BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Filologi

16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 31 BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Filologi Kata filologi berasal dari bahasa Yunani philologia yang berupa gabungan kata dari philos yang berarti “teman” dan logos yang berarti “pembicaraan” atau “ilmu”. Dalam bahasa Yunani philologia berarti “senang berbicara” yang kemudian berkembang menjadi “senang belajar”, “senang kepada ilmu”, “senang kepada tulisan-tulisan” dan kemudian “senang kepada tulisan-tulisan yang bernilai tinggi” seperti karya-karya sastra (Siti Baroroh Baried, dkk, 1994:2). Edwar Djamaris (2006:3), menjelaskan bahwa filologi adalah suatu ilmu yang objek penelitiannya naskah-naskah lama. Naskah di sini adalah semua bahan tulisan tangan peninggalan nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu dan rotan. Menurut Achadiati Ikram (1992) dalam kumpulan makalah filologi, menyebutkan bahwa filologi dalam arti luas adalah ilmu yang mempelajari segala segi kehidupan di masa lalu seperti yang ditemukan dalam tulisan yang mencakup bahasa, sastra, adat-istiadat, hukum, dan lain sebagainya. Sementara itu, filologi secara khusus ialah studi tentang naskah untuk menelusur kembali suatu teks dalam bentuknya yang seasli mungkin. B. Objek Penelitian Filologi Objek penelitian filologi adalah naskah dan teks. Dalam filologi, istilah teks menunjukkan pengertian sebagai sesuatu yang abstrak, sedangkan naskah merupakan sesuatu yang konkret (Baried, dkk, 1994:6). Jadi, naskah dapat dilihat atau dipegang (1994:55), sedangkan teks artinya muatan naskah, sesuatu yang

Transcript of BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Filologi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Filologi

Kata filologi berasal dari bahasa Yunani philologia yang berupa gabungan

kata dari philos yang berarti “teman” dan logos yang berarti “pembicaraan” atau

“ilmu”. Dalam bahasa Yunani philologia berarti “senang berbicara” yang

kemudian berkembang menjadi “senang belajar”, “senang kepada ilmu”, “senang

kepada tulisan-tulisan” dan kemudian “senang kepada tulisan-tulisan yang bernilai

tinggi” seperti karya-karya sastra (Siti Baroroh Baried, dkk, 1994:2). Edwar

Djamaris (2006:3), menjelaskan bahwa filologi adalah suatu ilmu yang objek

penelitiannya naskah-naskah lama. Naskah di sini adalah semua bahan tulisan

tangan peninggalan nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu dan rotan.

Menurut Achadiati Ikram (1992) dalam kumpulan makalah filologi,

menyebutkan bahwa filologi dalam arti luas adalah ilmu yang mempelajari segala

segi kehidupan di masa lalu seperti yang ditemukan dalam tulisan yang mencakup

bahasa, sastra, adat-istiadat, hukum, dan lain sebagainya. Sementara itu, filologi

secara khusus ialah studi tentang naskah untuk menelusur kembali suatu teks

dalam bentuknya yang seasli mungkin.

B. Objek Penelitian Filologi

Objek penelitian filologi adalah naskah dan teks. Dalam filologi, istilah

teks menunjukkan pengertian sebagai sesuatu yang abstrak, sedangkan naskah

merupakan sesuatu yang konkret (Baried, dkk, 1994:6). Jadi, naskah dapat dilihat

atau dipegang (1994:55), sedangkan teks artinya muatan naskah, sesuatu yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

hanya dapat dibayangkan saja (1994:57). Baried, dkk (1994:55) juga

menyebutkan bahwa objek penelitian filologi adalah tulisan tangan yang

menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa

masa lampau. Naskah menurut Edwar Djamaris (2006:3) adalah semua bahan

tulisan tangan peninggalan nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu dan

rotan. Naskah tersebut sering disebut dengan manuscript atau handscrifth.

C. Langkah Kerja Penelitian Filologi

Langkah kerja penelitian filologi adalah langkah-langkah dan cara yang

harus dilakukan oleh para filolog dalam penelitian filologi. Ada beberapa hal yang

perlu dilakukan dalam penelitian filologi, yaitu pengumpulan data (inventarisasi

naskah), deskripsi naskah, pertimbangan dan pengguguran naskah, penentuan

naskah yang asli atau yang berwibawa, ringkasan isi cerita transliterasi, suntingan

teks, glosari dan komentar teks (Djamaris, 2006:9-10).

Menurut Edi S. Ekadjati dalam kumpulan makalah filologi, langkah kerja

penelitian filologi adalah inventarisasi naskah, deskripsi naskah, perbandingan

naskah, pemilihan teks yang akan diterbitkan, ringkasan isi naskah, alih aksara

dan penyajian teks (1992:1-8). Kemudian, langkah kerja menurut Masyarakat

Pernaskahan Nusantara (Manassa), terdiri atas penentuan sasaran penelitian,

inventarisasi naskah, observasi pendahuluan, penentuan naskah dasar, transliterasi

naskah, dan penerjemahan teks. Teori tersebut tidak selamanya dapat diterapkan

dalam semua penanganan naskah karena setiap naskah memiliki kondisi yang

berbeda-beda sehingga penanganannya pun juga disesuaikan.

Penanganan KDBK II menggunakan langkah kerja penelitian filologi

menurut Edwar Djamaris yang dimodifikasikan dengan langkah kerja penelitian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

filologi menurut Manassa. KDBK II adalah naskah tunggal sehingga tidak

memerlukan adanya penentuan naskah dasar maupun perbandingan naskah.

Secara terperinci, langkah kerja penanganan naskah KDBK II adalah

sebagai berikut.

1. Penentuan Sasaran Penelitian

Langkah pertama adalah menentukan sasaran penelitian, karena banyak

ragam naskah yang perlu dipilih, baik tulisan, bahan, bentuk maupun isinya.

Berdasarkan hal tersebut, ditentukan sasaran penelitian bahwa naskah yang diteliti

adalah Jawa carik, ditulis pada kertas, berbentuk prosa dan berisi tentang adat-

istiadat, yaitu permainan tradisional anak. Semua itu terangkum dalam KDBK II.

2. Inventarisasi Naskah

Apabila penentuan penelitian suatu naskah telah ditetapkan, maka langkah

selanjutnya ialah mencatat naskah dan teks cetakan yang berjudul sama atau berisi

cerita yang sama, yang termuat dalam katalogus di berbagai perpustakaan,

terutama di pusat-pusat studi Indonesia di seluruh dunia. Di samping itu, perlu

dicari naskah-naskah yang mungkin masih tersimpan dalam koleksi perseorangan

(Baried, dkk, 1994:65). Edwar Djamaris (2006:11) juga mengemukakan bahwa

pengumpulan data dilakukan dengan mendaftar naskah dari berbagai katalogus

naskah di berbagai perpustakaan universitas dan museum. Di samping katalogus,

sumber lainnya adalah buku atau daftar naskah yang terdapat di perpustakaan,

museum dan instansi lain yang menaruh perhatian pada naskah.

3. Observasi Pendahuluan dan Deskripsi Naskah

Observasi pendahuluan dilakukan dengan cara mengecek data secara

langsung ke tempat koleksi naskah sesuai dengan informasi yang diungkapkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

oleh katalog. Setelah mendapatkan data yang dimaksud yakni KDBK II, maka

selanjutnya dibuat deskripsi naskah.

Deskripsi naskah ialah uraian ringkasan naskah secara terperinci.

Deskripsi naskah penting untuk mengetahui kondisi naskah dan sejauh mana isi

mengenai naskah yang diteliti. Emuch Hermansoemantri menguraikan bahwa

deskripsi naskah merupakan sarana untuk memberikan informasi atau data

mengenai: judul naskah; nomor naskah; tempat penyimpanan naskah; asal naskah;

keadaan naskah; ukuran naskah; tebal naskah; jumlah baris setiap halaman; huruf,

aksara, tulisan; cara penulisan; bahan naskah; bahasa naskah; bentuk teks; umur

naskah; pengarang atau penyalin, asal-usul naskah yang tersimpan di masyarakat;

fungsi sosial naskah; serta ikhtisar teks atau cerita (1986: 2).

4. Transliterasi

Transliterasi adalah penggantian atau pengalihan huruf demi huruf dari

abjad satu ke abjad yang lain (Edwar Djamaris, 2006:19). Siti Baroroh Baried,

dkk (1994:64) mengungkapkan bahwa transliterasi sangat penting untuk

memperkenalkan teks-teks lama yang tertulis dengan huruf daerah. Dalam

melakukan transliterasi, perlu diikuti pedoman penulisan yang sesuai dengan

ejaan yang sudah dibakukan. Berdasarkan pedoman, transliterasi harus

memperhatikan ciri-ciri teks asli sepanjang hal itu dapat dilaksanakan karena

penafsiran teks yang bertanggungjawab sangat membantu pembaca dalam

memahami isi teks.

5. Kritik Teks

Kata kritik berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya „seorang hakim‟,

krinein berarti „menghakimi‟, kriterion yang berarti „dasar penghakiman‟. Kritik

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

teks memberikan evaluasi terhadap teks, meneliti dan menempatkan teks pada

tempatnya yang tepat. Kegiatan kritik teks bertujuan untuk menghasilkan teks

yang sedekat-dekatnya dengan teks aslinya (constitutio textus) (Baried, dkk,

1994:61).

Kritik teks menurut Edwar Djamaris (2006:42) adalah pengkajian,

pertimbangan, perbandingan, dan penentuan teks yang asli atau teks yang

autoritatif, serta pembersihan teks dari segala macam kesalahan. Sebagai

pertanggunjawaban perbaikan bacaan, semua perbedaan bacaan dicatat dalam

sebuah catatan yang disebut aparat kritik (apparatus criticus).

6. Suntingan Teks dan Aparat Kritik

Suntingan teks adalah menyajikan teks dalam bentuk aslinya, yang bersih

dari kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat dalam naskah yang dikritisi.

Penyuntingan teks dilakukan dengan sebaik-baiknya dengan memperhatikan

pedoman ejaan yang berlaku, penggunaan huruf kapital, tanda-tanda baca,

penyusunan alinea, dan bagian-bagian cerita (Djamaris, 2006:9).

Aparat kritik (apparatus criticus) merupakan suatu pertanggungjawaban

perbaikan bacaan dalam penelitian naskah yang menyertai suntingan teks dan

merupakan kelengkapan kritik teks (Djamaris, 2006:8). Dalam aparat kritik juga

ditampilkan kelainan bacaan yang merupakan kata-kata atau bacaan salah di

dalam naskah.

Penyuntingan teks dengan edisi standar, yaitu suntingan teks berdasarkan

satu naskah saja. Suntingan dilakukan dengan penyesuaian ejaan, tanda baca,

susunan kalimat, alinea, dan bagian-bagian cerita. Penyuntingan diperbolehkan

dengan memberi anak judul pada bagian-bagian cerita, sehingga memudahkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

pembacaan dan pemahaman tanpa menghilangkan ciri-ciri bahasa lama (Djamaris,

2006:41).

Edisi kritis pada suatu naskah dinilai lebih banyak membantu pembaca.

Pembaca dibantu mengatasi berbagai kesulitan yang bersifat tekstual atau yang

berkenaan dengan interpretasi, sehingga pembaca dapat terbebas dari kesulitan

mengerti isinya. Kritis berarti bahwa penyunting mengidentifikasi sendiri bagian

dalam teks yang mungkin terdapat masalah dan menawarkan jalan keluar.

7. Sinopsis

Sinopsis adalah ringkasan cerita secara garis besarnya saja yang

merupakan gambaran singkat isi teks, sehingga mencakup semua isi dari cerita.

Hal itu bertujuan agar memudahkan pembaca dalam memahami isi teks yang

terdapat dalam naskah. Pola-pola penyajian sinopsis dalam permainan tradisional

menurut Sukirman Dharmamulya (1981) meliputi nama permainan, hubungan

permainan dengan peristiwa lain, latar belakang sejarah perkembangan, latar

belakang sosial budaya, peserta permainan, peralatan, iringan, jalannya

permainan, peranannya masa kini, dan tanggapan masyarakat.

D. Folklor

Kata folklor adalah pengindonesiaan kata Inggris, folklore. Folklore terdiri

dari dua kata, yaitu folk dan lore. Folk sama artinya dengan kata kolektif. Menurut

Alan Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal

fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok

lainnya. Lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan

secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan

gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

Definisi folklor secara keseluruhan ialah sebagian kebudayaan suatu

kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam

apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan

maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat

(mnemonic device) (James Danandjaja,1997:1-2).

Menurut Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor dari AS, folklor dapat

digolongkan menjadi 3 golongan besar yaitu:

1. Folklor lisan (verbal folklore), yaitu folklor yang bentuknya murni lisan.

Contohnya antara lain (1) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan,

pangkat tradisional dan title kebangsawanan; (2) ungkapan tradisional, seperti

peribahasa, pepatah dan pemeo; (3) pertanyaan tradisional seperti teka-teki;

(4) puisi rakyat seperti pantun, gurindam dan syair; (5) cerita prosa rakyat

seperti mite, legenda dan dongeng; dan (6) nyanyian rakyat.

2. Folklor sebagian lisan (partly verbal folklore) yaitu folklor yang bentuknya

merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Contohnya antara lain

adalah kepercayaan rakyat, permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-

istiadat, upacara, pesta rakyat dan sebagainya.

3. Folklor bukan lisan (non verbal folklore) yaitu folklor yang bentuknya bukan

lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Golongan ini

dibagi menjadi dua, yaitu material (arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat,

pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-

obatan tradisional) dan non material (gerak isyarat rakyat/gesture, bunyi

isyarat untuk komunikasi rakyat, dan musik rakyat).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

Berdasarkan pembagian di atas, maka dapat diketahui bahwa permainan

anak-anak termasuk dalam permainan rakyat yang merupakan folklor sebagian

lisan.

E. Permainan Tradisional

Menurut Redfield dalam Widodo (2012), permainan tradisional adalah

bagian dari “tradisi kecil”. Ia tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari

kebudayaan masyarakat tradisional di suatu wilayah.

Umar Kayam (1981) mengungkapkan bahwa permainan tradisional adalah

satu dari sekian banyak kesenian tradisional yang memilki sifat-sifat sebagai

berikut.

1. Memiliki jangkauan yang terbatas pada lingkungan kultur yang

mendukungnya.

2. Merupakan pencerminan dari satu kultur yang berkembang sangat perlahan

dan didukung oleh masyarakat penunjangnya.

3. Merupakan bagian dari “kosmos” kehidupan yang bulat integral dan tidak

terbagi-bagi dalam pengkotakan spesialisasi.

4. Bukan merupakan kreativitas individu-individu, melainkan tercipta secara

anonim di tengah kolektif yang menunjangnya.

James Danandjaja (1997) mengungkapkan bahwa berdasarkan perbedaan

sifat permainan, maka permainan rakyat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu

(1) permainan untuk bermain (play) dan (2) permainan untuk bertanding (game).

Permainan untuk bermain lebih bersifat untuk mengisi waktu senggang,

sedangkan permainan untuk bertanding kurang mempunyai sifat itu.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

Permainan untuk bertanding mempunyai lima sifat khusus, seperti (1)

terorganisasi, (2) perlombaan (competitive), (3) harus dimainkan paling sedikit

dua orang peserta, (4) mempunyai kriteria yang menentukan siapa yang menang

dan siapa yang kalah, dan (5) mempunyai peraturan permainan yang telah

diterima bersama oleh para pesertanya (Roberts, Arth, dan Bush dalam James

Danandjaja, 1997:171).

Roberts dan Sutton Smith dalam Danandjaja (1997) juga mengungkapkan

bahwa permainan bertanding dapat dibagi lagi ke dalam: (1) permainan

bertanding yang bersifat keterampilan fisik (game of physical skill), (2) permainan

bertanding yang bersifat siasat (game of strategy), dan (3) permainan yang bersifat

untung-untungan (game of change).

Selain pengelompokan di atas, permainan tradisional dapat dibagi lagi ke

dalam tiga bagian, yaitu (1) permainan tanpa iringan lagu (permainan fisik/gerak),

(2) permainan lagu (hanya menyanyikan lagu saja) dan (3) permainan disertai

iringan lagu atau permainan gerak dan lagu (Ni Nyoman Seriati dan Nur Hayati,

2010).

Fungsi permainan rakyat antara lain adalah fungsi rekreasi (menghibur),

sebagai media belajar yang sangat penting bagi kanak-kanak untuk melatih

keterampilan fisik dan mengembangkan daya pikir, dan fungsi pedagogi yang

mendidik seorang anak untuk menjadi orang yang berjiwa sportif. Semua fungsi-

fungsi itu dapat diperas menjadi satu, yaitu apa yang oleh R.E. Herron dan B.

Sutton-Smith disebut sebagai fungsi untuk menyiapkan kanak-kanak agar kelak

dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat orang dewasa (Danandjaja,

1997: 181).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

Menurut Hurlock (1993), permainan tradisional mempunyai fungsi

psikologis yang penting bagi perkembangan anak. Pada semua usia, permainan

atau bermain merupakan kegiatan yang memberikan kesenangan dan perasaan

positif bagi anak. Tedjasaputra (2001) mengungkapkan bahwa bermain

mempunyai fungsi dalam aspek fisik, motorik kasar dan halus, perkembangan

sosial, emosi dan kepribadian, kognisi, ketajaman pengindraan, dan mengasah

ketrampilan (Iswinarti, 2010).

Penelitian mengenai permainan tradisional anak saat ini marak dilakukan.

Penelitian-penelitian yang telah ada antara lain “Nilai-nilai Terapiutik Permainan

Tradisional Engklek untuk Anak Usia Sekolah Dasar” oleh Iswinarti (2010),

“Permainan Tradisional sebagai Media Stimulasi Aspek Perkembangan Anak

Usia Dini” oleh Ismatul Khasanah, Agung Prasetyo dan Ellya Rakhmawati

(2011), “Permainan Tradisional Jawa Gerak dan Lagu untuk Menstimulasi

Keterampilan Sosial Anak Usia Dini” oleh Ni Nyoman Seriati dan Nur Hayati

(2010), “Intervensi Psikologi dengan Permainan Tradisonal” oleh Dewi Retno

Suminar (2012), dan sebagainya.

F. Karakter

Karakter menurut Thomas Lickona (1992) merupakan sifat alami

seseorang dalam merespons situasi secara bermoral yang dimanifestasikan dalam

tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik. Aristoteles mengungkapkan bahwa

karakter itu erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang dilakukan terus

menerus (Wibowo, 2012:32).

Suyanto (2010) menjelaskan bahwa karakter adalah cara berpikir dan

berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

baik dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Sementara itu, Musfiroh (2008) berpendapat bahwa karakter mengacu pada

serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan

keterampilan (skills) (Wibowo, 2012:33-34).

Menurut Kemendiknas (2010), karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau

kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebijakan

(virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai dasar atau landasan dalam

mengolah cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak (Wibowo, 2012:35).

Pendidikan karakter menurut Suyanto diartikan sebagai pendidikan budi

pekerti plus, yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling),

dan tindakan (actions). Melalui pendidikan karakter yang sistematis dan

berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi

itulah yang akan menjadi bekal penting seorang anak dalam menghadapi masa

depannya (Wibowo, 2012: 33). Sementara itu, Kemendiknas mengemukakan

bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai

karakter bangsa pada peserta didik, sehingga mereka memiliki nilai dan karakter

sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya

sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif,

dan kreatif (Wibowo, 2012: 35).

Suyanto dalam Suparlan (2012) menyebutkan ada sembilan pilar karakter

yang berasal dari nilai-nilai luhur universal manusia. Sembilan pilar karakter itu

adalah:

1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya;

2. Kemandirian dan tanggungjawab;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

3. Kejujuran/amanah,

4. Hormat dan santun;

5. Dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama;

6. Percaya diri dan pekerja keras;

7. Kepemimpinan dan keadilan;

8. Baik dan rendah hati, dan;

9. Toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Selain 9 pilar karakter di atas, Wibowo (2012:43-44) juga menyebutkan

adanya 18 pilar nilai-nilai luhur sebagai pondasi karakter bangsa yang dimiliki

oleh setiap suku di Indonesia menurut Pusat Kurikulum, Balitbang (Badan

Penelitian dan Pengembangan) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Nasional. 18 pilar tersebut adalah sebagai berikut.

1. Religius : sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama

yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup

rukun dengan pemeluk agama lain.

2. Jujur : perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang

yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3. Toleransi : sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,

pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4. Disiplin : tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai

ketentuan dan peraturan.

5. Kerja keras : perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam

mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas

dengan sebaik-baiknya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

6. Kreatif : berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil

baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7. Mandiri : sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain

dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8. Demokratis : cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan

kewajiban dirinya dan orang lain.

9. Rasa ingin tahu : sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui

lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, baik yang dilihat

maupun yang didengar.

10. Semangat kebangsaan : cara berfikir, bertindak, dan berwawasan yang

menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan

kelompoknya.

11. Cinta tanah air : cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan

kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,

lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

12. Menghargai prestasi : sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk

menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta

menghormati keberhasilan orang lain.

13. Bersahabat atau komunikatif : tindakan yang memperlihatkan rasa senang

berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

14. Cinta damai : sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain

merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

15. Gemar membaca : kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai

bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

16. Peduli lingkungan : sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah

kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-

upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17. Peduli sosial : sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada

orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

18. Tanggung jawab : sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan

kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,

lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Para pegiat pendidikan karakter mencoba melukiskan pilar-pilar penting

dalam pendidikan karakter dalam gambar berikut (Suparlan, 2012).

Grafik 38

9 Pilar Menurut Para Pegiat Pendidikan Karakter

Sumber: http://suparlan.com/2/2012/07/23/pendidikan-karakter/

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

Dari gambar tersebut jelas bahwa pendidikan karakter meliputi 9

(sembilan) pilar yang saling berkaitan, yaitu:

1. responsibility (tanggung jawab);

2. respect (rasa hormat);

3. fairness (keadilan);

4. courage (keberanian);

5. honesty (kejujuran);

6. citizenship (kewarganegaraan);

7. self-discipline (disiplin diri);

8. caring (peduli), dan

9. perseverance (ketekunan).

Dalam gambar tersebut dapat dilihat bahwa pendidikan karakter mencakup

empat ruang lingkup, yaitu home, school, community, dan bussiness. Pendidikan

karakter memang harus mulai dibangun di rumah (home), lalu dikembangkan di

lembaga pendidikan sekolah (school), dan diterapkan secara nyata di dalam

masyarakat (community) dan bahkan termasuk di dalamnya adalah dunia usaha

dan dunia industri (bussiness).

Selain, pilar-pilar pendidikan karakter di atas, ada pula yang menekankan

pentingnya tujuh pilar karakter yang didasarkan pada nilai-nilai dasar manusia.

Ketujuh pilar tersebut adalah sebagai berikut:

1. honesty (ketulusan, kejujuran)

2. kindness (rasa sayang)

3. generosity (kedermawanan)

4. courage (keberanian)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

5. freedom (kebebasan)

6. equality (persamaan), dan

7. respect (hormat).

Dalam penelitian ini, pilar pembentukan karakter yang akan dijadikan

landasan atau dasar dalam pengkajian isi naskah KDBK II adalah teori 18 pilar

nilai-nilai luhur sebagai pondasi karakter bangsa menurut Pusat Kurikulum

Balitbang (Badan Penelitian dan Pengembangan) Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan Nasional.