TATALAKSANA KOMPREHENSIF ASMA EKSASERBASI AKUT A....

14
TATALAKSANA KOMPREHENSIF ASMA EKSASERBASI AKUT C. Martin Rumende A. DEFINISI ASMA EKSASERBASI AKUT Asma eksaserbasi akut (acute severe asma, flare up) merupakan suatu keadaan klinis dimana didapatkan adanya peningkatan gejala asma yang progresif, ditandai dengan sesak napas, batuk, mengi atau rasa terikat di dada yang semakin berat disertai dengan adanya penurunan fungsi paru yang juga bersifat progresif. Pada asma eksaserbasi akut seringkali pasien harus mengubah pengobatan yang biasa digunakan sebelumnya. Asma eksaserbasi akut dapat terjadi pada pasien yang sebelumnya telah diketahui menderita asma atau kadang-kadang dapat juga terjadi untuk pertama kalinya. 1,2 Eksaserbasi biasanya terjadi akibat adanya respons terhadap paparan dari luar (misalnya infeksi saluran napas atas akibat virus, paparan dengan serbuk sari tanaman, polusi) atau akibat ketidakteraturan dalam menggunakan obat pengontrol, dan pada sebagian kecil pasien datang dengan gejala eksaserbasi akut tanpa adanya paparan dengan faktor risiko yang jelas). Asma eksaserbasi akut dapat terjadi pada pada pasien asma yang sebelumnya terkontrol baik. Faktor risiko yang berkaitan dengan kematian akibat asma eksaserbasi akut adalah : Riwayat serangan asma yang hampir fatal sebelumnya yang memerlukan tindakan intubasi dan dukungan ventilator mekanik. Riwayat perawatan atau kunjungan ke emergensi karena serangan asma dalam tahun terakhir, Menggunakan atau menghentikan obat kortikosteroid oral. Menggunakan 2-agonis kerja singkat yang berlebihan, khususnya salbutamol yang lebih dari satu canister dalam setiap bulannya. Riwayat gangguan psikiatri atau gangguan psikosomatik. Ketidaktaatan dalam menggunakan obat-obat asma sebelumnya. Pasien asma dengan riwayat alergi makanan. 1,2,3 B. DIAGNOSIS ASMA EKSASERBASI AKUT Pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut akan didapatkan adanya perburukan gejala klinis asma disertai dengan penurunan fungsi paru, ditandai dengan penurunan peak expiratory flow (PEF) atau penurunan forced expiratory volume in 1 second (FEV1). Dalam keadaan eksaserbasi pengukuran kedua parameter tersebut akan memberikan petunjuk yang lebih baik mengenai

Transcript of TATALAKSANA KOMPREHENSIF ASMA EKSASERBASI AKUT A....

TATALAKSANA KOMPREHENSIF ASMA EKSASERBASI AKUT

C. Martin Rumende

A. DEFINISI ASMA EKSASERBASI AKUT

Asma eksaserbasi akut (acute severe asma, flare up) merupakan suatu keadaan

klinis dimana didapatkan adanya peningkatan gejala asma yang progresif,

ditandai dengan sesak napas, batuk, mengi atau rasa terikat di dada yang

semakin berat disertai dengan adanya penurunan fungsi paru yang juga bersifat

progresif. Pada asma eksaserbasi akut seringkali pasien harus mengubah

pengobatan yang biasa digunakan sebelumnya. Asma eksaserbasi akut dapat

terjadi pada pasien yang sebelumnya telah diketahui menderita asma atau

kadang-kadang dapat juga terjadi untuk pertama kalinya.1,2

Eksaserbasi biasanya terjadi akibat adanya respons terhadap paparan

dari luar (misalnya infeksi saluran napas atas akibat virus, paparan dengan

serbuk sari tanaman, polusi) atau akibat ketidakteraturan dalam menggunakan

obat pengontrol, dan pada sebagian kecil pasien datang dengan gejala

eksaserbasi akut tanpa adanya paparan dengan faktor risiko yang jelas). Asma

eksaserbasi akut dapat terjadi pada pada pasien asma yang sebelumnya

terkontrol baik. Faktor risiko yang berkaitan dengan kematian akibat asma

eksaserbasi akut adalah :

Riwayat serangan asma yang hampir fatal sebelumnya yang memerlukan

tindakan intubasi dan dukungan ventilator mekanik.

Riwayat perawatan atau kunjungan ke emergensi karena serangan asma

dalam tahun terakhir,

Menggunakan atau menghentikan obat kortikosteroid oral.

Menggunakan 2-agonis kerja singkat yang berlebihan, khususnya

salbutamol yang lebih dari satu canister dalam setiap bulannya.

Riwayat gangguan psikiatri atau gangguan psikosomatik.

Ketidaktaatan dalam menggunakan obat-obat asma sebelumnya.

Pasien asma dengan riwayat alergi makanan.1,2,3

B. DIAGNOSIS ASMA EKSASERBASI AKUT

Pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut akan didapatkan adanya

perburukan gejala klinis asma disertai dengan penurunan fungsi paru, ditandai

dengan penurunan peak expiratory flow (PEF) atau penurunan forced expiratory

volume in 1 second (FEV1). Dalam keadaan eksaserbasi pengukuran kedua

parameter tersebut akan memberikan petunjuk yang lebih baik mengenai

beratnya eksaserbasi dibandingkan dengan gejala klinis saja. Namun demikian

adanya peningkatan frekwensi gejala asma merupakan parameter yang lebih

sensitif untuk menentukan onset eksaserbasi dibandingkan dengan pengukuran

PEF. Sebagian kecil pasien mengalami penurunan fungsi paru yang signifikan

tanpa adanya perubahan dari gejala asmanya. Keadaan ini umumnya dialami

oleh pasien dengan riwayat serangan asma yang hampir fatal sebelumnya dan

umumnya dialami oleh kaum pria. Asma eksaserbasi akut berpotensi

menyebabkan kegawatan dan dalam tatalaksananya memerlukan pengkajian

yang cermat dan pengawasan yang ketat. Pasien dengan eksaserbasi asma yang

berat disarankan untuk segera berobat ke fasilitas kesehatan terdekat untuk

mendapatkan pengobatan yang adekuat.1,2,3

C. TATALAKSANA ASMA EKSASERBASI AKUT DI PUSAT LAYANAN PRIMER

Tatalaksana asma eksaserbasi akut di layanan primer mencakup beberapa hal

penting yaitu melakukan pengkajian beratnya asma, melakukan anamnesis dan

pemeriksaan fisis, melakukan pengukuran fungsi paru secara obyektif dan

memberikan pengobatan untuk asma eksaserbasinya itu sendiri (Gambar 1).1

1. Pengkajian beratnya eksaserbasi asma.

Anamnesis singkat dan terarah serta pemeriksaan fisis yang berkaitan harus

dilakukan secara bersamaan dengan pemberian terapi awal, dan semua data-

data penting kemudian dicatat. Jika pasien memperlihatkan gejala dan tanda

serangan asma yang berat atau mengancam nyawa, pengobatan dengan 2-

agonis kerja singkat, pemberian oksigen dan kortikosteroid sistemik harus

segera dimulai, sementara pasien dipersiapkan untuk dirujuk ke rumah sakit

dengan fasilitas kesehatan yang lebih lengkap. Sebaliknya pasien dengan

eksaserbasi yang ringan sampai sedang dapat ditangani di fasilitas kesehatan

primer yang memiliki peralatan dan tenaga medis yang memadai. 1,2

2. Melakukan anamsesis yang terarah.

Anamnesis dilakukan untuk mengetahui hal-hal penting berikut yaitu :

Menentukan onset dan penyebab dari eksaserbasi (bila memungkinkan).

Menentukan beratnya serangan asma.

Ada tidaknya gejala anafilaksis. Ada tidaknya faktor risiko kematian yang

berkaitan dengan eksaserbasi asma.

Obat-obat pelega dan pengontrol yang digunakan belakangan ini,

termasuk dosis dan devices yang digunakan, keteraturan penggunaan

obat, ada tidaknya perubahan dosis dan respons terhadap terapi yang

digunakan selama ini.

3. Pemeriksaan fisis.

Saat melakukan pemeriksaan fisis harus dikaji hal-hal berikut :

Tanda eksaserbasi akut yang berat, meliputi tanda-tanda vital, ada

tidaknya penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, mengi dan

kemampuan untuk mengucapkan suatu kalimat .

Ada tidaknya faktor pemberat (komplikasi) lain, misalnya reaksi

anafilaksis, pneumotoraks dan pneumonia.

Kemungkinan adanya penyebab sesak yang lain misalnya gagal jantung,

emboli paru dan aspirasi benda asing.

4. Pengukuran parameter obyektif

Pengukuran parameter obyektif untuk menilai beratnya eksaserbasi asma

dilakukan dengan :

Pengukuran pulse oximetry (saturasi O2 < 90 % memberikan petunjuk

perlunya terapi yang agresif).

Peak Expiratory Flow pada pasien > 5 tahun.

5. Terapi medika mentosa.

Terapi awal yang utama mencakup pemberian 2-agonis kerja singkat secara

berulang-ulang, pemberian kortikosteroid sistemik dini dan pemberian

oksigen secara terkontrol. Tujuan terapi adalah untuk dengan cepat

mengatasi obstruksi dan hipoksemia dengan mengacu pada reaksi inflamasi

yang mendasari patofisiologinya serta juga untuk mencegah kekambuhan.1-4

Inhalasi beta2-agonis kerja singkat. Untuk eksaserbasi asma yang

ringan sampai sedang, inhalasi 2-agonis kerja singkat diberikan secara

berulang-ulang yaitu 4-10 semprot setiap 20 menit dalam 1 jam pertama.

Terapi inhalasi ini umumnya cukup efektif dan efisien untuk mengatasi

obstruksi saluran napas dengan cepat. Setelah 1 jam pertama dosis 2-agonis

kerja singkat berikutnya bervariasi antara 4-10 semprot yang diberikan tiap

3-4 jam, hingga 6-10 semprot yang diberikan tiap 1-2 jam. Tidak diperlukan

lagi penambahan 2-agonis kerja singkat jika didapatkan adanya respons

terhadap terapi awal, yang ditandai dengan peningkatan PEF > 60-80%

predicted untuk selama 3-4 jam. Pemberian 2-agonis kerja singkat melalui

pressurized Metered-Dose Inhaler (pMDI) yang dilengkapi spacer dengan

ukuran sesuai atau melalui Dry Powder Inhaler (DPI) akan memberikan

perbaikan yang sama pada fungsi paru seperti pada nebulisasi. Cara

pemberikan yang paling cost-effective adalah melalui pMDI yang dilengkapi

dengan spacer asalkan pasien dapat menggunakan alat-alat tersebut. 1,2,3

Terapi Oksigen terkontrol. Terapi oksigen harus dititrasi dengan

bantuan pulse oximetry (bila tersedia) untuk mempertahankan saturasi

oksigen 93-95%. Pemberian oksigen secara terkontrol atau secara titrasi

akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian

oksigen 100% (high-flow oxygen therapy). Walaupun tidak tersedia oximetry,

pemberian oksigen tidak boleh ditunda dan pasien harus dimonitor untuk

mengetahui adanya perburukan gejala, penurunan kesadaran dan adanya

kelelahan.1,2

Kortikosteroid sistemik. Kortikosteroid sistemik harus segera

diberikan khususnya bila didapatkan perburukan pasien atau bila pasien

telah meningkatkan dosis obat-obat pengontrol dan pelega sebelum

timbulnya perburukan gejala. Dosis yang dianjurkan pada orang dewasa

adalah 1 mg prednisolon/kgBB/hari atau ekuivalennya hingga maksimum 50

mg/hari. Kortikosteroid oral harus diberikan selama 5-7 hari.1

Obat-obat pelega. Pasien yang sebelumnya telah menggunakan obat-

obat pelega disarankan untuk menaikan dosisnya untuk selama 2-4 minggu

berikutnya. Jika pasien sebelumnya tidak menggunakan obat-obat

pengontrol, harus selalu disarankan untuk menggunakan terapi steroid

inhalasi secara teratur, karena pasien berisiko untuk mengalami eksaserbasi

kembali berikutnya.1,2

Antibiotik. Dari penelitian yang ada, tidak disarankan pemberian

antibiotik pada asma eksaserbasi akut bila tidak ada bukti adanya tanda-

tanda infeksi. Adanya infeksi pada asma eksaserbasi akut dapat diketahui

dari adanya demam, sputum purulen dan adanya infiltrat pada foto toraks

akibat adanya pneumonia. Terapi kortikosteroid agresif harus diberikan

sebelum mempertimbangkan pemberian antibiotik.1

6. Evaluasi Pengobatan.

Selama pengobatan pasien harus dimonitor secara ketat dan terapi dititrasi

sesuai dengan responsnya. Pasien dengan gejala dan tanda eksaserbasi yang

berat atau yang mengancam nyawa dan tidak membaik dengan terapi yang

diberikan dan bahkan terus mengalami perburukan, harus dirujuk segera ke

unit emergensi rumah sakit yang lebih lengkap. Pasien yang menunjukkan

perbaikan yang minimal atau lambat dengan terapi 2-agonis kerja singkat,

harus dimonitor secara ketat. Pada sebagian besar pasien, monitoring fungsi

paru dapat dilakukan setelah terapi 2-agonis kerja singkat mulai diberikan.

Terapi tambahan lainnya harus dilanjutkan sampai nilai PEF atau FEV1

mencapai plateau atau idealnya sampai kembali ke nilai terbaik pasien

sebelumnya. Selanjutnya dibuat keputusan untuk menentukan apakah pasien

dapat dipulangkan atau harus dirujuk.1-3

PUSAT LAYANAN PRIMER

Pasien dengan eksaserbasi asma akut atau sub-akut

PENGKAJIAN PASIEN : - Apakah asma?

- Adakah faktor risiko kematian terkait asma ?

- Bagaimanakah tingkat keparahan eksaserbasi ?

RINGAN atau SEDANG

Bicara dalam frase

Lebih suka duduk untuk berbaring,

tidak gelisah, frekuensi napas

meningkat, otot-otot aksesori tidak

digunakan. Denyut nadi 100-120 x/mt

Saturasi O2 (di udara) 90-95%

PEF> 50% predicted .

BERAT Bicara dalam kata-kata Duduk membungkuk ke depan. gelisah Frekuensi napas > 30 x/ mt. Otot-otot aksesori napas digunakan Frekuensi nadi > 120 x/mt Saturasi O2 (udara ) <90%

PEF <50% predicted

MENGANCAM NYAWA Mengantuk, gelisah atau silent chest

MULAI PENGOBATAN

Beta2- agonis kerja singkat 4-10 semprot

pMDI + spacer, ulangi setiap 20 menit

selama 1 jam

Prednisolon: dewasa 1 mg / kg, maks.

50 mg. Oksigen terkontrol (jika ada)

target saturasi 93-95%

RUJUK KE EMERGENSI DARURAT MEDIK AKUT Sambil menunggu: berikan inhalasi Beta2-agonis kerja singkat dan ipratropium bromide, kortikosteroid sistemik dan O2

LANJUTKAN PENGOBATAN dengan Beta2-agonis kerja

singkat sesuai kebutuhan. NILAI RESPONS SETELAH 1 JAM

PENGKAJIAN UNTUK PULANG PENGATURAN SAAT PULANG

Gejala membaik, tidak perlu Beta2-agonis kerja singkat

PEF membaik, > 60-80% predicted

Saturasi oksigen> 94% room air

Sumber daya di rumah memadai

TINDAK LANJUT

Pelega : kurangi sesuai kebutuhan

Pengontrol : lanjutkan dengan dosis yang lebih tinggi untuk jangka pendek (1-2 minggu) atau jangka panjang (3 bulan),

tergantung dari latar belakang terjadinya eksaserbasi

Faktor risiko: Periksa dan perbaiki faktor risiko yang dapat dimodifikasi yang mungkin sebagai penyebab terjadinya

eksaserbasi, edukasi mengenai teknik inhalasi dan kepatuhan berobat

Rencana tindakan: apakah sudah dipahami? Apakah saya gunakan dengan tepat? Apakah perlu modifikasi?

PENTING

MEMBURUK

MEMBURUK

Gambar 1. Tatalaksana asma eksaserbasi akut di pusat layanan primer

Pelega dilanjutkan sesuai kebutuhan Pengontrol mulai diberikan atau ditingkatkan, periksa tehnik inhalasi, edukasi kepatuhan. Prednisolon dilanjutkan untuk 5-7 hari. Evaluasi ulang dalam 2-7 hari.

D. TATALAKSANA ASMA EKSASERBASI AKUT DI UNIT EMERGENSI

Tatalaksana asma eksaserbasi akut berat yang mengancam nyawa harus

dilakukan di unit emergensi. Seperti juga pada pelayanan primer, maka

tatalaksana di unit emergensi juga mencakup beberapa hal penting yaitu

melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, melakukan penilaian obyektif yang

lebih lengkap meliputi pemeriksaan fungsi paru dan pengukuran saturasi

oksigen, terapi medika mentosa serta bila diperlukan dilakukan juga

pemeriksaan analisis gas darah dan foto toraks (Gambar 2).1-3

1. Melakukan penilaian obyektif

Penilaian yang bersifat obyektif perlu juga dilakukan mengingat dengan

pemeriksaan fisis saja mungkin belum dapat memberikan petunjuk yang

akurat mengenai beratnya eksaserbasi asma. Namun demikian yang menjadi

perhatian utama dalam tatalaksana asma eksaserbasi akut tersebut adalah

kondisi pasien itu sendiri dan bukan nilai-nilai yang didapat dari

laboratorium.1

a. Pengukuran fungsi paru. Pemeriksaan fungsi paru sangat dianjurkan

pada asma eksaserbasi akut yang berat. Bila memungkinkan, tanpa terlalu

menunda pengobatan, dilakukan pencatatan nilai PEF dan FEV1 sebelum

pengobatan diberikan. Fungsi paru harus dievaluasi pada jam pertama dan

kemudian secara serial sampai didapatkan respons yang jelas terhadap

pengobatan yang diberikan atau sampai mencapai plateau.1-3

b. Saturasi oksigen. Saturasi oksigen harus dimonitor secara ketat

dengan menggunakan pulse oximetry. Saturasi oksigen < 90% memberi

petunjuk perlunya diberikan terapi yang agresif. Saturasi oksigen harus

dinilai sebelum diberikan oksigen atau 5 menit setelah oksigen dilepas atau

jika saturasi telah stabil.1,2

c. Analisis gas darah. Pemeriksan analisis gas darah tidak perlu

dilakukan secara rutin pada asma eksaserbasi akut. Pemeriksaan ini perlu

dipertimbangkan pada pasien eksaserbasi akut dengan nilai PEF atau FEV1<

50% predicted, atau pada pasien yang tidak menunjukkan respons dengan

terapi awal yang diberikan dan bahkan mengalami perburukan. Suplementasi

oksigen secara terkontrol perlu dilanjutkan, sementara diperoleh hasil

analisis gas darah. Tekanan parsial oksigen (PaO2) < 60 mmHg dengan PCO2

yang normal atau tinggi (>45 mmHg) menunjukkan adanya gagal napas.

Kelelahan atau penurunan kesadaran hingga somnolen menunjukkan adanya

peningkatan PCO2 dan merupakan indikasi perlunya dilakukan intervensi

saluran napas.2,3,4

d. Foto toraks. Pemeriksaan foto toraks tidak disarankan untuk

dilakukan secara rutin. Pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan bila diduga

adanya kemungkinan penyebab sesak yang lain khususnya pada orang tua,

misalnya adanya gagal jantung. Foto toraks perlu juga dilakukan bila pasien

tidak menunjukkan respons dengan terapi yang diberikan, sementara

kemungkinan adanya pneumotoraks sulit untuk didiagnosis secara klinis.1,2

2. Terapi Asma Eksaserbasi akut di Unit Emergensi

Terapi yang perlu diberikan secara bersamaan untuk mendapatkan perbaikan

secara cepat yaitu :

a. Oksigen. Oksigen harus diberikan baik dengan kanul binasal atau

dengan simple mask untuk mencapai saturasi oksigen 93-95%. Pada

eksaserbasi akut yang berat controlled low flow oxygen therapy yang diberikan

dengan panduan pulse oximetry (untuk mencapai saturasi oksigen 93-95%)

akan memberikan dampak fisiologis yang lebih baik dibandingkan dengan

high flow 100% oxygen therapy. Pemberian terapi oksigen tidak boleh ditunda

bila tidak ada pulse oximetry. Bila pasien sudah stabil, pertimbangkan untuk

menyapih oksigen dengan panduan oximetry.

b. Inhalasi beta2-agonis kerja singkat. Terapi inhalasi dengan beta2-

agonis kerja singkat harus sering diberikan pada pasien dengan asma

eksaserbasi akut. Cara pemberian inhalasi yang paling efisien dan efektif

adalah dengan menggunakan pMDI yang dilengkapi dengan spacer yang

ukurannya sesuai. Pada asma yang berat dan near-fatal asthma, bukti

mengenai efektifitas pemberian terapi inhalasi kuranglah kuat. Systimatic

review yang membandingkan antara terapi inhalasi intermiten dengan

kontinyu memberikan hasil yang bervariasi. Walaupun ada satu penelitian

yang menunjukkan tidak adanya perbedaan pada perbaikan fungsi paru dan

angka perawatan di rumah sakit, namun studi-studi lebih lanjut menunjukkan

adanya perbaikan fungsi yang lebih besar dan angka perawatan di rumah

sakit yang lebih rendah pada pemberian inhalasi secara kontinyu

dibandingkan dengan intermiten, khususnya pada pasien-pasien dengan

fungsi paru yang buruk. Studi awal pada pasien yang dirawat menunjukkan

bahwa pemberian inhalasi intermiten secara on-demand menunjukkan lama

perawatan yang lebih singkat, pemberian inhalasi yang lebih sedikit dan efek

samping palpitasi yang lebih rendah dibandingkan dengan terapi inhalasi

yang diberikan secara rutin setiap 4 jam. Berdasarkan data tersebut maka

pemberian terapi inhalasi dengan 2-agonis yang rasional pada asma

eksaserbasi akut adalah dengan pemberian secara kontinyu pada awalnya,

dilanjutkan dengan intermiten secara on-demand pada pasien yang dirawat.

Pemberian rutin 2-agonis secara intravena pada asma eksaserbasi akut tidak

disarankan.1,3-5,7

c. Epinefrin (Adrenalin). Pemberian epinefrin (adrenalin) diindikasikan

sebagai terapi tambahan pada terapi standar asma dan angioedema yang

terjadi akibat reaksi anafilaksis. Pemberian epinefrin tidak disarankan untuk

diberikan secara rutin pada eksaserbasi asma yang lain.1,3

d. Kortikosteroid sistemik. Kortikosteroid sistemik harus diberikan ada

asma eksaserbasi akut yang berat karena akan mempercepat penyembuhan

dan mencegah relaps. Bila memungkinkan kostikosteroid sistemik diberikan

dalam 1 jam pertama sejak timbulnya keluhan eksaserbasi. Pemberian

kortikosteroid sistemik adalah penting terutama pada keadaan berikut yaitu

bila pemberian 2-agonis awal tidak menunjukkan perbaikan, eksaserbasi

akut terjadi sementara pasien menggunakan kortikosteroid oral, pasien

dengan riwayat eksaserbasi akut yang memerlukan kortikosteroid oral.

Pemberian kortikosteroid oral menunjukkan efektifitas yang sama seperti

pada pemberian intravena. Pemberian oral lebih disukai karena lebih cepat,

lebih tidak invasif dan lebih murah. Dengan pemberian secara oral diperlukan

waktu minimal 4 jam sebelum didapatkan adanya perbaikan gejala.

Kortikosteroid intravena diberikan pada keadaan berikut yaitu pasien dengan

sesak yang berat sehingga sulit untuk menelan, pasien yang mengalami

muntah-muntah, pasien yang memerlukan ventilasi non-invasif dan pasien

yang diintubasi. Pemberian kortikosteroid intramuskular perlu

dipertimbangkan pada pasien yang akan dipulangkan dari unit emergensi,

khususnya bila ada kekhawatiran akan ketidakteraturan berobat dengan

pemberian kortikosteroid oral. Dosis kortikosteroid yang diberikan adalah

yang setara dengan 50 mg prednisolon, diberikan dalam dosis tunggal pagi

hari, atau hidrokortison 200 mg dalam dosis terbagi diberikan selama 5-7

hari. Deksametason oral dapat juga diberikan namun disarankan tidak lebih

dari 2 hari mengingat efek samping metabolik yang dapat ditimbulkannya.1,2,3

e. Kortikosteroid inhalasi. Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yang

diberikan dalam 1 jam pertama sejak timbulnya gejala akan mengurangi

kemungkinan perlunya perawatan pada pasien yang tidak mendapatkan

kortikosteroid sistemik. Jika diberikan sebagai terapi tambahan dari

kostikosteroid sistemik, manfaatnya masih diperdebatkan. Secara umum

pemberian kortikosteroid inhalasi dapat ditoleransi dengan baik, namun jenis

steroid yang diberikan, dosis dan lamanya pemberian dalam tatalaksana asma

eksaserbasi akut di unit emergensi masih belum jelas. Setelah pulang dari unit

emergensi sebagian besar pasien tetap memerlukan terapi kortikosteroid

inhalasi yang digunakan secara regular untuk mencegah berulangnya

eksaserbasi. Selain itu pemberian kortikosteroid inhalasi dapat juga

menurunkan angka perawatan dan angka kematian yang berkaitan dengan

asma secara signifikan. Untuk dampak jangka pendek seperti untuk

mengurangi perlunya perawatan di rumah sakit, untuk mengurangi gejala dan

untuk meningkatkan kualitas hidup, kortikosteroid inhalasi dianjurkan untuk

diberikan sebagai tambahan dari terapi kortikosteroid sistemik setelah pasien

dipulangkan. Beberapa penelitian bahkan menunjukkan manfaat

kortikosteroid inhalasi yang sebanding dengan kortikosteroid sistemik pada

eksaserbasi asma yang lebih ringan.3-7

f. Terapi lain

- Ipratropium bromide. Pada asma eksaserbasi akut yang sedang sampai

berat, pemberian 2-agonis kerja singkat bersamaan dengan ipratropium

bromide inhalasi akan mengurangi kemungkinan perlunya perawatan

dan akan semakin meningkatkan perbaikan PEF dan FEV1 bila

dibandingkan dengan pemberian 2-agonis kerja singkat secara

tersendiri.

- Aminofilin dan teofilin. Pemberian aminofilin dan teofilin dalam

tatalaksana asma eksaserbasi akut di unit emergensi tidak dianjurkan

mengingat efek samping dan profil keamanannya yang buruk, sementara

itu 2-agonis kerja singkat efektifitasnya lebih baik dan lebih aman.

Pemberian aminofilin secara intravena dikaitkan dengan efek samping

yang berat dan potensial fatal, terutama pada pasien yang sebelumnya

sudah menggunakan teofilin lepas lambat. Pemberian aminofilin sebagai

tambahan pada asma eksaserbasi akut berat tidak memberikan dampak

yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian 2-agonis kerja singkat

secara tersendiri.1,3

- Magnesium. Magnesium tidak disarankan untuk digunakan secara

rutin, namun pemberiannya perlu dipertimbangkan pada pasien dengan

FEV1 < 25-30% predicted saat pemeriksaan awal dan pasien yang tidak

menunjukkan respons dengan terapi awal, disertai dengan hipoksia

persisten. Pada pasien-pasien tersebut pemberian magnesium dengan

dosis 2 gr yang diberikan melalui infus selama 20 menit dapat

menurunkan angka perawatan.1,3,4

- Helium oxygen therapy. Systematic review yang meneliti perbandingan

antara helium-oxygen dengan air-oxygen mendapatkan bahwa helium

oxygen therapy tidak berperan dalam pengobatan rutin, namun dapat

dipertimbangkan pada pasien yang tidak menunjukkan repons dengan

terapi standar yang diberikan.1,4

- Leukotriene receptor antagonists. Peranan leukotriene receptor

antagonists dalam tatalaksana asma eksaserbasi akut masih sangat

terbatas. Beberapa studi kecil memperlihatkan adanya perbaikan fungsi

paru, namun peranan obat tersebut masih memerlukan studi yang lebih

besar. 1

- Kombinasi kortikosteroid inhalasi dan beta2-agonis kerja panjang.

Peranan kombinasi kortikosteroid inhalasi dan beta2-agonis kerja

panjang dalam tatalaksana asma eksaserbasi akut di unit emergensi

masih belum jelas. Ada satu studi yang memperlihatkan bahwa

pemberian high-dose budesonide/formoterol ditambah prednisolon pada

pasien-pasien dengan asma eksaserbasi akut di unit emergensi

menunjukkan efikasi dan profil keamanan yang sama seperti pada 2-

agonis kerja singkat. Namun demikian hasil studi lain yang meneliti

manfaat penambahan salmeterol pada pasien yang menggunakan

kostikosteroid oral yang dirawat di rumah sakit, belum cukup kuat untuk

merekomendasikan penggunaan kombinasi kedua obat tersebut.1.3

- Antibiotik. Pemberian antibiotik dalam tatalaksana asma eksaserbasi

akut hanya diindikasikan bila didapatkan adanya infeksi paru yang

ditandai dengan adanya demam, sputum purulen dan foto toraks yang

sesuai dengan pneumonia. Terapi kortikosteroid agresif harus diberikan

sebelum mempertimbangkan penggunaan antibiotik.1,2

- Sedatif. Pemberian sedatif pada asma eksaserbasi akut merupakan

kontraindikasi karena adanya efek depresi saluran napas dari obat-obat

tersebut. Hubungan antara penggunaan obat-obat sedatif dengan

kematian pada asma telah dilaporkan.1

- Non-invasive ventilation. Studi yang meneliti peran non-invasive

ventilation (NIV) pada tatalaksana asma eksaserbasi akut mendapatkan

bukti yang lemah. Suatu systematic review yang terdiri dari 3 studi

dengan 206 subyek dilakukan untuk mengetahui peran NIV pada

tatalaksana asma eksaserbasi akut dibandingkan dengan plasebo. Dua

studi mendapatkan tidak adanya perbedaan dalam hal perlunya tindakan

intubasi endotrakeal, namun satu studi memperlihatkan bahwa pada

kelompok NIV ternyata lebih sedikit yang memerlukan perawatan. Pada

masing-masing studi tersebut tidak didapatkan adanya mortalitas.

Berdasarkan penelitian yang terbatas tersebut maka disimpulkan bahwa

penggunaan NIV pada eksaserbasi asma tidak dianjurkan. Bila NIV tetap

akan digunakan maka pasien harus diobservasi dengan ketat. Non-

invasive ventilation tidak boleh diberikan pada pasien yang mengalami

agitasi, dan pemberian sedasi pada pasien-pasien tersebut tidak

dianjurkan.1,3,4-7

3. Evaluasi respons klinis

Kondisi klinis dan nilai saturasi oksigen pasien harus sering dievaluasi ulang,

dan untuk selanjutnya terapi diberikan secara titrasi berdasarkan respons

pasien tersebut. Fungsi paru harus dievaluasi ulang setelah 1 jam pemberian

bronkodilator. Pasien yang mengalami perburukan walapun telah diberikan

terapi bronkodilator dan kortikosteroid agresif harus dievaluasi ulang untuk

kemungkinan perlunya perawatan ICU.1,2

E. KRITERIA RAWAT DAN PULANG PASIEN DARI UNIT EMERGENSI

Untuk menentukan apakah pasien perlu dirawat atau tidak, dilakukan

penilaian terhadap keadaan klinis pasien (termasuk kemampuan untuk

berbaring telentang) dan keadaan fungsi parunya setelah 1 jam pemberian

terapi. Data klinis yang didapat tersebut merupakan prediktor yang lebih baik

dibandingkan dengan data keadaan klinis pasien pada saat pertama kali

datang. Konsensus mengenai penanganan pasien selanjutnya setelah

tatalaksana keadaan akut di unit emergensi adalah sebagai berikut :

Jika pre-treatment FEV1 atau PEF < 25% predicted, atau post-treatment

FEV1 atau PEF < 40% predicted maka pasien dianjurkan untuk dirawat.

Jika setelah pengobatan didapatkan nilai FEV1 atau PEF 40-60%

predicted, pasien mungkin bisa dipulangkan setelah memperhatikan

faktor risiko yang harus dihindari dan memastikan ketersediaan fasilitas

kesehatan untuk melakukan evaluasi lebih lanjut.

Jika FEV1 atau PEF setelah pengobatan atau hasil terbaik yang bisa

dicapai didapatkan > 60% predicted, pasien bisa disarankan untuk

berobat jalan setelah memperhatikan faktor risiko dan memastikan

ketersediaan sarana kesehatan untuk evaluasi lebih lanjut.1,3,5,7

PENGKAJIAN AWAL

A: airway B: breathing C: circulation

Apakah ada salah satu dari keadaan berikut ini?

Mengantuk, bingung, silent chest

TRIAGE selanjutnya berdasarkan

KEADAAN KLINIS

Berdasarkan keadaan terburuk

Konsul ICU, mulai pemberian Beta2-agonis kerja singkat, O2 dan persiapan intubasi

RINGAN atau SEDANG. Bicara dalam frase, lebih suka duduk hingga berbaring, tidak gelisah, frekuensi napas meningkat Otot-otot aksesori tidak digunakan Frekuensi nadi 100-120 x/menit, saturasi O2 (on air) 90-95%, PEF> 50% predicted. Beta2-agonis kerja singkat Pertimbangkan ipratropium bromide O2 terkontrol untuk mempertahankan saturasi 93-95%. Kortikosteroid oral

BERAT

Bicara dalam kata-kata

Duduk membungkuk ke depan

Gelisah

Frekuensi napas > 30 x/ menit

Otot-otot aksesori digunakan

Denyut nadi > 120 x/menit

Saturasi O2 (on air) <90%

PEF <50% predicted

Beta2-agonis kerja singkat

Ipratropium bromida

O2 terkontrol untuk mempertahankan

saturasi 93-35% (anak 94-98%)

Kortikosteroid oral atau IV

Pertimbangkan magnesium iv

Pertimbangkan steroid inhalasi dosis tinggi

Jika terus memburuk, terapi sebagai keadaan

yang berat dan nilai ulang untuk rawat ICU

KAJI KEMAJUAN KLINIK SECARA BERULANGKALI MENGUKUR FUNGSI PARU

Pada semua pasien satu jam setelah pengobatan awal

FEV atau PEF 60-80% predicted dan gejala

membaik

MODERAT

Pertimbangkan untuk rencana pulang

FEV atau PEF <60% predicted

atau kurangnya respons klinis

BERAT

Lanjutkan pengobatan seperti di atas

dan sering-sering melakukan penilaian ulang

TIDAK YA

Gambar 2. Tatalaksana asma eksaserbasi akut di unit emergensi rumah sakit

Faktor lain yang mungkin berkaitan dengan indikasi rawat pasien adalah :

Jenis kelamin wanita, usia yang lebih tua dan non-white race.

Penggunaan 2 agonis > 8 semprot sehari dalam 24 jam sebelumnya.

Asma eksaserbasi akut yang berat, yaitu perlunya tindakan resusitasi

atau intervensi medis saat tiba di rumah sakit, frekwensi napas > 22

kali/menit, saturasi oksigen < 95% atau PEF akhir < 50% predicted.

Riwayat asma eksaserbasi akut berat, misalnya riwayat intubasi atau

riwayat perawatan di rumah sakit sebelumnya.

Riwayat kunjungan ke rumah sakit atau unit emergensi yang tidak

terjadwal sebelumnya dan memerlukan terapi dengan kortikosteroid

oral.

Secara umum pada semua pasien asma yang datang ke emergensi karena

eksaserbasi akut adanya faktor risiko harus diperhatikan baik pada pasien yang

akan dipulangkan ataupun dirawat.

F. KESIMPULAN

Asma eksaserbasi akut merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai

dengan semakin memberatnya gejala asma dan semakin menurun fungsi

paru secara progresif.

Asma eksaserbasi akut ringan sampai sedang dapat ditatalaksana pada

pusat layanan primer, sedangkan eksaserbasi akut yang berat harus

ditangani di rumah sakit dengan fasilitas yang lebih lengkap.

Kortikosteroid sistemik baik yang diberikan secara oral maupun

intravena dan 2-agonis kerja singkat yang diberikan secara inhalasi

merupakan obat-obat utama yang harus diberikan pada pasien dengan

asma eksaserbasi akut.

Evaluasi klinis dan pemeriksaan fungsi paru harus dilakukan sebelum

dan sesudah pemberian obat-obat bronkodilator dan kortikosteroid.

Pasien dengan asma eksaserbasi akut yang mengancam nyawa harus

dirawat di ICU untuk pertimbangan intubasi dan penggunaan ventilator

mekanik.

G. Daftar Pustaka

1. Global strategy for asthma management and prevention. Management of

worsening asthma and exacerbations. Global initiative for asthma, 2016;

72-85.

2. Chestnut MS, Prendergast TJ. Obstructive lung diseases : Asthma and

Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (COPD). In : Hammer GD,

McPhee SJ, editors. Pathophysiology of Disease. An Introduction to

Clinical Medicine. Toronto : Mc Graw Hill Education; 2014.p.228-32.

3. Usmani OS, Barnes PJ. Asthma : Clinical Presentation and Management.

In: Elias JK, Fishman JA, Kotloff RM, Pack AL, Senior RM, editors.

Fishmans Pulmonary Diseases and Disorders. Toronto: McGraw Hill

Education; 2015.p.712-3.

4. Rajaram SS. Life-threatening Asthma. In: Parillo JE, Dellinger RP, editors.

Critical Care Medicine. Principle of Diagnosis and Management in Adult.

Philadelphia: ELSEVIER saunders; 2015.p.645-54.

5. Pavord I, Green RH, Haldar P. Diagnosis and Management of Asthma in

Adults. In: Spiro SG, Silvestri GA, Agusti A, editors. Clinical Respiratory

Medicine. Philadelphia: ELSEVIER saunders; 2012.p.501-16.

6. Barnes P. Asthma. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hause

SL, Loscalzo J, editors. Harrisons Principles of INTERNAL MEDICINE.

Toronto: McGraw Hill; 2012.p.2113-5.

7. Lugogo N, Que LG, Fertel D, Kraft M. Asthma. In: Mason RJ, Broaddus VC,

Martin TR, King Jr TE, Schraufnagel DE, Murray JF, Nadel JA, editors.

Murray & Nadels Textbook of Respiratory Medicine. Philadelphia:

SAUNDERS ELSEVIERS; 2010.p.883-908.