Spondilitis Tb

download Spondilitis Tb

of 28

description

SPONDILITIS TB

Transcript of Spondilitis Tb

REFERATSPONDILITIS TBKepaniteraan Bedah RSU Haji Surabaya

Pembimbing:dr. Triarto B.S, Sp.OTPenyusun:Yoseph Jappi2009.04.0.0088

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAHSURABAYA 2015

LEMBAR PENGESAHAN

RefErat ILMU Bedah ORTHOPEDISPONDILITIS TB

Judul referat SPONDILITIS TB telah diperiksa dan disutujui sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Bedah Rumah Sakit Haji Surabaya.

Surabaya, Mei 2015Mengetahui

dr.Triarto B.S, Sp.OT

KATA PENGANTAR

Syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Kuasa sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul SPONDILITIS TB yang merupakan tugas dari kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Bedah Rumah Sakit Haji Surabaya.Penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada dr.Triarto B.S, Sp.OT selaku dokter pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam membimbing penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini.Tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun agar referat selanjutnya dapat lebih baik lagi. Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu kedokteran dan bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Surabaya, Mei 2015

Penulis

BAB IPENDAHULUAN

Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi yang diakibatkan oleh spesies Mycobacterium. Pada tahun 2012, tuberkulosis masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di dunia. Diperkirakan terdapat lebih dari delapan juta enam ratus ribu kasus di dunia pada tahun tersebut, dengan angka kematian perkiraan mencapai satu juta tiga ratus ribu kasus. Tuberkulosis sendiri secara garis besar dapat dibagi menjadi tuberkulosis intrapulmonal, dan tuberkulosis ekstrapulmonal. Tuberkulosis ekstrapulmonal merupakan didefinisikan sebagai tuberkulosis yang mengenai jaringan di luar parenkim paru. Diantara tuberkulosis ekstrapulmonal sendiri, 10 hingga 15 persen diantaranya merupakan tuberkulosis tulang dan persendian.Spondilitis Tuberkulosis, juga dikenal sebagai Penyakit Pott, adalah salah satu penyakit tertua yang pernah diderita umat manusia, yang telah ditemukan pada sisa-sisa tulang belakang dari Zaman Besi dan pada mumi kuno dari Mesir dan Peru. Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan granulomatous yang bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium Tuberculosis. Pada 1779, Percivall Pott, yang memberi nama penyakit ini, menyajikan deskripsi klasik dari tuberkulosis tulang belakang bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott.Secara global, Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi pembunuh nomor dua di dunia, setelah HIV, dengan lebih dari 95% kasus dan kematian berada di negara berkembang. WHO memperkirakan sepertiga dari penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Berdasarkan WHO Global Tuberculosis Report 2013, diperkirakan pada tahun 2012, terdapat 8,6 juta kasus baru TB di dunia dan 1,4 juta penduduk di dunia dilaporkan telah meninggal oleh karena TB, bahkan TB merupakan salah satu pembunuh perempuan terbanyak di dunia dengan jumlah kematian mencapai setengah juta. Pada tahun 2011, Indonesia menduduki peringkat ke-4 (setelah India, China, dan Afrika Selatan) sebagai negara dengan beban TB (high TB burden country) terbesar di dunia, yaitu dengan penemuan kasus baru 450.000 orang per tahun dan angka kematian 65.000 orang per tahun. Sejak obat antituberkulosa dikembangkan dan kesehatan masyarakat meningkat, spinal tuberculosis menjadi menurun di daerah negara industri, meskipun tetap menjadi penyebab penyakit yang signifikan pada negara yang sedang berkembang.Mengingat adanya tanda-tanda bahwa dalam beberapa tahun ke depan angka kejadian infeksi Tuberkulosis masih tetap tinggi dan sulitnya penanganan dari penyakit infeksi ini, maka penulis merasa perlu untuk membahas lebih dalam mengenai spondilitis tuberkulosis, yang menjadi salah satu bentuk infeksi tuberkulosis (ekstrapulmonal) yang seringkali bersifat fatal dengan angka morbiditas yang besar.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1.DefinisiTuberkulosa tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh. Percivall Pott (1793) yang pertama kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi sehingga penyakit ini disebut juga penyakit Pott.

2.2EpidemiologiPada tahun 2005, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa jumlah kasus TB baru terbesar di dunia terdapat di Asia Tenggara (34% dari insiden global) termasuk di Indonesia. Pada negara maju seperti di Amerika dan Inggris, insidensi penyakit ini terutama pada populasi imigran, tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut infeksi HIV. Jumlah pasien TB diperkirakan terus meningkat seiring bertambahnya pengidap infeksi HIV. Pasien positif HIV diketahui memiliki resiko 500 kali lebih besar mengidap TB dibandingkan orang normal.Dari seluruh penderita TB, 1-5% akan mengalami tuberkulosis osteoartikular. Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi yang terjadi. Setelah tulang belakang, insiden TB tulang berturut-turut dari insiden tertinggi terendah adalah tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral. Sebagian ahli menduga lokalisasi spondilitis tuberkulosa yang terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas mungkin disebabkan infeksi sekunder dari suatu tuberkulosis traktus urinarius yang penyebarannya melalui plexus Batson pada vena paravetebralis. Di Ujungpandang, insidens spondilitis tuberkulosa ditemukan sebanyak 70%. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok umur 2-10 tahun dengan perbandingan yang hampir sama antara pria dan wanita. Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik. Insidensi paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak. Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa pada tulang belakang, kecuali pada dekade pertama dimana sangat jarang ditemukan keadaan ini.

2.3EtiologiTuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. spesies Mycobacterium atipik antara lain Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat tahan asam (acid-fast bacilli), obligate aerobic, non-motile, dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional, sehingga dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Pada pewarnaan Ziehl-Nielson akan didapatkan bakteri tahan asam (BTA) berbentuk batang dan berwarna merah atau disebut BTA positif. Bakteri tumbuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannya dengan spesies lain.

2.4PatofisiologiPenyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. selanjutnya terjadi kerusakan korteks epifisis, diskus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis.Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis, serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior. eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah. Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternocleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus, atau kavum pleura.Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpel atau regio glutea.Terdapat beberapa bentuk infeksi tuberkulosis pada vertebra seperti ditunjukkan tabel 2.1.Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu :1. Stadium implantasiSetelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra.2. Stadium destruksi awalSetelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra atau penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung 3-6 minggu.

3. Stadium destruksi lanjutPada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk abses dingin (cold abscess), yang terjadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis dan gibus (gambar 2.1). Besarnya angulasi kifotik yang terjadi dapat diukur dengan metode Konstam dari hasil X-ray. (gambar 2.2).

Tabel 2.1 : beberapa bentuk infeksi tuberkulosis pada vertebra.

Gambar 2.1 : Gibbus. Tampak penonjolan vertebra ke arah dorsal oleh karena angulasi kifotik vertebra.

Gambar 2.2 : Pengukuran angulasi kifotik metode Konstam. Caranya tarik garis khayal yang sejajar dengan end plate superior dan end plate inferior dari vertebra sehat terdekat dari lesi. Kedua garis tersebut diperpanjang ke anterior hingga berpotongan. Sudut K adalah sudut konstam sebesar 150 pada ilustrasi ini, sedangkan sudut A adalah angulasi aktual yang dihitung. Pada contoh ini, angulasi kifotik sebesar 30. 4. Stadium gangguan neurologisGangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.Tuberkulosis paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Sejumlah dugaan penyebab terjadinya paraplegia pada Tuberkulosis ditunjukkan oleh tabel 2.2. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. Derajat I-III disebut paraparesis dan derajat IV disebut paraplegia.

Tabel 2.2 : Penyebab terjadinya paraplegia pada spondilitis TB

Potts paraplegia dapat diklasifikasikan menjadi 4 stadium yaitu :

tabel 2.3. : Klasifikasi Potts paraplegia

Berat ringannya gangguan neurologis yang terjadi diklasifikasikan menurut kriteria American Spinal Injury Association (ASIA) seperti pada tabel. Kriteria ASIA ini menggantikan kriteria Frankel untuk lesi spinal dan dapat digunakan untuk memantau perbaikan klinis dan menentukan prognosis.tabel 2.4 :

5. Stadium deformitas residualStadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.

2.5Gambaran klinisSecara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada umumnya yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. pada anak-anak sering disertai menangis pada malam hari.Pada tuberkulosis vertebra servikal, dapat ditemukan nyeri di daerah belakang kepala, gangguan menelan, dan gangguan pernafasan akibat adanya abses retrofaring. Kadangkala penderita datang dengan gejala abses pada daerah paravertebral, abdominal, inguinal, poplitea, dan bokong, adanya sinus pada daerah paravertebral atau penderita datang dengan gejala-gejala paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang akibat spasme atau gibus.

2.6Pemeriksaan penunjang1. Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai leukositosis2. Uji mantoux positif3. Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium4. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfa regional5. Pemeriksaan histopatologis ditemukan tuberkel

Pemeriksaan radiologis1. pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru2. foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik, dan destruksi korpus vertebra disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral. (gambar 2.3)3. pada foto AP abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung, di daerah torakal berbentuk bulbus, dan pada daerah lumbal abses terlihat berbentuk fusiform4. pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis5. pemeriksaan foto dengan zat kontras6. pemeriksaan mielografi dilakukan bila terdapat gejala-gejala penekanan sumsum tulang7. pemeriksan CT scan atau CT scan dengan mielografi (gambar 2.4)8. pemeriksaan MRI (gambar 2.3)Dari gambaran klinis dan radiologis, dapat ditarik perkiraan durasi perjalanan penyakit yang disebut klasifikasi klinikoradiologis (tabel 2.5).

Gambar 2.3 : X-ray menunjukkan spondilitis TB pada vertebra C6-C7 dan abses retrofaringeal (kiri). MRI T1-weight menunjukkan destruksi corpus vertebra C6-C7 disertai kompresi pada medula spinalis pada pasien yang sama.

Gambar 2.4 : CT scan menunjukkan destruksi pedikel kiri vertebra L3 (panah hitam), edema jaringan perivertebra (kepala panah putih), penjepitan medula spinalis (panah kecil putih), dan abses psoas (panah putih).

Gambar 2.5 : Diagnosis definitif spondilits TB dari sampel biopsi. Tampak granuloma khas TB (lingkaran kuning) yaitu adanya massa kaseosa (perkejuan) yang dikelilingi oleh deretan sel mononuklear dan sel raksasa. Pada pembesaran tampak basil tahan asam (lingkaran merah).

tabel 2.5 : Klasifikasi klinikoradiologis.

2.7Diagnosis Diagnosis spondilitis tuberkulosa dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan radiologis. Untuk melengkapkan pemeriksaan, maka dibuat suatu standar pemeriksaan pada penderita tuberkulosis tulang dan sendi yaitu :1. pemeriksaan klinik dan neurologis lengkap2. foto tulang belakang posisi AP dan lateral3. foto polos toraks posisi PA4. uji mantoux5. biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa

2.8Diagnosis banding1. Tumor atau penyakit keganasan (leukemia, Hodgkins disease, eosinophilic granuloma, aneurysma bone cyst, dan Ewingssarcoma). Metastase dapat menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena pada keganasan, ruang discusnya tetap dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas. 2. Infeksi piogenik (contoh: karena staphylococcal/suppurative spondylitis). Dari anamnesa, pada infeksi piogenik, didapatkan riwayat penyakit yang singkat (beberapa hari sampai bulan) tanpa adanya penyakit paru, sedangkan pada tuberkulosa, didapatkan riwayat penyakit yang lama (beberapa bulan sampai tahun) dan biasanya disertai dengan penyakit tuberkulosis paru yang aktif (60% kasus). Gambaran destruksi dan berkurangnya tinggi discus intervertebralis yang berlangsung dengan cepat, sclerosis yang ekstensif, tidak adanya deformitas gibbus, dan tidakadanya kalsifikasi abscess paravertebra menunjukkan tanda spondylodiscitis piogenik. Selain itu, keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.3. Brucella spondylitis. Penyakit ini memiliki predileksi di regio vertebra lumbalis bagian bawah (lower lumbar spine), dengan arsitektur vertebra yang masih utuh walaupun didapatkan osteomyelitis vertebra yang difus. Pada brucella spondylitis, abscess paravertebra jarang terjadi dan kalaupun ada, memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan spondilitis tuberkulosa. Karakteristik lainnya pada brucella spondylitis, didapatkan gas di dalam discus intervertebralis, tidak adanya kyphosis, dan deformitas gibbus jarang terjadi. Pada daerah endemik, dapat dilakukan pemeriksaan serologis berupa agglutination test dan complement fixation test.Secara ringkas, perbedaan antara spondilits tuberkulosa dengan diagnosis banding di atas ditunjukkan oleh tabel 2.6.

2.9PengobatanPada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia. Pengobatan terdiri atas :1. Terapi konservatif berupa :a. Tirah baringb. Memperbaiki keadaan umum penderita terutama dengan diet tinggi kalori tinggi proteinc. Pemasangan brace pada penderita baik yang dioperasi ataupun tidak dioperasid. Pemberian obat antituberkulosa Isoniazid (INH) dengan dosis oral 5 mg/kgBB per hari dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral anak-anak 10 mg/kgbb Asam para amino salisilat. dosis oral 8-12 mg/kgbb Etambutol. dosis oral 15-25 mg/kgbb/hari Rifampisin. dosis oral 10 mg/kgbb diberikan pada anak-anak. pada orang dewasa 300-400 mg/hari Streptomisin, pada saat ini tidak digunakan lagie. Fisioterapi untuk penderita gangguan neurologik

tabel 2.6 : diagnosis banding spondilits TB

Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif dan mencegah terjadinya kekebalan kuman tuberkulosis terhadap obat yang diberikan maka diberikan kombinasi beberapa obat tuberkulostatik. Regimen yang digunakan di amerika adalah INH dan rifampisin selama 9 bulan atau INH + rifampisin + etambutol diberikan selama 2 bulan dilanjutkan INH + rifampisin selama 7 bulan. Di Korea diberikan kombinasi antarra INH + rifampisin selama 6-12 bulan atau INH + etambutol selama 9-18 bulan. Standar pengobatan indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah :a. Kategori IUntuk penderita baru BTA + dan BTA -/rontgen +, diberikan dalam dua tahap yaitu : Tahap I diberikan rifampisin 450 mg, etambutol 750 mg, INH 300 mg, dan pirazinamid 1500 mg. Obat diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali) Tahap II, diberikan rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat diberikan tiga kali seminggu (intermitent) selama 4 bulan (54 kali)b. Kategori IIUntuk penderita baru BTA + yang sudah pernah minum obat selama lebih sebulan termasuk penderita BTA + yang kambuh/gagal yang diberikan dalam dua tahap, yaitu : Tahap I diberikan streptomisin 750 mg injeksi, INH 300 mg, rifampisin 450 mg, pirazinamid 1500 mg, dan etambutol 750 mg. Obat diberikan setiap hari, streptomisin injeksi hanya dua bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali) Tahap II, diberikan INH 600 mg, rifampisin 450 mg, dan etambutol 1250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu selama 5 bulan (66 kali)Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila :a. Keadaan umum penderita bertambah baikb. Laju endap darah menurun dan menetapc. Gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurangd. Gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra

2. Terapi operatifWalaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama pada penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses, lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.a. Abses dingin (cold abses)Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi resorpsi spontan dengan pemberian obat tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah. Ada 3 cara menghilangkan lesi tuberkulosa yaitu : Debridemen fokal Kosto transversektomi Debridemen fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depanb. ParaplegiaPenanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia yaitu : Pengobatan dengan kemoterapi saja Laminektomi Kosto transversektomi Operasi radikal Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakangIndikasi operasi yaitu :a. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatikb. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan sekaligus debrideman serta bone graftc. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi, ataupun pemeriksaan CT scan dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medula spinalisIndikasi operasi spondilits TB dapat diringkas pada tabel 2.7.

tabel 2.7 : Indikasi operasi spondilitis TB

Pendekatan bedah spondilits TBTerdapat berbagai prosedur pembedahan untuk dekompresi, stabilisasi, dan koreksi deformitas. Pilihan pendekatan operasi dilakukan berdasarkan lokasi lesi (anterior, posterior, atau circumferential), risiko atau adanya deformitas kyphosis, status neurologis, status penyakit (aktif atau sembuh), pengalaman surgeon, dan ketersediaan fasilitas lokal.Dekompresi dapat dilakukan melalui pendekatan anterior (open atau thoracoscopic), posterior (transpedicular), atau postero-lateral (costotransversectomy atau pendekatan ekstrapleura lateral). Pendekatan anterior untuk dekompresi (dan bone grafting) dipopulerkan di Hong Kong pada tahun 1960-an, dan memberikan akses langsung ke patologi penyakit. Bila terdapat kyphosis berat dengan sudut yang tajam, maka akan sulit untuk mencapai dekompresi yang adekuat. Pendekatan bone grafting/stabilisasi, meliputi pendekatan anterior, posterior, anterior dan posterior, serta pendekatan ekstrapleura lateral. Defek columna vertebra bagian anterior dapat direkonstruksi menggunakan tulang autogenous (costa, crista iliaca, atau fibula), structural allografts, atau titanium cage.Berikut ini beberapa teknik operasi yang umum digunakan untuk terapi spondilitis tuberkulosa

1. Costo-transversectomy.Caput costa dan processus transversus diambil dari posterior pada satu level atau lebih, sehingga memfasilitasi drainase cairan abscess. Akan tetapi, debridement dan grafting tidak dapat dilakukan.2. Pendekatan antero-lateral atau ekstrapleura lateral.Merupakan ekstensi dari prosedur costo-transversectomy, memfasilitasi dekompresi maupun bone grafting, sambil menghindari masuk ke dalam cavum thorax. Prosedur operasi ini melibatkan pengambilan 2 atau lebih caput costa dan processus transversus terdekat, dan nervus intercostalis digunakan untuk mengidentifikasi tiap foramen (dan pediculus), lalu arteri dan nervus intercostalis diligasi. Dekompresi komplit pada corda spinalis dicapai dengan mengambil pediculus dan diseased portions pada satu atau lebih corpus vertebra. Kemudian, vertebra difusikan dengan costa yang telah direseksi. Laminectomy diperlukan pada kasus yang langka di mana terdapat keterlibatan isolasi elemen posterior.3. Dekompresi transthoracic anterior.Costa dieksisi, dan arteri intercostalis diligasi. Lalu, pleura dibuka. Costa dipisahkan, setelah membiarkan paru untuk kolaps. Abscess yang terletak di intrapleura, untuk pertama kali dikonfirmasi dengan aspirasi. Lalu, kavitas abscess dibuka dengan insisi cruciate (dibentuk seperti palang), abscess dievakuasi, jaringan granulasi dan corpus vertebra dieksisi sampai tampak corda spinalis yang berdenyut. Lalu, corpus vertebra difusikan dengan costa yang sudah dieksisi.4. Kombinasi anterior dan posterior.Sebagai terapi operatif untuk spondilitis tuberkulosa, posterior fusion diperkenalkan oleh Hibbs pada tahun 1911. Posterior fusion memiliki keuntungan berupa teknik yang sederhana. Karena bone graft dilakukan di area yang tidak ada lesinya, operasi ini memiliki hasil fusi yang bagus. Akan tetapi, pada operasi ini, tidak mungkin dilakukan pengambilan secara langsung penyebab kompresi corda spinalis, dan oleh karena itu, akan segera terjadi rekurensi inflamasi pada banyak kasus. Sejak tahun 1934, Ito et al mendeskripsikan pendekatan anterior ke area vertebra lumbalis dan mendeskripsikan radikal debridement dan bone fusion. Hasil yang bagus pada debridement dan bone graft melalui pendekatan anterior, mulai dilaporkan oleh Hodgson dan Stocks pada tahun 1960. Keuntungan dari debridement dan bone graft melalui pendekatan anterior adalah lesi diambil secara langsung dan didekompresi, area defek yang disebabkan oleh destruksi tulang dikoreksi dengan melakukan bone graft. Dengan hasil yang menonjol ini, debridement dan bone graft melalui pendekatan anterior menjadi standard terapi operatif untuk spondilitis tuberkulosa. Tapi, ketika 2 atau lebih vertebra terlibat, debridement dan bone graft melalui pendekatan anterior akan menyebabkan defek yang besar pada struktur anterior, sehingga mengakibatkan ketidakstabilan vertebra. Hal ini mungkin berakibat deformitas kyphosis. Oleh karena itu, debridement dan bone graft melalui pendekatan anterior tidak bisa mencegah kolapsnya corpus vertebra bila 2 atau lebih vertebra terlibat. Bailey at al merekomendasikan agar posterior fusion dikombinasikan dengan pendekatan anterior. Kemp et al melaporkan hasil yang baik bila posterior fusion dilakukan pada kasus spinal instability yang melibatkan 2 atau lebih corpus vertebra atau destruksi elemen posterior. Rajasekaran menyarankan second stage posterior fusion dilakukan 6-12 minggu setelah debridement dan bone graft melalui pendekatan anterior untuk mencegah peningkatan sudut kyphosis setelah operasi. Tapi, pada kasus dengan deformitas berat di mana pada potongan sagittal memiliki sudut lebih dari 20 derajat, fiksasi posterior harus dilakukan terlebih dahulu sebelum pembedahan anterior. Untuk fusi, beberapa jenis materi graft dapat digunakan, seperti costa, crista iliaca, dan allograft. Pada umumnya, autogenous crista iliaca dan costa digunakan untuk fusi intervertebral. Bila hanya digunakan graft costa, terutama jika 2 atau lebih segmen terlibat, komplikasi seperti tidak terkoreksi, non-union, dan stabilitas yang tidak adekuat dapat lebih sering terjadi dibanding dengan crista iliaca. Tapi, melalui penambahan instrumentasi posterior dapat mencegah komplikasi ini dengan menyediakan penunjang struktural. Pada kasus spondilitis tuberkulosa di regio cervical, abscess di regio C1-C2 normalnya terletak di retropharyngeal dan evakuasi transoral diperlukan. Di bawah level C2, abscess dievakuasi melalui pendekatan centre di margin posterior dari otot sternomastoid. Ligasi cabang arteri carotid externa mungkin diperlukan. Trakea dan oropharynx diidentifikasi, diretraksi ke medial, otot longus colli dan otot vertebra anterior diidentifikasi setelah fascia cervicalis profundus lapisan prevertebra divisi longitudinal, dan abscess dievakuasi. Diseased corpus vertebra dieksisi. Setelah pulsasi corda spinalis dikonfirmasi, lalu vertebra difusikan dengan iliac graft. Untuk kasus di regio vertebra lumbalis, evakuasi abscess lumbal dilakukan melalui segitiga Petit atau melalui pendekatan renal atau melalui pendekatan retroperitoneal sympathectomy. Abscess psoas dievakuasi melalui otot abdominis externus parallel dengan nervus hypogastric atau ilioinguinal. Perawatan pasca operasi pada semua kasus harus diberikan protective plaster jacket atau moulded orthoplast brace selama sekitar 4minggu. Supportive brace yang adekuat diperlukan sampai terjadi fusi tulang. Walaupun dipilih tindakan operatif, pemberian kemoterapi antituberkulosa tetaplah penting. Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi telah direkomendasikan. Pendapat lain menyatakan bahwa kemoterapi diberikan 4-6 minggu sebelum fokus tuberkulosa dieradikasi secara langsung dengan pendekatan anterior. Terapi operatif selain tetap disertai pemberian kemoterapi, juga dikombinasikan dengan 6-12 bulan tirah baring dan 18-24 bulan selanjutnya menggunakan spinal bracing. Pada pasien dengan lesi-lesi yang melibatkan lebih dari dua vertebra, suatu periode tirah baring diikuti dengan sokongan eksternal dalam TLSO (Thoraco Lumbar Sacral Orthotic) brace direkomendasikan hingga fusi menjadi berkonsolidasi. Operasi pada kondisi tuberculous radiculomyelitis tidak banyak membantu. Pada pasien dengan intramedullary tuberculoma, operasi hanya diindikasikan jika ukuran lesi tidak berkurang dengan pemberian kemoterapi dan lesinya bersifat soliter. Hodgson dan kawan-kawan menghindari tindakan laminektomi sebagai prosedur utama terapi Potts paraplegia dengan alasan bahwa eksisi lamina dan elemen neural posterior akan mengangkat satu-satunya struktur penunjang yang tersisa dari penyakit yang berjalan di anterior. Laminektomi hanya diindikasikan pada pasien dengan paraplegia karena penyakit di laminar atau keterlibatan corda spinalis atau bila paraplegia tetap ada setelah dekompresi anterior dan fusi, serta mielografi menunjukkan adanya sumbatan

2.10PencegahanVaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain Mycobacterium bovis yang dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG akan menstimulasi imunitas, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menimbulkan hal-hal yang membahayakan. Vaksinasi ini bersifat aman tetapi efektifitas untuk pencegahannya masih kontroversial.Percobaan terkontrol di beberapa negara Barat, dimana sebagian besar anak-anaknya cukup gizi, BCG telah menunjukkan efek proteksi pada sekitar 80% anak selama 15 tahun setelah pemberian sebelum timbulnya infeksi pertama. Akan tetapi percobaan lain dengan tipe percobaan yang sama di Amerika dan India telah gagal menunjukkan keuntungan pemberian BCG. Sejumlah kecil penelitian pada bayi di negara miskin menunjukkan adanya efek proteksi terutama terhadap kondisi tuberkulosa milier dan meningitis tuberkulosa. Pada tahun 1978, The Joint Tuberculosis Committee merekomendasikan vaksinasi BCG pada seluruh orang yang uji tuberkulinnya negatif dan pada seluruh bayi yang baru lahir pada populasi immigran di Inggris.Saat ini WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease tetap menyarankan pemberian BCG pada semua infant sebagai suatu yang rutin pada negara-negara dengan prevalensi tuberkulosa tinggi (kecuali pada beberapa kasus seperti pada AIDS aktif). Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk neonatus dan bayi sedangkan 0,1 ml untuk anak yang lebih besar dan dewasa. Oleh karena efek utama dari vaksinasi bayi adalah untuk memproteksi anak dan biasanya anak dengan tuberkulosis primer biasanya tidak infeksius, maka BCG hanya mempunyai sedikit efek dalam mengurangi jumlah infeksi pada orang dewasa. Untuk mengurangi insidensinya di kelompok orang dewasa maka yang lebih penting adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien dengan sputum berbasil tahan asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang mudah menular. Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi masyarakat sehingga seluruh kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi.Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian 5mg/kg/hari selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi tuberkulosa.

2.11PrognosisPrognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang diberikan.a. MortalitasMortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).b. RelapsAngka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.c. KifosisKifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru. Semakin besar sudut kifosis, semakin dini operasi koreksi harus dilakukan.d. Defisit neurologisDefisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan dilakukannya operasi dini.e. UsiaPada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa

BAB IIIKESIMPULAN

Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit yang jarang, namun memiliki kondisi klinis yang serius yang dapat mengakibatkan deformitas berat dan komplikasi neurologis. Di Negara barat, spondilitis tuberkulosa adalah masalah kesehatan yang sebagian besar berhubungan dengan orang tua dan imigran, sedangkan di banyak Negara berkembang, tuberkulosis masih merupakan sumber masalah klinis dan sosio-ekonomi, di mana pasien dengan usia muda adalah yang paling banyak terkena.Terlepas dari ketersediaan aktual alat diagnostik yang lebih efektif, deteksi dini spondilitis tuberkulosa tetap sulit dan kecurigaan dengan index tinggi diperlukan karena sifat kronik dan insidious dari penyakit ini serta manifestasi klinik yang bervariasi. Pasien dengan nyeri punggung kronik dan gejala neurologis, dengan atau tanpa infeksi tuberkulosis aktif atau riwayat sebelumnya, harus diinvestigasi untuk menyingkirkan spondilitis tuberkulosa.Meskipun spondilitis tuberkulosa secara esensial adalah kondisi medis yang akan mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja, namun pembedahan memiliki peran penting dalam mengurangi nyeri, mengkoreksi deformitas dan gangguan neurologis, mengembalikan fungsi, dan diindikasikan untuk pasien tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rasjad, C, 2007. Bab 7 : Infeksi dan Inflamasi dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi edisi ketiga. Jakarta; Yarsif Watampone, 20072. Lindsay, KW, Bone I, Callander R, 1991. Spinal Cord and Root Compresion. In: Neurology and Neurosurgery Illustrated, 2nd ed. Edinburgh: Churchill Livingstone3. Zuwanda, Janitra Raka. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis. CDK-208 Vol. 40 (9): 661-673. Diakses 4 Mei 2015 pukul 19.10 WIB4. Savant C, Rajamani K, 1997. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In Critchley E, Eisen A., editor. Spinal Cord Disease: Basic Science, Diagnosis and Management. London : Springer-Verlag5. Tandiyo DK, 2010. Potts Disease. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Diunduh pada tanggal 15 Mei 2015. Tersedia pada: http://desy.tandiyo.staff.uns.ac.id/files/2010/07/ potts-disease.pdf.6. Paramarta I Gede Epi, Purniti Putu Siadi, Subanada Ida Bagus, Astawa Putu. 2008. Spondilitis Tuberkulosis. Sari Pediatri 10 (3): 177-183.7. Vitriana, 2002. Spondilitis Tuberkulosa. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Diunduh pada tanggal 15 Mei 2014. Tersedia pada:http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/spondilitis_tuberkulosa.pdf.8. Jong De. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor Bahasa Indonesia : R. Sjamsuhidajat. Edisi 3. Jakarta: EGC9. Schaaf H. Simon, Zumla Alimuddin. 2009. TUBERCULOSIS. A Comprehensive Clinical Reference. USA: Saunders Elsevier.

5