Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi - Journal Unair
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi - Journal Unair
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi http://url.unair.ac.id/cf758369 e-ISSN 2301-7090
ARTIKEL PENELITIAN
HUBUNGAN MODAL PSIKOLOGIS (PSYCHOLOGICAL CAPITAL) DENGAN
INTRAPRENEURSHIP KARYAWAN PADA INDUSTRI KOSMETIK LOKAL
INDONESIA
SHINTA KRISTIAN CANDI & CHOLICHUL HADI
Departemen Psikologi Industri dan Organisasi, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara modal psikologis dengan tingkat intrapreneurship karyawan yang bekerja pada industri kosmetik lokal Indonesia. Penelitian ini dilakukan terhadap karyawan divisi Sales dan Marketing di PT Rembaka dengan jumlah subyek penelitian 23 orang. Alat ukur penelitian ini menggunakan Organizational Psychological Capital Scale yang dibuat oleh Luthans (2007) dan alat ukur Intrapreneurship Behavior yang dibuat sendiri oleh penulis berdasarkan teori Intrapreneurship Behavior milik de Jong (2011). Reliabilitas untuk alat ukur Organizational Psycap Scale sebesar 0,756 sedangkan pada alat ukur intrapreneurship sebesar 0,768. Analisis dilakukan dengan teknik Spearman’s Rho. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara modal psikologis dengan intrapreneurship karyawan (ρ=0,444;p<0,05). Pengelompokan usia dan tingkat otonomi subyek penelitian juga menunjukkan hubungan signifikan dengan hasil intrapreneurship (ρ=0,017;p<0,05), (ρ=0,021;p<0,05).
Kata Kunci: Industri Kosmetik Lokal, Intrapreneurship, Modal Psikologis
ABSTRACT This study aims to investigate the relationship between psychological capital and intrapreneurship
among employees at local brand cosmetic industry in Indonesia. This research was conducted on
Sales and Marketing division employees at PT Rembaka with 23 respondents. Measuring tools in this
study used Organizational Psychological Capital Scale by Luthans (2007) and Intrapreneurship Scale
which made by myself based on theory of Intrapreneurship Behavior by de Jong (2011). The
reliability of Organizational Psycap Scale was 0,756 and Intrapreneurship Scale was 0,768. The
analysis used Spearman’s Rho technique . The result showed significant relationship between
psychological capital and employee’s intrapreneurship (ρ=0,444;p<0,05). Grouping the age and job
autonomy of respondents also showed significant relation with score of intrapreneurship
(ρ=0,017;p<0,05), (ρ=0,021;p<0,05).
Key words: Indonesia’s Local Brand Cosmetic Industry, Intrapreneurship, Psychological Capital
*Alamat korespondensi: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Kampus B Universitas Airlangga Jalan Airlangga 4-6 Surabaya 60286. Surel: [email protected]
Naskah ini merupakan naskah dengan akses terbuka dibawah ketentuan the Creative Common Attribution License (http://creativecommons.org/licenses/by/4.0), sehingga penggunaan, distribusi, reproduksi dalam media apapun atas artikel ini tidak dibatasi, selama sumber aslinya disitir dengan baik.
Hubungan Modal Psikologis (Psychological Capital) dengan Intrapreneurship Karyawan pada Industri Kosmetik Lokal Indonesia 2
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2018, Vol. 7, pp. 1-15
P E N D A H U L U A N
Perusahaan terus berupaya merespon tantangan yang muncul dalam memenangkan pasar. Harapan untuk dapat tumbuh dan bertahan pada kondisi pasar yang makin dinamik, maka perusahaan harus terus berinovasi (Ancona dan Caldwell, 1992; Daneels, 2002). Kemampuan memahami kebutuhan masyarakat saat ini juga menjadi hal terpenting dibalik kesuksesan para pelaku bisnis saat ini. Kemampuan dalam inovasi selalu menjadi faktor dalam kesuksesan organisasi. Kemampuan dalam inovasi tersebut merepresentasikan mengenai kemampuan dalam mentransformasikan pengetahuan dan ide kedalam produk, proses dan sistem yang baru, dalam mencari keuntungan bagi organisasi maupun investor (Popa, Preda dan Boldea, 2010). Wineman, Kabo, dan Davis (2009) menyatakan bahwa inovasi menyiratkan bahwa perusahaan menumbuhkan pengetahuan baru dan mengubahnya menjadi produk, proses, dan pelayanan baru, Daneels (2002) juga menambahkan bahwa inovasi memperluas kompetensi yang ada serta membangun yang baru dari waktu ke waktu. Morris dan Kuratko (2002) berpendapat bahwa jawaban dari perubahan yang terjadi dengan cepat serta lingkungan yang kompetitif ialah dengan adaptasi, fleksibel, mengambil resiko, proaktif, kompetisi yang kuat dan inovasi – atau dengan kata lain: entrepreneurship. Perusahaan berupaya menemukan metode yang kreatif serta inovatif dalam upaya mereka untuk terus memperkuat efisiensi, metode yang dapat dilakukan salah satunya ialah dengan memperkuat entrepreneurship dan membuka jalan bagi pengembangan metode tersebut (Behnoosh, 2012). Berbagai solusi yang tengah diupayakan oleh organisasi saat ini mengisyaratkan akan fenomena baru di akhir dekade ini bahwa baik dari segi literatur mengenai entrepreneurship dan manajemen menunjukkan adanya peningkatan atensi pada entrepreneurship dalam sebuah organisasi yang telah berdiri yang dimana fenomena ini disebut sebagai ‘corporate entrepreneurship’ atau ‘intrapreneurship’ (de Jong dan Wennekers, 2008). Corporate entrepreneurship sendiri merupakan usaha yang dilakukan perusahaan membangun keunggulan kompetitif yang berkelanjutan sebagai fondasi dari pertumbuhan keuntungan (Kuratko, Morris, Covin 2011). Intrapreneurship merupakan sub bahasan entrepreneurship yang sedang banyak dibahas dan dikenal sebagai elemen penting dalam performa organisasi, baik pada perusahaan besar atau perusahaan kecil menengah (Antoncic, 2007; Antoncic dan Hisrich, 2001, 2004). Pada dasarnya gagasan mengenai intrapreneurship bersumber pada konsep entrepreneur itu sendiri. Namun, penjelasan mengenai persamaan dan perbedaan dari keduanya dibahas dalam de Jong dan Wennekers (2008), bahwa konsep mengenai entrepreneur sedikit banyak diterapkan pula dalam intrapreneur, namun masih dalam batasan aturan dari organisasi sehingga tingkat otonominya jika dibandingkan dengan entrepreneur menjadi lebih rendah. Intrapreneurship dianggap sebagai jalan untuk menjawab pertumbuhan dan persaingan yang terjadi, dimana penting bagi para pelaku bisnis untuk mengembangkan semangat entrepreneur dan menerapkan intrapreneurship (Zhao, 2009). Azami (2013) menambahkan bahwa intrapreneurship merupakan sistem yang revolusioner untuk meningkatkan inovasi pada perusahaan besar dengan memanfaatkan potensi entrepreneur pada lingkungan organisasi. Perkembangan organisasi dan ekonomi pada perusahaan pada intinya bergantung terhadap intrapreneurship (Antoncic, 2007). Mengembangkan intrapreneurship di level organisasi, perusahaan penting untuk memperhatikan faktor individu atau karyawan itu sendiri. Global Economic Monitor menemukan bahwa perilaku entrepreneur pada karyawan ialah hal yang sangat penting (de Jong dkk., 2015). Survey yang dilakukan Bosma, Wennekers, dan Amaros (2012) menemukan bahwa di 52 negara aktifitas entrepreneur dari karyawan merupakan hal yang umum dilakukan dan paling sering ditemukan dalam meningkatkan perekonomian. Organisasi memastikan telah merekrut karyawan yang memiliki kemampuan dan jiwa entrepreneur, ini mengartikan bahwa perusahaan akan mencari mereka yang memiliki karakteristik psikologis sebagai entrepreneur sehingga dapat berpengaruh positif terhadap inovasi perusahaan (Buriti, 2014).
Hubungan Modal Psikologis (Psychological Capital) dengan Intrapreneurship Karyawan pada Industri Kosmetik Lokal Indonesia 3
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2018, Vol. 7, pp. 1-15
Perusahaan yang sukses dengan inovasi yang mereka lakukan akan memahami bagaimana menemukan dan mengembangkan intrapreneur, sedangkan perusahaan bisa saja gagal karena kurang melakukan adaptasi dan ini dikarenakan mereka tidak memiliki seorang intrapreneurs di dalam organisasi mereka (Buekens, 2014). Padahal, seperti yang diungkap sebelumnya bahwa karyawan menjadi modal dalam pengembangan strategi inovasi pada perusahaan namun, seringkali organisasi justru tidak mengetahui potensi apa yang dimiliki karyawan dalam perusahaan mereka. Buekens (2014) menekankan bahwa penting bagi organisasi untuk melakukan dua langkah besar, yakni merekrut karyawan dengan intrapreneurial abbalities atau mengembangkan para karyawan yang mereka miliki untuk berpotensi memiliki intrapreneurship behavior. J. Douglas dkk (2013) dalam penelitiannya menyatakan hal yang sedikit berbeda. Dalam jurnal tersebut disebutkan bahwa menciptakan intrapreneurship ke level organisasi tidak semudah merekrut mereka yang memiliki intrapreneurship atau intensitas entrepreneurship yang tinggi, karena para pekerja dengan intrapreneurship yang tinggi akan memiliki kognitif dan human capital yang berbeda-beda sehingga belum tentu semua aspek yang ingin dicapai organisasi sejalan dengan pribadi pekerja tersebut. Kadangkala, tidak semua tugas dan pekerjaan dalam organisasi menuntut kreatifitas yang terus menerus. Para karyawan dengan intrapreneur tinggi tersebut akan mengalami ketidaksesuaian dengan apa yang diinginkan organisasi kemudian keluar dan menciptakan peluang pekerjaan sendiri. Penjelasan de Jong (2011) bahwa intrapreneurship memiliki 3 dimensi yakni inovasi, perilaku yang proaktif dan pengambilan resiko. Sejalan dengan anteseden pada entrepreneurship yang dijelaskan diatas bahwa faktor keyakinan diri merupakan hal yang penting. Sejatinya, keyakinan diri atau self-efficacy memiliki hubungan dengan tingkat intensitas pada perilaku individu seperti yang disebutkan dalam teori TPB milik Ajzen (1991). Terdapat pula penelitian yang menyatakan entrepreneurial self-efficacy memiliki dampak terhadap penciptaan ide dan usaha baru (Krueger, 2000). Sebagai bagian dari entrepreneurship itu sendiri, di dalam intrapreneurship keyakinan diri individu juga mempengaruhi intensitas kemunculan perilaku intrapreneurship. Dimana keyakinan diri individu tersebut bisa saja berhubungan dengan modal diri individu. Inovasi sebagai salah satu bagian dari intrapreneurship dan sebagai bentuk dari penciptaan manusia memiliki dua faktor yakni internal dan eksternal. Salah satu internal faktornya ialah human capital dimana salah satu bentuknya yakni psychological capital. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa intrapreneurship berbeda dengan inovasi. Dikarenakan inovasi merupakan salah satu bagian atau dimensi dalam teori intrapreneurship itu sendiri. Namun, pada beberapa studi sebelumnya sempat disinggung mengenai pengalaman yang terkait dengan psychological capital terhadap para intrapreneurs di Inggris (Chankseliani dan Relly, 2015) serta penelitian Zhao (2009) yang mengusulkan proposal intervensi berbasis psychological capital terhadap intrapreneur team. Penelitian ini akan membahas mengenai studi hubungan antara Psychological Capital dan dengan Intrapreneurship karyawan yang bekerja pada industri kosmetik lokal di Indonesia.
M E T O D E Metode yang digunakan pada penelitian ini yakni metode kuantitatif dengan menggunakan teknik survey dalam memperoleh data penelitian. Penelitian ini melibatkan 23 subyek yang berasal dari karyawan divisi Sales dan Marketing PT Rembaka. Subyek tersebut dipilih berdasarkan metode non-propability sampling dengan teknik accidental sampling. Pengambilan data dalam penelitian dengan menggunakan kuesioner dari dua alat ukur yakni Organizational Psychological Capital Scale sebanyak 24 aitem dan skala Intrapreneurhip yang dibuat sendiri oleh penulis mengacu pada teori sebanyak 15 aitem. Organizational Capital Scale yang digunakan dalam penelitian ini mengadaptasi dari teori yang dikemukakan oleh Luthans (2007). Sedangkan alat ukur yang intrapreneurship disusun berdasarkan teori dari de Jong (2011). Reliabilitas
Hubungan Modal Psikologis (Psychological Capital) dengan Intrapreneurship Karyawan pada Industri Kosmetik Lokal Indonesia 4
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2018, Vol. 7, pp. 1-15
alat ukur penelitian untuk psychological capital scale sebesar 0,756 dan intrapreneurship scale sebesar 0,768. Analisis data pada penelitian ini nantinya akan menggunakan non-parametik dengan menggunakan teknik Spearman’s Rho dikarenakan jumlah sampel penelitian yang relatif sedikit sehingga analisis non-parametrik menjadi cocok untuk digunakan.
H A S I L P E N E L I T I A N Penelitian ini menggunakan data yang dihimpun dari hasil skor kuesioner 23
karyawan Sales dan Marketing PT Rembaka dimana keseluruhan subyek merupakan wanita
dan didominasi oleh mereka yang berusia 18-25 tahun (43%) serta dengan rentangan masa
kerja kurang dari 3 tahun (65%).
Analisis deskriptif kemudian dilakukan penulis untuk mengetahui karakteristik subyek
penelitian dengan hasil sebagai berikut,
Tabel 1. Analisis Deskriptif
PsyCap IB
N 23 23
Min 93 50
Max 120 72
Mean 103,52 61,39
Median 102 62
Range 27 22
SD 8,654 7,031
Skewness 1.239 -0,673
Kurtosis -0,972 -1,303
Setelah melakukan analisa deskriptif terhadap hasil skor subyek penelitian, penulis
kemudian melakukan penormaan terhadap hasil skala psychological capital dan
intrapreneurship.
Hubungan Modal Psikologis (Psychological Capital) dengan Intrapreneurship Karyawan pada Industri Kosmetik Lokal Indonesia 5
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2018, Vol. 7, pp. 1-15
Tabel 2. Frekuensi Penormaan Skala Psychological Capital
Kriteria Frekuensi Presentase
Sangat Tinggi 3 13%
Tinggi 4 17%
Sedang 6 26%
Rendah 10 44%
Sangat Rendah 0 0
Total 23 100%
Tabel 3. Frekuensi Penormaan Skala Intrapreneurship Behavior
Kriteria Frekuensi Presentase
Sangat Tinggi 1 4%
Tinggi 9 39%
Sedang 5 22%
Rendah 6 26%
Sangat Rendah 2 9%
Total 23 100%
Hasil penormaan skala psychological capital menunjukkan bahwa karyawan
didominasi oleh mereka yang berada di rentang antara sedang sampai sangat tinggi.
Sedangkan memang pada tabel presentase terbesar ialah mereka yang memiliki skor rendah.
Sedangkan untuk hasil intrapreneurship yang dihasilkan subyek didominasi oleh mereka
yang memiliki skor tinggi namun kemudian, presentase terbesar selanjutnya oleh mereka
yang memiliki skor rendah.
Analisa selanjutnya yang dilakukan penulis ialah uji korelasi. Uji korelasi penelitian ini
menggunakan metode non-parametrik. Metode tersebut dipilih karena telah sesuai untuk
memenuhi asumsi dalam penggunaan yakni jumlah subyek penelitian yang relatif sedikit dan
kurang dari 30 subyek. Sehingga sudah pasti dimungkinkan untuk menggukanan non-
Hubungan Modal Psikologis (Psychological Capital) dengan Intrapreneurship Karyawan pada Industri Kosmetik Lokal Indonesia 6
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2018, Vol. 7, pp. 1-15
parametrik dengan teknik korelasi Sprearman’s Rho. Berikut ini merupakan hasil uji korelasi
kedua variabel:
Tabel 4. Uji Korelasi PsyCap dengan IB
PsyCap IB
Spearman’s
Rho
Psycap Correlation
Coefficient
1,000 0,444*
*) Korelasi signifikan pada tingkatan 0,05 (two-tailed)
Tabel 5. Uji Korelasi Dimensi Psycap dengan IB
Dimensi Psycap Corelation
Coefficient
Dimensi
Corelation Coefficient
IB
Spearman’S Rho Optimism 1,000 0,161
Hope 1,000 0,023
Self-Efficacy 1,000 0,530**
Resilience 1,000 0,468*
*) Korelasi signifikan pada tingkatan 0,05 (two-tailed)
**) Korelasi signifikan pada tingkatan 0,01 (two-tailed)
Pada tabel, dinyatakan data hasil korelasi antara kedua variabel menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara variabel Psychological Capital dengan Intrapreneurship Scale.
Signifikasi yang kurang dari 0,05 menyatakan hubungan tersebut. Maka, berdasarkan data
tersebut diatas H0 ditolak sedangkan Ha diterima.
Hasil korelasi kedua variabel memunculkan pula nilai koefiensi hubungan yang muncul
dimana dalam tabel juga disebutkan bahwa nilai koefiensinya sebesar 0,444. Nilai koefisiensi
antara 0,3 – 0,49 memiliki hubungan yang kuat sehingga, hubungan kedua variabel dalam
penelitian ini dinyatakan berhubungan kuat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila
semakin tinggi psychological capital karyawan industri kosmetik lokal, maka akan semakin
tinggi pula intrapreneur dari karyawan tersebut.
Hubungan Modal Psikologis (Psychological Capital) dengan Intrapreneurship Karyawan pada Industri Kosmetik Lokal Indonesia 7
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2018, Vol. 7, pp. 1-15
Pada tabel diatas dapat kita ketahui bahwa jika kita melakukan uji hubungan masing-
masing dimensi psychological capital untuk mengetahui dimensi mana yang memiliki
hubungan terkuat dengan sikap karyawan pada intrapreneurship, maka diketahui dua dimensi
memiliki hubungan sedangkan dua dimensi lain tidak berhubungan. Kedua dimensi yang
berhubungan yakni self-efficacy dan resilience memiliki hubungan yang positif dan nilai
koefisiensinya menunjukkan hubungan yang kuat pada resilience dan sangat kuat pada self-
efficacy.
Selanjutnya, untuk memperkaya data hasil peneletian untuk memperluas pembahasan,
maka penulis melakukan uji hubungan pada beberapa kategori kelompok yang berbeda
dengan hasil intrapreneurship sebagai berikut:
Tabel 6. Uji Statistik Tambahan Kruskal-Wallis
Kelompok
Usia
N Intrapreneurship Behavior
Mean Rank
16-25 10 8,00
26-35 7 17,50
36-45 6 12,25
46-55 0 0
>55 0 0
Chi-Square 8,170
Df 2
Asymp. Sig 0,017
(signifikan)
Hubungan Modal Psikologis (Psychological Capital) dengan Intrapreneurship Karyawan pada Industri Kosmetik Lokal Indonesia 8
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2018, Vol. 7, pp. 1-15
Kelompok
Masa Kerja
N Intrapreneurship Behavior
Mean Rank
1 bulan-3 tahun
15 11,27
3-6 tahun 1 21,00
6-9 tahun 2 11,50
9-12 tahun 1 15,50
>12 tahun 4 13,25
Chi-Square 2,237
Df 4
Asymp. Sig 0,692
(tidak signifikan)
Jabatan N Mean Rank
Supervisor 2 22,50
Staff 21 11,00
Chi-Square 5,302
Df 1
Asymp.Sig 0,021
(signifikan)
Terlihat pada tabel, bahwa hasil usia dan jabatan menunjukkan angka kurang dari 0,05
yang menandakan hasil yang signifikan. Sedangkan untuk kategori masa kerja menunjukkan
hal yang sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa jika subyek dibedakan berdasarkan
kelompok usia dan jabatannya maka terdapat pola yang terbaca dari perbedaan skor
intrapreneurship yang yang berhubungan dengan kategori tersebut.
Hubungan Modal Psikologis (Psychological Capital) dengan Intrapreneurship Karyawan pada Industri Kosmetik Lokal Indonesia 9
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2018, Vol. 7, pp. 1-15
D I S K U S I Hasil dari uji psychological capital dan intrapreneurship menunjukkan bahwa keduanya
memiliki hubungan kuat yang positif pada para karyawan sales dan marketing PT. Rembaka.
Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi psychological capital dari para karyawan
maka, semakin tinggi pula intrapreneurship yang mereka miliki.
Luthans (2007) berpendapat bahwa pengembangan psychological capital dari para
karyawan akan meningkatkan hasil dan performa kerja mereka. Penelitian yang dilakukan
Luthans dkk (2011) berhasil menemukan bahwa psychological capital berimbas terhadap
sikap positif karyawan di tempat kerja seperti, kepuasaan terhadap pekerjaannya, komitmen
mereka terhadap organisasi dan lain–lain. Selain itu, psychological capital dalam penelitian
ini, penulis analisis memiliki potensi hubungan yang kuat terhadap bagaimana sikap
intrapreneurship karyawan yang diindikasikan melalui tiga dimensi yakni inovatif, proaktif
dan berani dalam pengambilan resiko.
Hasil uji tersebut didukung oleh penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh
Chankseliani dan Relly (2015). Dalam penelitian tersebut, dilakukanlah perbandingan antara
para intrapreneurs dan entrepreneurs muda di Inggris dan menemukan bahwa setelah diambil
data dengan dua metode yakni kuantitatif melalui psychological capital quetionare milik
Luthans (2007) dan kualitatif melalui metode wawancara, psychological capital dengan skor
tinggi diraih oleh para intrapreneurs, yang dalam penelitian tersebut mengindikasikan
mengenai pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan psychological capital dari para
intrapreneur. Penelitian kualitatif tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana event
dunia ini dapat meningkatkan ketiga aspek modal diri individu tersebut kedepannya. Pada
bagian psychological capital, penelitian didukung oleh skor yang diperoleh dari Psycap Scale
Quetionare dan seperti yang dijelaskan sebelumnya menunjukkan skor tertinggi yang
diperoleh para intrapreneurs. Modal psikologis yang terbentuk dengan mengikuti acara
tersebut dijelaskan dalam penelitian, dipercaya akan memotivasi individu tersebut untuk
melakukan kinerja yang lebih nantinya. Pengalaman diri dari individu akan membentuk
kepercayaan diri dan keoptimisan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan mereka di
perusahaan.
Hubungan Modal Psikologis (Psychological Capital) dengan Intrapreneurship Karyawan pada Industri Kosmetik Lokal Indonesia 10
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2018, Vol. 7, pp. 1-15
Penelitian yang dilakukan oleh Retnaningsih dkk (2016) juga menghasilkan hubungan
positif yang terbentuk antara psychological capital dengan sikap inovatif dari para karyawan
industri manufaktur. Seperti yang kita ketahui, sikap inovatif karyawan merupakan salah satu
dimensi dari intrapreneurship behavior itu sendiri. Memperkuat pernyataan tersebut Pryce-
Jones (2010 dalam Retnaningsih dkk, 2016) berpendapat bahwa psychological capital dapat
membantu peningkatan motivasi dari para karyawan, kehadiran mereka ditempat kerja, dan
juga pemikiran kreatif yang dapat dihasilkan meski dalam kondisi yang tertekan sekalipun.
Hal tersebut terjadi karena para karyawan dengan psychological capital yang tinggi akan
dapat beradaptasi dengan lebih baik pada segala situasi dan selalu dapat memiliki motivasi
yang tinggi untuk sukses pada kondisi apapun.
Perlu ditekankan bahwa yang menjadi fokus pada penelitian ini yakni bagaimana
organisasi dapat melihat bahwa psychological capital di level karyawan menjadi hal yang
penting. Penelitian ini juga mengisyaratkan akan perhatian organisasi yang lebih terhadap
psychological capital karyawan saat proses perekrutan dan bagaimana pengembangannya
melalui training dan lain sebagainnya. Hal tersebut menjadi penting karena hasil dari
psychological capital terbukti dapat meningkatkan kinerja, meningkatkan motivasi dan
ketahanan karyawan dalam kondisi terburuk sekalipun. Sejalan dengan pernyataan Buruti
(2014) bahwa penting bagi organisasi memastikan telah merekrut karyawan yang memiliki
kemampuan dan jiwa entrepreneur, ini mengartikan bahwa perusahaan akan mencari mereka
yang memiliki karakteristik psikologis sebagai entrepreneur sehingga dapat berpengaruh
positif terhadap inovasi perusahaan. Ditambahkan J. Douglas (2013) bahwa perekrutan bukan
satu-satunya jalan, perusahaan penting untuk berfokus pada pengembangan intrapreneurship
itu sendiri. Dengan demikian, karyawan dengan psychological capital yang tinggi akan
berpotensi dalam menciptakan diri yang inovatif, proaktif, dan berani mengambil resiko.
PT. Rembaka pada dasarnya, saat ini tengah melakukan berbagai upaya inovasi dan
pengembangan pemasaran di level yang lebih tinggi. Target mereka untuk menjadi komoditas
ekspor dalam sektor nonmigas dengan tujuan menguasai pasar di Asia Tenggara yang kini
telah dimulai di Brunei Darusalam. Kondisi tersebut menuntut para pekerja utamanya sales
dan marketing memiliki tuntutan baru yang harus mereka penuhi. Dalam memenuhi target
Hubungan Modal Psikologis (Psychological Capital) dengan Intrapreneurship Karyawan pada Industri Kosmetik Lokal Indonesia 11
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2018, Vol. 7, pp. 1-15
tersebut tentunya sikap inovatif dan pantang menyerah para karyawan sangat dibutuhkan
oleh organisasi dengan harapan sikap inovatif tersebut dapat membantu organisasi
mempercepat pemenuhan target tersebut.
Kondisi yang dapat terlihat pada hasil penelitian menunjukkan perlu adanya upaya
yang dilakukan oleh pihak PT. Rembaka dalam meningkatkan psychological capital dari para
karyawan. Meskipun tidak ada satupun yang memiliki skor terlampau sangat rendah namun,
organisasi perlu berupaya menanamkan nilai-nilai positif organsasi dan pekerjaan kepada
para karyawan. Pada dasarnya, wawancara yang dilakukan oleh pihak organisasi sendiri
mengindikasikan bahwa perusahaan berupaya melakukan trainning dan pelatihan atau
pengembangan potensi karyawan. Namun, bisa saja, target pencapainnya belum mengarah
kepada pengembangan modal diri individu itu sendiri.
Para karyawan PT Rembaka yang memiliki skor tinggi pada variabel intrapreneurship
rata-rata memiliki sikap yang positif terhadap inovasi. Kebanyakan dari mereka menyetujui
pernyataan mengenai persepsi tentang inovasi yang mungkin dilakukan, dan anggapan
mereka bahwa keunikan karakteristik konsumen industri kosmetik dapat menjadi peluang
dalam pengembangan produk dan pemasaran kedepannya. Selain itu, nilai pada dimensi
proaktif dapat dikatakan sedang sampai tinggi. Hal ini mengindikasi bahwa para karyawan
berusaha untuk aktif dalam mencari peluang inovasi bagi perusahaan dan mengemukakan
pendapatnya kepada orang lain. Sebagian besar dari para karyawan dengan skor rendah
tersebut mendapatkan skor rendah pada dimensi pengambilan resiko. Hal ini menunjukkan
meski memiliki potensi untuk mengembang ide mereka bagi inovasi perusahaan, banyak
karyawan yang masih memilih langkah aman dan tidak mengandung resiko berarti. Hal ini
dapat menjadi perhatian bagi para pelaku bisnis untuk dapat menanamkan rasa percaya diri
dan keberanian diri dari para karyawan mereka. Terutama seteleh diketahui bahwa risk
taking merupakan elemen yang fundamental terhadap intrapreneurship (de Jong, 2011).
Dimensi-dimensi dalam psychological capital juga dicoba untuk diteliti penulis
mengenai hubungannya dengan intrapreneurship. Hasil tersebut menunjukkan dimensi
optimism dan hope tidak berhubungan sementara dimensi self efficacy dan resilience
menunjukkan hubungan yang positif. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang
Hubungan Modal Psikologis (Psychological Capital) dengan Intrapreneurship Karyawan pada Industri Kosmetik Lokal Indonesia 12
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2018, Vol. 7, pp. 1-15
dilakukan Hlatywayo dkk. (2017) bahwa setelah diuji perdimensi, tidak semua dimensi dalam
psychological capital dalam penelitiannya berpengaruh secara signifikan dan sebagai
prediktor intensitas entrepreneur. Dalam penelitian tersebut hanya resilience yang memiliki
hubungan yang signifikan dan dapat menjadi prediktor.
Dalam penelitian ini, maupun penelitian Hlatywayo dkk(2017) optimism dan hope
tidak dapat menjadi prediktor intensitas entrepreneur. Artinya, bagaimana individu secara
positif memiliki harapan akan masa depan organisasi tidak memiliki hubungan dengan
bagaimana sikap intrapreneurshipnya di tempat kerja. Seperti yang penulis jelaskan
sebelumnya, bahwa masih banyak karyawan yang memiliki sikap optimis yang rendah
terhadap pekerjaannya saat ini.
Kemudian analisis Kruskal-Wallis dilakukan peneliti untuk melihat apakah kategori
kelompok tertentu pada subyek penelitian berpengaruh terhadap hasil skor intrapreneurship.
Penulis membedakan dalam tiga kelompok subyek berdasarkan usia, masa kerja dan tingkat
otonomi yang dalam hal ini berdasarkan jabatan subyek. Kelompok kategori tersebut
ditentukan berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh de Jong (2011)
dimana dirinya berpendapat bahwa faktor-faktor diatas mempengaruhi intrapreneurship
individu. Hasil dari uji Kruskal-Wallis ini menunjukkan hubungan yang signifikan pada dua
kategori kelompok subyek yakni, usia dan jabatan. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan de
Jong (2011) bahwa karyawan yang berada pada usia tengah atau middle berpotensi memiliki
sikap intrapreneurship yang lebih tinggi dibanding yang lain dan bahwa bawasanya job
autonomy dimana dalam hal ini diasumsikan dimiliki oleh atasan berpengaruh secara
signifikan terhadap sikap intrapreneurship diri dari atasan tersebut.
S I M P U L A N
Berdasarkan hasil analisa pada penelitian ini bahwaterdapat hubungan antara
psychological capital dengan intrapreneurship behavior karyawan yang bekerja pada industri
kosmetik lokal Indonesia. Namun, terdapat beberapa hal yang perlu penyempurnaan dalam
penelitian ini sehingga penulis menyarankan beberapa hal yang dapat dilakukan baik oleh
penelitian selanjutnya maupun perusahaan. Bagi penelitian selanjutnya, penelitian ini
menjadi acuan untuk memperdalam penelitian selanjutnya pada kedua variabel terkait,
Hubungan Modal Psikologis (Psychological Capital) dengan Intrapreneurship Karyawan pada Industri Kosmetik Lokal Indonesia 13
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2018, Vol. 7, pp. 1-15
utamanya menganai intrapreneurship di level karyawan yang masih sangat jarang diteliti di
Indonesia. Penelitian selanjutnya dapat juga memperluas populasi dari subyek penelitian
sehingga dapat menghasilkan subyek penelitian yang lebih banyak dan meluas. Selanjutnya,
penggunaan alat ukur dalam penelitian selanjutnya perlu mendapatkan penyempurnaan.
Ketelitian dalam menentukan pernyataan agar menjadi perhatian lebih untuk meningkatkan
kualitas alat ukur sehingga dapat digunakan dengan lebih baik. Terutama mengenai kesalahan
penulis dalam membuat dimensi sebagai indikator pembuatan pernyataan kuesioner
penelitian. Penelitian selanjutnya dapat pula menggali mengenai faktor-faktor lain yang bisa
saja mempengaruhi intrepreneurship sehingga penelitian menjadi lebih kaya. Selain itu dapat
pula dilakukan penelitian lebih mendalam mengapa beberapa penelitian tidak dapat
mengungkapkan bahwa masing-masing dimensi psychological capital dapat digunakan
sebagai prediktor intensitas entrepreneur.
Sedangkan bagi organisasi yang ingin mengembangkan intrapreneurship di lingkungan
mereka tidak dapat serta merta melakukan perekrutan terhadap karyawan baru yang
memiliki potensi intrapreneurship yang baik. Tidak semua elemen dalam organisasi
membutuhkan inovasi tersebut. Sehingga para karyawan ini, yang belum merasa terikat
terhadap goals dari perusahaan akan cepat merasa bosan dan keluar dari organisasi. Sehingga
saran bagi perusahaan ialah mengembangkan intrapreneurship melalui pengembangan
psychological capital pada karyawan yang mereka miliki saat ini. Psychological capital selain
dipercaya dapat meningkatkan performa karyawan, penekanan akan nilai-nilai positif
perusahaan akan membuat keterikatan antara karyawan terhadap tujuan organisasi.
Penelitian Cetin (2012) melihat bahwa psycap dapat berhubungan dengan komitmen.
Penelitian yang dilakukan Simons dan Buitendach (2013) juga menemukan hubungan antara
psycap dengan work engagement dan hubungan keduanya dengan komitmen organisasi.
Sehingga mengembangkan psycap bagi organisasi selain sebagai peningkatan intrapreneur
namun juga meningkatkan komitmen karyawan dengan organisasi. Karyawan akan merasa
ikut memiliki tujuan tersebut dan merasa bahwa organisasi dan perusahaan ini memiliki nilai-
nilai positif terhadap dirinya. Sehingga, intrapreneurship akan muncul tanpa mereka merasa
bahwa perusahaan hanya mengambil keuntungan dari dirinya. Pengembangan nilai-nilai
Hubungan Modal Psikologis (Psychological Capital) dengan Intrapreneurship Karyawan pada Industri Kosmetik Lokal Indonesia 14
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2018, Vol. 7, pp. 1-15
psychological capital dapat dengan mudah ditemui dalam jurnal Luthans sendiri atau Zhao
(2009) yang mengusulkan pengembangan psychological capital para intrapreneurs.
P U S T A K A A C U A N
Ajzen, I. (1991). The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and human Decision Processes 50 (2), 179-211.
Ancona, D., & Caldwell, D. (1992). Bridging the Boundary: External Activity and Performance in Organizational Teams. Administrative Science Quartely, 37 (4), 634-665.
Antoncic, B., & Antoncic, J. (2011). Employee Satisfaction, Intrapreneurship, and Firm Growth: a Model. Emerald Group Publishing Limited, Industrial Management and Data System Vol 111 No 04, 589-607.
Antoncic, B., & dkk. (2007). Technological Innovativeness and Firm Performance in Slovenia and Romania. Post Communist Econimies Vol19 No 03, 289-302.
Antoncic, B., & Hisrich, R. (2003). Clarifying the Intrapreneurship Concept. Journal of Small Business and Entreprise Development, Vol10 No 1, 7-24.
Azami, S. (2013). Intrapreneurship " An Exigent Employement ". International Journal of Scientific and Technology Research Vol 02, Issue 4.
Behnoosh, S. (2012). The Relationship Between Social Capital and Intrapreneurship in General Administration of Physical Education of Khorasan Province, Iran. World Applied Science Journal 18 (3), 317-321.
Bosma, N., Wennekers, S., & Amaros, J. (2012). Global Entrepreneurship Monitor: 2011 Extended Report, Entrepreneurs and Entrepreneurial Employees across The Globe. Global Entrepreneurship Research Assosiation.
Buekens, W. (2014). Fostering Intrapreneurship: The Challange for a New Game Leadership. Procedia Economics and Finnance 16 , 580-586.
Buruti, H. (2014). Analyzing the CEMS Intrapreneurial Level Using the GET2 Test. Dissertacao (MPGI)- Escola de Administracao de Empresas de Sao Paulo CDU 654.011.49.
Cetin. (2012). Organizational Psychological Capital: A Scale Adaptation Study. TODAIE's Review of Public Administration, Volume 6 No 1, 159-179.
Chankseliani, M., & Relly, S. (2015). Three-Capital Approach to the Study of Young People who Excel in Vocational Occupation: A Case of WorldSkills Competitors and Entrepreneurship. International Journal fo Research in Vocational Education and Trainning (IJRVET) Vol 03 No 1, 46-65.
Daneels, E. (2002). The Dynamics of Product Innovation and Firm Competencies. Strategic Management Journal 23(12), 1095-2022.
de Jong, J., & dkk. (2011). Corporate Entrepreneurship at The Individual Level: Measurement and Determinants. SCALES, Scientific Analysis of Entrepreneurship and SMEs.
de Jong, J., & dkk. (2015). Entreprenurial Behavior in Organization: does Job Design Matter? . LSE Research Online: Entrepreneurial Theory and Practice, 39 (4), 981-995.
de Jong, J., & Wennekers, S. (2008). Intrapreneurship Conceptualizing Entrepreneurial Employee Behavior. SCALES, Scientific Analysis if Entrepreneurship and SMes.
Hlatywayo, C., Marange, C., & Chinyamurindi, W. (2017). A Hierarchical Multiple Regression Approach on Determining the Effect of Psychological Capital on Entrepreneurial
Hubungan Modal Psikologis (Psychological Capital) dengan Intrapreneurship Karyawan pada Industri Kosmetik Lokal Indonesia 15
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2018, Vol. 7, pp. 1-15
Intention Amongst Prospective University Graduates in South Africa. Journal of Economics and Behavioral Studies Vol 9 No 1, 166-178.
J, Douglas., & Fitzsimmon. (2013). Intrepreneurial Intention VS Entrepreneurial Intention: District Construct with Different Antecedent. Small Business Economics, Vol 41 (1), 115-132.
Krueger, N., Reilly, M., & Carsrud, A. (2000). Competing Models of Entrepreneurial Intention. Journal of Business Venturing, 15, 411-432.
Kuratko, D., Morris, M., & Covin, J. (2011). Corporate Innovation and Entrepreneurship: Entepreneurial Development within Organization. South Western Cengage Learning.
Luthans, F. (2011). Organizational Behavior: An Evidance-Based Approach. New York: Mc-Graw Hill.
Luthans, F., Avolio, B. J., Avey, J. B., & Norman, S. M. (2007). Positive Psychological Capital: Measurement and Relationship with Performance and Satisfaction. Personnel Psychology Vol 60, 541-572.
Luthans, F., Youssef, C. M., & Avolio, B. J. (2007). Psychological Capital: Developing the Human Competitive Edge. Oxford University Press.
Morris, M., & Kuratko, D. (2002). Corporate Entrepreneurship- Entrepreneurial Development within Organization. Fort Worth, Texas: Harcourt, Inc.
Popa, I., Preda, G., & Boldea, M. (2010). A Theoritical Approach of The Concept Of Innovation. Managerial Challenges of The Contemporary Society, 151.
Ratnaningsih, I. Z., Prasetyo, A. R., & Prihatsanti, U. (2016). Predicting Innovative Behavior Among Employees in a Manufacturing Company: The Role of Psychological Capital. Anima Indonesian Psychological Journal Vol.31 No,2, 84-90.
Simon, J., & Buitendach, J. (2013). Psychological Capital, Work Engagement and Organizational Commitment Among Call Centre Employees in South Africa. SA Journal of Industrial Psychology 39 (2).
Wineman, J., Kabo, F., & Davis, G. (2009). Spatial and Social Networks in Organizatinal Innovation. Environtment and Behavior 41 (3), 427-442.
Zhao, Z., & Huo, J. (2009). The Study on Psychological Capital Development of Intrepreneurial Team. International Journal of Psychological Study Vol.01 No. 02.