KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEMBAGIAN HARTA ...

135
1 KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN (Kajian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam Pada Fakultas Syariah Oleh: RIKY PRAYUDHI NIM. 1111.004 JURUSAN AL-AHWAL AS-SYAKSHIYYAH FAKULTASSYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) BUKITTINGGI 1437 H/ 2016 M

Transcript of KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEMBAGIAN HARTA ...

1

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEMBAGIAN HARTA

WARISAN (Kajian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam

Pada Fakultas Syariah

Oleh:

RIKY PRAYUDHI

NIM. 1111.004

JURUSAN AL-AHWAL AS-SYAKSHIYYAH FAKULTASSYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN)

BUKITTINGGI

1437 H/ 2016 M

2

3

4

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM

PEMBAGIAN HARTA WARISAN (Kajian Menurut Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam).Skripsi ini ditulis oleh Riki

Prayudhi, NIM.1111.004, Jurusan Al-Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi 1436 H/ 2016 M.

Latar belakang masalah dalam skripsi ini didasarkan kepada kenyataan yang

penulis temukan dalam literatur hukum kewarisan undang-undang hukum perdata.

Bahwa di dalam kenyataannya hukum perdata (BW) tidak mengatur tentang

pengangkatan anak . Hal ini membawa akibat tidak ada pengangkatan anak yang

didasarkan pada KUHPerdata. Akan tetapi, akibat perang Dunia ke II di Belanda

telah lahir undang-undang tentang pengangkatan anak, yaitu staatsblad Nomor

129 Tahun 1917 pasal 12 yang mengatakan bahwa kedudukan anak angkat sama

haknya dengan anak yang sah dari perkawinan orang yang mengangkat. Dan

terputus nasabnya terhadap orang tua kandung dari anak angkat

tersebut.Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pada KHI Pasal 209 ayat 1

dan ayat 2 bahwa anak angkat dan orang tua angkat tidak dapat saling mewarisi

melainkan mendapatkan wasiat wajibah antara anak angkat dan orang tua angkat.

Masalah utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah kenapa

Kompilasi Hukum Islam memberikan hak wasiat wajibah terhadap anak angkat

dan Hukum Perdata memberikan hak waris terhadap anak angkat

Untuk memperoleh bahan atau data dalam penulisan skripsi ini, penulis

menggunakan metode library research, yaitu mengumpulkan bahan-bahan

melalui penelitian terhadap buku-buku yang ada di perpustakaan, maupun

sumber-sumber lainnya yang ada kaitannya dengan permasalahan skripsi

ini.Setelah data tersebut dikumpulkan, lalu diklasifikasikan untuk diseleksi antara

data primer dan data skunder. Kemudian data yang telah diseleksi itu diolah

dengan menggunakan metode induktif, deduktif, dan komperatif

Kesimpulan dari Skripsi ini adalah, bahwa menurut hukum perdata yang

terdapat di staatsblad nomor 129 tahun 1917 pasal 12 bahwa anak angkat

mendapatkan harta warisan dari orang tua angkatnya dan terputus nasabnya dari

orang tua asalnya. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 209 ayat 1

dan 2 anak angkat tidak mendapatkan warisan melainkan diberi wasiat wajibah,

sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

5

KATA PENGANTAR

بسم هللا الرحمن الرحيم

Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT karena berkat

hidayah dan ‘inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini

sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana dalam hukum Islam. Shalawat

dan salam penulis doakan buat Nabi junjungan kita, Nabi Muhammad SAW.

Semoga beliau selalu mendapat kasih sayang Allah SWT dan tetap berada dalam

naungan-Nya.

Skripsi ini berjudul “KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEMBAGIAN

HARTA WARISAN (kajian menurut kitab undang-undang hukum perdata dan

kompilasi hukum Islam).”

Sesungguhnya kebenaran itu hanya datang dari Allah SWT, tidak ada

gading yang tidak retak. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh

dari kesempurnaan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis berharap kepada

para pembaca yang budiman jika terdapat kesalahan dan kekeliruan baik isi

maupun penulisan supaya dapat memperbaikinya demi kesempurnaan.

Penulis menyadari juga bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak akan dapat

diselesaikan tanpa adanya bantuan, dukungan, ataupun motivasi dari berbagai

pihak. Oleh karena itu, penulis pertama mempersembahkan rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Ayahanda Jumirin dan Ibunda Satiyem tercinta yang

begitu tulus mendidik, membesarkan, serta memberikan motivasi kepada penulis.

Hal ini juga penulis sampaikan kepada kakak penulis: Parliono, Miswanto, Heri

6

Kuswanto, Agus Aliandi yang selalu memberikan motivasi kepada penulis.

Dukungan, saran, dan candamu membuat adikmu selalu tegar dan istiqomah

dalam menggapai cita-cita. Kasih sayang penulis buat adik tercinta yaitu Sri

Rahayu yang selalu memberikan senyum lebar yang menyenangkan hati kepada

penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh keluarga besar yang selalu

memberikan motivasi dan dukungan demi kelanjutan studi penulis.Penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi beserta seluruh jajaran

wakil Rektor, Dekan Fakultas Syari’ah dan Ketua Jurusan Ahwal Al-

Syakhsiyah yang telah memfasilitasi penulis dalam menimba pengetahuan di

IAIN Bukitinggi.

2. Ibu Shafra, M.Ag selaku Pembimbing Akademik penulis selama menjalani

pendidikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi yang telah

memberikan nasehat, saran dan motivasi kepada penulis layaknya seperti

anak beliau sendiri.

3. Bapak Dr. Afifi Fauzi Abbas M.Ag selaku pembimbing I dan Bapak Nofiardi,

M.Ag, selakupembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu dan

fikiran untuk memberikan arahan serta bimbingan dalam menyelesaikan

skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu dosen serta Karyawan/I Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Bukittinggi yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan

di perguruan tinggi ini.

7

5. Bapak Drs. Usman selaku Kepala perpustakaan Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Bukittinggi, serta karyawan/I Perpustakaan IAIN Bukittinggi yang

telah memberikan pelayanan terbaik bagi penulis dalam mencari literatur-

literatur terkait penulisan skripsi ini.

6. Sahabat-sahabat penulis di UKM Forum Tahfizul Quran yang selalu setia

dalam pergerakan dan untuk mengembangkan ajaran Al-Qur’an. Indahnya

pergerakan akan terasa ketika sahabat-sahabat berkontribusi langsung dalam

pergerakan ini.

7. Sahabat-sahabat, kakak-kakak dan abang-abang serta adik-adik penulis di

HIKADU SUMBAR yang selalu memberikan dukungannya terhadap saya

dan silaturahmi yang selama ini yang sudah kita pertahankan, muda-mudahan

HIKADU SUMBAR tetap eksis dalam meningkatkan silaturahmi.

8. Mella Efendi yang telah memberi dukungan dan motivasi kepada penulis

untuk menyelesaikan penulisan skripsi dan pendidikan di Institut Agama

Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

9. Sahabat-sahabat tercinta dan seperjuangan Jalaluddin Lubis, Rahmat

Parluhutan, Lili Nurhafni, Ade Suriyani, Siti Robia, Desi Putri Yeni

10. Kepada para sahabat yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu

yang selalu memotivasi dan memberikan bantuan baik moril maupun materil.

11. Pengurus Mesjid Al Munawarah yaitu Bapak Drs. Deris Khalid, M.Si, bapak

Gusril Basir, SH, M.Hum, bang Ir. M. Zulkarnain, bang Khairizal, MA, bang

Zulmahdi Erios, bang Hendra Kariman, S.Pd dan seluruh jamaah Mesjid yang

8

telah membantu penulis baik moriil maupun materiil dalam penyelesaian studi

di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

Atas bantuan, saran dan bimbingan yang telah diberikan, penulis do’akan

ke hadirat Allah SWT, semoga kiranya apa yang telah diberikan kepada penulis

dapat diterima sebagai amal shaleh di sisi-Nya. Amiin ya Rabbal’alamin.

Akhirnya kepada Allah SWT penulis mengucapkan Alhamdulillah dan

kepada para pihak yang telah disebutkan, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya.Dengan harapan semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi

siapa saja yang membacanya.

Bukittinggi, 04 Februari 2016

RIKY PRAYUDHI

NIM. 1111.004

9

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………………...... i

PERSETUJUAN TIM PENGUJI ………………………………………... ii

ABSTRAK ……………………………………………………………….. iv

KATA PENGANTAR …………………………………………………… v

DAFTAR ISI …………………………………………………………….. ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……………………………………. 1

B. Rumusan Masalah …………………………………………. 8

C. Tinjauan dan Kegunaan Penelitian ……………………….. 8

D. Tinjauan Pustaka ………………………………………….. 9

E. Penjelasan Judul …………………………………………... 11

F. Metodologi Penelitian …………………………………….. 13

G. Sistematika Penulisan……………………………………... 15

BAB II KEWARISAN DALAM ISLAM DAN HUKUM PERDATA

1. KEWARISAN DALAM ISLAM

A. Pengertian Kewarisan........................................................... 17

B. Unsur-unsurnya Kewarisan.................................................. 19

C. Sebab-sebab Terjadinya Warisan ........................................ 21

D. Penghalang Kewarisan ……………………………………. 28

E. Syarat-syarat Mendapatkan Kewarisan …………………… 35

F. Golongan Ahli Waris dan Bagian Masing-Masingnya........ 37

2. KEWARISAN MENURUT HUKUM PERDATA

10

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Kewarisan........................... 47

B. Harta Warisan Dalam Sistem Hukum Waris Eropa.......... 49

C. Pewaris dan Dasar Hukumnya.......................................... 50

D. Ahli Waris Sistem BW dan Porsi Bagianya...................... 51

E. Peran Balai Harta Peninggalan Dalam Pembagian Harta

Warisan............................................................................. 60

F. Ahli Waris Yang Tidak Patut Menerima Harta Warisan.. 61

BAB III GAMBARAN TENTANG KEWARISAN ANAK ANGKAT

MENURUT UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN

KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Pengertian Anak Angkat…………………………………… 63

B. Dasar Hukum Pengangkatan Anak Angkat………………… 67

C. Hubungan antara Anak Angkat dengan Orang Tua Angkat

Menurut Hukum Perdata dan kompilasi Hukum

Islam…………………………………………………………. 87

D. Kewarisan Anak Angkat Dalam Hukum Islam....................... 91

E. Kewarisan Anak Angkat Dalam Hukum Perdata.................... 99

BAB IV FILOSOFIS

A. Pendapat KHI Memberikan Wasiat Wajibah terhadap anak

angkat........................................................................................... 109

B. PENDAPAT HUKUM PERDATA Memberikan hak waris

terhadap anak angkat............................................................... 118

BAB V PENUTUP

11

A. Kesimpulan ………………………………………………… 120

B. Saran-saran…………………………………………………. 122

Daftar Kepustakaan

Daftar Riwayat Hidup

12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT telah menciptakan segala urusan di dunia ini dengan

sempurna.Semua urusan di dunia ini pasti mempunyai aturan mainnya bagi

kehidupan manusia di dunia.Diharuskan bagi setiap orang untuk mentaati aturan

yang telah berlaku yang bersumber dari al-Qur'an dan Hadist.Sehingga manusia

tidak tersesat dalam menggunakan semua urusan di dunia.

Segi kehidupan manusia yang diatur Allah SWT tersebut dapat

dikelompokkan kepada dua kelompok, yaitu: Pertama, hal-hal yang berkaitan

dengan hubungan lahir manusia dengan Allah Penciptanya. Aturan tentang hal ini

disebut ”Hukum Ibadah” tujuannya untuk menjaga hubungan atau tali antara

Allah SWT dan hamba-Nya yang disebut juga “hablum minallah”. Kedua,

berkaitan dengan hubungan antar manusia dan alam sekitarnya.Aturan tentang ini

disebut “Hukum Muamalat”.Tujuannya menjaga hubungan antara manusia dan

alamnya atau yang disebut dengan “hablum minannas”. Kedua hubungan itu

harus tetap terpelihara agar manusia terlepas dari kehinaan, kemiskinan, dan

kemarahan Allah SWT yang dinyatakan Allah SWT dalam surat Ali Imran (3)

ayat 112.1

Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang

ditetapkan Allah SWT adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan

pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Harta yang

1 Amir Syarifuddin,Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2012), cet ke-2, h. 3

13

ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan

tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara

mendapatkannya.

Kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah

meninggal kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini disebut

dengan berbagai nama. Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah

untuk menamakan hukum kewarisan Islam, seperti faraid, fiqhmawaris, dan

hukum al-waris.

Aturan tentang warisan tersebut ditetapkan Allah SWT melalui Firman

Allah SWT yang terdapat dalam al-Qur'an, terutama dalam Surah An-Nisa’ ayat

7, 8, 11, 12.dan 176. Pada dasarnya ketentuan Allah SWT yang berkenaan dengan

warisan telah jelas maksud, arah dan tujuannya.Hal-hal yang memerlukan

penjelasan, baik yang sifatnya menegaskan ataupun merinci, telah disampaikan

oleh Rasulullah SAW melalui hadistnya.Namun demikian penerapannya masih

menimbulkan wacana pemikiran dan pembahasaan di kalangan para pakar hukum

Islam yang kemudian dirumuskan dalam ajaran yang bersifat normatif.Aturan

tersebut yang kemudian diabadikan dalam lembaran kitab fiqh serta menjadi

pedoman bagi umat Muslim dalam menyelesaikan permasalahan tentang

kewarisan.2

Allah SWT mensyari’atkan warisan ini bagi setiap orang yang telah

meninggal dunia.Dalam kitab Fiqhu Al-Sunnah disebutkan bahwa sebelum

datangnya Islam, yaitu pada masa Jahiliyah terdahulu Bangsa Arab hanya

2Moh. Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,

2011), cet ke-2, h. 2

14

memberikan warisan kepada kaum laki-laki saja dengan mengabaikan kaum

wanita.Mereka hanya memberikan warisan kepada orang-orang yang sudah besar

dengan mengabaikan anak-anak kecil.Selain itu pada saat tersebut terdapat sistem

pembagian waris yang menggunakan sumpah.3

Kemudian Allah SWT menghapuskan semuanya itu dengan menurunkan

ayat berikut ini dalam surat an-Nisa’ ayat 11:

واحدةف لهيوصيكماللهفيأولدكمللذكرمث لحظالن ث ي ينفإنكننساءف وقاث نت ينفلهنث لثامات ركوإنكان ت ات ركإ م دس هماالس هالث لث فإناالنصفولب ويهلكلواحدمن لهولدوورث هأب واهفلم نكان لهولدفإن لميكن

نب عدوصيةيوصيبهاأودينءاباؤكموأب ناؤكملتدرونأي هم دس هالس رب لكمن فعافريكان لهإخوةفلم أق (١١:النساء)ناللهكان عليماحكيماضةمناللهإ

Artinya:“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak

anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian

dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan

lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang

ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia

memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi

masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang

meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak

mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya

mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa

saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian

tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)

sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,

kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat

(banyak) manfaatnya bagimu, ini adalah ketetapan dari

Allah.Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

(QS. An-Nisa’: 11)4

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa warisan ini wajib untuk semua

orang yang telah meninggal dunia dan setiap para ahli waris berhak menerima

3Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqh Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar, 1998),

C eke-1, h.503 4Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya AL-Jumanatul ‘Ali,(Bandung:

CV Penerbit J-ART, 2004), h. 79.

15

harta warisan yang telah ditinggalkan oleh pewaris dan pembagiannya sesuai

dengan penjelasan ayat di atas.

Bagi umat Islam Indonesia, aturan Allah SWT tentang kewarisan telah

menjadi hukum positif yang digunakan dalam Pengadilan Agama dalam

memutuskan kasus pembagian maupun persengketaan yang berkenaan dengan

harta waris tersebut. Dengan demikian, maka umat Islam yang telah

melaksanakan Hukum Allah SWT itu dalam penyelesaian harta warisan, di

samping telah melaksanakan ibadah dengan melaksanakan aturan Allah SWT

tersebut, dalam waktu yang sama telah patuh kepada aturan yang telah ditetapkan

negara.5

Pada masa Jahiliyah, pengangkatan anak merupakan hal yang istimewa,

karena masyarakat Jahiliyah pada saat itu menghukumi anak angkat sama dengan

anak kandung sendiri, terlebih lagi bagi anak angkat yang berjenis kelamin laki-

laki, maka akan lebih mendapatkan tempat yang terhormat, dari pada anak angkat

yang berjenis kelamin perempuan ataupun anak kecil. Istilah tabanni di zaman ini,

barangkali yang bisa menjelaskan akan supermasi anak angkat. Mereka

menetapkan hukum putusnya hubungan nasab anak angkat dengan orang tua

kandungnya untuk kemudian dihubungkan kepada orang tua angkatnya.6

Kondisi demikian berbeda dengan kondisi pada era kemunculan

Islam.Meski tradisi pengangkatan anak masih diterima dalam ajaran Islam, namun

terdapat perubahan status dan keberadaannya. Ketentuan baru yang membahas

tentang status anak angkat dalam hukum Firman Allah SWT dalam QS Al-Ahzab

5Moh. Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, …, h. 2

6Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,

1995),hlm.362

16

4 dan 5:

هاتكموماجع هنأم ئيتظاهرونن قلب ينفيجوفهوماجعلزواجكمالل ياءكمأماجعلللهلرجلمن لدبيل وهوي هديالس واهكمواللهي قوللق (٤:الحزاب)ب ناءكمذلكمقولكمبأف

Artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam

rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu

sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai

anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu

dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia

menunjukkan jalan (yang benar)” (QS. al-Ahzab: 4)

ينومواليكمولي وهلبائهمهوأقسطعنداللهفإن لمت علمواءاباءهفإخوانكمفيالد سعليكمجناحاددت قلوبكموكاناللهغفورارحيما (٥:الحزاب)فيماأخطأتبهولكنمات عم

Artinya: “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama

bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika

kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka

sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak

ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang

ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Ahzab: 5)7

Terlepas dari historis turunnya ayat tersebut, secara normatif, dua ayat di

atas memberikan dua deskripsi yang penting, yaitu: pertama, status nasab anak

angkat tidak dihubungkan pada orangtua angkatnya, tetapi tetap dihubungkan

kepada orangtua kandungnya dan kedua, status pengangkatan anak tidak

menciptakan adanya hubungan hukum perwarisan antara anak angkat dengan

orangtua angkatnya, demikian juga dengan keluarga mereka.

Di Indonesia diberlakukan tiga sistem hukum kewarisan yaitu hukum

kewarisan perdata, Islam, dan adat.Ketiga sistem ini diberlakukan karena belum

memiliki undang-undang hukum waris nasional yang dapat mengatur seluruh

rakyat Indonesia.

7Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,.....h. 419

17

Pengangkatan anak bertujuan untuk meneruskan keturunan apabila dalam

suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan, untuk mempertahankan ikatan

perkawinan, dan tidak jarang pula karena faktor sosial, ekonomi, budaya maupun

politik. Namun kedudukan anak angkat terhadap harta warisan yang akan

diberikan oleh orang tua angkatnya terjadi perbedaan menurut kitab Undang-

Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mengenal

lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah pengakuan anak luar

kawin yaitu dalam bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai 290 KUHPerdata,

maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, pemerintah Belanda pada

tahun 1917 mengeluarkan staatblad Nomor 129 yang mengatur masalah adopsi

bagi golongan masyarakat Tionghoa (Pasal 5 – Pasal 15).8

Dalam Staatsblad ini menyatakan bahwa anak angkat memiliki hubungan

keperdataan secara hukum dan disamakan posisinya sebagai anak yang lahir dari

orang tua angkatnya, sehingga dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari

perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkatnya.9

Dalam Staatsblaad Nomor 129 Tahun 1917, akibat hukum pengangkatan

anak tersebut, antara lain:

a. Adopsi menyebabkan anak angkat tersebut berkedudukan sama dengan anak

sah dari perkawinan orang tua yang mengangkatnya. Termasuk, jika yang

mengangkat anak tersebut seorang janda, anak angkat (adoptandus) tersebut

harus dianggap dari hasil perkawinan dengan almarhum suaminya.

8 R. Soeroso,Perbandingan KUH Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 174

9Rachmat Budiono, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, (Bandung: PT.Citra

Aditiya Bakti, 1999), Cet ke-1, h.190

18

b. Adopsi menghapus semua hubungan kekeluargaan dengan keluarga asal,

kecuali dalam hal:

1. Penderajatan kekeluargaan sedarah dan semenda dalam bidang

perkawinan;

2. Ketentuan pidana yang didasarkan atas keturunan;

3. Mengenai perhitungan biaya perkara dan penyanderaan;

4. Mengenai pembuktian dengan saksi

5. Mengenai saksi alam pembuatan bukti autentik;10

Fatwa Muhammadiyah dan NU mengenai anak angkat bahwa:

“Anak angkat tidak boleh diakui dan disamakan sebagai anak kandung,

sehingga dalam pembagian harta warisan, anak angkat yang tidak

memiliki hubungan nasab atau hubungan darah dengan orang tua

angkatnya tidak dapat saling mewarisi. Dengan kata lain anak angkat

tidak mewarisi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua

angkatnya, demikian pula sebaliknya orang tua angkat tidak mewarisi

harta warisan anak angkatnya”.

Demi keadilan dan kesejahtraan anak angkat maka KHI melalui Inpres RI

Nomor 1 Tahun 1991 memperbolehkan anak angkat mendapatkan harta warisan

orang tua angkatnya dengan melalui wasiat wajibah (Pasal 209 KHI).11

Melihat munculnya perbedaan perspektif, di antara Kompilasi Hukum

Islam dan hukum Perdata yang berlaku di Indonesia dalam memandang status

anak angkat dan implikasinya terhadap perkara kewarisan ini menjadi suatu hal

yang menarik untuk diteliti, maka penulis tertarik untuk meneliti masalah ini lebih

lanjut lagi dengan judul yang akan diteliti ialah:

10

Abdul Kadir Muhammad,Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti,2000), h. 26 11

Wasium Mika, Kedudukan Hukum dan Hak Waris Anak Angkat (Anak Pungut,

Adopsi),2013, dalam http://www.jadipintar.com/2013/08/Kedudukan-Hukum-dan-Hak-Waris-

Anak-Angkat.html

19

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN

(kajian menurut kitab undang-undang hukum perdata dan kompilasi hukum

Islam)

B. Rumusan Masalah

Agar terarahnya penulisan ini dan mencapai apa yang dituju perlu adanya

rumusan masalah, ada beberapa rumusan masalah yang penulis angkatkan dalam

penulisan ini:

1. Kenapa Undang-undang Hukum Perdata memberikan hak kewarisan dan KHI

memberikan hak menerima wasiat wajibahterhadap anak angkat

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan diskursus mengenai status

kewarisan anak angkat dalam dua perspektif yang berbeda, yaitu Kompilasi

Hukum Islam dan hukum Perdata, maka tujuan dari pembahasan skripsi ini

adalah:

a. Untuk mendeskripsikan status kewarisan anak angkat berdasarkan Kompilasi

Hukum Islam dan undang-undang hukum Perdata.

b. Untuk mendeskripsikan tentang persamaan dan perbedaan sistem hukum yang

mengatur kewarisan anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam dan

undang-undang hukum Perdata

2. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

maupun secara praktis, yakni sebagai berikut :

20

a. Secara teoritis, melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui konsep

mengenai status kewarisan anak angkat dalam perspektif Kompilasi Hukum

Islam dan undang-undang hukum Perdata Secara praktis.

b. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap tuntutan

dinamika keilmuan, terutama pembaharuan hukum Islam di Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka

Sebelum masuk lebih jauh lagi mengenai pembahasan penelitian ini, ada

beberapa penelitian terdahulu yang mengangkat pembahasan yang hampir sama

dengan yang dituliskan oleh penulis, akan tetapi dalam setiap penelitian tentu ada

sudut perbedaan dalam hal pembahasan maupun obyek peneliti. Adapun

penelitian tersebut diantaranya adalah:

1. Penelitian yang dilakukan oleh saudari Elwy Yostasia Jurusan Ahwal Al-

Syakhhsiyah Fakultas Syari’ah (2015) yang berjudul Persepsi Masyarakat

Melayu Tentang Kewarisan Terhadap Anak Angkat.Dalam penelitian ini

peneliti meneliti tentang kenapa Masyarakat Melayu memberikan harta

warisan kepada anak angkat dan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap

kewarisan kepada anak angkat tersebut. Latar belakang penelitian ini bahwa di

Daerah Desa Tambusai Batang Dui Anak Angkat mendapatkan harta warisan

dari orang tua angkatnya. Pembagian harta warisan anak angkat sama dengan

anak kandung. Hasil dari penelitian ini adalah penyebab masyarakat melayu di

Desa Tambusai Dui dalam memberikan harta warisan kepada anak angkat

disebabkan karena mereka telah menganggap anak angkat tersebut sebagai

anak kandung mereka sendiri.

21

2. Penelitian saudari Nelfi. A yang berjudul Wasiat Wajiah Terhadap Anak

Angkat Menurut Hukum Islam. Penelitian saudari Nelfi. A meneliti tentang

masalah dari mana sumber atau dasar hukum Komplikasi Hukum Islam dalam

menetapkan peraturan tentang wasiat wajibah yang diberikan kepada anak

angkat yang berbunyi sesuai dengan dalam KHI buku II (Hukum Kewarisan)

Bab V pasal 209 dinyatakan bahwa, terhadap orang tua angkat yang tidak

menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-sebanyaknya 1/3 dari harta

warisan anak angkat (ayat 1), dan terhadap anak angkat yang tidak menerima

wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta warisan orang tua

angkatnya (ayat 2). Ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan di atas,

menurut penulis tersebut tidak dijumpainya di dalam kitab-kitab fiqh.

Dalam hasil penelitian saudari Nelfi tersebut, penulis menyimpulkan

bahwa wasiat wajibah yang ditetapkan dalam Komplikasi Hukum Islam sangat

besar manfaatnya terutama bagi anak angkat demi untuk mewujudkan

kemaslahatan hidupnya di masa yang akan datang, paling banyak 1/3 dari harta

yang ditinggalkan, maka dari itu penguasa atau hakim sebagai aparat negara

mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi surat putusan wajib wasiat,

sekalipun orang tua angkatnya tidak berwasiat di waktu hidupnya, maka tetap

dianggap telah melakukan wasiat.

3. Penelitian saudara Ahmad Walidi, yang berjudul “Kewarisan anak angkat

menurut hukum adat Jawa dan hubungannya dengan pasal 209 KHI. Dalam

pembahasan saudara Ahmad Walidi ini bahwa ditemukan dalam literatur

hukum kewarisan adat Jawa yang berkembang selama ini. Anak angkat

22

mendapatkan dua bagian, yaitu dari orang tua angkatnya dan dari orang tua

kandung sendiri.

Sedangkan menurut hukum Islam anak angkat tidak berhak mendapat

warisan dari harta peninggalan orang tua angkatnya, karena al-Qur'an sudah tegas

menyatakan bahwa anak angkat tidak bisa dinasabkan kepada orang tua

angkatnya, sehingga anak angkat dan orang tua angkatnya juga tidak bisa saling

mewarisi.Menurut hukum Islam yang diterapkan di Indonesia, yaitu pada KHI

pasal 209, dinyatakan bahwa anak angkat dan atau orang tua angkat berhak

mendapatkan wasiat wajibah sebanyak 1/3 dari harta yang ditinggalkan.

Dari kesimpulan penelitian saudara Ahmad Walidi bahwa, antara

Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Adat Jawa tersebut, yaitu sama-sama

memberikan kesempatan terhadap anak angkat untuk mendapatkan harta

peninggalan dari orang tua angkatnya atau sebaliknya. Cuma saja KHI pada pasal

209 memberikan dalam bentuk Wasiat Wajibah tidak dalam bentuk kewarisan

seperti halnya hukum adat jawa.

E. Penjelasan Judul

Untuk menghindari terjadinya kekeliruan dan kesalah pahaman, penulis

akan menjelaskan pengertian istilah yang terdapat dalam judul Kedudukan Anak

Angkat Dalam Pembagian Harta Warisan (Kajian undang-undang hukum

perdata dan Kompilasi Hukum Islam)ini yaitu:

Anak angkat : Anak yang diambil dari keluarga orang lain ke dalam

keluarganya sendiri sehingga dengan demikian antara

orang yang mengambil dengan anak yang

23

diambil/diangkat timbul suatu hubungan hukum.12

Harta : Barang-barang yang menjadi kekayaan13

Warisan : Sesuatu yang diwariskan seperti nama baik, harta, atau

harta pustaka.14

Hukum Perdata : Peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang

berkenaan dengan hak, kewajiban dan sebagai sekalian

warga negara.15

KHI : Merupakan rangkaian dari beberapa pendapat hukum

yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh parah

ulama fiqih yang bisa digunakan sebagai referensi pada

Pengadilan Agama untuk dikembangkan serta dihimpun

kedalam suatu himpunan.16

Jadi kewarisan anak angkat menurut undang-undang Hukum Perdata dan

hubungannya dengan pasal 209 KHI itu maksudnya adalah :

Segalah hal yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dari anak yang

diambil dari keluarga orang lain ke dalam keluarganya sendiri setelah anak yang

diambil tersebut meninggal dunia atau sebaliknya sebagai akibat dari pengambilan

anak tersebut menurut Undang-undang Hukum Perdata dan hubungannya dengan

ini pasal 209 (wasiat wajibah) dari suatu humpunan hukum Islam yang terdiri dari

12

W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : PN Balai

Pustaka,1982), h. 259 13

W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,....., h. 347 14

W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, ..., h. 609 15

W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,...., h. 364 16

Abdur Rahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademika Persindo,

1995), Cet. Ke-1, h. 14

24

dari beberapa pendapat ulama fiqih yang dijadikan sebagai salah satu bahan

rujukan oleh para hakim dalam lingkungan Peradilan Agama di Indonesia untuk

menetapkan atau memutuskan hukum terhadap perkara yang diperiksanya.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian library

research (penelitian pustaka).Penelitian pustaka adalah serangkaian kegiatan yang

berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat

serta mengolah bahan penelitian.17

Jadi dalam hal ini yang penulis lakukan adalah

dengan mengumpulkan buku-buku yang berkenaan dengan penelitian ini,

kemudian mencatat dan mengolahnya berdasarkan pada data-data kepustakaan

yang berkaitan pada pokok persoalan yang dibahas.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yaitu mengumpulkan dan

memaparkan pandangan hukum Islam dan hukum Perdata tentang status

kewarisan anak angkat, kemudian menganalisis dengan menggunakan teori yang

sudah ada.

3. Teknik Pengumpulan Data

Karena penelitian ini merupakan penelitian pustaka, maka dalam

mengumpulkan data-datanya penyusun melakukan pengkajian terhadap literatur-

literatur pustaka yang koheren dengan obyek yang dimaksud, yakni mengkaji

kitab-kitab Fiqih, Tafsir, Hadis dan Undang-Undang serta literatur-literatur lain

17

Mestika Zed, Metodologi Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

2004), Cet. ke- I, h. 3

25

yang ada kaitanya dengan tema pembahasan skripsi ini. Pengkajian terhadap

kitab-kitab Fiqih, Tafsir, Hadis dan Undang-Undang dimaksud untuk

mengumpulkan data tentang pendapat-pendapat dan argumentasi tentang hak

waris anak angkat. Sedangkan dari literatur-literatur umum lain adalah untuk

memperoleh teori-teori dan konsep-konsep serta informasi lain yang dapat

menunjang.

4. Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, maka analisis yang

digunakan adalah berupa analisis deduktif, yaitu menganalisis data dari yang

bersifat umum kemudian ditarik pada kesimpulan yang bersifat khusus, di

samping itu digunakan juga metode Komperatif untuk membandingkan antara

kedua sistem hukum tersebut sehingga diperoleh gambaran yang jelas baik dari

sisi perbedaan maupun persamaannya.

5. Pendekatan dalam Penelitian

Penelitian ini secara komprehensif menggunakan dua pendekatan, yaitu

pendekatan normatif dan yuridis. Pendekatan normatif dalam penelitian ini

berguna untuk mengkaji berbagai ketentuan hukum tentang adopsi, baik dalam

beberapa teks kitab suci (Al-Qur’an dan Hadis), maupun dalam beberapa karya

Imam Mazhab, dan buku-buku yang berhubungan dengan tema penelitian di

samping itu, pendekatan normatif berguna untuk mengkaji ketentuan-ketentuan

hukum Perdata di Indonesia yang secara khusus mengatur tentang status

kewarisan bagi anak angkat.

Pendekatan kedua yaitu Yuridis.Pendekatan ini menurut banyak kalangan

26

Ilmuwan disebut juga sebagai pendekatan hukum.Dalam penelitian ini,

pendekatan Yuridis digunakan untuk mengkajiketentuan hukum yang termaktub

dalam hukum Perdata yang mengatur tentang status kewarisan bagi anak angkat.18

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih jelas dan memudahkan penulis dalam membahas

permasalahan ini, maka berikut ini penulis uraikan sistematika penulisan sebagai

berikut: Adapun sistematika penulisan dibagi 5 (lima) Bab, pada tiap-tiap bab

dapat dirinci ke dalam beberapa sub Bab, yaitu:

Bab I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, penjelasan judul, metode

penelitian dan sistematika penulisan

Bab II Menguraikan tentang kewarisan dalam Islam, pengertian dan unsur-

unsur kewarisan dalam Islam, sebab-sebab terjadinya kewarisan dalam Islam,

penghalang kewarisan, syarat-syarat mendapatkan kewarisan, penggolongan ahli

waris dan bagian masing-masingnya.

Bab III gambaran kompilasi hukum Islam dan undang-undang hukum

perdata tentang kewarisan anak angkat, pengertian anak angkat dalam hukum

perdata dan KHI, dasar hukum pengangkatan anak, hubungan anak angkat dengan

oramg tua angkat,

Bab IV, berisikan tentang filosofis kenapa undang-undang hukum Perdata

memberikan hak harta warisan dan KHI memberikan hak menerima wasiat

wajibah terhadap anak angkat.

18

S. Nasution dan M. Thomas, Penuntun Membuat Thesis, Skripsi, Disertasi, Makalah,

(Bandung: CV. Jemmars, 1995), h. 15

27

Bab V,merupakan bab penutup dari keseluruhan rangkaian penelitian yang

akan menguraikan tentang kesimpulan dan saran-saran.

BAB II

KEWARISAN DALAM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG HUKUM

PERDATA

28

1. Kewarisan dalam Islam

A. Pengertian Kewarisan

Harta warisan di dalam istilah fara’id dinamakan tirkah (peninggalan)

adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, baik berupa uang

atau materi lainnya yang dibenarkan oleh syariat Islam untuk diwariskan kepada

ahli warisnya.19

Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai

perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli

warisnya yang masih hidup.Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum

Warisan di Indonesia misalnya mendefenisikan, “warisan adalah soal apakah dan

bagaimanakah pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan

seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang

masih hidup”.20

Sedangkan kewarisan dalam bahasa Indonesia merupakan rangkaian dari

kata dasar”waris” dengan awalan”ke” dan akhiran “an” secara etimologi berarti

“mendapat warisan” atau pusaka.21

Perkataan waris dalam bahasa Arab adalah miras. Bentuk jamaknya

adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan orang yang meninggal yang

akandibagikan kepada ahli warisnya.

Dalam hukum Islam dikenal adanya ketentuan-ketentuan tentang siapa

19

Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), Cet. Ke-1, h.

39 20

Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris Edisi Revisi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001),

Cet. Ke-4, h. 4 21

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Jakarta: PN Balai

Pustaka,1982),h. 1148

29

yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan, dan ahli waris yang

tidak berhak menerimanya.Istilah fiqih mawaris, dimaksudkan ilmu fiqih yang

mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang

tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tentunya yang diterimanya.Fiqih

mawaris, disebut juga ilmu faraid bentuk jamak dari kata tunggal faridah artinya

ketentuan-ketentuan bagian ahli waris yang diatur secara rinci di dalam al-

Qur’an.22

Al-Qur’an juga mengatakan bahwa waris dalam bahasa Arab merupakan

mashdar dari warasa seperti dalam QS.al-Naml ayat 16 :

(١١:النمل...))وورثسليمانداود

Artinya: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud…” (QS. An-Naml: 16)

Dalam hal ini ada ungkapan lain :

23فلنبعدوفاتهانتقلاليهمال

Artinya: “Perpindahan harta seseorang kepada orang lain setelah ia meninggal

dunia”.

Dalam istilah sehari-hari, fiqih mawaris disebut dengan hukum warisan

yang sebenarnya merupakan terjemahan bebas dari kata fiqih mawaris.Bedanya,

fiqih mawaris menunjuk identitas hukum waris Islam, sementara hukum warisan

mempunyai konotasi umum, biasa mencakup hukum waris adat atau hukum waris

yang diatur dalam KUHPerdata.

Dalam konteks yang lebih umum warisan berarti perpindahan hak

22

Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris Edisi Revisi, …, h. 6 23

Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, …, h. 40

30

kebendaan dari orang yang meninggal kepada ahli waris yang masih hidup.24

B. Unsur-unsur kewarisan

Unsur-unsur kewarisan Islam dalam pelaksanaan hukum kewarisan

masyarakat muslim yang mendiami negara republik Indonesia terdiri atas tiga

unsur yang perlu diuraikan, yaitu (1) pewaris, (2) harta warisan, dan (3) ahli

waris.Ketiga unsur tersebut saling berkaitan, dan masing-masing mempunyai

ketentuan tersendiri. Hal ini diuraikan sebagai berikut;

a. Pewaris

Yang dimaksud dengan pewaris yaitu seseorang yang telah meninggal

dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang

masih hidup.25

Seseorang pewaris dapat diwarisi hartanya oleh ahli warisnya apabila si

pewaris tersebut benar-benar telah meninggal dunia.Meninggalnya pewaris

tersebut adakalanya mati secara hukmi yaitu apabila ada suatu vonis dari hakim

yang menyatakan bahwa dia telah meninggal dunia dan adakalanya mati secara

hakiki yaitu ditandai dengan hilangnya nyawa seseorang dari jasadnya, yang mana

hal ini dapat diketahui secara indrawi.

Pewaris di dalam al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 7,11,12,33, dan 176 dapat

diketahui bahwa “pewaris itu terdiri atas orang tua/ayah atau ibu (al-walidain),

dan kerabat (al-aqrabin). Al-walidain dapat diperluas pengertiannya menjadi

kakek atau nenek kalau ayah atau nenek tidak ada.Demikian pula pengertian anak

24

Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,

2010), Cet. Ke-2, h. 33 25

Amin Husain Nasution, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2012), h. 71

31

(al-walad) dapat diperluas menjadi cucu kalau tidak ada anak.Begitu juga

pengertian kerabat (al-aqrabin) adalah semua anggota keluarga yang dapat dan

sah menjadi pewaris, yaitu hubungan nasab dari garis lurus ke atas, ke bawah, dan

garis ke samping.Selain itu, hubungan nikah juga menjadi pewaris, baik istri

maupun suami.26

b. Ahli Waris

Yang dimaksud dengan ahli waris adalah orang-orang yang berhak atas

harta warisan.Yang berhak menjadi ahli waris adalah orang-orang yang

mempunyai hubungan dengan pewaris baik dalam bentuk hubungan kerabat atau

hubungan perkawinan ataupun hubungan memerdekakan budak. Di samping itu

baru menjadi ahli waris apabila terpenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1) Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris.

2) Tidak ada hal-hal yang menghalanginya secara hukum untuk menerima

warisan.

3) Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat.27

c. Harta warisan

Harta warisan adalah harta yang berhak diterima dan dimiliki oleh ahli

waris.Setelah harta yang ditinggalkan oleh pewaris telah dikeluarkan segala biaya

pengurusan mayat dan hutang-hutangnya serta wasiat dan lain-lain sebagainya.

Apabila pewaris meninggalkan hutang atau wasiat maka hutangnyalah

yang wajib terlebih dahulu dibayar, setelah itu baru dikeluarkan wasiatnya, hal ini

didasarkan pemikiran, bahwa hutang adalah suatu kewajiban yang mutlak harus

26

Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Indonesia, …, h. 45 27

Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Indonesia, …, h. 47

32

dibayar, sedangkan wasiat adalah suatu perbuatan baik yang sebaiknya dilakukan

bila keadaan memungkinkan.28

Setelah hutang dibayarkan maka barulah dikeluarkan wasiat, yaitu

sebanyak 1/3 harta yang ditinggalkannya jika wasiatnya lebih dari 1/3 harta yang

ditinggalkannya, maka yang dikeluarkan hanya 1/3 harta yang ditinggalkan,

kemudian barulah harta peninggalan itu dapat dibagikan kepada ahli waris yang

berhak menerima warisan itu.

C. Sebab-Sebab Terjadinya Warisan

Yang dimaksud dengan sebab-sebab terjadinya kewarisan di sini adalah

hubungan apa yang harus antara pewaris dengan ahli waris sehingga harta

peninggalan pewaris itu dapat beralih kepada ahli waris.

Dalam ketentuan hukum Islam, sebab-sebab untuk dapat terjadinya

warisan ada tiga, yaitu:

1. Hubungan kekerabatan (al-qarabah).

2. Hubungan perkawinan

3. Hubungan karena sebab memerdekakan budak atau hamba sahaya (al-wala).29

Di bawah ini akan penulis uraikan tentang penjelasan dari ketiga sebab-

sebab untuk saling mewarisi.

1. Karena hubungan kekerabatan

ليموأولوالرحامب عضهمأولىبب ع... ضفيكتاباللهإناللهبكلشيء

(57:النفال)

28

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. Ke-3, h.

206-207 29

Abdul Wahid dan Muhammad Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2011), Cet. Ke-2, h. 5

33

Artinya: “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih

berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat), di dalam

kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”

(QS. Al-Anfal: 75)

Yang jadi dasar waris mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat,

bukan hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi antara

Muhajirin dan Anshar pada permulaan Islam.

Kekerabatan artinya adanya hubungan nasab antara orang yang mewarisi

dengan orang yang diwarisi disebabkan oleh kelahiran.Kekerabatan merupakan

sebab adanya hak mempusakai yang paling kuat karena kekerabatan merupakan

unsur kausalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan begitu saja.

Apabila seseorang lahir akibat adanya hubungan antara ayah dan ibunya

dalam suatu ikatan perkawinan yang sah maka anak itu mempunyai hubungan

kekerabatan dengan ayahnya yang meninggal dunia, kecuali kalau ayahnya

mengingkari bahwa anak tersebut bukan anaknya dan ini diucapkan dalam suatu

sumpah li’an.

Tetapi apabila ayahnya tidak mengingkari bahwa itu adalah anaknya,

maka anak tersebut dianggap sebagai anaknya, sehingga ia dapat saling mewarisi

karena adanya hubungan kekerabatan.30

Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang diwarisi

dengan yang mewarisi, kerabat dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:

a. Furu, yaitu anak turun (cabang) dari pewaris.

b. Ushul,yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si pewaris.

c. Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si pewaris melalui garis

30

Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, …, h. 45

34

menyamping, seperti saudara, paman bibi, dan anak turunannya tanpa

membeda-bedakan antara laki-laki dan peremuan.31

Untuk lebih jelasnya, maka penulis akan menerangkan satu persatu, yaitu

sebagai berikut:

a. Furu’

Furu’ menurut bahasa adalah cabang.Apabila dihubungkan kepada orang,

maka istilah furu’ itu berarti turunan atau anak, baik laki-laki maupun perempuan,

sebab furu’ atau cabang itu merupakan turunan atau bahagian dari batang (sebagai

asalnya).Jadi yang dimaksud dengan furu’ di sini adalah keturunan atau anak yang

merupakan bahagian dari kekerabatan atau hubungan pertalian darah yang timbul

akibat perkawinan. Dengan lahirnya seorang anak maka akibatnya ia tentunya

mendapatkan warisan dari ibunya, karena adanya kekerabatan dengan ibunya.

Lain halnya dengan bapaknya, seseorang anak bisa saja tidak mendapatkan

warisan dari bapaknya apabila ia lahir dari akibat hubungan ibu dan bapaknya

yang tidak dalam ikatan perkawinan yang sah.

Adapun tentang kewarisan anak ini diambil berdasarkan firman Allah

SWT pada surat an-Nisa’ ayat 11, dimana dalam ayat tersebut didapatkan bahwa

mula-mula Allah SWT menyebutkan kewarisan anak secara umum dengan

memakai kata-kata أولدكم (anak-anakmu), perkataan ini mencakup anak laki-laki

dan anak perempuan.Hal ini diperjelas lagi oleh ayat selanjutnyayang menyatakan

bahwa bahagian anak laki-laki dan bahagian anak perempuan dalam menerima

31

Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, …, h. 46

35

ولد

warisan tidak dapat dihijab oleh siapapun di antara ahli waris yang

ada.Perkataandalam ayat tersebut dapat pula berlaku bagi cucu, karena kata-kata

itu mengandung pengertian yang luas, yaitu anak dan keturunan seterusnya

ke bawah.

b. Ushul

Yang dimaksud dengan ushul adalah asal atau pokok yang menyebabkan

adanya orang yang meninggal dunia itu yaitu ayah, ibu, kakek, nenek, dan

seterusnya ke atas.

Ayah dan ibu tetap menjadi ahli waris dan tetap berhak terhadap harta

warisan, sekalipun ada ahli waris lain, hanya saja mungkin bahagian ayah dan ibu

ini berkurang dengan adanya ahli waris yang lain. Seperti 1/3 menjadi 1/6

disebabkan karena si pewaris mempunyai anak.

c. Hawasyi

Yang dimaksud dengan hawasyi adalah keluarga yang hubungannya

dengan si mayit melalui garis menyamping. Ia akan terhijab apabila si pewaris

mempunyai garis kekerabatan dari garis ke bawah dan ke atas. Yang termasuk

dalam golongan ini adalah: saudara perempuan kandung, saudara perempuan

seayah, saudara perempuan seibu, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki

seayah, paman sekandung, paman seayah, anak paman kandung dan anak paman

seayah.32

2. Hubungan Perkawinan

Di antara sebab-sebab untuk dapat berpindahnya harta orang yang

32

Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, …, h. 24

ولد

36

meninggal dunia kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan perkawinan

yang sah menurut hukum Islam.

Perkawinan yang sah menyebabkan adanya hubungan hukum yang saling

mewarisi antara suami dan isteri.Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang

syarat dan rukunnya terpenuhi, baik menurut ketentuan hukum agama maupun

ketentuan administrasi sebagai mana yang diatur dalam peraturan yang berlaku.33

Atas dasar itulah, hak suami maupun istri tidak dapat terhijab sama sekali

oleh ahli waris siapa pun. Mereka hanya dapat terhijab (dikurangi bagiannya) oleh

anak turun mereka atau oleh ahli waris yang lain.

Ikatan perkawinan yang menyebabkan seseorang berhak atas bagian dari

harta peninggalan itu harus memenuhi dua syarat yaitu:

a. Akad perkawinan itu sah menurut syari’at baik kedua suami isteri itu telah

berkumpul maupun belum.

b. Ikatan perkawinan antara suami isteri masih berlangsung.34

Berdasarkan kutipan di atas jelas bahwa perkawinan yang dapat saling

mewarisi itu adalah perkawinan yang sah dan perkawinan yang dianggap sah oleh

syari’at, yaitu apabila telah dilaksanakan menurut rukun dan syarat serta terhindar

dari penghalangnya. Amir Syarifuddin, merumuskan bila inti pernikahan itu

adalah akad nikah, maka yang menjadi rukun adalah:

a. Adanya pihak yang melakukan akad, yang dalam hal ini adalah calon suami

dan calon istri (wakilnya).

33

Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, …, h. 22-23 34

Mahmud Yunus, Hukum Warisan dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h.

17

37

b. Ucapan ijab kabul dari yang berakad.

c. Perbuatan itu disaksikan oleh dua orang saksi.35

Apabila sewaktu melakukan akad dalam perkawinan telah dihadiri oleh

kedua calon mempelai dan wali dari calon istri serta menghadirkan saksi, namun

akad nikah yang dilaksanakan itu tidak akan sah kalau ada syarat yang belum

dipenuhi dalam perkawinan.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa apabila telah terpenuhi rukun

dan syarat sahnya akad perkawinan itu, maka perkawinan itu adalah perkawinan

yang sah menurut syari’at. Dan sebagai akibat dari perkawinan yang sah akan

menimbulkan hubungan saling mewarisi antara suami istri yang melaksanakan

akad perkawinan tersebut.

3. Hubungan karena sebab memerdekakan budak atau hamba sahaya (al-

wala)

Wala’ merupakan salah satu sebab untuk mendapatkan kewarisan.Adapun

yang dimaksud dengan wala’ ini adalah hubungan yang terjadi karena

memerdekakan budak.Rasulullah SAW mengatakan bahwa al-wala’ ini

merupakan salah satu kerebat yang dibandingkan dengan nasab. Hal ini terdapat

dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim yang berbunyi, sebagai berikut :

قال مر بن اهلل بد ن : اهلل صلى اهلل رسول ليهقال وسلم كلمحة: لمة الولء وليوهب ليباع اىي)النسب ن السن بن حممد ن الشافعى طريق من الكمة رواه

36(ابنحبانوالهالبيهقىيوسفوصححه

35

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, …, h. 28 36

Ibn Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatu Ahkam, (Surabaya: Al-Hidayah,

[t.th]), h. 197

38

Artinya: “Hadis dari ‘Abdullah bin Umar, ia berkata, telah bersabda Rasulullah

SAW : “wala’ itu suatu kerabat seperti kerabat nasab yang tidak boleh

dijual dan dihibahkan.(HR. Hakim dari jalan Syafi’i dari Muhammad

bin Hasan dari Yusuf dan di sahkan dia oleh Ibnu Hibban, tetapi

dii’lalkan dia oleh Baihaqi).

Hadis di atas menjelaskan bahwa hubungan karena memerdekakan

dipersamakan dengan hubungan karena nasab.Ini berarti bahwa di antara orang

yang memerdekakan dengan orang yang dimerdekakan berlaku hubungan

kewarisan. Hanya saja berlakunya di pihak yang memerdekakan saja, seperti yang

dinyatakan dalam hadis nabi, sebagai berikut :

قالت نها اهلل رضي ئشة ا ن رسو: قال ل وسلم ليه اهلل صلى اهلل الولءملن: انا37(مسلمرواهالبخارىو)اتق

Artinya: “Hadis dari Aisyah semoga Allah meridhainya, ia berkata, Rasulullah

SAW. Telah bersabda: “sesungguhnya wala’ hanya bagi orang yang

memerdekakan saja”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menjadi dalil bahwa hubungan waris hanya berlaku sebagai

imbalan atas jasa dalam memerdekakan budak tersebut.Ini telah disepakati oleh

para ulama. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya

Bidayatul Mujtahid, bahwa ulama telah sepakat bahwa seseorang yang telah

memerdekakan budak atas nama dirinya, maka hak wala’nya adalah untuknya.

Dan ia mewarisi bekas hambanya apabila bekas hambanya tidak mempunyai ahli

waris. Dan ia menjadi Ashabah jika terdapat pewaris-pewaris yang tidak sampai

menghabiskan seluruh harta.

Al-wala’ ada dua bentuk yaitu, pertama karena seseorang memerdekakan

hamba sahaya dan yang kedua karena adanya perjanjian tolong menolong.

37

Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulussalam, (Bandung: Al-Ma’arif, [t.th]), h. 141

39

Adapun wala’ yang pertama disebut wala’ al-ataqah atau usubah sababiyah dan

yang kedua disebut wala’ al-muamalah, yaitu wala’yaitu seseorang berjanji

kepada orang lain seseorang tolong menolong dengan yang lain melalui suatu

perjanjian perwalian.38

Untuk masalah wala’ ini sudah tidak ada lagi pada masa sekarang ini

karena perbudakan sudah tidak ada lagi.Hal ini merupakan suatu ciri keberhasilan

ajaran Islam dalam menghapuskan perbudakan di dunia.

D. Penghalang Kewarisan

Sekalipun seluruh unsur dan syarat-syarat serta sebab-sebab untuk

mewarisi kewarisan telah ada, namun proses perpindahan harta pewaris belum

dapat dilaksanakan, disebabkan adanya halangan (mani’), atau karena jauh

dekatnya hubungan (tali) kekerabatan antara pewaris dengan yang mewarisi.

Maka dalam pasal ini penulis akan mengemukakan uraian tentang halangan

kewarisan dan prinsip keutamaan kekerabatan untuk menerima warisan.

“Penghalang mewarisi yang dimaksud disini adalah tindakan atau hal-

hal yang dapat menggugurkan seseorang untuk mempusakai beserta

adanya sebab-akibat dan syarat-syarat mempusakai.”.

Untuk lebih jelasnya penulis akan menerangkan satu persatu.

1. Penghalang Kewarisan

Tentang penghalang kewarisan ini penulis akan mengemukakan pendapat

Abdul Hamid Hakim sebagai berikut :

موانعالرثثلثةمن.١ وهواجنىن السيده لكان لورث لزم الرقيقل فليرث نبني اخلا من نع وهوما الرق

38

Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, …, h. 24-25

40

امليتوليورثلنهلملكلهكافراختلفدننيبالسلمو.٢ الكفريفلتوارثبنيمسلمو39القتلوهومانعللقاتلفقطلللمقتولفقديرثقتله.٣

Penghalang kewarisan ada tiga (3) :

1. Budak. Dia menghalangi kewarisan, dari dua segi maka budak tidak

mendapat warisan, seandainya budak mendapat warisan tentu ia akan

memilih tuannya, sedangkan tuannya sebagai orang lain. Dari segi

mayat budak tidak dipusakai karena budak tidak mempunyai milik.

2. Berbeda agama, Islam dengan Kafir. Maka tidaklah saling mewarisi

antara orang Islam dan orang kafir.

3. Membunuh. Membunuh adalah penghalang kewarisan terhadap

pembunuh saja, bukan terhadap yang dibunuh.Maka orang yang dibunuh

boleh mewarisi yang membunuh.

Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa yang menjadi penghalang

kewarisan itu ada tiga :

a. Budak

Budak menjadi penghalang kewarisan, karena seorang budak secara

yuridis dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, hak-hak kebendaan

berada pada tuannya. Oleh karena itu, ia tidak bisa menerima warisan dari

tuannya. Lebih dari itu al-Jarjawi mengemukakan bahwa budak itu tidak dapat

mewarisi harta peninggalan tuannya apabila tuannya itu meninggal dunia, karena

budak itu statusnya sebagai harta milik tuannya, sebagai harta tentu tidak bisa

memiliki, tetapi dimiliki, sehingga apapun yang ditinggalkan budak tentunya

semuanya itu milik tuannya. Firman Allah SWT dalam Surat An-Nahl ayat 75

menunjukkan:

لىشيء (٧7:النحل...)وضرباللهمثلرجلينأحدهاأبكملي قدر

39

Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris, …, h. 15

41

Artinya: “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang

dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun … (An-Nahl :

75)

b. Berlainan Agama

Para ulama sepakat bahwa seorang non muslim tidak dapat mewarisi harta

peninggalan seorang muslim, berdasarkan hadist Rasulullah SAW:

قال وسلم ليه اهلل صلى النىب ان زيد بن اسامة ن الكافروليرث: املسلم يرث ل40(متفقليه)الكافراملسلم

Artinya: “Dari Usamah ibn Zaid ra. bahwasanya Nabi SAW bersabda : seorang

muslim tidak mewarisi orangkafir dan orang kafir tidak mewarisi dari

orang Islam” (HR. Muttafaqul ‘Alaihi)

Akan tetapi para ulama berbeda pendapat, apakah seorang muslim dapat

menerima warisan dari kerabatnya yang bukan Islam. Menurut Jumhur Ulama,

seorang muslim tidak menerima warisan dari kerabatnya yang bukan Islam,

berdasarkan hadits yang telah disebutkan di atas, karena perbedaan agama

menyebabkan terpustusnya walayah (kewenangan) antara seorang muslim dengan

non muslim.

Muaz, Muawiyah al-Hasan Ibn al-Hanafiah, Muhammad Abn Ali Ibn al

Husein, Ibn al-Musayyab, Masyruq dan an-Nakha’i menyatakan bahwa seorang

muslim boleh mewarisi peninggalan non muslim. Demikian pula menurut Syi’ah

Imamiyah. Alasan yang mereka kemukakan adalah seorang muslim itu lebih

mulia (lebih tinggi) dari orang non muslim. Oleh karena itu mereka dapat

mewarisi peninggalan kerabatnya yang non muslim. Dan juga berdasarkan analog

40

Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulussalam, …, h. 98

42

atau qiyas kepada bolehnya laki-laki mengawini perempuan ahli kitab.41

Menurut penulis, sekalipun seorang laki-laki muslim dapat mengawini

perempuan ahli kitab, tetapi ini tidak dapat dijadikan sebagai qiyas yang

membenarkan seorang muslim menerima warisan dari non muslim, dengan

menafikan hak non muslim untuk menerima kewarisan dari seorang non muslim,

karena dalam kewarisan berlaku azas bilateral, yaitu masing-masing suami/isteri

saling mewarisi antara satu dengan yang lainnya.

Oleh karena itu alangkah tidak adilnya kalau seorang muslim dapat

mewarisi dari seorang non muslim, sedangkan seorang non muslim tidak dapat

mewarisi dari seorang muslim. Dengan demikian penulis sependapat dengan

pendapat jumhur ulama yang menyatakan, bahwa seorang muslim tidak dapat

menerima warisan dari orang non muslim, demikianlah sebaliknya.

c. Membunuh

Pembunuh terhalang untuk menerima harta warisan dari yang dibunuhnya,

hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW :

قال جده ن ابيه ن ابيه شعيب مروبن ن : اهلل رسول صلىقال وسلم :اهللليه42(الدارقطىننسأرواها)شيئليسللقاتلمناملرياث

Artinya: “Hadits “Dari Umar ibn Syu’ib dari bapaknya, dari kakeknya

Rasulullah SAW bersabda: ‘Pembunuh tidak dapat mewarisi

sesuatupun”.(HR. An-Nasa’i, al-Daraqutni).

Dalam hadits secara nyata dijelaskan bahwa membunuh menjadi mani’

41

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan adat

Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 2008), h. 47 42

Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulussalam, …, h. 43

43

(penghalang) kewarisan. Seandainya orang yang membunuh itu ternyata lebih

dahulu meningal dari orang yang dibunuhnya, maka yang dibunuh ini tetap

mendapat kewarisan dari orang yang akan membunuhnya.

Jumhur ulama sepakat dalam menetapkan pembunuh sebagai penghalang

kewarisan.Hanya fuqaha dari kalangan Khawarij yang mengingkarinya. Hal ini

sebagaimana yang dikatakan oleh Fatchur Rahman yang dikutipnya dari

Abdurrahim, katanya :

“Golongan Khawarij mensinyalir periwayatan dari Ibn Musayyab dan

Ibn al-Jubair yang membolehkan kepada si pembunuh untuk mewarisi

harta orang yang terbunuh.Mereka beralasan bahwa ayat-ayat mawaris

memberikan faedah umum, tidak dikecualikan pembunuh.Oleh

karenanya keumuman ayat tersebut harus diamalkan”.43

Namun demikian, diantara Jumhur Ulama juga terdapat perbedaan

pendapat tentang bentuk pembunuhan yang dilakukan selain pembunuhan ‘amad

(sengaja). Imam Malik mempunyai pendapat yang sama dengan Syi’ah Imamiyah,

bahwa pembunuhan yang hak, seperti karena qishas, untuk mempertahankan diri

atau atas perintah hakim, serta pembunuhan yang tidak disengaja, tidak

menghalangi seseorang untuk menerima warisan dari orang yang dibunuhnya.44

Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa pembunuhan yang

menyebabkan terjadinya qishas, diyat atau kaffarah, termasuk di dalamnya

pembunuhan yang sengaja maupun pembunuhan yang menyerupainya, dan

pembunuhan tersalah, mengakibatkan terhalangnya orang tersebut dari mawarisi

harta peninggalan si pewaris.45

Dan menurut pendapat Syafi’iyah, bahwa

pembunuh dengan segala bentuknya menghalangi seseorang dari mewarisi

43

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Kairo: Dar al-Fikr, 1992), h. 15 44

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, …, h. 16 45

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, …, h. 18

44

peningalan si pewaris yang dibunuhnya.Hanabilah berpendapat, bahwa pembunuh

yang menghalangi hak kewarisan adalah pembunuh tidak dengan hak dalam

segala bentuknya, sedangkan pembunuhan secara hak tidak jadi penghalang,

karena pelakunya terbebas dari sanksi akhirat.46

Menurut Amir Syarifuddin, pembunuhan itu dapat dikelompokkan pada

dua (2) kelompok :

a. Pembunuh secara hak dan tidak melawan hukum, yaitu pembunuhan yang

pelakunya tidak dianggap melakukan kejahatan atau dosa.

b. Penbunuhan secara tidak hak dan melawan hukum, yaitu pembunuhan yang

dilarang: oleh syara’, atau hukum dan terhadap pelakunya dikenakan sanksi

dunia dan akhirat. Pembunuhan inilah yang disebut kejahatan.47

Adapun alasan terhalangnya pembunuh mendapatkan warisan adalah :

1) Pembunuh itu memutuskan hubungan silaturrahmi yang merupakan sebagai

penyebab adanya hubungan kewarisan.

2) Untuk mencegah seseorang yang ditemukan akan mendapat warisan untuk

mempercepat proses berlakunya haknya itu.

3) Pembunuh adalah suatu kejahatan atau maksiat sedangkan hak kewarisan

adalah suatu nikmat yang akan diperoleh. Maksiat tidak boleh dipergunakan

sebagai suatu cara untuk mendapatkan nikmat.48

Alasan di atas diketahui berdasarkan pengetahuan terhadap hikmah,

46

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat

Minangkabau, …, h. 43 47

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat

Minangkabau, …, h. 45 48

Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan

Praktis), (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), Cet. Ke-1, h. 53-54

45

sebagaimana yang dikemukakan oleh Ali Al-Jarjawi, bahwa hikmah terhalangnya

si pembunuh untuk mendapatkan warisan itu adalah :

“Pembunuh yang membunuh kerabatnya supaya dapat menerima

warisan, atau sebab lain berarti memutuskan hubungan kekerabatan, …

karena dia menyegerakan sesuatu sebelum waktunya. Oleh karena itu

dihukum dengan tidak mendapat warisan. Ini adalah untuk menakuti

manusia, agar jangan melakukan tindakan pidana itu”

Di samping sebab-sebab di atas, masih ada sebab lain, yaitu mengenai

masalah berlainan negara (walayah). Namun mengenai berlainan negara ini dapat

dikategorikan kepada berlainan agama, sebab berlainan negara yang menjadi

penghalang kewarisan adalah antara ahli waris dan pewaris itu selain berlainan

negara juga tidak sama-sama Islam (berlainan agama). Kalau hanya berlainan

negara saja, sedangkan tidak berlainan agama tidak menjadi penghalang

kewarisan, sebab antara negara yang sama-sama muslim pada hakekatnya adalah

satu, walaupun kedaulatan dan wilayahnya berbeda, dimana masing-masing

mereka itu menurut pandangan Islam adalah terikat oleh suatu persaudaraan yaitu

ukhuwah islmaiyah.

2. Hijab

Hukum kewarisan Islam mengakui adanya azas keutamaan, antara ahli

waris yang sekalipun ia telah dinyatakan sebagai ahli waris belum tentu ia

mendapat warisan, baik bahagiannya berkurang atau tidak mendapat sama sekali,

hal ini disebabkan karena adanya ahli waris yang jaraknya lebih dekat kepada

pewaris. Orang yang lebih dekat hubungan kekerabatannya kepada pewaris lebih

diutamakan bahagiannya untuk mendapatkan warisan. Sehingga dia bisa

menghalangi ahli waris yang lain. Hal ini dalam kewarisan Islam dikenal dengan

46

istilah hijab.

Berdasarkan kutipan di atas jelaslah bahwa hijab terbagi 2 (dua) yaitu:

a. Hijabnugsan (halangan yang mengurangi kewarisan)

Yaitu hijab/dinding yang hanya mengurangi bahagian ahli waris karena

ada ahli waris yang lain yang lebih dekat bersama-sama dengan dia. Umpamanya

ibu mendapat 1/3 bahagian, tetapi apabila ada anak ibu mendapat 1/6.

b. Hijab hirman (halangan yang menghilangkan kewarisan)

Yaitu hijab/dinding yang menghalangi untuk mendapat warisan, karena

ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan pewaris, umpamanya cucu

laki-laki tidak mendapat warisan selama ada anak laki-laki.

E. Syarat-Syarat Mendapatkan Kewarisan

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan.Syarat-

syarat tersebut mengikuti rukun, dan sebagian berdiri sendiri. Adapun rukun

pembagian warisan ada tiga, yaitu:49

1. Al-Muwarris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya, atau orang yang

mewariskan hartanya. Syaratnya, al-muwarris benar-benar telah meninggal

dunia, apakah meninggal secara hakiki, secara yuridis (hukmi) atau secara

taqdiri berdasarkan perkiraan.

a. Mati hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui

pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia.

b. Mati hukmi, adalah kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui

49

Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris, …, h. 17

47

keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi seperti

dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang (al-mafqud) tanpa diketahui

dimana dan bagaimana keadaannya. Setelah dilakukan upaya-upaya tertentu,

melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal dunia. Sebagai

suatu keputusan hakim maka ia mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan

karena itu mengikat.

c. Mati taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwaseseorang telah meninggal

dunia. Misalnya, seseorang yang diketahui ikut berperang ke medan perang,

atau tujuan lain secara lahiriah diduga dapat mengancam keselamatan dirinya.

Setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui kabar beritanya, dan patut

diduga secara kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat

dinyatakan telah meninggal.

2. Al-Waris atau ahli waris, ahli waris adalah orang yang dinyatakan mempunyai

hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab

perkawinan (semenda), atau karena akibat memerdekakan hamba sahaya.

Syaratnya, pada saat meninggalnya al-muwarris, ahli waris benar-benar dalam

keadaan hidup. Termasuk dalam pengertian ini adalah, bayi yang masih berada

dalam kandungan (al-haml). Meskipun masih berupa janin, apabila dapat

dipastikan hidup, melalui gerakan (konkraksi) atau cara lainnya, maka bagi

janin tersebut berhak mendapatkan warisan. Untuk itu perlu diketahui batasan

yang tegas mengenai batasan paling sedikit (batas minimal) dan atau paling

lama (batas maksimal) usia kandungan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui

kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan.

48

Ada syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu bahwa di antara al-muwarris dan

al-maris tidak ada halangan untuk saling mewarisi.

3. Al-Maurus atau al miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi

biaya perawatan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat.

Persoalannya adalah, bagaimana jika si mati meninggalkan utang yang

besarnya melebihi nilai harta peninggalannya. Apakah ahli waris bertanggung

jawab melunasinya sebesar hak-hak warisnya secara proporsional, hal ini akan

diuraikan pada bahasan tentang hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum harta

warisan dibagi kepada ahli waris.

F. Penggolongan Ahli Waris dan bahagian Masing-masingnya

1. Penggolongan Ahli Waris

Selanjutnya penulis akan mengemukakan siapa-siapa orang yang berhak

mendapatkan warisan menurut golongan-golongannya.

Pada prinsipnya laki-laki dan perempuan berhak atas harta warisan yang

ditingalkan oleh orang tua atau kerabatnya.Prinsip ini terdapat dalam Firman

Allah SWT dalam Surat An-Nisa’ ayat 7 yang bunyinya adalah:

ات ركالوالدا هأوكث رنصيبامفرللرجالنصيبمم اق لمن ربونم ات ركالوالدانوالق ربون وللنساءنصيبمم نوالق (٧:النساء)وضا

Artinya:“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak

dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari

harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak

menurut bahagian yang telah ditetapkan” (QS. An-Nisa’: 7)

Orang-orang yang berhak mendapatkan warisan tersebut dapat digolongkan

49

pada tiga (3) golongan, yaitu:50

a. Ashabul Furud, yaitu: ahli waris yang menerima bahagian yang telah

ditentukan.

b. Ashabah, yaitu: ahli waris yang menerima bahagian yang tidak ditentukan.

c. Dzawil, yaitu: ahli waris yang tidak termasuk ke dalam kelompok ashabul

furudh dan juga tidak termasuk dalam kelompok ashabah.

Untuk itu penulis akan menguraikan satu-persatu agar lebih jelas

gambaran masing-masingnya.

a. Ashabul Furud

Yang dimaksud dengan furudh adalah ahli waris yang mendapatkan

bahagian yangtelah ditentukan dalam menerima harta peninggalan (harta warisan.

Untuk lebih jelasnya siapa-siapa-siapa yang termasuk ke dalam golongan

ashabul furudh ini maka penulis akan mengemukakan penjelasan yang

berdasarkan pada Firman Allah Surat An-Nisa’ ayat 11 dan 12.

واحدةف لهيوصيكماللهفيأولدكمللذكرمث لحظالن ث ي ينفإنكننساءف وقاث نت ينفلهنث لثامات ركوإنكان ت ه هالث لث فإناالنصفولب ويهلكلواحدمن لهولدوورث هأب واهفلم ات ركإنكان لهولدفإن لميكن م دس ماالس

نب عدوصيةيوصيبهاأودينءاباؤكموأب ناؤكملتدرونأي هم دس هالس رب لكمن فكان لهإخوةفلم عافريأق (١١:النساء)ضةمناللهإناللهكان عليماحكيما

ات ركنمنب ع ولدف لكمالرب عمم ولدفإنكان لهن لهن دوصيةيوصينبهاولكمنصفمات ركأزواجكمإن لميكن ات ات ركتممنب عدوصيةتوصونبهاأودينولنالرب عمم لكمولدفإنكان لكمولدف لهنالثمنمم ركتمإن لميكن

دسفإنكانواأ هماالس نذلكفهمشكث رمأودينوإنكان رجليورثكللةأوامرأةولأخأوأخت فلكلواحدمن رمضاروصيةمناللهواللهعليمحليم (١2:النساء)ركاءفيالث لثمنب عدوصيةيوصىبهاأودينغي

50

Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), cet-

ke-1, h. 29

50

Artinya : 11. “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)

anak-anakmu.yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan

bahagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya

perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari

harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,

maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa,

bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,

jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang

meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya

(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu

mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.

(pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat

yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)

orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di

antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.Ini

adalah ketetapan dari Allah.Sesungguhnya Allah Maha

Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

12. “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan

oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-

isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat

dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang

mereka buat atau (dan) setelah dibayar hutangnya. Para isteri

memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu

tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, maka para

isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan

sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah

dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki

maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak

meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki

(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka

bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.

Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka

mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi

wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya

dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris) (Allah

menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar

dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”

(QS. An-Nisa’: 11-12)

Dari ayat di atas Sayid Sabiq mengemukakan bahwa yang termasuk ke

dalam ashabul furudh itu adalah :

أى فرض لم الذين هم الفروض وهوأصحاب لم املعينة الستة وض الفر من :نصيب

51

٢/١,٤/١,١/١,٣/٢,٣/١,١/١ إثناشر الفروض وأصحاب كوروهم: منالذ أربعة وإن: الصحيح واجلد والختالب والبنت الزوجة وهن ناث اإل من ومثان لى

51الشقيقةوالختلبوالختأموبنتاإلبنوالمواجلدةالصحيحةوإنلت

Artinya: “Ashabul Furud adalah yang mendapatkan bahagian tertentu dari

bahagian yang enam yang telah ditentukan untuk mereka yaitu :” 1/2 .

¼, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6.Ashabul furudh ini ada 12 orang, yaitu empat

laki-laki masing-masing adalah, bapak, kakek yang shaleh

danseterusnya ke atas, saudara laki-lakiibu dan suami. Delapan orang

perempuan yaitu isteri, anak perempuan, saudara perempuan

kandung, saudara perempuan sebapak, saudara perempuan seibu,

anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan), ibu dan nenek

yang sholeh dan seterusnya ke atas”

Dari ayat dan kutipan pendapat Sayyid Saabiq di atas dapat dipahami

bahwa yang termasuk ke dalam golongan ashabul furudh adalah sebagai berikut:

1) Anak Perempuan.

2) Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan).

3) Ibu.

4) Bapak.

5) Nenek.

6) Kakek.

7) Saudara perempuan kandung.

8) Saudara perempuan sebapak.

9) Saudara perempuan seibu.

10) Suami.

11) Isteri.

Jadi dari penjelasan di atas dipahami bahwa pada umumnya ahli waris

51

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, …, h. 29

52

ashabul furudh adalah perempuan sementara ahli waris laki-laki yang menerima

bahagian tertentu adalah bapak, atau kakek dan suami selain itu menerima

bahagian sisa (ashabah).

b. Ashabah

Ashabah adalah ahli waris menerima bahagian sisa yang bahagiannya

tidak ditentukan, terkadang ia menerima bahagian yang banyak (seluruh harta

warisan), terkadang menerima sedikit, bahkan terkadang tidak menerima bahagian

sama sekali, karena habis diambil ahli waris ashabul furudh.

Didalam pembagian sisa harta warisan, ahli waris yang terdekatlah yang

lebih dahulu menerimanya. Konsekuensi dari pembagian ini adalah bahwa ahli

waris yang peringkat kerabatnya di bawahnya tidak mendapat bahagian.

Adapun macam-macam ahli waris ashabah ini ada tiga macam, yaitu :

1) Ashabah bi nafsihi

Ashabah bi Nafsihi adalah ahli waris yang kedudukan dirinya sendiri

berhak menerima bahagian ashabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki,

kecuali u’tiqah (perempuan yang memerdekakan hamba sahaya) dan ahli waris ini

terdiridari 13 orang, yaitu sebagai berikut :

a) Anak laki-laki.

b) Cucu laki-laki dari garis laki-laki.

c) Bapak jika si mayit tidak meninggalkan anak.

d) Bapak dari bapak (kakek).

e) Saudara laki-laki sekandung.

f) Saudara laki-laki sebapak.

53

g) Anak saudara laki-laki sekandung.

h) Anak saudara laki-laki sebapak.

i) Paman kandung.

j) Paman sebapak.

k) Anak dari paman kandung.

l) Anak dari sebapak.

m) Penghulu yang memerdekakan.52

Ahli waris golongan ashabah ini kalau dia sendiri (tidak bersama ashabul

furudh) maka dia mewaris keseluruhan harta warisan.Jika ahli waris ashabah ini

bersama ahli waris ashabul furudh maka baginya sisa harta yang sudah dibagikan

kepada ashabul furudh.Seandainya harta warisan setelah dibagi-bagikan kepada

ashabul furudh tidak ada sisanya maka ashabah tidak mendapatkan bahagian

warisan.

2) Ashabah bi ghairi

Ashabah bi ghairi adalah ahli waris perempuan yangmenjadi ashabah

karena adanya ahli waris laki-laki yang sederajat dengannya, kalau ahli waris laki-

laki itutidak ada maka ia tidak menjadi ashabah. Yang termasuk ashabah bi

ghairi ini adalah :

a) Anak perempuan beserta anak laki-laki.

b) Cucu perempuan beserta cucu laki-laki.

c) Saudara perempuan kandung beserta saudara laki-laki kandung.

d) Saudara perempuan seayah beserta saudara laki-laki seayah.

52

Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan

Praktis), …, h. 96

54

3) Ashabah ma’al ghairi

Ashabal ma’al ghairi ialah ahli waris yang menerima bahagian ashabah

karena bersama ahli waris lain yang bukan penerima bahagian ashabah. Apabila

ahli waris lain tidak ada maka ia menerima bahagian tertentu. Ashabah ma’al

ghairi itu adalah :

a) Saudari kandung bersama dengan anak perempuan atau cucu

b) Saudari tunggal ayah bersama anak atau cucu perempuan seayah53

.

Saudari kandung dan saudari tunggal ayah ini menjadi ashabahma’al

ghairi bila mereka tidak mempunyai saudara laki-laki.Apabila mereka

mempunyai saudara laki-laki maka kedudukannya menjadi ashabah bi ghairi.

c. Dzawil Arham

Yang dimaksud dengan dzawil arham adalah ahli waris yangtidak

termasuk kelompok ashabul furudh dan ashabah. Menurut Amir Syarifuddin

golongan yang termasuk dzawil arham ini adalah sebagai berikut :

1) Kerabat dalam garus ke bawah, yaitu semua keturunan laki-laki maupun

perempuan yang dalam hubungannya kepada pewaris melalui perempuan.

2) Kerabat garis ke atas yang diantaranya dengan pewaris dihubungkan oleh

perempuan.

3) Kerabat garis ke samping pertama yaitu: anak dari saudara perempuan, anak

perempuan dari saudara laki-laki, anak dari saudara seibu.

4) Kerabat garis ke samping kedua, yaitu: saudara dari ayah, saudara perempuan

dari ayah kandung, anak perempuan dari paman serta keturunannya, saudara

53

Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan

Praktis), …, h. 97

55

dari ibu dalam segala bentuknya.

5) Kerabat garis ke samping ketiga, yaitu: saudara kakek atau nenek sebagaimana

yangberlaku pada ayah atau ibu.54

Jika diperhatikan golongan ahli waris ini nampaklah bahwa ahli waris

dzawil arham inilah yang paling banyak tetapi mereka jarang mendapat

kesempatan untuk menerima warisan karena ada ahli waris yang lebih dekat

hubungannya kepada pewaris, yaitu golongan ashabul furudh dan ashabah.

Adapun dasar hukum dari pewarisan dzawil arham ini adalah Firman Allah

SWT dalam Surat Al-Anfal ayat 75 yang berbunyi :

يكتاباللوالذينءامنوامنب عدوهاجرواوجاهدوامعكمفأولئكمنكموأولوالرحامب عضهمأولىبب عضفليم (٧7:النفال)هإناللهبكلشيء

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta

berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu

(juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu

sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan

kerabat)di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui

segala sesuatu.

Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa dzawil arham itu adalah

kekerabatan yang timbul karena hubungan rahim antara pewaris dengan ahli

waris, sedangkan orang yang berhubungan rahim sebahagiannya lebih dekat dari

pada yang lainnya dalam kitab Allah SWT.

2. Bahagian Masing-masingnya

Sebagaimana yang telah penulis uraikan bahwa ahli waris yang telah

ditentukan bahagainnya itu adalah ahli waris ashabul furudh. Maka untuk itu

54

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, …, h. 21

56

dalam bahasan ini yang akan dijelaskan adalah bahagian-bahagian yang diterima

oleh ahli waris ashabul furudh tersebut.

Untuk lebih jelasnya tentang berapa bahagiannya masing-masing, maka

penulis akan uraikan hal tersebut sebagaimana yang telah dikemukakan oleh

Ahmad Rafiq, yaitu :

a. Anak perempuan, berhak menerima bahagian :

1/2 jika sendirian tidak bersama anak laki-laki

1/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama anak laki-laki.

b. Cucu perempuan garis laki-laki, berhak menerima :

½ Jika sendirian, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak mahjub (terhalang)

2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak mahjub.

1/6 sebagai pelengkap 1/3 jika bersama seorang anak perempuan, tidak ada

cucu laki-laki dan tidak mahjub.Jika anak perempuan dua orang atau lebih

tidak mendapat bahagian.

c. Ibu berhak menerima bahagian :”

1/3 Jika tidak ada anak atau cucu (far’u waris) atau saudara dua orang atau

lebih.

1/6 Jika ada far’u waris atau bersama dua orang saudara atau lebih.

1/3 x sisa,dalam masalah garrawain, yaitu apabila ahli waris terdiri dari

suami/isteri, ibu dan bapak.

d. Bapak, berhak menerima bahagian :

1/6 Jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki

1/6 sisajika bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki

57

Jika bapak bersama ibu :

1) Masing-masing 1/6 jika ada, cucu atau saudara dua orang atau lebih.

2) Untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu atau saudara

dua orang atau lebih.

e. Nenek, jika tidak mahjub berhak menerima bahagian :

1/6 jika seorang

1`/6 dibagi rata, apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya

f. Kakek, jika tidak mahjub berhak menerima bahagian :

1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki

1/6 jika bersama anak atau cucu perempuan tanpa ada anak laki-laki

1/6 atau muqassamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah,

setelah diambil untuk ahli waris lain.

1/3 atau muqassamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada

ahli waris lain.

g. Saudara perempuan sekandung., jika tidak mahjub berhak menerima bahagian:

½ jika seorang, dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung

2/3 dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung

h. Saudara perempuan seayah, jika bersama saudara laki-laki seayah

½ seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki seayah

2/3 dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah

1/6 jika bersama saudara perempuan sekandung seorang, sebagai pelengkap

2/3.

i. Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan kedudukannya sama.

58

Apabila tidak mahjub, saudara seibu berhak menerima bahagian

1/6 jika seorang diri

1/3 dua orang atau lebih

Bergabung menerima 1/3 dengan saudara sekandung, ketika bersama-sama

dengan ahli waris suami dan ibu (musyarakah)

j. Suami berhak menerima bahagian

½ jika tidak mempunyai anak atau cucu

¼ jika bersama dengan anak atau cucu

k. Isteri, berhak menerima bahagian :

¼ jika tidak mempunyai anak atau cucu

1/8 jika bersama anak atau cucu.55

2. Kewarisan Hukum Perdata

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Kewarisan

Sedangkan menurut hukum waris Perdata adalah hukum waris yang

dimuat dalam Burgelijik Wetboek (selanjutnya disebut BW) adalah kumpulan

peraturan yang mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai

pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan

ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka

dengan pihak ketiga.

Kekayaan dalam pengertian waris di atas adalah sejumlah harta kekayaan

yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan

pasiva. Namun, pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada

55

Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, …, h. 55-57

59

ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi karena adanya kematian.56

Pada dasarnya pewaris merupakan proses perpindanya harta peninggalan

dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Akan tetapi proses

perpindahan tersebut tidak dapat terlaksanakan apabila unsur-unsurnya tidak

lengkap. Menurut hukum Perdata Barat terdapat tiga unsur warisan, yakni :

1. Orang yang meninggalkan harta warisan, disebut : Erflater.

2. Harta warisan, disebut : Erfenis.

3. Ahli waris, disebut : Erfgenaam.

Apabila seseorang meninggal dunia, maka segala hak dan kewajibannya

turun/pindah/beralih kepada ahli warisnya. Adapun yang akan beralih kepada ahli

warisnya tadi bukan hanya meliputi hak dan kewajiban saja, akan tetapi juga

meliputi barang-barang yang berwujud. Sedangkan yang berhak menerima

peralihan tadi adalah ahli warisnya, seperti : suami, isteri, anak ataupun orang lain

yang ditunjuk.57

Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak semua ahli waris

secara otomatis mewarisi segalah sesuatu yang dimiliki/ditinggalkan oleh si

pewaris. Sebab menurut sistem hukum perdata Barat (BW) yang menjadi objek

pewaris itu bukan hanya kekayaan dari si pewaris, akan tetapi juga segala hutang

dari si pewaris tersebut.

B. Harta Warisan Dalam Sistem Hukum Waris Eropa

Harta warisan dalam sistem hukum waris Eropa atau sistem hukum

56

Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Indonesia,...., h. 81

57Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991) cet, ke-

1, h. 15

60

perdata yang bersumber pada BW meliputi seluruh harta benda beserta hak dan

kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai

dengan uang. Namun ketentuan tersebut ada beberapa pengcualian, yaitu hak dan

kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang tidak dapat beralih kepada

ahli waris antara lain :

1. Hak untuk memungut hasil (vruchtgebruik)

2. Perjanjian perburuan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi;

3. Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatcschap menurut

BW, sebab perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah seorang

anggota atau persero.

Pengecualian lain, yaitu ada beberapa hal yang terletak dalam lapangan

hukum keluarga, tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik hak, yaitu :

a. Hak seorang ayah untuk menyangkal sehnya seorang anak ;

b. Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak sah dari

ayah atau ibunya.

Sistem hukum waris BW tidak mengenal harta asal dan harta perkawinan atau

harta gono-gini. Sebab, harta warisan dalam BW dari siapa pun juga merupakan

“kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari

tangan si peninggal harta warisan atau pewaris kepada seluruh ahli warisnya. Hal

ini berarti dalam sistem pembagian harta warisan dalam BW tidak dikenal

perbedaan pengaturan atas dasar asal usul harta yang ditinggalkan oleh pewaris

seperti yang diungkapkan dalam Pasal 849 BW, “Undang-undang tidak

memandang akan sifat atau asal dari barang-barang dalam sesuatu harta

61

peninggalan untuk mengatur pewaris terhadapnya”.

C. PEWARIS DAN DASAR HUKUMNYA

pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki atau

perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang

diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya,

baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat.

Dasar hukum bagi ahli waris untuk mewarisi sejumlah harta pewaris

menurut sistem hukum BW adalah sebagai berikut.

a. Menurut ketentuan Undang-undang.

b. Ditunjuk dalam surat wasiat.

Dasar hukum tersebut menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan

hukum bagi harta seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan

dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-undang berprinsip

bahwa seseorang bebas menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya

setelah ia meninggal dunia. Namun, bila orang yang dimaksud tidak menentukan

sendiri ketika ia masih hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta

kekayaannya, dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan

perihal pengaturan harta yang ditinggalkan oleh seseorang dimaksud.

Di samping itu, peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum

bagi seseorang yang akan menjadi ahli waris terhadap seseorang yang meninggal

dunia adalah surat warisan. Surat warisan atau testamen adalah suatu pernyataan

dari seseorang tentang apa yang di kehendaki setelah ia meninggal dunia. Sifat

62

utama surat warisan adalah mempunyai kekuatan berlaku sesudah pembuat surat

wasiat meninggal dunia. Sifat utama surat wasiat adalah mempunyai kekuatan

berlaku sesudah pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat di tarik

kembali. Selams pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat masih dapat di

ubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat wasiat meninggal dunia maka surat

wasiat tidak dapat diubah, dicabut dan ditarik kembali oleh siapa pun termasuk

yang menjadi ahli waris.

Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruh hartanya dengan surat

wasiat, maka sisanya merupakan bagian ahli waris berdasarkan undang-undang

(ahli waris ab intestato). Jadi, pemberian seseorang calon pewaris berdasarkan

surat warisan tidak bermaksud untuk menghapuskan hak untuk mewaris secara ab

intestato.

D. AHLI WARIS SISTEM BW DAN PORSI BAGIANNYA

1. Ahli waris menurut undang-undang

Peraturan perundang-undangan di dalam BW telah menetapkan keluarga

yang berhak menjadi ahli waris, serta porsi pembagian harta warisannya, bagian

harta warisan untuk anak yang lahir di luar perkawinan antara lain diatur sebagai

berikut.

a. 1/3 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar pernikahan menjadi

ahli waris bersama-sama dengan anak yang sah serta janda atau duda yang

hidup paling lama.

63

b. 1/2 dari bagian anak yang sah, apabila anak yang lahir di luar pernikahan

menjadi ahli waris bersama-sama dengan ahli waris golongan kedua dan

golongan ketiga.

c. 3/4 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan menjadi

ahli waris bersama-sama dengan ahli waris golongan keempat, yaitu sanak

keluarga pewaris sampai derajat keenam.

d. 1/2 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir diluar perkawinan menjadi

ahli waris bersama-sama dengan kakek atau nenek pewaris, setelah terjadi

kloving. Jadi dalam hal demikian, bagian anak yang lahir diluar pernikahan

bukan 3/4 , sebab untuk ahli waris golongan keempat ini sebelum harta

warisan dibagi, terlebih dahulu dibagi dua/kloving sehingga anak yang lahir

di luar nikah akan memperoleh 1/4 dari bagian anak sah dari separuh harta

warisan dari garis ayah dan 1/4 dari bagian harta warisan anak sah dari garis

ibu sehingga menjadi 1/2 bagian. Namun, bila pewaris sama sekali tidak

meninggalkan ahli waris sampai derajat keenam, sedangkan yang ada hanya

anak yang lahir diluar nikah maka anak di luar nikah mendapat harta

peninggalan seluruhnya atau harta itu jatuh pada tangan anak yang lahir di

luar pernikahan, sebagai ahli waris satu-satunya. Lain halnya anak yang lahir

dari perbuatan zina dan anak yang lahir dari orang tua yang tidak boleh

menikah karena keduanya sangat erat hubungan kekerabatannya, menurut

BW sama sekali tidak berhak atas harta warisan dari orang tuanya, anak-anak

tersebut hanya berhak memperoleh bagian sekadar nafkah untuk hidup

seperlunya.

64

Ahli waris menurut peraturan perundang-undangan, yaitu isteri atau suami

yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris

menurut peraturan undang-undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan

hubungan darah terdapat empat golongan sebagai berikut.

a. Golongan Pertama

Golongan pertama adalah keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi

anak-anak beserta keturunannya serta suami dan atau istri yang ditinggalkan/

yang hidup paling lama.Suami atau isteri yang hidup paling lama ini diakui

sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami/isteri tidak

saling mewarisi. Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam

garis lurus kebawah, yaitu anak-anak beserta keturunannya, janda dan/atau duda

yang ditinggalkan/ yang hidup paling lama, masing-masing memperoleh satu

bagian yang sama. Oleh karena itu, bila terdapat empat orang anak dan janda

maka mereka masing-masing mendapat hak 1/5 bagian dari harta warisan.

Apabila salah seorang anak telah meninggal dunia lebih dahulu dari

pewaris tetapi mempunyai lima orang anak, yaitu cucu-cucu pewaris, maka

bagian anak yang seperlima dibagi diantara anak-anaknya yang menggantikan

kedudukan ayahnya yang telah meninggal (dalam sistem hukum waris BW

disebut plaatsvervulling dan dalam sistem hukum waris islam disebut ahli waris

pengganti dan dalam hukum waris adat disebut ahli waris pasambei) sehingga

masing-masing cucu memperoleh 1/25 bagian. Lain halnya jika seorang ayah

meninggal dan meningglkan ahli waris yang terdiri atas seorang anak dan tiga

65

orang cucu, maka hak cucu terhalang dari anak (anak menutup anak nya untuk

menjadi ahli waris).

b. Golongan Kedua

Golongan kedua adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang

tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunannya. Bagi

orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bshwa bagian mereka tidak akan

kurang 1/4 bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka menjadi ahli waris

bersama saudara pewaris. Oleh karena itu,bila terdapat tiga orang saudara yang

menjadi ahli waris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu

masing-masing akan memperoleh 1/4 bagian dari seluruh harta warisan;

sedangkan separuh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara

yang masing-masing memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang

sudah meninggal dunia maka yang hidup paling lama akan memperoleh sebagai

berikut.

(1) 1/2 (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia menjadi ahli waris

bersama dengan seorang saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan, sama

saja.

(2) 1/3 (sepertiga) bagian dari seluruh harta warisan, bila ia menjadi ahli waris

bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris.

(3) 1/4 (seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, bila ia menjadi ahli waris

bersama-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris.

Apabila ayah dan ibu semuanya sedah meninggal dunia, maka harta

peninggalan seluruhnya jatuh pada saudara pewaris, sebagai ahli waris golongan

66

kedua yang masih ada. Namun, bila diantara saudara-saudara yang masih ada itu

ternyata hanya ada saudara seayah atau seibu saja dengan pewaris maka harta

warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu adalah diperuntukkan bagi

saudara seibu.

c. Golongan ketiga

Golongan ketiga adalah ahli waris yang meliputi kakek, nenek dan leluhur

selanjutnya ke atas dari pewaris. Ahli waris golongan ketiga terdiri atas keluarga

dari garis lurus ke atas setelah ayah dan ibu, yaitu kakek dan nenek serta terus

keatas tanpa batas dari pewaris.Hal dimaksud, menjadi ahli waris. Oleh karena itu,

bila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama dan

kedua. Dalam kondisi seperti ini sebelum harta warisan dibagi, terlebih dahulu

harus dibagi dua (kloving), selanjutnya separuh yang satu merupakan bagian

sanak keluarga dari garis ayah pewaris, dan bagian yang separuhnya lagi

merupakan bagian sanak keluarga dari garis ibu pewaris. Bagian yang masing-

masing separuh hasil kloving itu harus diberikan pada kakek pewaris untuk bagian

dari garis ayah; sedangkan untuk bagian dari garis ibu harus diberikan kepada

nenek.

d. Ahli waris golongan keempat

Ahli waris golongan keempat meliputi anggota keluarga dalam garis

kesamping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.Hal dimaksud,

terdiri atas keluarga garis samping, yaitu paman dan bibi serta keturunannya, baik

dari garis pihak ayah maupun garis pihak ibu.Keturunan paman dan bibi sampai

67

derajat keenam di hitung dari si mayit atau yang meninggal (pewaris), dan

saudara kakek dan nenek beserta keturunannya sampai derajat keenam dihitung

dari si mayit (yang meninggal). Apabila bagian dari garis ibu sama sekali tidak

ada ahli waris sampai derajat keenam maka bagian dari garis ibu jatuh kepada

para ahli waris dari garis ayah. Demikian pula sebaliknya.

Cara pembagian harta warisan golongan keempat sama dengan ahli waris

golongan ketiga, yaitu harta warisan dibagi dua, satu bagian untuk paman dan

bibi serta keturunannya dari garis ayah dan satu bagian lagi untuk paman dan bibi

serta keturunannya dari garis ibu.

2. Ahli Waris Karena Wasiat

Menurut pasal 874 s.d pasal 894, pasal 913 s.d pasal 929 dan pasal 930 s.d

pasal 1022 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut

KUHPerdata) mengatur tentang seseorang, dua orang dan/atau beberapa orang

untuk menjadi ahli waris berdasarkan wasiat.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak

membedakan antara ahli waris laki-laki dan perempuan, tidak juga membedakan

urutan kelahiran, hanya ada keturunan bahwa ahli waris golongan pertama jika

masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke

atas dan ke samping sehingga tampak anggota keluarga yang lebih dekat menutup

haknya anggota keluarga yang lebih jauh. Lain halnya seseorang yang mendapat

harta warisan melalui surat wasiat atau testamen, jumlahnya tidak tentu karena

orang yang memperoleh harta semacam ini tergantung dari kehendak pemberi

wasiat. Suatu surat wasiat biasanya berisi penunjukan seorang atau beberapa

68

orang ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian harta warisan. Akan

tetapi, juga seperti ahli waris menurut peraturan perundang-undangan atau ab

intestato, ahli waris menurut surat wasiat atau ahli waris testamenter akan

memperoleh segala hak dan segala kewajiban dari si pewaris.

Ahli waris yang memperoleh bagian mutlak dimaksud, atau legitime portie

(dalam hukum waris Islam disebut dzawul furud) ini termasuk ahli waris menurut

undang-undang, mereka adalah para ahli waris dalam garis lurus ke atas dan garis

lurus kebawah yang memperoleh bagian tertentu dari harta peninggalan dan

bagian itu tidak dapat dihapuskan oleh si pewaris. Berkaitan hal dimaksud, R.

Subekti, mengemukakan bahwa peraturan mengenai legitime portie oleh undang-

undang dipandang sebagai pembatasan kemerdekaan seseorang untuk membuat

wasiat atau testamen menurut kehendak hatinya sendiri.

Berdasarkan hal diatas, seseorang yang akan menerima sejumlah harta

warisan terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

(a) Harus ada orang yang meninggal dunia. Hal ini didasari oleh pasal 830 BW

(dalam hukum kewarisan Islam disebut asas akibat kematian).

(b) Ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia.

Ketentuan ini tidak berarti mengurangi pasal 2 BW.

(c) Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak menjadi ahli waris, dalam

pengertian ia tidak dinyatakan oleh undang-undang sebagai seseorang yang

tidak patut menjadi ahli waris karena adanya kematian seseorang, atau tidak

dianggap sebagai tidak cakap untuk menjadi ahli waris.

69

Sesudah terpenuhi persyaratan diatas, para ahli waris mempunyai

kelonggaran oleh undang-undang untuk selanjutnya menentukan sikap terhadap

suatu harta warisan, ahli waris diberi hak untuk memikir selama empat bulan

setelah itu iya harus menyatakan sikapnya apakah menerima atau menolak harta

warisan atau mungkin saja ia menerima warisan dengan syarat yang dinamakan

menerima warisan secara beneficiair yang merupakan suatu jalan tenggah antara

menerima dan menolak harta warisan.

Selama ahli waris menggunakan haknya untuk berpikir dalam menentukan

sikapnya, ia tidak dapat dipaksa untuk memenuhi kewajiban sebagai ahli waris

sampai jangka waktu itu berakhir atau selama empat bulan. Sesudah tenggang

waktu menurut undang-undang berakhir maka seorang ahli waris dapat memilih

antara tiga kemungkinan sebagai berikut.

1. Menerima harta warisan secara penuh

Ahli waris yang menerima harta warisan secara penuh, baik secara diam-

diam maupun secara tegas bertanggung jawab sepenuhnya atas segala kewajiban

yang melekat pada harta warisan.Artinya, ahli waris harus menanggung segala

macam utang-utang pewaris. Penerimaan harta warisan secara penuh yang

dilakukan dengan tegas, yaitu melalui akta autentik atau akta dibawah tangan,

sedangkan penerimaan secara penuh yang dilakukan dengan diam-diam, biasanya

dengan cara melakukan tindakan tertentu yang menggambarkan adanya

penerimaan secara penuh.

2. Menerima warisan bersyarat

70

Menerima warisan bersyarat adalah menerima harta warisan dengan

ketentuan bahwa ia tidak akan diwajibkan membayar utang-utang pewaris yang

melebihi bagiannya dalam warisan itu atau disebut dengan istilah menerima

warisan secara beneficair. Akibat menerima warisan secara beneficair. Akibat

menerima warisan secara beneficair adalah sebagai berikut :

(1) Seluruh harta warisan terpisah dari harta kekayaan pribadi ahli waris;

(2) Ahli waris tidak perlu menanggung pembayaran utang-utang pewaris dengan

kekayaannya sendiri karena pelunasan utang-utang pewaris hanya dilakukan

menurut kekuatan harta warisan yang ada;

(3) Tidak terjadi percampuran harta kekayaan antara harta kekayaan ahli waris

dengan harta warisan yang diterimanya;

(4) Apabila utang-utang pewaris telah dilunasi semunya dan masih ada sisa harta

peninggalannya maka sisa itu lah yang merupakan bagian ahli waris.

3. Menolak Harta Warisan

Ahli waris yang menolak harta warisan dianggap tidak pernah menjadi ahli

waris. Jika ia lebih dahulu meninggal dari pewaris ia tidak dapat digantikan

kedudukannya oleh anak-anaknya yang masih hidup. Menolak harta warisan

harus dilakukan dengan suatu pernyataan kepada panitera pengadilan negeri

wilayah hukum tempat harta warisan itu terbuka.Penolakan harta warisan

dihitung dan berlaku surut, yaitu sejak saat meninggalnya pewaris.

Lain lagi halnya seseorang ahli waris yang menyatakan menerima harta

warisan secara beneficiair atau menerima dengan mengadakan inventarisasi harta

peninggalan, mempunyai beberapa kewajiban sebagai berikut.

71

(1) Wajib melakukan pencatatan atas jumlah harta peninggalan dalam waktu

empat bulan setelah ia menyatakan kehendknya kepada panitera pengadilan

negeri.

(2) Wajib mengurus harta peninggalan dengan sebaik-baiknya.

(3) Wajib membereskan urusah harta warisan dengan segera.

(4) Wajib memberikan jaminan kepada kreditor, baik kreditor benda bergerak

maupun kreditor pemegang hak hipotik.

(5) Wajib memberikan pertanggungjawaban kepada seluruh kreditor pewaris,

maupun kepada orang yang menerima pemberian secara legaat.

(6) Wajib memanggil para kreditor pewaris yang tidak dikenal melalui surat

kabar resmi.

E. PERAN BALAI HARTA PENINGGALAN DALAM PEMBAGIAN

HARTA WARISAN

Kalau ada harta warisan yang ditinggalkan oleh seseorang yang sudah

meninggal dunia, tetapi tidak ada orang yang menjadi ahli warisnya maka harta

dimaksud disebut harta warisan yang tidak terurus.Dalam keadaan seperti ini,

tanpa menunggu perintah dari hakim, balai harta peninggalan (dalam hukum waris

Islam disebut Baitul Mal) wajib mengurus harta peninggalan tersebut. Pekerjaan

pengurusan itu harus dilaporkan kepada kejaksaan negeri setempat, jika terjadi

perselisihan tentang apakah suatu harta peninggalan dianggap terurus atau tidak,

maka penentuan ini akan di putus oleh hakim.

72

Kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh Balai Harta

Peninggalandalam tugasnya mengurus harta warisan yang tidak terurus meliputi

beberapa hal sebagai berikut.

a. Wajib membuat perincian atau inventarisasi tentang keadaan harta

peninggalan, yang didahului dengan penyegelan barang-barang.

b. Wajib membereskan harta warisan dalam arti melakukan penagihan piutang-

piutang pewaris dn membayar semua utang pewaris, apabila diminta oleh

pihak yang berwajib, Balai Harta Peninggalan juga wajib memberikan

pertanggung jawaban.

c. Wajib memanggil para ahli waris yang mungkin masih ada melalui surat

kabar atau panggilan resmi lainnya.

F. AHLI WARIS YANG TIDAK PATUT MENERIMA HARTA

WARISAN

Ahli waris yang tidak patut menerima harta warisan menurut peraturan

perundang-undangan sebagai berikut.

a. Ahli waris yang dengan putusan hakim telah dihukum karena dipersalahkan

membunuh atau setidaknya mencoba membunuh pewaris.

b. Ahli waris yang dengan putusan hakim telah di hukum karena dipersalahkan

memfitnah dan mengadukan pewaris, bahwa pewaris melakukan kejahatan

yang diancam hukuman penjara empat tahun lebih.

c. Ahli waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau

mencegah pewaris untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat.

73

d. Ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat

wasiat.

Apabila ternyata ahli waris yang tidak patut ini menguasai sebagian atau

seluruh harta peninggalan dan ia berpura-pura sebagai ahli waris, ia wajib

mengembalikan semua harta yang di kuasainya termasuk hasil-hasil yang telah

dimanfaatkan atau dinikmatinya.

BAB III

GAMBARAN TENTANG KEWARISAN ANAK ANGKAT MENURUT

UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Pengertian Anak Angkat

74

Pengertian tentang anak angkat ini, dapat dilihat dari dua segi, yaitu

pengertian secara etimologi dan secara terminologi.

1. Secara Etimologi

Mengangkat anak disebut juga dengan adopsi. Adapun kata adopsi berasal

dari bahasa Belanda, yaitu dari kata adoptie atau menurut bahasa Inggrisnya

berasal dari kata adopt yang berarti pengangkatan anak yaitu: “mengangkat anak

orang lain sebagai anak sendiri”.58

Dalam bahasa Arab disebut denganتبىن (tabanni), menurut Mahmud Yunus

berarti “mengambil anak angkat”.59

Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengadopsi berarti”

mengambil anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri”.60

Dari pengertian di atas jelas bahwa yang menjadi titik penekanannya

adalah pada persamaan status anak angkat dari hasil pengangkatannya dengan

anak kandung.

2. Secara Terminologi

a. Anak Angkat Menurut Hukum Adat

Masyarakat Indonesia semenjak dahulu mengenal pengangkatan anak ini,

seperti yang telah diungkapkan oleh para ahli.

Hilman Hadikusuma dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat,

memutuskan bahwa anak angkat adalah: ”Anak orang lain yang dianggap anak

sendiri oleh orang tua angkat secara resmi menurut hukum adat setempat,

58

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Balai Pustaka, 1992), h. 8 59

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerjemah dan Pentashih

al-Qur’an,. 1988), h. 73 60

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ..., h. 8

75

dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas

harta kekayaan rumah tangga”.61

A.Z Abidin Farid yang mengadakan riset tentang anak angkat di Tana

Toraja merumuskan:

“Anak angkat adalah anak yang ada akibat suatu perbuatan dari seseorang

mengambil/menjadikan orang lain sebagai anaknya tanpa melepaskan

ikatan kekeluargaan anak itu dengan orang tua aslinya baik dia itu masih

kanak-kanak maupun sudah dewasa, mempunyai kewajiban yang sama

dengan anak kandung dengan memakai upacara adat.62

Mr.M.M. Djojodiguno dan Mr. Raden Tirtawinata, merumuskan: ”Adopsi

adalah pengangkatan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi

anak dari orang tua angkat. Ditambah bahwa adopsi itu dilakukan dengan

sedemikian rupa, sehingga anak itu baik secara lahir atau batin merupakan anak

sendiri”.63

Mr. Raden Soepomo, merumuskan: “Adopsi adalah hubungan

pengangkatan anak orang lain.Dengan anak angkat, seperti hubungan orang tua

dengan anak kandungnya”.64

Dari pendapat para ahli tersebut, jelaslah bahwa anak angkat itu adalah

anak orang lain yang diambil oleh seseorang untuk dijadikan sebagai anak

kandungnya dengan resmi menurut hukum dengan memakai upacara adat

setempat, tidak melepaskan ikatan kekeluargaan anak tersebut dengan orang tua

61

Maderis Zaini, Adopsi; Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar

Grafika, 1985), Cet. Ke-1, hl 5 62

Bastian Tafal.Pengangkatan Anak-Anak Angkat menurut Hukum Adat serta Akibat-

Akibat Hukumnya di Kemudian Hari, (Jakarta: Rajawali, 1983), h. 47 63

B. Bastian Tafal. Pengangkatan Anak-Anak Angkat menurut Hukum Adat serta Akibat-

Akibat Hukumnya di Kemudian Hari, …, h. 47 64

Bastian Tafal.Pengangkatan Anak-Anak Angkat menurut Hukum Adat serta Akibat-

Akibat Hukumnya di Kemudian Hari,...., h. 48

76

aslinya.

b. Anak Angkat Menurut Hukum Perdata (BW)

Dalam KUHPerdata (BW) tidak ada pasal yang mengungkap tentang

pengertian adopsi. Tetapi pengertian adopsi yang berasal dari bahasa Belanda,

yaitu dari kata Adoptie yang berarti mengambil atau pengangkatan anak orang lain

secara sah menjadi anak sendiri.65

Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa

pengertian adopsi adalah pengangkatan anak orang lain secara sah menjadi anak

sendiri.

Tidak adanya pasal yang mengatur atau mengungkapkan pengertian adopsi

berarti bahwa pada dasarnya BW tidak mengatur tentang adopsi.Hal ini membawa

akibat tidak ada pengangkatan anak yang didasarkan pada KUHPerdata (BW).

Akan tetapi, akibat perang dunia ke II di Belanda telah lahir Undang-Undang

tentang pengangkatan anak, yaitu: staatsblad Nomor 129 tahun 1917.

Dalam staatsblad ini menyatakan bahwa anak adopsi memiliki hubungan

keperdataan secara hukum dan disamakan posisinya sebagai anak yang lahir dari

orang tua angkatnya, sehingga dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari

perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat.66

Landasan diterimanya Undang-Undang tersebut karena setelah perang

dunia ke II banyak orang tua kehilangan anak atau sebaliknya anak kehilangan

orang tua disebabkan meninggal akibat perang.

c. Anak Angkat Menurut Hukum Islam

65

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1989), h. 18 66

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), cet. Ke-5,

h. 142

77

Anak angkat menurut hukum Islam berbeda dengan pengertian anak

angkat menurut hukum adat dan hukum perdata. Karena yang dimaksud dengan

pengangkatan anak dalam hukum Islam adalah untuk memelihara anak bukan

untuk menjadikan anak orang lain menjadi anak sendiri.67

Menurut Mahmud Syaltut sebagaimana yang telah dikutip secara ringkas

oleh Fatchur Rahman dalam bukunya Hukum Ilmu Waris membedakan arti anak

angkat menjadi dua pengertian.

1) Penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahui bahwa ia sebagai anak

orang lain ke dalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dari segi

kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala

kebutuhannya, bukan di perlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.

2) Yakni yang dipahami dalam perkataan Tabanni (mengangkat anak secara

mutlak). Menurut syari’at adat dan kebiasaan yang berlaku pada anak orang

lain ke dalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya,

sebagai anak yang sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai

anak.

Dengan pengertian yang dikemukakan oleh Mahmud Syaltut yang terakhir

di atas dapat dipahami, bahwa pengertian adopsi atau pengangkatan anak menurut

hukum barat. Di mana arahannya lebih cenderung menekankan kepada

memasukan anak yang diketahuinya sebagai anak orang lain ke dalam

67

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. Ke-3, h.

119

78

keluarganya dengan mendapatkan status dan fungsi yang sama dengan anak

kandungnya.

Sedangkan pengertian yang pertama tampaknya lebih tepat untuk

pengertian adopsi menurut kultur Indonesia yang mayoritas Islam. Sebab

pengertian adopsi atau pengangkatan anak pada pengertian yang pertama ini lebih

cenderung penekanannya kepada memperlakukan anak orang lain yang diangkat

dalam segi kecintaan, pemberi nafkah, pendidikan, dan pelayanan dalam segi

kebutuhannya, bukan seperti diperlakukan sebagai anak nasab atau anak

kandungnya sendiri.

Sebagai konsekuensi dari pengertian yang pertama itu adalah bahwa anak

angkat itu tidak bisa mendapat harta peninggalan dari orang tua angkatnya

tersebut, sebab ia bukan merupakan nasab dari orang tua angkatnya yang

merupakan sebab utama untuk mendapatkan hak kewarisan.

B. Dasar Hukum Pengangkatan Anak Angkat

Di Indonesia ada tiga sistem hukum atau stelsel hukum yang berlaku,

yaitu:

1. Hukum adat

2. Hukum perdata Barat

3. Hukum Islam

Maka untuk itu di sini akan dijelaskan dasar hukum pengangkatan anak itu

dari tiga sistem atau stelsel hukum yang berlaku tersebut.

1. Dasar hukum pengangkatan anak dalam hukum adat

79

Secara umum sistem hukum Indonesia berlainan dengan hukum adat Barat

yang bersifat indifiduallistis liberalistis.Menurut Soepomo, hukum Indonesia

mempunyai corak sebagai berikut:

a. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat, artinya manusia

menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang

erat, rasa kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan hukum adat.

b. Mempunyai corak religius-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup

alam Indonesia.

c. Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba kongkrit artinya hukum adat

sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya perhubungan yang

kongkrit.

d. Hukum adat mempunyai sifat yang visual artinya perhubungan hukum

dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat

dilihat (tanda yang kelihatan).68

Dengan demikian khusus dalam masalah anak angkat tentunya mempunyai

sifat kebersamaan pula dalam masyarakat Indonesia di antara berbagai daerahnya

tertentu mewarnai kebhinekaan kultur Indonesia.

Dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang tegas tentang siapa saja yang

boleh melakukan adopsi dan batasan usia dari anak yang akan diangkat, kecuali

perbedaan minimal dari usia orang yang akan mengangkat dengan anak yang anak

diangkat ditentukan, yaitu 15 tahun. Hal ini adalah berdasarkan informasi yang

68

Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1986), cet. Ke-

10, h. 68-72

80

diperoleh dari Pengadilan Negeri Banjarmasin.69

Di Indonesia terdapat berbagai variasi dalam cara pengangkatan anak ini,

kalau dilihat dari segi anak yang diangkat, maka menurut Wignjodipuro, yang

terdapat dalam bukunya, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, pengangkatan

anak di Indonesia dapat diringkas sebagai berikut:

a. Mengangkat anak bukan warga keluarga

b. Mengangkat anak dari kalangan keluarga

c. Mengangkat anak dari kalangan keponakan.70

Berikut ini akan penulis jelaskan satu persatu.

a. Mengangkat anak bukan warga keluarga

Tindakan ini biasanya disertai dengan penyerahan barang-barang magis

atau sejumlah uang kepada keluarga anak semula, alasannya adalah umumnya

tidak ada keturunan.Pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan secara resmi

dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala adat.Adopsi seperti ini terdapat

di daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias dan Kalimantan.

b. Mengangkat anak dari kalangan keluarga

Dilakukan karena takut tidak mempunyai anak terkadang juga merupakan

alasan dari pelaksanaan adopsi, seperti di daerah Bali yang disebut

“nyentanayang”. Akan lazimnya diambil dari salah satu dan yang ada hubungan

teradisionalnya yang disebut “purusan”, tetapi akhir-akhir ini dapat pula anak

69

Maderis Zaini, Adopsi; Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, ..., h. 43 70

Maderis Zaini, Adopsi; Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, ..., h. 11-12

81

diambil dari kalangan luar. Bahkan di beberapa desa dapat pula diambil anak dari

kalangan keluarga isteri (pradana).Dalam keluarga dengan selir (bundik), maka

apabilah isteri tidak mempunyai anak, biasanya anak dari selir-selir diangkat

sebagai anak isteri.

c. Mengangkat Anak dari Kalangan Keponakan

Perbuatan ini hanya terdapat di pulau Jawa,Sulawesi,dan beberapa daerah

lainnya.Sebab-sebab mengangkat keponakan ini sebagai anak angkat adalah:

1) Karena tidak mempunyai anak sendiri,sehingga memunggut keponakan

tersebut merupakan jalan untuk mendapatkan keturunan.

2) Karena belum dikaruniai anak,sehingga dengan mengangkat keponakan ini

diharapkan akan mempercepat kemungkinan mendapat anak.

3) Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan,misalnya

karena hidupnya kekurangan terus dan lain sebagainya.71

Di daerah Jawa Tengah pada umumnya yang mengangkat anak adalah

suami isteri,duda atau janda dan ada kemungkinan seseorang yang belum

kawinpun dapat mengangkat anak. Tetapi di

Magelang,Semarang,Kendal,Banyumas, dan Purworejo tidak dibolehkan bagi

orang yang belum kawin untuk mengangkat anak. Hal ini berdasarkan putusan

Pengadilan Negeri Magelang tanggal 1 November 1076 No.179/1976 Pdt, dan

pengadilan Negeri Semarang yang memberikan keterangan yang sama.72

71

Maderis Zaini, Adopsi; Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, ..., h. 11-12 72

B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak-anak Angkat menurut Hukum Adat serta Akibat-

akibat Hukumnya di Kemudian Hari, ..., h. 69

82

Di Jawa Tengah pengangkatan anak itu tidak memutuskan hubungan

kekeluargaan antara anak angkat dengan orang tuanya sendiri,anak angkat masuk

anggota keluarga orang tua angkat tetapi kedudukannya tidak sama dengan anak

kandung dalam fungsi untuk meneruskan keturunan orang tua angkatnya.Biasanya

yang dijadikan anak angkat adalah keponakannya sendiri, baik laki-laki maupun

perempuan.

Adapun alasan mengambil keponakan sebagai anak angkat adalah:

1) Untuk memperkuat pertalian kekeluargaan dengan orang tua dari anak angkat.

2) Dikarenakan adanya rasa belas kasihan terhadap anak.

3) Adanya satu kepercayaan,bahwa dengan mengangkat anak kemudian akan

mendapat anak kandung.

4) Mungkin untuk mendapat bujang di rumah yang dapat membantu pekerjaan

orang tua angkatnya sehari-hari.73

Dari beberapa hal yang telah dikemukakan di atas,jelas bahwa yang

menjadi dasar pengangkatan anak itu adalah karena tidak mempunyai anak

keturunan sendiri,sehingga seseorang berkeinginan untuk mengangkat anak orang

lain untuk dijadikan sebagai anaknya,namun yang menjadi dasar bagi penduduk

Jawa khususnya penduduk Jawa Tengah dalam pengangkatan anak dari kalangan

keponakan adalah yang terutama sekali menjalin hubungan kekeluargaan antara

orang tua anak yang akan diangkat yang merupakan saudara dari orang yang

mengangkatnya dengan orang yang mengangkat anak itu sendiri. Jadi ringkasnya

73

B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak-anak Angkat menurut Hukum Adat serta Akibat-

akibat Hukumnya di Kemudian Hari, ..., h. 69

83

dapat dikatakan bahwa alasan dari pengangkatan anak itu adalah untuk

mempererat hubungan persaudaraan antara orang tua angkat dengan orang tua

kandung.

2. Dasar Hukum Pengangkatan Anak dalam Hukum Perdata

Dalam Undang-undang Hukum Perdata (BW) tidak ada bab atau pasal

yang mengatur adopsi, tetapi yang ada adalah pengakuan anak di luar kawin yang

diatur dalam buku I Bab XII bagian 3 pada Pasal 280 sampai dengan Pasal 289

adalah mengenai anak di luar kawin. Pengakuan anak sebagai mana terjadi dalam

praktek di masyarakat dan di dunia peradilan sekarang,tidak hanya terbatas pada

pengakuan anak luar kawin,tetapi sudah mencakup pengakuan anak dalam arti

luas.Dengan demikian: ”yang sebenarnya KUHPerdata tidak mengatur tentang

pengangkatan anak sebagaimana dikenal sekarang.74

Dengan demikian adopsi merupakan suatu lembaga yang dibutuhkan oleh

masyarakat,walaupun dalam KUHPerdata tidak ada diatur masalah adopsi ini

namun masalah adopsi sudah membudaya di kalangan masyarakat,maka untuk

itu,berdasarkan kenyataan ini pemerintah Hindia Belanda berusaha menyusun

peraturan-peraturan tersendiri tentang adopsi. Sehingga akhirnya pemerintah

Hindia Belanda mengeluarkan staatsblad tahun 1917 No 129 yang menjadi

pelengkap dari KUHPerdata,karena dalam KUHPerdata tidak ada aturan yang

mengatur mengenai anak angkat, maka lahirnya staatsblad tersebut adalah untuk

melengkapi kekosongan hukum yang mengatur mengenai permasalahan tersebut.

74

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, ..., h. 137

84

Aturan tersebut menjadi acuan bagi pengangkatan anak atau pengadopsian anak

bagi masyarakat yang tunduk pada KUHPerdata atau BW.Adapun adopsi yang

diatur dalam ketentuan staatsblad tersebut adalah hanya berlaku bagi masyarakat

Tionghoa.Semenjak itulah staatsblad No.129 Tahun 1917 menjadi ketentuan

hukum yang tertulis tentang masalah adopsi dan orang Tionghoa biasanya dikenal

dengan golongan orang Timur asing.

Pembahasan mengenai kedudukan anak angkat di dalam keluarga

selanjutnya akan diuraikan dengan berpedoman dengan apa yang termuat dalam

staatsblad Nomor 129 tahun 1917. Pada Pasal 5 sampai dengan Pasal

15.Kedudukan anak angkat terdapat pada Pasal 12 menyamakan seseorang anak

dengan anak yang sah dari perkawinan orang yang mengangkat.

Dengan demikian, anak angkat dalam keluarga mempunyai kedudukan

yang sama dengan anak kandung atau anak yang terlahir dari orang tua angkatnya.

Hal itupun berakibat pada keamanan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh anak

angkat,termasuk pada pembagian warisan orang tua angkatnya apabila meninggal

dunia.Ketentuan tersebut terdapat pada staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 yang

menjadi pelengkap dari KUHPerdata, karena di dalam KUHPerdata tidak ada

aturan yang mengatur mengenai anak angkat.

Pada staatsblad nomor 129 tahun 1917 Pasal 5 yang mengatur tentang

siapa yang boleh mengadopsi anak angkat. di antaranya adalah:

Ayat (1) menyebutkan,bahwa seorang laki-laki beristri atau telah pernah

beristeri tidak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-

85

laki baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena

angkatan,maka bolehlah ia mengangkat seorang laki-laki sebagai anak.

Pada ayat 2 disebutkan, bahwa pengangkatan yang demikian harus

dilakukan oleh seorang laki-laki tersebut, bersama-sama dengan isterinya

atau jika dilakukannya setelah perkawinannya dibubarkan oleh dia sendiri.

Sedangkan pada ayat (3) menyatakan,apabila kepada seorang perempuan

janda yang tidak kawin lagi,oleh suaminya yang telah meninggal dunia,

tidak ditinggalkan seorang keturunan sebagaimana yang tersebut dalam

ayat (1), maka bolehlah ia mengangkat seorang laki-laki sebagai anaknya.

Jika sementara itu si suami yang telah meninggal dunia,dengan surat

wasiat telah menyatakan tidak membolehkan pengangkatan anak oleh

isterinya,makapengangkatan itu tidak boleh dilakukan.75

Dari ketentuan di atas, maka yang boleh mengangkat anak adalah

sepasang suami isteri yang tidak mempunyai anak laki-laki atau seorang janda

yang tidak mempunyai anak laki-laki, asal saja janda yang bersangkutan tidak

ditinggalkan berupa amanah yang berbentuk surat wasiat dari suaminya yang

menyatakan tidak menghendaki pengangkatan anak.

Pada Pasal 6 dan 7 mengatur tentang siapa saja yang dapat diadopsi. Pasal

6 menyatakan bahwa yang boleh diangkat adalah orang Tionghoa laki-laki yang

tidak beristeri,apalagi beranak dan juga belum pernah diangkat oleh orang

lain.Dan dalam Pasal ini tidak ada ketentuan, apakah yang diangkat itu harus anak

dari keluarga dekat atau anak di luar keluarga atau juga orang asing.Dan di sini

juga tidak diatur secara kongkrit mengenai batasan usia dan orang yang belum

kawin untuk mengangkat anak,yang di sini hanyalah batasan dari selisih usia

antara orang yang mengangkat dengan anak yang diangkat, yaitu yang disebutkan

dalam Pasal 7:

Dalam Pasal 7 ayat (1)dinyatakan, bahwa orang yang diangkat harus

paling sedikitnya 18 tahun lebih muda dari pada suami dan paling

sedikitnya 15 tahun lebih muda dari pada isteri atau janda yang

75

Soeroso, Perbandingan KUHPerdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 174

86

mengangkatnya.

Sedangkan ayat (2) menyatakan, bahwa apabila yang diangkat seorang

keluarga saudara, baik yang sah maupun yang keluarga luar kawin, maka

keluarga tadi karena angkatannya terhadap moyang ke dua belah pihak

bersama,harus memperoleh derajat keturunan yang sama pula dengan

derajat keturunannya sebelum diangkat.76

Dari keterangan di atas, dapat penulis pahami bahwa di samping

membicarakan tentang orang yang pantas diangkat yaitu orang Tionghoa yang

laki-laki juga membicarakan tentang batasan selisih usia antara anak yang

diangkat dengan suami atau isteri/janda yang mengangkatnya, yaitu suami harus

tua 18 tahun dan isteri atau janda harus tua 15 tahun dari anak yang diangkatnya.

Dan dalam Pasal ini ada suatu penekanan bila mana yang diangkat itu dari

keluarga saudara, maupun keluarga yang sah maupun di luar nikah,maka keluarga

tersebut harus memperoleh derajat keturunannya sebelum dia diangkat.

Adapun tata cara mengenai pengangkatan anak diatur oleh Pasal 8 sampai

Pasal 10 staatsblad nomor 129 tahun 1917 di mana dalam Pasal 8 disebutkan

Empat syarat mengangkat anak, yaitu:

1. Persetujuan orang yang mengangkat.

2. a. Jika anak yang diangkat itu adalah anak yang sah dari orang tuanya, maka

diperlukan izin dari orang tuanya, jika bapaknya sudah wafat dan ibunya

sudah kawin lagi maka harus ada persetujuan dari walinya dan dari balai harta

peninggalan selaku penguasa wali.

b. Jika anak yang diangkat itu adalah lahir di luar perkawinan, maka diperlukan

izin dari orang tuanya yang mengakui sebagai anaknya, manakala anak itu

sama sekali tidak diakui sebagai anak, maka harus ada persetujuan dari

walinya serta dari balai harta peninggalan.

3. Jika anak yang diangkat sudah berusia 19 tahun, maka diperlukan pula

persetujuan dari anak itu sendiri.

4. Manakala yang mengangkat anak itu sendiri seorang perempuan janda, maka

harus ada persetujuan dari saudara laki-laki dan ayah dari almarhum

suaminya,atau jika tidak ada saudara laki-laki atau ayah yang masih hidup,

atau jika mereka tidak menetap di Indonesia, maka harus ada persetujuan dari

76

Soeroso, Perbandingan KUHPerdata, ..., h. 174

87

anggota laki-laki keluarga almarhum suami dalam garis laki-laki sampai

derajat ke empat.

Menurut Pasal 10 dinyatakan, bahwa pengangkatan anak harus dilakukan

dengan akta notaris.Pasal 11,12,13 dan 14 menyangkut dengan masalah akibat

hukum dari pengangkatan anak itu.

Pasal 11 menyatakan, bahwa dalam keluarga yang akan mengangkat anak juga

akan menjadi nama bagi anak yang diangkat.

Pasal 12 menyatakan, bahwa menyamakan anak angkat dengan anak yang sah

dari perkawinan orang yang mengangkat.

Pasal 13 menyatakan, bahwa mewajibkan balai harta peninggalan untuk

seorang janda yang akan mengangkat anak, mengambil tindakan-tindakan

yang perlu guna mengurus dan menyelamatkan barang-barang kekayaan anak

yang akan diangkat.

Pasal 14 menyatakan, bahwa suatu pengangkatan anak berakibat putusnya

hubungan hukum anak yang akan diangkat dengan orang tuanya

sendiri,kecuali ;

1. Mengenai larangan kawin yang berdasarkan atas tali kekeluargaan.

2. Mengenai peraturan hukum pidana yang berdasarkan hukum kekeluargaan.

3. Mengenai perhitungan perkara biaya di muka hakim dan penyanderaan.

4. Mengenai pembuktian seorang saksi.

5. Mengenai bertindak sebagai saksi.

Pasal 15 menyatakan, bahwa pengangkatan suatu anak tidak dapat dibatalkan

oleh orang yang bersangkutan sendiri dan pada ayat 2 nya dinyatakan:

“pengangkatan terhadap anak-anak perempuan dan pengangkatan dengan cara

lain dari pada dengan akte autentik/akte notaris adalah batal karena hukum.

Akan tetapi ketentuan tersebut sekarang ini telah diperluas dengan adanya

yuriprudensi yang menentukan bahwa seorang anak perempuan dapat dijadikan

anak angkat oleh orang Tionghoa, yaitu berdasarkan: “Keputusan Pengadilan

Negeri Jakarta tanggal 29 Mei 1963 No. 907/1963 dan tanggal 17 Oktober 1963

No.588/1963 c”.77

Adapun peraturan yang mengatur tentang pengangkatan anak di Indonesia,

antara lain:

a. Surat Keputusan Menteri Sosial, No. Sekrt. 10-28-47/tentang Pedoman

Asuhan Keluarga, yang sifatnya hanya beberapa petunjuk tentang Bagaimana

77

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:

Kencana, 2010), cet. Ke-2. h. 247

88

Pengasuhan anak dalam Keluarga,Termasuk Anak Angkat.

b. Undang-Undang No.62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik

Indonesia:

Pasal 2 menyatakan, bahwa anak asing yang belum berumur lima tahun yang

diangkat oleh seseorang warga negara Indonesia, apabila pengangkatan itu

disahkan oleh Pengadilan Negeri dari tempat tinggal orang yang mengangkat

itu.

c. Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai

Negeri Sipil, dalam Pasal 6 ayat 2 dan 3 dinyatakan:

Kepala Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai anak-anak angkat yang kurang

dari 18 tahun, belum pernah kawin, tidak mempunyai penghasilan sendiri dan

nyata menjadi tanggung jawabnya, diberi tunjangan anak sebanyak 2 % dari

gaji pokok untuk tiap-tiap anak. Tunjangan anak yang dimaksud di sini diberi

sebanyak-banyaknya untuk tiga orang anak, termasuk satu orang anak angkat.

d. Surat edaran Kepala Direktorat BISPA Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga

Departemen Kehakiman No. DBTU 9/2/77, yang antara lain menyatakan:

Bahwa pengangkatan anak yang dianut oleh Ditjen Tuna Warga, di mana

Balai BISMA akan ikut menangani ialah pengangkatan anak yang diproses

melalui Putusan Hakim Pengadilan Negeri dan anak itu berstatus Tuna Warga.

Yang termasuk anak di sini termasuk orang dewasa yang diangkat sebagai

anak angkat. Di sini lebih banyak diatur persyaratan administratif sehubungan

dengan proses permasyarakatan dari seseorang Tuna Warga yang akan

diangkat sebagai anak angkat.

e. Surat edaran Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan

Departemen Kehakiman, tanggal 24 Februari 1978, No. JHA/1/1/2, tentang

pengangkatan anak. Surat edaran ini merupakan petunjuk teknis bagi

pengadilan umum dalam soal pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh

orang asing. Surat edaran ini menyatakan, bahwa pengangkatan anak warga

negara Indonesia oleh orang asing hanya dapat dilakukan dengan surat

penetapan Pengadilan, tidak dengan Akte Notaris.

89

f. Surat edaran Menteri Sosial Republik Indonesia No. HUK-3-1-58/78, tanggal

7 Desember 1978, tentang petunjuk sementara dalam pengangkatan anak

(adopsi Internasional) yang ditunjukkan kepada Kantor Wilayah Departemen

Sosial seluruh Indonesia. Isi pokoknya adalah memberikan rekomendasi

kepada pengadilan yang akan menetapkan anak, Kantor Wilayah harus

memperhatikan:

1) Batasan umur anak yang akan diangkat, tidak lebih lima tahun.

2) Umur orang tua angkat tidak lebih dari 50 tahun dan dalam keadaan bersuami

isteri.

3) Anak yang akan diangkat jelas asal-usulnya.

4) Bila orang tua anak masih ada, harus ada persetujuan tertulis dari mereka.

5) Ada bukti persetujuan dari instansi yang berwenang dari negara calon orang

tua angkat.

g. Surat Mahkamah Agung, tanggal 7 April 1979 tenang pengangkatan anak.

Dalam surat edaran ini dinyatakan bahwa:

Bahwa menurut pengamatan Mahkamah Agung permohonan pengesahan anak

yang diajukan oleh Pengadilan Negeri yang kemudian diputuskan nampak

kian hari kian bertambah, ada yang merupakan bahagian dari tuntutan gugatan

perdata, ada yang merupakan gugatan khusus pengesahan pengangkatan anak.

h. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (LN 1979

No. 32). Dalam undang-undang ini diatur prinsip-prinsip umum yang

menyangkut tercapainya kesejahteraan anak, tanggung jawab orang tua

terhadap anak, usaha kesejahteraan anak. Tetapi dalam aturan ini tidak

ditegaskan secara jelas tentang pengangkatan anak.

90

Pada Pasal 12 Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 dinyatakan, bahwa

pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan

mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak yang diatur lebih lanjut dengan

peraturan-peraturan pemerintah.78

3. Dasar Hukum Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam

Islam tidak membenarkan seseorang mengangkat anak orang lain dengan

cara memutuskan hubungan nasab dengan orang tuanya sendiri, kemudian

memindahkan nasibnya kepada orang tua angkatnya serta diberi hak-hak atau

kedudukan yang sama dengan anak kandung. Hal ini berdasarkan firman Allah

SWT dalam surat al-Ahzab ayat 4-5 yang berbunyi:

هاتكموماجع هنأم ئيتظاهرونن قلب ينفيجوفهوماجعلزواجكمالل ياءكمأماجعلللهلرجلمن لدبيل وهوي هديالس واهكمواللهي قوللق وهلبائ(٤)ب ناءكمذلكمقولكمبأف همهوأقسطعنداللهاد

ينومواليكموليسعليكمجناحفيماأخطأتبهولك دت قلفإن لمت علمواءاباءهفإخوانكمفيالد نمات عم (٥)وبكموكاناللهغفورارحيما

Artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam

rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu

sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai

anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu

dimulutmu saja.Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia

menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat

itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih

adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak

mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama

dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang

kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja

oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang” (QS. Al-Abzab: 4-5)

78

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, ..., h. 252

91

Surat al-Ahzab tersebut dalam garis besarnya dapat dirumuskan sebagai

berikut:

a. Allah SWT tidak menjadikan dua hati dalam satu dada manusia

b. Anak angkatmu bukanlah anak kandungmu

c. Panggillah anak angkatmu menurut nama bapaknya

Dari ketentuan di atas, sudah jelas bahwa yang dilarang adalah

pengangkatan anak sebagai anak kandung dalam segala hal.Dari sisi terlihat

adanya titik perbedaan ketentuan hukum adat di beberapa daerah di Indonesia,

yang menghilangkan atau memutuskan kedudukan anak angkat dengan orang tua

kandungnya sendiri.Hal ini bersifat prinsip dalam lembaga adopsi, karena

ketentuan yang merubah atau menghilangkan hak-hak orang tua dan dapat

merombak ketentuan kewarisan.

Lebih tegas lagi tentang tidak adanya hubungan kekeluargaan atau

hubungan nasab akibat adanya pengangkatan anak ini dapat dilihat dalam firman

Allah SWT dalam surat al-Ahzab ayat 37:

هوتشىااللهمبديوإذت قولللذيأن عماللهعليهوأن عمت عليهأمسكعليكزوجكواتقاللهوتفيفين فسكمهاوطرازوجناكهالكيليكون علىالمؤمنينحرج اقضىزيدمن أن تخشاهفلم الناسواللهأحق فيأزواجأد

وطراوكانأمراللهمفعول هن (٣٧:الحزاب)يائهمإذاقضوامن

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah

melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni'mat

kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah",

sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan

menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah

yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah

mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami

kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang

mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka,

92

apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya

daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi” (QS.

al-Ahzab: 37)

Dari ayat 37 surat al-Ahzab di atas diketahui secara kongkrit lagi bahwa

anak angkat dengan orang tua angkatnya tidak ada hubungan kekeluargaan atau

nasab, jika seandainya antara anak angkat dengan orang tua angkatnya itu ada

hubungan nasab karena adanya pengangkatan anak tersebut, maka sudah tentu

Allah SWT tidak akan membolehkan Nabi Muhammad SAW mengawini bekas

istri Zaid yang merupakan anak angkatnya sendiri. Jadi dengan adanya perintah

Allah SWT untuk mengawini bekas istri anak angkat kepada Nabi Muhammad

SAW, hal ini menjadi suatu indikasi bahwa anak angkat bukanlah termasuk

keluarga yang nasibnya dapat dimasukkan ke dalam nasab orang tua angkatnya.79

Rasulullah SAW juga menjelaskan dalam hadisnya tentang ketidakbolehan

memasukkan nasab anak angkat ke dalam nasab orang tua angkatnya, yaitu

sebagai berikut:

سعت قال سعد يقولرن وسلم ليه اهلل صلى اهلل سول وهو: أبيه غري اىل ادى من(رواهالبخاري)يعلمإنهغريأبيهفاجلنةليهحرام

Artinya: “Dari Saad ra, katanya, saya mendengar Nabi Muhammad SAW

bersabda: barang siapa yang membangsakan keturunannya kepada

orang yang bukan bapaknya sedangkan ia mengetahui orang itu bukan

bapaknya, niscaya terlaranglah untuk orang itu surga” (HR.

Bukhari)80

Dengan adanya kecaman dari Nabi Muhammad SAW tentang dilarangnya

bagi orang membangsakan keturunannya kepada orang lain yang ia ketahui bahwa

79

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, ..., h. 254 80

Al-Bukhari, Shahih Bukhari, terj. Mu’ammal Hamidy, (Jakarta: Widjaya, 1987), jilid

IV, h. 92

93

orang itu bukanlah bapaknya. Maka hal ini menunjukkan bahwa nasab anak

angkat kepada orang tua angkatnya juga tidak dibolehkan oleh Nabi Muhammad

SAW.

Namun walaupun demikian, hal itu bukan berarti Islam tidak

memperhatikan akan kehidupan anak yang terlantar serta anak orang lain yang

tidak mampu, miskin dan lain-lain sebagainya. Agama Islam malahan sangat

memperhatikan kehidupan anak terlantar dan anak orang miskin tersebut, cuma

saja tidak dengan cara pengangkatan anak dalam artian mutlak yang mengangkat

anak orang lain untuk dimasukkan ke dalam keluarga orang yang mengangkatnya

serta memutuskan hubungan anak yang diangkat tersebut dengan orang tua

kandungnya.81

Konsep Islam tentang anak angkat ini yaitu pengangkatan anak orang

laindalam artian penyantunan anak tersebut. Dimana anak yang dipungutnya itu

diasuh dan dipelihara serta dianggap sebagai anaknya sendiri dalam arti kecintaan,

pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, tetapi

tidak memutuskan hubungan anak tersebut dengan orang tua kandungnya sendiri.

Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila

memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang

tua biologisnya dan keluarganya, hal ini dapat diketahui dari ketentuan surat

al-Ahzab ayat 4-5 dan ayat 37

b. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkatnya,

81

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, ..., h. 256

94

melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian juga

orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya

c. anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya

secaralangsung kecuali sekedar sebagai tanda pengenal (alamat)

d. orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam pernikahan

terhadap anak angkatnya.82

Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan anak

menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan anak tidak

sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

Agama Islam menganjurkan agar umatnya saling tolong-menolong,

apalagi menolong anak terlantar dan yatim.Banyak ayat al-Qur'an yang

menyatakan khabar gembira bagi orang yang mengasuh anak yatim, bahkan bagi

orang yang menghardik anak yatim dinyatakan sebagai orang yang mendustakan

agama. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Ma’un ayat 1-3:

ين ببالد الي(١)أرأي تالذييكذ (٣:املاون)وليضعلىطعامالمسكني(2)تيمفذلكالذييد

Artinya: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?.Itulah orang yang

menghardik anak yatim.dan tidak menganjurkan memberi makan orang

miskin” (QS. Al-Ma’un: 1-3)

Selanjutnya juga dinyatakan dalam firman Allah SWT surat al-Baqarah

ayat 83:

اللهوبالوالدينإحساناوذيالقربىوذيالقربى واليتامىوالمساكينوقولواللناوإذأخذناميثاق بنيإسرائيللت عبدونإل

82

Maderis Zaini, Adopsi; Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, ..., h. 54-55

95

قليلمنكموأن تممعرضونسحسناو (١٣:البقرة)أقيمواالصلةوءاتواالزكاةمثت وليتمإل

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):

Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah

kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang

miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,

dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak

memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan

kamu selalu berpaling” (QS. Al-Baqarah: 83)

Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 177:

وءاتالملئكةوالكتابوالنبيين ليسالبأن ت ولواوجوهكمقبللمشرقوالمغربولكنالبمنءامنباللهوالي ومالخروائلين وفيالرقابوأقامالص بيلوالس لةوءاتىالزكاةوالموفونبعىالمالعلىحبهذويالقربىواليتامىوالمساكين واب نالس

راءوحينالبأسأ ابرينفيالبأساءوالض اهدواوالص قونهدهإذا :البقرة)ولئكالذينصدقواوأولئكهمالمت ١٧٧)

Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu

kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman

kepada Allah, hari kemudian, Malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-

nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,

anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan

pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan

(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan

zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji,

dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan

dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya);

dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al-Baqarah:

177)

Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 220:

روإن تخالطوهفإخوانكمواللهي صلحلهمخي ن ياوالخرةويسألونكعناليتامىقل علمالمفسدمنالمفيالدنتكمإنالله (٢٢٢)عزيزحكيمصلحولوشاءاللهل

Artinya: “Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang

anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah

baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah

saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari

yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya

Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu.Sesungguhnya Allah

Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Baqarah: 220)

96

Firman Allah SWT dalam surat al-Insan ayat 8

(١:اإلنسان)ويطعمونالطعامعلىحبهمسكيناويتيماوأسريا

Artinya: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang

miskin, anak yatim dan orang yang ditawan” (QS. Al-Insan: 8)

Firman Allah SWT dalam surat ad-Dhuha ayat 6:

(١:الضحي)ألميجدكيتيمافآوى

Artinya: “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia

melindungimu ?” (QS. Ad-Dhuha: 6)

Firman Allah SWT dalam surat al-Balad ayat 12-15:

رق بة(١٢)وماأدراكماالعقبة (١٥:البلد)يتيماذامقربة(١٤)أوإطعامفيي ومذميسغبة(١٣)فك

Artinya: “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?. (yaitu)

melepaskan budak dari perbudakan. atau memberi makan pada hari

kelaparan. (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat” (QS. Al-

Balad: 12-15)

Firman Allah SWT dalam surat ad-Dhuha ayat 9:

االيتيمفلت قهر (٩:الضحي)فأمArtinya: “Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-

wenang” (QS. Ad-Dhuha: 9)

Selanjutnya dalam hadis Rasulullah SAW menjelaskan:

قال وسلم ليه اهلل صلى النيب ن سعد بن سهل ن هكاذا: اجلنة يف البتيم وكافل أنا(رواهالبخاريوابوداودوالرتمذي)واشاربأصبعيهالسبابةوالوسط

Artinya: “Hadis dari Sahal ibn Sa’id dari Nabi Muhammad SAW, beliau

bersabda: aku dan pengasuh anak yatim di surga, demikian, Nabi

Muhammad SAW menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya,

kemudian merenggangkannya” (HR. Bukhari, Abu Daud dan at-

Turmudzi)83

83

Al-Bukhari, Shahih Bukhari, …, h. 84

97

Jadi dari uraian di atas dapat diambil pemahaman bahwa menurut hukum

Islam pengangkatan anak itu bukan berarti mengambil anak oranglain untuk

dijadikan sebagai anak kandungnya sendiri dengan memutuskan hubungan

kekeluargaan (hubungan nasab) antara anak yang diangkat dengan orang tua

angkatnya sendiri. Akan tetapi menurut hukum Islam pengangkatan anak adalah

pengambilan anak orang lain untuk diasuh dan dipelihara oleh orang tua

angkatnya dan dianggap sebagai anak dari segi kecintaan, pendidikan dan

pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari dengan tidak memutuskan hubungan

anak tersebut dengan orang tua kandungnya dan pengangkatan anak yang seperti

ini cocok dengan kultur Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama

Islam.84

C. Hubungan Antara Anak Angkat dengan Orang Tua Angkat menurut

Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam

1. Menurut Hukum Perdata BW

Permasalahan mengenai pengangkatan anak atau pengadopsian anak tidak

diatur di dalam KUHPerdata, hal yang diatur di dalam Buku I Bab XII Bagian 3

pada Pasal 280 sampai dengan Pasal 289 adalah mengenai anak diluar kawin.

Pengakuan anak sebagaimana terjadi dalam praktek di dalam masyarakat dan

dunia peradilan sekarang, tidak hanya terbatas pada pengakuan anak luar kawin,

tetapi sudah mencakup pengakuan anak dalam arti luas.Dengan demikian, “yang

84

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, ..., h. 266

98

sebenarnya KUHPerdata tidak mengatur tentang pengangkatan anak sebagaimana

dikenal sekarang”.85

Didalam KUHPerdata tidak terdapat istilah anak adopsi atau anak angkat.

Pengaturan mengenai anak angkat hanya dapat ditemukan di dalam staatsblad

Tahun 1917 Nomor 129 yang menjadi pelengkap dari KUHPerdata, karena di

dalam KUHPerdata tidak ada aturan yang mengatur mengenai anak angkat, maka

lahirnya staatsblad tersebut adalah untuk melengkapi kekosongan hukum yang

mengatur mengenai permasalahan tersebut. Aturan tersebut menjadi acuan bagi

pengangkatan anak atau pengadopsian anak bagi masyarakat yang tunduk pada

KUHPerdata (Burgerlijk Weetboek).Adapun adopsi yang diatur dalam ketentuan

staatsblad tersebut adalah hanya berlaku bagi masyarakat Tionghoa.

Pembahasan mengenai hubungan anak angkat dengan orang tua angkat

didalam keluarga selanjutnya akan diuraikan dengan berpedoman pada apa yang

termuat dalam staatsblad Nomor 129 Tahun 1917. Pada Pasal 5 sampai dengan

Pasal 15.Hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkat ini terdapat pada

Pasal 12 menyamakan seorang anak dengan anak yang sah dari perkawinan orang

yang mengangkat.

Dengan demikian, anak angkat didalam keluarga mempunyai kedudukan

yang sama dengan anak kandung atau anak yang terlahir dari orang tua angkatnya.

Hai itupun berakibat pada kesamaan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh anak

angkat, termasuk pada pembagian warisan harta orang tua angkatnya apabila

meninggal dunia. Ketentuan tersebut terdapat pada staatsblad Nomor 129 Tahun

85

Soeroso, Perbandingan KUHPerdata, ..., h. 175

99

1917 yang menjadi pelengkap dari KUHPerdata, karena di dalam KUHPerdata

tidak ada aturan yang mengatur mengenai anak angkat.

2. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Secara umum dapat dikatakan bahwa ketentuan mengenai hukum

kewarisan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam berpedoman kepada hukum

kewarisan Islam (fiqih mawaris), di mana warna alam fikiran azas qath’i lebih

dominan dalam perumusannya, di mana ketentuan-ketentuan tersebut menurut

hemat penulis merupakan salinan dari ketentuan pembagian harta warisan

menurut hukum Islam (fiqih mawaris).

Begitu pula halnya dalam masalah pengangkatan anak di dalam Kompilasi

Hukum Islam seperti halnya hukum kewarisan Islam, tidak memberikan hak

kepada anak angkat dan orang tua angkat untuk saling mewarisi.Hal ini dapat

dilihat dalam ketentuan dalam Pasal 171 dan 174 Kompilasi Hukum Islam

tersebut.

Pada Pasal 171 (c) dinyatakan bahwa,

“Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama

Islam dan tidak terhalang karena hukum menjadi ahli waris”.86

Pasal 174 disebutkan:

(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah:

1. Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman

dan kakek

2. Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan

dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda dan janda.

86

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat

Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), h. 82

100

(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya:

anak, ayah, ibu, janda, duda.87

Setelah orang tua atau pewaris meninggal, maka ahli waris memiliki

kewajiban terhadap pewaris. Kewajiban ahli waris yang diatur dalam Pasal175

KHI adalah:

(1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:

a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;

b. Menyelesaikan baik utang-utang berupa pengobatan,perawatan, termasuk

kewajiban pewaris maupun penagih piutang;

c. Menyelesaikan wasiat pewaris;

d. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

(2) Tanggung jawab ahli waris terhadap utang atau kewajiban pewaris hanya

terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.88

Dari Pasal di atas dapat dipahami bahwa yang berhak menerima warisan

hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah, hubungan perkawinan

dan orang yang sama-sama beragama Islam dengan pewaris. Adapun yang

termasuk ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris adalah

meliputi: anak, ayah, ibu, saudara, paman, kakek dan nenek. Dan yang termasuk

kepada ahli waris yang mempunyai hubungan perkawinan dengan pewaris adalah

janda atau duda.Sementara anak angkat tidak ada dinyatakan sebagai ahli waris

dalam kedua Pasal tersebut.

Dengan demikian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa menurut KHI

antara anak angkat dengan orang tua angkat tidak mempunyai hubungan

kekeluargaan (nasab) yang menyebabkan timbulnya hubungan saling mewarisi

antara keduanya.Seperti hanya hukum Islam (fiqih mawaris), KHI hanyalah

memandang bahwa hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkat adalah

87

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, …, h. 83 88

J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung: Alumni, 1992), h. 102

101

sekedar untuk memelihara dan mengasuh anak orang yang diangkatnya tersebut.

Hal ini dapat dilihat dari Pasal 171 (h) KHI, yang menyatakan bahwa:Anak

angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari,

biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal

kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.89

Dari Pasal di atas dapat dipahami bahwa secara jelas KHI menyatakan

hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkat hanyalah sekedar

hubungan pengasuhan, di mana anak yang diangkat tersebut dianggap sebagai

anak hanya dari segi kecintaan, pendidikan, pemberian nafkah dan kebutuhan

sehari-hari, meskipun demikian, hak anak angkat tetap menjadi perhatian di dalam

Islam, di mana pewarisan terhadap anak angkat dapat dilakukan melalui wasiat

wajibahPasal 209 KHI, yang menyatakan bahwa:

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal-Pasal 176 sampai

dengan 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak

menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta

warisan anak angkatnya.

(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah

sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.90

D. Kewarisan Anak Angkat dalam Hukum Perdata

Permasalahan mengenai pengangkatan anak atau pengadopsian anak tidak

diatur di dalam KUHPerdata, hal yang diatur di dalam Buku I Bab XII bagian 3

pada pasal 280 sampai dengan pasal 289 adalah mengenai anak di luar kawin.

Pengakuan anak sebagaimana terjadi dalam praktek di masyarakat dan di dunia

89

J. Satrio, Hukum Waris, ..., h. 107 90

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, …, h. 94

102

peradilan sekarang, tidak hanya terbatas pada pengakuan anak luar kawin, tetapi

sudah mencakup pengakuan anak dalam arti luas.Dengan demikian, “yang

sebenarnya KUHPerdata tidak mengatur tentang pengangkatan anak sebagaimana

dikenal sekarang”.

Di dalam KUHPerdata tidak terdapat istilah anak adopsi atau anak angkat.

Pengaturan mengenai anak angkat hanya dapat ditemukan di dalam staatsblad

Tahun 1917 Nomor 129 Tahun 1917 yang menjadi pelengkap dari KUHPerdata,

karena di dalam KUHPerdata tidak ada aturan yang mengatur mengenai anak

angkat, maka lahirnya staatsblad tersebut adalah untuk melengkapi kekosongan

hukum yang mengatur mengenai permasalahan tersebut. Aturan tersebut menjadi

acuan bagi pengangkatan anak atau pengadopsian anak bagi masyarakat yang

tunduk pada KUHPerdata (Burgerlijk weetboek). Adapun adopsi yang diatur

dalam ketentuan staatsblad tersebut adalah hanya berlaku bagi masyarakat

Tionghoa.

Pembahasan mengenai kedudukan anak angkat di dalam keluarga

selanjutnya akan diuraikan dengan berpedoman pada apa yang termuat di dalam

staatsblad Nomor 129 Tahun 1917. Pada pasal 5 sampai dengan Pasal 15.

Kedudukan anak angkat terdapat pada pasal 12 menyamakan seorang anak yang

sah dari perkawinan orang yang mengangkat.91

Dengan demikian, anak angkat di dalam keluarga mempunyai kedudukan

yang sama dengan anak kandung atau anak yang terlahir dari orang tua angkatnya.

Hal itupun berakibat pada kesamaan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh anak

91

Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, (Jakarta : PT. Rineka Cipta) 1997. H. 149 - 151

77

103

angkat, termasuk dalam pembagian warisan harta orang tua angkatnya apabila

meninggal dunia. Ketentuan tersebut terdapat pada staatsblad Nomor 129 Tahun

1917 yang menjadi pelengkap dari KUHPerdata, karena di dalam KUHPerdata

tidak ada aturan yang mengatur mengenai anak angkat.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang pada dasarnya (secara

subtensial) berpedoman pada hukum Islam (fiqih), bahwa anak angkat tidak bisa

berkedudukan seperti anak kandung, sehingga ia tidak bisa mewarisi harta

peninggalan dari orang tua angkatnya sebagaimana halnya anak kandung dapat

mewarisi harta peninggalan orang tua kandungnya.

Ketentuan tentang pengangkatan anak angkat ini terdapat pada KHI yang

dimuat dalam pasal 171 huruf (h) yaitu : “anak angkat adalah anak yang dalam

pemeliharaan hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih

tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan

putusan pengadilan.92

Dari ketentuan di atas, bahwa KHI sama halnya seperti hukum Islam

(fiqih) mengartikan “Adopsi” atau “Tabbani” dalam artian yang tidak mutlak

melainkan dalam artian yang terbatas, yaitu terbatas pada pengertian pengasuhan/

pemeliharaan hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan beralih tanggung jawabnya

dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya. Jadi anak angkat menurut KHI

tampaknya sama dengan anak asuh, sebab anak asuh juga hanya berhak mendapat

kasih sayang, biaya pendidikan, pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan

hidupnya sehari-hari dari orang tua asuhnya. Akan tetapi ia tidak berhak

92

. Cik Hasan Basri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Logos Wacana). 1999. Cet. I, h. 81

104

mendapatkan harta warisan dari orang tua asuhnya karena anak asuh tidak

dinasabkan kepada orang tua asuhnya tersebut.93

Dalam masalah kewarisan, KHI pasal 171 ayat 1 (a) dan (b) serta ayat 2

nya pun tidak mencantumkan anak angkat sebagai salah satu kelompok ahli waris.

Adapun bunyi pasal tersebut adalah :

(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari :

a. Menurut hubungan darah :

- Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,

paman dan kakek.

- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara

perempuan dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.

(2) Apabilah semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya :

anak, ayah, ibu, janda atau duda.94

Dengan tidak dimasukannya anak angkat ke dalam kelompok ahli waris

pada pasal 174 KHI pada ayat 1 (a) dan (b) serta ayat 2 memperkuat pernyataan

terdahulu, bahwa anak angkat sama dengan anak asuh di Indonesia. Dengan

demikian, jelaslah bahwa pengangkatan anak menurut KHI memang sama dengan

pengangkatan anak dalam fiqih klasik, yakni sama-sama tidak memasukkan anak

yang diangkat ke dalam nasab orang tua yang mengangkatnya ataupun sebaliknya.

93

Cik Hasan Basri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional,....,h.82

94 Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah,2012), cet,

ke- 1, h. 71

105

Hal ini pada akhirnya membawa konsekuensi bahwa anak angkat tidak termasuk

ahli waris yang berhak mewarisi harta warisan dari orang tua angkatnya.

Dalam hal penetapan setatus anak angkat bukan sebagai ahli waris dari

orang tua angkatnya, dikalangan ulama di seluruh Indonesia pada saat

pengumpulan bahan-bahan KHI, tidak seorang pun ulama yang dapat menerima

penetapan setatus anak angkat menjadi ahli waris. Kalangan ulama tersebut

mengambil dasar penolakan terhadap hak waris anak angkat dari peristiwa Zaid

bin Haritsah yang diangkat oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai anak angkatnya.

Dalam peristiwa tentang Zaid tersebut, diriwayatkan bahwa Rasulullah

SAW.Pernah mengangkat anak bernama Zaid putra dari Haritsah. Suatu ketika,

Nabi Muhammad di hadapan kaum Quraisy perna menyatakan bahwa :

“saksikanlah olehmu bahwa Zaid, aku angkat menjadi anakku dan mewarisiku

dan akupun mewarisinya”. Maka bangsa arab ketika itu sebagaimana biasanya

memanggil Zaid dengan sebutan Zaid bin Muhammad bukan Zaid bin Haritsah

lagi.95

Beberapa waktu setelah nabi Muhammad menjadi Rasul, maka turunlah

ayat tang menegaskan masalah ini, sebagaimana dalam firman Allah SWT surat

al-Ahzab ayat 4-5 :

95

Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak Dalam Hukum Islam,...,72

106

Artinya :Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam

rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar.

itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu

sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah

perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya

dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).Panggilah mereka (anak-anak

angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang

lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak

mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama

dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang

kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh

hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Kemudian diperkuat oleh firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 37 :

Artinya :dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah

melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat

kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah",

sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan

menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah

yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah

mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami

kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang

mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka,

apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya

daripada isterinya.dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

Sejak diturunkannya surat al-Ahzab ayat 4 dan 5 di atas, maka status nasab

anak angkat ke dalam nasab kedua orang tua angkatnya tidak dibenarkan lagi,

bahkan menyebut nama anak angkat tersebut dengan nama orang tua angkatnya

pun tidak dibolehkan. Dengan demikian KHI secara subtansial berpedoman

107

kepada fiqih klasik apalagi dalam hal kewarisan. Larangan memasukan nasab

anak angkat ini ke dalam nasab orang tua angkat ini pun diperkuat oleh surat al-

Ahzab ayat 37, dengan demikian hal ini menunjukan bahwa anak angkat tidak

termasuk ke dalam nasab orang tua angkatnya melainkan nasab anak angkat

tersebut masih tetap kepada orang tua asal dari anak angkat tersebut.

Dasar ayat tersebut di atas adopsi yang dilakukan secara mutlak dengan

memutus nasab antara anak yang diadopsi dengan orang tua kandungnya jelas

diharamkan dalam Islam. Keharaman adopsi seperti ini sama halnya dengan tidak

memperbolehkan menasabkan anak kepada orang lain padahal yang

melakukannya mengetahui bahwa hal itu diharamkan sebagaimana tersebut dalam

hadis :

أبي بكرة قال سمعت أذناي ووعى قلبي محمدا صلى هللا عليه وسلم يقول من عن

(رواه ابن ماجة)اد عى إلى غير أبيه وهويعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام

Artinya :Dari Abu Bakrah berkata,kedua telingaku mendengar dan hatiku

menghapal Nabu Muhammad SAW bersabda: ‘Barangsiapa yang

menasabkan dirinya kepada lelaki lain selain bapaknya, maka di

haramkan baginya surga.’(HR Ibnu Majah)

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa adopsi yang dilakukan dengan

cara memutuskan hubungan nasab anak yang diadopsi dengan kedua orang tua

kandungnya dan memberinya status anak kandung, jelas haram dan tidak di

perbolehkan dalam Islam. Namun demikian hukum Islam mengakui bahkan

menganjurkan pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan anak,

sehingga menjadi anak punggut atau anak asuh.Dalam hal ini status

kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan keluarga orang tua angkatnya dan

108

dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum sedikitpun.Ia tetap kerabat dan

anak dari orang tua kandungnya berikut segala akibat-akibat hukumnya.

Berkaitan dengan akibat-akibat hukum adopsi setidaknya terdapat dua

status hukum yang terkait dalam hal ini yaitu, dalam masalah kewarisan antara

orang tua angkat dan anak angkat/diadopsi tidak bisa saling mewarisi, sebab ia

tetap bernasab kepada orang tua kandungnya demikian juga dalam masalah

perkawinan, ia tidak termasuk dalam kandungan ayat Tahrim, sehingga antara ia

dan orang tua atau kerabat angkatnya tetap diperbolehkan saling menikah, justru

larangan menikah berlaku antara ia dengan orang tua kandungnya.96

Dengan pengangkatan anak menurut KHI tidak menyebabkan putusnya

hubungan nasab atau darah seorang anak dengan orang tua yang melahirkannya.

Islam dengan tegas memberikan batasan-batasan tersebut terhadap kedudukan

anak angkat di dalam keluarganya.Hal tersebut tentu berbeda dengan kedudukan

anak angkat di dalam KUHPerdata.

Dalam hal pewaris pun, orang tua angkat tidak boleh saling mewarisi

dengan anak angkatnya hal itu didasarkan bahwa sebuah pewaris didasari adanya

hubungan nasab atau keturunan yang sah. Meskipun demikian, hak anak angkat

tetap menjadi perhatian di dalam Islam, dimana pewaris terhadap anak angkat

dapat dilakukan melalui wasiat wajibah (Pasal 209 KHI).97

Adapun dasar hukum dari wasiat wajibah ini adalah diambil dari ketentuan

tentang wajibnya wasiat yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 180:

96

Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak Dalam Hukum Islam,...,75 97

Cik Hasan Basri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional,....,h.90

109

Artinya :diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan

(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,

Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini

adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

Jadi dari ayat di atas jelas bahwa Kompilasi Hukum Islam menempatkan

bahwa anak angkat dan atau orang tua angkat sebagai orang yang berhak

menerima wasiat wajibah, sebab anak angkat dan orang tua angkat disini bukan

merupakan ahli waris.

E. Kewarisan Anak Angkat dalam Hukum Perdata

Pada pembahasan sebelumnya telah diterangkan bahwa kedudukan anak

angkat di dalam keluarga menurut KUHPerdata yaitu setara dengan anak

kandung.Berdasarkan staatsblad Nomor 129 Tahun 1917, pada Pasal 12 yang

menyamakan seorang anak dengan anak yang sah dari perkawinan orang yang

mengangkat.

Mengenai siapa saja yang berhak mendapatkan warisan maka KUHPerdata

menggolongkan ahli waris menjadi 4 golongan, yaitu:

1. Ahli Waris Golongan I ; a. Ahli waris golongan I terdiri atas anak-anak atau

sekalian keturunannya. Anak yang dimaksud pada Pasal tersebut adalah anak

sah, karena mengenai anak luar kawin, pembuat undang-undang mengadakan

pengaturan tersendiri dalam bagian ke 3 Titel/Bab ke II mulai dari Pasal 862

KUHPerdata. Termasuk di dalam kelompok anak sah adalah anak-anak yang

disahkan serta anak-anak yang diadopsi secara sah.; b. Suami atau istri yang

110

hidup lebih lama. Adapun besaran bagian hak seorang istri atau suami atas

warisan pewaris adalah ditentukan dengan seberapa besar bagian satu orang

anak.98

2. Ahli Waris Golongan II ; Golongan ini terdiri atas orang tua, saudara laki-laki

atau perempuan dan keturunannya. Pengaturan mengenai bagian ahli waris

golongan ini diatur dalam KUHPerdata.99

3. Ahli Waris Golongan III; Golongan ini terdiri atas keluarga sedarah dalam

garis lurus ke atas sesudah orang tua, baik dari pihak ayah maupun dari garis

ibu. Menurut Pasal 853 KUHPerdata, golongan ini muncul apabila ahli waris

dari golongan I dan II tidak ada. Yang dimaksud dengan keluarga sedara

dalam garis ibu dan garis ayah keatas adalah kakek dan nenek, kakek buyut

dan nenek buyut terus keatas dari garis ayah maupun dari garis ibu.100

4. Ahli Waris Golongan IV ; Menurut Pasal 858 ayat 1 KUHPerdata, dalam hal

tidak adanya saudara (golongan II) dan saudara dalam salah satu garis lurus

keatas (golongan III), maka setengah bagian warisan menjadi bagian keluarga

sedarah dalam garis lurus keatas yang masih hidup. Sedangkan setengah

bagiannya lagi menjadi bagian dari para sanak saudara dari garis yang lain.

Pengertian sanak saudara dalam garis yang lain ini adalah para paman dan

bibi, serta sekalian keturunan mereka yang telah meninggal dunia lebih dahulu

dari pewaris.101

Cara mewarisi ahli waris di dalam sistem KUHPerdata terbagi menjadi 2

98

Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), cet.

Ke-1, h. 66 99

Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral,...., h. 66 100

Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral,...., h. 67 101

Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral,...., h. 67

111

macam, yaitu:102

1. Ahli waris menurut undang-undang (ab Intestato).

Ahli waris menurut undang-undang (ab intestato) adalah ahli waris yang

mempunyai hubungan dara dengan si pewaris mewarisi berdasarkan undang-

undang ini adalah yang paling diutamakan mengingat adanya ketentuanlegitime

portie yang dimiliki oleh setiap ahli waris ab intestato ini. Ahli waris yang

berdasarkan undang-undang ini berdasarkan kedudukannya dibagi menjadi dua

bagian lagi yakni:

a. Ahli waris berdasarkan kedudukan sendiri (Uit Eigen Hoofde).

Ahli waris yang tergolong golongan ini adalah yang terpanggil untuk

menerima harta warisan berdasarkan kedudukannya sendiri dalam Pasal 852 ayat

(2) KUHPerdata, dinyatakan:

“Mereka mewarisi kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka

memiliki pertalian keluarga dalam derajat kesatu dan masing-masing

mempunyai hak karena diri sendiri”.

b. Berdasarkan penggantian (Bij Plaatvervuling)

Ahli waris yang menerima ahli waris dengan cara menggantikan, yakni

ahli waris yang menerima warisan sebagai pengganti ahli waris yang berhak

menerima warisan yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Ahli

waris Bij Plaatvervuling ini diatur dalam Pasal 841 sampai Pasal 848

KUHPerdata.

1. Ahli waris berdasarkan wasiat (Testament)

Yang menjadi ahli waris di sini adalah orang yang ditunjuk atau diangkat

102

Sunaryo Hadi, Hukum Kewarisan KUHPerdata dan Gugurnya hak Mewarisi Karena

Daluarsa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 2009, dalam

http://datarental.blogspot.co.uk/2009/06/hukum-kewarisan-kuh-perdata-bw-dan.html

112

oleh pewaris dengan surat wasiat sebagai ahli warisnya (erfstelling), yang

kemudian disebut dengan ahli waris ad testamento. Wasiat atau testamen dalam

KUHPerdata adalah pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya

setelah ia meninggal dunia. Pada asasnya suatu pernyataan kemauan terakhir itu

ialah keluar dari satu pihak saja (eenijdig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali

(herroepen) oleh pewasiat baik secara tegas (uitdrukklijk) atau secara diam-diam

(stilzwijdend).Aturan testamenyangterdapat dalam Pasal 874 KUHPerdata ini

mengandung suatu syarat bahwa tastamen tidak boleh bertentangan dengan

legitime portie dalam Pasal 913 KUHPerdata. Dan yang paling lazim adalah suatu

testamen berisi apa yang dinamakan erfstelling yaitu penunjukkan seseorang atau

beberapa orang menjadi ahli waris yang akan mendapat harta warisan seluruh atau

sebagian dari harta warisan.

Sedangkan menurut Sistem Kewarisan Anak Angkat menurut Komplikasi

Hukum Islam (KHI) seperti halnya hukum Islam (fiqh) KHI tidak mengartikan

pengangkatan anak dalam artian yang mutlak sebagaimana yang diartikan

menurut BW, di mana pengangkatan anak berarti mengambil anak orang lain

untuk dimasukkan ke dalam keluarganya (orang yang mengangkatnya) dan

memutuskan hubungan anak yang diangkat tersebut dengan orang tua

kandungnya. Tetapi pengangkatan anak menurut KHI adalah pengangkatan anak

dalam artian yang terbatas yaitu terbatas pada pengasuhan terhadap anak orang

lain, di mana seseorang mengambil anak orang lain dan dianggapnya sebagai anak

dalam segi kecintaan, pendidikan dan pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari

dengan tidak memutuskan hubungan anak itu dengan orang tua kandungnya

113

sendiri. Hal ini dari Pasal 171 KHI (h), yang menyatakan bahwa anak adalah yang

dalam hal pemeliharaan untuk hidupnyasehari-hari, biaya pendidikan dan

sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua

angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.103

1. Sebab-sebab kewarisan menurut KHI

Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Pasal 171 huruf h KHI di atas

dapatlah dipahami bahwa anak angkat menurut KHI bukanlah sebagai orang yang

berhak terhadap harta warisan orang tua angkatnya atau sebaliknya.Oleh sebab itu

dalam buku II yang membicarakan tentang kewarisan pada KHI tidak ada di

nyatakan dalam Pasal-Pasalnya itu anak angkat sebagai penyebab kewarisan.

Adapun yang merupakan sebagai penyebab kewarisan menurut KHI

adalah: orang yang ada hubungan darah dengan pewaris dan orang yang ada

hubungan perkawinan dengan pewaris.

Hal ini dapat dilihat pada Pasal 174 ayat 1 dan 2 KHI yang menyatakan

bahwa:

(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah:

1. Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman

dan kakek

2. Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan

dan nenek.

b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda dan janda.

103

Suparno Usman, Fiqh Mawaris; Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media

Pratama, 2002), h. 163

114

(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya:

anak, ibu, ayah, janda, duda.104

Dari sebab-sebab kewarisan yang terdapat dalam Pasal 174 di atas jelas

bahwa anak angkat dan atau orang tua angkat tidak termasuk orang yang berhak

untuk mendapatkan warisan (ahli waris).

2. Warisan Anak Angkat Menurut KHI

Dari uraian terdahulu sudah dinyatakan bahwa pengangkatan anak

menurut KHI bukanlah berarti mengambil anak orang lain untuk dijadikan atau

dimasukkan ke dalam keluarga orang yang mengangkatnya dengan kedudukan

yang sama seperti halnya anak kandung. Tetapi pengangkatan anak menurut KHI

hanyalah sebatas untuk pengasuhan anak orang lain, hal ini dinyatakan dalam

Pasal 171 huruf h KHI sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.Kemudian

pada Pasal 174 KHI juga dipertegas bahwa dalam hal menjelaskan sebab-sebab

kewarisan di mana pada Pasal tersebut tidak dinyatakan anak angkat sebagai ahli

waris. Maka dari apa yang dinyatakan dalam pembahasan yang terdahulu itu dapat

disimpulkan, bahwa kedudukan anak angkat menurut KHI tidak sama dengan

anak kandung dari orang tua angkatnya. Oleh karena itu anak angkat tidak

termasuk ke dalam ahli waris dari orang tua biologisnya.

Namun walaupun demikian pada Pasalnya 209 KHI diatur tentang

ketentuan-ketentuan wasiat wajibah untuk anak angkat dan orang tua angkat.

Pada Pasal 209 ayat 1 dan 2 KHI dinyatakan bahwa:

1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal-Pasal 176 sampai

104

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, …, h. 83

115

dengan 193 tersebut di atas. Sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak

menerima wasiat, diberi Wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari

warisan anak angkatnya.

2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat, diberi Wasiat wajibah

sebanyak-banyaknya1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.105

Berdasarkan Pasal 209 di atas dapat dipahami, bahwa menurut KHI

Wasiat wajibah hanya sebatas untuk anak angkat dan orang tua angkat. Hal ini

berbeda dengan ketentuan hukum Islam yang berlaku di beberapa negara muslim

ketentuan wajibnya wasiat ini pada dasarnya berlaku untuk walidain dan aqrabain

(ibu bapak dan karib kerabat) bukan untuk anak angkat atau orang tua angkat.

Adapun yang menjadi dasar hukum dari pada Wasiat wajibah ini adalah

ketentuan tentang wajibnya wasiat yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 180:

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-

tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak

dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang

bertakwa

Jadi dari ayat di atas dapat dipahami, bahwa Allah SWT memerintahkan

wajibnya wasiat ini adalah untuk walidaini dan aqrabain (ibu bapak dan karib

kerabat). Namun terhadap ayat tersebut terdapat perbedaan pendapat di antara

para mufasir atau mujtahid tentang muhkam dan mansukhnya ayat wasiat dalam

surat al-Baqarah ini.

Mufassirin atau mujtahid yang berpendapat bahwa ayat ini muhkam,

105

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, …, h. 94

116

selajutnya mengatakan bahwa kewajiban wasiat terhadap ibuk bapak dan karib

kerabat atau ahli waris tersebut, masih tetap berlaku, cuma saja ayat ini

ditakhsiskan oleh ayat mawaris surat an-Nisa’ ayat 11-12.Dengan demikian

kewajiban wasiat masih tetap berlaku, tetapi hanya terhadap ahli waris yang tidak

mendapatkan warisan atau ahli waris yang terhalang untuk mendapatkan warisan,

seperti zawil arham dan ahli waris yang terhalang lainnya.

Mujtahid yang berpendapat bahwa ayat wasiat surat al-Baqarah ayat 180

itu muhkam adalah Abu Muslim al-Ashfihani dengan alasan dan argumentasi

sebagai berikut:

1. Ayat wasiat itu tidak bertentangan dengan ayat waris, tetapi ia berdiri sendiri

pada fungsinya masing-masing.

2. Wasiat terhadap keluarga masih tetap berlaku, dan ia harus berdasarkan

kepada peraturan-peraturan Allah SWT.

3. Kalau ada ayat itu masih dipakai, besar kemungkinan ayat waris

mengkhususkan ayat wasiat, sebab ayat wasiat ini lebih umum sifatnya

(pengartiannya). Di mana wasiat itu khusus untuk keluarga, sedangkan ayat

waris khusus untuk orang-orang yang berhak menerimanya, maka ayat wasiat

tetap untuk keluarga yang tidak mendapatkan warisan.106

Pendapat di atas merupakan dasar wasiat wajibah di Mesir yang

menganggap wasiat terhadap ahli waris masih tetap berlaku sah, sebagaimana

tercantum dalam Pasal 37 UU wasiat No. 71 tahun 1946, yang menyatakan

bahwa: wasiat wajibah berlaku terhadap cucu dan cucu-cucu yang ayah ibunya

106

Cik Hasan Basri (ed), Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional, h.

195

117

meninggal dunia terlebih dahulu dari pada atau bersamaan waktunya dengan

pewaris (kakek/nenek mereka) ketentuan.107

Begitu pula di Suriah dan Maroko,

sedangkan di Pakistan dan Indonesia dalam bentuk pengganti Ahli Waris.

Sedangkan mufassirin atau mujtahid yang berpendapat bahwa ayat wasiat

di atas adalah mansukh. Selanjutnya mengatakan bahwa kewajiban wasiat

terhadap ahli waris dimansukh atau tidak berlaku lagi dengan turunya ayat

mawaris dan hadits nabi yang menyatakan bahwa: “Tidak sah berwasiat kepada

ahli waris”. Adapun maksud dari kata nasakh di sini adalah nasakh dalam artian

di-tabdil-kan atau digantikan bukan dalam artian dialihkan atau ditawilkan atau

dihapuskan. KHI tampaknya memilih pendapat mufassirin atau mujtahid

yangkedua ini, seperti termuat dalam Pasal 195 ayat (3) yang berbunyi: “Wasiat

kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris”.108

Dari ketentuan di atas ada kemungkinan, karena KHI tidak mengakui

sahnya wasiat kepada ahli waris, maka melarikan Pasal 185 kepada konsep

pengganti ahli waris yang diilhami oleh pendapat Hazairin dan atau ketentuan

pengganti ahli waris di Pakistan. Hazairin menerjemahkan surat al-Nisa’ 33:

“Bagi mendiang orang, Allah SWT mengadakan mawali bagi harta peninggalan

orang tua dan keluarga dekat ... Mawali diterjemahkan sebagai ahli waris

pengganti.109

Dengan demikian nampak bahwa antara wasiat wajibah yang ada pada

107

Ahmad Junaidi, Wasiat Wajibah; Pergumulan Hukum Adat dan hukum islam di

Indonesia, (Jember: Pustaka Pelajar dan STAIN Jember Press, 2013), Cet. Ke- 1, h. 91 108

Ahmad Junaidi, Wasiat Wajibah; Pergumulan Hukum Adat dan Hukum Islam di

Indonesia, ..., h. 92 109109

Cik Hasan Basri (ed), Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional,

..., h. 94

118

KHI ini berbeda dengan ketentuan wasiat yang ada pada hukum Islam, seperti

yang berlaku di Mesir Suriah dan Maroko.Di mana wasiat wajibah di negara-

negara tersebut adalah untuk ibu bapak dan karib kerabat.Sedangkan pada 209

KHI wasiat wajibah di sini adalah untuk anak angkat dan atau orang tua

angkat.Adapun untuk karib kerabat atau ahli waris seperti yang ada pada wasiat

wajibah di Mesir dan beberapa daerah muslim lainnya itu (sebagaimana yang

telah disebutkan sebelumnya itu) sama dengan ketentuan pengganti ahli waris

dalam Pasal 185 KHI.

Hal tersebut disebabkan karena KHI lebih cenderung kepada pendapat

yang menyatakan bahwa wasiat kepada ahli waris atau karib kerabat itu telah

dinasakhkan oleh Hadits Nabi dan ayat mawaris surat an-Nisa’ ayat 11-12,

sementara UU wasiat wajibah Mesir dan negara-negara muslim lainnya itu

menganggap atau sependapat dengan pendapat yang menyatakan bahwa wasiat

masih berlaku untuk ahli waris, yaitu ahli waris yang tidak mendapat warisan atau

ahli waris yang terhalang mendapat warisan seperti zawil arham dan lain-lainnya.

119

BAB IV

FILOSOFIS

A. Pendapat Kompilasi Hukum Islam memberikan hak wasiat wajibah

terhadap anak angka

Pada bab III telah dijelaskan tentang gambaran kewarisan anak angkat

menurut Undang-Undang hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang pada dasarnya (secara

substansial) berpedoman kepada hukum Islam (fiqih), juga menentukan bahwa

anak angkat tidak bisa berkedudukan seperti anak kandung, sehingga ia mewarisi

harta peninggalan dari orang tua angkatnya sebagaimna halnya anak kandung

dapat mewarisi harta peninggalan orang tuanya. Ketentuan tentang pengangkatan

anak ini pada KHI dimuat dalam pasal 171 huruf (h) yaitu : “anak angkat adalah

anak yang dalam pemeliharaan hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan

sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua

angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”. Biaya pendidikan beralih tanggung

jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya. Jadi anak angkat

menurut KHI tampaknya sama dengan anak asuh, sebab anak asuh juga hanya

berhak mendapat kasih sayang, biaya pendidikan, pemeliharaan dan pemenuhan

kebutuhan hidupnya sehari-hari dari orang tua asuhnya. Akan tetapi ia tidak

berhak mendapatkan harta warisan dari orang tua asuhnya karena anak asuh tidak

120

dinasabkan kepada orang tua asuhnya tersebut.

Dari ketentuan di atas jelas bahwa KHI seperti halnya hukum Islam (fiqih)

mengartikan “Adopsi” atau “Tabanni” dalam artian yang tidak mutlak melainkan

dalam artian yang terbatas, yaitu terbatas pada pengertian

pengasuhan/pemeliharaan hidupnya sehari-hari.

Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mengakui

lembaga pengangkatan anak yang mempunyai akibat hukum seperti yang pernah

dipraktikan masyarakat jahiliyah. Sebelumnya, praktik pengangkatan anak

dilaksanakan secara luas pada masa jahiliyah, dimana anak angkat diberi status

dan kedudukan yang sama dengan anak kandung.110

Nabi Muhammad sendiri

semenjak sebelum menyiarkan agama Islam telah mengangkat anak atas Zaid

sehingga dipangggil Zaid bin Muhammad tetapi dihentikan dan dibatalkan dengan

perintah Allah didalam Alquran surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5.111

Untuk menegaskan tidak diperbolehkannya praktik seperti itu, Allah dalam

persoalan ini telah memilih Rasulullah untuk memberikan contoh nyata untuk

menolak setiap keberatan orang mukmin tentang dibolehkannya mengawini bekas

istri anak-anak angkatnya. Hal itu juga dimaksudkan agar terdapat keyakinan

tentang apa yang dianggap halal dan yang dianggap haram. Contoh nyata tersebut

diceritakan dalam sebuah kisah bahwa Zaid bin Haritsah yang kemudian dikenal

sebagai Zaid bin Muhammad, telah menikah dengan Zainab binti Jashy sepupu

Nabi sendiri. Kehiduan mereka tidak berjalan dengan baik dan Nabi mengetahui

110

Asep Saepudin Jaha, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan bisnis, (Jakarta; Kencana

Prenadamedia Group, 2013), h. 87. 111

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 1995),

cet ke-5 h. 169.

121

keinginan Zaid untuk menceraikannya.Setelah Zainab bercerai dari Zaid, Nabi

menikahi Zaunab.Namun, Nabi sebelumnya merasa malu, dan karena itu Nabi

berkata pada Zaid untuk menahan Zainab dan agar takut kepada Allah.

Untuk ketegasan hukum dari apa yang dipraktikan Nabi Saw, Allah

menurunkan aturan melalui Firman-Nya dalam Alquran surat al-Ahzab ayat 37

yang berbunyi:112

Artinya: Dan (ingatlah) ketika engkau berkata orang yang telah diberi nikmat

oleh Allah dan engkau juga telah memberi kenikmatan kepadanya (Zaid

bin Haritsah); “tahanlah untukmu istrimu dan takutlah kepada Allah”,

dan engkau menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah tampakkan,

dan engkau takut manusia, padahal Allahlah yang lebih berhak engkau

takutinya. Maka tatkala Zaid memutuskan untuk mnceraikan Zainab,

kami (Allah) kawinkan engkau dnegan dia, supaya tidak menjadi beban

bagi orang-orang mukmin tentang bolehnya mengawini bekas istri anak-

anak angkatnya apabila mereka itu telah memutuskan menceraikannya,

dan keputusan Allah pasti terlaksana. (QS.al-Ahzab:37)

Pada dasarnya hukum Islam hanya mengakui bahkan menganjurkan,

pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan anak; dalam artian

status kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan keluarga orang tua

angkatnya dan dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum apa-apa.Ia tetap

anak dan kerabat orang tua kandungnya, berikut dengan segala akibat hukumnya.

112

Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan bisnis, ... , h. 87-88.

122

Larangan pengangkatan anak dalam arti benar-benar dijadikan anak

kandung berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat al-Ahzab (33) ayat 4-5

yaitu:

Artinya: “… dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak

kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu

dimulutmu saja.Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia

menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat

itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil

pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,

maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan

maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu

khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh

hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

(QS. al-Ahzab:4-5)

Dalam buku Shafwatut Tafasir, Tafsir-Tafsir Pilihan dijelaskan kalimat

“Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu

(sendiri),” Allah tidak menjadikan anak orang lain yang kamu adopsi, sebagai

anak kalian yang sesungguhnya. “Yang demikian itu hanyalah perkataan mu di

mulut saja,” panggilan kalian kepada mereka yaitu “anak”, hanyalah ucapan di

mulut saja dan tidak ada hakekatnya dalam kenyataan.“Dan Allah mengatakan

yang sebenarnya,” Allah berfirman kebenaran yang sesuai dengan kenyataan dari

segala segi.“Dan Dia menunjukkan jalan (yang benar),” Allah menunjukkan jalan

yang lurus.Inti ayat ini adalah mengingatkan salahnya persangkaan kaun jahiliyah.

Sebagaimana seseorang tidak mempunyai dua hati dalam rongganya, demikian

juga istri yang dizhihar suami ia tidak secara otomatis berubah statusnya

123

sebagaimana ibu kandungnya, dan anak adopsi tidak menjadi anak sungguhan,

sebab ibu yang sesungguhnya adalah yang melahirkan kamu, dan anak sungguhan

adalah anak yang dilahirkan seseorang.

Kemudian Allah memerintahkan untuk mengembalikan nasab anak adopsi

kepada ayahnya dan Dia berfirman: “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu)

dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itu lah yang lebih adil pada sisi

Allah,” nisbatkanlah anak-anak adopsi itu kepada ayah kandungnya, hal itu lebih

adil menurut hukum Allah dan syariat-Nya. Ibnu Jarir berkata: Yakni menisbatkan

mereka kepada ayah mereka lebih adil di sisi Allah dan lebih benar daripada

menisbatkan mereka kepada selain ayah mereka. “Dan jika kamu tidak

mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-

saudaramu seagama,” jika kalian tidak mengenal ayah kandung mereka, maka

mereka adalah saudara kalian seagama, “dan maula-maulamu,” teman kalian

dalam Islam. Hendaknya kalian memanggilnya: Hai saudaraku, hai maulaku, yang

dimaksudkan adalah saudara seagama dan teman dalam agama. Ibnu Katsir

berkata: Allah memerintahkan untuk mengembalikan nasab anak adopsi kepada

ayah kandungnya jika dikenal. Jika tidak, maka anak adopsi adalah saudara kalian

seagama dan teman kalian, sebagai pengganti nasab yang tidak kalian kenal. Itu

lah sebabnya Nabi bersabda kepada Zaid bin Haritsah: “Kamu adalah saudara

kami dan maula kami.”

Ibnu Umar berkata: Kami dahulu tidak pernah memanggil Zaid bin

Muhammad, kecuali dengan Zaid bin Muhammad, sampai turunlah ayat ini

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak

124

mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah. Dan tidak ada dosa atasmu

terhadap apa yang kamu khilaf pada-Nya,” hai orang-orang mukmin, kalian tidak

berdosa pada orang yang kalian nisbatkan kepada selain ayah mereka karena

kalian khilaf, “ tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu,” dosa

adalah pada nisbat yang sengaja kalian lakukan kepada selain ayah orang itu.

“Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” Allah luas

ampunan-Nya dan agung rahmat-Nya, Dia mengampuni orang yang khilaf dan

merahmati orang mukmin yang bertaubat.113

Islam menetapkan bahwa antara orang tua angkat dengan anak angkatnya

tidak terdapat hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang dan

hubungan tanggung jawab sebagai sesama manusia.Karena itu, antara keduanya

bisa berhubungan tali perkawinan, misalnya Nabi Yusuf bisa mengawini ibu

angkatnya (Zulaiha) mantan istri Raja Abul Aziz (bapak angkat Nabi Yusuf).

Begitu juga halnya Rasulullah SAW, diperintahkan oleh Allah mengawini

bekas istri Zaid sebagai anak angkatnya. Berarti antara Rasulullah dan Zaid, tidak

ada hubungan nasab , kecuali hanya hubungan kasih sayang antara bapak angkat

dengan anak angkatnya.

1. Ketentuan Jumlah Harta yang Diwasiatkan

Jumlah harta yang boleh diwasiatkan hanya sepertiga dari harta

peninggalan pewaris.Ketentuan ini berdasarkan Hadis Riwayat Bukhori, Muslim

dan Tirmidzi. Imam Tirmidzi mengatakan: “Ini adalah hadist hasan shahih.”yang

berbunyi;

113

Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir Tafsir-tafsir Pilhan Jilid 4,

(Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2011), h. 214-216.

125

جاءني رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يعودنيعام حجت الوداع : عن سعد بن أبي وقاص رضي ا هلل عنه قال

يا رسول هللا، قد بلغ بي من الوخع ما ترى، وأنا ذو مال، وال يرثني أال ابنة، : من وخع اشتد بي، فقلت

الثلث كثير، أنك أن : فالثثلث؟ قال: ال، قلت: ؟ قالفااشطر يا رسو ل هللا: ال، قلت: افأتصدق بثلثي مالي؟ قل

تذر ورثتك آغنياء خير من أن تتركهم عالة يتكفون الناس،وأنك لن تنفق نفقة تبتغي بها وجه هللا أال أجرت

.بها، حتى ما تجعل في في امراتك

Artinya: Bersumber dari Sa’ad bin Abi Waqqsah, ia menceritakan, pada waktu

Haji Wada’, Rasulullah menjengukku saat aku sakit parah. Kemudian

aku bertanya, ‘Ya Rasulullah, sungguh aku sdag sakit parah

sebagaimana yang Engkau lihat, dan aku punya banyak harta dan tidak

ada yang akan menjadi ahli warisku melainkan seorang anak

perempuanku, lalu apakah boleh aku menshadhaqahkan dua pertiga dari

harta kekayaanku? Maka beliau bersabda, ‘Tidak (boleh).’Aku bertanya

(lagi), ‘Separoh, ya Rasulullah?’Beliau bersabda, ‘Tidak

(boleh).Kemudian aku bertanya (lagi), ‘Sepertiga?’Lalu beliau bersabda,

‘Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak.Sejatinya engkau

meninggalkan ahli wrismu dalam keadaan kaya itu lebih baik dari pada

egkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin papa, mengems

kepada orang-orang. Sesunguhnya sekali-sekali engkau tidka

mengeluarkan infak yang dnegannya engkau mengharap ridha Allah,

melainkan pasti engkau akan diberi pahala karenanya hingga makanan

yang engkau supakan ke dalam mulut istrimu.’’’114

Para Ulama mengamalkan hadist ini yang mengandung pengertian, bahwa

seseorang tidak diperbolehkan memberikan wasiat lebih dari sepertiga. Bahkan

sebagian ulama mensunatkan agar seseorang memberikan wasiat kurang kurang

dari sepertiga, sebagaimana bunyi hadist berikut:

وا من الثلث ألى الربع، فأن رسول هللا صلى لو أن الناس غض : عن عبد هللا بن عباس رضي هللا عنهما قال

.الثلث، والثلث كثير: هللا عليه وسلم قل

Artinya: Berasal dari Abdullah bin Abbas radhiyallah’anhuma, ia mengatakan,

“Alangkah baiknya, apabila para sahabat menurunkan dari sepertiga ke

seperempat; Karena sejatinya Rasulullah pernah bersabda, ‘Sepertiga,

dan sepertiga itu sudah banyak.”

114

Syaikh Abdullah Abdurrahman Alu Basam, Syarah Hadist Hukum Bukhori Muslim,

(Jakarta; Pustaka As-Sunnah, 2010), h. 870

126

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia sebagai tokoh umat ini dan

penerjemah Al-Qur’an, memahami hadist Nabi, “Sepertiga, dan sepertiga itu

sudah banyak,” bahwa seyogyanya wasiat itu kurang dari sepertiga, bahkan lebih

baik seperempat.Pasalnya, dalam kisah Sa’ad itu Rasulullah menganggap

sepertiga itu sudah banyak.Namun beliau tetap memandang Sa’ad antusias sekali

untuk mensadaqahkan sebgaian hartanya sebanyak itu.

Semua itu dimaksudkan agar seseorang memberikan manfaat kepada

kerabat dekatnya dan memperhatikan hak mereka yang harus ia tunaikan kepada

mereka, sehingga mereka merasa berkecukupan dan merasa tidak perlu meminta-

minta kepada orang lain.115

Perbedaan pendapat yang terjadi antara para ulama terletak pada dua

hal.Yaitu, apakah sepertiga harta itu dihitung pada waktu seseorang memberikan

wasiat atau ketika meninggal dunia?Mengenai hal ini ada dua pendapat, tetapi

yang lebih benar adalah pendapat yang kedua, yatitu ketika meninggal dunia.

Diantara yang berpegang pada pendapat pertama (pada waktu pemberian

wasiat) adalah Imam Malik dan sebagian besar ulama Iraq. Dan demikian itu

merupakan pendapat Al-Nakha’i dan Umar bin Abi Thalib dan sekelompok

tabi’in.

Mereka yang berpegang pada pendapat pertama menyatakan, bahwa

wasiat merupakan akad perjanjian, dimana akad perjanjian itu dihitung dari sejak

awalnya.Dan jika seseorang bernadzar untuk mensedekahkan sepertiga hartanya,

115

Syaikh Abdullah Abdurrahman Alu Basam, Syarah Hadist Hukum Bukhori Muslim, ...

, h. 875-876

127

maka hal itu dihitung sejak nadzar tersebut diucapkan.Pernyataan ini diberi

tanggapan, bahwa wasiat bukan termasuk akad perjanjian dilihat dari sisi

manapun, sehingga tidak diperlukan adanya penyegeraan dan judul qabul.Antara

nadzar dan wasiat terdapat perbedaan.Dimana dalam wasiat seseorang dibenarkan

untuk menarik kembali wasiatnya, sedangkan dalam nadzar tidak dibenarkan.

Selain itu mereka juga berbeda pendapat mengenai, apakah sepertiga itu

dihitung dari keseluruhan harta kekayaan yang tidak diketahuinya atau harta

kekayaannya yang baru yang tidak diketahui?

Jumhur ulama berpendapat, bahwa sepertiga itu dihitung dari seluruh harta

kekayaan yang ditinggalkan.Sedangkan Imam Malik berpendapat, bahwa

sepertiga itu dihitung dari harta kekayaan yang berada dalam pengetahuaanya

saja.

Yang menjadi alasan jumhur ulama untuk berpegang pada pendapat

tersebut adalah bahwasanya dalam perhitungan sepertiga itu tidak ada syarat

menghitung jumlah harta kekayaan ketika pemberian wasiat meskipun

mengetahui jenis kekayaan tersebut. Seandainya pengetahuan terhadap jenis

kekayaan tersebut merupakan syarat, niscaya hal itu sama sekali tidak

diperbolehkan.116

Dan pada akhirnya anak angkat hanya mendapatkan wasiat sebanyak

sepertiga dari harta peninggalan orang tua angkatnya.Jika anak angkat tidak

menerima wasiat dari orang tua angkatnya, maka anak angkat berhak menerima

wasiat wajibah sebanyak sepertiga dari harta peninggalan orang tua

116

Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta Timur; Pustaka Al-

Kaustar, 2000), cet ke-6 h.494-496

128

angkatnya.Khusus wasiat wajibah, diatur dalam KHI (Pasal 209 ayat 2), yang

berbunyi “terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah

sebanyak-banyaknya seperiga dari harta warisan orang tua angkatnya”.117

B. Pendapat Undang-Undang hukum Perdata memberikan hak waris

terhadap anak angka

Menurut Undang-Undang hukum Perdata yang terdapat di staatblad tahun

1917 No. 129 yang berlaku bagi golongan Tionghoa dan orang yang tunduk

dengan hukum perdata bahwa perbuatan mengangkat anak itu adalah merupakan

peristiwa perdata, dimana disitu pihak membuat perjanjian bahwa anak diluar

anaknya sendiri dijadikan anaknya sendiri di dalam hukum perdata berarti secara

luas meliputi “private materil” yaitu segalah hukum pokok yang mengatur

kepentingan-kepentingan perseorangan perkataan perdata juga lazim dipakai

sebagai lawan dari pidana

Secara yuridis formal, motif pengangkatan anak tidak ada ketentuannya,

akan tetapi secarakultural motif pengangkatan anak dalam sistem hukum perdata

adalah semata-mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan

dalam sebua masyarakat yang tidak mempunyai anak atau sebagai pancingan agar

setelah mengangkat anak masyarakat tersebut dapat dikaruniai anak dapat

meneruskan keturunan, agar menerima abu leluhur, dan sebagai pancingan agar

dapat memperoleh keturunan dan selaitan dari mempertahankan keturunan hukum

perdata juga yang mengatur anak angkat ini di dalam staadblad 1917 No, 129

yang mana munculnya aturan pengangkatan anak angkat ini yang terdapat di

117

Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,

(Jakarta; Kencana Prenadamedia Group, 2012), cet ke-2 h. 351.

129

staadblad ini sebagai pelengkap di dalam Undang-Undang hukum perdata yang

tidak ada mengatur tentang anak angkat ini jadi munculnya staadblad ini setelah

perang dunia ke dua sehingga banyak yang gugur dalam peperangan pada saat itu

dan banyak juga anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan begitu juga orang

tua banyak yang kehilangan anaknya maka dari itu hukum setelah perang dunia

kedua itu keluar surat edaran yaitu staadblad ini yang mengatur tentang

pengaturan anak angkat ini, dan sehingga di dalam hukum perdata anak angkat ini

mendapatkan harta warisan di dalam orang tua angkatnya,

Berdasarkan uraian di atas tadi yang penulis tuangkan bahwa KHI

memberikan hak anak angkat ini dengan jalur wasiat wajibah karena menurut KHI

bahwa di dalam pengambilan anak angkat ini tidak dapat terjadi saling mewarisi

karena KHI melihat kejadian dari Zaid bin haritsah yang mana pada waktu ini

Zaid ini diangkat oleh Nabi Muhammad tetapi setelah turun ayat surat Al-Ahzab

maka Zaid bin Haritsa pun tidak lagi menjadi Zaid muhammad, dan KHI juga

menganggap bahwa pengangkatan anak angkat ini hanya sebatas kasi sayang

orang tua angkat dan anak angkat dan anak angkat juga tidak mendapatkan harata

warisan karena anak angkat tidak ada hubungan dara dari orang tua angkatnya.

Sedangkan di dalam hukum perdata anak angkat ini mendapatkan harta warisan

dan mereka saling mewarisin karena menrurut hukum perdata bahwa anak angkat

itu sudah termasuk anak sendiri sehingga anak angkat dan orang tua angkat dapat

saling mewarisin.

130

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis menguraikan bab demi bab yaitu dari bab I sampai bab IV.

Maka dalam bab V ini akan diakhiri dengan kesimpulan dan saran-saran. Adapun

yang menjadi kesimpulan dari pembahasan skripsi ini adalah :

1. Menurut hukum perdata (BW) anak angkat itu adalah dalam KUHPerdata

(BW) tidak ada pasal yang mengungkap tentang pengertian adopsi. Tetapi

pengertian adopsi yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu dari kata Adoptie

yang berarti mengambil atau pengangkatan anak orang lain secara sah menjadi

anak sendiri.

2. Kedudukan anak angkat menurut hukum perdata Di dalam KUHPerdata tidak

terdapat istilah anak adopsi atau anak angkat. Pengaturan mengenai anak

angkat hanya dapat ditemukan di dalam staatsblad Tahun 1917 Nomor 129

yang menjadi pelengkap dari KUHPerdata, karena di dalam KUHPerdata tidak

ada aturan yang mengatur mengenai anak angkat, maka lahirnya staatsblad

tersebut adalah untuk melengkapi kekosongan hukum yang mengatur mengenai

permasalahan tersebut. Aturan tersebut menjadi acuan bagi pengangkatan anak

atau pengadopsian anak bagi masyarakat yang tunduk pada KUHPerdata

(Burgerlijk Weetboek). Adapun adopsi yang diatur dalam ketentuan staatsblad

tersebut adalah hanya berlaku bagi masyarakat Tionghoa. Pembahasan

120

131

mengenai hubungan anak angkat dengan orang tua angkat di dalam keluarga

selanjutnya akan diuraikan dengan berpedoman pada apa yang termuat dalam

staatsblad Nomor 129 Tahun 1917. Pada Pasal 5 sampai dengan Pasal 15.

Hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkat ini terdapat pada Pasal

12 menyamakan seorang anak dengan anak yang sah dari perkawinan orang

yang mengangkat. Dengan demikian, anak angkat di dalam keluarga

mempunyai kedudukan yang sama dengan anak kandung atau anak yang

terlahir dari orang tua angkatnya. Hai itupun berakibat pada kesamaan hak dan

kewajiban yang dimiliki oleh anak angkat, termasuk pada pembagian warisan

harta orang tua angkatnya apabila meninggal dunia.

3. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang pada dasarnya (secara

subtensial) berpedoman pada hukum Islam (fiqih), mengartikan “Adopsi” atau

“Tabbani” dalam artian yang tidak mutlak melainkan dalam artian yang

terbatas, yaitu terbatas pada pengertian pengasuhan/ pemeliharaan hidupnya

sehari-hari, biaya pendidikan beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal

kepada orang tua angkatnya. Jadi anak angkat menurut KHI tampaknya sama

dengan anak asuh, sebab anak asuh juga hanya berhak mendapat kasih sayang,

biaya pendidikan, pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-

hari dari orang tua asuhnya. akan tetapi ia tidak berhak mendapatkan harta

warisan dari orang tua asuhnya karena anak asuh tidak dinasabkan kepada

orang tua asuhnya tersebut. bahwa anak angkat tidak bisa berkedudukan seperti

anak kandung, sehingga ia tidak bisa mewarisi harta peninggalan dari orang tua

angkatnya sebagaimana halnya anak kandung dapat mewarisi harta

132

peninggalan orang tua kandungnya. Ketentuan tentang pengangkatan anak

angkat ini terdapat pada KHI yang dimuat dalam pasal 171 huruf (h) yaitu

:“anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan hidupnya sehari-hari,

biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua

asal kepada orang tua angkatnya.

4. Menurut KHI anak angkat berhak mendapatkan wasiat wajibah dari orang tua

angkatnya atau sebaliknya

B. Saran-saran

Adapun saran-saran dari penulis dalam pembahasan skripsi ini adalah :

1. Kepada masyarakat yang memeluk agama Islam, penulis menyarankan agar

kiranya penerapak hukum perdata ini yang berkenaan dengan kewarisan anak

angkat hendaknya di sesuaikan dengan hukum Islam.

2. Kepada penegak hukum kiranya dapat memberikan dan meningkatkan

penyuluhan hukum Islam terutama dalam masalah kedudukan anak angkat

dalam kewarisan kepada masyarakat yang belum mengerti akan hakikat dan

tujuan hukun kewarisan Islam

3. Terhadap rekan-rekan mahasiswa, khususnya mahasiswa Program Studi Al-

Ahwal al-Syakhsiyah, hendaknya tidak enggan untuk menggali, meneliti dan

memasyarakatkan hukum Islam, sehingga diketahui oleh masyarakat mana

tentang ketentuan hukum Islam yang benar dan lebih mendekat kepada

kemaslahatan dan keadilan, terutama dalam masalah kewarisan ini.

Demikian beberapa kesimpulan dan saran-saran yang dapat penulis

kemukakan dalam skripsi ini.Akhirnya kepada Allah SWT jugalah penulis

133

serahkan semuanya.Semoga penulis dan para pembaca diberi taufiq dan

hidayahnya, serta mendapatkan perlindungannya jua, amin.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi. Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, (Jakarta :

PT. Rineka Cipta) 1997;

al-‘Asqalani. Ibn Hajar, Bulughul Maram Min Adillatu Ahkam, (Surabaya: Al-

Hidayah, [t.th]);

Al-Bukhari, Shahih Bukhari, terj. Mu’ammal Hamidy, (Jakarta: Widjaya, 1987),

jilid IV;

al-Kahlani. Muhammad bin Ismail, Subulussalam, (Bandung: Al-Ma’arif, [t.th]);

Basri. Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem

Hukum Nasional, (Jakarta : Logos Wacana). 1999. Cet. Ke-1

Budiono. Rachmat, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, (Bandung:

PT.Citra Aditiya Bakti, 1999), Cet ke-1;

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya AL-Jumanatul ‘Ali,

(Bandung: CV Penerbit J-ART, 2004);

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat

Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000),

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(Jakarta: Balai Pustaka, 1992);

Hadi. Sunaryo, Hukum Kewarisan KUHPerdata dan Gugurnya hak Mewarisi

Karena Daluarsa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 2009,

dalam;

http://datarental.blogspot.co.uk/2009/06/hukum-kewarisan-kuh-perdata-bw-

dan.html;

http://www.jadipintar.com/2013/08/Kedudukan-Hukum-dan-Hak-Waris-Anak-

Angkat.html;

Irfan.Nurul, Nasab dan Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah,2012),

cet, ke- 1;

134

Junaidi. Ahmad, Wasiat Wajibah; Pergumulan Hukum Adat dan hukum islam di

Indonesia, (Jember: Pustaka Pelajar dan STAIN Jember Press, 2013), Cet.

Ke- 1;

Mestika. Zed, Metodologi Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2004), Cet. ke- I;

Mika. Wasium, Kedudukan Hukum dan Hak Waris Anak Angkat (Anak Pungut,

Adopsi), 2013;

Muhammad. Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 2000);

Muhammad. Syaikh Kamil, ‘Uwaidah, Fiqh Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-

Kaustar, 1998), Cet ke-1;

Muhibbin.Moh., dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2011), cet ke-2;

Nasution. Amin Husain, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2012);

R. Soeroso, Perbandingan KUH Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007);

Rafiq. Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

1995);

Rahman. Abdur, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademika

Persindo, 1995), Cet. Ke-1;

S. Nasution dan M. Thomas, Penuntun Membuat Thesis, Skripsi, Disertasi,

Makalah, (Bandung: CV. Jemmars, 1995);

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), cet.

Ke-5;

Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1986), cet.

Ke-10;

Soeroso, Perbandingan KUHPerdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007);

Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan

Praktis), (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), Cet. Ke-1;

Syarifuddin. Amir Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2012), cet ke-2;

135

Syarifuddin. Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan adat

Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 2008);

Tafal.Bastian.Pengangkatan Anak-Anak Angkat menurut Hukum Adat serta

Akibat-Akibat Hukumnya di Kemudian Hari,;

Usman. Suparno, Fiqh Mawaris; Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media

Pratama, 2002);

W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : PN Balai

Pustaka,1982);

Wahid. Abdul dan Muhammad Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2011), Cet. Ke-2;

Yunus. Mahmud, Hukum Warisan dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung,

1989);

Yunus. Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerjemah dan

Pentashih al-Qur’an,. 1988);

Zaini. Maderis, Adopsi; Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar

Grafika, 1985), Cet. Ke-1;

Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Indonesia, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2010), Cet. Ke-2: