Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Menyongsong Era ...

8
PENGELOLAAN HU'ITAN PRODUMSI LESTARI MENUONGSBNG E M ECOLABEL ABAD 21 Oleh : Abbas Adhar Masyarakab Perhutanm Indonesia (MPI) dm Asosimi Pengusalra Hutan Indonesia (APHO, Jakarta Masalah lingkungan mulai rnengemuka dan bergulir setelah berlang- sungnya Konferensi Stockholm, Konferensi PBB tentang masalah-masalah Lingkungan, pada tahun 1972. Sejak saat itu secara sisternatis dan tents meningkat bergema suara-suara bagai bumi rnakin panas, efek rurnah kaca &bat ozon yang berlubang, pemusnahan plasma nutfak dan keanekaragman jenis serta berbagai hal yang berkaitan dengan halitas lingkungm. Memang patut &akui bahwa setelah rang dunia kedua, nrasyarakat dunia makin menyadari dan m adanya berbagai masalah Iingkungan yang mernpengaruhi kualitas kehidupan pa& u Timbulnya rnasalah linghngan pada dasarnya dipenganthi oleh dua faktor dominan, yaitu : a. Berkembang dan berlanjutnya pembangunan clan industrialisasi di negara mju. penduduk, keterbeiakmgm dan kerniskinan di negara berkernbmg dengan tuntutan-mtutan pemecahamya yang mendorong laju pembangunan mhg-masing . Kedua faktor dorninan tersebut mempenganth kondisi kawasan hutan global, sebagai penyangga dasar mutu lingkungan global. Menoleh ke belakang ke zaman rovolusi industri, di negara-negara yang dewasa ini mengenyam kenikrnatan sebagai negara maju, mtuk rnengernbangkan industrinya, mereka telah merubah kawasan hutannya menjadi daerah gertanian, menjadi ladang-ladang gandum, kebun-kebun kapas, lapangan tern&, eerobong asap pabrik, menjadi kota-kota metropolitan dst. Hal ini antara lain dapat disimak dari data kawasan hutan yang dimiliki beberapa negara rnaju, seperti tertera pada Tabel I.

Transcript of Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Menyongsong Era ...

PENGELOLAAN HU'ITAN PRODUMSI LESTARI MENUONGSBNG E M ECOLABEL ABAD 21

Oleh : Abbas Adhar

Masyarakab Perhutanm Indonesia (MPI) d m Asosimi Pengusalra Hutan Indonesia (APHO,

Jakarta

Masalah lingkungan mulai rnengemuka dan bergulir setelah berlang- sungnya Konferensi Stockholm, Konferensi PBB tentang masalah-masalah Lingkungan, pada tahun 1972. Sejak saat itu secara sisternatis dan tents meningkat bergema suara-suara bagai bumi rnakin panas, efek rurnah kaca &bat ozon yang berlubang, pemusnahan plasma nutfak dan keanekaragman jenis serta berbagai hal yang berkaitan dengan halitas lingkungm.

Memang patut &akui bahwa setelah rang dunia kedua, nrasyarakat dunia makin menyadari dan m adanya berbagai masalah Iingkungan yang mernpengaruhi kualitas kehidupan pa& u

Timbulnya rnasalah linghngan pada dasarnya dipenganthi oleh dua faktor dominan, yaitu :

a. Berkembang dan berlanjutnya pembangunan clan industrialisasi di negara m j u .

penduduk, keterbeiakmgm dan kerniskinan di negara berkernbmg dengan tuntutan-mtutan pemecahamya yang mendorong laju pembangunan mhg-mas ing .

Kedua faktor dorninan tersebut mempenganth kondisi kawasan hutan global, sebagai penyangga dasar mutu lingkungan global.

Menoleh ke belakang ke zaman rovolusi industri, di negara-negara yang dewasa ini mengenyam kenikrnatan sebagai negara maju, mtuk rnengernbangkan industrinya, mereka telah merubah kawasan hutannya menjadi daerah gertanian, menjadi ladang-ladang gandum, kebun-kebun kapas, lapangan tern&, eerobong asap pabrik, menjadi kota-kota metropolitan dst. Hal ini antara lain dapat disimak dari data kawasan hutan yang dimiliki beberapa negara rnaju, seperti tertera pada Tabel I.

Tabel I. Perbanduy:an Luas Kawasm HuW yang Birnilib Negara- negara Maju dengan Hutan Nasioml Indonesia

kendaraan bemotor, udara dengan berbagai

berkembang yang masyarakatnya untuk pembangunan dengan

sumberdaya alam yang &likinya, temasuk surnberdaya

'untuk memenuhi kebuauhan hidupnya

partisipasi dan tan

tu&h sebagai biang perusak lingkungm. Uang paling utama dewasa hi, t e r n m a negara-negara maju ymg me berkemmpuan lebih, bagai s e w a lebih nyata mend upaya-upaya pembangunm berkel*utan untuk g masyarakat dunia dm penin&kam mutu lingkungan globral.

Dalam kaitan ltulah sertifikasi ekolabeling mempunyal makna ekonomls yang sangat strategis. Karma beling berkaitan erat dengan lingkungan global, maka penerap erlakukan secara global pula, berlaku unmk semua pro& hutan, baik c h i b a h sedang (te~2perateforesi), boreal (Borealforesi) maupun dari daerah tropis (iyicalforest). Hams dijaga

sarnpai sertifikasi ekofabeling fustru menjadi sarana terselubung diskrirninasi perdagmgan Inasil-fiasil hutan.

Indonesia telah m n y A n benar betapa pentinpya sertifikasi ekolabeling tersebut, yaitu di satu pihak untuk menjqa kelestarian industrinya dm dl lain pihak untuk menjamin kelestanm linghngan nasional dan global.

sertifikasi ekolabeling tersebut imentif ekonornis yang &an at daya saing prduk-prd& am era globalisasi abad 21 yang

P karena itulah MIII bers m ersiapan-persiapan baik p

peraturamya, rnaupun pada tingkat fisiknya di lapangan. kita, telah menmpersiaph segala perangkat iunak dan p untuik mandiri dapat me peIPilaian yang benar dan adil atas pelaks pengelolm hutan lestari. Dewasa ini luta telalh siap menyosong era ekolabeling tersebut.

i/ Pengertim Pengelolaan Hutm L e s t ~ (:usfainable Forest Management, SFPM)

Supaya kita dapat bergerak &lam satu kerm& pola pikir dan pda , terlebh dahulu perlu &s pengertian dan persepsi kita

mengenai de f i s i SFM. Expert Panel ITTO rnenyi.lpulkan b&wa definisi operasional

mengenai SFM perlu mencakug unsur-unsur berikut :

tingkat bidversitas yang tinggi &dam konteks perencana- yang integradf yang mencakup jaringm kerja kawasan

h a s m konservasi. c. Menjaga stabilitras hngsi dan ekosistem hutan dengan penehan pa&

perneliharm produktivitas ternpat turnbuh (Sile Pzodudviiy), menjaga sumber be& (Plasma Nutfah) dan unsur biodiversitas yang diperlukan untu regenerasi dan pernel

di s e t a r dan sekaligus mengarnbil h p & yang rnemgikan.

i masyarakat cfan menyelesah

pemb a

Berdasarkan pehbangan yang cukup luas fsrsebut I'YTO mendehsikan SFM sebagai proses pengelolaan satu atau lebih tujuan pengeiolaan menyangkut prod&i hasil h u m dan jasa secara berkesinambungan, tanpa darnpak yang tidak &in lingkwngan maupun sosial, a m pewrangan nilai yarng dan potensinya pa& m a mendatarng.

Untuk itu, paling ti& ada ernpat aspek pokok yang pat& mendapat pern;ikiran $darn pengelolm h u m produksi sema lestari, yang mempakan

penjabarm dari h g s i ganda hutan, yaitu hngsi sosial ekonomis dm fungsi ekologis, yaitu : a. Aspek kepast-im d an surnberdaya Rutan

Untuk ini diperluk an dm kepastian , yang diikuti dengan pengendalian pelaks secara opersioml serta perencanaan pengelolaan

dan penetapan kawasan dengan pemmangm tatabatas yang jelas dan dikukuhkan secara yuridis.

b. Aspek kesinmbungan groduksi U n a ini perlu ditetapkan sistem silvikultur (sistem panen d m pembudidayaan) yang tepat sesuai dengan kondisi yang bersangkutm.

6. Aspek konservasi fauna, flora dan keanekarag jenis serta berbagal fungsi hutan bagi lingkungan.

d. Aspek manfaat ekonomi bagi pembmgunan bmgsa dan partisipas1 masyarakat .

Penerapm SFM di Indonesia

Sejak dini Indonesia telah menyadari bahwa pengelolaan hutan nasional s didasarkan pada kaidah-kaidah kelestarian.

Dari aspek kepastian huhrn, kita telah merniliki landasan pemdangan dan peraturan yang lengkap. Berawal dari ditetap UU Pokok Kehutanan, W No. 5/1967, yang diikuti dengan berbag ran pellaksanaannya kawasan hutan prduksi dkefola berdasarb sistem HPW, dirnana IlPH diberikm berdasarkan Forestry Agreement (FA) dan S K KIPW yang menetapkan berbagai syarat yang mewajibkm pengelolm hams berdasarkan kaidah-kaidah kelestarian dengan memperhatikan kepentingm dan mengikutser-

masyarakat sekitar. Dengan dikukuhkamya Kawasm Nutan Kesepakatan pada awal tahun delapan puluhan, maka kawasan hutan nasional telah dipolakan secara jelas, sesuai fungsi ganda hutan, yaitu sesuai fungsi sosial ekonomis dan hngsi ekologis. Untuk menjamin kelestarian fungsi sosial ekonomis tersebut ditetapkan 64 juta ha kawasan hutan produksi. Untuk menjarnin kelestarian fingsi ekologis, ditetapkan 49 juta ha kawasan lindung dm konservasi. Ditmbah pula dengan kawasan hutan produksi, yang dengan sistern siivikultur panen pilihan, ms ih tetap mampu memikul hngsi ekologis, m&a h g s i ekologis tersebut dipikul bersama oleh 113 juta ha kawasan hutan nasional. Ketigabelas juta ha kawasan tersebut telah dihkuhkan sebagai Hutan Tetap. Sementara itu untuk kepastian dan pengamanan agar sumber tersebut tidak diganggu untuk kepentingan-kepentingan Iain, maka ditetapkan 30 juta ha kawasan konversi, yang berada di bawah yurisdiksi Departemen Mehutanan, tetapi setiap saat dapat dialih fungsikan untuk kepentingm nir kehutanan.

Untuk menjamin kearnanan kawasan MPFI yang bersangkutan, hams dipancangkan tata batas yang dikukuhkan oleh Pemerintah cq. Departemen

pohon-pohon komersid yan

Berapa banyaknya volume yang &pat +anen setiap tahun, ditetgpkan oleh Departemen Kehutanm berdasarlkan hasil survey lapangan (nmber Cruising) d e n p iratensitas 100%, yang mennberi gvnbaran b

rencanakan. V o l u e panen yang yang diperhitungkan dari hasil s panen p i l h tersebut, bukan saja kelestarian produksi

an dan kesegaran u&ra

an ini sama sekali

bagi nzasyarakat sekitar, supaya ti@ lagi

, dikembangkan pula pro Bina Desa SeEtar Wutm,

Ar& sasaran seaifikasi ecolabelling pada procfuk-produk kehutanan adalah dalm ran* mencegA pernerosotan an hutan terhadap halitas lingkungan, sehingga ecolabelh pula dikaitkan dengan adanya perang- kat aturan nasional &lam pe aan dan pengelolaan hutan mnurut fungsinya bagi kehidupan. Seyogyanya ada h a n g batas mink1 kawasan hutan yang dinzilih oleh suatu negara. Sebab prosentase kawasan hutan yang kecil terhadap luas daratan suatu negara, berarti juga rnernberlkan sumbangan yang kecil pula pa& halitas 1iry:kungan global. a salah satu kunci pokok dalam penerapan se i ecolabellrng adalah adanya Badm yang patut memberikan Serrtifi ut. Badan tersebut hams Adukung oleh pakar yang independent di negara yang bersangkum yang diawasi dan diakrdtasi oleh Badm 'dnternasiond ymg independent juga. hdonesia yang sejak d u n 1993 telah memil* Kelompok Kerja rnenge indenpendent, diphpin Prof. Dr. Emil Sdim dengan ke

dan LSM. Sejak semula Kelompok Kerja ini telah memusa&an pada System Ecolabelling Indonesia dengan sasaran : menetapkan checklist Pengelolam Hutan Lestari serta rnermcmg institus1 dan mekan~sme pennberian Sertifikasi Ecolabelling. Kelornpok Ke j a tersebut dewasa ini telah berbentuk Yayasan yang tick& mencari untung, dengan nama Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan telah berupaya mengadakan uji coba dan rnemyarakatkan Kriteria dan Checklist dalam pelaksanm langsmg di NPH Contoh. Hasihya &an terns disempurnakan, sehingga penilaian terha* pengelolaan secara lestari suatu IIPH benar-bemr dapat diterapkan di lapangm secara efektif dan efisien.

Bagi Indonesia, dengan keunggulan-keunwlan komparatif yang dirnilikinya, penerapan ka iu - f idah kelestanan &lam hutan produksinya ymg beraiti penerapan ekolabel &an merupakan dorongan untuk peningkatan daya saing menuju keunwlan kompetitif. Diperlukan kajian yang lebih mendalm

yang d iper lub untuk sertifikasi ha i l hutan. Kalau biayanya kepada perusah-, di smping merupakan tarnbaIilan blaya,

komponen yang sangat kecil b&an &pat yang lebih besar addah kemungkinan adanya si ti& sepenuhya efekif dan b e r h p a k nyata di lapangan. I r anya pembiayaan gabungan oEeh Pemerirntah &in asosiasi sebagai pembma yang paling berkepentmgan dm

ungjwab atas pelaksanaan pengelolam hutan lestan a m dan Dana i patut dipertimbangkan.

Dengas dasarhar ecolabelling seperti duraikan dl muka, Zndonesra telah siap m e w & era ekalabel dalam percabran global abad 2 1, baik secara

istratif penilaim dan kelembagaan,

dari pengem-bangan pe

be r sda dengan penuh dedikasi terjun berkarya langsung di lapangan c. Ddam mengembean WI mash tercatat adanya berbagai keilemahm a I .

1. Belunz cuhpnya infonnasi mengenal jenis-jenls tanman yang sesuaa dengan f&or-faktor ternpat tumbuh di kawasan yang ditunjuk darn sesuai pula dengan sasaran bahan baku industri yang akan dibangun

2. Mas& kurang cepatnya t u r n modal Pernerintah yang turut pa& usaha patungan HIl tersebut dan berbagai harnbatan

d. Masih adanya kele dalm kepastian h u h n dan kepastian bernsaha, seperti jangka waktu HPH dan IBIITI yang belum mernadai.

e. Masih belum cukup menyebarnya bibit leis-jenis rnermti dari stek yang telah berhasil dikernbangkan di Wsnariset.

f. Mas& belum berkembangnya R & D di tiap pems penelitian d a r n aspek efisiensi, dalm mengemban* dive penggunaan jenis-jenis kayu, diversifikasi groduksi dan &darn belrbagai aspek teknologi dan pengeloim.

g. Belum dipadukannya Program Bina Desa Mutm dengan P r o g r m Pembmglanm Pernerinth Daer& untuk mencapai efisiensi dan efektifitas program tersebut.

h. Belurn selesainya pemancangan tata batas HP&, ~ a i a Batas Hutan Produhi dan Nanaan LindunglMonservasi serta belurn diintegras Tata Guna Hutan Mesephtan &lam Rmcmgan Tata Wumg Nasional, s ehgga dl sana-sini masih saja thbul masalah tata batas, turnpang tindih

l&an dan setemsnya.

- - Era Ekslabel

Bertol* dari kerangka landasan yang telah a& dan dengan mengantisipasi kelemahan-kele , maka Strdegi Pemmtapan SFM menyongsong EcolabeIIing pe memperhat cfan rneneguhkan kerangka landasan tersebut lebih la ju t dengan pernbinaan dan pengawasan yang terns menerus serta diikuti oleh evaluasi dan perbaikan- perbaikan selrama dengan kondisi kongrit yang dihadapi serta perkembangan teknologi yang terus makin maju.

Secara spesifik strategi pemantapan &an mencakup asgek-aspek berikut :

1. Terns dikembangkan pembinam kesadaran pada pemilik dan management perusaham, bahwa menerapkan SFM secara utuh, baik dm benar adalah dem~ kelangsungan dan kesinambungan usalhanya. serta sebagai bagian d m gerak maju pembicngunan nasional, seh~ngga benar-benar rnerata clan mendalarn pada semua perusahzan lndustr~ kehutanan.

2. Perlu ditumbuhkan pendidikan rnenengah kejuruan kehutanan, dengan penjumsan ymg lebih spesifik, serta perpaduan yang seimbang antara

keterq i lan t e W darn kesiapan mental untuk tejun berkarya langsung di lapangan.

3. Pendidikan tinggi kehu perlu &tin&- bobot praktek dan pengenalan kehidupan di daerata operasi NIPH dan industrinya, dengan antara lain melalui sistem magang, sehingga mereka siap tejun di lapangan, baik secara teknis dan temtma secara mental.

4. Mernantapkan pola ke j a di dearah terpencil yang menarik para tenaga terarmpil.

b. Aspek pengmanm sumberdaya h t a n

1. Pemancangan d m pengu tatabatas hams terns ditingkatkan

makan Geographical In formafin System dengan tehologi yang selalu disesuaikm dengan perkembangan (up to date).

a hambatan-hantbatan prosedural dan ad?ministratif untuk percepatan pelaksanaan HTl, diikuti dengan penyediaan infomasi yang cukup mengenai bibit yang sesuai dengan kondisi lapangan darn sasaran bahan balm indudri yang dibangun.

4. Disebarluaskannya pembibitan sistem stek ke semua HPH. 5. Jan& waktu WPH dan W m supaya disesuaikm dengan rotasi panen

kepastian usaha. 6. Dikernbangkan Program Bina Desa sekitar hutan yang terpadu dengan

Brogran Bembagunan Daerah. 7. Diintegrasikan $an di kannya Kawasm Wutan berdasarkan

TGHK &lam Rencana Tata Rumg Nasiond. 8. Terns dikembangkmya R & D, baik secara mikro di tlap pernsahaan

maupun secara m&ro pa& tingkat nasional oleh lembaga-lehaga Pemerintah d m asosiasi.

c. Aspek pesmgkat dan kecelernbagam pelaksanaan ecolabelling

1 Lernbaga Ekolabel Indonesia supaya dakreditasi oleh Badan lfnternasional yang independen, dengan manajemen dan pemb~ayaan yang menjamin independensi dan. otonommya.

2 Mekanisme penilaian berdasarkm kriteria d m cheklist yang Itetapkm hams benar-benar mencapai sasaran secara efektif dan efisien.

3. Pelaksanaan ecolabelling hams mencakug s e m a produk hutan, baik dari daerah sedang, boreal maupun dari daerah tropis.

4. Menjaga supaya sertifikasi ekolabel tidak menjadl saran terselubung dalam menghambat perdagangan produk hutan tropis.