RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR ... - Mahkamah Konstitusi

73
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 140/PUU-VII/2009 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 PNPS TAHUN 1965 TENTANG PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI YANG DIHADIRKAN MK, DAN KETERANGAN PIHAK TERKAIT (IX) J A K A R T A JUMAT, 12 MARET 2010

Transcript of RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR ... - Mahkamah Konstitusi

Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxp;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA ---------------------

RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 140/PUU-VII/2009

PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 PNPS

TAHUN 1965 TENTANG PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA

TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR

NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN

AHLI YANG DIHADIRKAN MK, DAN KETERANGAN PIHAK TERKAIT

(IX)

J A K A R T A JUMAT, 12 MARET 2010

1

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

-------------- RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 140/PUU-VII/2009 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

PEMOHON Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial) dkk.

ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli yang dihadirkan MK dan Keterangan Pihak Terkait (IX)

Jumat, 12 Maret 2010, Pukul O9.00 – 15.25 WIB Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat.

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Prof. Dr. Moh. Mahfud MD., S.H. (Ketua) 2) Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H. (Anggota) 3) Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. (Anggota) 4) Dr. H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H. (Anggota) 5) Hamdan Zoelva, S.H., M.H. (Anggota) 6) Dr. Muhammad Alim, S.H., M.Hum. (Anggota) 7) Dr. Harjono, S.H., MCL. (Anggota) 8) Drs. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum. (Anggota) Fadzlun Budi SN, S.H., M.Hum. Panitera Pengganti

2

Pihak yang Hadir:

Kuasa Hukum Pemohon: - M. Chairul Anam, S.H. - Putri Kanesia, S.H. - Vicky Sillvanie, S.H. - Judianto Simanjuntak, S.H. - Adam. M. Pantauw, S.H. - Muhammad Sodik - Siti Aminah, S.H. Pemerintah: - Cholilah, S.H., M.H. (Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan Hak

Asasi Manusia) - H. Mubarok (Kepala Biro Hukum Kementerian Agama) - Mashuri (Kementerian Agama) - Abdul Jamil (Kementerian Agama) - Mualimin Abdi (Kabag dari Menkumham untuk Penyajian pada Sidang

MK) - Radita Aji (Staf Litigasi) Ahli yang dihadirkan MK - Pastor Dr. F.X. Mudji Sutrisno, SJ. - Dr. Ulil Abshar Abdalla, M.A. - Emha Ainun Nadjib.

Pihak Terkait (Forum Kerukunan Umat Beragama) - H. Ahmad Syafi’i Mufid, MA. - Drs. Rudy Pratikno, S.H. - Pdt. M.E. Raitung, S.Si., MM. - Xs. Djaengrana Ongawijaya - Pdt. Liem Wirawijaya - H.M.E. Sja’roni

Pihak Terkait (Komnas Perempuan) - Dr. Yunianti Chuzaifah - Dr. Kunthi Triewiyanti - Tumbu Saraswati, S.H.

3

Pihak Terkait (Forum Umat Islam) - Wirawan Adnan, S.H. (Kuasa Hukum) - Muhammad Al Khotob (Sekjen FUI)

Pihak Terkait (Dewan Masjid Indonesia) - H. Sutito, S.H., M.H. - Drs. H.M. Hatsir Zubaidi

Pihak Terkait (PBNU):

- Asrul Sani (LBH NU)

Kuasa Hukum Pihak Terkait (Dewan Dakwah Islamiyah):

- Abdul Rahman Tardjo, S.H. - Zamhan

Pihak Terkait (Majelis Ulama Indonesia/MUI):

- H.M. Lutfi Hakim, S.H., M.H. (Anggota)

Pihak Terkait (BKOK): - Arnold Panahal

DPP PPP: - Muhammad Naril Ilham (Kuasa Hukum)

Pihak Terkait (Hizbut Tahrir Indonesia) - M. Mahendradatta, S.H., M.A., M.H., Ph.D. - Achmad Michdan, S.H. - A. Kholid, S.H.

Pihak Terkait (Front Pembela Islam) - Munarman, S.H.

4

1. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Assalamualaikum wr. wb.

Sidang Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan keterangan Ahli dan mendengar tanggapan Pihak Terkait dalam Perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum.

Silakan Pemohon untuk memperkenalkan yang hadir dari Pihak Pemohon, silakan.

2. KUASA HUKUM PEMOHON : M. CHOIRUL ANAM, S.H. Terima kasih, Yang Mulia.

Sampai saat ini yang hadir saya sendiri Muhammad Choirul Anam, paling ujung kiri Putri, di sebelahnya Vicky, di sebelahnya Judianto, Adam, Sodik, dan Siti Aminah, ada yang masih di jalan.

Terima kasih.

3. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Pemerintah, silakan.

4. PEMERINTAH : DR. MUALIMIN ABDI, S.H., M.H. (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Terima kasih, yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb.

Pemerintah hadir saya sendiri Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, sebelah kiri saya Pak Mubarok dari Kementerian Agama, di sebelah kirinya Ibu Cholilah juga dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, di sebelah kirinya lagi Pak Abdul Jamil dari Kementerian Agama dan Pak Mashuri dari Kementerian Agama juga, Yang Mulia.

Terima kasih.

5. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.. Pihak Terkait, Forum Kerukunan Umat Beragama.

SIDANG DIBUKA PUKUL 09.00 WIB

KETUK PALU 3 X

5

6. PIHAK TERKAIT (FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA) : H. AHMAD SYAFI’I MUFID, M.A.

Assalamualaikum wr. wb. Forum Kerukunan Umat beragama saya sendiri Ahmad Syafi’i

Mufid, di sebelah kanan saya Rudy Pratikno mewakili Keuskupan Agung Jakarta, di samping kiri saya Pendeta Raitung mewakili PGI wilayah DKI Jakarta, di belakang saya Xs. Ongawijaya mewakili Matakin, Pendeta Liem Wirawijaya mewakili WALUBI, Sja’roni mewakili MUI, dan masih ada yang diperjalanan.

Terima kasih, Yang Mulia.

7. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Kemudian Pihak Terkait, Komnas Perempuan.

8. PIHAK TERKAIT (KOMNAS PEREMPUAN) : DR. YUNIANTI CHUZAIFAH Ya, terima kasih Yang Mulia. Saya sendiri Yunianti Chuzaifah mewakili Komnas Perempuan sebagai Ketua, sebelah kiri saya Ibu Dr. Tri Kunthi Dewiyanti Ketua Sub Komisi Reformasi Hukum dan Kebijakan dan Ibu Tumbu Saraswati, S.H. mantan Anggota Dewan dan sekarang menjadi Komisioner Komnas Perempuan.

Terima kasih.

9. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Kemudian, Forum Umat Islam.

10. PIHAK TERKAIT (FORUM UMAT ISLAM) : WIRAWAN ADNAN, S.H.

Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia, kami Forum Umat Islam pada sidang hari ini adalah

diwakili oleh saya sendiri Wirawan Adnan dan dalam perjalanan menyusul adalah dari Sekjen FUI Muhammad Al Khotob dan hadir juga pada sidang hari ini adalah H. Muhammad Mursalin dari Hisbut Dakwah Indonesia.

Terima kasih, Yang Mulia.

11. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.. Kemudian Dewan Masjid, Pihak Terkait Dewan Masjid Indonesia sudah hadir? Sudah ada yang hadir, dewan Masjid? Silakan memperkenalkan diri siapa yang hadir mewakili Dewan Masjid hari ini.

6

12. PIHAK TERKAIT (DEWAN MASJID INDONESIA) : H. SUTITO,

S.H., M.H.

Assalamualaikum wr.wb. Saya nama Sutito dari Departemen Hukum dan Wakaf Dewan

Masjid, kemudian bersama ada Hatsir Zubaidi, Sekjen Dewan Masjid Indonesia.

13. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.. Ya, baik. Kemudian dari Pihak Terkait PBNU.

14. PIHAK TERKAIT (PBNU) : ASRUL SANI Terima kasih, Yang Mulia.

Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, saya Asrul Sani mewakili Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

15. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Dari Dewan Dakwah Islamiyah.

16. PIHAK TERKAIT (DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH) : ZAMHAN

Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia, kami dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang

hadir mewakili 2 orang saya Zamhan dan Bapak Abdul Rahman Tardjo di sebelah saya.

Terima kasih.

17. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Baik, Pihak Terkait yang tidak punya jadwal memberi keterangan khusus yang paling rajin itu PBNU dan Dewan Dakwah ini ya, yang tidak pernah tidak hadir, bagus. Dan Majelis Ulama, bertiga. Tapi yang lain kadang datang kadang tidak, tapi memang tidak punya jadwal. Yang hari ini punya jadwal bicara itu Dewan Masjid, Forum Umat Islam, Komnas Perempuan dan Forum Kerukunan Umat Beragama.

18. PIHAK TERKAIT (MAJELIS ULAMA INDONESIA) : H.M. LUTFI HAKIM, S.H., M.H. Dari MUI belum, Yang Mulia.

7

19. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Dari MUI sudah datang? Oh, ya tidak lihat tadi. Silakan. Pak Lutfi, silakan.

20. PIHAK TERKAIT (MAJELIS ULAMA INDONESIA) : H.M. LUTFI HAKIM, S.H., M.H. Baik, terima kasih Yang Mulia. Saya sendiri Muhammad Lutfi Hakim, kemudian ada satu anggota yang sekarang sedang mewakilli tugasnya Forum Umat Islam Saudara Wirawan Adnan dan kebetulan Bapak Amidhan belum sampai di tempat.

Terima kasih, Yang Mulia.

21. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.. Masih ada lagi, ndak?

Dari mana itu? Oh, dari Penghayat, silakan kenalkan diri, Pak.

22. PIHAK TERKAIT (BKOK) : ARNOLD PANAHAL

Saya Arnold Panahal dari BKOK. Assalamualaikum wr. wb., Rahayu.

23. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H..

Baik. Badan Koordinasi Organisasi Kepercayaan. Oke.

24. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (PPP) : M. NARIL ILHAM

Masih satu lagi, Yang Mulia.

25. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Satu lagi? Mana?

26. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (PPP) : M. NARIL ILHAM Baik, Assalamualaikum wr. wb.

Saya Muhammad Naril Ilham, Kuasa Hukum dari Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan.

8

27. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Partai Persatuan Pembangunan, baik. Saudara kita hari ini Ahli-Ahli yang diajukan oleh Pemohon maupun Pemerintah itu sudah habis, kecuali satu, Durham ya, yang nanti akan kita periksa melalui teleconference (…..)

28. PEMERINTAH : DR. MUALIMIN ABDI, S.H., M.H. (KABAG PENYAJIAN PADA SIDANG MK) Izin Yang Mulia, Pemerintah belum habis, Yang Mulia. Mungkin Pemerintah hari Rabu (…..)

29. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Ya, tapi begini ya kalau nanti pada jadwal yang ditentukan tidak bisa, ya jangan minta hari lain. Sidang ini dijadwalkan berakhir pada 24 Maret. Kalau di dalam kurun waktu itu tidak bisa juga tidak usah diajukan. Nah, hari ini ada 3 Ahli yang diundang khusus oleh Mahkamah Konstitusi, bukan karena diajukan oleh pihak tapi diundang khusus oleh Mahkamah Konstitusi, Cak Nun/Emha Ainun Nadjib, silakan berdiri Pak, biar dilihat, Pak. Kemudian Bapak FX. Mudji Sutrisno dan Bapak Ulil Abshar Abdalla. Kita dengar dulu ketiga Ahli ini dengan terlebih dulu mengambil sumpah. Bagi yang beragama Islam maju dulu untuk mengambil sumpah.

30. IKUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH) : ABDUL RAHMAN TARDJO, S.H., M.H. Mohon maaf, Yang Mulia (…..)

31. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Siapa ini yang berbicara?

32. IKUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH) : ABDUL RAHMAN TARDJO, S.H., M.H. Dari Dewan Dakwah, sebentar, 2 detik, mohon maaf ini, ada baiknya jika Yang Mulia Mahkamah Konstitusi menanyakan kepada Ulil Abshar apakah ikhlas mau disumpah secara Islam.

Terima kasih.

9

33. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Saudara tidak boleh begitu, ini pengadilan, tidak boleh memprovokasi.

Silakan, Pak Alim.

34. HAKIM ANGGOTA : DR. MUHAMMAD ALIM, S.H., M.HUM.

Kepada kedua Ahli ikuti lafaz sumpah yang akan saya tuntunkan. “Bismillahirrohmanirohim, Demi Allah saya bersumpah sebagai

Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya”.

35. AHLI (YANG DIHADIRKAN OLEH MK) : DR. ULIL ABSHAR ABDALLA, M.A. DAN EMHA AINUN NADJIB

“Bismillahirrohmanirohim, Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya”.

36. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Silakan duduk.

Romo Mudji. Bu Maria.

37. HAKIM ANGGOTA : PROF. DR. MARIA FARIDA INDRATI, S.H., M.H. Ikuti lafal janji yang saya ucapkan.

“Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya”. Terima kasih.

38. AHLI (YANG DIHADIRKAN OLEH MK) : DR. F.X. MUDJI SUTRISNO, S.J. “Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya.

39. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Silakan duduk. Baik, kita mulai dulu dari 3 Ahli ini. Jadi isu pokoknya begini, Saudara-Saudara Ahli, ada Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 yang isinya itu mengatur larangan penodan terhadap agama, sedangkan penodaan terhadap agama itu seperti disebutkan di dalam undang-undang itu antara lain menyampaikan, mengumumkan

10

ajaran yang menyimpang dari ajaran pokok, kemudian di dalam undang-undang itu juga disebut agama-agama tertentu yang dianut di Indonesia yang oleh pemerintah dianggap diakui di Indonesia tetapi undang-undang itu juga menyebut agama-agama lain juga diakui dan dibiarkan adanya. Dibiarkan itu artinya dibiarkan seperti yang lain tidak dihalangi, bukan dibiarkan itu dibiarkan lepas tapi tidak dihalang-halangi.

Nah, lalu persoalannya sekarang kepada Saudara bertiga tidak ditanya aspek hukum dari ini karena apakah ini sah atau tidak, bukan sah atau tidak, karena itu sudah dibahas soal hubungannya dengan konstitusi, tetapi persoalnnya apakah negara perlu mengatur hal seperti itu? Bukankah itu urusan masing-masing orang atau sekurang-kurangnya urusan masyarakat yang tidak perlu diatur oleh negara? Pasti Saudara sudah mengikuti di berbagai media massa bahwa ada yang mengatakan itu tidak perlu seperti dari Pemohon, tapi ada yang mengatakan justru itu perlu karena tanpa aturan itu justru masyarakat akan bikin aturan sendiri kalau terjadi konflik sesuka-sukanya lalu tidak ada hukum yang mengatur. Antara lain seperti itu. Terutama dari aspek HAM Cak Nun punya umat di bawah banyak, kira-kira seperti itu perlu apa tidak? Kalau berdasar pengalaman di bawah tentu juga sebagai budayawan, Pak FX Mudji juga, Pak Ulil Abshar juga punya pandangan-pandangan terutama kaitannya dengan hak asasi manusia yang tentu boleh menyinggung aspek-aspek yuridis tetapi yang pokok mau didengar dari Bapak bertiga yang kami anggap sebagai Ahli di sini adalah hal-hal seperti itu. Nah, Bapak bertiga diberi waktu masing-masing 15 menit untuk nanti kemudian sesudah itu akan ada semacam pertanyaan atau minta penjelasan dari Pemohon maupun dari Pihak Terkait atau Pemerintah, sesudah itu kita masuk ke yang lain. Nah, untuk itu di persilakan Cak Nun, maju saja ke podium. Mau maju atau mau duduk?

40. AHLI (YANG DIHADIRKAN OLEH MK) : EMHA AINUN NADJIB Saya mohon maaf, kami tadi ada kesepakatan di antara yang disebut para Ahli, bahwa saya belakangan karena saya yang paling tidak menguasai masalah soal itu.

41. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Oh, gitu. Jadi yang mau duluan siapa? Pak ulil atau Pak Mudji? Romo Mudji, silakan maju.

42. AHLI (YANG DIHADIRKAN OLEH MK) : DR. F.X. MUDJI SUTRISNO, S.J. Selamat pagi, yang saya hormati Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dan para hadirin semua yang duduk di sini. Pertama, saya akan mengatakan diri dalam posisi saya yaitu sebagai Ahli

11

yang diminta untuk memberikan penilaian dalam soal bahwa posisi saya adalah saya memberikan semacam deskripsi, membeberkan fenomena-fenomena agama tapi juga dalam ranah kebudayaan termasuk juga ketika bangsa ini dari awalnya adalah masyarakat multikultur, masyarakat yang beragam etnik, agama, dan golongannya, dengan menghormati masing-masing dengan toleransi kuat kemudian mulai bernegara. Dan ketika bernegara di situ masuklah wilayah publik wilayah negara.

Jadi hukum negara datang sesudahnya dan merupakan konsensus dari masyarakat-masyarakat masing-masing Indonesia itu sehingga kalau kita mau katakan bahwa justru dalam multikultur masyarakat Indonesia yang beragama ini toleransi hormat satu sama lain terhadap agama atau terhadap perbedaan itu harus masuk di sana. Jadi istilah Yang Mulia akan saya paparkan pendekatan saya adalah pendekatan fenomenologis deskriptis, jadi pembeberan pada fenomen-fenomen itu.

Sampai sekarang kalau saya melihat dan tadi ditanya oleh Bapak Yang Mulia Bapak Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai penilaian saya, itu sampai sekarang ada 3 posisi saya kira, yang tadi dijelaskan dengan bagus yaitu Pemohon untuk mencabut Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965, yang kedua mempertahankan karena merupakan minimal legal law (aturan hukum minimal) dan itu akan mengurangi mencegah anarki dan seterusnya, tapi di sini sudah ada pertanyaan kritis, apakah kalau minimal legal law itu dicabut lalu pasti akan terjadi anarki? Atau social riot itu hanya asumsi psikologis? Lalu yang ketiga adalah revisi sampai sekarang ini terutama pada Pasal 1 dan Pasal 4.

Nah, saya akan mulai dengan istilah. Jadi yang untuk saya menjadi penting ada 3 kata kunci di situ dalam seluruh perundangan ini, yaitu kebebasan beragama itu tempat terjadinya proses ini, yang kedua adalah apa arti penodaan itu, dan yang ketiga adalah bagaimana hal menyimpang sebagai penafsiran dari agama itu masuk ke sana. Singkat saja, hakikat kebebasan beragama adalah pengakuan bahwa setiap orang berhak untuk meyakini serta hidup beribadat dan menghayati komunikasinya dengan yang mutlak yang Illahi itu. Jadi setiap orang memang wajib mutlak untuk taat kepada apa yang disadarinya sebagai tuntutan Allah. Di sini Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 menulis secara formal positifisme hukum mengenai hak ini. Nah, di sini negara melindungi tiap warganya untuk menghayati kebebasan beragama itu dan di sini saya mau mengatakan problem yang pertama kira-kira yang saya bawa pagi ini adalah sejauh mana sesungguhnya bahasa-bahasa dari masyarakat kultural yang sudah menghormati satu sama lain dengan keberbedaan itu ketika diberi bahasa hukum akhirnya akan meniadakan hak-hak lain atau kebebasan yang ada di dalam. Taruh saja sebuah contoh dalam sebuah keluarga, kalau keluarga itu otonominya diserahkan pada kesadaran masing-masing anak, ibu dan bapak dalam keluarga itu tapi kemudian bapak dan ibu menetapkan karena ada

12

masalah untuk anak-anak dan segala macam itu bukan mentoleransi kebebasannya, bukan membiarkan pemekaran kesadaran masing-masing, tapi diberi hukum di dalam keluarga itu, tidak boleh bicara jam sekian, makan harus demikian, tidak boleh keluar rumah jam sekian, apa jadinya keluarga itu dalam sebuah perkembangan kultural yang mengandaikan kesadaran untuk kearah sana? Jadi problem yang pertama yang mau saya jawab untuk pertanyaan Yang Mulia Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi adalah ketika masyarakat majemuk plural ini dan punya otonominya mengenai soal-soal agama dan di dalamnya, serahkan yang dikatakan mengenai penodaan agama dan yang dalam hukum ini dikatakan menyimpang, itu serahkan saja pada masing-masing dari otonomi masyarakat kultural itu. Dan istilah menyimpang sendiri sesungguhnya adalah istilah orang dalam, jadi hanya masyarakat itu, karena kalau dari orang luar itu akan dikatakan berbeda saja, dan ketika dalam hal menghayati kebebasan beragama, kita misalnya Saudara saya Ulil maupun Saudara saya M.H. Ainun Nadjib saya lihat cara menghayati agama dan liturginya atau ibadatnya saya melihat itu berbeda saja. Jadi tidak bisa saya intervensi ke sana apalagi negara.

Dengan kata lain pada pokok yang nomor 2 negara tugas paling pokok adalah pada wilayah publik, menjaga ketertiban dan melindungi tiap warga negara untuk melaksanakan hak kebebasan beragamanya sesuai dengan Pasal 9, itu adalah bunyi hukum konstitusi dan konstitusi negara ini bukan konstitusi agama. Kalau mau dikatakan secara tegas ayat-ayat dalam bernegara Republik Indonesia dengan Undang-Undang Dasar 1945 adalah ayat-ayat konstitusi maka dalam wilayah di situ persoalan yang terjadi intern masing-masing agama diberikan kalau terjadi penyimpangan penodaan dan segala macam wilayahnya di sana silakan untuk diselesaikan dan seperti dalam ruang ini diajak bicara, dialog dan negara tidak boleh masuk ke wilayah dan melarang itu.

Pertanyaannya, bagaimana kalau keluar dan menodai betul? Kalau keluar misalnya dengan katakan menjelekkan misalnya dalam soal seni dan segala macam, lalu di sini kalau ada peraturan yang kita soroti pagi ini, ketika itu keluar lalu sesungguhnya masuk ke wilayah publik itu, dia hanya boleh dicegah, dia hanya boleh untuk dilarang ketika dia merusak, ketika dia membuat onar, ketika dia melakukan kekerasan di wilayah itu, tapi di luar itu negara sebenarnya tidak berhak, tidak berkompeten untuk mengadili di dalam. Pokok yang ketiga, istilah penodaan agama. Sesungguhnya kita harus melihat apa yang dinamai dengan menodai agama. Menodai agama adalah tindakan lahiriah yang dengan sengaja dengan maksud menjelekkan, mengahina tokoh agama, simbol-simbol agama, dan rumah ibadahnya, termasuk juga dengan instalasi seni. Sekarang apa yang penting juga yaitu yang tidak merupakan penodaan agama, di sana adalah ketika seseorang menghayati atau sekelompok orang menghayati praktik agama dan mengajarkan sesuatu dengan maksud, dengan tidak

13

ada maksud untuk menodai dan keyakinan praktik itu bertentangan dengan, berbeda dengan agama lain, itu sebenarnya hanya semacam berbeda saja menghayati di sana. Jadi yang penting di sini saya mau menegaskan prinsipnya ketika seseorang atau kelompok hanya berbeda keyakinan atau praktik keagamaan tidak dengan sendirinya merupakan penghinaan atau penodaan, karena itu negara dalam tugasnya di wilayah publik tidak berhak dalam kompetensinya untuk masuk dalam wilayah otonomi yang masyarakat kultural itu. Yang terakhir, yang saya mau menegaskan juga pada kesempatan ini, kita lihat saja ketika masyarakat kultural majemuk di Indonesia ini dengan agama-agama bumi atau sering Ahli mengatakan agama alam yang waktu kita kecil kita katakan itu adalah dinamisme dan animisme, secara kultural kita semua percaya bahwa ada kekuatan animisme dan dinamisme. Nah, ketika diformalkan dalam Negara Republik Indonesia agama-agama yang resmi itu masuk ke sana kita kenal dulu hanya ada 5 agama formal resmi. Lalu satu lagi ditambah menjadi 6 ketika zamannya Presiden Gus Dur, tetapi dari 6 ini terjadi pengeluaran, pendiskriminasian pada agama-agama bumi yang sesungguhnya adalah diteliti oleh Dennis Lombard, diteliti oleh Ahli-Ahli kebudayaan adalah dasar lapis paling bawah dari Nusantara ini. Sebelum dihadiri oleh agama-agama monoteis, sebelum dihadiri oleh agama-agama wahyu, sebelum dihadiri oleh mereka-mereka yang dari langit mengatakan wahyunya itu.

Nah, kalau kita melihat bahwa terjadi bahasa hukum itu, lalu meniadakan atau mengecilkan, mengerucutkan bagian-bagian yang dihidupi sebagai masyarakat yang kultural yang sudah ada dalam kemajemukan kita, maka yang sama bisa terjadi ketika Penetapan Presiden Republik Indonesia ini, yang dalam konteks sejarah waktu itu tahun 1965, dalam konflik antar ideologi, dalam konflik antar ganyang-ganyangan sebagai konteksnya, maka teks ini harus ditafsirkan dan direvisi, kalau diubah dan dicabut dalam kapasitas yang radikalnya, kalau direvisi adalah pada ayat-ayat atau teks-teks yang tadi itu mendiskriminasikan hak hidup, kemajemukan dari bangsa dan warga negara kita.

Dengan kata lain problem paling pokok adalah masyarakat kultural majemuk beda suku, beda agama, beda golongan ini, ketika mencintai Indonesia dengan kulturalnya dan multikulturalnya, sesungguhnya kita seperti di ruang ini, kalau ada masalah kita masih bisa saling menghormati dengan bicara, dengan terbuka, dengan dialog. Dan ketika toleransi itu mengandaikan pada saat awal masing-masing menyadari sendiri untuk diingatkan di agama masing-masing menyimpang atau tidak. Istilah menyimpang saja, itu kita sebenarnya, siapa yang berhak mengatakan menyimpang dalam agama itu. Yang berhak mengatakan menyimpang dalam agama itu, benar tidaknya hanya Allah sendiri, karena kalau kita sebagai manusia dengan rendah hati mengakui bahwa kita berhak mengatakan menyimpang dan

14

menguhukum sesama kita sebagai manusia, kita sebenarnya meminjam dan malah kita mengambil hak Allah itu sendiri untuk menghukum sesama kita. Padahal sesama kita manusia ini adalah dalam Kristiani dikatakan citra Allah, gambar Allah yang maha berharkat itu. Sementara dalam saudara saya yang muslim dikatakan dia adalah Khalifatullah Allah itu sendiri.

Ini para Saudara dan Saudari yang saya hormati, dengan kata lain saya mau mengatakan bahwa wilayah kompetensi hukum negara adalah wilayah publik, dan dalam Pembukaan Alenia UUD 1945 di sana sudah jelas sekali, “melindungi segenap warga negara Indonesia”, salah satunya adalah dalam hak melaksanakan menghayati kebebasan beragama. Dan negara hanya boleh masuk ketika undang-undangnya, hukumnya itu menganjurkan, membuat tata tertib, lalu menganjurkan kemanusiaan dari sesamanya.

Pertanyaan terakhir yang sering muncul adalah begaimana kalau atas nama kebebasan beragama lalu orang memprovokasi, membuat menghina yang lain semua? Ini adalah kasus per kasus, ini adalah kecil, tidak bisa hukum lalu membuat generalisasi dari sisi ini.

Terima kasih, selamat pagi. 43. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Terima kasih, Romo. Cak Nun apakah masih mau tetap milih yang terakhir dulu. Ya, silakan Pak Ulil.

44. AHLI (YANG DIHADIRKAN OLEH MK) : DR. ULIL ABSHAR

ABDALLA, M.A.

Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi dan salam sejahtera buat kita semua. Yang Terhormat Yang Mulia Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi,

Yang Mulia para Hakim Mahkamah Konstitusi, Bapak dan Ibu sekalian yang saya hormati, perkenankan di sini saya hadir dalam kapasitas sebagai Ahli yang dimohonkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk memberikan pendapat mengenai pengujian atas Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965. Keahlian saya selama ini adalah di bidang Fiqih atau Hukum Islam, Teologi, Filsafat, Sastra, Pemikiran dan Peradaban Islam. Kegiatan saya selama ini adalah bergerak di bidang aktivisme sosial dan pemikiran Islam. Dan masalah yang hari ini dan pada hari-hari yang lampau dibicarakan dalam ruang yang mulia ini mengenai pengujian atas Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 adalah merupakan bagian dari perhatian saya yang paling utama karena ini menyangkut salah satu masalah yang saya kira penting yaitu selain tadi masalah yang diangkat oleh Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi yaitu tentang apakah negara punya wewenang untuk mengatur, mempunyai otoritas mencampuri

15

keyakinan pribadi, juga ada masalah lain yang ingin saya tanggapi yaitu mengenai kedudukan penafsiran atau interpretasi yang berkaitan dengan pokok-pokok keagamaan yang dianggap menyimpang, apakah hal itu bisa dianggap sebagai penodaan, penghinaan, atau penyalahgunaan agama. Mohon berkenaan Bapak Ketua Mahkamah Kontitusi untuk menjawab 2 masalah tadi itu.

Yang pertama adalah saya akan mulai dengan aspek penafsiran atau interpretasi. Sebelum saya menjawab masalah ini, perkenankan saya menegaskan bahwa sebagai seorang muslim saya mengatakan bahwa jelas saya tidak rela jika agama saya dihina. Saya tidak rela misalnya jika seseorang melakukan penghinaan dengan cara mencemplungkan Al-Quran ke dalam tempat yang tidak senonoh dengan tujuan untuk menghinakan Islam. Saya tidak rela misalnya jika seseorang melemparkan daging babi ke dalam masjid dengan tujuan untuk menghinakan Islam sebagai mana yang sudah terjadi di Australia pada waktu yang lalu. Dalam hal-hal semacam ini jelas saya tegas mengatakan “Saya tidak bisa menerima tindakan semacam itu “. Yang menjadi masalah buat saya adalah apakah jika seseorang atau golongan atau kelompok mengajukan suatu penafsiran atau interpretasi terhadap sejumlah hal yang dianggap sebagai ajaran pokok di dalam agama, dalam hal ini menyangkut kompetensi saya yaitu Islam, apakah jika seseorang itu mengajukan interpretasi atau tafsir semacam itu bisa dianggap menodai, menghina atau menyalahgunakan agama? Jawaban saya dengan tegas mengatakan “Tidak tanpa kualifikasi”.

Berikut ini adalah argumentasi saya. Kalau kita tengok sejarah Islam terutama sejarah peradaban Islam, salah satu ciri khas yang penting dari peradaban Islam adalah kekayaan pemikiran, kekayaan ide, kekayaan pendapat, kekayaan madzhab, kekayaan sekte, kekayaan golongan, yang itu bisa kita telaah, kita deteksi melalui warisan intelektual, atau khazanah intelektual yang ditinggalkan oleh para sarjana dan para ulama di masa lampau. Kalau kita telaah literatur yang berkenaan dengan apa yang disebut di dalam kajian teologis sebagai heresiograpy yaitu tentang literatur yang berkenaan dengan sekte-sekte yang dianggap sesat, yang di dalam tradisi Islam yang biasanya buku-buku semacam itu membawa judul atau dijuduli Al-Milal wan-Nihal atau Al-Fishal dan seterusnya kalau kita telaah misalnya buku yang dikarang oleh Asy-Syihristani “Al-Milal wan-Nihal”, kalau kita telaah buku yang ditulis oleh Ibnu Hazm “Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal”. Kalau kita telaah buku yang ditulis oleh Abdul-Qahir al-Baghdadi “al-Farqu Baina al-Firaq” misalnya, di sana dengan jelas sekali kita lihat bagaimana keragaman sekte, keragaman madzhab dan keragaman golongan dalam Islam.

Yang harus kita perhatikan adalah bahwa keragaman pendapat di dalam Islam, dalam sejarah Islam pada masa lampau, tidak saja berkaitan dengan cabang-cabang agama. Bahkan di dalam masalah Ushul, masalah Aqidah tejadi perbedaan yang luar biasa. Bahkan Nabi

16

Muhammad SAW dengan tegas mangatakan bahwa Umat Islam akan terpecah belah menjadi 73, orang Kristen terpecah belah menjadi 72, orang Yahudi 71. Jadi makin ke belakang perpecahan dim dalam sejarah manusia makin mendalam. Itu sudah diprediksi oleh Nabi sendiri, bahwa ada perpecahan golongan, ada perbedaan pendapat di dalam masalah-masalah Ushul. Dan menurut Hadist versi yang populer semua kelompok 73 itu ada di neraka, kecuali satu yang masuk surga yaitu golongan yang disebut sebagai "Ma Ana 'Alaihi wa Ashabi “ golongan yang mengikuti ajaranku dan sahabatku.

Nah, di sini kita melihat bahwa perbedaan penafsiran, perbedaan pendapat dalam masalah Ushul itu terjadi pada masa lampau. Yang menarik adalah penegasan yang dibuat oleh salah satu Ulama Sunni, salah satu Ulama yang hidup di dalam Kekhalifahan Abbasiyah yang bisa dianggap sebagai salah satu Teolog atau seorang Ahli Kalam yang bertangung jawab di dalam perumusan Aqidah Asy'ariyah yaitu Abdul-Qahir al-Baghdadi. Di dalam bukunya “al-Farqu Baina al-Firaq” dia mengatakan pada halaman 157, saya bacakan dalam teks Arab-nya “wamma khasallahu ta’alabihi ahlasunnati annahu ashomahum min takfiri ba’dihim ba’dhan fimaa ikhtalafufihi “. Salah satu ciri khas dari Sekte Sunni yaitu mereka menghindari tindakan pengkafiran satu terhadap yang lain di dalam hal-hal dimana mereka berbeda pendapat. Ini ciri khas yang disebut oleh Abdul-Qahir al-Baghdadi sebagai ciri khas yang membedakan Sekte Sunni dari sekte-sekte yang lain. Dia mengatakan misalnya Sekte Rafidhah di dalam tradisi saling mengkafirkan satu dengan yang lain, Sekte Khawarij saling mengkafirkan satu dengan yang lain, Sekte Muktazilah juga begitu. Hanya Sekte Sunni saja menurut beliau yang cenderung lebih toleran, mereka bisa membiarkan terjadi perbedaan dalam masalah Ushul sekalipun. Saya akan sebutkan suatu poin yang menarik dimana kalau kita di sini berbicara mengenai bahwa tafsir yang berbeda dengan pendapat yang dominan yang ortodoks yang berkaitan dengan “Pokok-Pokok Ajaran Agama” bisa dianggap sebagai tindakan yang dikriminalkan, maka pertanyaan pokok yang memang harus kita jawab adalah apa yang disebut dengan “Pokok-Pokok Ajaran Agama” di situ? Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 antara lain menegasakan bahwa penafsiran yang menyimpang dari “Ajaran-Ajaran Pokok Agama” bisa dianggap sebagai tindak pidana.

Apa yang disebut dengan “Ajaran Pokok-Pokok Agama” di sini? Kalau kita merujuk ke dalam tradisi Islam, istilah “Pokok-Pokok Ajaran Agama” di dalam undang-undang ini sangat ambigu. Apakah yang dimaksud “Pokok-Pokok Ajaran Agama” di sini adalah yang di dalam istilah Ushul Fiqih disebut sebagai “maklum minatdiin bi darurrah” sesuatu yang sudah diketahui sebagai bagian dari agama tanpa berfikir terlalu jauh, karena setiap orang muslim tahu, misalnya sholat itu wajib, puasa itu wajib, haji itu wajib, itu bagian dari “maklum minatdiin bi darurrah” . Apakah yang dimaksud adalah “maklum minatdiin bi

17

darurrah” seperti itu? Ataukah yang dimaksud adalah Ushuluddin pokok-pokok agama? Imam Abdul-Qahir al-Baghdadi juga selain menulis buku “al-Farqu Baina al-Firaq” dia juga menulis buku judulnya “Ushuluddin” Pokok-Pokok Agama, tentunya pokok-pokok agama menurut golongan sekte atau golongan Asy’ariyah. Apakah yang dimaksud itu? Ataukah yang dimakud itu Rukun Islam atau Rukun Iman, misalnya? Apa pengertian “Pokok-Pokok Ajaran Agama” kalau kita telaah dalam perspektif Islam? Apakah itu Rukun Islam, Rukun Iman atau maklum minatdiin bi darurrah atau yang disebut dengan Ushuluddin ?

Saya akan ambil contoh, kalau yang dimaksud adalah Rukun Iman dan Rukun Islam simple sekali. Rukun Iman ada 6, Rukun Islam ada 5, yang itu sangat simple sekali dan saya kira kalau kita mendefinisikan “Pokok-Pokok Ajaran Agama” itu referensinya adalah Rukun Iman dan Rukun Islam dan saya kira itu ada justifikasinya, Imam Ghozali misalnya mengatakan bahwa kita orang Ahlul Sunnah wal Jamaah tidak akan mengkafirkan Ahlul Qiblah yang mengakui Rukun Iman dan Rukun Islam. Kalau definisi “Pokok-Pokok Ajaran Agama” adalah seperti itu maka gampang sekali. Tetapi di dalam kenyataannya tentu tidak demikian. Ada golongan, ada perorangan yang bisa dianggap keluar dari Islam karena interpretasi, karena penafsiran yang dianggap menyimpang dari “Pokok-Pokok Ajaran Agama”.

Saya akan ambil contoh salah satu poin yang bagi saya menarik untuk melihat bagaimana komplikasi dan ambiguitas konsep mengenai “Pokok-Pokok Ajaran Agama” ini. Abdul-Qahir al-Baghdadi sebagai salah satu ulama penting di dalam tradisi Asy’ariyah dia merumuskan apa yang disebut sebagai “Pokok-Pokok Ajaran Agama” menurut Sekte Sunni dalam tradisi Asy’ariyah. Ada 16 “Pokok-Pokok Agama” itu. Saya tidak akan sebutkan satu persatu, tapi salah satunya adalah dia mengatakan “Salah satu Ushuluddin yang harus diimani oleh seorang muslim yang mengikuti madzhab Sunni Asy’ariyah adalah dia harus mengimani teori tentang atom atau jauhar dan teori mengenai accident atau arrot”. Di dalam tradisi teologi Islam, teori atom yang itu berasal dari tradisi Yunani dan teori mengenai accident yang juga dari tradisi Yunani, itu merupakan pondasi penting dalam tradisi Asy’ariyah untuk membuktikan alam adalah ciptaan yang baru, alam adalah temporal creation, apa itu alam adalah hatif dan konsep mengenai alam…, dunia yang baru yang diciptakan dalam waktu temporal creation itu merupakan pondasi di dalam pembuktian adanya Tuhan. Seorang muslim yang tidak menguasai teori tentang arrot dan jauhar dia tidak menguasai salah satu rukun, salah satu Ushul di dalam tradisi Sunni versi Asy’ariyah.

Pertanyaan saya adalah apakah seorang awam muslim yang tidak menguasai teori atom dan jauhar yang begitu kompleks, yang itu tidak bisa dipahami bahkan oleh orang yang menyelesaikan studi S1 itu butuh pendidikan yang mendalam sekali, apakah orang semacam itu bisa dianggap dia tidak memenuhi requirement atau persyaratan sebagai seorang muslim Sunni ala Asy’ariyah ?

18

Yang menarik menurut saya adalah teorinya Abdul-Qahir al-Baghdadi ini ditentang oleh ulama Sunni yang lain yang datang dari tradisi Malikiyah yaitu Ibnu Rushd. Di dalam buku “Alkasfu anmannahi jilhadlilah fi aqo’idil millah” dia mengkritik dengan keras sekali teori atom dan teori accident yang diajukan oleh Abdul-Qahir al-Baghdadi dan dia mengatakan tidak mungkin teori ini sebagai bagian dari Ushul. Pertanyaan kita adalah kalau kita dihadapkan pada pertanyaan apa yang Anda maksud dengan Ushul atau Pokok-Pokok Agama itu ? Apakah Anda mengikuti teorinya Abdul-Qahir al-Baghdadi, mengikuti teorinya Ibnu Rushd, dua-duanya tokoh penting, ulama penting dalam tradisi Sunni ? Pertama.

Yang kedua, kita tahu semua bahwa masing-masing sekte dan golongan dalam Islam mempunyai daftar, dogma-dogma atau doktrin yang dianggap Ushul oleh mereka. Golongan Sunni punya daftar sendiri, golongan Syi’ah punya daftar sendiri, Muktazilah juga punya Ushul yang berbeda dengan orang-orang Sunni. Bagaimana kita merumuskan pokok-pokok ajaran agama di sini? Ini menurut saya salah satu komplikasi yang harus diperhitungkan ketika kita menelaah kembali udang-undang ini.

Oleh karena itu kesimpulan saya adalah bahwa kalau kita merujuk kapada tradisi Islam, kepada tradisi peradaban Islam pada masa lampau, ini bagian dari hal yang saya punya kompentensi di situ, maka penafsiran tidak bisa dianggap sebagai penodaan agama. Saya akan menjawab pertanyaan kedua yang diajukan oleh Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi dan ini mengakhiri keterangan saya, apakah negara punya wewenang di dalam mengatur corak akidah, atau corak kepercayaan atau tafsiran yang dianggap resmi berdasarkan mana aliran-aliran yang lain bisa dianggap sebagai aliran yang menyimpang? Apakah negara mempunyai wewenang di situ?

Perkenankan saya sedikit menoleh kembali kepada sejarah Islam. Dulu di dalam sejarah Islam pernah terjadi perang pada masa Abu Bakar, perang terhadap orang-orang yang membangkang untuk membayar zakat. Yang kedua, perang melawan orang-orang yang mengaku sebagai Nabi, atau perang melawan Nabi-Nabi palsu. Setelah Nabi wafat ada sejumlah tidak kurang dari 4 orang, minimal ada 4 orang yang claimment to prophecy orang-orang yang mengaku sebagai Nabi, dan itu semua diperangi oleh Abu Bakar. Dua nama yang paling penting yang sering disebut adalah Musailamah al-Kadzab, yang kedua adalah Tulaihah Al-Asadiy.

Apakah peperangan yang dilakukan oleh Abu Bakar terhadap orang-orang yang mengaku sebagai Nabi dan orang-orang yang membangkang membayar zakat adalah perang melawan tafsir? Ataukah perang Abu Bakar adalah perang melawan suatu makar politik ? Tentu di sini kita bisa berbeda interpretasi. Saya akan mengutip interpretasi yang dikemukakan oleh seorang sarjana dan intelektual muslim, Adik dari Hasan al-Banna yaitu Jamal al-Banna dia menulis sebuah buku

19

berkenaan dengan ini dia mengatakan bahwa perang Abu Bakar melawan para pembangkang zakat dan perang melawan para Nabi-Nabi palsu itu bukanlah perang melawan tafsiran. Oleh karena itu kita tidak bisa menjadikan preseden sejarah dalam Islam ini, kalau menelaah dari sudut pandangan Islam, untuk menjustifikasi bahwa negara punya hak untuk mencampuri tafsir, karena pernah Abu Bakar memerangi para Nabi-Nabi palsu.

Tafsiran yang dikemukakan oleh Jamal al-Banna dan juga dikemukakan oleh para sarjana Islam yang lain antara lain Muhammad ‘Abit al-Jabiri seorang intelektual dari Maroko, dia mengatakan bahwa kalau kita telaah peristiwa Musailamah al-Kadzab mengaku sebagai Nabi dan juga Tulaihah Al-Asadiy kelihatan sekali bahwa mereka ini sebetulnya adalah orang-orang yang melakukan makar politik. Musailamah al-Kadzab mengaku sebagai Nabi jauh sebelum Nabi wafat. Ketika Musailamah mengaku sebagai Nabi pada saat Nabi masih hidup Nabi tidak pernah memerangi dia. Yang memerangi Musailamah al-Kadzab adalah Abu Bakar dan dia meninggal dalam perang Yamamah. Pada saat Nabi mengajak Musailamah al-Kadzab untuk masuk Islam respon dari Musailamah adalah menarik. Dia bilang begini, “Saya mau masuk ke dalam Islam dengan satu syarat, asal kita berdua berbagi untuk menguasai tanah Arab separoh-separoh, kalau Anda setuju dengan agreement ini saya masuk Islam”. Artinya sejak awal Musailamah al-Kadzab sebetulnya tidak bergerak pada wilayah tafsiran, tetapi wilayah politik.

Ketika Nabi wafat, Musailamah al-Kadzab dengan terang-terangan melakukan semacam makar politik, ingin menjatuhkan Negara Madinah ketika itu yang dipimpin oleh Abu Bakar. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain bagi Abu Bakar kecuali memerangi dia. Hal yang sama terjadi juga pada Tulaihah Al-Asadiy, dia mengaku sebagai Nabi, diperangi oleh Abubakar, sampai meninggal Abu Bakar tidak berhasil dikalahkan, tetapi kemudian pada masa Umar dia masuk Islam. Dia masuk Islam dan kemudian tentu dia menanggalkan klaimnya. Tetapi Tulaihah Al-Asadiy juga sama, sebetulnya klaim dia kepada soal kenabian tidak berkaitan semata-mata atau bahkan tidak berkaitan dengan penafsiran, tetapi berkaitan dengan soal kekuasaan. Begitu juga orang-orang yang membangkang zakat, Abu Bakar melawan mereka, memerangi mereka bukan karena mereka punya interpretasi bahwa zakat itu tidak wajib. Abu Bakar memerangi mereka karena tindakan mereka di dalam suatu grup yang besar untuk menolak membayar zakat itu semacam rebellion, semacam tindakan melawan pemerintah yang sah.

Oleh karena itu preseden Abu Bakar memerangi orang yang menolak membayar zakat, memerangi para pengaku Nabi palsu tidak bisa ditafsirkan sebagai justifikasi historis di dalam sejarah Islam untuk membenarkan negara ikut campur di dalam menentukan corak doktrin, corak akidah yang sah atau yang resmi dan menganggap yang lain itu

20

sesat. Ini jawaban yang bisa saya sampaikan berdasarkan konteks sejarah Islam yang sedikit saya tahu dan semoga bermanfaat.

Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb.

45. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terakhir Cak Nun, MH. Ainun Nadjib, silakan.

46. AHLI (YANG DIHADIRKAN OLEH MK) : EMHA AINUN NADJIB Yang Mulia Bapak Ketua dan Majelis Hakim Makamah Konstitusi dan para perwakilan dari berbagai institusi yang lainnya, begitu sukarnya hidup di Indonesia saat ini, sehingga saya ini ragu-ragu mau assalamualaikum atau tidak, karena ada bermacam-macam tafsir mengenai assalamualaikum, apa maknanya, boleh diucapkan kepada siapa, dan tidak boleh diucapkan kepada siapa, konsekuensinya apa, apakah dia cuma sopan-santun ataukah dia merupakan perjanjian konstitusional juga pada akhirnya, apakah dia merupakan policy sosial assalamualaikum itu, itu kan tafsirnya banyak sekali. Sehingga ketika saya mau bilang assalamualaikum pastinya tafsirnya beda-beda juga di ruangan ini. Nanti saya bilang assalamualaikum, ada yang bilang saya masuk surga, ada yang bilang saya masuk neraka. Jadi saya dengan ini menyatakan kebingungan saya, saya mengucapkan ya salah, tidak mengucapkan ya salah. Ini baru assalamualaikum.

Saya dihadirkan sebagai Ahli ini juga membingungkan saya, karena salah satu pasal kita hari ini menurut saya adalah bahasa. Jadi Ahli itu kalau saya mendengar kata Ahli itu ya ini namanya pakar maksudnya. Ahli itu dalam bahasa Rap itu ya… kalau saya tukang bengkel, saya ahlul bengkel begitu. Ahli itu untuk inisial seseorang dalam satu konteks begitu aja. Di sini kan saya dihadirkan sebagai Ahli, dan itu … ini kan masalah serius ini. Saya dituduh sebagai Ahli ini kan kesalahan Ketua Mahkamah Konstitusi kok saya dituduh sebagai Ahli dalam pengertian Pakar. Jadi saya mohon diperkenankan agar supaya saya menggunakan waktu ini untuk mengemukakan sejumlah ketidaktahuan dan sejumlah kebingungan, meskipun nanti ada rekomendasi-rekomendasi yang mungkin sifatnya sangat relatif.

Misalnya saya mulai dari assalamualaikum. Assalamualaikum itu kalau saya pribadi itu kalau saya bilang assalamualaikum berarti saya menjanjikan bahwa saya tidak akan melakukan apapun yang tidak menyelamatkan orang yang saya kasih assalamualaikum. Kemudian ketika dia menjawab waalaikumsalam, dia berarti dia bersama saya berada dalam satu MOU untuk saling menyelamatkan. Saling menyelamatkan ini sangat luas, kalau presiden bilang assalamualaikum, maka dia tidak boleh melakukan suatu keputusan pun yang bisa menciptakan ketidakselamatan pada rakyatnya. Jadi karena

21

assalamualaikum ini bisa berakibat pada policy, bisa diteruskan pada aturan-aturan, karena di situ ada teori warahmatullahi wa barakatuh, jadi harus ada perjanjian antara manusia, baik secara kultural maupun secara kenegaraan yaitu untuk saling menyelamatkan satu-sama lain. Nah, konteksnya ini hanya antar orang Islam atau tidak ini kan juga masih tafsir assalamualaikum ini. Jadi kalau ada orang kecelakaan itu apa kita tanya dulu dia Islam atau bukan baru kita tolong. Kalau dia bilang Islam, apa ya kita tanya NU atau Muhammadiyah. Kalau sudah NU baru kita jawab, NU Madura atau bukan Madura? Baru kita selamatkan karena sama-sama Madura. Masih ditanya lagi, NU nya NU PKB apa NU PPP? Kalau masih dijawab PKB. Sebentar! Ini PKB Gus Dur apa PKB Muhaimin? Ini sampai mati tidak ditolong ini orang.

Jadi saya kira Indonesia ini mandhek karena kita kebingungan terhadap setiap kata yang kita pakai di sini. Jadi salah satu poin saya hari ini adalah epistimologi. Warahmatullahi wa barakatuh, ini mohon maaf Yang Mulia, kalau saya waktunya habis, meskipun saya menyiapkan sangat banyak, kalau waktunya habis di tengah jalan saya mohon ditegur dan mohon dihentikan karena saya tidak akan maju lagi mencalonkan diri setelah ini. Warahmatullahi wa barakatuh itu rahmat Tuhan yang universal ini, tambang-tambang, kekayaan alam, ini ditata dengan perjanjian satu sama lain untuk saling menyelamatkan sehingga menjadi barokah, kan begitu ceritanya.

Nah, yang di Indonesia ini kan yang terjadi bohong tiap hari. Menteri ngomong bohong, menteri assalamualaikum bohong, presiden bohong tiap hari, bilang assalamualaikum padahal rahmat Allah di Indonesia tidak dilindungi oleh sistem negara untuk menjadi berkah bagi rakyatnya. Ini kalau diomongin kan sudah cukup untuk kuliah semester ini. Jadi dengan ini saya ingin merekomendasikan beberapa hal, yang pertama, tadi Ulil sama Romo sangat mempersoalkan apakah negara punyak hak untuk mengatur hal-hal seperti itu. Di Jawa Timur itu ada beberapa teman yang memiliki tafsir-tafsir yang “luar biasa”. Jadi misalnya ‘Allahhumma ’, ‘hum ’ itu ditafsirkan itu bahasa Jawa, jadi Islam itu dari Jawa, Nabi Muhammad itu aselinya kalau nggak Pacitan ya Ngawi gitu, itu ada tafsir seperti itu. Jadi ‘Allah hum ’, ‘hum’ itu artinya ‘hum pimpah ’ itu, jadi manusia itu harus demokratis kata dia, harus hum pimpah, harus diundi secara benar satu sama lain.

Tapi puncak dari tafsirnya itu adalah bahwa Qur’an itu berasal dari bahasa Jawa, ‘Kurek’. Jadi karena telinganya umat sama pemerintah sama semuanya ini tuli menurut si dia ini. “Tuli semua-semuanya mulane saiki butuh Qur’an. Qur’an iku “kurekan” iki lho, untuk ngureki kuping ini, ini Qur’an. Nah, sekarang bagaimana? Bagaimana kita menanggapi Kiai yang seperti ini?

Nah, saya merekomendasikan beberapa hal. Yang pertama, kalau Piagam Madinah itu dia istimewa, Mitsaq al-Madinah itu sangat istimewa dalam seluruh sejarah dunia karena, pertama, dia merupakan konstitusi tertulis pertama yang pernah ada dalam sejarah. Dan yang kedua,

22

Piagam Madinah yang berjumlah 40 pasal ini tidak dibikin oleh DPR, tidak dibikin oleh Majelis apapun, tidak dibikin oleh kumpulan-kumpulan orang pandai, tapi lahir dari interaksi, kadang-kadang bentrokan tapi juga dialog antar umat. Antar para Animis, para Nasrani, Yahudi, Muslim A, Muslim B, Ansor, Muhajirin dan seterusnya, sampai 6 tahun maka kemudian terhimpunlah 47 kesepakatan itu.

Artinya, kalau pertanyaan kita sekarang adalah negara ini punya hak atau tidak? Menurut saya kita harus menunda sebentar saja, dengan meyakini beberapa hal, alangkah indahnya kalau pertemuan ini tidak di sini. Di sini juga penting tetapi juga ada pertemuan-pertemuan yang sifatnya kultural, seberbeda apapun. Jadi harus ada forum-forum yang sifatnya kultural dan ilmu. Jadi hukum itu sekuat-kuatnya, sebaik-baiknya hukum tetapi kalau tidak ada landasan kematangan ilmu dan kedewasaan kebudayaan maka hukum juga akan tetap bisa secara subyektif atau monopoli ditafsirkan oleh yang berkuasa. Yang berkuasa tidak harus pemerintah, bisa juga mayoritas, bisa juga minoritas kualitatif yang berkuasa.

Jadi, satu agak tarik nafas sebentar, bagaimana kalau diadakan forum-forum yang sifatnya kultural juga di samping ada uji konstitusi seperti ini. Terus nomor dua, ini begitu kata-kata hukum, kata-kata yang kita pakai di dalam konstitusi, undang-undang dan pasal-pasal hukum kita itu kan banyak sekali yang bukan merupakan kata hukum tapi kata budaya, kosa kata budaya. Misalnya seperti ini, kalau di Indonesia ini ada pegawai negeri. Pegawai negeri ini ranah penjajahan yang luar biasa karena kata ‘negeri’ itu istilah budaya, istilah sastra bahkan. Dia tidak bisa menjadi istilah birokrasi. Mestinya dirubah menjadi pegawai negara. Kalau dia pegawai negara maka jelas dia taat kepada undang-undang negara, dan sekarang karena dia pakai kata ‘negeri’ maka dia bisa dimanupulir oleh pemerintah agar supaya pegawai negeri taat kepada pemerintah. Padahal tidak ada logika konstitusi apapun yang mengizinkan atau yang mewajibkan pegawai itu taat kepada pemerintah. Yang ada adalah pegawai negara dan pemerintah yang sedang dikontrak oleh rakyat bersama-sama taat kepada undang-undang negara.

Nah, di Indonesia kebetulan, negara sama pemerintah belum dibedakan secara konstitusional. Sehingga kalau Anda lihat gedung kabupaten, itu Anda tidak bisa menjawab ini gedung negara apa gedung pemerintah. Anggaran juga begitu, ini anggaran pemerintah atau anggaran negara. Oleh karena itu policy-policy juga tidak dibedakan mana policy negara mana policy pemerintah. Maka pemerintah sama dengan negara..., maka setiap menteri baru dia bisa berlaku tidak hanya sebagai pemerintah tapi juga sebagai negara dan bisa mengubah apapun, karena dia juga negara bukan hanya pemerintah.

Oke. Itu saya potong, tapi inti saya adalah saya kira kita berbahaya sekali kalau kita harus mencabut atau tidak mencabut, karena kita mencabut yang diusulkan ini juga saya, ya nek oleh totohan ya totohan aku, itu akan menciptakan konflik baru dan kebencian baru yang

23

luar biasa. Tapi kalau tidak dicabut juga menciptakan kecemasan yang terus-menerus. Jadi menurut saya harus ada support kultural dan ilmu, jadi ada ranah konstitusi-hukum, ada ranah ilmu, ada ranah budaya yang harus kita selenggarakan bersama-sama. Artinya kita bernafas dululah, kita bersabar dulu, kalau perlu kita bertemu lagi dimana, kita berdebat gitu lho, karena menurut saya agama itu sebenarnya input, dia bukan output.

Saya pribadi sebenarnya kalau bisa jangan dikenal sebagai orang Islam, kecuali pas Jum’atan konangan, gitu ya. Tapi kalau bisa sih di depan Romo Mudji, dia bingung, saya ini Islam atau bukan itu kan, karena itu urusan saya. Kalau bisa Romo Mudji tidak usah tahu kalau saya orang Islam. Yang penting output saya kepada dia saya apa. Output saya kasih sayang atau tidak, kerja sama yang baik atau tidak, kerja sama rahmatan lilalamin atau tidak. Jadi sama dengan pluralisme, pluralisme itu ideologinya Allah, dia input bukan output. Jadi tidak bisa menjadi ideologinya manusia. Tuhan itu tidak mungkin menciptakan apa-apa tidak plural itu tidak mungkin, maka tafsir itu bebas sebebas-bebasnya. Kalau ada orang Islam jumlahnya 1000 orang maka hak tafsir ya 1000. Kalau ditambah orang-orang ruwet maka setiap orang ruwet itu biasanya tafsirnya juga macam-macam di dalam dirinya maka tafsir dari 1000 orang Islam bisa 3000. Nah, justru karena kebebasan tafsir ini kita harus berfikir perlu diatur atau tidak masalahnya, sebab kalau nanti sampai kepada ngomong yang enggak-enggak, ya kalau yang ditafsirkan diri saya tok, saya dengan sekte saya menafsirkan Islam sesuai dengan sekte saya, tapi kalau saya mengejek orang lain? Ya kalau ejekannya kultural, saya sama Romo gitu, ejek-ejekan soal babi sama perempuan, “Cak Nun, babi itu enak banget”. “Yo saenak-enake babi jik enak wong wedok”. Nah, baru dia kalah sama saya.

Jadi ini kultural sangat penting. Kalau ini tidak dilakukan ini mau mengambil keputusan apapun, mau dicabut tidak dicabut, kalau kita tidak mengerjakan yang kultural dan ranah ilmu …..antar kelompok juga tidak akan pernah menghasilkan sesuatu, karena begini saya menemukan dimana-mana orang merasa terancam, dimana-mana orang merasa tidak tenang, dimana-mana orang merasa benci, dimana-mana orang mengincar satu sama lain, dan Yang Mulia Pak Ketua, tidak ada keputusan hidup, tidak ada keputusan hidup yang bisa menyelamatkan manusia kalau dia lahir dari rasa terancam. Katakanlah ada yang terancam minta ini dicabut, kalau dicabut benar, itu saya tidak yakin itu akan menyelesaikan masalah.

Menurut saya kita ambil nafas sebentar kita…, bahwa ini harus dirubah, pasti. Saya makanya tidak mau masuk Fakultas Hukum karena bingung. Penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. What do you mean by Pokok-Pokok Ajaran Agama? Who decide that? Siapa yang menentukan ini siapa? Pemerintah? Seperti dulu polisi meriksa puisi saya untuk boleh dipentaskan atau tidak? “Lho endasmu iku sapa…..kok meriksa-meriksa puisiku?” Dia tidak punya

24

pengetahuan apapun mengenai puisi. Nah, “Pokok-Pokok Agama” ini versi NU beda sama versi Muhammadiyah, beda sama Hizbut Tahrir, beda sama LDII, beda sama yang lain-lain. Nah, ini menurut siapa “Pokok-Pokok Agama” ini ?

Jadi kalau saya diminta, ini dicabut atau tidak? Sebentar! Ini didandanin dulu bareng-bareng yuk, dalam rangka supaya kita bisa mengurangi ngawurnya…, karena semua orang boleh menafsirkan kok. Bayangin kalau saya menafsirkan “haes Pastur gak wani rabi padune pancen gak iso” misalnya gitu kan. Saya kan menghina dia. Dia juga bisa menghina saya, “Opo, gak oleh mangan babi merga Muhammad biyen gagal dagang babi”, misalnya gitu. Nah, ini kalau menafsirkannya ke dalam tidak ada masalah, tapi kalau menafsirkannya keluar dibiarkan tanpa aturan, tanpa MOU, tanpa ada perjanjian-perjanjian etis entah bersifat sosial budaya saja atau sampai ke tingkat konstitusi, terserah, itu pasti akan menjadi kayak sepak bola lah. Wong antar satu tim saja sepak bola itu tafsirnya macam-macam kok. Ada yang tipe celeng, celeng itu artinya pokoknya bola di sana gol digiring sampai gol sana, tidak pakai oper kiri kanan, nah itu banyak celeng-celeng ini di dalam kehidupan masyarakat, tidak bisa berdialektika, tidak kenal huruf yang lain, tidak bisa mendengarkan yang lain.

Nah, untuk itu saya selalu menahan diri, ini saya demi Allah saya datang ke sini ini karena saya sangat menghornati Yang Mulia Ketua dan saya tidak pernah merasa pantas dan mampu untuk berdiri di sini. Tapi karena beliau orang Madura, saya agak takut sama orang Madura ya, ya sudah saya taat untuk datang di sini tapi intinya adalah saya menganjurkan kalau kita saling bersikeras kemudian salah satu akan menang ……tinggal tunggu saatnya kita akan bentrok lagi.

Nah, ini bebrapa poin sangat banyak yang sudah bisa saya siapkan tapi intinya adalah menurut saya penyelesaiannya tidak bisa penyelesaian konstitusional saja atau hukum saja tanpa bersama-sama kita sepakati untuk melakukan diskusi-diskusi pada ranah ilmu dan kerja sama-kerja sama dalam “ranah kebudayaan”.

Pedoman saya sederhana, saya kholifah kata Tuhan dan kholifah itu mengurusi apa saja di bumi karena kita kholifah di bumi. Jadi kalau saya Majelis Ulama saya akan ambil Ahli-Ahli Tanah, Ahli Ekologi, jadi Ulama Ekologi, Ulama Biologi, Ulama Tambang, Ulama macam-macam karena itu termasuk konteks dan skala dari kekhalifahan saya, gitu lho.

Nah, jadi Bapak-Bapak sekalian, saya mohon maaf atas kekurangan-kekurangan saya tapi saya tidak bisa menjawab dicabut atau tidak dicabut, saya tidak merekomendasikan kedua-duanya sebelum kita bersama-sama melakukan perjanjian untuk tidak saling mengancam satu sama lain.

Inna khalaknakum min dzakkari wa unsta wa ja’alnakum syu’uban wa qobailla lita’arafu. Ini tidak ada batasan dari Allah bahwa yang berlaku pada ayat ini hanya orang Islam atau hanya orang Kristen. Allah mengatakan “Aku menciptakanmu sekalian wahai mahkluk dan manusia

25

bersuku-suku, berbangsa-bangsa”, suku dalam arti genetika maupun suku dalam arti pemikiran suku dalam arti aliran, suku dalam arti macam-macam. Li ta’arofu kalau lita’arofu ini tidak kita kerjakan dan mohon maaf saya tidak bisa ngomong di sini sebenarnya karena pekerjaan saya adalah mengerjakan lita’arofu itu, mengerjakan lita’arofu itu dimana-mana, sampai kemarin itu penari-penari pakai koteka di pengajian saya. Saya ditanya “Boleh, Cak?” “Lha terus piye, opo wong pengajian, opo terus tak kon nganggo jilbab lha yo ora bisa” “Lha dia masih seperti itu, biarin dulu, biar dia percaya diri dulu, biar dia tahu dia saudara kita, nanti pelan-pelan Allah akan memberi hidayah, tapi itu tidak usah kita omongkan”.

Artinya begitu banyak hal yang bisa saya tafsirkan mengenai Indonesia, mengenai Islam, mengenai apapun saja, yang 99% tidak saya ungkapkan. Kenapa? Karena sebagai orang Islam, terakhir sekali Pak Ketua”, sebagai orang Islam saya meniru definisi tentang muslim dan mukmin. Muslim adalah orang yang, ini setahu saya dari kiai-kiai, sebab kalau saya bukan kiai saya bukan ulama, dan saya pernah mendengar dari pengajian-pengajian, muslim adalah orang yang setiap kata dan perbuatannya itu menjamin keselamatan semua orang. Nomor dua mukmin, mukmin adalah orang yang kalau ada dia di suatu lingkungan maka amanlah harta orang, maka amanlah martabat orang, dan amanlah nyawa orang. Jadi nggak ada terorisme dan segala macam, termasuk terorisme itu, itu juga kecurangan yang luar biasa, identitas tidak bisa diadili. Yang bisa diadili adalah perbuatan, saya kira begitu asasnya. Jadi tidak bisa saya “Woh Pak Karman itu maling, yuk ditangkap!” Lho tidak bisa, tidak bisa identitasnya kita tangkap. Yang kita tangkap ketika dia maling kita tangkap, perbuatannya.

Nah, ini sekarang kita menangkapi orang, membunuhi orang, menembaki orang, yang kita tangkap, yang kita tembak itu identitasnya. Dan siapa yang mengklaim identitasnya ini? Nah, kalau sudah ngomong ini kalau mau nyabut ini saya penginnya nyabutnya tidak hanya ini, NKRI kita cabut, kita habisin semua, Amerika kita habisin, semua kita habisin, kita bangkit sebagai bangsa dan kita tidak mau disuruh bertengkar kecil-kecil seperti ini karena mereka memang pinginnya kita bertengkar seperti ini supaya kira rapuh dan mereka bisa ambil harta kita sebanyak-banyaknya. Mohon maaf ada pidato kenegaraan sedikit di akhir.

Assalamualaikum wr. wb.

47. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terima kasih, Cak Nun.

Jadi Anda diundang sebagai Ahli karena nomenklatur undang-undang harus disebut Ahli. Jadi di undang-undang itu tidak ada pakar atau apa, harus disebut Ahli. Kalau orang diundang karena pengetahuannya atau pemahamannya tentang hal-hal tertentu dan

26

itulah sebabnya hari ini kita sudah mendengarkan 3 Ahli, Ahli Romo Mudji Sutrisno, Ahli Ulil Abshar Abdalla dan Ahli Emha Ainun Nadjib.

Nah, sebelum masuk ke Pihak Terkait, saya akan undang untuk menyampaikan pertanyaan atau minta penjelasan kepada ketiga Ahli ini, kepada Saudara yang merasa perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

Majelis Ulama, PBNU, Hizbut Tahrir, Dewan Masjid. Oke, sebentar dulu. Saya catat dulu kalau gitu. Baik, lima saja dulu, singkat-singkat, agar nanti cukup leluasa

(…..)

48. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT (DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH): ABDUL RAHMAN TARDJO, S.H., M.H. Dewan Dakwah juga, Majelis, termasuk di dalamnya juga itu?

49. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya, 5 dulu. Ini Majelis Ulama Indonesia, kemudian Dewan Masjid, Hizbut Tahrir, PBNU dan Pemohon.

Silakan dari Majelis Ulama dulu.

50. PIHAK TERKAIT (MUI) : M. LUTFI HAKIM, S.H., M.H. Terima kasih, Yang Mulia.

Assalamualaikum wr. wb. Yang pertama saya tujukan kepada Romo Mudji, yang pertama

dari yang akan saya sampaikan berkaitan dengan Romo Mudji. Tadi Romo menyebutkan bahwa wilayah penyimpangan agama silakan diselesaikan oleh masing-masing agama. Kemudian bagaimana kalau keluar dan benar-benar menodai, Romo tadi menyebutkan bahwa negara tidak bisa masuk ke wilayah publik kecuali hanya untuk mencegah kalau orang membuat keonaran, kerusakan, tetapi di luar itu tidak dapat dibenarkan. Komentar saya atas hal ini, menurut hemat saya yang namanya perbuatan merusak, melakukan keonaran, jangan hanya dipandang dari aspek secara materiil. Ada juga orang yang melakukan kerusakan, keonaran, secara spiritual. Kalau orang mengatakan, “Seseorang Nabi misalnya, dia seorang germo misalnya begitu”, tentu itu jelas merupakan melakukan kerusakan, tidak bisa itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak akan melakukan kerusakan. Merusak agama, merusak lembaga-lembaganya, merusak martabat Tuhan, itu juga sesuatu yang bisa dikategorisasikan sebagai merusak.

Jadi mohonlah pengertian merusak ini jangan direduksi hanya secara materiil. Justru kadang-kadang perbuatan merusak yang sifatnya spiritual ini jauh lebih memberikan rasa tidak aman, rasa tidak nyaman dan mengganggu ketenteraman yang lebih parah lagi bagi suatu masyarakat. Kerusakan materiil mungkin hanya ditanggung oleh satu

27

dua orang saja tapi apabila melakukan kerusakan yang sifatnya keagamaan misalnya itu bisa menimbulkan perasaan sensitif bagi banyak orang. Yang kedua, tadi Anda menyebutkan, “Dulu ada 5 saja agama yang diakui atau apalah tadi istilahnya sedangkan di zaman Gusdur ada 6”. Menurut hemat saya Anda keliru, dari sejak dahulu PNPS ini memang sudah menyebutkan adanya 6 agama itu walaupun tidak membatasi di agama itu. Kalau kemudian di dalam praktiknya di zaman Gus Dur yang karena ini menjadi lebih memiliki akses terhadap beberapa hal, misalnya secara ekonomis, secara politis dan seterusnya, itu lain dari persoalannya. Kemudian tadi Anda menyebutkan adanya agama-agama yang natural, yang tumbuh secara natural di luar agama wahyu atau agama lokal yang tumbuh di luar agama wahyu. Saya kira ini memerlukan suatu penelitian yang lebih mendalam, kapan sebetulnya mereka hadir, sejak kapan itu sudah ada. Kita tidak bisa mengklaim begitu saja bahwa mereka sudah ada sekian lama tanpa suatu penelitian yang betul-betul akurat.

Kemudian keempat, Anda juga menyebutkan yang berhak menentukan menyimpang itu hanya Allah sendiri. Menurut hemat saya ketika Anda menyebutkan yang berhak menentukan menyimpang itu hanya Allah sendiri, Anda telah mencampuri wilayah agama orang lain. Karena apa? Karena Anda menyebutkan yang berhak menentukan penyimpangan itu hanya Allah sendiri itu adalah wilayah subyektif Anda. Ketika Anda tentukan itu harus berlaku pada orang lain, saya yakin itu merupakan campur tangan terhadap wilayah agama orang lain. Di dalam wilayah agama kami tentu saja dalam hal ini tidak diartikan hanya Allah sendiri kemudian hanya Allah yang akan langsung turun tangan dengan kekuasaannya dan kekuatannya tidak seperti itu. Ada lembaga-lembaga keagamaan kami yang bisa untuk turut terjun di dalam menyelesaikan suatu hal yang menyimpang tadi itu. Kemudian Anda bagian terakhir menyebutkan bagaimana kalau orang-orang benar-benar menghina agama-agama yang ada? Anda menyebutkan harus dilihat bagai kasus per kasus, tidak boleh hukum menggeneralisir. Saya tidak memahami apa yang ingin Anda sampaikan pada konteks terakhir ini. Bukankah dengan adanya hukum maka bisa menjadi kasus? Justru kalau tidak ada hukum maka tidak ada kasus, tidak ada persoalan, tidak ada perkara. Kalau demikian yang Anda maknai maka Anda sebetulnya mengakui, membenarkan perlunya ada sesuatu hukum yang mengatur tetapi memang hukum itu harus betul-betul teliti dalam melihat kasus per kasus, mungkin itu bisa dipahami kalau seperti yang Anda maksudkan.

Kedua, kepada Ulil Abshar Abdalla. Saudara Ulil, saya sepakat dengan Anda bahwa kita tidak bisa rela suatu penodaan agama dan itu sudah clear seperti yang telah Anda contohkan tadi itu. Yang kedua, saya juga sepakat kepada Anda bahwa alasan kita adalah penuh dengan

28

beragam madzhab dan seterusnya. Memang kekayaan kita itu penuh dengan kekayaan tafsir. Al-Quran sendiri disebut Allah sebagai ayat, suatu tanda, suatu sinyal, suatu yang perlu dipikirkan lebih mendalam. Dia bukan suatu teks yang sudah sedemikian rupa, kata perkatanya lengkap tanpa suatu penafsiran. Tetapi tidak berarti ada suatu penafsiran-penafsiran yang katakanlah seperti dikatakan oleh Cak Nur itu tiap ada 10 orang penafsirannya 10 orang. Kalau itu dimaksudkan untuk wilayah privat kita semua tidak ada masalah, dan ternyata Cak Nur menutupnya juga mengatakan, “Kalau itu dimaksudkan untuk mengajak orang, untuk memberikan tafsir yang begitu rupa, berbeda dari pokok-pokok ajaran agama, tentu itu akan menimbulkan suatu maslah pada orang lain”. Nah, yang kedua dari rekan Ulil, Anda menyebutkan, “Pokok-Pokok Ajaran Agama itu apa?” Anda mempertanyakan, apakah Ushuluddin, Rukun Iman dan seterusnya. Bagi saya yang saya tangkap dari yang Anda katakan, bukan persoalan betul PNPS itu menyebutkan “Pokok-Pokok Ajaran Agama” itu apakah dia secara teliti atau tidak teliti ataukah secara rinci atau tidak rinci. Mengapa? Justru kalau dia menyebutkan secara rinci akan menimbulkan problem-problem yuridis berikutnya, ini sudah masuk wilayah teknis yuridis yang mungkin akan sulit Anda terima. Yang penting adalah eksistensi yang dinamakan nomenklatur “Pokok-Pokok Ajaran Agama” itu memang ada. Tentang seperti apa yang dimaksud dengan “Pokok-Pokok Ajaran Agama”, silakan lah itu menjadi sesuatu yang merupakan bahan atau domain dari masing-masing agama yang tentu akan berbeda Pokok-Pokok Ajaran Agama Islam, Kristen, Katolik dan seterusnya. Yang penting kalimat yang ada dalam PNPS yang menyebutkan adanya “Pokok-Pokok Ajaran Agama” itu memang benar bahwa ada apa yang dinamakan “Pokok-Pokok Ajaran Agama”. Lain masalahnya kalau Anda mengatakan bahwa tidak ada apa yang disebut “Pokok-Pokok Ajaran Agama” di dalam agama Islam. Kemudian Anda menyebutkan tentang kasus Musailamah. Anda menyebutkan bahwa itu menurut yang Anda sebutkan tadi itu sebagai suatu lebih merupakan perang politik atau makar politik yang diperangi. Menurut saya itu ada suatu reduksi historis yang cukup parah di situ, ya. Nabi memang betul pada waktu itu hanya mengingatkan, tapi jangan kemudian diartikan bahwa hanya mengingatkan itu berhenti di titik itu. Pada suatu proses orang murtad dia pertama kali menurut ajaran Islam, saya yakin rekan Ulil lebih paham dari saya, dia harus diperingatkan terlebih dahulu, tidak boleh langsung diperangi. Dia harus disadarkan terlebih dahulu.

Dan kedua, aspek historis yang hilang dari yang Anda katakan bahwasanya antara posisi geografis Rasulullah dengan Musailamah itu cukup jauh, komunikasi belum secanggih seperti sekarang ini. Aspek ketiga, yang Anda juga reduksi , dan itu juga cukup parah menurut hemat saya, karena Anda sangat sumir tadi Anda menyebutkan,

29

Musailamah itu bukan orang per orang, dia seorang yang sangat memilki martabat di sukunya, dia memilki pasukan yang ribuan, saya pernah mendengar ratusan sampai tujuh puluh ribu, dan ini orang-orang dari suku, dia termasuk di Hijaz yang sebelah selatan, yang sangat militan. Tidak seperti itu caranya menangani orang sebanayak itu, dia memerlukan suatu pendekatan-pendekatan yang panjang. Karena itulah, ketika Nabi wafat, belum sempat terjadi apa yang kemudian dilakukan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq yaitu memeranginya. Kalau saja, saya yakin niscaya Rasul juga akan memeranginya apabila Rasul cukup panjang usianya pada waktu itu.

Dan demikianlah Yang Mulia, telah saya sampaikan semua. Terima kasih, wassalamualaikum wr. wb.

51. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Baik. Dari Dewan Masjid, kalau bisa sekitar 2 menit saja ya,

jangan terlalu lama. Silakan. 52. PIHAK TERKAIT (DEWAN MASJID INDONESIA) : H. SUTITO,

S.H., M.H.

Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. Saya tujukan kepada Romo Mudji Sutrisno, ya. Tadi yang

pertama, dengan ilustrasi di dalam suatu keluarga, apabila ketentuan-ketentuan tata tertib kehidupan di rumah tangga itu dituangkan dalam suatu ketentuan tertulis di rumah tangga, itu akan dibawa kemana rumah tangga tersebut? Kemudian diperlebar secara nasional dalam suatu konteks kenegaraan, apabila segala aspek kehidupan itu diatur dengan undang-undang, diatur dengan hukum, mau kemana juga negara tersebut? Nah, sehingga seolah-seolah seluruh kehidupan itu tidak perlu diatur menurut konsep Romo Mudji Sutrisno. Nah, kami tanyakan, apakah perkawinan juga tidak perlu diatur? Merokok saja, secara universal ada lambang-lambang yang ditempel di tempat-tempat tertentu no smoking, dilarang merokok. Nah, sehingga saya sependapat dengan yang disampaikan oleh Cak Nun tadi yang mengatakan bahwa kalau semua tidak diatur, akan menimbulkan keonaran lebih besar lagi, khususnya terkait dengan Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965.

Yang kedua, tadi Romo Mudji menyampaikan bahwa seperti juga tadi sudah disampaikan oleh wakil dari MUI, agama yang dianut di Indoensia itu ada 5, sejak Gus Dur baru ada 6. Nah, kemudian Romo Mudji mengatakan, mengusulkan bahkan supaya Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini dicabut. Kalau yang bersangkutan sendiri belum membaca, tidak mengetahui, mengapa mengusulkan mencabut undang-undang ini? Saya bacakan di dalam penjelasan Romawi 2 (II) pasal demi pasal. Pasal 1, “Dengan kata-kata di muka umum, dimaksudkan apa

30

yang lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam KUHP, agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indoensia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu”, ini semua ada enam. Oleh karena itu, sangat lancang sekali apabila belum pernah membaca, tidak memahami undang-undang ini saja... (suara hilang tidak jelas) bukan hanya sekedar 6 agama itu saja yang disebut di dalam undang-undang ini, saya bacakan di alenia ketiganya, “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya Yahudi, Zarostrian, Sinto, Toisme dilarang di Indonesia. Sehingga tidak hanya 5 agama saja yang disebut di dalam undang-undang ini. Undang-undang ini sungguh sangat sudah mengakomodir semua kehidupan yang ada di Indonesia, bahkan juga agama yang ada di negara-negara lain.

Dengan demikian, saya sangat tidak sependapat dan menolak apa yang disampaikan oleh Saudara Mudji Sutrisno tadi, ya lebih baik kalau tidak menguasai masalah hukum janganlah ikut menguji kepada ranah hukum, cukup di agamanya saja dan jangan mencampuri urusan agama lain.

Terima kasih. 53. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Tadi Bapak terlambat, ya. Memang Romo ini tidak diminta bicara

masalah hukum. Pak Mahendradatta, Hizbut Tahrir.

54. PIHAK TERKAIT (HIZBUT TAHRIR) : M. MAHENDRADATTA, S.H.,

M.A., M.H., PH.D.

Assalamualaikum wr. wb. Ketua Mahkamah Konstitusi yang terhormat dan para Hakim, kami

ingin menyampaikan apa yang kami rasakan dan juga menjadi pendapat kami, langsung kepada para Ahli ini. Bahwa hari ini kita memang masuk ke dalam acara mendengarkan Ahli-Ahli yang sedang bingung. Jadi, kebingungan tersebut dibawa kemari, dengan cara, metode, yang biasa dikenal untuk membuat bingung seseorang adalah beranjak bertanya, semua dipertanyakan. Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 itu kalau dipertanyakan dari awal saja sudah bisa dipertanyakan. Contohnya, apa yang dimaksud dengan mengingat? Mengingat kalau kurang, wah, berarti tidak ingat ini, mulai ke situ. Kemudian pada sampai ke norma menimbang. Menimbang itu maksudnya apa? Menimbang apa undang-undang yang ditimbang dengan timbangan orang, timbangan barang atau apa, panjang urusannya. Bicara kemudian pada level barang siapa. Apa yang dimaksud barang siapa, maksudnya orang atau barang nya siapa? Panjang lagi. Kemudian umum, umum ini seperti apa? Umum ini, apakah termasuk anak kecil bagaimana kalau ini disampaikan kepada anak-anak di bawah umur semua, biarpun ribuan tapi di bawah

31

umur. Ini umum bukan? Atau umum itu harus berapa orang? Satu, dua, tiga dibikin bingung semua. Akhirnya dia lari ke masalahnya. Jadi dia bilang “Pokok-Pokok Ajaran” ini membingungkan. Ini artinya apa?

Nah, Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini bukan hidup hari ini, sudah panjang dan sudah banyak menelurkan yurisprundensi- yurisprudensi tetap Mahkamah Agung. Bagaimana Mahkamah Agung sudah memutuskan tafsir terhadap pokok-pokok ajaran? Dan tafsiran itu adalah tafsiran yang paling konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.

Putusan terhadap Samsuriyati sudah ada, putusan terhadap Ahmad Musadek sudah ada. Putusan-putusan dari zaman orde lama, orde baru dan sekarang orde reformasi sudah ada, itu sudah masuk ke ranah-ranah Mahkamah Agung bagaimana Mahkamah Agung sudah memberikan tafsiran-tafsiran berdasarkan otoritas atau otorisasi yang diberikan oleh konstitusi. Jadi cukup para Ahli tidak perlu. Kalau dia mau bingung, silakan pulang dengan kebingungannya, dan terus bingung. Bagi kami orang hukum dan mengerti tentang masalah hukum tidak lagi bingung. Itu karena kami sudah tahu. “Barang siapa” sudah jelas. Di dalam hukum “barang siapa” itu adalah lebih dari satu orang, itu yurisprundensi tetap. Eh, maaf “barang siapa” sudah jelas yaitu pribadi hukum maupun orang. Sedangkan umum sudah jelas, lebih dari satu itu diangap umum. Itu yurisprundensi tetap. Jadi sudah sangat jelas. Hal yang jelas jangan dimentahkan lagi, itu. Jadi, saya terima kasih atas kebingungan para Ahli, termasuk dengan curhat colongannya. Silakan kembali ke tempatnya nanti, dengan terus bingung.

Terima kasih, mohon diabaikan semuanya, terima kasih.

55. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Ya, baik. Dari PBNU.

56. PIHAK TERKAIT (PBNU) : ASRUL SANI

Terima kasih, Yang Mulia. Saya yakin Romo Mudji tidak bingung,

tapi malah saya yang bingung. Nah, kalau tadi Romo mengatakan bahwa soal-soal seperti ini diserahkan kepada masyarakat sendiri, saya hanya ingin mengajukan pertanyaan yang mungkin sedikit nakal, Romo. Saya lihat dalam tradisi Katolik itu sendiri tidak seperti itu, ya. Dalam sidang yang lalu salah satu Ahli telah menyampaikan bahwa begitu banyak otoritas Vatikan melakukan eksklusi terhadap Pastur, terhadap mungkin Cardinal yang ternyata berbeda pendapat atau berbeda penafsiran dengan yang disebut sebagai otoritas resmi Vatikan. Nah, itu.

Kemudian yang kedua, ya persoalan kita dalam realitas sosial adalah kita ini berada dalam masyarakat yang memang stratanya begitu banyak, dari yang emosional sampai yang wise, yang bijaksana seperti

32

Cak Nun, seperti Romo. Nah, bagaimana kita harus menyelesaikan. misalnya seperti yang juga telah dikemukakan di dalam forum ini, ketika atas nama ajaran agama, seseorang menyatakan diri sebagai pemimpin dan dia kemudian menyatakan bahwa, ”Kalau saya sebagai pemimpin boleh menikmati istri Anda semua“. Bagaimana kita harus menyelesaikan hal–hal yang seperti ini.

Nah, itu barangkali untuk Romo dan juga untuk Ulil, dari keterangan yang Anda ingin sampaikan tadi, pertanyaan singkat saya adalah untuk Anda berdua dan mungkin juga untuk Cak Nun, karena ini adalah proses persidangan yang ada batas waktunya, yang ada schedule-nya jadi terlepas kita setuju saja ada forum lain yang merupakan forum keselamatan yang saling rahmatan lil alamin untuk kita semua. Tapi dalam konteks Mahkamah Konstitusi ini, apakah yang ingin Anda katakan bahwa Mahkamah Konstitusi itu perlu memberikan pemaknaan kembali terhadap undang-undang ini kalau putusannya adalah tidak dicabut?

Terima kasih.

57. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Silakan, Pemohon.

58. KUASA HUKUM PEMOHON : M. CHOIRUL ANAM, S.H.

Ya, terima kasih, Yang Mulia. Ditujukan kepada Cak Nun. Terima kasih Cak Nun atas usulan way

out -nya soal dialog. Dialog-dialog Cak Nun, ya, dialog-dialog peradaban, dialog-dialog yang cerdas dan penuh keilmuan dan sopan santun. Pertanyaan saya adalah ketika terjadi dialog-dialog itu, apakah output -nya memang harus ada penseragaman atau output-nya harus memaknai perbedaan sebagai perbedaan rumuskan etika untuk saling menghormati ataukah output-nya menghukum seseorang karena dia dianggap berbeda dengan meminta negara untuk menghukum dia. Ini nyambung dengan pertanyaan kedua, seandainya…, walaupun saya dapat informasinya tapi saya belum membaca sehingga saya pakai kata seandainya, tafsir yang dilakukan oleh Cak Nun dengan berbagai ceramahnya, dengan berbagai tulisannya, termasuk di buku ini, “Kafir Liberal” salah satu judul buku yang sangat kalau dikatakan provokatif boleh provokatif. Di bagian buku ini juga ditulis, diacarakan Dwi Cinta di TIM sana, Cak Nur juga pernah mengudang kelompok jaringan kafir liberal, jadi tidak hanya Islam liberal tetapi jaringan kafir liberal, bahkan juga di buku ini juga Cak Nun juga ngomong, “Saya juga kafir kok, mau apa gitu gitu”, karena otoritas kebenaran berada kepada Tuhan, bukan berada pada kita. Lha kalau seandainya Anda yang mengatakan Anda sesat, apakah Anda menangisi saja? Apakah Anda mengundang yang menganggap sesat untuk berdialog atau mengundang negara atau Anda

33

lari dari negara karena dikejar-kejar, oh ini memang sesat gitu, ataukah memang satu tawaran peradaban dialogis yang penuh keilmuan, sopan santun, etika dan memang terus menyerahkan kebenaran itu sendiri kepada yang memiliki kemutlakan atas kebenaran itu sendiri seperti apa yang anda tawarkan dalam buku “Kafir Liberal” ini? Karena informasi yang saya dapat memang Anda juga dikatakan sebagai salah satu aliran sesat di bukunya.., kalau tidak salah, sekali lagi saya belum klarifikasi, Hartono Ahmad Jaiz, Cak Nun adalah salah satu aliran sesat, gitu.

Yang ketiga untuk Majelis Hakim, mohon kalau misalkan tidak langsung pertanyaan biar waktu kita efektif gitu, suruh ke kesimpulan saja, sehingga curhat gitu juga nggak penting di sini.

Terima kasih. 59. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Ya. Baik, jadi waktu kita tinggal 20 menit, jadi akan berbagi tiga,

dimulai dari Romo Mudji. 60. AHLI (YANG DIHADIRKAN OLEH MK) : DR. F.X. MUDJI

SUTRISNO, S.J.

Terima kasih dan saya hormati semua pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Yang pertama saya akan rangkumkan saja beberapa pertanyaan yang tajam mengenai apakah penyimpangan kesesatan yang muncul dalam sebuah tindakan yang merusak, membuat onar itu, itu harus langsung ditangani solusinya dengan bahasa hukum. Nah, saya akan mulai dari pengalaman saja, karena tadi saya dikatakan bahwa…, dan Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi mengatakan baik sekali bahwa hari ini tolong tidak terlalu masuk ke dalam soal hukum tetapi bagaimana kebudayaan itu.

Waktu saya menjadi anggota KPU dan waktu saya menjadi anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan dengan soal yang amat peka mengenai kemanusiaan di Timor Leste itu Timor Timur, itu persoalannya sama seperti di ruang ini. Yang pertama kita mulai dulu dengan mari kita tata hidup bersama, dan saya kira MOU bernegara juga sama, dengan kode etik dulu untuk intern anggota KPU tetapi KPU karena harus melaksanakan Pemilihan Umum maka juga harus ada undang-undang dan bersama dengan DPR.

Saya hanya mau mengatakan bahwa pada tahap pertama dalam hidup bersama kita dengan penuh toleransi yang tadi ranah budaya yang dikatakan Cak Nun itu tadi, itu saya bisa simpulkan dalam pengalaman meng-Indonesia saya, bahwa ketika saya juga diundang pada pertemuan di Istana Negara ketika pemimpin-pemimpin negara Islam semuanya, yang diundang dari Katolik hanya dua, satu Romo Kardinal karena dia wakil resmi dari Gereja Katolik dan satu lagi saya tanya legitimasi undangan untuk saya kenapa? “Karena Romo Mudji wakil dari rakyat

34

yang tidak mengancam kita dan mencoba melakukan gerakan untuk dialog terus”. Ini saya hormati sekali. Sebagai contoh bahwa ketika kita tidak merasa terancam atau mengancam, ini yang harus dibuat dulu sebelum tadi itu saling membenarkan atau menyalahkan dalam wilayah yang lebih tinggi yaitu etik maupun hukum itu sendiri.

Kemudian tadi untuk mengenai soal bagaimana 5 atau 6 yang resmi diakui oleh negara, saya membaca lengkap dan bahwa akhirnya kita tahu sendiri dalam sejarah itu, bahwa Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054/BA.022/4683/1995 tanggal 19 November 1978 menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah hanya Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Dan tolong ketika para penganut Konghucu dalam hal pencatatan perkawinan yang sah tidak ada. Tidak diperolehnya pendidikan keagamaan dan tidak adanya hak atas perayaan hari raya, kemudian itu dibereskan oleh Gus Dur.

Jadi saya mau mengatakan bahwa solusi hukum mestinya menjadi dialog-dialog dulu seperti ini yang tadi diusulkan dan saya tahu sekali bahwa forum Mahkamah Konstitusi yang amat terhormat dan mulia ini adalah sebuah dialog dengan bahasa hukum yang mulai dari awal dengan sebuah penafsiran-penafsiran ini sesungguhnya adalah penafsiran mengenai kebenaran dari yang dikatakan. Tidak pernah kita hidup tanpa bahasa. Dan di situ dalam keahlian saya mengenai bahasa, mana, saya tanya pada kita semua, yang benar dalam soal bahasa? Ketika masih dalam percakapan, wacana atau yang sudah ditulis formal? Dan ketika sudah ditulis formal, mana yang lebih benar lagi? Ketika ditulis secara legal dimasukkan dalam lembaga negara. Itu artinya adalah pis lapis kebenaran dalam hidup ini yang otoritasnya paling tinggi untuk soal tadi, menyimpang dan sesat itu, otoritas paling tinggi adalah Allah itu sendiri. Di situ saya mau mengatakan, bagian yang dihayati manusia ketika kita bisa dialog dengan enak, saya bisa ejek mengejek dengan Cak Nun ini, dan bisa omong dengan enak dengan Saudara Ulil, sesungguhnya kita di ruang ini ada religiusitas keimanan itu. Nah, ketika religiusitas itu muncul, kita satu dalam soal itu. Tapi religinya, bentuk sosial, sosiologis, ada ibadah, ada umat, ada kekuasaan di wilayah agama itu, dan ada otoritas di sana, itu wilayah agama.

Ketika agama yang majemuk itu masuk dalam Republik Indonesia, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memilih negara hukum dan kepastian sebagai bagian negara demokrasi, di sana konsensus itu masuk dan kita sudah tahu fungsi negara sudah jelas dalam alinea keempat Pembukaan UUD 45. Dan di sana juga kita lalu tahu kenapa dalam pasal-pasal UUD 45 soal hak asasi manusia dirumuskan dalam beberapa pasal tapi tugas negara yang lain juga dirumuskan dengan pokok-pokok dalam wilayah publik tadi.

Yang paling terakhir yang mau saya tanggapi adalah mengenai soal bahasa dan bagaimana tadi reduksi-reduksi itu. Di ruang ini, yang saya katakan atau yang muncul, pasti secara subyektif Anda tafsirkan dan bisa direduksi. Kenapa? Karena membaca, mendengar, akhirnya

35

adalah menaruh bahasa-bahasa subyektif yang keluar, lalu dalam otak dan analisis kita, kita tafsirkan secara subyektif dan di situ pasti terjadi reduksi-reduksi. Untuk itulah saya kira gunanya kita bertemu bersama, dialog bersama, masing-masing dalam dimensi di alam terbuka itu, akhirnya kebenaran yang paling terakhir adalah konsensus, konsensus, konsensus. Akhirnya kontrak bernegara adalah terus menerus sebuah konsensus. Dan karena itu juga kita tahu kenapa konstitusi butuh waktu lama untuk akhirnya menjadi dasar negara ini.

Terima kasih.

61. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Silakan, Pak Ulil.

62. AHLI (YANG DIHADIRKAN OLEH MK) : DR. ULIL ABSHAR ABDALLA, M.A.

Terima kasih. Yang pertama yang ingin saya tanggapi adalah wakil dari MUI,

Mas Lutfi. Saya sepakat dengan keberatan atau perspektif yang Anda ajukan terhadap fakta sejarah yang sudah saya kemukakan dalam uraian saya tadi, tetapi itu tidak membatalkan poin saya bahwa sebetulnya perang yang dilakukan oleh Abu Bakar terhadap Musailamah dan Tulaihah Al-Asadiy pada dasarnya adalah perang terhadap makar politik.

Saya ingin memberikan sedikit tambahan perspektif sejarah dalam hal ini yang mungkin bisa menjadi ilham atau inspirasi kita untuk menelaah mengenai undang-undang ini. Ada tiga model di dalam sejarah Islam yang menurut saya menarik. Yang satu adalah kasus Musailamah, seorang yang mengaku Nabi lalu diperangi. Tadi saya katakan ini bukan perang atas keyakinan tapi perang atas makar dan kudeta politik. Yang kedua adalah ada satu peristiwa yang direkam dalam sejarah Islam terjadi di Afrika Utara pada masa kekhalifahan Al-Muwahidin. Pada saat itu ada seorang Yahudi yang melakukan slander atau profanation, penistaan terhadap figur Nabi Muhammad. Dan kemudian dari penistaan itu..., penistaan ini bukan dalam bentuk tafsiran, tapi dalam bentuk kata-kata yang menyinggung perasaan. Dari perkataan atau dari tindakan yang menimbulkan provokasi atau kalau dalam Bahasa Inggris kita sebut sebagai hateful speech ini, kemudian timbul kekacauan di Dinasti Al Muwahidin ketika itu di Afrika Utara dan kemudian orang Yahudi itu ditindak dan dihukum. Menurut saya ini salah satu model bahwa orang yang melakukan hateful speech, mengemukakan suatu statement atau perkataan yang menimbulkan sesuatu yang memprovokasi, karena statementnya sendiri offensive, bukan karena dia menafsirkan tetapi karena statement dan bahasa yang dia pakai adalah offensive. Di dalam sejarah Islam itu ada presedennya.

36

Yang ketiga adalah model tafsiran murni tanpa ada kudeta politik. Di dalam sejarah Islam banyak sekali kelompok atau perorangan yang melakukan tafsiran yang begitu liar terhadap agama Islam, bukan saja penafsiran individual, dia mengemukakan itu dan mendakwahkannya. Ada kelompok yang disebut dengan Ikhwanusshofa yang membuat suatu kelompok, meskipun itu dianggap sebagai kelompok rahasia tapi mereka bekerja diam-diam untuk menyebarkan idenya. Ada kelompok filosofi yang menyebarkan ide-idenya yang bertentangan dengan ide-ide ulama yang ortodoks, ada kelompok yang disebut dengan Al-Ittiba’ atau orang-orang-orang yang Ahli Kedokteran dan Ahli Filsafat, dan seterusnya, banyak sekali. Ada seorang penyair yang sangat terkenal yang namanya Abdul A’la Al Maari yang hidup di Syam, yang puisi-puisinya banyak sekali mengandung sindiran-sindiran yang kalau dibaca menurut standar ortodoksi Islam itu bisa menyinggung sekali. Dia tidak pernah ditangkap oleh penguasa, tidak pernah diganggu, karena dia hanya mengemukakannya sebagai pendapat pribadi, sebagai tafsir, tanpa dibarengi suatu tindakan makar. Tiga model ini menurut saya bisa menjadi semacam ancang-ancang buat kita untuk melihat masalah ini. Kalau hateful speech atau tindakan atau ucapan yang bisa menimbulkan provokasi karena bentuknya dan statement-nya memang mengandung provokasi yang menimbulkan kebencian. Tadi saya sebutkan contoh yang paling vulgar adalah seseorang di penjara Guantanamo di Kuba pernah terjadi seorang pasukan Amerika mencemplungkan Al-Qu’ran di dalam toilet. Menurut saya itu bisa disebut sebagai hateful behavior atau tindakan yang provokatif yang offensive. Tetapi penafsiran seperti yang dilakukan oleh Abdul A’la Al Maari, dilakukan oleh Ibnu Rushd, oleh Ibnu Sina, Al Farabi yang keduanya dikafirkan oleh Al Ghazali, tidak bisa itu diadili. Oleh karena itu posisi saya adalah tafsiran, pendapat, entah perorangan atau dikemukakan di muka publik atau sebagai golongan tidak bisa diadili kalau dia tidak dibarengi oleh makar politik, sekurang-kurangnya kalau itu kita merujuk pada sejarah Islam. Yang terakhir, yang ingin saya tanggapi adalah pertanyaan dari Wakil NU, Mas Asrul. Posisi saya di dalam kesempatan ini adalah bahwa saya lebih cenderung mencabut undang-undang ini. Menurut saya ada banyak hal yang perlu dibicarakan ulang, konteks sudah berubah, dalam fiqih dikenal diktum ghairu ahkam bithaghazurul asmani wal ankam hukum harus berubah berdasarkan perubahan konteks dan zaman, dalam fiqih itu ada dan saya kira diktum itu dikenal di dalam tradisi hukum manapun. Oleh karena itu perubahan konteks ini menurut saya menuntut kita untuk menelaah kembali undang-undang ini. Terakhir yang ingin saya tambahkan adalah bahwa kekhawatiran umat Islam akan mengalami penodaan agama, penghinaan agama karena undang-undang ini dicabut menurut saya kurang begitu beralasan karena sebetulnya lembaga-lembaga fatwa dalam Islam sendiri berhak mengeluarkan sebuah fatwa yang bisa menjadi panduan bagi umat Islam bahwa pandangan ini sesat, pandangan ini tidak. Fatwa

37

yang dikeluarkan oleh MUI, oleh Nahdlatul Ulama, oleh Muhammadiyah, misalnya sebuah kelompok dianggap sebagai kelompok yang sesat yang pandangannya, saya setuju dengan Mas Lutfi tadi dari MUI, bahwa saya tidak menyangkal bahwa ada pokok-pokok ajaran agama. Saya sebagai seorang muslim Sunni Asy’ari Syafi’i, saya setuju ada Pokok-Pokok Ajaran di dalam tradisi Sunni Syafi’i Asy’ari. Tetapi saya tidak bisa memaksakan pokok-pokok itu kepada orang lain. Saya sepakat itu. Jadi Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam yang mengikuti tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah versi Asy’ariah punya pokok-pokok sendiri, bisa mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa kelompok ini tidak sesuai dengan tradisi ini. Yang bermasalah adalah kalau fatwa itu harus di-enforce oleh negara melalui undang-undang. Sebab negara Indonesia bukan negara agama yang seharusnya bersifat netral, sehingga posisi yang menurut saya paling adil adalah “Pokok-Pokok Ajaran Agama” ada, umat perlu panduan dan itu bisa dilakukan melalui fatwa, tetapi negara tidak bisa membela fatwa MUI, fatwa NU, fatwa Muhammadiyah, fatwa Katolik, atau fatwa PGI, karena fatwa-fatwa itu berlaku secara internal yang otoritasnya hanya diakui oleh umatnya sendiri. Jadi tidak bisa fatwa itu diuniversalkan melalui medium negara karena itu bertentangan dengan asas negara demokrasi yang kita impikan sejak reformasi.

Terima kasih.

63. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Terakhir, Cak Nun.

64. AHLI (YANG DIHADIRKAN OLEH MK) : EMHA AINUN NADJIB Mohon maaf, saya mengungkap pengetahuan saya yang sangat terbatas dan penuh kebingungan. Di dalam Islam itu ada disebut Tuhan beberapa macam kebaikan, ada khair, ma’ruf, al birru, ikhsan, sholeh. Pasti bukan saatnya untuk menjelaskan semua itu, tetapi singkat kata kalau dalam roso saya, tafsir saya selama ini dan pengalaman saya, khair itu kebaikan yang universal, masih cair, ma’ruf itu sesuatu yang kebaikan yang sudah disimulasikan secara sosial sehingga terumuskan menjadi konstitusi atau aturan main, itu ma’ruf. Kemudian ikhsan itu kebaikan yang berasal dan hanya boleh diatur oleh diri masing-masing orang, misalnya saya tidak wajib menolong orang, tapi saya menolong orang, itu ikhsan. Birru itu bukan bir bintang. Birru itu khusus kebaikan yang khusus dicapai di dalam tataran spiritual sehingga seorang haji disebut dzulbirri atau mabrur. Orang yang mendapatkan ke-birru-an atau ke-mabrur-an, jadi tidak ada pedagang mabrur, tidak ada presiden mabrur, tidak ada Ketua Mahkamah Konstitusi yang mabrur. Yang ada Haji mabrur.

Nah, sholeh adalah kebaikan yang dipakai di mana-mana. Menurut saya kebaikan yang dari 4 tahap tadi sudah diuji sedemikian

38

rupa di dalam proses sosial. Sehingga keputusan yang sholeh, undang-undang yang sholeh, pasal yang sholeh adalah ketika sangat minimal pihak yang disakiti oleh peraturan itu. Jadi efek mudharat-nya sangat kecil dari kebaikan itu, sebab kebaikan itu juga sangat harus tidak berdiri sendiri, kebaikan itu harus benar-benar juga harus enak, enak harus indah dan seterusnya. Tidak bisa benar tok, baik tok, indah tok, nggak bisa. Jadi kita harus ke ranah ilmu dan filsafat soal ini.

Nah, hari ini membuktikan bahwa undang-undang yang Anda ajukan untuk dicabut itu belum sholeh karena masih ada yang tersakiti dan ada yang merasa terancam. Tapi saya tidak merekomendasikan bahwa itu pasti harus dicabut. Kalau ada nasi ada kerikilnya jangan dibuang nasinya, buang kerikilnya atau bikin lagi nasi yang lebih bergizi.

Jadi ini silakan dicabut, tapi sudah dibikin terlebih dahulu aturan-aturan yang lebih matang, yang lebih tidak menyakiti pihak manapun. Yang sholeh kalau istilah tadi itu. Jadi, Kira-kira ndak cukup bingung kan ini pernyataan saya ini. Cukup jelas, ya? Karena kita tidak hanya hidup di dalam bidang hukum, kita hidup di berbagai macam wilayah yang kita harus berdialektika satu sama lain, itu pertama. Yang kedua, saya analogikan main sepak bola itu bukan nyemprit orang offside dan handsball. Main sepak bola adalah menguasai bagaimana menendang bola, teamwork, berorientasi pada strategi menuju penciptaan goal, dan seterusnya. Bahwa nanti ada pritt seseorang offside, itu harus kita maklumi. Hukum itu diselenggarakan ketika ada sesuatu yang tidak bisa dikontrol oleh politik, oleh budaya, dan oleh ilmu masyarakat. Maka siang hari ini menurut saya, kita itu sedang mencari presisi setepat-tepatnya, yang mana sih sesuatu ini cukup dikontrol oleh masyarakat? Yang mana yang negara sebaiknya ikut campur? Itu saya kira. Dan ini tidak mudah, maka tidak hanya bisa dengan forum seperti ini, kita membutuhkan forum-forum yang sifatnya lebih ilmiah dan kultural. Dan mohon maaf, itu saya lakukan terus menerus. Bahwa saya disebut kafir saya bersyukur sekali saya disebut kafir, itu sama dengan saya sekolah ndak lulus-lulus, maka saya akan berusaha untuk lulus. Jadi kalau saya disebut muslim saya malah malu, kan gitu. Dan kalau saya menyebut diri saya kafir itu kewajiban saya sebagai muslim, mosok saya menyebut, “aku ganteng lho”, “aku muslim lho” kan ndak bisa. Semua Nabi-Nabi mengatakan, “inni kuntum minadh dholimin, rabbana dhalamna anfusana wailam taghfirlana watarhamna lanakunana minal khashiriin” Semua Nabi-Nabi yang kita anut mereka semua menyebut dirinya dzalim, dan saya tidak berani tidak menyebut diri saya dzalim. Jadi kalau ada orang yang mengkafirkan saya, saya berterima kasih luar biasa, karena itu merupakan cermin bagi saya dan itu merupakan proses pembelajaran bagi saya. Jadi Ulil masih cengeng dia, masih berontak-berontak dia kalau di-aran-arani seperti itu.

Oke, terakhir, Yang Mulia Bapak Ketua. Tadi saya ditanya mengenai output-nya apa. Mas, main sepak bola itu main bola yang baik aja, tidak usah mikir goal nya berapa. Jadi saya tidak pernah mikir

39

output, yang penting kita kerjakan beneran ini perdamaian, kita kerjakan beneran ini kejujuran, kita kerjakan beneran ini kebaikan, output-nya percaya deh kita sesama manusia kok. Hukum itu sebenarnya tidak perlu ada seandainya manusia saling percaya, hukum itu terpaksa ada karena ada asumsi dasar kita tidak bisa saling percaya, maka terpaksa ada hukum, dan beruntunglah Pak Mahfud ada hukum sehingga bisa duduk di sini sebagai Ketua. Seandainya manusia ini beres saja semua, ndak perlu hukum, beres-beres semua, gitu lho. Nah, karena hukum ini kemudian tidak mengalami presisi-presisi yang dialektikanya dengan kultur, akhak, sosialitas dan seterusnya itu menjadi membutuhkan remodulasi lagi maka terjadilah forum ini.

Jadi menurut saya, Pak Mahfud orang yang paling Ahli menurut saya, dan paling memiliki pengalaman kultural, tentu dikagumi oleh banyak orang. Kalau dia orang Jombang, dia tidak mampu seperti ini. Karena dia orang Madura itulah makanya dia dengan tenang dia gini-gini-gini-gini. Dan itu saya sangat andalkan, bahwa Beliau akan juga menginisiatifi, nomor satu dialog-dialog di luar Mahkamah Konstitusi sebagai individu dan sebagai bangsa Indonesia dan sebagai umat Islam. Nomor dua, memikirkan bersama timnya perbaikan-perbaikan dari ini, apa langsung direvisi, atau menyiapkan sesuatu yang baru, setelah itu nanti bisa menjamin keamanan dan kesholehan sosial di kalangan masyarakat, baru ini kita cabut, meskipun harus dipertimbangkan kembali.

Terakhir sekali, mohon maaf ini. Tadi kan ada yang bingung soal.., ini soal agama terakhir ini. Kalau bagi saya pribadi itu ndak, gini lho terus terang ya Romo, Romo itu Kristen kan karena menganggap Islam salah? Ngaku aja. Demikian juga saya, saya Islam karena saya menganggap Kristen bukan agama, tapi itu tidak usah kita bicarakan. Agama itu istri kita masing-masing, tidak usah diperbandingkan yang mana pantatnya lebih besar. Jadi Romo tidak akan jadi Katolik kalau dia menganggap Islam itu benar. Saya juga punya pemikiran yang jelas mengenai Islam, saya punya tafsir yang sangat jelas mengenai Islam, mana agama mana bukan, apa maknanya lakum dinukum waliyadin, mana yang wilayah mahdhah mana wilayah muamalah, sangat jelas bagi saya. Tapi kejelasan bagi saya tidak memberi hak saya untuk membuat orang lain berlaku seperti saya. Kejelasan itu hanya ada dan berlaku pada saya, tapi saya tidak punya hak. Saya paling bisa nyindir “Romo Mangun, Ente itu sudah 30 tahun pakai peci”, dulu saya bilang begitu Romo Mangun. “Wong tinggal masuk Islam saja kok angel men”, saya bilang begitu. “Asu!” dia misuh sama saya. Ini Romo Mangun yang pakai peci terus, pakai peci dia sukanya hidupnya, dan kalau saya ajak ke desa semua orang nyalim, salaman, cium tangan dia. Apalagi sekarang teman-teman Kristen sangat rajin membacakan Injil dalam Bahasa Arab dan itu tidak bisa kita salahkan. Di Semarang bahkan barengan, di sini baca Qur’an ngaji, di sini baca Injil juga ngaji sama-sama Bahasa Arab, lha tidak bisa disalahin. Bagaimana wong memang itu dari sana juga,

40

kan gitu. Nah, kalau orang Madura pasti salah amin-nya, pas ngaji dia Allah-Allah, pas di sini dia baca Injil, amin, amin, amin kan begitu, karena orang Madura pengalaman internasionalnya kurang. Saya mohon maaf supaya sidang ini menjadi manusiawi dan kultural, supaya hukum diperkaya oleh kekuatan kemanusiaan dan budaya, maka saya mohon saya mau bikin Anda semua tertawa.

Wassalamualaikum wr. wb.

65. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik, sudah cukup untuk sesi ini. Jadi hari ini hari Jumat, kita akan istirahat untuk Sholat Jumat dan makan siang. Biasanya kita istirahat 2 jam, tapi kali ini kita istirahat 2,5 jam sehingga jam 13.30 kita akan mulai buka lagi sesi berikutnya untuk Pihak Terkait. Kepada para Ahli tidak diwajibkan untuk datang lagi habis Sholat Jumat tapi kalau Anda tetap di sini kami senang. Cuma tidak wajib lagi, nanti sudah ada 4 pihak lain dan mohon tadi yang ditulis itu kalau ini diserahkan ke bagian Kepaniteraan. Sidang ini diskors dan akan dibuka kembali jam 13.30

66. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi untuk melanjutkan pemeriksaan atau mendengar keterangan Pihak Terkait dalam Perkara Nomor 140/PUU-VII/2009 dilanjutkan kembali dan skors dinyatakan dicabut. Kami undang untuk 15 menit pertama, Forum Kerukunan Umat Beragama. Silakan, Pak.

KETUK PALU 3 X

KETUK PALU 3 X

SIDANG DISKORS PUKUL 11.00

SIDANG DIBUKA KEMBALI PUKUL 13.35

41

67. PIHAK TERKAIT (FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA) : H. AHMAD SYAFI’I MUFID, M.A. Assalamualaikum wr. wb.

Selamat siang, selamat sejahtera bagi kita semua. Yang Kami Muliakan Ketua dan para Anggota Majelis Hakim

Mahkamah Konstitusi serta para hadirin yang kami hormati. Pada hari Selasa, 9 Maret 2010, FKUB Provinsi DKI Jakarta telah mengadakan diskusi dengan anggota FKUB yang mewakili Majelis-Majelis Agama di Provinsi DKI Jakarta untuk membahas Surat MK Nomor 141.140/PAN.MK/III/2010 tanggal 1 Maret 2010. Setelah mendengarkan pendapat dan pandangan anggota FKUB kami menyampaikan pokok-pokok pikiran sebagai berikut; Karena ini sifatnya pandangan dan pendapat seluruh anggota maka kami bacakan saja. 1. Keyakinan agama, hak asasi manusia dan kebudayaan nasional.

Agama adalah aturan-aturan yang datang dari Tuhan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya, dan mengatur hubungan antara manusia dengan alam semesta. Bagi sosiolog seperti Durkhaim, Max Weber dan Karl Mark, agama adalah sebuah realitas sosial yang berkaitan antara sesuatu yang dipandang suci yang dibedakan dengan yang duniawi. Durkheim melihat agama memiliki fungsi integratif, Mark Weber melihat agama memiliki fungsi stimulatif, sedangkan Karl Mark melihat agama sebagai opium atau candu dan karenanya agama dapat melakukan tindakan eksploitatif dan melahirkan kelas serta memeras. Agama adalah sistem keyakinan dan peribadatan, wujudnya adalah seperangkat pengetahuan yang mencakup nilai, norma, dan aturan tentang tindakan berkaitan dengan yang suci dan yang duniawi, sumbernya berasal dari kitab-kitab suci yang diyakini berasal dari Tuhan. Ajaran agama tersebut telah menjadi sistem pengetahuan yang dimiliki bersama oleh warga masyarakat. Sistem pengetahuan tersebut diwariskan dari generasi ke generasi, dipergunakan sebagai pedoman dalam kehidupan dan menafsirkan serta menyikapi fenomena yang ada di sekitar sehingga eksistensinya sungguh-sungguh nyata. Dalam kaitan dengan falsafah negara Pancasila yang merupakan titik temu berbagai sistem keyakinan tentu tidak dapat dipisahkan dengan ajaran agama. Bagi masyarakat muslim, sila-sila yang ada pada Pancasila bersesuaian dengan Teori Almabadi Wal Hamzah yang dikemukakan oleh Abu Ishaq As-Syatibi. Menurut ulama ini syari’at yang isinya nilai-nilai, norma, aturan serta hukum Islam diturunkan adalah untuk melindungi hak asasi manusia. Nilai-nilai serta ajaran-ajaran agama yang lain seperti Hindu, Budha, Konghucu dan agama lainnya juga memiliki ajaran yang seperti itu. Dengan demikian dasar-dasar untuk penghormatan terhadap hak asasi manusia sudah tersedia dalam isi kebudayaan agama-agama

42

dan kebudayaan Indonesia. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang menyatu dalam diri manusia, dan tanpa hak-hak tersebut manusia tidak dapat hidup sebagai manusia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, hak asasi manusia sudah diatur dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (1), dan Pasal 31 ayat (1), serta Pasal 34. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya mencakup materi pokok, bab tentang HAM diatur dalam Bab X A, tentang HAM yang dirumuskan dalam pasal-pasal sebagai berikut; Pasal 28A mengatur tentang hak seseorang untuk mempertahankan hidup dan hak hidupnya. Pasal 28B, “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawainan yang sah. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pasal 28C tentang hak mengembangkan diri, hak pendidikan dan meningkatkan kualitas hidup. Pasal 28D, “Hak atas perlakuan hukum yang adil, hak bekerja kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan hak atas status kewarganegaraan. Pasal 28E “Hak atas kebebasan beragama, pendidikan, pekerjaan, kewarganegaraan, tempat tinggal dan meninggalkannya serta berhak kembali”. Pasal 28F “Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dan pemanfaatannya”. Pasal 28G “Hak untuk mendapatkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan martabat dan harta benda dari ancaman ketakutan”. Pasal 28H “Hak untuk hidup sejahtera, persamaan dan keadilan, jaminan sosial untuk pengembangan diri secara utuh sebagai manusia yang bermartabat, hak mempunyai hak milik pribadi yang dilindungi. Pasal 28I “Hak untuk hidup, tidak disiksa, kemerdekaan berfikir, hak beragama, tidak diperbudak, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, setiap orang bebas dari diskriminatif, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras perkembangan zaman dan peradaban”. Pasal 28J “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Pikiran, sikap dan tindakan manusia sangat dipengaruhi oleh keyakinan agamanya. Tindakan religius yang tataran faktual adalah kebudayaan, nyata berbeda antara kelompok sosial yang satu dengan yang lain tidak berarti menisbikan, tetapi saling sapa, saling kenal mengenal, dan membuka peluang untuk kerja sama. Masyarakat manusia dan kebudayaannya tersegmentasi satu dengan yang lain disebabkan perbedaan agama dan asal-usul daerah atau lingkungan hidup yang berbeda. Keterbelahan berdasarkan perbedaan primordial seperti ini harus dihormati dalam harmoni kehidupan yang saling menghargai dan menjunjung tinggi martabat manusia. Inilah hakikat pemahaman akan hak asasi manusia dalam perspektif kebudayaan.

43

2. Kebebasan beragama ada batasnya. Kebebasan beragama dalam Universal Declaration Of Human Rights artikel yang 18 dinyatakan sebagai berikut, “Setiap orang berhak untuk bebas berfikir, bertaubat dan beragama”. Hal ini meliputi kebebasan berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dalam bentuk pengajaran, peribadatan dan menepatinya, baik sendiri maupun dilakukan bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum maupun khusus. Deklarsi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948 ini disepakati oleh umat manusia sejagat pada tatanan konsep, implementasinya, HAM tenyata ada dan berbeda antara Barat dan Timur. Di Indonesia berlaku Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. PNPS ini merupakan produk orde lama yang kemudian pada masa orde baru dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1965 PNPS ini dikukuhkan menjadi undang-undang. Beberapa ketentuan penting yang dapat dikategorikan sebagai pembatasan adalah sebagai berikut, larangan menafsirkan tentang suatu ajaran agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari Pokok-Pokok Ajaran Agama itu. Pasal 1, pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/ Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Kalau pelanggaran Pasal 1 tersebut dilakukan oleh organisasi atau satu aliran kepercayaan maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang. Pasal 2, dalam undang-undang ini juga dijelaskan tentang dasar negara Pancasila dimana sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa bukan saja meletakkan dasar moral di atas negara dan pemerintah tetapi juga memastikan adanya kesatuan nasional yang berasaskan keagamaan. Ketika beberapa pihak mengajukan uji materiil, judicial review Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ke Mahkamah Konstitusi yang mulai disidangkan pada 17 November 2009 maka pihak Pemerintah berupaya untuk mempertahankannya. Saksi Ahli dari kalangan Pemerintah juga memberikan argumen untuk tetap mempertahankannya undang-undang tersebut. Begitu juga Saksi-Saksi dari pihak Pemohon tetap pada pendirian untuk menolak atau mencabut Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. Pembatasan kebebasan beragama juga dibenarkan oleh Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Pasal 18 ayat (3) bahwa kebebasan untuk menjalankan agama dan kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum yang

44

diperlakukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain. Pasal 28J UUD 1945 sesungguhnya juga sejalan dengan berbagai instrumen-instrumen internasional yang telah diadopsi dan ditandatangani oleh PBB. Dalam hal ini, maka apabila Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 itu dipandang sebagai salah satu pembatasan yang dilakukan dengan undang-undang, maka itu sebenarnya tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena adanya peluang yang diberikan oleh Pasal 28J UUD 1945 itu yang harus dibaca sebagai bagian tak terpisahkan dari pasal-pasal lainnya.

3. Pandangan Akhir.

Berdasarakan pikiran pada butir 1 dan 2 di atas, FKUB Provinsi DKI Jakarta memberikan pandangan akhir sebagai berikut: 1. Substansi persoalan HAM dan kebebasan beragama telah menjadi

pengetahuan, sikap, dan aktivitas masyarakat yang beragam. 2. Titik temu agama-agama di Indoensia bukan hanya pada ranah

hukum, tetapi terutama pada falsafah negara yaitu Pancasila. 3. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 untuk membatasi

kebebasan orang-orang yang melakukan penyalahgunaan dan/atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia adalah sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

4. Dengan adanya Undang-Undang HAM dan Kovenan Hak Sipil dan Politik PBB yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Pasal 18 ayat (3), Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 menjadi perbincangan yang saling bertentangan antara perlu atau tidaknya Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dicabut atau dipertahankan.

5. Jika kita bandingkan dengan negara-negara lain, di negara-negara demokrasi sekalipun, HAM dan kebebasan beragama juga ada batas-batasnya.

Setelah kami mengutarakan pendapat nomor 1 sampai dengan nomor 4, maka kami berkesimpulan: a. Jika permohonan pengujian Undang-Undang Nomor

1/PNPS/1965 dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka hendaknya pemerintah segera mengeluarkan peraturan perundang-undangan pengganti Undang-Undang Nomor Nomor 1/PNPS/1965 dengan meteri muatan yang lebih terperinci dan jelas agar tidak terjadi salah penafsiran yang menimbulkan tindakan-tindakan anarkis dan main hakim sendiri.

b. Jika permohanan atas pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, maka selanjutnya pemerintah hendaknya mengambil langkah yang tegas dalam menindak pelaku pelanggaran hukum yang

45

menyalahgunakan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 agar kerukunan umat beragama tidak terganggu.

6. Setelah bermusyawarah, kami FKUB Provinsi DKI Jakarta

mengambil kesepakatan untuk memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar permohonan pengujian materi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ditolak.

Demikianlah pandangan FKUB Provinsi Jakarta telah kami

sampaikan pada kesempatan ini, dan atas perhatian Ketua dan para Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, kami ucapkan terima kasih.

Jakarta 12 Maret 2010, Ahmad Syafi’i Ketua FKUB Provinsi DKI Jakarta, Rudy Pratikno, Keuskupan Agung DKI Jakarta. H.M. Sja’roni, MUI DKI Jakarta. Pendeta Raitung, FGI DKI Jakarta. Pedanda Panji Sogata PHDI DKI Jakarta. Liem Wirawijaya, Walubi DKI Jakarta. Djaengrana Ongawijaya, Matakin Jakarta.

Demikian, Bapak Ketua. Terima kasih, Wassalamualaikum wr. wb.

68. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Mohon naskahnya diambil oleh PP, silakan. Berikutnya, Komnas Perempuan.

69. PIHAK TERKAIT (KOMNAS PEREMPUAN) : DR. YUNIANTI

CHUZAIFAH Bismillahirahmanirahim,

Assalamualaikum wr. wb. Majelis Hakim yang mulia, juga para hadirin sekalian, perkenankanlah kami mewakili Komnas Perempuan menyampaikan pendapat hukum Komnas Perempuan dalam judicial review Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Untuk legal standing-nya kami akan sampaikan nanti dan juga detail pemaparannya ada juga di situ.

Perkenankanlah kami menyampaikan mandat Komnas Perempuan. Komnas Perempuan sebuah lembaga negara independen yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 dan diperbaharui dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 PP Nomor 65 Tahun 2005. Komnas Perempuan dibentuk dengan tujuan mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala berbentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di

46

Indonesia dan meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi perempuan.

Dalam menjalankan mandatnya Komnas Perempuan menerima laporan dan pengaduan dari perempuan korban pelanggaran diskriminasi dan kekerasan, kemudian juga menjalankan mekanisme konsultasi, baik konsultasi nasional, ahli, mitra dalam rangka menyusun kebijakan, melakukan advokasi dan pemulihan hak korban. Pandangan Komnas Perempuan berbasis laporan, pengaduan, dan konsultasi ini dengan..., ini kami akan menyampaikan beberapa kasus bagaimana dampak dari PNPS ‘65 ini dan maknanya apa bagi para korban. Dari data-data kasus, kemudian juga pemantauan dan pengaduan yang kami terima, paling tidak ada 3 hal penting yang kami catat. Pertama, hilangnya pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum. Hal ini berbasis pada pengakuan dari para perempuan penganut kepercayaan dan penganut agama yang tidak masuk dalam agama resmi yang diakui negara.

Pelanggaran-pelanggaran konkret atau dampak-dampak langsung yang dirasakan oleh para koban para perempuan adalah tidak mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP), yang ini mempunyai rantai yang panjang bagi kehidupan para perempuan ini karena dalam KTP mensyaratkan kolom agama harus diisi dan itu dengan tidak mempunyai KTP artinya perempuan tidak mempunyai hak untuk melakukan perbuatan hukum, misalnya tidak bisa ikut serta dalam Pemilu sampai hal pemakaman. Kemudian, makna yang lain, perempuan-perempuan ini atau para penganut agama ini tidak bisa melakukan aspek terpenting dalam hidupnya untuk melakukan atau mencatatkan diri dalam perkawinan, karena pertama tadi tidak mempunyai KTP dan Kantor Catatan Sipil menolak mencatatkan perkawinan alasannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mensyaratkan perkawinan yang sah, yang sah gitu ya. Walaupun dalam PNPS ini ada 6 agama yang diakui tapi sebetulnya sejak tahun ‘78 Konghucu pernah dilarang hingga pernah dicabut kembali tahun 2000.

Dampak yang juga langsung dirasakan dari pengaduan yang kami terima bahwa ada penghilangan hak anak. Anak tidak punya Akte Kelahiran akibat tidak tercatatnya perkawinan orang tuanya. Anak tidak punya Akte Kelahiran sehingga haknya untuk mendapatkan pendidikan juga terlanggar. Anak tidak punya Akte Kelahiran mengakibatkan anak mendapatkan stigmatisasi sosial sepanjang hidupnya sebagai anak haram, anak di luar kawin. Jadi kita cuma memposisikan diri kalau kita dalam posisi sebagai manusia dan sebagai korban. Ini adalah soal diskriminasi. Dalam konteks ini Komnas Perempuan tidak sedang berbicara soal aspek teologis, benar tidak agama itu, tapi kita berbicara dalam konteks korban.

Yang kedua, poin yang terlanggar adalah diskriminasi berbasis ras, etnis dan agama. Selama 33 tahun dari 1967 sampai 2000 Konghucu dilarang di Indonesia melalui Inpres Tahun ‘67 tentang Agama,

47

Kepercayaan dan Adat Istiadat yang dikuatkan dengan Surat Edaran Tahun Nomor 477 Tahun 1995 Tanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa agama yang diakui oleh Pemerintah adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Umat Konghucu artinya selama 33 tahun dampak tidak langsung dari Undang-Undang PNPS ini, hak-hak sipil politik penganut Konghucu dilanggar seperti pencatatan perkawinan, tidak diperolehnya pendidikan keagamaan di sekolah-sekolah, hak perayaan hari raya. Lebih jauh dari rantai persoalan ini, pelarangan Agama Konghucu tidak bisa dilepasakan dari kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Puncak diskriminasi etnis Tionghoa adalah kerusuhan Mei tahun 1998 dimana terjadi serangan seksual terhadap 82 perempuan yang sebagian besar etnis Tionghoa. Laporan ini kami dapat dari laporan Tim TGPF ( Tim Gabungan Pencari Fakta ) kerusuhan Mei ‘98.

Poin ketiga yang penting, berangkat juga dari kasus yaitu hilangnya rasa aman pada perempuan dalam penyerangan berbasis agama. Dalam konteks ini kami menerima pengaduan dari perempuan-perempuan Ahmadiyah. Sekali lagi kami tidak bicara soal teologi benar salah, sekali lagi siapapun bahwa ini ada perempuan yang mengadu yang haknya terlanggar. Dari situ kami mencoba melakukan pemantauan yang kami lakukan di Sukadana Cianjur, di Desa Gegeruk Lombok Barat, di Prapen Lombok Tengah. Pelanggaran-pelanggaran yang dirasakan oleh perempuan-perempuan ini adalah integritas tubuh perempuan, yaitu saat penyerangan perempuan mendapat ancaman perkosaan, keguguran, pelecehan seksual, juga di pengungsian, kemudian hilangnya hak atas pekerjaan dan penghidupan…,

70. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Sebentar ya sebentar. Tolong ya yang di atas jangan menggangu

jalannya sidang, kalau menggangu juga nanti saya suruh minta keluar.

71. PIHAK TERKAIT (KOMNAS PEREMPUAN) : DR. YUNIANTI CHUZAIFAH

Kemudian, hilangnya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, guru perempuan dikeluarkan dari sekolah dan pedagang perempuan diisolir, kemudian anak-anak anggota jamaah tidak bisa bersekolah, jadwal ujian dan rapot dibedakan dan mereka dikucilkan dari lingkungannya. Jadi hak anak juga dirasakan. Lalu tidak bisa mencatatkan perkawinan bahkan perkawinannya digugat dan dituduh zina.

Dari kaca mata korban ini maka kami menilai bahwa peran negara dalam Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 refleksi kami bahwa negara membiarkan berlangsungnya diskriminasi warga negara berdasarkan agamanya, negara melakukan pengkotakan secara sistemik

48

antar penganut agama dan kepercayaan, lalu berlangsunganya diskriminasi dan pengkotakan ini berpotensi memunculkan konflik dalam masyarakat. Lalu kami masuk ke dalam pelanggaran hak-hak warga negara yang dijamin di dalam UUD 1945 namun akibat dari Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini kami mencatat beberapa pelanggaran.

Pertama, Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 menghalangi negara untuk melakukan tanggung jawabnya atas perlindungan, pemantauan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia yang tercantum dalam Pasal 28 ayat (1) terutama hak setiap warga negara bebas menyakini kepercayaan sesuai dengan hati nuraninya, Pasal 28E ayat (2), “Dan kemerdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Lalu hilangnya pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum bertentangan dengan Pasal 27 tentang hak atas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, penghilangan hak anak atas akte bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1) tentang hak atas kepastian hukum.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana anak tidak boleh didiskriminasi karena perkawinan orang tuanya dan hak pendidikan Pasal 28 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Kami juga mencatat bahwa diskriminasi berbasis ras, etnik dan agama bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) tentang hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Pasal 28I ayat (2) tentang bebas dari perlakuan diskriminatif. Larangan pencatatan perkawinan bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) tentang hak untuk membentuk keluarga, hilangnya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2).

Kami melihat bahwa di sisi lain sebetulnya negara sudah melakukan upaya-upaya untuk memenuhi tanggung jawab negara terhadap hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Terhadap Wanita, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Sipil dan Politik, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik.

Kesimpulan kami, bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama adalah merupakan sebuah undang-undang yang bersifat disharmonis dan inkonstitusional, oleh karena itu ketentuan dari undang-undang ini syarat dengan pengingkaran terhadap jaminan-

49

jaminan konstitusional bagi semua warga negara karena atau secara substansi bertentangan dengan ketentuan dari Undang-Undang Dasar Tahun 45 khususnya ketentuan dari Bab X A tentang HAM dan Bab XI tentang Agama. Bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang PNPS berpotensi mengancam persatuan bangsa dan landasan kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika. Pada akhirnya Pihak Terkait memohon bahwa Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi: 1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan dari para Pemohon

yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama, lalu; 2. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

1965 tentang PNPS bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Demikian kami sampaikan. Sebelum kami tutup, tadi siang waktu makan siang, dari Aliansi Nasional Bhinneka Tungal Ika menyampaikan kepada kami bahwa mereka punya dokumentasi film 6 menit bercerita tentang bagaimana suara-suara perempuan adat, perempuan-perempuan yang agamanya atau kepercayaannya tidak diakui secara formal bersuara, dan ini dampak langsung dari undang-undang ini. Maka kepada Majelis Hakim dan juga untuk Ketua Majelis Hakim, kalau ada waktu, sangat berterima kasih kalau film ini mungkin bisa kita perdengarkan sama-sama.

Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb.

72. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Terima kasih. Saya kira film yang dimaksud meskipun relevan

tetapi tidak perlu diperdengarkan karena saya kira hanya memperjelas apa yang tadi sudah dikemukakan. Meski begitu, nanti disampaikan saja ke Mahkamah Konstitusi untuk nanti kami jadikan pertimbangan di dalam Rapat Permusyawaratan Hakim tertutup saja.

Kemudian, Dewan Masjid Indonesia.

73. PIHAK TERKAIT (DEWAN MASJID INDONESIA) : H. SUTITO, S.H., M.H.

Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum wr. wb. Allahu Akbar! Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami hormati.

Keterangan Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia selaku Pihak Terkait atas Perkara Nomor 140 dan seterusnya, perihal permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

50

Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan hadirin yang terhormat. Sudah banyak keterangan dan penjelasan yang telah disampaikan oleh beberapa pihak, yaitu dari Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan para Pihak Terkait yang pada intinya Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia sependapat dengan penjelasan-penjelasan mereka. Utamanya dari Pemerintah, DPR, dan Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Dewan Dakwah Islamiyah, dan ormas-ormas Islam lainnya yang merupakan jamaah kami. Insya Allah Ketua yang mulia dan sebagian besar Anggota Majelis yang terhormat juga di dalamnya. Yang oleh karenanya, mohon dicatat sebagai keterangan atau penjelasan kami juga, Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia.

Sehubungan dengan itu, dalam hal ini kami Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia hendak sekedar menambahkan dan menyampaikan inti-intinya saja, sebagaimana diuraikan di bawah ini. Legal standing para Pemohon. Berkenaan dengan permohonan para Pemohon untuk mencabut beberapa ketentuan pokok dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 khususnya ketentuan Pasal 1, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang tersebut tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Apakah masing-masing atau para Pemohon merupakan pihak yang dirugikan hak konstitusionalnya apabila terhadap perbuatan penodaan agama ini dilarang? Jika jawabannya ya, maka berarti para Pemohon adalah penoda agama yang tidak mau diganggu dan/atau diatur sama sekali kebebasannya. Jika jawabannya tidak, maka Pemohon adalah bukan pihak yang berhak mengajukan uji materi karena para Pemohon tidak memiliki legal standing. Para Pemohon tidak memiliki kepentingan terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965.

Materi permohonan uji materi undang-undang. Uji materi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 yang diajukan para Pemohon diujikan terhadap apa? Konstitusi NKRI atau apa? Majelis Hakim dan Anggota Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan, dan hadirin yang berbahagia. Mahkamah Konstitusi yang terhormat ini adalah Mahkamah Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kompetensinya antara lain menguji materi Undang-Undang RI terhadap Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan Konstitusi NKRI. Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2003 Pasal 10 ayat (1A) tentang wewenang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, untuk A. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sementara itu setelah kita cermati permohonan para Pemohon adalah merupakan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 terhadap kebebasan yang sebebas-bebasnya, termasuk kebebasan untuk tidak beragama, bukan atau tidak menguji materi Undang-Undang

51

Nomor 1/PNPS/1965 terhadap Konstitusi NKRI, yaitu Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan demikian uji materi yang diajukan para Pemohon tersebut tidak memenuhi syarat untuk menguji materi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 terhadap Konstitusi NKRI yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, saya ulangi, dengan demikian uji materi yang diajukan para Pemohon tersebut tidak memenuhi syarat untuk diajukan kepada Mahkamah ini karena wewenang Mahkamah Konstitusi RI adalah menguji materi Undang-Undang RI Tahun 1945 yang merupakan Konstitusi NKRI.

Kebebasan menyampaikan pendapat dan kebebasan beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentang kebebasan beragama, kebebasan menyampaikan pendapat di Indonesia tunduk pada Konstitusi NKRI, sebagaimana diatur pada Pasal 28 huruf E, huruf I, dan huruf J. Pasal 28E ayat (1), “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Pasal 28E ayat (2), “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya, setiap orang berhak atas kebebasan tersebut, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

Pasal 28I ayat (1), “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Pasal 28I ayat (2), ”Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Pasal 28I ayat (3), “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Pasal 28I ayat (4), “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Pasal 28I ayat (5), “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokaratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”.

Pasal 28J ayat (1), “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. Pasal 28J ayat (2), “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

52

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 28I dan 28J Undang-Undang Dasar 1945 tersebut pelaksanaan kebebasan menyampaikan pendapat dan kebebasan beragama di Indonesia menurut Konstitusi NKRI dibatasi atau diatur dengan undang-undang agar pelaksanaan kebebasan tersebut tidak melanggar atau mengganggu kebebasan pihak lain. Dan apabila ada pelanggaran dan/atau gangguan terhadap pelaksanaan kebebasan pihak lain, negara c.q. aparat penegak hukum dapat menangani secara baik, benar dan adil secara profesional dan proporsional. Apabila tidak ada peraturan dan ketertiban negara atau aparat penegak hukum maka terhadap adanya pelanggaran, gangguan, dan persengketaan-persengketaan terkait dengan pelaksanaan kebebasan hak, kebebasan beragama akan diselesaikan sendiri oleh para pihak secara sebebas-bebasnya, saling baku hantam, saling pukul, saling golok, saling bebas tebas, saling bakar, saling bunuh, dan saling silang yang lainnya dan itu berbahaya.

Pengaturan pelaksanaan kebebasan hak, termasuk kebebasan hak beragama oleh negara adalah hak konstitusional negara, bahkan merupakan kewajiban konstitusional negara. Penerbitan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 yang kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 ditetapkan menjadi undang-undang, dimana pada saat itu kehidupan beragama mengalami kekeringan, bahkan ada ancaman-ancaman dan intimidasi terhadap para kiai, tokoh-tokoh agama, organisasi Islam, lahir pula ajaran Nasakom adalah patut amat sangat disyukuri. Hal tersebut adalah merupakan anugerah, berkah dan kekuatan pertolongan Allah SWT. Lahirnya Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tersebut adalah ibarat munculnya oase di tengah panas terik di padang pasir yang menyejukkan bagi umat beragama khususnya di Indonesia, sehingga kehidupan dan kerukunan beragama terlindungi dengan baik terutama kemurnian ajaran-ajarannya.

Dengan demikian Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Larangan Penodaan dan/atau Penyalahgunaan Agama dimaksud wajib tetap dipertahankan. Dengan legal standing para Pemohon seperti itu, dengan materi permohonan yang amat serius dan dipersiapkan dengan sangat serius yang kami yakini dengan biaya yang tidak cukup serius. Akan tetapi bila satu sama lain digabungkan sebenarnya merupakan kombinasi yang tidak serius bahkan main-main dan coba-coba, serta dalam Bahasa Betawinya “ngerjain” kita semua.

Kami menyatakan hubungan, gabungan antara Pemohon, permohonannya dan upaya jerih payah serta biaya yang diperlukan adalah merupakan kombinasi yang tidak serius dan tidak nyambung adalah dengan fakta-fakta sebagai berikut; a. Pemohon adalah bukan pihak yang berkompeten untuk mengajukan

permohonan uji materi.

53

b. Landasan permohonan uji materinya adalah bukan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan Konstitusi NKRI;

c. Para Pemohon diragukan kemampuan untuk membiayai segala afford cost yang diperlukan untuk mempersiapkan permohonannya.

Dengan demikian patut diduga ada invisible hand yang membiayai

upaya-upaya seperti permohonan para Pemohon tersebut dan sponsorship untuk upaya-upaya mengganggu stabilitas dan keamanan negara, keberadaan dan kedaulatan bangsa dan negara seperti ini memang sering terjadi. Oleh karena itu melalui mimbar ini, Ketua dan Majelis yang mulia, kami dari Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia menyerukan kepada umat Islam Indonesia untuk merapatkan shaf jamaah kita, mengumandangkan takbir Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar, melawan upaya-upaya penjajahan ultra-modern yang akan mengancam kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan Negara Republik Indonesia.

Demikian pula kepada para umat beragama yang lain, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu untuk bersama-sama umat Islam dan Pemerintah NKRI untuk memerangi upaya-upaya mengganggu stabilitas kemerdekaan dan kedaulatan negara dan bangsa Indonesia. Sudah saatnya digalakkan kembali dakwah dan syiar ajaran agama kita secara benar, komprehensif, kaffah, holistik dan mewaspadai kegiatan atau upaya-upaya penyalahgunaan dan/atau penodaan agama melalui rayuan-rayuan kepada anggota jamaah kita oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia, berdasarkan hal-hal tersebut di atas kami Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia mohon kiranya berkenan menolak permohonan para Pemohon. Semoga Allah SWT meridhoi semua kita bangsa ini dengan segala kemajemukannya

Wabillahitaufik walhidayah, wassalamualaikum wr. wb. Allahuakbar!

74. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Silakan PP, naskahnya diminta.

Baik, untuk yang terakhir Forum Umat Islam.

75. PIHAK TERKAIT(FORUM UMAT ISLAM): MUHAMMAD AL KHOTOB Bismillahirohmanirrohim,

Assalamualaikum wr. wb. Alhamdulillahirobbilalamin wassalatu wassalamu ala’asrafil anbiya’i

walmursalin sayyidina wahabbibin wamaulana muhammadin khataminabiyyin wa’ala alihi washohbihi ajma’in amma ba’du.

54

Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, hadirin yang terhormat, perkenankanlah Yang Mulia, kami nyatakan bahwa presentasi kami adalah dua orang, yang pertama saya Muhammad Al Khotob Sekjen Forum Umat Islam, nanti dilanjutkan dengan Kuasa Hukum Forum umat Islam Saudara Wirawan Adnan, S.H. (…..)

76. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Sebentar, tapi waktunya 15 menit.

77. PIHAK TERKAIT(FORUM UMAT ISLAM): MUHAMMAD AL KHOTOB Insya Allah. Yang Mulia, kami mewakili 34 Ormas dan lembaga-lembaga Islam.

Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi.

Setelah membaca naskah permohonan uji materiil yang diajukan oleh Tim Advokasi Kebebasan Beragama, mendengar dan melihat pendapat yang berkembang dalam sidang-sidang sebelumnya maupun realitas di luar, Forum Umat Islam memandang bahwa, pertama adanya upaya sistematis untuk menyerang kehormatan dan kesucian ajaran Islam, upaya pendangkalan akidah umat, serta pelecehan terhadap Hukum Syariat Islam dan para pejuang yang istikomah untuk menjunjung syariat. Modus yang digunakan adalah dengan memasarkan dan memaksakan pandangan atas nama kebebasan beragama bahwa semua agama adalah sama benarnya, agama bisa dibuat dan dikarang oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja dan siapapun berhak mengaku Nabi, Malaikat dan bahkan Tuhan sekalipun. Pandangan itu dipasarkan dan dipaksakan agar diadopsi oleh umat Islam padahal hal itu bertentangan dengan akidah dan syariat Islam yang diyakini kebenarannya oleh umat Islam.

Kedua, pandangan yang sesat dan menyesatkan tersebut diklaim sebagai kebebasan beragama yang merupakan HAM yang dilindungi Undang-Undang Dasar sehingga tidak boleh dibatasi apalagi diganggu gugat oleh siapapun termasuk negara. Bila ada reaksi keras umat Islam yang membela kehormatan Allah, Rasulnya dan Agama Islam yang dinodai oleh pandangan-pandangan tersebut secara sistematis umat Islam terutama para aktivis pembela Islam segera diserang dengan opini tekanan politik maupun tekanan hukum.

Tiga, upaya sistematis itu ditengarai adalah didalangi oleh kekuatan asing, imperialis melalui lembaga-lembaga seperti The Asia Foundation dan Yayasan Tifa. Oleh karena itu patut kita waspadai bahwa tujuan dari upaya sistematis itu kalau dalam bahasa Islamnya adalah

55

makar adalah untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam yang kaffah dan dari para aktivisnya yang ikhlas, sebab bila umat memahami Islam secara kaffah baik dalam akidah, ibadah, muamalah, sistem ekonomi, sistem hukum, sistem pendidikan maupun sistem pemerintahan maka umat ini punya alternatif untuk menggantikan sistem kapitalis liberal yang sudah sekian lama dipaksakan. Jadi ada agenda melemahkan kekuatan umat Islam sebagai kekuatan utama Bangsa dan Negara Indonesia sehingga negara asing imperialis mudah menancapkan hegemoninya atas negeri ini.

Empat, usaha sistematis itu dilaksanakan oleh LSM-LSM liberal. Bisa kita lihat, Luthfi As-Syaukani kemarin mempersamakan Nabi Muhammad dengan Nabi Muhammad yang Rasulullah dengan nabi palsu “Lia Eden”.

Pembelaan para Pemohon kepada kelompok perusak dan penoda Islam seperti Ahmadiyah yang mengakui nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad. Tulisan umat.., Muhammad Munir dari Nurkholis Madjid Society di harian “Pelita” yang dia menyamakan Hermes dan Konghucu dengan nabi-nabi utusan Allah yang ada di dalam Al-Quran seperti Nabi Muhammad, Nabi Musa, dan Nabi Isa AS.

Penulis yang bersangkutan juga menulis di kolom yang sama dengan judul “Islam No, kebaikan Yes.” Demikian juga, pernyataan Ulil Abshar Abdalla dalam pidatonya di tim yang pidatonya antara lain mengatakan bahwa, pemahaman teks Al-Quran itu harus selalu berubah sesuai perkembangan. Dia mengatakan, apakah hukum–hukum agama yang memperlakukan perempuan secara diskriminatif masih tetap dipertahankan semata-mata karena hukum itu berasal dari Tuhan?

Lima, tentu saja cetusan ungkapan-ungkapan kaum liberal tesebut tidak bisa diungkapkan. Nabi Muhammad SAW adalah pilihan Allah dan pembawa Al-Quran. Mu’jizat jelas tidak bisa disamakan oleh Lia Eden yang mengaku Nabi lalu mengaku Jibril. Beliau salah seorang bersabda “bahwa ada 30 orang pendusta yang masing–masing mengaku Nabi setelah beliau, hingga hari kiamat.’ Demikian juga mensetarakan para Nabi utusan Allah dengan Hermes adalah pernyataan yang tidak ada dalilnya. Seorang muslim yang menyatakan ”Islam No kebaikan Yes “ tentu tidak masuk hitungan akal sehat. Pemahaman ayat harus berubah atau melakukan penafsiran ulang sesuai keadaan masyarakat adalah upaya memanipulasi makna dan kandungan hukum ayat agar disesuaikan dengan keadaan sosial politik yang ada, sebagaimana diakui Ulil sendiri dengan ungkapan pertanyaannya, apakah kita masih tetap bertahan dengan diktum dalam Al-Qur’an Surat Annisa 34, yang memperbolehkan suami memukul istrinya sementara kita memiliki hukum yang melarang kekerasan dalam rumah tangga? Rupanya Ulil, ini lebih hebat dari Mahkamah Konstitusi. Kalau, Mahkamah Konstitusi ini bisa menguji undang–undang kalau Ulil menguji Al-Quran.

Saya ingin menunjukkan, bagaimana cara manipulasi seorang Ulil Abshar Abdalla yang sudah kita dengar dari tadi. Dia mengatakan

56

bahwa perang yang dilakukan Abu Bakar ash-Shiddiq Khalifah terhadap Musailamah Al Kadzab bukanlah karena penafsiran terhadap ayat tetapi adalah makar politik, demikian juga terhadap orang-orang yang menolak membayar zakat. Jelas ini adalah sebuah manipulasi, kalau dikatakan dia tidak ahli dalam masalah ini. Sebab, di dalam kitab Al Bidayah, Wan Nihayah juz 6, halaman 342 dikatakan bahwa delegasi-delegasi Arab, bangsa Arab setelah Rasulullah wafat mereka memberikan loyalitas atau baiat kepada Khalifah Abu Bakar. Hanya saja di antara mereka setelah mengatakan kami loyal kepada Anda, kami akan melaksanakan shalat tetapi kami tidak akan membayar zakat. Karena, menurut pemahaman kami tehadap ayat khudts min awalihim shadaqattan tu thohirunwattuzakihim bihha wassali alaihimi inna shalataka sakanullahum yang artinya “ambilah dari harta mereka shadaqah, agar mensucikan dan membersihkan mereka dan doakanlah mereka sebab doanya, (doamu) maksudnya Nabi Muhammad agar menenangkan mereka.“ Terhadap surat At-Taubah ayat 103 ini delegasi Arab mengatakan falassna nafa’u zakatana illa, man shalatuhu sakanullana, “ kami tidak akan membayar zakat kami kecuali kepada orang yang doanya adalah menenangkan.“

Dari uraian ini jelas bahwa, itu urusan penafsiran terhadap ayat ini bukan makar politik. Demikian juga, terhadap Musailamah Al Kadzab, Ulil mengatakan bahwa Rasulullah membiarkan, Abu Bakar yang menghukumnya karena makar politik ini juga merupakan penggelapan informasi. Sebab, di masa Rasulullah hukumnya sudah dijelaskan terbukti dalam sebuah hadist, dimana dua orang utusan Musailamah Al Kadzab datang kepada Rasulullah, lalu Rasulullah berkata kepada keduanya Attashaddani anami Rasulullah, apakah kalian telah bersaksi bahwa aku Rasulullah, lalu keduanya mengatakan nasyhadu anna Musailamah Rasulullah“ kami bersaksi kami bersyahadat bahwa Musailamah lah Rasulullah, lalu Rasulullah mengatakan lau ami khatimurussun la qotaltum kuma kalau seandainya aku orang yang membunuh utusan pasti kalian berdua sudah aku bunuh. Ini artinya kalau keduanya bukan utusan, bukan seorang duta korps diplomatik pasti keduanya sudah dihukum karena mengucapkan nasyhadu anna Musailamah Rasulullah. Kami bersaksi bahwa Musailamah lah Rasulullah. Rasululullah juga mengatakan bahwa Musailamah adalah satu di antara 30 dari pendusta antara Rasulullah dengan hari kiamat.

Yang Mulia Ketua dan anggota Mahkamah Konstitusi. Langkah permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama terhadap UUD 1945 dengan fokus mempersoalkan larangan tafsir dan kegiatan menyimpang dari suatu agama dan sanksi atas pelanggaran Pasal 1 tersebut, Pemohon merancukan antara perbedaan pendapat dengan penyimpangan atau bahkan penodaan.

Sebagai contoh masalah Ahmadiyah, para Pemohon dan para aktifis LSM liberal lainya selalu berpendapat bahwa masalah Ahmadiyah

57

itu adalah masalah perbedaan pendapat dan perbedaan tafsir. Pendapat mereka persis seperti pendapat Ahmadiyah sendiri, mereka menafikan adanya kalimat penyimpangan atau dalam bahasa Arab inkhiraf dalam menafsirkan agama padahal itu sekedar ilusi mereka. Sebab penyimpangan pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi itu sedemikian terang benderang sebagaimana penyimpangan pengakuan kenabian Musailamah Al Kadzab di masa Rasullullah. Beliau bersabda antara aku dan hari kiamat akan ada 30 orang pendusta yang masing-masing mengaku dirinya Nabi, di antaranya adalah Musailamah dan Al Azadiy. Rasullullah SAW tidak mengatakan kepada Musailamah, “hai Musailamah silakan Anda berpraktik sebagai Nabi kita bisa berpraktik berdampingan sesama Nabi dilarang saling mendahului.” Pertanyaannya apakah para Pemohon dan aktifis LSM liberal lainnya ini merasa lebih tahu tentang agama Islam dan aturan Allah SWT daripada Nabi Muhammad Rasullullah SAW? Juga apakah para Pemohon tidak pernah tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa di dalam kitab Tazkirah halaman 63, baris 2 yang diklaim oleh Mirza Ghulam Ahmad sebagai wahyu yang diterimanya berbunyi siapa saja yang mendustakanku yakni Mirza Ghulam Ahmad adalah manusia kotor dan babi, artinya Nabi Muhammad dan umat Islam yang sejak beliau diutus hingga hari kiamat menolak adanya Nabi baru setelah Nabi Muhammad SAW, menurut kitab Tazkirah ini adalah manusia kotor dan babi.

Pertanyaanya apakah ini termasuk masalah perbedaan pendapat antara Ahmadiyah dengan umat Islam yang lain atau Ahmadiyah telah melakukan penodaan kepada Islam karena Ahmadiyah mengaku Islam?

Pertanyaan terakhir, kenapa kalau berpaham kebebasan beragama kenapa tidak membuat agama sendiri saja tanpa harus mengkaitkan dengan Islam, Al-Quran dan hadits-hadits Nabi, kalau memang tidak mempunyai agenda yang tersembunyi terhadap Islam dan umatnya?

Terima kasih, Yang Mulia. Selanjutnya akan disampaikan oleh Wirawan Adnan.

78. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Sebentar ya, saya bacakan tata tertib persidangan menurut Pasal

5 ayat (2) ada larangan bagi pengunjung sidang. Satu, membawa senjata atau benda lain yang dapat

membahayakan dan mengganggu sidang. Dua, membuat gaduh, berlalu lalang, bersorak sorai dan bertepuk

tangan di dalam ruang sidang selama persidangan berlangsung dan seterusnya.

Jadi mohon perhatiannya, persidangan ini bukan forum politik dimana dukungan bisa diberikan melalui tepuk tangan dan teriakan-teriakan. Di dalam persidangan ini kita tidak menghitung berapa banyak

58

yang mendukung dan berapa sedikit yang mendukung, tapi ukurannya adalah konstitusi.

Silakan Saudara.

79. PIHAK TERKAIT(FORUM UMAT ISLAM) : WIRAWAN ADNAN, S.H.

Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Kami tidak mengetahui bagaimana para Pemohon ini membaca

Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini, padahal esensi dari undang-undang ini adalah peraturan-peraturan yang melarang untuk menodai agama. Sehingga jika para Pemohon ini tidak menghendaki adanya Undang-Undang tentang Penodaan Agama maka sama saja dengan kehendak agar nantinya secara bebas diperbolehkan untuk menodai agama.

Kami ambil contoh, apabila di ruangan ini ada sign dilarang merokok dan kemudian kami mengajukan permohonan agar larangan ini dicabut, maka itu sama saja dengan meminta agar diperbolehkan merokok di ruangan ini.

Jika undang-undang ini oleh Pemohon dikatakan bertentangan dengan konstitusi kita sehingga harus dicabut, maka menodai agama menjadi diperbolehkan. Kami berikan tanda silang di sana, yang berarti menjadikan keadaannya sesuai dengan UUD 1945, kami berikan tanda sama dengan..., artinya menodai agama menjadi diperbolehkan oleh konstitusi kita. Beginilah jalan berpikirnya para Pemohon yang kelihatannya pro konstitusi sebetulnya adalah anti konstitusi. Inilah pokok-pokok argumen yang bisa kami tangkap dari Pemohon.

Tentang kebebasan beragama, pada kenyataannya tidak ada agama yang dilarang oleh undang-undang ini, yang dilarang adalah menodai agama. Undang-undang ini juga tidak mengakui dan juga tidak melarang agama apapun untuk tumbuh, agama apapun untuk lahir. Tidak ada kata-kata pengakuan dan tidak ada kata-kata pembatasan terhadap 6 agama yang sudah ada. Jadi kalau Ahmadiyah nantinya akan dijadikan agama, menurut undang-undang ini boleh-boleh saja, asal tidak lagi menggunakan Al-Quran maupun Hadits. HAM mau dijadikan agama, liberalisme mau dijadikan agama, undang-undang ini tidak bisa melarangnya.

Sekarang ini para Pemohon juga mempertentangkannya dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Teks menjamin kemerdekaan untuk memeluk agamanya, kan sudah terjamin. Yang berkeyakinan bahwa Islam adalah agama yang benar, silakan memeluk Islam. Bagi mereka yang berkeyakinan bahwa agama yang menyelamatkan mereka kelak di akhirat bukan Islam, silakan memeluk agama itu. Selama ini tidak ada orang berpindah agama itu kemudian dituntut atas dasar pasal ini. Untuk beribadat menurut agamanya, ini juga jelas. Untuk orang Islam tuntunannya shalat 5 waktu. Untuk orang Kristen, sembahyang di gereja

59

berdoa dan beribadat sesuai dengan tuntunan atau ajaran gereja masing-masing. Yang tidak dijamin oleh UUD 1945 adalah jika orang Katolik beribadat menurut tata cara menurut orang Islam dan orang Islam beribadat menurut tata cara orang Kristen.

Mengenai isu minoritas, menurut pengamatan FUI, agama minortas justru memperoleh perlindungan melebihi yang semestinya. Pemerintah Republik Indonesia terlalu akomodatif terhadap kepentingan minoritas. Contohnya, umat Nasrani ini, yang hanya 10 % dari penduduk Indonesia. Namun coba dilihat pada bulan Desember, suasana di Republik menjadi suasana seperti Natal. Lengkap dengan pohon-pohon Natal, warnanya merah Santa Claus, salju buatan seolah-olah kita berada di Amerika atau Eropa. Seolah-olah yang mayoritas justru kaum Nasrani. Keadaan ini adalah tidak proporsional dengan perbandingan jumlah pemeluknya. Seolah jumlahnya umat Nasrani itu sama jumlahnya dengan umat Islam. Tidak bisa kami bayangkan kejadiannya, jika adalah sebaliknya yang minoritas itu adalah Islam. Apakah keadaan serupa kita temui di mal-mal di Amerika atau di Australia.

Selanjutnya, ini tentang argumentasi Pemohon tentang forum internum. Pada pokoknya, ingin mengatakan bahwa saya tidak percaya pada Muhammad adalah Rasul Allah, harus diputuskan, jangan dihukum. Kalau saya mau percaya kalau Kristus itu bukan anak Tuhan, juga harus dianggap sebagai kebebasan berekspresi. Boleh-boleh saja dan memang boleh saja, yang tidak boleh adalah jika orang Islam mengatakan kepada orang Kristen bahwa Yesus itu adalah bukan anak Tuhan, setidak-tidaknya akan menimbulkan masalah hukum.

Namun, jika mengatakannya kepada orang Islam sendiri tentang siapa Yesus di kalangan sendiri, ya boleh saja asal syaratnya itu adalah, kuncinya adalah tidak disampaikan di muka umum. Mau percaya kepada Lia itu adalah Nabi, Lia itu adalah malaikat, silakan asal tidak menyampaikannya di muka umum.

Selanjutnya adalah tentang otoritas penafsir. Di Islam sudah jelas siapa yang berhak dan apa yang bisa di tafsirkan. Apa yang termasuk Ushuluddin dan apa termasuk Furuddin. Pendukung Ahmadiyah menafsirkan bahwa setelah Nabi Muhammad ada nabi lain yang bernama Mirzam Ghulam Ahmad. Kalau mereka ini dikatakan sesat mereka tersingung. Bagaimana jadinya jika warga negara Republik Indonesia yang mengakui dia warga negara Republik Indoensia namun tidak mengakui bendera merah putih ini adalah benderanya? Atau menafsirkan sebaiknya di tengah bendera merah putih itu ada gambar kodok di dalamnya. Apakah ini juga merupakan kebebasan untuk menafsirkan? Yang namanya sepak bola, menggunakan metafornya Cak Nun tadi, harus dimainkan dengan cara kesebelasan. Satu kiper dengan sepuluh pemain. Jika ada yang menafsirkan asal jumlahnya 11 dengan adanya 2 kiper dengan 9 pemain, ini adalah penafsiran sesat. Sepakbola adalah peraturannya adalah kesebelasan di lapangan terbuka. Kalau di lapangan tertutup jumlahnya hanya lima, disebut futsal, bukan lagi sepakbola.

60

Yang namanya bola voli adalah dengan 6 pemain, menggunakan bola voli, jika dirubah menjadi dengan bola rotan dan dengan menggunakan kaki, namanya harus diubah menjadi sepak takraw. Demikian pula pandangan kami tentang Ahmadiyah. Tidak boleh lagi menamakan dirinya Islam, dia tetap memiliki freedom to be, namun to be Ahmadiyah, tidak to be Islam.

Pada produk hukum kita memang ada yang pasti, dan memang ada tidak ada yang pasti. Tidak semuanya hitam putih. Oleh karena itu memang biasa di dalam produk hukum kita itu tidak semuanya pasti. Jadi kalau soal ketidakpastian itu adalah sudah merupakan bagian daripada sistem hukum di Republik Indonesia.

Oleh karena itu, Yang Mulia, demi kebebasan kami untuk menegakkan hukum Allah, maka Forum Umat Islam memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mempertahankan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 dan menolak permohonan Pemohon.

Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb.

80. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Baik, sudah selesai semua untuk hari ini. Meski begitu saya

memberi kesempatan kalau ada yang ingin menyampaikan pertanyaan. Tampaknya ada dari Dewan Dakwah Islamiyah, dari Majelis

Ulama, kemudian dari Hizbut Tahrir, eh FPI ( Front Pembela Islam). Baik, dipersilakan Dewan Dakwah Islamiyah.

81. PIHAK TERKAIT (DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH) : ZAMHAN

Terima kasih kepada Bapak Ketua Majelis Hakim Konstitusi. Assalamualaikum wr.wb. Saya mau menanyakan kepada FKUB (Forum Kerukunan Umat

Beragama). Pertanyaan saya sederhana sekali, bahwa pada dasarnya FKUB itu setuju konstitusional Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 walaupun Anda belum menjelaskan secara komplet. Tapi tadi yang saya tangkap Anda menyatakan bahwa Pemerintah tidak tegas dalam menyikapi Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965.

Yang saya tanyakan, ini lebih dijelaskan lagi nanti. Dari sisi mana Anda melihat Pemerintah itu kurang tegas menyikapi Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965? Itu saja, satu.

Yang kedua, saya akan menanyakan pada Komnas Perempuan, bahwa Komnas Perempuan mengatakan dampak dari Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 salah satunya hilangnya pengakuan pribadi di hadapan hukum seorang perempuan, baik dari pencatatan sipil pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 padahal itu sangat jelas sekali aturannya bahkan KTP di kolom agama itu, dia tidak memberikan, tidak

61

bisa memasukkan karena dia mungkin tidak memiliki 6 agama yang sudah ditentukan oleh negara Republik Indonesia.

Komnas Anak menilai Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 itu inkonstitusional dan tegas sekali tadi mengatakan. Apakah Anda tidak melihat bahwa justru dengan adanya undang-undang ini ada sebuah sebuah rambu-rambu, ada sebuah aturan yang mengikat? Bayangkan jika di sebuah negara khususnya negara kita Indonesia tidak ada sebuah aturan undang-undang yang dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini akan terjadi kekosongan hukum dan akan menjadi proses kanibalisasi yang sama dengan di hutan? Nah, ini satu contoh yang saya berikan, sebenarnya tadi karena waktu tidak cukup saya ingin menanyakan juga kepada Ulil Abshar tentang Al-Quran yang 30% itu katanya uzur sudah. Ya ini saya ingin tadi menanyakan karena ada beberapa ayat, 150 ayat yang akan diganti dan sudah kita punya datanya cuma karena waktu tadi tidak diberi kesempatan juga.

Jadi, ini ada satu contoh mungkin Komnas Anak bisa menjawab nanti, Komnas Perempuan mohon maaf ini. Jadi ada seorang Ibu berteriak di depan umum dengan mengatakan bahwa saya telah merubah ini buktinya, misalnya 100 ayat Al-Quran ini sudah tidak tepat lagi digunakan di zaman sekarang, saya sudah artinya menulis segala macam bentuknya. Nah, di situ ada orang FUI, orang MUI, orang Dewan Dakwah. Paling tidak karena ada orang Islam yang lain ingin melakukan sebuah kekerasan terhadap ibu, mereka diamankan oleh rekan-rekan FUI, MUI, Dewan Dakwah dan segala macam untuk ditanya lebih lanjut.

Bayangkan jika Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 dicabut, saya tidak bisa bilang apa-apa lagi. Mungkin orang tersebut, sesuai dengan Habib Rizieq kemarin, bisa disembelih. Nah, ini coba tolong Komnas Perempuan, mohon dijelaskan karena ini sudah jelas aturannya.

Saya pikir itu saja, Majelis. Terima kasih, Wassalamualaikum wr. wb.

82. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Majelis Ulama.

83. PIHAK TERKAIT (MAJELIS ULAMA INDONESIA) : H.M. LUTFI

HAKIM, S.H., M.H.

Terima kasih, Yang Mulia. Yang pertama saya tujukan kepada Forum Kerukunan Umat

Beragama (FKUB) DKI Jakarta. Tadi Anda mengatakan bahwa setelah bermusyawarah memohon MK agar permohonan uji materi PNPS ini untuk ditolak. Saya, MUI dalam hal ini, mengapresiasi atas hasil

62

musyawarah dimana tadi juga disebutkan di situ ada Bapak Rudy Pratikno dari Keuskupan DKI Jakarta yang selama ini hadir sebagai mewakili KWI, ternyata dalam kesempatan FKUB ini memiliki pendapat untuk mempertahankan PNPS ini, kami terus terang mengapresiasi atas hal itu.

Kemudian kepada Komnas Perempuan. Ada beberapa hal yang harus saya sampaikan. Yang pertama, dari Komnas Perempuan menyebut-nyebut tentang masalah warga atau umat Konghucu. Tanpa perlu saya mengutip kembali apa yang telah disampaikan, bahwa perlu disampaikan di sini, Mahkamah Konstitusi telah mendengarkan perwakilan dari Matakin yang disampaikan langsung oleh Sekjennya yaitu Bapak Uung dimana dalam kesimpulannya meminta untuk mempertahankan PNPS ini dan juga dalam FKUB DKI ini pun ada perwakilan dari Matakin yang juga menghendaki untuk dipertahankan. Oleh karena itu menurut hemat saya, wakil dari MUI, apa yang tadi telah disampaikan oleh Komnas Perempuan, kehilangan baik itu otoritas moral, legal apalagi, maupun kompetensi untuk mewakili ataupun berpretensi mewakili penganut Konghucu.

Yang kedua, Komnas Perempuan juga menyebutkan beberapa hal yang saya kutip bahwa Undang-Undang PNPS ini mengakibatkan hilangnya rasa aman beragama, Undang-Undang PNPS ini menghalangi negara untuk menunaikan tanggung jawabnya atas kewajibannya melindungi warga negara dan seterusnya. Ada yang ingin saya katakan atas pendapat ini. Telah terjadi kesalahan mendasar dalam memahami fakta, informasi fakta, dan kemudian langsung menarik kesimpulan. Dalam suatu ilustrasi konkret seorang katakanlah namanya Fulan disuguhi minuman oleh seorang pramugari. Si Fulan meninggal karena racun setelah diberi minum oleh pramugari. Disimpulkan begitu saja si Fulan mati diracun oleh pramugari. Tanpa mencari informasi fakta hubungan minuman dan racunnya, apakah racun itu memang berasal dari minuman yang disuguhkan oleh pramugari tersebut? Ataukah dari sumber yang lain?

Demikian juga dalam menarik kesimpulan tentang PNPS ini. Ada PNPS secara fakta, ada PNPS tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Ada kerusuhan antar umat beragama, disimpulkan begitu saja tanpa mencari informasi tentang faktanya bahwa PNPS inilah yang menimbulkan hilangnya rasa aman dari kalangan umat beragama.

Yang terakhir, Komnas Perempuan telah memaparkan apa maksud dan tujuan tentang Komnas Perempuan ini di awal presentasinya. Namun ketika memasuki paparan presentasinya, saya perhatikan begitu banyak uraian-uraiannya yang telah melampaui jauh dari apa yang ada dalam maksud dan tujuan adanya Komnas HAM, sehingga saya sulit mencari pembeda antara apa yang menjadi argumentasi Pemohon dengan apa yang menjadi argumentasi Komnas Perempuan, sepertinya setali tiga uang.

Terima kasih, Yang Mulia.

63

Wassalamualaikum wr. wb.

84. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Saudara Munarman, dari FPI.

85. PIHAK TERKAIT (FRONT PEMBELA ISLAM) : MUNARMAN, S.H.

Terima kasih, Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat,

Bismillahirohmanirrohim, Assalamualaikum wr. wb. Pertanyaan saya, saya tujukan kepada Komisi Nasional

Perempuan atau Komnas Perempuan. Yang pertama, tentu saja saya lihat dari kesimpulan yang menyatakan bahwa PNPS ini inkonstitusional itu tegas sekali tadi disebutkan, dengan fakta-fakta berdasarkan laporan yang diterima oleh Komnas Perempuan. Nah, dengan basis laporan kasus yang diterima oleh Komnas Perempuan, maka Komnas Perempuan menyampaikan bahwa PNPS ini adalah inkonstitusional. Menurut saya ini cara berpikir seperti ini adalah cara berpikir yang tidak bisa diterima logika ini, karena kita tahu pengujian atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar ini adalah pengujian norma undang-undang ya, pengujian norma undang-undang yang ada dalam PNPS ini apakah bertentang dengan norma-norma yang ada di dalam Undang-Undang Dasar sehingga bisa dikatakan itu inkontstitusional. Jadi bukan berdasarkan laporan kasus. Kalau laporan kasus saya juga sebetulnya di kantor saya itu banyak menerima laporan kasus yang istri pertamanya atau istri keduanya sama-sama dinikahi dengan surat resmi, begitu, dan istri pertamanya ini minta supaya ada upaya hukum menggagalkan pernikahan karena dia tidak mau membagi harta dari suaminya, padahal suaminya membagi harta itu dengan baik. Apakah dengan laporan itu otomatis saya katakan bahwa istri pertama yang ada di Indonesia ini jahat semua perilakunya? Apakah Undang-Undang Perkawinan itu menyebabkan istri pertama itu berhak mendzolimi atau inkonstitusional? Itu kan logika yang tidak bisa diterima sebetulnya laporan seperti itu. Itu satu, menurut saya. Jadi tidak bisa kesimpulan itu silogismenya dibuat dengan simplifikasi seperti yang disampaikan oleh Komnas Perempuan.

Yang kedua, disebutkan misalnya hilangnya pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum. Nah, pertanyaan saya, teknis saja sebetulnya. Saya mau tahu dimana norma baik yang ada di Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3 maupun Pasal 4 yang melarang? Karena ini adalah pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang melarang individu menjalankan kegiatan agamanya, atau orang-orang yang beragama di Indonesia, ya, agama apapun juga itu kehilangan haknya di depan hukum, normanya dimana? Normanya yang saya tanya ya, normanya dimana di dalam ini? Karena begini, dalam perumusan norma

64

itu ada memang yang ditujukan perlindungannya itu adalah semata-mata kepada perlindungan individu. Nah, ini madzhab yang demikian ini adalah madzhab hukum liberal sebetulnya. Semata-mata pada perlindungan individual, itu madzhab hukum liberal. Tanpa memperhatikan hak-hak dari komunal, tanpa memperhatikan perlindungan terhadap masyarakat secara umum. Tanpa memperhitungkan ada kepentingan, ada hak negara juga. Kalau semata-mata perlindungannya individual, sementara masyarakat, ada hak masyarakat, hak masyarakat tentu saja dalam konteks ini, kalau kita dalam konteks pengujian undang-undang ini, hak masyarakat adalah komunal kelompok Islam tentu saja, kelompok Kristen, kelompok Katolik, kelompok Konghucu, itu semua dilindungi dalam undang-undang ini. Justru bukan dilanggar. Justru undang-undang ini, PNPS ini justru melindungi hak-hak komunal itu. Jadi tidak bisa karena atas kepentinagn seseorang, individual semata-mata ditujukan sehingga undang-undang yang punya kepentingan untuk melindungi komunal, komunitas, kelompok, itu menjadi dikatakan inkonstitusional. Ini menurut saya juga madzhab-madzhab hukum seperti ini, aliran-aliran hukum seperti ini juga perlu dipahami oleh para Pemohon maupun oleh pihak-pihak yang memang semata-mata menurut saya concern-nya itu pada individual, pada kepentingan individu. Jadi kepentingan individu iya, tetapi juga harus dihitung kepentingan komunitas, kepentingan kelompok, dan juga kepentingan negara. Nah, sinergi atau mensinergikan ketiga kepentingan inilah sebetulnya itulah tugas dari penyelenggara negara. Jadi tidak bisa satu sisi saja dilihat. Itu yang kedua.

Yang ketiga, yang saya mau katakan juga atau tanyakan juga, menurut Komnas Perempuan ini, pelarangan-pelarangan soal pencatatan pernikahan itu apakah ruang lingkup dari undang-undang ini? Karena ini jelas sekali, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Apakah pencatatan pernikahan itu ruang lingkupnya dalam kategori undang-undang ini? Atau itu hanya perilaku birokrasi yang salah memahami atau yang dijadikan instrumen politik bagi sebuah rezim politik pada waktu itu? Kita tahu lah, rezim orde baru lah pada waktu itu. Apakah itu perilaku birokrasi yang salah memahami atau memang birokrasi yang dijadikan instrumen politik oleh sebuah rezim politik soal pencatatan, pengakuan agama itu? Apa itu disebabkan atau memang ada norma dalam undang-undang ini yang menyebabkan itu tidak bisa dicatat, atau Konghucu itu dihapuskan, tidak diakui? Ini undang-undang ini yang saya mau tanyakan lebih konkret itu menurut Komnas Perempuan, ini mengenai pengakuan agama atau apa? Apakah ini mengatur agama apa saja yang diakui di sini? Dimana normanya? Pasalnya? Pasal normanya? Kalau penjelasannya silakan dibaca penjelasannya. Nanti dibaca yang rinci. Saya mau mendengar rincian pembacaan dari penjelasan itu. Dan tidak usah ditafsirkan. Baca saja, saya mau itu.

Saya kira begitu saja dari saya.

65

Terima kasih, Yang Mulia. Wassalamualaikum wr. wb.

86. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Baik untuk memberi kesempatan menjawab (...)

87. KUASA HUKUM PEMOHON : M. CHOIRUL ANAM, S.H.

Yang mulia sebelum dijawab kalau boleh Pemohon untuk(...)

88. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Ya, silakan singkat saja.

89. KUASA HUKUM PEMOHON : M. CHOIRUL ANAM, S.H.

Ya, yang pertama untuk FKUB. Tadi kami mendengarkan juga kesimpulannya bahwa kesimpulannya adalah PNPS ini konstitusional dan memang permohonan kami harus ditolak. Pertanyaan saya adalah, yang pertama apakah kesepakatan itu dibikin secara mufakat? Karena kalau di dalamnya ada KWI misalkan, perwakilan dari KWI atau PGI yang dalam kesempatan sebelumnya di hari ini menyatakan revisi dan tidak konstitusional, untuk KWI. Itu yang pertama, kami butuh klarifikasi. Apakah kesimpulan itu diambil dengan kesepakatan yang berbasis pada suara terbanyak? Oh ini yang sedikit, Oh ini yang banyak, sehingga yang banyak yang menjadi kesepakatan. Itu penting untuk mendudukkan bagaimana pandangan masing-masing kelompok dalam FKUB. Itu yang pertama.

Yang kedua, bagi Komnas Perempuan. Apakah dalam menerima pengaduan korban, bagaimana mekanismenya? Kedua, dalam menyimpulkan bahwa PNPS itu juga nuansanya diskriminatif dan ditunjukkan juga dengan peraturan tahun 78, apakah juga mendasarkan pada laporan pemerintah untuk komite anti diskriminasi rasial yang dikirimkan kepada Komite Anti Diskriminasi Rasial tahun 2007? Yang mengatakan bahwa memang agama di Indonesia hanya 6, dan itu berimplikasi terhadap diskriminasi. Dan apakah juga statement diskriminasi itu juga menyinggung concluding observations atau kesimpulan pandangan oleh komite yang mengatakan bahwa memang akibat dari pengakuan agama yang 6 tersebut itu berimplikasi terhadap diskriminasi yang terjadi?

Yang ketiga adalah soal diskriminasi tadi dicontohkan juga soal Penghayat Kepercayaan. Apakah dalam melihat konteks Penghayat Kepercayaan ini hanya kepentingan individu? Atau itu mencerminkan kepentingan komunal? Jadi yang dilihat adalah komunal, Penghayat. Jadi tidak si Fulan, si A, si B, si C, tapi memang oh ini Sunda Wiwitan

66

semuanya kena. Perempuan Sunda Wiwitan semuanya kena. Oh ini kelompok C, oh semua perempuan kelompok C kena sehingga memang mendudukkan tidak hanya soal individu tapi juga motret soal komunal.

Terima kasih. 90. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Baik, waktu diperpanjang kira-kira 10 sampai 15 menit untuk

memberi kesempatan memberikan jawaban secara singkat kepada FKUB dan Komnas Perempuan ini yang dapat pertanyaan. Yang tidak relevan tidak usah dijawab, dan memang sidang ini tidak mencari kesepakatan. Silakan dijawab saja, tidak perlu sepakat karena nanti kesimpulannya ada di Majelis Hakim untuk mengambil putusan akhir.

Sekarang, silakan FKUB.

91. PIHAK TERKAIT (FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA) : H. AHMAD SYAFI’I MUFID, M.A. Yang Mulia Ketua dan Anggota Mahkamah Konstitusi. Ada 3 person yang bertanya dan pernyataan kepada FKUB, yang pertama dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang menyatakan FKUB menyatakan bahwa pemerintah kurang tegas dalam menyikapi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. Ini tidak benar. Yang benar adalah saya bacakan pernyataan yang tertulis kami dan tadi kami bacakan, sekali lagi, “Jika permohonan atas pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ditolak oleh Mahkamah Konstitusi maka selanjutnya pemerintah hendaknya mengambil langkah yang tegas dalam menindak pelaku pelanggaran hukum yang menyalahgunakan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 agar kerukunan umat beragama tidak terganggu.” Dengan demikian pertanyaan telah dijawab. Yang kedua, dari MUI, yang mengapresiasi kepada Pak Rudy Pratikno, S.H. sebagai yang mewakili Keuskupan Agung Jakarta di FKUB itu kami mengucapkan terima kasih. Demikianlah kami ketika di FKUB itu kita tidak lagi berbicara seperti mewakili kelompok tapi kita sudah berbicara mewakili komunitas keseluruhan yaitu masyarakat beragama di Jakarta. Oleh karena itu pertanyaan Pemohon FKUB apakah di dalam mengambil keputusan seperti yang tadi kami bacakan itu atas dasar kesepakatan, dibuat secara mufakat atau itu dibuat dengan cara voting atau cara yang lainnya? Kami nyatakan bahwa FKUB tidak pernah mengambil keputusan dengan cara voting untuk kepentingan apakah dalam kaitannya dengan aspirasi maupun sampai kepada pemberian rekomendasi terhadap pendirian rumah ibadah ataupun penyelesaian berkaitan dengan penggunaan gedung atau bangunan untuk rumah ibadah sementara kami selalu bermusyawarah dan keputusan yang kami ambil adalah berdasarkan mufakat dari semua wakil-wakil yang duduk di

67

FKUB. Dan dokumen yang kami serahkan kepada Mahkamah Konstitusi ditandatangani oleh semua wakil-wakil yang telah saya sebutkan tadi. Terima kasih, demikian.

92. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Baik. Komnas Perempuan.

93. PIHAK TERKAIT (KOMNAS PEREMPUAN) : DR. YUNIANTI CHUZAIFAH

Kami dari Tim saya persilakan kepada Mbak Kunthi sebagai Ketua

Reformasi Hukum dan Kebijakan untuk memberikan masukan.

94. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Silakan, 5 menit Bu ya, paling lama.

95. PIHAK TERKAIT (KOMNAS PEREMPUAN) : DR. KUNTHI TRIEWIYANTI

Terima kasih, Yang Mulia. Ada beberapa hal yang tadi ditanyakan dari beberapa penanya.

Terus terang kami tidak akan menjawab satu persatu tetapi secara umum bahwa kami tadi telah sampaikan dari Komnas Perempuan bahwa apa yang kami paparkan ini adalah berdasarkan dari laporan pengaduan dan konsultasi. Jadi terus terang bahwa ini bukan individu-individu tetapi ini adalah apa yang disampaikan oleh kami sebagai suatu kelompok.

Yang pertama, kami ingin mencoba menjawab tentang segala sesuatu yang terkait dengan pertanyaan bahwa PNPS ini inkonstitusional. Yang pertama kami ingin menyatakan bahwa sebagaimana telah dinyatakan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Bab X tentang HAM, dan XI tentang Agama, itu secara jelas memberikan gambaran bahwa setiap orang diberikan Hak Asasi Manusia, apakah itu berkaitan dengan keyakinan, kepercayaan, kemudian tentang pengakuan pribadi dalam hukum, tentang hak anak terkait dengan akte, dan sebagainya, tetapi yang terpenting juga kami melihat pada hal terkait dengan diskriminasi. Kalau kita lihat dari pasal yang terkait dengan diskriminasi, itu bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatis atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu, termuat dalam Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Nah, dengan adanya kasus-kasus yang kami jumpai maka kami beranggapan bahwa hal-hal yang terkait dengan perempuan, apakah itu Konghucu, apakah itu perempuan dari aliran kepercayaan atau itu dari

68

Ahmadiyah, tentu saja kami tadi melihat dari segi korban, bahwa dia melaporkan kepada Komnas Perempuan sebagai korban, korban yang merasa didiskriminasi. Oleh sebab itu poin Pasal 28I ini menjadi tekanan kami. Kalaulah dari PNPS ini lebih pada pencegahan penyalahgunaan dan penodaan agama, maka sebenarnya penafsiran yang jelas pada pengakuan pada agama-agama tertentu itu kemudian juga memberikan perlakuan diskriminasi atau paling tidak mendorong ke arah penafsiran untuk lebih diskriminasi kepada orang-orang tertentu, termasuk dia adalah perempuan dan anak.

Jadi kalau kami melihat dari kasus-kasus pengaduan itu, betapa mengerikannya ketika perempuan itu tidak punya status di dalam KTP nya, misalnya dengan dikosongkan. Betapa dia mengerikan ketika dia kemudian sulit untuk mendapatkan akte nikah karena tidak berasal dari agama yang sudah ditentukan. Walaupun memang kami mengakui ada perubahan dari Undang-Undang 23 Tahun … Undang-Undang Aminduk itu jelas bahwa ada perubahan. Oleh sebab itu kami melihat bahwa alangkah negara ini sudah memberikan ruang begitu besar, tetapi jangan lupa bahwa penafsiran terhadap PNPS ini tetap memberikan perlakuan yang bisa mendiskriminasi perempuan dan anak. Oleh sebab itu tadi kami juga melihat bahwa ketika seorang anak akan masuk ke sekolah kemudian dia harus menuliskan agama tertentu, walaupun dia aliran kepercayaan, menurut kami alangkah sedihnya seorang anak yang tidak punya agama kemudian dipaksa untuk mencantumkan agama yang tidak diyakininya.

Kami melihat bahwa yang kedua adalah terkait dengan laporan Pemerintah Indonesia pada saat di PBB di Jenewa yaitu Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial yang membahas beberapa hal. Yang pertama adalah bahwa tidak ada agama resmi dan/atau tidak resmi di Indonesia, namun prihatin bahwa masih ada pembedaan antara Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu sebagaimana termuat di dalam berbagai peraturan, serta agama maupun kepercayaan lainnya. Akibat dari adanya pembedaan itu membuat komite berasumsi bahwa akan ada dampak negatif dari pembedaan semacam ini terhadap hak-hak kebebasan berpikir, kesadaran dan agama bagi mereka yang termasuk kelompok-kelompok etnik, serta indigenous people.

Komite mencatat dengan keprihatinan khusus bahwa di bawah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Aminduk, bahwa individu-individu diharuskan menyebutkan kepercayaan mereka di dalam dokumen hukum seperti KTP dan akte kelahiran. Dan bahwa mereka yang memilih untuk mengosongkan kolom tersebut atau mencatatkan di bawah salah satu agama resmi telah melaporkan adanya diskriminasi atau pelecehan. Jadi kami menggarisbawahi hal tersebut. Kemudian bahwa perempuan dan laki-laki yang berlainan agama memiliki kesulitan besar untuk mendaftarkan perkawinan mereka dan bahwa anak-anak mereka tidak diberikan akte kelahiran sebagaimana diakui oleh negara pihak.

69

Yang kedua adalah komite menyarankan agar negara pihak dapat memperlakukan dengan sama semua agama dan kepercayaan maupun kebebasan berpikir, kesadaran dan agama dari kelompok etnik minoritas dan indigenous people mencatat bahwa negara pihak yang sedang mempertimbangkan penghapusan penyebutan tentang agama pada KTP agar sesuai dengan maksud dari konvensi. Komite secara kuat merekomendasikan agar dapat melaksanakan secepatnya dan agar dapat juga diperlebar agar memuat kebijakan terhadap semua dokumen hukum. Itu laporan dari Comittee Steer yang terus terang akhirnya (…)

96. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Dipersingkat, ya.

97. PIHAK TERKAIT (KOMNAS PEREMPUAN) : DR. KUNTHI

TRIEWIYANTI Ya.

98. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Dipersingkat, sudah 5 menit .

99. PIHAK TERKAIT (KOMNAS PEREMPUAN) : DR. KUNTHI

TRIEWIYANTI

Yang terakhir, kami juga menyatakan bahwa pada Pasal 28I bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Oleh sebab itu kami dengan sangat meminta perhatian kepada pemerintah tentang bagaimana terjadi diskrimanasi baik terhadap perempuan dan anak.

Akhir kata saya ingin menyampaikan bahwa betapa menyedihkan seorang ibu yang melahirkan anak-anak, kemudian anak-anak ini tidak diakui, tidak diberikan kesempatan untuk berpendidikan, kemudian dia juga bagian menjadi stigmanisasi oleh masyarakat, alangkah menyedihkan kami ibu-ibu yang melahirkan yang kemudian membesarkan tetapi merasa didiskriminasi.

Terima kasih, Yang Mulia.

100. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Hal-hal yang tidak dijawab langsung nanti akan menjadi bagian dari pertimbangan Mahkamah, pertimbangan Majelis Hakim.

70

101. PIHAK TERKAIT (KOMNAS PEREMPUAN) : DR. YUNIANTI CHUZAIFAH

Yang Mulia, boleh sedikit menambahkan?

102. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Tidak usah. Cukup, ditulis saja nanti. Nanti akan diberi waktu untuk membuat kesimpulan kalau mau yang itu nanti akan ditentukan kapan harus disampaikan ke Majelis, tetapi bisa disiapkan dari sekarang ini.

Pak Alim masih mau? Silakan. Ya, silakan.

103. HAKIM ANGGOTA : DR. MUHAMMAD ALIM, S.H., M.HUM.

Terima kasih, Pak Ketua. Ini apresiasi kepada Komnas Perempuan dan kepada FUI (Forum

Umat Islam). Jadi seperti yang ditanyakan tadi, di Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 memang itu tidak ada larangan untuk memberi Kartu Tanda Penduduk, mencatatkan perkawinan atau menyekolahkan anak. Jikalau hal itu terjadi dalam pelaksanaan, karena kita ini adalah negara hukum salurannya bukan ke sini, salurannya yang pertama adalah ke Pengadilan Tata Usaha Negara, karena…….., tenang ya,…… karena di sana ditentukan jikalau pemerintah menolak mengeluarkan suatu putusan ataupun tidak mengeluarkan keputusan dalam waktu tertentu yang secara konkrit, individual dan final, itu bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Jikalau aturan daripada itu yang melarang dan lain-lain mencatatkan itu adalah undang-undang, undang-undang itu yang diuji kemari, bukan Undang-Undang kaitannya dengan PNPS 65 karena ini masalah ranah lain. Tapi kalau itu di bawah undang-undang diuji di Mahkamah Agung, itu sekedar diketahui. Itu cukup itu untuk Komnas Perempuan.

Kepada Forum Umat Islam. Negara Madinah yang saya tahu di dalam kajian saya waktu menyusun disertasi, itu berdiri pada tahun 622 dan berakhir pada tahun 661, itu mulai dari dibentuknya Piagam Madinah oleh Rasulullah Muhammad SAW sampai dengan Khalifah keempat Khulafaur Rasyidin Ali bin Abi Thalib, itu Negara Madinah. Negara Madinah itu adalah satu negara hukum. Dalam satu negara hukum itu dianut supremasi hukum. Hukum menjadi yang tertinggi, bukan politik sebagai panglima. Maka ketika ada orang yang mengatakan dirinya tidak mau membayar zakat, itu diperangi karena hukum, diperangi karena hukum, karena dalam konstitusinya Negara Madinah itu salah satunya adalah Al-Quran itu dinyatakan bahwa kewajiban itu membayar zakat. Diperangi.

Nah, di dalam contoh di Republik kita ini, kalau ada yang tidak mau membayar pajak, itu bisa dipidana 5 tahun penjara. Jikalau dia

71

tidak mau bayar pajak kalau dia sanggup atau dia menggelapkan pajak dan lain-lain dan lain-lain itu ada ancamannya. Pajak itu kalau mau dibicarakan secara jujur itu adalah meniru hukum Islam. Hukum Islam itu diambil dari zakat, jadi pajak itu anggaran pendapatan, ya oke. Karena ketentuan mengenai zakat itu adalah wajib, di dalam Al-Quran juga sebagai Konstitusi Negara Madinah itu dinyatakan bahwa tidak ada lagi Nabi sesudah Rasulullah Muhammad SAW, maka jika diperangi karena pertama-tama karena dasar hukumnya yang dia langgar. Bahwa mungkin itu ada faktor politik itu boleh jadi, tetapi di atas segala-galanya hukum lah yang paling diutamakan karena dia adalah negara hukum, di sana dianut supremasi hukum.

Terima kasih, Pak Ketua.

104. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Sidang berikutnya tanggal 17 Maret mendengar keterangan Ahli

(…)

105. PIHAK TERKAIT (FORUM UMAT ISLAM) : WIRAWAN ADNAN, S.H.

Yang Mulia, Yang Mulia (…)

106. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Terkait sudah tidak ada...,

107. PIHAK TERKAIT (FORUM UMAT ISLAM) : WIRAWAN ADNAN,

S.H.

Pak Ketua, Yang Mulia, dari Forum Umat Islam.

108. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya?

109. PIHAK TERKAIT (FORUM UMAT ISLAM) : WIRAWAN ADNAN,

S.H.

Pertama adalah kami meskipun tadi telah menyampaikan secara lisan, mohon berkas kami yang secara tertulis bisa diterima oleh Kepaniteraan.

110. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H.

Ya.

72

111. PIHAK TERKAIT (FORUM UMAT ISLAM) : WIRAWAN ADNAN,

S.H. Dan yang kedua kami mengajukan permohonan apabila pada kesempatan sidang berikutnya dari Forum Umat Islam dapat mengajukan Saksi Fakta Bapak H. Cep Hernawan pada sidang berikutnya, Yang Mulia, permohonan ini kami sampaikan.

Terima kasih.

112. KETUA : PROF. DR. MOH. MAHFUD MD., S.H. Ya, baik, silakan duduk. Jadi sidang berikutnya adalah mendengarkan Ahli dari Pemerintah Prof. Soedarsono dan Khofifah Indar Parawansa, kemudian Saksi yang diundang oleh Mahkamah Konstitusi Muhammad Amien Rais, Muslim Abdul Rahman, SAE Nababan, tapi masih tentatif Pak Nababan, dan Siti Zuhro. Nah, Mahkamah menganggap tidak perlu lagi Saksi-Saksi Fakta. Saya kira sudah jelas fokus masalahnya sekarang dan sidang dinyatakan selesai dan ditutup.

SIDANG DIBUKA PUKUL 15.25 WIB

KETUK PALU 3 X