Tutorial Klinik Morbus Hansen

50
Laboratorium/SMF Tutorial Klinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman RSUD AW Sjahranie Morbus Hansen Tipe Multi Basiler Oleh : Khoirun Nisa 0708015002 Sizigia H U 0708015015 Okki Masitah S N 0708015043 Pembimbing : dr. Agnes Kartini, Sp. KK Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin 1

description

jfjf

Transcript of Tutorial Klinik Morbus Hansen

Page 1: Tutorial Klinik Morbus Hansen

Laboratorium/SMF Tutorial Klinik

Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

RSUD AW Sjahranie

Morbus Hansen Tipe Multi Basiler

Oleh :

Khoirun Nisa 0708015002

Sizigia H U 0708015015

Okki Masitah S N 0708015043

Pembimbing :

dr. Agnes Kartini, Sp. KK

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

RSUD AW Sjahranie

Samarinda

2013

1

Page 2: Tutorial Klinik Morbus Hansen

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen

merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun

yang lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang

sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan

istilah kusta yang berasal dari bahasa India, kushtha. Nama Morbus Hansen ini

sesuai dengan nama yang menemukan kuman, yaitu Dr. Gerhard Armauwer

Hansen pada tahun 18741,2.

Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit,

saluran pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah

Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009

telah ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu

dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun

1980, dimana program Multi Drug Treamtment (MDT) mulai diperkenalkan,

kusta dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi sayangnya meskipun

telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan

sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga

gejala tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya

stigma terhadap penyakit kusta3 Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang telah

dikembangkan mengenai kusta, pengetahuan mengenai patogenesis, penyebab,

pengobatan, dan pencegahan lepra masih terus diteliti.3

2

Page 3: Tutorial Klinik Morbus Hansen

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh

Mycobacterium leprae, terutama mengenai kulit, sistem saraf perifer, namun

dapat juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, mata, kelenjar getah bening dan

testis dan sendi-sendi.1

2.2 Etiologi

Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat

intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro , berbentuk basil Gram positif

dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5 μm, bersifat tahan asam dan alkohol2. Kuman ini

memunyai afinitas terhadap makrofag dn sel Schwann, replikasi yang lambat di sel

Schwann menstimulasi cell-mediated immune response, yang menyebabkan reaksi

inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di perineurium, dapat ditemukan

iskemia, fibrosis, dan kematian akson.3 Mycobacterium leprae dapat bereproduksi

maksimal pada suhu 27°C – 30°C, tidak dapat dikultur secara in vitro,

menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan Tumbuh dengan baik pada jaringan yang

lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer,hidung, cuping telinga, anterior chamber

of eye, saluran napas atas, kaki, dan testis), dan tidak mengenai area yang hangat

(aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung1.

Prevalensi kusta di dunia dilaporkan hanya <1 per 10.000 populasi (sesuai

dengan target resolusi WHO mengenai eliminasi kusta). Paling banyak terjadi

pada daerah tropis dan subtropis. 86% dilaporkan terjadi di 11 negara,

Bangladesh, Brazil, China, Congo, Etiopia, India, Indonesia, Nepal, Nogeria,

Filipina, Tanzania. Namun prevalensi lepra berkurang sejak dimulai adanya MDT

pada tahun 1982. Pada pertengahan tahun 2000, jumlah penderita kusta terdaftar

di Indonesia sebanyak 20.7042 orang, banyak ditemukan di Jawa Timur, Jaa

Barat, Sulawesi Selaran, dan Irian Jaya.2,3

3

Page 4: Tutorial Klinik Morbus Hansen

Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan

perbandingan 2:1, dengan insidensi usia puncak 10-20 tahun dan 30-50 tahun,

jarang terjadi pada bayi. Faktor predisposisinya adalah penduduk pada area yang

endemik, memiliki kerentanan lepra dalam darah, kemiskinan (malnutrisi), dan

kontak dengan affected armadillos1.

2.3 Klasifikasi

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada

penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:

TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

Ti: tuberkuloid indefinite

BT: borderline tuberculoid

BB: mid borderline bentuk yang labil

BL: borderline lepromatous

Li: lepromatosa indefinite

LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil

TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil.

Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar,

yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline

atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah

tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak

tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe

campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT

maupun LL2.

Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan

pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks

biposi (IB), ditemukan bakteri lebih dari +2, yaitu tipe LL, BL, dan BB pada

klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB

kurang dari +2, yaitu tipe TT, BT, dan I klasifikasi Ridley-Joping2.

4

Page 5: Tutorial Klinik Morbus Hansen

Table 1. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO ( 1995 ) 1

PB MB1. Lesi kulit

(makula datar, papul yang meninggi, nodus)

- 1-5 lesi- Hipopigmentasi/eritema- Distribusi tidak simetris- Hilangnya sensasi jelas

- > 5 lesi- Distribusi lebih

simetris- Hilangnya sensasi

kurang jelas2. Kerusakan saraf

(menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)

- Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang saraf

2.4 Patogenesis3

Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah,

sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan

gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara

derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun

yang berbeda yang memicu timbulnya reaksi granuloma setempat atau

menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit

kusta dapat disebut penyakit imunologik.

Kusta bukanlah penyakit yang sangat menular. Sarana utama penularan

adalah dengan penyebaran aerosol dari sekret hidung yang terinfeksi pada mukosa

hidung dan mulut terbuka. Kusta tidak umumnya menyebar melalui kontak

langsung melalui kulit utuh, meskipun kontak dekat adalah yang paling rentan.

Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai 40 tahun atau lebih. Masa

inkubasi rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10 tahun untuk

kusta lepromatosa.

Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf perifer dangkal, kulit,

selaput lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang anterior dari mata, dan testis.

Daerah-daerah tersebut cenderung bagian dingin dari tubuh. Kerusakan jaringan

tergantung pada sejauh mana imunitas diperantarai sel diungkapkan, jenis dan

luasnya penyebaran bacillary dan perkalian, penampilan yang merusak jaringan

5

Page 6: Tutorial Klinik Morbus Hansen

komplikasi imunologi (yaitu, reaksi lepra), dan pengembangan kerusakan saraf

dan gejala sisa.

M. leprae adalah bakteri intraseluler obligat, asam-cepat, gram positif basil

dengan afinitas untuk makrofag dan sel Schwann. Untuk sel Schwann pada

khususnya, mengikat mikobakteri ke domain G dari rantai alpha laminin-2 (hanya

ditemukan di saraf perifer) dalam lamina basal. Replikasi lambat mereka dalam

sel Schwann akhirnya merangsang respon kekebalan yang dimediasi sel, yang

menciptakan reaksi peradangan kronis. Akibatnya, pembengkakan terjadi di

perineurium, menyebabkan iskemia, fibrosis, dan kematian aksonal.

Urutan genom M leprae hanya selesai dalam beberapa tahun terakhir. Satu

penemuan penting adalah bahwa meskipun itu tergantung pada host untuk

metabolisme, mikroorganisme mempertahankan gen untuk pembentukan dinding

sel mikobakteri. Komponen dinding sel merangsang antibodi immunoglobulin M

dan tuan diperantarai sel respon imun, sementara juga moderator kemampuan

bakterisidal makrofag.

Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis dari

penyakit ini. Kuat diperantarai sel imunitas (interferon-gamma, interleukin [IL] -

2) dan hasil respon yang lemah humoral dalam bentuk ringan dari penyakit,

dengan terdefinisi dengan baik saraf yang terlibat dan beban bakteri yang lebih

rendah. Sebuah respon humoral yang kuat (IL-4, IL-10), tetapi hasil kekebalan

yang relatif tidak ada sel-dimediasi pada kusta lepromatosa, dengan lesi luas, kulit

yang luas dan keterlibatan saraf, dan beban bakteri tinggi. Oleh karena itu,

spektrum penyakit yang ada seperti yang diperantarai sel imunitas mendominasi

dalam bentuk ringan kusta dan menurun dengan meningkatnya keparahan klinis.

Sementara itu, kekebalan humoral relatif tidak ada pada penyakit ringan dan

meningkat dengan tingkat keparahan penyakit.

Toll-like receptors (TLRs) juga mungkin memainkan peran dalam

patogenesis kusta . M leprae mengaktifkan TLR2 dan TLR1, yang ditemukan

pada permukaan sel Schwann, terutama dengan kusta tuberkuloid. Meskipun ini

pertahanan kekebalan yang dimediasi sel yang paling aktif dalam bentuk ringan

dari kusta, juga mungkin bertanggung jawab untuk aktivasi gen apoptosis dan,

6

Page 7: Tutorial Klinik Morbus Hansen

akibatnya, timbulnya bergegas kerusakan saraf ditemukan pada orang dengan

penyakit ringan. Alpha-2 reseptor laminin ditemukan dalam lamina basal sel

Schwann juga merupakan target masuk untuk M leprae ke dalam sel, sedangkan

aktivasi dari jalur erbB2 reseptor tirosin kinase signaling telah diidentifikasi

sebagai mediator dari demielinasi pada kusta .

Aktivasi makrofag dan sel dendritik, baik antigen-penyajian sel, terlibat

dalam respon kekebalan host terhadap M leprae. IL-1beta diproduksi oleh antigen-

penyajian sel yang terinfeksi oleh mycobacteria telah ditunjukkan untuk merusak

pematangan dan fungsi sel dendritik. Karena basil telah ditemukan dalam

endotelium kulit, jaringan saraf, dan mukosa hidung, sel-sel endotel juga berpikir

untuk berkontribusi pada patogenesis kusta. Jalur lain dimanfaatkan oleh M leprae

adalah jalur ubiquitin-proteasome, dengan menyebabkan apoptosis sel kekebalan

tubuh dan tumor necrosis factor (TNF) -alpha/IL-10 sekresi.

Sebuah peningkatan mendadak dalam T-sel kekebalan bertanggung jawab

untuk tipe I reaksi reversal. Ketik II hasil reaksi dari aktivasi TNF-alpha dan

pengendapan kompleks imun pada jaringan dengan infiltrasi neutrophilic dan dari

aktivasi komplemen pada organ. Satu studi menemukan bahwa siklooksigenase 2

diungkapkan di microvessels, berkas saraf, dan serat saraf terisolasi dalam dermis

dan subcutis selama reaksi reversal.

Bila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala

klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung

pada system imunitas seluler (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran

klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran

lepromatosa. 1

7

Page 8: Tutorial Klinik Morbus Hansen

Gambar 1. Patogenesis

Gambar 2. Patogenesis Kerusakan Saraf Pada Pasien Kusta

2.5 Diagnosis

8

Page 9: Tutorial Klinik Morbus Hansen

Gejala Klinis

Pada kusta, didaptkan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada,

sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni : Lesi kulit

yang anestesi , penebalan saraf perifer, dan ditemukannya M. leprae sebagai

bakteriologis positif. Masa inkubasinya 2 – 40 tahun (rata-rata 5 – 7 tahun). Onset

terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem

saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat

adanya gejala klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa

macula dan bula yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan

kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan

kaki. Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi

ke kutan terjadi. 90% psien biasanya mengalami keluhan pafda pertama kalinya

adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas

dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan

dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitas

yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah yang

dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuoing hidung, daun telinga, dan lutut.3

Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa (1) pembesaran saraf tepi yang

asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior, radial kutaneus, (2) Kerusakan

sensorik pada lesi kulit (3) Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi

berupa neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur (4) kerusakan

sensorik dengan pola Stocking-glove (4) Acral distal symmethric anesthesia

(hilangnya sensasi panas dan dingin, serta nyeri dan raba). 3

Pemeriksaan fisik

Tuberculoid Leprosy (TT, BT)

Pada TT, imunitas masih baik,dapat sembuh spontan dan masih mampu

melokalisir sehingga didapatkan gambran batas yang tegas. Mengenai kulit

maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plak,

dan pada bagian tengah dapat ditemukam lesi yang regresi atau central clearing.

Permukaan lesi dapat bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai

penebalan saraf tepi yang biasanya teraba. Kuman BTA negatif merupakan tanda

9

Page 10: Tutorial Klinik Morbus Hansen

terdapatnya respon imun yang adekuat terhadap kuman kusta. Pada BT, tidak

dapat sembuh spontan, Lesi menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit

di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi,

kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf tidak berat dan

asimetris.

Gambar 3 Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular

Gambar 4 Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy1

10

Page 11: Tutorial Klinik Morbus Hansen

Gambar 5 Borderline Tuberculoid Leprosy, gambaran anular inkomplit dengan

papul satelit1

Borderline Leprosy

Pada tipe BB borderline,meruapakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga

bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan lepromatous. Terdiri

dari macula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas, jumlah banyak melebihi

tipe BT dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat perbentuk punch out yang

khas.. Pada tipe ini terjadi anestesia dan berkurangnya keringat.

Gambar 6 Lesi Kulit pada Borderline BB Leprosy1

Lepromatous Leprosy

Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit drngan

cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi bentuknya. Distribusi

11

Page 12: Tutorial Klinik Morbus Hansen

lesi hampir seimetris. Lesi innfiltrat, dan plak seperti punched out. Tanda-tanda

kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat

dan hilangnya rambut lebih cepat muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat

predileksi. Tipe LL, jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm,

simetris, permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan

pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi

Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul eritem. Distribusi lesi khas pada

wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Pada stadium lanjut tampak

penebalan kulit yang progresif membentuk facies leonine. Kerusakan saraf

menyebabkan gejalan stocking and glove anesthesia.1

Gambar 5 Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy1

Pada reaksi lepra tipe 1, terjadi inflamasi akut pada lesi kulit, terdapat edema

dan nyeri, bisa ulserasi. Edema paling berat terjadi di wajah, tangan, dan kaki.

Pada reaksi lepra tipe 2, terdapat nodul yang nyeri dan berwarna merah, bisa abses

atau ulserasi. Paling sering timbul di wajah dan ekstremitas bagian ekstensor1.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan 1) ekstremitas: neuropati sensoris,

ulserasi telapak kaki, infeksi sekunder, ulnar and peroneal palsies, sendi Charcot,

2) hidung: kongesti kronik, epistaksis, destruksi kartilago dengan deformitas

saddle-nose, 3) mata: kelumpuhan nervus kranialis, lagoftalmus, insensitivitas

kornea. Pada LL, dapat terjadi uveitis, glaucoma, pembentukan katarak.

Kerusakan kornea dapat terjadi sekunder terhadap trichiasis dan neuropati

12

Page 13: Tutorial Klinik Morbus Hansen

sensoris, infeksi sekunder, dan paralisis otot, 4) testis: terjadi hipogonadisme pada

pasien LL, 5) amiloidosis sekunder karena gangguan hepar/ ginjal1.

Tabel 2 Gambaran klinis, Baakteriologik, Imunologik Kusta Multibasile (MB)

SIFAT LL BL BB

Lesi

Bentuk

Jumlah

Distribusi

Permukaan

Batas

Anestesia

Makula, Infiltrat

Difus, Papul, Nodul

Tidak terhitung,

praktis tidak ada

kulit sehat

Simetris

Halus Berkilat

Tidak Jelas

Biasanya Tak Jelas

Makula, Plakat,

Papul

Sukar dihitung,

masih ada kulit

sehat

Hampir simetris

Halus Berkilat

Agak Jelas

Tak Jelas

Plakat, Dome

Shaped (Kubah),

Punched Out

Dapat dihitung,

kulit sehat jelas ada

Asimetris

Agak Kasar/berkilat

Agak Jelas

Lebih Jelas

BTA

Lesi kulit

Sekret hidung

Banyak (ada globus)

Banyak (ada globus)

Banyak

Biasanya Negatif

Agak Banyak

Negatif

Tes

Lepromin

Negatif Negatif Biasanya negatif

Tabel 3. Gambaran klinis, Baakteriologik, Imunologik Kusta Pausibasiler

(PB)

SIFAT TT BT I

Lesi

Bentuk

Jumlah

Makula saja, makula

dibatasi infiltrat

Satu, dapat beberapa

Makula dibatasi

infiltrat

Beberapa, atau

satu dengan satelit

Hanya makula

Satu atau beberapa

13

Page 14: Tutorial Klinik Morbus Hansen

Distribusi

Permukaan

Batas

Anestesia

asimetris

kering bersisik

Jelas

Biasanya Tak Jelas

Masih asimetris

Kering bersisik

Jelas

Tak Jelas

variasi

halus agak berkilat

jelas/tidak

tidak ada sampai

tidak jelas

BTA

Lesi kulit

Sekret hidung

Negatif

Banyak (ada globus)

Negatif/positif 1

Biasanya Negatif

Biasanya negatif

Negatif

Tes

Lepromin

Positif kuat (3+) Positif lemah Positi lemah sampai

negatif

Deformitas pada kusta

Deformitas dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas

primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi

terhadap M.Leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu

kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.

Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat perubahan saraf, umumnya

deformitas terjadi diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. 1

Gejala-gejala kerusakan pada saraf :

1. N.ulnaris

◦ Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis

◦ Clawing kelingking dan jari manis

◦ Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot

lumbrikalis medial

2. N. medianus

◦ Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk,

dan jari tengah

◦ Tidak mampu aduksi ibu jari

◦ Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah

◦ Ibu jari kontraktur

◦ Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

14

Page 15: Tutorial Klinik Morbus Hansen

3. N. radialis

◦ Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari

telunjuk

◦ Tangan gantung (wrist drop)

◦ Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan

4. N. poplitea lateralis

◦ Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis

◦ Kaki gantung (foot drop)

◦ Kelemahan otot peroneus

5. N. tibialis posterior

◦ Anestesia telapak kaki

◦ Claw toes

◦ Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis

6. N. fasialis

◦ Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus

◦ Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan

kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan

bibir

7. N. trigeminus

◦ Anestesia kulit wajah,

kornea, dan konjungtiva

mata

Kerusakan mata pada kusta juga dapat terjadi secara primer dan sekunder.

Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat

mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis

yang dapat membuat paralisis N.Orbicularis palpebrarum sebagian atau

seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan

bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat

menyebabkan kebutaan. 1

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,

kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia.

15

Page 16: Tutorial Klinik Morbus Hansen

Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan

hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus semineferus testis. 1

Kusta histoid

Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang ditandai

dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak.

Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive

atau relapse resistent. 1

Relapse sensitive terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan

pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi karena kuman

yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tidak adekuat, baik

dosis maupun pemberiannya,disebut juga resisten sekunder. 1

Relaps resistents terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan

pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati

dengan obat yang sama karena kuman telah resisten terhadap obat MDT, disebut

juga resisten primer. 1

Pemeriksaan saraf tepi 4

a. N. auricularis magnus

Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat

akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat terlihat

pembesaran saraf. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya

saraf dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka akan teraba jaringan seperti

kabel atau kawat. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat,

lunak, dan nyeri atau tidaknya.

b. N. ulnaris

Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di atas satu tangan

pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan merasakan

adanya penebalan atau tidak Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar,

bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.

c. N. peroneus lateralis

16

Page 17: Tutorial Klinik Morbus Hansen

Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari

capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana atau tidak. Bandingkan

kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.

d. N. tibialis posterior

Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua tangan, meraba

bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit. Bandingkan

kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.

Pemeriksaan Fungsi Saraf 1-3

a. Tes sensorik

Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.

- Rasa raba

Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit

pasien. Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat, kemudian

pasien disuruh menunjuk kulit yang disinggung dengan mata terbuka.

Jika hal ini telah dimengerti, tes kembali dilakukan dengan mata pasien

tertutup.

- Rasa tajam

Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah

disentuhkan bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian tumpulnya,

kemudia pasien diminta menentukan tajam atau tumpul. Tes dilakukan

seperti pemeriksaan rasa raba.

- Suhu

Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan air dingin.

Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan sehat secara acak, dan

pasien diminta menentukan panas atau dingin.

b. Tes Otonom

Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada

penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis,

yaitu :

1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)

2. Tes Pilokarpin

17

Page 18: Tutorial Klinik Morbus Hansen

3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis,

dan n. peroneus

Pemeriksaan Penunjang1-3

1. Pemeriksaaan bakterioskopik,

Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat.

Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang

diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negative pada

seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.Leprae.

Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh

basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset

dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu

kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti

yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa

menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga

biasanya didapati banyak M. leprae1.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan

dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.

0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).

1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP

6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah

solid dan non solid.

IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+

tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam

1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100

lapangan.

18

Page 19: Tutorial Klinik Morbus Hansen

2. Pemeriksaan histopatologi,

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang

mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya

tinggu, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke

tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor

kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit,

makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak

dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans.

Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut

tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada

penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan

M.Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak

dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat

pengangkut penyebarluasan. 1

Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf

yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe

lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu

suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa

dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran

unsur – unsur tersebut.

3. Pemeriksaan serologik:

Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh

M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.Leprae,

yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD

serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-

lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.tuberculosis.

Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang

meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan

serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji

ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay) dan ML dipstick

(Mycobacterium Leprae dipstick). 1

19

Page 20: Tutorial Klinik Morbus Hansen

4. Tes lepromin

Merupakan tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak

untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita

terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme,

disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi

Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila

terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi

terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD)

pada tuberkolosis3.

Reaksi kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit

yang sebenarnya sangat kronik. 1. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi

kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response).

Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau

setelah pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi

tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas

seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah

imunitas humoral. 4

a.Reaksi tipe 1

Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity

reaction yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal

upgrading) seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal

dari kuman yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan

limfosit T disertai perubahan sistem imun selular yang cepat. Jadi pada dasarnya

reaksi tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas dan basil.

Dengan demikian, sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal.

Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan reaksi reversal oleh karena

paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan,

sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh karena berjalan lebih

lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat

pengobatan.

20

Page 21: Tutorial Klinik Morbus Hansen

Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta

yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk

yang lain sehingga disebut reaksi borderline.

Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi

yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif

singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih

eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama

menjadi bertambah lesi luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah

cukup 4.

b. Reaksi tipe II

Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral , yaitu reaksi

hipersnsitivitas tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang

melibatkan komplemen. Terjadi lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak

pada BL. Reaksi tipe II sering disebut sebagai Erithema Nodosum Leprosum

(ENL) dengan gambaran lesi lebih eritematus, mengkilap, tampak nodul atau

plakat, ukuran bernacam-macam, pada umunnya kecil, terdistribusi bilateral dan

simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan paha, serta dapat

pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang

berambut, aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri,

pustulasi dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan malaise.

Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi,

testis, dan limfe. 4

Tabel 4. perbedaan reaksi kusta tipe 1 dan tipe 2 4

No. Gejala/tanda Tipe I (reversal) Tipe II (ENL)1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise

dan febris2 Peradangan di

kulitBercak kulit lama menjadi lebih meradang (merah), dapat timbul bercak baru

Timbul nodul kemerahan, lunak, dan nyeri tekan. Biasanya pada lengan dan tungkai. Nodul dapat pecah (ulserasi)

3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Setelah pengobatan

21

Page 22: Tutorial Klinik Morbus Hansen

yang lama, umumnya lebih dari 6 bulan

4 Tipe kusta PB atau MB MB5 Saraf Sering terjadi

Umumnya berupa nyeri tekan saraf dan atau gangguan fungsi saraf

Dapat terjadi

6 Keterkaitan organ lain

Hampr tidak ada Terjadi pada mata, KGB, sendi, ginjal, testis, dll

7 Faktor pencetus Melahirkan

Obat-obat yang

meningkatkan

kekebalan tubuh

Emosi

Kelelahan dan

stress fisik

lainnya

kehamilan

Tabel 5Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 4

No Gejala/tanda Tipe I Tipe IIRingan Berat Ringan Berat

1. Kulit Bercak : merah, tebal, panas, nyeri

Bercak : merah, tebal, panas, nyeri yang bertambah parah sampai pecah

Nodul : merah,panas,nyeri

Nodul : merah, panas, nyeri yang bertambah parah sampai pecah

2 Saraf tepi Nyeri pada perbaan (-)

Nyeri pada perabaan (+)

Nyeri pada perabaan (-)

Nyeri pada perabaan (+)

3 Keadaan umum

Demam (-)

Demam (+)

Demam (+) Demam (+)

4 Keterlibatan organ lain

- - - +Terjadi peradangan pada : mata :

22

Page 23: Tutorial Klinik Morbus Hansen

iridocyclitis

testis :

epididimoorc

hitis

ginjal :

nefritis

kelenjar

limpa :

limfadenitis

gangguan

pada tulang,

hidung, dan

tenggorokan

*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi berat

Fenomena Lucio

Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada

kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau

infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi

terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat

tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi

nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya

terbentuk jaringan parut.1

Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan

nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh

darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler.

Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan

imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam

dinding pembuluh darah. 1

2.6 Diagnosis Banding

Dermatofitosis

23

Page 24: Tutorial Klinik Morbus Hansen

Dermatofitosis merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung zat

tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang

disebabkan jamur golongan dermatofita. Umumnya dermatofitosis pada manusia

disebabkan oleh jamur genus Microsporum, Trichophyton, dan Epidemophyton.

Jamur ini dapat menyebabkan kelainan pada kulit, kuku dan rambut. Namun

untuk diagnosis pembanding dari lesi kulit karena lepra lebih mengarah ke tinea

korporis. Kelainan kulit yang dapat dilihat dari klinik merupakan lesi bulat atau

lonjong, berbatas tegas terdiri dari eritema, skuama, kadang-kadang dengan

vesikel dan papul di tepi lesi. Daerah tengahnya cendrung lebih tenang. Gambaran

kelainan pada dermatofitosis ini mirip dengan lesi kulit yang terjadi pada leprae

terutama dalam bentuk TT. Untuk membedakannya kerokan dapat dilakukan baik

dengan KOH atau pewarnaa Ziel-Neelsen. Cara yang paling mudah yaitu dengan

menguji keadaan saraf sensoris pada kulit. Pemeriksaan dengan Woods light juga

dapat digunaka untuk membedakan tinea korporis yang disebabkan oleh M. canis

yang memberikan warna bewarna hijau-kuning.

Tinea versikolor

Tinea verikolor merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh Malassezia

furfur. Merupakan penyakit jamur superfisial yang kronik, biasanya tidak

memberikan keluhan subyektif berupa bercak skuama halus yang berwarna putih

sampai coklat hitam, terutama meliputi badan dan kadang-kadang dapat

menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala

yang berambut.

Kelainan pada pitiriasis versikolor juga dapat berupa lesi yang bewarna-warni,

bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus. Lesi pada leprae

kadang bisa sangat mirip dengan kelainan pitiriasis versikolor. Tapi pada pitiriasis

versikolor akan memberikan flouresensi bila diberikan cahaya dengan wood’s

light yaitu akan bewarna hijau-kebiruan. Tes sensibilitas saraf sensoris juga dapat

dilakukan untuk mebedakannya, kerokan juga bisa.

Pitriasis rosea

Pitiriasis rosea ialah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya,

dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus. Kemudian

24

Page 25: Tutorial Klinik Morbus Hansen

disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badang, lengan dan paha atas yang

tersusun sesuai dengan lipatan kulit dan biasanya menyembuh dalam waktu 3-8

minggu. Gejala konstitusi umumnya tidak terdapat, sebagian penderita mengeluh

gatal ringan. Penyakit dimulai dengan adanya lesi pertama (herald patch),

umumnya di badan, solitar, berbentuk oval dan anular diameternya kira-kira 3 cm.

Ruam terdiri dari eritema dan skuama halus dipinggir. Lamanya beberapa hari

hingga beberapa minggu. Lesi berikutnya timbul 4 – 10 hari setelah lesi pertama

hanya lebih kecil, susunannya sejajar dengan kosta, hingga menyerupai pohon

cemara terbalik. Lesinya mirip dengan lesi pada kusta.

Pitriasis alba

Pitiriasis alba merupaja bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum

diketahui penyebabnya. Ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skauma

halus yang akan menghilang serta meninggalkan area yang depigmentasi.

Terjadinya diduga karena infeksi dari Streptococcus, tetapi belum dapat

dibuktikan. Pitiriasis alba memiliki lesi yang berbentuk bulat, oval atau plakat

yang tak teratur. Warna merah muda atau sesuai warna kulit dengan skuama

halus. Setelah eritema hilang lesi dijumpai hanya depigmentasi dengan skuama

halus.

Dermatitis seboroika

Dermatitis seboroika dipakai untuk segolongan kelainan kulit yang didasari

oleh faktor konstitusi dan bertempat predileksi di tempat-tempat seboroik.

Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak

kekuningan, batasnya agak kurang tegas. D.S. yang ringan hanya mengenai kulit

kepala berupa skuama-skuama yang halus, mulai sebagai bercak kecil yang

kemudian mengenai seluruh kulit kepala dengan skuama yang halus dan kasar.

Kelainan tersebut disebut pitiriasis sika (ketombe dandruff). Bentuk yang

berminyak disebut pitiriasis steatoides yang dapat disertai eritema dan krusta-

krusta yang tebal. Rambut pada tempat tersebut mempunyai kecenderungan

rontok, mulai di bagian verteks dan frontal.

25

Page 26: Tutorial Klinik Morbus Hansen

Psoriasis

Psoriasis ialah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan

residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan

skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan; disertai fenomena tetesan lilin,

Auspitz dan Kobner. Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang

meninggi (plak) dengan skuama di atasnya. Eritema sirkumskrip dan merata,

tetapi pada stadium penyembuhan sering eritema ditengah menghilang dan hanya

terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis dan kasar dan bewarna putih mika,

serta transparan. Besar kelainan bervariasi.

2.7 Penatalaksanaan

Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan

insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya

penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan

atas deteksi dini dan pengobatan penderita.4

Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi

atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif

dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk

sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin

rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.4

Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan

reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari

NA/K ATPase.Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu

kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare,

nyeri lambung.4

Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan

cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan

berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan

nefrotoksik.

Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus

untuk penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn

26

Page 27: Tutorial Klinik Morbus Hansen

kekeringan kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk

penderita kusta tipe PB I.

Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh

WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:

1. Pausi Basiler (PB)

2. Multi Basiler (MB)

Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment.

Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat,

mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus

obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi

kuman kusta dalam jaringan.3,4

Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi

tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat

sekali saja langsung RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan

petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum

tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi

tunggal dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).

Tabel 7. Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut

WHO/DEPKES RI

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa

(50-70 kg)

600 mg 400 mg 100 mg

Anak

(5-14 th)

300 mg 200 mg 50 mg

PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-

9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment)

yaitu berhenti minum obat.

Tabel 8. Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)2,3

27

Page 28: Tutorial Klinik Morbus Hansen

Rifampicin Dapson

Dewasa 600 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan

100 mg/hr diminum

di rumah

Anak-anak

(10-14 th)

450 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan

50 mg/hari diminum

di rumah

MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa

diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini,

dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa

pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan

tipe MB selama 5 tahun.

Tabel 9. Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)2,3

Rifampicin Dapson Lamprene

Dewasa 600 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

100 mg/hari

diminum di rumah

300 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

dilanjutkan dgn 50

mg/hari diminum

di rumah

Anak-anak

(10-14 th)

450 mg/bulan

diminum di depan

petugas

50 mg/hari

diminum di rumah

150 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

dilanjutkan dg 50

mg selang sehari

diminum di rumah

28

Page 29: Tutorial Klinik Morbus Hansen

Pengobatan reaksi kusta.

Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul

kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw

toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan

pengobatan “Prinsip pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat,

pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT

diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan

obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-

5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik

dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian

obat-obat anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya

prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4

– 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen

(8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling dan dosis

total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena toksik.

Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400

mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.

Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan

prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih

29

Page 30: Tutorial Klinik Morbus Hansen

baik walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-

lahan (tapering off) setelah terjadi respon maksimal1,2,3.

Gambar Regimen MDT

2.8 Prognosis

Pada kasus kusta yang tidak diterapi, pasien yang bisa sembuh sendiri tanpa

pengobatan adalah pasien yang mengidap kusta tipe TT dan BT yang berkembang

menjadi TT. Sementara yang lainnya akan terjadi perkembangan secara progresif.

Gejala yang timbul sering kali karena cedera saraf dan fase reaksi. BT, BB, BL,

LLs bisa berkembang menjadi lebih buruk upgrade, sementara BT, BB dan BL

yang downgrading akan dapat sembuh sendiri. BL, LLs, dan LLp bisa

berkembang mejadi ENL. Neutritis perifer sering kali mengakibatkan kerusakan

saraf sensoris permanen dan susah untuk ditangan, hanya dapat dikurangi

peradangannya dengan kortikosteroid.3

30

Page 31: Tutorial Klinik Morbus Hansen

31

Page 32: Tutorial Klinik Morbus Hansen

BAB 3

KASUS

32

Page 33: Tutorial Klinik Morbus Hansen

BAB 4

PEMBAHASAN

33

Page 34: Tutorial Klinik Morbus Hansen

DAFTAR PUSTAKA

1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi.

Kusta. Dalam : Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Edisi Kelima Cetakan Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2010;73-88

2. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick. Fitzpatrick's Color

Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill.

2007. P 665-671

3. 2. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatrick’s Dermatology

in General Medicine 7th ed. USA : McGraw Hill 2008. P 17889-1796

4. 4. Lewis, Felisa S. Leprosy.

http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview, 16 Mei 2013.

34