Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA KEJANG DEMAM a. Definisi Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38% ) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Biasanya terjadi pada anak umur 6 bulan-5 tahun. Anak pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Apabila kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. (Konsensus kejang demam 2006) b. Klasifikasi Klasifikasi kejang demam umumnya dibagi menjadi dua golongan. Kriteria di bawah ini dikemukakan oleh berbagai pakar dimana terdapat perbedaan kecil dalam hal penggolongan tersebut. Livingston membagi kejang demam menjadi dua golongan yaitu : a. Kejang demam sederhana b. Epilepsi yang dicetuskan oleh demam

description

kejang demam kompleks

Transcript of Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

Page 1: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

KEJANG DEMAM

a. Definisi

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh

(suhu rektal diatas 38% ) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Biasanya

terjadi pada anak umur 6 bulan-5 tahun. Anak pernah mengalami kejang tanpa

demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam.

Apabila kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk

dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun

mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi

SSP, epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. (Konsensus kejang demam

2006)

b. Klasifikasi

Klasifikasi kejang demam umumnya dibagi menjadi dua golongan. Kriteria di

bawah ini dikemukakan oleh berbagai pakar dimana terdapat perbedaan kecil dalam

hal penggolongan tersebut. Livingston membagi kejang demam menjadi dua golongan

yaitu :

a. Kejang demam sederhana

b. Epilepsi yang dicetuskan oleh demam

Ciri kejang demam sederhana menurut Livingston yaitu kejang bersifat sederhana,

lama kejang berlangsung singkat ( < 15 menit ), usia waktu kejang demam pertama

muncul < 6 tahun, frekuensi serangan 1 – 4 kali dalam satu tahun, EEG normal.

Kejang demam yang tidak sesuai dengan ciri-ciri tersebut oleh Livingston disebut

sebagai epilepsi yang dicetuskan oleh demam.

Menurut Fukuyama, kejang demam dibagi menjadi :

a. Kejang demam sederhana

b. Kejang demam kompleks

Kejang demam sederhana menurut Fukuyama harus memenuhi semua kriteria berikut

yaitu :

Page 2: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

1. Di keluarga penderita tidak ada riwayat epilepsi

2. Sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun

3. Serangan kejang demam yang pertama terjadi antara usia 6 bulan – 6 tahun

4. Lamanya kejang berlangsung tidak lebih dari 20 menit

5. Kejang tidak bersifat fokal

6. Tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca kejang

7. Sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologis atau abnormalitas

perkembangan

8. Kejang tidak berulang dalam waktu singkat

Bila tidak memenuhi kriteria di atas, maka digolongkan ke dalam kejang demam

komplek.

Menurut ILAE, Commision on Epidemiology and prognosis :

1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)

Berlangsung singkat (< 15 menit)

Umumnya akan berhenti sendiri

Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal

Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam

Merupakan 80% diantara seluruh kejang demam

2. Kejang demam komplek (complex fibrile seizure)

Kejang lama > 15 menit

Kejang fokal satu sisi atau kejang umum didahului kejang parsial

Berulang atau lebih dari 1 x dalam 24 jam

Kejang lama adalah kejang yang berlangsung > 15 menit atau kejang berulang

lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak sadar. Kejang lama terjadi pada

8% kejang demam.

Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi atau kejang umum yang didahului

kejang parsial. Kejang berulang dalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2

bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang

mengalami kejang demam

Perbedaan kejang demam dengan kejang disertai demam (Proses intrakranial)

Kejang demam Kejang disertai demam

Faktor predisposisi genetik Besar Kecil / tidak bermakna

Lama kejang 1-3 min, jarang kejang lama > 10 mnt

Page 3: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

Manifestasi klinis pada saat

kejang

Pada saat demam,

sebagian besar krn ISPA

Infeksi SSP

(ensefalitis,meningitis)

Kelainan patologi yang

mendasari

Tidak ada Perubahan vaskular dan

edema

Status neurologi Post-iktal

(paralisis Todds)

Jarang Sering

c. Insiden

2-4% dari populasi anak 6 bulan - 4 tahun

80 – 90% merupakan kejang demam sederhana

20% kasus kejang demam kompleks

8% berlangsung > 15’

16% berulang dalam waktu 24 jam

2 – 4% berkembang menjadi epilepsy

d. Penyebab Kejang Demam

Anak-anak pada usia kurang dari 6 tahun mempunyai ambang batas terhadap

kejang yang relatif lebih rendah. Sehingga apabila terjadi demam, anak-anak mudah

terjadi kejang. Risiko terjadinya kejang demam meningkat apabila terdapat anggota

keluarga (orang tua atau saudara) yang pernah kejang demam.

Sedangkan demam pada anak-anak biasanya disebabkan oleh infeksi virus atau

bakteri. Sebagian besar demam pada anak-anak disebabkan infeksi saluran napas atas,

diare, otitis media, dan infeksi saluran kemih.

e. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan, tapi dapat dikerjakan untuk

mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab, seperti darah perifer,

elektrolit dan gula darah.

Page 4: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

2. Pungsi Lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau

menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis

adalah 0,6%-6,7%.Pada bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas secara

klinis, oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:

a. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan

b. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan

c. Bayi >18 bulan tidak rutin

Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

3. Elektroensefalografi

Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulang

kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang

demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan.

Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak

khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau

kejang demam fokal.

4. Pencitraan

Foto X-ray kepala dan neuropencitraan seperti CT atau MRI jarang sekali

dikerjakan, tidak rutin dan atas indikasi, seperti

a. kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)

b. parese nervus VI

c. papiledema

Page 5: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

f. Penatalaksanaan

Bagan Penghentian Kejang Demam

Page 6: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

Antikonvulsan pada saat kejang demam

Pemberian diazepam rektal pada saat kejang sangat efektif dalam menghentikan

kejang. Diazepam rektal diberikan segera saat kejang berlangsung, dan dapat

diberikan di rumah. Diazepam rektal yang dianjurkan adalah 0,3-0,5mg/kgBB. Untuk

memudahkan dapat digunakan dosis: 5 mg untuk berat badan kurang dari 10 kg, 10

mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk

anak di bawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun.

Kejang yang belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulang lagi dengan

cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila 2 kali dengan diazepam

masih kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dan disini dapat diberikan diazepam

intravena dengan dosis 0,3-05 mg/kgBB.

Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis

awal 10-20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50

mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kgBB/hari, yaitu 12

jam setelah dosis awal.

Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang

intensif (ICU).

Pemberian obat pada saat demam

Pemberian antipiretik saat demam dianjurkan, walaupun tidak ditemukan bukti

bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang demam.

Antipiretik diberikan setelah kejang teratasi. Dosis acetaminofen adalah 10-15

mg/kgBB/kali, diberikan 4x sehari dan max pemberian 5x. Dosis ibuprofen adalah 5-

10 mg/kgBB/kali, diberikan 3-4x sehari

Pemberian Anti Konvulsan dengan diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam

saat demam dapat menurunkan resiko berulangnya kejang, begitu pula dengan

diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu > 38,5⁰ C.

Pemberian obat rumatan

Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam

menurunkan resiko berulangnya kejang. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat

meskipun dapat menimbulkan hepatitis namun insidennya kecil.

Page 7: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

Dosis asam valproat 15-40 mg/kgbb/hari dalam 2-3 dosis, fenobarbital 3-4

mg/kgbb/hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam

menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu) :

- Kejang lama lebih dari 15 menit

- Adanya kelainan neurologist yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya

hemiparesis,cerebral palsy, retardasi mental, hidrosephalus

- Kejang fokal

- Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :

* Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.

* Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan

* Kejang demam 4x atau lebih per tahun.

Lama pengobatan rumat

Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara

bertahap selama 1-2 bulan.

Obat untuk menghentikan kejang akut dan mencegah kejang berikutnya.

Anti Konvulsan Dengan Masa Kerja Singkat,

Penghentian Kejang AkutObat Pemberian Dosis Ulangan Kecepatan

pemberian

komentar

Diazepam IV,IO 0,3 mg/kg

Maks 10 mg

5 menit < 2mg/menit Tanpa

dilarutkan

Diazepam Rectal 0,5

mg/kg

Maks 10

mg

Tiap 5-

10menit

<2mg/menit

Lorazepa

m

IV, SL,

IO

0,1 mg/kg

Max 4mg

2x tiap 10

menit

Harus

dilarutkan

Hipotensi,

depresi nafas

midazolam IM 0,2 mg/kg

max 10mg

2x tiap 5-

10menit

Hipotensi,de

presi nafas

fenitoin IV,IO 20mg/kg Tambahkan 1 mg/menit Hipotensi,

Page 8: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

max 100mg

(30 mg/kg)

5mg/kg iv

bila kejang

aritmia, harus

larut non

glukosa

fenobarbital IV 20mg/kg

max 600mg

(30mg/kg

Pilihan

utama

neonatus

depresi nafas

terutama

setelah

diazepam

Bila telah dengan fenitoin dan fenobarbital dapat diberika lagi 5 mg/kg. Dosis

berikutnya berdasarkan kadar antikonvulsan darah

• Iv = intravena, im = intramuskular, SL = sublingual, PR per rektum, IO = intraoseus

g. Edukasi

- Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya dapat teratasi

- Memberikan cara penanganan kejang

* Tetap tenang dan tidak panik

* Kendorkan pakaian yang ketat terutama sekitar leher

* Bila tidak sadar posisikan terlentang dengan kepala miring, bersihkan muntahan

atau lendir di mulut atau hidung, jangan masukkan sesuatu ke dalam mulut

* Ukur suhu, catat berapa lama dan bentuk kejang

* Tetap bersama pasien selama kejang

* Beri diazepam rektal hanya saat kejang

* Bawa ke dokter atau pelayanan kesehatan lain

- Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali

h. Prognosis

a. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis

Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah

dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada

pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan

kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi

pada kasus dengan kejang lama/ kejang berulang baik umum/ fokal

Page 9: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

b. Kemungkinan mengalami kematian

Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan

c. Kemungkinan berulangnya kejang demam

Factor resiko berulangnya kejang demam adalah

1. Riwayat kejang demam pada keluarga

2. Usia kurang dari 12 bulan

3. Temperature yang rendah saat kejang

4. Cepatnya kejang setelah demam

Bila seluruh factor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam

adalah 80% sedangkan bila tidak terdapat factor tersebut diatas hanya 10-15%.

Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.

Factor risiko terjadinya epilepsy:

1. Kelainan neurologis/ perkembangan yang jelas sebelum kejang demam

pertama

2. Kejang demam komplek

3. Riwayat epilepsy pada orang tua/ saudara kandung

Masing-masing factor resiko meningkatkan kemungkinan terjadiya epilepsy 4-

6%, kombinasi factor resiko dapat meningkatkan kemungkinan epilepsy menjadi

10-49%. Kemunginan menjadi epilepsy tidak dapat dicegah dengan pemberian

obat rumatan kejang demam.

Page 10: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

TYPHOID

A. Definisi

Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enteric fever, Eberth disease) adalah

penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi pada usus halus

(terutama didaerah illeosekal) dengan gejala demam selama 7 hari atau lebih,

gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.

B. ETIOLOGI

Penyakit demam tifoid disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella Typhi yang

mana merupakan kuman gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak

berspora, bersifat aerob.

S. typhi mempunyai tiga macam antigen, yaitu:

Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar)

Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil.

Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan

melindungi O antigen terhadap fagositosis

Dalam serum penderita terdapat zat anti (agglutinin) terhadap ketiga macam antigen

tersebut.

C. MANIFESTASI KLINIS

Gejala demam tifoid pada anak-anak biasanya lebih ringan jika

dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama

dalam masa inkubasi dapat ditemukan gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia,

malaise, nyeri kepala, batuk tidak berdahak, bradikardi. Kemudian menyusul

gejala-gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :

1. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris

remittent dan tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh cenderung

meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada

sore hari dan malam hari. Dalam minggu II, penderita terus berada dalam

keadaan demam. Dalam minggu III suhu berangsur-angsur turun dan normal

kembali pada akhir minggu III.

2. Gangguan saluran cerna

Page 11: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

Pada mulut didapatkan nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah- pecah

(rhagaden), lidah ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue)., ujung dan

tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya kembung

(meteorismus). Hepar dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan.

Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih tua dan remaja, akan

tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda.

3. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa dalam berupa apatis

sampai somnolen.

Disamping gejala-gejala diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat

ditemukan gejala-gejala lain:

- Roseola atau rose spot; pada punggung, perut bagian atas dan dada bagian

bawah dapat ditemukan rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan

diameter 2-4 mm yang akan hilang dengan penekanan dan sukar didapat pada

orang yang berkulit gelap. Rose spot timbul karena embolisasi bakteri dalam

kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama demam.

- Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relatif yang biasanya

ditemukan pada awal minggu ke II.

D. PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI

Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui fecal-oral

transmittion melalui orang ke orang maupun melalui perantaraan makanan dan

minuman yang tidak higienis yang terkontaminasi dengan feces atau urine,

sesampainya di lambung sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung,

dan sebagian lagi masuk usus halus. Penyakit yang timbul tergantung pada

beberapa faktor, antara lain (1) jumlah organisme yang ditelan, (2) kadar keasaman

dalam lambung. Untuk dapat menimbulkan infeksi, diperlukan S. typhi sebanyak

105-109 yang tertelan. Sesampainya di lambung sebagian kuman akan dimusnahkan

oleh asam lambung. Namun tidak semua bakteri tersebut mati. Jumlah bakteri yang

mampu bertahan hidup bergantung pada keasaman lambung tersebut. Bakteri yang

mampu bertahan hidup masuk ke dalam lumen usus, lalu mengadakan perlekatan

pada mikrovili dan menyerang epitel hingga mencapai lamina propria. Melalui plak

peyeri pada ileum distal bakteri masuk ke dalam KGB mesenterium dan mencapai

Page 12: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

aliran darah melalui duktus torasikus menyebabkan bakteriemia pertama yang

asimptomatis.

Kemudian kuman akan masuk kedalam organ – organ sistem

retikuloendotelial (RES) terutama di hepar dan limpa sehingga organ tersebut akan

membesar disertai nyeri pada perabaan. Dari sini kuman akan masuk ke dalam

peredaran darah, sehingga terjadi bakteriemia kedua yang simptomatis

(menimbulkan gejala klinis). Disamping itu kuman yang ada didalam hepar akan

masuk ke dalam kandung empedu dan berkembang biak disana, lalu kuman

tersebut bersama dengan asam empedu di keluarkan dan masuk ke dalam usus

halus. Kemudian kuman akan menginvasi epitel usus kembali dan menimbulkan

tukak yang berbentuk lonjong pada mukosa diatas plak peyeri. Tukak tersebut dapat

mengakibatkan terjadinya perdarahan dan perforasi usus yang menimbulkan gejala

peritonitis.

Pada masa bakteriemia, kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan

kimianya sama dengan antigen somatik (lipopolisakarida). Endotoksin sangat

berperan membantu proses radang lokal dimana kuman ini berkembang biak yaitu

merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang

meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat

termoregulator di hipothalamus yang mengakibatkan terjadinya demam. Sedangkan

gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.

Page 13: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

Bagan Patofisiologi Demam Tifoid

KUMAN

MAKAN +MINUM

LAMBUNG MATI

USUS HALUS

FOLIKEL, GETAH

BENING, INTESTINUM

MULTIPLIKASI

GETAH BENING HIDUP

USUS

MULTIPLIKASI

ALIRAN DARAH

RES

Page 14: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan yang menyokong diagnosis.

Pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif,

neutropenia pada permulaan sakit. Mungkin juga terdapat anemia dan

trombositopenia ringan.

2. Pemeriksaan untuk membuat diagnosa

a. Deteksi S. Typhi

Kultur merupakan pemeriksaan baku emas namun sensitifitasnya rendah.

Hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Hasil negatif palsu dapat terjadi

bila jumlah spesimen sedikit, waktu pengambilan spesimen tidak tepat atau

telah mendapat pengobatan antibiotik.

Keterlibatan biakan strain Salmonella biasanya merupakan dasar untuk

diagnosis.

- Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit.

- Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4

- Biakan sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif

- Kultur tinja biasanya positif pada minggu ke-3 sampai ke-5

b. Deteksi DNA S.typhi

Metode yang digunakan yaitu PCR dimana DNA S.typhi dilipat gandakan.

Metode PCR dapat mendeteksi DNA bakteri baik yang hidup maupun mati.

Hasil positif tidak selalu menunjukkan adanya infeksi aktif, sedangkan hasil

negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi karena terdapat beberapa zat

yang dapat menghambat reaksi

c. Tes Widal

Tes Widal merupakan pemeriksaan serologis yang pertama kali

diperkenalkan dan masih banyak digunakan. Uji widal klasik mengukur

antibodi terhadap antigen O dan H S typhi. Diagnosis demam tifoid

ditegakkan bila kenaikan titer S. Typhi titer O ≥1:200 atau kenaikan 4 kali

titer fase akut ke fase konvalesens. Deteksi anti O dan anti H dalam serum

tidak selalu menunjukkan adanya infeksi S.typhi. S.typhi memiliki beberapa

antigen O dan H yang sama dengan Salmonella lain, sehingga peningkatan

titer tidak spesifik untuk S.typhi. Anti O dan H negatif tidak menyingkirkan

adanya infeksi. Hasil negatif palsu dapat disebabkan antibodi belum

Page 15: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

terbentuk karena spesimen diambil terlalu dini atau antibodi tidak terbentuk

akibat defek pembentukan antibodi.

F. PENATALAKSANAAN

Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah

baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian

antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar

pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul

penyulit dapat dilakukan dengan seksama.

Pengobatan yang diberikan yaitu:

1. Isolasi penderita dan desinfeksi pakaian dan ekskreta

2. Perawatan yang baik untuk hindari komplikasi, mengingat sakit yang lama, lemah

dan anoreksia.

3. Pemberian antipiretik bila suhu tubuh > 38,5 C.

4. Diet. Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori, dan tinggi protein. Bahan

makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak

menimbulkan banyak gas.

5. Antibiotika:

Kloramfenikol; masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita

demam tifoid. Dosis yang diberikan 100 mg/kgBB/hari dibagi 4x pemberian

selama 10-14 hari. Dosis maksimal 2 g/hari. Hari pertama setengah dosis dulu,

selanjutnya diberikan sesuai dosis diatas, karena kalau diberi dalam dosis yang

penuh maka kuman akan banyak yang mati dan sebagai akibatnya endotoksin

meningkat dan demam akan bertambah tinggi. Kloramfenikol tidak boleh

diberikan bila jumlah leukosit < 2000/ ul.

Selain itu dapat juga diberikan:

Ampislin; dengan dosis 100-200 mg/kgBB/hari dibagi 4 x pemberian secara oral

atau suntikan IV selama 14 hari.

Amoksilin; dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi 4 x yang memberikan hasil

yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam yang lebih lama.

Kotrimoxazol (trimethoprim 80 mg + sulphametoxazole 400 mg); dengan dosis

10 mg/kgBB/hari dibagi 2 x pemberian

Page 16: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

Pada kasus-kasus demam tifoid yang disebabkan S.typhi yang resisten terhadap

berbagai obat diatas (MDR= multidrug resistance), terdiri atas:

Seftriakson; dengan dosis 50-80 mg/kgBB/hari, dosis tunggal selama 10 hari.

Sefiksim; dengan dosis 10-12 mg/kgBB/hari peroral, dibagi dalam 2 dosis selama

14 hari.

Gol.quinolon; Siprofloksasin, 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis atau ofloksasin,

10-15 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis, sudah dipakai untuk pengobatan. Demam

biasanya turun dalam 5 hari. Lama pengobatan 2-10 hari.

6. Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai. Misalnya: pemberian

cairan intravena untuk penderita dehidrasi dan asidosis. Pemberian antipiretik

masih kontroversial, di satu pihak demam diperlukan untuk efektifitas respon imun

dan pemantauan keberhasilan pengobatan, namun di pihak lain ketakutan akan

terjadinya kejang dan kenyamanan anak terganggu, sering membutuhkan

antipiretik. Dianjurkan pemberian bila suhu di atas 38,5’C. Pemberian

kortikosteroid dianjurkan pada demam tifoid berat, misalnya bila ditemukan status

kesadaran delir, stupor, koma, ataupun syok. Deksamethason diberikan dengan

dosis awal 3 mg/kgBB, diikuti dengan 1 mg/kgBB setiap 6 jam selama 2 hari.

G. Komplikasi

Komplikasi tipoid dapat terjadi pada :

1. Intestinal (usus halus) :

Umumnya jarang terjadi, tapi sering fatal, yaitu:

a. Perdarahan usus.

Bervariasi dari mikroskopik sampai terjadi melena dan kalau sangat

berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda syok: berupa

penurunan suhu tubuh dan tekanan darah yang drastic.

b. Perforasi usus.

Timbul pada minggu ketiga atau setelah itu dan sering terjadi pada

distal ileum. Apabila hanya terjadi perforasi tanpa peritonitis hanya dapat

ditemukan bila terdapat udara dalam rongga peritoneum, yaitu pekak hati

menghilang dan terdapat udara bebas (free air sickle) diantara hati dan

diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam posisi tegak.

c. Peritonitis

Page 17: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding

abdomen tegang (defense muskular) dan nyeri tekan.

2. Ekstraintestinal

Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan

ST-T pada EKG, syok kardiogenik, infiltasi lemak maupun nekrosis pada jantung.

Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai

peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa

disertai kenaikan kadar transaminae, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai,

sedang kolesistitis kronis yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid

dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman (karier).

Page 18: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

BAB IV

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. PEMBAHASAN

Ilustrasi Kasus dan Diagnosis

Pada kasus ini pasien An. SA. didiagnosis menderita Kejang Demam, setelah

dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis

didapatkan demam semlenget 1 hari sebelumnya, demam dirasakan terus menerus dan

bertambah tinggi pada pagi hari sebelum dibawa ke rumah sakit. Makan dan minum

menurun. Muntah 1-2x dan muntahan berupa makanan. Menjelang siang hari panas

bertambah tinggi akhirnya orangtua membawa anak ke mantri dan diberi obat, tapi

panas tetap tinggi dan anak kejang sebanyak 3x. Masing-masing kejang berkisar ±3

menit.saat kejang tubuh kaku dan mata melotot. Sebelum kejang anak sadar dan

setelah kejang anak sadar dan menangis, Karena khawatir, orang tua pasien kemudian

membawa anaknya ke IGD RSUD Sunan Kalijaga Demak dan oleh dokter jaga IGD

pasien disarankan untuk mondok. Kemudian diinfus RL 12 tpm, injeksi ampicilin

3x300mg , dan Paracetamol sirup 3x cth I, fenobarbital 3x10mg peroral dan diazepam

4mg i.v (bila kejang)

Saat dilakukan pemeriksaan tanggal 13 Agustus 2013 didapatkan anak rewel dan

tidak mau makan. Suhu 37,4 C aksiler, bibir kering (+) lidah kotor (+), tepi hiperemis

(+), nyeri tekan di epigastrium (+).

Keesokan hari tanggal 14 agustus jam 08.00 wib anak sempat kejang 1x dan lama

kejang ±2 menit. Saat kejang tubuh kaku dan mata melotot. Sebelum kejang anak

Page 19: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

sadar dan setelah kejang anak sadar dan menangis. Suhu 39.6 C aksiler, nadi

140x/menit, RR 30x menit.

Hasil lab tanggal 15 agustus 2013 menunjukkan tes widal (+).

Berdasarkan data di atas An. SA menderita Kejang Demam dan Typhoid

Prognosis

Prognosis quo ad vitam pada pasien ini ialah ad bonam bila penatalaksaaan

yang dilakukan sesuai.

Prognosis quo ad sanam pada pasien ini juga dubia ad bonam karena sewaktu-

waktu dapat saja pasien kembali mengalami kejang demam. Begitu pula dengan

Demam Thypoid bila tidak menjaga kebersihan.

Prognosis quo ad fungsionam pada pasien ini juga dubia ad bonam karena

apabila klinis membaik, maka fungsionalnya juga akan ikut membaik.

B. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan mengenai kasus yang terjadi dan tinjauan pustaka

yang ada maka pada laporan kasus ini dapat disimpulkan bahwa anamnesis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, yang dilakukan telah tepat dan mengarah

ke diagnosis penyakit, yaitu Kejang demam Komleks dan Demam Thypoid, dan

penatalaksanaan yang dilakukan telah tepat dan sesuai dengan kepustakaan yang ada.

Karena itu untuk prognosis pada pasien ini yang dirasa tepat adalah ad bonam bila

penanganannya tepat.

Page 20: Tinjauan Pustaka Kdk Dimar

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Annegers JF, dkk. Factor prognotic of unprovoked seizures after febrile convulsions.

NEJM 1987; 316:493-8

Annegers JF, dkk. Reccurrence of febrile convulsion in a population based cohort.

Anonim., http://www.idai.or.id/tips/artikel.asp?q=2009421101559, Kejang Demam, IDAI

Behrman RE, dkk . Typhoid Fever. Nelson textbook of pediatrics. 17th edition: WB

Saunders Co. 2004: 916-919.

Berg AT, dkk. Predictors of recurrent febrile seizure: a prospective study of the

circumstances surrounding the initial febrile seizure, NEJM 1992; 327:1122-7

Demam tifoid. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak. RSUP

Cipto Mangunkusumo. 2007 : 173 -176.

Epilepsy Res 1990; 66:1009-14

Garna H, dkk. Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi kedua. Balai Penerbit FKUI.

Jakarta. 2008 :368-375

Knudsen F,1996. Rosman dkk, 1993. Fukuyama Y, 1996.Camfield dkk, 1999.

Knudsen FU. Recurrence risk after first febrile seizure and effect short term diazepam

prophylaxis. Arch Dis Child 1996; 17:33-8

Lumbantobing SM. Kejang Demam (Febrile Convulsions). Jakarta : Balai Penerbit FK

UI. 2002 : 1-45

Nelson KB dan Ellenberg JH. Prognosis in children with febrile seizure. Pediatr 1978;

61:720-7.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta: Balai

Penerbit FK UI. 1985:847-54, 930-32

Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Konsensus Penanganan

Kejang Demam, Jakarta, 2005