pneumonia dan kdk
Embed Size (px)
Transcript of pneumonia dan kdk

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. BRONKOPNEUMONIA
A.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirologi
Sistem Respirologi dibagi 2 bagian, yaitu: traktus respitorius bagian atas
yang terdiri dari hidung, nasofaring, sinus, dan laring. Kedua traktus respitorius
bawah yang terdiri dari trachea, bronchus, bronchioles dan alveoli.8
Trakea
Trakea adalah tabung terbuka berdiameter 2,5 cm dan panjang 10-12 cm
yang dibentuk oleh 16-20 cincin yang terdiri dari tulang rawan yang berbentuk
seperti tapal kuda (hurup C), dengan bagian terbuka mengarah ke posterior
(oesofagus ). Sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar yang
disebut sel bersilia yang hanya dapat bergerak kearah luar dan sel golbet yang
menghasilkan mucus bersama-sama berfungsi menyapu partikel yang berhasil
lolos dari saringan hidung, kearah farins untuk kemudian ditelan atau diludahkan
atau dibatukkan. Potongan melintang trakea khas berbentuk huruf D.8
Bronchus
Trakea bercabang menjadi bronchus utama (primer) kiri dan kanan.
Bronchus kanan bercabang menjadi bronchus (sekunder) lobus atas dan bawah.
Setiap bronchus lobaris bercabang lagi menjadi bronchus tersier (segmental).
Setelah 9-12 generasi percabangan, ukuran saluran telah mengecil sampai
diameter 1 mm. Saluran ini disebut bronchiolus yang turut menyusun lobus paru.
Bronchiolus memasuki lobulus pada bagian puncaknya, bercabang- cabang lagi
5

membentuk 4-7 bronchiolus terminalis yang masing-masing bercabang lagi
menjadi 2 bronchiolus respitorius, bagian ini bercabang lagi lebih dari 3 kali
duktus alveolaris yang lebih lanjut masih dapat bercabang 2 sebelum menjadi
sakus alveolaris dan alveoli. Pertukaran gas berlangsung mulai dari bronchiolus
respiratorius sampai alveoli. 8
Paru-paru
Paru-paru adalah organ berbentuk piramid seperti spon dan berisi udara
terletak dalam rongga dada. Paru kanan memiliki tiga lobus (lobus dextra
superior, lobus dextra media, lobus dextra inferior) dan paru kiri memiliki dua
lobus (lobus sinistra superior dan lobus sinistra inferior). Setiap paru memiliki
sebuah apeks yang mencapai bagian atas iga pertama sebuah permukaan
diafragmatik (bagian dasar) terletak di atas diafragma sebuah permukaan
mediastinal (medial) yang terpisah dan paru lain oleh mediastinum dan
permukaan kosta terletak diatas kerangka iga. Permukaan mediastinal memiliki
hilus, bronchial dan paru. 8
Pleura
Pleura adalah sebuah membran yang membungkus setiap paru.
Pleura parietal melapisi rongga toraks (kerangka iga, diafragma, midiastinum).
Pleura visceral melapisi paru dan bersambungan dengan pleura parietal dibagian
bawah paru. Rongga pleura (ruang intrapleura) adalah ruang potensial antara
pleura parietal dan visceral yang mengandung lapisan tipis cairan pelumas. Cairan
ini disekresi oleh sel-sel pleura sehingga paru-paru dapat mengembang tanpa
melakukan friksi. Tekanan cairan (tekanan intrapleura) agak negatif di
6

bandingkan tekanan atmosfir. Hanya satu lapisan membran yaitu membrane
alveoli-kapiler memisahkan oksigen dihirup melalui hidung dan mulut pada waktu
bernapas, oksigen masuk melalui trachea dan pipa bronchial ke alveoli dan
berhubungan erat dengan darah di dalam kapiler pulmonalis. Oksigen dari darah
menembus membran ini dan diambil oleh sel-sel darah merah dan dibawa ke
jantung yang kemudian dipompakan melalui arteri keseluruh bagian tubuh. Darah
meninggalkan paru- paru pada tekanan oksigen 100 mm Hg dan pada tingkat ini
kadar sel darah merah 95 % oksigen jenuh. 8
A.2 Definisi Bronchopneumonia
Bronchopneumonia merupakan inflamasi yang sering terjadi pada paru,
sering disebut dengan pneumonia bronchial atau pneumonia lobular. Inflamasi
dapat terjadi dari bronkus, bronkiolus dan menyebar secara ireguler pada
peribronchiolar alveoli and alveolar duct. Hasilnya inflamasi dapat berubah
menjadi konsolidasi yang terlokalisir pada bronkiolus dan sekitar alveoli paru.1,6
A.3 Epidemiologi Bronkopneumonia
Penelitian di Rumah Sakit Norwegia (2011) dengan sampel anak yang
berusia kurang dari 16 tahun per 10.000 populasi pada tahun 2003 hingga 2005
didapatkan angka insidensi sebesar 14,7 pada anak yang berusia 0-16 tahun, 32,8
pada usian 0-5 tahun dan 42,1 pada usia 0-2 tahun. Pada penelitian PRIDE
(Paediatric Respiratory Infection in Germany) dari 2386 anak, didapatkan 114
7

mengalami pneumonia. Angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari
4 tahun dan berkurang dengan meningkatnya umur.4
A.4 Etiologi Bronkopneumonia
Faktor Infeksi
1. Bakteri
a. Pneumococcus, penyebab utama penumonia. Pada orang dewasa disebabkan
oleh penumokokus 1 – 8 (pada anak – anak tipe 14, 1, 6, 9). Insiden meningkat
pada usia lebih kecil dari 14 tahun dan menurun dengan meningkatnya umur.
b. Streptokokus, sering merupakan komplikasi dari penyakit virus lain seperti
morbili, influenza, cacar air atau komplikasi dari bakteri lain seperti pertusis,
pneumonia oleh pneumokokus.9
2. Virus
Virus respiratori sinsial, virus influenza, virus adeno, virus sitomegalik. 9
3. Aspirasi
Makanan, kerosen (bensin dan minyak tanah) dan cairan amnion, benda
asing. 9
4. Pneumonia Hipostatik
Disebabkan oleh tidur terlentang terlalu lama, misalnya pada anak yang
sakit dengan kesadaran menurun, penyakit lain yang harus istirahat di tempat tidur
yang lama sehingga terjadi kongesti pada paru belakang bawah. Kuman yang
tadinya komensal berkembang biak menjadi patogen dan menimbulkan radang.
Oleh karena itu pada anak yang menderita penyakit dan memerlukan istirahat
panjang seperti tifoid harus diubah – ubah posisi tidurnya. 9
8

5. Jamur
H. Capsulatum. Candida albikans, Blastomycetes dermatitis,
Koksidiomikosis, Aspergilosis dan Aktinimikosis. 9
6. Sindrom Loeffler
Etiologi oleh larva A. Lumbricoedes. 9
Secara klinis biasa, berbagai etiologi ini sukar dibedakan. Untuk
pengobatan tepat, pengetahuan tentang penyebab pneumonia perlu sekali,
sehingga pembagian etiologis lebih rasional daripada pembagian anatomis. 9
o Pada neonatus : Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus(RSV).
o Pada bayi :
Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus.
Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium
tuberculosa, B. pertusis.
o Pada anak-anak :
Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa.
o Pada anak besar – dewasa muda :
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
Bakteri : Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis. 9
Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi : 9
9

1. Bronkopneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung
( zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
2. Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal,
termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan
seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau
pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang
menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi.
Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling
merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan. Selain faktor di atas, daya tahan
tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem
imun pada penderita – penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon
imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor
predisposisi terjadinya penyakit ini.
A.5 Patofisiologi Bronkopneumonia
Pada keadaan sehat setiap individu, mikroorganisme patogen yang masuk
ke dalam mencapai bronkhiolus atau paru-paru dikeluarkan melalui beberapa
mekanisme pertahanan diri seperti refleks batuk dan apa bila lolos dari mekanisme
pertahanan tersebut, maka mikroorganisme akan dihadang oleh sistem imun.
Respon ini diperankan oleh limfosit yang melibatkan sel-sel darah putih lainnya
10

misalnya makrofag, neutrofil dan sel mast yang tertarik ke daerah tempat proses
peradangan berlangsung.2
Pada individu yang rentan terhadap penyakit, mikroorganisme patogen
yang masuk kedalam tubuh berusaha memperbanyak diri dan mengeluarkan toxin
dan endotoxin yang bersifat merusak sehingga reaksi antigen-antibodi dan
endotoxin yang dilepaskan oleh beberapa mikro organisme merusak membran
mukosa parenkrim paru dan membentuk bercak-bercak infiltrat yang
menyebabkan kegagalan pertukaran gas. Pasien akan mengalami kesukaran
bernapas sehingga pernapasan akan menjadi cepat, adanya tarikan dinding dada
kedalam, pernapasan cuping hidung, suara napas stridor akibat penumpukan
sekret di bronkhus dan karena suplai oksigen kejaringan kurang akan
menyebabkan sianosis. 2
Pneumococcus masuk ke dalam paru melalui jalan pernafasan secara
percikan (droplet). Pneumococcus umumnya mencapai alveoli lewat percikan
mukus atau saliva. Lobus bagian bawah paru paling sering terkena efek gravitasi.
Agen-agen mikroba yang menyebabkan Pneumonia memiliki 3 bentuk transisi
primer : 2
1. Aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi
pada orofaring.
2. Inhalasi aerosol yang infeksius.
3. Penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal.
Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang
menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran cara hematogen lebih jarang
11

terjadi. Akibatnya, faktor-faktor predisposisi termasuk juga berbagai defisiensi
mekanisme pertahanan sistem pernafasan. Mekanisme daya tahan traktus
respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri dari
: 2
1. Susunan anatomis rongga hidung
2. Jaringan limfoid di nasofaring
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret
lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut
4. Refleks batuk
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama Ig A
8. Sekresi enzim-enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja
sebagai anti mikroba yang non spesifik.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui
jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan
jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu
proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu: 2
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah
12

pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam
darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari
reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak. Stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
13

karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 – 12 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
A.6 Gejala Klinis Bronkopneumonia
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian
atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39–40°C dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Tanda-tanda klinis utama dari
bronkopneumonia merupakan manifestasi nonspesifik infeksi dan toksisitas
berupa demam tinggi, sakit kepala, iritabel, gelisah, malaise, nafsu makan kurang,
keluhan gastrointestinal. Gejala umum saluran pernapasan bawah berupa batuk,
takipnu, dispnea, napas cuping hidung, sesak napas, air hunger, merintih, dan
sianosis. Yang paling khas dari bronkopneumonia adalah gambaran radiologis
berupa bercak konsolidasi yang menyebar di daerah bronkiolus atau sekitar
alveolus.1
A.7 Penegakkan Diagnosis Bronkopneumonia
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang sesuai dengan gejala
dan tanda yang diuraikan sebelumnya dan pemeriksaan fisik disertai pemeriksaan
penunjang.1,9
· Pemeriksaan fisik
14

Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah
yang terkena. Inspeksi : pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar hidung dan
mulut, retraksi sela iga. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya
kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus
sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin
pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi
terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar lagi. Tanpa
pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu.9
· Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium 9
1. Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/ mm3
dengan pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat berhubungan
dengan infeksi virus atau mycoplasma.
2. Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun.
3. Peningkatan LED.
4. Kultur dahak dapat positif pada 20 – 50% penderita yang tidak diobati. Selain
kultur dahak , biakan juga dapat diambil dengan cara hapusan tenggorok (throat
swab).
5. Analisa gas darah( AGDA ) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia.Pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik
Pemeriksaan Rontgen Toraks 9
Pada bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat didapati pada satu atau
beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti
15

pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke
arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai.
Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi,
karena pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan
kuman penyebab tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu WHO mengajukan
pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan pedoman
tersebut pneumonia dibedakan berdasarkan : 7
1. Pneumonia sangat berat :
→ Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum, maka anak harus
dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
2. Pneumonia berat :
→ Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum, maka
anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
3. Pneumonia :
→ Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat :
- > 60 x/menit pada anak usia < 2 bulan
- > 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun
- > 40 x/menit pada anak usia 1 – 5 tahun
4. Bukan Pneumonia :
→ Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak perlu dirawat
dan tidak perlu diberi antibiotika.
16

A.7 Penatalaksanaan Bronkopneumonia
Indikasi rawat inap pada bronkopneumonia :7
- Penderita tampak toksik
- Umur kurang dari 6 bulan
- Distres pernapasan berat
- Hipoksemia (saturasi okosigen kurang dari 92-94% pada kondisi
ruangan)
- Dehidrasi atau muntah
- Terdapat efusi pleura atau abses paru
- Kondisi imunokompromais
- Ketidakmampuan orang tua untuk merawat
- Didapatkan penyakit penyerta lain, misalnya penyakit jantung bawaan
- Pasien membutuhkan pemberian antiboitika secara parental
Pada penderita yang dirawat, penatalaksanaan dibagi atas, penatalaksanaan
umum dan pengobatan kausal.7
A. Penatalaksanaan Umum 7
- Pemberian oksigen melalui kateter hidung atau masker
- Pemberian cairan, yang adekuat. Cairan rumatan diberikan
mengandung gula dan eliktrolit yang cukup. Jumlah cairan sesuai bert
badan dan status hidrasi. Pasien yang mengalami sesak berat dapat
dipusakan, sesak berkurang, asupan oral dapt diberikan.
- Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi misal
hipoglikemia, metabolic asidosis
17

- Mengatasi penyakit pernyerta seperti kejang demam dan diare
B. Pengobatan causal 7
Golongan betalaktam (penilisin, sefalosporin, karbapenem dan
monobaktam) merupakan jeni – jenis antibiotika yang sudah dikenal cukup
luas. Biasanya digunakan untuk terapi pneumonia yang disebabkan oleh
bakteri sperti Streptococcus pneumoniae influenza dam Staphylococcus
aureus. Pada kasus yang berat diberikan golongan sefaloporin sebagai
pilihan, terutama apabila penyebabanya belum diketahui. Sedangkan pada
kasus yang ringan sedang, dipilih golongan penisilin.
Pada keadaaan imunokompromais (gizi buruk, penyakit jantung
bawaan, gangguan neuromuskular, keganasan, pengobatan kortikosteroid
jangka panjang, fibrosis kistik, infeksi HIV), pemberian antibiotik harus
segera dimulai saat tanda awal pneumonia didapatkan dengan pilihan
antibiotik : sefalosporin generasi 3.
Tabel 1. Pilihan penggunaan antibiotika pada pneumonia 7
UmurDugaan Kuman
Penyebab
Pilihan antibiotik
Rawat inap Rawat jalan
< 3
bln
- Enterobacteriace
(Escherichia
Colli,Klebsiella,
Enterobacter)
- Streptococcus
pneumoniae
- Streptococcus grroup
B
- Kloksasilin iv dan
aminoglikosida
(gentamisin, netromisin,
amikasin) iv/im atau
- Ampisilin iv dan
aminoglikosida atau
- Sefalosporin gen 3 iv
(cefotaxim, ceftriaxon,
-
18

- Staphylococcus aureus
- Clamydia trachomatis
cefttazidim) atau
- Meropenem iv dan
aminoglikosida iv/im
3 bln-
5 thn
- Streptococcus
pneumoniae
- Staphylococcus
aureus
- Haemophyllus
influenzae
- Ampisilin iv dan
kloramfenikol iv atau
- Ampisilin dan Kloksasilin iv
atau
- Sefalosporin gen 3 iv
(sefotaksim, seftriakson,
seftazidim,cefuroksim)
atau
- Meropenem iv dan
aminoglikosida iv/im
- Amoksisilin
atau
- Kloksasilin atau
- Amoksilin asam
klavulanik atau
- Eritromisin atau
- Klaritromisin
atau
- Azitromisin
atau
- Sefalosporin
oral (sefixim,
sefaklor)
> 5
thn
- Streptococcus
pneumoniae
- Mycoplasma
pneumoniae
- Clamydia
pneumoniae
- Ampisilin iv atau
- Eritromisin po atau
- Klaritromisin po atau
- Azitromisin po atau
- Kotrimoksasol po atau
- Sefalosporin gen 3 iv
- Amoksilin atau
- Eritromisin po
atau
- Klaritromisin po
atau
- Azitromisin po
atau
- Kotrimoksasol po
atau
- Sefalosporin
oral
(sefixim,sefaklo)
A.8 Pencegahan Bronkopneumonia
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak
dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat
menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat
19

dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap berbagai
penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan
teratur, menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dan lain-
lain. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan
terinfeksi antara lain: vaksinasi Pneumokokus, vaksinasi H. Influenza, vaksinasi
varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah.9
A.8 Komplikasi Bronkopneumonia
Dengan antibiotik, komplikasi hampir tidak pernah dijumpai. Komplikasi
yang dapat dijumpai : Empiema dan OMA. Komplikasi lain ialah seperti
Meningitis, Perikarditis, Osteomielitis, peritonitis lebih jarang dilihat.9
A.9 Prognosis Bronkopneumonia
Dengan penggunaan antibiotik yang tepat dan cukup, mortalitas dapat
diturunkan sampai kurang dari 1 %. Anak dalam keadaan malnutrisi energi
protein dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.
Pada bronkopneumonia yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, angka
kesembuhan penderita mengalami kemajuan besar dengan penatalaksanaan
sekarang, angka mortalitas berkisar dari 10 – 30% dan bervariasi dengan lamanya
sakit yang dialami sebelum penderita dirawat, umur penderita, pengobatan yang
memadai serta adanya penyakit yang menyertai. 9
B. KEJANG DEMAM KOMPLEKS
20

B.1 Definisi KDK
Kejang demam berdasarkan definisi dari The International League Againts
Epilepsy (Commision on Epidemiology and Prognosis) adalah kejang yang
disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38,5oC tanpa adanya infeksi susunan
saraf pusat atau gangguan elektrolit akut pada anak berusia di atas 1 bulan tanpa
riwayat kejang sebelumnya. Kejang demam biasa terjadi pada anak dengan usia
antara 6 bulan hingga 5 tahun. 10,11
Umumnya kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Kriteria untuk
penggolongan tersebut dikemukakan oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat
perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang,
tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran
rekaman otak, dan lainnya.12
Studi epidemiologi membagi kejang demam menjadi 3 bagian yaitu:
kejang demam sederhana, kejang demam kompleks, dan kejang demam berulang (
Baumann, 2001). Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih lama
dari 15 menit, fokal atau multiple (lebih dari 1 kali kejang per episode demam). 12
B.2 Faktor Risiko KDK
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain
adalah demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari
mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi,
perubahan keseimbangan caira dan elektrolit.13
21

Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (1) riwayat kejang
demam dalam keluarga; (2) usia kurang dari 18 bulan; (3) temperatur tubuh saat
kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin sering berulang; dan (4)
lamanya demam. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah
(1) adanya gangguan perkembangan neurologis; (2) kejang demam kompleks; (3)
riwayat epilepsi dalam keluarga; dan (4) lamanya demam.10
B.3 Etiologi KDK
Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang
menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling
sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis
media akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran
kemih.12
B.4 Patofisiologi KDK
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak
diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adala glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi
dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke
otak melalui sitem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang
melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.9
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam
adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran
22

sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit
dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion Klorida (Cl-).
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah,
sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis
dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial
yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang
terdapat pada permukaan sel. 9
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya: 9
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu
tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron
dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium
melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.9
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke
seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang
disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang
23

kejang yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seeorang
anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang
kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38°C sedangkan pada anak
dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih.
Dari kenyataan inilah dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam
lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
9
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya
dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama
(lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi
arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin
meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak
meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya
kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. 9
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat
menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang
24

spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan
anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.9
B.5 Manifestasi Klinis KDK
Kejang Demam Kompleks adalah kejang demam dengan salah satu ciri
berikut ini:7
1. Kejang lama > 15 menit
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar.
Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial
satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang
adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak
sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang
demam.10
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya
berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39°C atau lebih. Kejang khas yang
menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode
mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15
menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang
memerlukan pengamatan menyeluruh.9
25

Serangan kejang demam berupa serangan kejang klonik atau tonik-klonik
bilateral dan dapatjuga terjadi seperti mata terbalik ke atas dengan disertai
kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan,
atau hanya sentakan atau kekakuan fokal. Setelah kejang berhenti anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit,
anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti
hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jamsampai
beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang
menetap.9
B.6 Diagnosa KDK
Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis
kejang demam antara lain: 9,13
1. Anamnesis, dibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung diagnosis
ke arah kejang demam, seperti:
- Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum
dan saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang, penyebab demam diluar susunan
saraf pusat.
- Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam, seperti genetik,
menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi, serangan kejang pertama
disertai suhu dibawah 39° C.
- Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam berulang adalah
usia < 15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat kejang demam dalam
26

keluarga, kejang segera setelah demam atau saat suhu sudah relatif normal,
riwayat demam yang sering, kejang demam pertama berupa kejang demam
akompleks.
2. Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah:
- Suhu tubuh mencapai 39°C.
- Kejang lama > 15 menit
- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
- Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium
Pada kejang demam kompleks, dijumpai kelainan fisik neurologi berupa
hemiplegi. Pada pemeriksaan EEG didapatkan gelombang abnormal berupa
gelombang-gelombang lambat fokal bervoltase tinggi, kenaikan aktivitas delta,
relatif dengan gelombang tajam. Perlambatan aktivitas EEG kurang mempunyai
nilai prognostik, walaupun penderita kejang demam kompleks lebih sering
menunjukkan gambaran EEG abnormal. EEG juga tidak dapat digunakan untuk
menduga kemungkinan terjadinya epilepsi di kemudian hari.
B.8 Penatalaksanaan KDK
Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu:10
1. Pengobatan fase akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang kejang
semua pakaian yang ketat dibuka, dan pasien dimiringkan kepalanya apabila
muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi
27

terjamin. Pengisapan lendir dilakukan secara teratur, diberikan oksiegen, kalau
perlu dilakukan intubasi. Awasi keadaan vital sperti kesadaran, suhu, tekanan
darah, pernapasan, dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan
kompres air dingin dan pemberian antipiretik. Diazepam adalah pilihan utama
dengan pemberian secara intravena atau intrarektal. 10
2. Mencari dan Mengobati Penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada
kasus yang dicurigai meningitis atau apabila kejang demam berlangsung lama.
Pada bayi kecil sering mengalami meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbal
harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 12 bulan, dan dianjurkan pada
pasien berumur 12-18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan utuk
mencari penyebab. 10
3. Pengobatan Profilaksis
Kambuhnya kejang demam perlu dicegah, kerena serangan kejang
merupakan pengalaman yang menakutkan dan mencemaskan bagi keluarga. Bila
kejang demam berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan otak yang
menetap (cacat). 10
Ada 3 upaya yang dapat dilakukan: 10
- Profilaksis intermitten, pada waktu demam.
- Profilaksis terus-menerus, dengan obat antikonvulsan tiap hari
- Mengatasi segera bila terjadi kejang.
28

Profilaksis intermitten
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan
ketentuan orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam
pada pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak.
Diazepam intermittent memberikan hasil lebih baik kerena penyerapannya lebih
cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk
pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan
berat badan lebih dari 10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,5°C atau lebih.
Diazepam dapat pula diberikan sacara oral dengan dosis 0,5 mg/kg BB/ hari
dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam adalah
ataksia, mengantuk, dan hipotonia. 10
Profilaksis terus- menerus dengan antikonvulasan tiap hari
Pemberian fenobarbital 4-5 mg/kg BB/hari dengan kadar darah sebesar 16
mgug/ml dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah
berulanggnya kejang demam. Obat lain yang dapat digunakan untuk profilaksis
kejang demam adalah asam valproat yang sama atau bahkan lebih baik
dibandingkan efek fenobarbital tetapi kadang-kadang menunjukkan efek samping
hepatotoksik. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg BB/hari. Profilaksis terus
menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat
menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi di
kemudian hari. 10
29

Consensus Statement di Amerika Serikat mengemukakan kriteria yang
dapat dipakai untuk pemberian terapi rumat. Profilaksis tiap hari dapat diberi pada
keadaan berikut: 10
1. Bila terdapat kelainan perkembangan neurologi (misalnya cerebral palsy,
retardasi mental, mikrosefali).
2. Bila kejang demam berlangsung lama dari 15 menit, bersifat fokal, atau diikuti
kelainan neurologis sepintas atau menetap.
3. Terdapat riwayat kejang-tanpa-demam yang bersifat genetik pada orang tua
atau saudara kandung.
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang , hindarilah rasa
panik dan lakukanlah langkah-langkah pertolongan sebagai berikut: 10
1. Telungkupkan dan palingkan wajah ke samping
2. Ganjal perut dengan bantal agar tidak tersedak
3. Lepaskan seluruh pakaian dan basahi tubuhnya dengan air dingin. Langkah ini
diperlukan untuk membantu menurunkan suhu badanya.
4. Bila anak balita muntah, bersihkan mulutnya dengan jari.
5. Walupun anak telah pulih kondisinya, sebaiknya tetap dibawa ke dokter agar
dapat ditangani lebih lanjut.
30