Kawasan Hutan Gabungan

32
TUGAS MATA KULIAH PENILAIAN KAWASAN KAWASAN HUTAN Disusun o leh: 1. BOBBY KURNIAWAN NIM. 13222759 2. BUDI SATRIO NIM. 13222760 3. HELMI RASYID NIM. 13222768 4. RIMA KURNIASIH NIM. 13222782 5. SADAM HUSAIN NIM. 13222784 PROGRAM DIPLOMA IV PERTANAHAN SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL YOGYAKARTA TAHUN 2015

Transcript of Kawasan Hutan Gabungan

TUGAS MATA KULIAH PENILAIAN KAWASAN

KAWASAN HUTAN

Disusun o leh:

1.BOBBY KURNIAWAN NIM. 13222759

2.BUDI SATRIO NIM. 13222760

3.HELMI RASYID NIM. 13222768

4.RIMA KURNIASIH NIM. 13222782

5.SADAM HUSAIN NIM. 13222784

PROGRAM DIPLOMA IV PERTANAHAN

SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL

YOGYAKARTA

TAHUN 2015

KAWASAN HUTAN

A. Pengertian Kawasan Hutan

Hutan merupakan salah satu aset yang perlu dijaga dan

dilestarikan keberadaannya. Hutan adalah suatu kesatuan

ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam

hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam dan

lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

dipisahkan. Menurut Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan adalah

wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh

pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan

tetap.

Istilah-istilah yang berkaitan dengan kawasan hutan antara

lain :

1. Pengelolaan hutan adalah kegiatan yang meliputi tata hutan

dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan

hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan

reklamasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi alam.

2. Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan

kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan

hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan

kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk

kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga

kelestariannya.

3. Penggunaan kawasan hutan merupakan penggunaan untuk

kepentingan pembangunan di luar kehutanan tanpa mengubah

status dan fungsi pokok kawasan hutan.

4. Rehabilitasi Hutan dan Lahan adalah upaya untuk

memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan

dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan

peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan

tetap terjaga.

5. Reklamasi Hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau

memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak

agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan

peruntukannya.

6. Perlindungan Hutan adalah usaha untuk mencegah dan

membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan,

yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran,

daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan

dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas

hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta

perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

B. Jenis-jenis Hutan

1. Jenis hutan menurut asal

a. Hutan perawan (hutan primer) merupakan hutan yang masih

asli dan belum pernah dibuka atau dijamah oleh

manusia.

b. Hutan sekunder adalah hutan yang tumbuh kembali secara

alami setelah ditebang atau kerusakan yang cukup luas.

Akibatnya, pepohonan di hutan sekunder sering terlihat

lebih pendek dan kecil. Namun jika dibiarkan tanpa

gangguan untuk waktu yang panjang, akan sulit

membedakan hutan sekunder dari hutan primer. Di bawah

kondisi yang sesuai, hutan sekunder akan dapat pulih

menjadi hutan primer setelah berusia ratusan tahun.

2. Berdasarkan letak geografisnya

a. Hutan Tropika, yakni hutan-hutan di daerah

khatulistiwa.

b. Hutan Temperate, hutan-hutan di daerah empat musim

(antara garis lintang 23,5º - 66º).

c. Hutan Boreal, hutan-hutan di daerah lingkar kutub.

3. Berdasarkan Sifat-Sifat Musimannya

a. Hutan hujan (rainforest), dengan banyak musim hujan.

b. Hutan selalu hijau (evergreen forest).

c. Hutan musim atau hutan gugur daun (deciduous forest).

d. Hutan sabana (savannah forest), di tempat-tempat yang

musim kemaraunya panjang.

4. Berdasarkan Ketinggian Tempatnya

a. Hutan pantai (beach forest).

b. Hutan dataran rendah (lowland forest).

c. Hutan pegunungan bawah (submountain forest).

d. Hutan pegunungan atas (mountain forest).

e. Hutan kabut (mist forest).

f. Hutan elfin (alpine forest).

5. Berdasarkan Keadaan Tanahnya

a. Hutan rawa air-tawar atau hutan rawa (freshwater swamp

forest).

b. Hutan rawa gambut (peat swamp forest).

c. Hutan rawa bakau, atau Hutan Bakau (mangrove forest).

d. Hutan kerangas (heath forest).

e. Hutan tanah kapur (limestone forest).

6. Berdasarkan Jenis Pohon yang Dominan

a. Hutan jati (teak forest), misalnya di Jawa Timur.

b. Hutan pinus (pine forest), di Aceh.

c. Hutan dipterokarpa (dipterocarp forest), di Sumatra dan

Kalimantan.

d. Hutan ekaliptus (eucalyptus forest) di Nusa Tenggara.

7. Berdasarkan Sifat-Sifat Pembuatannya

a. Hutan alam (natural forest).

b. Hutan buatan (man made forest), misalnya :

- Hutan rakyat (community forest).

- Hutan kota (urban forest).

- Hutan tanaman industri (timber estates atau timber

plantation).

8. Berdasarkan Tujuan Pengelolaan Hutan

a. Hutan produksi, yang dikelola untuk menghasilkan kayu

ataupun hasil hutan bukan kayu (non-timber forest product).

b. Hutan Lindung, dikelola untuk melindungi tanah dan tata

air.

c. Taman Nasional merupakan tanah yang dilindungi,

biasanya oleh pemerintah pusat, dari perkembangan

manusia dan polusi. Taman nasional merupakan kawasan

yang dilindungi (protected area).

d. Hutan suaka alam, dikelola untuk melindungi kekayaan

keanekaragaman hayati atau keindahan alam.

e. Cagar alam adalah suatu kawasan suaka alam karena

keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan

ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu

dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara

alami.

f. Suaka alam adalah perlindungan suatu kawasan berupa

kekayaan alam dan isinya, meliputi pemeliharaan,

penelitian, pendidikan, wisata, rehabilitasi kawasan,

dan pengamanan segala aset yang berada dalam kawasan

perlindungan.

g. Hutan konversi yakni hutan yang dicadangkan untuk

penggunaan lain, dapat dikonversi untuk pengelolaan

non-kehutanan.

C. Manfaat dan Fungsi Kawasan Hutan

1. Manfaat Kawasan Hutan

Hutan memiliki banyak manfaat untuk manusia. Hutan

merupakan paru-paru dunia (planet bumi) sehingga perlu

dijaga karena jika tidak maka hanya akan membawa dampak

yang buruk bagi manusia di masa kini dan masa yang akan

datang.

a. Manfaat/Fungsi Ekonomi

- Hasil hutan dapat dijual langsung atau diolah menjadi

berbagai barang yang bernilai tinggi, sebagai contoh,

rotan, karet, getah perca yang dimanfaatkan untuk

industri kerajinan dan bahan bangunan.

- Membuka lapangan pekerjaan bagi pembalak hutan legal.

- Menyumbang devisa negara dari hasil penjualan produk

hasil hutan ke luar negeri.

b. Manfaat/Fungsi Klimatologis

- Hutan dapat mengatur iklim.

- Hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia yang

menghasilkan oksigen bagi kehidupan.

- Mengurangi polusi untuk pencemaran udara. Tumbuhan

mampu menyerap karbon dioksida dan menghasilkan

oksigen yang dibutuhkan oleh makhluk hidup.

c. Manfaat/Fungsi Hidrolis

- Dapat menampung air hujan di dalam tanah.

Fungsi hutan lainnya yang begitu bermanfaat bagi

kehidupan manusia adalah hutan sebagai tempat

penyimpanan air dalam volume yang begitu besar. Air

hujan yang jatuh ke bumi akan disimpan dalam akar-

akar pohon yang ada di hutan. Manfaat ini sangat

terasa ketika dimusim penghujan, hutan bisa dijadikan

sebagai pengendali banjir. Ini juga begitu bermanfaat

ketika musim kemarau ketika banyak lahan-lahan yang

kering bisa dialirkan air.

- Menyimpan, mengatur, dan menjaga persediaan dan

keseimbangan air di musim hujan dan musim kemarau.

- Mencegah intrusi air laut yang asin.

- Menjadi pengatur tata air tanah.

d. Manfaat/Fungsi Ekologis

- Mencegah erosi dan banjir. Akar-akar pohon berfungsi

sebagai pengikat butiran-butiran tanah. Dengan ada

hutan, air hujan tidak langsung jatuh ke permukaan

tanah tetapi jatuh ke permukaan daun atau terserap

masuk ke dalam tanah.

- Menjaga dan mempertahankan kesuburan tanah karena

daun-daun yang gugur akan terurai menjadi tanah

humus.

- Sebagai wilayah untuk melestarikan kenaekaragaman

hayati. Fungsi hutan tidak hanya diperuntukkan bagi

manusia semata, flora dan fauna pun sepantasnya

mendapatkan manfaat hutan sebagai habitat atau rumah

bagi mereka semua. Oleh sebab itu kita seharusnya

untuk tidak merusak habitat mereka. Ini merupakan

tugas kita semua untuk menjaga dan mengawasi hutan

kita dari kerusakan yang berkepanjangan. Hutan

merupakan paru-paru bumi, habitat satwa hidup,

pohon-pohon, hasil tambang dan berbagai sumber daya

lainnya. Hutan merupakan sumberdaya alam yang

memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia,

baik manfaat tangible yang dirasakan secara langsung,

seperti penyediaan kayu, satwa, dan hasil tambang

maupun manfaat intangible yang dirasakan secara tidak

langsung seperti manfaat rekreasi, perlindungan dan

pengaturan tata air, pencegahan erosi.

2. Fungsi Kawasan Hutan

Menurut Undang- undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, berdasarkan fungsi pokoknya hutan dibagi

menjadi hutan produksi, hutan lindung dan hutan

konservasi.

a. Hutan produksi merupakan kawasan hutan yang mempunyai

fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan produksi

diperuntukkan bagi produksi kayu, rotan, getah, dan

hasil hutan lainnya. Hutan produksi ini terdiri dari

hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas dan

meliputi 30 % dari luas kawasan hutan di Papua (kurang

lebih 12.673.200juta hektar). Hutan produksi juga

merpakan kawasan hutan yang secara hukum dapat

dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan nasional

untuk kesejahteraan dan juga diatur pada Pasal 32 PP

Nomor 6 Tahun 2007.

b. Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai

fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga

kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,

mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan

memelihara kesuburan tanah. Hutan lindung memiliki

sifat fisik khas yang harus dijaga keberadaannya

sehingga fungsinya terutama sebagai pengatur tata air,

dapat dipelihara dan dipertahankan. Luas hutan lindung

adalah 10.619.090  hektar atau 25 % dari luas seluruh

kawasan hutan yang ada dimana dalam Pasal 25 PP Nomor 6

Tahun 2007 pemanfaatan hutan lindung melalui

pemanfaatan air, perlindungan keanegaragaman hayati dan

penyelamatan perlindungan lingkungan, penyerapan dan

penyimpanan karbon. Hutan suaka alam dan hutan wisata,

meliputi kawasan seluas kurang lebih 8.025.820 hektar

atau 19% kawasan hutan di Indonesia. Kawasan hutan ini

diperuntukan bagi perlindungan dan pelestarian sumber

plasma nutfah dan sistem penyangga kehidupan,

pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan

pariwisata.

c. Hutan konservasi merupakan kawasan hutan dengan ciri

khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan

keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil

dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi

kesejahteraan masyarakat, pemanfaatan hutan dapat

dilakukan pada seluruh kawasan hutan, yaitu kawasan hutan

konservasi kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona

inti dalam taman nasional, hutan lindung dan hutan

produksi. Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa

pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan

pemungutan hasil hutan bukan kayu melalui pemberian Izin

Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK), Izin Usaha Pemanfaatan

Jasa Lingkungan (IUPJL), dan Izin Pemungutan Hasil Hutan

Bukan Kayu (IPHHBK), sedangkan dalam blok perlindungan

pada hutan lindung, dilarang melakukan kegiatan

pemanfaatan hutan.

Pemanfaatan kawasan adalah kegiatan untuk memanfaatkan

ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan,

manfaat sosial dan manfaat ekonomi secara optimal dengan

tidak mengurangi fungsi utamanya. Usaha pemanfaatan

kawasan hutan lindung dapat dilakukan melalui kegiatan

budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya

jamur, budidaya lebah, penangkaran satwa liar,

rehabilitasi satwa atau budidaya hijauan makanan ternak.

Kegiatan usaha ini dapat dilakukan dengan ketentuan yaitu

tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi

utamanya, pengolahan tanah terbatas, tidak menimbulkan

dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi, tidak

menggunakan peralatan mekanis dan alat berat serta tidak

membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam.

Pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk

memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak

lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Usaha

pemanfaatan jasa lingkungan dapat dilakukan melalui

kegiatan pemanfaatan aliran air, pemanfaatan air, wisata

alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan

perlindungan lingkungan serta penyerapan atau penyimpan

karbon. Kegiatan usaha ini dapat dilakukan dengan

ketentuan yaitu tidak mengurangi, mengubah atau

menghilangkan fungsi utamanya, tidak mengubah bentang alam

dan tidak merusak keseimbangan unsur lingkungan.

Pemungutan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk

mengambil hasil hutan bukan kayu dengan batasan waktu,

luas dan volume tertentu. Pemungutan hasil hutan bukan

kayu pada lindung berupa rotan, madu, getah, buah, jamur

atau sarang burung walet. Pemungutan ini dilakukan dengan

ketentuan yaitu hasil hutan bukan kayu yang merupakan

hasil reboisasi atau tersedia secara alami, tidak merusak

lingkungan dan tidak mengurangi, mengubah atau

menghilangkan fungsi utamanya. Pemungutan hasil hutan

bukan kayu pada hutan lindung hanya boleh dilakukan oleh

masyarakat di sekitar hutan. Fungsi hutan dalam

pembangunan yang tertuang dalam kebijakan umum pembangunan

kehutanan dalam PELITA VI dituangkan di dalam GBHN 1993

sebagai berikut :

a. pembangunan kehutanan diarahkan untuk memberikan

manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan

tetap menjaga kelestarian dan fungsi hutan, dan dengan

mengutamakan pelestarian sumberdaya alam dan fungsi

lingkungan hidup, memelihara tata air, serta untuk

memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja,

meningkatkan sumber dan pendapatan negara, devisa serta

mengacu pembangunan daerah.

b. pengembangan produksi hasil kayu dan non kayu

diselenggarakan melalui upaya peningkatan pengusahaan

hutan produksi, hutan rakyat, hutan tanaman industri

dan upaya peningkatan produktivitas hutan alam yang

didukung oleh penyediaan bibit hutan tanaman hutan yang

unggul dan budidaya kehutanan yang tangguh.

c. hutan sebagai salah satu penentu ekosistem,

pengelolaannya ditingkatkan secara terpadu dan

berwawasan lingkungan untuk menjaga dan memelihara

fungsi tanah, air, udara, iklim dan lingkungan hidup

serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi

masyarakat.

d. upaya rehabilitasi hutan dan tanah kritis, konservasi

tanah, rehabilitasi sungai, rawa, pelestarian gua-gua

alam, karang laut, flora dan fauna langka serta

pengembangan fungsi DAS ditingkatkan dan makin

disempurnakan.

D. Penilaian Kawasan Hutan

1. Direct Use Value (DUV)

Contoh :

a. Pemanfaatan hasil hutan berupa kayu pada hutan

produksi.

b. Pemanfaatan hasil hutan non kayu pada hutan produksi

dan hutan lindung.

c. Menjadi tempat wisata seperti pada Hutan Lindung

Wanagama, Kecamatan Patuk dan Playen, Gunungkidul,

Yogyakarta. Pengelola Hutan Wanagama menyediakan

fasilitas pendukung bagi wisatawan yang berkunjung,

diantaranya terdapat camping ground, sarana out bond,

trek hiking.

2. Indirect Use Value (IUV)

Contohnya penangkaran satwa liar, rehabilitasi satwa dan

perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan

perlindungan lingkungan, penyerapan dan/atau penyimpanan

karbon.

3. Option Value (OV)

Contoh :

a. budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya

jamur, budidaya lebah, pada hutan lindung;

b. ketersediaan air yang dapat digunakan sebagai sumber

energi listrik desa.

4. Bequest Value (BV)

Contoh : Kawasan hutan desa pada Kawasan Hutan Lindung

Bukit Panjang Rantau Bayur sangat dijaga dan dilindungi

oleh masyarakat karena kawasan ini merupakan bagian hulu

yang mempunyai fungsi Sub DAS ini sendiri merupakan

penyangga kehidupan masyarakat dan dapat diwariskan ke

pada anak cucu.

E. Potensi Kawasan Hutan

1. Potensi hasil hutan kayu

Jenis-jenis hasil hutan kayu yang dimanfaatkan

dikelompokkan menjadi :

a. Kelompok Meranti terdiri dari Matoa (Pometia spp.),

Merbau (Instiaspp.), Mersawa (Anisoptera spp.), Kenari

(Canarium spp.), Nyatoh (Palaquium spp.), Resak (Vatica

spp.), Pulai (Alstonia spp.), Damar (Agathis spp.),

Araucaria (Araucaria spp.), Kapur (Dryobalanops spp.),

Batu (Shorea spp.),           Mangga hutan (Mangifera

spp.), Celthis (Celthisspp.), dan Kayu Cina (Podocarpus

spp.)

b. Kelompok Kayu Campuran terdiri dari Ketapang, Binuang,

Bintangur, Terentang, Bipa, Kayu Bugis, Cempaka, Pala

hutan.   

c. Kelompok Kayu Indah terdiri darijenis; Dahu

(Dracontomelon spp.),Linggua (Pterocarpus spp.), dan

Kuku. Potensi kayu ini sudah dimanfaatkan, diusahakan

dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan industri

pengolahan kayu.

2. Potensi Hasil Hutan Non Kayu, antara lain :

a. Potensi Rotan

b. Potensi Hutan Sagu

Potensi sagu belum dimanfaatkan secara optimal sehingga

masih dimungkinkan diusahakan dalam skala industri.

Kegiatan industri untuk pemanfaatan sagu akan

diusahakan oleh pihak swasta untuk pembuatan bahan

bakar (bioenergy).

c. Potensi Nipah

Luas hutan yang ditumbuhi nipah diperkirakan seluas

1.150.000 ha. Potensi nipah belum dapat diketahui tahap

pemanfaatan masyarakat lokal berupa pemanfaatan daun

dan buah untuk pembuatan minuman lokal yang beralkohol.

F. Permasalahan pada Kawasan Hutan dan Potensi Kerugiannya

Keberadaan hutan, dalam hal ini daya dukung hutan

terhadap segala aspek kehidupan manusia, satwa dan tumbuhan

sangat ditentukan pada tinggi rendahnya kesadaran manusia

akan arti penting hutan di dalam pemanfaatan dan pengelolaan

hutan. Hutan menjadi media hubungan timbal balik antara

manusia dan makhluk hidup lainnya dengan faktor- faktor alam

yang terdiri dari proses ekologi dan merupakan suatu kesatuan

siklus yang dapat mendukung kehidupan. Indonesia dengan hutan

dan ekosistem lainnya, merupakan negara dengan kekayaan dan

keanekaragaman hayati pada urutan kedua setelah Brazil,

sehingga menempatkan negara tersebut sebagai negara

megabiodiversitas dan megacenter keanekaragaman hayati dunia.

Sebanyak 10% hutan hujan dunia terletak di wilayah Indonesia,

bahkan 50 tahun lalu 82% wilayah Indonesia tertutup oleh

hutan. Namun demikian, keanekaragaman hayati yang terkandung

di dalamnya semakin hari semakin terancam keberadaannya,

akibat deforestasi dan perburuan liar. Perusakan hutan tanpa

belas kasihan demi memperoleh keuntungan dari kertas dan

bubur kertas, kelapa sawit, serta pertambangan menyebabkan

tutupan hutan di Indonesia hanya tinggal 48% dalam dekade

terakhir. Terlebih, hutan Indonesia memiliki tingkat

deforestasi yang paling cepat dibandingkan negara lain di

seluruh dunia. Belum lagi, gelar sebagai negara dengan

megabiodiversitas nampaknya harus membuat Indonesia malu atas

daftar panjang terkait satwa liar yang terancam punah.

Sebanyak 184 jenis mamalia, 119 jenis burung, 32 jenis

reptil, dan 32 jenis amphibi tercatat sebagai satwa terancam

punah oleh IUCN (2011).

Perubahan iklim yang melanda dunia bukan saja diakibatkan

oleh pembakaran bahan bakar fosil. Greenpeace dalam

laporannya, Hutan Tropis Indonesia dan Krisis Iklim

menyatakan bahwa kerusakan hutan tropis bertanggung jawab

atas seperlima emisi gas rumah kaca di bumi, jumlah yang

lebih banyak dari akumulasi emisi dari pesawat, mobil, dan

kereta di seluruh dunia. Secara ringkas, dijelaskan bahwa

perusakan dan degradasi hutan berpengaruh besar terhadap

perubahan iklim dalam dua hal, yaitu (1) perambahan dan

pembakaran hutan melepaskan CO2 ke atmosfir serta (2)

rusaknya hutan akan mengurangi area hutan yang menyerap CO2.

Melindungi hutan berarti menghentikan perubahan iklim. Jika

kita menghancurkan hutan tropis yang tersisa, maka kita telah

kalah dalam pertarungan menghadapi perubahan iklim.

Perusakan hutan merupakan tindakan non-kooperatif terhadap

pelestarian hutan tropis yang secara nyata menghilangkan

biomassa terbesar yang dimiliki bumi. Hutan tropis di Pulau

Sumatera, Kalimantan, dan pulau lain di Indonesia merupakan

'paru-paru' dunia, yang apabila dibiarkan semakin rusak, kita

juga yang menanggung risikonya. Selain itu, rusaknya hutan

tropis memiliki imbas buruk terhadap keberadaan satwa di

dalamnya. Satwa akan kehilangan habitatnya di alam,

kehilangan ekosistem penyokong hidupnya, dan memungkinkan

terjadinya konflik satwa dengan masyarakat di daerah

penyangga. Hutan tropis di Semenanjung Kampar (Riau)

misalnya, sebagai habitat beberapa jenis satwa dilindungi,

termasuk harimau Sumatera. Sekitar 400-500 ekor harimau

Sumatera di dunia yang hidup di alam Riau, jumlahnya

mengalami penurunan seiring dengan kehancuran habitat

alaminya. Peningkatan kegiatan perusakan hutan oleh

perusahaan kertas sejak tahun 2001, membuat harimau tergeser

dan mencari makanan di daerah dekat pemukiman. Hal ini memicu

angka kematian manusia akibat serangan harimau meningkat dari

rata-rata 2 menjadi 14 jiwa pertahunnya. Harimau Sumatera

yang masuk dalam IUCN Redlist sebagai spesies terancam punah,

merupakan spesies indikator sebagai tanda vital akan kondisi

kesehatan hutan. Oleh sebab itu, ketika harimau tidak lagi

dapat hidup di dalamnya, maka keberlangsungan hidupan hutan

dan spesies lain di dalamnya juga turut terancam. Ditinjau

dari segi kesehatan global, perburuan satwa dan perdagangan

produk satwa secara ilegal, memiliki peluang risiko

penyebaran penyakit zoonotik. Tindakan illegal trading and

trafficking menjadi 'jalur cepat' penyebaran penyakit

antarwilayah/negara. 

Hidup di lingkungan urban terkadang membuat kita melupakan

hubungan manusia dengan alam. Hutan tropis sebagai surga bagi

berbagai spesies, harus kita lindungi dan lestarikan. Kita

sebagai masyarakat yang baik, hendaknya meningkatkan

kesadaran kita terhadap kelestarian hutan dan satwa di

dalamnya. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara mengurangi

penggunaan produk-produk berbahan dasar hasil hutan secara

berlebihan serta berhenti memperjualbelikan satwa liar maupun

produknya. Hutan Indonesia memiliki kekayaan yang tidak

ternilai, yang harus kita lestarikan.

Sekitar 70% daratan di Indonesia berupa kawasan hutan

Negara. Pengelolaan hutan tersebut berada pada pemerintah

pusat maupun pemerintah daerah. Pengelolaan hutan memberikan

tambahan PAD (Pendapatan Asli Daerah), membuka lapangan kerja

bagi masyarakat dan menggiatkan sektor ekonomi. Namun

pemanfaatan hutan yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan

hutan. Dampak kerusakan hutan bagi perekonomian hanyalah

bagian kecil dari total dampak yang sebenarnya. Dampak

ekonomi tidak mencerminkan seluruh dampak yang terjadi.

Fungsi hutan sebagai daya dukung lingkungan justru memberi

peran lebih besar.

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya

peningkatan deforestasi dan degradasi hutan, antara lain:

1. Akibat Alam

a.Letusan gunung berapi.

b.Naiknya air permukaan laut dan tsunami.

c.Serangan hama dan penyakit.

2. Akibat Ulah Manusia

a.Kebakaran hutan.

b.Illegal logging (Penebangan liar).

c.Perladangan berpindah.

d.Perkebunan monokultur.

e.Perkebunan kelapa sawit.

f.Konversi lahan gambut menjadi sawah.

g.Pertambangan.

h.Transmigrasi.

i.Penggembalaan Ternak dalam hutan

j.Pemukiman penduduk.

k.Pembangunan perkantoran.

Di era otonomi daerah, areal perkantoran tidak hanya

terdapat pada daerah perkotaan yang ramai. Komplek

perkantoran juga dibangun pada lahan-lahan hutan,

terutama kabupaten yang baru. Pemerintah daerah di

kabupaten baru membuka lahan hutan untuk membuat

kawasan pemukiman, kawasan industri, kawasan

perdagangan dan juga untuk areal perkantoran. Untuk

menunjang kebutuhan tersebut pemerintah daerah

mengajukan izin alih fungsi lahan ke kementerian

kehutanan.

3. Akibat Kebijakan

Akar masalah yang dihadapi dalam mewujudkan kinerja

pengurusan hutan yang baik terfokus pada masalah

prakondisi, antara lain konflik kebijakan penataan ruang,

lemahnya penegakan hukum, rendahnya kapasitas pengurusan

hutan, serta ketiadaan institusi pengelola untuk kawasan

hutan produksi dan hutan lindung.

a. Kebijakan pengelolaan hutan yang kurang tepat.

Kerusakan hutan juga dapat terjadi karena kebijakan

yang dibuat lebih memperhatikan segi ekonomis

dibandingkan dengan segi ekologis. Kebijakan

pengelolaan hutan yang kurang tepat dari pemerintah

sebagai suatu “pengrusakan hutan yang terstruktur”

karena kerusakan tersebut didukung oleh regulasi dan

ketentuan yang berlaku. Salah satu bentuk kebijakan

yang kurang tepat adalah target pemerintah yang

mengandalkan sumberdaya hutan sebagai sumber pendapatan

baik ditingkat nasional maupun daerah.

b. Deforestasi yang direncanakan

Deforestasi yang direncanakan adalah konversi yang

terjadi di kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi

(HPK) yang dilepaskan menjadi kawasan budidaya non

kehutanan (KBNK atau APL). Konversi yang direncanakan

dapat juga terjadi di kawasan hutan produksi untuk

pertambangan terbuka, sedangkan deforestasi yang tidak

direncanakan terjadi akibat konversi hutan yang terjadi

di semua kawasan hutan akibat berbagai kegiatan yang

tidak terencana, terutama kegiatan ilegal. Berdasarkan

analisis data satelit, selama periode 2000-2005, hutan

yang dikonversi baik yang direncanakan maupun tidak

direncanakan mencapai 1.089.560 Ha per tahun (Badan

Planologi Kehutanan, 2008). Sampai tahun 2007, total

luas deforestasi yang direncanakan mencapai 4.609.551

Ha. Deforestasi yang direncanakan ini mulai marak

terjadi setelah tahun 1990, sehingga laju deforestasi

yang direncanakan rata-rata mencapai 230.477 ha per

tahun (21% dari total deforestasi). Dengan demikian

laju deforestasi yang tidak direncanakan sekitar

859.083 Ha per tahun. Sampai akhir Desember 2010 sudah

ada sekitar 520 permohonan yang diajukan ke Kementerian

Kehutanan untuk pelepasan kawasan. Luas kawasan hutan

yang diajukan untuk dilepas rata-rata mencapai 200.000

Ha per pemohon. Apabila tidak ada kebijakan baru

terkait pembatasan pemekaran wilayah dan pembatasan

pemanfaatan ruang, diperkirakan semua HPK yang luasnya

sekitar 22,7 Ha akan habis dalam waktu tidak lebih dari

10 tahun ke depan. Berdasarkan hasil kajian IFCA

(Kemenhut, 2008), deforestasi yang tidak direncanakan

sebagian besar terjadi di kawasan hutan produksi,

kemudian diikuti di kawasan hutan konservasi dan hutan

lindung. Laju deforestasi yang tidak direncanakan ini

diperkirakan akan meningkat ke depan, khususnya pada

kawasan hutan yang aksesnya lebih terbuka, hutan

produksi yang tidak ada pemegang izin pengelolaannya

dan hutan lindung. Pada sebagian hutan konservasi,

keberadaan Balai Taman Nasional diharapkan dapat

meminimumkan deforestasi yang tidak direncanakan ini.

Sampai dengan akhir 2009, hampir separuh kawasan hutan

di Indonesia (46,5% atau 55,93 juta hektare) tidak

dikelola dengan intensif (DKN, 2009);

c. Kurangnya Kebijakan Inovatif

Sejak tahun 1950-an, pemerintah Indonesia telah

menerapkan berbagai program rehabilitasi. Sebagian

besar program berasal dan dikelola oleh pemerintah.

Anggaran program berasal dari Pemerintah dan donor

internasional dan alokasinya terfokus pada aspek-aspek

teknis. Aspek-aspek non teknis seperti kelembagaan,

pemberdayaan, dan sebagainya belum efektif

dikembangkan. Karena itu wajar apabila program

rehabilitasi kurang mendapat dukungan dari masyarakat

setempat, baik yang tinggal di dalam maupun di sekitar

wilayah sasaran. Pendekatan kreatif dan inovatif yang

dapat memberikan manfaat hubungan social-ekonomi jangka

panjang antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat

local belum diterapkan pada program rehabilitasi.

Misalnya kebijakan pemerintah terhadap pengusaha HPH

lebih pada pengendalian jumlah produksi hasil hutan

sedangkan hutan alam sebagai stock tidak menjadi

perhatian utama. Hutan alam sebagai stock berupa

tegakan muda, tegakan yang siap ditebang atau menunggu

ditebang, tidak menjadi perhatian untuk dijaga dan

dipelihara karena tidak menjadi kriteria dalam

penilaian kinerja pemegang ijin. Kebijakan tersebut

menyebabkan perusahaan enggan melindungi hutan alam

dalam kawasan yang dikelola, dan di sisi lain

pengendalian jumlah produksi dengan banyak peraturan

menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Perlu inovasi dalam

kebijakan agar pengusaha mau melakukan recovery

terhadap hutan

d. Konflik kepemilikan lahan

Konflik atas kepemilikan lahan terjadi karena adanya

tumpang tindih kepemilikan lahan. Konflik tersebut

disebabkan oleh ketidakjelasan kerangka hukum yang

mendasarinya, terutama implikasi yang saling

bertentangan antara UU 41/1999 tentang Kehutanan dan UU

No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. Kemudian,

peraturan-peraturan sektoral yang berbeda, misalnya

tentang kehutanan, hutan tanaman dan pertambangan,

kurang sinergis. Selain itu, peraturan dan tata cara

pelaksanaan di berbagai tingkat pemerintahan yang

berbeda belum sinergis atau belum sesuai dengan

prinsip-prinsip hak asasi manusia.

e. Pengelolaan hutan yang kurang efektif

Praktek pengelolaan hutan yang kurang efektif terjadi

karena lemahnya kapasitas kelembagaan di tingkat

daerah. Sebagai contoh, Unit Pelaksana Teknis (UPT)

pemerintah yang bertugas untuk mengawasi kawasan

konservasi kekurangan dana dan sumber daya manusia.

Lemahnya kapasitas kelembagaan dapat berakibat lemahnya

kemampuan dalam meninventarisir potensi dan kondisi

riil sumber daya hutan di tingkat tapak. Pemerintah

daerah yang bertugas untuk mengelola Hutan Lindung

tidak melaksanakan peranannya dengan baik. Selain itu,

struktur desentralisasi dari Kesatuan Pengelolaan Hutan

(KPH) di tingkat kabupaten dan provinsi masih belum

selesai disusun dan dikembangkan. Sementara itu,

tanggung jawab pengelolaan Hutan Produksi sebagian

besar berada di tangan pemegang konsesi yang bekerja

dengan pengawasan yang minim dari pemerintah.

f. Rehabilitasi dilakukan hanya sebatas proyek

Rehabilitas berjalan selama masa periode tertentu saja

atau hanya sebatas masa proyek. Selama lebih dari 30

tahun, kegiatan rehabilitasi dilaksanakan pada lebih

dari 400 lokasi di Indonesia. Namun, pada tahun 2002

total luas areal hutan dan lahan yang terdegradasi

telah mencapai 96,3 juta ha (54,6 juta ha di dalam

kawasan hutan dan 41,7 juta ha di luar kawasan hutan).

Faktor keberhasilan proyek rehabilitasi antara lain

adanya keterlibatan masyarakat setempat secara aktif,

dan dilakukannya intervensi teknis untuk mengatasi

penyebab degradasi hutan. Sampai saat ini factor

keberhasilan dari berbagai proyek rehabilitasi belum

tercapai dan sulit untuk bisa dipertahankan dalam

jangka panjang, terutama setelah proyek selesai.

Orientasi keproyekan masih sangat kuat, sehingga

mengakibatkan: a) pemeliharaan yang tidak memadai pada

bibit yang telah ditanam; b) kurangnya keberlangsungan

pendanaan setelah proyek selesai karena tidak adanya

mekanisme reinvestasi, kurangnya analisis kelayakan

ekonomi yang memadai atau tidak adanya kepastian

integrasi dengan pasar yang jelas; c) insentif ekonomi

yang tidak jelas, mengurangi minat masyarakat untuk

ikut berpartisipasi secara aktif; d) partisipasi

masyarakat yang terbatas karena masalah tenurial yang

tidak terselesaikan dan organisasi masyarakat yang

tidak efektif; e) pembangunan kapasitas bagi masyarakat

yang tidak efektif; f ) pertimbangan yang tidak memadai

terhadap aspek sosial-budaya; dan pada tingkat yang

lebih luas, tidak adanya pembagian hak dan tanggung

jawab yang jelas antara pemangku kepentingan terkait,

terutama pemerintah daerah, masyarakat dan dinas

kehutanan.

4. Lemahnya Penegakan Hukum

Lemahnya penegakan hukum di bidang kehutanan dapat diamati

dari hanya sedikit pelanggaran hukum di bidang kehutanan

yang berhasil dituntut dan para pengusaha sebagai pelaku

utama justru dapat menghindari hukuman. Penegakan

peraturan perundangan yang tidak efektif dapat disebabkan

antara lain oleh hal-hal berikut :

a. Substansi peraturan tidak dapat rnengendalikan biaya

transaksi tinggi di luar biaya resmi yang telah

ditetapkan;

b. Instansi pemerintah belum menerapkan peraturan itu

sehingga kontrol yang seharusnya dilakukan tidak

berjalan;

c. Masyarakat (terrnasuk dunia usaha) belum memahami isi

peraturan atau bahkan tidak mengetahuinya sarna sekali;

d. Sanksi yang mungkin ada dari implementasi suatu

peraturan tidak berjalan, sehingga masyarakat tidak

melihat adanya resiko apabila mereka rnelanggar

peraturan;

e. Biaya yang ditanggung ketika melakukan pelanggaran

peraturan lebih murah daripada bila peraturan dipatuhi.

Banyak penyuluhan telah dilakukan untuk menyadarkan

masyarakat akan arti pentingnya manfaat hutan. Berbagai

media dipergunakan untuk membuat iklan-iklan tentang

penyelamatan hutan, kampanye lingkungan dilakukan dimana-

mana, ditambah lagi artikel, makalah, paper maupun hasil

penelitian oleh para ahli yang mengulas mengenai dampak

dan akibat kerusakan hutan, namun semua itu belum juga

sepenuhnya dapat menyadarkan masyarakat.

Akibat dan dampak dari kerusakan hutan dapat dijelaskan

sebagai berikut :

1. Terganggunya sistem hidro-orologis

Banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau

merupakan salah satu contoh dari tidak berfungsinya hutan

untuk menjaga tata air. Air hujan yang jatuh tidak dapat

diserap dengan baik oleh tanah, laju aliran permukaan atau

runoff begitu besar. Air Hujan yang jatuh langsung

mengalir ke laut membawa berbagai sedimen dan partikel

hasil dari erosi permukaan. Terjadinya banjir bandang

dimana-mana yang menimbulkan kerugian harta maupun nyawa.

Masyarakat yang terkena dampaknya kehilangan harta benda

dan rumah tempat mereka berteduh akibat terbawa banjir

bandang, bahkan ditambah kerugian jiwa yang tak ternilai

harganya.

2. Kemiskinan dan Kerugian secara ekonomis

Masyarakat Indonesia akan bertambah miskin jika kita tidak

mempunyai hutan, itulah yang dikatakan Presiden Bambang

Yudhoyono. Departemen Kehutanan mengemukakan bahwa

kerugian negara per hari mencapai Rp. 83 milyar, itu hanya

dari kerusakan hutan akibat penebangan liar.

3. Hilangnya Biodiversitas

Hutan Indonesia memiliki beranekaragam spesies flora dan

fauna, penebangan dan pengrusakan hutan menyebabkan

spesies-spesies langka akan punah. Bahkan spesies yang

belum diketahui nama dan manfaatnya hilang dari permukaan

bumi. Hutan Indonesia yang termasuk hutan hujan tropis

memiliki 3000 jenis tumbuhan di dalam satu hektar ditambah

lagi jenis satwa yang ada di dalamnya. Jika laju

deforestasi yang mencapai 1-2 juta hektar per tahun tidak

dapat dicegah maka hutan-hutan tropis ini akan hilang.

4. Perubahan Iklim dan Pemanasan Global

Hutan sebagai paru-paru dunia penghasil oksigen bagi semua

mahluk di bumi tidak bisa menjalankan fungsinya mendaur

ulang karbondioksida. Karbondioksida di udara semakin

tinggi menyebabkan efek gas rumah kaca.

5. Kerusakan Ekosistem Darat maupun Laut

Pengertian dan definisi hutan sebagai suatu kesatuan

ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam

hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan

dengan lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat

dipisahkan. Jika salah satu komponen hutan di rusak, akan

berpengaruh terhadap komponen ekosistem yang lain.

Hubungan keterkaitan antara struktur dan fungsi di dalam

ekosistem berjalan dalam keseimbangan yang harmonis,

tetapi bila struktur hutan menjadi rusak, akibat dan

dampaknya akan mempengaruhi fungsi hutan itu sendiri.

Kerusakan tidak hanya terjadi pada ekosistem hutan di

darat, namun berdampak pada kerusakan ekosistem di laut

juga. Akibat kerusakan hutan terjadi erosi dan banjir

membawa sedimen ke laut yang merusakan ekosistem laut.

Ikan dan Terumbu karang sebagai mahluk hidup diperairan

mendapat akibat dari aktivitas pengrusakan di darat.

Kerusakan seperti ini sangat dirasakan oleh pulau-pulau

kecil di Indonesia, dengan ciri daerah das yang pendek dan

topografi yang curam sangat cepat pengaruhnya terhadap

lingkungan laut.

6. Abrasi Pantai

Bila pohon-pohon di pesisir pantai ditebang maka tidak ada

lagi perlindungan bagi kawasan pantai. Salah satu fungsi

hutan mangrove maupun hutan pantai adalah menjaga daerah

pantai dari hempasan ombak laut. Ombak laut yang menerjang

pesisir pantai, dapat menyebabkan abrasi pantai.

7. Intrusi dari Laut

Air laut dapat meresap sampai ke darat jika hutan-hutan

pesisir seperti hutan mangrove dan hutan pantai dirusakan.

Ditambah “penambangan” air sebagai kebutuhan hidup rumah

tangga yang menyedot terus persediaan air tanah tanpa

adanya keseimbangan infiltrasi dari air hujan yang jatuh.

8. Hilangnya budaya masyarakat

Dirasakan sangat nyata bahwa hutan menjadi sumber

penghidupan dan inspirasi dari kehidupan masyarakat.

Berbagai ragam budaya yang terkait dengan hutan seperti

simbol-simbol dan maskot yang diambil dari hutan, misalnya

Harimau sebagai maskot dari Reog, pencak silat sebagai

seni bela diri Indonesia, Bekantan sebagai maskot dari

Kalimantan, dan sebagainya. Jika semua ini punah maka

hilanglah sumber inspirasi dan kebanggaan dari masyarakat

setempat.

Sumber :

Ayat, Asep dan Jusupta Tarigan. 2010. Hutan Desa Lubuk

Beringin : Skenario konservasi Kabupaten Bungo.

Rahmawaty. Hutan : Fungsi dan Peranannya bagi Masyarakat. Fakultas

Pertanian dan Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera

Utara.

Riyanto, Budi. 2004. Selayang Pandang Pengelolaan Kawasan Hutan

Di Indonesia. Bogor : Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan

Lingkungan.

Supriadi. 2010. Hukum Kehutanan Hukum Perkebunan di Indonesia.

Jakarta : PT Sinar Grafika.

Hasil Hutan Bukan Kayu. http://ilmuhutan.com/hasil-hutan-bukan-kayu/.

(Diakses 12 maret 2015)

Hutan Lindung Wanagama, Menikmati Pesona Alam Pegunungan.

yogyakarta.panduanwisata.id/hiburan/wanagama-hutan-

lindung-tempat-berteduh-pangeran-charles-saat-berkunujung-

ke-indonesia/ (Diakses 12 maret 2015)

Manfaat Dan Fungsi Hutan Lindung.

http://pengertian-definisi.blogspot.com/2012/03/manfaat-dan-fungsi-hutan-

lindung.html. (Diakses 12 maret 2015)