KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEMBAGIAN HARTA ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
8 -
download
0
Transcript of KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEMBAGIAN HARTA ...
1
KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEMBAGIAN HARTA
WARISAN (Kajian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Pada Fakultas Syariah
Oleh:
RIKY PRAYUDHI
NIM. 1111.004
JURUSAN AL-AHWAL AS-SYAKSHIYYAH FAKULTASSYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN)
BUKITTINGGI
1437 H/ 2016 M
4
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM
PEMBAGIAN HARTA WARISAN (Kajian Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam).Skripsi ini ditulis oleh Riki
Prayudhi, NIM.1111.004, Jurusan Al-Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi 1436 H/ 2016 M.
Latar belakang masalah dalam skripsi ini didasarkan kepada kenyataan yang
penulis temukan dalam literatur hukum kewarisan undang-undang hukum perdata.
Bahwa di dalam kenyataannya hukum perdata (BW) tidak mengatur tentang
pengangkatan anak . Hal ini membawa akibat tidak ada pengangkatan anak yang
didasarkan pada KUHPerdata. Akan tetapi, akibat perang Dunia ke II di Belanda
telah lahir undang-undang tentang pengangkatan anak, yaitu staatsblad Nomor
129 Tahun 1917 pasal 12 yang mengatakan bahwa kedudukan anak angkat sama
haknya dengan anak yang sah dari perkawinan orang yang mengangkat. Dan
terputus nasabnya terhadap orang tua kandung dari anak angkat
tersebut.Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pada KHI Pasal 209 ayat 1
dan ayat 2 bahwa anak angkat dan orang tua angkat tidak dapat saling mewarisi
melainkan mendapatkan wasiat wajibah antara anak angkat dan orang tua angkat.
Masalah utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah kenapa
Kompilasi Hukum Islam memberikan hak wasiat wajibah terhadap anak angkat
dan Hukum Perdata memberikan hak waris terhadap anak angkat
Untuk memperoleh bahan atau data dalam penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan metode library research, yaitu mengumpulkan bahan-bahan
melalui penelitian terhadap buku-buku yang ada di perpustakaan, maupun
sumber-sumber lainnya yang ada kaitannya dengan permasalahan skripsi
ini.Setelah data tersebut dikumpulkan, lalu diklasifikasikan untuk diseleksi antara
data primer dan data skunder. Kemudian data yang telah diseleksi itu diolah
dengan menggunakan metode induktif, deduktif, dan komperatif
Kesimpulan dari Skripsi ini adalah, bahwa menurut hukum perdata yang
terdapat di staatsblad nomor 129 tahun 1917 pasal 12 bahwa anak angkat
mendapatkan harta warisan dari orang tua angkatnya dan terputus nasabnya dari
orang tua asalnya. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 209 ayat 1
dan 2 anak angkat tidak mendapatkan warisan melainkan diberi wasiat wajibah,
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
5
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT karena berkat
hidayah dan ‘inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini
sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana dalam hukum Islam. Shalawat
dan salam penulis doakan buat Nabi junjungan kita, Nabi Muhammad SAW.
Semoga beliau selalu mendapat kasih sayang Allah SWT dan tetap berada dalam
naungan-Nya.
Skripsi ini berjudul “KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEMBAGIAN
HARTA WARISAN (kajian menurut kitab undang-undang hukum perdata dan
kompilasi hukum Islam).”
Sesungguhnya kebenaran itu hanya datang dari Allah SWT, tidak ada
gading yang tidak retak. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis berharap kepada
para pembaca yang budiman jika terdapat kesalahan dan kekeliruan baik isi
maupun penulisan supaya dapat memperbaikinya demi kesempurnaan.
Penulis menyadari juga bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak akan dapat
diselesaikan tanpa adanya bantuan, dukungan, ataupun motivasi dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis pertama mempersembahkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Ayahanda Jumirin dan Ibunda Satiyem tercinta yang
begitu tulus mendidik, membesarkan, serta memberikan motivasi kepada penulis.
Hal ini juga penulis sampaikan kepada kakak penulis: Parliono, Miswanto, Heri
6
Kuswanto, Agus Aliandi yang selalu memberikan motivasi kepada penulis.
Dukungan, saran, dan candamu membuat adikmu selalu tegar dan istiqomah
dalam menggapai cita-cita. Kasih sayang penulis buat adik tercinta yaitu Sri
Rahayu yang selalu memberikan senyum lebar yang menyenangkan hati kepada
penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh keluarga besar yang selalu
memberikan motivasi dan dukungan demi kelanjutan studi penulis.Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi beserta seluruh jajaran
wakil Rektor, Dekan Fakultas Syari’ah dan Ketua Jurusan Ahwal Al-
Syakhsiyah yang telah memfasilitasi penulis dalam menimba pengetahuan di
IAIN Bukitinggi.
2. Ibu Shafra, M.Ag selaku Pembimbing Akademik penulis selama menjalani
pendidikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi yang telah
memberikan nasehat, saran dan motivasi kepada penulis layaknya seperti
anak beliau sendiri.
3. Bapak Dr. Afifi Fauzi Abbas M.Ag selaku pembimbing I dan Bapak Nofiardi,
M.Ag, selakupembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu dan
fikiran untuk memberikan arahan serta bimbingan dalam menyelesaikan
skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu dosen serta Karyawan/I Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Bukittinggi yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan
di perguruan tinggi ini.
7
5. Bapak Drs. Usman selaku Kepala perpustakaan Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Bukittinggi, serta karyawan/I Perpustakaan IAIN Bukittinggi yang
telah memberikan pelayanan terbaik bagi penulis dalam mencari literatur-
literatur terkait penulisan skripsi ini.
6. Sahabat-sahabat penulis di UKM Forum Tahfizul Quran yang selalu setia
dalam pergerakan dan untuk mengembangkan ajaran Al-Qur’an. Indahnya
pergerakan akan terasa ketika sahabat-sahabat berkontribusi langsung dalam
pergerakan ini.
7. Sahabat-sahabat, kakak-kakak dan abang-abang serta adik-adik penulis di
HIKADU SUMBAR yang selalu memberikan dukungannya terhadap saya
dan silaturahmi yang selama ini yang sudah kita pertahankan, muda-mudahan
HIKADU SUMBAR tetap eksis dalam meningkatkan silaturahmi.
8. Mella Efendi yang telah memberi dukungan dan motivasi kepada penulis
untuk menyelesaikan penulisan skripsi dan pendidikan di Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.
9. Sahabat-sahabat tercinta dan seperjuangan Jalaluddin Lubis, Rahmat
Parluhutan, Lili Nurhafni, Ade Suriyani, Siti Robia, Desi Putri Yeni
10. Kepada para sahabat yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu
yang selalu memotivasi dan memberikan bantuan baik moril maupun materil.
11. Pengurus Mesjid Al Munawarah yaitu Bapak Drs. Deris Khalid, M.Si, bapak
Gusril Basir, SH, M.Hum, bang Ir. M. Zulkarnain, bang Khairizal, MA, bang
Zulmahdi Erios, bang Hendra Kariman, S.Pd dan seluruh jamaah Mesjid yang
8
telah membantu penulis baik moriil maupun materiil dalam penyelesaian studi
di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.
Atas bantuan, saran dan bimbingan yang telah diberikan, penulis do’akan
ke hadirat Allah SWT, semoga kiranya apa yang telah diberikan kepada penulis
dapat diterima sebagai amal shaleh di sisi-Nya. Amiin ya Rabbal’alamin.
Akhirnya kepada Allah SWT penulis mengucapkan Alhamdulillah dan
kepada para pihak yang telah disebutkan, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya.Dengan harapan semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi
siapa saja yang membacanya.
Bukittinggi, 04 Februari 2016
RIKY PRAYUDHI
NIM. 1111.004
9
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………………...... i
PERSETUJUAN TIM PENGUJI ………………………………………... ii
ABSTRAK ……………………………………………………………….. iv
KATA PENGANTAR …………………………………………………… v
DAFTAR ISI …………………………………………………………….. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………. 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………. 8
C. Tinjauan dan Kegunaan Penelitian ……………………….. 8
D. Tinjauan Pustaka ………………………………………….. 9
E. Penjelasan Judul …………………………………………... 11
F. Metodologi Penelitian …………………………………….. 13
G. Sistematika Penulisan……………………………………... 15
BAB II KEWARISAN DALAM ISLAM DAN HUKUM PERDATA
1. KEWARISAN DALAM ISLAM
A. Pengertian Kewarisan........................................................... 17
B. Unsur-unsurnya Kewarisan.................................................. 19
C. Sebab-sebab Terjadinya Warisan ........................................ 21
D. Penghalang Kewarisan ……………………………………. 28
E. Syarat-syarat Mendapatkan Kewarisan …………………… 35
F. Golongan Ahli Waris dan Bagian Masing-Masingnya........ 37
2. KEWARISAN MENURUT HUKUM PERDATA
10
A. Pengertian dan Unsur-Unsur Kewarisan........................... 47
B. Harta Warisan Dalam Sistem Hukum Waris Eropa.......... 49
C. Pewaris dan Dasar Hukumnya.......................................... 50
D. Ahli Waris Sistem BW dan Porsi Bagianya...................... 51
E. Peran Balai Harta Peninggalan Dalam Pembagian Harta
Warisan............................................................................. 60
F. Ahli Waris Yang Tidak Patut Menerima Harta Warisan.. 61
BAB III GAMBARAN TENTANG KEWARISAN ANAK ANGKAT
MENURUT UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Pengertian Anak Angkat…………………………………… 63
B. Dasar Hukum Pengangkatan Anak Angkat………………… 67
C. Hubungan antara Anak Angkat dengan Orang Tua Angkat
Menurut Hukum Perdata dan kompilasi Hukum
Islam…………………………………………………………. 87
D. Kewarisan Anak Angkat Dalam Hukum Islam....................... 91
E. Kewarisan Anak Angkat Dalam Hukum Perdata.................... 99
BAB IV FILOSOFIS
A. Pendapat KHI Memberikan Wasiat Wajibah terhadap anak
angkat........................................................................................... 109
B. PENDAPAT HUKUM PERDATA Memberikan hak waris
terhadap anak angkat............................................................... 118
BAB V PENUTUP
11
A. Kesimpulan ………………………………………………… 120
B. Saran-saran…………………………………………………. 122
Daftar Kepustakaan
Daftar Riwayat Hidup
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT telah menciptakan segala urusan di dunia ini dengan
sempurna.Semua urusan di dunia ini pasti mempunyai aturan mainnya bagi
kehidupan manusia di dunia.Diharuskan bagi setiap orang untuk mentaati aturan
yang telah berlaku yang bersumber dari al-Qur'an dan Hadist.Sehingga manusia
tidak tersesat dalam menggunakan semua urusan di dunia.
Segi kehidupan manusia yang diatur Allah SWT tersebut dapat
dikelompokkan kepada dua kelompok, yaitu: Pertama, hal-hal yang berkaitan
dengan hubungan lahir manusia dengan Allah Penciptanya. Aturan tentang hal ini
disebut ”Hukum Ibadah” tujuannya untuk menjaga hubungan atau tali antara
Allah SWT dan hamba-Nya yang disebut juga “hablum minallah”. Kedua,
berkaitan dengan hubungan antar manusia dan alam sekitarnya.Aturan tentang ini
disebut “Hukum Muamalat”.Tujuannya menjaga hubungan antara manusia dan
alamnya atau yang disebut dengan “hablum minannas”. Kedua hubungan itu
harus tetap terpelihara agar manusia terlepas dari kehinaan, kemiskinan, dan
kemarahan Allah SWT yang dinyatakan Allah SWT dalam surat Ali Imran (3)
ayat 112.1
Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang
ditetapkan Allah SWT adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan
pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Harta yang
1 Amir Syarifuddin,Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2012), cet ke-2, h. 3
13
ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan
tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara
mendapatkannya.
Kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah
meninggal kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini disebut
dengan berbagai nama. Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah
untuk menamakan hukum kewarisan Islam, seperti faraid, fiqhmawaris, dan
hukum al-waris.
Aturan tentang warisan tersebut ditetapkan Allah SWT melalui Firman
Allah SWT yang terdapat dalam al-Qur'an, terutama dalam Surah An-Nisa’ ayat
7, 8, 11, 12.dan 176. Pada dasarnya ketentuan Allah SWT yang berkenaan dengan
warisan telah jelas maksud, arah dan tujuannya.Hal-hal yang memerlukan
penjelasan, baik yang sifatnya menegaskan ataupun merinci, telah disampaikan
oleh Rasulullah SAW melalui hadistnya.Namun demikian penerapannya masih
menimbulkan wacana pemikiran dan pembahasaan di kalangan para pakar hukum
Islam yang kemudian dirumuskan dalam ajaran yang bersifat normatif.Aturan
tersebut yang kemudian diabadikan dalam lembaran kitab fiqh serta menjadi
pedoman bagi umat Muslim dalam menyelesaikan permasalahan tentang
kewarisan.2
Allah SWT mensyari’atkan warisan ini bagi setiap orang yang telah
meninggal dunia.Dalam kitab Fiqhu Al-Sunnah disebutkan bahwa sebelum
datangnya Islam, yaitu pada masa Jahiliyah terdahulu Bangsa Arab hanya
2Moh. Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), cet ke-2, h. 2
14
memberikan warisan kepada kaum laki-laki saja dengan mengabaikan kaum
wanita.Mereka hanya memberikan warisan kepada orang-orang yang sudah besar
dengan mengabaikan anak-anak kecil.Selain itu pada saat tersebut terdapat sistem
pembagian waris yang menggunakan sumpah.3
Kemudian Allah SWT menghapuskan semuanya itu dengan menurunkan
ayat berikut ini dalam surat an-Nisa’ ayat 11:
واحدةف لهيوصيكماللهفيأولدكمللذكرمث لحظالن ث ي ينفإنكننساءف وقاث نت ينفلهنث لثامات ركوإنكان ت ات ركإ م دس هماالس هالث لث فإناالنصفولب ويهلكلواحدمن لهولدوورث هأب واهفلم نكان لهولدفإن لميكن
نب عدوصيةيوصيبهاأودينءاباؤكموأب ناؤكملتدرونأي هم دس هالس رب لكمن فعافريكان لهإخوةفلم أق (١١:النساء)ناللهكان عليماحكيماضةمناللهإ
Artinya:“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu, ini adalah ketetapan dari
Allah.Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(QS. An-Nisa’: 11)4
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa warisan ini wajib untuk semua
orang yang telah meninggal dunia dan setiap para ahli waris berhak menerima
3Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqh Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 1998),
C eke-1, h.503 4Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya AL-Jumanatul ‘Ali,(Bandung:
CV Penerbit J-ART, 2004), h. 79.
15
harta warisan yang telah ditinggalkan oleh pewaris dan pembagiannya sesuai
dengan penjelasan ayat di atas.
Bagi umat Islam Indonesia, aturan Allah SWT tentang kewarisan telah
menjadi hukum positif yang digunakan dalam Pengadilan Agama dalam
memutuskan kasus pembagian maupun persengketaan yang berkenaan dengan
harta waris tersebut. Dengan demikian, maka umat Islam yang telah
melaksanakan Hukum Allah SWT itu dalam penyelesaian harta warisan, di
samping telah melaksanakan ibadah dengan melaksanakan aturan Allah SWT
tersebut, dalam waktu yang sama telah patuh kepada aturan yang telah ditetapkan
negara.5
Pada masa Jahiliyah, pengangkatan anak merupakan hal yang istimewa,
karena masyarakat Jahiliyah pada saat itu menghukumi anak angkat sama dengan
anak kandung sendiri, terlebih lagi bagi anak angkat yang berjenis kelamin laki-
laki, maka akan lebih mendapatkan tempat yang terhormat, dari pada anak angkat
yang berjenis kelamin perempuan ataupun anak kecil. Istilah tabanni di zaman ini,
barangkali yang bisa menjelaskan akan supermasi anak angkat. Mereka
menetapkan hukum putusnya hubungan nasab anak angkat dengan orang tua
kandungnya untuk kemudian dihubungkan kepada orang tua angkatnya.6
Kondisi demikian berbeda dengan kondisi pada era kemunculan
Islam.Meski tradisi pengangkatan anak masih diterima dalam ajaran Islam, namun
terdapat perubahan status dan keberadaannya. Ketentuan baru yang membahas
tentang status anak angkat dalam hukum Firman Allah SWT dalam QS Al-Ahzab
5Moh. Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, …, h. 2
6Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995),hlm.362
16
4 dan 5:
هاتكموماجع هنأم ئيتظاهرونن قلب ينفيجوفهوماجعلزواجكمالل ياءكمأماجعلللهلرجلمن لدبيل وهوي هديالس واهكمواللهي قوللق (٤:الحزاب)ب ناءكمذلكمقولكمبأف
Artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu
sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai
anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu
dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan (yang benar)” (QS. al-Ahzab: 4)
ينومواليكمولي وهلبائهمهوأقسطعنداللهفإن لمت علمواءاباءهفإخوانكمفيالد سعليكمجناحاددت قلوبكموكاناللهغفورارحيما (٥:الحزاب)فيماأخطأتبهولكنمات عم
Artinya: “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika
kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka
sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak
ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang
ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Ahzab: 5)7
Terlepas dari historis turunnya ayat tersebut, secara normatif, dua ayat di
atas memberikan dua deskripsi yang penting, yaitu: pertama, status nasab anak
angkat tidak dihubungkan pada orangtua angkatnya, tetapi tetap dihubungkan
kepada orangtua kandungnya dan kedua, status pengangkatan anak tidak
menciptakan adanya hubungan hukum perwarisan antara anak angkat dengan
orangtua angkatnya, demikian juga dengan keluarga mereka.
Di Indonesia diberlakukan tiga sistem hukum kewarisan yaitu hukum
kewarisan perdata, Islam, dan adat.Ketiga sistem ini diberlakukan karena belum
memiliki undang-undang hukum waris nasional yang dapat mengatur seluruh
rakyat Indonesia.
7Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,.....h. 419
17
Pengangkatan anak bertujuan untuk meneruskan keturunan apabila dalam
suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan, untuk mempertahankan ikatan
perkawinan, dan tidak jarang pula karena faktor sosial, ekonomi, budaya maupun
politik. Namun kedudukan anak angkat terhadap harta warisan yang akan
diberikan oleh orang tua angkatnya terjadi perbedaan menurut kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mengenal
lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah pengakuan anak luar
kawin yaitu dalam bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai 290 KUHPerdata,
maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, pemerintah Belanda pada
tahun 1917 mengeluarkan staatblad Nomor 129 yang mengatur masalah adopsi
bagi golongan masyarakat Tionghoa (Pasal 5 – Pasal 15).8
Dalam Staatsblad ini menyatakan bahwa anak angkat memiliki hubungan
keperdataan secara hukum dan disamakan posisinya sebagai anak yang lahir dari
orang tua angkatnya, sehingga dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari
perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkatnya.9
Dalam Staatsblaad Nomor 129 Tahun 1917, akibat hukum pengangkatan
anak tersebut, antara lain:
a. Adopsi menyebabkan anak angkat tersebut berkedudukan sama dengan anak
sah dari perkawinan orang tua yang mengangkatnya. Termasuk, jika yang
mengangkat anak tersebut seorang janda, anak angkat (adoptandus) tersebut
harus dianggap dari hasil perkawinan dengan almarhum suaminya.
8 R. Soeroso,Perbandingan KUH Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 174
9Rachmat Budiono, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, (Bandung: PT.Citra
Aditiya Bakti, 1999), Cet ke-1, h.190
18
b. Adopsi menghapus semua hubungan kekeluargaan dengan keluarga asal,
kecuali dalam hal:
1. Penderajatan kekeluargaan sedarah dan semenda dalam bidang
perkawinan;
2. Ketentuan pidana yang didasarkan atas keturunan;
3. Mengenai perhitungan biaya perkara dan penyanderaan;
4. Mengenai pembuktian dengan saksi
5. Mengenai saksi alam pembuatan bukti autentik;10
Fatwa Muhammadiyah dan NU mengenai anak angkat bahwa:
“Anak angkat tidak boleh diakui dan disamakan sebagai anak kandung,
sehingga dalam pembagian harta warisan, anak angkat yang tidak
memiliki hubungan nasab atau hubungan darah dengan orang tua
angkatnya tidak dapat saling mewarisi. Dengan kata lain anak angkat
tidak mewarisi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua
angkatnya, demikian pula sebaliknya orang tua angkat tidak mewarisi
harta warisan anak angkatnya”.
Demi keadilan dan kesejahtraan anak angkat maka KHI melalui Inpres RI
Nomor 1 Tahun 1991 memperbolehkan anak angkat mendapatkan harta warisan
orang tua angkatnya dengan melalui wasiat wajibah (Pasal 209 KHI).11
Melihat munculnya perbedaan perspektif, di antara Kompilasi Hukum
Islam dan hukum Perdata yang berlaku di Indonesia dalam memandang status
anak angkat dan implikasinya terhadap perkara kewarisan ini menjadi suatu hal
yang menarik untuk diteliti, maka penulis tertarik untuk meneliti masalah ini lebih
lanjut lagi dengan judul yang akan diteliti ialah:
10
Abdul Kadir Muhammad,Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti,2000), h. 26 11
Wasium Mika, Kedudukan Hukum dan Hak Waris Anak Angkat (Anak Pungut,
Adopsi),2013, dalam http://www.jadipintar.com/2013/08/Kedudukan-Hukum-dan-Hak-Waris-
Anak-Angkat.html
19
KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN
(kajian menurut kitab undang-undang hukum perdata dan kompilasi hukum
Islam)
B. Rumusan Masalah
Agar terarahnya penulisan ini dan mencapai apa yang dituju perlu adanya
rumusan masalah, ada beberapa rumusan masalah yang penulis angkatkan dalam
penulisan ini:
1. Kenapa Undang-undang Hukum Perdata memberikan hak kewarisan dan KHI
memberikan hak menerima wasiat wajibahterhadap anak angkat
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan diskursus mengenai status
kewarisan anak angkat dalam dua perspektif yang berbeda, yaitu Kompilasi
Hukum Islam dan hukum Perdata, maka tujuan dari pembahasan skripsi ini
adalah:
a. Untuk mendeskripsikan status kewarisan anak angkat berdasarkan Kompilasi
Hukum Islam dan undang-undang hukum Perdata.
b. Untuk mendeskripsikan tentang persamaan dan perbedaan sistem hukum yang
mengatur kewarisan anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam dan
undang-undang hukum Perdata
2. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis, yakni sebagai berikut :
20
a. Secara teoritis, melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui konsep
mengenai status kewarisan anak angkat dalam perspektif Kompilasi Hukum
Islam dan undang-undang hukum Perdata Secara praktis.
b. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap tuntutan
dinamika keilmuan, terutama pembaharuan hukum Islam di Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum masuk lebih jauh lagi mengenai pembahasan penelitian ini, ada
beberapa penelitian terdahulu yang mengangkat pembahasan yang hampir sama
dengan yang dituliskan oleh penulis, akan tetapi dalam setiap penelitian tentu ada
sudut perbedaan dalam hal pembahasan maupun obyek peneliti. Adapun
penelitian tersebut diantaranya adalah:
1. Penelitian yang dilakukan oleh saudari Elwy Yostasia Jurusan Ahwal Al-
Syakhhsiyah Fakultas Syari’ah (2015) yang berjudul Persepsi Masyarakat
Melayu Tentang Kewarisan Terhadap Anak Angkat.Dalam penelitian ini
peneliti meneliti tentang kenapa Masyarakat Melayu memberikan harta
warisan kepada anak angkat dan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap
kewarisan kepada anak angkat tersebut. Latar belakang penelitian ini bahwa di
Daerah Desa Tambusai Batang Dui Anak Angkat mendapatkan harta warisan
dari orang tua angkatnya. Pembagian harta warisan anak angkat sama dengan
anak kandung. Hasil dari penelitian ini adalah penyebab masyarakat melayu di
Desa Tambusai Dui dalam memberikan harta warisan kepada anak angkat
disebabkan karena mereka telah menganggap anak angkat tersebut sebagai
anak kandung mereka sendiri.
21
2. Penelitian saudari Nelfi. A yang berjudul Wasiat Wajiah Terhadap Anak
Angkat Menurut Hukum Islam. Penelitian saudari Nelfi. A meneliti tentang
masalah dari mana sumber atau dasar hukum Komplikasi Hukum Islam dalam
menetapkan peraturan tentang wasiat wajibah yang diberikan kepada anak
angkat yang berbunyi sesuai dengan dalam KHI buku II (Hukum Kewarisan)
Bab V pasal 209 dinyatakan bahwa, terhadap orang tua angkat yang tidak
menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-sebanyaknya 1/3 dari harta
warisan anak angkat (ayat 1), dan terhadap anak angkat yang tidak menerima
wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta warisan orang tua
angkatnya (ayat 2). Ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan di atas,
menurut penulis tersebut tidak dijumpainya di dalam kitab-kitab fiqh.
Dalam hasil penelitian saudari Nelfi tersebut, penulis menyimpulkan
bahwa wasiat wajibah yang ditetapkan dalam Komplikasi Hukum Islam sangat
besar manfaatnya terutama bagi anak angkat demi untuk mewujudkan
kemaslahatan hidupnya di masa yang akan datang, paling banyak 1/3 dari harta
yang ditinggalkan, maka dari itu penguasa atau hakim sebagai aparat negara
mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi surat putusan wajib wasiat,
sekalipun orang tua angkatnya tidak berwasiat di waktu hidupnya, maka tetap
dianggap telah melakukan wasiat.
3. Penelitian saudara Ahmad Walidi, yang berjudul “Kewarisan anak angkat
menurut hukum adat Jawa dan hubungannya dengan pasal 209 KHI. Dalam
pembahasan saudara Ahmad Walidi ini bahwa ditemukan dalam literatur
hukum kewarisan adat Jawa yang berkembang selama ini. Anak angkat
22
mendapatkan dua bagian, yaitu dari orang tua angkatnya dan dari orang tua
kandung sendiri.
Sedangkan menurut hukum Islam anak angkat tidak berhak mendapat
warisan dari harta peninggalan orang tua angkatnya, karena al-Qur'an sudah tegas
menyatakan bahwa anak angkat tidak bisa dinasabkan kepada orang tua
angkatnya, sehingga anak angkat dan orang tua angkatnya juga tidak bisa saling
mewarisi.Menurut hukum Islam yang diterapkan di Indonesia, yaitu pada KHI
pasal 209, dinyatakan bahwa anak angkat dan atau orang tua angkat berhak
mendapatkan wasiat wajibah sebanyak 1/3 dari harta yang ditinggalkan.
Dari kesimpulan penelitian saudara Ahmad Walidi bahwa, antara
Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Adat Jawa tersebut, yaitu sama-sama
memberikan kesempatan terhadap anak angkat untuk mendapatkan harta
peninggalan dari orang tua angkatnya atau sebaliknya. Cuma saja KHI pada pasal
209 memberikan dalam bentuk Wasiat Wajibah tidak dalam bentuk kewarisan
seperti halnya hukum adat jawa.
E. Penjelasan Judul
Untuk menghindari terjadinya kekeliruan dan kesalah pahaman, penulis
akan menjelaskan pengertian istilah yang terdapat dalam judul Kedudukan Anak
Angkat Dalam Pembagian Harta Warisan (Kajian undang-undang hukum
perdata dan Kompilasi Hukum Islam)ini yaitu:
Anak angkat : Anak yang diambil dari keluarga orang lain ke dalam
keluarganya sendiri sehingga dengan demikian antara
orang yang mengambil dengan anak yang
23
diambil/diangkat timbul suatu hubungan hukum.12
Harta : Barang-barang yang menjadi kekayaan13
Warisan : Sesuatu yang diwariskan seperti nama baik, harta, atau
harta pustaka.14
Hukum Perdata : Peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang
berkenaan dengan hak, kewajiban dan sebagai sekalian
warga negara.15
KHI : Merupakan rangkaian dari beberapa pendapat hukum
yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh parah
ulama fiqih yang bisa digunakan sebagai referensi pada
Pengadilan Agama untuk dikembangkan serta dihimpun
kedalam suatu himpunan.16
Jadi kewarisan anak angkat menurut undang-undang Hukum Perdata dan
hubungannya dengan pasal 209 KHI itu maksudnya adalah :
Segalah hal yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dari anak yang
diambil dari keluarga orang lain ke dalam keluarganya sendiri setelah anak yang
diambil tersebut meninggal dunia atau sebaliknya sebagai akibat dari pengambilan
anak tersebut menurut Undang-undang Hukum Perdata dan hubungannya dengan
ini pasal 209 (wasiat wajibah) dari suatu humpunan hukum Islam yang terdiri dari
12
W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : PN Balai
Pustaka,1982), h. 259 13
W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,....., h. 347 14
W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, ..., h. 609 15
W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,...., h. 364 16
Abdur Rahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademika Persindo,
1995), Cet. Ke-1, h. 14
24
dari beberapa pendapat ulama fiqih yang dijadikan sebagai salah satu bahan
rujukan oleh para hakim dalam lingkungan Peradilan Agama di Indonesia untuk
menetapkan atau memutuskan hukum terhadap perkara yang diperiksanya.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian library
research (penelitian pustaka).Penelitian pustaka adalah serangkaian kegiatan yang
berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat
serta mengolah bahan penelitian.17
Jadi dalam hal ini yang penulis lakukan adalah
dengan mengumpulkan buku-buku yang berkenaan dengan penelitian ini,
kemudian mencatat dan mengolahnya berdasarkan pada data-data kepustakaan
yang berkaitan pada pokok persoalan yang dibahas.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yaitu mengumpulkan dan
memaparkan pandangan hukum Islam dan hukum Perdata tentang status
kewarisan anak angkat, kemudian menganalisis dengan menggunakan teori yang
sudah ada.
3. Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini merupakan penelitian pustaka, maka dalam
mengumpulkan data-datanya penyusun melakukan pengkajian terhadap literatur-
literatur pustaka yang koheren dengan obyek yang dimaksud, yakni mengkaji
kitab-kitab Fiqih, Tafsir, Hadis dan Undang-Undang serta literatur-literatur lain
17
Mestika Zed, Metodologi Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004), Cet. ke- I, h. 3
25
yang ada kaitanya dengan tema pembahasan skripsi ini. Pengkajian terhadap
kitab-kitab Fiqih, Tafsir, Hadis dan Undang-Undang dimaksud untuk
mengumpulkan data tentang pendapat-pendapat dan argumentasi tentang hak
waris anak angkat. Sedangkan dari literatur-literatur umum lain adalah untuk
memperoleh teori-teori dan konsep-konsep serta informasi lain yang dapat
menunjang.
4. Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, maka analisis yang
digunakan adalah berupa analisis deduktif, yaitu menganalisis data dari yang
bersifat umum kemudian ditarik pada kesimpulan yang bersifat khusus, di
samping itu digunakan juga metode Komperatif untuk membandingkan antara
kedua sistem hukum tersebut sehingga diperoleh gambaran yang jelas baik dari
sisi perbedaan maupun persamaannya.
5. Pendekatan dalam Penelitian
Penelitian ini secara komprehensif menggunakan dua pendekatan, yaitu
pendekatan normatif dan yuridis. Pendekatan normatif dalam penelitian ini
berguna untuk mengkaji berbagai ketentuan hukum tentang adopsi, baik dalam
beberapa teks kitab suci (Al-Qur’an dan Hadis), maupun dalam beberapa karya
Imam Mazhab, dan buku-buku yang berhubungan dengan tema penelitian di
samping itu, pendekatan normatif berguna untuk mengkaji ketentuan-ketentuan
hukum Perdata di Indonesia yang secara khusus mengatur tentang status
kewarisan bagi anak angkat.
Pendekatan kedua yaitu Yuridis.Pendekatan ini menurut banyak kalangan
26
Ilmuwan disebut juga sebagai pendekatan hukum.Dalam penelitian ini,
pendekatan Yuridis digunakan untuk mengkajiketentuan hukum yang termaktub
dalam hukum Perdata yang mengatur tentang status kewarisan bagi anak angkat.18
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih jelas dan memudahkan penulis dalam membahas
permasalahan ini, maka berikut ini penulis uraikan sistematika penulisan sebagai
berikut: Adapun sistematika penulisan dibagi 5 (lima) Bab, pada tiap-tiap bab
dapat dirinci ke dalam beberapa sub Bab, yaitu:
Bab I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, penjelasan judul, metode
penelitian dan sistematika penulisan
Bab II Menguraikan tentang kewarisan dalam Islam, pengertian dan unsur-
unsur kewarisan dalam Islam, sebab-sebab terjadinya kewarisan dalam Islam,
penghalang kewarisan, syarat-syarat mendapatkan kewarisan, penggolongan ahli
waris dan bagian masing-masingnya.
Bab III gambaran kompilasi hukum Islam dan undang-undang hukum
perdata tentang kewarisan anak angkat, pengertian anak angkat dalam hukum
perdata dan KHI, dasar hukum pengangkatan anak, hubungan anak angkat dengan
oramg tua angkat,
Bab IV, berisikan tentang filosofis kenapa undang-undang hukum Perdata
memberikan hak harta warisan dan KHI memberikan hak menerima wasiat
wajibah terhadap anak angkat.
18
S. Nasution dan M. Thomas, Penuntun Membuat Thesis, Skripsi, Disertasi, Makalah,
(Bandung: CV. Jemmars, 1995), h. 15
27
Bab V,merupakan bab penutup dari keseluruhan rangkaian penelitian yang
akan menguraikan tentang kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
KEWARISAN DALAM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG HUKUM
PERDATA
28
1. Kewarisan dalam Islam
A. Pengertian Kewarisan
Harta warisan di dalam istilah fara’id dinamakan tirkah (peninggalan)
adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, baik berupa uang
atau materi lainnya yang dibenarkan oleh syariat Islam untuk diwariskan kepada
ahli warisnya.19
Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai
perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli
warisnya yang masih hidup.Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum
Warisan di Indonesia misalnya mendefenisikan, “warisan adalah soal apakah dan
bagaimanakah pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang
masih hidup”.20
Sedangkan kewarisan dalam bahasa Indonesia merupakan rangkaian dari
kata dasar”waris” dengan awalan”ke” dan akhiran “an” secara etimologi berarti
“mendapat warisan” atau pusaka.21
Perkataan waris dalam bahasa Arab adalah miras. Bentuk jamaknya
adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan orang yang meninggal yang
akandibagikan kepada ahli warisnya.
Dalam hukum Islam dikenal adanya ketentuan-ketentuan tentang siapa
19
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), Cet. Ke-1, h.
39 20
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris Edisi Revisi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001),
Cet. Ke-4, h. 4 21
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Jakarta: PN Balai
Pustaka,1982),h. 1148
29
yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan, dan ahli waris yang
tidak berhak menerimanya.Istilah fiqih mawaris, dimaksudkan ilmu fiqih yang
mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang
tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tentunya yang diterimanya.Fiqih
mawaris, disebut juga ilmu faraid bentuk jamak dari kata tunggal faridah artinya
ketentuan-ketentuan bagian ahli waris yang diatur secara rinci di dalam al-
Qur’an.22
Al-Qur’an juga mengatakan bahwa waris dalam bahasa Arab merupakan
mashdar dari warasa seperti dalam QS.al-Naml ayat 16 :
(١١:النمل...))وورثسليمانداود
Artinya: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud…” (QS. An-Naml: 16)
Dalam hal ini ada ungkapan lain :
23فلنبعدوفاتهانتقلاليهمال
Artinya: “Perpindahan harta seseorang kepada orang lain setelah ia meninggal
dunia”.
Dalam istilah sehari-hari, fiqih mawaris disebut dengan hukum warisan
yang sebenarnya merupakan terjemahan bebas dari kata fiqih mawaris.Bedanya,
fiqih mawaris menunjuk identitas hukum waris Islam, sementara hukum warisan
mempunyai konotasi umum, biasa mencakup hukum waris adat atau hukum waris
yang diatur dalam KUHPerdata.
Dalam konteks yang lebih umum warisan berarti perpindahan hak
22
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris Edisi Revisi, …, h. 6 23
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, …, h. 40
30
kebendaan dari orang yang meninggal kepada ahli waris yang masih hidup.24
B. Unsur-unsur kewarisan
Unsur-unsur kewarisan Islam dalam pelaksanaan hukum kewarisan
masyarakat muslim yang mendiami negara republik Indonesia terdiri atas tiga
unsur yang perlu diuraikan, yaitu (1) pewaris, (2) harta warisan, dan (3) ahli
waris.Ketiga unsur tersebut saling berkaitan, dan masing-masing mempunyai
ketentuan tersendiri. Hal ini diuraikan sebagai berikut;
a. Pewaris
Yang dimaksud dengan pewaris yaitu seseorang yang telah meninggal
dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang
masih hidup.25
Seseorang pewaris dapat diwarisi hartanya oleh ahli warisnya apabila si
pewaris tersebut benar-benar telah meninggal dunia.Meninggalnya pewaris
tersebut adakalanya mati secara hukmi yaitu apabila ada suatu vonis dari hakim
yang menyatakan bahwa dia telah meninggal dunia dan adakalanya mati secara
hakiki yaitu ditandai dengan hilangnya nyawa seseorang dari jasadnya, yang mana
hal ini dapat diketahui secara indrawi.
Pewaris di dalam al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 7,11,12,33, dan 176 dapat
diketahui bahwa “pewaris itu terdiri atas orang tua/ayah atau ibu (al-walidain),
dan kerabat (al-aqrabin). Al-walidain dapat diperluas pengertiannya menjadi
kakek atau nenek kalau ayah atau nenek tidak ada.Demikian pula pengertian anak
24
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), Cet. Ke-2, h. 33 25
Amin Husain Nasution, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012), h. 71
31
(al-walad) dapat diperluas menjadi cucu kalau tidak ada anak.Begitu juga
pengertian kerabat (al-aqrabin) adalah semua anggota keluarga yang dapat dan
sah menjadi pewaris, yaitu hubungan nasab dari garis lurus ke atas, ke bawah, dan
garis ke samping.Selain itu, hubungan nikah juga menjadi pewaris, baik istri
maupun suami.26
b. Ahli Waris
Yang dimaksud dengan ahli waris adalah orang-orang yang berhak atas
harta warisan.Yang berhak menjadi ahli waris adalah orang-orang yang
mempunyai hubungan dengan pewaris baik dalam bentuk hubungan kerabat atau
hubungan perkawinan ataupun hubungan memerdekakan budak. Di samping itu
baru menjadi ahli waris apabila terpenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1) Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris.
2) Tidak ada hal-hal yang menghalanginya secara hukum untuk menerima
warisan.
3) Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat.27
c. Harta warisan
Harta warisan adalah harta yang berhak diterima dan dimiliki oleh ahli
waris.Setelah harta yang ditinggalkan oleh pewaris telah dikeluarkan segala biaya
pengurusan mayat dan hutang-hutangnya serta wasiat dan lain-lain sebagainya.
Apabila pewaris meninggalkan hutang atau wasiat maka hutangnyalah
yang wajib terlebih dahulu dibayar, setelah itu baru dikeluarkan wasiatnya, hal ini
didasarkan pemikiran, bahwa hutang adalah suatu kewajiban yang mutlak harus
26
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Indonesia, …, h. 45 27
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Indonesia, …, h. 47
32
dibayar, sedangkan wasiat adalah suatu perbuatan baik yang sebaiknya dilakukan
bila keadaan memungkinkan.28
Setelah hutang dibayarkan maka barulah dikeluarkan wasiat, yaitu
sebanyak 1/3 harta yang ditinggalkannya jika wasiatnya lebih dari 1/3 harta yang
ditinggalkannya, maka yang dikeluarkan hanya 1/3 harta yang ditinggalkan,
kemudian barulah harta peninggalan itu dapat dibagikan kepada ahli waris yang
berhak menerima warisan itu.
C. Sebab-Sebab Terjadinya Warisan
Yang dimaksud dengan sebab-sebab terjadinya kewarisan di sini adalah
hubungan apa yang harus antara pewaris dengan ahli waris sehingga harta
peninggalan pewaris itu dapat beralih kepada ahli waris.
Dalam ketentuan hukum Islam, sebab-sebab untuk dapat terjadinya
warisan ada tiga, yaitu:
1. Hubungan kekerabatan (al-qarabah).
2. Hubungan perkawinan
3. Hubungan karena sebab memerdekakan budak atau hamba sahaya (al-wala).29
Di bawah ini akan penulis uraikan tentang penjelasan dari ketiga sebab-
sebab untuk saling mewarisi.
1. Karena hubungan kekerabatan
ليموأولوالرحامب عضهمأولىبب ع... ضفيكتاباللهإناللهبكلشيء
(57:النفال)
28
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. Ke-3, h.
206-207 29
Abdul Wahid dan Muhammad Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), Cet. Ke-2, h. 5
33
Artinya: “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat), di dalam
kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
(QS. Al-Anfal: 75)
Yang jadi dasar waris mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat,
bukan hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi antara
Muhajirin dan Anshar pada permulaan Islam.
Kekerabatan artinya adanya hubungan nasab antara orang yang mewarisi
dengan orang yang diwarisi disebabkan oleh kelahiran.Kekerabatan merupakan
sebab adanya hak mempusakai yang paling kuat karena kekerabatan merupakan
unsur kausalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan begitu saja.
Apabila seseorang lahir akibat adanya hubungan antara ayah dan ibunya
dalam suatu ikatan perkawinan yang sah maka anak itu mempunyai hubungan
kekerabatan dengan ayahnya yang meninggal dunia, kecuali kalau ayahnya
mengingkari bahwa anak tersebut bukan anaknya dan ini diucapkan dalam suatu
sumpah li’an.
Tetapi apabila ayahnya tidak mengingkari bahwa itu adalah anaknya,
maka anak tersebut dianggap sebagai anaknya, sehingga ia dapat saling mewarisi
karena adanya hubungan kekerabatan.30
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang diwarisi
dengan yang mewarisi, kerabat dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
a. Furu, yaitu anak turun (cabang) dari pewaris.
b. Ushul,yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si pewaris.
c. Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si pewaris melalui garis
30
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, …, h. 45
34
menyamping, seperti saudara, paman bibi, dan anak turunannya tanpa
membeda-bedakan antara laki-laki dan peremuan.31
Untuk lebih jelasnya, maka penulis akan menerangkan satu persatu, yaitu
sebagai berikut:
a. Furu’
Furu’ menurut bahasa adalah cabang.Apabila dihubungkan kepada orang,
maka istilah furu’ itu berarti turunan atau anak, baik laki-laki maupun perempuan,
sebab furu’ atau cabang itu merupakan turunan atau bahagian dari batang (sebagai
asalnya).Jadi yang dimaksud dengan furu’ di sini adalah keturunan atau anak yang
merupakan bahagian dari kekerabatan atau hubungan pertalian darah yang timbul
akibat perkawinan. Dengan lahirnya seorang anak maka akibatnya ia tentunya
mendapatkan warisan dari ibunya, karena adanya kekerabatan dengan ibunya.
Lain halnya dengan bapaknya, seseorang anak bisa saja tidak mendapatkan
warisan dari bapaknya apabila ia lahir dari akibat hubungan ibu dan bapaknya
yang tidak dalam ikatan perkawinan yang sah.
Adapun tentang kewarisan anak ini diambil berdasarkan firman Allah
SWT pada surat an-Nisa’ ayat 11, dimana dalam ayat tersebut didapatkan bahwa
mula-mula Allah SWT menyebutkan kewarisan anak secara umum dengan
memakai kata-kata أولدكم (anak-anakmu), perkataan ini mencakup anak laki-laki
dan anak perempuan.Hal ini diperjelas lagi oleh ayat selanjutnyayang menyatakan
bahwa bahagian anak laki-laki dan bahagian anak perempuan dalam menerima
31
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, …, h. 46
35
ولد
warisan tidak dapat dihijab oleh siapapun di antara ahli waris yang
ada.Perkataandalam ayat tersebut dapat pula berlaku bagi cucu, karena kata-kata
itu mengandung pengertian yang luas, yaitu anak dan keturunan seterusnya
ke bawah.
b. Ushul
Yang dimaksud dengan ushul adalah asal atau pokok yang menyebabkan
adanya orang yang meninggal dunia itu yaitu ayah, ibu, kakek, nenek, dan
seterusnya ke atas.
Ayah dan ibu tetap menjadi ahli waris dan tetap berhak terhadap harta
warisan, sekalipun ada ahli waris lain, hanya saja mungkin bahagian ayah dan ibu
ini berkurang dengan adanya ahli waris yang lain. Seperti 1/3 menjadi 1/6
disebabkan karena si pewaris mempunyai anak.
c. Hawasyi
Yang dimaksud dengan hawasyi adalah keluarga yang hubungannya
dengan si mayit melalui garis menyamping. Ia akan terhijab apabila si pewaris
mempunyai garis kekerabatan dari garis ke bawah dan ke atas. Yang termasuk
dalam golongan ini adalah: saudara perempuan kandung, saudara perempuan
seayah, saudara perempuan seibu, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki
seayah, paman sekandung, paman seayah, anak paman kandung dan anak paman
seayah.32
2. Hubungan Perkawinan
Di antara sebab-sebab untuk dapat berpindahnya harta orang yang
32
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, …, h. 24
ولد
36
meninggal dunia kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan perkawinan
yang sah menurut hukum Islam.
Perkawinan yang sah menyebabkan adanya hubungan hukum yang saling
mewarisi antara suami dan isteri.Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang
syarat dan rukunnya terpenuhi, baik menurut ketentuan hukum agama maupun
ketentuan administrasi sebagai mana yang diatur dalam peraturan yang berlaku.33
Atas dasar itulah, hak suami maupun istri tidak dapat terhijab sama sekali
oleh ahli waris siapa pun. Mereka hanya dapat terhijab (dikurangi bagiannya) oleh
anak turun mereka atau oleh ahli waris yang lain.
Ikatan perkawinan yang menyebabkan seseorang berhak atas bagian dari
harta peninggalan itu harus memenuhi dua syarat yaitu:
a. Akad perkawinan itu sah menurut syari’at baik kedua suami isteri itu telah
berkumpul maupun belum.
b. Ikatan perkawinan antara suami isteri masih berlangsung.34
Berdasarkan kutipan di atas jelas bahwa perkawinan yang dapat saling
mewarisi itu adalah perkawinan yang sah dan perkawinan yang dianggap sah oleh
syari’at, yaitu apabila telah dilaksanakan menurut rukun dan syarat serta terhindar
dari penghalangnya. Amir Syarifuddin, merumuskan bila inti pernikahan itu
adalah akad nikah, maka yang menjadi rukun adalah:
a. Adanya pihak yang melakukan akad, yang dalam hal ini adalah calon suami
dan calon istri (wakilnya).
33
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, …, h. 22-23 34
Mahmud Yunus, Hukum Warisan dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h.
17
37
b. Ucapan ijab kabul dari yang berakad.
c. Perbuatan itu disaksikan oleh dua orang saksi.35
Apabila sewaktu melakukan akad dalam perkawinan telah dihadiri oleh
kedua calon mempelai dan wali dari calon istri serta menghadirkan saksi, namun
akad nikah yang dilaksanakan itu tidak akan sah kalau ada syarat yang belum
dipenuhi dalam perkawinan.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa apabila telah terpenuhi rukun
dan syarat sahnya akad perkawinan itu, maka perkawinan itu adalah perkawinan
yang sah menurut syari’at. Dan sebagai akibat dari perkawinan yang sah akan
menimbulkan hubungan saling mewarisi antara suami istri yang melaksanakan
akad perkawinan tersebut.
3. Hubungan karena sebab memerdekakan budak atau hamba sahaya (al-
wala)
Wala’ merupakan salah satu sebab untuk mendapatkan kewarisan.Adapun
yang dimaksud dengan wala’ ini adalah hubungan yang terjadi karena
memerdekakan budak.Rasulullah SAW mengatakan bahwa al-wala’ ini
merupakan salah satu kerebat yang dibandingkan dengan nasab. Hal ini terdapat
dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim yang berbunyi, sebagai berikut :
قال مر بن اهلل بد ن : اهلل صلى اهلل رسول ليهقال وسلم كلمحة: لمة الولء وليوهب ليباع اىي)النسب ن السن بن حممد ن الشافعى طريق من الكمة رواه
36(ابنحبانوالهالبيهقىيوسفوصححه
35
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, …, h. 28 36
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatu Ahkam, (Surabaya: Al-Hidayah,
[t.th]), h. 197
38
Artinya: “Hadis dari ‘Abdullah bin Umar, ia berkata, telah bersabda Rasulullah
SAW : “wala’ itu suatu kerabat seperti kerabat nasab yang tidak boleh
dijual dan dihibahkan.(HR. Hakim dari jalan Syafi’i dari Muhammad
bin Hasan dari Yusuf dan di sahkan dia oleh Ibnu Hibban, tetapi
dii’lalkan dia oleh Baihaqi).
Hadis di atas menjelaskan bahwa hubungan karena memerdekakan
dipersamakan dengan hubungan karena nasab.Ini berarti bahwa di antara orang
yang memerdekakan dengan orang yang dimerdekakan berlaku hubungan
kewarisan. Hanya saja berlakunya di pihak yang memerdekakan saja, seperti yang
dinyatakan dalam hadis nabi, sebagai berikut :
قالت نها اهلل رضي ئشة ا ن رسو: قال ل وسلم ليه اهلل صلى اهلل الولءملن: انا37(مسلمرواهالبخارىو)اتق
Artinya: “Hadis dari Aisyah semoga Allah meridhainya, ia berkata, Rasulullah
SAW. Telah bersabda: “sesungguhnya wala’ hanya bagi orang yang
memerdekakan saja”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjadi dalil bahwa hubungan waris hanya berlaku sebagai
imbalan atas jasa dalam memerdekakan budak tersebut.Ini telah disepakati oleh
para ulama. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya
Bidayatul Mujtahid, bahwa ulama telah sepakat bahwa seseorang yang telah
memerdekakan budak atas nama dirinya, maka hak wala’nya adalah untuknya.
Dan ia mewarisi bekas hambanya apabila bekas hambanya tidak mempunyai ahli
waris. Dan ia menjadi Ashabah jika terdapat pewaris-pewaris yang tidak sampai
menghabiskan seluruh harta.
Al-wala’ ada dua bentuk yaitu, pertama karena seseorang memerdekakan
hamba sahaya dan yang kedua karena adanya perjanjian tolong menolong.
37
Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulussalam, (Bandung: Al-Ma’arif, [t.th]), h. 141
39
Adapun wala’ yang pertama disebut wala’ al-ataqah atau usubah sababiyah dan
yang kedua disebut wala’ al-muamalah, yaitu wala’yaitu seseorang berjanji
kepada orang lain seseorang tolong menolong dengan yang lain melalui suatu
perjanjian perwalian.38
Untuk masalah wala’ ini sudah tidak ada lagi pada masa sekarang ini
karena perbudakan sudah tidak ada lagi.Hal ini merupakan suatu ciri keberhasilan
ajaran Islam dalam menghapuskan perbudakan di dunia.
D. Penghalang Kewarisan
Sekalipun seluruh unsur dan syarat-syarat serta sebab-sebab untuk
mewarisi kewarisan telah ada, namun proses perpindahan harta pewaris belum
dapat dilaksanakan, disebabkan adanya halangan (mani’), atau karena jauh
dekatnya hubungan (tali) kekerabatan antara pewaris dengan yang mewarisi.
Maka dalam pasal ini penulis akan mengemukakan uraian tentang halangan
kewarisan dan prinsip keutamaan kekerabatan untuk menerima warisan.
“Penghalang mewarisi yang dimaksud disini adalah tindakan atau hal-
hal yang dapat menggugurkan seseorang untuk mempusakai beserta
adanya sebab-akibat dan syarat-syarat mempusakai.”.
Untuk lebih jelasnya penulis akan menerangkan satu persatu.
1. Penghalang Kewarisan
Tentang penghalang kewarisan ini penulis akan mengemukakan pendapat
Abdul Hamid Hakim sebagai berikut :
موانعالرثثلثةمن.١ وهواجنىن السيده لكان لورث لزم الرقيقل فليرث نبني اخلا من نع وهوما الرق
38
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, …, h. 24-25
40
امليتوليورثلنهلملكلهكافراختلفدننيبالسلمو.٢ الكفريفلتوارثبنيمسلمو39القتلوهومانعللقاتلفقطلللمقتولفقديرثقتله.٣
Penghalang kewarisan ada tiga (3) :
1. Budak. Dia menghalangi kewarisan, dari dua segi maka budak tidak
mendapat warisan, seandainya budak mendapat warisan tentu ia akan
memilih tuannya, sedangkan tuannya sebagai orang lain. Dari segi
mayat budak tidak dipusakai karena budak tidak mempunyai milik.
2. Berbeda agama, Islam dengan Kafir. Maka tidaklah saling mewarisi
antara orang Islam dan orang kafir.
3. Membunuh. Membunuh adalah penghalang kewarisan terhadap
pembunuh saja, bukan terhadap yang dibunuh.Maka orang yang dibunuh
boleh mewarisi yang membunuh.
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa yang menjadi penghalang
kewarisan itu ada tiga :
a. Budak
Budak menjadi penghalang kewarisan, karena seorang budak secara
yuridis dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, hak-hak kebendaan
berada pada tuannya. Oleh karena itu, ia tidak bisa menerima warisan dari
tuannya. Lebih dari itu al-Jarjawi mengemukakan bahwa budak itu tidak dapat
mewarisi harta peninggalan tuannya apabila tuannya itu meninggal dunia, karena
budak itu statusnya sebagai harta milik tuannya, sebagai harta tentu tidak bisa
memiliki, tetapi dimiliki, sehingga apapun yang ditinggalkan budak tentunya
semuanya itu milik tuannya. Firman Allah SWT dalam Surat An-Nahl ayat 75
menunjukkan:
لىشيء (٧7:النحل...)وضرباللهمثلرجلينأحدهاأبكملي قدر
39
Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris, …, h. 15
41
Artinya: “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang
dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun … (An-Nahl :
75)
b. Berlainan Agama
Para ulama sepakat bahwa seorang non muslim tidak dapat mewarisi harta
peninggalan seorang muslim, berdasarkan hadist Rasulullah SAW:
قال وسلم ليه اهلل صلى النىب ان زيد بن اسامة ن الكافروليرث: املسلم يرث ل40(متفقليه)الكافراملسلم
Artinya: “Dari Usamah ibn Zaid ra. bahwasanya Nabi SAW bersabda : seorang
muslim tidak mewarisi orangkafir dan orang kafir tidak mewarisi dari
orang Islam” (HR. Muttafaqul ‘Alaihi)
Akan tetapi para ulama berbeda pendapat, apakah seorang muslim dapat
menerima warisan dari kerabatnya yang bukan Islam. Menurut Jumhur Ulama,
seorang muslim tidak menerima warisan dari kerabatnya yang bukan Islam,
berdasarkan hadits yang telah disebutkan di atas, karena perbedaan agama
menyebabkan terpustusnya walayah (kewenangan) antara seorang muslim dengan
non muslim.
Muaz, Muawiyah al-Hasan Ibn al-Hanafiah, Muhammad Abn Ali Ibn al
Husein, Ibn al-Musayyab, Masyruq dan an-Nakha’i menyatakan bahwa seorang
muslim boleh mewarisi peninggalan non muslim. Demikian pula menurut Syi’ah
Imamiyah. Alasan yang mereka kemukakan adalah seorang muslim itu lebih
mulia (lebih tinggi) dari orang non muslim. Oleh karena itu mereka dapat
mewarisi peninggalan kerabatnya yang non muslim. Dan juga berdasarkan analog
40
Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulussalam, …, h. 98
42
atau qiyas kepada bolehnya laki-laki mengawini perempuan ahli kitab.41
Menurut penulis, sekalipun seorang laki-laki muslim dapat mengawini
perempuan ahli kitab, tetapi ini tidak dapat dijadikan sebagai qiyas yang
membenarkan seorang muslim menerima warisan dari non muslim, dengan
menafikan hak non muslim untuk menerima kewarisan dari seorang non muslim,
karena dalam kewarisan berlaku azas bilateral, yaitu masing-masing suami/isteri
saling mewarisi antara satu dengan yang lainnya.
Oleh karena itu alangkah tidak adilnya kalau seorang muslim dapat
mewarisi dari seorang non muslim, sedangkan seorang non muslim tidak dapat
mewarisi dari seorang muslim. Dengan demikian penulis sependapat dengan
pendapat jumhur ulama yang menyatakan, bahwa seorang muslim tidak dapat
menerima warisan dari orang non muslim, demikianlah sebaliknya.
c. Membunuh
Pembunuh terhalang untuk menerima harta warisan dari yang dibunuhnya,
hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW :
قال جده ن ابيه ن ابيه شعيب مروبن ن : اهلل رسول صلىقال وسلم :اهللليه42(الدارقطىننسأرواها)شيئليسللقاتلمناملرياث
Artinya: “Hadits “Dari Umar ibn Syu’ib dari bapaknya, dari kakeknya
Rasulullah SAW bersabda: ‘Pembunuh tidak dapat mewarisi
sesuatupun”.(HR. An-Nasa’i, al-Daraqutni).
Dalam hadits secara nyata dijelaskan bahwa membunuh menjadi mani’
41
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan adat
Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 2008), h. 47 42
Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulussalam, …, h. 43
43
(penghalang) kewarisan. Seandainya orang yang membunuh itu ternyata lebih
dahulu meningal dari orang yang dibunuhnya, maka yang dibunuh ini tetap
mendapat kewarisan dari orang yang akan membunuhnya.
Jumhur ulama sepakat dalam menetapkan pembunuh sebagai penghalang
kewarisan.Hanya fuqaha dari kalangan Khawarij yang mengingkarinya. Hal ini
sebagaimana yang dikatakan oleh Fatchur Rahman yang dikutipnya dari
Abdurrahim, katanya :
“Golongan Khawarij mensinyalir periwayatan dari Ibn Musayyab dan
Ibn al-Jubair yang membolehkan kepada si pembunuh untuk mewarisi
harta orang yang terbunuh.Mereka beralasan bahwa ayat-ayat mawaris
memberikan faedah umum, tidak dikecualikan pembunuh.Oleh
karenanya keumuman ayat tersebut harus diamalkan”.43
Namun demikian, diantara Jumhur Ulama juga terdapat perbedaan
pendapat tentang bentuk pembunuhan yang dilakukan selain pembunuhan ‘amad
(sengaja). Imam Malik mempunyai pendapat yang sama dengan Syi’ah Imamiyah,
bahwa pembunuhan yang hak, seperti karena qishas, untuk mempertahankan diri
atau atas perintah hakim, serta pembunuhan yang tidak disengaja, tidak
menghalangi seseorang untuk menerima warisan dari orang yang dibunuhnya.44
Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa pembunuhan yang
menyebabkan terjadinya qishas, diyat atau kaffarah, termasuk di dalamnya
pembunuhan yang sengaja maupun pembunuhan yang menyerupainya, dan
pembunuhan tersalah, mengakibatkan terhalangnya orang tersebut dari mawarisi
harta peninggalan si pewaris.45
Dan menurut pendapat Syafi’iyah, bahwa
pembunuh dengan segala bentuknya menghalangi seseorang dari mewarisi
43
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Kairo: Dar al-Fikr, 1992), h. 15 44
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, …, h. 16 45
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, …, h. 18
44
peningalan si pewaris yang dibunuhnya.Hanabilah berpendapat, bahwa pembunuh
yang menghalangi hak kewarisan adalah pembunuh tidak dengan hak dalam
segala bentuknya, sedangkan pembunuhan secara hak tidak jadi penghalang,
karena pelakunya terbebas dari sanksi akhirat.46
Menurut Amir Syarifuddin, pembunuhan itu dapat dikelompokkan pada
dua (2) kelompok :
a. Pembunuh secara hak dan tidak melawan hukum, yaitu pembunuhan yang
pelakunya tidak dianggap melakukan kejahatan atau dosa.
b. Penbunuhan secara tidak hak dan melawan hukum, yaitu pembunuhan yang
dilarang: oleh syara’, atau hukum dan terhadap pelakunya dikenakan sanksi
dunia dan akhirat. Pembunuhan inilah yang disebut kejahatan.47
Adapun alasan terhalangnya pembunuh mendapatkan warisan adalah :
1) Pembunuh itu memutuskan hubungan silaturrahmi yang merupakan sebagai
penyebab adanya hubungan kewarisan.
2) Untuk mencegah seseorang yang ditemukan akan mendapat warisan untuk
mempercepat proses berlakunya haknya itu.
3) Pembunuh adalah suatu kejahatan atau maksiat sedangkan hak kewarisan
adalah suatu nikmat yang akan diperoleh. Maksiat tidak boleh dipergunakan
sebagai suatu cara untuk mendapatkan nikmat.48
Alasan di atas diketahui berdasarkan pengetahuan terhadap hikmah,
46
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, …, h. 43 47
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, …, h. 45 48
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan
Praktis), (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), Cet. Ke-1, h. 53-54
45
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ali Al-Jarjawi, bahwa hikmah terhalangnya
si pembunuh untuk mendapatkan warisan itu adalah :
“Pembunuh yang membunuh kerabatnya supaya dapat menerima
warisan, atau sebab lain berarti memutuskan hubungan kekerabatan, …
karena dia menyegerakan sesuatu sebelum waktunya. Oleh karena itu
dihukum dengan tidak mendapat warisan. Ini adalah untuk menakuti
manusia, agar jangan melakukan tindakan pidana itu”
Di samping sebab-sebab di atas, masih ada sebab lain, yaitu mengenai
masalah berlainan negara (walayah). Namun mengenai berlainan negara ini dapat
dikategorikan kepada berlainan agama, sebab berlainan negara yang menjadi
penghalang kewarisan adalah antara ahli waris dan pewaris itu selain berlainan
negara juga tidak sama-sama Islam (berlainan agama). Kalau hanya berlainan
negara saja, sedangkan tidak berlainan agama tidak menjadi penghalang
kewarisan, sebab antara negara yang sama-sama muslim pada hakekatnya adalah
satu, walaupun kedaulatan dan wilayahnya berbeda, dimana masing-masing
mereka itu menurut pandangan Islam adalah terikat oleh suatu persaudaraan yaitu
ukhuwah islmaiyah.
2. Hijab
Hukum kewarisan Islam mengakui adanya azas keutamaan, antara ahli
waris yang sekalipun ia telah dinyatakan sebagai ahli waris belum tentu ia
mendapat warisan, baik bahagiannya berkurang atau tidak mendapat sama sekali,
hal ini disebabkan karena adanya ahli waris yang jaraknya lebih dekat kepada
pewaris. Orang yang lebih dekat hubungan kekerabatannya kepada pewaris lebih
diutamakan bahagiannya untuk mendapatkan warisan. Sehingga dia bisa
menghalangi ahli waris yang lain. Hal ini dalam kewarisan Islam dikenal dengan
46
istilah hijab.
Berdasarkan kutipan di atas jelaslah bahwa hijab terbagi 2 (dua) yaitu:
a. Hijabnugsan (halangan yang mengurangi kewarisan)
Yaitu hijab/dinding yang hanya mengurangi bahagian ahli waris karena
ada ahli waris yang lain yang lebih dekat bersama-sama dengan dia. Umpamanya
ibu mendapat 1/3 bahagian, tetapi apabila ada anak ibu mendapat 1/6.
b. Hijab hirman (halangan yang menghilangkan kewarisan)
Yaitu hijab/dinding yang menghalangi untuk mendapat warisan, karena
ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan pewaris, umpamanya cucu
laki-laki tidak mendapat warisan selama ada anak laki-laki.
E. Syarat-Syarat Mendapatkan Kewarisan
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan.Syarat-
syarat tersebut mengikuti rukun, dan sebagian berdiri sendiri. Adapun rukun
pembagian warisan ada tiga, yaitu:49
1. Al-Muwarris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya, atau orang yang
mewariskan hartanya. Syaratnya, al-muwarris benar-benar telah meninggal
dunia, apakah meninggal secara hakiki, secara yuridis (hukmi) atau secara
taqdiri berdasarkan perkiraan.
a. Mati hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui
pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia.
b. Mati hukmi, adalah kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui
49
Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris, …, h. 17
47
keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi seperti
dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang (al-mafqud) tanpa diketahui
dimana dan bagaimana keadaannya. Setelah dilakukan upaya-upaya tertentu,
melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal dunia. Sebagai
suatu keputusan hakim maka ia mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan
karena itu mengikat.
c. Mati taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwaseseorang telah meninggal
dunia. Misalnya, seseorang yang diketahui ikut berperang ke medan perang,
atau tujuan lain secara lahiriah diduga dapat mengancam keselamatan dirinya.
Setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui kabar beritanya, dan patut
diduga secara kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat
dinyatakan telah meninggal.
2. Al-Waris atau ahli waris, ahli waris adalah orang yang dinyatakan mempunyai
hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab
perkawinan (semenda), atau karena akibat memerdekakan hamba sahaya.
Syaratnya, pada saat meninggalnya al-muwarris, ahli waris benar-benar dalam
keadaan hidup. Termasuk dalam pengertian ini adalah, bayi yang masih berada
dalam kandungan (al-haml). Meskipun masih berupa janin, apabila dapat
dipastikan hidup, melalui gerakan (konkraksi) atau cara lainnya, maka bagi
janin tersebut berhak mendapatkan warisan. Untuk itu perlu diketahui batasan
yang tegas mengenai batasan paling sedikit (batas minimal) dan atau paling
lama (batas maksimal) usia kandungan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui
kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan.
48
Ada syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu bahwa di antara al-muwarris dan
al-maris tidak ada halangan untuk saling mewarisi.
3. Al-Maurus atau al miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi
biaya perawatan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat.
Persoalannya adalah, bagaimana jika si mati meninggalkan utang yang
besarnya melebihi nilai harta peninggalannya. Apakah ahli waris bertanggung
jawab melunasinya sebesar hak-hak warisnya secara proporsional, hal ini akan
diuraikan pada bahasan tentang hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum harta
warisan dibagi kepada ahli waris.
F. Penggolongan Ahli Waris dan bahagian Masing-masingnya
1. Penggolongan Ahli Waris
Selanjutnya penulis akan mengemukakan siapa-siapa orang yang berhak
mendapatkan warisan menurut golongan-golongannya.
Pada prinsipnya laki-laki dan perempuan berhak atas harta warisan yang
ditingalkan oleh orang tua atau kerabatnya.Prinsip ini terdapat dalam Firman
Allah SWT dalam Surat An-Nisa’ ayat 7 yang bunyinya adalah:
ات ركالوالدا هأوكث رنصيبامفرللرجالنصيبمم اق لمن ربونم ات ركالوالدانوالق ربون وللنساءنصيبمم نوالق (٧:النساء)وضا
Artinya:“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan” (QS. An-Nisa’: 7)
Orang-orang yang berhak mendapatkan warisan tersebut dapat digolongkan
49
pada tiga (3) golongan, yaitu:50
a. Ashabul Furud, yaitu: ahli waris yang menerima bahagian yang telah
ditentukan.
b. Ashabah, yaitu: ahli waris yang menerima bahagian yang tidak ditentukan.
c. Dzawil, yaitu: ahli waris yang tidak termasuk ke dalam kelompok ashabul
furudh dan juga tidak termasuk dalam kelompok ashabah.
Untuk itu penulis akan menguraikan satu-persatu agar lebih jelas
gambaran masing-masingnya.
a. Ashabul Furud
Yang dimaksud dengan furudh adalah ahli waris yang mendapatkan
bahagian yangtelah ditentukan dalam menerima harta peninggalan (harta warisan.
Untuk lebih jelasnya siapa-siapa-siapa yang termasuk ke dalam golongan
ashabul furudh ini maka penulis akan mengemukakan penjelasan yang
berdasarkan pada Firman Allah Surat An-Nisa’ ayat 11 dan 12.
واحدةف لهيوصيكماللهفيأولدكمللذكرمث لحظالن ث ي ينفإنكننساءف وقاث نت ينفلهنث لثامات ركوإنكان ت ه هالث لث فإناالنصفولب ويهلكلواحدمن لهولدوورث هأب واهفلم ات ركإنكان لهولدفإن لميكن م دس ماالس
نب عدوصيةيوصيبهاأودينءاباؤكموأب ناؤكملتدرونأي هم دس هالس رب لكمن فكان لهإخوةفلم عافريأق (١١:النساء)ضةمناللهإناللهكان عليماحكيما
ات ركنمنب ع ولدف لكمالرب عمم ولدفإنكان لهن لهن دوصيةيوصينبهاولكمنصفمات ركأزواجكمإن لميكن ات ات ركتممنب عدوصيةتوصونبهاأودينولنالرب عمم لكمولدفإنكان لكمولدف لهنالثمنمم ركتمإن لميكن
دسفإنكانواأ هماالس نذلكفهمشكث رمأودينوإنكان رجليورثكللةأوامرأةولأخأوأخت فلكلواحدمن رمضاروصيةمناللهواللهعليمحليم (١2:النساء)ركاءفيالث لثمنب عدوصيةيوصىبهاأودينغي
50
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), cet-
ke-1, h. 29
50
Artinya : 11. “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu.yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bahagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.Ini
adalah ketetapan dari Allah.Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12. “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-
isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) setelah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu
tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, maka para
isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka
bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya
dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris) (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”
(QS. An-Nisa’: 11-12)
Dari ayat di atas Sayid Sabiq mengemukakan bahwa yang termasuk ke
dalam ashabul furudh itu adalah :
أى فرض لم الذين هم الفروض وهوأصحاب لم املعينة الستة وض الفر من :نصيب
51
٢/١,٤/١,١/١,٣/٢,٣/١,١/١ إثناشر الفروض وأصحاب كوروهم: منالذ أربعة وإن: الصحيح واجلد والختالب والبنت الزوجة وهن ناث اإل من ومثان لى
51الشقيقةوالختلبوالختأموبنتاإلبنوالمواجلدةالصحيحةوإنلت
Artinya: “Ashabul Furud adalah yang mendapatkan bahagian tertentu dari
bahagian yang enam yang telah ditentukan untuk mereka yaitu :” 1/2 .
¼, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6.Ashabul furudh ini ada 12 orang, yaitu empat
laki-laki masing-masing adalah, bapak, kakek yang shaleh
danseterusnya ke atas, saudara laki-lakiibu dan suami. Delapan orang
perempuan yaitu isteri, anak perempuan, saudara perempuan
kandung, saudara perempuan sebapak, saudara perempuan seibu,
anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan), ibu dan nenek
yang sholeh dan seterusnya ke atas”
Dari ayat dan kutipan pendapat Sayyid Saabiq di atas dapat dipahami
bahwa yang termasuk ke dalam golongan ashabul furudh adalah sebagai berikut:
1) Anak Perempuan.
2) Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan).
3) Ibu.
4) Bapak.
5) Nenek.
6) Kakek.
7) Saudara perempuan kandung.
8) Saudara perempuan sebapak.
9) Saudara perempuan seibu.
10) Suami.
11) Isteri.
Jadi dari penjelasan di atas dipahami bahwa pada umumnya ahli waris
51
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, …, h. 29
52
ashabul furudh adalah perempuan sementara ahli waris laki-laki yang menerima
bahagian tertentu adalah bapak, atau kakek dan suami selain itu menerima
bahagian sisa (ashabah).
b. Ashabah
Ashabah adalah ahli waris menerima bahagian sisa yang bahagiannya
tidak ditentukan, terkadang ia menerima bahagian yang banyak (seluruh harta
warisan), terkadang menerima sedikit, bahkan terkadang tidak menerima bahagian
sama sekali, karena habis diambil ahli waris ashabul furudh.
Didalam pembagian sisa harta warisan, ahli waris yang terdekatlah yang
lebih dahulu menerimanya. Konsekuensi dari pembagian ini adalah bahwa ahli
waris yang peringkat kerabatnya di bawahnya tidak mendapat bahagian.
Adapun macam-macam ahli waris ashabah ini ada tiga macam, yaitu :
1) Ashabah bi nafsihi
Ashabah bi Nafsihi adalah ahli waris yang kedudukan dirinya sendiri
berhak menerima bahagian ashabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki,
kecuali u’tiqah (perempuan yang memerdekakan hamba sahaya) dan ahli waris ini
terdiridari 13 orang, yaitu sebagai berikut :
a) Anak laki-laki.
b) Cucu laki-laki dari garis laki-laki.
c) Bapak jika si mayit tidak meninggalkan anak.
d) Bapak dari bapak (kakek).
e) Saudara laki-laki sekandung.
f) Saudara laki-laki sebapak.
53
g) Anak saudara laki-laki sekandung.
h) Anak saudara laki-laki sebapak.
i) Paman kandung.
j) Paman sebapak.
k) Anak dari paman kandung.
l) Anak dari sebapak.
m) Penghulu yang memerdekakan.52
Ahli waris golongan ashabah ini kalau dia sendiri (tidak bersama ashabul
furudh) maka dia mewaris keseluruhan harta warisan.Jika ahli waris ashabah ini
bersama ahli waris ashabul furudh maka baginya sisa harta yang sudah dibagikan
kepada ashabul furudh.Seandainya harta warisan setelah dibagi-bagikan kepada
ashabul furudh tidak ada sisanya maka ashabah tidak mendapatkan bahagian
warisan.
2) Ashabah bi ghairi
Ashabah bi ghairi adalah ahli waris perempuan yangmenjadi ashabah
karena adanya ahli waris laki-laki yang sederajat dengannya, kalau ahli waris laki-
laki itutidak ada maka ia tidak menjadi ashabah. Yang termasuk ashabah bi
ghairi ini adalah :
a) Anak perempuan beserta anak laki-laki.
b) Cucu perempuan beserta cucu laki-laki.
c) Saudara perempuan kandung beserta saudara laki-laki kandung.
d) Saudara perempuan seayah beserta saudara laki-laki seayah.
52
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan
Praktis), …, h. 96
54
3) Ashabah ma’al ghairi
Ashabal ma’al ghairi ialah ahli waris yang menerima bahagian ashabah
karena bersama ahli waris lain yang bukan penerima bahagian ashabah. Apabila
ahli waris lain tidak ada maka ia menerima bahagian tertentu. Ashabah ma’al
ghairi itu adalah :
a) Saudari kandung bersama dengan anak perempuan atau cucu
b) Saudari tunggal ayah bersama anak atau cucu perempuan seayah53
.
Saudari kandung dan saudari tunggal ayah ini menjadi ashabahma’al
ghairi bila mereka tidak mempunyai saudara laki-laki.Apabila mereka
mempunyai saudara laki-laki maka kedudukannya menjadi ashabah bi ghairi.
c. Dzawil Arham
Yang dimaksud dengan dzawil arham adalah ahli waris yangtidak
termasuk kelompok ashabul furudh dan ashabah. Menurut Amir Syarifuddin
golongan yang termasuk dzawil arham ini adalah sebagai berikut :
1) Kerabat dalam garus ke bawah, yaitu semua keturunan laki-laki maupun
perempuan yang dalam hubungannya kepada pewaris melalui perempuan.
2) Kerabat garis ke atas yang diantaranya dengan pewaris dihubungkan oleh
perempuan.
3) Kerabat garis ke samping pertama yaitu: anak dari saudara perempuan, anak
perempuan dari saudara laki-laki, anak dari saudara seibu.
4) Kerabat garis ke samping kedua, yaitu: saudara dari ayah, saudara perempuan
dari ayah kandung, anak perempuan dari paman serta keturunannya, saudara
53
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan
Praktis), …, h. 97
55
dari ibu dalam segala bentuknya.
5) Kerabat garis ke samping ketiga, yaitu: saudara kakek atau nenek sebagaimana
yangberlaku pada ayah atau ibu.54
Jika diperhatikan golongan ahli waris ini nampaklah bahwa ahli waris
dzawil arham inilah yang paling banyak tetapi mereka jarang mendapat
kesempatan untuk menerima warisan karena ada ahli waris yang lebih dekat
hubungannya kepada pewaris, yaitu golongan ashabul furudh dan ashabah.
Adapun dasar hukum dari pewarisan dzawil arham ini adalah Firman Allah
SWT dalam Surat Al-Anfal ayat 75 yang berbunyi :
يكتاباللوالذينءامنوامنب عدوهاجرواوجاهدوامعكمفأولئكمنكموأولوالرحامب عضهمأولىبب عضفليم (٧7:النفال)هإناللهبكلشيء
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta
berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu
(juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan
kerabat)di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa dzawil arham itu adalah
kekerabatan yang timbul karena hubungan rahim antara pewaris dengan ahli
waris, sedangkan orang yang berhubungan rahim sebahagiannya lebih dekat dari
pada yang lainnya dalam kitab Allah SWT.
2. Bahagian Masing-masingnya
Sebagaimana yang telah penulis uraikan bahwa ahli waris yang telah
ditentukan bahagainnya itu adalah ahli waris ashabul furudh. Maka untuk itu
54
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, …, h. 21
56
dalam bahasan ini yang akan dijelaskan adalah bahagian-bahagian yang diterima
oleh ahli waris ashabul furudh tersebut.
Untuk lebih jelasnya tentang berapa bahagiannya masing-masing, maka
penulis akan uraikan hal tersebut sebagaimana yang telah dikemukakan oleh
Ahmad Rafiq, yaitu :
a. Anak perempuan, berhak menerima bahagian :
1/2 jika sendirian tidak bersama anak laki-laki
1/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama anak laki-laki.
b. Cucu perempuan garis laki-laki, berhak menerima :
½ Jika sendirian, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak mahjub (terhalang)
2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak mahjub.
1/6 sebagai pelengkap 1/3 jika bersama seorang anak perempuan, tidak ada
cucu laki-laki dan tidak mahjub.Jika anak perempuan dua orang atau lebih
tidak mendapat bahagian.
c. Ibu berhak menerima bahagian :”
1/3 Jika tidak ada anak atau cucu (far’u waris) atau saudara dua orang atau
lebih.
1/6 Jika ada far’u waris atau bersama dua orang saudara atau lebih.
1/3 x sisa,dalam masalah garrawain, yaitu apabila ahli waris terdiri dari
suami/isteri, ibu dan bapak.
d. Bapak, berhak menerima bahagian :
1/6 Jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki
1/6 sisajika bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki
57
Jika bapak bersama ibu :
1) Masing-masing 1/6 jika ada, cucu atau saudara dua orang atau lebih.
2) Untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu atau saudara
dua orang atau lebih.
e. Nenek, jika tidak mahjub berhak menerima bahagian :
1/6 jika seorang
1`/6 dibagi rata, apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya
f. Kakek, jika tidak mahjub berhak menerima bahagian :
1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki
1/6 jika bersama anak atau cucu perempuan tanpa ada anak laki-laki
1/6 atau muqassamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah,
setelah diambil untuk ahli waris lain.
1/3 atau muqassamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada
ahli waris lain.
g. Saudara perempuan sekandung., jika tidak mahjub berhak menerima bahagian:
½ jika seorang, dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung
2/3 dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung
h. Saudara perempuan seayah, jika bersama saudara laki-laki seayah
½ seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki seayah
2/3 dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah
1/6 jika bersama saudara perempuan sekandung seorang, sebagai pelengkap
2/3.
i. Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan kedudukannya sama.
58
Apabila tidak mahjub, saudara seibu berhak menerima bahagian
1/6 jika seorang diri
1/3 dua orang atau lebih
Bergabung menerima 1/3 dengan saudara sekandung, ketika bersama-sama
dengan ahli waris suami dan ibu (musyarakah)
j. Suami berhak menerima bahagian
½ jika tidak mempunyai anak atau cucu
¼ jika bersama dengan anak atau cucu
k. Isteri, berhak menerima bahagian :
¼ jika tidak mempunyai anak atau cucu
1/8 jika bersama anak atau cucu.55
2. Kewarisan Hukum Perdata
A. Pengertian dan Unsur-Unsur Kewarisan
Sedangkan menurut hukum waris Perdata adalah hukum waris yang
dimuat dalam Burgelijik Wetboek (selanjutnya disebut BW) adalah kumpulan
peraturan yang mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai
pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan
ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka
dengan pihak ketiga.
Kekayaan dalam pengertian waris di atas adalah sejumlah harta kekayaan
yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan
pasiva. Namun, pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada
55
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, …, h. 55-57
59
ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi karena adanya kematian.56
Pada dasarnya pewaris merupakan proses perpindanya harta peninggalan
dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Akan tetapi proses
perpindahan tersebut tidak dapat terlaksanakan apabila unsur-unsurnya tidak
lengkap. Menurut hukum Perdata Barat terdapat tiga unsur warisan, yakni :
1. Orang yang meninggalkan harta warisan, disebut : Erflater.
2. Harta warisan, disebut : Erfenis.
3. Ahli waris, disebut : Erfgenaam.
Apabila seseorang meninggal dunia, maka segala hak dan kewajibannya
turun/pindah/beralih kepada ahli warisnya. Adapun yang akan beralih kepada ahli
warisnya tadi bukan hanya meliputi hak dan kewajiban saja, akan tetapi juga
meliputi barang-barang yang berwujud. Sedangkan yang berhak menerima
peralihan tadi adalah ahli warisnya, seperti : suami, isteri, anak ataupun orang lain
yang ditunjuk.57
Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak semua ahli waris
secara otomatis mewarisi segalah sesuatu yang dimiliki/ditinggalkan oleh si
pewaris. Sebab menurut sistem hukum perdata Barat (BW) yang menjadi objek
pewaris itu bukan hanya kekayaan dari si pewaris, akan tetapi juga segala hutang
dari si pewaris tersebut.
B. Harta Warisan Dalam Sistem Hukum Waris Eropa
Harta warisan dalam sistem hukum waris Eropa atau sistem hukum
56
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Indonesia,...., h. 81
57Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991) cet, ke-
1, h. 15
60
perdata yang bersumber pada BW meliputi seluruh harta benda beserta hak dan
kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai
dengan uang. Namun ketentuan tersebut ada beberapa pengcualian, yaitu hak dan
kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang tidak dapat beralih kepada
ahli waris antara lain :
1. Hak untuk memungut hasil (vruchtgebruik)
2. Perjanjian perburuan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi;
3. Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatcschap menurut
BW, sebab perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah seorang
anggota atau persero.
Pengecualian lain, yaitu ada beberapa hal yang terletak dalam lapangan
hukum keluarga, tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik hak, yaitu :
a. Hak seorang ayah untuk menyangkal sehnya seorang anak ;
b. Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak sah dari
ayah atau ibunya.
Sistem hukum waris BW tidak mengenal harta asal dan harta perkawinan atau
harta gono-gini. Sebab, harta warisan dalam BW dari siapa pun juga merupakan
“kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari
tangan si peninggal harta warisan atau pewaris kepada seluruh ahli warisnya. Hal
ini berarti dalam sistem pembagian harta warisan dalam BW tidak dikenal
perbedaan pengaturan atas dasar asal usul harta yang ditinggalkan oleh pewaris
seperti yang diungkapkan dalam Pasal 849 BW, “Undang-undang tidak
memandang akan sifat atau asal dari barang-barang dalam sesuatu harta
61
peninggalan untuk mengatur pewaris terhadapnya”.
C. PEWARIS DAN DASAR HUKUMNYA
pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki atau
perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang
diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya,
baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat.
Dasar hukum bagi ahli waris untuk mewarisi sejumlah harta pewaris
menurut sistem hukum BW adalah sebagai berikut.
a. Menurut ketentuan Undang-undang.
b. Ditunjuk dalam surat wasiat.
Dasar hukum tersebut menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan
hukum bagi harta seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan
dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-undang berprinsip
bahwa seseorang bebas menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya
setelah ia meninggal dunia. Namun, bila orang yang dimaksud tidak menentukan
sendiri ketika ia masih hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta
kekayaannya, dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan
perihal pengaturan harta yang ditinggalkan oleh seseorang dimaksud.
Di samping itu, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
bagi seseorang yang akan menjadi ahli waris terhadap seseorang yang meninggal
dunia adalah surat warisan. Surat warisan atau testamen adalah suatu pernyataan
dari seseorang tentang apa yang di kehendaki setelah ia meninggal dunia. Sifat
62
utama surat warisan adalah mempunyai kekuatan berlaku sesudah pembuat surat
wasiat meninggal dunia. Sifat utama surat wasiat adalah mempunyai kekuatan
berlaku sesudah pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat di tarik
kembali. Selams pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat masih dapat di
ubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat wasiat meninggal dunia maka surat
wasiat tidak dapat diubah, dicabut dan ditarik kembali oleh siapa pun termasuk
yang menjadi ahli waris.
Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruh hartanya dengan surat
wasiat, maka sisanya merupakan bagian ahli waris berdasarkan undang-undang
(ahli waris ab intestato). Jadi, pemberian seseorang calon pewaris berdasarkan
surat warisan tidak bermaksud untuk menghapuskan hak untuk mewaris secara ab
intestato.
D. AHLI WARIS SISTEM BW DAN PORSI BAGIANNYA
1. Ahli waris menurut undang-undang
Peraturan perundang-undangan di dalam BW telah menetapkan keluarga
yang berhak menjadi ahli waris, serta porsi pembagian harta warisannya, bagian
harta warisan untuk anak yang lahir di luar perkawinan antara lain diatur sebagai
berikut.
a. 1/3 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar pernikahan menjadi
ahli waris bersama-sama dengan anak yang sah serta janda atau duda yang
hidup paling lama.
63
b. 1/2 dari bagian anak yang sah, apabila anak yang lahir di luar pernikahan
menjadi ahli waris bersama-sama dengan ahli waris golongan kedua dan
golongan ketiga.
c. 3/4 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan menjadi
ahli waris bersama-sama dengan ahli waris golongan keempat, yaitu sanak
keluarga pewaris sampai derajat keenam.
d. 1/2 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir diluar perkawinan menjadi
ahli waris bersama-sama dengan kakek atau nenek pewaris, setelah terjadi
kloving. Jadi dalam hal demikian, bagian anak yang lahir diluar pernikahan
bukan 3/4 , sebab untuk ahli waris golongan keempat ini sebelum harta
warisan dibagi, terlebih dahulu dibagi dua/kloving sehingga anak yang lahir
di luar nikah akan memperoleh 1/4 dari bagian anak sah dari separuh harta
warisan dari garis ayah dan 1/4 dari bagian harta warisan anak sah dari garis
ibu sehingga menjadi 1/2 bagian. Namun, bila pewaris sama sekali tidak
meninggalkan ahli waris sampai derajat keenam, sedangkan yang ada hanya
anak yang lahir diluar nikah maka anak di luar nikah mendapat harta
peninggalan seluruhnya atau harta itu jatuh pada tangan anak yang lahir di
luar pernikahan, sebagai ahli waris satu-satunya. Lain halnya anak yang lahir
dari perbuatan zina dan anak yang lahir dari orang tua yang tidak boleh
menikah karena keduanya sangat erat hubungan kekerabatannya, menurut
BW sama sekali tidak berhak atas harta warisan dari orang tuanya, anak-anak
tersebut hanya berhak memperoleh bagian sekadar nafkah untuk hidup
seperlunya.
64
Ahli waris menurut peraturan perundang-undangan, yaitu isteri atau suami
yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris
menurut peraturan undang-undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan
hubungan darah terdapat empat golongan sebagai berikut.
a. Golongan Pertama
Golongan pertama adalah keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi
anak-anak beserta keturunannya serta suami dan atau istri yang ditinggalkan/
yang hidup paling lama.Suami atau isteri yang hidup paling lama ini diakui
sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami/isteri tidak
saling mewarisi. Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam
garis lurus kebawah, yaitu anak-anak beserta keturunannya, janda dan/atau duda
yang ditinggalkan/ yang hidup paling lama, masing-masing memperoleh satu
bagian yang sama. Oleh karena itu, bila terdapat empat orang anak dan janda
maka mereka masing-masing mendapat hak 1/5 bagian dari harta warisan.
Apabila salah seorang anak telah meninggal dunia lebih dahulu dari
pewaris tetapi mempunyai lima orang anak, yaitu cucu-cucu pewaris, maka
bagian anak yang seperlima dibagi diantara anak-anaknya yang menggantikan
kedudukan ayahnya yang telah meninggal (dalam sistem hukum waris BW
disebut plaatsvervulling dan dalam sistem hukum waris islam disebut ahli waris
pengganti dan dalam hukum waris adat disebut ahli waris pasambei) sehingga
masing-masing cucu memperoleh 1/25 bagian. Lain halnya jika seorang ayah
meninggal dan meningglkan ahli waris yang terdiri atas seorang anak dan tiga
65
orang cucu, maka hak cucu terhalang dari anak (anak menutup anak nya untuk
menjadi ahli waris).
b. Golongan Kedua
Golongan kedua adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang
tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunannya. Bagi
orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bshwa bagian mereka tidak akan
kurang 1/4 bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka menjadi ahli waris
bersama saudara pewaris. Oleh karena itu,bila terdapat tiga orang saudara yang
menjadi ahli waris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu
masing-masing akan memperoleh 1/4 bagian dari seluruh harta warisan;
sedangkan separuh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara
yang masing-masing memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang
sudah meninggal dunia maka yang hidup paling lama akan memperoleh sebagai
berikut.
(1) 1/2 (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia menjadi ahli waris
bersama dengan seorang saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan, sama
saja.
(2) 1/3 (sepertiga) bagian dari seluruh harta warisan, bila ia menjadi ahli waris
bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris.
(3) 1/4 (seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, bila ia menjadi ahli waris
bersama-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu semuanya sedah meninggal dunia, maka harta
peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara pewaris, sebagai ahli waris golongan
66
kedua yang masih ada. Namun, bila diantara saudara-saudara yang masih ada itu
ternyata hanya ada saudara seayah atau seibu saja dengan pewaris maka harta
warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu adalah diperuntukkan bagi
saudara seibu.
c. Golongan ketiga
Golongan ketiga adalah ahli waris yang meliputi kakek, nenek dan leluhur
selanjutnya ke atas dari pewaris. Ahli waris golongan ketiga terdiri atas keluarga
dari garis lurus ke atas setelah ayah dan ibu, yaitu kakek dan nenek serta terus
keatas tanpa batas dari pewaris.Hal dimaksud, menjadi ahli waris. Oleh karena itu,
bila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama dan
kedua. Dalam kondisi seperti ini sebelum harta warisan dibagi, terlebih dahulu
harus dibagi dua (kloving), selanjutnya separuh yang satu merupakan bagian
sanak keluarga dari garis ayah pewaris, dan bagian yang separuhnya lagi
merupakan bagian sanak keluarga dari garis ibu pewaris. Bagian yang masing-
masing separuh hasil kloving itu harus diberikan pada kakek pewaris untuk bagian
dari garis ayah; sedangkan untuk bagian dari garis ibu harus diberikan kepada
nenek.
d. Ahli waris golongan keempat
Ahli waris golongan keempat meliputi anggota keluarga dalam garis
kesamping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.Hal dimaksud,
terdiri atas keluarga garis samping, yaitu paman dan bibi serta keturunannya, baik
dari garis pihak ayah maupun garis pihak ibu.Keturunan paman dan bibi sampai
67
derajat keenam di hitung dari si mayit atau yang meninggal (pewaris), dan
saudara kakek dan nenek beserta keturunannya sampai derajat keenam dihitung
dari si mayit (yang meninggal). Apabila bagian dari garis ibu sama sekali tidak
ada ahli waris sampai derajat keenam maka bagian dari garis ibu jatuh kepada
para ahli waris dari garis ayah. Demikian pula sebaliknya.
Cara pembagian harta warisan golongan keempat sama dengan ahli waris
golongan ketiga, yaitu harta warisan dibagi dua, satu bagian untuk paman dan
bibi serta keturunannya dari garis ayah dan satu bagian lagi untuk paman dan bibi
serta keturunannya dari garis ibu.
2. Ahli Waris Karena Wasiat
Menurut pasal 874 s.d pasal 894, pasal 913 s.d pasal 929 dan pasal 930 s.d
pasal 1022 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut
KUHPerdata) mengatur tentang seseorang, dua orang dan/atau beberapa orang
untuk menjadi ahli waris berdasarkan wasiat.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak
membedakan antara ahli waris laki-laki dan perempuan, tidak juga membedakan
urutan kelahiran, hanya ada keturunan bahwa ahli waris golongan pertama jika
masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke
atas dan ke samping sehingga tampak anggota keluarga yang lebih dekat menutup
haknya anggota keluarga yang lebih jauh. Lain halnya seseorang yang mendapat
harta warisan melalui surat wasiat atau testamen, jumlahnya tidak tentu karena
orang yang memperoleh harta semacam ini tergantung dari kehendak pemberi
wasiat. Suatu surat wasiat biasanya berisi penunjukan seorang atau beberapa
68
orang ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian harta warisan. Akan
tetapi, juga seperti ahli waris menurut peraturan perundang-undangan atau ab
intestato, ahli waris menurut surat wasiat atau ahli waris testamenter akan
memperoleh segala hak dan segala kewajiban dari si pewaris.
Ahli waris yang memperoleh bagian mutlak dimaksud, atau legitime portie
(dalam hukum waris Islam disebut dzawul furud) ini termasuk ahli waris menurut
undang-undang, mereka adalah para ahli waris dalam garis lurus ke atas dan garis
lurus kebawah yang memperoleh bagian tertentu dari harta peninggalan dan
bagian itu tidak dapat dihapuskan oleh si pewaris. Berkaitan hal dimaksud, R.
Subekti, mengemukakan bahwa peraturan mengenai legitime portie oleh undang-
undang dipandang sebagai pembatasan kemerdekaan seseorang untuk membuat
wasiat atau testamen menurut kehendak hatinya sendiri.
Berdasarkan hal diatas, seseorang yang akan menerima sejumlah harta
warisan terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
(a) Harus ada orang yang meninggal dunia. Hal ini didasari oleh pasal 830 BW
(dalam hukum kewarisan Islam disebut asas akibat kematian).
(b) Ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia.
Ketentuan ini tidak berarti mengurangi pasal 2 BW.
(c) Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak menjadi ahli waris, dalam
pengertian ia tidak dinyatakan oleh undang-undang sebagai seseorang yang
tidak patut menjadi ahli waris karena adanya kematian seseorang, atau tidak
dianggap sebagai tidak cakap untuk menjadi ahli waris.
69
Sesudah terpenuhi persyaratan diatas, para ahli waris mempunyai
kelonggaran oleh undang-undang untuk selanjutnya menentukan sikap terhadap
suatu harta warisan, ahli waris diberi hak untuk memikir selama empat bulan
setelah itu iya harus menyatakan sikapnya apakah menerima atau menolak harta
warisan atau mungkin saja ia menerima warisan dengan syarat yang dinamakan
menerima warisan secara beneficiair yang merupakan suatu jalan tenggah antara
menerima dan menolak harta warisan.
Selama ahli waris menggunakan haknya untuk berpikir dalam menentukan
sikapnya, ia tidak dapat dipaksa untuk memenuhi kewajiban sebagai ahli waris
sampai jangka waktu itu berakhir atau selama empat bulan. Sesudah tenggang
waktu menurut undang-undang berakhir maka seorang ahli waris dapat memilih
antara tiga kemungkinan sebagai berikut.
1. Menerima harta warisan secara penuh
Ahli waris yang menerima harta warisan secara penuh, baik secara diam-
diam maupun secara tegas bertanggung jawab sepenuhnya atas segala kewajiban
yang melekat pada harta warisan.Artinya, ahli waris harus menanggung segala
macam utang-utang pewaris. Penerimaan harta warisan secara penuh yang
dilakukan dengan tegas, yaitu melalui akta autentik atau akta dibawah tangan,
sedangkan penerimaan secara penuh yang dilakukan dengan diam-diam, biasanya
dengan cara melakukan tindakan tertentu yang menggambarkan adanya
penerimaan secara penuh.
2. Menerima warisan bersyarat
70
Menerima warisan bersyarat adalah menerima harta warisan dengan
ketentuan bahwa ia tidak akan diwajibkan membayar utang-utang pewaris yang
melebihi bagiannya dalam warisan itu atau disebut dengan istilah menerima
warisan secara beneficair. Akibat menerima warisan secara beneficair. Akibat
menerima warisan secara beneficair adalah sebagai berikut :
(1) Seluruh harta warisan terpisah dari harta kekayaan pribadi ahli waris;
(2) Ahli waris tidak perlu menanggung pembayaran utang-utang pewaris dengan
kekayaannya sendiri karena pelunasan utang-utang pewaris hanya dilakukan
menurut kekuatan harta warisan yang ada;
(3) Tidak terjadi percampuran harta kekayaan antara harta kekayaan ahli waris
dengan harta warisan yang diterimanya;
(4) Apabila utang-utang pewaris telah dilunasi semunya dan masih ada sisa harta
peninggalannya maka sisa itu lah yang merupakan bagian ahli waris.
3. Menolak Harta Warisan
Ahli waris yang menolak harta warisan dianggap tidak pernah menjadi ahli
waris. Jika ia lebih dahulu meninggal dari pewaris ia tidak dapat digantikan
kedudukannya oleh anak-anaknya yang masih hidup. Menolak harta warisan
harus dilakukan dengan suatu pernyataan kepada panitera pengadilan negeri
wilayah hukum tempat harta warisan itu terbuka.Penolakan harta warisan
dihitung dan berlaku surut, yaitu sejak saat meninggalnya pewaris.
Lain lagi halnya seseorang ahli waris yang menyatakan menerima harta
warisan secara beneficiair atau menerima dengan mengadakan inventarisasi harta
peninggalan, mempunyai beberapa kewajiban sebagai berikut.
71
(1) Wajib melakukan pencatatan atas jumlah harta peninggalan dalam waktu
empat bulan setelah ia menyatakan kehendknya kepada panitera pengadilan
negeri.
(2) Wajib mengurus harta peninggalan dengan sebaik-baiknya.
(3) Wajib membereskan urusah harta warisan dengan segera.
(4) Wajib memberikan jaminan kepada kreditor, baik kreditor benda bergerak
maupun kreditor pemegang hak hipotik.
(5) Wajib memberikan pertanggungjawaban kepada seluruh kreditor pewaris,
maupun kepada orang yang menerima pemberian secara legaat.
(6) Wajib memanggil para kreditor pewaris yang tidak dikenal melalui surat
kabar resmi.
E. PERAN BALAI HARTA PENINGGALAN DALAM PEMBAGIAN
HARTA WARISAN
Kalau ada harta warisan yang ditinggalkan oleh seseorang yang sudah
meninggal dunia, tetapi tidak ada orang yang menjadi ahli warisnya maka harta
dimaksud disebut harta warisan yang tidak terurus.Dalam keadaan seperti ini,
tanpa menunggu perintah dari hakim, balai harta peninggalan (dalam hukum waris
Islam disebut Baitul Mal) wajib mengurus harta peninggalan tersebut. Pekerjaan
pengurusan itu harus dilaporkan kepada kejaksaan negeri setempat, jika terjadi
perselisihan tentang apakah suatu harta peninggalan dianggap terurus atau tidak,
maka penentuan ini akan di putus oleh hakim.
72
Kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh Balai Harta
Peninggalandalam tugasnya mengurus harta warisan yang tidak terurus meliputi
beberapa hal sebagai berikut.
a. Wajib membuat perincian atau inventarisasi tentang keadaan harta
peninggalan, yang didahului dengan penyegelan barang-barang.
b. Wajib membereskan harta warisan dalam arti melakukan penagihan piutang-
piutang pewaris dn membayar semua utang pewaris, apabila diminta oleh
pihak yang berwajib, Balai Harta Peninggalan juga wajib memberikan
pertanggung jawaban.
c. Wajib memanggil para ahli waris yang mungkin masih ada melalui surat
kabar atau panggilan resmi lainnya.
F. AHLI WARIS YANG TIDAK PATUT MENERIMA HARTA
WARISAN
Ahli waris yang tidak patut menerima harta warisan menurut peraturan
perundang-undangan sebagai berikut.
a. Ahli waris yang dengan putusan hakim telah dihukum karena dipersalahkan
membunuh atau setidaknya mencoba membunuh pewaris.
b. Ahli waris yang dengan putusan hakim telah di hukum karena dipersalahkan
memfitnah dan mengadukan pewaris, bahwa pewaris melakukan kejahatan
yang diancam hukuman penjara empat tahun lebih.
c. Ahli waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau
mencegah pewaris untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat.
73
d. Ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat
wasiat.
Apabila ternyata ahli waris yang tidak patut ini menguasai sebagian atau
seluruh harta peninggalan dan ia berpura-pura sebagai ahli waris, ia wajib
mengembalikan semua harta yang di kuasainya termasuk hasil-hasil yang telah
dimanfaatkan atau dinikmatinya.
BAB III
GAMBARAN TENTANG KEWARISAN ANAK ANGKAT MENURUT
UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Pengertian Anak Angkat
74
Pengertian tentang anak angkat ini, dapat dilihat dari dua segi, yaitu
pengertian secara etimologi dan secara terminologi.
1. Secara Etimologi
Mengangkat anak disebut juga dengan adopsi. Adapun kata adopsi berasal
dari bahasa Belanda, yaitu dari kata adoptie atau menurut bahasa Inggrisnya
berasal dari kata adopt yang berarti pengangkatan anak yaitu: “mengangkat anak
orang lain sebagai anak sendiri”.58
Dalam bahasa Arab disebut denganتبىن (tabanni), menurut Mahmud Yunus
berarti “mengambil anak angkat”.59
Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengadopsi berarti”
mengambil anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri”.60
Dari pengertian di atas jelas bahwa yang menjadi titik penekanannya
adalah pada persamaan status anak angkat dari hasil pengangkatannya dengan
anak kandung.
2. Secara Terminologi
a. Anak Angkat Menurut Hukum Adat
Masyarakat Indonesia semenjak dahulu mengenal pengangkatan anak ini,
seperti yang telah diungkapkan oleh para ahli.
Hilman Hadikusuma dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat,
memutuskan bahwa anak angkat adalah: ”Anak orang lain yang dianggap anak
sendiri oleh orang tua angkat secara resmi menurut hukum adat setempat,
58
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1992), h. 8 59
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerjemah dan Pentashih
al-Qur’an,. 1988), h. 73 60
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ..., h. 8
75
dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas
harta kekayaan rumah tangga”.61
A.Z Abidin Farid yang mengadakan riset tentang anak angkat di Tana
Toraja merumuskan:
“Anak angkat adalah anak yang ada akibat suatu perbuatan dari seseorang
mengambil/menjadikan orang lain sebagai anaknya tanpa melepaskan
ikatan kekeluargaan anak itu dengan orang tua aslinya baik dia itu masih
kanak-kanak maupun sudah dewasa, mempunyai kewajiban yang sama
dengan anak kandung dengan memakai upacara adat.62
Mr.M.M. Djojodiguno dan Mr. Raden Tirtawinata, merumuskan: ”Adopsi
adalah pengangkatan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi
anak dari orang tua angkat. Ditambah bahwa adopsi itu dilakukan dengan
sedemikian rupa, sehingga anak itu baik secara lahir atau batin merupakan anak
sendiri”.63
Mr. Raden Soepomo, merumuskan: “Adopsi adalah hubungan
pengangkatan anak orang lain.Dengan anak angkat, seperti hubungan orang tua
dengan anak kandungnya”.64
Dari pendapat para ahli tersebut, jelaslah bahwa anak angkat itu adalah
anak orang lain yang diambil oleh seseorang untuk dijadikan sebagai anak
kandungnya dengan resmi menurut hukum dengan memakai upacara adat
setempat, tidak melepaskan ikatan kekeluargaan anak tersebut dengan orang tua
61
Maderis Zaini, Adopsi; Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1985), Cet. Ke-1, hl 5 62
Bastian Tafal.Pengangkatan Anak-Anak Angkat menurut Hukum Adat serta Akibat-
Akibat Hukumnya di Kemudian Hari, (Jakarta: Rajawali, 1983), h. 47 63
B. Bastian Tafal. Pengangkatan Anak-Anak Angkat menurut Hukum Adat serta Akibat-
Akibat Hukumnya di Kemudian Hari, …, h. 47 64
Bastian Tafal.Pengangkatan Anak-Anak Angkat menurut Hukum Adat serta Akibat-
Akibat Hukumnya di Kemudian Hari,...., h. 48
76
aslinya.
b. Anak Angkat Menurut Hukum Perdata (BW)
Dalam KUHPerdata (BW) tidak ada pasal yang mengungkap tentang
pengertian adopsi. Tetapi pengertian adopsi yang berasal dari bahasa Belanda,
yaitu dari kata Adoptie yang berarti mengambil atau pengangkatan anak orang lain
secara sah menjadi anak sendiri.65
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa
pengertian adopsi adalah pengangkatan anak orang lain secara sah menjadi anak
sendiri.
Tidak adanya pasal yang mengatur atau mengungkapkan pengertian adopsi
berarti bahwa pada dasarnya BW tidak mengatur tentang adopsi.Hal ini membawa
akibat tidak ada pengangkatan anak yang didasarkan pada KUHPerdata (BW).
Akan tetapi, akibat perang dunia ke II di Belanda telah lahir Undang-Undang
tentang pengangkatan anak, yaitu: staatsblad Nomor 129 tahun 1917.
Dalam staatsblad ini menyatakan bahwa anak adopsi memiliki hubungan
keperdataan secara hukum dan disamakan posisinya sebagai anak yang lahir dari
orang tua angkatnya, sehingga dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari
perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat.66
Landasan diterimanya Undang-Undang tersebut karena setelah perang
dunia ke II banyak orang tua kehilangan anak atau sebaliknya anak kehilangan
orang tua disebabkan meninggal akibat perang.
c. Anak Angkat Menurut Hukum Islam
65
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1989), h. 18 66
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), cet. Ke-5,
h. 142
77
Anak angkat menurut hukum Islam berbeda dengan pengertian anak
angkat menurut hukum adat dan hukum perdata. Karena yang dimaksud dengan
pengangkatan anak dalam hukum Islam adalah untuk memelihara anak bukan
untuk menjadikan anak orang lain menjadi anak sendiri.67
Menurut Mahmud Syaltut sebagaimana yang telah dikutip secara ringkas
oleh Fatchur Rahman dalam bukunya Hukum Ilmu Waris membedakan arti anak
angkat menjadi dua pengertian.
1) Penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahui bahwa ia sebagai anak
orang lain ke dalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dari segi
kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala
kebutuhannya, bukan di perlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.
2) Yakni yang dipahami dalam perkataan Tabanni (mengangkat anak secara
mutlak). Menurut syari’at adat dan kebiasaan yang berlaku pada anak orang
lain ke dalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya,
sebagai anak yang sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai
anak.
Dengan pengertian yang dikemukakan oleh Mahmud Syaltut yang terakhir
di atas dapat dipahami, bahwa pengertian adopsi atau pengangkatan anak menurut
hukum barat. Di mana arahannya lebih cenderung menekankan kepada
memasukan anak yang diketahuinya sebagai anak orang lain ke dalam
67
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. Ke-3, h.
119
78
keluarganya dengan mendapatkan status dan fungsi yang sama dengan anak
kandungnya.
Sedangkan pengertian yang pertama tampaknya lebih tepat untuk
pengertian adopsi menurut kultur Indonesia yang mayoritas Islam. Sebab
pengertian adopsi atau pengangkatan anak pada pengertian yang pertama ini lebih
cenderung penekanannya kepada memperlakukan anak orang lain yang diangkat
dalam segi kecintaan, pemberi nafkah, pendidikan, dan pelayanan dalam segi
kebutuhannya, bukan seperti diperlakukan sebagai anak nasab atau anak
kandungnya sendiri.
Sebagai konsekuensi dari pengertian yang pertama itu adalah bahwa anak
angkat itu tidak bisa mendapat harta peninggalan dari orang tua angkatnya
tersebut, sebab ia bukan merupakan nasab dari orang tua angkatnya yang
merupakan sebab utama untuk mendapatkan hak kewarisan.
B. Dasar Hukum Pengangkatan Anak Angkat
Di Indonesia ada tiga sistem hukum atau stelsel hukum yang berlaku,
yaitu:
1. Hukum adat
2. Hukum perdata Barat
3. Hukum Islam
Maka untuk itu di sini akan dijelaskan dasar hukum pengangkatan anak itu
dari tiga sistem atau stelsel hukum yang berlaku tersebut.
1. Dasar hukum pengangkatan anak dalam hukum adat
79
Secara umum sistem hukum Indonesia berlainan dengan hukum adat Barat
yang bersifat indifiduallistis liberalistis.Menurut Soepomo, hukum Indonesia
mempunyai corak sebagai berikut:
a. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat, artinya manusia
menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang
erat, rasa kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan hukum adat.
b. Mempunyai corak religius-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup
alam Indonesia.
c. Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba kongkrit artinya hukum adat
sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya perhubungan yang
kongkrit.
d. Hukum adat mempunyai sifat yang visual artinya perhubungan hukum
dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat
dilihat (tanda yang kelihatan).68
Dengan demikian khusus dalam masalah anak angkat tentunya mempunyai
sifat kebersamaan pula dalam masyarakat Indonesia di antara berbagai daerahnya
tertentu mewarnai kebhinekaan kultur Indonesia.
Dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang tegas tentang siapa saja yang
boleh melakukan adopsi dan batasan usia dari anak yang akan diangkat, kecuali
perbedaan minimal dari usia orang yang akan mengangkat dengan anak yang anak
diangkat ditentukan, yaitu 15 tahun. Hal ini adalah berdasarkan informasi yang
68
Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1986), cet. Ke-
10, h. 68-72
80
diperoleh dari Pengadilan Negeri Banjarmasin.69
Di Indonesia terdapat berbagai variasi dalam cara pengangkatan anak ini,
kalau dilihat dari segi anak yang diangkat, maka menurut Wignjodipuro, yang
terdapat dalam bukunya, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, pengangkatan
anak di Indonesia dapat diringkas sebagai berikut:
a. Mengangkat anak bukan warga keluarga
b. Mengangkat anak dari kalangan keluarga
c. Mengangkat anak dari kalangan keponakan.70
Berikut ini akan penulis jelaskan satu persatu.
a. Mengangkat anak bukan warga keluarga
Tindakan ini biasanya disertai dengan penyerahan barang-barang magis
atau sejumlah uang kepada keluarga anak semula, alasannya adalah umumnya
tidak ada keturunan.Pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan secara resmi
dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala adat.Adopsi seperti ini terdapat
di daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias dan Kalimantan.
b. Mengangkat anak dari kalangan keluarga
Dilakukan karena takut tidak mempunyai anak terkadang juga merupakan
alasan dari pelaksanaan adopsi, seperti di daerah Bali yang disebut
“nyentanayang”. Akan lazimnya diambil dari salah satu dan yang ada hubungan
teradisionalnya yang disebut “purusan”, tetapi akhir-akhir ini dapat pula anak
69
Maderis Zaini, Adopsi; Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, ..., h. 43 70
Maderis Zaini, Adopsi; Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, ..., h. 11-12
81
diambil dari kalangan luar. Bahkan di beberapa desa dapat pula diambil anak dari
kalangan keluarga isteri (pradana).Dalam keluarga dengan selir (bundik), maka
apabilah isteri tidak mempunyai anak, biasanya anak dari selir-selir diangkat
sebagai anak isteri.
c. Mengangkat Anak dari Kalangan Keponakan
Perbuatan ini hanya terdapat di pulau Jawa,Sulawesi,dan beberapa daerah
lainnya.Sebab-sebab mengangkat keponakan ini sebagai anak angkat adalah:
1) Karena tidak mempunyai anak sendiri,sehingga memunggut keponakan
tersebut merupakan jalan untuk mendapatkan keturunan.
2) Karena belum dikaruniai anak,sehingga dengan mengangkat keponakan ini
diharapkan akan mempercepat kemungkinan mendapat anak.
3) Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan,misalnya
karena hidupnya kekurangan terus dan lain sebagainya.71
Di daerah Jawa Tengah pada umumnya yang mengangkat anak adalah
suami isteri,duda atau janda dan ada kemungkinan seseorang yang belum
kawinpun dapat mengangkat anak. Tetapi di
Magelang,Semarang,Kendal,Banyumas, dan Purworejo tidak dibolehkan bagi
orang yang belum kawin untuk mengangkat anak. Hal ini berdasarkan putusan
Pengadilan Negeri Magelang tanggal 1 November 1076 No.179/1976 Pdt, dan
pengadilan Negeri Semarang yang memberikan keterangan yang sama.72
71
Maderis Zaini, Adopsi; Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, ..., h. 11-12 72
B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak-anak Angkat menurut Hukum Adat serta Akibat-
akibat Hukumnya di Kemudian Hari, ..., h. 69
82
Di Jawa Tengah pengangkatan anak itu tidak memutuskan hubungan
kekeluargaan antara anak angkat dengan orang tuanya sendiri,anak angkat masuk
anggota keluarga orang tua angkat tetapi kedudukannya tidak sama dengan anak
kandung dalam fungsi untuk meneruskan keturunan orang tua angkatnya.Biasanya
yang dijadikan anak angkat adalah keponakannya sendiri, baik laki-laki maupun
perempuan.
Adapun alasan mengambil keponakan sebagai anak angkat adalah:
1) Untuk memperkuat pertalian kekeluargaan dengan orang tua dari anak angkat.
2) Dikarenakan adanya rasa belas kasihan terhadap anak.
3) Adanya satu kepercayaan,bahwa dengan mengangkat anak kemudian akan
mendapat anak kandung.
4) Mungkin untuk mendapat bujang di rumah yang dapat membantu pekerjaan
orang tua angkatnya sehari-hari.73
Dari beberapa hal yang telah dikemukakan di atas,jelas bahwa yang
menjadi dasar pengangkatan anak itu adalah karena tidak mempunyai anak
keturunan sendiri,sehingga seseorang berkeinginan untuk mengangkat anak orang
lain untuk dijadikan sebagai anaknya,namun yang menjadi dasar bagi penduduk
Jawa khususnya penduduk Jawa Tengah dalam pengangkatan anak dari kalangan
keponakan adalah yang terutama sekali menjalin hubungan kekeluargaan antara
orang tua anak yang akan diangkat yang merupakan saudara dari orang yang
mengangkatnya dengan orang yang mengangkat anak itu sendiri. Jadi ringkasnya
73
B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak-anak Angkat menurut Hukum Adat serta Akibat-
akibat Hukumnya di Kemudian Hari, ..., h. 69
83
dapat dikatakan bahwa alasan dari pengangkatan anak itu adalah untuk
mempererat hubungan persaudaraan antara orang tua angkat dengan orang tua
kandung.
2. Dasar Hukum Pengangkatan Anak dalam Hukum Perdata
Dalam Undang-undang Hukum Perdata (BW) tidak ada bab atau pasal
yang mengatur adopsi, tetapi yang ada adalah pengakuan anak di luar kawin yang
diatur dalam buku I Bab XII bagian 3 pada Pasal 280 sampai dengan Pasal 289
adalah mengenai anak di luar kawin. Pengakuan anak sebagai mana terjadi dalam
praktek di masyarakat dan di dunia peradilan sekarang,tidak hanya terbatas pada
pengakuan anak luar kawin,tetapi sudah mencakup pengakuan anak dalam arti
luas.Dengan demikian: ”yang sebenarnya KUHPerdata tidak mengatur tentang
pengangkatan anak sebagaimana dikenal sekarang.74
Dengan demikian adopsi merupakan suatu lembaga yang dibutuhkan oleh
masyarakat,walaupun dalam KUHPerdata tidak ada diatur masalah adopsi ini
namun masalah adopsi sudah membudaya di kalangan masyarakat,maka untuk
itu,berdasarkan kenyataan ini pemerintah Hindia Belanda berusaha menyusun
peraturan-peraturan tersendiri tentang adopsi. Sehingga akhirnya pemerintah
Hindia Belanda mengeluarkan staatsblad tahun 1917 No 129 yang menjadi
pelengkap dari KUHPerdata,karena dalam KUHPerdata tidak ada aturan yang
mengatur mengenai anak angkat, maka lahirnya staatsblad tersebut adalah untuk
melengkapi kekosongan hukum yang mengatur mengenai permasalahan tersebut.
74
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, ..., h. 137
84
Aturan tersebut menjadi acuan bagi pengangkatan anak atau pengadopsian anak
bagi masyarakat yang tunduk pada KUHPerdata atau BW.Adapun adopsi yang
diatur dalam ketentuan staatsblad tersebut adalah hanya berlaku bagi masyarakat
Tionghoa.Semenjak itulah staatsblad No.129 Tahun 1917 menjadi ketentuan
hukum yang tertulis tentang masalah adopsi dan orang Tionghoa biasanya dikenal
dengan golongan orang Timur asing.
Pembahasan mengenai kedudukan anak angkat di dalam keluarga
selanjutnya akan diuraikan dengan berpedoman dengan apa yang termuat dalam
staatsblad Nomor 129 tahun 1917. Pada Pasal 5 sampai dengan Pasal
15.Kedudukan anak angkat terdapat pada Pasal 12 menyamakan seseorang anak
dengan anak yang sah dari perkawinan orang yang mengangkat.
Dengan demikian, anak angkat dalam keluarga mempunyai kedudukan
yang sama dengan anak kandung atau anak yang terlahir dari orang tua angkatnya.
Hal itupun berakibat pada keamanan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh anak
angkat,termasuk pada pembagian warisan orang tua angkatnya apabila meninggal
dunia.Ketentuan tersebut terdapat pada staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 yang
menjadi pelengkap dari KUHPerdata, karena di dalam KUHPerdata tidak ada
aturan yang mengatur mengenai anak angkat.
Pada staatsblad nomor 129 tahun 1917 Pasal 5 yang mengatur tentang
siapa yang boleh mengadopsi anak angkat. di antaranya adalah:
Ayat (1) menyebutkan,bahwa seorang laki-laki beristri atau telah pernah
beristeri tidak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-
85
laki baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena
angkatan,maka bolehlah ia mengangkat seorang laki-laki sebagai anak.
Pada ayat 2 disebutkan, bahwa pengangkatan yang demikian harus
dilakukan oleh seorang laki-laki tersebut, bersama-sama dengan isterinya
atau jika dilakukannya setelah perkawinannya dibubarkan oleh dia sendiri.
Sedangkan pada ayat (3) menyatakan,apabila kepada seorang perempuan
janda yang tidak kawin lagi,oleh suaminya yang telah meninggal dunia,
tidak ditinggalkan seorang keturunan sebagaimana yang tersebut dalam
ayat (1), maka bolehlah ia mengangkat seorang laki-laki sebagai anaknya.
Jika sementara itu si suami yang telah meninggal dunia,dengan surat
wasiat telah menyatakan tidak membolehkan pengangkatan anak oleh
isterinya,makapengangkatan itu tidak boleh dilakukan.75
Dari ketentuan di atas, maka yang boleh mengangkat anak adalah
sepasang suami isteri yang tidak mempunyai anak laki-laki atau seorang janda
yang tidak mempunyai anak laki-laki, asal saja janda yang bersangkutan tidak
ditinggalkan berupa amanah yang berbentuk surat wasiat dari suaminya yang
menyatakan tidak menghendaki pengangkatan anak.
Pada Pasal 6 dan 7 mengatur tentang siapa saja yang dapat diadopsi. Pasal
6 menyatakan bahwa yang boleh diangkat adalah orang Tionghoa laki-laki yang
tidak beristeri,apalagi beranak dan juga belum pernah diangkat oleh orang
lain.Dan dalam Pasal ini tidak ada ketentuan, apakah yang diangkat itu harus anak
dari keluarga dekat atau anak di luar keluarga atau juga orang asing.Dan di sini
juga tidak diatur secara kongkrit mengenai batasan usia dan orang yang belum
kawin untuk mengangkat anak,yang di sini hanyalah batasan dari selisih usia
antara orang yang mengangkat dengan anak yang diangkat, yaitu yang disebutkan
dalam Pasal 7:
Dalam Pasal 7 ayat (1)dinyatakan, bahwa orang yang diangkat harus
paling sedikitnya 18 tahun lebih muda dari pada suami dan paling
sedikitnya 15 tahun lebih muda dari pada isteri atau janda yang
75
Soeroso, Perbandingan KUHPerdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 174
86
mengangkatnya.
Sedangkan ayat (2) menyatakan, bahwa apabila yang diangkat seorang
keluarga saudara, baik yang sah maupun yang keluarga luar kawin, maka
keluarga tadi karena angkatannya terhadap moyang ke dua belah pihak
bersama,harus memperoleh derajat keturunan yang sama pula dengan
derajat keturunannya sebelum diangkat.76
Dari keterangan di atas, dapat penulis pahami bahwa di samping
membicarakan tentang orang yang pantas diangkat yaitu orang Tionghoa yang
laki-laki juga membicarakan tentang batasan selisih usia antara anak yang
diangkat dengan suami atau isteri/janda yang mengangkatnya, yaitu suami harus
tua 18 tahun dan isteri atau janda harus tua 15 tahun dari anak yang diangkatnya.
Dan dalam Pasal ini ada suatu penekanan bila mana yang diangkat itu dari
keluarga saudara, maupun keluarga yang sah maupun di luar nikah,maka keluarga
tersebut harus memperoleh derajat keturunannya sebelum dia diangkat.
Adapun tata cara mengenai pengangkatan anak diatur oleh Pasal 8 sampai
Pasal 10 staatsblad nomor 129 tahun 1917 di mana dalam Pasal 8 disebutkan
Empat syarat mengangkat anak, yaitu:
1. Persetujuan orang yang mengangkat.
2. a. Jika anak yang diangkat itu adalah anak yang sah dari orang tuanya, maka
diperlukan izin dari orang tuanya, jika bapaknya sudah wafat dan ibunya
sudah kawin lagi maka harus ada persetujuan dari walinya dan dari balai harta
peninggalan selaku penguasa wali.
b. Jika anak yang diangkat itu adalah lahir di luar perkawinan, maka diperlukan
izin dari orang tuanya yang mengakui sebagai anaknya, manakala anak itu
sama sekali tidak diakui sebagai anak, maka harus ada persetujuan dari
walinya serta dari balai harta peninggalan.
3. Jika anak yang diangkat sudah berusia 19 tahun, maka diperlukan pula
persetujuan dari anak itu sendiri.
4. Manakala yang mengangkat anak itu sendiri seorang perempuan janda, maka
harus ada persetujuan dari saudara laki-laki dan ayah dari almarhum
suaminya,atau jika tidak ada saudara laki-laki atau ayah yang masih hidup,
atau jika mereka tidak menetap di Indonesia, maka harus ada persetujuan dari
76
Soeroso, Perbandingan KUHPerdata, ..., h. 174
87
anggota laki-laki keluarga almarhum suami dalam garis laki-laki sampai
derajat ke empat.
Menurut Pasal 10 dinyatakan, bahwa pengangkatan anak harus dilakukan
dengan akta notaris.Pasal 11,12,13 dan 14 menyangkut dengan masalah akibat
hukum dari pengangkatan anak itu.
Pasal 11 menyatakan, bahwa dalam keluarga yang akan mengangkat anak juga
akan menjadi nama bagi anak yang diangkat.
Pasal 12 menyatakan, bahwa menyamakan anak angkat dengan anak yang sah
dari perkawinan orang yang mengangkat.
Pasal 13 menyatakan, bahwa mewajibkan balai harta peninggalan untuk
seorang janda yang akan mengangkat anak, mengambil tindakan-tindakan
yang perlu guna mengurus dan menyelamatkan barang-barang kekayaan anak
yang akan diangkat.
Pasal 14 menyatakan, bahwa suatu pengangkatan anak berakibat putusnya
hubungan hukum anak yang akan diangkat dengan orang tuanya
sendiri,kecuali ;
1. Mengenai larangan kawin yang berdasarkan atas tali kekeluargaan.
2. Mengenai peraturan hukum pidana yang berdasarkan hukum kekeluargaan.
3. Mengenai perhitungan perkara biaya di muka hakim dan penyanderaan.
4. Mengenai pembuktian seorang saksi.
5. Mengenai bertindak sebagai saksi.
Pasal 15 menyatakan, bahwa pengangkatan suatu anak tidak dapat dibatalkan
oleh orang yang bersangkutan sendiri dan pada ayat 2 nya dinyatakan:
“pengangkatan terhadap anak-anak perempuan dan pengangkatan dengan cara
lain dari pada dengan akte autentik/akte notaris adalah batal karena hukum.
Akan tetapi ketentuan tersebut sekarang ini telah diperluas dengan adanya
yuriprudensi yang menentukan bahwa seorang anak perempuan dapat dijadikan
anak angkat oleh orang Tionghoa, yaitu berdasarkan: “Keputusan Pengadilan
Negeri Jakarta tanggal 29 Mei 1963 No. 907/1963 dan tanggal 17 Oktober 1963
No.588/1963 c”.77
Adapun peraturan yang mengatur tentang pengangkatan anak di Indonesia,
antara lain:
a. Surat Keputusan Menteri Sosial, No. Sekrt. 10-28-47/tentang Pedoman
Asuhan Keluarga, yang sifatnya hanya beberapa petunjuk tentang Bagaimana
77
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Kencana, 2010), cet. Ke-2. h. 247
88
Pengasuhan anak dalam Keluarga,Termasuk Anak Angkat.
b. Undang-Undang No.62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia:
Pasal 2 menyatakan, bahwa anak asing yang belum berumur lima tahun yang
diangkat oleh seseorang warga negara Indonesia, apabila pengangkatan itu
disahkan oleh Pengadilan Negeri dari tempat tinggal orang yang mengangkat
itu.
c. Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai
Negeri Sipil, dalam Pasal 6 ayat 2 dan 3 dinyatakan:
Kepala Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai anak-anak angkat yang kurang
dari 18 tahun, belum pernah kawin, tidak mempunyai penghasilan sendiri dan
nyata menjadi tanggung jawabnya, diberi tunjangan anak sebanyak 2 % dari
gaji pokok untuk tiap-tiap anak. Tunjangan anak yang dimaksud di sini diberi
sebanyak-banyaknya untuk tiga orang anak, termasuk satu orang anak angkat.
d. Surat edaran Kepala Direktorat BISPA Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga
Departemen Kehakiman No. DBTU 9/2/77, yang antara lain menyatakan:
Bahwa pengangkatan anak yang dianut oleh Ditjen Tuna Warga, di mana
Balai BISMA akan ikut menangani ialah pengangkatan anak yang diproses
melalui Putusan Hakim Pengadilan Negeri dan anak itu berstatus Tuna Warga.
Yang termasuk anak di sini termasuk orang dewasa yang diangkat sebagai
anak angkat. Di sini lebih banyak diatur persyaratan administratif sehubungan
dengan proses permasyarakatan dari seseorang Tuna Warga yang akan
diangkat sebagai anak angkat.
e. Surat edaran Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan
Departemen Kehakiman, tanggal 24 Februari 1978, No. JHA/1/1/2, tentang
pengangkatan anak. Surat edaran ini merupakan petunjuk teknis bagi
pengadilan umum dalam soal pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh
orang asing. Surat edaran ini menyatakan, bahwa pengangkatan anak warga
negara Indonesia oleh orang asing hanya dapat dilakukan dengan surat
penetapan Pengadilan, tidak dengan Akte Notaris.
89
f. Surat edaran Menteri Sosial Republik Indonesia No. HUK-3-1-58/78, tanggal
7 Desember 1978, tentang petunjuk sementara dalam pengangkatan anak
(adopsi Internasional) yang ditunjukkan kepada Kantor Wilayah Departemen
Sosial seluruh Indonesia. Isi pokoknya adalah memberikan rekomendasi
kepada pengadilan yang akan menetapkan anak, Kantor Wilayah harus
memperhatikan:
1) Batasan umur anak yang akan diangkat, tidak lebih lima tahun.
2) Umur orang tua angkat tidak lebih dari 50 tahun dan dalam keadaan bersuami
isteri.
3) Anak yang akan diangkat jelas asal-usulnya.
4) Bila orang tua anak masih ada, harus ada persetujuan tertulis dari mereka.
5) Ada bukti persetujuan dari instansi yang berwenang dari negara calon orang
tua angkat.
g. Surat Mahkamah Agung, tanggal 7 April 1979 tenang pengangkatan anak.
Dalam surat edaran ini dinyatakan bahwa:
Bahwa menurut pengamatan Mahkamah Agung permohonan pengesahan anak
yang diajukan oleh Pengadilan Negeri yang kemudian diputuskan nampak
kian hari kian bertambah, ada yang merupakan bahagian dari tuntutan gugatan
perdata, ada yang merupakan gugatan khusus pengesahan pengangkatan anak.
h. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (LN 1979
No. 32). Dalam undang-undang ini diatur prinsip-prinsip umum yang
menyangkut tercapainya kesejahteraan anak, tanggung jawab orang tua
terhadap anak, usaha kesejahteraan anak. Tetapi dalam aturan ini tidak
ditegaskan secara jelas tentang pengangkatan anak.
90
Pada Pasal 12 Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 dinyatakan, bahwa
pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan
mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak yang diatur lebih lanjut dengan
peraturan-peraturan pemerintah.78
3. Dasar Hukum Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam
Islam tidak membenarkan seseorang mengangkat anak orang lain dengan
cara memutuskan hubungan nasab dengan orang tuanya sendiri, kemudian
memindahkan nasibnya kepada orang tua angkatnya serta diberi hak-hak atau
kedudukan yang sama dengan anak kandung. Hal ini berdasarkan firman Allah
SWT dalam surat al-Ahzab ayat 4-5 yang berbunyi:
هاتكموماجع هنأم ئيتظاهرونن قلب ينفيجوفهوماجعلزواجكمالل ياءكمأماجعلللهلرجلمن لدبيل وهوي هديالس واهكمواللهي قوللق وهلبائ(٤)ب ناءكمذلكمقولكمبأف همهوأقسطعنداللهاد
ينومواليكموليسعليكمجناحفيماأخطأتبهولك دت قلفإن لمت علمواءاباءهفإخوانكمفيالد نمات عم (٥)وبكموكاناللهغفورارحيما
Artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu
sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai
anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu
dimulutmu saja.Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat
itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih
adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang
kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja
oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (QS. Al-Abzab: 4-5)
78
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, ..., h. 252
91
Surat al-Ahzab tersebut dalam garis besarnya dapat dirumuskan sebagai
berikut:
a. Allah SWT tidak menjadikan dua hati dalam satu dada manusia
b. Anak angkatmu bukanlah anak kandungmu
c. Panggillah anak angkatmu menurut nama bapaknya
Dari ketentuan di atas, sudah jelas bahwa yang dilarang adalah
pengangkatan anak sebagai anak kandung dalam segala hal.Dari sisi terlihat
adanya titik perbedaan ketentuan hukum adat di beberapa daerah di Indonesia,
yang menghilangkan atau memutuskan kedudukan anak angkat dengan orang tua
kandungnya sendiri.Hal ini bersifat prinsip dalam lembaga adopsi, karena
ketentuan yang merubah atau menghilangkan hak-hak orang tua dan dapat
merombak ketentuan kewarisan.
Lebih tegas lagi tentang tidak adanya hubungan kekeluargaan atau
hubungan nasab akibat adanya pengangkatan anak ini dapat dilihat dalam firman
Allah SWT dalam surat al-Ahzab ayat 37:
هوتشىااللهمبديوإذت قولللذيأن عماللهعليهوأن عمت عليهأمسكعليكزوجكواتقاللهوتفيفين فسكمهاوطرازوجناكهالكيليكون علىالمؤمنينحرج اقضىزيدمن أن تخشاهفلم الناسواللهأحق فيأزواجأد
وطراوكانأمراللهمفعول هن (٣٧:الحزاب)يائهمإذاقضوامن
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni'mat
kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah",
sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah
yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah
mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami
kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang
mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka,
92
apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya
daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi” (QS.
al-Ahzab: 37)
Dari ayat 37 surat al-Ahzab di atas diketahui secara kongkrit lagi bahwa
anak angkat dengan orang tua angkatnya tidak ada hubungan kekeluargaan atau
nasab, jika seandainya antara anak angkat dengan orang tua angkatnya itu ada
hubungan nasab karena adanya pengangkatan anak tersebut, maka sudah tentu
Allah SWT tidak akan membolehkan Nabi Muhammad SAW mengawini bekas
istri Zaid yang merupakan anak angkatnya sendiri. Jadi dengan adanya perintah
Allah SWT untuk mengawini bekas istri anak angkat kepada Nabi Muhammad
SAW, hal ini menjadi suatu indikasi bahwa anak angkat bukanlah termasuk
keluarga yang nasibnya dapat dimasukkan ke dalam nasab orang tua angkatnya.79
Rasulullah SAW juga menjelaskan dalam hadisnya tentang ketidakbolehan
memasukkan nasab anak angkat ke dalam nasab orang tua angkatnya, yaitu
sebagai berikut:
سعت قال سعد يقولرن وسلم ليه اهلل صلى اهلل سول وهو: أبيه غري اىل ادى من(رواهالبخاري)يعلمإنهغريأبيهفاجلنةليهحرام
Artinya: “Dari Saad ra, katanya, saya mendengar Nabi Muhammad SAW
bersabda: barang siapa yang membangsakan keturunannya kepada
orang yang bukan bapaknya sedangkan ia mengetahui orang itu bukan
bapaknya, niscaya terlaranglah untuk orang itu surga” (HR.
Bukhari)80
Dengan adanya kecaman dari Nabi Muhammad SAW tentang dilarangnya
bagi orang membangsakan keturunannya kepada orang lain yang ia ketahui bahwa
79
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, ..., h. 254 80
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, terj. Mu’ammal Hamidy, (Jakarta: Widjaya, 1987), jilid
IV, h. 92
93
orang itu bukanlah bapaknya. Maka hal ini menunjukkan bahwa nasab anak
angkat kepada orang tua angkatnya juga tidak dibolehkan oleh Nabi Muhammad
SAW.
Namun walaupun demikian, hal itu bukan berarti Islam tidak
memperhatikan akan kehidupan anak yang terlantar serta anak orang lain yang
tidak mampu, miskin dan lain-lain sebagainya. Agama Islam malahan sangat
memperhatikan kehidupan anak terlantar dan anak orang miskin tersebut, cuma
saja tidak dengan cara pengangkatan anak dalam artian mutlak yang mengangkat
anak orang lain untuk dimasukkan ke dalam keluarga orang yang mengangkatnya
serta memutuskan hubungan anak yang diangkat tersebut dengan orang tua
kandungnya.81
Konsep Islam tentang anak angkat ini yaitu pengangkatan anak orang
laindalam artian penyantunan anak tersebut. Dimana anak yang dipungutnya itu
diasuh dan dipelihara serta dianggap sebagai anaknya sendiri dalam arti kecintaan,
pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, tetapi
tidak memutuskan hubungan anak tersebut dengan orang tua kandungnya sendiri.
Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila
memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang
tua biologisnya dan keluarganya, hal ini dapat diketahui dari ketentuan surat
al-Ahzab ayat 4-5 dan ayat 37
b. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkatnya,
81
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, ..., h. 256
94
melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian juga
orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya
c. anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya
secaralangsung kecuali sekedar sebagai tanda pengenal (alamat)
d. orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam pernikahan
terhadap anak angkatnya.82
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan anak
menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan anak tidak
sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Agama Islam menganjurkan agar umatnya saling tolong-menolong,
apalagi menolong anak terlantar dan yatim.Banyak ayat al-Qur'an yang
menyatakan khabar gembira bagi orang yang mengasuh anak yatim, bahkan bagi
orang yang menghardik anak yatim dinyatakan sebagai orang yang mendustakan
agama. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Ma’un ayat 1-3:
ين ببالد الي(١)أرأي تالذييكذ (٣:املاون)وليضعلىطعامالمسكني(2)تيمفذلكالذييد
Artinya: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?.Itulah orang yang
menghardik anak yatim.dan tidak menganjurkan memberi makan orang
miskin” (QS. Al-Ma’un: 1-3)
Selanjutnya juga dinyatakan dalam firman Allah SWT surat al-Baqarah
ayat 83:
اللهوبالوالدينإحساناوذيالقربىوذيالقربى واليتامىوالمساكينوقولواللناوإذأخذناميثاق بنيإسرائيللت عبدونإل
82
Maderis Zaini, Adopsi; Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, ..., h. 54-55
95
قليلمنكموأن تممعرضونسحسناو (١٣:البقرة)أقيمواالصلةوءاتواالزكاةمثت وليتمإل
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):
Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah
kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang
miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak
memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan
kamu selalu berpaling” (QS. Al-Baqarah: 83)
Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 177:
وءاتالملئكةوالكتابوالنبيين ليسالبأن ت ولواوجوهكمقبللمشرقوالمغربولكنالبمنءامنباللهوالي ومالخروائلين وفيالرقابوأقامالص بيلوالس لةوءاتىالزكاةوالموفونبعىالمالعلىحبهذويالقربىواليتامىوالمساكين واب نالس
راءوحينالبأسأ ابرينفيالبأساءوالض اهدواوالص قونهدهإذا :البقرة)ولئكالذينصدقواوأولئكهمالمت ١٧٧)
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari kemudian, Malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-
nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji,
dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan
dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya);
dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al-Baqarah:
177)
Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 220:
روإن تخالطوهفإخوانكمواللهي صلحلهمخي ن ياوالخرةويسألونكعناليتامىقل علمالمفسدمنالمفيالدنتكمإنالله (٢٢٢)عزيزحكيمصلحولوشاءاللهل
Artinya: “Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang
anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah
baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah
saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari
yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya
Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu.Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Baqarah: 220)
96
Firman Allah SWT dalam surat al-Insan ayat 8
(١:اإلنسان)ويطعمونالطعامعلىحبهمسكيناويتيماوأسريا
Artinya: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang
miskin, anak yatim dan orang yang ditawan” (QS. Al-Insan: 8)
Firman Allah SWT dalam surat ad-Dhuha ayat 6:
(١:الضحي)ألميجدكيتيمافآوى
Artinya: “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia
melindungimu ?” (QS. Ad-Dhuha: 6)
Firman Allah SWT dalam surat al-Balad ayat 12-15:
رق بة(١٢)وماأدراكماالعقبة (١٥:البلد)يتيماذامقربة(١٤)أوإطعامفيي ومذميسغبة(١٣)فك
Artinya: “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?. (yaitu)
melepaskan budak dari perbudakan. atau memberi makan pada hari
kelaparan. (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat” (QS. Al-
Balad: 12-15)
Firman Allah SWT dalam surat ad-Dhuha ayat 9:
االيتيمفلت قهر (٩:الضحي)فأمArtinya: “Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-
wenang” (QS. Ad-Dhuha: 9)
Selanjutnya dalam hadis Rasulullah SAW menjelaskan:
قال وسلم ليه اهلل صلى النيب ن سعد بن سهل ن هكاذا: اجلنة يف البتيم وكافل أنا(رواهالبخاريوابوداودوالرتمذي)واشاربأصبعيهالسبابةوالوسط
Artinya: “Hadis dari Sahal ibn Sa’id dari Nabi Muhammad SAW, beliau
bersabda: aku dan pengasuh anak yatim di surga, demikian, Nabi
Muhammad SAW menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya,
kemudian merenggangkannya” (HR. Bukhari, Abu Daud dan at-
Turmudzi)83
83
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, …, h. 84
97
Jadi dari uraian di atas dapat diambil pemahaman bahwa menurut hukum
Islam pengangkatan anak itu bukan berarti mengambil anak oranglain untuk
dijadikan sebagai anak kandungnya sendiri dengan memutuskan hubungan
kekeluargaan (hubungan nasab) antara anak yang diangkat dengan orang tua
angkatnya sendiri. Akan tetapi menurut hukum Islam pengangkatan anak adalah
pengambilan anak orang lain untuk diasuh dan dipelihara oleh orang tua
angkatnya dan dianggap sebagai anak dari segi kecintaan, pendidikan dan
pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari dengan tidak memutuskan hubungan
anak tersebut dengan orang tua kandungnya dan pengangkatan anak yang seperti
ini cocok dengan kultur Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama
Islam.84
C. Hubungan Antara Anak Angkat dengan Orang Tua Angkat menurut
Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam
1. Menurut Hukum Perdata BW
Permasalahan mengenai pengangkatan anak atau pengadopsian anak tidak
diatur di dalam KUHPerdata, hal yang diatur di dalam Buku I Bab XII Bagian 3
pada Pasal 280 sampai dengan Pasal 289 adalah mengenai anak diluar kawin.
Pengakuan anak sebagaimana terjadi dalam praktek di dalam masyarakat dan
dunia peradilan sekarang, tidak hanya terbatas pada pengakuan anak luar kawin,
tetapi sudah mencakup pengakuan anak dalam arti luas.Dengan demikian, “yang
84
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, ..., h. 266
98
sebenarnya KUHPerdata tidak mengatur tentang pengangkatan anak sebagaimana
dikenal sekarang”.85
Didalam KUHPerdata tidak terdapat istilah anak adopsi atau anak angkat.
Pengaturan mengenai anak angkat hanya dapat ditemukan di dalam staatsblad
Tahun 1917 Nomor 129 yang menjadi pelengkap dari KUHPerdata, karena di
dalam KUHPerdata tidak ada aturan yang mengatur mengenai anak angkat, maka
lahirnya staatsblad tersebut adalah untuk melengkapi kekosongan hukum yang
mengatur mengenai permasalahan tersebut. Aturan tersebut menjadi acuan bagi
pengangkatan anak atau pengadopsian anak bagi masyarakat yang tunduk pada
KUHPerdata (Burgerlijk Weetboek).Adapun adopsi yang diatur dalam ketentuan
staatsblad tersebut adalah hanya berlaku bagi masyarakat Tionghoa.
Pembahasan mengenai hubungan anak angkat dengan orang tua angkat
didalam keluarga selanjutnya akan diuraikan dengan berpedoman pada apa yang
termuat dalam staatsblad Nomor 129 Tahun 1917. Pada Pasal 5 sampai dengan
Pasal 15.Hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkat ini terdapat pada
Pasal 12 menyamakan seorang anak dengan anak yang sah dari perkawinan orang
yang mengangkat.
Dengan demikian, anak angkat didalam keluarga mempunyai kedudukan
yang sama dengan anak kandung atau anak yang terlahir dari orang tua angkatnya.
Hai itupun berakibat pada kesamaan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh anak
angkat, termasuk pada pembagian warisan harta orang tua angkatnya apabila
meninggal dunia. Ketentuan tersebut terdapat pada staatsblad Nomor 129 Tahun
85
Soeroso, Perbandingan KUHPerdata, ..., h. 175
99
1917 yang menjadi pelengkap dari KUHPerdata, karena di dalam KUHPerdata
tidak ada aturan yang mengatur mengenai anak angkat.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Secara umum dapat dikatakan bahwa ketentuan mengenai hukum
kewarisan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam berpedoman kepada hukum
kewarisan Islam (fiqih mawaris), di mana warna alam fikiran azas qath’i lebih
dominan dalam perumusannya, di mana ketentuan-ketentuan tersebut menurut
hemat penulis merupakan salinan dari ketentuan pembagian harta warisan
menurut hukum Islam (fiqih mawaris).
Begitu pula halnya dalam masalah pengangkatan anak di dalam Kompilasi
Hukum Islam seperti halnya hukum kewarisan Islam, tidak memberikan hak
kepada anak angkat dan orang tua angkat untuk saling mewarisi.Hal ini dapat
dilihat dalam ketentuan dalam Pasal 171 dan 174 Kompilasi Hukum Islam
tersebut.
Pada Pasal 171 (c) dinyatakan bahwa,
“Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum menjadi ahli waris”.86
Pasal 174 disebutkan:
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
1. Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman
dan kakek
2. Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan
dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda dan janda.
86
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), h. 82
100
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya:
anak, ayah, ibu, janda, duda.87
Setelah orang tua atau pewaris meninggal, maka ahli waris memiliki
kewajiban terhadap pewaris. Kewajiban ahli waris yang diatur dalam Pasal175
KHI adalah:
(1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b. Menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan,perawatan, termasuk
kewajiban pewaris maupun penagih piutang;
c. Menyelesaikan wasiat pewaris;
d. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
(2) Tanggung jawab ahli waris terhadap utang atau kewajiban pewaris hanya
terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.88
Dari Pasal di atas dapat dipahami bahwa yang berhak menerima warisan
hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah, hubungan perkawinan
dan orang yang sama-sama beragama Islam dengan pewaris. Adapun yang
termasuk ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris adalah
meliputi: anak, ayah, ibu, saudara, paman, kakek dan nenek. Dan yang termasuk
kepada ahli waris yang mempunyai hubungan perkawinan dengan pewaris adalah
janda atau duda.Sementara anak angkat tidak ada dinyatakan sebagai ahli waris
dalam kedua Pasal tersebut.
Dengan demikian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa menurut KHI
antara anak angkat dengan orang tua angkat tidak mempunyai hubungan
kekeluargaan (nasab) yang menyebabkan timbulnya hubungan saling mewarisi
antara keduanya.Seperti hanya hukum Islam (fiqih mawaris), KHI hanyalah
memandang bahwa hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkat adalah
87
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, …, h. 83 88
J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung: Alumni, 1992), h. 102
101
sekedar untuk memelihara dan mengasuh anak orang yang diangkatnya tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari Pasal 171 (h) KHI, yang menyatakan bahwa:Anak
angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari,
biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal
kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.89
Dari Pasal di atas dapat dipahami bahwa secara jelas KHI menyatakan
hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkat hanyalah sekedar
hubungan pengasuhan, di mana anak yang diangkat tersebut dianggap sebagai
anak hanya dari segi kecintaan, pendidikan, pemberian nafkah dan kebutuhan
sehari-hari, meskipun demikian, hak anak angkat tetap menjadi perhatian di dalam
Islam, di mana pewarisan terhadap anak angkat dapat dilakukan melalui wasiat
wajibahPasal 209 KHI, yang menyatakan bahwa:
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal-Pasal 176 sampai
dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak
menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.90
D. Kewarisan Anak Angkat dalam Hukum Perdata
Permasalahan mengenai pengangkatan anak atau pengadopsian anak tidak
diatur di dalam KUHPerdata, hal yang diatur di dalam Buku I Bab XII bagian 3
pada pasal 280 sampai dengan pasal 289 adalah mengenai anak di luar kawin.
Pengakuan anak sebagaimana terjadi dalam praktek di masyarakat dan di dunia
89
J. Satrio, Hukum Waris, ..., h. 107 90
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, …, h. 94
102
peradilan sekarang, tidak hanya terbatas pada pengakuan anak luar kawin, tetapi
sudah mencakup pengakuan anak dalam arti luas.Dengan demikian, “yang
sebenarnya KUHPerdata tidak mengatur tentang pengangkatan anak sebagaimana
dikenal sekarang”.
Di dalam KUHPerdata tidak terdapat istilah anak adopsi atau anak angkat.
Pengaturan mengenai anak angkat hanya dapat ditemukan di dalam staatsblad
Tahun 1917 Nomor 129 Tahun 1917 yang menjadi pelengkap dari KUHPerdata,
karena di dalam KUHPerdata tidak ada aturan yang mengatur mengenai anak
angkat, maka lahirnya staatsblad tersebut adalah untuk melengkapi kekosongan
hukum yang mengatur mengenai permasalahan tersebut. Aturan tersebut menjadi
acuan bagi pengangkatan anak atau pengadopsian anak bagi masyarakat yang
tunduk pada KUHPerdata (Burgerlijk weetboek). Adapun adopsi yang diatur
dalam ketentuan staatsblad tersebut adalah hanya berlaku bagi masyarakat
Tionghoa.
Pembahasan mengenai kedudukan anak angkat di dalam keluarga
selanjutnya akan diuraikan dengan berpedoman pada apa yang termuat di dalam
staatsblad Nomor 129 Tahun 1917. Pada pasal 5 sampai dengan Pasal 15.
Kedudukan anak angkat terdapat pada pasal 12 menyamakan seorang anak yang
sah dari perkawinan orang yang mengangkat.91
Dengan demikian, anak angkat di dalam keluarga mempunyai kedudukan
yang sama dengan anak kandung atau anak yang terlahir dari orang tua angkatnya.
Hal itupun berakibat pada kesamaan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh anak
91
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, (Jakarta : PT. Rineka Cipta) 1997. H. 149 - 151
77
103
angkat, termasuk dalam pembagian warisan harta orang tua angkatnya apabila
meninggal dunia. Ketentuan tersebut terdapat pada staatsblad Nomor 129 Tahun
1917 yang menjadi pelengkap dari KUHPerdata, karena di dalam KUHPerdata
tidak ada aturan yang mengatur mengenai anak angkat.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang pada dasarnya (secara
subtensial) berpedoman pada hukum Islam (fiqih), bahwa anak angkat tidak bisa
berkedudukan seperti anak kandung, sehingga ia tidak bisa mewarisi harta
peninggalan dari orang tua angkatnya sebagaimana halnya anak kandung dapat
mewarisi harta peninggalan orang tua kandungnya.
Ketentuan tentang pengangkatan anak angkat ini terdapat pada KHI yang
dimuat dalam pasal 171 huruf (h) yaitu : “anak angkat adalah anak yang dalam
pemeliharaan hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih
tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan
putusan pengadilan.92
Dari ketentuan di atas, bahwa KHI sama halnya seperti hukum Islam
(fiqih) mengartikan “Adopsi” atau “Tabbani” dalam artian yang tidak mutlak
melainkan dalam artian yang terbatas, yaitu terbatas pada pengertian pengasuhan/
pemeliharaan hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan beralih tanggung jawabnya
dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya. Jadi anak angkat menurut KHI
tampaknya sama dengan anak asuh, sebab anak asuh juga hanya berhak mendapat
kasih sayang, biaya pendidikan, pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan
hidupnya sehari-hari dari orang tua asuhnya. Akan tetapi ia tidak berhak
92
. Cik Hasan Basri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Logos Wacana). 1999. Cet. I, h. 81
104
mendapatkan harta warisan dari orang tua asuhnya karena anak asuh tidak
dinasabkan kepada orang tua asuhnya tersebut.93
Dalam masalah kewarisan, KHI pasal 171 ayat 1 (a) dan (b) serta ayat 2
nya pun tidak mencantumkan anak angkat sebagai salah satu kelompok ahli waris.
Adapun bunyi pasal tersebut adalah :
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :
a. Menurut hubungan darah :
- Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.
(2) Apabilah semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya :
anak, ayah, ibu, janda atau duda.94
Dengan tidak dimasukannya anak angkat ke dalam kelompok ahli waris
pada pasal 174 KHI pada ayat 1 (a) dan (b) serta ayat 2 memperkuat pernyataan
terdahulu, bahwa anak angkat sama dengan anak asuh di Indonesia. Dengan
demikian, jelaslah bahwa pengangkatan anak menurut KHI memang sama dengan
pengangkatan anak dalam fiqih klasik, yakni sama-sama tidak memasukkan anak
yang diangkat ke dalam nasab orang tua yang mengangkatnya ataupun sebaliknya.
93
Cik Hasan Basri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional,....,h.82
94 Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah,2012), cet,
ke- 1, h. 71
105
Hal ini pada akhirnya membawa konsekuensi bahwa anak angkat tidak termasuk
ahli waris yang berhak mewarisi harta warisan dari orang tua angkatnya.
Dalam hal penetapan setatus anak angkat bukan sebagai ahli waris dari
orang tua angkatnya, dikalangan ulama di seluruh Indonesia pada saat
pengumpulan bahan-bahan KHI, tidak seorang pun ulama yang dapat menerima
penetapan setatus anak angkat menjadi ahli waris. Kalangan ulama tersebut
mengambil dasar penolakan terhadap hak waris anak angkat dari peristiwa Zaid
bin Haritsah yang diangkat oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai anak angkatnya.
Dalam peristiwa tentang Zaid tersebut, diriwayatkan bahwa Rasulullah
SAW.Pernah mengangkat anak bernama Zaid putra dari Haritsah. Suatu ketika,
Nabi Muhammad di hadapan kaum Quraisy perna menyatakan bahwa :
“saksikanlah olehmu bahwa Zaid, aku angkat menjadi anakku dan mewarisiku
dan akupun mewarisinya”. Maka bangsa arab ketika itu sebagaimana biasanya
memanggil Zaid dengan sebutan Zaid bin Muhammad bukan Zaid bin Haritsah
lagi.95
Beberapa waktu setelah nabi Muhammad menjadi Rasul, maka turunlah
ayat tang menegaskan masalah ini, sebagaimana dalam firman Allah SWT surat
al-Ahzab ayat 4-5 :
95
Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak Dalam Hukum Islam,...,72
106
Artinya :Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar.
itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu
sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah
perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya
dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).Panggilah mereka (anak-anak
angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang
lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang
kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kemudian diperkuat oleh firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 37 :
Artinya :dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat
kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah",
sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah
yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah
mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami
kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang
mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka,
apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya
daripada isterinya.dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
Sejak diturunkannya surat al-Ahzab ayat 4 dan 5 di atas, maka status nasab
anak angkat ke dalam nasab kedua orang tua angkatnya tidak dibenarkan lagi,
bahkan menyebut nama anak angkat tersebut dengan nama orang tua angkatnya
pun tidak dibolehkan. Dengan demikian KHI secara subtansial berpedoman
107
kepada fiqih klasik apalagi dalam hal kewarisan. Larangan memasukan nasab
anak angkat ini ke dalam nasab orang tua angkat ini pun diperkuat oleh surat al-
Ahzab ayat 37, dengan demikian hal ini menunjukan bahwa anak angkat tidak
termasuk ke dalam nasab orang tua angkatnya melainkan nasab anak angkat
tersebut masih tetap kepada orang tua asal dari anak angkat tersebut.
Dasar ayat tersebut di atas adopsi yang dilakukan secara mutlak dengan
memutus nasab antara anak yang diadopsi dengan orang tua kandungnya jelas
diharamkan dalam Islam. Keharaman adopsi seperti ini sama halnya dengan tidak
memperbolehkan menasabkan anak kepada orang lain padahal yang
melakukannya mengetahui bahwa hal itu diharamkan sebagaimana tersebut dalam
hadis :
أبي بكرة قال سمعت أذناي ووعى قلبي محمدا صلى هللا عليه وسلم يقول من عن
(رواه ابن ماجة)اد عى إلى غير أبيه وهويعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام
Artinya :Dari Abu Bakrah berkata,kedua telingaku mendengar dan hatiku
menghapal Nabu Muhammad SAW bersabda: ‘Barangsiapa yang
menasabkan dirinya kepada lelaki lain selain bapaknya, maka di
haramkan baginya surga.’(HR Ibnu Majah)
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa adopsi yang dilakukan dengan
cara memutuskan hubungan nasab anak yang diadopsi dengan kedua orang tua
kandungnya dan memberinya status anak kandung, jelas haram dan tidak di
perbolehkan dalam Islam. Namun demikian hukum Islam mengakui bahkan
menganjurkan pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan anak,
sehingga menjadi anak punggut atau anak asuh.Dalam hal ini status
kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan keluarga orang tua angkatnya dan
108
dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum sedikitpun.Ia tetap kerabat dan
anak dari orang tua kandungnya berikut segala akibat-akibat hukumnya.
Berkaitan dengan akibat-akibat hukum adopsi setidaknya terdapat dua
status hukum yang terkait dalam hal ini yaitu, dalam masalah kewarisan antara
orang tua angkat dan anak angkat/diadopsi tidak bisa saling mewarisi, sebab ia
tetap bernasab kepada orang tua kandungnya demikian juga dalam masalah
perkawinan, ia tidak termasuk dalam kandungan ayat Tahrim, sehingga antara ia
dan orang tua atau kerabat angkatnya tetap diperbolehkan saling menikah, justru
larangan menikah berlaku antara ia dengan orang tua kandungnya.96
Dengan pengangkatan anak menurut KHI tidak menyebabkan putusnya
hubungan nasab atau darah seorang anak dengan orang tua yang melahirkannya.
Islam dengan tegas memberikan batasan-batasan tersebut terhadap kedudukan
anak angkat di dalam keluarganya.Hal tersebut tentu berbeda dengan kedudukan
anak angkat di dalam KUHPerdata.
Dalam hal pewaris pun, orang tua angkat tidak boleh saling mewarisi
dengan anak angkatnya hal itu didasarkan bahwa sebuah pewaris didasari adanya
hubungan nasab atau keturunan yang sah. Meskipun demikian, hak anak angkat
tetap menjadi perhatian di dalam Islam, dimana pewaris terhadap anak angkat
dapat dilakukan melalui wasiat wajibah (Pasal 209 KHI).97
Adapun dasar hukum dari wasiat wajibah ini adalah diambil dari ketentuan
tentang wajibnya wasiat yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 180:
96
Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak Dalam Hukum Islam,...,75 97
Cik Hasan Basri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional,....,h.90
109
Artinya :diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Jadi dari ayat di atas jelas bahwa Kompilasi Hukum Islam menempatkan
bahwa anak angkat dan atau orang tua angkat sebagai orang yang berhak
menerima wasiat wajibah, sebab anak angkat dan orang tua angkat disini bukan
merupakan ahli waris.
E. Kewarisan Anak Angkat dalam Hukum Perdata
Pada pembahasan sebelumnya telah diterangkan bahwa kedudukan anak
angkat di dalam keluarga menurut KUHPerdata yaitu setara dengan anak
kandung.Berdasarkan staatsblad Nomor 129 Tahun 1917, pada Pasal 12 yang
menyamakan seorang anak dengan anak yang sah dari perkawinan orang yang
mengangkat.
Mengenai siapa saja yang berhak mendapatkan warisan maka KUHPerdata
menggolongkan ahli waris menjadi 4 golongan, yaitu:
1. Ahli Waris Golongan I ; a. Ahli waris golongan I terdiri atas anak-anak atau
sekalian keturunannya. Anak yang dimaksud pada Pasal tersebut adalah anak
sah, karena mengenai anak luar kawin, pembuat undang-undang mengadakan
pengaturan tersendiri dalam bagian ke 3 Titel/Bab ke II mulai dari Pasal 862
KUHPerdata. Termasuk di dalam kelompok anak sah adalah anak-anak yang
disahkan serta anak-anak yang diadopsi secara sah.; b. Suami atau istri yang
110
hidup lebih lama. Adapun besaran bagian hak seorang istri atau suami atas
warisan pewaris adalah ditentukan dengan seberapa besar bagian satu orang
anak.98
2. Ahli Waris Golongan II ; Golongan ini terdiri atas orang tua, saudara laki-laki
atau perempuan dan keturunannya. Pengaturan mengenai bagian ahli waris
golongan ini diatur dalam KUHPerdata.99
3. Ahli Waris Golongan III; Golongan ini terdiri atas keluarga sedarah dalam
garis lurus ke atas sesudah orang tua, baik dari pihak ayah maupun dari garis
ibu. Menurut Pasal 853 KUHPerdata, golongan ini muncul apabila ahli waris
dari golongan I dan II tidak ada. Yang dimaksud dengan keluarga sedara
dalam garis ibu dan garis ayah keatas adalah kakek dan nenek, kakek buyut
dan nenek buyut terus keatas dari garis ayah maupun dari garis ibu.100
4. Ahli Waris Golongan IV ; Menurut Pasal 858 ayat 1 KUHPerdata, dalam hal
tidak adanya saudara (golongan II) dan saudara dalam salah satu garis lurus
keatas (golongan III), maka setengah bagian warisan menjadi bagian keluarga
sedarah dalam garis lurus keatas yang masih hidup. Sedangkan setengah
bagiannya lagi menjadi bagian dari para sanak saudara dari garis yang lain.
Pengertian sanak saudara dalam garis yang lain ini adalah para paman dan
bibi, serta sekalian keturunan mereka yang telah meninggal dunia lebih dahulu
dari pewaris.101
Cara mewarisi ahli waris di dalam sistem KUHPerdata terbagi menjadi 2
98
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), cet.
Ke-1, h. 66 99
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral,...., h. 66 100
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral,...., h. 67 101
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral,...., h. 67
111
macam, yaitu:102
1. Ahli waris menurut undang-undang (ab Intestato).
Ahli waris menurut undang-undang (ab intestato) adalah ahli waris yang
mempunyai hubungan dara dengan si pewaris mewarisi berdasarkan undang-
undang ini adalah yang paling diutamakan mengingat adanya ketentuanlegitime
portie yang dimiliki oleh setiap ahli waris ab intestato ini. Ahli waris yang
berdasarkan undang-undang ini berdasarkan kedudukannya dibagi menjadi dua
bagian lagi yakni:
a. Ahli waris berdasarkan kedudukan sendiri (Uit Eigen Hoofde).
Ahli waris yang tergolong golongan ini adalah yang terpanggil untuk
menerima harta warisan berdasarkan kedudukannya sendiri dalam Pasal 852 ayat
(2) KUHPerdata, dinyatakan:
“Mereka mewarisi kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka
memiliki pertalian keluarga dalam derajat kesatu dan masing-masing
mempunyai hak karena diri sendiri”.
b. Berdasarkan penggantian (Bij Plaatvervuling)
Ahli waris yang menerima ahli waris dengan cara menggantikan, yakni
ahli waris yang menerima warisan sebagai pengganti ahli waris yang berhak
menerima warisan yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Ahli
waris Bij Plaatvervuling ini diatur dalam Pasal 841 sampai Pasal 848
KUHPerdata.
1. Ahli waris berdasarkan wasiat (Testament)
Yang menjadi ahli waris di sini adalah orang yang ditunjuk atau diangkat
102
Sunaryo Hadi, Hukum Kewarisan KUHPerdata dan Gugurnya hak Mewarisi Karena
Daluarsa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 2009, dalam
http://datarental.blogspot.co.uk/2009/06/hukum-kewarisan-kuh-perdata-bw-dan.html
112
oleh pewaris dengan surat wasiat sebagai ahli warisnya (erfstelling), yang
kemudian disebut dengan ahli waris ad testamento. Wasiat atau testamen dalam
KUHPerdata adalah pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya
setelah ia meninggal dunia. Pada asasnya suatu pernyataan kemauan terakhir itu
ialah keluar dari satu pihak saja (eenijdig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali
(herroepen) oleh pewasiat baik secara tegas (uitdrukklijk) atau secara diam-diam
(stilzwijdend).Aturan testamenyangterdapat dalam Pasal 874 KUHPerdata ini
mengandung suatu syarat bahwa tastamen tidak boleh bertentangan dengan
legitime portie dalam Pasal 913 KUHPerdata. Dan yang paling lazim adalah suatu
testamen berisi apa yang dinamakan erfstelling yaitu penunjukkan seseorang atau
beberapa orang menjadi ahli waris yang akan mendapat harta warisan seluruh atau
sebagian dari harta warisan.
Sedangkan menurut Sistem Kewarisan Anak Angkat menurut Komplikasi
Hukum Islam (KHI) seperti halnya hukum Islam (fiqh) KHI tidak mengartikan
pengangkatan anak dalam artian yang mutlak sebagaimana yang diartikan
menurut BW, di mana pengangkatan anak berarti mengambil anak orang lain
untuk dimasukkan ke dalam keluarganya (orang yang mengangkatnya) dan
memutuskan hubungan anak yang diangkat tersebut dengan orang tua
kandungnya. Tetapi pengangkatan anak menurut KHI adalah pengangkatan anak
dalam artian yang terbatas yaitu terbatas pada pengasuhan terhadap anak orang
lain, di mana seseorang mengambil anak orang lain dan dianggapnya sebagai anak
dalam segi kecintaan, pendidikan dan pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari
dengan tidak memutuskan hubungan anak itu dengan orang tua kandungnya
113
sendiri. Hal ini dari Pasal 171 KHI (h), yang menyatakan bahwa anak adalah yang
dalam hal pemeliharaan untuk hidupnyasehari-hari, biaya pendidikan dan
sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.103
1. Sebab-sebab kewarisan menurut KHI
Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Pasal 171 huruf h KHI di atas
dapatlah dipahami bahwa anak angkat menurut KHI bukanlah sebagai orang yang
berhak terhadap harta warisan orang tua angkatnya atau sebaliknya.Oleh sebab itu
dalam buku II yang membicarakan tentang kewarisan pada KHI tidak ada di
nyatakan dalam Pasal-Pasalnya itu anak angkat sebagai penyebab kewarisan.
Adapun yang merupakan sebagai penyebab kewarisan menurut KHI
adalah: orang yang ada hubungan darah dengan pewaris dan orang yang ada
hubungan perkawinan dengan pewaris.
Hal ini dapat dilihat pada Pasal 174 ayat 1 dan 2 KHI yang menyatakan
bahwa:
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah:
1. Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman
dan kakek
2. Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan
dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda dan janda.
103
Suparno Usman, Fiqh Mawaris; Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002), h. 163
114
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya:
anak, ibu, ayah, janda, duda.104
Dari sebab-sebab kewarisan yang terdapat dalam Pasal 174 di atas jelas
bahwa anak angkat dan atau orang tua angkat tidak termasuk orang yang berhak
untuk mendapatkan warisan (ahli waris).
2. Warisan Anak Angkat Menurut KHI
Dari uraian terdahulu sudah dinyatakan bahwa pengangkatan anak
menurut KHI bukanlah berarti mengambil anak orang lain untuk dijadikan atau
dimasukkan ke dalam keluarga orang yang mengangkatnya dengan kedudukan
yang sama seperti halnya anak kandung. Tetapi pengangkatan anak menurut KHI
hanyalah sebatas untuk pengasuhan anak orang lain, hal ini dinyatakan dalam
Pasal 171 huruf h KHI sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.Kemudian
pada Pasal 174 KHI juga dipertegas bahwa dalam hal menjelaskan sebab-sebab
kewarisan di mana pada Pasal tersebut tidak dinyatakan anak angkat sebagai ahli
waris. Maka dari apa yang dinyatakan dalam pembahasan yang terdahulu itu dapat
disimpulkan, bahwa kedudukan anak angkat menurut KHI tidak sama dengan
anak kandung dari orang tua angkatnya. Oleh karena itu anak angkat tidak
termasuk ke dalam ahli waris dari orang tua biologisnya.
Namun walaupun demikian pada Pasalnya 209 KHI diatur tentang
ketentuan-ketentuan wasiat wajibah untuk anak angkat dan orang tua angkat.
Pada Pasal 209 ayat 1 dan 2 KHI dinyatakan bahwa:
1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal-Pasal 176 sampai
104
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, …, h. 83
115
dengan 193 tersebut di atas. Sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak
menerima wasiat, diberi Wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari
warisan anak angkatnya.
2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat, diberi Wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.105
Berdasarkan Pasal 209 di atas dapat dipahami, bahwa menurut KHI
Wasiat wajibah hanya sebatas untuk anak angkat dan orang tua angkat. Hal ini
berbeda dengan ketentuan hukum Islam yang berlaku di beberapa negara muslim
ketentuan wajibnya wasiat ini pada dasarnya berlaku untuk walidain dan aqrabain
(ibu bapak dan karib kerabat) bukan untuk anak angkat atau orang tua angkat.
Adapun yang menjadi dasar hukum dari pada Wasiat wajibah ini adalah
ketentuan tentang wajibnya wasiat yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 180:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-
tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak
dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa
Jadi dari ayat di atas dapat dipahami, bahwa Allah SWT memerintahkan
wajibnya wasiat ini adalah untuk walidaini dan aqrabain (ibu bapak dan karib
kerabat). Namun terhadap ayat tersebut terdapat perbedaan pendapat di antara
para mufasir atau mujtahid tentang muhkam dan mansukhnya ayat wasiat dalam
surat al-Baqarah ini.
Mufassirin atau mujtahid yang berpendapat bahwa ayat ini muhkam,
105
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, …, h. 94
116
selajutnya mengatakan bahwa kewajiban wasiat terhadap ibuk bapak dan karib
kerabat atau ahli waris tersebut, masih tetap berlaku, cuma saja ayat ini
ditakhsiskan oleh ayat mawaris surat an-Nisa’ ayat 11-12.Dengan demikian
kewajiban wasiat masih tetap berlaku, tetapi hanya terhadap ahli waris yang tidak
mendapatkan warisan atau ahli waris yang terhalang untuk mendapatkan warisan,
seperti zawil arham dan ahli waris yang terhalang lainnya.
Mujtahid yang berpendapat bahwa ayat wasiat surat al-Baqarah ayat 180
itu muhkam adalah Abu Muslim al-Ashfihani dengan alasan dan argumentasi
sebagai berikut:
1. Ayat wasiat itu tidak bertentangan dengan ayat waris, tetapi ia berdiri sendiri
pada fungsinya masing-masing.
2. Wasiat terhadap keluarga masih tetap berlaku, dan ia harus berdasarkan
kepada peraturan-peraturan Allah SWT.
3. Kalau ada ayat itu masih dipakai, besar kemungkinan ayat waris
mengkhususkan ayat wasiat, sebab ayat wasiat ini lebih umum sifatnya
(pengartiannya). Di mana wasiat itu khusus untuk keluarga, sedangkan ayat
waris khusus untuk orang-orang yang berhak menerimanya, maka ayat wasiat
tetap untuk keluarga yang tidak mendapatkan warisan.106
Pendapat di atas merupakan dasar wasiat wajibah di Mesir yang
menganggap wasiat terhadap ahli waris masih tetap berlaku sah, sebagaimana
tercantum dalam Pasal 37 UU wasiat No. 71 tahun 1946, yang menyatakan
bahwa: wasiat wajibah berlaku terhadap cucu dan cucu-cucu yang ayah ibunya
106
Cik Hasan Basri (ed), Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional, h.
195
117
meninggal dunia terlebih dahulu dari pada atau bersamaan waktunya dengan
pewaris (kakek/nenek mereka) ketentuan.107
Begitu pula di Suriah dan Maroko,
sedangkan di Pakistan dan Indonesia dalam bentuk pengganti Ahli Waris.
Sedangkan mufassirin atau mujtahid yang berpendapat bahwa ayat wasiat
di atas adalah mansukh. Selanjutnya mengatakan bahwa kewajiban wasiat
terhadap ahli waris dimansukh atau tidak berlaku lagi dengan turunya ayat
mawaris dan hadits nabi yang menyatakan bahwa: “Tidak sah berwasiat kepada
ahli waris”. Adapun maksud dari kata nasakh di sini adalah nasakh dalam artian
di-tabdil-kan atau digantikan bukan dalam artian dialihkan atau ditawilkan atau
dihapuskan. KHI tampaknya memilih pendapat mufassirin atau mujtahid
yangkedua ini, seperti termuat dalam Pasal 195 ayat (3) yang berbunyi: “Wasiat
kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris”.108
Dari ketentuan di atas ada kemungkinan, karena KHI tidak mengakui
sahnya wasiat kepada ahli waris, maka melarikan Pasal 185 kepada konsep
pengganti ahli waris yang diilhami oleh pendapat Hazairin dan atau ketentuan
pengganti ahli waris di Pakistan. Hazairin menerjemahkan surat al-Nisa’ 33:
“Bagi mendiang orang, Allah SWT mengadakan mawali bagi harta peninggalan
orang tua dan keluarga dekat ... Mawali diterjemahkan sebagai ahli waris
pengganti.109
Dengan demikian nampak bahwa antara wasiat wajibah yang ada pada
107
Ahmad Junaidi, Wasiat Wajibah; Pergumulan Hukum Adat dan hukum islam di
Indonesia, (Jember: Pustaka Pelajar dan STAIN Jember Press, 2013), Cet. Ke- 1, h. 91 108
Ahmad Junaidi, Wasiat Wajibah; Pergumulan Hukum Adat dan Hukum Islam di
Indonesia, ..., h. 92 109109
Cik Hasan Basri (ed), Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional,
..., h. 94
118
KHI ini berbeda dengan ketentuan wasiat yang ada pada hukum Islam, seperti
yang berlaku di Mesir Suriah dan Maroko.Di mana wasiat wajibah di negara-
negara tersebut adalah untuk ibu bapak dan karib kerabat.Sedangkan pada 209
KHI wasiat wajibah di sini adalah untuk anak angkat dan atau orang tua
angkat.Adapun untuk karib kerabat atau ahli waris seperti yang ada pada wasiat
wajibah di Mesir dan beberapa daerah muslim lainnya itu (sebagaimana yang
telah disebutkan sebelumnya itu) sama dengan ketentuan pengganti ahli waris
dalam Pasal 185 KHI.
Hal tersebut disebabkan karena KHI lebih cenderung kepada pendapat
yang menyatakan bahwa wasiat kepada ahli waris atau karib kerabat itu telah
dinasakhkan oleh Hadits Nabi dan ayat mawaris surat an-Nisa’ ayat 11-12,
sementara UU wasiat wajibah Mesir dan negara-negara muslim lainnya itu
menganggap atau sependapat dengan pendapat yang menyatakan bahwa wasiat
masih berlaku untuk ahli waris, yaitu ahli waris yang tidak mendapat warisan atau
ahli waris yang terhalang mendapat warisan seperti zawil arham dan lain-lainnya.
119
BAB IV
FILOSOFIS
A. Pendapat Kompilasi Hukum Islam memberikan hak wasiat wajibah
terhadap anak angka
Pada bab III telah dijelaskan tentang gambaran kewarisan anak angkat
menurut Undang-Undang hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang pada dasarnya (secara
substansial) berpedoman kepada hukum Islam (fiqih), juga menentukan bahwa
anak angkat tidak bisa berkedudukan seperti anak kandung, sehingga ia mewarisi
harta peninggalan dari orang tua angkatnya sebagaimna halnya anak kandung
dapat mewarisi harta peninggalan orang tuanya. Ketentuan tentang pengangkatan
anak ini pada KHI dimuat dalam pasal 171 huruf (h) yaitu : “anak angkat adalah
anak yang dalam pemeliharaan hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan
sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”. Biaya pendidikan beralih tanggung
jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya. Jadi anak angkat
menurut KHI tampaknya sama dengan anak asuh, sebab anak asuh juga hanya
berhak mendapat kasih sayang, biaya pendidikan, pemeliharaan dan pemenuhan
kebutuhan hidupnya sehari-hari dari orang tua asuhnya. Akan tetapi ia tidak
berhak mendapatkan harta warisan dari orang tua asuhnya karena anak asuh tidak
120
dinasabkan kepada orang tua asuhnya tersebut.
Dari ketentuan di atas jelas bahwa KHI seperti halnya hukum Islam (fiqih)
mengartikan “Adopsi” atau “Tabanni” dalam artian yang tidak mutlak melainkan
dalam artian yang terbatas, yaitu terbatas pada pengertian
pengasuhan/pemeliharaan hidupnya sehari-hari.
Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mengakui
lembaga pengangkatan anak yang mempunyai akibat hukum seperti yang pernah
dipraktikan masyarakat jahiliyah. Sebelumnya, praktik pengangkatan anak
dilaksanakan secara luas pada masa jahiliyah, dimana anak angkat diberi status
dan kedudukan yang sama dengan anak kandung.110
Nabi Muhammad sendiri
semenjak sebelum menyiarkan agama Islam telah mengangkat anak atas Zaid
sehingga dipangggil Zaid bin Muhammad tetapi dihentikan dan dibatalkan dengan
perintah Allah didalam Alquran surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5.111
Untuk menegaskan tidak diperbolehkannya praktik seperti itu, Allah dalam
persoalan ini telah memilih Rasulullah untuk memberikan contoh nyata untuk
menolak setiap keberatan orang mukmin tentang dibolehkannya mengawini bekas
istri anak-anak angkatnya. Hal itu juga dimaksudkan agar terdapat keyakinan
tentang apa yang dianggap halal dan yang dianggap haram. Contoh nyata tersebut
diceritakan dalam sebuah kisah bahwa Zaid bin Haritsah yang kemudian dikenal
sebagai Zaid bin Muhammad, telah menikah dengan Zainab binti Jashy sepupu
Nabi sendiri. Kehiduan mereka tidak berjalan dengan baik dan Nabi mengetahui
110
Asep Saepudin Jaha, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan bisnis, (Jakarta; Kencana
Prenadamedia Group, 2013), h. 87. 111
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 1995),
cet ke-5 h. 169.
121
keinginan Zaid untuk menceraikannya.Setelah Zainab bercerai dari Zaid, Nabi
menikahi Zaunab.Namun, Nabi sebelumnya merasa malu, dan karena itu Nabi
berkata pada Zaid untuk menahan Zainab dan agar takut kepada Allah.
Untuk ketegasan hukum dari apa yang dipraktikan Nabi Saw, Allah
menurunkan aturan melalui Firman-Nya dalam Alquran surat al-Ahzab ayat 37
yang berbunyi:112
Artinya: Dan (ingatlah) ketika engkau berkata orang yang telah diberi nikmat
oleh Allah dan engkau juga telah memberi kenikmatan kepadanya (Zaid
bin Haritsah); “tahanlah untukmu istrimu dan takutlah kepada Allah”,
dan engkau menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah tampakkan,
dan engkau takut manusia, padahal Allahlah yang lebih berhak engkau
takutinya. Maka tatkala Zaid memutuskan untuk mnceraikan Zainab,
kami (Allah) kawinkan engkau dnegan dia, supaya tidak menjadi beban
bagi orang-orang mukmin tentang bolehnya mengawini bekas istri anak-
anak angkatnya apabila mereka itu telah memutuskan menceraikannya,
dan keputusan Allah pasti terlaksana. (QS.al-Ahzab:37)
Pada dasarnya hukum Islam hanya mengakui bahkan menganjurkan,
pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan anak; dalam artian
status kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan keluarga orang tua
angkatnya dan dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum apa-apa.Ia tetap
anak dan kerabat orang tua kandungnya, berikut dengan segala akibat hukumnya.
112
Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan bisnis, ... , h. 87-88.
122
Larangan pengangkatan anak dalam arti benar-benar dijadikan anak
kandung berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat al-Ahzab (33) ayat 4-5
yaitu:
…
Artinya: “… dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu
dimulutmu saja.Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat
itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil
pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,
maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu
khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. al-Ahzab:4-5)
Dalam buku Shafwatut Tafasir, Tafsir-Tafsir Pilihan dijelaskan kalimat
“Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri),” Allah tidak menjadikan anak orang lain yang kamu adopsi, sebagai
anak kalian yang sesungguhnya. “Yang demikian itu hanyalah perkataan mu di
mulut saja,” panggilan kalian kepada mereka yaitu “anak”, hanyalah ucapan di
mulut saja dan tidak ada hakekatnya dalam kenyataan.“Dan Allah mengatakan
yang sebenarnya,” Allah berfirman kebenaran yang sesuai dengan kenyataan dari
segala segi.“Dan Dia menunjukkan jalan (yang benar),” Allah menunjukkan jalan
yang lurus.Inti ayat ini adalah mengingatkan salahnya persangkaan kaun jahiliyah.
Sebagaimana seseorang tidak mempunyai dua hati dalam rongganya, demikian
juga istri yang dizhihar suami ia tidak secara otomatis berubah statusnya
123
sebagaimana ibu kandungnya, dan anak adopsi tidak menjadi anak sungguhan,
sebab ibu yang sesungguhnya adalah yang melahirkan kamu, dan anak sungguhan
adalah anak yang dilahirkan seseorang.
Kemudian Allah memerintahkan untuk mengembalikan nasab anak adopsi
kepada ayahnya dan Dia berfirman: “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu)
dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itu lah yang lebih adil pada sisi
Allah,” nisbatkanlah anak-anak adopsi itu kepada ayah kandungnya, hal itu lebih
adil menurut hukum Allah dan syariat-Nya. Ibnu Jarir berkata: Yakni menisbatkan
mereka kepada ayah mereka lebih adil di sisi Allah dan lebih benar daripada
menisbatkan mereka kepada selain ayah mereka. “Dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-
saudaramu seagama,” jika kalian tidak mengenal ayah kandung mereka, maka
mereka adalah saudara kalian seagama, “dan maula-maulamu,” teman kalian
dalam Islam. Hendaknya kalian memanggilnya: Hai saudaraku, hai maulaku, yang
dimaksudkan adalah saudara seagama dan teman dalam agama. Ibnu Katsir
berkata: Allah memerintahkan untuk mengembalikan nasab anak adopsi kepada
ayah kandungnya jika dikenal. Jika tidak, maka anak adopsi adalah saudara kalian
seagama dan teman kalian, sebagai pengganti nasab yang tidak kalian kenal. Itu
lah sebabnya Nabi bersabda kepada Zaid bin Haritsah: “Kamu adalah saudara
kami dan maula kami.”
Ibnu Umar berkata: Kami dahulu tidak pernah memanggil Zaid bin
Muhammad, kecuali dengan Zaid bin Muhammad, sampai turunlah ayat ini
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
124
mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah. Dan tidak ada dosa atasmu
terhadap apa yang kamu khilaf pada-Nya,” hai orang-orang mukmin, kalian tidak
berdosa pada orang yang kalian nisbatkan kepada selain ayah mereka karena
kalian khilaf, “ tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu,” dosa
adalah pada nisbat yang sengaja kalian lakukan kepada selain ayah orang itu.
“Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” Allah luas
ampunan-Nya dan agung rahmat-Nya, Dia mengampuni orang yang khilaf dan
merahmati orang mukmin yang bertaubat.113
Islam menetapkan bahwa antara orang tua angkat dengan anak angkatnya
tidak terdapat hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang dan
hubungan tanggung jawab sebagai sesama manusia.Karena itu, antara keduanya
bisa berhubungan tali perkawinan, misalnya Nabi Yusuf bisa mengawini ibu
angkatnya (Zulaiha) mantan istri Raja Abul Aziz (bapak angkat Nabi Yusuf).
Begitu juga halnya Rasulullah SAW, diperintahkan oleh Allah mengawini
bekas istri Zaid sebagai anak angkatnya. Berarti antara Rasulullah dan Zaid, tidak
ada hubungan nasab , kecuali hanya hubungan kasih sayang antara bapak angkat
dengan anak angkatnya.
1. Ketentuan Jumlah Harta yang Diwasiatkan
Jumlah harta yang boleh diwasiatkan hanya sepertiga dari harta
peninggalan pewaris.Ketentuan ini berdasarkan Hadis Riwayat Bukhori, Muslim
dan Tirmidzi. Imam Tirmidzi mengatakan: “Ini adalah hadist hasan shahih.”yang
berbunyi;
113
Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir Tafsir-tafsir Pilhan Jilid 4,
(Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2011), h. 214-216.
125
جاءني رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يعودنيعام حجت الوداع : عن سعد بن أبي وقاص رضي ا هلل عنه قال
يا رسول هللا، قد بلغ بي من الوخع ما ترى، وأنا ذو مال، وال يرثني أال ابنة، : من وخع اشتد بي، فقلت
الثلث كثير، أنك أن : فالثثلث؟ قال: ال، قلت: ؟ قالفااشطر يا رسو ل هللا: ال، قلت: افأتصدق بثلثي مالي؟ قل
تذر ورثتك آغنياء خير من أن تتركهم عالة يتكفون الناس،وأنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه هللا أال أجرت
.بها، حتى ما تجعل في في امراتك
Artinya: Bersumber dari Sa’ad bin Abi Waqqsah, ia menceritakan, pada waktu
Haji Wada’, Rasulullah menjengukku saat aku sakit parah. Kemudian
aku bertanya, ‘Ya Rasulullah, sungguh aku sdag sakit parah
sebagaimana yang Engkau lihat, dan aku punya banyak harta dan tidak
ada yang akan menjadi ahli warisku melainkan seorang anak
perempuanku, lalu apakah boleh aku menshadhaqahkan dua pertiga dari
harta kekayaanku? Maka beliau bersabda, ‘Tidak (boleh).’Aku bertanya
(lagi), ‘Separoh, ya Rasulullah?’Beliau bersabda, ‘Tidak
(boleh).Kemudian aku bertanya (lagi), ‘Sepertiga?’Lalu beliau bersabda,
‘Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak.Sejatinya engkau
meninggalkan ahli wrismu dalam keadaan kaya itu lebih baik dari pada
egkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin papa, mengems
kepada orang-orang. Sesunguhnya sekali-sekali engkau tidka
mengeluarkan infak yang dnegannya engkau mengharap ridha Allah,
melainkan pasti engkau akan diberi pahala karenanya hingga makanan
yang engkau supakan ke dalam mulut istrimu.’’’114
Para Ulama mengamalkan hadist ini yang mengandung pengertian, bahwa
seseorang tidak diperbolehkan memberikan wasiat lebih dari sepertiga. Bahkan
sebagian ulama mensunatkan agar seseorang memberikan wasiat kurang kurang
dari sepertiga, sebagaimana bunyi hadist berikut:
وا من الثلث ألى الربع، فأن رسول هللا صلى لو أن الناس غض : عن عبد هللا بن عباس رضي هللا عنهما قال
.الثلث، والثلث كثير: هللا عليه وسلم قل
Artinya: Berasal dari Abdullah bin Abbas radhiyallah’anhuma, ia mengatakan,
“Alangkah baiknya, apabila para sahabat menurunkan dari sepertiga ke
seperempat; Karena sejatinya Rasulullah pernah bersabda, ‘Sepertiga,
dan sepertiga itu sudah banyak.”
114
Syaikh Abdullah Abdurrahman Alu Basam, Syarah Hadist Hukum Bukhori Muslim,
(Jakarta; Pustaka As-Sunnah, 2010), h. 870
126
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia sebagai tokoh umat ini dan
penerjemah Al-Qur’an, memahami hadist Nabi, “Sepertiga, dan sepertiga itu
sudah banyak,” bahwa seyogyanya wasiat itu kurang dari sepertiga, bahkan lebih
baik seperempat.Pasalnya, dalam kisah Sa’ad itu Rasulullah menganggap
sepertiga itu sudah banyak.Namun beliau tetap memandang Sa’ad antusias sekali
untuk mensadaqahkan sebgaian hartanya sebanyak itu.
Semua itu dimaksudkan agar seseorang memberikan manfaat kepada
kerabat dekatnya dan memperhatikan hak mereka yang harus ia tunaikan kepada
mereka, sehingga mereka merasa berkecukupan dan merasa tidak perlu meminta-
minta kepada orang lain.115
Perbedaan pendapat yang terjadi antara para ulama terletak pada dua
hal.Yaitu, apakah sepertiga harta itu dihitung pada waktu seseorang memberikan
wasiat atau ketika meninggal dunia?Mengenai hal ini ada dua pendapat, tetapi
yang lebih benar adalah pendapat yang kedua, yatitu ketika meninggal dunia.
Diantara yang berpegang pada pendapat pertama (pada waktu pemberian
wasiat) adalah Imam Malik dan sebagian besar ulama Iraq. Dan demikian itu
merupakan pendapat Al-Nakha’i dan Umar bin Abi Thalib dan sekelompok
tabi’in.
Mereka yang berpegang pada pendapat pertama menyatakan, bahwa
wasiat merupakan akad perjanjian, dimana akad perjanjian itu dihitung dari sejak
awalnya.Dan jika seseorang bernadzar untuk mensedekahkan sepertiga hartanya,
115
Syaikh Abdullah Abdurrahman Alu Basam, Syarah Hadist Hukum Bukhori Muslim, ...
, h. 875-876
127
maka hal itu dihitung sejak nadzar tersebut diucapkan.Pernyataan ini diberi
tanggapan, bahwa wasiat bukan termasuk akad perjanjian dilihat dari sisi
manapun, sehingga tidak diperlukan adanya penyegeraan dan judul qabul.Antara
nadzar dan wasiat terdapat perbedaan.Dimana dalam wasiat seseorang dibenarkan
untuk menarik kembali wasiatnya, sedangkan dalam nadzar tidak dibenarkan.
Selain itu mereka juga berbeda pendapat mengenai, apakah sepertiga itu
dihitung dari keseluruhan harta kekayaan yang tidak diketahuinya atau harta
kekayaannya yang baru yang tidak diketahui?
Jumhur ulama berpendapat, bahwa sepertiga itu dihitung dari seluruh harta
kekayaan yang ditinggalkan.Sedangkan Imam Malik berpendapat, bahwa
sepertiga itu dihitung dari harta kekayaan yang berada dalam pengetahuaanya
saja.
Yang menjadi alasan jumhur ulama untuk berpegang pada pendapat
tersebut adalah bahwasanya dalam perhitungan sepertiga itu tidak ada syarat
menghitung jumlah harta kekayaan ketika pemberian wasiat meskipun
mengetahui jenis kekayaan tersebut. Seandainya pengetahuan terhadap jenis
kekayaan tersebut merupakan syarat, niscaya hal itu sama sekali tidak
diperbolehkan.116
Dan pada akhirnya anak angkat hanya mendapatkan wasiat sebanyak
sepertiga dari harta peninggalan orang tua angkatnya.Jika anak angkat tidak
menerima wasiat dari orang tua angkatnya, maka anak angkat berhak menerima
wasiat wajibah sebanyak sepertiga dari harta peninggalan orang tua
116
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta Timur; Pustaka Al-
Kaustar, 2000), cet ke-6 h.494-496
128
angkatnya.Khusus wasiat wajibah, diatur dalam KHI (Pasal 209 ayat 2), yang
berbunyi “terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya seperiga dari harta warisan orang tua angkatnya”.117
B. Pendapat Undang-Undang hukum Perdata memberikan hak waris
terhadap anak angka
Menurut Undang-Undang hukum Perdata yang terdapat di staatblad tahun
1917 No. 129 yang berlaku bagi golongan Tionghoa dan orang yang tunduk
dengan hukum perdata bahwa perbuatan mengangkat anak itu adalah merupakan
peristiwa perdata, dimana disitu pihak membuat perjanjian bahwa anak diluar
anaknya sendiri dijadikan anaknya sendiri di dalam hukum perdata berarti secara
luas meliputi “private materil” yaitu segalah hukum pokok yang mengatur
kepentingan-kepentingan perseorangan perkataan perdata juga lazim dipakai
sebagai lawan dari pidana
Secara yuridis formal, motif pengangkatan anak tidak ada ketentuannya,
akan tetapi secarakultural motif pengangkatan anak dalam sistem hukum perdata
adalah semata-mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan
dalam sebua masyarakat yang tidak mempunyai anak atau sebagai pancingan agar
setelah mengangkat anak masyarakat tersebut dapat dikaruniai anak dapat
meneruskan keturunan, agar menerima abu leluhur, dan sebagai pancingan agar
dapat memperoleh keturunan dan selaitan dari mempertahankan keturunan hukum
perdata juga yang mengatur anak angkat ini di dalam staadblad 1917 No, 129
yang mana munculnya aturan pengangkatan anak angkat ini yang terdapat di
117
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta; Kencana Prenadamedia Group, 2012), cet ke-2 h. 351.
129
staadblad ini sebagai pelengkap di dalam Undang-Undang hukum perdata yang
tidak ada mengatur tentang anak angkat ini jadi munculnya staadblad ini setelah
perang dunia ke dua sehingga banyak yang gugur dalam peperangan pada saat itu
dan banyak juga anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan begitu juga orang
tua banyak yang kehilangan anaknya maka dari itu hukum setelah perang dunia
kedua itu keluar surat edaran yaitu staadblad ini yang mengatur tentang
pengaturan anak angkat ini, dan sehingga di dalam hukum perdata anak angkat ini
mendapatkan harta warisan di dalam orang tua angkatnya,
Berdasarkan uraian di atas tadi yang penulis tuangkan bahwa KHI
memberikan hak anak angkat ini dengan jalur wasiat wajibah karena menurut KHI
bahwa di dalam pengambilan anak angkat ini tidak dapat terjadi saling mewarisi
karena KHI melihat kejadian dari Zaid bin haritsah yang mana pada waktu ini
Zaid ini diangkat oleh Nabi Muhammad tetapi setelah turun ayat surat Al-Ahzab
maka Zaid bin Haritsa pun tidak lagi menjadi Zaid muhammad, dan KHI juga
menganggap bahwa pengangkatan anak angkat ini hanya sebatas kasi sayang
orang tua angkat dan anak angkat dan anak angkat juga tidak mendapatkan harata
warisan karena anak angkat tidak ada hubungan dara dari orang tua angkatnya.
Sedangkan di dalam hukum perdata anak angkat ini mendapatkan harta warisan
dan mereka saling mewarisin karena menrurut hukum perdata bahwa anak angkat
itu sudah termasuk anak sendiri sehingga anak angkat dan orang tua angkat dapat
saling mewarisin.
130
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan bab demi bab yaitu dari bab I sampai bab IV.
Maka dalam bab V ini akan diakhiri dengan kesimpulan dan saran-saran. Adapun
yang menjadi kesimpulan dari pembahasan skripsi ini adalah :
1. Menurut hukum perdata (BW) anak angkat itu adalah dalam KUHPerdata
(BW) tidak ada pasal yang mengungkap tentang pengertian adopsi. Tetapi
pengertian adopsi yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu dari kata Adoptie
yang berarti mengambil atau pengangkatan anak orang lain secara sah menjadi
anak sendiri.
2. Kedudukan anak angkat menurut hukum perdata Di dalam KUHPerdata tidak
terdapat istilah anak adopsi atau anak angkat. Pengaturan mengenai anak
angkat hanya dapat ditemukan di dalam staatsblad Tahun 1917 Nomor 129
yang menjadi pelengkap dari KUHPerdata, karena di dalam KUHPerdata tidak
ada aturan yang mengatur mengenai anak angkat, maka lahirnya staatsblad
tersebut adalah untuk melengkapi kekosongan hukum yang mengatur mengenai
permasalahan tersebut. Aturan tersebut menjadi acuan bagi pengangkatan anak
atau pengadopsian anak bagi masyarakat yang tunduk pada KUHPerdata
(Burgerlijk Weetboek). Adapun adopsi yang diatur dalam ketentuan staatsblad
tersebut adalah hanya berlaku bagi masyarakat Tionghoa. Pembahasan
120
131
mengenai hubungan anak angkat dengan orang tua angkat di dalam keluarga
selanjutnya akan diuraikan dengan berpedoman pada apa yang termuat dalam
staatsblad Nomor 129 Tahun 1917. Pada Pasal 5 sampai dengan Pasal 15.
Hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkat ini terdapat pada Pasal
12 menyamakan seorang anak dengan anak yang sah dari perkawinan orang
yang mengangkat. Dengan demikian, anak angkat di dalam keluarga
mempunyai kedudukan yang sama dengan anak kandung atau anak yang
terlahir dari orang tua angkatnya. Hai itupun berakibat pada kesamaan hak dan
kewajiban yang dimiliki oleh anak angkat, termasuk pada pembagian warisan
harta orang tua angkatnya apabila meninggal dunia.
3. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang pada dasarnya (secara
subtensial) berpedoman pada hukum Islam (fiqih), mengartikan “Adopsi” atau
“Tabbani” dalam artian yang tidak mutlak melainkan dalam artian yang
terbatas, yaitu terbatas pada pengertian pengasuhan/ pemeliharaan hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal
kepada orang tua angkatnya. Jadi anak angkat menurut KHI tampaknya sama
dengan anak asuh, sebab anak asuh juga hanya berhak mendapat kasih sayang,
biaya pendidikan, pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-
hari dari orang tua asuhnya. akan tetapi ia tidak berhak mendapatkan harta
warisan dari orang tua asuhnya karena anak asuh tidak dinasabkan kepada
orang tua asuhnya tersebut. bahwa anak angkat tidak bisa berkedudukan seperti
anak kandung, sehingga ia tidak bisa mewarisi harta peninggalan dari orang tua
angkatnya sebagaimana halnya anak kandung dapat mewarisi harta
132
peninggalan orang tua kandungnya. Ketentuan tentang pengangkatan anak
angkat ini terdapat pada KHI yang dimuat dalam pasal 171 huruf (h) yaitu
:“anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan hidupnya sehari-hari,
biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua
asal kepada orang tua angkatnya.
4. Menurut KHI anak angkat berhak mendapatkan wasiat wajibah dari orang tua
angkatnya atau sebaliknya
B. Saran-saran
Adapun saran-saran dari penulis dalam pembahasan skripsi ini adalah :
1. Kepada masyarakat yang memeluk agama Islam, penulis menyarankan agar
kiranya penerapak hukum perdata ini yang berkenaan dengan kewarisan anak
angkat hendaknya di sesuaikan dengan hukum Islam.
2. Kepada penegak hukum kiranya dapat memberikan dan meningkatkan
penyuluhan hukum Islam terutama dalam masalah kedudukan anak angkat
dalam kewarisan kepada masyarakat yang belum mengerti akan hakikat dan
tujuan hukun kewarisan Islam
3. Terhadap rekan-rekan mahasiswa, khususnya mahasiswa Program Studi Al-
Ahwal al-Syakhsiyah, hendaknya tidak enggan untuk menggali, meneliti dan
memasyarakatkan hukum Islam, sehingga diketahui oleh masyarakat mana
tentang ketentuan hukum Islam yang benar dan lebih mendekat kepada
kemaslahatan dan keadilan, terutama dalam masalah kewarisan ini.
Demikian beberapa kesimpulan dan saran-saran yang dapat penulis
kemukakan dalam skripsi ini.Akhirnya kepada Allah SWT jugalah penulis
133
serahkan semuanya.Semoga penulis dan para pembaca diberi taufiq dan
hidayahnya, serta mendapatkan perlindungannya jua, amin.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi. Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, (Jakarta :
PT. Rineka Cipta) 1997;
al-‘Asqalani. Ibn Hajar, Bulughul Maram Min Adillatu Ahkam, (Surabaya: Al-
Hidayah, [t.th]);
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, terj. Mu’ammal Hamidy, (Jakarta: Widjaya, 1987),
jilid IV;
al-Kahlani. Muhammad bin Ismail, Subulussalam, (Bandung: Al-Ma’arif, [t.th]);
Basri. Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem
Hukum Nasional, (Jakarta : Logos Wacana). 1999. Cet. Ke-1
Budiono. Rachmat, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, (Bandung:
PT.Citra Aditiya Bakti, 1999), Cet ke-1;
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya AL-Jumanatul ‘Ali,
(Bandung: CV Penerbit J-ART, 2004);
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000),
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1992);
Hadi. Sunaryo, Hukum Kewarisan KUHPerdata dan Gugurnya hak Mewarisi
Karena Daluarsa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 2009,
dalam;
http://datarental.blogspot.co.uk/2009/06/hukum-kewarisan-kuh-perdata-bw-
dan.html;
http://www.jadipintar.com/2013/08/Kedudukan-Hukum-dan-Hak-Waris-Anak-
Angkat.html;
Irfan.Nurul, Nasab dan Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah,2012),
cet, ke- 1;
134
Junaidi. Ahmad, Wasiat Wajibah; Pergumulan Hukum Adat dan hukum islam di
Indonesia, (Jember: Pustaka Pelajar dan STAIN Jember Press, 2013), Cet.
Ke- 1;
Mestika. Zed, Metodologi Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2004), Cet. ke- I;
Mika. Wasium, Kedudukan Hukum dan Hak Waris Anak Angkat (Anak Pungut,
Adopsi), 2013;
Muhammad. Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2000);
Muhammad. Syaikh Kamil, ‘Uwaidah, Fiqh Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-
Kaustar, 1998), Cet ke-1;
Muhibbin.Moh., dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), cet ke-2;
Nasution. Amin Husain, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012);
R. Soeroso, Perbandingan KUH Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007);
Rafiq. Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995);
Rahman. Abdur, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademika
Persindo, 1995), Cet. Ke-1;
S. Nasution dan M. Thomas, Penuntun Membuat Thesis, Skripsi, Disertasi,
Makalah, (Bandung: CV. Jemmars, 1995);
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), cet.
Ke-5;
Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1986), cet.
Ke-10;
Soeroso, Perbandingan KUHPerdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007);
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan
Praktis), (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), Cet. Ke-1;
Syarifuddin. Amir Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2012), cet ke-2;
135
Syarifuddin. Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan adat
Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 2008);
Tafal.Bastian.Pengangkatan Anak-Anak Angkat menurut Hukum Adat serta
Akibat-Akibat Hukumnya di Kemudian Hari,;
Usman. Suparno, Fiqh Mawaris; Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002);
W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : PN Balai
Pustaka,1982);
Wahid. Abdul dan Muhammad Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011), Cet. Ke-2;
Yunus. Mahmud, Hukum Warisan dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung,
1989);
Yunus. Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerjemah dan
Pentashih al-Qur’an,. 1988);
Zaini. Maderis, Adopsi; Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1985), Cet. Ke-1;
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), Cet. Ke-2: