Trauma Tajam Abdomen

27
BAB 1 PENDAHULUAN Evaluasi daerah abdomen merupakan salah satu dari komponen yang paling kritis dari Initial Asessment penderita trauma. Selama primary survey, penilaian sirkulasi pada penderita dengan trauma tumpul meliputi pengenalan dini dari tempat perdarahan tersembunyi seperti misalnya dari abdomen. Bila dilakukan pemeriksaan seorang penderita hipotensi dengan luka tembus yang jauh dari abodmen, misalnya ekstremitas atas, penilaian formal daari abdomen dapat ditunda sampai sumber perdarahan yang kelihatan terkendali. Mekanisme cedera, lokasi cedera dan status hemodinamis penderita menentukan waktu penilaian abdomen. Sampai saaat ini cedera abdomen yang luput dari diagnosis masih merupakan penyebab kematian yang dapat dicegah pada penderita degan trauma pada batang tubuh. Kebanyakan dokter menganggap bahwa ruptur rongga abdomen yang berongga atau perdarahan dari organ yang dapat menyebabkan peritonitis yang mudah dikenal, padahal penilaian penderita sering terganggu karena intoksikasi alkohol, penggunaan obat-obatan terlarang, cedera otak atau saraf tulang belakang, atau tulang panggul. Perdarahan yang jumlahnya banyak didalam rongga abomen kadangkala tidak memeberikan perubahan yang nyata. Penderita yang menderita cedera tumpul batang tubuh akibat pukulan langsung atau deselerasi atau cedera batang tubuh yang tembus, harus dianggap menderita trauma abdomen, baik organ visceral ataupun vaskuler. 1

Transcript of Trauma Tajam Abdomen

Page 1: Trauma Tajam Abdomen

BAB 1

PENDAHULUAN

Evaluasi daerah abdomen merupakan salah satu dari komponen yang paling kritis dari Initial Asessment penderita trauma. Selama primary survey, penilaian sirkulasi pada penderita dengan trauma tumpul meliputi pengenalan dini dari tempat perdarahan tersembunyi seperti misalnya dari abdomen. Bila dilakukan pemeriksaan seorang penderita hipotensi dengan luka tembus yang jauh dari abodmen, misalnya ekstremitas atas, penilaian formal daari abdomen dapat ditunda sampai sumber perdarahan yang kelihatan terkendali. Mekanisme cedera, lokasi cedera dan status hemodinamis penderita menentukan waktu penilaian abdomen.

Sampai saaat ini cedera abdomen yang luput dari diagnosis masih merupakan penyebab kematian yang dapat dicegah pada penderita degan trauma pada batang tubuh. Kebanyakan dokter menganggap bahwa ruptur rongga abdomen yang berongga atau perdarahan dari organ yang dapat menyebabkan peritonitis yang mudah dikenal, padahal penilaian penderita sering terganggu karena intoksikasi alkohol, penggunaan obat-obatan terlarang, cedera otak atau saraf tulang belakang, atau tulang panggul. Perdarahan yang jumlahnya banyak didalam rongga abomen kadangkala tidak memeberikan perubahan yang nyata. Penderita yang menderita cedera tumpul batang tubuh akibat pukulan langsung atau deselerasi atau cedera batang tubuh yang tembus, harus dianggap menderita trauma abdomen, baik organ visceral ataupun vaskuler.

BAB 2

1

Page 2: Trauma Tajam Abdomen

ISI

2.1. Anatomi

Abdomen depan

Walaupun abdomen sebagian dibatasi oleh toraks bagian bawah, definisi abdomen

depan adalah bidang yang dibatasi dibagian superior oleh garis intermammaria, di inferior

dibatasi oleh kedua ligament inguinale dan simfisis pubis serta di lateral oleh kedua linea

aksilaris anterior.

Pinggang

Ini merupakan daerah yang berada diantara linea axilaris anterior dan linea axilaris

posterior, dari sela iga ke-6 di atas, ke bawah sampai crista iliaka. Di lokasi ini adanya

dinding otot abdomen yang tebal, berlainan dengan dinding otot pelindung terutama terhadap

luka tusuk.

Punggung

Daerah ini berada dibelakang dari linea axilaris posterior, dari ujung bawah scapula

sampai crista iliaka. Seperti halnya daerah flank, disini otot punggung dan otot paraspinal

menjadi pelindung terhadap trauma tajam

Anatomi dalam dari abdomen

Ada tiga region yang berlainan disini yaitu rongga peritoneal, rongga peritoneal dan

rongga pelvis. Rongga pelvis mengadung bagian-bagian dari rongga peritoneal maupun

retroperitoneal.

Rongga peritoneal

Rongga peritoneal menjadi 2 bagian, yaitu atas dan bawah. Rongga peritoneal atas

dilindungi oleh bagian bawah dari dinding thoraks yang mencakup diafragma, hepar, lien,

gaster, dan kolon transversum. Bagian ini juga disebut komponen thoracoabdominal dari

abdomen. Pada saat diafragma naik sampai sela iga ke IV pada waktu ekspirasi penuh, setiap

terjadi fraktur iga maupun luka tusuk tembus di bawah garis intermammaria bias mencederai

organ dalam abdomen. Rongga peritoneal bawah berisikan usus halus, bagian colon

ascendens dan colon descendens, colon sigmoid, dan pada wanita, organ reproduksi internal.

Rongga pelvis

2

Page 3: Trauma Tajam Abdomen

Rongga pelvis, yang dilindungi oleh tulang- tulang pelvis, sebenarnya merupakan bagian

bawah dari rongga intraperitoneal, sekaligus bagian bawah dari rongga retroperitoneal.

Terdapat didalamnya rectum, vesika urinaria, pembuluh-pembuluh iliaka, dan pada wanita

organ reproduksi internal. Sebagaimana halnya bagian thoracoabdominal, pemeriksaan

organ-organ pelvis terhalang oleh bagian-bagian tulang diatasnya.

Rongga Retroperitoneal

Rongga yang potensial ini adalah rongga yang berada dibelakang dinding peritoneum

yang melapisi abdomen, dan didalamnya terdapat aorta abdominalis, vena cava superior,

sebagian besar dari duodenum, pancreas, ginjal dan ureter serta sebagian posterior dari colon

ascendens dan colon descendens, dan juga bagian rongga pelvis yang retroperitoneal. Cedera

pada organ retroperitoneal sulit dikenali karena daerah ini jauh dari jangkauan pemeriksaan

fisik yang biasa, dan juga cedera disini pada awalnya tidak akan memperilihatkan tanda

maupun gejala peritonitis. Disamping itu, rongga ini tidak termasuk dalam bagian yang

diperiksa sampelnya pada diagnostic peritoneal lavage (DPL).

Setiap area memiliki batas-batas torso anatomi, sebagai berikut:

Thoracoabdominal : Puting ke kosta ke-12, antara baris aksilaris anterior

Abdomen : Puting ke anus, antara baris aksilaris anterior

Flank : Antara ipsilateral baris aksilaris anterior dan posterior

Belakang : Di bawah ujung tulang belikat, antara garis aksila posterior

2.2. Etiologi

Luka tembak, dianggap tinggi kecepatan proyektil, adalah penyebab yang paling

umum (64%) menembus trauma perut, diikuti oleh luka tusukan (31%) dan luka senapan

(5%).

Trauma tembus abdomen mungkin hasil dari kekerasan. Kekerasan dalam rumah

tangga melintasi semua hambatan sosial ekonomi dan merupakan pertimbangan penting

dalam evaluasi luka yang diderita di rumah dan mereka dilaporkan melibatkan keluarga

pasien atau orang penting lainnya. Trauma tembus abdomen dapat terjadi secara iatrogenik.

Sebuah komplikasi peritoneal lavage ditemukan pada cedera usus yang mendasari, kandung

kemih, atau pembuluh besar seperti aorta atau vena cava. Namun, kejadian komplikasi

tersebut relatif kecil.

3

Page 4: Trauma Tajam Abdomen

2.1. Mekanisme Trauma

Trauma Tajam

Luka tusuk ataupun luka tembak ( kecepatan rendah) akan mengakibatkan kerusakan

jaringan karena laserasi ataupun terpotong, luka tembak dengan kecepatan tinggi akan

menyebabkan transfer energy kinetic yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya

efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang

mengakibatkan kerusakan lainnya.

Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma (20%) dan

colon (15%). Luka tembak mengakibatkan kerusakan yang lebih besar, yang ditentukan oleh

jauhnya perjalanan peluru, dan berapa besar energi kinetiknya maupun kemungkinan

pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling

sering mengenai usus halus (50%), colon (40%), hepar (30%), dan pembuluh darah

abdominal (25%).

Teori-teori tradisional mengharuskan seluruh kasus luka tembak dengan kecurigaan

trauma intra-abdominal, memerlukan tindakan laparotomi eksplorasi. Beberapa penulis telah

mendeskripsikan pendekatan yang lebih tidak agresif untuk beberapa kasus pasien dengan

trauma tajam abdomen, termasuk luka tembak kecepatan rendah. Penatalaksanaan non-

operatif pada pasien dengan luka tembak dengan penetrasi peritoneum masih bersifat

kontroversial. Pasien yang menunjukkan tanda hipotensi walaupun telah mendapat resusitasi

cairan kristaloid membutuhkan laparotomi eksplorasi segera, antibiotika, dan booster tetanus.

Bagi pasien dengan hemodinamik stabil, setelah invasi intraperitoneal sudah dipastikan tidak

terjadi, penatalaksanaan konservatif terhadap luka superfisial abdomen dapat dilaksanakan.

Untuk semua kasus luka tembak abdomen, segera minta bantuan konsultasi bagian bedah.3

Beberapa institusi telah membuat kebijakan akan dilakukannya laparotomi untuk luka

tembak abdominal berdasarkan tingginya insidensi trauma organ pada kasus luka tembak.

Satu-satunya pengecualian kebijakan ini adalah pada pasien stabil dengan jalur peluru yang

tidak jelas, keraguan akan penetrasi peritoneal, atau luka pada regio torakoabdominal

sehingga penilaian selanjutnya diperlukan untuk mengetahui apakan trauma tersebut hanya

murni thorax. Pada kasus ini, laparoskopi sebaiknya dilakukan pada pasien yang telah

dipersiapkan untuk laparotomi dengan pengalaman dalam menilai luka tembak. 3

Pasien dengan luka tusuk membutuhkan resusitasi, booster tetanus, dan antibiotika

jika terjadi kecurigaan terlibatnya intraperitoneal. Seorang ahli bedah sebaiknya melakukan

seluruh prosedur ini untuk semua luka terutama luka superfisial dengan staf dan pencahayaan

4

Page 5: Trauma Tajam Abdomen

yang adekuat. DPL, CT-scan, dan laparoskopi dapat digunakan. Bila keterlibatan peritoneal

telah dipastikan tidak terjadi, pasien dapat dipulangkan dengan instruksi luka lokal. Bila

peritoneum telah terlibat, berdasarkan teori tradisional, harus membutuhkan laparotomi

eksplorasi. Beberapa ahli bedah mulai meneliti beberapa pasien tanpa tanda pasti trauma

intraperitoneal pada pemeriksaan fisik atau identifikasi dengan menggunakan radiologi, dapat

diberikan penatalaksanaan yang hampir sama seperti pada luka tembak kecepatan rendah.

Pada kasus penetrasi peritoneal, laparatomi merupakan suatu keharusan, maka dari itu

pada kasus penetrasi peritoneal harus dilakukan laparoskopi atau eksplorasi luka pada ruang

operasi. 3

2.2. Manajemen

PEDOMAN:

Pengelolaan trauma ganda yang berat memerlukan kejelasan dalam menetapkan prioritas.

Tujuannya adalah segera mengenali cedera yang mengancam jiwa dengan Survey

Primer, seperti :

• Obstruksi jalan nafas

• Cedera dada dengan kesukaran bernafas

• Perdarahan berat eksternal dan internal

• Cedera abdomen

Jika ditemukan lebih dari satu orang korban maka pengelolaan dilakukan berdasar prioritas

(triage) Hal ini tergantung pada pengalaman penolong dan fasilitas yang ada.Survei ABCDE

(Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) ini disebut survei primer yang harus

selesai dilakukan dalam 2 - 5 menit. Terapi dikerjakan serentak jika korban mengalami

ancaman jiwa akibat banyak sistem yang cedera :

Airway

Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dengan bebas ?

Jika ada obstruksi maka lakukan :

• Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)

• Suction / hisap (jika alat tersedia)

• Guedel airway / nasopharyngeal airway

• Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral

Breathing

Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas.

Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan :

5

Page 6: Trauma Tajam Abdomen

• Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)

• Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada

• Pernafasan buatan

Berikan oksigen jika ada. Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika kondisi pasien tidak

stabil.

Sirkulasi

Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas

dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan :

• Hentikan perdarahan eksternal

• Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)

• Berikan infus cairan

Disability

Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons terhadap nyeri atau

sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale

AWAKE = A

RESPONS BICARA (verbal) = V

RESPONS NYERI = P

TAK ADA RESPONS = U

Cara ini cukup jelas dan cepat.

Eksposure

Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera yang mungkin

ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang, maka imobilisasi in-line harus

dikerjakan.

PENGELOLAAN JALAN NAFAS

Prioritas pertama adalah membebaskan jalan nafas dan mempertahankannya agar tetap

bebas.

1. Bicara kepada pasien

Pasien yang dapat menjawab dengan jelas adalah tanda bahwa jalan nafasnya bebas.

Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan jalan nafas buatan dan bantuan pernafasan.

Penyebab obstruksi pada pasien tidak sadar umumnya adalah jatuhnya pangkal lidah ke

belakang. Jika ada cedera kepala, leher atau dada maka pada waktu intubasi trakhea

tulang leher (cervical spine) harus dilindungi dengan imobilisasi in-line.

6

Page 7: Trauma Tajam Abdomen

2. Berikan oksigen dengan sungkup muka (masker) atau kantung nafas ( selfinvlating)

3. Menilai jalan nafas

Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :

• Suara berkumur

• Suara nafas abnormal (stridor, dsb)

• Pasien gelisah karena hipoksia

• Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada paradoks

• Sianosis

Waspada adanya benda asing di jalan nafas. Jangan memberikan obat sedativa pada pasien

seperti ini.

4. Menjaga stabilitas tulang leher

5. Pertimbangkan untuk memasang jalan nafas buatan

Indikasi tindakan ini adalah :

• Obstruksi jalan nafas yang sukar diatasi

• Luka tembus leher dengan hematoma yang membesar

• Apnea

• Hipoksia

• Trauma kepala berat

• Trauma dada

• Trauma wajah / maxillo-facial

Obstruksi jalan nafas harus segera diatasi.

PENGELOLAAN NAFAS (VENTILASI )

Prioritas kedua adalah memberikan ventilasi yang adekuat.

• Inspeksi / lihat frekwensi nafas (LOOK)

Adakah hal-hal berikut :

. Sianosis

. Luka tembus dada

. Flail chest

. Sucking wounds

. Gerakan otot nafas tambahan

• Palpasi / raba (FEEL)

. Pergeseran letak trakhea

. Patah tulang iga

7

Page 8: Trauma Tajam Abdomen

. Emfisema kulit

. Dengan perkusi mencari hemotoraks dan atau pneumotoraks

• Auskultasi / dengar (LISTEN)

. Suara nafas, detak jantung, bising usus

. Suara nafas menurun pada pneumotoraks

. Suara nafas tambahan / abnormal

• Tindakan Resusitasi

Jika ada distres nafas maka rongga pleura harus dikosongkan dari udara dan darah dengan

memasang drainage toraks segera tanpa menunggu pemeriksaan sinar X.

Jika diperlukan intubasi trakhea tetapi sulit, maka kerjakan krikotiroidotomi.

Catatan Khusus

• Jika dimungkinkan, berikan oksigen hingga pasien menjadi stabil

• Jika diduga ada tension pneumotoraks, dekompresi harus segera dilakukan dengan

jarum besar yang ditusukkan menembus rongga pleura sisi yang cedera. Lakukan

pada ruang sela iga kedua (ICS 2) di garis yang melalui tengah klavikula. Pertahankan

posisi jarum hingga pemasangan drain toraks selesai.

• Jika intubasi trakhea dicoba satu atau dua kali gagal, maka kerjakan krikotiroidotomi.

Tentu hal ini juga tergantung pada kemampuan tenaga medis yang ada dan

kelengkapan alat.

Jangan terlalu lama mencoba intubasi tanpa memberikan ventilasi 7

PENGELOLAAN SIRKULASI

Prioritas ketiga adalah perbaikan sirkulasi agar memadai.

‘Syok’ adalah keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Pada pasien

trauma keadaan ini paling sering disebabkan oleh hipovolemia.

Diagnosa syok didasarkan tanda-tanda klinis :

Hipotensi, takhikardia, takhipnea, hipothermi, pucat, ekstremitas dingin, melambatnya

pengisian kapiler (capillary refill) dan penurunan produksi urine. (lihat Appendix-3)

Jenis-jenis syok :

Syok hemoragik (hipovolemik): disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan

tubuh. Jumlah darah yang hilang akibat trauma sulit diukur dengan tepat bahkan pada

trauma tumpul sering diperkirakan terlalu rendah. Ingat bahwa :

• Sejumlah besar darah dapat terkumpul dalam rongga perut dan pleura.

• Perdarahan patah tulang paha (femur shaft) dapat mencapai 2 (dua) liter.

8

Page 9: Trauma Tajam Abdomen

• Perdarahan patah tulang panggul (pelvis) dapat melebihi 2 liter

Syok kardiogenik : disebabkan berkurangnya fungsi jantung, antara lain akibat :

• Kontusioo miokard

• Tamponade jantung

• Pneumotoraks tension

• Luka tembus jantung

• Infark miokard

Penilaian tekanan vena jugularis sangat penting dan sebaiknya ECG dapat direkam.

Syok neurogenik : ditimbulkan oleh hilangnya tonus simpatis akibat cedera sumsum

tulang belakang (spinal cord). Gambaran klasik adalah hipotensi tanpa diserta

takhikardiaaatau vasokonstriksi.

Syok septik : Jarang ditemukan pada fase awal dari trauma, tetapi sering menjadi penyebab

kematian beberapa minggu sesudah trauma (melalui gagal organ ganda). Paling sering

dijumpai pada korban luka tembus abdomen dan luka bakar.

Penatalaksanaan trauma tajam abdomen :

1. Ikuti ABC, dan resusitasi pasien sesuai dengan temuan dari survei primer.

2. Menilai perut mencari entri luka, perdarahan dan peritoneum temuan. Cedera dada dapat

dikaitkan dengan menembus perut cedera, karena itu, pastikan tanda dan gejala yang jelas

dipahami.

a. Tentukan apakah ada gejala atau tanda-tanda sugestif langsung kebutuhan untuk intervensi

bedah.

i. Herniated isi perut.

ii. Besar pendarahan dari luka.

iii. Jelas tanda-tanda peritoneal konsisten dengan kental berongga cedera atau

hemoperitoneum.

iv. Tanda-tanda ketidakstabilan hemodinamik yang terkait dengan perut cedera.

v. Tanda iskemia ekstremitas bawah sugestif vaskular cedera dengan nyeri atau bukti

lain.

vi. Semua luka tembak intraperitoneal penetrasi atau cedera organ retroperitoneal.

b. Jika tanda-tanda di atas hadir, kemudian mengambil pasien untuk pembedahan segera

untuk laparotomi eksplorasi.

9

Page 10: Trauma Tajam Abdomen

c. Untuk luka tusuk, jika tidak ada tanda-tanda di atas hadir, menentukan lokasi luka dan

mengklasifikasikan sebagai:

i. Anterior.

ii. Thoracoabdominal.

iii.Posterior atau panggul.

d. Jika luka tusuk adalah anterior :

i. Menentukan apakah luka memasuki rongga peritoneum oleh visual menjelajahi

luka. Hal ini dilakukan dengan infiltrasi anestesi lokal, kemudian prepping dan

mengalungkan luka. Luka diperpanjang jika perlu untuk memungkinkan visual

pemeriksaan luka untuk menentukan kedalaman. Liberal penggunaan retraktor dan

asisten akan memfasilitasi luka eksplorasi.

ii. Jika luka tidak menembus fasia anterior, maka luka dapat debridement, irigasi dan

tertutup. Pasien mungkin akan habis jika tidak ada luka lain ada.

iii. Jika luka tidak menembus fasia anterior, laparotomi harus dipertimbangkan. Jika

pasien tidak memiliki bukti iritasi peritoneal, maka Diagnostik Peritoneal lavage

(DPL) harus dilakukan. Sebelum DPL, kateter Foley dan tabung NG harus

ditempatkan. Laparotomi ditunjukkan dengan gross hematuria atau darah dari

tabung NG. Ambang batas untuk sebuah DPL dalam situasi adalah RBC 5000/mm.

Cairan lavaged dari kateter Foley, tabung NG atau tabung dada juga

mengamanatkan eksplorasi. Semua pasien dengan penetrasi peritoneum yang

tidak diambil untuk operasi harus diakui selama 24 jam observasi :

e. Jika luka thoracoabdominal

i. Mendapatkan sinar-X dada dengan spidol untuk menentukan luka adanya cedera

dada dan untuk menentukan hubungan masuk luka pada diafragma.

ii. Jika luka mungkin bisa menembus diafragma, pertimbangkan DPL dengan ambang

batas untuk jumlah RBC 5000/mm.

f. Jika luka posterior atau panggul :

i. Masukkan kateter Foley untuk menentukan adanya hematuria.

ii. Mendapatkan tiga kontras CT scan untuk menentukan cedera dengan organ

retroperitoneal. Sebaliknya tiga berarti kontras diberikan IV, melalui mulut atau

10

Page 11: Trauma Tajam Abdomen

dengan tabung NG, dan rektum per. Pertimbangan dapat diberikan untuk

menempatkan kontras-direndam spons ke dalam luka untuk membantu pelokalan

cedera.

g. Untuk luka panggul yang mungkin telah dilalui rektum:

i. Lakukan anoskopi dan sigmoidoskopi untuk menentukan

adanya cacat mukosa.

ii. Pertimbangkan washout pengalihan, drainase dan rektal jika cedera

ditemukan.

h. Untuk semua pasien dibawa ke operasi untuk laparotomi eksplorasi:

i. Setelah keputusan untuk pergi ke OR adalah dibuat, kasus muncul dijadwalkan

oleh ahli bedah trauma harus di OR dalam waktu 30 menit.

ii. Pastikan pasien yang diketik dan crossmatched untuk darah dan akan segera

tersedia.

iii. Mengadministrasikan antibiotik profilaksis untuk flora usus.

2.3.2. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan fisik Serial memiliki kepekaan terbaik dan nilai prediktif negatif semua

modalitas untuk evaluasi trauma penetrasi abdomen. Pasien untuk observasi selama 24 jam.

Selama ini pasien telah sering (setiap jam), pemeriksaan rutin status hemodinamik mereka.

Perut ini diperiksa secara rutin untuk tanda-tanda peritonitis berkembang. Idealnya dokter

bedah yang sama harus memeriksa pasien setiap kali. Jika hal ini tidak mungkin, selama

periode penyerahan kedua ahli bedah harus memeriksa pasien pada saat yang sama sehingga

mereka setuju pada status saat ini dari perut dan apakah telah ada kemajuan dalam gejala

apapun. Waktu pemeriksaan bervariasi literatur inthe, tapi mungkin harus mulai lebih sering

dan kemudian menurun dari waktu ke waktu. Urutan menyarankan pemeriksaan mungkin di

jam 1, 4, 12 dan 24 setelah penilaian awal. Beberapa penulis merekomendasikan pemeriksaan

setiap empat jam.

Jika pasien mengembangkan tanda-tanda ketidakstabilan hemodinamik atau

peritonitis selama periode pengamatan, laparotomi adalah dilakukan. Jika pasien dengan baik

keesokan harinya mereka mulai diet normal, dan dibuang begitu diet ditoleransi dan mereka

telah menyelesaikan periode observasi.

11

Page 12: Trauma Tajam Abdomen

Pasien yang tidak mengembangkan terang peritonitis, tetapi yang memiliki gejala

lokal terus-menerus dari rasa sakit dan kelembutan, mungkin dengan demam atau takikardia

pada 24 jam harus dievaluasi oleh orang lain modalitas: CT Scan, laparoskopi atau

laparotomi.

Kelemahan dari ujian physicial seri terutama kebutuhan untuk mengakui semua

pasien dengan cedera tembus, dan kebutuhan untuk pemeriksaan hemodinamik dan fisik

sering. Ini biasanya mengharuskan pasien untuk berada dalam pengaturan jenis

ketergantungan yang tinggi, dan membutuhkan tubuh di-rumah ahli bedah untuk melakukan

evaluasi serial.

Walaupun teknologi sudah maju, di mana tidak diragukan lagi kemampuannya dalam

mengevaluasi abdomen, pemeriksaan klinis masih pemeriksaan yang paling penting.

Stabilitas hemodinamik adalah sebuah masa yang sering digunakan namun masih belum

dipahami secara lebih jelas. Pada tahap awal, status hemodinamik diperiksa, seperti tekanan

darah, denyut jantung, dan monitor keluaran urin, penghitungan kadar hemoglobin, dan

evaluasi kulit dan waktu pengisian kapiler. Walaupun informasi-informasi tersebut sangat

penting, harus diingat bahwa penggunaan informasi itu terbatas dalam penilaian status

hemodinamik. Hipotensi dapat terjasi pada cedera spinal kord tanpa adanya kehilangan darah.

Hipertensi dapat terjadi pada kondisi kehilangan darah akibat peningkatan tekanan

intracranial dan reflex Cushing. Tekanan darah 110 mmHg mungkin normal pada laki-laki

usia 25 tahun, cukup tinggi pada bayi bayi, dan rendah pada wanita 70 tahun yang hipertensi.

Denyut jantung dapat tinggi pada penyebab yang tidak berhubungan dengan perdarahan,

seperti nyeri atau ansietas. Dengan kata lain, denyut jantung normal atau rendah tidak dapat

menyingkirkan perdarahan, terutama pada pasien-pasien dengan cedera spinal kord,

intoksikasi kokain kronik, atau pengobatan beta blocker. Hipotensi paradoksal terjadi pada

29% padien trauma dengan hipotensi. Untuk alasan-alasan ini deskripsi yang lebih tepat dari

status hemodinamik pasien sangat diharapkan. Kateterisasi arteri pulmonal bukanlah hal

yang dapat dikerjakan dengan mudah di lokasi trauma. Sekarang, teknologi non invasive

dapat memonitor curah jantung, volume sekuncup, dan tekanan oksigen perkutan. Alat-alat

portabel dapat dihubungkan ke pasien dengan menggunakan tempelan sederhana, seperti lead

EKG, dan memonitor status hemodinamik dan perfusi oksigen ke jaringan walaupun dalam

kondisi post trauma yang sangat awal. Sebagai kesimpulan, instabilitas hemodinamik

merupakan alasan yang tepat untuk melakukan laparatomi sepanjang dokter mengenali

12

Page 13: Trauma Tajam Abdomen

keterbatasan tanda-tanda vital dan elemen tambahan lain dalam pengambilan keputusan untuk

meningkatkan akurasinya.3

Nyeri tekan abdomen yang difus merupakan indikasi utama lain dalam melakukan

laparatomi. Penting untuk dibedakan nyeri tekan jaringan lunak permukaan, seperti pada luka

tusuk atau sabuk pengaman, dan nyeri tekan dalam yang disebabkan oleh cedera organ

abdomen yang sesungguhnya. Pasien-pasien yang mengalami trauma bisa jadi tidak dapat

dilakukan evaluasi nyeri pada abdomen dikarenakan keterlibatan cedera kepala, cedera spinal

kord, dan intoksikasi.3

Priorities

Patients with significant penetrating abdominal injury tend to fall into 3 major categories:

Presentation Injury TypeManagement

priority

Pulseless Major vascular injury

EmergencylaparotomyConsider EDthoracotomy

Haemodynamicallyunstable

Vascular and/or solidorgan injury

AND/OR

Haemorrhage fromother sites

Identify & controlhaemorrhage

HaemodynamicallyNormal

Hollow viscus injuryPancreas or renal

Identify presence ofgastrointestinal,diaphragmatic orretroperitonealinjury

2.2.3. Pemeriksaan Penunjang

Ada tiga pemeriksaan yang dapat membantu ahli bedah pada pasien dengan trauma

tumpul abdomen, yaitu ultrasonografi (FAST-Focused Abdominal Sonography for Trauma),

13

Page 14: Trauma Tajam Abdomen

CT Scan, dan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL). Hanya DPL dan FAST yang dilakukan

pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil.

1. FAST (Focused Abdominal Sonography for Trauma)

FAST dapat dilakukan oleh ahli bedah, dokter unit gawat darurat atau radiologis.

Pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan ultrasound abdomen yang rutin dilakukan.

Pemeriksaan ini bermaksud unuk mengidentifikasi cairan pada empat area berikut:

a. Kantong Morrison (hepatorenal) pada abdomen kuadran kanan atas

b. Resesus splenorenal pada abdomen kuadran kiri atas

c. Pelvis

d. Kantong perikardial.

Penting untuk diketahui bahwa pengecualian untuk kantong perikardial, minimal 300

cc cairan dijumpai agar dapat dideteksi dengan FAST. Pemeriksaan pericardium rutin

dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan tamponade perikardial. Dijumpainya cairan

bebas pada kavum abdomen pada pasien stabil merupakan indikasi untuk laparatomi urgensi.

Dengan memahami bahwa tidak ada pemeriksaan yang sempurna, pemeriksaan FAST

sebaiknya diulangi atau DPL dilakukan pada kondisi pasien hipotensi tanpa sebab yang jelas

dan bila pemeriksaan awal FAST negatif.3

2. DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage)

DPL lebih jarang dilakukan dengan tersedianya FAST pada pasien yang tidak stabil

dan CT Scan pada pasien stabil. Walau begitu, pemeriksaan ini murah dan cepat, walaupun

sedikit invasif. Hasil yang dijumpai pada pemeriksaan DPL adalah sebagai berikut:

a. DPL positif gross artinya dijumpai darah yang diaspirasi dari kateter DPL sejak

dimasukkan.

b. DPL mikroskopis positif, biasanya merujuk pada eritrosit yang dijumpai > 100.000/uL.

Pada pasien-pasien yang tidak stabil dengan DPL gross positif merupakan indikasi

untuk operasi. Jika hanya positif secara mikroskopis, sumber kehilangan darah biasanya pada

abdomen, tetapi sumber perdarahan lain (contoh pelvis) sebaiknya dipikirkan.

Karena DPL sangat sensitif terhadap perdarahan dalam jumlah yang kecil, operasi

pada pasien dengan DPL positif secara mikroskop akan menyebabkan angka laparatomi non-

terapeutik menjadi tinggi. Jika cairan DPL terlihat mengalir melalui kateter urin atau dari

selang toraks, pasien sebaiknya menjalani operasi laparatomi sebagai kecurigaan rupture buli-

buli atau diafragma. Kasus seperti itu memang jarang, namun tetap harus dipikirkan. Sama

halnya jika isi usus dijumpai pada saat aspirasi pada cairan peritoneal, laparatomi untuk

14

Page 15: Trauma Tajam Abdomen

cedera usus adalah mandatori. Dijumpainya bakteri pada pewarnaan Gram juga memberi

kesan cedera usus, atau lebih sering lagi, masuknya kateter DPL (atau jarum) ke dalam usus.

Karena itu, DPL merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk cedera usus dan

karena itu, pemeriksaan ini merupakan pilihan pada pasien-pasien di mana kemungkinan

cedera usus cukup tinggi-umumnya pada pasien-pasien dengan tanda sabuk keselamatan.3

3. CT Scan

Pada pasien stabil, CT Scan merupakan pemeriksaan pilihan. Tergantung pada

protokol institusi, CT Scan mungkin menjadi pemeriksaan penunjang awal, atau bisa juga

diikuti dengan FAST atau DPL.

Dari CT Scan dapat diidentifikasi sumber perdarahan baik dari kavum abdomen

maupun retroperitoneal (terbatas pada Fast dan DPL). Jika terdapat laserasi hepatik atau

limpa, informasi dapat diintegrasikan kepada gambaran klinis dan penilaian dibuat pada

pasien yang akan dicoba untuk penanganan non-operatif. Perkembangan teknologi CT Scan

telah meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dari pemeriksaan ini untuk mengidentifikasi

cedera pada usus, yang biasanya ditunjukkan melaui helaian mesenterium, cairan

mesenterium, penebalan usus dan/atau udara ekstra lumen.3

Berikut ini merupakan alogaritma untuk penilaian terhadap pasien dengan trauma

tumpul abdomen.

15

Page 16: Trauma Tajam Abdomen

Gambar Alogaritma untuk penilaian terhadap pasien dengan trauma tumpul abdomen.

*Pasien mungkin membutuhkan angioembolisasi pelvis post operatif. ┼ Jika interval waktu

dari cedera sangat singkat, pemeriksaan ulang FAST lebih dahulu dilakukan untuk

mengeluarkan pasien dari unit gawat darurat atau dalam satu jam setelah pasien tiba.3

2.2.4. Indikasi Laparatomi

Perkembangan pada dua dekade terakhir adalah pengunaan penanganan nonoperatif

untuk luka organ visera padat, yang dipandu respon klinis dan pencitraan. Bukti yang ada

menunjukkan bahwa penanganan nonoperatif pada anak dan dewasa aman dan hasilnya lebih

baik dibandingkan laparotomi pada kasus tertentu. Kandidat untuk penanganan nonoperatif

adalah pada pasien tanpa perdarahan aktif dari luka visera padat tanpa bukti luka organ

berongga atau mesenterik. Jika keputusan dibuat untuk mengobservasi dan melakukan

penanganan nonoperatif, monitor ketat tanda vital dan lakukan pemeriksaan fisik berulang.

Peningkatan temperatur dan frekuensi napas dapat menandakan perforasi organ berongga

atau pembentukan abses. Nadi dan tekanan darah dapat berubah pada sepsis atau perdarahan

intraabdomen. Pemeriksaan laboratorium tambahan, seperti leukosit, hemoglobin dan

hematokrit dan kadar asam laktat dan defisit basa dapat menentukan jika tindakan nonoperatif

gagal.3

16

Page 17: Trauma Tajam Abdomen

Data yang tidak lengkap di ruangan gawat darurat, pasien yang tidak dapat dievaluasi,

dan cedera multipel dapat menyulitkan pengambilan keputusan untuk melakukan operasi atau

observasi pada pasien. Laparatomi yang terlambat berhubungan dengan morbiditas yang

serius. Dengan adanya FAST, peningkatan penggunaan CT Scan, dan aplikasi teknik non

operatif yang berhasil telah mengubah algoritma penatalaksanaan secara drastis, termasuk

indikasi operasi. Dua tanda utama yang merupakan indikasi absolute untuk dilakukannya

laparatomi pada trauma abdomen adalah peritonitis dan instabilitas hemodinamik. Bila

dijumpai salah satu atau kedua tanda tersebut, pasien harus segera dibawa ke ruang operasi

tanpa penundaan. Pasien dengan keterlibatan cedera kepala, cedera spinal kord, intoksikasi

berat, dan cedera lain yang signifikan yang membutuhkan operasi emergensi juga

dimasukkan dalam kelompok ini. Walaupun kebanyakan pasien ditangani dengan aman

melalui operasi yang rutin dilakukan, beberapa kebijaksanaan diizinkan untuk dilakukan

berdasarkan stabilitas hemodinamik, waktu yang diharapkan sampai pasien dievaluasi secara

lengkap, dan kemampuan untuk melakukan observasi ketat dan pemeriksaan tambahan.3

DAFTAR PUSTAKA

1. Fermann GJ. 2003. Abdominal Trauma. In: Hamilton GC, Sanders AB, Strange GR,

Trott AT. Hamilton: Emergency Medicine: An Approach to Clinical Problem-Solving.

2nd ed. Philadelphia: WB Saunders.

2. Debas HT. 2004. Gastrointestinal Surgery Pathophysiology and Management. New

York: Springer-Verlag.

3. Demetriades D, Velmahos GC.2008. Indications for and Techniques of Laparotomy.

In: Feliciano DV, Mattox KL. Moore EE. Trauma. 6th ed. New York: McGraw-Hill.

4. Udeani J. 2011.Blunt Abdominal Trauma Treatment & Management. Emedicine.

Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1980980-treatment#showall .

17

Page 18: Trauma Tajam Abdomen

5. Ferrada R, Rivera D, Ferrada P, 2009. Blunt Abdominal Trauma. In: Bland KI,

Buchler MW, Csendes A, Garden OJ, et al. General Surgery. 2nd ed. London:

Springer-Verlag.

6. Patel KR, Vaslef SN. 2007. Traumatic Injury. In: Jacobs DO. First Exposure General

Surgery. New York: Mc Graw-Hill.

7. Nathens AB. 2005. Blunt Abdominal Trauma. In: Schein’s Common Sense

Emergency Abdominal Surgery. Berlin: Springer.

8. Wessels H. 2007. Injuries to the Urogenital Tract. In: Souba WW, Fink MP,

Jurkovich GJ, Kaiser LR, et al. ACS Surgery Principle & Practice. 6th ed. WebMD

Inc.

18