ASPEK IMUNOLOGIS PEMERIKSAAN INTERFERON-GAMMA...
Transcript of ASPEK IMUNOLOGIS PEMERIKSAAN INTERFERON-GAMMA...
1
ASPEK IMUNOLOGIS PEMERIKSAAN INTERFERON-GAMMA RELEASE
ASSAY PADA TUBERCULOSIS
C. Martin Rumende
1. Pendahuluan
Tuberculosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan global dan menempati
tempat kedua sebagai penyebab kematian akibat infeksi di seluruh dunia setelah
HIV dengan angka prevalensi mencapai 11 juta kasus (diantara 10 juta sampai 13
juta) kasus pada tahun 2013. Angka ini ekuivalen dengan 159 kasus per 100.000
populasi. Angka insidens TB sendiri pada tahun 2013 tersebut didapatkan sebesar
9 juta kasus baru dengan angka kematian mencapai 1,5 juta kasus dimana
400.000 kasus diantaranya dengan HIV (+).1 Indonesia menempatkan ranking ke 5
kasus TB terbanyak di dunia dengan angka prevalensi 660.000 kasus, angka
insidens 430.000 kasus pertahun dan angka kematian 61.000 pertahun.2
Pemeriksaan immunoassays untuk mendeteksi respons imun hospes yang
spesifik terhadap M.TB akhir-akhir ini telah menjadi alternatif lain untuk
mendiagnosis TB ekstraparu. Myobacterium tuberculosis (M.TB) akan menginisiasi
kaskade imunologis yang menyebabkan sekresi berbagai sitokin dan recruitment
limfosit Th1. Interferon-γ merupakan salah satu sitokin yang dihasilkan oleh sel
Th1 dimana kadarnya meningkat akibat adanya infeksi oleh M.TB. Pemeriksaan
Interferon-Gamma Release Assay (IGRA) bertujuan untuk mengukur kadar
interferon-γ yang dilepaskan dalam sampel darah secara invitro setelah distimulasi
oleh purified protein derivate yang berasal dari M.TB. Untuk memahami manfaat
pemeriksaan IGRA pada TB, harus dipahami lebih dahulu mengenai aspek
imunologi pada infeksi TB.
2
2. Komponen dinding sel kuman Mycobacterium tuberculosis
Kuman Mycobacterium mempunyai dinding sel dengan sifat-sifat fisik dan kimiawi
tertentu yang memungkinkannya untuk dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi di
dalam makrofag. Gambar 1 memperlihatkan secara skematis dinding sel
Mycobacterium.3,4
Gambar 1. Gambaran skematis dinding sel Mycobacterium tuberculosis.
Kuman dilapisi oleh membran sitoplasma yang khas berupa 2 lapisan lemak yang
terdapat dibawah lapisan peptidoglikan (PG). Diantara lapisan membran
sitoplasma dan PG didapatkan sejumlah protein yang beberapa diantaranya
mungkin bersifat imunogenik. Kearah luar PG berikatan secara kovalen dengan
arabinogalaktam (AG) melalui ikatan fosfodiester. Selanjutnya bagian distal AG
3
akan berikatan dengan asam mikolat yang merupakan asam lemak rantai cabang.
Asam mikolat yang berikatan dengan disakarida trehalosa (cord factor) dapat
merangsang pembentukan granuloma dan mengaktifkan komplemen. Komponen
dinding sel lainnya yaitu acylated trehalosa sulfates berperanan penting dalam
virulensi kuman. Trehalosa sulfat bersifat lisosomotropik dan akan menghambat
fusi antara lisosom dan fagosom. Trehalosa sulfat juga dapat meningkatkan
toksisitas cord factor. Dinding sel kuman juga mengandung lipoarabinomannan
(LAM) yang dapat mempengaruhi sistim imun karena dapat menghambat proses
blastogenesis limfosit T, meningkatkan sekresi TNF oleh makrofag dan
menghambat kerja IFN- dalam mengaktifkan makrofag.
3. Respons imun pada TB
Obat-obat antituberkulosis tidak dapat mengeradikasi kuman
Mycobacterium tanpa bantuan sistem imun yang efektif. infeksi tuberkulosis
memperlihatkan perjalanan penyakit, gejala klinik dan dampak yang sangat
berbeda pada masing-masing pasien. Keadaan ini disebabkan karena adanya
perbedaan dari virulensi kuman dan perbedaan dari respons imun hospes.
Mekanisme virulensi kuman Mycobacterium masih merupakan suatu misteri, tetapi
belakangan ini diketahui bahwa virulensi terjadi bukan akibat sintesis zat-zat toksik
melainkan akibat kemampuannya untuk tetap mempertahankan diri terhadap
mekanisme respons imun. Pada infeksi tuberkulosis respons imun hospes dapat
diumpamakan seperti pedang bermata dua karena selain memperlihatkan respons
proteksi dapat juga mengakibatkan destruksi jaringan sehingga mempermudah
berkembangnya penyakit.
Respons imun pada infeksi tuberkulosis dapat dibagi dalam 4 tahap4,5 :
a. Innate (natural) immunity
4
Merupakan imunitas bawaan / alamiah dimana variabel utama yang berperan
secara imunologi adalah sel-sel makrofag alveoli dan sel NK. Mekanisme utama
yang berperan pada tahap ini adalah fagositosis. Tetapi kuman tuberkulosis yang
bersifat intraseluler relatif resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh
makrofag pada tahap ini, sehingga innate immunity umumnya tidak efektif dalam
mengontrol penyebaran infeksi. Innate immunity berperan pada tahap awal infeksi
sebelum timbulnya respon imun yang spesifik.
b. Adaptive / Acquired immunity
Merupakan bentuk mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi primer yang
dalam perkembangannya diawali oleh proses immune recognition yang terjadi
pada kelenjar getah bening. Immune recognition yang terjadi akan menghasilkan
respon imun dalam bentuk respon imun MHC class II pathway, terutama dalam
bentuk Th1-cytokine profile yang berperan untuk menekan bakteriemia.
c. Immune surveillance
Merupakan pertahanan tubuh untuk mengendalikan kuman tuberkulosis yang
dorman dalam set-sel fagosit dimana sel CD8+ merupakan variabel utama
sedangkan set CD4+ sebagai variable pendukung.
d. Macrophage activation.
Merupakan permasalahan utama dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap
infeksi tuberkulosis pasca primer dimana sel CD4+ merupakan variabel yang
memegang peranan utama.
4. Patogenesis infeksi TB
Secara alamiah manifestasi yang timbul akibat interaksi antara kuman
mikobakterium dengan makrofag pada infeksi primer dapat dibagi dalam 2 tahap
berdasarkan ada tidaknya aktifasi limfosit T. Pada tahap awal sebelum terjadi
5
aktifasi limfosit T maka respon imun yang terbentuk bersifat aspesifik, dimana
interaksi antara kuman dengan makrofag tersebut dapat menyebabkan beberapa
kemungkinan. Kuman mikobakterium yang mencapai alveoli akan difagosit oleh
makrofag alveoli dan kemungkinan dapat dihancurkan. Sebaliknya kuman
mikobakterium dapat juga menghancurkan makrofag atau bahkan bermultiplikasi di
dalamnya. Kemungkinan lain yang dapat juga terjadi yaitu timbulnya pneumoni dan
tuberkulosis primer yang fulminan walaupun keadaan ini lebih jarang terjadi.
Kuman mikobakterium dapat juga memasuki pembuluh darah atau pembuluh limfe
dan menyebar ke seluruh tubuh serta kemudian menyebabkan peradangan pada
organ ekstrapulmonal seperti kelenjar getah bening, ginjal, tulang, dll. Proses
imunologis pada keadaan ini merupakan manifestasi dari innate imunity dimana
pada belum terjadi aktifasi limfosit T.
Pada tahap selanjutnya (setelah 4 sampai 8 minggu infeksi) akan terjadi
aktifasi limfosit T untuk membentuk respon imun spesifik melalui mekanisme CMI
yang akan menyebabkan meningkatnya kemampuan makrofag untuk membunuh
kuman melalui pembentukan tuberkel, terhambatnya penyebaran kuman Iebih
lanjut, serta timbulnya respon DTH. Terbentuknya respon DTH ditandai dengan
adanya nekrosis kaseosa pada granuloma dan secara klinis penderita akan
memberikan hasil reaksi positif dengan penyuntikan tuberkulin intradermal.4,5,6
Aktifasi limfosit T yang ditandai dengan adanya respons CMI dan DTH merupakan
manifestasi dari adaptive immnunity. Respons CMI akan menentukan apakah
infeksi akan terhenti disini atau akan semakin berlanjut. Respons yang adekwat
menyebabkan infeksi akan menghilang secara permanen dan granuloma akan
menyembuh dengan meninggalkan lesi fibrotik atau kalsifikasi. Tetapi bila respon
CMI tidak adekwat, maka akan timbul respon DTH yang mempunyai efek
merugikan karena dapat menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan. Pada
sebagian besar pasien walaupun jumlah kuman Mycobacterium yang viable akan
berkurang secara bertahap namun sebagian kecil akan tetap hidup di dalam
makrofag dan mengalami dorman. Perbaikan klinis yang disertai dengan
6
pembentukan jaringan fibrosis, kalsifikasi dan granuloma yang tidak aktif yang
mengandung kuman yang dorman merupakan ciri-ciri fase immune surveillance.
Fase immune surveillance ini merupakan manifestasi dari infeksi TB laten yang
banyak didapat pada Negara-negara berkembang dengan prevalensi TB yang
tinggi. Pada TB laten pasien tidak memperlihatkan gejala sama sekali,
pemeriksaan mikrobiologis tidak didapatkan adanya kuman BTA dan pada foto
toraks bisa paru normal atau bisa juga didapatkan lesi-lesi TB yang tidak aktif.
Infeksi TB laten ini perlu diterapi secara adekwat terutama pada pasien-pasien
imunokompromais karena sebagian dari mereka dapat mengalami reaktifasi
menjadi TB aktif. Diagnosis TB laten dapat dipastikan dengan pemeriksaan
Mantoux test dan pemeriksaan Interferon-Gamma Release Assay.8-10
Pada sebagian besar penderita respons CMI berperanan untuk
mempertahankan keadaan dorman, bahkan untuk seumur hidup. Bila pada suatu
saat terjadi supresi respon CMI maka akan terjadi multiplikasi kuman hingga
mencapai jumlah yang lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi misalnya pada
keadaan stress, pemakaian steroid, obat-obat imunosupresif dan lain-lain.
Selanjutnya dengan membaiknya respon CMI akan terjadi infiltrasi limfosit yang
kemudian berinteraksi dengan antigen dalam jumlah yang lebih banyak sehingga
akan diproduksi banyak sitokin yang dapat menyebabkan nekrosis kaseosa yang
luas serta pembentukan kavitas. Reaktifasi TB laten menjadi TB aktif (TB pasca
primer) ini merupakan manifestasi dari fase macrophage activation. Pada sebagian
pasien, TB pasca primer terjadi akibat re-infeksi eksogen melalui inhalasi droplet
yang mengandung kuman BTA. Skema patogenesis infeksi TB dapat dilihat pada
gambar 2.10
7
Pasien terpapar droplet nuclei Yang berasal dari sumber infeksi TB
Infeksi Tidak terjadi infeksi Pertumbuhan bakteri tidak terkontrol (primary progressive TB) Pertumbuhan awal bakteri terbatas
Gambar 2. Gambaran skematis patogenesis infeksi tuberkulosis
5. Peran limfosit dan sitokin dalam regulasi sistem imun
Kuman Mycobacterium yang telah difagosit oleh makrofag dapat dihancurkan
melalui beberapa cara. Antigen kuman dapat dipresentasikan melalui molekul
Major Histocompatibility Complex class I ( MHC class I ) ke sel CD8 yang bersifat
Lama dan tingkat paparan, Pertahanansistem imun.
Respons proteksi imun lemah
Respons proteksi imun kuat. e response
Faktor pejamu, Faktor bakteri
Pertumbuhan Bakteri terhambat, beberapa bacilli menetap (latent infection)
Pertumbuhan Bakteri terhambat Seluruh bacilli dieliminasi (sterilizing immunity)
Respons Imun melemah
Respons Imun tetap adekwat (dormant bacilli)
Reaktifasidari infeksi latent (TB reactivation)
Infeksi latent tereliminasi
8
sitotoksik sehingga dapat melisiskan makrofag yang mengandung kuman. Antigen
kuman yang telah diproses dapat juga dipresentasikan ke set CD4 melalui molekul
MHC class II. Sel CD4 sendiri terdiri dari dua subpopulasi yaitu sel Th1 dan Th2
yang masing-masing dapat menghasilkan beberapa sitokin yang berperan dalam
regulasi sistem imun. Sel Th1 menghasilkan IL-2 dan IFN- yang akan
mengaktifkan makrofag untuk melisiskan kuman yang telah difagosit. Sedangkan
sel Th2 masing-masing akan menghasilkan IL-4 yang dapat menghambat aktifitas
makrofag dan IL-6 yang berperan dalam pematangan sel B.4-9
6. Respons Cell mediated immunity (CMI) dan delayed-type hypersensitivity
(DTH) pada infeksi TB.
Cell-mediated immunity dan DTH merupakan fenomena yang satu sama lain
sangat erat hubungannya yang timbul dalam tubuh akibat terjadinya aktifasi sel T
yang bersifat spesifik dan merupakan bagian dalam proses immune recognition.
Kedua fenomena yang belum dapat dipisahkan tersebut terjadi melaiui mekanisme
imunologi yang sama dan mengubah respon tubuh terhadap paparan antigen
berikutnya.DTH merupakan reaksi imunologi dari host terhadap infeksi tetapi tidak
berperanan langsung terhadap penghancuran kuman dan sebaliknya bertanggung
jawab terhadap berbagai efek destruksi jaringan khususnya bila didapatkan
antigen kuman dalam jumlah yang banyak. Cell-mediated immunity berperan
penting dalam meningkatkan kemampuan makrofag sehingga dapat
menghancurkan kuman yang telah difagosit. Jadi DTH merupakan proses yang
menyebabkan kerusakan jaringan sedangkan CMI memberikan efek yang
menguntungkan.4-9
Cell-mediated immunity. Imunitas ini terdiri dari 2 mekanisme reaksi yaitu
penghancuran kuman oleh makrofag yang telah diaktifasi oleh sel CD4+ dan lisis
makrofag yang mengandung kuman oleh sel CD8+. Kuman mikobakterium dalam
sel makrofag akan dipresentasikan ke sel Th1 melalui MHC class II, Sel Th1
9
selanjutnya akan mensekresi IFN- yang akan mengaktifkan makrofag sehingga
dapat menghancurkan kuman yang telah difagosit. Jika kuman tetap bertahan
hidup dan melepaskan antigennya ke dalam sitoplasma maka akan merangsang
sel CD8+ melalui sistim MHC class I. Sel CD8+ yang bersifat sitolitik selanjutnya
akan melisiskan makrofag. Tetapi tidak semua sel makrofag akan teraktifasi oleh
IFN- yang dihasilkan sel Th1 sehingga sel-sel yang luput tersebut selanjutnya
akan dilisiskan melalui mekanisme DTH.4,5
Delayed-type hypersensitivity. Sitokin IFN- yang disekresi oleh sel Th1
yang teraktifasi tidak hanya berguna untuk meningkatkan kemampuan makrofag
untuk melisiskan kuman, tetapi juga mempunyai efek penting lainnya yaitu
merangsang sekresi TNF oleh sel makrofag. Hal ini terjadi karena adanya
substansi aktif dalam komponen dinding sel kuman yaitu lipoarabinomannan
(LAM) yang dapat merangsang sel makrofag untuk memproduksi TNF. Dalam
keadaan normal TNF berfungsi untuk proteksi karena dapat merangsang
terbentuknya granuloma dimana didalamnya terdapat sel-sel makrofag. Respon
DTH pada infeksi tuberkulosis ditandai dengan adanya peningkatan sensitifitas sel
makrofag yang tidak teraktifasi terhadap efek toksik TNF sehingga terjadi distorsi
fungsi TNF. Distorsi ini menyebabkan terjadinya dualisme fungsi TNF dimana
selain bersifat proteksi, TNF juga akan melisiskan makrofag yang tidak teraktifasi.
Sel-sel makrofag yang lisis akan melepasan enzim-enzim protease dan lipase
yang dapat merusak jaringan sekitarnya sehingga terjadi nekrosis sentral (nekrosis
kaseosa) pada granuloma. Nekrosis terjadi juga pada pembuluh kapiler
disekitarnya dan menyebabkan terjadinya hipoksia sehingga respon ini diduga
turut berperan secara tidak langsung sebagai salah satu mekanisme proteksi.
Keadaan ini menyebabkan sebagian besar kuman tidak dapat bermultiplikasi,
sedangkan sebagian kecil akan mengalami dorman selama bertahun-tahun.4,5
7. Peran IGRA dalam mendiagnosis TB.
10
Menurut pedoman International Standard for Tuberculosis Care tahun 2013
pemeriksaan IGRA bermanfaat untuk mendiagnosis adanya TB laten.12 Namun
demikian belakangan ini didapatkan adanya bukti klinis manfaat pemeriksaan
IGRA pada TB aktif terutama yang mengenai organ ekstraparu. Dalam
menginterpretasikan hasil pemeriksaan IGRA harus selalu dikaitkan dengan gejala
klinis dan kelainan radiologis yang didapat. Pemeriksaan QuantiFERON-TB Gold
(QTF-G) merupakan pemeriksaan IGRA generasi kedua yang lebih superior
dibandingkan dengan pemeriksaan tes Mantoux karena tidak dipengaruhi baik
oleh vaksinasi BCG maupun infeksi oleh Mycobacterium other than tuberculosis
(MOTT). Pemeriksaan QuantiFERON-TB Gold menggunakan dua antigen spesifik
yaitu early secreted antigenic target 6 (ESAT-6) dan cultur filtrate protein 10 (CFP
10) yang hanya didapatkan pada M.TB dan tidak didapatkan baik pada strain BCG
maupun pada sebagian besar MOTT.13
Yun Feng dkk mendapatkan nilai sensitifitas pemeriksaan Interferon-
Gamma Release Assay (IGRA) untuk mendiagnosis TB paru dan TB ekstraparu
masing-masing 95,6 % dan 93,3 %, dengan spesifisitasnya masing-masing 69,2
% dan 8,9 %.13 Penelitian meta-analisis mengenai manfaat IGRA untuk
mendiagnosis TB ekstraparu dilakukan oleh Li Fan dkk dan didapatkan nilai
sensitifitas dan spesifisitas masing-masing 79 % dan 82 %. Dalam meta-analisis
tersebut didapatkan juga bahwa IGRA menunjukkan sensitifitas yang lebih baik
dibandingkan dengan tes Mantoux (79 % vs 59 %), namun dengan spesifisitas
yang tidak jauh berbeda yaitu masing-masing 83 % vs 71 %.14 Fatima Khalil dkk
dalam penelitiannya mendapatkan bahwa sensitifitas Quantiferon-TB Gold jauh
lebih baik dibandingkan dengan tes Mantoux dalam mendiagnosis TB paru aktif
dengan hasil masing-masing 80 % vs 28 %.15 Penelitian meta-analisis yang
dilakukan oleh Si-Biao Su dkk untuk menilai manfaat pemeriksaan interferon-
gamma pada peritonitis TB didapatkan nilai sensitifitas 93 % dan spesifisitas 99 %
dengan nilai duga positif 41,49 % (95 % CI, 97-100 %).16 Muhammad A. Saleh dkk
11
membandingkan pemeriksaan QuantiFERON-G dan ADA untuk mendiagnosis
peritonitis TB. Dalam penelitiannya didapatkan sensitifitas dan spesifisitas
pemeriksaan QTF-G masing-masing 92,9 % dan 100 %, sedangkan pemeriksaan
ADA didapatkan masing-masing 100 % dan 92,6 %.17
8. Kesimpulan
Infeksi TB masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara
berkembang. Manifestasi klinis infeksi TB dapat berupa TB laten dan TB aktif baik
paru maupun ekstraparu. Pemahaman mengenai aspek imunologis infeksi dapat
meningkatkan kemampuan dalam mendiagnosis TB. Pemeriksaan IGRA terutama
direkomendasikan untuk mendiagnosis adanya infeksi TB laten, namun demikian
semakin banyak penelitian yang membuktikan manfaat IGRA tersebut dalam
membantu menegakkan diagnosis TB aktif terutama yang menyerang organ
ekstraparu. Dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan IGRA harus selalu
dikaitkan dengan gejala klinik, kelainan radiologis dan data penunjang
laboratorium lainnya.
9. Daftar Pustaka
1. World Health Organization. The burden of disease caused by TB. Global
tuberculosis report 2014. Geneva : WHO Library Cataloguing-in-Publcation
Data; 2014.
2. Kemenkes. Situasi TB di Indonesia. Dalam : Mustikawati DE, Surya A,
penyunting. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014.
DIRJEN Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011: 12-4.
3. Lopes-Marin LM. Nonprotein structures from Mycobacteria : Emerging actors
for Tuberculosis Control. Clinical and Developmental Immunology. 2012 : 1-9.
12
4. Welin A. Survival strategies of Mycobacterium tuberculosis inside the human
macrophage. Linkoping University 2011.p. 14-5.
5. Ahmad S. Pathogenesis, immunology and diagnosis of Latent Mycobacterium
tuberculosis infection. Clinical and Developmental Immunology. 2011 ; 1-16.
6. Mortaz E, Varahram M, Farnia P, Bahadori M, Masjedi MR. New aspect in
immunopathology of Mycobacterium tuberculosis. ISRN Immunology. 2012: 1-
11.
7. Brighenti S, Anderson J. Local immune respons in human tuberculosis :
Learning from the site of infection. The journal of infectious diseases. 2012;
205: S316-24.
8. Schwander S, Dheta K. Human lung immunity against Mycobacterium
tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med. 2011; 183: 696-707.
9. Raja A. Immunology of tuberculosis. Indian J Med Res. 2004; 120: 213-32.
10. Bin-Eng Chee C, Sester M, Zhang W, Lange C. Diagnosis and treatment of
latent infection with Mycobacterium tuberculosis. Respirology. 2013; 18: 205-
16.
11. Rovina N, Panagiotou M, Pontikis K, Kyriakopoulou M, Koulouris N,
Koutsoukou A. Immune response to Mycobacterial infection : Lessons from flow
cytometry. Clinical and Developmental Immunology. 2013: 1-9.
12. International Standards for Tuberculosis Care.3rd edition, 2014; 9-13.
13. Feng Y, Diao N, Shao L, Wu J, Zhang S, JinJ, et al. Interferon-Gamma Release
Assay performance in pulmonary and extrapulmonary tuberculosis. March 13,
2012. http://www.plosone.org
14. Fan L, Chen Z, Hao XH, Hu ZY, Xiao HP. Interferon-gamma release assays for
diagnosis of extrapulmonary tuberculosis: a systematic review and meta-
analysis. FEMS Immunol Med Microbiol. 2012: 1-11.
15. Khalil KF, Ambreen A, Butt T. Comparison of Sensitivity of QuantiFERON-TB
Gold Test and Tuberculin Skin Test in Active Pulmonary Tuberculosis. Journal
of the College of Physicians and Surgeons Pakistan. 2013; 23: 633-6.
13
16. Su SB, Qin SY, Guo XY, Luo W, Jiang HX. Assessment by meta-analysis of
interferon-gamma for the diagnosis of tuberculous peritonitis. March 14, 2013.
http://www.wjgnet.com
17. Saleh MA, Hammad E, Ramadan MM, El-Rahman AA, Enein AF. Use of
Adenosine Deaminase measurements and QuantiFERON in rapid diagnosis of
tuberculous peritonitis. Journal of Medical Microbiology. 2012; 61: 514-9.