Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

64
Nisrina Karima Lisdianingtyas - 1102010208 Mandiri Skenario 2 1. Trauma Pelvis 1.1 Trauma Bladder (Buli-buli) a. Definisi Merupakan keadaan darurat bedah yang memerlukan penatalaksanaan segera. Bila tidak ditanggulangi dengan segera akan menyebabkan komplikasi seperti peritonitis dan sepsis. (S. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2004) b. Epidemiologi Frekuensi dari kejadian rupture buli-buli berdasarkan mekanisme injurynya adalah sbb: External trauma (82%) Iatrogenic (14%) Intoxication (2.9%) Spontaneous (< 1%) Dari semua mekanisme injuri yang dapat menyebabkan ruptur pada buli-buli, 60-85% disebabkan oleh trauma tumpul (87% tabrakan kendaraan bermotor, 7% jatuh, 6% perkelahian) dan 15-40% disebabkan oleh trauma tajam (85% luka tembak, 15% luka tusuk) 10-25% pasien dengan trauma pelvis biasanya juga mengalami trauma uretra. Sebaliknya, 10-29% pasien dengan gangguan pada uretra posterior biasanya memiliki keterkaitan dengan rupture bladder (buli-buli). Frekuensi kejadian untuk rupture buli-buli ekstraperitoneal adalah 50-71%, intraperitoneal 25-43%, dan combined 7-14%. Kejadian rupture buli-buli intraperitoneal biasanya lebih sering pada anak-anak disebabkan area intra-abdominalnya masih didominasi oleh- oleh buli karena belum pubertas. Angka kematian pada pasien ini mendekati 60%, sedangkan bila dibandingkan secara keseluruhan 17-22%. (Raymond Rackley, 2012) c. Etiologi 1

description

Trauma Pelvis

Transcript of Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Page 1: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Nisrina Karima Lisdianingtyas - 1102010208Mandiri Skenario 2

1. Trauma Pelvis1.1 Trauma Bladder (Buli-buli)

a. DefinisiMerupakan keadaan darurat bedah yang memerlukan penatalaksanaan segera. Bila tidak ditanggulangi dengan segera akan menyebabkan komplikasi seperti peritonitis dan sepsis.

(S. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2004)

b. EpidemiologiFrekuensi dari kejadian rupture buli-buli berdasarkan mekanisme injurynya adalah sbb:

External trauma (82%) Iatrogenic (14%) Intoxication (2.9%) Spontaneous (< 1%)

Dari semua mekanisme injuri yang dapat menyebabkan ruptur pada buli-buli, 60-85% disebabkan oleh trauma tumpul (87% tabrakan kendaraan bermotor, 7% jatuh, 6% perkelahian) dan 15-40% disebabkan oleh trauma tajam (85% luka tembak, 15% luka tusuk)

10-25% pasien dengan trauma pelvis biasanya juga mengalami trauma uretra. Sebaliknya, 10-29% pasien dengan gangguan pada uretra posterior biasanya memiliki keterkaitan dengan rupture bladder (buli-buli).

Frekuensi kejadian untuk rupture buli-buli ekstraperitoneal adalah 50-71%, intraperitoneal 25-43%, dan combined 7-14%. Kejadian rupture buli-buli intraperitoneal biasanya lebih sering pada anak-anak disebabkan area intra-abdominalnya masih didominasi oleh-oleh buli karena belum pubertas.

Angka kematian pada pasien ini mendekati 60%, sedangkan bila dibandingkan secara keseluruhan 17-22%.

(Raymond Rackley, 2012)

c. Etiologi Kebanyakan karena kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja yang

menyebabkan fragmen patah tulang pelvis mencederai buli-buli → kontusio atau ruptur buli-buli.

Trauma tumpul menyebabkan rupture buli-buli terutama bila vesica urinaria penuh atau terdapat kelainan patologik seperti tuberculosis, tumor, atau obstruksi sehingga trauma kecil sudah menyebabkan rupture.

Trauma tajam akibat luka tusuk atau tembak jarang ditemukan. Luka dapat melalui daerah suprapubik ataupun transperineal.

Lainnya: instrumentasi urologic.(S. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2004)

1

Page 2: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Trauma obstetric : Persalinan lama, dimana tekanan terus-menerus dari kepala janin terhadap pubis ibu dapat menyebabkan trauma buli-buli.

Trauma gynecologic: mungkin terjadi saat dilakukan histerektomi vagina atau perut.

Trauma urologic: perforasi kandung kemih pada saat biopsy kandung kemih, cystolitholapaxy, reseksi transurethral dari prostat (TURP), atau transurethral reseksi tumor kandung kemih (TURBT).

(Raymond Rackley, 2012)

d. Klasifikasi Kontusio buli-buli, terdapat memar pada jaringan dan mukosa buli-buli

dengan hematuria tanpa disertai ekstravasasi urine. Rupture buli-buli ekstraperitoneal, biasanya akibat trauma pada saat buli-

buli kosong. Dapat juga disebabkan oleh fraktur pelvis (fragmen dari fraktur pelvis menusuk buli-buli sehingga terjadi perforasi dan ekstravasasi urin di rongga perisikel).

Rupture buli-buli intraperitoneal, terjadi akibat trauma langsung pada daerah abdomen bawah (direct blow) terutama pada saat buli-buli sedang terisi penuh.

(S. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2004)

e. Patofisiologi Bladder contusion

Bladder contusion is an incomplete or partial-thickness tear of the bladder mucosa. A segment of the bladder wall is bruised or contused, resulting in localized injury and hematoma. Contusion typically occurs in the following clinical situations:

Patients presenting with gross hematuria after blunt trauma and normal imaging findings

Patients presenting with gross hematuria after extreme physical activity (ie, long-distance running)

The bladder may appear normal or teardrop-shaped on cystography. Bladder contusions are relatively benign, are the most common form of blunt bladder trauma, and are usually a diagnosis of exclusion. Bladder contusions are self-limiting and require no specific therapy, except for short-term bedrest until hematuria resolves. Persistent hematuria or unexplained lower abdominal pain requires further investigation.

2

Page 3: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Extraperitoneal bladder rupturesTraumatic extraperitoneal ruptures are usually associated with pelvic

fractures (89%-100%). Previously, the mechanism of injury was believed to be from a direct perforation by a bony fragment or a disruption of the pelvic girdle.

These ruptures are usually associated with fractures of the anterior pubic arch, and they may occur from a direct laceration of the bladder by the bony fragments of the osseous pelvis. The anterolateral aspect of the bladder is typically perforated by bony spicules. Forceful disruption of the bony pelvis and/or the puboprostatic ligaments also tears the wall of the bladder. The degree of bladder injury is directly related to the severity of the fracture.

Some cases may occur by a mechanism similar to intraperitoneal bladder rupture, which is a combination of trauma and bladder overdistention.

Intraperitoneal bladder ruptureThe mechanism of injury is a sudden large increase in intravesical

pressure in a full bladder. When full, the bladder's muscle fibers are widely separated and the entire bladder wall is relatively thin, offering relatively little resistance to perforation from sudden large changes in intravesical pressure.

Intraperitoneal bladder rupture occurs as the result of a direct blow to a distended urinary bladder. Resulting increase in intravesical pressure causes a horizontal tear along the intraperitoneal portion of the bladder wall. This is the weakest part of the bladder, since its muscle fibers are most widely separated. This type of injury is common among patients diagnosed with alcoholism or those sustaining a seatbelt or steering wheel injury.

Since urine may continue to drain into the abdomen, intraperitoneal ruptures may go undiagnosed from days to weeks. Electrolyte abnormalities (eg, hyperkalemia, hypernatremia, uremia, acidosis) may occur as urine is reabsorbed from the peritoneal cavity. Such patients may appear anuric, and the diagnosis is established when urinary ascites are recovered during paracentesis.

(Raymond Rackley, 2012)

3

Page 4: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

f. Manifestasi KlinisManifestasi klinis trauma kandung kemih relatif tidak spesifik, namun tiga rangkaian gejala yang sering hadir :

Gross hematuria Nyeri suprapubik Kesulitan atau ketidakmampuan untuk BAK (+) Ekstravasasi kanvas pada cystogram

Kebanyakan pasien dengan rupture kandung kemih mengeluhkan nyeri di daerah suprapubik atau perut, dan biasanya masih bisa BAK, namun kemampuan untuk BAK tersebut tidak menyebabkan kemungkinan rupture kandung kemih menjadi hilang. Hematuria selalu menyertai semua cedera kandung kemih. Gross hematuria adalah ciri khas rupture kandung kemih. 98% pasien dengan rupture kandung kemih mengalami gross hematuria, 10% hematuria mikroskopik, sedangkan 10% pasien memiliki hasil urinalisis normal.

Pemeriksaan abdomen dapat menunjukkan distensi (ketegangan otot) atau rebound tenderness. Absennya bising usus dan adanya tanda-tanda iritasi peritoneal menunjukkan kemungkinan terjadinya rupture kandung kemih intraperitoneal. Pemeriksaan dubur harus dilakukan untuk menyingkirkan cedera dubur dan pada laki-laki, untuk mengevaluasi posisi prostat. Jika prostat "high riding" atau elevated (meninggi), menunjukkan adanya gangguan di uretra proksimal dan kandung kemih.

(Raymond Rackley, 2012)

Umumnya fraktur tulang pelvis disertai perdarahan hebat sehingga dapat menyebabkan syok.

Tampak jejas atau hematoma pada abdomen bagian bawah. Nyeri tekan didaerah suprapubik ditempat hematoma.

Pada kontusio buli-buli : nyeri terutama bila ditekan didaerah suprapubik dan dapat ditemukan hematuria. Tidak terdapat rangsang peritoneum.

Pada rupture buli-buli intraperitoneal : urin masuk ke rongga peritoneum → cairan di intraabdomen → rangsang peritoneum. Tidak terdapat benjolan dengan perkusi pekak.

Pada ruptur buli-buli ekstraperitoneal : infiltrate urin di rongga peritoneal sering menyebabkan septisemia. Penderita mengeluh tidak bias buang air kecil, kadang keluar darah dari uretra. Timbul benjolan yang nyeri dan pekak pada perkusi pada daerah suprapubik.

(S. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2004)

Manifes yang bisa menjadi tanda-tanda syok atau perdarahan:1) Penurunan kesadaran

Koma Mengantuk, lesu

2) Peningkatan denyut jantung3) Kulit pucat4) Berkeringat5) Kulit dingin saat disentuh

(nlm.nih.gov)g. Diagnosis

4

Page 5: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Pertama dilihat dari gejala-gejala klinik yang ada. Pada foto pelvis atau foto polos abdomen terlihat fraktur tulang pelvis. Pemeriksaan sistogram, dapat memberikan keterangan ada tidaknya rupture

kandung kemih dan lokasi rupture apakah intra atau ekstraperitoneal. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan medium kontras ke kandung kemih sebanyak 300-400 ml kemudian dibuat foto antero-posterior. Kandung kemih lalu dikosongkan dan dibilas dan dibuat foto sekali lagi. Bila tidak dijumpai ekstravasasi, diagnosisnya adalah kontusio buli-buli. Pada rupture ekstraperitoneal, gambaran ekstravasasi terlihat seperti nyala api pada daerah perivesikel, sedangkan pada rupture intraperitoneal terlihat kontras masuk kedalam rongga abdomen.

Pada rupture kecil sistokopi dapat membantu diagnosis. Tes buli-buli : dilakukan dengan cara buli-buli dikosongkan terlebih dahulu

dengan kateter, lalu dimasukkan 300 ml larutan garam faal, kateter kemudian diklem sebentar lalu dibuka kembali. Bila selisihnya cukup besar kemungkinan terjadi rupture buli-buli. Namun, tes ini kontraindikasi pada pasien dengan trauma urethra karena dapat menyebabkan rupture total pada urethra.

(S. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2004)CT scanSering dilakukan sebagai tes pertama pada pasien dengan trauma tumpul abdomen. CTscan pelvic akan memperlihatkan status organ panggul dan keadaan tulang panggul. CTscan pelvic juga telah menggantikan cystography konvensional sebagai tes yang paling sensitif untuk perforasi kandung kemih. Setelah uretra dibersihkan oleh urethrogram retrograde → kateter uretra dimasukkan → encerkan Cysto-Conray → masukkan melalui kateter uretra → lakukan CTscan pelvic/abdomen. Sering ditemukan adanya perforasi halus, sehingga dapat diketahui apakah rupture tsb intraperitoneal/ekstraperitoneal.

Normal Bladder Intraperitoneal Bladder Perforation

Extraperitoneal Bladder Perforation

Hasil Cystogram

5

Page 6: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

IP Bladder Perf EP Bladder Perf

h. TatalaksanaTujuan dari pengobatan adalah untuk:

Mengendalikan gejala Memperbaiki cedera Mencegah komplikasi

(nlm.nih.gov)

Bila penderita datang dalam keadaan syok, harus diatasi dulu dengan memberikan cairan intravena atau darah. Bila sirkulasi telah stabil, lakukan reparasi buli-buli.

Pada kontusio buli-buli, cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk memberikan istirahat pada buli-buli. Diharapkan buli-buli sembuh setelah 7-10 hari.

Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi laparotomi untuk mencari robekan pada buli-buli serta kemungkinan cedera organ lain. Rongga intraperitoneum dicuci, robekan pada buli-buli dijahit 2 lapis, kemudian dipasang kateter sistostomi yang dilewatkan diluar sayatan laparotomi.

Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana dianjurkan untuk memasang kateter 7-10 hari tetapi dianjurkan juga untuk melakukan penjahitan disertai pemasangan kateter sistostomi.

Untuk memastikan buli-buli telah sembuh, sebelum melepas kateter uretra atau kateter sistostomi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan sistografi untuk melihat kemungkinan masih adanya ekstravasasi urin. Sistografi dibuat pada hari ke 10-14 pasca trauma. Jika masih ada ekstravasasi kateter sistostomi dipertahankan sampai 3 minggu.

(S. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2004)

Pengobatan peritonitis (radang rongga perut) mungkin dengan dilakukan pembedahan darurat untuk memperbaiki cedera dan mengalirkan air seni dari rongga perut. Antibiotik dapat diberikan untuk mengobati peritonitis dan untuk mencegah infeksi saluran kemih.

(nlm.nih.gov)

1.2 Trauma Urethraa. Definisi

6

Page 7: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Ruptur uretra adalah kerusakan kontinuitas uretra yang disebabkan oleh ruda paksa yang datang dari luar (patah tulang panggul atau straddle injury) atau dari dalam (kateterisasi, tindakan-tindakan melalui uretra). Lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita.

(Basuki B. Purnomo dkk, 2010)

b. EtiologiTrauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar, seperti: Jatuh dari ketinggian tertentu atau kecelakaan kendaraan bermotor →

fraktur tulang pelvis dan biasanya menyebabkan rupture uretra posterior. Trauma tumpul, seperti pukulan atau tendangan langsung ke area

selangkangan (straddle injury) atau ke perineum dan menyebabkan rupture uretra anterior.

Cedera iatrogenic akibat instrumentasi pada uretra, seperti pemasangan kateter yang kurang hati-hati sehingga menimbulkan robekan uretra karena false route atau salah jalan.

Trauma tajam, seperti luka tusuk ataupun luka tembak. Prosedur transurethral, seperti reseksi prostat dan tumor, ureteroscopy.

(James M. Cummings, 2013)

c. Klasifikasi

1) Rupture uretra posterior, terletak proksimal diafragma urogenital. Hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis → terjadinya robekan pada pars membranasea.

2) Rupture uretra anterior, terletak distal diafragma urogenital. Sering disebabkan oleh trauma tumpul, seperti pukulan atau tendangan langsung ke area selangkangan/ peritoneum.

(James M. Cummings, 2013)

d. PatofisiologiCedera yang terjadi dapat menyebabkan memar dinding uretra dengan atau

tanpa robekan mukosa baik parsial atau total. Rupture uretra posterior hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Akibat

fraktur tulang pelvis → terjadi robekan pars membranasea karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke cranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranosa terikat di diafragma urogenital. Rupture uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-buli dan prostat terlepas ke kranial.

7

Page 8: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Cedera uretra bulbosa terjadi akibat jatuh terduduk atau terkangkang sehingga uretra terjepit diantara obyek yang kerasa, seperti batu, kayu, atau palang sepeda dengan tulang simfisis.

Cedera uretra anterior, selain oleh cedera kangkang juga dapat disebabkan oleh instrumentasi urologic, seperti pemasangan kateter, businasi, dan beedah endoskopi.

(S. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2004)

e. Manifestasi KlinisSecara umum gejalanya adalah sbb:1) Riwayat trauma yang khas: ruptur uretra anterior/straddle injury, rupture

uretra posterior, patah tulang panggul (os pubis/simpisis pubis).2) Pada umunya didapatkan perdarahan uretra, baik pada ruptur anterior

maupun posterior.3) Pada ruptur uretra posterior biasanya tidak dapat melakukan miksi,

sedangkan pada ruptur uretra anterior didapatkan hematoma atau pembengkakan di daerah kantong buah zakar, kadang-kadang disertai pula dengan pembengkakan perineum dan batang penis, disebut sebagai hematoma kupu-kupu.

4) Pada patah tulang panggul dan ruptur uretra posterior, kemungkinan besar terjadi kerusakan organ ganda (multipel).

(Basuki B. Purnomo dkk, 2010)

Pada rupture uretra posterior, terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah dijumpai jejas, hematom dan nyeri tekan. Bila disertai rupture kandung kemih bisa ditemukan tanda rangsangan peritoneum. Trias rupture uretra posterior: bloody discharge, retensi urin, floating prostat.

Pada rupture uretra anterior terdapat daerah memar atau hematom pada penis dan skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan tanda klasik cedera uretra. Bila terjadi ruptur uretra total penderita mengeluh tidak bias buang air kecil sejak terjadi trauma dan nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik. Pada perabaan ditemukan kandung kemih yang penuh. trias ruptur uretra anterior: bloody discharge, retensi urin, dan hematom atau jejas peritoneal atau infiltrate urin.

(S. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2004)

f. Diagnosis Anamnesis, didapatkan adanya riwayat trauma dan gejala-gejala seperti

yang telah disebutkan diatas. Pemeriksaan fisik, dilakukan colok dubur (rectal toucher) dan didapatkan

prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diafragma urogenital, kadang sama sekali tidak teraba lagi karena pindah ke cranial.

Pemeriksaan radiologic, uretrogram retrograde dapat memberi keterangan letak dan tipe rupture uretra.

(Agus P. dan Budi Sampurna, 2013)

8

Page 9: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

g. Tatalaksana Perdarahan diatasi dengan pemasangan infus dan pemberian cairan

elektrolit atau darah, tergantung derajat perdarahan yang ditemui. Jika dapat kencing dengan mudah, lakukan observasi saja. Jika sulit kencing atau terlihat ekstravasasi pada uretrogram usahakan

memasukkan kateter foley sampai buli-buli. Jika gagal lakukan pembedahan sistostomi untuk manajemen aliran urin.

Bila rupture uretra posterior tidak disertai cedera organ intrabdomen, cukup dilakukan sistostomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung dan pemasangan kateter silicon selama 3 minggu. Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2-3 hari kemudian, sebaiknya dipasang kateter secara langsir (rail roading).

Pada rupture uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra dengan anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal. Dipasang kateter silicon selama 3 minggu. Bila rupture parsial dilakukan sistostomi dan pemasangan kateter foley di uretra selama 7-10 hari, sampai terjadi epitelisasi uretra yang cedera. Kateter sistostomi baru dicabut bila saat kateter sistostomi diklem ternyata penderita bias buang air kecil.

(S. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2004)

h. Komplikasi Komplikasi dini setelah rekonstruksi uretra adalah infeksi, hematoma, abses

periuretral, fistel uretrokutan, dan epididymitis. Komplikasi lanjut yang sering terjadi adalah striktur uretra. Khusus pada rupture uretra posterior dapat timbul komplikasi impotensi dan

inkontintesia.(S. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2004)

2. Fisiologi dan Patologi Kesadarana. Definisi Kesadaran dan Gangguan Kesadaran

Kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls aferen dan eferen. Semuan impuls aferen dapat disebut input dan semua impuls eferen dapat dinamakan output susunan saraf pusat. Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal sebagai kompos mentis, dimana aksi dan reaksi terhadap apa yang dilihat, didengar, dihidu, dikecap, dialami dan perasaan keseimbangan, nyeri, suhu, raba, gerak, getar, tekan dan sikap, bersifat adekuat yaitu tepat dan sesuai.

Kesadaran yang terganggu adalah dimana tidak terdapat aksi dan reaksi, walaupun dirangsang secara kasar. Keadaan ini disebut koma.

b. Struktur Serebral yang Mengatur Kesadaran

9

Page 10: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Input susunan saraf pusat dapat dibedakan dalam input yang bersifat spesifik dan bersifat non-spesifik. Lintasan asendens dalam susunan saraf pusat yang menyalurkan impuls sensorik protopatik, propioseptik dan perasa pancaindra dari perifer ke daerah korteks perseptif primer disebut lintasan asendens spesifik atau lintasan asendens lemniskal.

Ada pula lintasan asendens non spesifik yakni formasio retikularis di sepanjang batang otak yang menerima dan menyalurkan impuls dari lintasan spesifik melalui koleteral ke pusat kesadaran pada batang otak bagian atas serta meneruskannya ke nukleus intralaminaris talami yang selanjutnya disebarkan difus ke seluruh permukaan otak.

Pada manusia pusat kesadaran terdapat didaerah pons, formasio retikularis daerah mesensefalon dan diensefalon. Lintasan non spesifik ini oleh Merruzi dan Magoum disebut diffuse ascending reticular activating system (ARAS). Melalui lintasan non spesifik ini, suatu impuls dari perifer akan menimbulkan rangsangan pada seluruh permukaan korteks serebri.

Dengan adanya 2 sistem lintasan tersebut terdapatlah penghantaran asendens yang pada dasarnya berbeda. Lintasan spesifik menghantarkan impuls dari satu titik pada alat reseptor ke satu titik pada korteks perseptif primer. Sebaliknya lintasan asendens nonpesifik menghantarkan setiap impuls dari titik manapun pada tubuh ke seluruh korteks serebri.

Neuron-neuron di korteks serebri yang digalakkan oleh impuls asendens nonpesifik itu dinamakan neuron pengemban kewaspadaan, sedangkan yang berasal dari formasio retikularis dan nuklei intralaminaris talami disebut neuron penggalak kewaspadaan. Gangguan pada kedua jenis neuron tersebut oleh sebab apapun akan menimbulkan gangguan kesadaran.

Lintasan implus non-spesifik

c. Mekanisme Gangguan Kesadaran Lesi Supratentorial

Pada lesi supratentorial, gangguan kesadaran akan terjadi baik oleh kerusakan langsung pada jaringan otak atau akibat penggeseran dan kompresi pada ARAS karena proses tersebut, maupun oleh gangguan

10

Page 11: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

vaskularisasi dan edema yang diakibatkannya. Proses ini menjalar secara radial dari lokasi lesi kemudian ke arah rostro-kaudal sepanjang batang otak.

Gejala-gejala klinik akan timbul sesuai dengan perjalan proses tersebut yang dimulai dengan gejala-gejala neurologik fokal sesuai dengan lokasi lesi. Jika keadaan bertambah berat dapat timbul sindroma diensefalon, sindroma mesefalon bahkan sindroma ponto-meduler dan deserebrasi. karena kenaikan tekanan intrakranial dapat terjadi herniasi girus cinguli di kolong falks serebri, herniasi transtentoril dan herniasi unkus lobus temporalis melalui insisura tentorii.

Lesi infratentorialPada lesi infratentorial, gangguan kesadaran dapat terjadi karena kerusakan ARAS baik oleh proses intrinsik pada batang otak maupun oleh proses ekstrinsik.

Gangguan difus (gangguan metabolik)Pada penyakit metabolik, gangguan neurologik umumnya bilateral dan hampir selalu simetrik. Selain itu gejala neurologiknya tidak dapat dilokalisir pada suatu susunan anatomic tertentu pada susunan saraf pusat. Penyebab gangguan kesadaran pada golongan ini terutama akibat kekurangan O2, kekurangan glukosa, gangguan sirkulasi darah serta pengaruh berbagai macam toksin.

Kekurangan O2

Otak yang normal memerlukan 3,3cc O2/100g otak/menit yang disebut Cerebral Metabolic Rate for Oxygen (CMR O2). CMR O2 ini pada berbagai kondisi normal tidak banyak berubah. Hanya pada kejang-kejang CMR O2

meningkat dan jika timbul gangguan fungsi otak, CMR O2 menurun. Pada CMR O2 kurang dari 2,5cc/100g otak/menit akan mulai terjadi gangguan mental dan umumnya bila kurang dari 2cc O2/100g otak/menit terjadi koma.

GlukosaEnergi otak hanya diperoleh dari glukosa. Tiap 100 gram otak memerlukan 5,5mgr glukosa/menit. Menurut Hinwich pada hipoglikemi, gangguan pertama terjadi pada serebrum dan kemudian progresif ke batang otak yang letaknya lebih kaudal. Pada hipoglikemi, penurunan atau gangguan kesadaran merupakan gejala dini.

Gangguan sirkulasi darahUntuk mencukupi keperluan O2 dan glukosa, aliran darah ke otak memegang peranan penting. Bila aliran darah ke otak berkurang, O2 dan glukosa darah juga akan berkurang.

Toksin Gangguan kesadaran dapat terjadi oleh toksin yang berasal dari penyakit metabolik dalam tubuh sendiri atau toksin yang berasal dari luar/akibat infeksi.

11

Page 12: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

d. Penilaian Kesadaran (Kualitatif dan Kuantitatif) Secara Kualitatif

1) ComposMentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.

2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.

3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.

4) Somnolen (obtundasi, letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.

5) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.

6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).

Secara Kuantitatif dengan GCSGCS (Glasgow Coma Scale) merupakan skala yang digunakan untuk

menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.

Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara, dan motorik.1) Menilai respon membuka mata (E)

(4): spontan(3): dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata)(2): dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri)(1): tidak ada respon

2) Menilai respon Verbal/respon Bicara (V)(5): orientasi baik(4): bingung, berbicara mengacau (sering bertanya berulang-ulang) disorientasi tempat dan waktu.(3): kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)(2): suara tanpa arti (mengerang)(1): tidak ada respon

3) Menilai respon motorik (M)(6): mengikuti perintah(5): melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)(4): withdraws (menghindar/menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri)(3): flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).(2): extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).(1): tidak ada respon

12

Page 13: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E…V…M… Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1

Setelah dilakukan scoring maka dapat diambil kesimpulan : Compos Mentis(GCS: 15-14) Apatis (GCS: 13-12) Somnolen(11-10) Delirium (GCS: 9-7) Sporo coma (GCS: 6-4) Coma (GCS: 3)

Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil : GCS : 14 – 15 = CKR (cidera kepala ringan) GCS : 9 – 13 = CKS (cidera kepala sedang) GCS : 3 – 8 = CKB (cidera kepala berat)

(Faqih R, 2011)

3. Kegawatdaruratan MataKegawatdaruratan (emergency) di bidang oftalmologi (penyakit mata) dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

a) Sangat gawat, b) gawat, dan c) semi gawat.

a) Sangat Gawat Keadaan atau kondisi pasien yang memerlukan tindakan segera dan harus

diberikan dalam waktu beberapa menit. Terlambat sebentar saja dapat mengakibatkan kebutaan.

Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah: luka bakar kimia (luka bakar kerena alkali/basa dan luka bakar asam)

b) GawatKeadaan atau kondisi pasien memerlukan penegakan diagnosis dan

pengobatan yang harus sudah diberikan dalam waktu satu atau beberapa jam.Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini

adalah:1) Laserasi kelopak mata2) Konjungtivitis gonorhoe3) Erosi kornea

4) Laserasi kornea5) Benda asing di kornea6) Descemetokel

7) Tukak korneaTukak atau ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea.

8) HifemaHifema atau timbunan darah di dalam bilik mata depan. Terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.

9) Skleritis (peradangan pada sklera)Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada mata. Sklera bersama dengan jaringan uvea dan retina berfungsi sebagai pembungkus dan pelindung bola mata.

13

Page 14: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

10)Iridosiklitis akut11)Endoftalmitis

Endoftalmitis merupakan infeksi intraokular yang umumnya melibatkan seluruh jaringan segmen anterior dan posterior mata. Umumnya didahului oleh trauma tembus pada bola mata, ulkus kornea perforasi, riwayat operasi intraokuler (misalnya: ekstraksi katarak, operasi filtrasi, vitrektomi). Gejala klinis endoftalmitis adalah penurunan tajam penglihatan (visus menurun), mata merah, bengkak, nyeri.

12)Glaukoma kongestif13)Glaukoma sekunder14)Ablasi retina (retinal detachment)

Suatu keadaan terpisahnya (separasi) sel kerucut dan batang atau lapisan sensorik retina dengan sel epitel pigmen (retinal pigment epithelium atau RPE).

15)Selulitis orbita16)Trauma tembus mata17)Trauma radiasi

c) Semi GawatKeadaan atau kondisi pasien memerlukan pengobatan yang harus sudah

diberikan dalam waktu beberapa hari atau minggu.Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini

adalah:1) Defisiensi vitamin A (vitaminosis A/hypovitaminosis A)2) Trakoma yang disertai dengan entropion.

Entropion adalah keadaan kelopak mata yang terbalik atau membalik ke dalam tepi jaringan, terutama tepi kelopak bawah. Namun pada trakoma, entropion terdapat pada kelopak atas.

3) Oftalmia simpatikaPeradangan granulomatosa yang khas pada jaringan uvea, bersifat bilateral, dan didahului oleh trauma tembus mata yang biasanya mengenai badan siliar, bagian uvea lainnya, atau akibat adanya benda asing dalam mata.

4) Katarak kongenitalKekeruhan lensa mata yang timbul sejak lahir, dan merupakan salah satu penyebab kebutaan pada anak yang cukup sering dijumpai. Gejalanya: leukokoria (bercak putih), fotofobia (silau, dapat disertai atau tanpa rasa sakit), strabismus (juling), nystagmus (pergerakan bola mata yang involunter. Involunter maksudnya: tanpa sengaja, diluar kemauan; dapat teratur, bolak-balik, dan tidak terkendali).

5) Glaukoma kongenital 6) Glaukoma simpleks 7) Perdarahan badan kaca 8) Retinoblastoma (tumor ganas retina)

Jenis tumor ganas mata yang berasal dari neuroretina (sel kerucut dan batang).

9) Neuritis optika / papilitis10)Eksoftalmus (bola mata menonjol keluar) atau lagoftalmus (kelopak mata

tidak dapat menutup sempurna)11)Tumor intraorbita12)Perdarahan retrobulbar

14

Page 15: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Macam-macam bentuk trauma: Fisik atau Mekanik

1) Trauma Tumpul, misalnya terpukul, kena bola tenis, atau shutlecock, membuka tutup botol tidak dengan alat, ketapel.

2) Trauma Tajam, misalnya pisau dapur, gunting, garpu, bahkan peralatan pertukangan.

3) Trauma Peluru, merupakan kombinasi antara trauma tumpul dan trauma tajam, terkadang peluru masih tertinggal didalam bola mata. Misalnya peluru senapan angin, dan peluru karet.

Khemis atau Kimia1) Trauma Khemis Basa, misalny:a sabun cuci, sampo, bahan pembersih

lantai, kapur, lem (perekat).2) Trauma Khemis Asam, misalnya: cuka, bahan asam-asam

dilaboratorium, gas airmata.

Fisis1) Trauma termal, misalnya panas api, listrik, sinar las, sinar matahari.2) Trauma bahan radioaktif, misalnya sinar radiasi bagi pekerja radiologi.

Struktur wajah dan mata sangat sesuai untuk melindungi mata dari cedera. Bola

mata terdapat di dalam sebuah rongga yang dikelilingi oleh bubungan bertulang yang kuat. Kelopak mata bisa segera menutup untuk membentuk penghalang bagi benda asing dan mata bisa mengatasi benturan yang ringan tanpa mengalami kerusakan.

Meskipun demikian, mata dan struktur di sekitarnya bisa mengalami kerusakan akibat cedera, kadang sangat berat sampai terjadi kebutaan atau mata harus diangkat. Cedera mata harus diperiksa untuk menentukan pengobatan dan menilai fungsi penglihatan.

Trauma tumpul, meskipun dari luar tidak tampak adanya kerusakan yang berat, tetapi transfer energi yang dihasilkan dapat memberi konsekuensi cedera yang fatal. Kerusakan yang terjadi bergantung kekuatan dan arah gaya, sehingga memberikan dampak bagi setiap jaringan sesuai sumbu arah trauma. Trauma tumpul dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

1) Kontusio, kerusakan yang disebabkan oleh kontak langsung dengan benda dari luar terhadap bola mata, tanpa menyebabkab robekan pada dinding bola mata.

2) Konkusio, kerusakan yang terjadi secara tidak langsung. Trauma terjadi pada jaringan di sekitar mata, kemudian getarannya sampai ke bola mata.

Baik kontusio maupun konkusio dapat menimbulkan kerusakan jaringan berupa kerusakan molekular, reaksi vaskular, dan robekan jaringan. Menurut Duke-Elder, kontusio dan konkusio bola mata akan memberikan dampak kerusakan mata, dari palpebra sampai dengan saraf optikus.

15

Page 16: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

A. TRAUMA TUMPUL BOLA MATA

Hematoma PalpebraHematoma palpebra merupakan pembengkakan atau

penimbunan darah dibawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra. Hematoma kelopak merupakan kelainan yang sering terlihat pada trauma tumpul kelopak. Trauma dapat akibat pukulan tinju, ataupun benda-benda keras lainnya. Keadaan ini memberikan bentuk yang menakutkan pada pasien, dapat tidak berbahaya ataupun sangat berbahaya karena mungkin ada kelainan lain di belakangnya.

Bila perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan berbentuk kaca mata hitam yang sedang dipakai, maka keadaan ini diseut sebagai hematoma kacamata. Hematoma kacamata merupakan keadaan sangat gawat. Hematoma kacamata terjadi akibat pecahnya arteri oftalmika yang merupakan tanda fraktur basis kranii. Pada pecahnya a.oftalmika maka darah masuk ke dalam kedua rongga orbita melalui fisura orbita. Akibat darah tidak dapat menjalar lanjut karena dibatasi septum orbita kelopak maka akan berbentuk gambaran hitam pada kelopak seperti seseorang memakai kaca mata.

Pada hematoma kelopak yang dini dapat diberikan kompres dingin untuk menghentikan perdarahan dan menghilangkan rasa sakit. Bila telah lama, untuk memudahkan absorpsi darah dapat dilakukan kompres hangat pada kelopak mata.

Trauma Tumpul KonjungtivaEdema konjungtiva

Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi kemotik pada setiap kelainannya, demikian pula akibat trauma tumpul. Bila kelopak terpajan ke dunia luar dan konjungtiva secara langsung kena angin tanpa dapat mengedip, maka keadaan ini telah dapat mengakibatkan edema pada konjungtiva.

Kemotik konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpebra tidak menutup sehingga bertambah rangsangan terhadap konjugtiva. Pada edema konjungtiva dapat diberikan dekongestan untuk mencegah pembendungan cairan di dalam selaput lendir konjungtiva. Pada kemotik konjungtiva berat dapat dilakukan insisi sehingga cairan konjungtiva kemotik keluar melali insisi tersebut.

Hematoma subkonjungtivaHematoma subkonjungtiva terjadi akibat pecahnya

pembuluh darah yang terdapat pada atau di bawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera. Pecahnya pembuluh darah ini dapat akibat batuk rejan, trauma tumpul basis kranii (hematoma kacamata), atau pada keadaan pembuluh darah yang rentan dan mudah pecah. Pembuluh darah akan rentan dan mudah pecah pada usia lanjut, hipertensi, arteriosklerose, konjungtiva meradang (konjungtivitis), anemia, dan obat-obat tertentu.

Bila perdarahan ini terjadi akibat trauma tumpul maka perlu dipastikan bahwa tidak terdapat robekan di bawah jaringan konjungtiva atau sklera. Kadang-kadang hematoma subkonjungtiva menutupi keadaan mata yang lebih buruk seperti

16

Page 17: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

perforasi bola mata. Pemeriksaan funduskopi adalah perlu pada setiap penderita dengan perdarahan subkonjungtiva akibat trauma. Bila tekanan bola mata rendah dengan pupil lonjong disertai tajam penglihatan menurun dan hematoma subkonjungtiva maka sebaiknya dilakukan eksplorasi bola mata untuk mencari kemungkinan adanya ruptur bulbus okuli.

Pengobatan dini pada hematoma subkonjungtiva ialah dengan kompres hangat. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1-2 minggu tanpa diobati.

Trauma tumpul pada korneaEdema kornea

Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata dapat mengakibatkan edema kornea atau malah ruptur membran descemet. Edema kornea akan memberikan keluhan penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat keruh, dengan uji plasido yang positif.

Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan masuknya serbukan sel radang dan neovaskularisasi ke dalam jaringan stroma kornea. Pengobatan yang diberikan adalah larutan hipertonik seperti NaCl 5% atau larutan garam hipertonik 2-8%, glukose 40% dan larutan albumin.

Bila terdapat peninggian tekanan bola mata maka diberikan asetazolamida. Pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki tajam penglihatan dengan lensa kontak lembek dan mungkin akibat kerjanya menekan kornea terjadi pengurangan edema kornea. Penyulit trauma kornea yang berat berupa terjadinya kerusakan M.descemet yang lama sehingga mengakibatkan keratopati bulosa yang akan memberikan keluhan rasa sakit dan menurunkan tajam penglihatan akibat astigmatisme iregular.

Erosi korneaErosi kornea merupakan keadaan terkelupasya epitel kornea yang dapat

diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa cedera pada membran basal. Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya dapat bermigrasi dengan cepat dan menutupi defek epitel tersebut. Pada erosi pasien akan merasa sakit sekali akibat erosi merusak kornea yang mempunyai serat sensibel yang banyak, mata berair, dengan blefarospasme, lakrimasi, fotofobia, dan penglihatan akan terganggu oleh media kornea yang keruh.

Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel kornea yang bila diberi pewarnaan fluoresein akan berwarna hijau. Pada erosi kornea perlu diperhatikan adalah adanya infeksi yang timbul kemudian.

Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan dan menghilangkan rasa sakit yang sangat. Hati-hati bila memakai obat anestetik topikal untuk menghilangkan rasa sakit pada pemeriksaan karena dapat menambah kerusakan epitel.

Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikupas. Untuk mencegah infeksi bakteri diberikan antibiotika seperti antibiotika spektrum luas neosporin, kloramfenikol, dan sulfasetamid tetes mata. Akibat rangsangan yang mengakibatkan spasme siliar maka diberikan sikloplegik aksi-pendek seperti tropikamida. Pasien akan merasa lebih tertutup bila dibebat tekan selama 24 jam. Erosi yang kecil biasanya akan tertutup kembali setelah 48 jam.

17

Page 18: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Erosi kornea rekurenErosi rekuren biasanya terjadi akibat cedera yang

merusak membran basal atau tukak metaherpetik. Epitel yang menutup kornea akan mud ah lepas kembali di waktu bangun pagi. Terjadinya erosi kornea berulang akibat epitel tidak dapat bertahan pada defek epitel kornea. Sukarnya epitel menutupi kornea diakibatkan oleh terjadinya pelepasan membran basal epitel kornea tempat duduknya sel basal epitel kornea. Biasanya membran basal yang rusak akan kembali normal setelah 6 minggu.

Pengobatan terutama bertujuan melumasi permukaan kornea sehingga regenerasi tidak cepat terlepas untuk membentuk membran basal kornea. Pengobatan biasanya dengan memberikan sikloplegik untuk menghilangkan rasa sakit ataupun untuk mengurangkan gejala radang uvea yang mungkin timbul. Antibiotik diberikan dalam bentuk tetes dan mata ditutup untuk mempercepat tumbuh epitel baru dan mencegah infeksi sekunder. Biasanya bila tidak terjadi infeksi sekunder erosi kornea yang mengenai seluruh permukaan kornea akan sembuh dalam 3 hari. Pada erosi kornea tidak diberi antibiotik dengan kombinasi steroid.

Pemakaian lensa kontak lembek pada pasien dengan erosi rekuren sangat bermanfaat, karena dapat mempertahankan epitel berada di tempat dan tidak dipengaruhi kedipan kelopak mata.

Trauma tumpul uveaIridoplegia

Trauma tumpul padda uvea dapat mengakibatkan kelumpuhan otot sfingter pupil atau iridoplegia sehingga pupil menjadi lebar atau midriasis.

Pasien akan sukar melihat dekat karena gangguan akomodasi, silau akibat gangguan pengaturan masuknya sinar pada pupil.

Pupil terlihat tidak sama besar atau anisokoria dan bentuk pupil dapat menjadi iregular. Pupil ini tidak bereaksi terhadap sinar. Iridoplegia akibat trauma akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pada pasien dengan iridoplegia sebaiknya diberi istirahat untuk mencegah terjadinya kelelahan sfingter dan pemberian roboransia.

IridodialisisTrauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris sehingga bentuk

pupil menjadi berubah. Pasien akan melihat ganda dengan satu matanya.Pada iridodialisis akan terlihat pupil lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi

bersama-sama dengan terbentuknya hifema. Bila keluhan demikian maka pada pasien sebaiknya dilakukan pembedahan dengan melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas.

IridosiklitisPada trauma tumpul dapat terjadi reaksi jaringan uvea sehingga menimbulkan

iridosiklitis atau radang uvea anterior. Pada mata akan terlihat mata merah, akibat adanya darah di dalam bilik mata depan maka akan terdapat suar dan pupil yang mengecil dengan tajam penglihatan menurun.

18

Page 19: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Pada uveitis anterior diberikan tetes mata midriatik dan steroid topikal. Bila terlihat tanda radang berat maka dapat diberikan steroid sistemik.

Sebaiknya pada mata ini diukur tekanan bola mata untuk persiapan memeriksa fundus dengan midriatika.

Trauma tumpul pada lensaDislokasi lensa

Trauma tumpul lensa dapat mengakibatkan dislokasi lensa. Dislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula Zinni yang akan mengakibatkan kedudukan lensa terganggu.

Subluksasi lensaSubluksasi lensa terjadi akibat putusnya sebagian zonula

Zinni sehingga lensa berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita kelainan pada zonula Zinni yang rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang. Subluksasi lenssa akan memberikan gambaran pada iris berupa iridodonesis.

Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastis akan menjdai cembung, dan mata akan menjadi lebih miopik. Lensa yang menjadi sangat cembung mendorong iris ke depan sehingga bilik mata tertutup. Bila sudut bilik mata menjadi sempit pada mata ini mudah terjadi glaukoma sekunder.

Subluksasi dapat mengakibatkan glaukoma sekunder dimana terjadi penutupan sudut bilik mata oleh lensa yang mencembung. Bila tidak terjadi penyulit subluksasi lensa seperti glaukoma atau uveitis maka tidak dilakukan pengeluaran lensa dan diberi kaca mata koreksi yang sesuai.

Luksasi lensa anteriorBila seluruh zonula Zinni di sekitar ekuator

putus akibat trauma maka lensa dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak di dalam bilik mata depan ini maka akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata sehingga akan timbul glaukoma kongestif akut dengan gejala-gejalanya.

Pasien akan mengeluh penglihatan menurun mendadak, disertai rasa sakit yang sangat, muntah, mata merah dengan blefarospasme. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema kornea, lensa di dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar. Tekanan bola mata sangat tinggi.

Pada luksasi lensa anterior sebaiknya pasien secepatnya dikirim pada dokter mata untuk dikeluarkan lensanya dengan terlebih dahulu diberikan asetazolamida untuk menurunkan tekanan bola matanya.

Luksasi lensa posteriorPada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi luksasi lensa posterior

akibat putusnya zonula Zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah polus posterior fundus okuli.

19

Page 20: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangnya akibat lensa mengganggu kampus.

Mata ini akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau afakia. Pasien akan melihat normal dengan lensa +12.0 dioptri untuk jauh, bilik mata depan dalam dan iris tremulans. Lensa yang terlalu lama berada pada polus posterior dapat menimbulkan penyulit akibat degenerasi lensa, berupa glaukoma fakolitik ataupun uveitis fakotoksik. Bila luksasi lensa telah menimbulkan penyulit sebaiknya secepatnya dilakukan ekstraksi lensa.

Katarak traumaKatarak akibat cedera pada mata dapat akibat trauma perforasi ataupun tumpul

terlihat sesudah beberapa hari ataupun tahun. Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior ataupun posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat pula dalam bentuk katarak tercetak (imprinting) yang disebut cincin Vossius.

Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi kecil akan menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga bentuk kekeruhan terbatas kecil. Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan terbentuknya katarak dengan cepat disertai dengan terdapatnya masa lensa di dalam bilik mata depan.

Pada keadaan ini akan terlihat secara histopatologik masa lensa yang akan bercampur makrofag dengan cepatnya, yang dapat memberikan bentuk endoftalmitis fakoanafilaktik. Lensa dengan kapsul anterior saja yang pecah akan menjerat korteks lensa sehingga akan mengakibatkan apa yang disebut sebagai cincin Soemering atau bilaepitel lensa berproliferasi aktif akan terlihat mutiara Elsching.

Pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat terjadinya. Bila terjadi pada anak sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah ambliopia pada anak dapat di pasang lensa intra okuler primer atau sekunder.

Pada katarak trauma apabila tidak terdapat penyulit maka dapat ditunggu sampai mata menjadi tenang. Bila terjadi peyulit seperti glaukoma, uveitis dan lain sebagainya maka segera dilakukan ekstraksi lensa. Penyulit uveitis dan glaukoma sering dijumpai pada orang usia tua. Pada beberapa pasien dapat terbentuk cincin Soemmering pada pupil sehingga dapat mengurangi tajam penglihatan. Keadaan ini dapat disertai perdarahan, ablasi retina, uveitis atau salah letak lensa.

Cincin VossiusPada trauma lensa dapat terlihat apa yang disebut sebagai

cincin Vossius yang merupakan cincin berpigmen yang terletak tepat di belakang pupil yang dapat terjadi segera setelah trauma, yang merupakan deposit pigmen iris pada dataran depan lensa sesudah sesuatu trauma, seperti suatu stempel jari. Cincin hanya menunjukkan tanda bahwa mata tersebut telah mengalami suatu trauma tumpul.

Trauma tumpul retina dan koroidEdema retina dan koroid

Trauma tumpul pada retina dapat mengakibatkan edema retina, penglihatan akan sangat menurun. Edema retina akan memberikan warna retina yang lebih abu-abu akibat sukarnya melihat jaringan koroid melalui retina yang sembab. Berbeda dengan oklusi arteri retina sentral dimana terdapat edema retina kecuali daerah

20

Page 21: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

makula, sehingga pada keadaan ini akan terlihat cherry red spot yang berwarna merah. Edema retina akibat trauma tumpul juga mengakibatkan edema makula sehingga tidak terdapat cherry red spot.

Pada trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah terjadi edema makula atau edema Berlin. Pada keadaan ini akan terjadi edema yang luas sehingga seluruh polus posterior fundus okuli berwarna abu-abu.

Umumnya penglihatan akan normal kembali setelah beberapa waktu, akan tetapi dapat juga penglihatan berkurang akibat tertimbunnya daerah makula oleh sel pigmen epitel.

Ablasi retinaTrauma diduga merupakan pencetus untuk terlapasnya

retina dari koroid pada penderita ablasi retina. Biasanya pasien telah mempunyai bakat untuk terjadinya ablasi retina ini seperti retina tipis akibat retinitis semata, miopia, dan proses degenerasi retina lainnya. Pada pasien akan terdapat keluhan seperti adanya selaput yang seperti tabir mengganggu lapang pandangnya. Bila terkena atau tertutup daerah makula maka tajam penglihatan akan menurun.

Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang berwarna abu-abu dengan pembuluh darah yang terlihat terangkat dan berkelok-kelok. Kadang-kadang terlihat pembuluh darah seperti yang terputus-putus. Pada pasien dengan ablasi retina maka secepatnya dirawat untuk dilakukan pembedahan oleh dokter mata.

Trauma KoroidRuptur Koroid

Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang dapat merupakan akibat ruptur koroid. Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior bola mata dan melingkar konsentris di sekitar papil saraf optik.

Bila ruptur koroid ini terletak atau mengenai daerah makula lutea maka tajam penglihatan akan turun dengan sangat. Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan subretina agak sukar dilihat akan tetapi bila darah tersebut telah diabsorpsi maka akan terlihat bagian ruptur berwarna putih karena sklera dapat dilihat langsung tanpa tertutup koroid.

Trauma tumpul saraf opticAvulsi papil saraf optic

Pada trauma tumpul dapat terjadi saraf optik terlepas dari pangkalnya di dalam bola mata yang disebut sebagai avulsi papil saraf optik. Keadaan ini akan mengakibatkan turunnya tajam penglihatan yang berat dan sering berakhir dengan kebutaan. Penderita ini perlu dirujuk untuk dinilai kelainan fungsi retina dan saraf optiknya.

Optik neuropati traumaticTrauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian pula

perdarahan dan edema sekitar saraf optik. Penglihatan akan berkurang setelah cedera mata. Terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa adanya kelainan nyata pada retina. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan warna dan lapangan pandang. Papil saraf optik dapat normal beberapa minggu sebelum menjadi pucat.

21

Page 22: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Diagnosis banding penglihatan turun setelah sebuah cidera mata adalah trauma retina, perdarahan badan kaca, trauma yang mengakibatkan kerusakan pada kiasam optik. Pengobatan adalah dengan merawat pasien pada waktu akut dengan membei steroid. Bila penglihatan memburuk setelah steroid maka perlu dipertimbangkan untuk pembedahan.

B. TRAUMA TEMBUS BOLA MATATrauma tembus adalah trauma dimana sebagian atau seluruh lapisan kornea dan

sklera mengalami kerusakan. Trauma ini dapat terjadi bila benda asing melukai sebagian lapisan kornea atau sklera dan benda tersebut tertinggal di dalam lapisan tersebut. Pada keadaan ini tidak terjadi luka terbuka sehingga organ di dalam bola mata tidak mengalami kontaminasi. Benda asing dengan kecepatan tinggi akan menembus seluruh lapisan sklera atau kornea atau jaringan lainnya dalam bola mata, kemudian akan bersarang di dalam bola mata atau dapat sampai menimbulkan perforasi ganda sehingga akhirnya benda asing tersrbut bersarang di rongga orbita atau bahkan dapat mengenai tulang orbita. Dalam hal ini akan ditemukan suatu luka terbuka dan biasanya disertai dengan prolaps iris, lensa, ataupun badan kaca (Vaughan D. Asbury T, 1983).

Pengobatan: berikan antibiotika sistemik atau intravena dan pasien dipuasakan untuk tindakan pembedaha, pasien juga diberi anti tetanus, analgetika sebelum dirujuk mata tidak boleh diberi salep karena salep dapat masuk kedalam mata, pasien boleh diberi steroid local dan beban yang diberikan mata tidak boleh menekan bola mata.

C. BENDA ASING INTRAOKULARRiwayat terjadinya trauma pada bola mata. Benda asing intraokular, baik yang

magnetic maupun tidak, akan menyebabkan gangguan tajam penglihatan.Pemeriksaan Penunjang. Untuk melihat kedudukan benda asing di dalam bota

mata maka pupil dilebarkan dengan midriatik. Dilakukan funduskopi segera karena bila lensa terkena maka lensa akan menjadi keruh secara perlahan-lahan, sehingga sukar untuk melihat bagian posterior. Pemeriksaan foto rontgen untuk memperlihatkan bentuk dan besar benda asing yang terletak intraocular. Metal locator dilakukan untuk menentukan letak benda asing dan ultrasonografi untuk menentukan letak dan gangguan terhadap jaringan sekitar lainnya.

Penatalaksanaan. Pada dasarnya benda asing pada bola mata perlu dikeluarkan sehingga direncanakan pembedahan agar tidak memberikan kerusakan yang lebih berat pada bola mata, misalnya melewati sclera agar tidak merusak jaringan lain.

Benda asing yang bersifat magnetik dapat dikeluarkan dengan alat magnet raksasa, sedangkan yang tidak magnetik dikeluarkan dengan vitrektomi.

D. TRAUMA KIMIATrauma kimia pada mata adalah trauma yang mengenai bola mata baik

diakibatkan oleh zat asam (zat dengan Ph <7) ataupun basa (zat dengan Ph >7) yang dapat menyebabkan kerusakan struktur bola mata tersebut. Tingkat keparahan trauma dikaitkan dengan jenis, volume, konsentrasi, durasi pajanan, dan derajat penetrasi dari zat kimia. Mekanisme cedera antara asamdan basa sedikit berbeda. (Lestari, 2010 ; Weaver & Rosen, 2010).

22

Page 23: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Trauma AsamBahan kimia asam yang sering menyebabkan trauma kimia asam pada mata

antara lain : asam sulfat, sulfurous acid, asam hidroklorida, asam nitrat, asam asetat, asam kromat, dan asam hidroflorida. Ledakan baterai mobil dapat menyebabkan luka bakar asam sulfat, yang merupakan penyebab tersering dari luka bakar kimiawi pada mata. Asam Hidroflorida dapat ditemukan dirumah pada cairan penghilang karat, pengkilap aluminum, dan cairan pembersih yang kuat.

Asam dipisahkan dalam dua mekanisme, yaitu ion hidrogen dan anion dalam kornea. Molekul hidrogen merusak permukaan okular dengan mengubah Ph, sementara anion merusak dengan cara denaturasi protein, presipitasi, dan koagulasi. Koagulasi protein umumnya mencegah penetrasi yang lebih lanjut dari zat asam, dan menyebabkan tampilan ground glass dari stroma korneal yang mengikuti trauma akibat asam. Sehingga trauma pada mata yang disebabkan oleh zat kimia asam cenderung lebih ringan daripada trauma yang diakibatkan oleh zat kimia basa.

Asam hidrofluorik adalah satu pengecualian. Asam lemah ini secara cepat melewati membran sel, seperti alkali. Ion fluoride dilepaskan ke dalam sel, dan memungkinkan menghambat enzim glikolitik dan bergabung dengan kalsium dan magnesium membentuk insoluble complexes. Nyeri local yang ekstrim bisa terjadi sebagai hasil dari immobilisasi ion kalsium, yang berujung pada stimulasi saraf dengan pemindahan ion potassium. Fluorinosis akut bisa terjadi ketika ion fluoride memasuki sistem sirkulasi, dan memberikan gambaran gejala pada jantung, pernafasan, gastrointestinal, dan neurologik.

Bahan kimia asam yang mengenai jaringan akan mengadakan denaturasi dan presipitasi dengan jaringan protein disekitarnya, karena adanya daya buffer dari jaringan terhadap bahan asam serta adanya presipitasi protein maka kerusakannya cenderung terlokalisir. Bahan asam yang mengenai kornea juga mengadakan presipitasi sehingga terjadi koagulasi, kadang-kadang seluruh epitel kornea terlepas. Bahan asam tidak menyebabkan hilangnya bahan proteoglikan di kornea. Bila trauma diakibatkan asam keras maka reaksinya mirip dengan trauma basa.

Bila bahan asam mengenai mata maka akan segera terjadi koagulasi protein epitel kornea yang mengakibatkan kekeruhan pada kornea, sehingga bila konsentrasi tidak tinggi maka tidak akan bersifat destruktif seperti trauma alkali biasanya kerusakan hanya pada bagian superfisial saja. Koagulasi protein ini terbatas pada daerah kontak bahan asam dengan jaringan. Koagulasi protein ini dapat mengenai jaringan yang lebih dalam.

Pengobatan dilakukan dengan irigasi jaringan yang terkena secepat-cepatnya dan selama mungkin untuk menghilangkan dan melarutkan bahan yang mengakibatkan trauma.

Biasanya trauma akibat asam akan normal kembali sehingga tajam penglihatan tidak terganggu.

Trauma BasaTrauma basa biasanya lebih berat daripada trauma asam, karena bahan-bahan

basa memiliki dua sifat yaitu hidrofilik dan lipolifik dimana dapat secara cepat untuk penetrasi sel membran dan masuk ke bilik mata depan, bahkan sampai retina.

Zat-zat basa atau alkali yang dapat menyebabkan trauma pada mata antara lain : semen, soda kuat, ammonia, NaOH, CaOH, cairan pembersih dalam rumah tangga.

Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan iritasi ringan pada mata apabila dilihat dari luar. Namun, apabila dilihat pada bagian dalam mata, trauma

23

Page 24: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

basa ini mengakibatkan suatu kegawatdaruratan. Basa akan menembus kornea, kamera okuli anterior, dan sampai retina dengan cepat, sehingga berakhir dengan kebutaan. Pada trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea. Bahan kimia basa bersifat koagulasi sel dan terjadi proses safonifikasi (persabunan), disertai dengan dehidrasi.

Pada trauma alkali akan terbentuk kolagenase yang akan menambah kerusakan kolagen kornea. Alkali yang menembus ke bola mata akan merusak retina sehingga akan berakhir dengan kebutaan penderita.

Menurut klasifikasi Thoft, trauma basa dapat dibedakan dalam:Derajat 1: hiperemi konjungtiva disertai keratitis pungtataDerajat 2: hiperemi konjungtiva disertai dengan hilang epitel korneaDerajat 3: hiperemi disertai nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel korneaDerajat 4: konjungtiva perilimal necrosis sebanyak 50%

Tindakan bila terjadi trauma basa adalah dengan secepatnya melakukan irigasi dengan garam fisiologik. Sebaiknya irigasi dilakukan selama mungkin. Bila mungkin irigasi dilakukan paling sedikit 60 menit segera setelah trauma. Penderita diberi siklopegia, antibiotika, EDTA untuk mengikat basa. EDTA diberikan setelah 1 minggu trauma alkali diperlukan untuk menetralisir kolagenase yang terbentuk pada hari ke7.

Penyulit yang dapat timbul adalah simblefaron, kekeruhan kornea, edema dan neovsakularisasi kornea, katarak, disertai dengan terjadinya ftisis bola mata.

E. TRAUMA RADIASI ELEKTROMAGNETIKTrauma radiasi yang sering ditemukan adalah: Sinar infra merah Sinar Ultraviolet Sinar –X dan sinar terionisasi

Trauma Sinar Infra MerahAkibat sinar infra merah, dapat terjadi pada saat menatap gerhana matahari, dan

pada saat bekerja di pemanggangan. Kerusakan ini dapat terjadi akibat terkonsentrasinya sinar infra merah yang terlihat. Kaca yang mencair seperti yang ditemukan di tempat pemanggangan kaca akan mengeluarkan sinar infra merah. Bila seseorang berada pada jarak satu kaki selama satu menit di depan kaca yang mencair dan pupilnya lebar atau midriasis, maka suhu lensa akan naik sebanyak 9 derajat celsius. Demikian pula iris yang mengabsorbsi sinar infra merah akan panas, sehingga berakibat tidak baik terhadap kapsul lensa di dekatnya. Absorpsi sinar infra merah oleh lensa akan mengakibatkan katarak dan eksfoliasi kapsul lensa.

Akibat sinar ini pada lensa, maka katarak muda terjadi pada pekerja industri gelas dan pemanggangan logam. Sinar infra merah akan mengakibatkan keratitis superfisial, katarak kortikal anterior-posterior dan koagulasi pada khoroid.

Bergantung pada beratnya lesi akan terdapat skotoma sementara atau permanen. Tidak ada pengobatan terhadap akibat buruk yang sudah terjadi, kecuali mencegah terkenanya mata oleh sinar infra merah ini. Steroid sistemik dan lokal diberikan untuk mencegah terbentuknya jaringan parut pada makula atau untuk mengurangi gejala radang yang timbul.

24

Page 25: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Trauma Sinar Ultra Violet (Sinar Las)Sinar ultra violet merupakan sinar gelombang pendek yang tidak terlihat,

mempunyai panjang gelombang antara 350-295 Nm. Sinar ultra violet banyak terdapat pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari atau pantulan sinar matahari di atas salju. Sinar ultra violet akan segera merusak epitel kornea.

Sinar ultra violet biasanya memberikan kerusakan terbatas pada kornea, sehingga kerusakan pada lensa dan retina tidak akan nyata terlihat. Kerusakan ini akan segera baik kembali setelah beberapa waktu, dan tidak akan memberikan gangguan ketajaman pengelihatan yang menetap.

Pasien yang telah terkena sinar ultra violet akan memberikan keluhan 4-10 jam setelah trauma. Pasien akan merasa mata sangat sakit, mata seperti kelilipan atau seperti kemasukan pasir, foto fobia, blefarospasme dan konjungtiva kemotik.

Kornea akan menunjukan adanya infiltrat pada permukaannya, yang kadang-kadang disertai dengan kornea yang keruh dan uji floresensi positif. Keratitis teutama terdapat pada fisura palpebra. Pupil akan terlihat miosis, tajam penglihatan akan terganggu.

Keratitis ini akan sembuh tanpa cacat, akan tetapi bila radiasi berjalan lama kerusakan dapat permanen sehingga akan memberikan kekeruhan pada kornea. Gambaran keratitis menjadi semakin berat akibat efek kumulatif radiasi sinar UV .

Pengobatan yang diberikan adalah sikloplegia, antibiotika lokal, analgetik, dan mata ditutup selama 2-3 hari. Biasanya sembuh setelah 48 jam.

Sinar Ionisasi dan Sinar-XSinar ionisasi dibedakan dalam bentuk: Sinar alfa yang dapat diabaikan Sinar beta yang dapat menembus 1cm jaringan Sinar gamma dan Sinar-x

Sinar ionisasi dan sinar-x dapat menyebabkan katarak dan rusaknya retina. Dosis katarak togenik bervariasi sesuai dengan energi dan tipe sinar, lensa yang lebih mudah dan lebih peka. Akibat dari sinar ini pada lensa, terjadi pemecahan diri sel epitel secara tidak normal. Sedangkan sel baru yang berasal dar sel germinatif lensa tidak menjadi jarang.

Sinar-x merusak retina dengan gambaran seperti kerusakan yang diakibatkan diabetes melitus berupa dilatasi kapilar, perdarahan, mikroaneuris mata, dan eksudat.

Luka bakar akibat sinar-x dapat merusak kornea, yang mengakibatkan kerusakan permanen yang sukar diamati. Biasanya akan terlihat sebagai keratitis dengan iridosiklitis ringan. Pada keadaan yang berat akan mengakibatkan parut konjungtiva atrofi sel goblet yang akan menggangu fungsi air mata. Pengobatan yang diberikan adalah antibiotik topikal dengan steroid 3 kali sehari dan sikloplegik 1 kali sehari. Bila terjadi simblefaron pada konjungtifa dilakukan tindakan pembedahan.

HIFEMA

25

Page 26: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

DefinisiHifema adalah suatu keadaan dimana didalam bilik

mata depan ditemukan darah. Darah didalam bilik mata depan yaitu daerah di antara kornea dan iris, dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor aqueous (cairan mata) yang jernih. Darah yang terkumpul di bilik mata depan biasanya terlihat dengan mata telanjang. Walaupun darah yang terdapat di bilik mata depan sedikit, tetap dapat menurunkan penglihatan. Dapat mengisi seluruh bilik mata atau hanya bagian bawah bilik mata depan. Darah didalam bilik mata depan biasa terdapat pada cedera mata, trauma bedah, discrasia darah (hemofilia) dan tumor intra kranial. Epidemiologi

Angka kejadian dari hifema traumatic diperkirakan 12 kejadian per 100.000 populasi, dengan pria terkena tiga sampai lima kali lebih sering daripada wanita. Lebih dari 70 persen dari hifema traumatic terdapat pada anak-anak dengan angka kejadian tertinggi antara umur 10 sampai 20 tahun.

Anatomi dan Fisiologi Camera Oculi Anterior

Anatomi mata manusia

Anatomi mata manusia

Kamera okuli anterior terletak pada persambungan kornea perifer dan akar iris. Ciri-ciri anatomi utama sudut ini adalah garis Schwalbe, jalinan trabekula ( yang terletak diatas kanalis Schlemm), dan taji-taji sclera.

Garis Schwalbe menandai berakhirnya endotel kornea. Jalinan trabekula berbentuk segitiga pada potongan melintang, yang dasarnya mengarah ke korpus siliare. Garis ini tersusun dari lembar-lembar berlobang jaringan kolagen dan elastic, yang membentuk suatu filter dengan memperkecil ukuran pori ketika mendekati kanalis Schlemm. Bagian dalam jalinan ini, yang menghadap ke kamera anterior, dikenal sebagai jalinan uvea: bagian luar, yang berada dekat kanalis Schlemm, disebut jalinan korenoskleral. Serat-

26

Page 27: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

serat longitudinal otot siliaris menyisip ke dalam jalinan trabekula tersebut. Taji sclera merupakan penonjolan sclera kea rah dalam diantara korpus siliare dan kanalis Schlemm, tempat iris dan korpus siliare menempel. Saluran-saluran eferen dari kanalis Schlemm (sekitar 300 saluran pengumpul dan 12 vena aquaeus) berhubungan dengan system vena episklera.

PatofisologiHifema dapat terjadi sesudah suatu trauma tembus ataupun tumpul pada mata,

akan tetapi dapat juga terjadi secara spontan. Secara umum dianggap bahwa hifema berasal dari pembuluh darah iris dan badan siliar. Mungkin juga berasal dari pembuluh darah di kornea atau limbus karena terbentuknya neovaskularisasi pada bekas luka operasi atau pada rubeosis iridis. Trauma terhadap iris dapat menyebabkan laucom pembuluh darah, sehingga darah akan keluar dan mengisi rongga COA. Sedangkan pada neovaskularisasi pada bekas luka operasi atau pada robeosis iridis, laucom lau terjadi secara spontan karena rapuhnya dinding pembuluh darah. Perdarahan yang terdapat pada hifema

Darah pada hifema dikeluarkan dari bilik mata depan dalam bentuk sel darah merah melalui kanalis Schlemm dan permukaan depan iris. Penyerapan melaui permukaan depan iris ini dipercepat dengan adanya kegiatan enzim fibrinolitik yang berlebihan didaerah ini. Sebagian hifema dikeluarkan dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat penumpukkan hemosiderin pada COA, hemosiderin dapat masuk kedalam lapisan kornea, menyebabkan kornea menjadi berwarna kuning, dan disebut hemosiderosis atau imbibisi kornea. Imbibisi kornea dapat dipercepat terjadinya, disebabkan oleh hifema yang penuh disertai laucoma. Adanya darah dalam COA dapat menghambat aliran cairan bilik mata oleh karena lauco-unsur darah menutupi COA dan trabekula, sehingga terjadi laucoma. Hifema pada kamera okuli anterior

Darah pada hifema lau berasal dari badan siliar, yang mungkin dapat masuk ke dalam badan kaca (corpus vitreum). Sehingga pada punduskopi gambaran pundus tidak tampak, dan ketajaman penglihatan menurunnya lebih banyak. Bila hifema sedikit, ketajaman penglihatan mungkin masih baik dan tekanan laucoma ar masih normal. Sedangkan perdarahan yang mengisi setengah COA dapar menyebabkan gangguan visus dan kenaikan tekanan intraocular, sehingga mata terasa sakit oleh karena laucoma.

Hifema dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar ( corpus ciliaris ).

Pasien akan mengeluh sakit, disertai epifora dan blefarospasme. Penglihatan pasien akan sangat menurun. Bila pasien duduk hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan, dan dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis.Merupakan keadaan yang gawat. Sebaiknya dirawat, karena takut timbul perdarahan sekunder yang lebih hebat dari perdarahan primer, yang biasanya timbul pada hari kelima setelah trauma. Perdarahan sekunder ini terjadi karena bekuan darah terlalu cepat diserap, sehingga pembuluh darah tidak mendapat waktu cukup untuk regenerasi kembali, dan menimbulkan perdarahan lagi. Adanya darah di dalam COA dapat menghambat aliran aquos humor ke dalam trabekula , sehingga dapat menimbulkan glaucoma sekunder.Hifema dapat pula menyebabkan

27

Page 28: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

uveitis. Darah dapat terurai dalam bentuk hemosiderin, yang dapat meresap masuk kedalam kornea, menyebabkan kornea berwarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisio kornea. Jadi penyulit yang harus diperhatikan adalah : glaucoma sekunder, uveitis, dan imbibisio kornea.

Hifema dapat sedikit, dapat pula banyak. Bila sedikit ketajaman penglihatan mungkin masih baik dan TIO normal. Perdarahan yang mengisi setengah COA, dapat menyebabkan gangguan visus dan TIO, sehingga mata terasa sakit oleh glaucomanya. Jika hifemanya mengisi seluruh COA, rasa sakit bertambah dan visus lebih menurun lagi, karena TIO bertambah pula.

Zat besi didalam bola mata dapat menimbulkan sederosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan.

Hematokornea; infiltrasi darah diikuti oleh perdarahan yang menetap. (perdarahan pada hifema)

EtiologiPenyebab hifema adalah : Gaya-gaya akibat kontusif sering merobek pembuluh-pembuluh iris dan

merusak sudut kamera okuli anterior biasanya pada trauma tumpul atau trauma tembus.

Perdarahan spontan dapat terjadi pada mata dengan rubeosis iridis, tumor pada iris, retino blastoma, dan kelainan darah.

Perdarahan pasca bedah, lau juga terjadi pada pasca bedah katarak kadang-kadang pembuluh darah baru yang terbentuk pada kornea dan limbus pada luka bekas operasi bedah katarak dapat pecah sehingga timbul hifema

KlasifikasiBerdasarkan waktu terjadinya hifema, maka dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu :

1) PrimerPerdarahan yang terjadi segera sesudah trauma

2) SekunderBiasanya timbul setelah 5-7 hari sesudah trauma. Perdarahan lebih hebat dari yang primer. Oleh karena itu seorang dengan hifema harus dirawa sedikitnya 5 hari. Perdarahan ulang terjadi pada 16 sampai 20% kasus dalam 2 sampai 3 hari. Perdarahan sekunder ini terjadi oleh karena resorbsi dari bekuan darah yang terjadi terlalu cepat, sehingga pembuluh darah tidak dapat waktu cukup untuk regenerasi kembali.

Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi :1) Hifema traumatic, merupakan perdarahan pada bilik mata depan yang

disebabkan pecahnya pembuluh darah iris dan badan siliar akibat trauma pada segmen anterior bola mata.

2) Hifema akibat tindakan medis, misalnya kesalahan prosedur operasi mata.3) Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan siliar, sehingga

pembuluh darah pecah.4) Hifema akibat kelainan sel darah merah atau pembuluh darah.5) Hifema akibat neoplasma

28

Page 29: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Hifema dibagi menjadi beberapa grade menurut Sheppard berdasarkan tampilan klinisnya :

Grade I : darah mengisi kurang dari sepertiga COA. Grade II : darah mengisi sepertiga hingga setengah COA. Grade III : darah mengisi hamper seluruh COA. Grade IV : darah memenuhi seluruh COA.

Manifestasi KlinisPasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang berair.

Penglihatan pasien akan sangat menurun. Terdapat tumpukan darah yang terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan dan hifema dapat memenuhi seluruh ruangan bilik mata depan. Selain itu dapat terjadi peningkatan tekanan intraocular, merupakan keadaan yang harus diwaspadai karena dapat menyebabkan glaucoma sekunder.

Diagnosis Pemeriksaan ketajaman penglihatan : menggunakan kartu mata snellen. Visus

dapat menurun akibat kerusakan kornea, aquos humor, iris dan retina. Lapangan pandang : penurunan dapat disebabkan oleh patologi vaskuler okuler

atau glaucoma. Pengukuran tonometri : untuk mengetahui tekanan intra okuler. Slit lamp biomicroscopy : untuk menentukan kedalaman COA dan iridocorneal

contact, aqueous flare dan sinekia posterior. Pemeriksaan oftalmoskopi : untuk mengetahui struktur internal okuler.

Pasien akan mengeluh sakit disertai dengan epifora dan blefarospasme. Penglihatan pasien akan sangat menurun, bila ditemukan kasus hifema sebaiknya dilakukan pemeriksaan secara teliti keadaan mata luar. Hal ini penting mungkin saja pada riwayat trauma tunpul akan ditemukan kelainan berupa trauma tembus seperti :

Ekimosis Laserasi kelopak

Proptosis Enoftalmus

Fraktur yang disertai gangguan gerakan mata Kadang-kadang kita menemukan kelainan berupa defek epitel, edem kornea

dan imbibisi kornea bila hifema sudah terjadi lebih dari 5 hari.Ditemukan darah di dalam bilik mata bila pasien duduk, hifema akan terlihat

terkumpul dibagian bawah bilik mata depan, perdarahan yang mengisi setengah bilik mata depan dapat menyebabkan gangguan visus dan kenaikan tekanan intraokuler, sehingga mata terasa sakit oleh karena laucoma. Jika hifema mengisi seluruh bilik mata depan, rasa sakit bertambah dan penglihatan lenih menurun lagi. Pada iris, dapat ditemukan robekan atau iridodialysis dan iridoplegia.

Pada hifema karena trauma, jika ditemukan penurunan tajam penglihatan segera maka harus dipikirkan kerusakan seperti luksasi lensa, ablasi retina, udem macula.Pada hifema sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang berupa :

1) TonometriUntuk mengetahui apakah terjadi peningkatan tekanan intraokuler.

2) Fundus Kopi

29

Page 30: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Untuk mengetahui akibat trauma pada segmen belakang bola mata, kadang-kadang pemeriksaan ini tidak mungkin karena terdapat darah pada media refraksi disegmen belakang bola mata, yaitu pada badan kaca.

KomplikasiKomplikasi yang mungkin dapat terjadi pada kasus hifema adalah

1) Imbibisi korneaDarah yang terdapat pada hifema dikeluarkan dari bilik mata depan dalam bentuk sel darah merah melalui bilik mata (kanal schlem) dan permukaan depan iris. Penyerapan melalui permukaan depan iris ini dipercepat dengan adanya kegiatan enzim fibrinolitik yang berlebihan didaerah ini. Sebagian hifema dikeluarkan dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat hemosiderin yang berlebihan dalam bilik mata depan maka dapat terjadi penimbunan pigmen ini didalam lapisan-lapisan kornea yang berwarna kecoklat-coklatan yang disebut imbibisi kornea. Jika sudah terjadi seperti ini hanya dapat diperbaiki dengan keratoplasty.

2) GlaukomaGlaukoma akut terjadi apabila jaringan trabekular tersumbat oleh fibrin dan sel atau apabila pembentukan bekuan darah menyebabkan penyumbatan pupil. Hal ini terjadi akibat darah dalam bilik mata, karena lauco-unsur darah menutupi sudut bilik mata trabekula, sehingga hal ini akan menyebabkan tekanan intraocular.

3) Uveitis4) Kebutaan

Zat besi didalam mata dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan dapat menimbulkan fitsis bulbi dan kebutaan.

PenatalaksanaanPrinsip pengobatan :

Menghentikan pendarahan atau mencegah pendarahan berulang Mengeluarkan darah dari bilik mata depan Mengendalikan tekanan bola mata Mencegah imbibisi kornea Mengatasi uveitis Mendeteksi dini penyulit yang mungkin terjadi setelah hifema

Pada perawatan, pasien hifema diharuskan bertirah baring, agar mata beristirahat, dan tidur dengan kepala diangkat dengan membentuk sudut 30 derajat lalu diberikan koagulansi dan tetes steroid dan sikloplegenik pada mata yang sakit selama 5 hari. Mata diperiksa secara berkala untuk mencari adanya pendarahan sekunder, glaucoma atau bercak darah di kornea akibat pigmen besi. Pendarahan ulang terjadi pada 16-20% kasus 2-3 hari.

Jika timbul glaucoma, maka penatalaksanan mencakup pemberian timolol 0,25% atau 0,5% dua kali sehari; asetazolamid, 250 mg empat kali sehari, dan obat hiperosmotik (manitol, gliserol, dan sorbitol).

Bila tekanan intraokuler tetap tinggi dapat dilakukan parasintesis yaitu mengeluarkan darah melalui sayatan di kornea. Hifema harus dievakuasi secara bedah apabila tekanan intraocular tetap tinggi (>35 mmHg selama 7 hari atau 50 mmHg selama 5 hari) untuk menghindari kerusakan saraf optikus dan pewarnaan kornea, pasien mengidap hemoglobinopati, besar kemungkinan cepat terjadi atrofi

30

Page 31: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

optikus glaucoma dan pengeluaran bekuan darah secara bedah harus dipertimbangkan lebih awal.

Instrument-instrumen vitrektomi digunakan untuk mengeluarkan bekuan di sentral dan lavase kamera anterior. Dimasukkan tonggak irigasi dan probe mekanis disebelah anterior limbus melalui bagian kornea yang jernih untuk menghindari kerusakan iris dan lensa. Tidak dilakukan usaha untuk mengeluarkan bekuan dari sudut kamera okuli anterior atau dari jaringan iris kemudian dilakukan dilakukan iridektomi perifer. Cara lain untuk membersihkan kamera interior adalah dengan evakuasi kolestik. Dibuat sebuah insisi kecil di limbus untuk menyuntikkan bahan viskolastik, dan sebuah insisi yang lebih besar 180 derajat berlawanan agar hifema dapat didorong keluar.

PrognosisPrognosis pada kasus hifema pada jumlah darah dalam bilik mata depan :

1) Bila darah sedikit maka darah ini akan hilang dan akan jernih sempurna2) Bila darah lebih dari setengah tinggi bilik mata depan maka prognosisnya akan

buruk dan disertai dengan penyulit.3) Dan bila hifema yang penuh didalam bilik mata depan akan memberikan

prognosis yang lebih buruk

Hifema sekunder yang terjadi 5-7 hari sesudah trauma biasanya dapat memberikan rasa yang sakit. Pada hifema sekunder terjadi akibat gangguan mekanisme pembekuan atau penyembuhan luka sehingga mempunyai prognosis buruk.

4. Patogenesis, Diagnosis, Tatalaksana, dan Pencegahan Kebutaan yang Berhubungan dengan Kegawatdaruratan Mata

KebutaanKriteria buta menurut WHO dan UNICEF : buta adalah suatu keadaan dimana

seseorang tidak dapat menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan penglihatannya sebagai hal yang esensial sebagaimana orang sehat. WHO menganjurkan agar criteria kebutaan untuk negara yang sedang berkembang ialah tajam penglihatan 3/60 atau lebih rendah yang tidak dapat dikoreksi.

Kasus kegawatdaruratan mata yang dapat menyebabkan kebutaan diantaranya adalah:

1) Oklusi Arteri Sentralis RetinaCentral Retinal Artery Occlusion (CRAO) merupakan suatu penyumbatan pada

pembuluh arteri retina sentral yang umumnya disebabkan oleh emboli. Keadaan ini berlangsung secara akut dan merupakan emergensi oftamologi yang dapat menyebabkan kebutaan.

Oklusi kapiler retina dapat terjadi pada pembuluh sentral ataupun pembuluh cabang yang secara umumnya disebabkan oleh emboli. Keadaan ini merupakan keadaan emergensi opthamologi yang dapat menyebabkan kebutaan. Namun penyakit ini bukansuatu penyakit yang berdiri sendiri.

Pada tahun 1859, Van Graefe menggambarkan Central Retinal Artery Occlusion (CRAO) sebagai proses penyumbatan arteri sentral retina yang disebabkan oleh embolipada pasien yang menderita endokarditis. Pada tahun 1868, Mauthner

31

Page 32: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

beranggapan bahwasuatu proses vasokonstriksi dapat menyebabkan oklusi dari arteri retina.Penyebab dari CRAO dianggap sebagai proses multifaktorial, yang disebabkan oleh kelainan-kelainan sistemik yang lain.

PatofisiologiCentral Retinal Artery Occlusion (CRAO) akan mengakibatkan kebutaan yang

disebabkan kurangnya asupan darah pada lapisan retina bagian dalam. Secara akut,obstruksi, yang diakibatkan emboli misalnya, akan membuat terjadinya edema lapisandalam retina dan pyknosis sel ganglion nukleus. Iskemik yang diikuti nekrosis akan terjadi,sehingga retina memberikan gambaran opak dan warna putih kekuningan. Opasitas akan bertambah pada bagian posterior dikarenakan bertambahnya ketebalan lapisannya, dansebaliknya pada fovea yang memberikan gambaran cherry-red spot.

DiagnosisUmumnya pasien akan mengeluhkan penurunan penglihatan yang terjadi

secaratiba-tiba, tanpa disertai rasa nyeri dan menetap pada salah satu mata. Pada 90% penderita, kemampuan visus menurun hingga menghitung jari, persepsi cahaya, bahkan kebutaan. Keluhan nyeri pada pesien lebih mengarahkan pada proses iskemik okular yangsedang berlangsung. Hal ini umumnya disebabkan oleh gangguan sirkuasi pada arteri karotis dan bukan disebabkan suatu oklusi arteri retina.

Pada beberapa pasien dapat dijumpai amaurosis fugax, merupakan proses penurunan penglihatan secara transien yang dapat terjadi selama beberapa detik hingga beberapa menit, namun dapat pula bertahan hingga 2 jam. Umumnya penglihatan dapat kembali seperti sebelumnya setelah serangan amaurosis fugax berakhir.

Monokular amaurosis fugax dapat pula terjadi akibat hipotensi ortostatik, spasmepembuluh darah, aritmia, migren retina, anemia, arteritis dan koagulopati. Hilangnyapenglihatan jarang mencapai total dan dapat merupakan gejala awal dari obstruksi dini arterisentral. Amaurosis fugax merupakan tanda yang paling sering dijumpai pada insufisiensi arteri karotis atau terdapatnya emboli pada arteri oftalmika retina.

Pada ameurosis fugax umumnya tidak dijumpai kelainan fundus karena pendeknya serangan. Kadang-kadang terlihat adanya plaque putih atau cerah atau suatu embolus didalam arteriol. Penting untuk menanyakan riwayat penyakit penderita yang dapat menjadi predisposisi pembentukan trombus, seperti atrial fibrilasi, endokarditis, penyakit-penyakitatherosklerosis, keadaan koagulopati ataupun hiperkogulasi. Begitu pula dengan riwayatpengobatan.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan pada penderita yang diduga mengami CRAO meliputi:

a) Penilaian visus, umumnya menurun hingga menghintung jari, lambaian tangan ataupun tanpa persepsi cahaya.

b) Pemeriksaan reaksi pupil, menjadi lambat atau menghilang dan dapat anisokor.

c) Permeriksaan defek pada pembuluh retina dengan funduskopi, dapat memberikan gambaran:

Seluruh retina menjadi pucat akibat edema dan gangguan nutrisi.

32

Page 33: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Gambaran cherry-red spot pada makula lutea. Hal ini muncul setelah terjadi infark pada lapisan retina yang menyebabkan terjadi edema. Akibatnya lapisanretina akan tampak pucat kecuali pada daerah makula yang tetap berwarnamerah karena lapisannya yang tipis.

Tanda Boxcar dapat terlihat pada arteri maupun vena, dimana hal inimenunjukkan adanya obstruksi yang berat.

Emboli dapat terlihat pada 20% kasus Lakukan pemeriksaan kardiovaskular untuk mendengar adanya murmur

jantung ataupun bruit karotis.d) Pemeriksaan menyeluruh untuk menilai kelemahan otot, demam, nyeri tekan

pada temporal ataupun adanya arteri yang teraba, jaw claudication, untuk menyingkirkanadanya arteritis temporal.

Dari uraian diatas, pada pasien CRAO umumnya pasien datang dengan keluhan utama penurunan penglihatan yang terjadi secara tiba-tiba, tanpa disertai nyeri, dan umumnya unilateral. Pada pemeriksaan, dijumpai penurunan visus hingga menghitung jari ataupun persepsi cahaya maupun kebutaan. Pada funduskopi dapat ditemui: gambaran fundus menjadi pucat akibat edema retina, fovea tidak terlihat edema, dapat terlihat gamabaran cherry-red spot , arteriol menjadi dangkal dan irreguler, serta tanda boxcar pada bagian vena.

Pemeriksaan EKG dapat dilakukan untuk menilai adanya kemungkan atrial fibrilasi.Pasien yang dicurigai aritmia yang tak didapati pada EKG serial dapat dilakukan EKG-holter (monitor 24 jam).

Proses pencitraan sangat membantu dalam menentukan proses primer yangmenyebabkan CRAO. Ultrasoud pada karotis dapat mendeteksi penyakit atherosklerosisyang lebih sensitif dari pemeriksaan Dopler yang hanya menilai aliran. Pemeriksaan MRA dapat memberikan gambaran yang lebih jelas pada obstruksi yang terjadi.

PenatalaksanaanSebagai suatu keadaan emergensi, penanganan yang segera untuk

mengembalikanaliran darah pada retina kemungkinan akan sangat bermanfaat bila dilakukan sedinimungkin. Penanganan awal sebagai tindakan emergensi yang dapat dilakukan adalah:

2) Menurunkan tekanan intraokularDapat diberikan obat topikal (tetes mata) golongan -blocker ataupunβ pemberian acetazolamide secara intavena dapat mennyebabkan penurunan TIO yang segera ataupun persepsi cahaya maupun kebutaan.

3) Ocular massageDilakukan dengan gerakan berputar selama 10 detik pada bola mata dan

dilepas kemudian dilakukan berulang-ulang. Cara tradisional tersebut bertujuan meningkatkan tekanan introkular di dalam mata akibat tekanan yang terputus dan merangsang mekanisme autoregulator. Saat pemijatan dengan jari, tenaga yang diberikan akan membuat retina menganggap adanya hipoxia sehingga terjadi dilatasi vaskular retina sehingga aliran darah meningkat.

Ketika pemijatan dihentikan, cairan akan mengalir dan terjadi penurunan resistensi dari aliran darah. Harapannya adalah terjadi perpindahan emboli menjadi lebih dalam dan menyelamatkan sebagian daerah retina Konsultasi

33

Page 34: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

urgensi pada opthamologist dengan persiapan untuk dilakukannya tindakanpenangan yang lebih agresif jika diindikasikan, seperti parasintesis camera okuli anterior (COA).

Parasintesis dilakukan dengan anastesi lokal dan menggunakan jarum suntik 30G padaspuit 1cc. Insersi dilakukan pada daerah limbus dengan hati-hati dan menjaga agar jarum tidak merusak lensa. Cairan diambil sebanyak 0.1-0.2 cc. Kemudian jarum ditarik keluar dan diberikan obat tetes mata berupa antibiotik topikal. Dengan tindakan inidiharapkan terjadi penurunan TIO yang akan memicu peningkatan perfusi yang akanmendorong emboli bergerak lebih dalam.

Tujuan dari pengobatan yang diberikan pada kasus CRAO adalah untuk: Menurunkan TIO, hal ini dapat dicapai dengan pemberian obat-obatan

golongan karbonik anhidrase inhibitor, diuretik hiperosmolar, simpatomimetik dan timoptik, seperti yang diberikan pada penderita glaukoma. Penurunan TIO dapat pula dicapai dengan parasintesis camera okuli anterior, seperti yang dijelaskan di atas.

Menambah perfusi pada retina, diperoleh melalui pemberian obat vasodilator, peningkatan PCO2, atau dengan pemberian agen trombolitik perifer untuk memindahkan trombus. Pendapat lain mengatakan pemberian aspirin pada faseakut dapat bermanfaat.

Meningkatkan oxygen delivery pada daerah yang hipoxia, dicapai dengan memberikan oxygen konsentrasi tinggi maupun dengan Terapi Oxygen Hiperbarik. Hal ini hanya dapat bermanfaat bila diberikan dalam 2-12 jam setelah onset. Pemberian oxygen dan peningkatan PCO2 umumnya dilakukan dengan pemberian bantuan nafas dengan campuran 5% CO2 dan 95% O2

selama 10 menit yangdilakukan setiap 2 jam selama 2 hari.

2) Glaukoma AkutGlaukoma akut merupakan salah satu glaukoma sudut tertutup primer.

Glaukoma sudut tertutup terjadi bila terdapat kenaikan mendadak dari tekanan intraokular, yang disebabkan penutupan sudut bilik mata depan yang mendadak oleh akar iris, sehingga menghalangi sama sekali keluarnya humor aqueous melalui trabekula, menyebabkan meningginya tekanan intraokular, maka gejala yang ditimbulkan sangat berat seperti: nyeri pada mata, sakit kepala, pandangan kabur, mual dan muntah serta disertai tanda kongesti, maka disebut pula glaukomaakut kongestif atau glaukoma akut.

Glaukoma akut hanya timbul pada orang-orang yang mempunyai sudut bilik mata yang sempit. Jadi hanya pada orang-orang dengan predisposisi anatomis

Glaukoma akut merupakan suatu kedaruratan mata yang memerlukan penanganan segera untuk mencegah kerusakan nervus optikus yang dapat menyebabkan kebutaan.

Pengobatan medika mentosa harus dimulai secepat mungkin untuk menurunkan tekanan intra okuler sebelum terapi definitive iridektomi laser atau bedah dilakukan. Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan hasil pemeriksaan gonioskopi yang dapat memberikan bukti bahwa sudut bilik mata tertutup.

Patogenesis

34

Page 35: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Sudut bilik mata dibentuk dari jaringan korneosklera dengan pangkal iris.Pada keadaan fisiologis bagian ini terjadi pengaliran keluar cairan bilik mata.Berdekatan dengan sudut ini didapatkan jaringan trabekulum, kanal Schlemm, baji sklera, garis Schwalbe dan jonjot iris. Pada sudut filtrasi terdapat garis Schwalbe yang merupakan akhir perifer endotel dan membran desemet, kanal schlemm yangmenampung cairan mata kesalurannya. Sudut filtrasi berbatas dengan akar iris berhubungan dengan sklera kornea dan disini ditemukan sklera spur yang membuat cincin melingkar 360 derajat dan merupakan batas belakang sudut filtrasi serta tempat insersi otot siliar longitudinal.

Anyaman trabekula mengisi kelengkungan sudut filtrasi yang mempunyai duakomponen yaitu badan siliar dan uvea.Tekanan intraokular ditentukan oleh kecepatan terbentuknya cairan mata (aqueous humor) bola mata oleh badan siliar dan hambatan yang terjadi pada jaringan trabekular meshwork. Aqueous humor yang dihasilkan badan siliar masuk ke bilik mata belakang, kemudian melalui pupil menuju ke bilik mata depan dan terus ke sudut bilik mata depan, tepatnya ke jaringan trabekulum, mencapai kanal Schlemm dan melalui saluran ini keluar dari bola mata. Pada glaukoma sudut terbuka, kelainan terjadi pada jalinan trabekular, sedangkan sudut bilik mata terbuka lebar.

Jadi tekanan intraokuler meningkat, karena adanya hambatan outflow humor aqueos akibat kelainan mikroskopis pada jalinan trabekular. Pada glaukoma sudut tertutup, jalinan trabekular normal, sedangkan tekanan intraokuler meningkat karena obstruksi mekanik akibat penyempitan sudut bilik mata, sehingga outflow humor aqueous terhambat saat menjangkau jalinan trabekular.Keadaan seperti ini sering terjadi pada sudut bilik mata yang sempit (kadang-kadang disebut dengan “dangerous angle”).Penting untuk diketahui, jika sudut bilik mata tidak sempit atau sudut terbuka luas, perifer iris tidak kontak dengan perifer kornea, sehingga sudut bilik mata depan tidak tertutup dan glaukoma sudut tertutup tidak akan terjadi. Ini merupakan perbedaan dasar antara glaukoma sudut terbuka dengan glaukoma sudut tertutup. Ketika dislokasi lensa sebagai penyebab tertutupnya sudut bilik mata maka keadaan ini dikenal dengan glaukoma sudut tertutup sekunder .Jika glaukoma sudut tertutup tidak diketahui penyebabnya, kondisi ini dikenal dengan glaukoma sudut tertutup primer.

Apabila sudut bilik mata depan tertutup secara cepat dan berat, ini dikenal dengan glaukoma akut yang disertai dengan banyak gejala dan tanda. Apabila penutupan sudut bilik mata depan tidak sempurna dan kadang-kadang saja terjadi, ini dikenal dengan glaukoma sudut tertutup intermitten atau glaukoma sudut tertutup kronik, dan disertai dengan sedikit gejala. Apabila glaukoma sudut tertutup intermitten yang tidak mempunyai gejala, ini dikenal dengan glaukoma sudut tertutup kreeping.

Satu hal penting untuk diketahui bahwa tidak semua sudut bilik mata sempit akan berkembang menjadi glaukoma akut, dapat terjadi hanya sebagian kecil saja, terutama pada mata yang pupilnya berdilatasi sedang (3,0 – 4,5mm) yang dapat memungkinkan terjadinya blok pupil sehingga dapat berlanjut menjadi sudut tertutup. Akibat terjadinya blok pupil, maka tekanan intraocular lebih tinggi di bilik mata belakang daripada bilik mata depan. Jika blok pupil semakin berat tekanan intraokuler di bilik mata belakang semakin bertambah, sehingga konveksivitas iris semakin bertambah juga, ini dikenal dg iris bombe, yang membuat perifer iris kontak dengan jalinan trabekuler, dan menyebabkan sudut bilik mata depan

35

Page 36: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

tertutup. Jika tekanan intraokuler meningkat secara drastic akibat sudut tertutup komplit maka akan terjadi glaukoma akut.

Mekanisme lain yang dapat menyebabkan glaukoma akut adalah: plateau iris dan letak lensa lebih ke anterior. Pada keadaan seperti ini juga sering terjadi blok pupil.

Gambaran KlinisSebelum penderita mendapat serangan akut, ia mengalami serangan prodormal,

meskipun tidak selalu demikian.a) Fase Prodormal (Fase Nonkongestif). Pada stadium ini terdapat penglihatan

kabur, melihat halo (gambar pelangi) sekitar lampu atau lilin, disertai sakit kepala, sakit pada mata dan kelemahan akomodasi. Keadaan ini berlangsung 0,5-2 jam. Bila serangannya reda, mata menjadi normal kembali.

b) Fase Glaukoma Akut (Fase Kongestif). Pada stadium ini penderita tampak sangat payah, memegangi kepalanya karena sakit hebat. Jalannya dipapah, karena tajam penglihatannya sangat turun, muntah-muntah, mata hiperemis dan fotofobia. Karenanya sering disangka bukan menderita sakit mata, melainkan suatu penyakit sistemik.

Glaukoma akut menyebabkan visus cepat menurun, disertai sakit hebat di dalam matayang menjalar sepanjang Nervus cranial V, sakit kepala, mual muntah, tampak warna pelangi di sekitar lampu. Diagnosisa) Slit-lamp Biomikroskopi

Konjungtiva bulbi: hiperemia kongestif, kemotis dengan injeksi silier,injeksi konjungtiva, injeksi epislera.

Kornea: edema dengan vesikel epithelial dan penebalan struma, keruh, insensitif karena tekanan pada saraf kornea.

Bilik mata depan: dangkal dengan kontak iridokorneal perifer. Flare dan sel aqueous dapat dilihat setelah edem kornea dapat dikurangi.

Iris: gambaran corak bergaris tak nyata karena edema, berwarna kelabu, dilatasi pembuluh darah iris.

Pupil: oval vertikal, tetap pada posisi semi-dilatasi, kadang-kadang didapat midriasis yang total, warna kehijauan, tidak ada reaksi terhadap cahaya dan akomodasi.

b) Tonometri Schiotz. Normal TIO: 10-21mmHg, pada glaukoma akut dapat mencapai 50-100 mmHg.

c) Funduskopi: papil saraf optik menunjukan penggaungan dan atrofi, seperti pada glaukoma simpleks. Sehingga cup disk ratio membesar (N = <0,4) (gambar 3 dan4). Sering juga ditemukan optic-disk edema dan hiperemis

d) GonioskopiPemeriksaan gonioskopi adalah tindakan untuk melihat sudut bilik mata

dengan goniolens. Gonioskopi adalah suatu cara untuk melihat langsung keadaan patologik sudut bilik mata, juga untuk melihat hal-hal yang terdapat pada sudut bilik mata seperti benda asing. Dengan gonioskopi dapat ditentukan klasifikasi glaukoma penderita apakah glaukoma terbuka atau glaukoma sudut tertutup dan mungkin dapat menerangkan penyebab suatu glaukoma sekunder,

Pemeriksaan gonioskopi ditunda sampai edem kornea berkurang, salah satunyadengan obat yang dapat menurunkan tekanan intraocular, misalnya dengan gliserin topical atau saline hipertonik salap mata.

36

Page 37: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

e) Tes provokasi, dilakukan pada keadaan yang meragukan.Tes yang dilakukan : tes kamar gelap, tes midriasis, tes membaca, tes bersujud (prone test). Untuk glaucoma sudut tertutup, yang umum dilakukan adalah tes kamar gelap (karena pupil akan midriasis dan pada sudut bilik mata yang sempit, ini akan menyebabkan tertutupnya sudut bilik mata). Caranya adalah ukur TIO awal, kemudian pasien masuk kamar gelap selama 60-90 menit. Ukur segera TIOnya. Kenaikan 8 mmHg, tes provokasi (+).

Pencegahana) Deteksi dini

Salah satu satu cara pencegahan glaukoma adalah dengan deteksi sedini mungkin. Tidak ada tindakan yang dapat mencegah terjadinya glaukoma sudut terbuka. Jika penyakit ini ditemukan secara dini, maka hilangnya fungsi penglihatan dan kebutaan bisa dicegah dengan pengobatan. Orang-orang yang memiliki resiko menderita glaukoma sudut tertutup sebaiknya menjalani pemeriksaan mata yang rutin dan jika resikonya tinggi sebaiknya menjalani iridotomi untuk mencegah serangan akut.

Mengingat hilangnya penglihatan secara permanen yang disebabkan oleh glaukoma, sebaiknya setiap orang memperhatikan kesehatan matanya dengan cara melakukan pengukuran tekanan bola mata secara rutin setiap 3 tahun, terutama bagi orang yang usianya di atas 40 tahun.

Faktor risiko lain yang perlu diwaspadai adalah mereka yang memiliki riwayat keluarga penderita glaukoma, mata minus tinggi atau plus tinggi (miopia), serta penderita penyakit sistemik seperti diabetes atau kelainan vaskular (jantung). Pemeriksaan mata rutin yang disarankan adalah setiap enam bulan sekali, khususnya bagi orang dengan risiko tinggi. Untuk mengukur tekanan bola mata kerusakan mata yang diderita dilakukan tes lapang pandang mata.

Sebaiknya diperiksakan tekanan bola mata bila mata kemerahan dan sakit kepala berat.

b) Nutrisi yang adekuat (banyak mengandung vitamin A dan Beta Karoten) Faktor risiko pada seseorang yang bisa menderita glaukoma adalah seperti

diabetes mellitus dan hipertensi, untuk itu bagi yang menderita diabetes mellitus dianjurkan untuk mengurangi mengkonsumsi gula agar tidak terjadi komplikasi glaukoma, sedangkan untuk penderita hipertensi dianjurkan untuk diet rendah garam karena jika tekanan darah naik cepat akan menaikkan tekanan bola mata.

c) Gaya Hidup (Life style) yang sehat, seperti menghindari merokok dan olahraga teratur. Olahraga dapat merendahkan tekanan bola mata sedikit.

d) Pencegahan lanjutan bagi yang sudah menderita glaukoma agar tidak bertambah parah/untuk mencegah tingginya tekanan intraokuler yaitu : Mengurangi stress Hindari membaca dekat karena pupil akan menjadi kecil sehingga glaucoma

akan memblok pupil Hindari pemakaian obat simpatomimetik karena pupil akan melebar

(dilatasi) Diet rendah natrium Pembatasan kafein

37

Page 38: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Mencegah konstipasi Mencegah manuver valsava seperti batuk, bersin, dan mengejan karena

akan meningkatkan TIO Menempatkan pasien dalam posisi supinasi dapat membantu pasien merasa

nyaman dan mengurangi tekanan intra okular. Diyakini juga bahwa dengan posisi supinasi, lensa jatuh menjauh dari iris yang mengurangi blok pupil.

Penatalaksanaana) Terapi medikamentosa

Penatalaksanaan Glaukoma sudut tertutup terdiri dari mengurangi tekanan intra okular, menekan inflamasi, dan pemulihan sudut tertutup.

Agen osmoticAgen ini lebih efektif untuk menurunkan tekan intra okuler dan efeknya menjernihkan kornea, pemberiannya dianjurkan kepada pasien yang tidak mengalami emesis. Agen-agen hiperosmotik berguna untuk mengurangi volume vitreus, yang kebalikannya, menurunkan tekanan intraokular. Penurunan tekanan intra okular memulihkan iskemia iris dan memperbaiki kepekaan terhadap pilokarpin dan obat-obat lainnya. Agen-agen osmotic menyebabkan diuresis osmotic dan mengurangi cairan tubuh total. Agen-agen tersebut tidak boleh digunakan pada pasien penyakit jantung dan penyakit ginjal.

GliserinDosis efektif 1-1,5 gr/kgBB dalam 50% cairan. Selama penggunaanya gliserin dapat menyebabkan hiperglikemia dan dehidrasi. Hati-hati terhadap pasien diabetes dan lansia dengan gagal ginjal serta penyakit kardiovaskular karena agen ini sendiri dapat menyebabkan mual muntah. Menurunkan tekanan intraokular dalam waktu 30-90 menit setelah pemberian.

Manitol Dosis 1-2 gram/kgBB dalam 50% cairan. Aman digunakan pada pasien diabetes karena tidak dimetabolisme. Puncak efek hipotensif okular terlihat dalam 1-3 jam. Bila tidak dapat diberikan oral (mis : mual muntah) dapat diberikan secara intravena dalam 20% cairan dengan dosis 2 gr/kgBB selama 30 menit. Maksimal penurunan tekanan dijumpai dalam 1 jam setelah pemberian iv. Pada penderita payah jantung pemberian manitol berbahaya, karena volume darah yang beredar meningkat sehingga memperberat kerja jantung yang telah gagal. Pemberian manitol juga dikontraindikasikan pada penyakit ginjal dengan anuria, kongesti atau udem paru yang berat, dehidrasi hebat, dan perdarahan intra kranial, kecuali bila akan dilakukan kraniotomi, serta pada pasien yang hipersensitivitas terhadap manitol.

Ureum intravenaDosis 1-1,5 g/kg i.v. Tidak seefektif manitol karena berat molekulnya lebih rendah sehingga lebih cepat dipenetrasi pada mata. Penggunaannya harus dengan pengawasan ketat untuk menghindari komplikasi kardiovaskuler.

Karbonik Anhidrase Inhibitor

38

Page 39: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Mengurangi produksi aqueous humor dengan menghambat karbonik anhidrasedi badan siliar sehingga mengurangi TIO secara cepat

AsetazolamideMerupakan pilihan yang sanagat tepat untuk pengobatan darurat pada glaucoma akut. Acetazolamide sebaiknya diberikan dengan dosis awal 500 mg IV yang diikuti dengan 500 mg/oral. Sekarang diketahui bahwa karbonik anhydrase inhibitor oral sedikit atau tidak ada sama sekali efek samping sistemik.

MethazolamideDosis 50-100 mg p.o. 2 atau 3 kali sehari (total tidak lebih dari 600mg/hari)

DorzolamideBerbeda dengan obat-obat yang lebih tua, Dorzolamide sanggup menerobos kedalam mata dengan aplikasi topical.

DichlorphenamideDosis awal 100-200mg per oral, diikuti 100 mg setiap 12 jam sampai tercapai respons yang diinginkan. Dosis pemeliharaan (maintenance) yang biasa untuk glaukoma adalah 25-50 mg 3 atau 4 x/hari. Dosis harian total tidak melebihi 300mg.

BrinzolamideBrinzolamide adalah penghambat karbonik anhidrasi yang digunakan pada mata dengan kadar 1%. Brinzolamide digunakan untuk mengobati tekanan yang meningkat pada mata karena glaukoma sudut terbuka. Brinzolamide juga digunakan untuk mengatasi kondisi yang disebut hipertensi pada mata.

Miotik kuat (Parasimpatomimetik)Pilokarpin 2% atau 4%setiap 15 menit sampai 4 kali pemberian sebagai inisial terapi. Tidak efektif pada serangan yang sudah lebih dari 1-2 jam. Hal ini karena muskulus sphingter pupil sudah iskemik sehingga tidak dapat merespon pilokarpin.

Beta blockerBekerja dengan cara mengurangi produksi aqueous humor. Levobunolol 0,25%, 0,5% Betaxolol HCl

Betaxolol HCl adalah penghambat reseptor beta1 selektif yang digunakan untuk pengobatan glaukoma dalam bentuk sediaan gel untuk mata dengan kadar 0,1%dan tetes mata dengan kadar 0,5%.

Timolol maleat Merupakan beta bloker tetes mata nonselektif. Sebagai inisial terapi dapatdiberikan 2 kali dengan interval setiap 20 menit dan dapat diulang dalam 4, 8 dan12 jam kemudian. Tersedia dalam bentuk tetes mata dengan kadar 0,25%, 0,5%dan 0,68%.

Alpha adrenergic agonistDapat ditambahkan untuk lebih mengurangi produksi aqueous humor dan mengurangi hambatan outflow aqueous.

39

Page 40: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

BrimonidineApraclonidine 0,5%, 1%

Analog ProstaglandinLatanoprost 0,005%Merupakan senyawa analog prostaglandin yang dapat menurunkan tekanan intraokuler dengan cara meningkatkan outflow aqueous humor. Dosis 1 tetes/ hari. Tersedia dalam bentuk tetes mata dengan kadar 0,005%, dan juga dikombinasi dengan Timolol maleate.

Kortikosteroid TopikalInflamasi merupakan bagian penting dari patofisiologi dan timbulnya gejala. Steroid topical mengurangi reaksi inflamasi dan kerusakan nervus optikus. Prednisolon asetat 1% digunakan selama 1 minggu pasca operasi iridektomi. Diberikan sebagai pengganti obat-obat antiglaukoma yang digunakan saat serangan akut sebelumnya.

Observasi respon TerapiMerupakan periode penting untuk melihat respon terapi yang dapat

menyelamatkan visus penderita, sehingga keputusan harus segera dibuat (palingkurang dalam 2 jam setelah mendapat terapi medikamentosa intensif), untuk tindakan selanjutnya, observasinya meliputi:1) Monitor ketajaman visus, edem kornea dan ukuran pupil2) Ukur tekanan intraokuler setiap 15 menit (terbaik dengan tonometer aplanasi)3) Periksa sudut dengan gonioskopi, terutama apabila tekanan

intraokulernyasudah turun dan kornea sudah mulai jernih.Pada masa observasi ini yang dilihat adalah respon terapi. Respon terapi bisa baik, jelek, ataupun sedang. Bila respon terapi baik maka akan terjadi perbaikanvisus, kornea menjadi jernih, pupil kontriksi, tekanan intraokuler menurun, dansudutnya terbuka kembali. Pada keadaan ini dapat dilakukan penatalaksaan lebih lanjut.

ParasintesisJika pemakaian terapi medikamentosa secara intensif masih dianggap lambat

dalam menurunkan tekanan intraokuler ke tingat yang aman dan kadang-kadang justru setelah pemberian 2 atau 4 jam masih tetap tinggi. Sekarang ini mulai diperkenalkan cara menurunkan tekanan intraokuler yang cepat dengan tekhnik parasintesis. Pada prosedur ini, mata dilakukan anestesi lokal sebelumnya, lalu jarum dimasukkan ke dalam bilik mata depan untuk mengeluarkan cairan aqueous. Cairan disedot sebanyak 0,05 ml, sehingga secara cepat dapat mengurangi tekanan di mata. Cara ini jg dapat menghilangkan rasa nyeri dengan segera pada pasien Bedah Laser.

Bedah LaserLaser Iridektomi

Terapi ini digunakan untuk mengurangi tekanan dangan mengeluarkan bagianiris untuk membangun kembali outflow aqueus humor. Indikasi Iridektomi diindikasikan untuk glaukoma sudut tertutup dengan blok pupil, iridektomi juga diindikasikan untuk mencegah terjadinya blok pupil pada mata yang beresiko yang

40

Page 41: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

ditetapkan melalui evaluasi gonioskopi. Laser iridektomi juga dilakukan pada serangan glaukoma akut dan pada mata kontra-lateral dengan potensial glaucoma akut.

Kontraindikasi Iridektomi laser tidak dapat dilakukan pada mata dengan rubeosis iridis karena dapat terjadi perdarahan. Resiko perdarahan juga meningkat pada pasien yang menggunakan anti-koagulan sistemik, seperti aspirin. Walaupun laser iridektomi tidak membantu dalam kasus glaukoma sudut tertutup yang disebabkan oleh mekanisme blok pupil, tetapi kadang-kadang laser iridektomi perlu dilakukan unutk mencegah terjadinya blok pupil pada pasien dengan sudut bilik mata tertutup.

Laser iridoplastiMerupakan tindakan alternatif jika tekanan intraokular gagal diturunkan secara

intensif dengan terapi medika mentosa bila tekanan intraokularnya tetap sekitar 40 mmHg, visus jelek, kornea edema, dan pupil tetap dilatasi. Pada laser iridoplasti ini pengaturannya berbeda dengan pengaturan pada laser iridektomi. Disini pengaturannya dibuat sesuai untuk membakar iris agar otot sfingter iris berkontraksi sehingga iris bergeser kemudian sudut pun terbuka. Agar laser iridoplasti berhasil, maka titik tembakan harus besar, powernya rendah, dan waktunya lama.

Bedah insisiIridektomi insisi dilakukan pada pasien yang tidak berhasil dengan tindakan

laser iridektomi seperti: Pada situasi iris tidak tidak dapat dilihat dengan jelas karena edema kornea,

hal inisering terjadi pada pasien glaukoma akut berat yang berlangsung 4-8 minggu.

Sudut bilik mata depan dangkal, dengan kontak irido-korneal yang luas Pasien yang tidak kooperatif Tidak tersedianya peralatan besar.

Iridektomi Bedah InsisiDikerjakan pada kasus glaukoma sudut tertutup sebagai tindakan pencegahan.

Dilakukan untuk mengangkat sebagian iris untuk memungkinkan aliran humor aqueus dari kamera posterior ke kamera anterior. Diindikasikan pada penanganan glaukoma dengan penyumbatan pupil bila pembedahan laser tidak berhasil atau tidak tersedia. Pupil dibuat semiosis mungkin dengan menggunakan miotik tetes atau asetilkolin intra kamera. Kemudian dilakukan insisi 3mm pada korneo-sklera 1mm dibelakang limbus. Insisi dilakukan agar iris prolaps. Bibir insisi bagian posterior ditekan sehingga iris perifer hampir selalu prolaps lewat insisi dan kemudian dilakukan iridektomi. Bibir insisi posterior ditekan lagi diikuti dengan reposisi pinggir iridektomi. Luka insisi kornea ditutup dengan satu jahitan atau lebih, dan bilik mata depan dibentuk kembali. Setelah operasi selesai, fluoresen sering digunakan untuk menentukan ada tidaknya kebocoran pada bekas insisi. Oleh karena kebocoran dapat meningkatkan komplikasi seperti bilik mata depan dangkal.

TrabekulektomiDilakukan untuk menciptakan saluran pengaliran baru melalui sklera. Dilakukan

dengan melakukan diseksi flap ketebalan setengah (half-tickness) sclera dengan

41

Page 42: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

engsel di limbus. Satu segmen jaringan trabekula diangkat, flap sklera ditutup kembali dan konjungtiva dijahit rapat untuk mencegah kebocoran cairan aqueus. Trabekulektomi meningkatkan aliran keluar humor aqueus dengan memintas struktur pengaliran yang alamiah. Ketika cairan mengalir melalui saluran baru ini, akan terbentuk bleb (gelembung). Dapat diobservasi pada pemeriksaan konjungtiva. Persiapan sebelum operasi yaitu pembahasan ditujukan untuk memperbaiki penglihatan dan biasanya dikerjakan secara berencana, kecuali pada kasus-kasus yang tidak biasa, misalnya lensa hipermature yang sejak awal telah memberikan ancaman terjadinya rupture. Indikasi tindakan trabekulektomi dilakukan pada keadaan glaukoma akut yang berat atau setelah kegagalan tindakan iridektomi perifer. Komplikasi: setelah prosedur filtrasi meliputi hipotoni (TIO rendah yang tidak normal), hifema(darah di kamera anterior mata), infeksi dan kegagalan filtrasi.

Ekstraksi lensaApabila blok pupil jelas terlihat berhubungan dengan katarak, ekstraksi

lensadapat dipertimbangkan sebagai prosedur utama. Walaupun iridektomi laser dapat menghentikan serangan akut akibat blok pupil, namun operasi katarak baik dilakukan agar lebih aman untuk waktu yang akan datang.

Tindakan profilaksisTindakan profilaksis terhadap mata normal kontralateral dilakukan laser

iridektomi profilaksis, ini lebih disukai daripada perifer iridektomi bedah, yang dilakukan pada mata kontralateral yang tidak mempunyai symptom.

3) Ablasio RetinaMerupakan penyakit mata gawat darurat, penderita mengeluh ada kabut

dilapangan pandangnya secara mendadak seperti selubung hitam. Kalau mengenai makula lutea maka visusnya mundur sekali, bila ditanya mungkin ditemukan gejala ada bintik hitam sebelumnya dan penderita miopia tinggi. Ablasia retina adalah suatu penyakit dimana lapisan sensorik dari retina lepas. Lepasnya bagian sensorik retina ini biasanya hampir selalu didahului oleh terbentuknya robekan atau lubang didalam retina ,lepasnya lapisan saraf retina dari epitelium. Penyakit ini harus dioperasi, penderita tidak boleh terlalu banyak bergerak dan goyang supaya bagian retina yang sudah lepas, tidak bertambah lepas lagi.

PatogenesisRuangan potensial antara neuroretina dan epitel pigmennya sesuai dengan

rongga vesikel optik embrionik. Kedua jaringan ini melekat longgar pada mata yang matur dapat berpisah.

1) Jika terjadi robekan pada retina, sehingga vitreous yang mengalami likuifikasi dapat memasuki ruangan subretina dan menyebabkan ablasio progresif (ablasio retina regmatogenosa)

2) Jika retina tertarik oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan retina (misal seperti pada retinopati proliferatif pada diabetes mellitus (ablasio retina traksional)).

3) Walaupun jarang terjadi, bila cairan berakumulasi dalam ruang subretina akibat proses eksudasi, yang dapat terjadi selama toksemia pada kehamilan (ablasio retina eksudatif). Robekan pada retina paling sering berkaitan dengan onset

42

Page 43: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

ablasio vitreus posterior. Ketika gel vitreus terpisah dari retina, traksi yang dihasilkan ( traksi vitreus ) menjadi lebih terlokalisasi dan lebih besar. Kadang cukup untuk untuk menyebabkan robekan retina. Kelemahan retina perifer dasar seperti generasi latis, meningkatkan kemungkinan terjadinya robekan ketika vitreus menarik retina.

DiagnosisDiagnosis ablasi retina ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan

pemeriksaan mata meliputi :a) Anammesis

Dari anamnesis pada pasien ablasio retina akan didapatkan : Adanya riwayat trauma Penglihatan kabur Rasa nyeri Rasa mata berpasir Rasa mengganjal Lakrimasi

b) Inspeksi Pemeriksaan visus dapat terjadi penurunan tajam penglihatan akibat

terlibatnya makula lutea ataupun terjadi kekeruhan media penglihatan atau badan kaca yang menghambat sinar masuk. Tajam penglihatan akan sangat menurun bila makula lutea ikut terangkat.

Pemeriksaan lapangan pandang akan terjadi lapangan pandang seperti tertutup tabir dan dapat terlihat skotoma relatif sesuai dengan kedudukan ablasi retina, pada lapangan pandang akan terlihat adanya pijaran api seperti halilintar kecil dan fotopsia.

Pemeriksaan funduskopi yaitu salah satu cara terbaik untuk mendiagnosis ablasi retina dengan menggunakan binocular inderek oftalmoskop. Pada pemeriksaan ini ablasi retina dikenali dengan hilangnya refleks fundus dan pengangkatan retina. Retina tampak keabu-abuan yang menutupi gambaran vaskuler koroid. Jika terdapat akumulasi cairan bermakna pada ruang subretina ( ablasi retina bulosa ), didapatkan pergerakan undulasi retina ketika mata bergerak. Suatu robekan pada retina terlihat agak merah muda karena terdapat pembuluh koroid dibawahnya.Mungkin didapatan debris terkait pada vitreus yang terdiri dari darah ( perdarahan vitreus ) dan pigmen, atau ruang retina dapat ditemukan mengambang bebas.

c) Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit

penyerta antara lain glaukoma, diabetes melitus, kelainan darah. Pemeriksaan ultrasonografi yaitu ocular B-Scan ultrasonografi juga

digunakan untuk mendiagnosis ablasio retina dan keadaan patologis lain yang menyertainya seperti proliferative vitreotinopati, benda asing intraocular. Selain itu ultrasonografi juga digunakan untuk mengetahui kelainan yang menyebabkan ablasi retina eksudatif misalnya tumor, posterior skleritis.

Pemeriksaan angiografi fluoresin akan terlihat : Kebocoran didaerah parapapilar dan daerah yang berdekatan

dengan tempatnya ruptur, juga dapat terlihat

43

Page 44: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

Gangguan permeabiltas koriokapiler akibat rangsangan langsung badan kaca pada koroid,

Dapat dibedakan antara ablasi primer dan sekunder y Adanya tumor atau peradangan yang menyebabkan ablasi.

PenatalaksanaanPengobatan pada ablasi retina adalah pembedahan dan non pembedahan. Pada pembedahan ablasio retina dapat dilakukan dengan cara : a) Retinopeksi pneumatik

Retinopeksi pneumatik merupakan cara yang paling banyak pada ablasi regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada superior retina. Teknik pelaksanaan prosedur ini adalah dengan menyuntikkan gelembung gas kedalam vitreus. Gelembung gas ini akan menutupi robekan retina. Jika robekan dapat ditutupi oleh gelembung gas, cairan subretinal akan menghilang 1-2 hari. Robekan retina dapat juga dilekatkan dengan kriopeksi sebelum balon disuntikkan. Pasien harus mempertahankan posisi head precise selama 7-10 hari untuk menyakinkan gelembung terus menutupi robekan retina.

b) Scleral buckle Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina regmatogenosa terutama tanpa disertai komplikasi lainnya. Ukuran dan bentuk sabuk yang digunakan tergantung lokasi dan jumlah robekan retina. Sabuk ini biasanya terbuat dari spons silikon atau silikon padat. Pertama-tama dilakukan kryoprobe atau laser untuk memperkuat perlekatan antara retina sekitar dan epitel pigmen retina. Sabuk dijahit mengelililngi sclera sehingga terjadi tekanan pada robekan retina sehingga terjadi penutupan pada robekan tersebut. Penutupan retina ini akan menyebabkan cairan subretinal menghilang secara spontan dalam waktu 1-2 hari.

c) Vitrektomi Vitrektomi merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasi akibat diabetes, ablasio rhegmatogenous yang disertai traksi vitreus atau hemoragik vitreus. Cara pelaksanaannya yaitu dengan membuat insisi kecil pada bola mata kemudian memasukkan instrument hingga ke cavum melalui pars plana. Setelah itu pemotongan vitreus dengan pemotong vitreus. Kemudian teknik dan instrument yang digunakan tergantung tipe dan penyebab ablasio.

Pada non pembedahan terdiri atas : Konservatif yaitu penderita istirahat terutama tidak membaca, kedua mata diberi lubang pengintip.

Daftar Pustakahttp://emedicine.medscape.com/article/441124-overview#a0103 (Raymond Rackley, 2012)http://emedicine.medscape.com/article/441124-treatment#a1127 (Raymond Rackley, 2012)http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001063.htmhttp://www.urologyhealth.org/urology/index.cfm?article=99http://emedicine.medscape.com/article/451797-overview#a0104 (James M. Cummings, 2013)http://radiographics.rsna.org/content/28/6/1631.full

44

Page 45: Skenario 2 Emergency - Trauma Pelvis

faqudin.staff.umm.ac.id/.../PEMERIKSAAN-NEURO... (Faqih R, 2011)

G, Vaughan D. 2001. Oftalmologi Umum. Widya Medika: Jakarta.Ilyas, Sidarta. 2012. Ilmu Penyakit Mata Edisi Keempat. Badan Penerbit FKUI: Jakarta.Purwadianto, Agus. 2013. Kedaruratan Medik Edisi Revisi. Binarupa Aksara: Tanggerang Selatan.Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC: Jakarta.Price, Sylvia Anderson dan Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC: Jakarta.Anwar, Saiful. 2010. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Urologi Laboratorium Ilmu Bedah. Badan Penerbit FKUnibraw: Malang.

45