganti ayah dalam kedudukannya sebagai wali nikah dianggap tidak
tepat. Apalagi didukung oleh pernyataan saksi yang tidak mengenal siapa wali nikah dari
pemohon.
Perkara-perkara yang disebutkan dalam 4 perkara terakhir di atas cukup menarik berkaitan
dengan tidak terpenuhinya syarat materiil berupa saksi yang kurang atau saksi yang tidak
jelas, wali nikah yang tidak tepat.
90
Dari paparan dan penjelasan pertimbangan dan analisis pertimbangan hakim dapat diketahui
bahwa meski ada aturan tentang isbat nikah ditujukan pada perkawinan sebelum tahun 1974,
tetapi majelis hakim tidak hanya melihat aturan tersebut, majelis hakim menerima dan memutus
perkara tersebut dengan melihat kepada itikad baik dari para pihak.
Hakim dapat menerima dan memutus atau menetapkan perkara berlandaskan pada kebebasan
hakim untuk menemukan hukum terhadap masalah atau kasus yang tidak ada peraturan hukumnya
terhadap hal-hal yang diajukan kepadanya (masih terdapat kekosongan hukum atau terdapat hukum
yang multitafsir). Dasar hakim untuk menemukan hukum, antara lain terdapat dalam beberapa
pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi payung hukumnya seperti :
1) Pasal 56 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berbunyi sebagai berikut “Pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya”.
2) Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya”.
91
3) Pasal 28 Ayat 1 yang berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Selain dasar hukum tersebut bersumber dari aturan perundang-undangan, para hakim juga
menganalisa dari segi pendekatan sosiologi hukum dengan mencari penafsiran baru terhadap
peraturan lain yang ada hubungannya dengan masalah yang dihadapi supaya hukum tidak stagnan
melainkan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu al-
Qayyim al-Jauziyah al-Hambali yang mengatakan bahwa “hukum itu berubah karena ada perubahan,
waktu, tempat, keadaan, adat dan niat”.68
Dalam sosiologi hukum dikenal istilah “ the maturity of law ” atau hukum yang matang yaitu
hukum yang benar-benar efektif sebagai busana masyarakat (clothes body of society), yang bersifat
praktis, rasional dan aktual, sehingga dapat menjembatani dinamika nilai kesadaran hukum dan
rasa keadilan dalam masyarakat. Hukum tidak hanya selalu berupa aturan formalistik, bahkan
kalau perlu harus ada keberanian untuk melakukan “contra legem” untuk menghadapi peraturan atau
ketentuan yang kurang logis.69 Keadilan atau kemaslahatan dalam hukum harus dipertimbangkan
dalam pengambilan hukum.
68 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, I’lama al-Muwaqi’in, Bairut, Libanon : Dar al-Fikr, 1397H/1977M, VII : 14 - 15.69 Abdul Manaf, Refleksi beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, Bandung : CV.Mandar Maju, Cet.I., 2008,
hlm. 215.
92
Sedangkan menurut kajian hukum Islam ijtihad selain melihat dari sumber hukum yang
berlaku, juga perlu memperhatikan norma yang berlaku di masyarakat sesuai dengan waktu dan
keadaan mereka. Ibnu al Qayyim berkata:
د :ة والاحوال والعواب مانA والامكي� ر الار� ي� غ� ت )وى ب ن ر الف� ي� غ� ت“perubahan fatwa adalah karena perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan”70
Dengan demikian pembaruan hukum Islam dapatlah terus diadakan dengan menyesuaikannya dengan
situasi, kondisi serta perkembangan zaman.71 Disinilah diperlukan keberanian hakim untuk
mewujudkan kepastian hukum dan keadilan sosial serta kemaslahatan bersama.
Dalam kasus isbat nikah, hakim melihat syarat formil dan materiilnya terlebih dahulu.
Jika kedua syarat tersebut sudah terpenuhi, selanjutnya hakim melihat sisi maslahahnya. Jika
semua unsur ini terpenuhi maka hakim akan menerima dan mengabulkan permohonan isbat nikah.
Namun ketika syarat formil terpenuhi dan materiilnya belum terpenuhi, hakim akan menolak
permohonan isbat nikah tanpa harus melihat sisi kemaslahatan hukumnya. Hal ini dapat dilihat
dari contoh 4 kasus terakhir di atas, dimana hakim menolak permohonan isbat nikah yang syarat
materiilnya tidak terpenuhi (sebetulnya masih dipertanyakan, apakah sudah terpenuhi apa belum,
70 Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, I’lama al-Muwaqi’in..., III: 14.71 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Cet.I, 2006, hlm. 296.
93
seperti beralihnya wali nasab dari kakak kandung ke paman, atau saksi yang tidak bisa
dihadirkan dua-duanya dalam persidangan).
Pengadilan Agama menolak perkara permohonan isbat nikah dengan alasan tidak memenuhi
syarat materiil, sebetulnya bisa saja diperiksa dari segi maslahahnya. Maslahah bagi
kepentingan manusia, mencakup lima perkara yaitu untuk memelihara agama, jiwa, akal, harta dan
keturunan yang dalam istilah fiqih disebut “al-kulliyat al-Khamsah” dengan klasifikasi maslahah ini
menjadi 3 hal yaitu:72
a. Maslahah dharuriyat (essensial): dimaksudkan untuk menerapkan dan memelihara lima prinsip
pokok tersebut dalam kehidupan manusia. Jika lima hal tersebut di atas tidak dilakukan,
maka akan terancam kehidupannya.
b. Maslahah al-hajjiyat (keperluan/kebutuhan): dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan dalam
memelihara lima prinsip pokok agar dapat berjalan dengan baik.
c. Maslahah al-tahsiniyat (keindahan): dimaksudkan supaya manusia dapat melakukan yang terbaik
untuk kesempurnaan pemeliharaan lima prinsip pokok tersebut.
Oleh karena itu menggunakan teori maslahah haruslah dengan kerangka kehati-hatian,
seperti yang disinyalir oleh Abdul wahab Khallaf dengan memenuhi persyaratan kemaslahatan,
yaitu :
a. Maslahah itu hakiki, bukan dugaan; 72 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet. III, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 126-127.
94
b. Maslahah itu untuk kepentingan umum bukan untuk kepentingan perorangan;
c. Maslahah itu tidak bertentangan dengan maqashid syari’ah;
d. Maslahah itu harus dapat menjaga hal-hal yang dharuri dan menghindarkan kesusahan;
e. Maslahah itu dapat diterima oleh akal sehat.73
Uraian permohonan isbat nikah yang diterima dan dikabulkan di atas menunjukkan bahwa
ketika seseorang menikah secara sah menurut agama (terpenuhi syarat dan rukun perkawinan)
tetapi tidak mampu untuk mengurus biaya pada negara (biaya menikah di depan PPN dan biaya
pembuatan akta nikah), maka negara memberi kesempatan kepadanya untuk menetapkan (isbat)
pernikahannya dengan tanpa biaya. Negara melalui majelis hakim melihat perkara ini tidak hanya
dari unsur formil dan materiilnya tetapi juga untuk kemaslahatan bersama, yaitu untuk menjaga
keturunan dan kehormatan. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka dianggap sah juga oleh negara
(kemaslahatan untuk menjaga keturunan), sehingga keturunan yang lahir dari perkawinan ini dan
juga orang tuanya mendapat kedudukan di muka hukum (kemaslahatan untuk menjaga kehormatan).
Kemaslahatan yang dilihat majelis hakim untuk menjaga keturunan dan menjaga kehormatan
bersama juga terlihat pada putusan atau penetapan hakim yang diterima dan dikabulkan lainnya,
seperti permohonan isbat nikah untuk membuat akta nikah karena dalam akta nikah yang lama
terdapat kekeliruan tanggal lahir dan kekeliruan tanggal pernikahan, atau karena akta nikah
73 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Cairo : Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah Shabab al-Azhar, 1990, hlm. 85.
95
yang lama hilang, atau karena adanya kekeliruan yang dibuat oleh PPN yang tidak memberikan
akta nikah.
Sebaliknya, ketika majelis hakim melihat bahwa syarat materiil dalam suatu permohonan
isbat nikah tidak terpenuhi yaitu perkawinan yang dilakukan oleh para pemohon tidak sesuai
dengan agama (syarat dan rukun pernikahan kurang) dan tidak sah di hadapan negara (dengan
sengaja tidak mencatatkan perkawinannya di depan PPN), maka oleh majelis hakim permohonan
isbat nikah tersebut ditolak (meski dalam pengajuan isbatnya diterima). Perkawinan ini menurut
majelis hakim mengandung kemadharatan dan tidak ada kemaslahatannya. Perkawinan yang tidak sah
oleh agama (tidak memenuhi syarat dan rukun pernikahan) dianggap tidak bisa menjaga keturunan
dan kehormatan. Begitu juga perkawinan yang sengaja tidak dicatatkan di depan pegawai PPN juga
dianggap tidak dapat menjaga keturunan dan kehormatan, karena akan muncul perbuatan penundukan
terhadap hukum.
Di sinilah peran vital hakim yang tidak hanya dapat mewujudkan kepastian hukum, tetapi
juga diharapkan dapat mewujudkan kemaslahatan bagi para pencari keadilan. Hakim sebagai penemu
dan penggali hukum yang hidup di dalam masyarakat banyak menemui kendala, berkaitan dengan
hukum dan moralitas bangsa. Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi
segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum di dalam masyarakat sehingga menimbulkan apa yang
lazim disebut kekosongan hukum atau “rechtsvacuum” atau lebih tepatnya adalah kekosongan
96
peraturan perundang-undangan atau “ wetsvacuum”. Jika terdapat kekosongan hukum seyogyanya para
penegak keadilan dan masyarakat mempunyai mekanisme untuk menciptakan kaidah-kaidah penemuan
hukum.74 Dengan demikian pekerjaan penafsiran hukum bukan semata-mata membaca peraturan
melainkan juga membaca kenyataan atau yang terjadi dalam masyarakat, sehingga antara peraturan
dengan norma masyarakat atau kepastian hukum dan keadilan masyarakat keduanya dapat disatukan
agar tercipta hukum yang progresif.75
Hukum yang tidak progresif masih terlihat di lembaga Pengadilan Agama. Misalnya kasus di
Pengadilan Agama kelas IB XY yang selalu menolak permohonan isbat nikah untuk mencari akta
kelahiran anak karena perkawinan terjadi setelah tahun 1974 atau kumulasi isbat nikah dengan
permohonan talak acapkali ditolak karena cacat hukum. Pertimbangan hakim di Pengadilan Agama
ini seringkali mengabulkan permohonan isbat nikah untuk pensiunan janda, karena sesuai dengan
peraturan dan kewenangan peradilan agama.76
Contoh kasus penanganan permohonan isbat nikah di lembaga Pengadilan Agama di atas
memperlihatkan bahwa pertimbangan hakim hanya melihat syarat formil dan materiil. Konsep
maslahah tidak digunakan bagi pemohon yang tidak dapat memenuhi syarat formil dan materiilnya.74 Abdurrahman dkk, Bagir Manan Ilmuwan dan Penegak Hukum (Kenangan Sebuah Pengabdian), Jakarta : Mahkamah Agung RI, 2008,
hlm.13.75 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta : Genta Publishing, Cet.I , 2009, hlm.
127.76 Beberapa masalah itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas Ib Amuntai, http//www.google.com diakses pada tanggal 1 September
2013.
97
Padahal hukum dituntut oleh masyarakat sesuai dengan kemaslahatan yang kuat bagi mereka.
Sesuai kaidah:
حة )ع المصلحة الراج ت( ت �الحكم ي“hukum itu mengikuti kemaslahatan yang lebih kuat”77
Adanya perbedaan penerimaan isbat nikah oleh majelis hakim mengindikasikan adanya
perbedaan pemahaman hakim untuk menggali dan menemukan hukum. Dengan kewenangan yang telah
diberikan negara kepadanya untuk menerima persoalan, memeriksa dan memutuskan perkara, hakim
dituntut dapat mewujudkan kepastian hukum melalui pasal-pasal atau aturan-aturan yang
digunakan oleh hakim dan juga untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat dalam bentuk
terciptanya kemaslahatan bersama.
Dari paparan dan penjelasan di atas peneliti melihat bahwa banyak hakim yang telah
melihat, memeriksa, dan memutuskan perkara dengan mewujudkan unsur kepastian hukum dan juga
mempertimbangkan unsur keadilan. Kepastian hukum dapat terlihat pada putusan hakim dengan
menerapkan aturan formal yang berlaku dalam permohonan isbat nikah. Sedangkan keadilan hakim
terlihat pada pertimbangan hakim yang berpegang pada kemaslahatan dan menolak kemadharatan
dalam memutus permohonan isbat nikah.
77 Fathurrohman, Filsafat Hukum..., hlm. 79.98
Namun tidak semua hakim melakukan langkah-langkah tersebut, ada juga hakim yang hanya
ingin mewujudkan kepastian hukum dalam memutuskan perkara permohonan isbat nikah.
99
BAB V
KESIMPULAN
Banyaknya perkara permohonan isbat nikah yang masuk ke Pengadilan Agama, khususnya
terhadap perkawinan yang terjadi setelah tahun 1974 mengindikasikan bahwa ada kesepakatan
diam-diam di antara para hakim untuk menerima perkara tersebut dengan didasarkan pada
ketentuan pasal 7 ayat 2 dan 3 Kompilasi Hukum Islam yang memberikan peluang bagi pasangan
nikah sirri atau nikah di bawah tangan untuk mengisbatkan perkawinan mereka. Di antara
alasan pengajuan isbat nikah antara lain:
a. Adanya perkawinan dalam rangka perceraian.
b. Hilangnya Akta Nikah.
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974.
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
Undang-undang No. 1 tahun 1974.
Mencermati pertimbangan hukum dari beberapa putusan atau penetapan isbat nikah di atas,
tampak bahwa alasan pengajuan isbat nikah perkawinan yang terjadi setelah tahun 1974
100
didasarkan pada poin a, b dan e. Alasan pengajuan isbat nikah mengalami perluasan menjadi
untuk mengurus Akta kelahiran dan mengurus pensiunan.
Adapun adanya permohonan isbat nikah yang tidak dapat diterima bukan terkait dengan
perkawinan yang terjadi setelah tahun 1974, tapi lebih kepada permohonan tersebut tidak
memenuhi syarat-syarat formil seperti permohonan dianggap prematur, kurangnya pihak dalam
perkara (dalam isbat poligami), error in persona, pemohon sengaja tidak mencatatkan
perkawinannya sehingga tidak memenuhi pasal 6 ayat 1 KHI, tidak menyertakan akta cerai
sebagai syarat untuk melengkapi persyaratan administrasi, perkawinan tidak jelas statusnya
dan gugatan obscuur libel.
Pada putusan atau penetapan yang diterima selanjutnya dilanjutkan pada pemeriksaan
materi perkara sehingga dihasilkan putusan atau penetapan yang dikabulkan dan ditolak.
Putusan atau penetapan dikabulkan jika rukun dan syarat terpenuhi (pasal 14-29 KHI dan pasal
6-7 UU No. 1 Tahun 1974) serta tidak ada halangan nikah sebagaimana dijelaskan pada pasal 8-
10 UU No.1 Tahun 1974 dan pasal 39-44 KHI. Adapun putusan atau penetapan isbat nikah ditolak
karena kurang atau tidak memenuhi rukun dan syarat nikah serta memiliki halangan nikah. Pada
beberapa contoh putusan atau penetapan yang ditolak di atas, pertimbangan yang digunakan
hakim antara lain karena wali nikah yang salah/cacat (No.127/Pdt.P/2010/PA.Tse), kurangnya
saksi nikah (No.0266/Pdt.P/2011/PA.Pyk), penggugat masih berstatus suami perempuan lain yang
101
belum diceraikan (No.195/Pdt.G/2011/PA.Krui), dan pemohon II masih terikat perkawinan dengan
pria lain (No.22/Pdt.P/2010/PA.Gtlo), adanya halangan nikah karena para pihak (suami atau
istri) tidak mencantumkan akta cerai resmi dari Pengadilan Agama dalam pernikahan terdahulu
yang telah putus (No.044/Pdt.P/2012/PA.ML), dan karena pemohon tidak dapat membuktikan dalil
permohonannya di persidangan (No.0162/Pdt.P/2013/PA.GM dan No.71/Pdt.P/2012/PA.Smpg,
No.014/Pdt.P/2011/PA.TBK).
Dari berbagai pertimbangan yang digunakan hakim di atas, peneliti menilai bahwa alasan
yuridis dan maqashid yang digunakan hakim dalam menerima, tidak menerima, mengabulkan dan
menolak permohonan isbat nikah mayoritas sudah tepat. Namun demikian ada bunyi pertimbangan
hukum yang terdapat kesalahan yaitu dalam menerjemahkan wali dengan P3N
(No.25/Pdt.P/2012/PA.Bkt) serta kesalahan menulis unus testis nulus testis dengan unus teslis nulus testis
(No.25/Pdt.P/2012/PA.Bkt). Kesalahan lain yang dilakukan hakim dalam pertimbangan hukumnya
adalah dalam mencantumkan pasal, mestinya tertulis pasal 4, 5 dan 6 KHI namun dalam amar
putusan tertulis UU No.1 Thn.1974 (No.195/Pdt.G/2011/PA.Krui).
Dalam kasus isbat nikah dalam rangka perceraian, hakim seharusnya melihat sah tidaknya
perkawinan yang dilakukan. Untuk mengetahui sah tidaknya perkawinan harus melalui pembuktian
materi perkawinan yang menyangkut rukun, syarat dan tidak adanya halangan nikah. Namun pada
putusan No. 52/Pdt. G/2013/PA. PP semestinya hakim memutuskan bahwa permohonan isbat nikah
102
itu ditolak, namun hakim memutus perkara tidak dapat diterima. Padahal dalam pertimbangan
hukumnya hakim menyatakan bahwa pemohon/penggugat tidak memperlihatkan akta cerai dengan
suami sebelumnya, dimana hal ini semestinya sudah masuk pada pemeriksaan materi. Oleh
karena itu hakim melakukan kesalahan dalam membuat amar putusan.
103
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman dkk, Bagir Manan Ilmuwan dan Penegak Hukum (Kenangan Sebuah Pengabdian), (Jakarta : Mahkamah
Agung RI, 2008).
Adinata, Rizki Fitrotuszakiya, Penerapan Isbat Nikah Dalam Perkawinan Poligami Menurut Hukum Islam dan UUP No 1
Tahun 1974 dalam Jurnal Hukum Tugas Akhir Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
Bandung, 2013.
Al Shabbagh, Mahmud, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, Cet. III, (Bandung: 1994).
Al Syathibi, al Muwafaqat fi Ushul al Ahkam, jilid.III (T.Tp: Dar al Fikr, tt).
al-Jauziyah, Ibnu al-Qayyim, I’lama al-Muwaqi’in, Juz VII,( Bairut, Libanon : Dar al-Fikr,
1397H/1977M).
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006).
Andi Syamsu Alam dalam “Isbat Nikah Masih Jadi Masalah,” dikutip dari
www.hukumonline.com/baca/ho117737/itsbat-nikah-masih-jadi-masalah, diakses 30 Mei 2013.
As’ad, Abdul Rasyid, Nikah Sirri vs Isbat Nikah, artikel dalam situs www.badilag.net, diakses pada 4
September 2013.
Basith, Abdil Barid, Pihak-pihak Dalam Permohonan Isbat Nikah dalam Jurnal mimbar Hukum dan Peradilan,
Edisi No.75, 2012.
104
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, cet. X, (Yogyakarta: Press Yogyakarta, 2004).
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1986).
Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Departemen Agama RI,
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat, 1999).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1995).
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, cet. III, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005).
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005)..
Hasan, M Ali, Pedoman Hidup …, hlm. 56.
Http//www.google.com, Beberapa masalah itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas Ib Amuntai, diakses pada tanggal
1 September 2013.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Cairo : Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah Shabab al-Azhar,
1990).
Maksum, Endang Ali, Kepastian Hukum Isbat Nikah, artikel dalam situs www.litbangdiklatkumdil.net,
diakses pada 4 September 2013.
Manaf, Abdul, Refleksi beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, (Bandung : CV.Mandar Maju,
Cet.I., 2008).
105
Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Cet.I, 2006).
Mertokusumo, Soedikno, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1999).
Munawir, Ahmad Warsun, Kamus Al Munawir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997).
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).
Pelmizar, “Pengesahan Perkawinan (Pengesahan Nikah/Isbat Nikah),” tulisan dalam situs www.pta-padang.go.id,
diakses pada 4 September 2013.
Rahardjo, Satjipto, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, (Yogyakarta : Genta Publishing,
Cet.I , 2009).
Ramli, Ahmad Fatoni, Isbat Nikah dan Masalah Sosial artikel dalam situs www.pta-banten net , diakses 4
September 2013.
Ramulyo, Idris, Hukum Perkawinan Islam, Cet IV, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002).
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Cet. VI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003).
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1980).
Shofa, Laila Hasanatus, Analisis Penetapan Permohonan Isbat Nikah Setelah UU No.1 Tahun 1974 Di PA Semarang,
Skripsi Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Walisongo, 2009 dalam situs
library.walisongo.ac.id, diakses pada 4 September 2013.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003).
106
Soeparmono, R., Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi (Bandung: Mandar Maju, 2005).
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995).
Suhadak, Problematika Isbat Nikah Istri Poligami Dalam Penyelesaian di Pengadilan Agama, artikel dalam situs
www.badilag.net, diakses pada 4 September 2013.
Syarifudin, Amir, Garis-garis Besar Fiqh, Cet. II (Jakarta: Prenada Media, 2005).
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 388.
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 (Surabaya: Pustaka Tintamas, t.t), hlm. 8.
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ( Klong Kledejaya, Tahun 1990).
Usman, Suparman, Kepastian Hukum Isbat Nikah Terhadap Status Perkawinan, Status Anak Dan Status Harta Perkawinan,
artikel dalam situs www.pta-banten.net, diakses 4 pada September 2013.
UU No.7 Tahun 1989 jo.UU No.3. Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009.
UU Nomor 14 Tahun 1970 jo.UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Yatunnisa, Rifqy, Praktik Isbat Nikah Sirri (Analisis Putusan Hakim PA Jaksel No 10/Pdt.P/2008/PAJS), Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2010.
107
LAMPIRAN:
TABEL 1PENETAPAN DAN PUTUSAN YANG DITERIMA DAN DIKABULKAN
No
.
No.Penetapan/
Putusan
Nama
Pengadilan
Agama
Hasil Keterangan (Pertimbangan Hakim)
1. No.105/Pdt.P/2013/
PA Bkt.
Pengadilan
Agama
Bukittingg
i
Diterima
dan
dikabulkan
Untuk memperoleh Akta Nikah.
Perkawinan sudah dilaksanakan
sesuai aturan hukum. Akibat
kelalaian petugas KUA yang tidak
memberikan akta nikah2. No.
617/Pdt.G/2010/PA.J
b.
Pengadilan
Agama
Jambi
Diterima
dan
dikabulkan
Untuk mendapatkan akta nikah.
Sesuai dengan ketentuan pasal 49
ayat (2) UU No.50 Thn. 2009 dan
sesuai dengan pasal 7 ayat (4)
KHI.3. No.07/Pdt.P/2011/
Kdi.
Pengadilan
Agama
Diterima
dan
Untuk mendapatkan akta nikah dan
pengurusan akta kelahiran anak.
108
Kendari dikabulkan4. No.0001/Pdt.P/2011/
PAWt.
Pengadilan
Agama
Wates
Diterima
dan
dikabulkan
Untuk mendapatkan akta nikah dalam
rangka mengurus akta kelahiran.
Sesuai dengan pasal 49 ayat 2 UU
No. 7 Thn. 1989 jo. Pasal 7 ayat 2
dan 3 KHI.5. No.0041/Pdt.P/2011/
PA.Tnk.
Pengadilan
Agama
Tanjung
Karang
Diterima
dan
dikabulkan
Untuk mendapatkan akta nikah dan
sebagai dasar hukum dalam rangka
penetapan ahli waris.
Sesuai dengan pasal 49 ayat (1) UU
No. 50 Thn. 2009 sebagai perubahan
kedua atas UU No.7 Thn. 1989 dan
sesuai dengan pasal 7 ayat 2, 3
(d), (e) serta ayat 4 KHI.6. No.
56/Pdt.P/2011/PA.Kd
r.
Pengadilan
Agama
Kediri
Diterima
dan
ditolak
Untuk mendapatkan akta nikah yang
baru dan mencabut akta nikah
No.0397/24NI112011.
Pemohon tidak mengetahui bahwa
109
akta nikah berlaku untuk
pengurusan akta kelahiran anak.7. No.
12/Pdt.P/2010/PA.Bs
k.
Pengadilan
Agama
Batusangka
r
Diterima
dan
ditolak
Untuk mendapatkan akta nikah dalam
rangka persyaratan mengurus akta
kelahiran.
Permohonan telah sesuai dengan
pasal 49 huruf (a) UU No.7 Thn
1989 jo. UU No. 3 thn. 2006 jo.
Pasal 7 ayat (3) huruf d dan e dan
pasal 4 KHI serta peraturan lain
tentang syarat formil berperkara.8. No.238/Pdt.G/2012/
PA.Jnp.
Pengadilan
Agama
Jeneponto
Diterima
dan
ditolak
Untuk mendapatkan akta nikah dalam
rangka perceraian.
9. No.111/Pdt.G/2010/
PA.Dbs.
Pengadilan
Agama Dabo
Singkep
Diterima
dan
ditolak
Untuk mendapatkan akta nikah orang
tua pemohon dan pengesahan pemohon
sebagai anak.
Sesuai pasal 7 ayat (2) dan (4)
110
KHI.10
.
No.99/Pdt.G/2010/
PA.Slk.
Pengadilan
Agama
Solok
Diterima
dan
ditolak
Untuk mendapatkan akta nikah dalam
rangka pengurusan surat-surat
seperti kartu keluarga, KTP, Akta
Nikah.
Sesuai pasal 7 ayat (2) KHI.
111
TABEL 2PENETAPAN DAN PUTUSAN YANG TIDAK DAPAT DITERIMA
NoNo.
Penetapan/Putusan
Nama
Pengadila
n Agama
Alasan
Pengajuan
Isbat
Nikah
Keterangan (Pertimbangan Hakim)
1. N0.055/Pdt.P/
2012/PA.Smi.
Pengadila
n Agama
Sukabumi
Untuk
mendapatk
an akta
nikah
dalam
rangka
pengurusa
n akte
kelahiran
anak
Permohonan dianggap prematur dan
tidak konsisten karena tidak
sesuai dengan realita bahwa
pemohon II (istri) tidak dalam
kondisi hamil dan belum
dikaruniai anak.
Isbat nikah bukan semata-mata
pengganti perkawinan yang tidak
dicatatkan oleh pejabat KUA
sehingga ada orang-orang yang
memilih untuk menikah dahulu
112
kemudian baru mengajukan isbat ke
Pengadilan Agama seperti halnya
perkara ini. Perkawinan dilakukan
pada 10 Maret 2012 dan diisbatkan
pada tahun yang sama yaitu 27
September 2012.2. No.0008/Pdt.P/
2011/PA.Lrt.
Pengadila
n Agama
Larantuka
Untuk
mendapatk
an akta
nikah
dalam
rangka
poligami
Pemohon I dan II tidak merubah
surat permohonan yang menjadikan
istri I dan anak dari istri II
sebagai pihak dalam perkara
permohonan isbat nikah.
3. No.
10/Pdt.P/2011/PA.S
tg
Pengadila
n Agama
Sintang
Untuk
mendapatk
an akta
nikah
Surat permohonan mengandung cacat
formil error in persona karena
diskualifikasi in person karena
identitas para pemohon berbeda
dengan identitas yang tertulis
113
dalam surat permohonan. Surat
permohonan tidak dibuat dan
ditanda tangani oleh para
pemohon.4. No.
26/Pdt.P/2013/PA.B
kt.
Pengadila
n Agama
Bukitting
gi
Untuk
mendapatk
an akta
nikah dan
keperluan
mengurus
Kartu
Keluarga
dan Akte
Kelahiran
Anak
Menimbang pasal 2 ayat 2 UU
Perkawinan No. 1 Thn 1974 jo.
Pasal 5 ayat 1 KHI bahwa untuk
menjaga ketertiban perkawinan
bagi masyarakat Islam maka
perkawinan harus dicatatkan.
Sesuai pasal 6 ayat 1 KHI bahwa
perkawinan harus dilangsungkan di
hadapan dan di bawah pengawasan
PPN. Pemohon sengaja tidak
mencatatkan perkawinannya di
hadapan dan di bawah pengawasan
PPN sehingga pemohon tidak
memenuhi maksud pasal 6 ayat 1
114
KHI.5. No.52/Pdt.G/2013/
PA.PP
Pengadila
n Agama
Padang
Panjang
Untuk
mendapatk
an akta
nikah
dalam
rangka
mengurus
akte
kelahiran
anak dan
mengurus
perceraia
n
Perkawinan penggugat (pemohon
isbat) dengan tergugat dinyatakan
tidak sah karena penggugat
berstatus janda cerai namun
penggugat tidak
melampirkan/memperlihatkan akta
cerai kepada qadhi yang
menikahkannya. Sedangkan tergugat
tidak melengkapi persyaratan
administrasinya karena masih
berstatus suami perempuan lain.
Maka dalam hal ini tergugat tidak
memenuhi pasal 2 ayat (1) dan (2)
UU No.1 Thn. 1974 jo. pasal 4 dan
5 KHI. Perkawinan penggugat dan
tergugat tidak memenuhi pasal 8
UU No.1 Thn. 1974, pasal 6 dan 14
115
KHI. Demikian juga penggugat
tidak memenuhi pasal 8 KHI
bahwasannya “putusnya perkawinan
selain cerai mati hanya dapat
dibuktikan dengan surat cerai
berupa putusan Pengadilan Agama
baik yang berbentuk putusan
perceraian, ikrar talak, khuluk
maupun putusan taklik talak.”
Perkawinan penggugat dan tergugat
tidak memenuhi pasal 9 UU No.1
Thn. 1974 yang berbunyi
“seseorang yang masih terikat
tali perkawinan dengan orang lain
tidak dapat kawin lagi, kecuali
dalam hal yang tersebut pada
pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU
No. 1 Thn. 1974.”
116
6. No. 52/Pdt.G/2013/
PA.PP
Pengadila
n Agama
Padang
Panjang
Untuk
mendapatk
an akta
nikah
guna
mengurus
akte
kelahiran
anak dan
mengurus
perceraia
n.
- Sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
dan (2) UU No.1 Thn. 1974 jo.
Pasal 4 dan 5 KHI, bahwasannya
perkawinan dianggap sah dan
berkekuatan hukum apabila
dilaksanakan menurut hukum
Islam dan dicatat.
- Perkawinan harus memenuhi rukun
dan syarat sebagaimana
tercantum dalam pasal 8 UU No.1
Thn. 1974 dan pasal 14 KHI,
serta dilaksanakan di hadapan
dan di bawah pengawasan PPN
sesuai dengan maksud pasal 6
ayat (1) KHI.
- Berdasarkan pasal 8 KHI
bahwasannya “putusnya
perkawinan selain cerai mati
117
hanya dapat dibuktikan dengan
surat cerai berupa putusan
Pengadilan Agama baik yang
berbentuk putusan perceraian,
ikrar talak, khuluk maupun
putusan taklik talak.”
Penggugat yang mengaku sebagai
janda pada waktu menikah dengan
tergugat tidak dapat
menunjukkan surat cerai dengan
suami pertamanya kepada qadhi
yang menikahkan.
- Sesuai dengan pasal 9 KHI
bahwasannya “seseorang yang
masih terikat tali perkawinan
dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi, kecuali dalam hal
yang tersebut pada pasal 3 ayat
118
(2) dan pasal 4 UU No. 1 Thn.
1974.” Padahal pada waktu
menikah dengan penggugat,
status tergugat adalah masih
menjadi suami perempuan lain.
- berdasarkan pasal 3 dan 4 UU
No.1 Thn. 1974 jo. Pasal 56
ayat (1) KHI bahwa suami yang
hendak beristri lebih dari 1
(satu) orang harus mendapat
izin dari Pengadilan, yang
dalam hal ini adalah Pengadilan
Agama. Sedangkan tergugat telah
melangsungkan perkawinan dengan
penggugat tanpa mendapat izin
dari Pengadilan Agama.7. No.352/Pdt.G/
2012/PA.Bkt.
Pengadila
n Agama
Untuk
mendapatk
- Dalam surat gugatan dinyatakan
bahwa penggugat menikah dengan
119
Bukitting
gi
an akta
nikah
dalam
rangka
mengurus
perceraia
n
wali hakim yang ditunjuk oleh
penggugat sendiri tanpa
sepengetahuan wali nasab yaitu
ayah kandungnya sendiri. Pada
saat menikah, penggugat dalam
kondisi hamil. Dalam
persidangan penggugat
mempertegas bahwa ia tidak
mengenal wali hakim tersebut,
sedangkan ayah kandungnya masih
hidup dan saat penggugat
menikah, ayahnya berada di
Pekanbaru Riau.
- Berdasarkan posita poin 3
gugatan penggugat dan
pernyataan penggugat di
persidangan, Majelis menemukan
fakta bahwa perkawinan
120
penggugat dan tergugat tidak
jelas status hukumnya karena
tidak sesuai dengan ketentuan
syar’I dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.8. No.08/Pdt.G/2010/
Ms.Aceh
Mahkamah
Syar’iyya
h Aceh
- Penggug
at ingin
mendapat
kan akta
nikah
yang
baru
karena
akta
nikah
yang
lama
berada
Pada posita dalam surat gugatan
penggugat tidak menguraikan
tentang kejadian-kejadian
perkawinan penggugat dan tergugat
tahun 1978, siapa saksinya, siapa
walinya, apa maharnya, status
calon suami apakah jejeka atau
duda, calon istri apakah gadis
atau janda, apakah kedua calon
pengantin memiliki hubungan darah
atau sepersusuan yang menjadi
halangan perkawinan, apakah
perkawinan itu telah dicatat oleh
121
di
tangan
tergugat
.
- untuk
mengurus
percerai
an
dengan
tergugat
.
pejabat yang berwenang. Sehingga
hakim memutuskan bahwa gugatan
ini obscuur libel (kabur).
122
TABEL 3PUTUSAN DAN PENETAPAN YANG DITERIMA DAN DIKABULKAN
NoNo.Putusan/
Penetapan
Nama
Pengadila
n Agama
Alasan
Pengajuan
Isbat
Nikah
Keterangan (Pertimbangan Hakim)
1. No.3/Pdt.P/2010/
PA.Tgrs.
Pengadila
n Agama
Tigaraksa
Untuk
meralat
tanggal
lahir dan
tanggal
nikah
yang
tertera
dalam
akta
nikah
alm.
suaminya
Berdasarkan pasal 49 ayat (2) UU
No.3 Thn 2006, sesuai dengan
kompetensi relatif dibuktikan
dengan fotocopy Surat Keterangan
Kematian dan fotocopy Akta Nikah.
Isbat nikah dapat diajukan dalam
hal-hal yang secara limitatif
diatur dalam pasal 7 ayat 3 dan 4
KHI.
Tidak ada halangan nikah
sebagaimana disebut pada pasal
8,9,10 UU No.1 Thn. 1974 jo.
Pasal 39-44 KHI. Perkawinan telah123
dan
digunakan
sebagai
syarat
mengurus
pensiun.
memenuhi rukun dan syarat
sebagaimana disebut pada pasal 14
KHI. Permohonan pemohon sudah
memenuhi pasal 2 ayat 1 dan 4 UU
No.1 Thn. 1974. Pasal 7 ayat 2
dan 3 (e) KHI.
2. No.
073/Pdt.P/2011/PA.W
no
Pengadila
n Agama
Wonosari
Untuk
mendapatk
an akta
nikah
dalam
rangka
mengurus
akta
kelahiran
Sesuai dengan kewenangan relatif
yang dibuktikan dengan fotocopy
KTP dan keterangan saksi-saksi.
Sesuai ketentuan pasal 49 ayat 1
huruf (a) UU No.7. Thn 1989 jo.
UU No. 50 Thn. 2009.
Berdasarkan bukti-bukti dan
keterangan saksi, majelis hakim
menemukan fatwa perkawinan
pemohon sudah memenuhi rukun dan
124
syarat perkawinan sebagaimana
tercantum pada pasal 8 UU No.1
Thn.1974 jo. Pasal 39-44 KHI dan
sesuai pasal 2 ayat (1) UU No. 1
Thn. 1974 jo. Pasal 7 ayat (3)
huruf d dan e KHI.
Majelis hakim mengambil alih
pendapat ahli fiqih dalam Kitab
wa ‘amirah Juz IV hal.336 yang
berbunyi: “orang yang hanya
menyatakan diri telah menikah,
menurut pendapat yang paling
shahih secara muthlaq tidak
dianggap cukup, melainkan ia
harus menerangkan: Saya menikahi
dia dengan wali orang yang baik
(benar) serta dipersaksikan oleh
dua orang saksi yang adil dan
125
atas ridhanya (mempelai wanita)
kalau memang keridhaannya memang
disyaratkan.” 3. No.105/Pdt.P/
2013/PA.Bkt.
Pengadila
n Agama
Bukitting
gi
Untuk
mendapatk
an Akta
Nikah
yang
baru.
Sebenarny
a pemohon
sudah
melaksana
kan
perkawina
n menurut
aturan
hukum,
Sesuai dengan ketentuan Pedoman
Teknis Administrasi dan Teknik
Peradilan Agama Buku II, Edisi
2009 MA RI bahwa tidak ada pihak
yang berkeberatan dengan
permohonan ini.
Kehadiran saksi secara pribadi di
persidangan dan telah didengar
sumpah serta tidak terhalang
secara hukum untuk didengar
kesaksiannya telah memenuhi
syarat formil sebagai saksi
sebagaimana disebut pada pasal
171, 174 dan 175 RB.g. keterangan
126
namun
akibat
kelalaian
petugas
KUA yang
selalu
menjanjik
an untuk
memberika
n Akta
Nikah
namun
kenyatann
ya tidak
memberika
n Akta
Nikah.
Akta
saksi juga tidak saling
berlawanan sehingga menurut
majelis hakim sudah memenuhi
syarat materiil kesaksian
sebagaimana disebut pada pasal
308 dan 309 RB.g dan bisa
dijadikan alat bukti yang sah.
Dalam persidangan ditemukan fakta
bahwa perkawinan pemohon telah
memenuhi rukun dan syarat
perkawinan sebagaimana disebut
pada pasal 7 ayat ?(3) huruf d
KHI jo. Pasal 14 KHI. Perkawinan
juga tidak melanggar halangan
nikah sebagaimana disebut pada
pasal 8-10 UU No.1 Thn. 1974 jo.
Pasal 39-44 KHI dengan demikian
sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU
127
Nikah
digunakan
untuk
mengurus
akta
kelahiran
dan
keperluan
lainnya.
No. 1 thn. 1974.
4. No.
0041/Pdt.P/2011/PA
.Tnk.
Pengadilan
Agama
Tanjungkar
ang
Akta
Nikah
hilang
sehingga
membutuhk
an Akta
Nikah
yang baru
untu
Sesuai ketentuan pasal 49 ayat
(1) UU No.7 Thn. 1989 jo. UU No.3
Thn. 2006 jo. UU No.50 Thn. 2009
jo. Pasal 7 ayat 2, 3 (d) dan (e)
serta ayat 4 KHI.
Berdasarkan bukti-bukti dan
keterangan saksi-saksi di bawah
sumpah ditemukan fakta-fakta
bahwa perkawinan pemohon sah.
128
mengurus
penetapan
ahli
waris.
Dalil-dalil pembuktian pemohon
dinyatakan sudah cukup bukti dan
beralasan hukum sudah sesuai
dengan pasal 283 RBg.5. No.106/Pdt.G/
2012/PA.Pkc.
Pengadila
n Agama
Pangkalan
Kerinci
Untuk
mendapatk
an Akta
Nikah
dalam
rangka
mengajuka
n
perceraia
n
(akumulas
i
gugatan)
Tergugat Meskipun Telah Dipanggil
Secara Sah Dan Patut, Tidak
Menyuruh Orang Lain Sebagai
Wakil/Kuasanya Yang Sah Untuk
Hadir Di Persidangan, Namun
Demikian Dan Ketidakhadirannya
Tersebut Disebabkan Halangan Yang
Sah, Maka Perkara Ini Dapat
Diperiksa Dan Diputus Tanpa
Hadirnya Tergugat, Sebagaimana
Disebut Pada Pasal 149 Ayat (1)
R.Bg.
Tergugat Tidak Hadir Di
Persidangan Sehingga Tidak Bisa
129
Dilakukan Upaya Mediasi
Sebagaimana Ketentuan Peraturan
Mahkamah Agung RI No. 1 Thn 2008.
Sesuai Ketentuan Pasal 154 Ayat
(1) R.Bg, Pasal 31 PP No.9 Thn.
1975 Jo. Pasal 82 Ayat (1) Dan
Ayat (4) UU No. 50 Thn. 2009 Jo
Pasal 143 Ayat (1) Dan (2)
Inpres No.1 Thn. 1991 bahwa
majelis hakim telah mengadakan
perdamaian antara penggugat dan
tergugat namun sampai putusan
dijatuhkan perdamaian gagal
dilaksanakan. Sesuai ketentuan
pasal 7 ayat (3) huruf (a) KHI.
Bahwa alasan pengajuan isbat
nikah adalah dalam rangka
perceraian.
130
Berdasarkan fakta di persidangan
didapatkan bahwa saksi-saksi
sudah memenuhi syarat formil dan
materiil berdasarkan pasal 172,
307, 308, 309 R.Bg. perkawinan
antara penggugat dan tergugat
sudah memenuhi rukun dan syarat
perkawinan sebagaimana 6. No.2/Pdt.P/2010/
PA. Bky
Pengadila
n Agama
Bengkayan
g
Akta
Nikah
Hilang
Sehingga
Ingin
Mendapatk
an Akta
Nikah
yang baru
guna
Dalil yang diajukan pemohon pada
posita no. 1-9 sesuai dengan
pasal 49 ayat (2) UU No.7
Thn.1989 yang diubah menjadi UU
No.3 Thn. 2006 dan diubah lagi
menjadi UU No.50 Thn. 2009 dan
penjelasannya angka (22) jo.
Pasal 7 ayat 2 dan 3 huruf (d)
KHI.
-Untuk menghindari penyelundupan
131
mengurus
uang duka
dan
mengurus
SK
Pensiun
janda
atas nama
pemohon
hukum dan poligami liar,
permohonan isbat nikah bisa
diajukan secara contentius oleh
suami atau istri secara terpisah
dengan mendudukkan suami atau
istri yang tidak mengajukan atau
ahli waris apabila salah satu
pihak, suami atau istri telah
meninggal dunia sebagai pihak
lawan (termohon).
Karena pemohon tidak mencantumkan
ahli waris lain dan tidak mungkin
melakukan penyelundupan hukum dan
poligami tanpa prosedur maka
perkara ini ditangani secara
voluntair.
Bukti-bukti dan persaksian di
persidangan yang sudah sesuai
132
dengan syarat formil dan
materiil, perkawinan pemohon
telah memenuhi rukun dan syarat
sebagaimana disebut dalam pasal 2
ayat (1) UU No.1 Thn. 1974jo.
Pasal 14-38 KHI. Sejalan dengan
ibarat dalam Kitab I’anatut Thalibin
Juz IV hal. 254 yang berbunyi:
“Pengakuan seorang bahwa ia sudah
menikah dengan seorang perempuan
harus dapat menyebutkan sahnya
pernikahan yang lalu, umpamanya
adanya wali nikah dan dua orang
saksi yang adil.”7. No.001/Pdt.P/
2013/PA.Plh
Pengadila
n Agama
Pelaihari
Untuk
mendapatk
an Akta
Nikah
Sesuai dengan penjelasan pasal 49
ayat (1) angka (22) UU No.7 Thn.
1989 jo. UU No.3 Thn. 2006 jo. UU
No.50 Thn. 2009 jo. Pasal 7 ayat
133
dalam
rangka
mengurus
Akta
Kelahiran
anak.
2, 3 KHI tentang kewenangan
Pengadilan Agama dalam pengesahan
nikah. Sesuai dengan pasal 7 ayat
3 huruf (c) yakni menyatakan sah
atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan serta bukti yang ada
(Surat Keterangan Domisili
Pemohon I dan II) menyatakan
kewenangan Pengadilan Agama
Pelaihari memeriksa perkara
tersebut.
Sesuai dengan doktrin hukum Islam
yang tercantum dalam Kitab
I’anatut Thalibin Juz IV hal. 254
yang berbunyi: “Pengakuan seorang
bahwa ia sudah menikah dengan
seorang perempuan harus dapat
menyebutkan sahnya pernikahan
134
yang lalu, umpamanya adanya wali
nikah dan dua orang saksi yang
adil.”
Juga terdapat dalam Kitan
Bughyatul Mustarsyidin hal. 298
yang berbunyi:”maka jika telah
ada saksi-saksi yang menyaksikan
atas perempuan itu yang sesuai
dengan permohonannya itu, maka
tetaplah pernikahannya itu.
Berdasarkan fakta-fakta di
persidangan disimpulkan bahwa
perkawinan pemohon telah memenuhi
rukun dan syarat.
Alasan permohonan pemohon sudah
sesuai dengan maksud pasal 2 ayat
(1) UU No1 Thn.1974 jo. Pasal 7
ayat 3 huruf (e) dan ayat 4 KHI.
135
8. No.16/Pdt.G/2013/
PA.Trk
Pengadila
n Agama
Tarakan
Tidak
mempunyai
Akta
Nikah
karena
tidak
memiliki
biaya.
Akta
Nikah
digunakan
untuk
mengurus
Akta
Kelahiran
.
Sesuai dengan UU No.23 Thn 2006
tentang Administrasi Kependudukan
pada pasal 3 disebutkan “setiap
penduduk wajib melaporkan
peristiwa kependudukan dan
peristiwa penting yang dialaminya
kepada Instansi Pelaksana dengan
memenuhi persyaratan dalam
pendaftaran penduduk dan
pencatatan sipil.” Yang kemudian
dijelaskan pada pasal 35 huruf
(a) bahwa “pencatatan perkawinan
berlaku pula pada pencatatan
perkawinan yang ditetapkan oleh
pengadilan” yang proses
pencatatannya diatur dalam pasal
36 bahwa “dalam hal perkawinan
136
tidak dapat dibuktika dengan Akta
Perkawinan, pencatatan perkawinan
dilakukan setelah adanya
penetapan pengadilan.
Sesuai dengan pasal 49 UU No.7
Thn. 1989 yang diamandemen
menjadi UU No.3 Thn.2006 maka
perkara tersebut termasuk
kewenangan Pengadilan Agama
Tarakan. Sesuai dengan bukti-
bukti berupa KTP dan KK bahwa
pemohon adalah penduduk sah kota
tarakan dan menjadi yurisdiksi
Pengadilan Agama Tarakan.
Perkawinan pemohon telah memenuhi
rukun dan syarat perkawinan serta
tidak adanya halangan nikah.
Sesuai dengan Kitan Al-anwar
137
Jilid II hal. 146 yang berbunyi
sebagai berikut:”jika seorang
wanita mengaku telah dinikah oleh
seorang pria, maka dapatlah
diterima pengakuannya itu, baik
yang berhubungan dengan
penuntutan, mahar, nafkah,
warisan atau yang tidak
berhubungan dengan itu.”
Alasan pengajuan isbat nikah
sesuai dengan pasal 7 ayat 3
huruf (e) KHI. 9. No.09/Pdt.P/2011/
PA.Ktb
Pengadila
n Agama
Kotabumi
Untuk
mendapatk
an Akta
Nikah
Permohonan sudah sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku.
Alat bukti berupa surat-surat dan
saksi-saksi telah memenuhi syarat
formil dan materiil. Perkawinan
pemohon sudah memenuhi rukun dan
138
syarat perkawinan, sesuai dengan
mafhum ibarat pada Kitan I’anatut
Thalibin juz IV hal.254. sesuai
dengan mafhum ibarat dalam Kitab
Mughnil Mumtaz juz 12 hal.125
yang berbunyi:”dan diterima
pengakuan perempuan yang sudah
baligh dan berakal tentang
pernikahannya dengan seseorang,
menurut qaul jadid. Perkawinan
pemohon tidak melanggar larangan
agama sebagimana disebutkan pada
pasal 9-10 UU No.1 Thn. 1974
(hakim menuliskannya pasal 19-10)
jo. pasal 39-44 KHI. Permohonan
sudah sesuai dengan pasal 7 ayat
3 huruf (e) dan pasal 4 KHI.
Sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
139
dan (2) UU No.1 Thn. 1974 serta
pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI
perkawinan harus dilaksanakan
secara sah dan dicatat di hadapan
pejabat yang berwenang. Sesuai
dengan pasal 7 ayat 3 huruf
a,b,c,d dan e.10
.
No.005/Pdt.P/
2012/PA.
Tbnan.
Pengadila
n Agama
Tabanan
Untuk
mendapatk
an Akta
Nikah
sebagai
bukti
adanya
pernikaha
n antara
para
pemohon.
Sesuai dengan ketentuan pasal 49
huruf (a) UU No.7 Thn 1989 yang
dirubah terakhir menjadi UU No.50
Thn. 2009 jo. Pasal 7 ayat (2)
KHI permohonan isbat nikah dapat
diterima dan dilanjutkan
pemeriksaannya.
Sesuai dengan penjelasan pasal 49
huruf (a) butir 22 UU No.7
Thn.1989 yang diubah menjadi UU
No.3 Thn 2006 tentang kewenangan
140
PA dalam hal pernyataan tentang
sahnya perkawinan hanya dibatasi
untuk perkawinan yang terjadi
sebelum 1974.
Realitas di lapangan banyak
perkawinan yang terjadi setelah
1974 dan yang tidak bisa
dibuktikan dengan akta nikah
membutuhkan penanganan yang
mendesak bagi terselesaikannya
berbagai masalah dan kepentingan
sosial kemasyarakatan. Hal ini
ditandai dengan banyaknya perkara
isbat nikah yang masuk ke PA
Tabanan.
Dalam persidangan terungkap bahwa
pemohon sebenarnya telah
melakukan upaya untuk
141
mendaftarkan pernikahannya
melalui aparat desa yang biasa
mengurus namun ternyata
persyaratan yang telah diserahkan
oleh para pemohon tidak
diteruskan ke KUA setempat,
sehingga tidak tercatatnya
perkawinan pemohon adalah di luar
kemampuan para pemohon.
Menimbang pasal ayat 5 ayat (1)
UU No.48 Thn.2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib
menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
Pasal 7 ayat (3) huruf e KHI
telah memperluas kewenangan PA
142
dalam perkara pengesahan nikah
yakni meliputi perkawinan yang
dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan
menurut UU No.1 Thn.1974 maka
permohonan pengesahan perkawinan
yang dilakukan oleh para pemohon
telah sesuai dengan ruh dan
semangat ketentuan-ketentuan
sebagaimana tersebut di atas.
Sesuai dengan pasal 63 ayat (1)
huruf a UU No1.Thn 1974 jo. Pasal
49 ayat a UU No.50 Thn. 2009
perkara ini termasuk kewenangan
PA Tabanan.
Terpenuhi syarat dan rukun
perkawinan. Dan tidak ada
halangan nikah sebagaimana
143
tersebut dalam pasal 39 KHI atau
pernikahan yang diancam dengan
pembatalan atau dapat dibatalkan
sebagaimana tersebut dalam pasal
70 dan 71 KHI.
Majelis hakim mengemukakan dalil
syar’i yang terdapat dalam Kitab
I’anatut Thalibin juz IV hal.254.
Berdasarkan fakta-fakta di
persidangan, dengan melihat bahwa
perkawinan telah memenuhi syarat
dan rukun Islam dinyatakan
sebagai pernikahan yang sah
mempunyai kepentingan yang nyata
dan dengan memperhatikan
ketentuan pasal 2 UU No 1 Thn.
1974 jo.pasal 4 dan pasal 7 ayat
144
TABEL 4PUTUSAN DAN PENETAPAN YANG DITERIMA DAN DITOLAK
NoNo.Putusan/
Penetapan
Nama
Pengadila
n Agama
Alasan
Pengajuan
Isbat
Nikah
Keterangan (Pertimbangan Hakim)
1. No.044/Pdt.P/
2012/PA.ML
Pengadila
n Agama
Muara
Labuh
Untuk
mendapatk
an Akta
Nikah
Sesuai pasal 7 ayat (1) dan (2)
bahwa perkawinan harus dapat
dibuktikan dengan Akta Nikah yang
dibuat oleh PPN dan dalam hal
perkawinan tidak dapat dibuktikan
dengan Akta Nikah maka dapat
diajukan isbat nikahnya.
Alasan isbat nikah hanya apabila
sesuai dengan pasal 7 ayat (3) a-
e KHI.
Bukti berupa akta cerai di bawah
tangan tidak memiliki kekuatan
hukum, sebagaimana bunyi pasal146
114 KHI, bahwa perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama, karena itu
pemohon II (istri) dianggap masih
menjadi pria lain.
Menurut majelis hakim, para
pemohon telah bertindak tidak
sesuai hukum dan tidak
ber’iktikad baik, oleh karenanya
tidak berhak memperoleh
perlindungan hukum.
Majelis hakim berpendapat bahwa
kondisi kota Solok yang ada saat
ini dimana transportasi lancar,
dengan infrastruktur yang memadai
sehingga tidak sepantasnya
menjadi alasan pemohon untuk
mengenyampingkan peraturan
147
perundang-undangan. 2. No.014/Pdt.P/2011/
PA.TBK
Pengadila
n Agama
Tanjung
Balai
Karimun
Untuk
mendapatk
an Akta
Nikah
dalam
rangka
mengurus
Akta
kelahiran
anak.
Permohonan pemohon telah sesuai
dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, oleh
karena itu permohonan pemohon
secara formil dapat diterima.
Berdasarkan ketentuan pasal 49 UU
No.7 Thn 1989 jo.UU No.3 Thn.2006
jo.UU No. 50 Thn 2009 dan alat
bukti KTP pemohon bahwa perkara
ini menjadi kewenangan PA Tanjung
Balai Karimun.
Dalam persidangan para pemohon
tidak dapat menghadirkan alat
bukti yang cukup (saksi-saksi)
yang mendukung dalil
permohonannya, namun demikian
pemohon tetap tidak mau
148
mengahadirkan alat bukti tersebut
sehingga hakim berkesimpulan
bahwa permohonan tersebut
ditolak.
3. No.22/Pdt.P/2010/
PA.Gtlo.
Pengadila
n Agama
Gorontalo
Untuk
mendapatk
an Akta
Nikah
Menimbang bahwa dalam surat
permohonannya, pemohon I dan II
menyatakan bahwa masing-masing
berstatus janda dan duda, namun
dalam persidangan pemohon I
mengaku bahwa pada saat menikah
dengan pemohon II dia masih
terikat perkawinan dengan pria
lain yang telah meninggalkannya
selama lebih dari 2 tahun.
Berdasarkan pengakuan tersebut
maka pemohon I telah melanggar
larangan nikah pasal 40 ayat (1)
149
KHI. Karena perkawinan pemohon
sudah melanggar halangan nikah
menurut UU No.1 Thn. 1974, maka
perkawinan tersebut tidak bisa
diisbatkan, sebagaimana ketentuan
pasal 7 ayat 3 huruf (e) KHI.
4. No.25/Pdt.P/2012/
PA.Bkt
Pengadila
n Agama
Bukitting
gi
Untuk
mendapatk
an Akta
Nikah
dalam
rangka
mendapatk
an Akta
Kelahiran
Sesuai dengan ketentuan Teknis
Administrasi dan Teknis Peradilan
Agama Buku II Edisi 2009 MA RI,
bahwa tidak ada pihak yang merasa
dirugikan atas perkara ini maka
perrkara ini bisa diterima dan
dilanjutkan untuk diperiksa.
Alasan pengajuan isbat nikah
telah sesuai dengan pasal 7 ayat
1 dan 4 KHI.
Karena hanya ada satu saksi di
150
persidangan dan telah diambil
keterangan dengan diambil
sumpahnya, maka hakim
berkesimpulan bahwa satu saksi
sama dengan tidak ada saksi (Unus
Testis Nulus Testis, tapi dalam
putusan tertulis unus teslis
nulus testis), dengan demikian
saksi tidak memenuhi syarat
formil, selain itu keterangan
saksi tidak sesuai dengan dalil
pemohon I dan II, karena menurut
saksi P3N dari pihak keluarga
pria dan saksi nikah tidak
diketahui sehingga secara formil
dan materiil alat bukti saksi
tidak dapat diterima.
Dalam persidangan ditemukan fakta
151
bahwa saksi tidak kenal dengan
ayah pemohon II (mempelai wanita)
apakah masih hidup atau sudah
meninggal saat pemohon menikah.
Menurut sepengetahuan saksi P3N
dari Pemohon I dan II berasal
dari keluarga mempelai pria.
Saksi tidak mengetahui saksi
perkawinan dan mahar perkawinan
pemohon I dan II.
Majelis hakim menggunakan dalil
berupa hadis yang
berbunyi:”diterima dari Aisyah,
ia telah berkata bahwa Rasulullah
SAW pernah berkata: perempuan
mana yang menikah tanpa izin
walinya, maka perkawinannya
adalah batal. (HR Arba’ah kecuali
152
An-Nasa’i, Abu Awanah, Ibnu
Hibban dan Al-Hakim
menshahihkannya).
Hadis Nabi SAW yang
artinya;”Diterima dari Abdullah
bin Mas’ud, ia telah berkata
bahwa Rasulullah SAW pernah
bersabda: tidak sah menikah
kecuali adanya P3N dan dua orang
saksi (HR Daruquthni dan al-
Baihaqy).
Pendapat ahli fiqh dari kalangan
madzhab Syafi’I diambil alih oleh
majelis hakim bahwa rukun
perkawinan ada 5 yaitu calon
mempelai pria, calon mempelai
wanita, P3N, dua orang saksi dan
ijab kabul, sebagaimana
153
diungkapkan oleh Abdurrahman al-
Jaziry dalam kitab Al-Fiqh ‘ala
Madzahibul Arba’ah bahwa menurut
ahli fiqh dari kalangan madzhab
Syafi’I bahwa rukun nikah ada 5
yaitu calon mempelai pria, calon
mempelai wanita, P3N, dua orang
saksi dan ijab kabul.
Berdasarkan pembuktian yang
diajukan pemohon I dan II
dikaitkan dengan peraturan
perundang-undangan dan hukum
syara’ maka perkawinan pemohon I
dan II belum memenuhi rukun dan
syarat perkawinan, karena
walaupun sudah ada wali tapi
pemohon I dan II tidak dapat
membuktikan dalil permohonannya.
154
Menimbang bahwa sesuai kaidah
fiqh “bagi seseorang yang
mendalilkan sesuatu tapi dia
tidak dapat membuktikan dalilnya
maka permohonannya ditolak.5. No.
26/Pdt.P/2012/PA.T
R
Pengadila
n Agama
Tanjung
Redeb
Untuk
mendapatk
an Akta
Nikah
dalam
rangka
mengurus
Akta
Kelahiran
anak.
Sesuai dengan pasal 49 huruf a UU
No.7 Thn.1989 yang diubah menjadi
UU No.3 Thn. 2006 dan perubahan
kedua UU No.50 Thn. 2009 maka
perkara ini menjadi wewenang
Pengadilan Agama.
Bukti-bukti berupa surat-surat
(Surat Pernyataan Telah menikah
dan Kartu Keluarga) dianggap sah.
Berdasarkan fakta di persidangan
diketahui bahwa wali dari pemohon
II adalah pamannya, padahal ia
masih memiliki kakak kandung
155
laki-laki, maka berdasarkan pasal
6 ayat (4) UU No.1 Thn. 1974
jo.pasal 21 KHI, paman tidak
berhak menjadi wali nikah
sepanjang masih ada saudara
kandung laki-laki. Oleh karena
itu perkawinan pemohon I dan II
dianggap belum memenuhi rukun dan
syarat perkawinan.
Berdasarkan ketentuan pasal 2
ayat (2) UU No.1 Thn. 1974 maka
diwajibkan kepada pemohon I dan
II untuk melakukan akad nikah
yang baru dengan dicatatkan pada
PPN KUA Kec. Pulau Derawan
sebagaimana domisili para
pemohon.6. No.71/Pdt.P/2012/ Pengadila Untuk Berdasarkan bukti berupa KTP dan
156
PA.Smpg n Agama
Sampang
mendapatk
an Akta
Nikah
dalam
rangka
mengurus
Akta
Kelahiran
anak.
KK para pemohon berada di wilayah
yuridiksi Pengadilan Agama
Sampang karena itu PA Sampang
berhak memeriksa dan mengadili
perkara ini.
Dalil pemohon yang menyatakan
bahwa telah terjadi perkawinan
yang dihadiri 3 orang saksi,
dikuatkan dan dibenarkan oleh
keterangan saksi. Wali nikahnya
adalah ayah kandung pemohon II,
namun 3 orang saksi tersebut
tidak mengetahui siapa yang
bertindak sebagai wali dan siapa
saja saksinya.oleh karena itu
dalil pemohon tentang adanya wali
dan saksi tidak terbukti.
Mengingat bahwa wali dan saksi
157
adalah rukun dalam perkawinan
sebagaimana pasal 14 KHI huruf
(c) dan (d), sedangkan dalam
perkara a quo tidak terbukti wali
dan saksi-saksinya maka majelis
hakim menyimpulkan bahwa
perkawinan tersebut tidak
memenuhi rukunnya karena itu
patut ditolak. 7. No.127/Pdt.P/
2010/PA.Tse
Pengadila
n Agama
Tanjung
selor
Untuk
mendapatk
an Akta
Nikah
dalam
rangka
mengurus
Akta
Kelahiran
Berdasarkan surat permohonan
pemohon menikah di hadapan
sesorang bernama Hasan yang juga
bertindak sebagai wali hakim,
pemohon tidak mengetahui apakah
Hasan itu penghulu resmi atau
penghulu liar, dia juga tidak
berhak menjadi wali hakim.
Perkawinan pemohon tidak memenuhi
158
rukun dan syarat perkawinan
sebagaimana terdapat pada pasal
19-23 KHI yakni persyaratan wali
nikah serta Peraturan Menteri
Agama RI No. 2 Thn. 1987 tentang
Wali Hakim, sehingga dengan
demikian perkawinan antara
pemohon I dan II tidak sesuai
dengan hukum Islam dan peraturan
yang berlaku karena cacatnya
wali. Anak-anak yang dilahirkan
dari perkawinan tersebut tetap
dinasabkan kepada kedua orang
tuanya sebagaimana dinyatakan
dalam dalil fiqhiyyah dalam Kitab
Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu
Juz V hal 690 yang diambil alih
oleh majelis hakim sebagai
159
berikut: “pernikahan baik yang
sah maupun yang fasid adalah
merupakan sebab untuk menetapkan
nasab di dalam suatu kasus. Maka
apabila telah nyata terjadi suatu
pernikahan, walaupun pernikahan
itu fasid (rusak) atau pernikahan
yang dilakukan secara adat, yang
terjadi dengan cara-cara akad
tertentu (tradisional) tanpa
didaftarkan di dalam akta
pernikahan secara resmi, dapatlah
ditetapkan bahwa nasab anak yang
dilahirkan oleh perempuan
tersebut sebagai anak dari suami
istri yang bersangkutan.8. No.195/Pdt.G/
2011/PA.
Pengadila
n Agama
Untuk
mendapatk
Berdasarkan UU No.1 Thn 1974
pasal 4 bahwasannya perkawinan
160
Krui Krui an Akta
Nikah
dalam
rangka
mengurus
perceraia
n )
adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum Islam sesuai dengan
pasal 2 ayat (1) UU No.1 Thn
1974. Pasal 5 ayat (1) agar
terjamin ketertiban perkawinan
bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat. Ayat
(2) pencatatan perkawinan
tersebut pada ayat (1), dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana yang diateur dalam UU
No. 22 Tahun 1946 jo. UU No. 32
Thn. 1954. Pasal 6 ayat (1) untuk
memenuhi ketentuan dalam pasal 5,
setiap perkawinan harus
dilangsungkan di hadapan dan di
bawah pengawasan PPN. Pasal 6
Ayat (2) perkawinan yang
161
dilakukan di luar pengawasan PPN
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Menimbang berdasarkan pasal-pasal
tersebut di atas dan berdasarkan
dalil-dalil gugatan penggugat,
ternyata perkawinan yang
dilakukan oleh penggugat dan
tergugat adalah perbuatan melawan
hukum, karena tergugat masih
berstatus suami perempuan lain
yang belum diceraikan tergugat
dan juga perkawinan tersebut
tidak dilangsungkan di hadapan
pejabat yang berwenang sehingga
pelaksanaan perkawinan tersebut
bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(dalam amar putusan terdapat
162
kesalahan pada penulisan
pertimbangan hukum yang
digunakan, mestinya tertulis
pasal 4,5 dan 6 KHI, namun
ditulis UU No.1 Thn.1974)9. No.0266/Pdt.P/
2011/PA.Pyk
Pengadila
n Agama
Payakumbu
h
Untuk
mengurus
segala
keperluan
yang
terkait
dengan
Akta
Nikah
Permohonan telah sesuai dengan
pasal 49 ayat a UU No.7 Thn 1989
yang diubah menjadi UU No.3 Thn
2006 dan perubahan kedua UU No.50
thn. 2009 sehingga secara formil
sudah memenuhi ketentuan yang
berlaku. Berdasarkan Pedoman
Teknis administrasi dan Teknis
Peradilan Agama Buku II Edisi
Revisi tahun 2010 MA RI bahwa
permohonan pemohon sudah sesuai,
tidak ada pihak yang
keberatan/dirugikan dengan
163
permohonan tersebut maka perkara
bisa diperiksa. Alasan permohonan
isbat nikah adalah sesuai dengan
pasal 7 angka 2 dan 4 KHI
sehingga pengadilan Agama
berwenang memeriksa dan
menetapkan perkara ini. Terhadap
alat bukti dalam persidangan
berupa dua orang saksi, majelis
berpendapat bahwa keduanya telah
memenuhi persyaratan formil
karena hadir secara pribadi (in
person) di persidangan, telah
memberikan keterangan di bawah
sumpah, tidak terhalang secara
hukum untuk didengar
kesaksiannya, dan diperiksa satu
per satu. Secara materiil
164
kesaksian saksi I dan II saling
bersesuaian satu sama lain
sehingga sesuai dengan pasal 171-
176 R.Bg jo. Pasal 308-309 R. Bg
sehingga secara formil dan
materiil alat bukti saksi yang
diajukan dapat diterima.
Berdasarkan keterangan saksi di
persidangan ditemukan fakta bahwa
saksi perkawinan hanya satu orang
dan wali nikahnya adalah ayah
kandung pemohon II. Pemohon I
adalah bujang dan pemohon II
adalah gadis. Perkawinan pemohon
I dan II tidak memiliki halangan
nikah baik secara agama maupun
adat. Tidak ada gugatan terhadap
perkawinan keduanya. Perkawinan
165
yang sah adalah sebagaimana yang
disebut pada pasal 2 ayat (1) UU
No.1 Thn 1974. Keabsahan suatu
perkawinan adalah terpenuhinya
rukun nikah yaitu kedua mempelai,
wali, dua orang saksi, ijab kabul
sebagaimana dimaksud pada pasal
14 KHI.
Keabsahan suatu perkawinan juga
harus terpenuhi syarat-syarat
nikah bahwa tidak ada mahram al-
nikah antara calon mempelai baik
selama-lamanya maupun sementara
sebagaimana dimaksud pada pasal
8-10 UU No.1 Thn. 1974.
Berdasarkan dalil-dalil para
pemohon dikaitkan dengan
ketentuan perundang-undangan maka
166
perkawinan pemohon I dan II
kurang memenuhi rukun nikah
karena saksi hanya terdiri dari 1
orang, sementara ayah kandung
pemohon II bertindak sebagai wali
nikah, sehingga tidak bisa
dijadikan saksi nikah. Dengan
demikian majelis hakim
berkesimpulan bahwa permohonan
isbat nikah para pemohon ditolak.10
.
No.0162/Pdt.P/
2013/PA.GM
Pengadila
n Agama
Giri
Menang
Untuk
mendapatk
an Akta
Nikah
sebagai
kelengkap
an
identitas
Menimbang bahwa dari posita
pemohon I dan II, majelis hakim
menilai bahwa pemohon I dan II
mendalilkan telah melaksanakan
perkawinan secara syari’at Islam
dengan wali nikah ayah kandung
yang berwakil pada kakeknya dan
dihadiri lebih dari dua orang
167