Status Pasien

61
1 STATUS PASIEN 1.1 Identitas Penderita Nama penderita : MA Jenis kelamin : laki-laki Umur : 2 tahun Berat badan : 17 kg Anak Ke : 5 Tanggal Pemeriksaan : 7 November 2014 Nomor CM : 1-02-58-65 Identitas orang tua/wali AYAH : Nama : Tn. M Yunus Pendidikan : SMA Pekerjaan : Swasta Alamat : Aceh Utara IBU : Nama : Ny. Pendidikan : SMP Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Alamat : Aceh Utara 1.2 Anamnesa Kiriman dari : RSUD Bireuen

description

HSAS

Transcript of Status Pasien

STATUS PASIEN1.1Identitas PenderitaNama penderita : MAJenis kelamin : laki-lakiUmur: 2 tahunBerat badan: 17 kgAnak Ke: 5Tanggal Pemeriksaan: 7 November 2014Nomor CM: 1-02-58-65Identitas orang tua/waliAYAH:Nama: Tn. M YunusPendidikan: SMAPekerjaan: Swasta Alamat: Aceh UtaraIBU:Nama: Ny.Pendidikan: SMPPekerjaan: Ibu Rumah TanggaAlamat: Aceh Utara1.2 AnamnesaKiriman dari: RSUD BireuenDengan diagnosa: RetinoblastomaAnamnesis dengan: Orang Tua1. Keluhan Utama: mata membesar 2. Keluhan Tambahan : mata merah3. Riwayat penyakit sekarang :Pasien datang ke RSUD Zainoel Abidin dengan rujukan dari ahli mata RSU Fauziah Bireuen dengan diagnosa Retinoblastoma sinistra diantar oleh orang tuanya dengan keluhan mata kiri semakin lama semakin membesar sejak 2 minggu yang lalu.awalnya pasien mengeluhkan mata kiri merah sejak 2 bulan yang lalu, mata merah yang dirasakan terus menerus, dan memberat sejak 2 minggu. pasien juga mengeluhkan mata berair terus menerus tanpa disertai kotoran mata.sebelumnya, pasien sudah berobat ke klinik ahli mata dan diberi obat tetes mata, tetapi keluhan yang dialami pasien semakin memberatRiwayat penyakit dahulu :Riwayat diare berulang disangkal4. Riwayat Kehamilan, Kelahiran, dan Tumbuh kembang Pasien merupakan anak pertama Pasien lahir spontan, cukup bulan, dibantu bidan, berat lahir 3200 gram, panjang lahir 49 cm Riwayat tumbuh kembang kesan baik5. Riwayat imunisasi: Tidak lengkap1.3 Status Internus1. Keadaan Umum: Pasien tampak kesakitan2. Kesadaran: E4 M6 V53. Nadi: 128 kali/ menit4. Pernafasan: 40 kali/menit5. Suhu: 38,20C6. Keadaan Gizi: Gizi sedang1.4 Pemeriksaan Fisika. Kulit1. Warna: Sawo matang2. Turgor: Kembali lambat3. Sianosis: Tidak ada4. Ikterus: Tidak ada5. Oedema: Tidak ada6. Anemia: Tidak adab. Kepala1. Rambut: Hitam, sukar dicabut2. Wajah: Simetris, edema (-), deformitas(-)3. Mata: Conjunctiva pucat (-/-), ikterik (-/-)a. Pupil bulat isokor 3 mm/3 mm b. Refleks cahaya langsung (+/+), danc. Refleks cahaya tidak langsung (+/+)4. Telinga: Serumen (-/-)5. Hidung: Sekret (-/-), hiperemis (-/-)6. MulutBibir: Bibir pucat (-), Mukosa Basah (+), sianosis (-)c. Leher1. Inspeksi: Simetris2. Pembesaran KGB : Tidak adad. ThoraxParu: Sonor, vesikuler, tidak ada rhonki, tidak ada wheezing Jantung: Bunyi jantung I-II normal, tidak ada murmur dan gallop e. Abdomen1. Inspeksi : Membuncit, kontur usus tidak terlihat, gambaran peristaltik tidak terlihat2. Palpasi : Tegang, hati dan lien sulit dinilai, tidak ada defans muskular, tidak teraba massa3. Perkusi: Timpani4. Auskultasi: Bising usus menurun f. Genitalia: Tidak diperiksag. Anus: Tidak diperiksa i. Kelenjar Limfe: Pembesaran KGB (-)j. Ekstremitas: Akral hangatSuperiorInferior

KananKiriKananKiri

Sianosis----

Oedema----

Fraktur----

1.5 Pemeriksaan PenunjangA. Pemeriksaan LaboratoriumHasilNilai Normal

Hematologi

Darah Rutin

Hemoglobin11,9 g/dL10,5-12,9 g/dL

Hematokrit36 %53-63 %

Eritrosit4,7.104/mm34,4-5,8.104/mm3

Leukosit19,7.103/mm35,0-19,5.103/mm3

Trombosit391.103U/L150-450.103U/L

Hitung jenis :

Eosinofil0 % 0-6%

Basofil0 % 0-2%

Netrofil segmen71% 50-70%

Limfosit21% 20-40%

Monosit8%2-8%

Kimia Klinik

Hati & Empedu

Protein Total3,8 g/dL6,4-8,3 g/dL

Albumin2,20 g/dL3,5-5,2 g/dL

Globulin1,60 g/dL

Elektrolit117 mg/dL10.000/mm3).Pemeriksaan RadiologiFoto polos abdomenDidapatkan distribusi udara di dalam usus tidak merata, usus terdesak ke kiri atas, bila telah lanjut terlihat tanda-tanda obstruksi usus dengan gambaranair fluid level. Dapat terlihatfree airbila terjadi perforasi.

Gambar 2.5 Gambaran radiologi usus terdesak ke kiri atasLiteratur lain menyebutkan bahwa foto polos hanya memiliki akurasi diagnostik 45% untuk menegakkan diagnosis intususepsi sehingga penggunaannya tidak diindikasikan jika ada fasilitas USG. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hookeret altahun 2008 dalamRadiographic Evaluation of Intussusception, tampilan foto polos abdomen dengan posisileft side down decubitusmeningkatkan kemampuan untuk diagnosis atau menyingkirkan intususepsi.8,13

Gambar 2.6 Foto polos abdomen; tampak bayangan massa (tanda panah) merupakan bagian usus yang masuk ke lumen usus proksimal

Gambar 2.7 Foto polos abdomen tampak adanya Hearing Bone Appearance

Gambar 2.8 Gambaran foto polos abdomen anak usia 3 tahun dengan intususepsi pada caecum. Posisi decubitus memperlihatkan colon ascenden lebih jelas (tanda panah). Setelah dikonfirmasi dengan barium enema, maka anak ini diketahui mengalami intususepsi caecal

Gambar 2.9 Gambaran radiologi Colied spring appearance pada intususepsi

Barium enemaDikerjakan untuk tujuan diagnosis dan terapi, untuk diagnosis dikerjakan bila gejala-gejala klinik meragukan. Pada barium enema akan tampak gambarancupping,coiled spring appearance.

Gambar 2.10 Colon in loop pada intussusception di daerah colon ascenden.Ultrasonografi AbdomenPada tampilan transversal USG, tampak konfigurasi usus berbentuk target atau donat yang terdiri dari dua cincinechogenisitasrendah yang dipisahkan oleh cincin hiperekoik, tidak ada gerakan pada donat tersebut dan ketebalan tepi lebih dari 0,6 cm. Ketebalan tepi luar lebih dari 1,6 cm menunjukkan perlunya intervensi pembedahan. Pada tampilan logitudinal tampakpseudokidney signyang timbul sebagai tumpukan lapisan hipoekoik dan hiperekoik.Pemeriksaan USG selain sebagai diagnostik, juga dapat digunakan untuk membantu mendiferensiasikan tipe dari intususepsi. Park et al (2007) melaporkan bahwa intususepsi transien dari usus kecil lebih sering terlokalisir pada kuadran kanan bawah atau region periumbilikal, memiliki diameter anteroposterior yang lebih kecil (1,38 cm vs 2,53 cm), memiliki garis luar yang lebih tipis (0,26 cm vs 0,53 cm), dan tidak memiliki nodus limfatikus, dimana berbanding terbalik dengan intususepsi ileocolic.Sebuah studi oleh Munden et al (2007) mendukung penemuan ini, dengan diameter anteroposterior rata-rata adalah 1,5 cm pada intususepsi ileoileal dan 3,7 cm pada intususepsi ileocolic dan panjang rata-ratanya berkisar 2,5 cm dan 8,2 cm secara respektif.

Gambar 2.11 (a) Gambaran radiologi target sign (b) pseudokidney sign pada USG

Gambar 2.12 (A). Irisan melintang dan (B), irisan memanjang dari invaginasi pada USG

CT ScanIntususepsi yang digambarkan pada CT scan merupakan gambaran klasik seperti pada USG yaitutarget sign. Intususepsi temporer dari usus halus dapat terlihat pada CT maupun USG, dimana sebagian besar kasus ini secara klinis tidak signifikan.

Gambar 2.13 Gambaran radiologi target sign pada CT scan2.11 Diagnosis Banding1. Gastroenteritis, bila diikuti dengan intususepsi dapat ditandai jika dijumpai perubahan rasa sakit, muntah dan perdarahan.2. Divertikulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri.3. Disentri amoeba, disini diare mengandung lendir dan darah, serta adanya obstipasi, bila disentri berat disertai adanya nyeri di perut, tenesmus dan demam.4. Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat.5. Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi berulang kali dan pada colok dubur didapati hubungan antara mukosa dengan kulit perianal, sedangkan pada intususepsi didapati adanya celah.2.12PenatalaksanaanPada bayi maupun anak yang dicurigai intususepsi atau invaginasi, penatalaksanaan lini pertama sangat penting dilakukan untuk mencegah komplikasi yang lebih lanjut. Selang lambung (Nasogastric tube) harus dipasang sebagai tindakan kompresi pada pasien dengan distensi abdomen sehingga bisa dievaluasi produksi cairannya. Setelah itu, rehidrasi cairan yang adekuat dilakukan untuk menghindari kondisi dehidrasi dan pemasangan selang catheter untuk memantau ouput dari cairan. Pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit darah dapat dilakukan.Pneumatic atau kontras enema masih menjadi pilihan utama untuk diagnosa maupun terapi reduksi lini pertama pada intususepsi di banyak pusat kesehatan. Namun untuk meminimalisir komplikasi, tindakan ini harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa panduan. Salah satunya adalah menyingkirkan kemungkinan adanya peritonitis, perforasi ataupun gangrene pada usus. Semakin lama riwayat perjalanan penyakitnya, semakin besar kemungkinan kegagalan dari terapi reduksi tersebut.

Tindakan Non OperatifA. Hydrostatic ReductionMetode reduksi hidrostatik tidak mengalami perubahan signifikan sejak dideskripsikan pertama kali pada tahun 1876. Meskipun reduksi hidrostatik dengan menggunakan barium di bawah panduan fluoroskopi telah menjadi metode yang dikenal sejak pertengahan 1980-an, kebanyakan pusat pediatrik menggunakan kontras cairan saline (isootonik) karena barium memiliki potensi peritonitis yang berbahaya pada perforasi intestinal.Berikut ini adalah tahapan pelaksanaannya:1. Masukkan kateter yang telah dilubrikasi ke dalam rectum dan difiksasi kuat diantara pertengahan bokong.2. Pengembangan balon kateter kebanyakan dihindari oleh para radiologis sehubungan dengan risiko perforasi dan obstruksi loop tertutup.3. Pelaksanaannya memperhatikanRule of threeyang terdiri atas: (1) reduksi hidrostatik dilakukan setinggi 3 kaki di atas pasien; (2) tidak boleh lebih dari 3 kali percobaan; (3) tiap percobaan masing-masing tidak boleh lebih dari 3 menit.4. Pengisian dari usus dipantau dengan fluoroskopi dan tekanan hidrostatik konstan dipertahankan sepanjang reduksi berlangsung.5. Reduksi hidrostatik telah sempurna jika media kontras mengalir bebas melalui katup ileocaecal ke ileum terminal. Reduksi berhasil pada rentang 45-95% dengan kasus tanpa komplikasi.Selain penggunaan fluoroskopi sebagai pemandu, saat ini juga dikenal reduksi menggunakan air (dilusi antara air dan kontras soluble dengan perbandingan 9:1) dengan panduan USG. Keberhasilannya mencapai 90%, namun sangat tergantung pada kemampuan expertise USG dari pelakunya.Teknik non pembedahan ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan reduksi secara operatif. Diantaranya yaitu: penurunan angka morbiditas, biaya, dan waktu perawatan di rumah sakit.B. Pneumatic ReductionProsedur ini dimonitor secara fluroskopi sejak udara dimasukkan ke dalam rectum. Tekanan udara maksimum yang aman adalah 80 mmHg untuk bayi dan 110-120 mmHg untuk anak. Penganut dari model reduksi ini meyakini bahwa metode ini lebih cepat, lebih aman dan menurunkan waktu paparan dari radiasi. Pengukuran tekanan yang akurat dapat dilakukan, dan tingkat reduksi lebih tinggi daripada reduksi hidrostatik. Berikut ini adalah langkah-langkah pemeriksaannya:1. Sebuah kateter yang telah dilubrikasi ditempatkan ke dalam rectum dan direkatkan dengan kuat.2. Sebuah manometer dan manset tekanan darah dihubungkan dengan kateter, dan udara dinaikkan perlahan hingga mencapai tekanan 70-80 mmHg (maksimum 120 mmHg) dan diikuti dengan fluoroskopi. Kolum udara akan berhenti pada bagian intususepsi, dan dilakukan sebuah foto polos.3. Jika tidak terdapat intususepsi atau reduksinya berhasil, udara akan teramati melewati usus kecil dengan cepat. Foto lain selanjutnya dibuat pada sesi ini, dan udara akan dikeluarkan duluan sebelum kateter dilepas.4. Untuk melengkapi prosedur ini, foto post reduksi (supine dandecubitus/upright views) harus dilakukan untuk mengkonfirmasi ketiadaan udara bebas.5. Reduksi yang sulit membutuhkan beberapa usaha lebih. Penggunaan glucagon (0.5 mg/kg) untuk memfasilitasi relaksasi dari usus memiliki hasil yang beragam dan tidak rutin dikerjakan.

Tindakan OperatifApabila diagnosis intususepsi yang telah dikonfirmasi oleh x-ray, mengalami kegagalan dengan terapi reduksi hidrostatik maupun pneumatik, ataupun ada bukti nyata akan peritonitis difusa, maka penanganan operatif harus segera dilakukan.2.12KomplikasiIntususepsi dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah dehidrasi dan aspirasi dari emesis yang terjadi. Iskemia dan nekrosis usus dapat menyebabkan perforasi dan sepsis. Nekrosis yang signifikan pada usus dapat menyebabkan komplikasi yang berhubungan denganshort bowel syndrome. Meskipun diterapi dengan reduksi operatif maupun radiografik, striktur dapat muncul dalam 4-8 minggu pada usus yang terlibat.2.13 PrognosisKematian disebabkan oleh intususepsi idiopatik akut pada bayi dan anak-anak sekarang jarang di negara maju. Sebaliknya, kematian terkait dengan intususepsi tetap tinggi di beberapa negara berkembang. Pasien di negara berkembang cenderung untuk datang ke pusat kesehatan terlambat, yaitu lebih dari 24 jam setelah timbulnya gejala, dan memiliki tingkat intervensi bedah, reseksi usus dan mortalitas lebih tinggi.Mortalitas secara signifikan lebih tinggi (lebih dari sepuluh kali lipat dalam kebanyakan studi) pada bayi yang ditangani 48 jam setelah timbulnya gejala daripada bayi yang ditangani dalam waktu 24 jam setelah onset pertama. Angka rekurensi dari intususepsi untuk reduksi nonoperatif dan operatif masing-masing rata-rata 5% dan 1-4%.

DAFTAR PUSTAKA1. Blanco FC. Intussusception. Medscape Reference [serial online] 2012 Jan 13 [disitasi tanggal 2013 Des 25]; dapat diakses pada : URL:http://emedicine.medscape.com/article/930708-overview#showall2. Fallan ME. Intussusception in Pediatric Surgery, Ashcraft KW, Holder TM (eds). 4th ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 2005.3. Irish MS. Pediatric intussusception surgery. Medscape Reference [serial online] 2011 Apr 14 [disitasi pada 2013 Des 25]; dapat diakses pada : URL:http://emedicine.medscape.com/article/937730-overview#showall4. Bines J, Ivanoff B. Acute Intussusception in Infants and Children: Incidence, Clinical Presentation and Management: A Global Perspective. Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2002.5. Boudville IC, Phua KB, Quak SH, Lee BW, Han HH, Verstraeten T, et al. The epidemiology of Paediatric Inturssusception in Singapore: 1997 to 2004. Ann Acad Med Singapore 2006;35:674-9.e6. Ekenze SO, Mgbor SO. Childhood intussusception: The implications of delayed presentation. Afr J Paediatr Surg 2011;8:15-8.7. Van Heek NT, Aronson DC, Halimun EM, Soewarno R, Molenaar JC, Vos A. Intussusception in a tropical country: comparison among patient populations in Jakarta, Jogyakarta, and Amsterdam. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1999;29:402-5.8. Ramachandran P. Intussusception in pediatric surgery diagnosis and management. Puri P, Hollwarth M editors. Spinger: Dordrecht Heidelberg. 2009.9. Pendergast LA & Wilson M. Intussusception: a sonographers perspective. JDMS 19:231-238. Jul-Aug. 2003.10. http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/006/6710-05500475.jpg11. Santoso MIJ, Yosodiharjo A, Erfan F.Hubungan antara lama timbulnya gejala klinis awal hingga tindakan operasi dengan lama rawatan pada penderita invaginasi yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan. Universitas Sumatera Utara: Medan. 2011.12. Ignacio RC, Fallat ME. Intussusception. In: Holcomb GW. III, Murphy JM, eds. Ashcrafts Pediatric Surgery. Philadelphia, PA: Elsevier, 2010.p.508.13. Hooker RL, Schulman MH, Yu Chang, Kan JH. Radiographic evaluation of intussusception: utility of left side down decubitus view. RSNA 2008;248:3.