BAB 1
PENDAHULUAN
Evaluasi daerah abdomen merupakan salah satu dari komponen yang paling kritis dari Initial Asessment penderita trauma. Selama primary survey, penilaian sirkulasi pada penderita dengan trauma tumpul meliputi pengenalan dini dari tempat perdarahan tersembunyi seperti misalnya dari abdomen. Bila dilakukan pemeriksaan seorang penderita hipotensi dengan luka tembus yang jauh dari abodmen, misalnya ekstremitas atas, penilaian formal daari abdomen dapat ditunda sampai sumber perdarahan yang kelihatan terkendali. Mekanisme cedera, lokasi cedera dan status hemodinamis penderita menentukan waktu penilaian abdomen.
Sampai saaat ini cedera abdomen yang luput dari diagnosis masih merupakan penyebab kematian yang dapat dicegah pada penderita degan trauma pada batang tubuh. Kebanyakan dokter menganggap bahwa ruptur rongga abdomen yang berongga atau perdarahan dari organ yang dapat menyebabkan peritonitis yang mudah dikenal, padahal penilaian penderita sering terganggu karena intoksikasi alkohol, penggunaan obat-obatan terlarang, cedera otak atau saraf tulang belakang, atau tulang panggul. Perdarahan yang jumlahnya banyak didalam rongga abomen kadangkala tidak memeberikan perubahan yang nyata. Penderita yang menderita cedera tumpul batang tubuh akibat pukulan langsung atau deselerasi atau cedera batang tubuh yang tembus, harus dianggap menderita trauma abdomen, baik organ visceral ataupun vaskuler.
BAB 2
1
ISI
2.1. Anatomi
Abdomen depan
Walaupun abdomen sebagian dibatasi oleh toraks bagian bawah, definisi abdomen
depan adalah bidang yang dibatasi dibagian superior oleh garis intermammaria, di inferior
dibatasi oleh kedua ligament inguinale dan simfisis pubis serta di lateral oleh kedua linea
aksilaris anterior.
Pinggang
Ini merupakan daerah yang berada diantara linea axilaris anterior dan linea axilaris
posterior, dari sela iga ke-6 di atas, ke bawah sampai crista iliaka. Di lokasi ini adanya
dinding otot abdomen yang tebal, berlainan dengan dinding otot pelindung terutama terhadap
luka tusuk.
Punggung
Daerah ini berada dibelakang dari linea axilaris posterior, dari ujung bawah scapula
sampai crista iliaka. Seperti halnya daerah flank, disini otot punggung dan otot paraspinal
menjadi pelindung terhadap trauma tajam
Anatomi dalam dari abdomen
Ada tiga region yang berlainan disini yaitu rongga peritoneal, rongga peritoneal dan
rongga pelvis. Rongga pelvis mengadung bagian-bagian dari rongga peritoneal maupun
retroperitoneal.
Rongga peritoneal
Rongga peritoneal menjadi 2 bagian, yaitu atas dan bawah. Rongga peritoneal atas
dilindungi oleh bagian bawah dari dinding thoraks yang mencakup diafragma, hepar, lien,
gaster, dan kolon transversum. Bagian ini juga disebut komponen thoracoabdominal dari
abdomen. Pada saat diafragma naik sampai sela iga ke IV pada waktu ekspirasi penuh, setiap
terjadi fraktur iga maupun luka tusuk tembus di bawah garis intermammaria bias mencederai
organ dalam abdomen. Rongga peritoneal bawah berisikan usus halus, bagian colon
ascendens dan colon descendens, colon sigmoid, dan pada wanita, organ reproduksi internal.
Rongga pelvis
2
Rongga pelvis, yang dilindungi oleh tulang- tulang pelvis, sebenarnya merupakan bagian
bawah dari rongga intraperitoneal, sekaligus bagian bawah dari rongga retroperitoneal.
Terdapat didalamnya rectum, vesika urinaria, pembuluh-pembuluh iliaka, dan pada wanita
organ reproduksi internal. Sebagaimana halnya bagian thoracoabdominal, pemeriksaan
organ-organ pelvis terhalang oleh bagian-bagian tulang diatasnya.
Rongga Retroperitoneal
Rongga yang potensial ini adalah rongga yang berada dibelakang dinding peritoneum
yang melapisi abdomen, dan didalamnya terdapat aorta abdominalis, vena cava superior,
sebagian besar dari duodenum, pancreas, ginjal dan ureter serta sebagian posterior dari colon
ascendens dan colon descendens, dan juga bagian rongga pelvis yang retroperitoneal. Cedera
pada organ retroperitoneal sulit dikenali karena daerah ini jauh dari jangkauan pemeriksaan
fisik yang biasa, dan juga cedera disini pada awalnya tidak akan memperilihatkan tanda
maupun gejala peritonitis. Disamping itu, rongga ini tidak termasuk dalam bagian yang
diperiksa sampelnya pada diagnostic peritoneal lavage (DPL).
Setiap area memiliki batas-batas torso anatomi, sebagai berikut:
Thoracoabdominal : Puting ke kosta ke-12, antara baris aksilaris anterior
Abdomen : Puting ke anus, antara baris aksilaris anterior
Flank : Antara ipsilateral baris aksilaris anterior dan posterior
Belakang : Di bawah ujung tulang belikat, antara garis aksila posterior
2.2. Etiologi
Luka tembak, dianggap tinggi kecepatan proyektil, adalah penyebab yang paling
umum (64%) menembus trauma perut, diikuti oleh luka tusukan (31%) dan luka senapan
(5%).
Trauma tembus abdomen mungkin hasil dari kekerasan. Kekerasan dalam rumah
tangga melintasi semua hambatan sosial ekonomi dan merupakan pertimbangan penting
dalam evaluasi luka yang diderita di rumah dan mereka dilaporkan melibatkan keluarga
pasien atau orang penting lainnya. Trauma tembus abdomen dapat terjadi secara iatrogenik.
Sebuah komplikasi peritoneal lavage ditemukan pada cedera usus yang mendasari, kandung
kemih, atau pembuluh besar seperti aorta atau vena cava. Namun, kejadian komplikasi
tersebut relatif kecil.
3
2.1. Mekanisme Trauma
Trauma Tajam
Luka tusuk ataupun luka tembak ( kecepatan rendah) akan mengakibatkan kerusakan
jaringan karena laserasi ataupun terpotong, luka tembak dengan kecepatan tinggi akan
menyebabkan transfer energy kinetic yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya
efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang
mengakibatkan kerusakan lainnya.
Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma (20%) dan
colon (15%). Luka tembak mengakibatkan kerusakan yang lebih besar, yang ditentukan oleh
jauhnya perjalanan peluru, dan berapa besar energi kinetiknya maupun kemungkinan
pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling
sering mengenai usus halus (50%), colon (40%), hepar (30%), dan pembuluh darah
abdominal (25%).
Teori-teori tradisional mengharuskan seluruh kasus luka tembak dengan kecurigaan
trauma intra-abdominal, memerlukan tindakan laparotomi eksplorasi. Beberapa penulis telah
mendeskripsikan pendekatan yang lebih tidak agresif untuk beberapa kasus pasien dengan
trauma tajam abdomen, termasuk luka tembak kecepatan rendah. Penatalaksanaan non-
operatif pada pasien dengan luka tembak dengan penetrasi peritoneum masih bersifat
kontroversial. Pasien yang menunjukkan tanda hipotensi walaupun telah mendapat resusitasi
cairan kristaloid membutuhkan laparotomi eksplorasi segera, antibiotika, dan booster tetanus.
Bagi pasien dengan hemodinamik stabil, setelah invasi intraperitoneal sudah dipastikan tidak
terjadi, penatalaksanaan konservatif terhadap luka superfisial abdomen dapat dilaksanakan.
Untuk semua kasus luka tembak abdomen, segera minta bantuan konsultasi bagian bedah.3
Beberapa institusi telah membuat kebijakan akan dilakukannya laparotomi untuk luka
tembak abdominal berdasarkan tingginya insidensi trauma organ pada kasus luka tembak.
Satu-satunya pengecualian kebijakan ini adalah pada pasien stabil dengan jalur peluru yang
tidak jelas, keraguan akan penetrasi peritoneal, atau luka pada regio torakoabdominal
sehingga penilaian selanjutnya diperlukan untuk mengetahui apakan trauma tersebut hanya
murni thorax. Pada kasus ini, laparoskopi sebaiknya dilakukan pada pasien yang telah
dipersiapkan untuk laparotomi dengan pengalaman dalam menilai luka tembak. 3
Pasien dengan luka tusuk membutuhkan resusitasi, booster tetanus, dan antibiotika
jika terjadi kecurigaan terlibatnya intraperitoneal. Seorang ahli bedah sebaiknya melakukan
seluruh prosedur ini untuk semua luka terutama luka superfisial dengan staf dan pencahayaan
4
yang adekuat. DPL, CT-scan, dan laparoskopi dapat digunakan. Bila keterlibatan peritoneal
telah dipastikan tidak terjadi, pasien dapat dipulangkan dengan instruksi luka lokal. Bila
peritoneum telah terlibat, berdasarkan teori tradisional, harus membutuhkan laparotomi
eksplorasi. Beberapa ahli bedah mulai meneliti beberapa pasien tanpa tanda pasti trauma
intraperitoneal pada pemeriksaan fisik atau identifikasi dengan menggunakan radiologi, dapat
diberikan penatalaksanaan yang hampir sama seperti pada luka tembak kecepatan rendah.
Pada kasus penetrasi peritoneal, laparatomi merupakan suatu keharusan, maka dari itu
pada kasus penetrasi peritoneal harus dilakukan laparoskopi atau eksplorasi luka pada ruang
operasi. 3
2.2. Manajemen
PEDOMAN:
Pengelolaan trauma ganda yang berat memerlukan kejelasan dalam menetapkan prioritas.
Tujuannya adalah segera mengenali cedera yang mengancam jiwa dengan Survey
Primer, seperti :
• Obstruksi jalan nafas
• Cedera dada dengan kesukaran bernafas
• Perdarahan berat eksternal dan internal
• Cedera abdomen
Jika ditemukan lebih dari satu orang korban maka pengelolaan dilakukan berdasar prioritas
(triage) Hal ini tergantung pada pengalaman penolong dan fasilitas yang ada.Survei ABCDE
(Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) ini disebut survei primer yang harus
selesai dilakukan dalam 2 - 5 menit. Terapi dikerjakan serentak jika korban mengalami
ancaman jiwa akibat banyak sistem yang cedera :
Airway
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dengan bebas ?
Jika ada obstruksi maka lakukan :
• Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
• Suction / hisap (jika alat tersedia)
• Guedel airway / nasopharyngeal airway
• Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral
Breathing
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas.
Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan :
5
• Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)
• Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada
• Pernafasan buatan
Berikan oksigen jika ada. Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika kondisi pasien tidak
stabil.
Sirkulasi
Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas
dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan :
• Hentikan perdarahan eksternal
• Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)
• Berikan infus cairan
Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons terhadap nyeri atau
sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale
AWAKE = A
RESPONS BICARA (verbal) = V
RESPONS NYERI = P
TAK ADA RESPONS = U
Cara ini cukup jelas dan cepat.
Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera yang mungkin
ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang, maka imobilisasi in-line harus
dikerjakan.
PENGELOLAAN JALAN NAFAS
Prioritas pertama adalah membebaskan jalan nafas dan mempertahankannya agar tetap
bebas.
1. Bicara kepada pasien
Pasien yang dapat menjawab dengan jelas adalah tanda bahwa jalan nafasnya bebas.
Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan jalan nafas buatan dan bantuan pernafasan.
Penyebab obstruksi pada pasien tidak sadar umumnya adalah jatuhnya pangkal lidah ke
belakang. Jika ada cedera kepala, leher atau dada maka pada waktu intubasi trakhea
tulang leher (cervical spine) harus dilindungi dengan imobilisasi in-line.
6
2. Berikan oksigen dengan sungkup muka (masker) atau kantung nafas ( selfinvlating)
3. Menilai jalan nafas
Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :
• Suara berkumur
• Suara nafas abnormal (stridor, dsb)
• Pasien gelisah karena hipoksia
• Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada paradoks
• Sianosis
Waspada adanya benda asing di jalan nafas. Jangan memberikan obat sedativa pada pasien
seperti ini.
4. Menjaga stabilitas tulang leher
5. Pertimbangkan untuk memasang jalan nafas buatan
Indikasi tindakan ini adalah :
• Obstruksi jalan nafas yang sukar diatasi
• Luka tembus leher dengan hematoma yang membesar
• Apnea
• Hipoksia
• Trauma kepala berat
• Trauma dada
• Trauma wajah / maxillo-facial
Obstruksi jalan nafas harus segera diatasi.
PENGELOLAAN NAFAS (VENTILASI )
Prioritas kedua adalah memberikan ventilasi yang adekuat.
• Inspeksi / lihat frekwensi nafas (LOOK)
Adakah hal-hal berikut :
. Sianosis
. Luka tembus dada
. Flail chest
. Sucking wounds
. Gerakan otot nafas tambahan
• Palpasi / raba (FEEL)
. Pergeseran letak trakhea
. Patah tulang iga
7
. Emfisema kulit
. Dengan perkusi mencari hemotoraks dan atau pneumotoraks
• Auskultasi / dengar (LISTEN)
. Suara nafas, detak jantung, bising usus
. Suara nafas menurun pada pneumotoraks
. Suara nafas tambahan / abnormal
• Tindakan Resusitasi
Jika ada distres nafas maka rongga pleura harus dikosongkan dari udara dan darah dengan
memasang drainage toraks segera tanpa menunggu pemeriksaan sinar X.
Jika diperlukan intubasi trakhea tetapi sulit, maka kerjakan krikotiroidotomi.
Catatan Khusus
• Jika dimungkinkan, berikan oksigen hingga pasien menjadi stabil
• Jika diduga ada tension pneumotoraks, dekompresi harus segera dilakukan dengan
jarum besar yang ditusukkan menembus rongga pleura sisi yang cedera. Lakukan
pada ruang sela iga kedua (ICS 2) di garis yang melalui tengah klavikula. Pertahankan
posisi jarum hingga pemasangan drain toraks selesai.
• Jika intubasi trakhea dicoba satu atau dua kali gagal, maka kerjakan krikotiroidotomi.
Tentu hal ini juga tergantung pada kemampuan tenaga medis yang ada dan
kelengkapan alat.
Jangan terlalu lama mencoba intubasi tanpa memberikan ventilasi 7
PENGELOLAAN SIRKULASI
Prioritas ketiga adalah perbaikan sirkulasi agar memadai.
‘Syok’ adalah keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Pada pasien
trauma keadaan ini paling sering disebabkan oleh hipovolemia.
Diagnosa syok didasarkan tanda-tanda klinis :
Hipotensi, takhikardia, takhipnea, hipothermi, pucat, ekstremitas dingin, melambatnya
pengisian kapiler (capillary refill) dan penurunan produksi urine. (lihat Appendix-3)
Jenis-jenis syok :
Syok hemoragik (hipovolemik): disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan
tubuh. Jumlah darah yang hilang akibat trauma sulit diukur dengan tepat bahkan pada
trauma tumpul sering diperkirakan terlalu rendah. Ingat bahwa :
• Sejumlah besar darah dapat terkumpul dalam rongga perut dan pleura.
• Perdarahan patah tulang paha (femur shaft) dapat mencapai 2 (dua) liter.
8
• Perdarahan patah tulang panggul (pelvis) dapat melebihi 2 liter
Syok kardiogenik : disebabkan berkurangnya fungsi jantung, antara lain akibat :
• Kontusioo miokard
• Tamponade jantung
• Pneumotoraks tension
• Luka tembus jantung
• Infark miokard
Penilaian tekanan vena jugularis sangat penting dan sebaiknya ECG dapat direkam.
Syok neurogenik : ditimbulkan oleh hilangnya tonus simpatis akibat cedera sumsum
tulang belakang (spinal cord). Gambaran klasik adalah hipotensi tanpa diserta
takhikardiaaatau vasokonstriksi.
Syok septik : Jarang ditemukan pada fase awal dari trauma, tetapi sering menjadi penyebab
kematian beberapa minggu sesudah trauma (melalui gagal organ ganda). Paling sering
dijumpai pada korban luka tembus abdomen dan luka bakar.
Penatalaksanaan trauma tajam abdomen :
1. Ikuti ABC, dan resusitasi pasien sesuai dengan temuan dari survei primer.
2. Menilai perut mencari entri luka, perdarahan dan peritoneum temuan. Cedera dada dapat
dikaitkan dengan menembus perut cedera, karena itu, pastikan tanda dan gejala yang jelas
dipahami.
a. Tentukan apakah ada gejala atau tanda-tanda sugestif langsung kebutuhan untuk intervensi
bedah.
i. Herniated isi perut.
ii. Besar pendarahan dari luka.
iii. Jelas tanda-tanda peritoneal konsisten dengan kental berongga cedera atau
hemoperitoneum.
iv. Tanda-tanda ketidakstabilan hemodinamik yang terkait dengan perut cedera.
v. Tanda iskemia ekstremitas bawah sugestif vaskular cedera dengan nyeri atau bukti
lain.
vi. Semua luka tembak intraperitoneal penetrasi atau cedera organ retroperitoneal.
b. Jika tanda-tanda di atas hadir, kemudian mengambil pasien untuk pembedahan segera
untuk laparotomi eksplorasi.
9
c. Untuk luka tusuk, jika tidak ada tanda-tanda di atas hadir, menentukan lokasi luka dan
mengklasifikasikan sebagai:
i. Anterior.
ii. Thoracoabdominal.
iii.Posterior atau panggul.
d. Jika luka tusuk adalah anterior :
i. Menentukan apakah luka memasuki rongga peritoneum oleh visual menjelajahi
luka. Hal ini dilakukan dengan infiltrasi anestesi lokal, kemudian prepping dan
mengalungkan luka. Luka diperpanjang jika perlu untuk memungkinkan visual
pemeriksaan luka untuk menentukan kedalaman. Liberal penggunaan retraktor dan
asisten akan memfasilitasi luka eksplorasi.
ii. Jika luka tidak menembus fasia anterior, maka luka dapat debridement, irigasi dan
tertutup. Pasien mungkin akan habis jika tidak ada luka lain ada.
iii. Jika luka tidak menembus fasia anterior, laparotomi harus dipertimbangkan. Jika
pasien tidak memiliki bukti iritasi peritoneal, maka Diagnostik Peritoneal lavage
(DPL) harus dilakukan. Sebelum DPL, kateter Foley dan tabung NG harus
ditempatkan. Laparotomi ditunjukkan dengan gross hematuria atau darah dari
tabung NG. Ambang batas untuk sebuah DPL dalam situasi adalah RBC 5000/mm.
Cairan lavaged dari kateter Foley, tabung NG atau tabung dada juga
mengamanatkan eksplorasi. Semua pasien dengan penetrasi peritoneum yang
tidak diambil untuk operasi harus diakui selama 24 jam observasi :
e. Jika luka thoracoabdominal
i. Mendapatkan sinar-X dada dengan spidol untuk menentukan luka adanya cedera
dada dan untuk menentukan hubungan masuk luka pada diafragma.
ii. Jika luka mungkin bisa menembus diafragma, pertimbangkan DPL dengan ambang
batas untuk jumlah RBC 5000/mm.
f. Jika luka posterior atau panggul :
i. Masukkan kateter Foley untuk menentukan adanya hematuria.
ii. Mendapatkan tiga kontras CT scan untuk menentukan cedera dengan organ
retroperitoneal. Sebaliknya tiga berarti kontras diberikan IV, melalui mulut atau
10
dengan tabung NG, dan rektum per. Pertimbangan dapat diberikan untuk
menempatkan kontras-direndam spons ke dalam luka untuk membantu pelokalan
cedera.
g. Untuk luka panggul yang mungkin telah dilalui rektum:
i. Lakukan anoskopi dan sigmoidoskopi untuk menentukan
adanya cacat mukosa.
ii. Pertimbangkan washout pengalihan, drainase dan rektal jika cedera
ditemukan.
h. Untuk semua pasien dibawa ke operasi untuk laparotomi eksplorasi:
i. Setelah keputusan untuk pergi ke OR adalah dibuat, kasus muncul dijadwalkan
oleh ahli bedah trauma harus di OR dalam waktu 30 menit.
ii. Pastikan pasien yang diketik dan crossmatched untuk darah dan akan segera
tersedia.
iii. Mengadministrasikan antibiotik profilaksis untuk flora usus.
2.3.2. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan fisik Serial memiliki kepekaan terbaik dan nilai prediktif negatif semua
modalitas untuk evaluasi trauma penetrasi abdomen. Pasien untuk observasi selama 24 jam.
Selama ini pasien telah sering (setiap jam), pemeriksaan rutin status hemodinamik mereka.
Perut ini diperiksa secara rutin untuk tanda-tanda peritonitis berkembang. Idealnya dokter
bedah yang sama harus memeriksa pasien setiap kali. Jika hal ini tidak mungkin, selama
periode penyerahan kedua ahli bedah harus memeriksa pasien pada saat yang sama sehingga
mereka setuju pada status saat ini dari perut dan apakah telah ada kemajuan dalam gejala
apapun. Waktu pemeriksaan bervariasi literatur inthe, tapi mungkin harus mulai lebih sering
dan kemudian menurun dari waktu ke waktu. Urutan menyarankan pemeriksaan mungkin di
jam 1, 4, 12 dan 24 setelah penilaian awal. Beberapa penulis merekomendasikan pemeriksaan
setiap empat jam.
Jika pasien mengembangkan tanda-tanda ketidakstabilan hemodinamik atau
peritonitis selama periode pengamatan, laparotomi adalah dilakukan. Jika pasien dengan baik
keesokan harinya mereka mulai diet normal, dan dibuang begitu diet ditoleransi dan mereka
telah menyelesaikan periode observasi.
11
Pasien yang tidak mengembangkan terang peritonitis, tetapi yang memiliki gejala
lokal terus-menerus dari rasa sakit dan kelembutan, mungkin dengan demam atau takikardia
pada 24 jam harus dievaluasi oleh orang lain modalitas: CT Scan, laparoskopi atau
laparotomi.
Kelemahan dari ujian physicial seri terutama kebutuhan untuk mengakui semua
pasien dengan cedera tembus, dan kebutuhan untuk pemeriksaan hemodinamik dan fisik
sering. Ini biasanya mengharuskan pasien untuk berada dalam pengaturan jenis
ketergantungan yang tinggi, dan membutuhkan tubuh di-rumah ahli bedah untuk melakukan
evaluasi serial.
Walaupun teknologi sudah maju, di mana tidak diragukan lagi kemampuannya dalam
mengevaluasi abdomen, pemeriksaan klinis masih pemeriksaan yang paling penting.
Stabilitas hemodinamik adalah sebuah masa yang sering digunakan namun masih belum
dipahami secara lebih jelas. Pada tahap awal, status hemodinamik diperiksa, seperti tekanan
darah, denyut jantung, dan monitor keluaran urin, penghitungan kadar hemoglobin, dan
evaluasi kulit dan waktu pengisian kapiler. Walaupun informasi-informasi tersebut sangat
penting, harus diingat bahwa penggunaan informasi itu terbatas dalam penilaian status
hemodinamik. Hipotensi dapat terjasi pada cedera spinal kord tanpa adanya kehilangan darah.
Hipertensi dapat terjadi pada kondisi kehilangan darah akibat peningkatan tekanan
intracranial dan reflex Cushing. Tekanan darah 110 mmHg mungkin normal pada laki-laki
usia 25 tahun, cukup tinggi pada bayi bayi, dan rendah pada wanita 70 tahun yang hipertensi.
Denyut jantung dapat tinggi pada penyebab yang tidak berhubungan dengan perdarahan,
seperti nyeri atau ansietas. Dengan kata lain, denyut jantung normal atau rendah tidak dapat
menyingkirkan perdarahan, terutama pada pasien-pasien dengan cedera spinal kord,
intoksikasi kokain kronik, atau pengobatan beta blocker. Hipotensi paradoksal terjadi pada
29% padien trauma dengan hipotensi. Untuk alasan-alasan ini deskripsi yang lebih tepat dari
status hemodinamik pasien sangat diharapkan. Kateterisasi arteri pulmonal bukanlah hal
yang dapat dikerjakan dengan mudah di lokasi trauma. Sekarang, teknologi non invasive
dapat memonitor curah jantung, volume sekuncup, dan tekanan oksigen perkutan. Alat-alat
portabel dapat dihubungkan ke pasien dengan menggunakan tempelan sederhana, seperti lead
EKG, dan memonitor status hemodinamik dan perfusi oksigen ke jaringan walaupun dalam
kondisi post trauma yang sangat awal. Sebagai kesimpulan, instabilitas hemodinamik
merupakan alasan yang tepat untuk melakukan laparatomi sepanjang dokter mengenali
12
keterbatasan tanda-tanda vital dan elemen tambahan lain dalam pengambilan keputusan untuk
meningkatkan akurasinya.3
Nyeri tekan abdomen yang difus merupakan indikasi utama lain dalam melakukan
laparatomi. Penting untuk dibedakan nyeri tekan jaringan lunak permukaan, seperti pada luka
tusuk atau sabuk pengaman, dan nyeri tekan dalam yang disebabkan oleh cedera organ
abdomen yang sesungguhnya. Pasien-pasien yang mengalami trauma bisa jadi tidak dapat
dilakukan evaluasi nyeri pada abdomen dikarenakan keterlibatan cedera kepala, cedera spinal
kord, dan intoksikasi.3
Priorities
Patients with significant penetrating abdominal injury tend to fall into 3 major categories:
Presentation Injury TypeManagement
priority
Pulseless Major vascular injury
EmergencylaparotomyConsider EDthoracotomy
Haemodynamicallyunstable
Vascular and/or solidorgan injury
AND/OR
Haemorrhage fromother sites
Identify & controlhaemorrhage
HaemodynamicallyNormal
Hollow viscus injuryPancreas or renal
Identify presence ofgastrointestinal,diaphragmatic orretroperitonealinjury
2.2.3. Pemeriksaan Penunjang
Ada tiga pemeriksaan yang dapat membantu ahli bedah pada pasien dengan trauma
tumpul abdomen, yaitu ultrasonografi (FAST-Focused Abdominal Sonography for Trauma),
13
CT Scan, dan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL). Hanya DPL dan FAST yang dilakukan
pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil.
1. FAST (Focused Abdominal Sonography for Trauma)
FAST dapat dilakukan oleh ahli bedah, dokter unit gawat darurat atau radiologis.
Pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan ultrasound abdomen yang rutin dilakukan.
Pemeriksaan ini bermaksud unuk mengidentifikasi cairan pada empat area berikut:
a. Kantong Morrison (hepatorenal) pada abdomen kuadran kanan atas
b. Resesus splenorenal pada abdomen kuadran kiri atas
c. Pelvis
d. Kantong perikardial.
Penting untuk diketahui bahwa pengecualian untuk kantong perikardial, minimal 300
cc cairan dijumpai agar dapat dideteksi dengan FAST. Pemeriksaan pericardium rutin
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan tamponade perikardial. Dijumpainya cairan
bebas pada kavum abdomen pada pasien stabil merupakan indikasi untuk laparatomi urgensi.
Dengan memahami bahwa tidak ada pemeriksaan yang sempurna, pemeriksaan FAST
sebaiknya diulangi atau DPL dilakukan pada kondisi pasien hipotensi tanpa sebab yang jelas
dan bila pemeriksaan awal FAST negatif.3
2. DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage)
DPL lebih jarang dilakukan dengan tersedianya FAST pada pasien yang tidak stabil
dan CT Scan pada pasien stabil. Walau begitu, pemeriksaan ini murah dan cepat, walaupun
sedikit invasif. Hasil yang dijumpai pada pemeriksaan DPL adalah sebagai berikut:
a. DPL positif gross artinya dijumpai darah yang diaspirasi dari kateter DPL sejak
dimasukkan.
b. DPL mikroskopis positif, biasanya merujuk pada eritrosit yang dijumpai > 100.000/uL.
Pada pasien-pasien yang tidak stabil dengan DPL gross positif merupakan indikasi
untuk operasi. Jika hanya positif secara mikroskopis, sumber kehilangan darah biasanya pada
abdomen, tetapi sumber perdarahan lain (contoh pelvis) sebaiknya dipikirkan.
Karena DPL sangat sensitif terhadap perdarahan dalam jumlah yang kecil, operasi
pada pasien dengan DPL positif secara mikroskop akan menyebabkan angka laparatomi non-
terapeutik menjadi tinggi. Jika cairan DPL terlihat mengalir melalui kateter urin atau dari
selang toraks, pasien sebaiknya menjalani operasi laparatomi sebagai kecurigaan rupture buli-
buli atau diafragma. Kasus seperti itu memang jarang, namun tetap harus dipikirkan. Sama
halnya jika isi usus dijumpai pada saat aspirasi pada cairan peritoneal, laparatomi untuk
14
cedera usus adalah mandatori. Dijumpainya bakteri pada pewarnaan Gram juga memberi
kesan cedera usus, atau lebih sering lagi, masuknya kateter DPL (atau jarum) ke dalam usus.
Karena itu, DPL merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk cedera usus dan
karena itu, pemeriksaan ini merupakan pilihan pada pasien-pasien di mana kemungkinan
cedera usus cukup tinggi-umumnya pada pasien-pasien dengan tanda sabuk keselamatan.3
3. CT Scan
Pada pasien stabil, CT Scan merupakan pemeriksaan pilihan. Tergantung pada
protokol institusi, CT Scan mungkin menjadi pemeriksaan penunjang awal, atau bisa juga
diikuti dengan FAST atau DPL.
Dari CT Scan dapat diidentifikasi sumber perdarahan baik dari kavum abdomen
maupun retroperitoneal (terbatas pada Fast dan DPL). Jika terdapat laserasi hepatik atau
limpa, informasi dapat diintegrasikan kepada gambaran klinis dan penilaian dibuat pada
pasien yang akan dicoba untuk penanganan non-operatif. Perkembangan teknologi CT Scan
telah meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dari pemeriksaan ini untuk mengidentifikasi
cedera pada usus, yang biasanya ditunjukkan melaui helaian mesenterium, cairan
mesenterium, penebalan usus dan/atau udara ekstra lumen.3
Berikut ini merupakan alogaritma untuk penilaian terhadap pasien dengan trauma
tumpul abdomen.
15
Gambar Alogaritma untuk penilaian terhadap pasien dengan trauma tumpul abdomen.
*Pasien mungkin membutuhkan angioembolisasi pelvis post operatif. ┼ Jika interval waktu
dari cedera sangat singkat, pemeriksaan ulang FAST lebih dahulu dilakukan untuk
mengeluarkan pasien dari unit gawat darurat atau dalam satu jam setelah pasien tiba.3
2.2.4. Indikasi Laparatomi
Perkembangan pada dua dekade terakhir adalah pengunaan penanganan nonoperatif
untuk luka organ visera padat, yang dipandu respon klinis dan pencitraan. Bukti yang ada
menunjukkan bahwa penanganan nonoperatif pada anak dan dewasa aman dan hasilnya lebih
baik dibandingkan laparotomi pada kasus tertentu. Kandidat untuk penanganan nonoperatif
adalah pada pasien tanpa perdarahan aktif dari luka visera padat tanpa bukti luka organ
berongga atau mesenterik. Jika keputusan dibuat untuk mengobservasi dan melakukan
penanganan nonoperatif, monitor ketat tanda vital dan lakukan pemeriksaan fisik berulang.
Peningkatan temperatur dan frekuensi napas dapat menandakan perforasi organ berongga
atau pembentukan abses. Nadi dan tekanan darah dapat berubah pada sepsis atau perdarahan
intraabdomen. Pemeriksaan laboratorium tambahan, seperti leukosit, hemoglobin dan
hematokrit dan kadar asam laktat dan defisit basa dapat menentukan jika tindakan nonoperatif
gagal.3
16
Data yang tidak lengkap di ruangan gawat darurat, pasien yang tidak dapat dievaluasi,
dan cedera multipel dapat menyulitkan pengambilan keputusan untuk melakukan operasi atau
observasi pada pasien. Laparatomi yang terlambat berhubungan dengan morbiditas yang
serius. Dengan adanya FAST, peningkatan penggunaan CT Scan, dan aplikasi teknik non
operatif yang berhasil telah mengubah algoritma penatalaksanaan secara drastis, termasuk
indikasi operasi. Dua tanda utama yang merupakan indikasi absolute untuk dilakukannya
laparatomi pada trauma abdomen adalah peritonitis dan instabilitas hemodinamik. Bila
dijumpai salah satu atau kedua tanda tersebut, pasien harus segera dibawa ke ruang operasi
tanpa penundaan. Pasien dengan keterlibatan cedera kepala, cedera spinal kord, intoksikasi
berat, dan cedera lain yang signifikan yang membutuhkan operasi emergensi juga
dimasukkan dalam kelompok ini. Walaupun kebanyakan pasien ditangani dengan aman
melalui operasi yang rutin dilakukan, beberapa kebijaksanaan diizinkan untuk dilakukan
berdasarkan stabilitas hemodinamik, waktu yang diharapkan sampai pasien dievaluasi secara
lengkap, dan kemampuan untuk melakukan observasi ketat dan pemeriksaan tambahan.3
DAFTAR PUSTAKA
1. Fermann GJ. 2003. Abdominal Trauma. In: Hamilton GC, Sanders AB, Strange GR,
Trott AT. Hamilton: Emergency Medicine: An Approach to Clinical Problem-Solving.
2nd ed. Philadelphia: WB Saunders.
2. Debas HT. 2004. Gastrointestinal Surgery Pathophysiology and Management. New
York: Springer-Verlag.
3. Demetriades D, Velmahos GC.2008. Indications for and Techniques of Laparotomy.
In: Feliciano DV, Mattox KL. Moore EE. Trauma. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
4. Udeani J. 2011.Blunt Abdominal Trauma Treatment & Management. Emedicine.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1980980-treatment#showall .
17
5. Ferrada R, Rivera D, Ferrada P, 2009. Blunt Abdominal Trauma. In: Bland KI,
Buchler MW, Csendes A, Garden OJ, et al. General Surgery. 2nd ed. London:
Springer-Verlag.
6. Patel KR, Vaslef SN. 2007. Traumatic Injury. In: Jacobs DO. First Exposure General
Surgery. New York: Mc Graw-Hill.
7. Nathens AB. 2005. Blunt Abdominal Trauma. In: Schein’s Common Sense
Emergency Abdominal Surgery. Berlin: Springer.
8. Wessels H. 2007. Injuries to the Urogenital Tract. In: Souba WW, Fink MP,
Jurkovich GJ, Kaiser LR, et al. ACS Surgery Principle & Practice. 6th ed. WebMD
Inc.
18