asuhan keperawatan empisema
-
Upload
akperharum -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
Transcript of asuhan keperawatan empisema
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah
penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara
di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami
kerusakan yang luas. Empisema adalah sebuah keadaan dimana
jaringan-jaringan dalam paru-paru kehilangan
keelasitasannya. Empisema biasanya melanda para perokok.
Nikotin yang terus mereka hisap setiap harinya lama-kelamaan
dapat mempengaruhi kerja paru-paru anda hingga mengakibatkan
adanya kerusakan permanen dari organ tubuh anda
tersebut.Namun, empisema ternyata tidak hanya menyerang para
perokok. Kerusakan paru-paru yang permanen ini juga dapat
melanda para penderita asma. Hal ini disebabkan para
penderita asma tidak mendapatkan obat-obatan dan perawatan-
perawatan yang benar untuk penyakit mereka tersebut. Resiko
empisema bahkan bisa lebih besar pada penderita asma
daripada perokok berat.
Penderita asma yang terkena empisema, seperti yang
dikemukakan dalam ehow.com, akan merasakan kesulitan
bernapas yang lebih parah lagi. Meskipun begitu, kesulitan
bernapas yang serius ini tidak terjadi setiap saat. Para
penderita asma hanya akan merasakan akibat dari empisema ini
sebentar-sebentar saja.Kemungkinan empisema untuk
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
mengakibatkan penyakit jantung pada penderitanya bahkan
semakin besar. Hal ini tentu saja disebabkan oleh jantung
anda harus bekerja jauh lebih berat lagi untuk membantu
paru-paru anda agar aliran udaranya tetap lancar.
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum
Untuk memenuhi tugas mata ajar kmb 1 sistem pernafasan
“asuhan keperawatan dengan Empisema”
2. Tujuan Khusus
a. Agar Mahasiswa/i dapat memahami tentang pengertian
Empisema
b. Agar mahasiswa/I dapat memahami tentang Etiologi
Empisema
c. Agar mahasiswa/I dapat memahami tentang patofisiologi
Empisema.
d. Agar mahasiswa/I dapat memahami tentang gejala dari
Empisema
e. Agar mahasiswa/I dapat memahami pemeriksaan diagnostic
Empisema
f. Agar mahasiswa/I dapat memahami penatalaksanaan
Empisema
g. Agar mahasiswa/i dapat memahami komplikasi Empisema
h. Agar mahasiswa/I memahami gambaran klinis Empisema
i. Agar mahasiswa/I memahami perangkat diagnostic Empisema
j. Agar mahasiswa/I memahami tentang Asuhan Keperawatan
Empisema
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
3. Metode Penulisan
Pada penulisan karya tulis ini kami menggunakan satu metode,
yaitu metode kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan beberapa
sumber buku dan internet
4. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN yang terdiri dari : latar
belakang, tujuan penulisan, manfaat
penulisan, metode penulisan, ruang lingkup
penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN TEORITIS yang terdiri
dari :pengertian Empisema dan Asuhan
Keperawatan dengan Empisema
BAB III PENUTUP terdiri dari : kesimpulan dan saran
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
BAB 11
Tinjauan teoritis
1. Pengertian Empisema
Emfisema adalah penyakit obstruktif kronis dengan
karakteristik penurunan elastisitas paru dan luas permukaan
alveolus yang berkurang akibat destruksi dinding alveolus
dan pelebaran ruang distal di udara bronkiolus terminal.
Kerusakan dapat terbatas hanya dibagian sentral lobus, dalam
hal ini yang paling berpengaruh adalah intregitas dinding
bronkiolus, atau dapat mengenai paru secara keseluruhan,
yang mengakibatkan kerusakan bronkus dan alveolus.hilangnya
elastisitas paru dapat mempengaruhi alveolus dan bronkus.
Elastisitas berkurang akibat destruksi serabut elastisdan
kolagen yang terdapat diseluruh paru dari produk yang
dihasilkan dengan mengaktivasi makrofag alveolus. Penyebab
pasti empisema masih belum jelas, tetapi lebih dari 80 %
kasus, penyakit biasanya muncul setelah bertahun-tahun
merokok (Lippincott Williams & Wilkins 2002)
Rokok diduga mengubah secara langsung struktur molekul
elastic. Emfisema juga memberi efek pada serabut elastic
yang berhubungan dengan penyakit infeksius berulang dengan
keadaan inflamasi kronis yang menyertai infeksi. Sebagai
akibatnya elastisitas jalan nafas hilang dan kolaps
alveolus, menurunkan ventilasi. Jalan nafas kolaps terutama
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat
pengempisa (recoil) paru secara pasif setelah inpirasi.
Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif udara
akan terperangkap didalam paru dan jalan nafas kolaps.
Dinding di antara alveolus-alveolus yang disebut septum
alveolus juga dapat mengalami kerusakan. Keadaan ini
menyebabkan luas permukaan alveolus yang tersedia untuk
pertukaran gas berkurang dan menurunkan kecepatan difusi.
Faktor resiko primer untuk emfisema adalah merokok.
Akan tetapi, pajanan berulang pada perokok pasif juga dapat
menyebabkan emfisema. Selain itu, ada emfisema bentuk
familial yang berhubungan dengan defisiensi anti-protese,
alfa-1 antitripsin. Bentuk emfisema ini jarang ditemukan dan
terjadi pada individu yang tidak.
Empisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang
ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara
bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan
dinding alveolus. atau perubahan anatomis parenkim paru yang
ditandai pelebaran dinding alveolus, duktus alveolaris dan
destruksi dinding alveolar (The American Thorack Society 1962)
Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku
mengembang dan terus menerus terisi udara walaupun setelah
ekspirasi. (Kus Irianto.2004.216). Emfisema merupakan
morfologik didefisiensi sebagai pembesaran abnormal ruang-
ruang udara distal dari bronkiolus terminal dengan desruksi
dindingnya. (Robbins.1994.253).
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat
kurangnya elastisitas paru dan luas permukaan alveoli.
(Corwin.2000.435).
Emfisema adalah istilah, progresif-penyakit panjang
dari paru-paru yang terutama menyebabkan sesak napas.
(Wikepidia, 2010).
terpajang demngan asap rokok, meskipun asap tembakau
memperburuk penyakit emfisema pada individu yang mengalami
defisiensi ini. Empisema dibahgi menurut pola asinus yang
terserang. Meskipun beberapa pola marfologik telah diperken
alkan , ada tiga bentuk yang paling penting sehubungan
dengan PPOM,
A. Empisema sentrilobular (CLE),
Secara selektif hanya menyerang bagian bronkiolus
respiratorius, dinding-dinding mulai berlubang, membesar
dan bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang
sewaktu dinding-dinding mengalami integrasi. Mula-mula
duktus alveolaris dan sakus alveolaris yang lebih distal
dapat dipertahankan. Penyakit ini lebih seing kali lebih
berat menyerang bagian atas paru-paru. Tetapi akhirnya
cenderung tersebar tidak merata.empisema sentrilobular
lebih banyak di temukan pada pria di bandingkan dengan
bronchitis kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang
tidak merokok.
B. Empisema panlobular (PLE) atau panasinar,
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
merupakan bentuk morfologiknyang lebih jarang dimana
alveolus yang terletak distal dari alveolus yang
terletakdistal dari bronkiolus terminalis mengalami
pembesaran serta kerusakan secara merata. Jika penyakit
makin parah, maka semua komponen asinus sedikit demi
sedikit menghilang sehingga akhirnya hanya tertinggal
hanya beberapa lembar jaringan saja.yang bioasanya
pembuluh-pembuluh darah. PLE mempunyai gambaran khas
yaitu: tersebar merata diseluruh paru-paru meskipun
bagian-bagian basal terserang lebih parah. Jenis
empisema ini ditandai dengan peningkatan resistensi jalan
nafas yang berlangsung lambat tanpa adanya bronchitis
kroniik. Mula timbulnya dini dan biasanya memperlihatkan
gejala-gejala pada usia antara 30-40 tahun.
Empisema panlobular, walaupun merupakan cirri khas dari
empisema primer, tetapi dapat juga dikaitkan dengan
empisema akibat tua dan bronchitis kronik. Diduga
kerusakan serabut elastic dan serabut reticular paru-paru
disertai dengan menghilangnya kemampuan mengembangnya
paru-paru secara elastic. Akan mengakibatkan peregangan
paru-paru yang progesif pada proses penuaan. Tetapi,
empisema senilis bukanlah empisema sejati, karena
sebagian besar pasien yang sudah tua ini tak mengalami
gangguan fungsi gangguan fungsi yang bearti. Empisema
panlobular yang menyertai bronchitis kronik di anggap
sebagai tahap akhir dari empisema sentry lobular
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
progesif, karena kedua gambaranm morfologis tersebut
dapat timbul pada paru-paru yang sama. Jika torak
penderita empisema dibuka selama pembedahan atau otopsi,
maka paru-paru tampak membesar , paru-paru ini akan tetap
terisi udara dan tetap tidak kolaps, warnanya lebih putih
dan dari pada paru-paru normal, dan terasa menggelembung
serta halus seakan-akan berbulu. Sering kali terlihat
bleb yaitu rongga sub fleura yang terisi udara, serta
bula yaitu rongga parenkim yang terisi udara yang
diameternya lebih besar dari 1 cm.
C. Empisema dan bronchitis kronis.
a. PPOK (baik bronchitis kronis maupun empisema )
mengakibatkan obstruksi jalan nafas eksprirasi dan
ketidak cocokan ventilasi?perfusi (V/Q).
b. Obstruksi jalan nafas ekspirasi dan terperangkapnya
udara menjadikan otot pernafasan berada dalam posisi
yang secara mekanis tidak menguntungkan dengan
peningkatan beban kerja pernafasan.
c. Pernafasan yang cepat dan dangkal tidak efisien
d. Kelemahan otot memperburuk ventilasi.
e. Ketidak cocokan ventilasi/ perfusi mengakibatkan
hipoksemia.
f. Dengan demikian, sebagian besar pasien akan mengalami
campuran hipoksemia dan hiperkapnia.
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
g. Hiperkapnia kronis dapat menyebabkan penurunan
sensitivitas dipusat respirasi sehingga pasien menjadi
tidak sensitive terhadap perubahan paCO2, dengan
demikian stimulus utama pernafasan bergantung pada
kemoresepsi paO2 yang rendah. Suplemen oksigen dapat
menghilangkan stimulus ini mengakibatkan penurunan
respon ventilasi dan bertambahnya retensi
karbondioksida.
h. Penyebaran kerusakan paru disertai hipoksemia dan
hiperkapnia mengakibatkan perluasan vasokontriksi
arteri pilmonalis dan peningkatan tekanan arteri
pulmonalis.
i. Infeksi penyerta dan bronkospasme menyebabkan
eksarsebasi akut dengan pemburukan pertikaran gas.
2. Etiologi
Beberapa hal yang dapat menyebabkan emfisema paru yaitu :
a. Rokok
Rokok secara patologis dapat menyebabkan gangguan
pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat fungsi
makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia
kelenjar mukus bronkus. Secara patologis rokok
berhubungan dengan hyperplasia kelenjar mucus bronkus dan
metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan.
b. Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan
emfisema. Insiden dan angka kematian emfisema bisa
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat
industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap
tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia
menghambat fungsi makrofag alveolar.
c. Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru
lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti
pneumonia, bronkiolitis akut dan asma bronkiale, dapat
mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya
dapat menyebabkan terjadinya emfisema.
d. Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema.
Faktor genetik diataranya adalah atopi yang ditandai
dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar
imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive
bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga.
Kondisi yang relatif jarang yang dikenal sebagai
kekurangan alpha 1-antitrypsin adalah kekurangan genetik
dari kimia yang melindungi paru dari kerusakan oleh
proteases.
e. Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim
proteolitik elastase dananti elastase supaya tidak
terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur
paruakan berubah dan timbul emfisema.
f. Penuaan
Emphysema adalah juga komponen dari penuaan (aging).
Ketika paru- paru menua, sifat-sifat elastisnya
berkurang, dan tegangan-tegangan yang berkembang dapat
berakibat pada area-area yang kecil dari emphysema.
Penyebab-penyebab yang kurang umum lain dari emphysema
termasuk:
1) Penggunaan obat intravena dimana beberapa dari additive-
additive yang bukan obat seperti tajin jagung dapat
beracun pada jaringan paru.
2) Kekurangan-kekurangan imun dimana infeksi-infeksi
seperti Pneumocystis jiroveci dapat menyebabkan perubahan-
perubahan peradangan dalam paru.
3) Penyakit-penyakit jaringan penghubung (Ehlers-Danlos
Syndrome, Marfan syndrome) dimana jaringan elastis yang
abnormal dalam tubuh dapat menyebabkan kegagalan
alveoli.
3. Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan di mana terjadi kerusakan
pada dinding alveolus yang akan menyebabkan overdistensi
permanen ruang udara. Perjalanan udara akan tergangu akibat
dari perubahan ini. Kerja nafas meningkat dikarenakan
terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru-paru untuk
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
melakukan pertukaran O2 dan CO2. Kesulitan selama ekspirasi
pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding
(septum) di antara alveoli, jalan nafas kolaps sebagian, dan
kehilangan elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saat
alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan di antara
ruang alveolus yang disebut blebs dan di antara parenkim paru-
paru yang disebut bullae. Proses ini akan menyebabkan
peningkatan ventilatory pada ‘dead space’ atau area yang tidak
mengalami pertukaran gas atau darah. Emfisema juga
menyebabkan destruksi kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi
penurunan perfusi O2 dan penurunan ventilasi. Emfisema masih
dianggap normal jika sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini
timbul pada pasien yang berusia muda biasanya berhubungan
dengan bronkhitis dan merokok.
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru.
Yaitu penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas
paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang
yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan
suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering
dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan
demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan
pada enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan
paru antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase
supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan
menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru
akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase yang
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini
menyebabkan elastase bertambah banyak. Sedang aktifitas
system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease
inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1
globulin).
Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara elastase
dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin
paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru
normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik
jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan tekanan intra
pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang
menarik jaringan paru ke dalam yaitu elastisitas paru.
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal,
tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang sehingga
saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup. Pada pasien
emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih
banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta
dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan
perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya
dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada akan
tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan
maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata.
Sehingga timbul hipoksia dan sesak nafas.Emfisema paru
merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan
alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat
menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
paru. Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi
akibat dari obstrusi sebagian yang mengenai suatu bronkus
atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus
menjadi lebih sukar dari pemasukannya. Dalam keadaan demikian
terjadi penimbunan udara yang bertambah di sebelah distal
dari alveolus.
4. Gejala
a) Pada awal gejalanya serupa dengan bronkhitis Kronis
b) Dispnea progestif saat olahraga,
c) Dispnea nocturnal paroksismal.
d) Edema kaki, batuk produktif.
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
e) Mengi.
f) Edema kaki atau perut kembung.
g) Napas terengah-engah disertai dengan suara seperti
peluit
h) Dada berbentuk seperti tong, otot leher tampak menonjol,
penderita sampai membungkuk
i) Bibir tampak kebiruan
j) Berat badan menurun akibat nafsu makan menurun
k) Batuk menahun.
5. Pemeriksaan diagnostik
1. Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru;
mendatarnya diafragma; peningkatan area udara
retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula
(emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis),
hasil normal selama periode remisi (asma).
2. Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab
dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah
obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat
disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi,
mis., bronkodilator.
3. TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang
pada asma; penurunan emfisema
4. Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema
5. Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis
kronis, dan asma
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
6. FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas
vital kuat menurun pada bronkitis dan asma.
7. GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronish.
Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus
pada inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi kuat
(emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada
bronkitis.
8. JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema
luas), peningkatan eosinofil (asma).
9. Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk
meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
10. Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi,
mengidentifikasi patogen; pemeriksaan sitolitik untuk
mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
11. EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma
berat); disritmia atrial (bronkitis), peninggian
gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema);
aksis vertikal QRS (emfisema)
12. EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat
disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi
bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan.
6. Penatalaksanaan
Pengobatan penyakit emfisema bertujuan menghilangkan
gejala dan mencegah pemburukan kondisi penyakit. Emfisema
tidak dapat disembuhkan. Terapi antara lain:
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
1. Mendorong individu berhenti merokok.
2. Mengatur posisi dan pola bernafas untuk mengurangi
jumlah udara yang terperangkap
3. Memberi pengajaran mengenai teknik relaksasi dan cara
untuk menghemat energy
4. Banyak pasien emfisema memerlukan terapi oksigen agar
dapat menjalankan aktivitas sehari-hari. Terapi
oksigen dapat memperlambat kemajuan penyakit dan
mengurang morbiditas dan mortalitas.
5. Terapi latihan yang dirancang dengan baik dapat
memperbaiki gejala.
7. Komplikasi
1. Hipertensi paru akibat vasokonstriksi hipoksis paru
kronis yang akhirnya menyebabkan kor pulmonalise.
2. Penurunan kualitas hidup pada pengidap penyakit ini yang
parah.
3. Sering mengalami infeksi ulang pada saluran pernapasan
4. Daya tahan tubuh kurang sempurna
5. Proses peradangan yang kronis di saluran napas
6. Tingkat kerusakan paru makin parah.
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
8. Gambaran klinis
a) Terperangkapnya udara akibat hilangnya elastisitas peru
penyebab dada mengembang (peningkatan diameter anterior-
posterior).
b) Bunyi nafas tidak ada pada saat aukultasi
c) Penggunaan otot aksesori pernafasan
d) Takipnea (peningkatan frekuensi pernafasan) akibat
hipoksia dan hiperkapnia. Karena peningkatan kecepatan
pernafasan pada penyakit ini efektif. Sebagian besar
individu mengidap emfisema tidak memperlihatkan
pengubahan gas darah arteri yang bermakna sampai
penyakit tahap lanjut pada saat kecepatan pernafasan
tidak dapat mengatasi hipoksia atau hiperkarnia. Pada
akhirnya, semua nilai gas darah memburuk dan terjadi
hipoksia, hiperkapnia dan asidosis.
e) Depresi system saraf pusat dapat terjadi akibat
tingginya kadar karbondioksida (narcosis karbon dioksida
)
f) Suatu perbedaan kunci antara emfisema dan bronchitis
kronis adalah pada emfisema tidak terjadi pembentukan
sputum.
9. Perangkat diagnostic
Hasil yang abnormal pada pemeriksaan fungsi paru,
termasuk penurunan hasil pengukuran FEV1, (volume ekspirasi
paksa), oenurunan kapasitas vital, dan peningkatan volume
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
residual(udera yang tersisa didalam saluran nafas setiap
kali berbafas). Mengakibatkan penurunan elastisitas
paru.seiring perkembangan penyakit, analisis gas darah yang
pertama kali menunjukan hipoksia. Pada tahap lanjut
penyakit, kadar karbon dioksida juga dapat mengalami
peningkatan.
10. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pemeriksaan pasien
a) Penurunan tingkat kesadaran,
b) sianosis selama eksaserbasi akut,
c) Takipnea
d) peningkatan diameter anterior-posterior dada (dada
tong)
e) penggunaan otot bantu pernafasan
f) diafragma rendah pada perkusi
g) penurnan suara nafas
h) fase ekspirasi pernafasan memanjangmengi saat respirasi
dan krepitasi kasar
i) jari gada,
j) siaonis
k) edema kaki (penyakit lanjut).
B. Riwayat
a) Riwayat merokok aktif atau pasi
b) riwayat pekerjaan
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
c) infeksi saluran nafas berulang
d) keterbatasan olahraga yang progestif,
e) riwayat keluarga, terutama pada bukan perokok
f) penurunan berat badan
g) produksi sputum.
C. Diagnosa keperatan
a) Bersihan jalan napas tak efektif b.d. Bronkospasme
b) Kerusakan pertukaran gas b.d. Kurangya suplai oksigen
akibat obstruksi jalan napas oleh bronkospasme
c) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
b.d. anoreksia
D. Intervensi keperawatan
no diagnosa Tujuan dan KH intervensi rasioanal1 Bersihan
jalan napas
setelah
diberikan
1. Bantu pasien
untuk
1. Peninggian
kepala
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
tidak efektif
b.d.
Bronkospasme
intervensi 3 x
24 jam klien
mampu bernapas
secara
efektifKH
1. Mempertah
ankan
jalan
napas
paten
dengan
bunyi
napas
bersih
2. Mampu
batuk
efektif
3. Mengeluar
akan
sekret
tanpa
bantuan
meninggikan
kepala tempat
tidur, duduk
pada sandaran
tempat tidur
2. Bantu
melakukan
latihan napas
abdomen atau
bibir
3. Pantau
frekuensi
pernapasan
tempat
tidur
mempermuda
h fungsi
pernapasan
dengan
menggunaka
n
gravitasi
2. Memberikan
pasien
beberapa
cara untuk
mengatasi
dan
mengontrol
dispnea
dan
menurunkan
jebakan
udara
3. Pernapasan
dapat
melambat
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
4. .Kolaborasi
dalam
pemberian obat
sesuai
indikasi,
contoh :
a. Bronkodil
ator
b. Xantin
c. Kromolin
dan
frekuensi
ekspirasi
memanjang
dibanding
inspiras
4. Bronkodila
tor untuk
merilekska
n otot
halus dan
menurunkan
kongesti
lokal,
menurunkan
spasme
jalan
napas,
mengi, dan
produksi
mukosa.
Xantin
diberikan
untuk
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
5. Kolaborasi
dalam
memberikan
humidifikasi
tambahan,
mis :
nebuliser
menurunkan
edema
mukosa dan
spasme
otot polos
dengan
peningkata
n langsung
siklus AMP
Kromolin,
menurunkan
inflamasi
jalan
napas
lokal dan
edema
dengan
menghambat
efek
histamin
dan
mediator
lain
5. Mempermuda
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
h
mengeluark
an sekret
dan dapat
membantu
menurunkan
pembentuka
n mukosa
tebal pada
bronkus.
2 Kerusakan
pertukaran
gas b.d.
Kurangya
suplai
oksigen
akibat
obstruksi
jalan napas
oleh
bronkospasme
setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 3x24
jam klien
menunjukkan
perbaikan
ventilasi &
oksigenasi
jaringan yang
adekuatKH :
1. Menunjukk
1. Kaji RR dan
otot bantu
napas
2. Awasi tanda
vital
1. Berguna
dalam
evaluasi
derajat
distress
pernapasan
dan/atau
kronisnya
proses
penyakit
2. Takikardia
,
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
an
perbaikan
ventilasi
dan
oksigenas
i
2. GDA
dalam
rentang
normal
3. Bebas
gejala
distres
napas
3. Awasi GDA
dan nadi
oksimetri
4. Kolaborasi
pemberian
oksigen
tambahan
disritmia,
dan
perubahan
TD dapat
menunjukka
n efek
hipoksemia
pada
fungsi
jantung
3. Pada klien
emfisema
biasanya
PaCO2
meningkat
dan PaO2
menurun,
sehingga
hipoksia
terjadi
dengan
derajat
lebih
kecil atau
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
sesuai
dengan
indikasi
hasil GDA
dan
toleransi
pasien
lebih
besar
4. Dapat
memperbaik
i/mencegah
memburukny
a hipoks
ia.3 Ketidakseimba
ngan nutrisi:
kurang dari
kebutuhan
tubuh b.d.
anoreksia
Setelah
diklakukan
tindakan
keperawayan
selama 2x 24
jamketidak
seimbangan
nutrisi :
kurang dari
kebutuhan
tubuh dapat
teratasi
dengan KH :
1. BB
1. Berikan
perawatan oral
secara rutin,
buang sekret,
berikan wadah
sekali pakai
dan tisu
2. Dukung pasien
untuk makan
porsi kecil
tapi sering
1. Rasa tak
enak pada
mulut, bau
mulut dan
penampilan
adalah
pencegah
utama
terhadap
nafsu makan
2. Memberikan
kesempatan
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
meningkat
/ideal
2. Porsi
makan yg
diberikan
habis.
3. Hindari makan
yang sangat
panas atau
sangat dingin
4. Timbang berat
badan sesuai
indikasi
5. Kolaborasi
dengan ahli
gizi untuk
memberikan
untuk
meningkatka
n masukan
kalori
total
3. Suhu
ekstrem
dapat
mencetuskan
/meningkatk
an spasme
batuk.
4. Berguna
untuk
menentukan
kebutuhan
kalori,
menyusun
tujuan
berat
badan, dan
evaluasi
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
makanan yang
mudah dicerna
tapi dengan
nutrisi yang
seimbang
6. Berikan
vitamin/minera
l/elektrolit
sesuai
indikasi
7. Kolaborasi
dengan dokter
untuk
memberikan
oksigen
tambahan
keadekuatan
rencana
nutrisi.
5. Metode
makan dan
kebutuhan
kalori
didasarkan
pada
situasi/keb
utuhan
individu
untuk
memberikan
nutrisi
maksimal
dengan
upaya
minimal
pasien/peng
gunaan
energy.
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
selama makan
sesuai
indikasi
6. Mengatasi
kekurangan
keefektifan
terapi
nutrisi
7. Menurunkan
dispnea dan
meningkatka
n energi
untuk makan
meningkatka
n masukan
E. Iplementasi
Implementasi sesuai dengan intervensi di atas
F. Evaluasi
1. jalan napas pasien berbunyi vesikuler
2. pasien Mampu batuk efektif
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
3. pasien dapat Mengeluarakan sekret tanpa bantuan
4. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi
5. GDA dalam rentang normal.
6. Pasien dapat Bebas dari gejala distres napas.
7. BB pasien meningkat /ideal
8. Porsi makan yg diberikan habis.
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Emfisema adalah penyakit obstruktif kronis dengan
karakteristik penurunan elastisitas paru dan luas
permukaan alveolus yang berkurang akibat destruksi
dinding alveolus dan pelebaran ruang distal di udara
bronkiolus terminal. Kerusakan dapat terbatas hanya
dibagian sentral lobus, dalam hal ini yang paling
berpengaruh adalah intregitas dinding bronkiolus, atau
dapat mengenai paru secara keseluruhan, yang
mengakibatkan kerusakan bronkus dan alveolus.hilangnya
elastisitas paru dapat mempengaruhi alveolus dan
bronkus. ada tiga bentuk yang paling penting sehubungan
dengan PPOM, yaitu Empisema sentrilobular (CLE), Empisema
panlobular (PLE) atau panasinar, dan Empisema dan bronchitis
kronis. Dan juga ada tiga diagnose yang di dapat dari
penyakit empisema yaitu: Bersihan jalan napas tak
efektif b.d. Bronkospasme, Kerusakan pertukaran gas
b.d. Kurangya suplai oksigen akibat obstruksi jalan
napas oleh bronkospasme, dan Ketidakseimbangan nutrisi:
kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia.
B. Saran.
1. Semoga dengan adanya tugas kelompok pembuatan
makalah ini, kelompok bisa mendapat tambahan
Akademi Keperawatan Harum Jakarta Page 17
wawasan serta ilmu pengetahuan dibidang ilmu
keperawatan.
2. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca ataupun pembuat makalah.
3. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi perawat
dalam memberikan tindakan asuhan keperawatannya
kepada pasien.
4. Kami menucapkan terimakasih kepada para dosen kami
yang telah membimbing kami dalam proses belajar.
5. Kami mengucapkan terimakasih kepada para rekan-
rekan kami yang telah membantu dalam penyelesaian
makalah ini.
Daftar Pustaka
Aru.w.Sudoyo.2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.jakarta:fakultas
kedokteran universitas kedokteran
Mansjor.Arief , Kuspuji triyanti dan Rahmi Sapitri.2001. Kapita
Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta:Media Aesculapius.
Prof. Dr.mubin A.Halim.Sppd.Msc.Kpti.2002. Ilmu penyakit Dalam
edisi 2. Jakarta:Kedokteran
Williams,Lippincoot & Wilkins. 2002. Kapita Selekta
Penyakit.jakarta:EGC
www.artikata.com/arti-92769-
idiopathic+thrombocytopenic+empisema.html : 9 sepetembel
2013: 20:00 wib