eksistensi alat bukti petunjuk dalam penyelesaian perkara pidana

13
TUGAS MAKALAH HUKUM PEMBUKTIAN EKSISTENSI ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA Oleh : SYAPUTRA B1A109122 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BENGKULU 2012

Transcript of eksistensi alat bukti petunjuk dalam penyelesaian perkara pidana

TUGAS MAKALAHHUKUM PEMBUKTIAN

EKSISTENSI ALAT BUKTI PETUNJUK DALAMPENYELESAIAN PERKARA PIDANA

Oleh :

SYAPUTRAB1A109122

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS BENGKULU

2012

DAFTAR PUSTAKA

Prakoso, Djoko, Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana,Yogyakarta: Liberty

Darwan, Prints, Hukum Acara Pidana suatu pengantar, Djambatan: Jakarta

www.negarahukum.com, Alat Bukti Petunjuk,diakses pada hari rabu tanggal 16 mei 2012,pukul 23:15

www.negarahukum.com, Kekuatan Alat Bukti Petunjuk dan Keterangan Terdakwa,diaksespada hari rabu tanggal 16 mei 2012, pukul 23:20

ariblogspot.com, Alat Bukti Petunjuk dalam Sidang Pengadilan,diakses pada hari rabutanggal 16 mei 2012, pukul 23:22

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan

rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah Hukum

Pembiayaan dengan judul EKSISTENSI ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA hingga selesai dengan segala upaya. Dan tidak

lupa shalawat serta salam kita haturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW

yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju alam yang terang benderang

seperti yang kita rasakan saat ini.

Saya menyadari masih banyak sekali kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam

penyusunan tugas ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan baik berupa

kritik maupun saran yang berguna untuk penyusunan tugas-tugas selanjutnya.

Demikianlah yang dapat saya uraikan, lebih dan kurangnya saya mohon maaf,

semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bengkulu, Mei 2012

Penulis

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang....................................................................................... 1

B. Permasalahan ......................................................................................... 2

C. Tujuan.................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3

A. Pengertian .............................................................................................. 3

B. Syarat dan Cara Memperoleh Alat Bukti Petunjuk ............................... 4

C. Kekuatan Alat Bukti Petunjuk............................................................... 7

BAB III PENUTUP ......................................................................................... 9

A. Kesimpulan............................................................................................ 9

Daftar Pustaka

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyelesaian perkara pidana yang memeriksa dan mengadili perbuatan

melawan hukum atau tindak pidana yang dilakukan oleh orang baik perseorangan

maupun secara bersama-sama selalu diselesaikan melalui pengadilan yang berwenang

untuk menyelesaikan perkara pidana ini dengan melalui tahapan-tahapan atau proses

dalam persidangan dengan harapan dapat membuktikan suatu kebenaran.

Pemeriksaan dengan harapan membuktikan suatu kebenaran di pengadilan

dalam proses persidangan haruslah didukung dengan alat bukti seperti yang tercantum

dalam Pasal 184 KUHAPidana, dimana keterangan saksi, keterangan ahli, surat,

petunjuk dan keterangan terdakwa merupakan suatu unsur yang tidak dapat terlepas

untuk menemukan kebenaran.

Dalam penyelesaian perkara pidana di pengadilan, jika perkara itu hanya

memunculkan 2 (dua) alat bukti saja, biasanya alat bukti itu adalah keterangan saksi

dan keterangan terdakwa maka perkara pidana itu dapat diselesaikan dengan

menambahkan keyakinan hakim untuk memutus perkara pidana karena ketentuannya

sesuai dengan Pasal 183 KUHAPidana.

Tetapi jika keterangan yang diberikan oleh terdakwa sangat berbelit-belit dan

tidak mengakui atau tidak ada kesesuaian dengan keterangan saksi, maka hakim harus

menggunakan alat bukti petunjuk sebagai kekuatan untuk menyelesaikan perkara

pidana.

Alat bukti petunjuk didapat karena adanya persesuaian antara keterangan saksi

dan keterangan terdakwa yang didukung oleh barang bukti yang dihadirkan di muka

persidangan.

Oleh karena itu, alat bukti petunjuk lebih dekat dengan istilah pengamatan

ataupun penilaian hakim yang terjadi selama proses persidangan berlangsung. Dalam

2

pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan untuk menilai kesesuaian

antar alat bukti dan barang bukti, hakim harus berlaku arif dan bijaksana untuk

menemukan alat bukti petunjuk ini.

B. Rumusan Masalah

Belakangan ini terjadi suatu perdebatan tentang keberadaan atau eksistensi alat

bukti petunjuk dalam penyelesaian perkara pidana di muka pengadilan karena dinilai

bahwa alat bukti itu seharusnya mempunyai bentuk nyata, bukan sekedar pengamatan

ataupun penilaian hakim saja untuk membuktikan suatu kebenaran dalam perbuatan

tindak pidana.

Menjadi suatu permasalahan juga bagaimana kekuatan dari petunjuk itu sendiri

sehingga mampu menjadi alat bukti dalam menyelesaikan perkara pidana.

C. Tujuan

Sesuai dengan permasalahan yang muncul, maka menjadi suatu tujuan dalam

makalah ini untuk mengetahui bagaimana eksistensi alat bukti petunjuk dalam

menyelesaikan perkara pidana di pengadilan.

Tidak hanya itu, tujuan makalah ini adalah untuk mengidentifikasi bagaimana

kekuatan petunjuk sehingga mampu menjadi alat bukti dalam menyelesaikan perkara

pidana

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Menurut R. Atang Ranomiharjo, alat bukti adalah alat-alat yang ada

hubungannya dengan suatu tindak pidana, di mana alat-alat tersebut dapat

dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim,

atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.1

Sedangkan menurut Romli Atmasasmita, alat bukti adalah sesuatu yang

dijadikan dasar oleh hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah atau tidak, dan

kemudian menjadi pertimbanganuntuk menjatuhkan putusan. Sedangkan barang bukti

yang berkedudukan sebagai penamba1h keyakinan hakim dalam memeriksa perkara.2

Berdasarkan pasal 188 ayat (1) KUHAPidana yang dimaksud petunjuk adalah :

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, keadaan, yang karena

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun

dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi

suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Berbeda dengan alat bukti yang lain, alat bukti petunjuk sendiri diperoleh

dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, maka dengan kata lain, alat

bukti petunjuk bukan merupakan alat bukti langsung.

Karena bukan merupakan alat bukti langsung maka muncul beberapa

anggapan yang menganggap alat bukti petunjuk bukan merupakan alat bukti,

diantaranya :

1 Prints Darwan, Hukum Acara Pidana suatu pengantar, Djambatan: Jakarta, hal 107

2 Djoko Prakoso, Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Di Dalam Proses Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1988

4

1. Van Bemellen (1971:227)

Akan tetapi kesalahan yang terutama adalah bahwa orang telah

menganggap petunjuk-petunjuk itu sebagai suatu alat bukti, sedangkan

dalam kenyataannya adalah tidak demikian.

2. P.A.F. Lamintang (1984:442)

Petunjuk memang hanya merupakan dasar yang dapat dipergunakan

oleh hakim untuk menganggap suatu kenyataan sebagai terbukti, atau

dengan perkataan lain petunjuk itu bukan merupakan suatu alat bukti,

seperti misalnya keterangan saksi yang secara tegas mengatakan

tentang terjadinya suatu kenyataan, melainkan ia hanya merupakan

suatu dasar pembuktian belaka, yakni dari dasar pembuktian mana

kemudian hakim dapat menganggap suatu kenyataan itu sebagai

terbukti, misalnya karena adanya kesamaan antara kenyataan tersebut

dengan kenyataan yang dipermasalahkan.

Terlepas dari setuju atau tidak, petunjuk tetap dianggap sebagai alat bukti,

perlu diingat pendapat A. Karim Nasution (1975:III-31) yang pada intinya

mengatakan bahwa pembuktian sebagian besar perkara pidana, sering harus

didasarkan atas petunjuk-petunjuk. Hal ini karena jarang sekali seorang yang

melakukan kejahatan, terlebih mengenai tindak pidana berat yang dilakukan secara

terang-terangan. Pelakunya berusaha menghilangkan jejak perbuatannya. Hanya

karena diketahui keadaan-keadaan tertentu tabir tersebut kadang-kadanag dapat

terungkap sehingga kebenaran yang ingin disembunyikan terungkap. Oleh karena

itu, eksistensi petunjuk tidak pernah diragukan karena sifatnya yang merupakan

suatu penilaian hakim.

B. Syarat dan Cara Memperoleh Alat Bukti Petunjuk

Untuk dapat dikatakan sebagai petunjuk, maka harus memenuhi syarat-syarat

yang harus dipenuhi, yaitu:3

a. Mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi

b. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan kejahatan yang

terjadi

3 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal 317.

5

c. Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa maupun saksi

dipersidangan.4

Cara memperoleh alat bukti petunjuk di persidangan yaitu:5

1. Keterangan Saksi

Untuk menjadi saksi haruslah sesuai dengan apa yang termaktub di dalam Pasal 1

angka 26 bahwa saksi haruslah yang melihat sendiri, mendengar sendiri, alami

sendiri, serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Saksi yang tidak

memenuhi syarat diatas tidak dapat menjadi alat bukti saksi. Dan menurut Pasal 1

angka 27 Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang

berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar

sendiri, Ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan

pengetahuannya itu.

Apabila jumlah saksi yang akan diajukan banyak maka dibutuhkan

pembatasan jumlah saksi karena apabila jumlah saksi tidak dibatasi akan menjadi

sumber pemborosan dan penyelesaian perkara menjadi tidak efisien. Asas peradilan

yang sederhana, cepat dan biaya ringan tidak dapat terlaksana.6 Sehingga saksi-

saksi yang telah disetujui oleh Hakim Ketua Majelis, wajib untuk didengar

keterangannya di hadapan siding pengadilan.7

Untuk dapat menilai bagaimana suatu keterangan saksi memiliki kekuatan

hukum, maka hakim harus menilik kepada:

a. Persesuaian keterangan antara saksi-saksi;

“Keterangan saksi satu saja, sedang terdakwa memungkiri kejahatan yang

dituduhkan kepadanya dan keterangan saksi-saksi lainya tidak member

4 Djoko Prakoso, Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana, Yogyakarta: Liberty. Hal.102.5 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana,LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209, Pasal 188 ayat (3).6 Tersirat pada Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1985.7 Tersirat pada Surat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 503/TU/1796/Pid/90 Tanggal 22September 1990.

6

petunjuk terhadap kejahatan yang dituduhkan, belum dapat dianggap cukup

membuktikan kesalahan terdakwa.”8

b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain, jika yang diajukan

jaksa dalam persidangan terdiri dari saksi dan alat bukti lain berupa ahli, surat

atau petunjuk, hakim harus meneliti sungguh-sungguh persesuaian alat bukti

tersebut.9

c. Alasan-alasan yang melatar-belakangi keterangan saksi;

d. Hakim harus mencar alasan mengapa saksi memberikan keterangannya

sebagaimana yang telah diuraikan olehnya;

e. Cara hidup dan kesusilaan saksi, dan;

f. Keterangan saksi sebelum dan pada waktu siding pengadilan

.

2. Surat

Surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti adalah:10

a. Surat yang dibuat diatas sumpah jabatan,

b. Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah

Kemudian diperjelas dengan pengertian:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum

yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya.

b. Surat yang berbentuk “menurut ketentuan perundang-undangan” atau surat

yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk ke dalam tata laksana

yang menjadi tannggung jawabnya, dan yang diperuntukkan bagi pembuktian,

sesuatu hal yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu

keadaan.

c. Surat Lain yang hanya dapat berlaku jika berhubungan dengan isi dari alat

bukti yang lain.

8 Tersirat pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 28K/Kr./1977 Tanggal 17 April 1978.

9 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, Op. Cit., Pasal 185 ayat (6).10 Ibid. Pasal 187

7

3. Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa ada yang diberikan di dalam ataupun diluar

persidangan. Pengakuan yang diberikan terdakwa diluar persidangan dapat

dipergunakan sebagai alat bukti petujuk.11 Fungsi dari pengakuan yang diberikan

diluar persidangan tidak bisa berdiri sendiri. Fungsinya hanya dapat digunakan

sebagai alat bukti petunjuk untuk menyempurnakan alat bukti yang lainnya atau

dengan kata lain untuk mencukupi dan mengungkapkan keterbuktian kesalahan

terdakwa.

C. Kekuatan Alat Bukti Petunjuk

Kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk berupa sifat dan kekuatannya dengan

alat bukti yang lain. Kekuatan pembuktian petunjuk oleh hakim tidak terikat atas

kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu hakim bebas

menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.

Demikian juga alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri untuk

membuktikan kesalahan terdakwa. Tetap terikat pada prinsip batas minimal

pembuktian. Petunjuk nanti dapat dikatakan mempunyai nilai kekuatan pembuktian

cukup harus didukung dengan sekurang-kurangnya dengan satu alat bukti yang lain.

Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan pada alat bukti keterangan terdakwa.

Hakim bebas menilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. Hakim dapat

menyingkirkan atau menerima sebagai alat bukti dengan mengemukakan alasannya.

Keterangan terdakwa juga harus disesuaiakan dengan batas minimal

pembuktian, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 189 ayat 4 “keterangan terdakwa

saja tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang

didakwakan kepadanya melainkan harus dibuktikan dengan alat bukti yang lain.”

Sekalipun keterangan terdakwa telah memenuhi syarat batas minimum

pembuktian, tetap masih harus dibarengi dengan keyakinan hakim, bahwa memang

benar adanya terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan

kepadanya.

11 Tersirat pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tanggal 20 Septeber 1977 Nomor177K/Kr/1965.

8

Dengan uraian pembuktian alat bukti di atas jelas nampak perbedaannya

dengan kekuatan pembuktian dalam hukum acara perdata sebagimana ditegaskan

dalam Pasal 1866 KUH perdata/ Pasal 164 HIR (tulisan, saksi, persangkaan,

pengakuan dan sumpah). Dalam proses hukum acara pidana tidak ada alat bukti yang

dapat dikategorikan sebagai murni kekuatan pembuktiannya sempurna (volledig),

mengikat (bindend) dan menentukan (dwingende, bellisend). Beda halnya dengan alat

bukti tulisan dalam hukum acara perdata akta otentik dan pengakuan sering kali

dikategorikan sebagai alat bukti yang sempurna, mengikat dan menentukan, sepanjang

tidak ada bukti lawan (tegen bewijs).

9

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Petunjuk tidak dapat disangkal eksistensinya sebagai alat bukti yang digunakan

untuk pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara pidana karena sesuai dengan

Pasal 189 ayat 4 KUHAPidana yang berbunyi bahwa “keterangan terdakwa saja tidak

cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan

kepadanya melainkan harus dibuktikan dengan alat bukti yang lain.” Dikaitkan juga

pada Pasal 188 ayat 1 KUHAP menegaskan “petunjuk adalah perbuatan, kejadian,

keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain,

maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu

tindak pidana dan siapa pelakunya.“ kesesuaian dimaksud adalah kesesuaian antara

keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa disertai dengan barang bukti

sehingga petunjuk memiliki kekuatan yang tetap untuk mempertahankan

eksistensinya.

B. Saran

Diharapkan dengan adanya kekuatan hukum pada alat bukti petunjuk untuk

mempertahankan eksitensinya, maka diharapkan hakim harus benar-benar

menemukan petunjuk sesuai dengan hati nuraninya melalui pengamatan dan penilaian

hakim di muka persidangan.