Penelitian Hutan Tropis

113
Penelitian Hutan Tropis Pengelolaan Unsur Hara pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia Petunjuk praktis kearah pengelolaan unsur hara terpadu

Transcript of Penelitian Hutan Tropis

Penelitian Hutan Tropis

Pengelolaan Unsur Harapada Hutan TanamanIndustri (HTI) di Indonesia

Petunjuk praktis kearahpengelolaan unsur hara terpadu

Penelitian Hutan Tropis

Pengelolaan Unsur Harapada Hutan TanamanIndustri (HTI) di Indonesia

Petunjuk praktis kearahpengelolaan unsur hara terpadu

Dr. Jens Mackensen

Eschborn, 2000

Nomor Penerbitan TÖB: FTWF-17i

Penerbit : Badan Kerjasama Teknis Jerman – DeutscheGesellschaft für Technische Zusammenarbeit(GTZ) GmbHPostfach 5180D-65726 Eschborn, Jerman

Penanggung jawab : Begleitprogramm Tropenökologie (TÖB)Dr. Claus Baetkeemail: [email protected]

Penulis : Dr. Jens Mackensen, Institut Ilmu Tanah danNutrisi Hutan, Universitas Goettingen, Buesgenweg2, 37077 Göttingen, Jermanphone: +49 (0)551 399529fax: +49 (0)551 303310email: [email protected]

Layout: Michaela Hammer

Penterjemah : Leti Sundawati

Diproduksi oleh : o.K.-Kopie, Wallau

© 2000 All rights reserved

Pengantar

Sebagai salah satu tema pokok pada United Nation Conference on Environment andDevelopment (Konferensi Lingkungan dan Pembangunan PBB) tahun 1992 yangdihadiri oleh 178 negara, Agenda 21 memuat seksi yang difokuskan kepada masalahkehutanan. Bersama-sama dengan Deklarasi Kehutanan UNCED, Agenda 21 menjadidasar bagi kerjasama internasional dalam pengelolaan, konservasi dan pembangunanyang berkesinambungan dari seluruh jenis hutan. Resolusi Rio juga memberikan dasarbagi proses modifikasi kebijakan nasional yang dirancang untuk menstimulasipembangunan yang berkesinambungan dan sesuai untuk lingkungan, baik di negara-negara industri maupun yang sedang berkembang.

Idealnya, pembangunan yang berkesinambungan dibangun berdasarkan tiga prinsiputama untuk semua kegiatan yang berhubungan dengan masalah kebijakan: efisiensiekonomi, keadilan sosial dan kelestarian ekologi. Dalam hubungannya denganpengelolaan sumberdaya-sumberdaya alam, hal tersebut berarti bahwa pemanfaatansumberdaya alam secara global tidak seharusnya menghalangi atau mengurangikesempatan-kesempatan pembangunan bagi generasi mendatang. Dengan keanekaragaman fungsinya, hutan-hutan diseluruh kawasan klimatis tidak hanya menyediakansalah-satu kebutuhan manusia yang terpenting namun juga melindungi keanekaragamanhayati di seluruh dunia. Karenanya, sumberdaya-sumberdaya kehutanan dan areal-arealberkayu harus dikelola, dilindungi dan dibangun secara lestari. Kalau tidak,ketersediaan kayu, pakan ternak, makanan, obat-obatan, bahan-bakar dan hasil-hutanlainnya untuk jangka-panjang tidak mungkin tersedia, juga tidak lestari dan sesuai untukmempertahankan fungsi-fungsi penting hutan lainnya seperti pencegahan erosi,konservasi biotop, dan penampungan dan penyimpanan gas rumah-kaca CO2.

Proyek “Tropical Forest Research“, yang diimplementasikan oleh Lembaga KerjasamaTeknis Jerman atau Deutsche Gesellschaft fuer Technische Zusammenarbeit (GTZ)GmbH atas nama Kementrian Federal Jerman untuk Kerjasama Ekonomi danPembangunan atau German Federal Ministry for Economic Cooperation andDevelopment (BMZ), bertujuan untuk mengembangkan dasar ilmiah bagi pembangunanhutan lestari dan berangkat dari situ menyokong pengimplementasian kesepakatan Riodidalam konteks kerjasama pembangunan.

Penelitian terapan dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman kita mengenaiekosistem-ekosistem hutan tropis dan hubungan timbal-baliknya dengan aspek-aspekekonomi dan sosial dalam pengembangan manusia. Proyek tersebut juga digunakanuntuk mempromosikan dan memberikan keberanian kepada generasi muda Jerman yangberorientasi praktek dan peneliti-peneliti lokal sebagai dasar untuk pengembangan dandiseminasi sistem-sistem produksi hutan yang sesuai dari segi ekologi, ekonomi dansosial.

Melalui satu seri publikasi, proyek “Tropical Forest Research“ memberikan hasil-hasilstudi dan rekomendasi-rekomendasi aksi yang tersedia dalam suatu bentuk yangumumnya komprehensif, baik untuk organisasi-organisasi dan institusi-institusi yangaktif bergerak dalam bidang kerjasama pembangunan maupun untuk masyarakat luasyang tertarik dalam hal-hal kebijakan lingkungan dan pembangunan.

I. Hoven Dr. C. v. TuyllKepala Divisi :Kebijakan Lingkungan, PerlindunganSumberdaya Alam, Kehutanan; CSD, GDF

Kementrian Federal Jerman untuk KerjasamaEkonomi dan Pembangunan (BMZ)

Kepala Divisi :Pembangunan Pedesaan

Badan Kerjasama Teknis Jerman (GTZ)

Daftar Isi

I

Daftar Isi

0 RANGKUMAN SARAN-SARAN UNTUK PENGELOLAAN

UNSUR HARA YANG LEBIH BAIK .................................................10.1 Pemilihan Lahan ...................................................................... 10.2 Seleksi Jenis Pohon dan Pembangunan Tegakan........................ 30.3 Pengelolaan Unsur Hara........................................................... 40.4 Penggantian kehilangan unsur hara, pemupukan dan

alternatif-alternatif untuk pupuk mineral ................................... 7

1 TUJUAN DAN MAKSUD BUKU PETUNJUK INI ..........................13

2 PRODUKTIVITAS LAHAN, KESUBURAN TANAH DAN

PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN...........................................15

3 KARAKTERISTIK JENIS-JENIS TANAH UTAMA DAN

KEANEKARAGAMAN PERSEDIAAN UNSUR HARA...................173.1 Parameter Kesuburan Tanah................................................... 173.2 Jenis-jenis tanah utama dan kisaran persediaan unsur hara ....... 193.3 Variasi kecil dalam kandungan unsur hara............................... 223.4 Peta tanah sebagai alat dasar perencanaan pengelolaan hutan

tanaman................................................................................. 23

4 PENGELOLAAN UNSUR HARA: TEORI DAN TERMINOLOGI....27

5 PENAKSIRAN FLUKS UNSUR HARA SPESIFIK LAHAN.............335.1 Penaksiran kehilangan unsur hara yang disebabkan oleh

pemanenan tegakan................................................................ 345.1.1 Contoh penaksiran kehilangan unsur hara yang

disebabkan oleh pemanenan tegakan ...................................... 36

5.2 Penaksiran kehilangan unsur hara akibat kegiatan tebang-bakar 36

5.2.1 Contoh penaksiran kehilangan unsur hara akibat

kegiatan tebang-bakar ............................................................... 39

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

II

5.3 Penaksiran kehilangan unsur hara melalui pencucian tanahakibat kegiatan-kegiatan pengelolaan (pencucian tanahtambahan) ..............................................................................40

5.3.1 Contoh penaksiran kehilangan unsur hara melalui

pencucian tanah akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan........42

5.4 Penaksiran kehilangan unsur hara melalui erosi akibatkegiatan-kegiatan pengelolaan (erosi ekstra/tambahan).............43

5.4.1 Contoh penaksiran kehilangan unsur hara melalui erosi

akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan .....................................45

5.5 Penjumlahan kehilangan unsur hara akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan (budget unsur hara) ................................46

5.5.1 Contoh penaksiran kehilangan unsur hara total akibat

kegiatan-kegiatan pengelolaan .................................................46

5.6 Perbandingan antara kehilangan-kehilangan unsur haraakibat kegiatan-kegiatan pengelolaan denganpersediaan/kandungan unsur hara ............................................48

5.6.1 Contoh penaksiran potensi unsur hara lahan .........................48

5.7 Peranan fluks unsur hara yang tidak dipengaruhi olehkegiatan-kegiatan pengelolaan.................................................49

6 PENGGANTIAN KEHILANGAN-KEHILANGAN UNSUR

HARA ..........................................................................................536.1 Jenis-jenis pupuk....................................................................546.2 Efisiensi pemupukan...............................................................556.3 Perhitungan kebutuhan pupuk untuk menggantikan

kehilangan unsur hara .............................................................566.3.1 Contoh penaksiran dosis pupuk untuk menggantikan

kehilangan unsur hara................................................................57

6.4 Pasokan unsur hara melalui penggunaan pupuk multi-unsurdan kebutuhan aktual tegakan..................................................58

6.5 Perkiraan penggunaan kapur/dolomit .......................................596.5.1 Contoh penaksiran jumlah kapur yang dibutuhan untuk

menurunkan keasaman ...............................................................60

Daftar Isi

III

7 EKONOMI HUTAN TANAMAN INDUSTRI ..................................637.1 Biaya penggantian unsur hara ................................................. 647.2 Analisa investasi.................................................................... 66

8 KESIMPULAN ..............................................................................69

9 DAFTAR PUSTAKA DAN PUSTAKA PILIHAN.............................719.1 Klasifikasi tanah, karakteristik tanah, evaluasi lahan................ 719.2 Konsentrasi unsur hara pohon dan perhitungan volume

pohon .................................................................................. 729.3 Pengaruh persiapan lahan, hidrologi, kehilangan karena

pencucian .............................................................................. 749.4 Pemanenan dan penanaman ulang........................................... 769.5 Kehilangan atmosferis ............................................................ 769.6 Erosi .................................................................................. 779.7 Pelapukan.............................................................................. 789.8 Pemupukan............................................................................ 789.9 Ekonomi hutan tanaman industri............................................. 81

10 DAFTAR KATA-KATA.................................................................83

11 LAMPIRAN...................................................................................87

Rangkuman saran-saran untuk pengelolaan unsur hara yang lebih baik

1

0 Rangkuman saran-saran untuk pengelolaan unsur

hara yang lebih baik

Konsep pengelolaan unsur hara, penaksiran kehilangan unsur hara dan

penggantiannya sebagaimana dijelaskan didalam buku ini menggambarkan

perlunya perubahan didalam pengelolaan hutan tanaman industri. Saran-saran

umum berikut ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam pengelolaan unsur

hara yang lebih baik didalam hutan tanaman industri.

0.1 Pemilihan Lahan

Pengelolaan hutan tanaman yang produktivitasnya dapat diterima secara

ekonomis hanya dapat dilakukan secara berkelanjutan di lahan-lahan yang

memiliki kondisi-kondisi iklim dan tanah yang sesuai. Produktivitas hutan

tanaman tergantung sepenuhnya pada kualitas lahan. Karena pembangunan

hutan tanaman industri membutuhkan investasi awal yang tinggi, maka

pemilihan lahan harus dilakukan dengan cermat. Jika pada pemilihan lahan di

awal pembangunan hutan tanaman areal-areal yang tidak produktif tidak

disisihkan, maka kerugian (finansial) yang cukup besar akan terjadi nantinya.

Saran-saran berikut ini diberikan untuk memastikan dilakukannya pemilihan

lahan yang sesuai:

• Evaluasi lahan perlu dilakukan sebelum perencanaan dan pelaksanaan

konversi lahan dan pembangunan hutan tanaman. Survai-survai lahan yang

dilakukan harus mencakup informasi dasar tentang ciri-ciri geografi dan

tanah pada tingkat kompartemen. Karakteristik tanah dapat ditentukan

terutama berdasarkan tekstur tanah yang dapat dicirikan dengan mudah

(lihat di bawah). Sebagai tambahan, nilai pH harus diukur untuk menetapkan

kelas-kelas tekstur tanah dan contoh-contoh tanah harus diambil untuk

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

2

keperluan analisis unsur hara. Sebagian besar dari informasi ini dapat

dikelompokan ke dalam kelas-kelas tertentu. Informasi ini selanjutnya

dipetakan dan disimpan dalam sistem informasi geografis (GIS).

• Informasi lahan tersebut tidak hanya berguna dalam pemilihan lahan,

tetapi juga memberikan dasar bagi suatu sistem informasi umum mengenai

tegakan dan lahan. Informasi lahan tentang geologi, ciri-ciri tanah dan

geografi akan dikombinasikan kemudian dengan informasi tentang

produktivitas tegakan (indeks lahan, tingkat pertumbuhan, volume

tebangan).

• Lahan-lahan yang berproduktivitas rendah atau mempunyai risiko erosi

yang tinggi tidak boleh dikonversikan menjadi hutan tanaman. Namun pada

prakteknya lahan-lahan semacam itu seringkali dikonversikan pada awalnya,

dan baru kemudian ditinggalkan dalam pembangunan hutan tanaman.

Praktek semacam ini membutuhkan biaya dan tidak layak secara ekologis.

• Lahan-lahan yang umumnya tidak sesuai untuk pembangunan hutan

tanaman adalah lahan-lahan dengan jenis-jenis tanah seperti Ferralsol dan

Acrisol (untuk identifikasi kedua jenis tanah tersebut lihat dibawah). Hal-hal

pembatas lainnya adalah: lereng-lereng curam (> 25°) dan tanah-tanah

dangkal (< 0,5 m). Fluvisol yang umumnya memiliki produktivitas tinggi

dan ditemukan di sepanjang pinggir sungai tidak boleh dikonversi menjadi

hutan tanaman, karena vegetasi (hutan galeri) disana dapat mencegah erosi

di sepanjang pinggir sungai dan juga dapat menangkap tanah dan unsur-

unsur hara dari areal hutan tanaman disekitarnya.

• Vegetasi alami yang disisakan ditempat yang lahannya tidak sesuai untuk

hutan tanaman berfungsi sebagai penghalang alami bagi kebakaran dan

memberikan kontribusi terhadap keanekaragaman hayati.

Rangkuman saran-saran untuk pengelolaan unsur hara yang lebih baik

3

0.2 Seleksi Jenis Pohon dan Pembangunan Tegakan

Pengelolaan hutan tanaman industri di Indonesia dan Malaysia didasarkan

hanya pada beberapa jenis pohon saja. Hal ini dapat menimbulkan akibat yang

serius dalam hal pengendalian hama dan persilangan sejenis (inbreeding).

Dalam hal produktivitas, jenis-jenis pohon itu menunjukkan kemampuan yang

saling berbeda. Contohnya Eucalyptus deglupta . Secara alami, jenis pohon ini

telah beradaptasi di daerah-daerah yang bebas gulma, mempunyai persediaan

(kandungan) air yang berlimpah, dan di pinggiran sungai yang berdrainase

baik. Di tempat-tempat tersebut, jenis pohon ini menunjukkan pertumbuhan

yang sangat baik. Akan tetapi jika ditanam di perkebunan, ia harus bersaing

dengan gulma yang akan mengurangi produktivitasnya dan juga

membutuhkan penyiangan yang teratur. Eucalyptus ditanam di daerah yang

sangat beragam kondisinya, dimana banyak diantaranya adalah daerah yang

relatif kering seperti puncak bukit dan daerah berlereng curam, sehingga tidak

sesuai untuk pertumbuhannya.

Dalam kaitannya dengan unsur hara, dapat dilihat dalam penjelasan

selanjutnya bahwa berbagai jenis pohon menunjukkan perbedaan sifat yang

jelas dalam hal pemanfaatan unsur-unsur hara, sehingga ketergantungan

mereka pada sumberdaya unsur hara di tanah juga sangat berbeda. Oleh

karena itu, perlu dilakukan pengujian terhadap produktivitas dan penyerapan

unsur hara dari berbagai jenis pohon dan provenience yang berbeda.

Pemanfaatan persediaan unsur hara tanah secara optimal dapat dicapai dengan

menyesuaikan jenis-jenis pohon/provenience dengan sifat-sifat kondisi lahan,

atau dengan membangun hutan tanaman campuran, serta dengan mengganti

jenis-jenis pohon/provenience setelah satu rotasi tebang (tanam).

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

4

0.3 Pengelolaan Unsur Hara

Pengelolaan unsur hara yang tepat adalah penting untuk kelestarian dan

produktivitas hutan tanaman industri. Pengelolaan/pemanfaatan lahan yang

berlebihan (terus-menerus) akan menghabiskan persediaan unsur hara tanah

dalam beberapa rotasi tanaman saja dan akan menyebabkan penurunan

produktivitas lahan. Pengelolaan unsur hara menyangkut dua hal, yaitu

pencegahan kehilangan unsur hara dalam jumlah besar dan

penggantian/kompensasi dari kehilangan unsur hara tersebut.

Jelas bahwa tidak semua penyebab kehilangan unsur hara dapat dihindarkan.

Kehilangan unsur hara yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan pengelolaan

(lihat di bawah) akan selalu terjadi. Tetapi sebagaimana yang akan

dikemukakan di bawah, pengelolaan hutan tanaman industri yang tepat dapat

mengatur kehilangan unsur hara secara substansial, dan karenanya dapat

mempertahankan produktivitas serta menghindari biaya tambahan serendah

mungkin, seperti biaya untuk pemupukan.

a) Pencegahan praktek-praktek tebang-bakar (slash-burn) adalah hal

terpenting dalam usaha untuk mengelola unsur hara secara lebih baik.

Sistem tebang-bakar mengakibatkan hilangnya unsur hara ke atmosfir dan

selanjutnya menyebabkan kehilangan-kehilangan unsur hara akibat

pencucian lahan dan erosi (lihat bawah). Seringkali praktek tebang-bakar

dilakukan dengan alasan-alasan bahwa hal itu diperlukan untuk

membersihkan lahan sebelum penanaman sehingga mempermudah

aksesibilitas, memungkinkan tingkat penanaman yang lebih baik dan

mencegah terjadinya kebakaran semak-semak. Namun demikian, sebagian

besar dari alasan-alasan tersebut didasarkan pada konsep-konsep

pengelolaan secara tradisional. Oleh karena itu, alternatif-alternatif sistem

pengelolaan yang baru perlu dikembangkan. Secara ekonomi, penggunaan

Rangkuman saran-saran untuk pengelolaan unsur hara yang lebih baik

5

mesin-mesin tebang atau pembuatan jalur-jalur tanaman (lihat Evans,

1992) mungkin dapat diperbandingkan dengan sistem tebang-bakar.

Namun, untuk itu penelitian lebih lanjut dan studi kasus pada skala lokal

tetap diperlukan. Jika biaya untuk sistem tebang-bakar dibandingkan

dengan biaya untuk sistem alternatif lainnya, seperti penanaman pada

lajur yang sudah ada vegetasinya, maka yang harus diperhitungkan tidak

hanya tenaga kerja yang dibutuhkan, melainkan juga biaya-biaya untuk

penggantian unsur hara melalui pemupukan. Dalam hal ini, kemungkinan

besar pembuatan jalur-jalur penanaman adalah versi yang paling murah

dalam hal penyiapan lahan. Disamping itu, banyak uji-coba penanaman

dengan Acacia mangium membuktikan bahwa lahan-lahan yang tidak

dibakar mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan

lahan-lahan yang dibakar (Sim dan Nykvist, 1991; Nursidiq, 1992;

Nykvist et al., 1994).

b) Untuk melakukan pencegahan secara intensif terhadap pengakumulasian

sisa penebangan di lokasi penanaman, maka suatu sistem pengelolaan

tumbuhan bawah yang sesuai harus dikembangkan. Uji coba yang

dilakukan dengan tanaman-tanaman penutup lahan (seperti Pueraria

javanica atau Centrocema pubesecens) menunjukkan hasil yang

menjanjikan. Tanaman penutup tersebut mampu bersaing dengan

tumbuhan bawah lainnya, sehingga kebutuhan untuk melakukan

penyiangan dan penyediaan penutup tanah (mulsa) sangat dikurangi.

Disisi lain, tanaman penutup hanya dapat ditanam pada lahan yang bebas

gulma, sehingga untuk itu perlu dilakukan pembakaran lahan terlebih

dahulu. Penelitian-penelitian tentang tanaman penutup menunjukkan

bahwa banyaknya N yang di’ikat‘ oleh tanaman penutup adalah sama

dengan kehilangan N ke udara pada saat pembakaran tumbuhan. Tanaman

penutup, seperti halnya tanaman bawah alami lainnya, memainkan

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

6

peranan penting pada saat pemanenan tegakan dan saat penanaman

kembali. Sebagian besar dari kehilangan unsur hara melalui pencucian

lahan diperkirakan akan terjadi ketika pohon-pohon diambil/ditebang(lihat

di bawah). Dalam hal ini, tanaman penutup tanah jenis apapun akan

membantu menahan unsur hara didalam kawasan perakarannya, sehingga

meminimalkan kehilangan melalui pencucian tanah dan erosi.

c) Akibat-akibat pemanenan yang menggunakan alat-alat berat harus

dikurangi sedapat mungkin. Penggunaan alat-alat berat yang tidak sesuai,

khususnya di lereng-lereng dan didekat sungai, menimbulkan efek-efek

negatip, seperti peningkatan erosi dan pemadatan tanah. Penyaradan kayu

dengan sistem kabel (cable yarding), khususnya melalui penyaradan

(tergantung) di udara, merupakan cara yang lebih ekonomis dan lebih baik

ditinjau dari segi unsur hara tanah. Di areal-areal yang tidak sesuai untuk

sistem kabel, penggunaan alat berat harus mengacu pada prinsip:

Penggunaan suatu alat (mesin) pemanen yang ringan yang dapat

meminimalkan pemadatan tanah harus menjadi suatu kewajiban. Alat alat

ini dapat digunakan dengan baik bahkan pada kondisi yang sulit, dan

sudah memiliki pengalaman yang sangat panjang di hutan-hutan tanaman

di negara-negara Eropa. Penggunaan mesin apapun (mesin potong,

angkut, traktor) harus dibatasi secara ketat hanya sampai pada jalan-jalan

sarad. Karenanya, pelaksanaan pemanenan harus direncanakan dengan

tepat. Peletakan jalan-jalan sarad harus berorientasi keatas bukit dan jalan

utama harus berada di bagian puncak. Pelintasan sungai-sungai kecil

harus dihindari untuk mengurangi erosi parit kearah lereng sebelah atas.

d) Penaksiran aliran (keluar/masuk) unsur hara (lihat di bawah) memberikan

kemungkinan untuk menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk

pengaturan pemberian unsur hara yang tepat dalam pengelolaan hutan

Rangkuman saran-saran untuk pengelolaan unsur hara yang lebih baik

7

tanaman yang intensif. Melalui itu, tindakan pemupukan yang diperlukan

dan sesuai dengan kondisi lahan dan jenis pohon yang ditanam dapat

diperkirakan. Perhitungan budget unsur hara berdasarkan kepada jenis

pohon, tanah dan opsi-opsi pengelolaan sebaiknya dimasukkan kedalam

studi kelayakan hutan tanaman serta rencana pengelolaan dan investasi.

Selanjutnya disarankan pula untuk mempertimbangkan budget-budget

unsur hara sebagai suatu kriteria dalam pensertifikasian hutan tanaman

industri.

0.4 Penggantian kehilangan unsur hara, pemupukan dan

alternatif-alternatif untuk pupuk mineral

Apabila saran-saran yang dikemukakan diaatas diikuti, maka kehilangan

unsur hara dapat dikurangi sampai pada tingkat minimum. Walaupun

demikian, kehilangan unsur hara tersebut harus diganti untuk menjamin

produktivitas lahan dalam jangka panjang. Kebutuhan untuk penggantian

unsur hara tergantung kepada kondisi lahan dan sejarah pembangunan hutan

tanaman tersebut. Dibawah ini diberikan beberapa prinsip berkenaan dengan

manajemen pemupukan.

a) Salah satu pertanyaan utama berkenaan dengan pemupukan adalah

dimana dan kapan pemupukan dilakukan. Dapat diasumsikan bahwa

besarnya kehilangan unsur hara akibat pembangunan hutan tanaman

adalah sebanding pada berbagai macam lahan, dan bahwa penipisan unsur

hara lebih cepat terjadi pada lahan-lahan yang miskin. Pada lahan yang

miskin, pemupukan dilakukan lebih awal dalam kehidupan tanaman dan

dalam interval yang lebih pendek. Pada lahan yang relatip baik, seperti

Alisols yang terletak disebelah bawah lereng, pemupukan mungkin

diperlukan dalam jumlah yang lebih sedikit atau hanya pada saat rotasi-

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

8

rotasi tanaman berikutnya. Keputusan apakah pemupukan akan dilakukan

dan berapa jumlah pemupukannya, sebaiknya didasarkan kepada

perhitungan budget unsur hara. Penurunan indeks lahan (IL, tinggi rata-

rata dari pohon-pohon tertinggi didalam tegakan) juga mengindikasikan

adanya kebutuhan akan pemupukan.

Dalam contoh kasus di Kaltim yang akan diuraikan di bawah, pemupukan

pada tanah-tanah Ferralsol dan Acrisol yang miskin, seperti juga pada

lahan-lahan di lereng sebelah atas, seharusnya dilakukan segera pada saat

penanaman. Pemupukan awal semacam ini tidak begitu penting pada

sebagian besar lahan pada posisi-posisi lereng sebelah bawah dan dapat

ditunda sampai munculnya tanda-tanda awal penurunan produktivitas

(misalnya penurunan IL). Lahan-lahan seperti Calsisol tidak perlu

dipupuk dengan N dan P atau kapur, tetapi harus dijaga dari kekurangan

unsur K.

b) Perlu diingat bahwa buku petunjuk ini memandang pemupukan sebagai

suatu cara untuk mengganti kehilangan unsur hara akibat pembangunan

hutan tanaman secara umum. Pendekatan ini berbeda dengan pemupukan

yang dilakukan untuk memperbaiki kekurangan unsur hara tertentu.

Kekurangan unsur hara, seperti unsur P dalam bentuk yang dapat

dimanfaatkan oleh tanaman atau unsur-unsur hara mikro pada umumnya,

dapat dilihat dengan menggunakan indikator-indikator seperti perubahan

didalam warna jaringan atau anatomi tanaman (lihat Evans, 1992).

Indikator-indikator tersebut ditetapkan berdasarkan percobaan-percobaan

pemupukan jangka panjang yang dilakukan pada jenis-jenis tanaman

tertentu di suatu wilayah tertentu, dan karenanya tidak dapat diterapkan

begitu saja di tempat lain. Walaupun demikian, penggantian unsur hara

secara umum dari paling tidak sebagian unsur hara yang hilang akibat

Rangkuman saran-saran untuk pengelolaan unsur hara yang lebih baik

9

pembangunan hutan tanaman akan memperbaiki kekurangan unsur hara

makro yang spesifik pada lahan tersebut secara keseluruhan.

c) Pertanyaan bagaimana dan kapan melakukan pemupukan akan menjadi

sangat penting jika pemupukan harus dilakukan dalam jumlah yang besar.

Pada umumnya pemupukan dilakukan secara manual, yang mana hal

tersebut membutuhkan banyak tenaga kerja dan berjalan relatif lambat.

Pada sisi lain, pemupukan manual memungkinkan pemberian pupuk

secara langsung dan tepat, serta dapat dikombinasikan dengan baik

dengan kegiatan penyiangan atau pemeliharaan lahan. Dalam hal ini,

penggunaan traktor ringan untuk pemupukan mungkin lebih ekonomis,

namun penggunaannya terbatas hanya pada tempat-tempat yang relatif

datar. Selain itu, pemupukan hanya dapat dilakukan secara lajur dan

melalui penaburan.

d) Pemupukan umumnya dilakukan langsung pada saat penanaman atau

sesaat kemudian. Namun demikian, pemupukan juga dapat dilakukan

selama rotasi tanaman berjalan, demikian juga pada rotasi-rotasi tanaman

berikutnya. Tegakan-tegakan muda biasanya menunjukkan reaksi

pertumbuhan yang cepat sebagai respon terhadap pemupukan. Namun,

banyak contoh (lihat Evans, 1992) menunjukkan bahwa peningkatan laju

pertumbuhan yang dipacu oleh pemupukan akan menurun dalam waktu

yang singkat, dan bahwa volume total dari tegakan-tegakan yang dipupuk

dan yang tidak dipupuk pada akhirnya kurang-lebih akan sama kembali.

Karena alasan tersebut, beberapa studi menyarankan untuk melakukan

pemupukan pada akhir rotasi tanaman, walaupun pengalaman dalam hal

ini masih sangat sedikit tersedia. Pemupukan sepanjang rotasi juga dapat

dilakukan sebagai suatu alat/cara untuk membagi-bagi pemupukan yang

dibutuhkan kedalam beberapa pemupukan kecil yang sesuai. Sebagaimana

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

10

akan disebutkan di bawah, kehilangan unsur hara akibat pencucian dan

tingkat imobilisasi yang tinggi dari pupuk buatan dapat diperlambat

dengan menggunakan pupuk-pupuk yang terurai secara perlahan dan/atau

dengan melakukan pemupukan-pemupukan kecil secara teratur.

e) Untuk mendapatkan pengalaman lokal tentang hubungan antara pupuk,

tanah dan pohon, maka harus dilakukan uji-coba pemupukan. Sebuah

pengantar untuk mendesain uji-coba pemupukan diberikan oleh Evans

(1992). Uji-coba lokal akan memberikan informasi yang diperlukan untuk

mengoptimalkan jumlah pupuk, jenis dan kombinasi-kombinasinya, serta

efek-efek sampingan dari pemupukan.

f) Mahalnya penggantian unsur hara melalui pemupukan dengan pupuk-

pupuk mineral menyebabkan, bahwa dalam pengelolaan hutan tanaman

industri sangat diperlukan adanya tindakan-tindakan alternatif lainnya

selain pemupukan Dalam hal ini, pemeliharaan unsur hara dan tanah

adalah aturan umum untuk menjaga kehilangan unsur hara sekecil

mungkin dalam pembangunan hutan industri. Aspek-aspek utama disini

adalah: Pemilihan lahan, pencegahan praktek tebang-bakar, penggunaan

tehnik pemanenan yang berdampak rendah dan pembatasan akses mesin-

mesin/alat-alat berat, minimalisasi erosi, pengelolaan tumbuhan bawah

dan tumbuhan penutup tanah, serta penyesuaian dan kombinasi jenis

pohon. Dua hal lain yang dapat ditambahkan adalah: pemberian pupuk N

melalui penggunaan jenis pohon yang dapat memfiksasi N atau

mengkombinasikan jenis pohon (misalnya Eucalyptus sp.) dengan pohon

yang dapat memfiksasi N (misalnya Acacia sp.), dan penggunaan sisa-sisa

kulit pohon dalam bentuk mulsa atau abu.

Penanaman jenis pohon yang dapat memfiksasi N atau pencampuran

jenis-jenis pohon tersebut dengan jenis pohon lainnya menjajikan hasil

Rangkuman saran-saran untuk pengelolaan unsur hara yang lebih baik

11

yang baik, khususnya pada tanah-tanah yang miskin unsur hara N (seperti

lahan miskin dalam studi di Kalimantan). Jenis pohon yang dapat

memfiksasi N diketahui dapat memfiksasi N sampai sejumlah 500

kg/ha/tahun dan karenanya dapat memperkaya persediaan N tanah melalui

proses mineralisasi. Penjelasan terperinci tentang uji-coba penanaman

jenis-jenis pohon secara campuran diberikan oleh FAO (1992). Pada sisi

lain, percobaan-percobaan dalam penelitian juga menunjukkan bahwa

pencampuran jenis-jenis pohon mungkin tidak cocok untuk dilakukan

pada tanah-tanah yang relatip kaya akan unsur N, karena hal tersebut tidak

akan berpengaruh atau malah berpengaruh negatip terhadap jenis-jenis

pohon yang tidak dapat memfiksasi N.

Kulit pohon kaya akan unsur-unsur hara. Oleh karena itu disarankan untuk

meninggalkan kulit pohon yang ditebang di tempat penebangan, dimana

kulit tersebut bisa dipergunakan dan berfungsi sebagai bahan mulsa yang

dapat menutupi tanah, mengurangi resiko erosi dan meningkatkan

kelembaban tanah. Namun demikian, pengulitan pohon di lokasi tanaman

mungkin sulit secara teknis (misalnya Eucalyptus) dan/atau mahal.

Seringkali kulit pohon digunakan sebagai bahan bakar di pabrik kertas.

Sisa-sisa abunya relatip murah dan merupakan alternatif yang sangat

efisien untuk pupuk mineral standar. Abu mineral adalah sumber unsur-

unsur hara K, Ca dan Mg yang baik, tetapi tidak layak sebagai sumber N

atau P. Pembakaran kulit pohon akan mengakibatkan kehilangan hampir

100 % dari N awal didalam kulit pohon, sedangkan fraksi unsur P di

dalam abu tidak mudah larut dalam larutan tanah, sehingga mungkin tidak

cukup untuk mengganti kehilangan unsur P. Abu kulit pohon

menyediakan unsur-unsur hara untuk lahan, tetapi tidak dapat digunakan

untuk mengganti seluruh kehilangan unsur hara akibat kegiatan-kegiatan

pengelolaan hutan tanaman. Perhitungan potensi dari abu kulit pohon

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

12

harus disertai dengan analisis kandungan unsur hara dalam abu dan harus

didasarkan pada tingkat efisiensi pemupukan sebagaimana diberikan di

bawah.

Tujuan dan Maksud Buku Petunjuk ini

13

1 Tujuan dan Maksud Buku Petunjuk ini

Pembangunan hutan tanaman industri (HTI) berkembang dengan cepat di

negara-negara beriklim tropis. Semakin menurunnya pasokan kayu dari hutan

alam, berkembangnya keinginan nasional untuk mengembangkan dan

mempromosikan industri-industri pengolahan kayu khususnya pulp dan

kertas, relatip mudahnya pengelolaan jenis pohon yang cepat tumbuh dan

tegakan-tegakan monokultur, serta besarnya harapan akan produktivitas yang

tinggi, menyebabkan hutan tanaman industri memainkan peranan yang

semakin penting/meningkat di dalam sektor kehutanan di daerah tropis.

Disamping popularitas dan biaya investasi yang tinggi, masih sedikit sekali

diketahui perpektif jangka panjang dari HTI, terutama dalam hal produktivitas

tegakan dan penyediaan unsur-unsur hara. Sejumlah fakta yang ada

memperlihatkan, bahwa selain adanya faktor-faktor lain yang mengancam

hutan tanaman (hama, kebakaran), produktivitas lahan seringkali rendah atau

menurun pada rotasi tanaman kedua (berikutnya) yang disebabkan oleh

kesuburan lahan yang rendah dan pelaksanaan pengelolaan yang kurang baik.

Melihat bahwa pengelolaan lahan mempengaruhi kesuburan lahan dalam

jangka panjang secara langsung, maka dalam buku petunjuk ini akan

didiskusikan akibat-akibat dari pengelolaan lahan terhadap keadaan dan

ketersediaan unsur hara pada lahan yang dikelola, serta menguraikan

kemungkinan-kemungkinan untuk memperbaiki ketersediaan dan pasokan

unsur-unsur hara dan produktivitas tegakan melalui pengelolaan unsur hara

yang tepat.

Buku petunjuk ini menjelaskan konsep pengelolaan unsur hara sebagaimana

yang dapat diterapkan pada hutan tanaman industri di daerah tropis.

Penekanan diberikan disini terutama kepada hubungan antara kesuburan

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

14

lahan, pengelolaan hutan tanaman dan produktivitas tegakan. Karena

kesuburan lahan merupakan hal yang paling penting dalam pengelolaan hutan

tanaman, maka hal-hal seperti kesuburan tanah, persediaan unsur hara tanah

dan variasinya pada jenis-jenis tanah terpenting didiskusikan dengan

menggunakan contoh-contoh dari suatu HTI di Kalimantan Timur. Contoh-

contoh tersebut disertai pula dengan penjelasan terperinci mengenai

perhitungan dan survai persediaan unsur hara tanah secara umum. Hal itu

dilakukan untuk memudahkan pengelola hutan tanaman dalam mengakomodir

faktor-faktor yang relevan dibawah kondisi-kondisi spesifik yang mereka

hadapi. Perhitungan budget unsur hara, sebagai alat terpenting dalam

pengelolaan unsur hara yang sudah maju, akan dijelaskan secara terperinci.

Perkiraan/penaksiran berbagai aliran (fluks) unsur hara yang disebabkan oleh

kegiatan-kegiatan pengelolaan seperti pemanenan kayu, pencucian tanah,

praktek tebang-bakar dan erosi juga akan dipaparkan dalam buku ini. Hal

tersebut dilakukan agar pendekatan-pendekatan spesifik dapat dilakukan

untuk situasi ‘standar’ pada sebagian besar HTI di pulau-pulau luar Jawa dan

di Malaysia. Penaksiran setiap fluks (aliran) akan didemonstrasikan dengan

contoh-contoh. Dalam hal ini, perhatian khusus diberikan kepada hubungan

antara pengelolaan hutan tanaman dengan besarnya kehilangan unsur-unsur

hara melalui berbagai fluks. Pada bagian akhir, aspek-aspek yang berkaitan

dengan penggantian unsur hara yang hilang melalui pemupukan akan

didiskusikan. Selanjutnya akan ditambahkan pula penjelasan terperinci untuk

perhitungan jumlah pupuk yang diperlukan beserta contoh-contohnya.

Hasil-hasil studi secara terperinci, termasuk penilaian ekonomis mengenai

kehilangan unsur-unsur hara akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan

tanaman di Kalimantan Timur, Indonesia, merujuk pada sebuah publikasi

GTZ-TOEB yang ditulis oleh Mackensen dan Foelster (1999).

Produktivitas Lahan, Kesuburan Tanah dan Pengelolaan Hutan Tanaman

15

2 Produktivitas Lahan, Kesuburan Tanah dan

Pengelolaan Hutan Tanaman

Produktivitas lahan, yang pada umumnya dievaluasi melalui tinggi pohon

rata-rata (Indeks Lahan) atau volume tegakan, tergantung kepada faktor-

faktor iklim dan kesuburan tanah. Curah hujan dan penyebarannya serta

kapasitas penahanan air dari tanah sangat menentukan produktivitas tegakan.

Lahan yang optimal biasanya mempunyai periode musim kering yang pendek

serta tanah berlempung sampai liat berlempung dan tanah liat. Dalam

hubungannya dengan unsur-unsur hara tanah, pertumbuhan maksimum dapat

diharapkan pada tanah-tanah yang kaya akan unsur hara, baik unsur-unsur

hara makro (N, P, K, Ca, Mg) maupun unsur-unsur hara mikro (Mn, Fe, Zn,

Cu, Br).

Namun, tanah yang subur biasanya digunakan untuk tujuan-tujuan pertanian,

sedangkan hutan tanaman seringkali dikembangkan diatas tanah-tanah tua,

yang sudah mengalami pelapukan lanjut dan bersifat asam (Ultisols, Oxisols,

Alfisols) serta mempunyai kandungan unsur hara yang rendah. Akibatnya,

produktivitas lahan pada tanah-tanah seperti itu akan jauh lebih rendah

daripada pada tanah-tanah yang sekarang digunakan untuk pertanian. Adanya

perbedaan antara riap pohon rata-rata tahunan di berbagai tempat/lahan

dengan data-data dari beberapa literatur seringkali disebabkan karena data

riap yang tinggi tersebut diperoleh pada tanah-tanah yang mempunyai

kandungan unsur hara yang benar-benar baik.

Kesuburan tanah juga dipengaruhi oleh pengelolaan hutan tanaman itu

sendiri. Pengelolaan yang dilakukan secara intensif dan terus-menerus akan

menghabiskan persediaan unsur hara tanah dan mengakibatkan penurunan

produktivitas lahan. Hal ini terlihat dengan jelas terutama pada tanah-tanah

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

16

yang kandungan unsur haranya rendah, misalnya pada sebagian besar lahan

hutan tanaman di Kalimantan Timur, Indonesia. Di Jari, yaitu sebuah hutan

tanaman yang luas di daerah Amazon, Brasil, berkurangnya kation basa

secara serius, terutama Ca dan K, baru dapat dibuktikan setelah 2-3 rotasi

tanaman, yang mengakibatkan terjadinya pemiskinan tanah serta penurunan

produktivitas lahan. Pergantian jenis pohon yang ditanam (Gmelina arborea

diikuti dengan Eucalyptus urograndis dan Pinus caribaea) tidak dapat

mengubah keadaan, dan karenanya pemupukan dalam jumlah yang besar tetap

diperlukan untuk menjaga produktivitas lahan disana.

Walaupun demikian, tindakan-tindakan pengelolaan hutan tanaman

berpotensi untuk memperbaiki kesuburan lahan. Di padang rumput yang

terdegradasi, contohnya, penanaman pohon/vegetasi tutupan pada suatu saat

akan membantu pengakumulasian bahan-bahan organik yang akan

memperbaiki tingkat mineralisasi, permeabilitas tanah serta kapasitas tanah

untuk menyimpan hara dan air.

Dapat disimpulkan bahwa interaksi langsung antara pengelolaan hutan

tanaman, kesuburan tanah dan produktivitas lahan adalah faktor kunci untuk

dapat memahami dan melakukan pengembangan pengelolaan unsur hara yang

lebih baik di lahan-lahan hutan tanaman.

Karakteristik Jenis-jenis Tanah Utama dan Keanekaragaman Persediaan Unsur Hara

17

3 Karakteristik Jenis-jenis Tanah Utama dan

Keanekaragaman Persediaan Unsur Hara

Pentingnya peranan (pokok) kesuburan tanah dalam produktivitas lahan

menyebabkan perlunya dilakukan pengujian mengenai karakteristik jenis-

jenis tanah utama dan keragaman kandungan unsur haranya. Pemahaman

karakteristik tanah utama merupakan dasar untuk usaha-usaha

mempertahankan produktivitas hutan tanaman.

3.1 Parameter Kesuburan Tanah

Kesuburan tanah-tanah tropis sangat beragam dengan parameter-parameter

tanah dan kesuburan sebagai berikut :

a) bahan organik tanah (humus)

b) persediaan N dan P

c) kation-kation basa yang dapat dipertukarkan (K, Ca dan Mg)

d) kation-kation asam yang dapat dipertukarkan (keasaman tanah termasuk

H, Al, Fe, Mn dan NH4)

Jumlah bahan organik didalam tanah tergantung kepada jumlah biomas pada

lokasi tersebut dan kecepatan pergantian bahan organik. Pada daerah-daerah

dataran rendah di kawasan tropis, kadar bahan organik tanah di bawah hutan

dalam horison 0-100 cm berkisar antara 75 sampai 125 Mg/ha. Pada

umumnya, kadar bahan organik yang tinggi didalam tanah menggambarkan

kondisi tanah yang subur: kapasitas penyimpanan unsur hara dan air yang

tinggi, serta aktivitas fauna dan mikroba yang tinggi yang karenanya

mempercepat proses mineralisasi dan meningkatkan permeabilitas akar dalam

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

18

tanah. Disisi lain, penumpukan lapisan organik di permukaan tanah

menunjukkan kondisi tanah yang asam dan perbandingan C/N yang rendah.

Pada tegakan-tegakan pohon yang dapat memfiksasi nitrogen (misalnya

Acasia mangium, Paraserianthes falcataria, Leucaena leucocephala)

akumulasi N pada lantai hutan lebih tinggi dibandingkan dengan tegakan-

tegakan pohon yang tidak dapat memfiksasi nitrogen (misalnya Eucalyptus

sp. dan Pinus sp.). Jumlah (kandungan) N dan P didalam tanah seringkali

mengacu kepada jumlah total N dan P (Nt dan Pt) didalam tanah. Walaupun

demikian, persentase dari N dan P yang dapat diserap tanaman sebenarnya

jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan Nt dan Pt. Karena masalah-

masalah metodologis dan ketidakpastian dalam penaksirannya, maka

penentuan jumlah N dan P yang dapat diserap tanaman jarang dilakukan.

Keberlimpahan kation-kation basa dan tingkat keasaman tanah berhubungan

secara timbal balik. Keduanya dinyatakan sebagai persentase dari kapasitas

pertukaran kation efektif atau ECEC (Effective Cation Exchange Capacity)

tanah (lihat Rumus 1-3). Semakin tinggi tingkat kejenuhan basa, semakin

rendah keasaman tanah. Jumlah kation untuk setiap jenis tanah berbeda,

tergantung terutama kepada curah hujan tahunan, tingkat pelapukan dan

formasi tanah.

ECEC = jumlah kation yang dapat dipertukarkan pada pH tanah

= kation basa (K, Ca, Mg) + keasaman tanah (terutama Al, Fe) (Rumus 1)

Kejenuhan basa = (K + Ca + Mg / ECEC) * 100 (Rumus 2)

Al-jenuh = (Al / ECEC) * 100 (Rumus 3)

Karakteristik Jenis-jenis Tanah Utama dan Keanekaragaman Persediaan Unsur Hara

19

Pengasaman tanah adalah suatu proses pembetukan tanah yang alami. Apabila

tersedia waktu yang cukup, serta terjadi pergantian bahan organik dan

perkolasi air, maka semua jenis tanah cenderung akan meningkat

keasamannya. Hal ini dibuktikan dengan turunnya pH tanah sepanjang waktu.

Berbagai studi di hutan tanaman menunjukkan, bahwa pH menurun secara

nyata dalam beberapa tahun penanaman.

3.2 Jenis-jenis tanah utama dan kisaran persediaan unsur

hara

Mengingat betapa beragamnya berbagai jenis tanah utama di wilayah tropis

dan sub-tropis, maka tidak mungkin untuk menguraikan semua keragaman

karakteristiknya didalam buku petunjuk ini. Gambaran dan penjelasan yang

baik tentang itu diberikan didalam World Reference Base for Soil Resources

(1994) dan di dalam peta tanah dunia dari FAO (1988). Namun, bagi para

pengelola hutan tanaman yang bekerja secara lokal (hanya pada lahan-lahan

tertentu), keragaman sifat-sifat tanah dalam suatu wilayah yang luas kurang

begitu penting. Petunjuk ini disusun dengan mengacu kepada sebuah lahan di

suatu tempat tertentu dan berfungsi sebagai sebuah contoh untuk lahan-lahan

hutan tanaman lainnya di daerah itu.

Lokasi studi terletak di sebuah hutan tanaman industri di sebelah Barat Daya

Balikpapan di Kalimantan Timur, Indonesia (0°22’S-1°00’LS; 116°30’BT-

117°00’BT). Wilayah ini bercirikan iklim tropika basah dengan curah hujan

tahunan rata-rata antara 2000-2500 mm, dan suhu rata-rata tahunan 26°C.

Secara geologi wilayah ini dicirikan oleh sedimentasi-sedimentasi tanah liat,

debu dan pasir tersier. Di sebagian kecil areal tersebut dijumpai batuan kapur

dari jaman Miosen. Topografinya berbukit-bukit dengan lereng-lereng yang

tajam tetapi pendek, serta dasar-dasar lembah dan puncak-puncak bukit yang

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

20

sempit. Rata-rata panjang kelerengan antara 50 sampai 200 m.

Alisol dan Acrisol (menurut klasifikasi tanah FAO, WRB 1994) ditemukan

pada 80 % areal konsesi hutan yang diteliti, seperti halnya di seluruh pulau

Kalimantan. Menurut klasifikasi tanah Amerika Serikat, tanah jenis ini

sebanding dengan tanah jenis Ultisol (USDA, 1994). Tanah-tanah ini

dicirikan oleh pH yang rendah (pH(H2O): 4,5-4,8), tingkat kejenuhan

Alumunium yang tinggi (56-91%), tingkat ECEC 18-26 cmol+/kg tanah liat

pada meter teratas, dan kandungan tanah liat sebesar 20-40 %. Uraian tentang

karakteristik-karakteristik tanah yang menonjol diberikan didalam Tab. 1.

Tanah-tanah yang berpasir dan miskin unsur hara dari jenis Feralsol dan

Arenosol (menurut klasifikasi FAO, WBR 1994) ditemukan pada 10-15 %

dari areal konsesi. Tipe-tipe tanah ini sebanding dengan Oxisol dalam

klasifikasi tanah Amerika Serikat (USDA, 1994). Tanah-tanah Feralsol dan

Aeronosol memiliki ECEC yang lebih rendah, yaitu sekitar 9-10 cmol+/kg

tanah liat. Selain itu, kandungan tanah liatnya (10-20 %) juga lebih rendah

dibandingkan dengan tanah-tanah jenis Acrisol dan Alisol, tetapi mempunyai

pH serta kejenuhan Al yang hampir sama (68-80 %). Karakteristik-

karakteristik lainnya disajikan dalam Tab. 1. Ultisol dan Oxisol bersama-sama

dengan Alfisol berjumlah lebih dari 50 % dari tanah-tanah di kawasan tropika.

Ditambah dengan Inceptisol dan Psamment yang memiliki sifat-sifat kimia

yang sama tetapi lebih muda dan lebih dangkal, maka persentase jumlah jenis-

jenis tanah yang asam dan miskin unsur hara ini meningkat menjadi sekitar

67 %.

Selain jenis-jenis tanah yang khas (zonal) untuk wilayah tersebut, terdapat

juga dua macam tipe tanah yang tidak lajim (azonal). Calsisol dapat

ditemukan pada batuan kapur dan Fluvisol terdapat di dasar-dasar lembah

yang sempit (menurut klasifikasi FAO, WBR 1994). Kedua tipe tanah

Karakteristik Jenis-jenis Tanah Utama dan Keanekaragaman Persediaan Unsur Hara

21

tersebut sangat subur dengan pH(H2O) berkisar antara 6.2-7.1, kejenuhan basa

mencapai 100 % dan ECEC yang sangat tinggi (100-460 cmol+/kg tanah liat).

Fluvisol memiliki kandungan tanah liat antara 25 sampai 36 % dan

kandungan pasir kurang dari 5 %. Ciri-ciri selanjutnya diuraikan pada Tab. 1.

Kandungan unsur hara total didalam zona perakaran utama (0-100 cm

kedalaman tanah) dihitung berdasarkan konsentrasi unsur hara, kerapatan

tanah dan persentase masa dari kerangka tanah (kandungan bahan induk =

batuan). Faktor-faktor tersebut berbeda tergantung kepada perbedaan

kedalaman tanah (Tab. 1). Oleh karena itu, keragaman tersebut penting untuk

ditaksir. Disarankan untuk membedakan kelas-kelas kedalaman tanah sebagai

berikut: 0-10 cm, 10-30 cm, 30-50 cm dan 50-100 cm.

NStanah/d-cl [ kg/ha] = NCd-cl [ kg/kg] * BD [ kg/m³] * 10.000 m² * d [ m] (Rumus 4)

dimana : NS tanah/d-cl = kandungan unsur hara tanah per kelas kedalaman, NCd-cl = konsentrasi unsur

hara per kelas kedalaman, BD = kerapatan tanah per kelas kedalaman d = dalamnya kelas

kedalaman

Bila data untuk konsentrasi unsur hara diberikan dalam unit-unit mol maka

rumus berikut yang digunakan :

NCelemen[ µg/g] = NC elemen [ µmolc/g] * (berat atomik/ valensi) elemen (Rumus 5)

dimana : NC elemen = konsentrasi unsur hara per elemen, berat atom dan valensi elemen yang

diberikan.

Kandungan unsur hara tanah untuk tipe-tipe tanah utama di Kalimantan Timur

disajikan pada Tab. 2.

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

22

3.3 Variasi kecil dalam kandungan unsur hara

Perbedaan nyata dalam kandungan unsur hara diantara berbagai jenis tanah

disebabkan oleh perbedaan relief tanah. Relief (posisi pada lereng) merupakan

sebuah faktor yang penting karena menentukan pergerakan dari bahan-bahan

tanah dan unsur-unsur hara kebawah lereng dalam bentuk: pengangkutan

unsur-unsur hara yang terlarut oleh aliran lateral air tanah dibawah permukaan

tanah, erosi dari abu oleh aliran permukaan tanah, erosi dari humus dan tanah

permukaan yang kaya akan unsur hara dibawah hutan, serta erosi tanah pada

saat kegiatan geomorfis pada masa lalu.

Kandungan unsur hara tanah pada lereng sebelah atas, tengah dan bawah

dapat berbeda-beda. Sebagai akibatnya, produktivitas lahan juga berbeda-

beda pada posisi-posisi tersebut. Kandungan unsur-unsur C, N dan P hanya

sedikit berbeda atau tidak memperlihatkan aturan (penyebaran) yang jelas

pada posisi-posisi lereng yang berbeda, sedangkan kandungan kation basa

pada lereng sebelah bawah pada umumnya antara 20 sampai > 100 % lebih

tinggi dibandingkan dengan pada lereng bagian atas (Tab. 3). Indeks lahan

(tinggi pohon-pohon dominan) pada umumnya meningkat dengan makin

tingginya kandungan kation basa tanah. Hal ini juga dipengaruhi oleh lebih

tingginya kandungan air tanah pada posisi-posisi lereng bagian bawah. Oleh

karena itu, pertumbuhan tegakan biasanya lebih baik pada posisi-posisi lereng

bagian tengah dan bawah. Selanjutnya, karena lereng-lereng yang curam

sangat mudah tererosi, maka pada lereng-lereng semacam itu seringkali

dijumpai tanah-tanah yang dangkal, yang mempunyai kandungan unsur hara

dan air yang rendah, dan sebagai akibatnya mempunyai produktivitas dibawah

rata-rata.

Karakteristik Jenis-jenis Tanah Utama dan Keanekaragaman Persediaan Unsur Hara

23

3.4 Peta tanah sebagai alat dasar perencanaan pengelolaan

hutan tanaman

FAO (1984) dan Evans (1992) memberikan pertimbangan-pertimbangan

dasar dalam penyiapan dan pengembangan-lahan hutan tanaman, termasuk

pemilihan lahan yang layak serta penilaian dan klasifikasinya berdasarkan

produktivitas lahan. Berikut ini akan dipaparkan pentingnya pemetaan tanah

sebagai alat dasar perencanaan dalam pengelolaan hutan tanaman serta

langkah-langkah utama untuk pengumpulan data tanah lokal.

Pemetaan karakteristik-karakteristik tanah utama penting dilakukan dalam

penyeleksian dan pemilihan lahan hutan tanaman dan jenis pohon yang akan

ditanam. Contohnya, apabila kondisi tanah dan distribusi berbagai jenis tanah

yang berbeda pada lokasi yang akan ditanam diketahui, maka produktivitas

lahan disitu pada masa yang akan datang dapat diperkirakan. Hal tersebut

akan membantu dalam perencanaan pengelolaan lahan, misalnya dalam

perencanaan program pemupukan yang tepat atau pengidentifikasian lahan-

lahan yang tidak produktif secara ekonomis.

Pemetaan tanah yang luas sering dihambat oleh kurang tersedianya informasi

dasar tentang keadaan geologi setempat dan peta-peta topografi yang dapat

diandalkan. Apabila informasi dasar semacam itu tersedia, maka pemetaan

tanah secara lokal dapat dilakukan. Untuk meminimalkan biaya yang

diperlukan, pemetaan sebaiknya dilakukan dengan fokus hanya pada beberapa

parameter tanah yang terpenting dan suatu skema contoh yang luas. Untuk itu

disarankan melakukan langkah-langkah berikut ini:

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

24

a) Survai data-data yang tersedia: Peta-peta geologi dan topografi, potret-

potret udara, hasil-hasil survai tanah sebelumnya di daerah tersebut,

publikasi-publikasi ilmiah menyangkut daerah tersebut, dll.

b) Rancangan transek (garis) diletakkan mengikuti roman geomorfologi

utama, seperti gradien lereng dan dasar lembah, yang melintasi bahan

geologi yang berbeda sebagaimana diidentifikasikan dalam peta-peta

geologi atau singkapan-singkapan batuan. Pemetaan tanah tersebut

dilakukan sebelum konversi lahan.

c) Bor-bor tanah (panjang 0-50 atau 0-100 cm) digunakan untuk

memudahkan pengambilan contoh tanah, sehingga memungkinkan

identifikasi tanah di lapangan. Untuk mengurangi biaya, identifikasi tanah

dapat dibatasi hanya sampai pada identifikasi tekstur tanah atau

kandungan tanah liat. Kadang-kadang pH tanah di lapangan juga diukur

dengan menggunakan kertas indikator. Tekstur tanah merupakan indikator

utama dari kesuburan tanah. Tanah lempung yang berliat biasanya

memiliki kandungan unsur hara total yang lebih tinggi daripada tanah

yang berpasir. Tekstur tanah dapat ditentukan secara manual di lapangan

(Lampiran 2). Walaupun demikian, sejumlah contoh tekstur tanah tetap

harus diverifikasi melalui analisa laboratorium. Sebaiknya juga dilakukan

pengkelasan tanah berdasarkan kandungan liat dari contoh-contoh tanah

hasil pemboran, misalnya: 0-15 %, 16-30 %, 31-45 % dan > 45 % liat.

Tanah-tanah yang menunjukkan ciri tekstur tanah (kandungan liat) yang

sama tetapi berbeda dalam warnanya harus dibuat sub-kelasnya

berdasarkan nilai pH lapangan.

d) Ciri-ciri khusus seperti kedalaman tanah yang dangkal (< 0,5 m atau

< 1 m) yang menunjukkan pergeseran/longsoran tanah (land slide) atau

erosi yang hebat, perubahan tahunan dari kedalaman (level) air, dan lain-

Karakteristik Jenis-jenis Tanah Utama dan Keanekaragaman Persediaan Unsur Hara

25

lainnya harus diamati.

• Contoh-contoh tanah yang mewakili jenis-jenis tanah utama (misalnya

menurut tekstur tanah) sebagaimana diidentifikasikan di lapangan perlu

dianalisa untuk mengetahui ciri-ciri fisik dan kimianya. Agar dapat dianggap

mewakili, maka contoh-contoh tanah tersebut harus mencerminkan

kandungan liat rata-rata per kelas tanah, posisi-posisi lereng yang berbeda

(lihat di atas) dan jumlah pengulangan yang cukup

(> 10). Analisa fisik dan kimia tanah harus dilakukan menurut standar

internasional (Methods of soil analysis, America Society of Agronomy,

1982 atau Methodenbuch Band 1, Untersuchungen von Böden, Verband

Deutscher Landwirtschaftlicher Untersuchungs- und Forschungsanstalten,

1997).

e) Tanah-tanah yang memiliki ciri-ciri tekstur, pH dan kedalaman tanah

yang hampir sama dapat dikelompokkan ke dalam unit-unit pengelolaan

tanah. Pengelompokkan tersebut harus mencerminkan perbedaan di dalam

iklim (curah hujan dan suhu) yang misalnya disebabkan oleh perubahan

ketinggian.

Pengelolaan Unsur Hara: Teori dan Terminologi

27

4 Pengelolaan Unsur Hara: Teori dan Terminologi

Pengelolaan unsur hara berbicara tentang penggunaan unsur-unsur hara

tanaman yang terpenting dengan tepat. Unsur-unsur hara tersebut tidak selalu

tersedia secara kontinyu pada suatu lahan, tetapi ketersediaannya berubah-

ubah. Pengelolaan lahan yang intensip akan mengurangi atau bahkan

menghabiskan unsur-unsur hara yang tersedia. Pengelolaan unsur hara dalam

hal ini meliputi teknik-teknik untuk meminimalkan kehilangan-kehilangan

unsur hara yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan pengelolaan lahan, dan

untuk memastikan tersedianya unsur hara dalam jumlah yang sesuai. Konsep

dasar dari pengelolaan unsur hara dapat dijelaskan sebagai berikut :

Gambar 1. Tegakan hutan tanaman dewasa di Kalimantan Timur, Indonesia.Ditampilkan tiga kemungkinan variasi tanaman bawah, yaitu:(1) hanyaberupa horison organik O, (2) tumbuhan bawah berupa semak-semak, yangseringkali terdiri dari Imperata cylindrica atau Chromolaena odorata dan (3)tumbuhan bawah dengan jenis-jenis pionir (seringkali Macaranga spp.) ataujenis pohon komersial (misal : Eusideroxylon zwageri). Berbagai aliran(fluks) unsur hara yang diperhitungkan adalah: (a) pengendapan (deposisi) airhujan, (b) pencucian tanah, (c) penyerapan unsur hara melalui pohon, (d)pelapukan batuan, serta (e) fiksasi N.

a

2

3

b

c

d

e

1

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

28

Fluks atau aliran-aliran unsur hara dapat didefinisikan sebagai jalur-jalur

pengangkutan unsur hara. Fluks menyebabkan perubahan

persediaan/kandungan unsur hara dalam suatu sistem selama satu periode

waktu tertentu. Dalam hal ini, sistem didefinisikan sebagai tegakan hutan

tanaman yang mencakup segala sesuatunya, mulai dari puncak pohon sampai

zona perakaran: semua tumbuhan dan binatang, demikian pula atmosfir

(udara), litosfir (tanah) dan hidrosfir (air).

Gambar 2. Hutan tanaman pada saat pemanenan. Perbedaan ditunjukkan antara(1) penggunaan alat-alat berat yang menyebabkan erosi berat dan pemadatantanah dengan (2) penggunaan sistem kabel (yarding) yang meminimalkan erosidan pemadatan tanah. Proses-proses yang digambarkan: (a) pemanenan kayu,(b) sisa tanaman (sisa penebangan) ditinggalkan di lokasi, (c) pemadatan tanahdan perusakan tanah bagian atas, (d) erosi parit dan erosi lembar

1 2

a

b

c

c

d

d

Pengelolaan Unsur Hara: Teori dan Terminologi

29

Unsur hara yang masuk (fluks positip) dan unsur hara yang keluar (fluks

negatip) yang relevan digunakan untuk menghitung budget unsur hara dari

suatu ekosistem. Jika fluks positip dan fluks negatip seimbang selama jangka

waktu tertentu (Rumus 6), maka suatu keadaan yang mantap dicapai dan

sistem tersebut stabil dalam hal kesuburan lahan dan produktivitas. Budget

unsur hara yang seimbang biasanya ditemukan pada sistem-sistem hutan alam

yang tidak terganggu, sedangkan kegiatan pengelolaan hutan akan merubah

budget unsur hara tegakan hutan kearah ketersediaan unsur hara yang

tingkatnya lebih tinggi atau lebih rendah. Jika budget unsur hara positip, maka

lebih banyak unsur hara yang diperoleh daripada yang hilang (Rumus 7). Hal

ini akan menyebabkan pengakumulasian unsur hara dalam jangka panjang,

dan sebagai akibatnya kesuburan dan produktivitas sistem tersebut (misalnya

hutan tanaman) akan semakin tinggi. Budget unsur hara yang negatip

menunjukkan kehilangan unsur hara yang lebih tinggi daripada yang

diperoleh (Rumus 8). Sebagai hasilnya adalah berkurangnya persediaan unsur

hara dan kesuburan lahan, yang kemudian akan menyebabkan penurunan

produktivitas tegakan.

Budget unsur hara tetap: unsur hara masuk = unsur hara keluar (Rumus 6)

Budget unsur hara positip: unsur hara masuk > unsur hara keluar (Rumus 7)

Budget unsur hara negatip: unsur hara masuk < unsur hara keluar (Rumus 8)

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

30

Gambar 3. Hutan tanaman pada tahap pembersihan dan penyiapan lahan.Perbedaan dibuat antara (1) penyiapan lahan dengan pembakaran sisa tebangandan (2) sisa tebangan ditinggalkan tanpa dibakar. Jika pilihan kedua yangdiambil, maka titik penaman atau jalur penanaman harus dibuat sebelumanakan pohon ditanam. Proses-proses yang digambarkan adalah: (a) kehilanganunsur hara melalui penguapan dan pengangkutan partikel abu, (b) lapisan abudan tanah mineral yang tidak terlindung, (c) erosi parit dan erosi lembar serta(d) vegetasi semak sekunder.

Aliran-aliran unsur hara (fluks) dapat dibedakan kedalam bentuk intra-sistem

dan antar-sistem. Fluks unsur hara intra-sistem, seperti daun-daunan yang

jatuh, ranting yang patah dan dekomposisi akar, menghasilkan perubahan

dalam pengalokasian unsur-unsur hara didalam sistem, tetapi tidak merubah

status unsur hara dalam sistem secara keseluruhan. Sebagai contoh, daun-

daunan yang jatuh menghasilkan transfer unsur hara (yang tersimpan didalam

daun) kedalam tanah mineral. Disitu daun-daunan tersebut terdekomposisi

sehingga unsur hara yang dilepaskan tersedia bagi tanaman untuk diserap.

Namun perubahan internal dalam alokasi unsur hara ini tidak merubah

kualitas unsur hara di dalam sistem (persediaan unsur hara atau stok) secara

1 2

c

c

b

b

a

d

Pengelolaan Unsur Hara: Teori dan Terminologi

31

keseluruhan. Fluks unsur hara antar-sistem, contohnya pemasukan unsur hara

melalui pengendapan dari atmosfir serta pengeluaran unsur hara melalui

pencucian tanah dan penguapan, akan menghasilkan penambahan atau

pengurangan unsur hara dalam sistem (Rumus 6-8). Oleh karena itu, fluks

unsur hara antar-sistem menentukan budget unsur hara. Perubahan-perubahan

didalam fluks unsur hara antar-sistem secara langsung mempengaruhi

kesuburan lahan dan produktivitas tegakan dalam jangka panjang.

Fluks unsur hara antar-sistem (di sini disingkat NF yang diambil dari istilah

Nutrient Flux) dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) fluks yang tidak

dipengaruhidan (2) fluks yang dipengaruhi/ditentukan oleh kegiatan-kegiatan

pengelolaan lahan. Fluks unsur hara yang tidak dipengaruhi oleh kegiatan-

kegiatan pengelolaan (disingkat sebagai iNF) mencakup seluruh fluks-fluks

yang terjadi didalam suatu ekosistem yang tidak terganggu (misalnya hutan

alam primer) atau yang sebagian besar hampir tidak dipengaruhi oleh kegiatan

pengelolaan lahan dalam bentuk apapun. Fluks-fluks ini termasuk pemasukan

unsur hara melalui pengendapan dari atmosfir, fiksasi N secara biologis dan

pelapukan bahan induk tanah, serta pengeluaran unsur hara melalui pencucian

tanah, denitrifikasi, erosi dan kehilangan-kehilangan khusus atau kehilangan

dalam bentuk gas/penguapan (Gambar 1). Pengelolaan lahan (misalnya

konversi hutan, pembangunan hutan tanaman, pemanenan tegakan, dll.)

menghasilkan perubahan-perubahan biogeokimia yang muncul sebagai fluks-

fluks unsur hara yang ditentukan oleh kegiatan-kegiatan pengelolaan tersebut

(disingkat sebagai dNF). Komponen dNF utama adalah ekspor unsur hara

melalui pengambilan/ekstraksi batang pohon, pencucian lahan dan erosi

akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan di atas (“pencucian lahan ekstra” dan

“erosi ekstra”), serta penguapan/pengangkutan partikel-partikel abu akibat

praktek tebang-bakar (Gambar 2 dan 3).

Penaksiran Fluks Unsur Hara Spesifik Lahan

33

5 Penaksiran Fluks Unsur Hara Spesifik Lahan

Pengelolaan hutan tanaman menyebabkan perubahan fluks unsur hara dan

oleh karena itu perubahan dalam budget unsur hara, kesuburan dan

produktivitas tegakan (lihat di atas). Khususnya hutan tanaman yang dikelola

secara intensip dan terus-menerus dapat menghabiskan persediaan unsur hara

tanah, yang disebabkan oleh ekspor unsur-unsur hara melalui pemanenan dan

kehilangan-kehilangan potensial melalui penguapan, abu yang terbang, serta

erosi dan pencucian tanah. Semua hal tersebut tergantung antara lain kepada

tindakan-tindakan pengelolaan dalam jangka pendek.

Untuk menjaga kelestarian produktivitas tegakan selama beberapa rotasi/daur

tanaman dan agar penipisan tanah dapat dihindarkan, maka seluruh

kehilangan-kehilangan unsur hara tersebut harus diganti. Namun, untuk itu

sebelumnya perlu dilakukan penentuan semua fluks unsur hara antar-sistem

pada lahan yang bersangkutan. Dengan kata lain, untuk menjaga

keseimbangan budget unsur hara pada suatu lahan dan agar dapat menilai

pentingnya berbagai opsi pengelolaan pada lahan yang ditetapkan, maka

pengelola hutan tanaman paling tidak harus dapat menentukan secara kasar

tingkat fluks unsur hara yang terjadi akibat tindakan-tindakan pengelolaan

yang dilakukan.

Berikut ini akan dijelaskan penaksiran fluks-fluks unsur hara yang terpenting,

baik yang dipengaruhi maupun yang tidak dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan

pengelolaan, dengan menggunakan contoh-contoh dari Hutan Tanaman

Industri di Kalimantan Timur, Indonesia. Ekstrapolasi dari hasil-hasil yang

didapatkan akan dibatasi hanya pada areal-areal yang memiliki kondisi yang

sama. Kemudian, petunjuk yang terperinci akan diberikan, agar fluks-fluks

unsur hara lokal dan budget-budget unsur hara pada kondisi-kondisi yang

berbeda daripada yang dijelaskan disini juga dapat ditaksir.

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

34

5.1 Penaksiran kehilangan unsur hara yang disebabkan oleh

pemanenan tegakan

Ekspor unsur hara atau pengangkutan unsur hara keluar lahan yang

disebabkan oleh pemanenan tegakan merupakan fluks unsur hara antar-sistem

(NF) yang paling jelas disebabkan oleh kegiatan pengelolaan. Persediaan

unsur hara didalam batang dan kulit kayu diekspor dari lahan. Tingkat

kehilangan unsur hara tergantung kepada volume panen dan konsentrasi unsur

hara didalam batang dan kulit kayu. Untuk memperkirakan jumlah unsur hara

didalam batang dan kulit kayu yang dipanen, disarankan untuk melakukan

langkah-langkah berikut ini:

a) Mengukur volume total batang pohon dari tegakan pada saat pemanenan,

atau menghitungnya dari kurva pertumbuhan tegakan atau hutan tanaman

lain di daerah tersebut yang sudah dipanen dan memiliki jenis pohon yang

sama.

Vol [m³] = g 1..3 [m³] * h [m] * f (Rumus 9)

dimana: vol = volume batang (termasuk kulit kayu), g1..3 = basal area pada diameter setinggi

dada (tinggi dada = 1.3 m), h = tinggi pohon total, f = faktor bentuk, tanda * = tanda pengali

b) Menghitung volume batang tanpa kulit kayu dengan asumsi bahwa kulit

kayu merupakan bagian dari volume total. Perhitungan juga dapat

dilakukan dengan mengukur ketebalan kulit kayu pada beberapa diameter

batang berkulit yang mewakili (bagian atas, tengah dan bawah dari log)

dan kemudian menghitung volume batang tanpa kulit sebagai suatu fungsi

dari ketebalan kulit kayu dan diameter batang berkulit.

c) Sebagai tambahan atau alternatif untuk langkah 1 dan 2 adalah mengukur

berat masa kering dari batang dan kulit kayu. Jika data yang dapat

Penaksiran Fluks Unsur Hara Spesifik Lahan

35

dipercaya mengenai kerapatan kayu dan kulit kayu tertentu tersedia, maka

kemudian dapat dilakukan transformasi volume dan berat berdasarkan

data tersebut.

d) Mengukur konsentrasi unsur hara (berdasarkan unit volume atau berat)

secara terpisah untuk batang dan kulit kayu. Seringkali besaran

konsentrasi tersebut dapat diambil dari literatur. Konsentrasi unsur hara

pohon tergantung diantaranya kepada faktor-faktor seperti jenis pohon,

umur tegakan dan tipe tanah. Oleh karena itu, penting untuk

memperhatikan parameter-parameter yang sebanding jika

mengekstrapolasikan data konsentrasi unsur hara dari literatur. Jika data

literatur yang diperlukan kurang atau tidak tersedia, maka contoh-contoh

yang mewakili harus diambil untuk analisis kimia. Contoh-contoh tersebut

harus mecerminkan umur pohon pada saat dipanen, jenis pohon, tipe

tanah, variasi diameter pohon didalam tegakan, variasi tinggi per pohon

dan proporsi kayu teras dan kayu gubal.

• Menghitung persediaan unsur hara dalam batang-batang yang dapat

dipanen (dipisahkan kedalam kayu dan kulit kayu) :

NS kayu/kulit [kg/ha] = vol [ms³/ha]* kerapatan [kg/m³] * kons. [kg/ha] (Rumus 10)

dimana : NS kayu/kulit = persediaan unsur hara didalam kayu atau kulit, vol = volume kayu atau

kulit, kons. = konsentrasi unsur hara didalam kayu atau kulit.

Perhitungan persediaan unsur hara didalam tegakan yang dapat dipanen

dapat diperluas sampai kepada beberapa tingkat volume panen (lihat

contoh).

f) NL panen [kg/ha] = NS kayu [kg/ha] + NS kulit [kg/ha] (Rumus 11)

dimana : NL panen = kehilangan unsur hara melalui panen, NS kayu dan NS kulit lihat Rumus 10.

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

36

5.1.1 Contoh penaksiran kehilangan unsur hara yang disebabkan oleh

pemanenan tegakan

Pada tegakan-tegakan Acacia mangium dan Eucalyptus deglupta di lahan HTI

di Kalimantan Timur, jumlah unsur hara yang diekspor melalui pemanenan

tegakan dihitung berdasarkan data konsentrasi unsur hara (Tab. 4 dan Tab. 5)

dan hubungan berat dan volume (Tab. 6). Dengan asumsi bahwa volume

panen adalah sebesar 200 m³/ha, maka ekspor unsur hara mencapai 70-200 kg

N, K dan Ca per hektar, 2.6-3.7 kg P per hektar dan 10-20 kg Mg per hektar

(Tab. 7). Kehilangan unsur hara meningkat dengan semakin tingginya

volume pemanenan. Perbedaan dalam persediaan unsur hara berdasarkan jenis

pohon dapat dilihat dengan jelas. Sebagai jenis pohon yang dapat memfiksasi

N, maka Acacia mangium memiliki persediaan N dan Ca yang tinggi,

sedangkan persediaan K dan P di dalam kayu dan kulitnya lebih rendah

dibandingkan dengan Eucalyptus deglupta (Tab. 7). Proporsi kehilangan

unsur hara dari kulit kayu melalui pemanenan lebih tinggi untuk Acacia

mangium (45-70 %) daripada untuk Eucalyptus deglupta (30-46 %).

5.2 Penaksiran kehilangan unsur hara akibat kegiatan tebang-

bakar

Pembakaran sisa-sisa tanaman hijau (sisa penebangan) menyebabkan

hilangnya unsur hara melalui volatilisasi/penguapan (kehilangan dalam

bentuk gas) dan pengangkutan partikel abu melalui udara. Tingkat kehilangan

tersebut tergantung pada kandungan unsur hara dalam sisa tebangan dan

intensitas pembakaran. Pada umumnya terdapat hubungan linier yang positip

antara pengurangan berat bahan bakar dengan kehilangan unsur-unsur yang

mudah menguap, seperti unsur N, ke atmofsir. Pembakaran yang berintensitas

tinggi menghabiskan sejumlah besar biomas tersisa, biasanya dengan rasio

kayu : daun yang lebih tinggi, dan karenanya menyebabkan kehilangan

Penaksiran Fluks Unsur Hara Spesifik Lahan

37

melalui penguapan dan produksi abu yang lebih besar. Hasil dari beberapa

penelitian mengenai hal tersebut, yang dilakukan di beberapa tempat di

daerah tropis dicantumkan pada Tabel 8. Kehilangan unsur hara ke atmosfir

yang disebabkan oleh kegiatan tebang-bakar adalah sangat tinggi: rata-rata

kehilangan unsur N adalah 82 %, dan rata-rata kehilangan unsur P dan kation-

kation basa antara 39 sampai 46 % dari kandungan awalnya didalam sisa

tebangan (Tab. 8).

Agar hasil-hasil tersebut di atas dapat digunakan untuk hutan tanaman, maka

persediaan unsur hara di dalam sisa tebangan perlu untuk diperkirakan. Hal

itu tergantung kepada volume pemanenan dan tumbuhan bawah. Untuk

melakukan hal tersebut, disarankan untuk mengambil langkah-langkah

berikut:

a) Buatlah plot-plot contoh. Gunakanlah plot berukuran kecil (misal 20 x 20

cm) untuk mengumpulkan serasah organik. Untuk mengumpulkan

tumbuhan bawah gunakan plot berukuran 1 m². Plot-plot contoh ini dapat

diambil menyebar secara acak atau secara sistematis mengikuti transek.

Buatlah plot-plot contoh berukuran kecil yang didalamnya terdapat

beberapa pohon dalam tegakan yang mewakili (dalam hal umur tegakan,

volume tegakan dan jenis pohon). Ukuran plot yang sesuai, khususnya di

daerah yang berbukit, adalah 0.05 ha (misalnya plot-plot berbentuk

lingkaran dengan jari-jari 12.62 m). Jika plot-plot contoh diletakkan di

daerah berlereng, maka plot-plot tersebut harus disesuaikan dengan

derajat kemiringan lereng :

R’ = r (cos α) –0.5 (Rumus 12)

dimana : R’ = jari-jari yang disesuaikan, r = jari-jari lingkaran plot (misalnya 12.62 m untuk

plot berbentuk lingkaran seluas 0.05 ha), cos α = cosinus dari derajat lereng (dalam °).

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

38

b) Tentukan berat segar dari berbagai bagian (kompartemen) sistem

(misalnya: lapisan serasah organik, tumbuhan bawah, daun-daunan pohon,

cabang-cabang pohon), dan ambillah sub-contoh yang representatif untuk

menentukan perbandingan berat segar–berat kering. Sub-contoh tersebut

dikeringkan dengan oven pada suhu 105 °C sampai didapatkan berat

kering tetapnya. Perbandingan (rasio) berat segar/kering dari sub-contoh

tersebut kemudian digunakan untuk seluruh plot contoh.

c) Untuk menganalisis konsentrasi unsur hara, ambillah sub-contoh yang

segar, yang kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu rendah

(< 60°C). Analisis kimia harus dilakukan menurut metode standar/baku.

Laboratorium-laboratorium yang melakukan analisa tersebut harus

melakukan tindakan-tindakan pengawasan kualitas (quality control)

secara reguler.

d) Kalikan nilai-nilai konsentrasi unsur hara dengan berat kering total untuk

setiap bagian (kompartemen):

NS sisa tebangan[kg/ha] = berat bagian [kg/plot]* kons. [kg/kg]* faktor plot (Rumus 13)

dimana : NS sisa tebangan = persediaan unsur hara didalam sisa tebangan, berat bagian = berat kering

dari bagian-bagian sisa tebangan (misalnya: daun-daunan, cabang-cabang, tumbuhan bawah),

kons.= konsentrasi unsur hara, faktor plot = faktor untuk ekstrapolasi ukuran plot menuju

ukuran standar yang disarankan (ha), misalnya: jika ukuran plot contoh adalah 0.05 ha, maka

faktor plot adalah 20.

Jika jumlah sisa tebangan dan kandungan unsur haranya diketahui, maka

kehilangan-kehilangan unsur hara ke atmosfir dapat dihitung :

e) NL bakar [kg/ha]= NS sisa tebangan[kg/ha] * (rata-rata NL [%] / 100) (Rumus 14)

dimana : NL bakar = kehilangan unsur hara absolut melalui tebang-bakar, NS sisa tebangan= lihat

Rumus 13, rata-rata NL [%] = rata-rata kehilangan unsur hara relatif melalui penebangan

(misalnya 82 % untuk N, lihat Tab. 8).

Penaksiran Fluks Unsur Hara Spesifik Lahan

39

f) Perhitungan kehilangan unsur hara ke atmosfir dalam Rumus 4

menyatakan secara tidak langsung, bahwa seluruh sisa tebangan dibakar

menjadi abu (reduksi bahan bakar > 64 %, lihat Tab. 8). Jika hanya

sebagian dari areal yang dibakar, maka rumus itu dapat disesuaikan

dengan menggunakan suatu faktor penyesuai (misalnya jika hanya

setengah dari areal yang dibakar, maka gunakan faktor 0.5).

5.2.1 Contoh penaksiran kehilangan unsur hara akibat kegiatan tebang-

bakar

Perkiraan kehilangan unsur hara ke atmosfir, sebagaimana yang dihitung

untuk pada konsesi HTI di Kalimantan Timur, diberikan pada Tabel 9.

Perhitungan persediaan unsur hara didalam bahan-bahan yang berasal dari

tajuk pohon, lapisan serasah organik dan tumbuhan bawah dilakukan

berdasarkan data lokal mengenai komposisi tebangan dan konsentrasi unsur

hara pada hutan-hutan tanaman dengan jenis pohon utama Acacia mangium

dan Eucalyptus deglupta (lihat di atas).

Kehilangan unsur hara akibat kegiatan tebang-bakar pada tegakan-tegakan

dengan volume panen sebesar 200 m³/ha diperkirakan cukup tinggi.

Perbedaan-perbedaan antara jenis pohon tampak dengan jelas pada tabel

tersebut. Karena persediaan awalnya yang tinggi, kehilangan unsur-unsur K

dan N ke atmosfir lebih besar pada tegakan Acacia daripada tegakan

Eucalyptus (Tab. 9).

Untuk membedakan kehilangan unsur hara antara unsur hara yang berasal dari

pohon dan dari tumbuhan bawah, maka dibuat dua skenario berbeda yang

diperbandingkan satu dengan lainnya. Dalam skenario A hanya bahan-bahan

dari tajuk pohon yang diperhitungkan, sedangkan dalam skenario B selain

bahan-bahan dari tajuk pohon, juga dari lapisan serasah organik dan

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

40

tumbuhan bawah. Dalam skenario A, kehilangan unsur P ke atmosfir dari

tegakan Acacia (2.5 kg/ha) lebih tinggi daripada dari tegakan Eucalyptus

(1.1. kg/ha). Kehilangan unsur P tersebut dapat dianggap minimal, karena

kandungan unsur P didalam cabang-cabang pohon tidak dimasukkan kedalam

perhitungan. Kehilangan unsur P lebih tinggi (9 kg/ha, Eucalyptus deglupta),

jika persediaan unsur P di dalam tumbuhan bawah dan lapisan serasah

organik dimasukan ke dalam perhitungan (skenario B). Perkiraan kehilangan

unsur Ca ke atmosfir adalah sama untuk Acacia dan Eucalyptus (63-64 kg/ha,

skenario B). Kehilangan unsur Mg juga sama untuk kedua jenis pohon, antara

4 sampai 6 kg/ha (skenario A) dan sekitar 20-21 kg/ha (skenario B). Bila

volume pemanenan dan volume sisa tebangan berubah, maka kehilangan

unsur hara ke atmosfir akan berbeda menurut tinggi-rendahnya volume-

volume tersebut (Tab. 9).

5.3 Penaksiran kehilangan unsur hara melalui pencucian

tanah akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan (pencucian

tanah tambahan)

Penambahan sisa tebangan di lantai hutan memacu proses mineralisasi unsur-

unsur hara yang terikat secara organik, dan hal itu menyebabkan peningkatan

konsentrasi kation dan anion didalam larutan tanah secara tiba-tiba.

Tergantung dari kondisi tanah dan lingkungan (misalnya curah hujan yang

tinggi pada awal musim hujan setelah musim kemarau), maka sebagian

(persentase tertentu) dari elemen-elemen yang termineralisasi tersebut

mungkin tercuci didalam tanah kebawah zona perakaran utama, khususnya

bila di zona tersebut tidak ada atau terdapat hanya sedikit akar-akar yang

hidup. Pencucian juga terjadi dibawah tegakan-tegakan hutan alam dan

sistem-sistem lainnya yang tidak dikelola (pencucian tanah biasa/dasar,

BL = basic leaching). Namun konversi lahan, termasuk penebangan/

Penaksiran Fluks Unsur Hara Spesifik Lahan

41

pemanenan dan kegiatan tebang-bakar, akan mengintensifkan kehilangan

unsur hara secara nyata melalui pencucian tanah (kehilangan melalui

pencucian ekstra/tambahan, ELL = extra leaching losses).

Pencucian Total (TL) = Pencucian dasar (BL) + Pencucian ekstra (ELL)(Rumus 15)

Kehilangan unsur hara akibat pencucian berkaitan erat dengan jumlah dan

kualitas sisa tebangan di lahan. Kehilangan tersebut secara keseluruhan akan

meningkat jika sisa tebangan yang mudah terurai semakin banyak tersedia.

Nilai absolut ELL setelah pembersihan hutan, penebangan manual atau

mekanis, kegiatan tebang-bakar dan kegiatan-kegiatan pengelolaan tegakan

berikutnya dilaporkan dalam beberapa studi pada lahan-lahan daerah tropis

(Tab. 10). Namun angka-angka tersebut tidak dapat digunakan begitu saja

untuk menaksir ELL di lahan-lahan hutan tanaman, karena adanya perbedaan

yang jelas diantara studi-studi tersebut menyangkut terutama tipe dan jumlah

sisa tebangan, serta persediaan unsur hara yang spesifik untuk setiap jenis

pohon. Akan tetapi sama halnya dengan penaksiran kehilangan unsur hara ke

atmosfir, ELL dapat dianggap sebagai bagian dari kandungan awal unsur hara

di dalam sisa-sisa tanaman hijau. Pengukuran ELL sama-sekali tidak mudah:

Selain terdapat banyak faktor lingkungan yang mempengaruhi tingkat

pencucian (lihat di atas), juga terdapat berbagai masalah yang bersifat

metodologis. Berlawanan dengan kehilangan ke atmosfir yang relatip lebih

homogen dan mudah dihitung, maka perkiraan kehilangan karena pencucian

ekstra masih ditaksir berdasarkan data yang agak lemah. Khususnya

pengaruh-pengaruh dan interaksi dari jenis tanah, praktek pengelolaan dan

tehnik pemanenan terhadap tingkat kehilangan akibat pencucian belum

sepenuhnya dimengerti dan didokumentasikan. Oleh karena itu, nilai relatif

turunan untuk kehilangan karena pencucian ekstra (sebagaimana disajikan

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

42

disini) dapat dianggap sebagai kehilangan minimal yang terjadi berdasarkan

perkiraan yang konservatif.

Kehilangan unsur hara akibat pencucian adalah berkisar antara 4-42 % untuk

N, 0-7 % untuk P, 22-35 % untuk K, 3-15 % untuk Ca dan 11-54 % untuk Mg

(Mackensen et.all, dalam pengajuan). Nilai-nilai ini merujuk hanya pada

tanah-tanah jenis Acrisol, Ferralsol atau Podzol (Ultisol dan Oxisol), serta

untuk areal-areal dengan curah hujan rata-rata tahunan > 2000 mm dan yang

dikelola dengan sistem tebang-bakar.

a) Penentuan kandungan unsur hara didalam bagian-bagian sisa tebangan

(lihat di atas)

b) NL pencucian [kg/ha]= NS pencucian[kg/ha]*(rata-rata NL [%] / 100) (Rumus 16)

dimana NL pencucian = kehilangan unsur hara absolut melalui pencucian tanah, NS pencucian = lihat

Rumus 13, rata-rata NL = rata-rata kehilangan unsur hara relatif melalui pencucian (misalnya

21 % untuk N, lihat Tabel 11).

5.3.1 Contoh penaksiran kehilangan unsur hara melalui pencucian tanah

akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan

ELL yang terjadi setelah dilakukannya pemanenan tegakan dan pembakaran

diperkirakan dengan cara membandingkan kehilangan relatif (karena

pencucian) terhadap kandungan unsur hara dalam sisa-sisa tebangan untuk

Acacia mangium dan Eucalyptus deglupta (Tab. 11) berdasarkan Rumus 10.

Pada umumnya ELL pada tegakan Acacia ditaksir lebih tinggi daripada

tegakan Eucalyptus, khususnya jika hanya bagian-bagian pohon yang

dimasukkan dalam perhitungan (skenario A, Tab. 11). Perbedaan antara

skenario A dan B tampak lebih jelas pada tegakan Eucalyptus (faktor 4-7),

Penaksiran Fluks Unsur Hara Spesifik Lahan

43

yang pada umumnya memiliki tumbuhan bawah yang lebih banyak daripada

tegakan Acacia (faktor 2-4). Pada tegakan Acacia mangium dengan volume

panen sebesar 200 m³/ha, nilai ELL absolut yang didapatkan adalah sebesar

84 kg N/ha, 86 kg K/ha, 8 kg Ca/ha dan 10 kg Mg/ha. Kehilangan unsur P

yang dihitung hanya berdasarkan kandungan P didalam daun-daunan

berjumlah paling sedikit 0.14 kg/ha (skenario A). Bila diasumsikan volume

panen tegakan adalah sebesar 300 m³ /ha, maka kehilangan unsur hara

meningkat dari faktor 1.11 ke 1.16 (skenario B, Tab. 11). Nilai ELL absolut

pada tegakan Eucalyptus dengan volume panen sebesar 200 m³/ha adalah 56

kg N/ha, 69 kg K/ha, 9 kg Ca/ha dan 10 kg Mg/ha. Kehilangan unsur P adalah

paling sedikit sebesar 0.05 kg/ha. Nilai ELL pada tegakan-tegakan dengan

volume panen sebesar 100 m³/ha adalah lebih kecil (skenario B, Tab. 11).

5.4 Penaksiran kehilangan unsur hara melalui erosi akibat

kegiatan-kegiatan pengelolaan (erosi ekstra/tambahan)

Erosi didefinisikan sebagai suatu fluks unsur hara antar-sistem (NF) yang

disebabkan oleh kegiatan-kegiatan pengelolaan, walaupun erosi terjadi juga

dalam sistem-sistem dimana tidak dilakukan kegiatan pengelolaan dalam

bentuk apapun. Definisi ini didasari oleh pengamatan, bahwa tingkat erosi

meningkat secara substansial akibat pengelolaan lahan. Tingkat erosi dalam

ekosistem hutan topis dan subtropis berkisar antara 0.03 sampai maksimal 6.2

Mg/ha/tahun dengan rerataan sebesar 0.3 Mg/ha/tahun (Wiersum, 1984).

Untuk lahan hutan tanaman yang tidak terganggu dan memiliki lapisan

organik yang berkembang dengan baik, tingkat erosi tahunan rata-rata

diperkirakan sebesar 0.6 Mg/ha (Wiersum, 1984). Kisaran yang hampir sama

juga dijumpai pada tegakan-tegakan hutan alam. Akan tetapi, tingkat erosi

tersebut akan meningkat secara nyata sampai rata-rata sebesar 53

Mg/ha/tahun (1 sampai 183 Mg/ha/tahun, Wiersum, 1984) apabila lapisan

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

44

organik dan tumbuhan bawah menghilang, misalnya setelah kegiatan tebang-

bakar dan/atau penggunaan alat-alat berat. Lebih parah daripada erosi adalah

praktek pambajakan tanah dengan menggunakan mesin (windrowing) pada

banyak lahan hutan tanaman. Tercatat kehilangan tanah sebesar 150 sampai

600 Mg/ha pada lahan-lahan dimana pembajakan semacam itu dilakukan

(Morris et.al. 1983). Kehilangan tanah bagian atas melalui windrowing dapat

mencapai kedalaman rata-rata 5.7 cm dan kehilangan bahan organik tanah

sampai 22.5 Mg/ha (Dias & Northcliff, 1985). Selain kehilangan unsur hara

secara kuantitatif melalui erosi, aspek-aspek kualitatif juga penting untuk

diperhatikan disini. Hilangnya bahan organik dan partikel tanah liat

mengakibatkan turunnya kapasitas pertukaran dari lahan (Gillmann, 1985).

Selain itu, kehilangan bahan organik mengakibatkan terjadinya pemadatan

tanah dan turunnya kemampuan penyimpanan air (Sands, 1983 dalam FAO

1992; Malmer et.al., 1997). Hal itu dapat menyebabkan penurunan

produktivitas lahan secara nyata.

Data spesifik lahan tentang erosivitas curah hujan dan erodibilitas tanah

dalam hubungannya dengan parameter fisika tanah, panjang dan kecuraman

lereng (lihat Wischmeier & Smith, 1960) pada umumnya tidak tersedia untuk

hampir semua lahan. Oleh sebab itu, tingkat erosi diperkirakan sebagai

parameter rata-rata tetap dengan mengacu kepada rata-rata daerah

bergelombang/berbukit dengan sudut kelerengan sampai 15°. Pada lereng-

lereng yang curam, erosi tampak lebih jelas.

Untuk menaksir kehilangan unsur hara melalui erosi, disarankan untuk

mengambil langkah-langkah sebagai berikut :

a) Menaksir kerapatan dan kadar unsur hara dalam horison tanah bagian atas

Penaksiran Fluks Unsur Hara Spesifik Lahan

45

b) NL erosi = tingkat erosi [kg/ha]*(NS tanah [kg/ha] / Q tanah [kg/ha]) (Rumus 17)

dimana : NL erosi = kehilangan unsur hara melalui erosi, tingkat erosi = asumsi kehilangan

tanah, NS tanah = kandungan unsur hara tanah (dari horison tanah atas, misal 0-10 cm, lihat

Rumus 4), Q tanah = jumlah tanah untuk horison tanah bersangkutan (BD[kg/m³]*10.000 m²*

d[m], lihat Rumus 4). Sebagai alternatif, NL erosi dapat dihitung dengan mengalikan tingkat

erosi dengan konsentrasi unsur hara pada horison tanah bagian atas (lihat Rumus 4 dan 5).

5.4.1 Contoh penaksiran kehilangan unsur hara melalui erosi akibat

kegiatan-kegiatan pengelolaan

Penaksiran kehilangan rata-rata unsur hara pada lahan hutan tanaman standar

di Kalimantan Timur dilakukan dengan asumsi bahwa erosi rata-rata per

rotasi tanaman adalah sebesar 200 Mg tanah/ha (Tab. 12). Angka ini

didapatkan berdasarkan besarnya kehilangan lapisan tanah atas yang dihitung

sejumlah 4-8 mm/ha. Perhitungan tersebut dilakukan berdasarkan data

kerapatan tanah dan konsentrasi unsur hara pada jenis tanah utama yang

terdapat didalam areal penelitian. Dalam hal ini, setiap faktor pengayaan

untuk bahan yang tererosi dibandingkan dengan bahan tanah asal (Palis et.al.,

1990) diabaikan.

Kehilangan unsur hara yang paling tinggi ditaksir pada Calsisol yang kaya

akan unsur hara, sedangkan yang paling rendah pada Ferralsol yang miskin

akan unsur hara (Tab. 12). Pada tingkat erosi 50 Mg/ha pada jenis-jenis tanah

dominan (Alisol/Acrisol), kehilangan unsur N berkisar antara 70 sampai 85

kg/ha, kehilangan unsur P antara 5.9 sampai 8.8 kg/ha, kehilangan unsur Ca

17-23 kg/ha, serta kehilangan unsur K dan unsur Mg berkisar antara 3.9

sampai 5.6 kg/ha. Tingkat kehilangan unsur hara berbeda-beda menurut

tingkat erosi.

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

46

5.5 Penjumlahan kehilangan unsur hara akibat kegiatan-

kegiatan pengelolaan (budget unsur hara)

Untuk menaksir kehilangan unsur hara total dari lahan hutan tanaman, maka

semua kehilangan unsur hara yang terjadi dijumlahkan :

NL total = NL panen + NL tebang-bakar + NL pencucian + NL erosi (Rumus 18)

dimana NL total = total kehilangan unsur hara akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan dan

NL panen, NL tebang-bakar, NL pencucian, NL erosi = kehilangan-kehilangan unsur hara melalui fluks

unsur hara akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan yang terjadi pada lahan hutan tanaman yang

dikelola menurut prosedur standar (lihat Rumus 11, 14, 16, 17).

Pada hutan-hutan tanaman industri, penjumlahan kehilangan-kehilangan

unsur hara akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan akan menghasilkan budget

unsur hara yang negatip (lihat Rumus 8). Sebagaimana disebutkan

sebelumnya (lihat Bab 4), budget unsur hara yang negatip akan menyebabkan

penurunan persediaan unsur hara tanah dan sebagai akibatnya penurunan

kesuburan dan produktivitas lahan. Budget unsur hara yang negatip biasa

terjadi pada hutan tanaman industri yang dikelola secara intensip, karena

masukan-masukan unsur hara melalui fluks (aliran) yang tidak dipengaruhi

oleh kegiatan-kegiatan pengelolaan, seperti masukan dari atmosfir atau

pelapukan, tidak diperhitungkan didalamnya (lihat Bab 5.7)

5.5.1 Contoh penaksiran kehilangan unsur hara total akibat kegiatan-

kegiatan pengelolaan

Pada pengelolaan lahan standar dengan volume panen sebesar 200 m³/ha

(lihat di atas), maka kehilangan unsur hara total yang disebabkan oleh

kegiatan-kegiatan pengelolaan berjumlah sekitar 690 kg N, 13 kg P, 280 kg

K, 250 kg Ca dan 45 kg Mg/ha pada tegakan Acacia mangium dan berjumlah

Penaksiran Fluks Unsur Hara Spesifik Lahan

47

sekitar 430 kg N, 12 kg P,370 kg K, 180 kg Ca dan 60 kg Mg/ha pada tegakan

Eucalyptus deglupta (Tab. 13). Sebagaimana disebutkan sebelumnya,

perhitungan kehilangan-kehilangan ini hanya dilakukan pada jenis-jenis tanah

standar (Alisol dan Acrisol). Kehilangan unsur hara melalui kegiatan

pemanenan adalah lebih kecil daripada yang disebabkan oleh kegiatan tebang-

bakar, pencucian dan erosi. Perkecualian dalam hal ini ditemukan pada unsur

Ca dalam tegakan Acacia mangium, dimana sekitar 64 % dari kehilangan

unsur hara total disebabkan oleh pemanenan kayu. Perkecualian lainnya

dijumpai pada unsur K dan Ca dalam tegakan Eucalyptus, dimana sekitar 50

% dari kehilangan total unsur hara tersebut juga disebabkan oleh pemanenan

kayu (Tab. 13). Selanjutnya, kehilangan ke atmosfir merupakan penyebab

besarnya kehilangan unsur N dan unsur Mg pada tegakan-tegakan dengan

kedua jenis pohon tersebut dan besarnya kehilangan unsur K pada tegakan

Acacia. Adapun erosi menyebabkan besarnya kehilangan unsur P pada

tegakan dengan kedua jenis pohon tersebut. Dalam kasus-kasus lainnya,

kehilangan unsur hara kebanyakan disebabkan oleh kegiatan pemanenan

kayu.

Penaksiran kehilangan unsur hara akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan

sebagaimana disajikan disini dilakukan secara konservatif. Mereka

merupakan nilai-nilai minimum. Khususnya dalam hal kehilangan unsur hara

melalui pencucian dan erosi ekstra/tambahan, nilai-nilai yang lebih tinggi

sangat mungkin ditemukan pada tempat-tempat tertentu. Walaupun demikian,

tingginya kehilangan unsur hara pada lahan hutan tanaman menunjukkan

pentingnya suatu pengelolaan unsur hara secara terpadu pada lahan-lahan

yang dikelola secara intensip.

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

48

5.6 Perbandingan antara kehilangan-kehilangan unsur hara

akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan dengan

persediaan/kandungan unsur hara

Jumlah kehilangan unsur hara akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan dapat

diperbandingkan dengan persediaan total dari unsur-unsur hara yang dapat

dipertukarkan. Berdasarkan itu, secara kasar dapat diperkirakan jumlah rotasi

tanaman yang secara potensial dapat ‘ditanggung’ oleh lahan dibawah kondisi

pengelolaan yang diasumsikan. Nilai ini disebut sebagai potensi hara lahan :

Potensi hara lahan = NS hutan tanaman / NL total (Rumus 19)

dimana NS hutan tanaman = jumlah persediaan unsur hara dalam tanah (0-100 cm), pohon-pohonan,

tumbuhan bawah dan lapisan organik; NL total = kehilangan-kehilangan unsur hara akibat

kegiatan-kegiatan pengelolaan.

5.6.1 Contoh penaksiran potensi unsur hara lahan

Potensi unsur hara pada lahan-lahan hutan tanaman terpilih di Kalimantan

Timur, Indonesia, dicantumkan pada Tab. 14. Suatu potensi unsur hara

bernilai 3 menunjukkan bahwa kehilangan-kehilangan unsur hara akibat

kegiatan-kegiatan pengelolaan akan menghabiskan persediaan total dari

unsur-unsur hara yang dapat dipertukarkan dalam waktu hanya 3 kali rotasi

tanaman. Hasil-hasil dalam Tab. 14 memperlihatkan bahwa dalam kondisi-

kondisi yang diasumsikan tetap/konstan, persediaan unsur N, K dan Ca pada

lahan-lahan hutan tanaman (Alisol, Acrisol) rata-rata akan habis dalam

beberapa rotasi tanaman. Walaupun demikian, nilai ini hanya memberikan

suatu gambaran mengenai tingkat kehilangan unsur hara akibat kegiatan-

kegiatan pengelolaan pada lahan-lahan yang kandungan unsur haranya rendah

(Ferralsol dan Alisol, serta Acrisol pada posisi-posisi lereng sebelah atas) dan

Penaksiran Fluks Unsur Hara Spesifik Lahan

49

tidak boleh digunakan sebagai indikator untuk menentukan jumlah absolut

kemungkinan rotasi tanaman. Bagaimanapun, kondisi-kondisi yang

diasumsikan tetap dalam perhitungan potensi usur hara lahan tak akan

mungkin terjadi. Sudah pasti bahwa produktivitas tegakan akan menurun

secara kontinyu pada lahan-lahan, dimana kehilangan unsur hara yang besar

melalui pengelolaan lahan yang intensip sudah dapat diperkirakan

sebelumnya. Penurunan produktivitas lahan merupakan suatu ciri biasa dari

tegakan-tegakan pada rotasi tanaman kedua dan ketiga pada tanah-tanah yang

kesuburannya rendah.

5.7 Peranan fluks unsur hara yang tidak dipengaruhi oleh

kegiatan-kegiatan pengelolaan

Fluks-fluks (aliran-aliran) unsur hara yang masuk dan keluar, yang tidak

dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan pengelolaan merubah budget unsur hara

lahan hutan tanaman. Dalam bab ini akan didiskusikan secara singkat peranan

dari fluks-fluks unsur hara tersebut.

Pada hutan-hutan alam yang tidak terganggu, fluks-fluks unsur hara yang

masuk melalui pengendapan dari atmosfir dan yang keluar melalui pencucian

dasar adalah seimbang secara teoritis. Terdapat juga bukti-bukti bahwa pada

tegakan-tegakan hutan tanaman yang tua (> 10 tahun) fluks-fluks yang masuk

dan yang keluar ini adalah seimbang. Perolehan unsur hara melalui

pengendapan dari atmosfir hampir sama dengan kehilangan unsur hara

melalui pencucian dasar. Perbandingan antara masukan unsur hara

(sebagaimana yang dilaporkan dalam berbagai studi di Asia Tenggara)

dengan besarnya pencucian dasar pada hutan alam yang tidak terganggu,

hutan-hutan tanaman dan hutan-hutan sekunder muda, telah dilaporkan dalam

berbagai studi yang berbeda di seluruh wilayah tropis. Berbagai studi pada

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

50

tanah-tanah yang berjenis sama memperlihatkan bahwa fluks-fluks unsur N

dan kation-kation dasar (K, Ca, Mg) yang masuk hampir seimbang dengan

fluks-fluks keluarannya. Adapun kehilangan unsur P melalui pencucian dasar

dan pencucian ekstra adalah kecil. Pada umumnya, hal itu disebabkan oleh

tingginya tingkat fiksasi P pada jenis-jenis tanah yang bersangkutan (Ultisol,

Oxisol). Di sisi lain, walaupun pengendapan unsur P dari atmosfir mungkin

saja tinggi, tetapi seringkali unsur tersebut ditaksir terlalu tinggi akibat adanya

polusi-polusi organik pada contoh-contoh yang diambil. Bahkan, walaupun

masukan unsur P melalui pengendapan dari atmosfir adalah lebih tinggi dari

pada keluaran melalui pencucian dasar, namun kelebihan unsur P tersebut

kemungkinan besar akan diimobilisasi, dan oleh karena itu tidak dapat

dimanfaatkan oleh pohon-pohonan pada tanah-tanah yang kaya akan unsur Fe

dan Al (Ultisol, Oxisol). Dapat disimpulkan, bahwa masukan-masukan unsur

hara melalui fluks-fluks yang tidak dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan

pengelolaan tidak dapat diperhitungkan dalam pengelolaan unsur hara yang

berkelanjutan. Dengan kata lain: kehilangan unsur hara melalui kegiatan-

kegiatan pengelolaan lahan hutan tanaman tidak dapat diseimbangkan

(dikompensasikan) oleh fluks-fluks unsur hara ‘dari luar’, seperti

pengendapan unsur hara dari atmosfir.

Pelapukan bahan induk oleh cuaca dapat dianggap sebagai fluks masukan atau

fluks keluaran unsur hara, tergantung kepada berbagai kondisi: Pelepasan

unsur hara melalui pelapukan yang terjadi dibawah zona perakaran rata-rata

(sekitar 1 m) tidak mempunyai arti bagi tumbuhan, dan oleh karena itu tidak

diperhitungkan dalam budget unsur hara hutan tanaman. Pelapukan yang

terjadi didalam zona perakaran akan melepaskan unsur-unsur hara, yang

sebagian diambil oleh pohon-pohonan (masukan unsur hara) dan sebagian

tercuci kebawah zona perakaran (keluaran unsur hara). Selanjutnya, masukan

unsur hara yang besar melalui pelapukan bahan induk tanah hanya dapat

Penaksiran Fluks Unsur Hara Spesifik Lahan

51

terjadi pada tanah-tanah dangkal diatas batuan-batuan silikat dan karbonat,

batuan asal volkanik (misal: Jawa), atau endapan-endapan aluvial muda.

Sebaliknya, tingkat pelapukan pada tanah-tanah yang sudah lama tercuci,

seperti Alisol, Acrisol dan Ferralsol (Ultisol dan Oxisol) dapat diabaikan.

Kadar unsur hara dalam batuan silikat dan karbonat yang mudah terlapuk

adalah sangat kecil. Berlawanan dengan opini yang tersebar-luas, tidak

terbukti bahwa pelapukan pada batuan tanah-tanah tua yang sebagian besar

sudah terlapuk (Ultisol, Oxisol) memberikan sumbangan nyata melalui fluks-

fluks masukan unsur hara kedalam tegakan-tegakan hutan tanaman. Masukan

unsur hara melalui pelapukan pada lahan-lahan hutan tanaman standar tidak

akan dapat menggantikan (walaupun hanya sebagian kecil saja) kehilangan

unsur hara akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan.

Penggantian Kehilangan-kehilangan Unsur Hara

53

6 Penggantian Kehilangan-kehilangan Unsur Hara

Untuk mempertahankan produktivitas lahan dari kehilangan-kehilangan unsur

hara yang terjadi dalam pengelolaan hutan tanaman, maka persediaan unsur

hara tanah perlu ditambah dengan pupuk-pupuk mineral. Pemupukan

memiliki dua tujuan, yaitu untuk menstimulasi pertumbuhan tanaman dan

untuk menambah kandungan unsur hara tanah. Pemupukan merupakan

praktek yang biasa dilakukan dalam sektor pertanian, tetapi kurang biasa

dalam kehutanan. Dalam pengelolaan hutan tanaman industri, tindakan

pemupukan masih dianggap sebagai suatu hal yang tidak ekonomis.

Pandangan ini didasari oleh konsep-konsep pengelolaan yang dikembangkan

untuk hutan-hutan di daerah beriklim sedang. Disitu, penipisan unsur hara

yang terjadi selama rotasi-rotasi tanaman berjangka panjang dapat diabaikan,

dan ketersediaan unsur hara dapat tetap terjaga dengan adanya masukan-

masukan melalui air hujan atau pelapukan. Pemupukan hutan tanaman juga

dipertimbangkan tidak ekonomis karena pemupukan biasanya diperlukan dan

dilakukan pada tahap awal penyiapan lahan, sedangkan keuntungan (dari

hutan tanaman) diperoleh hanya setelah rotasi tanaman yang panjang.

Walaupun demikian, pandangan tentang pemupukan dalam pengelolaan hutan

tanaman di daerah tropis sudah mulai berubah. Evans (1992) memberikan

empat alasan utama dari meningkatnya kebutuhan dan minat akan

pemupukan: 1) besarnya kebutuhan unsur hara dari jenis-jenis pohon yang

cepat tumbuh pada tanah yang miskin akan cepat menghabiskan persediaan

unsur hara, 2) rotasi tanaman yang pendek menjadikan pemupukan lebih

ekonomis, 3) meningkatnya penggunaan hanya satu atau dua jenis pohon pada

lahan-lahan yang sebagian besar tidak sesuai meningkatkan kebutuhan

pemupukan yang dapat membantu pertumbuhan pohon dan menurunkan

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

54

defisiensi unsur hara, 4) perbaikan pertumbuhan dengan pemupukan unsur-

unsur hara mikro yang defisien (misalnya boron untuk tegakan Eucalyptus di

padang rumput Afrika, zink untuk tegakan Pinus).

6.1 Jenis-jenis pupuk

Berbagai jenis pupuk dijual di pasaran. Aspek-aspek yang harus

dipertimbangkan ketika memilih pupuk adalah konsentrasi unsur hara,

kelarutan dalam air, dan keasaman potensial. Untuk pupuk multi-unsur juga

penting dipertimbangkan perbandingan unsur hara yang dikandungnya atau

kombinasinya.

Konsentrasi unsur hara adalah sebuah faktor penting yang diperlukan dalam

menghitung kebutuhan pupuk per lokasi tanaman (lihat di bawah) dan biaya

angkut. Pupuk yang mudah larut dalam air akan cepat hilang melalui

pencucian tanah, atau akan cepat terimobilisasi (pupuk P) dan oleh karena itu

tidak dapat dimanfaatkan oleh pohon-pohonan. Pada umumnya disarankan

untuk menggunakan pupuk-pupuk yang lambat larut di daerah-daerah tropis

yang lembab. Selama rotasi tanaman, pemupukan harus dibagi kedalam

beberapa pemupukan dengan porsi/dosis yang kecil, sehingga pupuk tersebut

dapat diserap secara lambat tetapi kontinyu oleh pohon-pohonan.

Pupuk N memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang jelas dalam keasaman

potensialnya. Jika pupuk N berbasis Amonium sulfat ((NH4)2SO4) digunakan

pada tanah-tanah asam (pH (H2O) < 5), maka keasaman tanah akan meningkat

secara nyata. Pupuk-pupuk berbasis Amid (Urea, CO(NH2)2) dan Amonium

Nitrat (NH4NO3) menyebabkan keasaman tanah yang lebih lemah

dibandingkan dengan pupuk-pupuk Amonium. Kapur yang sering

ditambahkan pada pupuk-pupuk ini (misalnya CaNH4NO3) pada umumnya

tidak menghilangkan kelebihan keasaman. Pada tanah-tanah asam disarankan

Penggantian Kehilangan-kehilangan Unsur Hara

55

untuk menggunakan pupuk-pupuk berbasis Nitrat (Ca(NO3)2) yang berpotensi

untuk menurunkan keasaman tanah.

Pupuk-pupuk multi unsur, seperti NPK, biasanya digunakan untuk

menyediakan unsur-unsur hara yang paling penting. Walaupun demikian,

perbandingan unsur-unsur hara yang dikombinasikan didalamnya harus sesuai

dengan kebutuhan spesifik masing-masing jenis pohon dan lahan.

6.2 Efisiensi pemupukan

Pupuk yang diberikan tidak akan diserap seluruhnya oleh tumbuh-tumbuhan.

Suatu bagian (persentase) tertentu akan hilang melalui pencucian tanah,

penguapan atau imobilisasi. Proporsi pupuk yang diserap oleh tumbuhan

menunjukkan tingkat efisiensi pemupukan. Tingkat efisiensi ini tergantung

terutama pada jenis pupuk, kondisi tanah dan iklim, serta bentuk pengelolaan

yang diterapkan.

Studi-studi tentang pemupukan memperlihatkan bahwa 30-60 % dari pupuk N

yang diberikan hilang pada tanah jenis Ultisol dan Oxisol dibawah rejim

curah hujan dan kelembaban yang tinggi. Percobaan-percobaan pemupukan

yang dilakukan disini mengacu terutama pada pupuk-pupuk berbasis

Amoniumnitrat dan Amoniumsulfat. Diasumsikan juga bahwa pupuk berbasis

Nitrat memperlihatkan kehilangan yang sama. Dibawah kondisi tanah yang

sangat lembab, kehilangan N melalui penguapan diperkirakan menyumbang

10-30 % dari kehilangan pupuk total, sedangkan pada tanah-tanah berpasir

lempung yang berdrainase baik kehilangan pupuk ini dapat diabaikan (sangat

kecil). Tingkat efisiensi pupuk N diperkirakan dapat mencapai 50 sampai 70

%. Tingkat efisiensi pupuk K dilaporkan sama dengan pupuk N, yaitu

berkisar antara 50 sampai 70 %. Penyebab utama kehilangan pupuk K adalah

pencucian tanah.

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

56

Penyerapan K oleh tanaman adalah sangat rendah (tingkat efisiensi berkisar

antara 10-40 %). Penghalang/pembatas utama penyerapan P pada tanah asam

adalah adanya formasi Alumuniumfosfat dan Besifosfat yang menyebabkan P

imobil sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Tingkat imobilisasi pada

Alisol dan Acrisol di areal studi (lihat di atas) berkisar antara 70 sampai 90 %

(pemupukan dengan 12 Mg TSP/ha). Tingkat imobilisasi itu meningkat jika

pupuk diberikan dalam dosis-dosis kecil. Sehubungan dengan efisiensi

pemupukannya, tidak ditemukan perbedaan antara Tripelsuperphosphate

(TSP) dan Rockphosphate.

Tingkat efisiensi kapur (CaCO3) dan dolomit (CaMg(CO3)2 dengan persentase

maksimal sampai MgCO3) pada tanah-tanah asam, yang diberikan untuk

menggantikan kehilangan unsur-unsur Ca dan Mg serta untuk menurunkan

keasaman tanah dan secara tidak langsung menurunkan imobilisasi unsur P,

diasumsikan akan menjadi tinggi dalam jangka panjang (70-100%).

Walaupun demikian, jumlah yang dibutuhkan untuk menurunkan keasaman

tanah secara umum akan jauh lebih tinggi daripada jumlah yang dibutuhkan

untuk menggantikan kehilangan Ca dan Mg yang terjadi.

6.3 Perhitungan kebutuhan pupuk untuk menggantikan

kehilangan unsur hara

Jumlah pupuk yang dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan unsur-unsur

hara akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan ditentukan oleh jenis pupuk

(misalnya konsentrasi unsur hara) dan tingkat efisiensinya.

Penggantian Kehilangan-kehilangan Unsur Hara

57

FNL = NL [kg] * (100/NCF [%])*(100/Feff [%] (Rumus 20)

dimana FNL = jumlah pupuk yang dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan unsur hara,

NL = kehilangan unsur hara yang akan diganti, NCF = konsentrasi unsur hara dalam pupuk,

Feff = efisiensi pupuk. Nilai-nilai untuk (100/NCF [%])*(100/Fef [%]) dapat dilihat Tab. 13.

Untuk menyederhanakan perhitungan yang diberikan dalam Rumus 20,

faktor-faktor yang menyangkut jenis pupuk dan tingkat efisiensinya (Tab. 15)

dapat dikalikan secara langsung dengan kehilangan unsur hara. Jumlah pupuk

kemudian dihitung sebagai berikut :

Fpohon [kg] = FNL [kg] / jumlah pohon per ha (Rumus 21)

6.3.1 Contoh penaksiran dosis pupuk untuk menggantikan kehilangan

unsur hara

Kebutuhan dosis pupuk untuk menggantikan kehilangan unsur-unsur N, P dan

K ditaksir berdasarkan tingkat kehilangan unsur hara akibat kegiatan-kegiatan

pengelolaan, perbedaan jenis pupuk dan tingkat efisiensi (Tab. 16).

Diasumsikan bahwa Acacia mangium tidak memerlukan pemupukan N karena

mampu untuk memfiksasi nitrogen dari udara.

Dosis pupuk yang paling rendah diperlukan jika menggunakan pupuk-pupuk

seperti Urea, TSP dan KCl. Dosis yang dipakai juga ditentukan oleh besarnya

biaya dan ketersediaan pupuk di daerah tersebut.

Untuk mengganti seluruh kehilangan N yang terjadi pada tegakan Eucalyptus

deglupta diperlukan sekitar 400-600 g NKP atau 1200-1650 g Urea per

pohon. Jumlah itu umumnya beberapa kali lipat lebih tinggi daripada jumlah

yang biasanya dibutuhkan untuk membantu pertumbuhan pohon. Untuk

mengganti kehilangan N yang terjadi akibat pemanenan batang pohon

diperlukan paling sedikit 200 g Urea per pohon. Jumlah P dan K sama

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

58

besarnya. Untuk mengganti kehilangan P dibutuhkan sampai 500 g TSP per

pohon. Untuk mengganti kehilangan K total akan dibutuhkan KCl

berkonsentrasi tinggi sebanyak 720 – 1400 g per pohon, sedangkan untuk

mengganti kehilangan K akibat pemanenan pohon diperlukan 190-740 g per

pohon.

Dapat disimpulkan, bahwa pada setiap lokasi hutan tanaman dibutuhkan

sejumlah besar pupuk untuk menggantikan unsur-unsur hara yang hilang.

Secara ekonomis, hal itu merupakan suatu beban bagi setiap perusahaan

pengelola hutan tanaman, khususnya jika hal tersebut tidak diperhitungkan

didalam rencana investasi. Saran-saran untuk mengurangi penggunaan pupuk

melalui manajemen pemupukan secara terpadu diberikan di bawah ini.

6.4 Pasokan unsur hara melalui penggunaan pupuk multi-

unsur dan kebutuhan aktual tegakan

Pupuk multi-unsur, khususnya NPK, digunakan secara luas pada hutan-hutan

tanaman industri. Namun, kombinasi standar dari unsur-unsur N, P dan K

dalam pupuk jenis ini mungkin tidak selalu sesuai untuk kebutuhan suatu

jenis pohon tertentu. Contoh berikut memperlihatkan hal ini: Suatu kombinasi

unsur standar dari NPK terdiri dari sekitar 13 % N, 6 % P dan 17 % K. Jika

pupuk NPK itu digunakan untuk menggantikan kehilangan unsur hara (N, P,

dan K) akibat pemanenan pohon pada tegakan Eucalyptus, maka sekitar 720

g, 100 g dan 1520 g NPK per pohon harus diberikan untuk menutupi

kehilangan unsur N, P dan K (Tab. 16). Pemberian 720 g NPK akan

menyebabkan kelebihan pemupukan P dan kekurangan K yang serius.

Pemberian hanya 100 g NPK hanya akan cukup untuk menggantikan

kehilangan unsur P, tetap tidak menyediakan unsur N dan K dalam jumlah

yang cukup. Oleh karena itu, untuk menggantikan kehilangan unsur-unsur

Penggantian Kehilangan-kehilangan Unsur Hara

59

hara akibat pemanenan pohon pada tegakan Eucalyptus, campuran/kombinasi

NPK yang cocok harus terdiri dari 13 % N, 1.1 % P dan 36 % K. Adapun

pada tegakan Acacia tidak diperlukan atau hanya sedikit sekali diperlukan

unsur N. Karena itu, pupuk standar yang digunakan harus berisikan 5.7 % P

dan 31 % K.

Oleh sebab itu, disarankan untuk memeriksa/meneliti kombinasi pupuk yang

dibutuhkan. Selain itu, disarankan juga untuk menggunakan kombinasi

beberapa pupuk mono-unsur daripada menggunakan kombinasi pupuk

standar.

6.5 Perkiraan penggunaan kapur/dolomit

Pemberian kapur atau dolomit bertujuan untuk menggantikan kehilangan

unsur Ca dan Mg dan menurunkan keasaman tanah. Dalam hal ini, keasaman

tanah dapat didefinisikan sebagai saturasi atau penjenuhan Al tanah atau pH

tanah (lihat di atas).

Pada umumnya diasumsikan, bahwa kejenuhan Al kurang dari 60 % sesuai

bagi produktivitas tanaman. Pada tingkat itu ketersediaan P dan Mb

(Molybdenum) juga lebih tinggi. Penurunan keasaman tanah diikuti dengan

peningkatan pH dan peningkatan kapasitas pertukaran kation efektif (ECEC).

Dilain pihak, pengapuran yang berlebihan akan diikuti dengan berkurangnya

ketersediaan beberapa unsur hara mikro tertentu seperti Mn, Fe, Zn dan Br.

Disamping itu, imobilisasi P (yang tersedia dalam bentuk yang dapat diserap

oleh tanaman) dapat terjadi melalui formasi Ca-fosfat (> pH 6). Pada tanah-

tanah asam, perhitungan jumlah Dolomit yang dibutuhkan harus lebih

berorientasi pada penurunan yang nyata dari kejenuhan Al daripada hanya

pada penggantian kehilangan Ca dan Mg akibat kegiatan-kegiatan

pengelolaan.

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

60

Cax [µmolc /100 g] = Al [ditto] - RAS [%] * (ECEC[ditto]/100) (Rumus 21)

Perhitungan dimodifikasi dari Cochrane (1980), dimana Cax = jumlah Ca yang dibutuhkan

dalam kapur (Dolomit), Al = konsentrasi Al yang dapat dipertukarkan dalam tanah, ECEC =

jumlah unsur-unsur Al, K, Ca dan Mg yang dapat dipertukarkan dalam tanah (elemen-elemen

tambahan lainnya diabaikan), RAS = saturasi Al yang dibutuhkan, [ditto] = [µmolc /100 g].

CaCO3 [kg/ha] = faktor Cax [kg/kg] * faktor jumlah tanah [kg/ha] (Rumus 22)

dimana

faktor Cax [kg/kg] = (Cax[µmolc /100 g] * 20 * 10) / 10,000,000 * 2.5 (Rumus 22a)

faktor jumlah tanah [kg/ha] = BD [kg/m³] * 10,000 m³ * d [m] (Rumus 22b)

Cax = lihat Rumus 22, BD = berat jenis tanah, d = kedalaman tanah (dipilih 0,3 m)

Data mengenai Al tanah biasanya sangat terbatas dan sangat mahal untuk

diperoleh. Karena itu disarankan untuk menentukan korelasi antara kejenuhan

atau saturasi Al dengan pH tanah per horison tanah (lihat contoh dalam

Gambar 4, Lampiran 2).

6.5.1 Contoh penaksiran jumlah kapur yang dibutuhan untuk

menurunkan keasaman

Dengan menggunakan rumus dari Cochrane et.al. (1980, Rumus 21)

diperkirakan, bahwa pada umumnya 2,5 Mg kapur cukup untuk menurunkan

kejenuhan Al di bawah 60 % pada sebagian besar lahan-lahan Alisol/Acrisol.

Pada lereng sebelah atas atau puncak bukit, dimana kejenuhan Al > 80 %,

dibutuhkan kapur sampai sekitar 3-5 Mg. Pada umumnya pengapuran

disarankan untuk pH < 4.5. Selanjutnya, walaupun pengapuran dilakukan

dalam jumlah yang besar, tetapi tetap masih diragukan bahwa penurunan

Penggantian Kehilangan-kehilangan Unsur Hara

61

keasaman tanah (peningkatan pH) akan bertahan lebih lama dari satu rotasi

tanaman. Oleh karena itu, pengapuran perlu dilakukan pada setiap rotasi

tanaman (lihat Sanchez & Salinas, 1981, Bandy & Sanchez, 1986).

Ekonomi Hutan Tanaman Industri

63

7 Ekonomi Hutan Tanaman Industri

Pengelolaan hutan tanaman harus layak dan menguntungkan secara ekonomi.

Secara tradisional, biasanya budget unsur hara tidak diperhatikan sebagai

sesuatu yang berhubungan langsung dengan keuntungan dari hutan tanaman

industri. Pada umumnya, investasi yang dilakukan dihitung dengan asumsi

bahwa produktivitas lahan akan tetap selama jangka-waktu pengusahaan

(beberapa rotasi tanaman). Pada sebagian besar lahan hutan-hutan tanaman di

daerah tropis, asumsi ini terbukti salah dengan terjadinya kehilangan unsur

hara secara kontinyu dan penurunan produktivitas lahan yang diakibatkannya

sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Agar dapat mempertahankan

produktivitas hutan tanaman, maka penggantian unsur hara melalui

pemupukan harus dilakukan dalam skala yang lebih besar daripada yang

dipraktekan saat ini oleh sebagian besar perusahaan pengelola hutan tanaman.

Hal ini akan mengakibatkan terjadinya peningkatan biaya dan penurunan

keuntungan.

Untuk mendemontrasikan biaya penggantian unsur hara dan potensi

penghematan biaya melalui manajemen pupuk dan unsur hara yang tepat,

maka dibawah ini diberikan contoh dari sebuah studi di Kalimantan Timur,

Indonesia (Mackensen, 1998; Mackensen & Fölster,. 1999). Nilai-nilai yang

dipaparkan di bawah kemungkinan besar tidak sama persis untuk setiap

perusahaan pengelola hutan tanaman dan juga tergantung dari situasi ekonomi

nasional. Namun, secara garis besar nilai-nilai tersebut dapat digunakan

sebagai acuan.

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

64

7.1 Biaya penggantian unsur hara

Dalam contoh ini, biaya untuk penggantian kehilangan unsur hara akibat

kegiatan-kegiatan pengelolaan diperbandingkan dengan biaya untuk program

pemupukan standar yang dilakukan oleh perusahaan HTI di Kalimantan

Timur. Perkiraan biaya penggantian unsur hara dilakukan dalam dua skenario:

a) penggantian kehilangan unsur hara yang terjadi hanya melalui pemanenan

kayu, atau b) penggantian seluruh kehilangan unsur hara akibat kegiatan-

kegiatan pengelolaan (kehilangan total).

Dasar untuk program pemupukan standar adalah harga pasar resmi pada tahun

1996 dan tidak termasuk biaya tenaga kerja (upah) sebesar Rp. 193.680/ha per

rotasi tanaman. Harga tersebut ditetapkan sebagai nilai 100 % (Tab. 17).

Perkiraan ini dilakukan berdasarkan penggunaan 100 g NPK, 40 gr TSP dan

840 g batu kapur dolomit per pohon, dengan kerapatan tegakan 800 pohon per

hektar. Jika kombinasi pupuk yang sama diterapkan untuk mengganti unsur-

unsur hara yang ‘terambil’ dalam pemanenan kayu, maka pengeluaran untuk

pupuk akan meningkat 1370 % untuk Acacia mangium dan 1070 % untuk

Eucalyptus deglupta (Tab. 17). Hal ini terutama disebabkan oleh ketidak

efisienan pupuk-pupuk multi-unsur, seperti NPK, yang tidak disesuaikan

dengan kebutuhan spesifik dari setiap jenis pohon dan lahan (lihat di atas).

Pemupukan yang efisien dapat menurunkan biaya secara nyata, tetapi

walaupun demikian masih membutuhkan biaya yang tinggi jika dibandingkan

dengan program pemupukan standar.

Jika pupuk N tidak digunakan untuk jenis-jenis pohon yang dapat memfiksasi

N (Acacia mangium), maka biaya akan meningkat dengan faktor 5,2. Jika

jenis dan kombinasi pupuk yang lebih efektif (Urea, CIRP, K2SO4, batu kapur

dolomit) digunakan, maka biaya untuk menggantikan unsur hara yang

‘terambil’ dalam pemanenan adalah lebih rendah, tetapi tetap masih 2,6 kali

Ekonomi Hutan Tanaman Industri

65

(Acacia mangium, tanpa menggunakan Urea) dan 4.2 kali (Eucalyptus

deglupta) lipat lebih tinggi daripada biaya untuk program pemupukan standar

(Tab.17).

Dibandingkan dengan Acacia mangium, maka program pemupukan pada

tegakan Eucalyptus deglupta adalah sekitar 60 % lebih mahal. Oleh karena

itu, Eucalyptus deglupta hanya menguntungkan pada lahan-lahan yang secara

alami mempunyai kandungan unsur hara yang baik (Fluvisol dan Calsisol,

Alisol dengan kandungan unsur hara diatas rata-rata). Pada lahan-lahan

tersebut pemupukan tidak perlu dilakukan untuk menggantikan unsur-unsur

hara yang hilang, atau mungkin hanya diperlukan pada tingkatan yang

terbatas pada rotasi tanaman berikutnya (misalnya pemupukan K pada

Calsisol).

Untuk mengganti seluruh unsur-hara yang hilang akibat kegiatan-kegiatan

pengelolaan bahkan diperlukan biaya untuk pupuk yang lebih tinggi.

Berdasarkan perkiraan yang sangat konservatif, biaya untuk mengganti

kehilangan unsur hara total adalah 350-570 % lebih tinggi jika dibandingkan

dengan biaya pupuk yang dikeluarkan oleh perusahaan pada saat ini. Dalam

perkiraan ini sudah diperhitungkan kombinasi pupuk yang optimal dan

kehilangan unsur hara yang sangat rendah. Jika praktek tebang-bakar tidak

dilakukan dan oleh karenanya kehilangan unsur hara diminimalkan (Alt200,

Tab. 18), maka biaya untuk mengganti kehilangan unsur hara total adalah

sebanding dengan biaya penggantian unsur hara yang ‘terambil’ dalam

pemanenan pohon (Tab. 17).

Dapat disimpulkan, bahwa penggantian unsur hara dalam hutan tanaman yang

dikelola secara intensif merupakan sebuah faktor biaya operasional yang

sangat penting. Program pemupukan standar menghabiskan rata-rata 4 % dari

biaya total hutan tanaman, sedangkan biaya yang diperlukan untuk mengganti

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

66

kehilangan unsur hara yang diperkirakan berkisar antara 9 % sampai 40 %

dari biaya total, tergantung pada jenis pohon, pengelolaan lahan dan pupuk

(Mackensen, 1999). Peningkatan biaya tersebut bahkan kemungkinan besar

lebih tinggi, karena biaya tambahan yang timbul dalam kegiatan pemupukan

secara intensif (misalnya untuk perencanaan, infrastruktur, penelitian atau

pelatihan) tidak dimasukkan kedalam perhitungan ini.

7.2 Analisa investasi

Tingkat pengembalian internal (internal rate of return/IRR) pada

pembangunan dan pengelolaan Hutan Tanaman Industri di Kalimantan Timur

diperkirakan sebesar 14 % untuk suatu periode investasi selama 44 tahun dan

dalam kerangka ekonomi tahun 1990/1991. Karena tidak ada bunga yang

harus dibayarkan untuk pinjaman dari pemerintah yang besarnya 32.5 % dari

Dana Reboisasi (DR), sedangkan tingkat bunga yang diminta oleh pinjaman

dari bank (32.5 % dari total kapital) adalah 24 %, maka IRR dari modal equity

perusahaan (berjumlah 35 %) meningkat sampai sekitar 18 %. Angka-angka

investasi ini sesuai dengan spesifikasi investasi dari Departemen Kehutanan

Indonesia (MoF, 1994). Data yang disajikan oleh FAO (1990), Groome-Pöyry

(1993) dan MoF (1995) tentang keuntungan dari hutan tanaman industri

kurang-lebih sama dengan hasil-hasil ini.

Gambar 4 memperlihatkan perubahan-perubahan dalam IRR dibawah

kondisi investasi yang disebutkan di atas untuk peningkatan atau penurunan

dalam biaya atau penerimaan. Jika biaya meningkat atau penerimaan

menurun, maka IRR akan jatuh. Jika biaya total meningkat sebesar 9-40 %

dan penerimaan tetap, maka IRR akan turun menjadi sekitar 8-12 % (Gambar

5). Karenanya, pengembalian modal equity berjumlah 12.9 % sampai –0.3 %.

Jika biaya untuk menggantikan unsur hara yang ‘terambil’ dalam pemanenan

pohon dengan menggunakan jenis pupuk alternatif meningkat 13 %, maka

Ekonomi Hutan Tanaman Industri

67

IRR akan jatuh ke tingkat 11.8 % dan IRR pada modal equity akan turun

sampai 11.1 % akibat tingginya bunga bank (lihat di atas).

0

5

10

15

20

25

30

35

-60 -40 -20 0 20 40 60

Inte

rnal

rate

of r

etur

n [%

]

Changes in costs and revenue

costsrevenue

Gambar 4. IRR sebagai fungsi perubahan biaya dan pene rimaan di PT. IHM

Kesimpulan dapat diambil sebagai berikut: Perhitungan investasi untuk

proyek hutan tanaman industri perlu memperhitungkan hasil-hasil budget

unsur hara yang spesifik untuk setiap lahan. Pembangunan hutan tanaman

yang seragam dan cepat tumbuh pada areal yang luas serta mengelolanya

secara konvensional adalah tidak efisien secara ekonomis dan tidak layak

secara ekologis. Lahan-lahan yang persediaan/kandungan unsur haranya

rendah dan karenanya sudah harus dipupuk pada rotasi tanaman pertama atau

kedua (Ferralsol/Arenosol, Alisol berpasir/Acrisol) memiliki IRR yang sangat

rendah dan tidak menguntungkan dalam jangka panjang. Bahkan lahan-lahan

yang biasa (Alisol/Acrisol) membutuhkan pemupukan yang meningkat secara

intensif dengan menurunnya produktivitas, sehingga memiliki IRR dan

keuntungan dibawah rata-rata. Bentuk pengelolaan mempunyai dampak yang

menentukan keuntungan. Suatu bentuk alternatif pengelolaan unsur hara,

dimana sisa-sisa tebangan tidak dibakar dan kehilangan yang terjadi akibat

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

68

erosi dan pencucian diminimalkan dengan mengoptimalkan tehnik

pemanenan, akan menghasilkan pengeluaran biaya unsur hara yang secara

nyata lebih rendah daripada metoda-metoda konvensional.

Kesimpulan

69

8 Kesimpulan

Dapat disimpulkan, bahwa pengelolaan unsur hara yang intensip dibutuhkan

untuk mempertahankan produktivitas hutan tanaman industri pada tingkatan

yang menguntungkan, seperti halnya dalam pertanian dan perkebunan

tanaman lainnya (kelapa sawit, karet). Dalam praktek pengelolaan yang

standar/biasa, kehilangan-kehilangan unsur hara dan karenanya juga penipisan

unsur hara tanah akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan diperkirakan sangat

tinggi. Walaupun demikian, kehutanan tanaman industri memiliki potensi

untuk memperbaiki budget unsur hara lahan dengan mengoptimalkan

pemilihan jenis pohon dan lahan, serta menerapkan tehnik pembangunan

tegakan dan pemanenan yang lebih baik/maju. Penggunaan pupuk untuk

mengganti kehilangan unsur hara akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan dapat

dibatasi seminimal mungkin. Usaha utama untuk memperbaiki budget unsur

hara lahan dan produktivitas tegakan (misalnya pada Acacia mangium) adalah

dengan tidak melakukan praktek tebang-bakar.

Pemilihan lahan yang tepat merupakan hal yang penting bagi keberhasilan

hutan tanaman industri secara ekonomi dan ekologi. Disarankan untuk

mempertimbangkan perbedaan lahan berskala kecil dan tidak

mengkonversikan tanah-tanah yang miskin unsur hara (misal: Ferralsol,

Acrisol yang miskin) menjadi hutan tanaman, khususnya pada lereng-lereng

yang curam dan lereng-lereng sebelah atas. Perhitungan budget unsur hara,

sebagaimana diajukan dalam buku petunjuk ini, harus menjadi kewajiban

dalam pelaksanaan studi-studi kelayakan, perencanaan pengelolaan dan

perhitungan investasi. Ia dapat menjadi suatu alat dalam penyesuaian

pengelolaan unsur hara dibawah berbagai kondisi lahan dan tegakan yang

berbeda. Walaupun penentuan secara tepat dari fluks-fluks unsur hara (seperti

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

70

pencucian) dipersulit dengan adanya keterbatasan data yang tersedia, namun

perhitungan tersebut memberikan kemungkinan untuk setidaknya melakukan

perkiraan kasar atas kehilangan unsur hara dan indentifikasi strategi-strategi

pemupukan yang tepat.

Keberlajutan hutan tanaman industri secara ekonomis dan ekologis tergantung

sebagian besar pada kemampuannya untuk mempertahankan budget unsur

hara. Dalam hal ini sangat disarankan untuk menyertakan perhitungan budget

unsur hara sebagai suatu kriteria yang relevan dalam sertifikasi hutan tanaman

industri.

Daftar Pustaka dan Pustaka Pilihan

71

9 Daftar Pustaka dan Pustaka Pilihan

9.1 Klasifikasi tanah, karakteristik tanah, evaluasi lahan

American Society of Agronomy, 1982. Methods of Soil Analysis - Chemicaland Microbiological Properties. Number 9 (Part 1 and 2) in the seriesAgronomy, Madison, USA.

FAO, 1984. Land evaluation for forestry. FAO Forestry Paper No. 48.

FAO, 1988. FAO/UNESCO soil map of the world. 1:5 000 000. Revisedlegend. World Soil Resources Report 60. FAO, Rome (also available indigitised version)

Sanchez, P.A., 1976. Properties and management of soils in the tropics. Wiley& Sons, New York.

Uehara, G., Gillman G., 1981. The Mineralogy, Chemistry, and Physics ofTropical Soils with Variable Charge Clays. Westview TropicalAgriculture Series, No.4, Westview Press, Boulder.

USDA Soil Survey Staff, 1962. Soil Survey Manual. Handbook No. 18.Washington, USA.

USDA, 1994. Keys to Soil Taxonomy. Soil Survey Staff, USDA. PocahontasPress, Virginia.

van Bremen, H., Iriansyah, M., Andriesse, W., 1990. Detailed soil survey andphysical land evaluation in a tropical rain forest, Indonesia. TropenbosTechnical Series 6, Ede, The Netherlands.

Verband Deutscher Landwirtschaftlicher Untersuchungs- undForschungsanstalten, 1997. Die Untersuchung von Böden,Methodenbuch, Band I. 4. Auflage, VDLUFA-Verlag, Darmstadt,Germany.

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

72

WRB (World Reference Base for Soil Resources), 1994. 1. Draft.International Society of Soil Science (ISSS), International SoilReference and Information Centre (ISRIC) and Food and AgricultureOrganization of the United Nations (FAO). Wageningen, Rome.

9.2 Konsentrasi unsur hara pohon dan perhitungan volume

pohon

Amir H.M.S. & Wan R.W.A., 1994. Growth differences, fertility status andfoliar deficiency levels of six-year-old 7 Acacia mangium on Bris soils.Journal of Tropical Forest Science 6(3):230-238.

Forss E., 1994a. Growth models for unthinned Acacia mangium Willd.plantations in South Kalimantan, Indonesia. ENSO Forest DevelopmentOY Ltd., Technical Report 50.

Hernawati E., 1993. Status unsur hara pada tegakan Eucalyptus deglupta Bl.dan tanah tempat tumbuhnya di areal HTI PT. ITCI, Kenangan,Kabupaten Pasir. BSc.-Thesis, Faculty of Forestry, MulawarmanUniversity, Samarinda, Indonesien.

Lamb D., 1977. Relationships between growth and foliar nutrientconcentrations in Eucalyptus deglupta. Plant and Soil 47:495-508.

Lim M.T., 1989. Modelling the growth of Acacia mangium Willd. TheMalaysian Forester 52:15-25.

Mackensen, J., 1998. Study on sustainable nutrient management in industrialtree plantations in East-Kalimantan, Indonesia – ecological andeconomical implications (in German). PhD.-Thesis, Faculty ofForestry, University of Göttingen, Germany.

Daftar Pustaka dan Pustaka Pilihan

73

Murach D., Ruhiyat D., Iskandar E. & Schulte A., 1995. Fine root inventoriesin Dipterocarp forests and plantations in East Kalimantan, Indonesia.,In: Schulte, A. & Ruhiyat, D. (eds.), Proc. of the International Congresson Soils of Tropical Forest Ecosystems, 3rd Conference on Forest Soils(ISSS), Balikpapan, Indonesia, Nov. 1995. 7:40-53.

Nykvist N., Sim B.L. & Malmer A., 1996. Effects of tractor logging andbiomass production and nutrient accumulation in Acacia mangiumplantations in Sabah, Malaysia. J. of Tropical Forest Science 9(2):161-183.

Pujawanti Y., 1991. Status unsur hara pada tegakan Acacia mangium Willd.dan tanah tempat tumbuhnya di areal HTI PT.ITCI, Kenangan,Kabupaten Pasir. BSc.-Thesis, Faculty of Forestry, MulawarmanUniversity, Samarinda, Indonesien.

Razali W.M., Khali A.H. & Chew T.K., 1989. A volume table for plantedAcacia mangium in Peninsular Malaysia. J. Trop. For. Sci. 2(2):110-121.

Ruhiyat D., 1989. Development of site specific nutrient storages under naturalforest and plantation management (in German). PhD.-Thesis, Faculty ofForestry, University of Göttingen, Germany. Göttinger Beiträge zurLand- und Forstwirtschaft in den Tropen und Subtropen, Vol. 35.

Srivastava P.B.L., 1993. Soils and fertilizer requirements. In: Awang, K &Taylor, D.A. (eds.), Acacia mangium -Growing and Utilization. MPTSMonograph Series No. 3. Winrock International and FAO, Bangkok,Thailand. 120-147.

Syahrinudin, 1997. The role of undergrowth on timber estate of Eucalyptusdeglupta in East Kalimantan, Indonesia. MSc.-Thesis, Faculty ofForestry, University of Göttingen, Germany.

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

74

9.3 Pengaruh persiapan lahan, hidrologi, kehilangan karena

pencucian

Bosch, J.M., Hewlett, J.D., 1982. A review of catchment experiments todetermine the effect of vegetation changes on water yield andevapotranspiration. J. of Hydrology 55, 3-23.

Brouwer, L.C., 1996. Nutrient cycling in pristine and logged tropical rainforests. A study in Guyana. Tropenbos, Guayana Series 1. PhD-ThesisUniversität Utrecht.

Bruijnzeel, L.A., 1990. Hydrology of moist tropical forests and effects ofconversion: A state of knowledge review. UNESCO-IHP, HumidTropics Program, Paris.

Bruijnzeel, L.A., 1995. Predicting the hydrological impacts of land covertransformation in the humid tropics, the need for integrated research.In: Gash, J.H.C., Nobre, C.A., Roberts, J. & Victoria, R. (Eds.),Amazonian Deforestation and Climate, J.Wiley, New York.

Grip, H., Malmer, A., Wong, F.K., 1994. Converting tropical rain forest toforest plantation in Sabah, Malaysia. Part I. Dynamics and net losses ofnutrients in control catchment streams. Hydrological Processes 8, 179-194.

Mackensen, J., Klinge, R., Ruhiyat, D., Fölster, H., submitted. Assessment ofmanagement-dependent nutrient fluxes in tropical industrial treeplantations. Forest Ecology and Management, submitted.

Mackensen, J., Fölster, H., 1999. Study on sustainable nutrient supply in fast-growing plantations - Ecological and economic implications in EastKalimantan, Indonesia. Tropenwaldforschung GTZ-TÖB FTWF-II/11e.Eschborn, Germany.

Daftar Pustaka dan Pustaka Pilihan

75

Malmer, A. 1992. Water yield changes after clear-felling tropical rainforestand establishment of forest plantation in Sabah, Malaysia. J. ofHydrology, 134, 77-94.

Malmer, A., 1993. Dynamics of hydrology and nutrient losses as response toestablishment of forest plantation. A case study on tropical rainforestland in Sabah, Malaysia. PhD-Thesis, Swedish University ofAgricultural Sciences, Depart. of Forest Ecology, Umeå, Sweden.

Malmer, A., 1996. Hydrological effects and nutrient losses of forest plantationestablishment on tropical rainforest land in Sabah, Malaysia. J. ofHydrol. 174, 129-148.

Malmer, A., Grip, H., 1994. Converting tropical rainforest to forest plantationin Sabah, Malaysia. Part II. Effects on nutrient dynamics and net lossesin streamwater. Hydrological Processes 8, 195-209.

Nursidiq, 1992. Pertumbuhan Acacia mangium Willd. dan Eucalyptusdeglupta Blume pada lahan tidak dibakar dan dikar di PT.ITCI, EastKalimantan, Indonesia. BSc.-Thesis, Forestry Faculty, MulawarmanUniversity, Samarinda, East-Kalimantan, Indonesia.

Nykvist, N., Grip, H., Sim, BL., Malmer, A. & Wong, KF., 1994. Nutrientlosses in forest plantations in Sabah, Malaysia. Ambio 23(3): 210-215.

Parker, G.G., 1985. The effect of disturbance on water and soluble budgets ofhillslope tropical rainforest in north-eastern Costa-Rica. PhD-Thesis,University of Georgia, Athens, Georgia, USA.

Russell, C.E., 1983. Nutrient cycling and productivity in native and plantationforests in Jari Florestal, Para, Brazil. PhD-Thesis, University ofGeorgia, Athens.

Waterloo, M., 1994. Water and nutrient dynamics of Pinus caribaeaplantation forests on former grassland soils in Southwest Viti Levu,Fiji. PhD.-Thesis. Vrije Universiteit, Amsterdam, The Netherlands.

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

76

Williams, M.R., Fisher, T.R., Melack, J.M., 1997. Solute dynamics in soilwater and groundwater in a Central Amazon catchment undergoingdeforestation. Biogeochemistry 38(2), 303-335.

Zulkifli, Y. 1989. Effects of selective logging methods on dissolved nutrientexports in Berembun watershed, Peninsular Malaysia. Paper presentedat the FRIM-IHP-UNESCO Regional Seminar on Tropical ForestHydrology, Kuala Lumpur, 4-9 Sept. 1989.

9.4 Pemanenan dan penanaman ulang

Bruijnzeel, L.A., Crichtley, W.R.S., 1994. Environmental impacts of loggingmoist tropical forest. IHP Humid Tropics Programme Series 17.UNESCO, Paris.

Evans, J., 1992. Plantation forestry in the tropics. Clarendon Press, Oxforde,UK.

FAO, 1992. Mixed and pure forest plantations in the tropics and subtropics.FAO Forestry Paper 103, FAO, Rome.

Sim, B.L., Junim, M., 1990. Impact of tractor logging and burning on forestand plantation productivity. Paper presented at the SFI-seminar inSipitang, Sabah, Malaysia, May 1990.

Sim, B.L., Nykvist, N., 1991. Impact of forest harvesting and replanting. J.Trop. For. Sci. 3(3), 251-284.

9.5 Kehilangan atmosferis

Ewel, J., Berish, C., Brown, B., 1981. Slash and burn impacts on a CostaRican wet forest site. Ecology 62, 816-829.

Mackensen, J., Hölscher, D., Klinge, R., Fölster, H., 1996. Nutrient transfer tothe atmosphere by burning of debris in eastern Amazonia. For. Ecol.Manage. 86, 121-128.

Daftar Pustaka dan Pustaka Pilihan

77

Pivello, V.R., Coutinho, C.M., 1992. Transfer of macronutrients to theatmosphere during experimental burnings in an open Cerrado, Brazil. J.of Trop. Ecol. 8, 487-497.

Raison, R.J., Khanna, P.K., Woods, P.V., 1985a. Mechanisms of elementtransfer to the atmosphere during vegetation fires. Can. J. For. Res. 15,132-140.

Raison, R.J., Khanna, P.K., Woods, P.V., 1985b. Transfer of elements to theatmosphere during low intensity prescribed fires in three Australiansubalpine Eucalypt forests. Can. J. For. Res. 15, 657-664.

9.6 Erosi

Dias, A.C.C.P. & Northcliff, S. 1985. Effects of two land clearing methods onthe physical properties of an Oxisol in the Brazilian Amazon. TropicalAmazon (Trinidad) 62, 207-212.

Morris, L.A., Pritchett, W.L. & Swindel, B.F. 1983. Displacement of nutrientsinto windrows during site preparation of a flatwood forest. Soil ScienceSociety of America Journal 47: 591-594.

Palis, R.G., Okwach, G., Rose, C.W., Saffigna, P.G., 1990. Soil erosionprocesses and nutrient loss. I. The interpretation of enrichment ratio andnitrogen loss in runoff sediment. Aust. J. Soil Res. 28, 623-639.

Wiersum, K.F., 1984. Surface erosion under various tropical agroforestrysystems. In: O’Loughlin, C.L., Pearce, A.J. (Eds.), Effects of ForestLand Use on Erosion and Slope Stability, IUFRO, Vienna, pp. 231-239.

Wischmeier, W.H., Smith, D.D., 1960. A universal soil-loss estimatingequation to guide conservation farm planning. 7th Int. Congr. Soil Sci.1, 418-425.

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

78

9.7 Pelapukan

Bruijnzeel, L.A. 1982. Hydrological and biochemical aspects of man-madeforests in South-Central Java, Indonesia. PhD-Thesis, Free Universityof Amsterdam.

Hase, H., Fölster,H., 1983. Impact of plantation forestry with teak (Tectonagrandis) on the nutrient status of young alluvial soil in West Venezuela.Forest Ecology and Management, 6: 33-57.

Waterloo, M., 1994. Water and nutrient dynamics of Pinus caribaeaplantation forests on former grassland soils in Southwest Viti Levu,Fiji. PhD.-Thesis. Vrije Universiteit, Amsterdam, The Netherlands.

9.8 Pemupukan

Amarasiri S.L. & Olsen S.R., 1973. Liming as related to solubility of P andplant growth in an acid tropical soil. Soil Sci. Soc. Amer. Proc. 37:716-721.

Amedee G. & Peech M., 1976. The significance of KCl-extractable Al (III) asan index to lime requirement of soils of the humid tropics. Soil Sci.121:227-233.

Arora, Y., Juo, A.S.R., 1982. Leaching of fertilizer ions in a kaolinitic Ultisolin the high rainfall tropics: Leaching of Nitrate in field plots undercropping and bare fallow. Soil Sci. Soc. Am. J. 46, 1212-1218.

Bandy, D.E., Sanchez, P.A., 1986. Post-clearing soil management alternativesfor sustained production in the Amazon. In: Lal, R., Sanchez, P.A.,Cummings, R.W. (eds), Land clearing in the tropics, pp. 347-361.Balkema, Rotterdam, The Netherlands.

Cahn, M.D., Bouldin, D.R., Cravo, M.S., Bowen, W.T., 1993. Cation andnitrate leaching in an Oxisol of the Brazilian Amazon. Agron. J. 85,334-340.

Daftar Pustaka dan Pustaka Pilihan

79

Chew, P.S., Pushparajah, E., 1995. Nitrogen management and fertilization oftropical plantation tree crops. In: Bacon, P.E. (Ed.), NitrogenFertilization in the Environment. Marcel Detker, New York, pp. 225-293.

Chew, P.S., Kee, K.K., Goh, K.J., Quah, Y.T., Tey, S.H., 1992. Fertilizermanagement in oil palms. In: International Conference on FertilizerUsage in the Tropics, Malaysian Society of Soil Science, KualaLumpur.

Cochrane, T.T., Salinas, J.G., Sanchez, P.A., 1980. An equation for limingacid mineral soils to compensate crop Aluminum tolerance. Trop.Agric. (Trinidad) 57(2), 133-140.

Evans, C.E, Kamprath, E.J., 1970. Lime response as related to percent Alsaturation, solution Al, and organic matter content. Soil Sci. Soc. Amer.Proc. 34, 893-896.

Grüneberg, F., 1984. Five years soil research in East Kalimantan, Indonesia.Technical Co-operation Project No. 76.2010.7. Federal Office forGeoscience and Ressources (Bundesanstalt für Geowissenschaften undRohstoffe), Hannover, Germany.

Kruijs, A.C.v.d., Wong, M.T.F., Juo, A.S.R., Wild, A., 1988. Recovery of15N-labelled fertilizer in crops, drainage water and soil using monolithlysimeter in south-east Nigeria. J. of Soil Science 39, 483-492.

Linquist, B.A., Singleton, P.W., Cassman, K.G., 1997. Inorganic and organicPhosphorus dynamics during a build-up and decline of availablePhosphorus in an Ultisol. Soil Science 162(4), 254-264.

Mackensen, J., Fölster, H., 1999. Study on sustainable nutrient supply in fast-growing plantations - Ecological and economic implications in EastKalimantan, Indonesia. Tropenwaldforschung GTZ-TÖB FTWF-II/11e.Eschborn, Germany.

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

80

Omoti, U., Ataga, D.O., Isenmila, A.E., 1983. Leaching losses of nutrients inoil palm plantations determined by tension lysimeters. Plant and Soil73, 365-376.

Rance, S.J., Cameron, D.M., Williams, E.R., 1982. Correction of crowndisorder of Pinus caribaea var. Hondurensis by application of zinc.Plant and Soil 65(2): 293-296.

Sanchez, P., Salinas, J.G., 1981. Low input technology for managing Oxisolsand Ultisols in tropical America. Advances in Agronomy 34: 279-406.

Stone, E.L., 1990. Boron deficiency and excess in forest tress: A review.Forest Ecology and Management 37: 49-75.

Stumpe, J.M., Vlek, V.L.G., 1991. Acidification induced by different nitrogensources in columns of selected tropical soils. Soil Sci. Soc. Am. J. 55,145-151.

Teoh, K.C., Chew, P.S., 1987. Potassium in the Oil palm ecosystem and someimplications to manuring practice. In: Proc. of 1987 Int. O.P./P.OConf.-Agriculture, Malaysia. pp. 277-286.

Utomo, M., 1995. Effect of rock phosphate on soil properties and apparentphospherus recovery in acid soil of Sumatra. Plant and Soil 171, 199-202.

Voss R., Dykstra G. & Suherman T., 1977. Phosphate Fixation by tropicalUltisols in East-Kalimantan, Indonesia. In: Joseph, K.T. (ed.), Proc. ofthe Conference on Classification and Management of tropical soils, 15-20 August 1977, Kuala Lumpur: 258-264.

Wong, M.T.F., Wild, A., Juo, A.S.R., 1987. Retarded leaching of nitratemeasured in monolith lysimeters in south-east Nigeria. J. of SoilScience 38, 511-518.

Daftar Pustaka dan Pustaka Pilihan

81

Xu, Z., Saffigna, P., Simpson, J., Osborne, D., 1995. Fertilization and fate offertilizer 15N applied to a Slash x Caribbean Pine hybrid in subtropicalAustralia. In: Schulte, A., Ruhiyat, D. (Eds.), Proc. of the InternationalCongress on Soils of Tropical Forest Ecosystems, 3rd Conference onForest Soils (ISSS), Balikpapan, Indonesia, pp. 122-137.

9.9 Ekonomi hutan tanaman industri

FAO, 1990. Situation and outlook of the forestry sector in Indonesia. Vol. 2:Forest Resource Base. FAO and Ministry of Forestry, Indonesia.Forestry Studies Technical Report No.1.

Groome-Pöyry Consulting, 1993. Institutional strengthening for timberplantation development. Asian Development Bank Advisory TechnicalAssistance 1244-INO, Ministry of Forestry, Directorate of IndustrialTimber Estates. Jakarta, Indonesia.

Hamilton, C., 1997. The sustainability of logging in Indonesia's tropical for-ests: A dynamic input-output analysis. Ecological Economics 21:183-195.

Kosonen, M., Otsamo, A., Kuusipalo, J., 1997. Financial, economic andenvironmental profitability of reforestation of Imperata grasslands inIndonesia. For. Ecol. Manage. 99, 247-259.

Mackensen, J. & H. Fölster, 1999. Cost-analysis for a sustainable nutrientmanagement of fast growing tree plantations in East-Kalimantan,Indonesia. In press, Forest Ecology and Management.

Mackensen, J., Fölster, H., 1999. Study on sustainable nutrient supply in fast-growing plantations - Ecological and economic implications in EastKalimantan, Indonesia. Tropenwaldforschung GTZ-TÖB FTWF-II/11e.Eschborn, Germany.

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

82

Mackensen, J., 1998. Untersuchung zur nachhaltigen Nährstoffversorgung inschnellwachsenden Plantagensystemen in Ost-Kalimantan, Indonesien -ökologische und ökonomische Implikationen. Göttinger Beiträge zurLand- und Forstwirtschaftin den Tropen und Subtropen, 127:1-209.

MoF (Ministry of Forestry), 1994. Pedoman penyusunan studi kelayakanpembanguan hutan tanaman industri.161/Kpts/IV-PPH/1994.

MoF (Ministry of Forestry), Directorate General of Reforestation and LandRehabilitation, 1995. National Masterplan for forest planta-tions. Vol.1: Synopsis. DHV Consultants, PT. Tricon Jaya & PT. Catur TunggalSarana Consult, Jakarta, Indonesien.

PT.IHM, 1991. Unpublished study on project planning and environmental-impact assessment of PT.IHM, Kenangan, Kalimantan Timur,Indonesia.

Rissanen, H., 1994. Reforestation as an investment. Paper presented at theseminar ‘From grasslands to forest: Profitable and sustainablereforestation of Alang-Alang in Indonesia’. Jakarta, 11-12.1.1994.

Rissanen, H., 1995. Reforestation as an investment. In: A.P. Tampubolon, A.Otsamo, J. Kuusipalo and H. Jaskari (Eds.), From Grassland to Forest:Profitable and Sustainable Reforestation of Alang-Alang Grasslands inIndonesia (proceedings of a seminar held in Jakarta). Reforestation andTropical Forest Management Project (ATA-267) Phase IV. Enso ForestDevelopment, Banjarmasin, Indonesia, pp.37-53

Daftar Kata-kata

83

10 Daftar Kata-kata

Al Simbol kimia untuk alumunium

Bahan organik Bahan-bahan yang berasal dari tumbuhan (serasah)atau edaphon tanah

Bahan induk tanah Batuan dasar bagi pembentukan bahan tanah

Ca Simbol kimia untuk kalsium

Degradasi Penurunan kulaitas, misalnya penurunan kualitas tanahsebagai akibat penggunaan yang tidak sesuai

Denitrifikasi Perubahan bersifat biologis dari NO3 menjadi gas NOx

atau N2

Erosivitas Ukuran untuk kekuatan curah hujan yangmenyebabkan erosi

Erodibilitas Ukuran ketahanan tanah pada lapisan atas (top soil)terhadap erosi

Fe Simbol kimia untuk besi

Fiksasi N Perubahan secara biologis dari gas N2 menjadi NH3

yang dapat diserap tanaman

Fiksasi P Imobilisasi P melalui formasi dari Al-, Fe-, Ca-fosfat,dan merupakan fraksi P yang tidak dapat diserap olehtanaman

Hutan galeri Tipe hutan disepanjang pinggir sungai

Kejenuhan Al Proporsi alumunium sebagai persentase dari ECEC

Pengedapanatmosferis

Masukan unsur hara melalui curah hujan

Kation basa Kation-kation yang hidroksidanya berbasa kuat: Na,K, Ca, Mg (kation Mb)

Kejenuhan basa Proporsi dari terutama unsur K, Ca dan Mg sebagaipersentase dari ECEC

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

84

Indeks lahan Parameter untuk produktivitas lahan. Tinggi pohondari sejumlah absolut atau relatif dari pohon-pohontertinggi per tegakan seringkali dipakai sebagai indeks

K Simbol kimia untuk potasium

Kabel yarding Tehnik pemanenan, dimana kabel baja digunakanuntuk menyarad kayu

Kompartemen Unit yang homogen seperti batang kayu, kulit batangkayu, cabang pohon, daun-daunan, akar, lapisanserasah organik

ECEC Kapasitas pertukaran kation efektif. Kemampuankhususnya dari mineral liat dan substansi organikuntuk menyerap dan menukarkan kation-kation padapermukaan mereka. Berkaitan dengan kisaran pH yangbersangkutan

Meliorasi Tindakan/usaha untuk memperbaiki tanah(pengapuran, drainase, dll.)

Mg Simbol kimia untuk magnesium

Mg Satuan berat: Megagram (106), dulu istilahnya „ton“

Mineralisasi Pelapukan dari bahan organik

Mn Simbol kimia untuk mangan

N Simbol kimia untuk nitrogen

Nt Total persediaan N didalam tanah

P Simbol kimia untuk fosfor

Pelapukan Proses perubahan bahan batuan menjadi tanah secarakimia fisika

Pencucian tanah Air tanah dan unsur-unsur hara yang terlarut didalamnya mengalir melalui tanah (kebawah zonaperakaran)

Periode/rotasitanaman

Lama dari suatu siklus pengelolaan

Phytomas sisa Lihat sisa tebangan

Daftar Kata-kata

85

Produktivitas Produktivitas lahan atau tegakan; dievaluasi melaluimisalnya indeks lahan atau volume tegakan

Pt Total persediaan P didalam tanah

Pupuk multi-unsur Pupuk yang berisi suatu kombinasi dari unsur-unsurhara ; misalnya pupuk NPK atau TSP(Tripelsuperphosphate, termasuk Ca)

Pupuk NPK Jenis pupuk yang mengandung nitrogen, fosfat danpotasium/kalium

Relief Potongan melitang dari topografi, dinamikakelerengan

Sedimen aluvial Tanah liat, debu dan pasir yang dipindahkan oleh air,formasi tanah khas sepanjang aliran sungai

Sisa tebangan Terutama daun-daunan dan cabang-cabang pohonyang ditinggalkan di lahan setelah pemanenan

Tanaman penutup Herba yang dapat memfiksasi N, yang ditanam untukmenekan pertumbuhan gulma dan memperkaya bahanorganik tanah

Tumbuhan bawah Tumbuhan (semak, herba, dll.) yang tumbuh dibawahtajuk pohon

Unsur hara yangdapatdipertukarkan

Unsur-unsur hara (kation dan anion) yang diserap padadan dilepaskan dari permukaan mineral liat dansubstansi organik, dan karenanya secara potensialtersedia untuk diserap tanaman

Unsur hara makro N, P, K, Ca dan Mg. Unur hara yang dibutuhkandalam jumlah besar untuk pertumbuhan tanaman

Unsur hara mikro Misalnya Mn, Fe, Zn, Cu, Br. Unsur hara yangdibutuhkan dalam jumlah sedikit untuk pertumbuhantanaman

Vegetasi riparian Lihat hutan galeri

Volatilisasi Perubahan dari padat atau cairan menjadi gas

Lampiran

87

11 Lampiran

11.1 Tabel

Tabel 1: Nilai rataan konsentrasi unsur, pH dan ECEC untuk tipe tanahutama pada horison yang berbeda. Nilai untuk kedalamantanah 0-100cm berdasarkan pada rataan dari 4 macam kedalamtanah. SB = saturasi basa, S-Al. = saturasi Aluminium............. 89

Tabel 2: Persediaan unsur-unsur C, N total, P total dan kation yangdapat dipertukarkan (dihitung untuk kedalaman tanah 0-100cm). ................................................................................. 91

Tabel 3: Persediaan karbon dan unsur hara dalam hubungannya denganposisi dan kecuraman lereng. Gradien lereng individudipisahkan oleh garis-garis horisontal. .................................... 92

Tabel 4: Konsentrasi unsur hara dalam batang, kulit kayu, cabangpohon dan daun Acacia mangium. x = rataan, std = standardeviasi. .................................................................................. 93

Tabel 5: Konsentrasi unsur hara dalam batang, kulit batang, cabang dandaun dari Eucalyptus deglupta. x = rataan, std = standardeviasi. .................................................................................. 94

Tabel 6: Korelasi antara berat kompartemen pohon (y) dengan berbagaiparameter pohon (x = volume [m3], x = bdh*h [m3] dan x =bdh [cm]) untuk Acacia mangium dan Eucalyptus deglupta.Regresi hanya dapat diterapkan pada kisaran parameter pohonyang tersedia. Perhitungan berdasarkan data dari Ruhiyat(1989).................................................................................... 95

Tabel 7: Penaksiran kehilangan unsur hara melalui pemanenan tegakan.Nilai rataan (x) merujuk kepada kerapatan tegakan 800batang/ha, kisaran (min-max) untuk kerapatan tegakan 700-1100 batang/ha. Andil kulit pada kehilangan unsur haraberdasarkan nilai untuk volume panen 200 m³/ha dankerapatan tegakan 800 batang/ha............................................. 96

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

88

Tabel 8: Kehilangan unsur hara ke atmosfir disebabkan oleh kegiatantebang-bakar dalam persentase dari unsur hara yang tersimpandalam sisa tebangan. Pengurangan sisa tebangan merujukkepada berat dari sisa tebangan................................................97

Tabel 9: Perkiraan kehilangan unsur hara yang disebabkan olehkegiatan tebang-bakar: Nilai relatif dalam % dari persediaanunsur hara dalam sisa tebangan (dari Tab.8). Dalam skenario Asisa tebangan berupa tajuk pohon, dalam skenario B sisatebangan termasuk tajuk pohon, tumbuhan bawah dan serasahorganik...................................................................................98

Tabel 10: Kehilangan unsur hara akibat kegiatan-kegiatan pengelolaanmelalui pencucian (ELL) setelah logging atau konversi hutantropis. Nilai-nilai menunjukkan kehilangan unsur harabersih/netto (tidak termasuk kehilangan unsur hara yang tidakdisebabkan oleh kegiatan-kegiatan pengelolaan). .....................99

Tabel 11: Penaksiran kehilangan unsur hara melalui pencucian ekstrapada tegakan hutan tanaman Acacia mangium dan Eucalyptusdeglupta . Penaksiran menunjukkan nilai relatif untukkehilangan pencucian ekstra. Nilai-nilai absolut memper-lihatkan volume panen yang berbeda-beda. Dalam skenario Ahanya persediaan unsur hara dalam tajuk pohon yang diperhi-tungkan, sedangkan dalam skenario B persediaan unsur haradalam tajuk pohon, tumbuhan bawah dan serasah organik. ..... 100

Tabel 12: Kehilangan unsur hara dihitung untuk erosi sebesar 50 Mgtanah lapisan atas/ha/ rotasi untuk tipe-tipe tanah utama diKalimantan Timur, Indonesia. ............................................... 101

Tabel 13: Nilai-nilai absolute dan relatif untuk fluks unsur hara akibatkegiatan-kegiatan pengelolaan. Berdasarkan volume panensebesar 200m3 ha-1. ............................................................... 102

Tabel 14: Potensi unsur hara lahan untuk lahan-lahan terpilih di PT.IHM, Kalimantan Timur, Indonesia berdasarkan persediaanunsur hara yang dapat diserap tanaman. Angka-angkamenunjukkan angka teoritis dari kemungkinan rotasi tanamanuntuk setiap elemen (lihat teks). ............................................ 103

Lampiran

89

Tabel 15: Faktor-faktor untuk menghitung jumlah pupuk yangdibutuhkan untuk mengganti kehilangan-kehilangan unsurhara. .....................................................................................104

Tabel 16: Jumlah pupuk N, P dan K yang dibutuhkan untukmenggantikan kehilangan unsur hara akibat kegiatan-kegiatanpengelolaan pada hutan tanaman industri. Kehilangan dihitungdengan merujuk kepada pengelolaan lahan standar, termasukadanya kegiatan tebang-bakar dan volume panen rata-rata200 m3 ha-1. ..........................................................................105

Tabel 17: Perbandingan biaya untuk program pemupukan standar danpenggantian unsur hara yang terambil melalui pemanenan (200m3 ha-1) pada tegakan Acacia mangium (Am) dan Eucalyptusdeglupta (Ed)........................................................................106

Tabel 18: Biaya pemupukan dalam kasus penggantian kehilangan unsurhara total akibat pengelolaan variasi Min200 dan Alt200.............107

Tabel 1: Nilai rataan konsentrasi unsur, pH dan ECEC untuk tipe tanah utama pada horison yang berbeda. Nilai

untuk kedalaman tanah 0-100cm berdasarkan pada rataan dari 4 macam kedalam tanah. SB = saturasi

basa, S-Al. = saturasi Aluminium.

Dalam C Nt C/N Pt C/P P/N pH K Ca Mg Na Fe Mn Al H ECEC ECECliat SB S-Al.[cm] [%] [%] (H2O) (KCl) [µmolc g

-1] [cmolc kg-1] [%]Alisol 0-100 0.74 0.09 8.5 0.0136 61.8 0.15 4.6 3.5 1.52 5.67 4.12 1.17 0.41 0.35 73.1 0.07 86.4 25.7 14 85

0-10 2.27 0.17 13.6 0.0176 139.4 0.10 4.6 3.6 2.21 22.75 9.29 1.19 1.03 1.27 46.8 0.49 85.1 25.5 41 5610-30 0.89 0.1 9.07 0.0139 71.2 0.14 4.5 3.5 1.55 7.37 4.48 1.15 0.68 0.40 65.5 0.06 81.2 26.1 18 8130-50 0.61 0.08 7.9 0.0129 54.0 0.16 4.6 3.5 1.44 3.70 3.20 1.15 0.38 0.25 74.9 0.02 85.0 25.2 11 88

50-100 0.43 0.08 6.2 0.0131 38.4 0.17 4.7 3.5 1.40 2.36 3.31 1.18 0.19 0.19 80.6 0.01 89.2 26.1 9 90Acrisol 0-100 0.64 0.07 9.3 0.0089 73.2 0.13 4.7 3.7 1.32 4.1 1.91 0.90 0.35 0.18 53.2 0.04 62.0 18.3 14 85

0-10 1.91 0.14 13.5 0.0119 159.5 0.09 4.8 3.7 2.13 16.84 5.91 0.94 1.27 0.74 38.7 0.23 66.7 18.1 40 5610-30 0.75 0.08 9.5 0.0091 83.0 0.12 4.6 3.6 1.31 4.23 1.93 0.88 0.61 0.16 51.2 0.03 60.4 18.9 15 8430-50 0.53 0.06 8.6 0.0087 63.3 0.14 4.7 3.6 1.25 2.6 1.36 0.94 0.31 0.14 53.6 0.02 60.2 18.5 11 88

50-100 0.39 0.05 7.4 0.0083 48.63 0.15 4.8 3.6 1.19 2.0 1.32 0.88 0.08 0.10 56.8 0.01 62.5 17.6 9 91Ferralsol 0-100 0.60 0.04 14.0 0.0053 112.7 0.13 4.7 3.9 0.43 2.04 1.46 1.13 0.36 0.08 19.0 0.06 24.6 9.1 21 77

0-10 1.80 0.11 15.9 0.0081 220.5 0.07 4.6 3.8 0.97 4.91 3.29 1.22 1.28 0.25 27.5 0.56 40.0 8.7 27 6810-30 0.85 0.06 14.0 0.0061 137.2 0.10 4.7 3.9 0.50 2.40 1.82 1.15 0.60 0.09 21.5 0.01 28.1 10.2 22 7630-50 0.48 0.04 13.5 0.0052 91.6 0.15 4.8 3.9 0.39 2.02 1.54 1.12 0.27 0.07 17.5 0.00 22.9 8.8 23 75

50-100 0.30 0.02 12.6 0.0044 69.0 0.19 4.7 3.9 0.32 1.33 0.92 1.12 0.11 0.05 16.9 0.00 20.8 8.5 20 80Calcisol 0-100 2.00 0.19 10.0 0.0350 53.1 0.19 7.6 6.5 2.04 416.3 10.76 1.48 0.00 0.53 8.8 0.08 440.0 97.2 89 11

0-10 3.99 0.33 12.1 0.0392 98.4 0.12 7.1 6.2 3.39 358.2 21.62 1.45 0.00 1.17 0.0 0.00 385.8 96.3 99 010-30 1.79 0.20 8.7 0.0349 49.1 0.18 7.5 6.5 2.27 392.1 12.09 1.44 0.00 0.45 3.3 0.00 411.6 103.8 94 530-50 1.46 0.18 8.0 0.0371 37.0 0.22 7.6 6.6 1.81 434.5 9.72 1.41 0.00 0.44 7.0 0.00 454.8 101.3 90 10

50-100 1.91 0.16 10.7 0.0334 51.3 0.21 7.8 6.6 1.78 430.3 8.48 1.53 0.00 0.46 13.6 0.15 456.3 87.4 84 15Fluvisol 0-100 0.95 0.14 6.9 0.0299 31.8 0.218 5.6 4.2 2.41 45.8 45.18 2.01 0.00 1.0 17.6 0.00 114.0 20.2 82 17

0-10 2.45 0.24 10.2 0.0342 71.6 0.143 6.2 5.3 2.75 120.2 49.54 1.53 0.00 0.9 0.0 0.00 174.9 20.2 100 010-30 1.01 0.15 6.7 0.0298 33.9 0.199 5.6 3.9 2.26 56.9 45.49 1.86 0.00 0.9 10.2 0.00 117.6 21.7 91 930-50 0.89 0.14 6.4 0.0291 30.6 0.208 5.6 4.2 2.30 57.7 36.80 1.81 0.00 0.7 4.4 0.00 103.8 18.5 95 4

50-100 0.65 0.11 5.9 0.0294 22.1 0.267 5.5 3.8 2.43 21.8 47.53 2.24 0.00 1.2 29.4 0.00 104.5 20.6 71 28

Lampiran

91

Tabel 2: Persediaan unsur-unsur C, N total, P total dan kation yang

dapat dipertukarkan (dihitung untuk kedalaman tanah 0-

100cm).

Tipe tanah C Nt Pt Na K Ca Mg Fe Mn Al

[Mg ha-1] [kg ha-1]

Alisol x 93.0 11.4 1691 345 757 1455 618 100 124 8456

median 89.9 11.1 1606 393 770 1186 397 81 116 8213

std 19.4 3.2 641 159 253 936 517 94 65 2649

max 148.2 22.4 3743 553 1255 4189 1877 321 272 14926

min 59.7 6.4 617 96 344 375 121 0 27 4571

Acrisol x 83.3 9.1 1187 277 693 1092 311 87 67 6468

median 86.1 9.1 1189 164 703 961 272 57 74 6385

std 18.6 1.6 232 148 163 627 126 68 36 1135

max 108.2 12.2 1622 451 947 2101 502 216 105 8551

min 49.2 6.8 918 153 455 505 198 24 13 4845

Ferralsol- x 78.8 5.7 721 373 236 566 247 90 31 2423

Arenosol median 75.4 5.4 741 445 227 547 278 85 32 1906

Std 17.4 1.2 57 153 23 145 93 38 10 1194

Max 102.8 7.2 766 456 270 749 319 134 41 4199

Min 61.4 4.5 638 142 221 419 111 54 20 1681

Calcisol X 111.4 11.1 2101 219 517 51013 824 0 124 487

Fluvisol 130.3 19.0 4177 649 1315 12538 7681 0 383 2264

x = mean, std = standar deviasi, max/min = nilai maksimum/minimum

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

92

Tabel 3: Persediaan karbon dan unsur hara dalam hubungannya dengan

posisi dan kecuraman lereng. Gradien lereng individu dipisahkan

oleh garis-garis horisontal.

Posisi Lereng IL C Nt Pt K Ca Mg[°] [m] [Mg ha-1] [%] [Mg ha-1] [%] [kg ha-1] [%] [kg ha-1] [%] [kg ha-1] [%] [kg ha-1] [%]

Puncak 2 19.71 148 100 9.6 100 1407 100 344 100 480 100 137 100Puncak 4 14.2 109 73 8.6 90 1189 85 455 132 519 108 198 145L. Atas 27 17.5 116 78 13.4 140 1876 133 780 227 616 128 219 160Teras 5 22.3 99 67 11.2 117 1544 110 912 265 817 170 397 289Teras 2 20.4 89 60 10.1 105 1192 85 390 114 815 170 212 155Lembah 4 24.2 88 59 12.2 127 1622 115 740 215 961 200 502 366Puncak 8 27.92 133 100 22.4 100 3045 100 1255 100 2359 100 1877 100L.Atas 17 28.5 93 70 13.2 59 2374 78 875 70 3114 132 1508 80L.Bawah 22 32.5 75 57 17.7 79 3742 123 1141 91 3430 145 1837 98Lembah 1 >32.5 130 98 19.0 85 4177 137 1315 105 12538 532 768 41

Puncak 3 28.93 103 100 7.2 100 742 100 270 100 749 100 270 100L.Tengah 31 25.5 63 61 6.4 89 617 83 475 176 375 50 144 54

Puncak 8 26.43 95 100 9.4 100 918 100 816 100 505 100 286 100L.Bawah 15 29.2 114 119 13.6 146 1582 172 1219 149 881 175 542 189

L.Atas 12 27.04 95 100 10.5 100 1090 100 676 100 691 100 313 100L.Bawah 9 28.0 90 95 9.3 89 872 80 698 103 1769 256 326 104

L.Atas 17 17.35 84 100 10.0 100 1269 100 605 100 968 100 319 100L.Tengah 12 21.0 83 99 8.2 82 1055 83 561 93 1716 177 213 67L.Bawah 15 21.7 86 102 10.1 101 1365 108 862 143 1657 171 1056 331L.Tengah 17 22.9 73 100 9.6 100 1301 100 703 100 1235 100 272 100L.Bawah 10 22.0 90 124 11.7 122 1606 123 875 125 1109 90 293 108L.Tengah 10 20.2 87 100 9.2 100 1220 100 530 100 829 100 166 100L.Tengah 10 25.9 49 57 6.8 74 1016 83 638 119 605 73 231 139L.Tengah 30 19.5 84 97 11.1 121 1627 133 819 155 704 85 397 239L.Tengah 35 18.9 87 99 8.6 94 1349 111 466 88 1269 153 219 132L.Atas 16 15.9 82 100 8.3 100 1270 100 512 100 1338 100 290 100L.Bawah 12 20.8 86 105 9.1 109 1207 95 947 185 2101 157 478 165L.Atas 20 15.4 70 100 10.8 100 1790 100 592 100 416 100 121 100L.Bawah 24 21.9 92 131 13.3 123 2166 121 946 160 2527 607 1275 1056

Nt dan Pt = Persediaan N dan P total (termasuk bentuk N dan P yang tidak dapat diserap)

IL = indeks lahan (rata-rata tinggi dari 5 pohon tertinggi per plot berukuran 0.05 ha).

1 Eucalyptus deglupta 7.5 thn, 2 Eucalyptus deglupta 14.5 thn, 3 Acacia mangium 7.5 thn,4 Acacia mangium 8,5 thn, 5 Eucalyptus deglupta 8.5 thn

Tabel 4: Konsentrasi unsur hara dalam batang, kulit kayu, cabang pohon dan daun Acacia mangium.

x = rataan, std = standar deviasi.

Pustaka Umur n C N P S Na K Ca Mg Mn Al[tahun] [%] [%] [mg g-1 bahan kering]

Batang Mackensen, 1998 9 15 x 49.8 0.124 0.0145 0.0989 0.2407 0.3907 0.6459 0.0731 0.0005 0.0548std 0.36 0.01 0.02 0.01 0.25 0.24 0.20 0.03 0.00 0.04

Ruhiyat, 1989 5-7 36 x 0.117 1.16 0.68 0.16Nykvist et al., 1996A 3.6-3.8 40 x 0.24 0.1 0.2 2.5 0.8 0.3

Kulit kayu Mackensen, 1998 9 15 x 51.4 1.026 0.146 0.622 0.295 4.107 10.553 0.409 0.056 0.004std 1.94 0.19 0.03 0.15 0.16 2.19 2.02 0.21 0.02 0.01

Ruhiyat, 1989b 5-7 3 x 47.2 1.100 3.84 10.13 0.52 0.3474std 0.98 0.05 0.80 1.67 0.18 0.13

Nykvist et al., 1996a 3.6-3.8 40 x 1.32 0.36 1.16 0.65 10.5 0.93Daun Ruhiyat, 1989b 5-7 14 x 47.10 2.51 1.630 21.73 5.97 2.09 0.315

std 4.58 0.93 0.271 5.51 4.91 0.75 0.208Pujawanti, 1991e 5 3 x 2.99-3.42 0.295 1.58 0.64 0.11Nykvist et al., 1996a 3.6-3.8 40 x 3.13 1.3 2.1 15.2 4.5 1.1Amir et al., 1994c 6 20 x 2.14-2.35 0.1-1.1 4.0-6.5 3.3-4.7 1.8-1.9 0.2-0.3Srivastava, 1993d ‘nilai kritis’ <1.3 <6.0 <2.0 <1.1

‘kisaran normal’ >3 1.3-1.5 >10.0 1.5-2.0Cabang Ruhiyat, 1989b 5-7 15 x 45.93 0.33 3.48 2.63 0.63 0.035

std 0.18 0.12 1.38 0.65 0.12 0.054Pujawanti, 1991e 5 3 x 0.56-0.77 0.12 1.35 0.23 0.16

a Rataan dihitung untuk 3 tegakan pada lahan Acrisol dan Podzol, Sabah, Malaysia, b standar deviasi dari C dan Al dihitung dari data laboratoriumyang tidak dipublikasikan, c lahan-lahan Spodosol, Malaysia Barat, d diambil dari Nykvist et al. (1996)

e PT. IHM, Kalimantan Timur, kompartemen 54. Data P, K, Ca dan Mg mungkin salah dengan faktor 10

Tabel 5: Konsentrasi unsur hara dalam batang, kulit batang, cabang dan daun dari Eucalyptus deglupta.

x = rataan, std = standar deviasi.

Pustaka Umur n C N P S Na K Ca Mg Mn Fe Al[tahun] [%] [%] [mg g-1 bahan kering]

Batang Mackensen, 1998 8.5 15 x 49.7 0.081 0.0354 0.1062 0.0049 1.820 0.710 0.227 0.0276 0.0292 0.014std 0.16 0.01 0.04 0.02 0.02 0.53 0.15 0.04 0.01 0.02 0.04

Ruhiyat, 1989 5.1-9 47 x 0.049 1.485 1.108 0.2025Kulit batang Mackensen, 1998 8.5 15 x 47.2 0.495 0.3163 0.5783 0.0732 19.07 8.40 1.367 0.2312 0.0387 0.057

std 0.50 0.13 0.04 0.10 0.04 3.35 2.85 0.35 0.06 0.02 0.02Ruhiyat, 1989a 5.1-9 4 x 43.3 0.295 11.193 13.848 1.105 0.124

std 0.83 0.03 2.18 3.90 0.27 0.10Daun Syahrinudin, 1997 1-6 15 x 2.03 1.002 12.43 6.32 1.62

6 3 x 2.09 0.88 13.21 5.08 1.30Ruhiyat, 1989b 5.1-9 27 x 48.09 2.03 1.19 14.34 6.56 2.44 0.21

std 4.82 0.2 0.21 4.6 2.8 0.34 0.30Hernawati, 1993c 5 3 x 1.97-2.02 0.23 1.5 0.63 0.20Lamb, 1977 ca. 1,5 96 x 0.64-2.04 1.0-6.9 4.4-17.8 4.6-14.0 1.3-4.2 0-0.27 0.03-0.15

8 x 1.77-3.36 3.6-5.4 10.3-14.8Cabang Syahrinudin, 1997 1-6 15 x 0.643 10.41 8.77 1.46

6 3 x 0.337 10.95 6.12 0.85Hernawati, 1993c 5 3 x 0.39-0.46 0.031 1.28 0.20 0.14Ruhiyat, 1989b 5.1-9 20 x 45.9 0.267 4.16 2.75 1.22 0.006

std 1.36 0.126 1.07 0.82 1.43 0.026a standar deviasi C dan Al dihitung dari data laboratorium yang tidak dipublikasikan, b semua nilai dihitung dari hasil laboratorium yang tidak

dipublikasikan, c PT. IHM, Kalimantan Timur, kompartemen 54. Data-data P, K, Ca dan Mg mungkin salah dengan faktor 10.

Lampiran

95

Tabel 6: Korelasi antara berat kompartemen pohon (y) dengan berbagai

parameter pohon (x = volume [m3], x = bdh*h [m3] dan x = bdh

[cm]) untuk Acacia mangium dan Eucalyptus deglupta. Regresi

hanya dapat diterapkan pada kisaran parameter pohon yang

tersedia. Perhitungan berdasarkan data dari Ruhiyat (1989).

n x = vol. [m3] R2 x = bdh*h [m3] R2 x = bdh [cm] R2

Acacia mangiumKisaran 1.22 m3-0.01 m3 3.11 m3-0.02 m3 36.8 cm-4.2 cm

Rataan 0.30 m3 0.78 m3 17.1 cm

Batang 14 y = 369.38x 0.97 y= 145.06x 0.97 y= 1.1135x1.6056 0.70Kulit batang 14 y = 29.001x0.5204 0.89 y= 17.83x0.5204 0.89 y= 0.2368x1.4522 0.71

Cabang 15 y = 63.264x 0.83 y=25.133x 0.86 y= 0.0356x2.0777 0.75

Daun 14 y = 9.9605x0.5489 0.89 y= 5.9628x0.5489 0.89 y= 0.0755x1.4326 0.84

Eucalyptus deglupta

Kisaran 1.98 m3-0.009 m3 4.51 m3-0.02 m3 37.1 cm-5.1 cm

Rataan 0.82 m3 1.86 m3 23.9 cm

Batang 20 y = 291.81x0.9167 0.98 y= 137.43x0.9167 0.98 y= 0.0632x2.5371 0.96

Kulit batang 20 y = 15.4x0.6671 0.97 y= 8.9035x0.6671 0.97 y= 0.0313x1.8647 0.97

Cabang 20 y = 29.092x1.1912 0.86 y= 11.488x1.1312 0.86 y= 0.0005x3.2876 0.93Daun 19 y = 11.098x1.0538 0.90 y= 4.6701x1.0538 0.90 y= 0.0005x3.0313 0.95

bdh = diameter setinggi dada, h = tinggi pohon

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

96

Tabel 7: Penaksiran kehilangan unsur hara melalui pemanenan tegakan.

Nilai rataan (x) merujuk kepada kerapatan tegakan 800

batang/ha, kisaran (min-max) untuk kerapatan tegakan 700-1100

batang/ha. Andil kulit pada kehilangan unsur hara berdasarkan

nilai untuk volume panen 200 m³/ha dan kerapatan tegakan 800

batang/ha.

Volume N P K Ca Mg[m3 ha-1] [kg ha-1]

Acacia mangium

200 x 202 2.6 73 161 10min-max 195-220 2.5-2.9 70-80 154-179 9.5-10.5

Andil dari kulit [%] 54 60 60 70 45

300 x 274 3.5 98 211 14min-max 265-296 3.4-3.9 94-107 202-234 13.2-14.4

Eucalyptus degl.

100 x 42 2.1 118 49 12min-max 41-44 2.1-2.3 115-126 47-52 11-12

200 x 75 3.7 206 85 21min-max 74-79 3.7-4 201-219 83-90 20.5-22

Andil dari kulit [%] 31 39 43 46 30

Lampiran

97

Tabel 8: Kehilangan unsur hara ke atmosfir disebabkan oleh kegiatan

tebang-bakar dalam persentase dari unsur hara yang tersimpan

dalam sisa tebangan. Pengurangan sisa tebangan merujuk

kepada berat dari sisa tebangan.

Berat sisatebangan

Pengurangansisa tebagan

N P K Ca Mg S

[Mg ha-1] [%] [%]Ewel et al., 1981; CostaRica

38.5 83 40 47

Raison et al., 1985b;Australia

11.4 64 64 44 55 33 37

Pivello et al., 1992; Brazil 6.3 90 95 51 44 52 42 59Waterloo, 1994; Fiji 40.0 86 84 52 79 78 60Mackensen et al., 1996;Brazil

31.2 94 98 47 48 35 40 76

33.5 91 94 27 16 9 17 6995.2 96 98 33 31 24 43 69

Rataan dari seluruh studi 86 82 42 46 39 40 64

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

98

Tabel 9: Perkiraan kehilangan unsur hara yang disebabkan oleh kegiatan

tebang-bakar: Nilai relatif dalam % dari persediaan unsur hara

dalam sisa tebangan (dari Tab.8). Dalam skenario A sisa

tebangan berupa tajuk pohon, dalam skenario B sisa tebangan

termasuk tajuk pohon, tumbuhan bawah dan serasah organik.

Volume Sisatebangan

N P K Ca Mg

[m3 ha-1] [Mg ha-1] [%]x 82 42 46 39 40

6.3-95.2 min-max 40-98 27-52 16-79 9-78 17-60

[kg ha-1]

Acacia mangium(A) tajuk 200 16.2 x 125 2.51 51 18 6

min-max 61-149 1.6-3.0 18-84 4-37 2-8(B) sisa tbg.tot 32.5 x 329 113 63 20

min-max160-393 -2 39-187 15-127 9-30

(A) tajuk 300 23.4 x 165 3 69 26 8min-max 81-198 1.9-3.7 24-114 6-52 3-12

(B) sisa tbg.tot 39.8 x 369 131 71 22min-max180-441 -2 46-217 16-143 10-34

Eucalyptus deglupta(A) tajuk 100 3.2 x 23 0.5 10 4 2

min-max 11-28 0.4-0.7 4-17 1-9 1-3(B) sisa tbg.tot 24.9 x 195 79 61 19

min-max 95-233 -2 28-131 14-122 8-28

(A) tajuk 200 6.9 x 48 1.11 22 10 4min-max 23-57 0.7-1.4 8-36 2-19 2-6

(B) sisa tbg.tot 27.9 x 219 91 64 21min-max107-262 -2 32-150 15-133 9-31

(B) sisa tbg.tot3 39.5 x 338 9.3 156 93 28min-max165-403 5.9-11.4 55-270 22-188 12-43

1 Berdasarkan kandungan Pt dalam daun, data untuk kandungan P dalam cabang tidaktersedia,

2 Tidak ada data tentang konsentrasi P dalam tumbuhan bawah dan lapisan serasahorganik,

3 Berdasarkan data tentang konsentrasi unsur hara dari Syahrinudin (1997)

Sisa tbg.tot = sisa tebangan total

Tabel 10: Kehilangan unsur hara akibat kegiatan-kegiatan pengelolaan melalui pencucian (ELL) setelah logging

atau konversi hutan tropis. Nilai-nilai menunjukkan kehilangan unsur hara bersih/netto (tidak termasuk

kehilangan unsur hara yang tidak disebabkan oleh kegiatan-kegiatan pengelolaan).

Penulis Curah hujan. Met. Plot Waktu Luas Sisa Tebangan Nt Pt K Ca Mg S Mn[mm/thn] [bln] [ha] [Mg ha-1] [kg ha-1]

Brouwer, 1996 2500 S LG 34 0.34 190 51 30 34181 40 24 31

Hölscher, 19971 2500 S 4 (12)2 0.02 Tidak ada data 15 0.2 5 10 3 0.7

Klinge, 1998 2500 S A2 12 0.25 33.5 150 0.13 48 55 22 4.23 0.4Klinge, 1998 S A3 12 0.25 95.5 195 0.13 124 81 21 11.13 0.5Malmer & Grip,1994

3200 C W5 9 9.7 99.1 13 0.9 102 12 8 20 0.4

Malmer, 1996 C W4 33 3.4 1854 27 0.8 106 25 8Malmer & Grip,1994

C W5 33 9.7 1724 40 1.3 189 27 15 31 0.6

Parker, 1985 4000 S 13 0.05 Tidak ada data 108 5 23 360.25 Tidak ada data 115 8 22 22

Russell, 19835 2300 S 2 (12)2 0.01 Tidak ada data 0.04 23 21 8S 3 (12)2 0.01 Tidak ada data 0.16 179 83 133

Waterloo, 1994 1700 C 28 62.9 40 6 <1 3 2 4

1 Plot tidak dipupuk, fallow umur 7 tahun, setelah penanaman jagung, kacang dan singkong.2 Hasil-hasil diekstrapolasi kedalam 1 tahun.3 PO4-P dan SO4-S berturut-turut.4 Phytomass total di lahan dikurangi kayu yang diambil (61% dari kompartem kayu pada W4, 50% pada W5).5 Hasil-hasil dari lahan 2 dan 3 berturut-turut dikurangi hasil dari lahan 1 (kontrol, Russell, 1983).Met. = Metodologi (S = mangkok penyedot/suction cup; C = penangkapan/catchment), Waktu = pengukuran kontinyu dalam bulan [bln]

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

100

Tabel 11: Penaksiran kehilangan unsur hara melalui pencucian ekstra

pada tegakan hutan tanaman Acacia mangium dan Eucalyptus

deglupta . Penaksiran menunjukkan nilai relatif untuk kehilangan

pencucian ekstra. Nilai-nilai absolut memperlihatkan volume

panen yang berbeda-beda. Dalam skenario A hanya persediaan

unsur hara dalam tajuk pohon yang diperhitungkan, sedangkan

dalam skenario B persediaan unsur hara dalam tajuk pohon,

tumbuhan bawah dan serasah organik.

Volume N P K Ca Mg[m3 ha-1] [%]

x 21 2 35 5 20min-max 4-42 0-11 21-69 2-15 11-54

[kg ha-1]

Acacia mangium(A) tajuk 200 x 32 0.121 39 2.4 2.8

min-max 6-64 0-0.64 23-77 0.9-71 1.5-7.6(B) sisa tbg.tot x 84 86 8.1 10.1

min-max 16-168 -2 52-170 3.3-24.4 5.5-27.2(A) tajuk 300 x 42 0.141 52 3.4 3.9

min-max 8-85 0-0.79 31-103 1.3-10.1 2.1-10.5(B) sisa tbg.tottebangantotal

x 94 100 9.1 11.2

min-max 18-189-2

60-197 3.7-27.4 6.1-30.2

Eucalyptus deglupta(A) tajuk 100 x 5.9 0.031 8 0.6 0.9

min-max 1.1-11.9 0-0.14 5-16 0.2-1.7 0.5-2.5(B) sisa tbg.tot x 49.9 60 7.8 9.3

min-max 9.5-99.7 -2 36-119 3.1-23.5 5.1-25.1(A) tajuk 200 X 12.2 0.051 17 1.2 1.9

min-max 2.3-24.4 0-0.29 10-33 0.5-3.7 1.1-5.2(B) sisa tbg.tot X 56.1 69 8.5 10.3

min-max 11-112 -2 41-136 3.4-25.5 5.7-27.8

1 berdasarkan pada kandungan P dalam daun; data untuk kandungan P dalam cabang tidaktersedia.

2 tidak ada data konsentrasi P untuk tumbuhan bawah dan serasah organik

Lampiran

101

Tabel 12: Kehilangan unsur hara dihitung untuk erosi sebesar 50 Mg tanah

lapisan atas/ha/ rotasi untuk tipe-tipe tanah utama di

Kalimantan Timur, Indonesia.

Tipe tanah C Nt Pt K Ca Mg Mn[Mg ha-1] [kg ha-1]

Alisol x 1.14 84.5 8.8 4.3 22.8 5.6 1.7min-max 0.75-2.1 56.7-140 4.9-16.9 2.1-6.7 4.5-83.6 1.4-13.7 0.3-4.1

Acrisol x 0.96 69.5 5.9 4.2 16.9 3.6 1.0min-max 0.36-1.3 35-95 4.2-8.4 2.8-6.7 6.2-37.4 2.3-5.4 0.14-1.97

Ferralsol x 0.90 56.3 4.0 1.9 4.9 2.0 0.4min-max 0.65-1.24 40-75 3.5-4.4 1.6-2.2 3.2-6.5 0.7-3.4 0.2-0.6

Calcisol x 1.99 163.7 19.6 6.6 358.9 13.1 1.6

Hasil dikalikan dengan angka 4 untuk memperoleh tingkat erosi sebesar 200 Mg ha-1 dandibagi 5 untuk memperoleh tingkat erosi 10 Mg ha-1.

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

102

Tabel 13: Nilai-nilai absolute dan relatif untuk fluks unsur hara akibat

kegiatan-kegiatan pengelolaan. Berdasarkan volume panen

sebesar 200m3 ha-1.

N P K Ca Mg[kg ha-1] [%] [kg ha-1] [%] [kg ha-1] [%] [kg ha-1] [%] [kg ha-1] [%]

Acacia mangiumHilang oleh panen 202 29 2.6 21 73 26 161 64 10 22Hilang ke udara1 329 48 2.5 20 113 41 63 25 20 45Hilang tercuciekstra2

84 12 0.1 1 86 31 8 3 10 22

Hilang oleh erosi3 77 11 7.4 59 4 2 20 8 5 10

Jumlah4 692 100 12.6 100 276 100 252 100 45 100

Eucalyptus degluptaHilang oleh panen 75 18 3.7 30 206 56 85 48 21 37Hilang ke udara1 219 51 1.1 9 91 25 64 36 21 37Hilang tercuciekstra2

56 13 0.1 0 69 19 9 5 10 18

Hilang oleh erosi3 77 18 7.4 60 4 1 20 11 5 8ssssJumlah4 427 100 12.3 100 370 100 178 100 57 1001 lihat Tab. 9, skenario B, 2 lihat Tab. 11, skenario B1, 2 kehilangan ke udara dan pencucian ekstra menunjukkan 103% dari persediaan total N

dalam sisa tebangan3 lihat Tab. 12, rataan dari Ali- dan Acrisol4 ketidakkonsistenan mungkin terjadi akibat pembulatan dari nilai relatif

Lampiran

103

Tabel 14 : Potensi unsur hara lahan untuk lahan-lahan terpilih di PT. IHM,

Kalimantan Timur, Indonesia berdasarkan persediaan unsur

hara yang dapat diserap tanaman. Angka-angka menunjukkan

angka teoritis dari kemungkinan rotasi tanaman untuk setiap

elemen (lihat teks).

N P K Ca MgAcacia mangium

Ali-/Acrisol (Ultisol) biasa >10 3-4 5 >10Ferralsol (Oxisol) biasa 6 1-2 3 6Calcisol >10 2-3 Tdk terbatas 10

Eucalyptus deglupta

Ali-/Acrisol (Ultisol) biasa 3 >10 3 6 10Ferralsol (Oxisol) biasa 2 6 1-2 4 5Calcisol 2-3 >10 2-3 Tdk terbatas 10

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

104

Tabel 15: Faktor-faktor untuk menghitung jumlah pupuk

yang dibutuhkan untuk mengganti kehilangan-

kehilangan unsur hara.

faktor N NPK Urea Ammoniumnitrat

Nitrat

Penyerapan tanaman (13% N) (46% N) (35% N) (16%N)40% 19.2 5.4 7.1 15.650% 15.4 4.3 5.7 12.560% 12.8 3.6 4.8 10.470% 11.0 3.1 4.1 8.9

faktor P NPK TSP Batuphosphate

SP

Penyerapan tanaman (5.7% P) (22% P) (15.8% P) (8% P)10% 179.2 45.5 63.3 125.015% 119.5 30.3 42.2 83.320% 89.6 22.7 31.6 62.530% 59.7 15.2 21.1 41.740% 44.8 11.4 15.8 31.3

faktor K NPK Potassium chlorideatau –sulphate (KCl / K2SO4)

Penyerapan tanaman (17.4% K) (50% K) (42% K) (33% K)40% 14.3 5.0 6.0 7.650% 11.5 4.0 4.8 6.160% 9.6 3.3 4.0 5.170% 8.2 2.9 3.4 4.3

faktor = (100/konsentrasi unsur dalam pupuk)*(100/penyerapan tanaman)

NPK = pupuk multi unsur berisi, N, P dan K

TSP = Triplesuperphosphate, SP = Superphosphate

Lampiran

105

Tabel 16: Jumlah pupuk N, P dan K yang dibutuhkan untuk menggantikankehilangan unsur hara akibat kegiatan-kegiatan pengelolaanpada hutan tanaman industri. Kehilangan dihitung denganmerujuk kepada pengelolaan lahan standar, termasuk adanyakegiatan tebang-bakar dan volume panen rata-rata 200 m3 ha-1.

Unsur/jenis pohon Kehilangan Jenis pupuk (konsentrasi unsur)[kg ha-1] Efisiensi pupuk diasumsikan

N NPK (13%N) Urea (46% N) NH4NO3 (35%N) Nitrate (16%N)Eucalyptus deglupta 50 70 50 70 50 70 50 70

Hilang akibat panen 75 1155 825 323 233 428 308 938 668Hilang ke udara 219 3373 2409 942 679 1248 898 2738 1949Hilang tercuci ekstra 56 862 616 241 174 319 230 700 498Hilang akibat erosi 77 1186 847 331 239 439 316 963 685

Jumlah 427 6576 4697 1836 1324 2434 1751 5338 3800

P NPK (5.7%P) TSP (22%P) CIRP (15.8%P) SP (8%P)Acacia mangium 10 40 10 40 10 40 10 40

Hilang akibat panen 2,6 466 116 118 30 165 41 325 81Hilang ke udara 2,5 448 112 114 29 158 40 313 78Hilang tercuci ekstra 0,1 18 4 5 1 6 2 13 3Hilang akibat erosi 7,4 1326 332 337 84 468 117 925 232

Jumlah 12,6 2258 564 573 144 798 199 1575 394

Eucalyptus degluptaHilang akibat panen 3,7 663 166 168 42 234 58 463 116Hilang ke udara 1,1 197 49 50 13 70 17 138 34Hilang tercuci ekstra 0,05 9 2 2 1 3 1 6 2Hilang akibat erosi 7,4 1326 332 337 84 468 117 925 232

Jumlah 12,25 2195 549 557 140 775 194 1531 383

K NPK (17.4%K) KCL (50%K) KCl (40%K) K2SO4 (33%K)Acacia mangium 50 70 50 70 50 70 50 70

Hilang akibat panen 73 840 599 292 212 350 248 445 314Hilang ke udara 113 1300 927 452 328 542 384 689 486Hilang tercuci ekstra 86 989 705 344 249 413 292 525 370Hilang akibat erosi 4 49 35 17 12 21 15 26 18

Jumlah 276 3177 2266 1105 801 1326 939 1685 1188

Eucalyptus degluptaHilang akibat panen 206 2369 1689 824 597 989 700 1257 886Hilang ke udara 91 1047 746 364 264 437 309 555 391Hilang tercuci ekstra 69 794 566 276 200 331 235 421 297Hilang akibat erosi 4 49 35 17 12 21 15 26 18

Jumlah 370 4258 3036 1481 1074 1777 1259 2259 1592

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

106

Tabel 17: Perbandingan biaya untuk program pemupukan standar dan

penggantian unsur hara yang terambil melalui pemanenan (200

m3 ha-1) pada tegakan Acacia mangium (Am) dan Eucalyptus

deglupta (Ed).

Varian Biaya pemupukanPT.IHM Am Ed[Rp ha-1] [%] [Rp ha-1] [%] [Rp ha-1] [%]

Program pemupukan standar termasuk NPK,TSP dan dolomit

193.680 100

Penggantian kehilangan unsur hara akibatpanen dengan pupuk standar (NPK, TSP,dolomit)

2.654.475 1371 2.076.880 1072

Penggantian kehilangan unsur hara akibatpanen (NPK, TSP, dolomit), tetapi tanpaNPK-N untuk Acacia mangium

1.007.005 520

Penggantian kehilangan unsur hara akibatpanen dengan pupuk alternatif (Urea, TSP,potash, dolomit)

783.838 405 820.039 423

Penggantian kehilangan unsur hara akibatpanen dengan pupuk alternatif (TSP, potash,dolomit), tidak ada pemupukan N untukAcacia mangium

505.990 261

(Am) Acacia mangium, (Ed) Eucalyptus deglupta. Seluruh biaya berdasarkan keadaan tahun1996/97 (1 US$ =. Rp. 2200)

Lampiran

107

Tabel 18: Biaya pemupukan dalam kasus penggantian kehilangan unsur

hara total akibat pengelolaan variasi Min200 dan Alt200.

Acacia mangium Eucalyptus degluptaVarian Min200

a Alt200b Min200

a Alt200b

[Rp ha-1] [%]c [Rp ha-1] [%]c [Rp ha-1] [%]c [Rp ha-1] [%]c

Standar (NPK, TSP, dolomit) 4.317.620 2229 2.561.622 1323 2.431.655 1256 1.232.945 637

Standar (NPK, TSP, dolomit),tanpa NPK-N

1.904.665 983 1.197.550 618

Pupuk alternatif (Urea, TSP,potash, dolomit)

1.166.719 602 810.021 418 1.099.578 568 841.318 434

Pupuk alternatif (TSP, potash,dolomit), tanpa pupuk N

685.210 354 543.275 281

a volume panen: 200 m3, kehilangan minimal melalui pencucian, pembakaran dan erosi.b volume panen: 200 m3, tanpa pembakaran, kehilangan minimal melalui pencucian dan erosi

yang berkurang.c berkaitan dengan biaya dari program pemupukan standar (100%, Tab. 17).

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

108

11.2 Lampiran 2

Penentuan tekstur tanah dapat dilakukan dengan cara meraba dan

merasakannya dengan jari tangan. Namun, metoda ini membutuhkan latihan

kemudian pengecekan dan pencocokan hasil penaksiran di lapangan dengan

hasil laboratorium. Instruksi berikut ini (diambil dari the USDA Soil Survey

Manual, 1962) memberikan penjelasan mengenai penentuan kelas-kelas

tekstur tanah berdasarkan pengalaman lapangan dan perasaan.

Sand atau Pasir (>70% pasir): adalah butiran-butiran tunggal dan lepas.

Masing-masing butiran dapat dengan cepat dilihat dan diraba. Bila diremas

dalam keadaan lembab akan membentuk gumpalan tetapi akan pecah kembali

bila disentuh.

Sandy loam atau tanah lempung berpasir (0-20% liat, >50% pasir): adalah

tanah yang berisi banyak pasir tetapi juga memiliki cukup tanah liat dan

lempung yang membuatnya dapat saling melekat. Butir-butir pasir tunggal

dapat dengan cepat dilihat dan dirasakan. Bila diremas dalam keadaan kering

akan membentuk gumpalan yang dengan segera pecah kembali, tetapi bila

diremas ketika lembab akan terbentuk gumpalan yang tidak akan pecah bila

dilakukan dengan hati-hati.

Loam atau Lempung (10-25% liat, 50-70% pasir): adalah tanah yang

mengandung pasir, debu dan liat yang relatif sama banyak. Lunak dengan rasa

berpasir, tetapi licin dan agak lentur. Bila diremas dalam kedaan kering akan

menggumpal yang akan dapat menahan perlakuan hati-hati, sedangkan

gumpalan yang terbentuk dari remasan tanah lembab akan dapat diperlakukan

secara bebas tanpa memecahkanya.

Lampiran

109

Silt loam atau lempung debu (0-30 % liat, < 50% pasir): adalah tanah yang

mengandung sejumlah pasir halus dan hanya sedikit liat yang sebagian

merupakan partikel berukuran debu. Bila kering mungkin tampak

menggumpal. tetapi gumpalan itu cepat pecah, dan terasa empuk dan

menepung. Bila basah tanah itu akan segera saling melekat dan menggumpal.

Dalam keadaan kering dan basah akan membentuk gumpalan yang dapat

diperlakukan dengan bebas tanpa memecahkannya, tetapi bila lembab dan

diremas diantara ibu jari dan jari-jari lainnya tanah itu tidak akan pecah hanya

akan tampak patah.

Clay loam atau lempung liat (30-40% liat, < 30% pasir): adalah tanah yang

bertekstur halus, yang biasanya pecah kedalam bentuk gumpalan yang keras

ketika kering. Bila tanah yang lembab dipijat atau diremas oleh ibu jari dan

telunjuk akan membentuk batang tipis yang akan mudah pecah. Tanah yang

lembab bersifat lentur dan akan membentuk gumpalan yang dapat menahan

berbagai perlakuan. Bila diremas dalam tangan tidak akan mudah hancur,

tetapi akan membentuk suatu gumpalan yang berat.

Clay atau tanah liat (>55% clay, <45% sand): adalah tanah yang bertekstur

halus yang biasanya membentuk gumpalan yang sangat keras ketika kering,

dan sangat lentur dan lengket ketika basah. Jika tanah lembab dipijat diantara

ibu jari dan jari-jari tangan lainnya, akan membentuk batang yang panjang

dan lentur. Beberapa macam tanah liat yang halus mengandung koloid tinggi

sehingga mudah gembur dan tidak begitu lentur dalam kodisi kelembaban

apapun.

Pengelolaan Unsur Hara Pada Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia

110

Gambar 5 : Korelasi antara kejenuhan Al dan pH (H2O) pada tanah lapisan atassebagaimana ditemukan pada lahan-lahan Ali-/Acrisol dan Ferralsol pada PT.IHM, Kalimantan Timur, Indonesia. Garis tegas menunjukkan kisaran darinilai-nilai terukur, sedangkan garis terputus-putus menunjukkan fungsiteoritis untuk tanah dengan pH>5. Karena itu regresi yang dihitungmenunjukkan hanya pada pH<5.

y = -36.607x2 + 299.35x - 528.41R2 = 0.6386

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

4.0 4.5 5.0 5.5 6.0pH(H2O) Tanah lapisan atas [0-30cm]

Kej

enuh

an A

l- [%

] tan

ah la

pisa

n at

as [0

-30c

m]

Fluvisol

Korelasi antara kejenuhan Al dan pH tanah untukpH >5 (lihat Mendez, 1973)