tutorial klinik
-
Upload
asri-parantri -
Category
Documents
-
view
93 -
download
0
description
Transcript of tutorial klinik
PRESENTASI KASUS
EPILEPSI PARSIAL SIMPLEX
Disusun Untuk Mengikuti Ujian Stase Ilmu Penyakit Saraf
Di RSUD Saras HusadaPurworejo
Diajukan Kepada :
dr. Murgyanto Sp.S
Disusun Oleh :
Dian Afriani Harsoyo
NIM : 20070310180
BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD SARAS HUSADAPURWOREJO
FKIK UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH YOGYAKARTA
2013
1
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
EPILEPSI PARTIAL SIMPLEX
Telah disetujui pada
25 Januari 2013
Oleh:
Pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Syaraf
RSUD Saras Husada Purworejo
dr. Murgyanto, Sp. S
2
KASUS
IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. R
Ruang :Anggrek
Umur : 56 tahun
Alamat : Pringgowijayan 03/04 Kutuarjo
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Tgl masuk : 14 Januari 2013
No RM : 00263127
ANAMNESIS
Diperoleh dari pasien dan keluarga (15 Januari 2013)
Keluhan utama
Kejang di anggota gerak atas kiri
Riwayat Penyakit Sekarang
Empat hari sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluhkan tangan
kiri terasa kesemutan dan dirasakan sering gemetar, pada sore harinya saat
penderita sedang ambil wudhu, tangan kiri kejang. Saat kejang penderita sadar
dan melihat tangannya kaku dan bergerak-gerak sendiri. Pada saat kejang, diawali
dengan tangan kiri penderita merasa seperti kesentrum, dan wajah menjadi
mencong ke kiri. Lalu tangan kiri penderita kaku dan bergerak-gerak sendiri.
Tidak ada nyeri kepala sebelumnya, atau pandangan kabur dan dobel. Pasien juga
menyangkal mendengar suara-suara aneh sebelum kejang. Kejang dirasakan
pasien + 3 menit. Setelah kejang, pasien masih tetap sadar tetapi tangan kiri
pasien seketika lemah, tidak bisa menggenggam. Keesokkan harinya tangan dan
wajah penderita kembali seperti biasa. Penderita memeriksakan ke dokter di dekat
rumah penderita dan mendapat obat. Tetapi pada hari itu, pasien kejang lagi
seperti sebelumnya sebanyak 1x selama + 3 menit. Kejang yang sama dirasakan
penderita setiap hari sebanyak 1x selama + 3 menit sampai sebelum masuk rumah
3
sakit. Pada malam sebelum masuk rumah sakit penderita mengatakan kejang di
tangan semakin sering, kejang dirasakan hampir setiap 5 menit mulai dari sore dan
penderita merasa tangan kiri semakin lemah, penderita akhirnya dibawa ke RSUD
Purworejo pada hari Senin, 14 Januari 2013 pukul 21.40 WIB. Di IGD penderita
sempat kejang lagi sebanyak 1x selama + 2 menit. Di IGD pasien diperiksa gula
darah sewaktu dan didapatkan hasil 553 mg/dl. Oleh triase IGD, penderita
dimasukkan ke triase penyakit dalam. Hari berikutnya, dari dokter penyakit
dalam, penderita dikonsulkan ke bagian neurologi dengan parsial seizure.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kejang seperti saat ini sebelumnya disangkal
Riwayat hipertensi diakui, pasien jarang kontrol
Riwayat DM diakui sudah 2 tahun, dalam pengobatannya pasien menggunakan
pengobatan herbal.
Riwayat Penyakit Jantung disangkal
Riwayat trauma/jatuh disangkal
Riwayat stroke sebelumnya disangkal
Riwayat opname sebelumnya disangkal
Riwayat batuk lama dan menjalani pengobatan rutin sebelumnya disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga yang menderita keluhan serupa disangkal
Anamnesis Sistem
Sistem serebrospinal : penurunan kesadaran (-), kejang (+), nyeri kepala
(-)
Sistem kardiovaskuler : takikardi (-), hipertensi (+).
Sistem respiratorius : Batuk (-), pilek (-), sesak nafas (-).
Sistem gastrointestinal : Muntah (-), nyeri perut (-)
Sistem musculoskeletal : Lemas (+) di anggota gerak kiri atas, nyeri sendi
(-).
4
Sistem integumental : Gatal (-).
Resume Anamnesis
Penderita seorang perempuan 56 tahun dengan keluhan utama kejang di
anggota gerak kiri atas selama + 3 menit setiap harinya sebanyak 1x sejak empat
hari yang lalu dan dirasakan baru pertama kali, dengan riwayat penyakit hipertensi
dan diabetes melitus yang tak terkontrol.
DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis Klinis : kejang anggota gerak kiri atas
Diagnosis Topik : cortex cerebri hemisfer dextra
Diagnosis Etiologi : metabolik dd SNH
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Tampak lemas, kesan status gizi cukup
Kesadaran : kompos mentis
GCS : E4V5M6
Tanda vital : Tekanan Darah = 210/100 mmHg
Nadi = 118 x/menit
Pernafasan = 24 x/menit
Temperatur = 36 oC
Kepala : Mesosefal, deformitas (-), discharge dari hidung danteli-
nga (-),konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik.
Leher : jejas (-), nyeri tekan (-), limfonodi tidak membesar, JVP
sedikit meningkat
Dada : Pulmo : simetris, sonor di seluruh lapangan paru,
vesikuler di seluruh lapangan paru, ronkhi
(-/-), whezing (-/-), vesikuler (+/+).
Cor : konfigurasi kesan dalam batas normal
ictus cordis tak tampak, ictus cordis di SIC
5
V linea midclavicula sinistra, SI-II reguler,
bising (-)
Abdomen : datar, lemas,supel, massa (-), hepar dan lien tidak teraba,
peristaltik (+)
Ekstremitas : oedema (-), rash (-), petekie (-)
Integumentum : dalam batas normal
Status Neurologis
Kesadaran : kompos mentis, GCS E4-V5-M6
Sikap tubuh : lurus
Gerakan abnormal : tidak ada
Kepala : mesocephal, pupil isokor ø 3/3 mm, reflek cahaya (+/+),
reflek kornea (+/+)
Nervus Fungsi Kanan KiriN. I Daya pembau N NN. II Daya penglihatan >3/60 >3/60
Pengenalan warna N NMedan penglihatan N N
N. III Ptosis - -Gerakan mata ke medial + +Gerakan mata ke atas + +Gerakan mata ke bawah + +Ukuran pupil 3 mm 3 mmBentuk pupil Bulat bulatRefleks cahaya langsung + +Refleks cahaya konsensuil + +Refleks akomodatif + +Strabismus divergen -
N. IV Gerakan mata ke medial bawah + +Strabismus konvergen - -Diplopia - -
N. V Menggigit + +Membuka mulut + +Sensitibilitas muka N NRefleks kornea + +Trismus - -
N. VI Gerakan mata ke lateral + +Strabismus konvergen -
N. VII Kedipan mata + +
6
Kerutan alis + +Lipatan naso-labial + +Sudut mulut + +Mengerutkan dahi + +Menutup mata + +Meringis + +Mengembungkan pipi + +Daya kecap lidah 2/3 depan N NRefleks glabela + +Refleks visuo palpebra + +Refleks aurikulo palpebra + +Tanda Myerson - -Tanda Chovstek - -Bersiul N N
N. VIII Mendengar suara berbisik + +Mendengar detik arloji + +Tes Rinne N NTes Weber NTes Schwabah N N
N. IX Arkus faring SimetrisDaya kecap lidah 1/3 belakang N NRefleks muntah +Sengau -Tersedak -
N. X Denyut nadi 118 x/menit 118 x/menitArkus faring SimetrisBersuara +Menelan +
N. XI Memalingkan kepala + +Sikap bahu Ddn DdnMengangkat bahu Sdn SdnTrofi otot bahu Eutrofi Eutrofi
N. XII Sikap lidah LurusArtkulasi NormalTremor lidah -Menjulurkan lidah lurusTrofi otot lidah eutrofi eutrofiFasikulasi lidah - -
Leher : kaku kuduk (-), kaku leher (-), meningeal sign (-)
7
Extremitas : Ekstremitas superior Ekstremitas inferiorKanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan B T B BKekuatan 5/5/5 5/5/4 5/5/5 5/5/5
Refleks FisiologisBiseps Triseps Radius PatellaKanan
Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan
Kiri
Refleksfisiologis 2+ 3+ 2+ 3+ 2+ 2+ 2+ 2+Perluasan refleks - - - - - - - -
Reflek Patologis Kanan Kiri
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaefer - -
Gonda - -
Hoffmann-Tromner - -
Bing - -
Rosolimo - -
Pemeriksaan radiks medulla spinalis
Lassegue - -
Patrick - -
Kontra Patrick - -
Valsava - -
Nasziger - -
Klonus paha - -
Klonus kaki - -
8
Tonus ekstremitas superior N menurun
Tonus ekstremitas inferior N N
Trofi ekstremitas superior eutrofi eutrofi
Trofi ekstremitas inferior eutrofi eutrofi
Sensibilitas :
Sensibilitas
Ekstremitas superior Ekstremitas inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Protopatik
Propioseptik
Protopatik
Propioseptik
Protopatik
Propioseptik
Protopatik
Propioseptik
normal normal menurun
menurun
normal normal normal normal
Vegetatif : BAK (+) dbn, BAB (+) dbn
PEMERIKSAAN PENUNJANG ( Tanggal 14 Januari 2013 )
Pemeriksaan kimia darah :
kimia darah HasilGDSUreumCreatininSGOTSGPTKaliumNatriumChloride
530 mg/dl74 mg/dl1,03 mg/dl21 U/l16 U/l414080
Pemeriksaan darah rutin :
darah rutin Hasil
WBCRBCHGBHCTMCVMCHMCHCPLTRDW-CV
10,35. 103 /Ul5,4.106 /Ul14,8 gr/dl43,7 %80,9 fl27,4 pg33,9 gr/dl196.103/Ul14,3 %
9
RDW-SDMPVPDWP-LCR
41,6 fl10,1 fl11,1 fl26,2 %
Hasil Head CT-SCAN (16 Januari 2013)
Densitas cerebri dan cerebelli normodent
Tak tampak lesi hyper/hypoden
Systema ventrikel relatiif menyempit simetris
Tak tampak deviasistruktur median
Kesan : udem cerebri ringan
RESUME PEMERIKSAAN
Keadaan umum : tampak lemah, dengan status gizi cukup
Kesadaran : kompos mentis, GCS E4-V5-M6
Nn. Cranialis : dalam batas normal
Gerakan B BT
B B
Kekuatan 5/5/5 5/5/4
5/5/5 5/5/5
Refleks fisiologis 2+ 3+
2+ 2+
Refleks patologis - -
- -
Lassegue : - /-
Patrick : -/-
Kontra Patrick : -/-
Valsava : -/-
Nasziger : -/-
Sensibilitas : hipoestesi di ekstremitas superior sinistra
10
Vegetatif : tidak ada kelainan, BAK normal
Laboratorium : hiperglikemi, leukositosis
DIAGNOSA AKHIR
Diagnosis Klinis :Epilepsi Partial Simplex
Diagnosis Topik : cortex cerebri hemisfer dextra
Diagnosis Etiologi : metabolik
PENATALAKSANAAN
IVFD Assering 20 tpm
Inj. Citicholin 500 mg/12 jam
Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
Inj. Thiamin 1 amp/24 jam
Carbamazepin 2x100 mg
PROGNOSIS
Death :Baik
Discomfort :Baik
Disease :Baik
Dissatisfaction :Baik
Disability :Baik
11
FOLLOW UPTanggal 16-01-2013 17-01-2013 18-01-2013keluhan Kejang (-),
tangan dan jari kiri masih lemas dan kesemutan
Kejang (-), nyeri kepala (+)
Kejang (-)
Keadaan umum Baik, kompos mentis, E4V5M6
Baik, kompos mentis, E4V5M6
Baik, kompos mentis, E4V5M6
Tanda vital TD : 130/80, N:72, T: 36oC
TD : 160/80, N:76, T: 36oCNPS 1-2
TD : 160/120, N:66, T: 36oC
Gerakan B TB B
B BTB B
B BTB B
Kekuatan 5/5/5 5/5/45/5/5 5/5/5
5/5/5 5/5/4+5/5/5 5/5/5
5/5/5 5/5/4+5/5/5 5/5/5
R.fisiologis +2 +3+ 2 +2
+2+2+ 2 +2
+2+2+ 2 +2
R.Patologis - -- -
- -- -
- -- -
SensibilitasDiagnosis Riwayat partial
seizure cum monoparese superior sinistra e.c SNH
Terapi Tab karbamazepin 2x100 mgInj. Ranitidin 1 amp/12 jamInj. Citicholin 500mg/12 jamInj. Thiamin 1 amp/24 jam
Tab karbamazepin 2x100 mgInj. Ranitidin 1 amp/12 jamInj. Citicholin 500mg/12 jamInj. Thiamin 1 amp/24 jam
BLPLTab karbamazepin 2x100 mgTab citicholin 2x500 mgTab sohobion 1x1
12
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan
tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.Menurut
International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for
Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak
yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang
epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi
sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat
kejang epilepsi sebelumnya.
EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang.Insiden epilepsi di negara maju
ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai
100/100,000.
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun.8 Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan.Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di
bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000
kasus).
ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
1. Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari
penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik,
awitan biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan ditemukannya alat – alat diagnostik yang canggih
kelompok ini makin kecil
13
2. Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf
pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
gangguan metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum,
lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat),
kelainan neurodegeneratif.
3. Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut
dan epilepsi mioklonik
KLASIFIKASI
Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League Against
Epilepsy (ILAE) 1981:
I . Kejang Parsial (fokal)
A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1. Dengan gejala motoric
a. Fokal motorik tidak menjalar
b. Fokal motorik menjalar (epilepsy Jackson)
c. Versif
d. Postural
e. Disertai gangguan fonasi
2. Dengan gejala sensorik
a. Somatosensoris
b. Visual
c. Auditoris
d. Olfaktoris
e. Gustatoris
f. Vertigo
3. Dengan gejala otonomik (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat,
memberat, piloereksi, dilatasi pupil)
4. Dengan gejala psikik
a. Disfasia
b. Dismnesia
14
c. Kognitif
d. Afektif
e. Ilusi
f. Halusinasi kompleks (berstruktur)
B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme
C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik,
tonik atau klonik)
1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
3. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,dan
berkembang menjadi kejang umum
II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
A. Lena/ absens
1. Hanya penurunan kesadaran
2. Dengan komponen klonik ringan
3. Dengan komponen atonik
4. Dengan komponen tonik
5. Dengan automatisme
6. Dengan komponen autonom kondisi b hingga f dapat tersendiri atau
dalam kombinasi
B. mioklonik
C. tonik
D. atonik
E. klonik
F. tonik-klonik
15
III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan
Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :
I. Berkaitan dengan letak fokus
A. Idiopatik
Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
Childhood epilepsy with occipital paroxysm
B. Simptomatik
Lobus temporalis
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus oksipitalis
II. Epilepsi Umum
A. Idiopatik
Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
Benign myoclonic epilepsy in infancy
Childhood absence epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
Other generalized idiopathic epilepsies
B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
West’s syndrome (infantile spasms)
Lennox gastaut syndrome
Epilepsy with myoclonic astatic seizures
Epilepsy with myoclonic absences
C. Simtomatik
Etiologi non spesifik
Early myoclonic encephalopathy
Specific disease states presenting with seizures
PATOFISIOLOGI
16
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps.Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter
eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan
neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf
dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil
dan tidak mudah melepaskan listrik.Di antara neurotransmitter-neurotransmitter
eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan
neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA)
dan glisin.Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi
transmisi impuls atau rangsang.Dalam keadaan istirahat, membran neuron
mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi
potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan
melepas muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh
ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan
letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur
dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara
sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan
epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses
inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang
epileptic.Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang
menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang
peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti
ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi
otak
17
Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000
GEJALA
A. Kejang parsial simplek
Kejang ini sangat berbeda pada setiap orang, tergantung pada bagian otak
dimana kejang ini berawal. Satu hal yang umum terjadi pada setiap penderita
bahwa mereka tetap terjaga dan dapat mengingat apa yang terjadi. Penderita
sering kali mengungkapkan“ perasaan ini seperti dejavu seperti orang tersebut
pernah mengalami peristiwa itu dan tau apa yang akan terjadi selanjutnya.
18
Semuanya terlihat lebih terang dan lebih hidup” atau “ ini seperti sebuah tekanan
yang berawal dari perut kemudian naik kedada dan tenggorokan. Ketika tekanan
ini mencapai dada, saya mencium bau yang tidak enak dari sesuatu yang terbakar
dan pada saat yang sama saya gelisah”
Dokter sering membagi kejang parsial sederhana kedalam beberapa kategori
tergantung pada jenis gejala yang dialami oleh pasien.
Kejang motoric
Kejang ini menyebabkan perubahan pada aktivitas otot. Sebagai contoh ,
seseorang mungkin mengalami gerakan abnormal seperti jari tangan menghentak
atau kekakuan pada sebagian tubuh. Gerakan ini mungkin akan meluas atau tetap
pada satu sisi tubuh (berlawanan dengan area otak yang terganggu) atau meluas
pada kedua sisi. Contoh yang lain adalah kelemahan dimana dapat berpenagruh
pada saat berbicara. Penderita mungkin bisa atau tidak menyadari gerakan ini.
Kejang sensorik
Kejang ini menyebabkan perubahan perasaan. Orang dengan kejang
sensori mungkin mencium atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada
disitu, mendengar bunyi berdetak, bordering atau suara seseorang ketika suara
yang sebenarnya tidak ada, atau merasakan sensasi seperti ditusuk jarum atau mati
rasa (kebas). Kejang mungki terasa sangat menyakitkan pada beberapa pasien.
Mereka akan merasa seperti berputar. Mereka juga mungkin mengalami
ilusi.Untuk singkatnya mereka mungkin percaya bahwa mobil yang sedang
diparkir bergerak pergi atau suara seseorang seperti teredam ketika seharusnya
terdengar jelas.
Kejang autonomic
Kejang ini menyebabkan perubahan pada bagian system saraf yang secara
otomatis mengendalikan fungsi tubuh. Kejang ini biasanya meliputi perasaan
asing atau tidak nyaman pada perut,dada dan kepala, perubahan pada denyut
jantung dan pernafasan, berkeringat.
Kejang psikis
Kejang ini merubah cara berpikir seseorang, perasaan dan pengalaman
akan sesuatu. Mereka mungkin bermasalah dengan memori, kata yang terbalik
19
saat berbicara, ketidakmampuan untuk menemukan kata yang tepat atau
bermasalah dalam memahami percakapan atau tulisan.Mereka mungkin dengan
tiba-tiba merasa takut, depresi atau bahagia dengan alasan yang tidak
jelas.Beberapa pasien mungkin merasa seperti mereka berada diluar tubuhnya atau
merasa dejavu (pernah mengalami sebelumnya).
Setiap orang dapat mengalami kejang ini.Kejang ini mungkin lebih cenderung
terjadi pada orang dengan trauma kepala, infeksi otak, stroke, atau tumor otak
tetapi kebanyakan sebabnya tidak diketahui. Kejang ini sering dapat dikendalikan
dengan obat-obatan (steven,2006).
B. Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan
lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak
akan mengingat waktu serangan.Biasanya kejang akan terjadi 30 detik sampai 2
menit. Setelah kejang biasanya penderita akan lelah atau bingung selama 15 menit
dan mungkini tidak sadar selama satu jam. Kejang ini biasanya berawal dari
sebagian kecil area pada lobus temporal atau frontal otak. Kemudian dengan cepat
meliputi area lain pada otak yang mempengaruhi kesadaran dan siaga. Jadi
walaupun mata penderita terbuka dan mereka membuat gerakan seperti memiliki
tujuan, pada kenyataannya mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan.
Beberapa kasus biasanya yang berawal dari lobus temporalis akan dimulai
dengan kejang parsial sederhanayang disebut dengan aura yaitu semacam
peringatan pada kejang, seringnya meliputi perasaan tidak enak meliputi perasaan
aneh pada perut. Kemudian orang tersebut hilang kesadaran dan menatap kosong.
Setiap orang dapat mengalami kejang ini tetapi cenderung lebih sering pada
orang dengan trauma kepala,infeksi otak, stroke atau tumor otak tetapi lebih
banyak dengan sebab yang tidak diketahui (Orrin,2004).
Gejalanya meliputi:
Gerakan seperti mencucur atau mengunyah
Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan
pakaiannya
20
Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling
dalam keadaan seperti sedang bingung
Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
Berbicara tidak jelas seperti menggumam.
C. Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap
tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini
pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja.Serangan jenis ini
biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum
serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga
berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang
jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjaadi
kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air
besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin
akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.
DIAGNOSIS
Langkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah ini serangan
kejang atau bukan dalam hal ini memastikannya biasanya dengan melakukan
wawancara baik dengan pasien, orangtua atau orang yang merawat dan saksi mata
21
yang mengetahui serangan kejang itu terjadi. Beberapa pertanyaan yang perlu
diajukan adalah untuk menggambarkan kejadian sebelum , selama dan sesudah
serangan kejang itu berlangsung. Dengan mengetahui riwayat kejadian serangan
kejang tersebut biasanya dapat memberikan informasi yang lengkap dan baik
mengingat pada kebanyakan kasus, dokter tidak melihat sendiri serangan kejang
yang dialami pasien (Ahmed, Spencer 2004, Mardjono 2003).
Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut (Ahmed, Spencer 2004, Hadi
1993, Harsono 2001, Kustiowati dkk 2003).
1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini?
Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang.
Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder
gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi
kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anak-
anak dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang
biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti
stroke atau tumor otak dsb.
2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak
pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala
peringatan yang dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul
disebut dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila muncul sebelum
serangan kejang parsial sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian “
aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien
dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada
sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen yang mungkin
merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan sementara
mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada
serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini
disebabkan terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika “aura”
dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari
sumber fokus yang patologis.
22
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan
dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien
tidak dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara
dilakukan dengan saksi mata yang mengetahui serangan kejang
berlangsung. Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah
pada awal serangan kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai
dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat berbicara selama serangan
kejang berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan
kejang terjadi? Apakah ada gerakan “automatism” pada satu sisi ?
Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah
tergigit? Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari
lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi
kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus
temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan
mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat
menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan
penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai
dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan
kejang parsial kompleks.
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode
sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post
ictal period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik
pasien lalu tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun
terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang
parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang
disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya fokus patologis
di otak. Afasia dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan
gangguan berbahasa di hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas tidak ada
gangguan disorientasi setelah serangan kejang.
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang
tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu
23
terjagadan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap
waktu, sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada
waktu malam hari.
6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh
karena kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan
minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat,
stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu,
“drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan mengetahui faktor
pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat
membantu dalam mencegah serangan kejang.
7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ?Informasi ini dapat membantu
untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat
obat obat anti kejang .
8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan
ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat
obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut
yang sedang digunakan spesifik bermanfaat ?
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan
menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan
setiap jenis serangan kejang secara lengkap.
10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan
kejang? Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka
ditubuh akibat serangan kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi
tidak ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka
ditubuh akibat serangan kejang atau mungkin ada “aura“ , sehingga
dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk
mengurangi bahaya terjadinya luka.
11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan
mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat
dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang
mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien,
24
ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain
yang menyertai.
Riwayat medik dahulu.
Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi
yang berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan
serangan kejang dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat membantu
untuk pengobatan selanjutnya (Ahmed, Spencer 2004).
1. Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun
proses persalinannya?
2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory
distress”?
3. Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?
4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah
serangan kejang demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang
demam kompleks 13 %.
5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis,
ensefalitis? atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang
disertai serangan kejang. Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat
adanya cysticercosis.
6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala,
perdarahan intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?
7. Apakah ada riwayat tumor otak?
8. Apakah ada riwayat stroke?
Riwayat sosial.
Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi
dan ini penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus untuk
bahan evaluasi (Ahmed, Spencer 2004).
1. Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi
mungkin dapat menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut
dikelola dengan baik. Dan juga dapat membantu mengetahui tingkat
25
dukungan masyarakat terhadap pasien dan bagaimana potensi pendidikan
kepada pasien tentang cara menghadapi penyakit yang dialaminya itu.
2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang
seragan kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan
produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh
waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk
memperoleh dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu
tantangan tersendiri. Pasien sebaiknya dianjurkan memilih bekerja
dikantoran, sebagai kasir atau tugas - tugas yang tidak begitu berisiko,
tetapi bagi pasien yang bekerja di bagian konstruksi, mekanik dan
pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan penyuluhan yang
jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak
membahayakan dirinya.
3. Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan
epilepsi yang serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan
kesadaran sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini
bisa membahayakan dirinya maupun masyarakat lainnya. Dibeberapa
negara mempunyai peraturan sendiri tentang pasien epilepsi yang
mengemudikan kendaraan bermotor.
4. Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien
merencanakan kehamilan pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi
wanita sebaiknya diberi penyuluhan terlebih dahulu tentang efek
teratogenik obat-obat anti epilepsi, demikian juga beberapa obat anti
epilepsi dapat menurun efeknya bila pasien juga menggunakan kontrasepsi
oral seperti fenitoin, karbamasepin dan fenobarbital. Dan bagi pasien yang
sedang hamil diperlukan obat tambahan seperti asam folat untuk
mengurangi risiko terjadinya “ neural tube defects“ pada bayinya.
5. Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko
terjadinya serangan kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-
minuman alkohol. Selain berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsi tetapi
26
dapat juga menimbulkan ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah
minum alkohol .
Riwayat keluarga.
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada
sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan
faktor genetik dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh
“Juvenile myoclonic epilepsy (JME)“,“ familial neonatal convulsion“,“ benign
rolandic epilepsy“ dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai
kejang demam plus (Ahmed, Spencer 2004)
Riwayat allergi.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu
dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi
hipersensitif. Bila terdapat semacam ”rash“ perlu dibedakan apakah ini terbatas
karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari atau karena
efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas? (Ahmed, Spencer 2004)
Riwayat pengobatan.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan
bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa
lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya.
(Ahmed, Spencer 2004)
Riwayat Pemeriksaan penunjang lain.
Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan pemeriksaan
penunjang seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI. (Ahmed,
Spencer 2004)
PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI.
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang
dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien
yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk
mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya
dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh karena banyak
kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular
27
seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah
ada sindrom neurokutaneus seperti “ café au lait spots “ dan “ iris hamartoma”
pada neurofibromatosis, “ Ash leaf spots” , “shahgreen patches” , “ subungual
fibromas” , “ adenoma sebaceum” pada tuberosclerosis, “ port - wine stain “
( capilarry hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah
ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang
berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat
serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat
oleh karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada “dupytrens contractures”
yang dapat terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama. (Ahmed,
Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004).
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“, koordinasi, saraf
kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit
neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang,
papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di
area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh
karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin,
lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi.”
Dysmorphism “ dan gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom dan
gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat
diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa
menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan
adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus
temporalis.(Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004, Sisodiya, Duncan
2000).
PEMERIKSAAN LABORATORIUM.
Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik
ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum
elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” ,
kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat
28
berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila
dicurigai adanya “ drug abuse” (Ahmed, Spencer 2004, Oguni 2004).
PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI.
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan
perekaman pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan
stimulasi fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan
laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa
alasan sebagai berikut (Duncan, Kirkpatrick, Harsono 2001, Oguni 2004)
1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi
pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil
pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat diagnosis,
mebgklarifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan mengenali
sindrom epilepsi.
2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola
epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung
diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti “3-Hz
spike-wave complexes“ adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang
spesifik.
3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat
menjelaskan manifestasi klinis daripada“aura“ maupun jenis serangan
kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini
selalu dilakukan dengan cermat.
Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan
dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :
1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan
kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang
epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya
meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap
memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil
wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali.
29
2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan
adanya epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil
orang-orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak
dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.
3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG
mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara
difus pada pasien epilepsi anak.
4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan
epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran
epileptiform difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat
membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam
serangan kejang parsial atau serangan kejang umum.
PEMERIKSAAN VIDEO-EEG
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis
epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada
pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi,
atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan
terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan
apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama
perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70%
dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi
(Kirpatrick, Sisodiya, Duncan 2000, Stefan, 2003).
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya
kelainan struktural diotak (Harsono 2003, Oguni 2004)
Indikasi CT Scan kepala adalah: (Kustiowati dkk 2003)
- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada
kelainan struktural di otak.
- Perubahan serangan kejang.
- Ada defisit neurologis fokal.
30
- Serangan kejang parsial.
- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
- Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian
pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk
epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan.
Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis
kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang
sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini
biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu irisan
axial, irisan coronal dan irisan saggital (Duncan, Kirkpatrick, Kustiowati dkk
2003).
PEMERIKSAAN NEUROPSIKOLOGI
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan
pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya
memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga
dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang
bukan epilepsi (Oguni 2004, Sisodiya 2000).
TATALAKSANA
Tatalaksana epilepsy meliputi tiga bidang:
1. Penegakan diagnosis yang mengenai jenis bangkitan, penyebabnya dengan
tepat.
2. Terapi
3. Rehabilitasi, sosisalisasi, edukasi
Tujuan pokok terapi epilepsy adalah membebaskan penderita darisernagn epilepsi,
tanpa mengganggu fungsi normal susunan saraf pusat agar penderita dapat
menjalani kehidupannya tanpa gangguan. Terapi dapat dibagi dalam dua
golongan:
a. Terapi kausal Terapi kausal dapat dilakukan pada epilepsy simtomatik
yang sebabnya dapat ditemukan, misalnya:
- Pada infeksi susunan saraf pusat dan selaputnya, diberikan antibiotic
31
atau obat-obat lain yang dapat memberantas penyebabnya.
- Pada neoplasma dan perdarahan di dalam rongga intrakranium
mungkin diperlukan tindakan operatif.
- Pada gangguan peredaran darah otak pemberian oksigen mungkin
dapat membantu mengatasi keadaan hipoksia yang terjadi.
b. Terapi medikamentosa anti kejang
1. Golongan hidantoin
Fenitoin Merupakan golongan hidantoin yang sering dipakai. Kerja obat
ini antara lain penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain
di otak. Indikasi: epilepsy umum khususnya grand mal tipe tidur, epilepsi
fokal dan dapat juga untuk epilepsi lobus temporalis. Dosis: dewasa 300-
600 mg / hari, anak 4-8 mg / hari, maks. 300 mg / hari
2. Golongan barbiturat
Fenobarbital Merupakan golongan baribiturat yang bekerja lama (long
acting). Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas serangan dengan
menaikkan ambang rangsang. Indikasi: epilepsi umum khusus epilepsi
Grand Mal tipe sadar, epilepsi fokal. Dosis: dewasa 200 mg / hari, anak 3-
5 mg/kgBB/hari
3. Golongan benzodiazepam
Diazepam Dikenal sebagai obat penenang, tetapi merupakan obat pilihan
utama untuk status epileptik. Dosis: dewasa 2-10 mg im/iv, dapat diulang
setiap 4 jam. Anak > 5 tahun5-10 mg im/iv, anak 1 bulan-5 tahun 0,2-2 mg
im/iv.
4. Golongan suksinimid
Etosuksimid Indikasi: epilepsi petit mal murni Dosis: 20-30 mg/kgBB/hari
5. Golongan anti epilepsi lainnya
Sodium valproat Indikasi: epilepsi petit mal murni, dapat pula untuk
epilepsi pada lobus temporalis yang refarakter, sebagai kombinasi dengan
obat lain. Dosis: anak 20-30 mg?kgBB/hari, dewasa 0,8-1,4 gr/hari
dimulai dengan 600 mg/hari.
Asetazolamid dikenal sebagai diuretic, tetapi pada pengobatan
32
epilepsy mempunyai cara kerja menstabilkan keluar masuknya natrium
pada sel otak. Indikasi: dapat dipakai pada epilepsi Petit Mal, dan pada
epilepsi Grand Mal dimana serangannya sering datang bethubungan
dengan siklus menstruasi. Dosis: sehari total 8-30 mg/kgBB
KarbamazepinIndikasi: Epilepsi lobus temporalis dengan epilepsi
Grand Mal Dosis: Dewasa 800-1200mg/hari
Obat generasi kedua
Topiramate
Obat ini digunakan dengan obat anti kejang lain pada terapi kejang parsial
dan kejang umum tonik klonik pada orang dewasa dan anak-anak yang berusia 2
sampai 16 tahun. Obat ini juga diakui sebagai pencegah sakit kepala migraine.
Obat ini tersedia dalam bentuk orang yang dapat diminum dua kali sehari
(Gordon,2008).
Pada maret 2011, U.S. Food and Drug Administration mengumumkan
informasi yang mengindikasikan bahwa topiramate meningkatkan risiko kelainan
pada bayi seperti labiokisis dan palatokisis ketika obat ini digunakan pada
trisemester pertama kehamilan.
Gabapentin
Obat ini di indikasikan sebagai terapi tambahan pada kejang parsial
dengan atau tanpa kejang umum sekunder.Obat ini tersedia dalam bentuk oral dan
diminum tiga kali sehari.
Lamotrigin
Obat ini di indikasikan sebagai terapi tambahan pada kejang parsial dan
untuk terapi dosis tunggal pada penderita epilepsy dewasa dengan kejang
parsial.Obat ini tersedia dalam bentuk oral dan diminum dua kali sehari.Tidak ada
pemeriksaan laboraturium yang diperlukan.
Lacosamide
Lacosamide digunakan sebagai obat tambahan pada terapi kejang parsial
pada penderita yang berusia lebih dari 17 tahun.Obat ini tersedia dalam bentuk
oral dan injeksi dan biasanya diminum dua kali sehari.
Tiagabine
33
Obat ini digunakan sebagai terapi tambahan pada kejang
parsial.Mekanisme aksi dari obat ini mungkin berhubungan dengan efek substansi
GABA pada otak. Obat ini tersedia dalam bentu oral dan harus diberikan pada
dosis yang sudah dibagi sebanyak 2 sampai 4 kali sehari..
Levetiracetam
Obat ini digunakan sebagai obat tambahan pada terapi kejang parsial pada
penderita epilepsy anak-anak yang berusia 4 tahun ke atas dan dewasa.Obat ini
tersedia dalam bentuk tablet dan cairan oral yang digunakan pada anak-anak yang
tidak bisa menelan tablet, diminum dua kali sehari.
Oxcarbazine
Obat ini di indikasikan untuk terapi dosis tunggal dan terapi tambahan
pada penderita epilepsy dewasa dengan kejang parsial dan sebagai terapi
tambahan pada anak-anak yang berusia 4 tahun ke atas dengan kejang parsial.
Zonisamide
Obat ini digunakan sebagai terapi tambahan pada penderita epilepsy
kejang parsial dewasa.Obat ini digunakan dua kali sehari.
Pregabalin
Obat ini digunakan sebagai terapi tambahan pada kejang parsial pada
pensderita epilepsy dewasa.Obat ini dapat digunakan 2 sampai 3 kali sehari.
KOMPLIKASI
Komplikasi kejang parsial komplek dapat dengan mudah dipicu oleh stress
emosional. Pasien mungkin mengalami kesulitan kognitif dan kepribadian seperti:
• Personalitas : sedikit rasa humor, mudah marah, hiperseksual
• Hilang ingatan : hilang ingatan jangka pendek karena adanya gangguan
pada hippocampus, anomia ( ketidakmampuan untuk mengulang kata atau
nama benda)
• Kepribadian keras : agresif dan defensive. Komplikasi yang berhubungan
dengan kejang tonik klonik meliputi:
• Aspirasi atau muntah
• Fraktur vertebra atau dislokasi bahu
• Luka pada lidah, bibir atau pipi karena tergigit
34
• Status epileptikus
Status Epileptikus Status epileptikus adalah suatu kedaruratan medis
dimana kejang berulang tanpa kembalinya kesadaran diantara
kejang.Kondisi ini dapat berkembang pada setiap tipe kejang tetapi yang
paling sering adalah kejang tonik klonik.Status epileptikus mungkin
menyebabkan kerusakan pada otak atau disfungsi kognitif dan mungkin
fatal.
Komplikasi meliputi:
• Aspirasi
• Kardiakaritmia
• Dehidrasi
• Fraktur
• Serangan jantung
• Trauma kepala dan oral Sudden unexplained death in epilepsy
(SUDEP)
SUDEP terjadi pada sebagian kecil orang dengan epilepsy.Dengan alasan
yang sangat sulit untuk dimengerti, orang sehat dengan epilepsy dapat
meninggal secara mendadak.Ketika hal ini terjadi, orang dengan epilepsy
simtomatik memiliki risiko yang lebih tinggi. Dari hasil autopsy tidak
ditemukan penyebab fisik dari SUDEP.Hal ini mungkin terjadi karena
edem pulmo atau cardiac aritmia. Beberapa orang memiliki risiko yang
lebih tinggi dari yang lain seperti dewasa muda dengan kejang umum
tonik klonik yang tidak dapat dikontrol sepenuhnya dengan pengobatan.
Pasien yang menggunakan dua atau lebih obat anti kejang mungkin
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk SUDEP.
PROGNOSIS
Ketika pasien telah berhasil bebas kejang untuk beberapa tahun, hal ini
mungkin untuk menghentikan pengobatan anti kejang, tergantung pada umur
pasien dan tipe epilepsy yang diderita. Hal ini dapat dilakukan dibawah
pengawasan dokter yang berpengalaman. Hampir seperempat pasien yang bebas
35
kejang selama tiga tahun akan tetap bebas kejang setelah menghentikan
pengobatan yang dilakukan dengan mengurangi dosis secara bertahap. Lebih dari
setengah pasien anak-anak dengan epilepsy dapat menghentikan pengobatan tanpa
perkembangan pada kejang (Gordon,2008).
PENCEGAHAN
Jika kejang berhubungan dengan kondisi medis tertentu, identifikasi dan
terapi pada kondisi medis tersebut adalah kunci dari pencegahan terjadinya
kejang. Jika pengobatan anti kejang telah diberikan oleh dokter, minum obat
sesuai jadwal yang telah direkomendasikan oleh dokter dan tidak lupa minum
obat adalah hal yang penting dalam pencegahan kejang (Stephen,2005).
• Beberapa orang dengan epilepsy sensitive terhadap alkhohol. Mungkin ada
beberapa orang yang mengalami kejang setelah meminum sedikit alkhohol
sehingga kunci utama dalam pencegahan kejang adalah dengan
menghindari alkhohol.
• Kurang tidur dan stress mungkin meningkatkan frekuensi terjadinya kejang
pada beberapa orang tertentu.
36
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed Z, Spencer S.S (2004) :An Approach to the Evaluation of a Patient for Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55.
Anonymous (2003) :Diagnosis of Epilepsy, Epilepsia, 44 (Suppl.6) :23-24
Duncan R :Diagnosis of Epilepsy in Adults, available from : http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/E Duncan.pdf.
Hadi S (1993) : Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit UNDIP Semarang : 55-63.
Harsono (2001) :Epilepsi, edisi 1, GajahMada University Press, Yogyakarta.
Kirkpatrick M :Diagnosis of Epilepsy in Children, available from : http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/F Kirkpatrick.pdf.
Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) :Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.
Mardjono M (2003) :Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi, Agoes A (editor); 129-148.
Oguni H (2004) :Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, 48 (Suppl.8):13-16
Sirven J.I, Ozuna J (2005) :Diagnosing epilepsy in older adults, Geriatricts, 60,10: 30-35.
Sisodiya S.M, Duncan J (2000) :Epilepsy : Epidemiology, Clinical Assessment, Investigation and Natural History, Medicine International,00(4);36-41.
Stefan H (2003) :Differential Diagnosis of Epileptic Seizures and Non Epileptic Attacks, Teaching Course : Epilepsy 7th Conggres of the European Federation of Neurological Societies, Helsinki.
37