Spondilitis Tb

64
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Spondilitis tuberkulosa (spondilitis TB) atau sering juga disebut dengan Pott's disease merupakan bentuk yang tidak jarang dari tuberkulosis ekstrapulmonal, mencapai sekitar 15% kasus TB ekstraparu. Namun, spondilitis TB merupakan bentuk tersering dan paling berbahaya dari TB tulang, mencapai sekitar 50% nya. Sekitar 1-2 % kasus TB merupakan kasus spondilitis TB. Spondilitis TB ternyata telah ditemukan tertinggal pada tulang mumi di Mesir dan manusia lainnya. Spondilitis TB dan terapi bedah terhadap komplikasinya, abses paravertebral pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1782 oleh ahli bedah ortopedi dari Inggris, Sir Percival Pott. Spondilitis TB biasanya muncul dengan beberapa gejala klinis yang tidak spesifik atau bahkan sering samar. Gejala klinis tersering yang muncul adalah nyeri punggung (low back pain/LBP),. Keterlibatan neurologis pada kasus spondilitis TB mencapai sekitar 10-47. Akan tetapi, banyaknya penyakit dengan manifestasi klinis berupa nyeri punggung membuat beberapa kasus spondilitis TB menjadi salah didiagnosis. Jika kasus ini dapat didiagnosis dengan benar, sebenarnya terapi

Transcript of Spondilitis Tb

Page 1: Spondilitis Tb

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Spondilitis tuberkulosa (spondilitis TB) atau sering juga disebut dengan Pott's

disease merupakan bentuk yang tidak jarang dari tuberkulosis ekstrapulmonal,

mencapai sekitar 15% kasus TB ekstraparu. Namun, spondilitis TB merupakan

bentuk tersering dan paling berbahaya dari TB tulang, mencapai sekitar 50% nya.

Sekitar 1-2 % kasus TB merupakan kasus spondilitis TB. Spondilitis TB ternyata

telah ditemukan tertinggal pada tulang mumi di Mesir dan manusia lainnya.

Spondilitis TB dan terapi bedah terhadap komplikasinya, abses paravertebral

pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1782 oleh ahli bedah ortopedi dari

Inggris, Sir Percival Pott.

Spondilitis TB biasanya muncul dengan beberapa gejala klinis yang tidak spesifik

atau bahkan sering samar. Gejala klinis tersering yang muncul adalah nyeri

punggung (low back pain/LBP),. Keterlibatan neurologis pada kasus spondilitis

TB mencapai sekitar 10-47. Akan tetapi, banyaknya penyakit dengan manifestasi

klinis berupa nyeri punggung membuat beberapa kasus spondilitis TB menjadi

salah didiagnosis. Jika kasus ini dapat didiagnosis dengan benar, sebenarnya

terapi yang diperlukan sangat sederhana, yaitu dengan protocol tuberkulosis yang

sangat mudah ditemukan di Indonesia.

Prognosis pasien dapat bervariasi bergantung pada terapi yang diberikan dan

dapat menimbulkan disabilitas jangka panjang. Keterlambatan dalam

mendiagnosis dan tata laksana dapat menyebabkan komplikasi yang serius,

terutama kompresi saraf spinal dan deformitas spinal yang berakibat pada deficit

neurologis dan prognosis yang buruk.

Besarnya insidensi spondilitis TB di Indonesia memicu kita sebagai seorang

dokter umum dan dokter neurologi untuk dapat mengenali dan mendiagnosis

spondilitis TB dengan tepat. Penanganan yang tepat dapat menurunkan

komplikasi yang timbul akibat spondilitis TB, ditambah lagi dengan tersedianya

Page 2: Spondilitis Tb

obat TB di Indonesia. Untuk itulah penulis menulis makalah ini dengan tujuan

agar dapat membantu dokter dan tim medis untuk dapat mengenali kasus

spondilitis TB dengan cepat dan tepat, sehingga penanganan kasus dapat

dilaksanakan segera untuk menurunkan komplikasi berat, berupa deficit

neurologis yang sulit untuk diperbaiki.

1.2. Tujuan

Tujuan penyusunan makalah ini adalah memahami aspek teori dan mengetahui

hal-hal yang harus dilakukan dalam menangani spondilitis TB. Penyusunan

makalah ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan kegiatan Program Pendidikan

Profesi Dokter (P3D) di Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara.

1.3. Manfaat

Makalah ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan penulis maupun

pembaca khususnya dari peserta P3D untuk mengintegarasikan teori yang ada

dengan aplikasi kasus yang ditemui di lapangan.

Page 3: Spondilitis Tb

BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1. ANAMNESIS

2.1.1. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Agustina

Jenis Kelamin : P

Usia : 30 tahun

Suku Bangsa : Jawa

Agama : Islam

Alamat : Jl. M Abbas Lk IV Pantai Burung Tanjung

Balai

Status : Sudah Menikah

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Tanggal Masuk : 12/10/2015

2.1.2. ANAMNESA

Keluhan Utama : Lemah kedua tungkai

Telaah : Hal ini dialami os sejak 2 bulan SMRS,

lemah kedua tungkai dialami os secara perlahan-lahan,

serentak di kedua tungkai. Keluhan kebas disangkal, Nyeri

pinggang dialami os sudah 6 bulan ini dan memberat 3

bulan SMRS.BAB (+) normal, BAK (+) normal.Riwayat

mengalami batuk lama (-), penurunan berat badan (+) 1

bulan terakhir sebanyak 2 kg.Riwayat terjatuh (-), demam

(-), riwayat demam (-).Os sudah berobat ke spesialis syaraf

di Tanjung Balai lalu di lakukan MRI di RS Materna lalu

dirujuk ke RSHAM. Os sudah menjalani pengobatan paru

selama 1 bulan dengan diagnose Spondilitis TB.

RPT : -

RPO : -

Page 4: Spondilitis Tb

2.1.3. ANAMNESA TRAKTUS

Traktussirkulatorius : Berdebar-debar (-)

Traktusrespiratorius : Sesak nafas (-), batuk

(-)

Traktus digestivus : BAB (+) normal

Traktus urogenitalis : BAK (+) normal

Penyakit terdahulu & kecelakaan : (-)

Intoksikasi & obat-obat2an : (-)

2.1.4. ANAMNESA KELUARGA

Faktor herediter : (-)

Faktor familier : (-)

Lain-lain : (-)

2.1.5. ANAMNESA SOSIAL

Kelahiran & pertumbuhan : Dalam batas normal

Imunisasi : Tidak jelas

Pendidikan : Tamat SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Perkawinan & anak : Menikah

2.2. PEMERIKSAAN JASMANI

2.2.1. PEMERIKSAAN UMUM

Tekanan darah : 120/70 mmHg

Nadi : 78x/menit

Frekuensi nafas : 16x/menit

Temperatur : 36,8’C

Kulit & selaput lendir : Dalam batas normal

Kelenjar & getah bening : Dalam batas normal

Persendian : Dalam batas normal

2.2.2. KEPALA & LEHER

Bentuk & posisi : Bulat & Medial

Page 5: Spondilitis Tb

Pergerakan : Bebas

Kelainan panca indera : (-)

Rongga mulut & gigi : Dalam batas normal

Kelenjar parotis : Dalam batas normal

Desah : (-)

2.2.3. RONGGA DADA & ABDOMEN

Rongga dada Rongga

abdomen

Inspeksi : Simetris fusiformis Simetris

Palpasi : Stem Fremitus Ka=Ki Soepel

Perkusi : Beda pada kedua lap bawah paru

Timpani

Auskultasi : Sp: ronkhi pada kedua lap bawah paru

Peristaltik (+) Normal

2.2.4. GENITALIA

Toucher : Tidak dilakukan pemeriksaan

2.3. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

2.3.1. SENSORIUM : Compos mentis

2.3.2. KRANIUM

Bentuk : Bulat

Fontanella : Tertutup

Palpasi : Pulsasi a.temporalis, a.carotis reguler

Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan

Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan

Transluminasi : Tidak dilakukan pemeriksaan

2.3.3. PERANGSANGAN MENINGEAL

Kaku Kuduk : (-)

Tanda Kerniq : (-)

Tanda Brudzinski I : (-)

Page 6: Spondilitis Tb

Tanda Brudzinski II : (-)

2.3.4. PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL

Muntah : (-)

Sakit kepala : (-)

Kejang : (-)

2.3.5. NERVUS KRANIALIS

NERVUS I Meatus Nasi Dextra Meatus Nasi

Sinistra

Normosmia : (+) (+)

Anosmia : (-) (-)

Parosmia : (-) (-)

Hiposmia : (-) (-)

NERVUS II Okuli Dextra Okuli

Sinistra

Visus : Normal Normal

Lapangan pandang

Normal : (+) (+)

Menyempit : (-) (-)

Hemianopsia : (-) (-)

Scotoma : (-) (-)

Refleks ancaman : (+) (+)

Fundus okuli

Warna : (+) (+)

Batas : (+) (+)

Ekskavasio : (+) (+)

Arteri : (+)

(+)

Vena : (+) (+)

Page 7: Spondilitis Tb

NERVUS III, IV, VI Oculi Dextra Okuli

Sinistra

Gerakan bola mata : normal

normal

Nistagmus : -

-

Pupil

Lebar : isokor, ø 3mm

isokor, ø 3mm

Bentuk : bulat

bulat

RC Langsung : (+)

(+)

RC Tidak langsung : (+)

(+)

Rima palpebra : ±7mm

±7mm

Deviasi konjugasi : (-)

(-)

Doll’s eye phenomena : tdp

tdp

Strabismus : (-)

(-)

NERVUS V Kanan

Kiri

Motorik

Membuka & Menutup mulut : (+)

(+)

Palpasi otot masseter &temporalis : (+)

(+)

Kekuatan gigitan : (+)

(+)

Page 8: Spondilitis Tb

Sensorik

Kulit : DBN

DBN

Selaput lendir : DBN

DBN

Refleks kornea

Langsung : (+)

(+)

Tidak langsung : (+)

(+)

Refleks masseter : (+)

(+)

Refleks bersin : (+)

(+)

NERVUS VII Kanan

Kiri

Motorik

Mimik : (+)

(+)

Kerut kening : (+)

(+)

Menutup mata : (+)

(+)

Meniup sekuatnya : (+)

(+)

Memperlihatkan gigi : (+)

(+)

Tertawa : (+)

(+)

Sensorik

Pengecapan 2/3 depan lidah : (+)

(+)

Page 9: Spondilitis Tb

Produksi kelenjar Ludah : (+)

(+)

Hiperakusis : (-)

(-)

Refleks stapedial : (+)

(+)

NERVUS VIII Kanan

Kiri

Auditorius

Pendengaran : (+)

(+)

Test rinne : (-)

(-)

Test weber : (-)

(-)

Test schwabach : (-)

(-)

Vestibularis

Nistagmus : (-)

(-)

Reaksi kalori : (-)

(-)

Vertigo : (-)

(-)

Tinnitus : (-)

(-)

NERVUS IX,X

Pallatum mole : Simeteris

Uvula : Medial

Disfagia : (-)

Disartria : (-)

Page 10: Spondilitis Tb

Disfonia : (-)

Reflek muntah : (+)

Pengecapan 1/3 belakang : (+)

NERVUS XI Kanan

Kiri

Mengangkat bahu : (+)

(+)

Fungsi otot Sternocleidomastoideus : (+)

(+)

NERVUS XII

Lidah

Tremor : (-)

Atropi : (-)

Fasikulasi : (-)

Ujung lidah sewaktu Istirahat : Medial

Ujung lidah sewaktu Dijulurkan : Medial

2.3.6. SISTEM MOTORIK

Tropi : Eutrofi

Tonus otot : Normotonus

Kekuatan otot : ESD : 55555 ESS :

55555

EID : 55555 EIS :

55555

Sikap : Berbaring

2.3.7. GERAKAN SPONTAN ABNORMAL

Tremor : (-)

Khorea : (-)

Ballismus : (-)

Mioklonus : (-)

Page 11: Spondilitis Tb

Atetosis : (-)

Distonia : (-)

Spasme : (-)

Tic : (-)

2.3.8. TEST SENSIBILITAS

Eksteroseptif : (+)

Propioseptif : (+)

Fungsi kortikal untuk sensibilitas

Stereognosis : (+)

Pengenalan 2 titik : (+)

Grafestesia : (+)

2.3.9. REFLEKS

2.3.9.1. REFLEKS FISIOLOGIS

Kanan

Kiri

Biceps : (++)

(++)

Triceps : (++)

(++)

Radioperiost : (++)

(++)

APR : (++)

(++)

KPR : (++)

(++)

Strumple : (++)

(++)

2.3.9.2. REFLEKS PATOLOGIS

Babinsky : (-)

(-)

Page 12: Spondilitis Tb

Oppenheim : (-)

(-)

Chaddock : (-)

(-)

Gordon : (-)

(-)

Schaefer : (-)

(-)

Hoffman-trommer : (-)

(-)

Klonus lutut : (-)

(-)

Klonus kaki : (-)

(-)

2.3.9.3. REFLEKS PRIMITIF : (-)

2.3.10. KOORDINASI

Lenggang : -

Bicara : (+)

Menulis : (+)

Percobaan apraksia : (+)

Mimik : (+)

Tes telunjuk-telunjuk : (+)

Tes telunjuk-hidung : (+)

Diadokhokinesia : (+)

Tes tumit-lutut : (+)

Tes Romberg : (+)

2.3.11. VEGETATIF

Vasomotorik : (+)

Sudomotorik : (+)

Pilo-erektor : (+)

Miksi : (+)

Page 13: Spondilitis Tb

Defekasi : (+)

Potens &libido : Tidak dilakukan pemeriksaan

2.3.12. VERTEBRA

BENTUK

Normal : (+)

Scoliosis : (-)

Hiperlordosis : (-)

PERGERAKAN

Leher : (+)

Pinggang :(+)

2.3.13. TANDA PERANGSANGAN RADIKULER

Laseque : (-)

Cross laseque : (-)

Test Lhermitte : (-)

Test Naffziger : (-)

2.3.14. GEJALA-GEJALA SEREBRAL

Ataksia : (-)

Disartria : (-)

Tremor : (-)

Nistagmus : (-)

Fenomena rebound : (-)

Vertigo : (-)

Dan lain-lain : (-)

2.3.15. GEJALA-GEJALA EKSTRAPIRAMIDAL

Tremor : (-)

Rigiditas : (-)

Bradikinesia : (-)

Dan lain-lain : (-)

2.3.16. FUNGSI LUHUR

Page 14: Spondilitis Tb

Kesadaran kualitatif :Compos mentis

Ingatan baru : (+)

Ingatan lama : (+)

Orientasi

Diri : (+)

Tempat : (+)

Waktu : (+)

Situasi : (+)

Intelegensia : (+)

Daya pertimbangan : (+)

Reaksi emosi : (+)

Afasia

Ekspresif : (-)

Represif : (-)

Apraksia : (-)

Agnosia

Agnosia visual : (-)

Agnosia jari-jari : (-)

Akalkulia : (-)

Disorientasi kanan-kiri : (-)

2.4. KESIMPULAN PEMERIKSAAN

A, wanita 30 thn datang dengan keluhan lemah kedua tungkai sejak

2 bulan SMRS yang dialami secara perlahan-lahan, serentak di kedua tungkai.

Nyeri pinggang dialami os sudah 6 bulan ini dan memberat 3 bulan

SMRS.BAB (+) normal, BAK (+) normal.Penurunan berat badan (+) 1 bulan

terakhir sebanyak 2 kg.Os sudah berobat ke spesialis syaraf di Tanjung Balai

lalu di lakukan MRI di RS Materna Medan lalu dirujuk ke RSHAM.Os sudah

menjalani pengobatan paru selama 1 bulan dengan diagnoseaSpondilitis TB.

STATUS PRESENSSensorium Compos mentis

Page 15: Spondilitis Tb

Tekanan Darah 120/70 mmHgHeart Rate 78x/iRespiratory Rate 16x/iTemperatur 36,8’C

STATUS NEUROLOGISSensorium Compos mentis

Peningkatan TIKMuntah (-)Kejang (-)Sakit kepala (-)

Perangsangan meningealKaku kuduk (-)Kernig sign (-)Brudzinski I/II (-/-)

NERVUS KRANIALISN I DbnN II, III RC +/+, pupil bulat isokor ø 3mmN III, IV, VI Dbn

N V Refleks kornea (+)

N VII Dbn

N VIII Dbn

N IX, X Dbn

N XI Dbn

N XII Dbn

REFLEKS FISIOLOGIS

Biceps / TricepsKanan Kiri

++/++ ++/++

KPR / APRKanan Kiri

++/++ ++/++

REFLEKS PATOLOGIS

BabinskyKanan Kiri

- -

Hoffman / TromnerKanan Kiri

-/- -/-

KEKUATAN MOTORIK

ESD: 55555 ESS: 55555

EID: 55555 EIS: 555555

Page 16: Spondilitis Tb

2.5. DIAGNOSA

Diagnosa Fungsional : Paraparese tipe UMN

DiagnosaEtiologik : Infeksi

Diagnosa Anatomik : Lumbal

Diagnosa Banding : 1. Spondilitis TB

2.

Diagnosa Kerja : Paraparese tipe UMN ec Spondilitis TB

2.6. PENATALAKSANAAN

o IVFD RSOL 20 gtt/i

o FDC 4x1

o Inj Streptomycin 1 vial/hari

o Na diclofenac 2 x 25 mg

o Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam

o Fisioterapi

2.7. RENCANA PROSEDUR DIAGNOSTIK

Foto Rontgen Thorax

Gene Expert

MRI Vertebra Th-L

2.8. FOLLOW UP

1 Tanggal 12/10/2015S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang (+)O : Sens : CM TD: 120/80 mmHg HR : 76x/i RR : 18x/i T:36,7 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/-

Page 17: Spondilitis Tb

Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A :Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - Isoniazid 300 mg 1x1 tab

- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 21)- Ketorolac 1 ampul/8 jam- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab- Tramadol 3x50 mg

R: konsul divisi infeksi neurologi Konsul Bedah Orthopedi

2 13 Oktober 2015S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang (+)O : Sens : CM TD: 100/60 mmHg HR : 78x/i RR : 18x/i T:36,8 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab

- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 22)- Ketorolac 1 ampul/8 jam- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab- Tramadol 3x50 mg- Fisioterapi (Anjuran Bedah Ortopedi)

Page 18: Spondilitis Tb

3 14 Oktober 2015S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang (+)O : Sens : CM TD: 100/60 mmHg HR : 78x/i RR : 20x/i T:36,6 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab

- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 23)- Ketorolac 1 ampul/8 jam- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab- Tramadol 3x50 mg

- Fisioterapi TLSO (Extension Brace)

4 15 Oktober 2015S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang (+)O : Sens : CM TD: 120/70 mmHg HR : 78x/i RR : 18x/i T:36,8 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : Normal

Page 19: Spondilitis Tb

Otonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab

- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 24)- Na diclofenax 2x25 mg- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab

- Fisioterapi TLSO (Extension Brace)

5 16 Oktober 2015S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang berkurangO : Sens : CM TD: 110/60 mmHg HR : 78x/i RR : 18x/i T:36,8 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab

- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 25)- Na diclofenax 2x25 mg- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab- Vit B Kompleks 2x1 tab

- Fisioterapi TLSO (Extension Brace)

6 17 Oktober 2015S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang berkurangO : Sens : CM TD: 120/60 mmHg HR : 78x/i RR : 18x/i T:36,5 oC

Page 20: Spondilitis Tb

Peningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab

- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 26)- Na diclofenax 2x25 mg- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab- Vit B Kompleks 2x1 tab

- Fisioterapi TLSO (Extension Brace)

7 18 Oktober 2015S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang berkurangO : Sens : CM TD: 100/60 mmHg HR : 80x/i RR : 20x/i T:36,8 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab

- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 27)

Page 21: Spondilitis Tb

- Na diclofenax 2x25 mg- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab- Vit B Kompleks 2x1 tab

- Fisioterapi TLSO (Extension Brace)

8 19 Oktober 2015S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang berkurangO : Sens : CM TD: 110/70 mmHg HR : 80x/i RR : 17x/i T:36,8 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab

- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 27)- Na diclofenax 2x25 mg- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab- Vit B Kompleks 2x1 tab

- Fisioterapi TLSO (Extension Brace)

9 20 Oktober 2015S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang berkurangO : Sens : CM TD: 110/60 mmHg HR : 80x/i RR : 17x/i T:36,8 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-

Page 22: Spondilitis Tb

Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab

- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 27)- Na diclofenax 2x25 mg- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab- Vit B Kompleks 2x1 tab

- Fisioterapi TLSO (Extension Brace)R : MRI Ulang Kontrast T7-L3

10

20 Oktober 2015

S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang berkurangO : Sens : CM TD: 120/70 mmHg HR : 80x/i RR : 17x/i T:36,8 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab

- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 27)- Na diclofenax 2x25 mg- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam

Page 23: Spondilitis Tb

- Amitriptilin 1x1/2 tab- Vit B Kompleks 2x1 tab

- Fisioterapi TLSO (Extension Brace)

11

21 Oktober 2015

S : lemah kedua tungkai, nyeri pinggang berkurangO : Sens : CM TD: 110/60 mmHg HR : 76x/i RR : 18x/i T:36,8 oCPeningkatan TIK (-) Rangsang meningeal (-)Nervus kranialis : dbnRefleks Fisiologis : B/T : ++/++ KPR/APR : ++/++Refleka Patologis : H/T : -/- Babinski -/-Kekuatan Motorik : ESD: 55555 ESS: 55555EID : 55555 EIS: 55555Sensibilitas : NormalOtonom : NormalGibus setentang L2A : Low Back Pain ec Spondilitis TBP : - IVFD RSOL 20 gtt/i - Isoniazid 300 mg 1x1 tab

- Rifampicin 600 mg 1 x1 tab- Pirazinamid 500 mg 1x4 tab- Etambutol 500 mg 1x 2 tab- Streptomycin 1 gram 1 vial /hari (H 27)- Na diclofenax 2x25 mg- Inj Ranitidin 1 amp/8 jam- Amitriptilin 1x1/2 tab- Vit B Kompleks 2x1 tab

- Fisioterapi TLSO (Extension Brace)

2.9. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hematologi ( 12/10/2015)Darah Lengkap (CBC):Hemoglobin (HGB) g% 12.70 11.7 – 15.5Eritrosit (RBC) 106/mm3 4.84 4.20 – 4.67Leucosit (WBC) 103/mm3 5.22 4.5 – 11.0Hematokrit % 39.30 38 - 44Trombosit (PLT) 103/mm3 284 150 – 450

Page 24: Spondilitis Tb

MCV fL 81.20 85 - 95MCH Pg 26.20 28 - 32MCHC g% 32.30 33 – 35RDW % 16.10 11.6 – 14.8Hitung JenisNeutrofil % 63.70 37 – 80Limfosit % 17.60 20 – 40Monocyte % 14.90 2 – 8Eosinofil % 3.40 1 – 6Basofil % 0.400 0 – 1 Neutrofil Absolut 103/µL 3.32 2.7 – 6.5Limfosit Absolut 103/µL 0.92 1.5 – 3.7Monosit Absolut 103/µL 0.78 0.2 – 0.4Eosinofil Absolut 103/µL 0.18 0 – 0.10Basofil Absolut 103/µL 0.02 0 – 0.1

Glukosa Darah (Sewaktu) mg/dl 96.40 < 200FAAL GINJALUreum mg/dl 23.30 < 50Kreatinin mg/dl 0.65 0.57 – 0.87ELEKTROLITNatrium (Na) mEq/l 139 135 – 155Kalium (K) mEq/l 4.0 3.6 – 5.5Klorida (Cl) mEq/l 106 96 – 106

Foto toraks PA(RSUP HAM)26/2/2015

Foto kurang inspirasi.Kedua sinus costophrenicus lancip, kedua diafragma licin.Tidak tampak infiltrate pada kedua lapangan paru.Jantung ukuran membesar, aorta elongasi kalsifikasi.Trakea di tengah.Tulang-tulang dan soft tissue baik.

2.9 JAWABAN KONSUL

Page 25: Spondilitis Tb

1. Departemen Kardiologi (26 Februari 2015)

Dari hasil pembacaan EKG : Sinus Ritme + LAD ( Left Axis Deviation )

2. Instalasi Rehabilitasi Medis (26 April 2014)

Temuan :lemah lengan dan tungkai kanan, bicara tidak jelas.

Anjuran : fisioterapi, chest therapy, exercise, speech therapy.

BAB 3

Page 26: Spondilitis Tb

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi

Spondilitis tuberkulosis adalah peradangan granulomatosa yang bersifat kronis

dekstruktif oleh Mycobacterium tuberculosis pada tulang belakang (Pott’s

disease).

3.2. Epidemiologi

Spondilitis TB banyak dijumpai di daerah endemis TB, seperti Afrika dan Asia,

termasuk Indonesia. Di Amerika sendiri, angka kejadian spondilitis TB sebesar

4/100.000/tahun, sedangkan Kenya 384/100.000/tahun. Pada tahun 2010, terdapat

sebanyak 365 kasus di UK dan 167 kasus di London. Kasus spondilitis TB yang

tidak dilaporkan mencapai 100-200 kasus pertahunnya. Pada daerah dengan

prevalensi TB yang tinggi, spondilitis TB biasanya dijumpai pada anak-anak

dengan target tulang utama adalah vertebra torakalis. Pada daerah nonendemis,

seperti Amerika Serikat, spondilitis TB dijumpai pada imigran yang berasal dari

daerah endemis, dengan gangguan sistem imunitas, dan lebih banyak pada pria

dibandingkan dengan pada wanita. Biasanya tulang yang menjadi target adalah

vertebra lumbalis.

3.3. Etiologi

Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang lain pun

dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium

africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle

baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada

penderita HIV). Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk

batang yang bersifat acid-fast non-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik

melalui cara yang konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk

memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-enriched

dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik

Page 27: Spondilitis Tb

Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya

dengan spesies lain

3.4. Patogenesis

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena ukuran

bakteri sangat kecil 1-5 µ, kuman TB yang terhirup mencapai alveolus dan segera

diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan

memfagosit kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.

Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan

kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus

berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan

kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman

TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon. Diawali dari fokus primer kuman

TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke kelenjar limfe regional, yaitu

kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran

ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar

limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau

tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,

sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah

kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer,

kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang

meradang (limfangitis). Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8

minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut,

kuman tumbuh hingga mencapai jumlah untuk merangsang respons imunitas

selular. Pada saat terbentuk kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah

terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuk hipersensitivitas terhadap protein

tuberkulosis, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa

inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk,

imunitas selular tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu

dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun selular berkembang,

proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap

Page 28: Spondilitis Tb

hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru

yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. Setelah imunitas selular

terbentuk fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara

sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis

perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis

dan enkapsulasi tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer

di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-

tahun dalam kelenjar tersebut. Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan

kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas selular, kuman tetap hidup

dalam bentuk dorman. Fokus tersebut umumnya tidak langsung berlanjut menjadi

penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi, disebut sebagai fokus

Simon. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus

Simon ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait,

misalnya meningitis, TB tulang dan lain-lain. Selama masa inkubasi, sebelum

terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen.

Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional

membentuk kompleks primer sedangkan pada penyebaran hematogen kuman TB

masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya

penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit

sistemik. Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread), kuman TB

menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan

gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh

tubuh. Organ yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik,

misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas

paru.

3.5. Klasifikasi

Spondilitis TB diklasifikasikan menurut GATA (Gulhane Askeri Tip Akademisi /

Gulhane Military Medical Academy) berdasarkan 7 kriteria klinis dan radiologis,

Page 29: Spondilitis Tb

yaitu: pembentukan abses, degenerasi diskus, kolaps vertebra, kifosis, indeks

sagittal, instabilitas, dan masalah neurologis.

Klasifikasi GATA untuk spondilitis TB:

Tipe I : Terdapat degenerasi diskus 1 level dan infiltrasi jaringan lunak tanpa

abses, tetapi tidak terdapat kolaps dan defisit neurologis.

(A) Lesi terbatas pada vertebra (terapi dengan obat efektif, tetapi perlu

dikontrol secara periodik).

(B) Terdapat bukti pembentukan abses tidak terbatas pada vertebra, tetapi

tidak terdapat kolaps, instabilitas atau defisit neurologis (drainase abses

dan debridemen diperlukan, dan drainase dapat dilakukan dari depan,

belakang atau dengan bantuan endoskopi).

Tipe II : Terdapat degenerasi diskus 1 atau 2 level, terbukti terdapat pembentukan

abses dan kifosis ringan yang dapat dikoreksi dengan intervensi bedah anterior.

Indeks sagittal kurang dari 20 derajat. Terdapat defisit neurologis akibat

pembentukan abses. Tidak terdapat instabilitas. Debridemen dari sisi anterior

dengan graft struttrikortikal diperlukan. Jika terdapat defisit neurologis,

dekompresi harus segera dilakukan selama 2 bulan, body cast harus digunakan,

dan 2 bulan berikutnya sudah dapat digunakan korset postoperasi.

Tipe III: Terdapat degenerasi diskus 1 atau 2 level, terbukti terdapat pembentukan

abses, instabilitas, dan defisit neurologis yang tidak dapat dikoreksi dengan

instrument. Indeks sagittal lebih dari 20 derajat. Sebagai tambahan debridement

anterior dan fusi, jika terdapat defisit neurologis, dekompresi harus dilakukan.

Deformitas perlu dikoreksi dan distabilisasi dengan fiksasi internal.

Tabel 3.1 Spondilitis TB berdasarkan GATA

Page 30: Spondilitis Tb

3.6. Manifestasi Klinis

- Batuk

- Penurunan berat badan

- Demam subfebril, mengigil dan malaise.

- Pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak sakit,

- Diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare

- Benjolan/massa di abdomen dan tanda-tanda cairan di abdomen.

- Benjolan pada tulang belakang yang disertai oleh nyeri.

Page 31: Spondilitis Tb

- Defisit neurologis seperti paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/

atau sindrom kauda equina.

- Spondilitis TB servikal jarang terjadi, namun manifestasinya lebih berbahaya

karena dapat menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak akibat

gangguan n. Laringeus.

- Keluhan deformitas pada tulang belakang (kifosis) terjadi pada 80% kasus

disertai oleh timbulnya gibbus yaitu punggung yang membungkuk dan

membentuk sudut, merupakan lesi yang tidak stabil serta dapat berkembang secara

progresif.

- Abses dapat terjadi pada tulang belakang yang dapat menjalar ke rongga dada

bagian bawah atau ke bawah ligamen inguinal.

- Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang dikenal

dengan istilah Pott’s paraplegi.

3.7. Penegakan Diagnosa

Gambaran klinis spondilitis TB bervariasi dan tergantung pada banyak faktor.

Biasanya onset penyakit ini berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat.

Durasi gejala – gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti

bervariasi dari bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya

dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.

1. Anamnesa

Gambaran adanya penyakit sistemik: kehilangan berat badan, keringat malam,

demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta

cachexia.

Adanya riwayat batuk lama ( lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai

nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus

limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.

Page 32: Spondilitis Tb

Nyeri terlokalisir pada satu region tulang belakang atau berupa nyeri yang

menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di

daerah telingan atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan

menampakkan nyeri yang terasa di dada dan interkostal. Pada lesi di bagian

torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri

hanya hilang saat istirahat. Untuk mengurangi rasa nyeri pasien akan menahan

punggungnya menjadi kaku.

Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki

pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.

Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan

kepalanya, mempertahan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi

dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital.

Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya

gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau

bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher.

Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakea ke sternal notch

sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor respirator,

sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan menyebabkan

tetraparesis. Dislokasi atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan

merupakan salah satu penyebab kompresi cervicomedullary di negara yang sedang

berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan

tuberkulosa di region servikal.

Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila

berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya.

Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekukkan lututnya sementara tetap

mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test). Jika terdapat abses, maka

abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rogga dada dan tampak

sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan abses ini berjalan ke

bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis.

Page 33: Spondilitis Tb

Di region lumbar: abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang

terjadi di atas atau dibawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui

fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien

tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang

belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot

psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.

Adanya gejala dan tanda dari kompresi medulla spinalis apabila terjadinya defisit

neurologis. Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada

spondilitis lebih banyak ditemukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika

timbul paraplegia akan tampak spatisitas dari alat gerak bawah dengan refleks

tendon dalam keadaan hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan

motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gagguan fungsi kandung kemih dan

anorektal.

Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri akut

seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun

sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan tuberkulosa.

2. Pemeriksaan fisik

Tampak adanya deformitas, dapat berupa: kifosis (gibbus/ angulasi tulang

belakang) skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis,dan

dislokasi)

Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit

diatasnya teraba sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan

dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat

paha, fossa iliaka, retropharynx, atau disisi leher (di belakang otot

sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di

sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara

ukuran lesi dekstruktif dan kuantitas pus dalam cold abcess.

Spasme otot protektif dan disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang

terkena.

Page 34: Spondilitis Tb

Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan di atas prosesus

spinosusvertebrae yang terkena, sering tampak tenderness.

3. Pemeriksaan penunjang

a) Laboratorium :

- Laju endap darah meningkat ( tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari

100mm/jam.

- Tuberculin Skin Test/ Mantaoux Test/ Tuberculin purified Protein

Derivative (PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi

pemaparaan dahulu maupun yang baru terjadi oleh Mycobacterium.

Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,

kemerahan dengan diameter 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72

jam setelah suntikkan. Hasil yang negatif tampak pada 20% kasus

dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien

imunitas selulernya tertekan.

- Kultur urin pagi , sputum dan bilas lambung akan menunjukkkan hasil

positif sekiranya terdapat keterlibatan paru – paru yang aktif.

- Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfasitosis yang

bersifat relative. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-

streptolysin haemolysins, typhoid, parathyphoid dan brucellosis untuk

menyingkirkan diagnosa banding.

- Pada kasus meningitis tuberkulosa, cairan serebrospinal dapat

abnormal. Normalnya cairan serebropinal ttidak mengeksklusikan

kemungkinan infeksi TB. pemeriksaan cairan serebrospinal serial akan

memberikan hasil lebih baik.

b) Radiologis

Gambaran bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.

- Foto rontgen dada dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari

bukti adanya TB di paru.

Page 35: Spondilitis Tb

- Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari

bukti adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru

dapat terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit.

- Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.

- Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau

sudut inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian

berlanjut sehingga tampak penyempitan diskus intervetebralis yang

berdekatan, serta erosi korpus vertebrae anterior yang berbentuk

scalloping karena penyebaran infeksi area subligamentous.

- Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, processus

transverses atau processus spinosus.

- Keterlibatan bagian lateral corpus veterbra akan menyebabkan

timbulnya deformitas scoliosis.

- Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder

tuberkulosa yang sudah lama akan tampak tulang vertebra yang

mempunyai rasio tinggi lebih besar dari lebarnya, dimana vertebra

yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap tingginya.

Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra and tall vertebra, terjadi

karena adanya stress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus

sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat

pada kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra

yang belum menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang

melibatkan vertebra torakal.

- Dapat terlihat keterlibatan jaringgan lunak, seperti abses paravertebral

dan psoas. Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk

globular dengan klasifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai

bayangan jaringgan lunak yang mengalami peningkatan densitas

dengan atau tanpa kalsifiasi pada saat penyembuhan. Deteksi dan

evalusi adanya abses epidural sangatlah penting, oleh karena

merupakan salah satu indikasi tindakan operasi ( tergantung ukuran

abses)

Page 36: Spondilitis Tb

c) Computed Tomography Scan (CT Scan)

- Bermanfaat untuk menvisualisasi region torakal dan

keterlibatan iga yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan

lengkung syaraf posterior seperti pedikel tampak lebih baik

dengan CT Scan.

d) Magnetic Resonance Imaging (MRI)

- Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi

yang bersifat kompresif dengan yang bersifat non kompresif

pada tuberkulosa tulang belakang. Antara manfaatnya :

Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah

akan bersifat konservatif atau operatif.

Membantu menilai respon terapi

- Namun, kerugiannya pula adalah dapat terlewatinya fragmen

tulang kecil dan kalsifikasi di abses.

e) Needle biopsy/ operasi eksplorasi ( costotransversectomi) dari lesi spinal

mungkin diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan

pengalaman dan pembacaan histologi yang baik . pemeriksaan ini berhasil

pada 50% kasus dan bermanfaat untuk menegakkan diagnosa yang

absolut.

f) Aspirasi pus paravertebral yang diperiksa secara mikroskopis juga dapat

dilakukan untuk mencari basil tuberkulosa dan granuloma, lalu kemudian

dapat diinokulasikan di dalam hewan Guinea pig.

Page 37: Spondilitis Tb

Gambar 3.1 Gambaran spondilitis dilihat dari foto polos, MRI dan CT

Scan

3.8. Diagnosa Banding

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan

laboratorium maupun radiologi, beberapa penyakit yang dapat menyerupai

spondilitis TB adalah sebagai berikut2:

- Osteomielitis piogenik atau fungal

- Granuloma eosinofilik

- Myeloma multiple

- Fraktur kompresi multiple

- Brucellosis spinalis (sangat sulit dibedakan berdasarkan gambaran

radiologi).

3.9. Terapi

Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :

1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit

2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis

Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi

menjadi :

TERAPI KONSERVATIF

1. Pemberian nutrisi yang bergizi

2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa.

Adanya resistensi obat memerlukan suatu pemantauan yang ketat selama

pemberian terapi, karena kultur dan uji sensitivitas terhadap obat anti tuberculosa

memakan waktu lama (kurang lebih 6-8 minggu) dan perlu biaya yang cukup

besar sehingga situasi klinis membuat dilakukannya terapi terlebih dahulu lebih

penting walaupun tanpa bukti konfirmasi tentang adanya tuberkulosa. Adanya

Page 38: Spondilitis Tb

respon yang baik terhadap obat antituberculosa juga merupakan suatu bentuk

penegakkan diagnostik.

The Medical Research Council telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan untuk

tuberkulosa spinal di negara yang sedang berkembang adalah kemoterapi

ambulatori dengan regimen isoniazid dan rifamipicin selama 6 – 9 bulan.

Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya dini atau

terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan selama

6-12 bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang.

Masalah yang timbul dari pemberian kemoterapi ini adalah masalah kepatuhan

pasien.

Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin (RMP),

pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB). Obat

antituberkulosa sekunder adalah para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide,

cycloserine, kanamycin dan capreomycin.

Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang primer:

Isoniazid (INH)

Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler Tersedia dalam sediaan

oral, intramuskuler dan intravena. Bekerja untuk basil tuberkulosa yang

berkembang cepat. Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan

serebrospinal. Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih

banyak pasien berusia lanjut usia, peripheral neuropathy karena defisiensi

piridoksin secara relatif (bersifat reversibel dengan pemberian suplemen

piridoksin). Relatif aman untuk kehamilan Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300

mg/hari

Rifampin (RMP)

Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat dari

basil, baik di intra ataupun ekstraseluler. Keuntungan : melawan basil dengan

Page 39: Spondilitis Tb

aktivitas metabolik yang paling rendah (seperti pada nekrosis perkijuan). Lebih

baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam bentuk sediaan

oral dan intravena. Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk

cairan serebrospinal. Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada

traktus gastrointestinal, cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose dependent

peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan INH.

Relatif aman untuk kehamilan Dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600 mg/hari.

Pyrazinamide (PZA)

Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang bersifat

asam dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau dalam lesi

perkijuan. Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.

Efek samping : 1. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang

dipergunakan dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah bila

diberikan dalam jangka pendek. 2. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi

gout jarang tampak. Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan

kadar asam urat. Dosis : 15-30mg/kg/hari Ethambutol (EMB)

Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler Tidak berpenetrasi ke dalam

meningen yang normal Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan

timbulnya kondisi buta warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya

central scotoma. Relatif aman untuk kehamilan Dipakai secara berhati-hati untuk

pasien dengan insufisiensi ginjal Dosis : 15-25 mg/kg/hari

Streptomycin (STM)

Bersifat bakterisidal Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa

sehingga dipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA. Tidak berpenetrasi ke

dalam meningen yang normal Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf

VIII), nausea dan vertigo (terutama sering mengenai pasien lanjut usia) Dipakai

secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal Dosis : 15 mg/kg/hari –

1 g/kg/hari

Page 40: Spondilitis Tb

Istirahat tirah baring (resting)

Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada turning

frame / plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian kemoterapi.

Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila tidak

tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal

spinal anterior, atau bila terdapat masalah teknik yang terlalu membahayakan.

Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang

belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase

aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi

kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung

3-4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda

klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa

nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat badan

meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju

endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis tidak

dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.

Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat

diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal

dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah

lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket

19 atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama

immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita

diperbolehkan berobat jalan.

Terapi untuk Pott’s paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi di

plaster shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama tirah

baring untuk mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami paralisa

sangatlah penting. Alat gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit fleksi dan

kaki dalam posisi netral. Dengan regimen seperti ini maka lebih dari 60% kasus

Page 41: Spondilitis Tb

paraplegia akan membaik dalam beberapa bulan. Hal ini disebabkan oleh karena

terjadinya resorpsi cold abscess intraspinal yang menyebabkan dekompresi.

Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita harus

menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan

laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan hal-hal

seperti adanya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan kaseonekrotik dan

sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta

kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.

B. TERAPI OPERATIF

Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi

kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis.

Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6

minggu.

Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat

antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak

memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan

operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa,

mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan

segmen tulang belakang yang terlibat.

Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga

diindikasikan bila :

1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi

2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan

3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase

4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan

mengancam atau kifosis berat saat ini

5. Penyakit yang rekuren

Page 42: Spondilitis Tb

Pott’s paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan

operasi (Hodgson) akan tetapi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan indikasi

operasi menjadi :

A. Indikasi absolut

1. Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan bila

timbul tanda dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga terjadi

kelemahan motorik.

2. Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan terapi

konservatif

3. Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah

diberi terapi konservatif

4. Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah

baring dan immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau terdapat

resiko adanya nekrosis karena tekanan pada kulit.

5. Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang besar

yang tidak biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat juga

disebabkan karena trombosis vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa

6. Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya

sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih dari 6

bulan (indikasi operasi segera tanpa percobaan pemberikan terapi konservatif)

B. Indikasi relatif

1. Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya

2. Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena

kemungkinan pengaruh buruk dari immobilisasi

3. Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme atau

kompresi syaraf

4. Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu

C. Indikasi yang jarang

1. Posterior spinal disease

Page 43: Spondilitis Tb

2. Spinal tumor syndrome

3. Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal

4. Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina

Pilihan pendekatan operasi dilakukan berdasarkan lokasi lesi, bisa melalui

pendektan dari arah anterior atau posterior. Secara umum jika lesi utama di

anterior maka operasi dilakukan melalui pendekatan arah anterior dan

anterolateral sedangkan jika lesi di posterior maka dilakukan operasi dengan

pendekatan dari posterior. Saat ini terapi operasi dengan menggunakan

pendekatan dari arah anterior (prosedur HongKong) merupakan suatu prosedur

yang dilakukan hampir di setiap pusat kesehatan.

Walaupun dipilih tindakan operatif, pemberian kemoterapi antituberkulosa

tetaplah penting. Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi telah

direkomendasikan. Pendapat lain menyatakan bahwa kemoterapi diberikan 4-6

minggu sebelum fokus tuberkulosa dieradikasi secara langsung dengan

pendekatan anterior. Area nekrotik dengan perkijuan yang mengandung tulang

mati dan jaringan granulasi dievakuasi yang kemudian rongga yang

ditinggalkannya diisi oleh autogenous bone graft dari tulang iga. Pendekatan

langsung secara radikal ini mendorong penyembuhan yang cepat dan tercapainya

stabilisasi dini tulang belakang dengan memfusikan vertebra yang terkena. Fusi

spinal posterior dilakukan hanya bila terdapat destruksi dua atau lebih korpus

vertebra, adanya intabilitas karena destruksi elemen posterior atau konsolidasi

tulang terlambat serta tidak dapat dilakukan pendekatan dari anterior.

Pada kasus dengan kifosis berat atau defisit neurologis, kemoterapi tambahan dan

bracing merupakan terapi yang tetap dipilih, terutama pada pusat kesehatan yang

tidak mempunyai perlengkapan untuk operasi spinal anterior.

Terapi operatif juga biasanya selain tetap disertai pemberian kemoterapi,

dikombinasikan dengan 6-12 bulan tirah baring dan 18-24 bulan selanjutnya

menggunakan spinal bracing.

Page 44: Spondilitis Tb

Pada pasien dengan lesi-lesi yang melibatkan lebih dari dua vertebra, suatu

periode tirah baring diikuti dengan sokongan eksternal dalam TLSO

direkomendasikan hingga fusi menjadi berkonsolidasi.

Operasi pada kondisi tuberculous radiculomyelitis tidak banyak membantu. Pada

pasien dengan intramedullary tuberculoma, operasi hanya diindikasikan jika

ukuran lesi tidak berkurang dengan pemberian kemoterapi dan lesinya bersifat

soliter.

3.10. Komplikasi

Diagnosis yang cepat dan pengobatan yang tepat merupakan hal utama untuk

mencegah komplikasi. Pada gambar di bawah, terlihat beberapa komplikasi dari

spondilitis TB, seperti: terjadi degenerasi dan inflamasi pada vertebra. Degenerasi

tersebut akan mengikis tulang belakang dan menyebabkan terjadinya kifosis

sehingga terbentuk gibus pada punggung. Selain itu, inflamasi akan menyebabkan

herniasi ke celah spinalis, sehingga akan menekan spinal dan cauda equine,

menimbulkan defisit neurologis berupa paraplegia. Komplikasi lain yang jarang

timbul adalah abses epidural spinal TB.

Page 45: Spondilitis Tb

Gambar 3.2 Gambaran komplikasi spondilitis berupa gibus dan kifosis

3.11. Prognosis

Prognosis pasien spondilitis TB dipengaruhi oleh:

1) usia

2) deformitas kifotik

3) letak lesi

4) defisit neurologis

5) diagnosis dini

6) kemoterapi

7) fusi spinal

8) komorbid

9) tingkat edukasi dan sosio ekonomi.