Tetanus

23
Tetanus pada Luka Robek yang Tidak Dirawat dengan Baik Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Alamat Korespondensi Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 Pendahuluan Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot akibat eksoto k sin spesifik kuman anaerob Clostridium tetani. 1 Hippocrates sudah menggambarkan gejala penyakit tetanus pada manusia. T ahun 1882, Nicolaier dan Rosenbach menentukan bahwa penyakit ini disebabkan oleh bakteri. Kemudian pada tahun 1889 von Behring dan Kitasato melaporkan keberhasilan imunisasi dan netralisasi toksin menggunakan antiserum spesifik, yang merupakan dasar metode imunologi sebagai tindakan pencegahan dan pengobatan tetanus. Akhirnya pada tahun 1925, Ramon memperkenalkan tetanus toksoid untuk imunisasi aktif. 1 Semua perawatan luka yang mungkin terpajan dengan bakteri tetanus, dimulai dengan pembersihan luka yang segera dengan menyeluruh menggunakan sabun dan air, pembuangan benda asing dan debridemen untuk jaringan yang sudah mati. Profilaksis tetanus diberikan setelah terjadinya luka dan trauma berupa vaksinasi pada pasien yang memiliki status imunisasi yang tidak lengkap dan pemberian imunoglobin tetanus

description

tetanus

Transcript of Tetanus

Page 1: Tetanus

Tetanus pada Luka Robek yang Tidak Dirawat dengan Baik

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat Korespondensi Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

Pendahuluan

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan

gangguan neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot akibat eksotoksin

spesifik kuman anaerob Clostridium tetani.1

Hippocrates sudah menggambarkan gejala penyakit tetanus pada manusia.

Tahun 1882, Nicolaier dan Rosenbach menentukan bahwa penyakit ini disebabkan oleh

bakteri. Kemudian pada tahun 1889 von Behring dan Kitasato melaporkan keberhasilan

imunisasi dan netralisasi toksin menggunakan antiserum spesifik, yang merupakan dasar

metode imunologi sebagai tindakan pencegahan dan pengobatan tetanus. Akhirnya pada

tahun 1925, Ramon memperkenalkan tetanus toksoid untuk imunisasi aktif.1

Semua perawatan luka yang mungkin terpajan dengan bakteri tetanus, dimulai

dengan pembersihan luka yang segera dengan menyeluruh menggunakan sabun dan air,

pembuangan benda asing dan debridemen untuk jaringan yang sudah mati. Profilaksis tetanus

diberikan setelah terjadinya luka dan trauma berupa vaksinasi pada pasien yang memiliki

status imunisasi yang tidak lengkap dan pemberian imunoglobin tetanus pada luka yang

terkontaminasi (tanah, feses, saliva), luka tusuk, avulasi, luka tembak, luka remuk, luka bakar

dan frosbite.2

Skenario

Seorang laki-laki berusia 22 tahun dating ke IGD RS dengan keluhan demam,

mulut terasa kaku dan nyeri pada tungkai bawah sebelah kanan. Menurut keterangan pasien,

2 minggu lalu ia mengalami kecelakaan lalu lintas dan menderita luka robek pada tungkai

bawah kanan. Luka tersebut dijahit sebanyak 27 jahitan oleh seorang petugas kesehatan di

desanya. Saat dilakukan inspeksi, kulit tungkai bawah kanan didaerah luka tampak

kemerahan,teraba panas dan bengkak, dari sela-sela luka yang dijahit keluar nanah. Pasien

juga tidak diberikan antibiotik oleh petugas kesehatan setelah menjahit lukanya.pemeriksaan

fisik didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 82 x/menit.

Page 2: Tetanus

Isi

Anamnesis

Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa

anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, dan

penurunan tingkat kesadaran.3

Riwayat Penyakit Saat Ini

Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk mengetahui

predisposisi penyebab sumber luka. Di sini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang

timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Keluhan kejang perlu

mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat timbulnya

kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah diberikan

dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.3

Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan

dengan toksin tetanus yang menginflamasi jaringan otak. Keluhan perubahan perilaku juga

umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan

koma.3

Riwayat Penyakit Dahulu

Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya

hubungan atau menjadi presdiposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami

tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkena

kaleng, atau luka yang menjadi kotor; karena terjatuh ditempat yang kotor dan terluka atau

kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu/kotoran juga luka bakar yang ringan

kemudian menjadi bernanah dan gigi berlubang dikorek dengan benda kotor.3

Pengkajian Psiko-sosio-spritual

Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk

menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien

dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari

baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu

timbul ketakutan atau kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan

aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan cairan tubuh).

Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada

status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak

sedikit.3

Page 3: Tetanus

Pemeriksaan Fisik

Pada klien tetanus biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari

normal 38-40o C. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan toksin

tetanus yang sudah menggangu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi

berhubungan penurunan perfusi jaringan otak. Apabila disertai peningkatan frekuensi

pernapasan sering berhubungan dengan peningkatan frekuensi pernapasan sering

berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum. Tekanan darah biasanya normal.3

B1(Breathing), inpeksi apakah klien batuk, produksi suptum, sesak napas,

penggunaan otot bantu napas dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan

pada klien tetanus yang disertai adanya ketidakefektifan bersihan jalan napas. Palpasi toraks

didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti

ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun.3

B2 (Blood), pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok

hipovolemik) yang sering terjadi pada klien tetanus. Tekanan darah biasanya normal,

peningkatan denyut jantung, adanya anemis karena hancurnya eritrosit.3

B3 (Brain), pengkajian B3 merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap

dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.3

Pengkajian tingkat kesadaran. Kesadaran klien biasanya compos mentis. Pada

keadaan lanjut tingkat kesadaran klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat letargi,

stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat

penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi utnuk pemantauan

pemberian asuhan.3

Pengkajian fungsi serebral. Status mental: observasi penampilan, tingkah laku,

nilai gaya bicara, ekpresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien tetanus tahap lanjut

biasanya status mental pasien mengalami perubahan.3

Pengkajian saraf kranial. Pemeriksaan saraf kranial meliputi pemeriksaan saraf

kranial I-XI. Saraf I, biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.

Saraf II, tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Saraf III, IV, dan VI, dengan alasan

yang tidak diketahui, klien tetanus mengeluh mengalami fotofobia atau sensitif yang

berlebihan terhadap cahaya. Saraf V, refleks maseter meningkat. Mulut condong ke depan

seperti mulut ikan (ini adalah gejala khas dari tetanus). Saraf VII, presepsi pengecapan dalam

batas normal, wajah simetris. Saraf VIII, tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli

persepsi. Saraf IX dan X, kemampuan menelan kurang baik, kesulitan membuka mulut

Page 4: Tetanus

(trismus). Saraf XI, didapatkang kaku kuduk, ketegangan otot rahang dan leher (mendadak).

Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra

pengecapan normal.3

Pengkajian sistem motorik, kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan

koordinasi pada tetanus tahap lanjut mengalami perubahan.3

Pengkajian refleks profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau

periosteum derajat refleks pada respons normal. Gerakan involunter, tidak ditemukan adanya

tremor, tic, dan distonia. Pada keadaan tertentu, klien biasanya mengalami kejang umum,

terutama pada anak dengan tetanus disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang

berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.3

Pengkajian sistem sensorik, pemeriksaan sensorik pada tetanus biasanya

didapatkan perasaan raba normal, perasaan nyeri normal, perasaan suhu normal, tidak ada

perasaan abnormal di permukaan tubuh, perasaan propriosefsi normal, dan perasaan

diskriminatif normal.3

B4 (Bladder), penurunan volume urine normal output berhubungan dengan

penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. Adanya retensi urine dikeluarkan

dengan menggunakan kateter.3

B5 (Bowel), mual sampai muntah disebabkan peningkatan produksi asam

lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun karena anoreksia dan adanya

kejang, kaku dinding perut (perut papan) merupakan tanda khas pasa tetanus. Adanya spasme

otot menyebabkan kesulitan BAB.3

B6 (Bone), adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan

menurunkan aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien mengalami patah tulang terbuka

yang memungkinkan port de entiree kuman klostridium tetani, sehingga memerlukan

perawatan luka yang optimal. Adanya kejang memberikan risiko pada fraktur vertebra pada

bayi, ketegangan, dan spasme otot pada abdomen.3

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis cukup ditegakkan dengan gejalan klinis karena pemeriksaan kuman

Clostridium belum tentu berhasil. Namun apabila tetap diinginkan maka pemeriksaan

penunjang penyakit tetanus meliputi : (1) lab darah : tidak spesifik, mungkin leukositosis

ringan, serum CK agak meningkat; (2) pada pemeriksaaan bakteriologik ditemukan

clostridium tetani; (3) rekam EMG : hilangnya periode diam pada 50-100 ms setelah

kontraksi reflek.4

Page 5: Tetanus

Diagnosis Kerja

Diagnosis tetanus sudah cukup kuat hanya dengan berdasarkan anamesis serta

pemeriksaan fisik.Anamesis tentang adanya kelaianan yang dapat menjadi tempat masuknya

kuman tetanus, trismus, risus sardonikus, kaku kuduk, opistotonus, perut keras seperti papan

atau kejang tanpa gangguan kesadaran, cukup untuk menegakkan diagnosis tertentu.

Pemeriksaan kultur Clostridium tetani pada luka, hanya merupakan penunjang diagnosis.

Menurut WHO, adanya trismus, atau risus sardonikus atau spasme otot yang nyeri serta

biasanya didahului oleh riwayat trauma sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Tetanus

lokal harus dipikirkan bila timbul kekakuan otot dan iritabilitas terhadap rangsangan mekanik

lokal di sekitar luka, terutama fraktur terbuka yang dipasang suspensi.1,5,6

Diagnosis Banding

Infeksi Sekunder pada Vulnus Laceratum

Vulnus atau luka, terutama luka robek pada kulit kaki kanan seperti yang

tergambar pada kasus diatas, dapat terkontaminasi dengan berbagai jenis kuman atau bakteri,

yang sebelumnya bersifat flora normal pada manusia, flora normal merupakan suatu sel

prokariot (bakteri) yang berkompetisi dengan pathogen pada tempat kolonisasi dan

menghasilkan substansi antibiotik (bakteriosin) yang akan menekan organisme yang

berkompetisi dengannya. Flora normal terdapat pada tempat-tempat tertentu pada tubuh

manusia. Jika flora normal berpindah tempat dari tempatnya sebelumnya, maka flora normal

akan menyebabkan suatu pengaruh yang merugikan bagi tubuh.7

Flora normal yang berkaitan dengan luka pada kulit kaki kanan sesuai dengan

kasus yang didapat adalah flora yang terdapat pada sawar fisik tubuh yakni kulit, diantara

stafilokokus, streptokokus, corynebakteria, propionilbakteria, dan ragi. Jika flora normal ini

masuk ke dalam luka robek, terutama di bagian subkutis, maka flora normal ini kemudian

akan memberikan pengaruh yang merugikan dengan berbagai toksin yang dihasilkannya.

Dalam hal ini kelompok yang memiliki peranan yang paling kuat dalam menginfeksi luka

robek pada kulit ialah Streptokokus dan Stafilokokus, yang keduanya sebagian besar

merupakan jenis bakteri  positif Gram.8

Meningitis

Diagnosis meningitis patut dicurigai pada penderita trauma dasar tengkorak

yang disertai rinorea atau otorea berupa likuor yang menunjukkan adanya perlukaan

Page 6: Tetanus

duramater, dan kemudian mengalami kenaikan kenaikan suhu badan, penurunan kesadaran,

dan gejala rangsangan selaput otak. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan pungsi lumbal.1

Gejala Klinik

Biasanya gejala dimulai 5-12 hari setelah infeksi, walaupun masa inkubasi

bisa lebih lama, atau pada infeksi yang sangat berat selama 1-2 hari. Tidak ada sesuatu yang

istimewa pada luka setempat. Awitan penyakit tiba-tiba, dengan meningkatnya kekuatan otot

secara perlahan-lahan, terutama otot-otot leher dan rahang. Dalam 24 jam umumnya penyakit

telah berkembang sepenuhnya; kekakuan rahang dan leher menjadi jelas, menelan mungkin

sukar dan bagian lain muskular tubuh mungkin dikenai. Spasme tetanus sangat khas.

Rangsangan kulit, pendengaran, atau penglihatan dan usaha gerakan volunter akan

menimbulkan kontraksi paroksismal otot tubuh secara keseluruhan yang berlangsung selama

5 atau 10 detik. Selama spasme ini tubuh menjadi kaku seperti papan; kepala tertarik,

punggung melengkung dalam keadaan epistotonus, tungkai dan kaki dalam keadaan ekstensi

dan lengan terentangke luar, dengan tinju terkepal dan ibu jari adduksi. Rahang tidak dapat

digerakkan, dan wajah memperlihatkan ekspresi kaku yang khas yang disebut risus

sardonikus. Alis mata terangkat, fisura palpebra menyempit, sudut mulut tertarik ke bawah

dan ke luar, dan bibir atas terkatup kuat pada gigi. Kesadaran tidak hilang; biasnaya pasien

sangat mengerti.5

Pada mulanya spasme jarang terjadi; terdapat relaksasi sempurna di antara

spasme, dan kadang-kadang sedikit tidak menyenangkan. Ketika penyakit berlanjut, spasme

menjadi lebih sering dan lama dan mungkin sakit; spasme sering dicetuskan oleh rangsangan

kecil. Kemudian relaksasi antara serangan kejang hanya parsial, dan derajat kelakuan yang

jelas menetap. Paroksisme bisa mempengaruhi otot pernapasan atau otot laring, dan

mengakibatkan kematian. Postur tubuh sering hanya memberikan sedikit gambaran tentang

intensitas kontraksi karena kelompok otot oposisi terkena dengan setara. Relaksasi parsial

atau sempurna terjadi saat tidur atau saat anastesi, dan sedatif bisa memberikan perbaikan.

Lazim terjadi spasme sfingter dengan retensi urin. Kadang-kadang sangat berkeringat;

demam sedang atau tidak ada. Hitung darah dan cairan serebrospinal tidak memperlihatkan

perubahan yang menetap. Lama tetanus pada infeksi fatal jarang lebih dari 3 atau 4 hari, dan

mungkin kurang dari 24 jam. Kematian biasanya akibat gagal napas, kadang-kadang suhu

tubuh memperlihatkan peningkatan akhir yang tiba-tiba. Pasien yang pulih menjadi jarang

demam; setelah beberapa hari parokisme secara berangsur-angsur menurun frekuensinya dan

Page 7: Tetanus

kekauan otot berkurang, walaupun bisa diperlukan beberapa minggu untuk lenyap

keseluruhannya. Trimus sering sembuh terakhir.5

Tetanus memiliki gejala klinis yang luas dan beragam. Namun dapat dibagi

menjadi 4 tipe secara klinik, yaitu tetanus generalized, localized, cephalic dan neonatal.

Variasi gambaran klinik ini hanya menunjukkan tempat dimana toksin tersebut bekerja,

bukan bagaimana toksin tersebut bekerja. Tetanus generalized adalah tetanus yang paling

sering dijumpai. Gejalanya adalah,trismus,kekakuan otot maseter, punggung serta bahu.

Gejala lain, juga bisa didapatkan anatara lain opisotonus, posisi dekortikasi, serta ektensi dari

ektremitas bawah. Tetanus localized gejalanya meliputi kekuatan dari daerah dimana terdapat

luka (hanya sebatas daerah terdapat luka), biasanya ringan, bertahan beberapa bulan, dan

sembuh dengan sendirinya. Pasien kadang mengalami kelemahan, kekauan serta nyeri pada

daerah yang terkena tetanus localized. Tetanus cephalic meliputi gangguan pada otot yang

diperantai oleh susunan saraf perifer bagian bawah. Biasa terjadi setelah kecelakaan pada

daerah wajah dan leher. Sering gejalanya agak membingungkan, seperti disfagia, trimus dan

focal cranial neuropathy. Namun, dengan perjalanan penyakit pada timbul parese wajah,

disfagia serta gangguan pada otot ektraokular. Pada beberapa kasus tetanus cephalic

mengakibatkan tetanus ophthalmologic, supranuclear oculamotor palsy serta sindroma

Horner. Tetanus neonatal, biasa terjadi karena proses kebersihan saat melahirkan tidak

bersih. Biasa terjadi pada minggu kedua kehidupan, ditandai oleh kelemahan dan

ketidakmampuan menyusu, kadang disertai opisotonus. Pada tetanus sering juga disertai

gangguan otonomik berupa tekanan darah yang labil (takikardi maupun bradikardia),

peningkatan respirasi serta juga hiperpireksia.9

Table 1. Score Tetanus Philips.8

Tolak ukur Nilai

Masa inkubasi

Kurang 48 jam 52-5 hari 46-10 hari 311-14 hari 2Lebih 14 hari 1

Page 8: Tetanus

Lokasi infeksi

Internal/umbilikal 5

Leher,kepala, dinding tubuh 4Ektremitas proksimal 3Ektremitas distal 2Tidak diketahui 1

Imunisasi

Tidak ada 10Mungkin ada/ibu mendapat 8Lebih dari 10 tahun yang lalu 4

Kurang dari 10 tahun 2

Proteksi lengkap 0

Faktor yang memberatkan

Penyakit atau trauma yang menyebabkan jiwa 10

Keadaan yang tidak langsung membahayakan jiwa

8

Keadaan yang tidak membahayakan jiwa 4

Trauma atau penyakit ringan 2

A.S.A. **derajat 1

Etiologi

Basil tetanus adalah organisme anaerob yang membentuk spora. Organisme

ini tersebar di tanah banyak tempat di seluruh dunia. Normalnya basil terdapat dalam usus

kuda, sapi, dan herbivora lain serta kadang-kadang ditemukan pada manusia. Antara 2-30%

orang dewasa mengandung kuman ini, dengan proporsi tertinggi pada komunitas pertanian.

Basil mengeluarkan dua toksin yang mudah larut, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin;

tetanolisin adalah suatu bahan hemolisis tidak stabil yang berperan kecil pada manifestasi

patologi penyakit. Tetanospasmin menimbulkan kejang dan kekuatan otot. Toksin ini

mempunyai afinitas khas terhadap jaringan saraf. Tidak seperti banyak toksin lain,

tetanospasmin tidak menimbulkan kemerahan kulit. Sejumlah subgrup basil telah ditemukan,

tetapi toksin yang dihasilkan ternyata identik satu sama lain.5

Epidemologi

Tetanus terjadi secara proradis dan hampir selalu menimpa individu non imun,

individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal

mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat

dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani diseluruh

dunia terutama dinegara beriklim tropis dan negara-negara sedang berkembang sering terjadi

Page 9: Tetanus

di brazil, flipina,vietnam, indonesia dan negara lain di benua Asia. Tetanus terdapat di

seluruh dunia tetapi insidens di negara maju sudah sangat jarang. Penyakit ini masih

merupakan maslaah kesehatan di negara berkembang karena sanitasi lingkungan yang kurang

baik dan imunisasi aktif yang belum mencapai sasaran. Di Indonesia dan negara berkembang

lain, penyakit tetanus neonatarum masih menjadi masalah. Hal ini terutama disebabkan oleh

pertolongan persalinan bagi sebagian masyarakat masih menggunakan tenaga non-profesional

(dukun bayi/peraji). Faktor lain adalah sebagian ibu yang melahirkan tidak atau belum

mendapat imunisasi tetanus toksoid (TT) pada masa kehamilannya. Penyakit ini umumnya

terjadi di daerah pertanian , di daerah pedesaan, pada daerah yang beriklim hangat, selama

musim panas dan pada penduduk pria.9,10

Walaupun WHO nenetapkan target mengeradiasikan tetanus pada tahun 1995,

tetanus tetap bersifat endemik pada negara-negara yang sedang berkembang dan WHO

memperkirakan kurang lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia pada tahun

1992, termasuk didalamnya 580.000 tetanus neonatorum, 210.000 di asia tenggara, dan

152.000 di Afrika. Penyakit ini jarang dijumpai pada negara-negara maju. Di Afrika Selatan,

kira-kira terdapat 300 kasus pertahun, kira-kira 12-15 kasus dilaporkan terjadi tiap tahun di

Inggris.11

Di Amerika Serikat sebagian besar kasus tetanus tetanus akibat trauma akut,

seperti luka tusuk,laserasi atau abrasi. Tetanus didapatkan akibat trauma di dalam rumah

selama bertani, berkebun dan aktifitas luar ruangan yang lain. Trauma yang menyebabkan

tetanus bisa berupa luka besar tapi dapat juga berupa luka kecil, sehingga pasien tidak

mencari pertolongan medis, bahkan pada beberapa kasus tidak dapat diidentifikasi adanya

trauma. Tetanus dapat merupakan komplikasi penyakit kronis , seperti ulkus, abses

dan gangren. Tenanus dapat pula berkaitan dengan luka bakar, infeksi telingah tengah,

pembedahan, aborsi dan persalinan.11

Pada akhir tahun 1940an dilaporkan 300 sampai 600 kasus pertahun di

Amerika Serikat. Pada tahun 1947 insidenssi tetanus mencapai 3,9 kasus per juta populasi,

kontras dengan angka insidensi tahunan antara tahun 1998-2000 yang dilaporkan 0,16 per

juta populasi. Sejak tahun1976 kurang dari 100 kasus dilaporkan tiap tahun dan pada saat ini

antara 50-70 kasus pertahundilaporkan di Amarika Serikat.11

Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survey

serologis skala luas terhadap antibodi tetanus dan difteri yang dilakukan antara tahun 1988-

1994 menunjukkan bahwa secara keseluruhan , 72% penduduk Amerika Serikat berusia di

atas 6 tahun terlindungi terhadap tetanus. Sedangkan pada usia antara 6-11 tahun sebesar

Page 10: Tetanus

91%. Presentase ini menurundengan bertambahnya usia. Hanya 30% individu berusia

diatas 70 tahun (pria 45%, wanita 21%)yang mempunyai antibodi adekuat.11

Patogenesis

Clostridium tetani bukanlah organisme yang invasif. Infeksi tetap terlokalisasi

dengan ketat di daerah jaringan devitalisasi (luka, luka bakar, trauma, ujung guntingan

umbilicus, jahitan pembedahan) tempat spora masuk. Volume jaringan yang terinfeksi kecil,

dan penyakit ini hampir secara keseluruhan adalah toksemia. Berkembangnya spora dan

tumbuhnya organisme vegetatif yang menghasilkan toksin dibantu oleh: (1) jaringan

nekrotik; (2) gram kalsium; dan (3) infeksi piogenik yang terkait, semuanya membantu

pemantapan potensial oksidasi-reduksi yang rendah.5,8

Sel vegetatif Clostridium tetani menghasilkan toksin tetanospasmin (BM

150.000) yang dipecah oleh protease bakteri menjadi dua peptida (BM 50.000 dan 100.000)

yang dihubungkan melalui ikatan sulfida. Eksotoksin yang dihasilkan akan mencapai pada

sistem saraf pusat dengan akson neuron atau sistem vaskuler. Kuman ini menjadi terikat pada

satu saraf atau jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun

toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh aritititoksin.

Hipotesa cara absorpsi dan cara kerjanya toksin adalah pertama toksin di absorspi pada

ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik di bawah ke kornu anterior susunan saraf

pusat. Kedua, toksin diabsorpsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri

kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat. Toksin bereaksi dengan myoneural junction

yang menghasilkan otot-otot menjadi kejang dan mudah sekali terangsang. Masa inkubasi 2

hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari.1,11,12

Toksin pada mulanya terikat pada reseptor di membran presinaptik

motorneuron. Kemudian bermigrasi melalui sistem transpor aksonal retrograd ke badan sel

neuron-neuron ini ke medula spinalis dan batang otak. Toksin berdifusi ke terminal sel

inhibitor, termasuk interneuron glisinergik dan neuron yang mensekresi asam aminobutirat

dari batang otak. Toksin ini mendegradasi sinaptobrevin, protein yang dibutuhkan untuk

penambatan vesikel neurotransmiter pada membran presinaptik. Pelepasan asam

aminobutirat-ɣ dan glisin inhibitorik diblok, dan motorneuron tidak diinhibisi. Tetanospasmin

yang bekerja pada motor and plate mengganggu penghantaran neuromuskular dengan

menghambat pengeluaran asetilkolin. Selanjutnya, kerja toksin pada sistem saraf pusat

menurunkan ambang refleks yang melibatkan lower motor neuron dan menginduksi

Page 11: Tetanus

kepekaan terhadap spasme dan kejang. Terjadi hiperrefleksi, spasme otot dan paralisis

spastik. Jumlah toksin yang dapat menjadi letal bagi manusia.5,8

Penanganan Terapi

Manajemen penanganan tetanus secara umum adalah suportif. Strategi

utamanya adalah menghambat pelepasan toksin, untuk menetralkan toksin yang belum

terikat, meminimalkan efek dari toksin dengan mempertahankan jalan napas yang adekuat.13

Penanganan umum, sebisa mungkin tempat perawatan pasien tetanus

dipisahkan, sebaiknya ditempatkan pada ruangan khusus. Ruangan yang tenang serta

terlindungi dari stimulasi taktil dan suara. Luka yang merupakan sumber infeksi sebaiknya

segera dibersihkan.13

Imunoterapi: jika memungkinkan berikan tetanus immunoglobulin manusia

(TIG) 500 unit secara IM (intramuskular) atau IV(intravena) (tergantung sediaan) segera

mungkin. Pemberian equine antitoksin juga bisa untuk menginaktifkan toksin. Pemberian

10.000-20.000 U equine antitoksin dosis tunggal secara intramuskular sudah cukup, namun,

hati-hati reaksi anafilaktoid.13

Antibiotik: pilihan antibiotik adalah metronidazole 500 mg setiap 6 jam (baik

secara oral)selama 7 hari. Alternatif lain adalah Penicilin G 100.000-200.000 IU/kgBB/hari

secara intravena, terbagi 2-4 dosis. Tetrasiklin, makrolid, klindamisin, sefalosporin serta

kotrimoksasole juga cukup efektif.13

Pengontrolan spasme otot: Benzodiazepin lebih disukai. Diazepam dapat

ditingkatkan dititrasi perlahan 5 mg atau lorazepam 2 mg, sampai tercapai kontrol spasme

tanpa sedasi maupun depresi napas yang berlebihan (maksimal 600 mg/hari). Pada anak,

dosis dapat dimulai dari 0,1-0,2 mg/kg berat badan, dinaikkan sampai tercapai kontrol

spasme yang baik. Magnesium sulfat bersama dengan benzodiazepin dapat digunakan untuk

dosis loading 5 gram (75mg/kgBB) secara intravena, dilanjutkan dengan dosis 2-3 gram/jam

sampai spasme terkontrol. Untuk mencegah overdosis diperlukan monitor reflek patelar. Jika

reflek patelar menghilang maka dosis obat harus diturunkan. Obat lain yang dapat digunakan

adalah klorpromasin (50-150 mg secara intramuskular tiap 4-6 jam pada dewasa, atau 4-12

mg IM, tiap 4-6 jam pada anak-anak).13

Kontrol gangguan autonomik: magnesium sulfat seperti diatas, penggunaan

beta bloker, seperti propanolol, saat ini kurang direkomendasikan karena berhubungan

dengan kematian. Penggunaan labetalol (penghambat reseptor adregenik alfa dan beta) secara

parenteral, direkomendasikan pada pasien tetanus dengan kelainan otonom yang menonjol.13

Page 12: Tetanus

Kontrol jalan napas: pada tetanus, kita harus benar-benar memonitor

pernapasan, karena obat-obatan yang digunakan dapat menyebabkan depresi napas, serta

kemungkinan spasme laring tidak bisa disingkirkan. Penggunaan ventilator mekanik dapat

dipertimbangan, khususnya bila terjadi spasme, dan trakeostomi juga dapat dilakukan bila

terjadi spasme karena ditakutkan terjadi spasme laring saat pemasangan pipa endotrakeal.13

Pemberian cairan nutrisi: pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat

membantu dalam proses penyembuhan tetanus.13

Komplikasi

Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan napas,

sehingga pada tetanus yang berat, terkadang memerlukan bantuan ventilator. Kejang yang

berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan fraktur dari tulang spinal dan tulang

panjang, serta rhabdomiolisis yang sering diikuti oleh gagal ginjal akut. Salah satu

komplikasi yang agak sulit ditangani adalah gangguan otonom, karena pelepasan katekolamin

yang tidak terkontrol. Gangguan otonom ini meliputi hipertensi dan takikardi yang kadang

berubah menjadi hipotensi dan bradikardia.9

Pasien dengan tetanus juga berisiko terkena infeksi nosokomial, karena masa

perawatan yang rata-rata agak lama. Kebutuhan nutrisi sering kurang memadai. Pada kasus

dengan spasme abdomen yang cukup berat, pemasangan kateter vena sentral untuk nutrisi

dapat dipertimbangkan, namun cara ini sulit dilakukan pada negara berkembang. Pada negara

kita, kita menggunakan terapi cairan untuk memperbaiki status gizi dan kebutuhan hidrasi

pasien.9

Prognosis

Derajat keparahan penyakit didasarkan pada empat tolok ukur, yaitu masa

inkubasi, porte d’entree, status imunologi, dan faktor yang memperberat. Berdasarkan

perolehan angka, derajat keparahan penyakit dapat dibagi menjadi tetanus ringan (<9),

tetanus sedang (angka 9-16), dan tetanus berat (angka >16). Tetanus ringan dapat sembuh

sendiri tanpa pengobatan, tetanus sedang dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan, tetanus

sedang dapat sembuh melalui pengobatan baku, sedangkan tetanus memerlukan perawatan

khusus yang intensif.1

Progresivitas penyakit dan reaksi terhadap pengobatan dapat diukur dengan

memberi angka pada empat gejala klinis yang timbul. Faktor yang dinilai ialah beratnya

kekakuan, frekuensi kejang, suhu badan, dan status pernapasan. Penilaian dilakukan setiap 12

Page 13: Tetanus

jam. Pengukuran berbagai faktor kolateral untuk menentukan nilai indeks pada cara Phillips

secara bermakna dapat menentukan prognosis. Makin besar angkanya, makin tinggi angka

kematiannya.1

Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi,

periode awal pengobatan, imunisasi, lokal fokus infeksi, penyakit lain yang menyertai,

beratnya penyakit, dan penyulit yang timbul. Masa inkubasi dan periode awitan merupakan

faktor yang mennetukan prognosis dalam klasifikasi Cole dan Spooner.1

Angka kematian tetanus berkisar 30-50%, walaupun diberikan semua tindakan

terapi. Usia merupakan faktor tunggal yang paling penting untuk menentukan prognosis. Usia

sangat muda dan sangat tus mempunyai prognosis buruk. Kebanyakan pasien yang bertahan

hidup sampai hari ke-10 gejala biasanya sembuh sempurna. Penyakit tidak meninggalkan

skuele. Angka kematian pasien yang termasuk dalam kelompok prognostik I lebih tinggi

daripada kelompok II dan III. Perawatan intensif menurunkan angka kematian akibat gagal

napas dan kelelahan akibat kejang. Selain itu, pemberian nutrisi yang cukup ternyata juga

menurunkan angka kematian.1,9

Pencegahan

Tetanus dicegah dengan penanganan luka yang baik dan imunisasi.

Rekomendasi WHO tentang imunisasi tetanus adalah 3 dosis awal saat infan, booster pertama

saat umur 4-7 serta 12-15 tahun dan booster terakhir saat dewasa. Di Amerika, CDC

merekomendasikan booster tambahan saat umur 14-16 bulan disertai booster tiap 10 tahun.

Pada orang dewasa yang menerima imunisasi saat masih anak-anak, namun tidak mendapat

booster, direkomendasikan menerima dosis imunisasi 2 kali dengan selang 4 minggu.6

Rekomendasi WHO, menganjurkan pemberian imunisasi pada wanita hamil

yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, 2 dosis dengan selang 4 minggu tiap dosisnya.

Hal tersebut untuk mencegah tetanus maternal dan neonatal.6

Ada dua pencegahan tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi

aktif serta pasif. Imunisasi aktif didapat dari penyuntikan toksoid tetanus untuk merangsang

tubuh membentuk antibodi. Manfaat imunisasi aktif ini sudah banyak dibuktikan. Imunisasi

pasif diperoleh dari pemberian serum yang mengandung antitoksin heterolog (ATS) atau

antitoksin homolog (imunoglobulin antitetanus). Berdasarkan riwayat imunitas dan jenis

luka. Baru ditentukan pemberian antitetanus serum atau toksoid.1

Ada keraguan untuk memberikan serum antitetanus bersamaan dengan toksoid

karena ditakutkan terjadi netralisasi toksoid oleh ATS. Hal ini dapat dicegah dengan

Page 14: Tetanus

memberikannya secara terpisah pada tempat penyuntikaan yang berjauhan, misalnya lengan

kanan dan paha kiri. 1

Penutup

Tetanus merupakan infeksi akut disebabkan exotoksin clostridium tetani yang

ditandai oleh kekakuan otot dan spasme. Tetanus sendiri biasanya terjadi pada keadaan yang

anaerob, seperti pada kasus luka robek yang penanganannya kurang maximal dan masih ada

kotoran pada luka sehingga menimbulkan sumber infeksi yang berakibat tetanus tersebut.

Penanganannya luka tersebut bisa diberikan H2O2 untuk membersihkan kotoran pada luka,

lalu antibiotik untuk infeksi yang biasanya menimbulkan demam dan nyeri pada ektremitas.

Daftar Pustaka

1. Sjamsuhidayat R. Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-de jong. Edisi ke-3. Jakarta:EGC;

2010.h.46-8,50

2. Behrman RE, Jenson HB, Kliegman RM, dan Marcdante KJ. Nelson ilmu kesehatan

anak esensial. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2014.h.395

3. Muttaqin A. Pengantar Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persarafan.

Jakarta: Salemba Medika; 2008.h.221-2

4. Bickley SL. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi 5. Jakarta:

EGC; 2008.h.15

5. Alpers A. Buku ajar pediatri Rudolph. Edisi ke-20. Jakarta: EGC; 2006.h.686-8

6. Alwi I, Setiati S, Sudoyo AW, Setiyohadi B, Syam AF, Simadibarata M. Buku ajar ilmu

penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.h.640-2

7. Batticaca F.B. Bab 8: Asuhan keprawatan klien dengan tetanus. Jakarta. 2008.h.126-7

8. Brooks A.G, Buthel S.J, Morse A.S. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Buku

KedokteranEGC; 2007.

9. Surasmi A. Perawatan bayi risiko tinggi. Jakarta: EGC; 2003.h.101

10. Markum A. Buku Kumpulan Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 2.Jakarta;

FKUI;2005.h.616-21

11. Ismanoe G. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: FKUI; 2009.h.2911-23

12. Nelson W. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-15. Jakarta: EGC; 2007.h.273-75

13. Alwi I, Setiati S, Sudoyo AW, Setiyohadi B, Syam AF, Simadibarata M. Buku ajar ilmu

penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta: InternaPublishing; 2014.h.640-2