Spondilitis TB -2
Transcript of Spondilitis TB -2
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. R
Umur : 19 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Karyawan
Alamat : Jl. Sunter jaya RT 009 RW 6 No.15
II. ANAMNESA
Autoanamnesa : Tanggal 17 September 2007
Keluhan Utama : Nyeri pada benjolan di punggung sejak 5 bulan
SMRS
Keluhan tambahan : Muntah, demam sejak 1 minggu SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli RSUD Koja tanggal 1 September 2007
dengan keluhan benjolan di punggung bagian tengah sejak kurang lebih
5 bulan SMRS. Awalnya benjolan kecil dan nyeri, lama-kelamaan
semakin membesar dan nyeri yang dirasakan mendadak dan terus-
menerus. Konsistensi lunak dengan ukuran awal kurang lebih 1x 1 cm
dikatakan teraba oleh pasien. Warna pada benjolan sama dengan warna
kulit, panas hanya dirasakan pada daerah benjolan. Pasien juga merasa
lemas pada kedua tungkai sehingga menyebabkan pasien sering tiba-tiba
terjatuh setelah beraktivitas. Lemas juga dirasakan pada kedua tangan
secara tiba-tiba. Pasien mengatakan keluhan ini muncul setelah pasien
menjalani operasi usus buntu pada bulan Maret 2007. Pasien juga
merasakan nafsu makannya menurun dan badannya terasa mengurus.
Pasien mengatakan nyeri pada benjolan meningkat pada malam hari.
Pasien mengatakan bahwa terdapat benjolan pada leher sebelah
kiri sebesar uang logam seribu rupiah sejak kurang lebih 1 tahun SMRS,
dan pasien merasa nyeri bila menengokke sebelah kiri. Saat ini benjolan
di daerah leher sudah mengecil sebesar uang logam seratus rupiah dan
tidak dirasakan nyeri laga bila menengok ke kiri.
Pasien menyangkal menderita batuk-batuk yang lama, keringat
dingin pada malam hari, trauma pada tulang belakang juga disangkal.
Mual, muntah dan sesak pada ulu hati juga disangkal.
Nyeri pada pinggang tidak pernah dirasakan oleh pasien. BAK
normal, warna kuning jernih, tidak ada darah, tidak terputus-putus, tidak
nyeri dan frekuensi 4-5 x perhari.
Pasien mengaku tidak pernah menstruasi lagi sejak benjolan itu
timbul. Sebelumnya siklus haid 20 hari, lama haid kurang lebih 5 hari,
tidak pernah nyeri saat haid. Pasien mengaku tidak pernah mersakan
sakit seperti itu. Pasien dirawat di RSUD Koja pada tanggal 1 september
2007.
Riwayat Penyakit Dahulu : Appendisitis akut
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada
Riwayat Alergi Obat : Tidak Ada
III. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 17 September 2007
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan Umum : Sakit sedang
Berat Badan : 47 kg
Tinggi badan : 157 cm
Gizi : Baik
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 92 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,5˚C
STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephali, distribusi rambut merata.
Mata : Pupil bulat isokor, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak
ikterik, reflek cahaya langsung +/+, Refleks cahaya tidak
langsung +/+.
Telinga : Normotia, serumen -/-, membrane timpani intak, nyeri
tekan mastoid -/-
Hidung : septum deviasi (-), pernapasan cuping hidung (-), oedem
mukosa (-)
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, T1-T1 tenang
Leher : Trakea lurus di tengah, kelenjar tiroid tidak teraba
membesar, KGB sebelah kiri membesar dan ukuran 1x1
cm, konsistensi padat, immobile, warna kulit sama
dengan sekitar, nyeri tekan -
Thoraks :
Pulmo : Inspeksi : gerak napas simetris
Palpasi : vocal fremitus paru simetris dikedua hemithoraks
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara Napas vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing-/-
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Batas kiri jantung : ICS V 1 jari medial linea
midclavikularis sinistra
Batas kanan jantung : ICS IV linea sternalis dextra
Auskultasi : BJ I-II regular, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen : Inspeksi : Abdomen datar, benjolan (-)
Palpasi : Supel, massa (-), Nyeri tekan epigastrium(-),
Defans muskuler (-), hepatosplenomegali (-)
Perkusi : Hipertympani, Shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi : BU + normal
Ekstremitas: Akral hangat, sianosis (-), Oedem (-)
STATUS LOKALIS
Regio Thorakolumbal
Look : Deformitas (+) kifosis vertebra thorakal
Benjolan (+) Thorakal XI-XII
Tanda radang (-), warna benjolan sama dengan warna kulit
Cicatriks (-), tanda bekas luka (-), tidak ada fistel.
Feel : Suhu benjolan lebih hangat dari sekitarnya
Benjolan berbentuk lonjong ukuran 12x2x2 cm
Konsistensi lunak, batas tegas, mobile, fluktuasi (+)
Tidak melekat pada tulang. Nyeri tekan (+).
Move : ROM terbatas ketika bungkuk dan nyeri.
STATUS NEUROLOGIS
- GCS : E4V5M6
Tanda rangsang Meningeal :
Tes kaku kuduk : (-)
Tes Laseque : (-)
Tes Kernig : (-)
Tes Brudzinski I : (-)
Tes Brudzinski II : (-)
Pemeriksaan Motorik
1. Pergerakan
Ekstremitas atas dekstra : (+)
Ekstremitas atas sinistra : (+)
Ekstremitas bawah dekstra : (+)
Ekstremitas bawah dekstra : (+)
2. Derajat kekuatan otot :
5 5 5 5 5 5 5 5
4 4 4 4 4 4 4 4
3. Trofik : tidak terdapat atrofi otot
4. Pergerakan spontan :
- Twiching : (-)
- Tremor : (-)
- Fasikulasi : (-)
Pemeriksaan sensibilitas
Dilakukan pemeriksaan pada daerah umbilicus, pasien
merasakan perangsangan sensoris berkurang bila dibandingkan dengan
daerah tangan.
Refleks Fisiologis
Dilakukan pemeriksaan refleks fisiologis tendon dalam :
- Refleks Patella : (+)
- Refleks Achilles : (+)
Refleks Patologis
Dilakukan pemeriksaan refleks patologis :
- Refleks Babinski : (-)
- Refleks Chaddock: (-)
- Refleks Oppenheim : (-)
- Refleks Gordon : (-)
- Refleks Schaefer : (-)
- Klonus kaki : (-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tgl 29 Agustus 2007
Darah
- Hb : 9,3 g/dL
- Ht : 30 %
- LED : 135 mm/jam
- Leukosit : 9.600 /uL
- Trombosit : 623.000 /uL
- Masa pembekuan : 14 menit
- Masa perdarahan : 3 menit
Sputum
- BTA 3x negatif
- TBEIA (IgG) negative
Laboratorium tanggal 18 September 2007
Darah
- Hb : 10,1 g/dL
- Ht : 33%
- Leukosit : 6.200 /uL
- Trombosit : 520.000 /uL
- Masa perdarahan : 10 menit
- Masa pembekuan : 3 menit
Faal Hati
- SGOT : 60 u/L
- SGPT : 41 u/L
Faal Ginjal
- Ureum : 24 mg/l
- Kreatinin : 0,6 mg/dL
Pemeriksaan thoraks (PA), 28 Agustus 2007
- Sinus costophrenicus dan diafragma normal
- Pulmo kanan dan kiri bersih
- Cor : bentuk dan besar normal
Pemeriksaan thorakolumbal (AP/Lateral)
- Tampak destruksi dari corpus Th XI dan XII serta intervertebralis
space Th XI-XII menghilang
- Tampak terdapat bayangan abses paravertebral setinggi vertebra Th
X –XII
- Vertebra thorakolumbal lainnya intact/normal
- Kesan : Spondilitis TB vertebra Th XI-XII
IV. RESUME
Pasien wanita umur 19 tahun datang ke poli RSU KOJA pada tanggal 1
September 2007 dengan keluhan benjolan pada punggung belakang
sebelah kiri kurang lebih sejak 5 bulan SMRS. Benjolan yang dirasakan
awalnya kecil yang lama-kelamaan menjadi besar dan nyeri. Benjolan
juga terdapat pada daerah leher sebelah kiri dan nyeri pada saat pasien
menengoke sebelah kiri. Pasien merasakan badan dan kaki terasa lemas
sehingga sering tiba-tiba terjatuh. Nafsu makan menurun dan BB
menurun. Pasien dirawat di RSU KOJA sejak tanggal 1 September 2007.
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis :
Leher : terdapat pembesaran KGB.
Derajat kekuatan otot :
5 5 5 5 5 5 5 5
4 4 4 4 4 4 4 4
STATUS LOKALIS
Regio Thorakolumbal
Look : Deformitas (+) kifosis vertebra thorakal
Benjolan (+) Thorakal XI-XII
Tanda radang (-), warna benjolan sama dengan warna kulit
Cicatriks (-), tanda bekas luka (-), tidak ada fistel.
Feel : Suhu benjolan lebih hangat dari sekitarnya
Benjolan berbentuk lonjong ukuran 12x2x2 cm
Konsistensi lunak, batas tegas, mobile, fluktuasi (+)
Tidak melekat pada tulang. Nyeri tekan (+).
Move : ROM terbatas ketika bungkuk dan nyeri.
Pemeriksaan Penunjang
LED : 135 mm/jam
Hb : 9,3 g/dL
Ht : 30%
Trombosit : 623.000/uL
Faal Hati
SGOT : 60 u/L
SGPT : 41 u/L
Tes Sensitivitas : Uji Mantoux (+)
Pemeriksaan thorakolumbal (AP/Lateral)
- Tampak destruksi dari corpus Th XI dan XII serta intervertebralis
space Th XI-XII menghilang
- Tampak terdapat bayangan abses paravertebral setinggi vertebra Th
X –XII
- Vertebra thorakolumbal lainnya intact/normal
- Kesan : Spondilitis TB vertebra Th XI-XII
V. DIAGNOSIS KERJA
Susp. Spondilitis TBC Thorakal XI-XII dengan abses paravertebral
Frankel D
VI. PENATALAKSANAAN
- Diet TKTP
- OAT
Rifampisin 300 g
Etambutol 300 g
Pirazinamid 500 g
INH 300 g
- Inj Ranitidin 2 x 1 amp I.V
- Metilcobalt 3 x 1 tab
VII. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungtionam: dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
VIII. FOLLOW UP
TGL 24 September 2007
S : Pegal-pegal di punggung hingga ke tulang iga kiri & kanan
O : Keadaan umum : Baik
Status Generalis Baik
TD : 110/80 mmHg S : 36,0˚C
Nadi: 88x/menit P : 22 x/menit
Status Lokalis
- Regio Colli
I : tampak benjolan, warna tidak merah
Pa : Konsistensi padat, nyeri tekan -, suhu sama dengan
sekitar
- Regio Thorakolumbal
L : Benjolan setinggi Th XI-XII, warna sama dengan kulit.
F : Konsistensi lunak, batas tegas, fluktuasi +, tidak meletak
pada suhu sama dengan sekitar, ukuran 12x3x2 cm
M :
5 5 5 5 5 5 5 5
4 4 4 4 4 4 4 4
Refleks Fisiologis : +/+
Refleks Patologis : -
Klonus : +
ROM terbatas saat menunduk dan terasa nyeri
A : Suspect Spondilitis TB thorakal XI-XII dengan abses paravertebral
TB Kelenjar leher sinistra
Frankel D
P : IVFD 20 tetes/menit
Pre debridement, dekompresi, stabilisasi Tanggal 24/9/07
Diet TKTP
Inj Ranitidin 2x1 I.V
Inj Transamin 3x1 I.V
Inj Vit C
Inj Vit K 3x1 I.V
Rifampisin 300 g
Etambutol 300 g
Pirazinamid 500 g
INH 300 g
Metilcobal 3x1
TGL 25 September 2007
S : Pegal-pegal di punggung hingga ke tulang iga kiri & kanan
O : Keadaan umum : Baik
Status Generalis Baik
TD : 110/80 mmHg S : 36,0˚C
Nadi: 88x/menit P : 22 x/menit
Status Lokalis
- Regio Colli
I : tampak benjolan, warna tidak merah
Pa : Konsistensi padat, nyeri tekan -, suhu sama dengan
sekitar
- Regio Thorakolumbal
L : Benjolan setinggi Th XI-XII, warna sama dengan kulit.
F : Konsistensi lunak, batas tegas, fluktuasi +, tidak meletak
pada suhu sama dengan sekitar, ukuran 12x3x2 cm
M :
5 5 5 5 5 5 5 5
4 4 4 4 4 4 4 4
Refleks Fisiologis : +/+
Refleks Patologis : -
Klonus : +
ROM terbatas saat menunduk dan terasa nyeri
Laboratorium
Hb 10,4g/dL
Ht 34%
Leukosit 17.300/uL
Trombosit 642.000/uL
A : Suspect Spondilitis TB thorakal XI-XII dengan abses paravertebral
TB Kelenjar leher sinistra
Frankel D
P : IVFD 20 tetes/menit
Pre debridement, dekompresi, stabilisasi Tanggal 24/9/07
Inj Ranitidin 2x1 I.V
Inj Transamin 3x1 I.V
Inj Vit C
Inj Vit K 3x1 I.V
Rifampisin 300 g
Etambutol 300 g
Pirazinamid 500 g
INH 300 g
Metilcobal 3x1
Siapkan alat
Siapkan PRC 1000 cc + FFP 500 (untuk di ICU)
TINJAUAN PUSTAKA
SPONDILITIS TUBERKULOSIS
POTT’S DISEASE
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga spondilitis tuberculosis
merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh
Mikobakterium tuberculosis. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan
infeksi sekunder dari focus di tempat lain dari tubuh. Percivall Pott (1973) yang
pertama kali menulis tentang penyakit ini dan menyatak tulang belakang yang
terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit pott. Spondilitis
tuberculosis paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3, paling jarang pada
vertebra C1-C2. Spondilitis tuberkulosa biasanya mengenai korpus vertebra,
tetapi jarang mengenai arcus vertebra.
Spondilitis corpus vertebra dibagi menjadi 3 bentuk. Pada bentuk sentral,
destruksi awal terletak di sentral korpus vertebra. Bentuk ini sering ditemukan
pada anak. Bentuk paradiskus terletak di bagian korpus vertebra yang
bersebelahan dengan discus intervertebra. Bentuk ini sering ditemukan pada
orang dewasa. Bentuk anterior dengan lokus awal pada korpus vertebra di
bagian anterior, merupakan penjalaran perkontinuitatum dari vertebra di atasnya.
Proses radang spesifik di tulang ini berlangsung sperti dijelaskan pada
tuberculosis.
Nekrosis dengan perkijuan membentuk nanah yang menjadi abses
dingin. Destruksi tulang mengakibatkan patah tulang kompresi.
Insidens
Spondilitis tuberculosa merupakan 50% dari seluruh tuberculosis tulang
dan sendi yang terjadi. Di Ujung pandang insidens spondilitis tuberkulosa
ditemukan sebanyak 70% dan sanmugasundram juga menemukan presentase
yang sama dari seluruh tuberculosis tulang dan sendi. Spondilitis tuberkulosa
terutama ditemukan pada kelompok umur 2-10 tahun dengan perbandingan yang
sama antara wanita dan pria.
Etiology
Tuberkulosis tulang merupakan infeksi sekunder dari infeksi tempat lain
di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberculosis tipik (2/3 dari tipe
human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium atipik. Lokalisasi
spondilitis tuberkulosa terutama sering pada daerah vertebra torakal baeah dan
lumbal atas (T8-L3), sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu
tuberculosis traktus urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada
vena paravertebralis. Dan paling jarang pada vertebra C1-C2. Spondilitis
tuberkulosa biasanya mengenai korpus vertebra, jarang mengenai arcus
vertebra.
Patofisiologi
Penyakit ini umumnya mengenai lenih dari satu Vertebra. Infeksi berawal
dari bagian sentral, bagian depan atau baian efifisial korpu vertebra. Kemudian
terjadi hiperemis dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan
korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis , discus
intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian korpus ini akan
menyebabkan terjadinya kifosis. Kemudian eksudat (yang terdiri dari serum,
leukosit,kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke
depan, di bawah ligamentum dan berekspansi berbagai arah di sepanjang garis
ligamen yang lemah.
Pada daerah servical, eksudat terkumpul di belakang fasia
paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus
sternokleidomatoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan
menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses ini dapat
berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus atau kavum pleura.
Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks
setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan
fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul
paraplegia
Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti uskulus
psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada daerah medial paha.
Eksudat juga dapat menyebar ke daerah Krista iliaca dan mungkin dapat
mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonu scarpei atau region glutea.
Kuman membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium :
1. Stadium Implantasi , setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan
tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang
berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah
paradiskus, yang sering ditemukan pada orang dewasa dan pada anak-anak
umumnya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal , setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi
korpus vertebra serta penyampitan yang ringan pada discus. Proses ini
berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut . Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps
vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses
(abses dingin), yang terjadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal.
Selanjutnya dapat terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging
anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yng menyebabkan terjadinya kifosis
atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis . Gangguan neurologist tidak berkaitan dengan
beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke
kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis
tuberkulosaVertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil
sehingga gangguan neurologist lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi
gangguan neurologid, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu :
Derajat I : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan
aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi
gangguan saraf sensorik.
Derajat II : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita
masih dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat III : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita setelah hiperestesia/anesthesia.
Derajat IV : Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan
defekasi dan miksi.
Tuberkulosis paraplegia atau Pott’s paraplegia dapat terjadi
secara dini atau lambat tergantung dari penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi terjadi oleh karena
tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung
sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan.
Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh
karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan
jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan
dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler
vertebra.
Derajat I-III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai
paraplegia.
5. Stadium deformitas residual . Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah
timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanent oleh karena
kerusakan vertebra yang massif di sebelah depan.
Gambaran klinis
Gambaran klinis hanya berupa nyeri pinggang atau punggung. Nyeri ini
terjadi akibat reaksi inflamasi di vertebra dan sukar dibedakan dengan nyeri
akibat penyebab lain seperti kelainan degeratif karena biasanya keadaan umum
penderita masih baik. Pada foto rontgen belum didapat kelainan. Bila proses
berlanjut terjadi destruktif vertebra yang akan terlihat pada foto rontgen.
Secara klinis gejala tuberculosis tulang belakang hamper sama dengan
gejala tuberculosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan
berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama
pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak sering disertai
menangis pada malam hari (night cries).
Bentuk sentral terjadi osteoporosis dan destruksi mengakibatkan
kompresi vertebra spontan/akibat jatuh yang ringan. Jika terjadi kompresi maka
pada pemeriksaan klinis didapati gibus. Jika terjadi destruksi korpus vertebra
yang bersebelahan dengan discus akan mengakibatkan iskemia sehingga
menyebabkan nekrosis discus. Pada gambaran rontgen terdapat penyempitan
discus intervertebra terjadi osteoporosis, kemudian menyebar ke seluruh korpus
vertebra menyebabkan kompresi vertebra dan terjadi gibus. Beda gibus TBC
dengan gibus traumatic adalah tidak didapatkan penyempitan sela discus pada
gibus traumatic.
Pada tuberculosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah
belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya
abses retrofaring. Kadangkala penderita datang dengan gejala abses pada
daerah paravertebral,abdominal, inguinal, poplitea, atau bokong, adanya pada
daerah paravertebral atau penderita datang dengan gejala paraparesis, gejala
paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang akibat spasme atau
gibus. Abses akan berkumpul dan mendesak ke arah belakang sehingga
menekan medulla spinalis menyebabkan paraplegi pott (paraplegi awal).
Paraplegi awal selain dari tekanan abses, dapat juga disebabkan oleh kerusakan
medulla spinalis akbat gangguan vaskuler dan akibat regangan yang terus-
menerus pada gibus.
Gejala awal paraplegi pada TBC tulang belakang dimulai dengan keluhan
kaki terasa kaku dan lemah dengan penurunan koordinasi tungkai. Proses ini
dimulai dengan penurunan daya kontraksi otot tungkai dan peningkatan
tonusnya menyebabkan spasme otot fleksor dan terjadi kontraktur. Gangguan
pada paraplegi ini kebanyakan terbatas pada traktus motorik.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai lekositosis.
2. Uji mantoux positif
3. Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium.
4. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional
5. pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel.
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberculosis paru.
Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi
korpus vertebra, disertai penyempitan discus intervertebralis yang berada
di antara korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa
abses paravertebral.
Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal membentuk sarang
burung (bird’s nets), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah
lumbal abses terlihat berbentuk fusiform.
Pemeriksaan foto dengan zat kontras
Pemeriksaan mielografi dilakukan bila terdapat gejala-gejala penekanan
sumsum tulang.
Pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi
Pemeriksaan MRI
Diagnosis
Diagnosis spondilitis tuberkulosa, ditentukan berdasarkan gejala klinik dan
pemeriksaan radiologist. Gejala yang mendukung diagnosis adalah nyeri yang
meningkat pada malam hari makin lama makin berat, terutama pada
pergerakkan. Anak kecil dapat berteriak sewaktu tidur nyenyak pada malam hari.
Keadaan ini terjadi karena otot erektus trunkus mengendur sehingga terdapat
pergerakan kecil antara vertebra yang sangat nyeri. Kemudian terbentuk gibus
dan laju endap darah meninggi. Pada foto rontgen tampak pemyempitan sela
discus dan gambaran abses paravertebral. Reaksi tuberculin biasanya positif.
Untuk melakukan pemeriksaan bakteriologis, dapat dilakukan pungsi abses atau
dari debris yang didapat melalui pembedahan.
Untuk melengkapi pemeriksaan, dibuatlah standar pemeriksaan TBC tulang dan
sendi, yaitu :
1. Pemeriksaan klinik dan neurology yang lengkap.
2. Foto tulang belakang posisi AP dan lateral
3. Foto polos toraks posisi AP
4. Uji mantoux
5. Biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa.
Diagnosis banding
Fraktur kompresi traumatic/akibat tumor (biasanya tumor metastatik dan
granuloma eosinofilik)
Infeksi kronik non tuberculosis
Osteitis piogenik, lebih cepat timbul demam
Polimielitis
Metastasis tulang belakang, tidak mengenai discus, adakah karsinoma
prostate
Kifosis senilis, kifosis tidak local, osteoporosis seluruh kerangka.
Penatalaksanaan
Pada prinsipnya pengobatan tuberculosis tulang belakang harus
dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta
mencegah paraplegi.
Pengobatan terdiri atas :
1. Terapi konservatif berupa :
a. Tirah baring (bed rest), untuk mencegah paraplegia dengan
pemberian tuberkulostik.
b. Memperbaiki keadaan umum penderita
c. Pemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi ataupun
yang tidak dioperasi
d. Pemberian obat antituberkulosa
e. Dilakukan pencegahan untuk menghindari dekubitus dan kesulitan
miksi dan defekasi.
Umumnya penderita akan sembuh dalam waktu terbatas. Bila
gangguan neurologik berubah menjadi lebih baik, penderita dapat
dimobilisasi dengan alat penguat tulang belakang. Pada awal paraplegi
kadang dianjurkan pembedahan.
2. Terapi operatif
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utam bagi
penderita tuberculosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih
memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bias terdapat cold
abses, lesi tuberkulosa, paraplegi dan kifosis.
Abses dingin (Cold Abses)
Cold abses yang kecil tidak tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena
dapat terjadi resorpsi spontan dengan pemberian obat tuberkulostatik.
Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah :
Ada 3 cara untuk menghilangkan lesi tuberkulosa yaitu :
a. Denridement fokal
b. Kosto-tranversektomi
c. Debridement fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
Paraplegi
Pada paraplegi, terapi ini dilakukan untuk dekompresi Medula Spinalis.
Penanganan yang dapat dilakukan yaitu :
Pengobatan dengan kemoterapi
Laminektomi
Kosto-transversektomi
Operasi radikal
Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang
Indikasi operasi
Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau
malah demam berat. Biasanya 3 mg sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap
spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.
Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara
terbuka, debridement serta bone graft.
Pada pemeriksaan radiologist baik dengan foto polos, mielografi ataupun
pemeriksaan ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla spinalis.
Operasi Kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis
mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan
opertaif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.
Keuntungan tindakan bedah yaitu dapat menentukan diagnosis dengan
pemeriskan mikrobiologis dan patologis serta mengintensifkan terapi medis.
Untuk menghindari koplikasi timbulnya tuberculosis miliar sesudah atau selama
pembedahan, masa prabedah perlu diberikan antituberkulosis selama satu
sampai dua minggu.
Prognosis
Prognosis spondilitis tuberculosis bergantung pada cepatnya dilakukan
terapi dan ada tidaknya komplikasi neurologik. Untuk spondilitis dengan
paraplegi awal, prognosis untuk kesembuhan sarafnya lebih baik sedangkan
spondilitis dengan paraplegia akhir, prognosis biasanya kurang baik. Bila
paraplegi disebabkan oleh mielitis tuberculosis, prognosis ad fungtionan juga
buruk.
PRESENTASI KASUSSPONDILITIS TUBERKULOSIS
(POTT’S DISEASE)
Pembimbing:Dr. Kusmedi Priharto, Sp. OT, FICS, FWPOA
Disusun Oleh:Erwin Wibowo
030.02.073
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAHFAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
RSUD KOJAJAKARTA
2007