127299381 Trauma Pelvis SKENARIO B12 Blok Emergensi

33
I. Trauma Buli-buli I.1. Patofisiologi Trauma buli-buli adalah trauma yang sering disebabkan oleh rudapaksa dari luar dan sering didapatkan bersama fraktur pelvis. Fraktur macam ini dapat menyebabkan kontusio atau ruptur kandung kemih. Pada kontusio buli-buli hanya terjadi memar pada buli-buli dengan hematuria tanpa ekstravasasi urine. Trauma kandung kemih terbanyak karena kecelakaan lalu lintas yang disebabkan fragmen patah tulang pelvis (90%) yang mencederai buli-buli. Trauma tumpul menyebabkan rupture buli- buli terutama bila vesica urinaria penuh atau terdapat kelainan patologik seperti tuberculosis, tumor, atau obstruksi sehingga trauma kecil sudah menyebabkan rupture. Ruptur buli-buli dapat juga terjadi secara spontan, hal ini biasanya terjadi jika sebelumnya terdapat kelainan pada dinding vesica urinaria. Fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars membranasea karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke kranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat diafragma urogenital. Bila buli-buli yang penuh dengan urine mengalami trauma, maka akan terjadi peningkatan tekanan intravesikel yang dapat menyebabkan contosio buli-buli / buli-buli pecah. Keadaan ini dapat menyebabkan ruptura intraperitoneal. Ruptur kandung kemih intraperitoneal dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsang peritonium termasuk defans muskuler dan sindrom ileus paralitik. I.2. Manifestasi Klinis 1 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229

Transcript of 127299381 Trauma Pelvis SKENARIO B12 Blok Emergensi

I. Trauma Buli-buli1.1. Patofisiologi

Trauma buli-buli adalah trauma yang sering disebabkan oleh rudapaksa dari luar dan sering didapatkan bersama fraktur pelvis. Fraktur macam ini dapat menyebabkan kontusio atau ruptur kandung kemih. Pada kontusio buli-buli hanya terjadi memar pada buli-buli dengan hematuria tanpa ekstravasasi urine.

Trauma kandung kemih terbanyak karena kecelakaan lalu lintas yang disebabkan fragmen patah tulang pelvis (90%) yang mencederai buli-buli. Trauma tumpul menyebabkan rupture buli-buli terutama bila vesica urinaria penuh atau terdapat kelainan patologik seperti tuberculosis, tumor, atau obstruksi sehingga trauma kecil sudah menyebabkan rupture.Ruptur buli-buli dapat juga terjadi secara spontan, hal ini biasanya terjadi jika sebelumnya terdapat kelainan pada dinding vesica urinaria. Fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars membranasea karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke kranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat diafragma urogenital. Bila buli-buli yang penuh dengan urine mengalami trauma, maka akan terjadi peningkatan tekanan intravesikel yang dapat menyebabkan contosio buli-buli / buli-buli pecah. Keadaan ini dapat menyebabkan ruptura intraperitoneal. Ruptur kandung kemih intraperitoneal dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsang peritonium termasuk defans muskuler dan sindrom ileus paralitik.

1.2. Manifestasi KlinisTrauma buli-buli

Umumnya fraktur tulang pelvis disertai perdarahan hebat.

Nyeri suprapubik

Ketegangan otot dinding perut bawah

Hematuria

Ekstravasasi kontras pada sistogram.

Ruptur buli-buli

Ruptur kandung kemih intraperitoneal dapt menimbulkan gejala dan tanda rangsang peritoneum termasuk defans muskuler dan sindrome ileus paralitik.

Ruptur ekstraperitoneal saluran kemih dapat menimbulkan gejala dan tanda infiltrasi urin retroperitoneal yang mudah menimbulkan septisemia

1.3. Diagnosis Pemeriksaan pencintraan berupa sistografi, yaitu dengan memasukkan kontras ke dalam buli-buli sebanyak 300-400ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-uretrum. Kemudian dibuat beberapa foto, yaitu (1) foto pada saat bulu-buli terisi kontras dalam posisi anterior posterioi (AP), (2) pada posisi oblik, dan (3) wash out film yaitu foto setelah kontras dikeluarkan dari bui-buli. Jika didapatkan robekan pada buli-buli, terlihat ekstravasasi kontras didalam rongga perivesikel yang merupakan tanda adanya robekan ekstraperitoneal. Jika terdapat kontras yang terdapat pada sela-sela usus berarti ada robekan buli-buli intraperitoneal.

Di daerah yang jauh dari pusat rujukam dan tidak ada sarana untuk melakukan sistograf dapat diuji coba pembilasan buli-buli, yaitu dengan memasukkan cairan garam fisiologis steril kedalam buli-buli sebanyak 300ml kemudian cairan dikeluarkan lagi. Jika cairan tidak keluar atau keluar tetapi kurang dari volume yang dimasukkan, kemungkinan besar ada robekan pada buli-buli.

1.4. Penatalaksanaan Pada kontusia buli-buli, cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk memberikan istirahat pada buli-buli. Diharapkan buli-buli sembuh setelah 7-10 hari

Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi laparotomi untuk mencari robekan pada buli-buli serta kemungkinan cedera pada organ lain. Jika tidak dioperasi ekstravasasi urin ke rongga intraperitoneum dapat menyebabkan peritonitis

Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana dianjurkan untuk memasang kateter selama 7-10 hari dan dilakukan penjahitan luka dengan pemasangan kateter sistostomi.

1.5. KomplikasiPada cedera buli-buli ekstraperitoneal, ekstravasasi urin ke rongga pelvis yang dibiarkan dalam waktu lama dapat menyebabkan infeksi dan abses pelvis. Yang lebih berat lagi adalah robekan buli-buli intraperitoneal. Jika tidak segera dilakukan operasi, dapat menimbulkan peritonitis akibat dari ekstravasisi urine pada rongga intra peritoneum. Kedua keadaan ini dapat menyebabkan sepsis yang dapat mengancam jiwa. Kadang-kadang dapat pula terjadi penyulit berupa gangguan miksi, yaitu frekuensi dan urgensi yang biasanya akan sembuh selama 2 bulan.II. Trauma Uretra2.1. Etiologi

Trauma urethra biasanya terjadi pada pria dan jarang terjadi pada wanita. Sering ada hubungan dengan fraktur pelvis dan straddle injury. Urethra pria terdapat dua bagian yaitu :

Anterior, terdiri dari : urethra pars granularis, pars pendularis, dan pars bulbosa

Posterior, terdiri dari : pars membranacea dan pars prostatika

Etiologi

Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar. Cedera iatrogenic akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis yang menyebabkan ruptur uretra pars membranasea. Trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan rupture uretra pars bulbosa. Pemasangan kateter yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan urethra karena false route atau salah jalan.2.2. Klasifikasi

Trauma uretra posterior, yang terletak proksimal diafragma urogenital. Trauma uretra anterior, yang terletak distal diafragma urogenital.Derajat cedera urtera dibagi dalam 3jenis :

Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (peregangan). Pada foto uretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi, dan urethra hanya tampak memanjang.

Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea, sedangkan diafragma urogenital masih utuh. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras yang masih terbatas di atas diafragma urogenitalis.

Uretra posterior, diafragma genitalis, uretra pars bulbosa sebelah proksimal ikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras meluas hingga dibawah diafragma urogenital sampai ke perineum.

2.3. Patofisiologi

Cedera dapat menyebabkan memar dinding dengan atau tanpa robekan mukosa baik parsial atau total. Rupture uretra hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars membranasea karena prostat dengan uretra prostatica tertarik ke cranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranosa terikat di diafragma urogenital. Rupture uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-buli dan prostat terlepas ke cranial.

Uretra anterior terbungkus di dalam corpus spongiosum penis. Korpus spongiosum bersama dengan corpora cavernosa penis dibungkus oleh fasia buck dan fasia colles. Jika terjadi rupture uretra beserta corpus spongiosum, darah dan urine keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia buck dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun, jika fasia buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia colles, sehingga dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma.

2.4. Manifestasi Klinis Pada rupture uretra posterior, terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah dijumpai jejas, hematoma dan nyeri tekan. Bila disertai rupture kandung kemih bisa ditemukan tanda rangsangan peritoneum.

Pada rupture uretra anterior terdapat daerah memar atau hematom pada penis dan skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan tanda klasik cedera uretra. Bila terjadi trauma dan nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik. Pada perabaan ditemukan kandung kemih yang penuh.

2.5. Diagnosis Rupture uretra posterior harus dicurigai bila terdapat darah sedikit di meatus uretra disertai patah tulang pelvis.

Pada pemeriksaan colok dubur ditemukan prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diafragma urogenital. Kadang sama sekali tidak teraba lagi karena pindah ke cranial.

Pemeriksaan radiologi dengan menggunakan uretrogam retrograde dapat memberi keterangan letak dan tipe uretra.

2.6. Penatalaksanaan Jika dapat kencing dengan mudah, lakukan observasi saja. Jika sulit kencing atau terlihat ekstravasasi pada uretrogram usahakan memasukkan kateter foley sampai buli-buli. Jika gagal lakukan pembedahan sistosomi untuk manajemen aliran urin. Bila rupture uretra posterior tidak disertai cedera organ intraabdomen, cukup dilakukan sistosomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung dan pemasangan kateter silicon selama 3 minggu. Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2-3 hari kemudian, sebaiknya dipasang kateter secara langsir. Pada rupture uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra dengan anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal. Dipasang kateter silicon selama 3 minggu. Bila rupture parsial dilakukan sistostomi dan pemasangan kateter foley di uretra selama 7-10 hari, sampai terjadi epitelisasi uretra yang cedera. Kateter sistosomi baru dicabut bila saat kateter sistostomi diklem ternyata penderita bisa buang air kecil.2.7. Komplikasi

a) Trauma Uretra Anterior : perdarahan, infeksi/sepsis dan striktura urethra

b) Trauma Uretra Posterior : striktura uretra, impotensi dan inkontinensia

III. Kesadaran dan Cara Penilaiannya

3.1. Definisi Kesadaran dan Struktur di Serebral yang Berfungsi mengatur KesadaranKesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi dan waktu. Kesadaran secara sederhana dapat dikatakan sebagai keadaan dimana seseorang mengenal atau mengetahui tentang dirinya maupun lingkungannya. Penurunan kesadaran adalah keadaan dimana penderita tidak sadar dalam arti tidak terjaga atau tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu memberikan respons yang normal terhadap stimulus.Sistem aktivitas retikuler berfungsi mempertahankan kesadaran. Sistem ini terletak di bagian atas batang otak, terutama di mesensefalon dan hipothalamus. Lesi di otak, yang terletak di atas hipothalamus tidak akan menyebabkan penurunan kesadaran, kecuali bila lesinya luas dan bilateral. Lesi fokal di cerebrum, misalnya oleh tumor atau stroke, tidak akan menyebabkan coma, kecuali bila letaknya dalam dan mengganggu hipothalamus.3.2. Mekanisme Gangguan KesadaranPatofisiologi Lesi SupratentorialPada lesi supratentorial, gangguan kesadaran akan terjadi baik oleh kerusakan langsung pada jaringan otak atau akibat penggeseran dan kompresi pada ARAS karena proses tersebut maupun oleh gangguan vaskularisasi dan edema yang di- akibatkannya. Proses ini menjalar secara radial dari lokasi lesi kemudian ke arah rostro-kaudal sepanjang batang otak.

Gejala

gejala klinik akan timbul sesuai dengan perjalan proses tersebut yang dimulai dengan:

gejala neurologik fokal sesuai dengan lokasi lesi. Jika keadaan bertambah berat dapat

timbul sindroma diensefalon, sindroma meseisefalon bahkan sindroma ponto meduler dan deserebrasi Oleh kenaikan tekanan intrakranial dapat terjadi herniasi girus singuli di kolong falks serebri, herniasi transtentoril dan

herniasi unkus lobus temporalis melalui insisura tentorii.

Lesi infratentorialPada lesi infratentorial, gangguan kesadaran dapat terjadi karena kerusakan ARAS baik oleh proses intrinsik pada batang otak maupun oleh proses ekstrinsik

Gangguan difus (gangguan metabolik) Pada penyakit metabolik, gangguan neurologik umumnya bilateral dan hampir selalu simetrik. Selain itu gejala neurolo-giknya tidak dapat dilokalisir pada suatu susunan anatomik tertentu pada susunan saraf pusat.

Penyebab gangguan kesadaran pada golongan ini terutama akibat kekurangan O, kekurangan glukosa, gangguan sirkulasi darah serta pengaruh berbagai macam toksin. Kekurangan O2Otak yang normal memerlukan 3.3 cc O2/100 gr otak/menit yang disebut Cerebral Metabolic Rate for Oxygen (CMR O2).CMR O2 ini pada berbagai kondisi normal tidak banyak berubah. Hanya pada kejang- kejang CMR O2 meningkat dan jika timbul gangguan fungsi otak, CMR O2 menurun. Pada CMR O2 kurangdari 2.5 cc/100 gram otak/menit akan mulai terjadi gangguan mental dan umumnya bila kurang dari 2 cc O2/100 gram otak/menit terjadi koma. GlukosaEnergi otak hanya diperoleh dari glukosa. Tiap 100 gram otak memerlukan 5.5 mgr glukosa/menit. Menurut Hinwich pada hipoglikemi, gangguan pertama terjadi pada serebrum dan kemudian progresif ke batang otak yang letaknya lebih kaudal. Menurut Arduini hipoglikemi menyebabkan depresi selektif pada susunan saraf pusat yang dimulai pada formasio reti-kularis dan kemudian menjalar ke bagian-bagian lain.Pada hipoglikemi, penurunan atau gangguan kesadaran merupakan gejala dini.

Gangguan sirkulasi darahUntuk mencukupi keperluan dan glukosa, aliran darah ke otak memegang peranan penting. Bila aliran darah ke otak berkurang, dan glukosa darah juga akan berkurang

ToksinGangguan kesadaran dapat terjadi oleh toksin yang berasal dari penyakit metabolik dalam tubuh sendiri atau toksin yang berasal dari luar/akibat infeksi

3.3. Penilaian Kesadaran Baik secara Kualitatif dan Kuantitatif Terutama dengan Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale)

Penilaian secara kualitatif

Kualitas kesadaran atau isi kesadaran menunjukkan kemampuan dalam mengenal diri sendiri dan sekitarnya yang merupakan fungsi hemisfer serebri.

Dalam klinik dikenal tingkat-tingkat kesadaran : Kompos mentis, inkompos mentis (apati, delirium, somnolen, sopor, koma)

Kompos mentis :

Keadaan waspada dan terjaga pada seseorang yang bereaksi sepenuhnya dan adekuat terhadap rangsang visuil, auditorik dan sensorik.

Apatis :

sikap acuh tak acuh, tidak segera menjawab bila ditanya.

Delirium :

kesadaran menurun disertai kekacauan mental dan motorik seperti desorientasi, iritatif, salah persepsi terhadap rangsang sensorik, sering timbul ilusi dan halusinasi.

Somnolen :

penderita mudah dibangunkan, dapat lereaksi secara motorik atau verbal yang layak tetapi setelah memberikan respons, ia terlena kembali bila rangsangan dihentikan.

Sopor (stupor) :

penderita hanya dapat dibangunkan dalam waktu singkat oleh rangsang nyeri yang hebat dan berulang-ulang.

Koma :

tidak ada sama sekali jawaban terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun hebatnya

Penilaian secara kuantitatif(Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.

Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1 6 tergantung responnya.

Eye (respon membuka mata) :

(4) : spontan

(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).

(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)

(1) : tidak ada respon

Verbal (respon verbal) :

(5) : orientasi baik

(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi

tempat dan waktu.

(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak

dalam satu kalimat. Misalnya aduh, bapak)

(2) : suara tanpa arti (mengerang)

(1) : tidak ada respon

Motor (respon motorik) :

(6) : mengikuti perintah

(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang

nyeri)

(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat

diberi rangsang nyeri)

(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi

saat diberi rangsang nyeri).

(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari

mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).

(1) : tidak ada respon

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol EVM..Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.IV. Kegawatdaruratan Mata dan Trauma Tumpul pada MataKegawatdaruratan (emergency) di bidang oftalmologi (penyakit mata) diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:

1. Sangat Gawat

Yang dimaksud dengan keadaan "sangat gawat" adalah keadaan atau kondisi pasien memerlukan tindakan yang harus sudah diberikan dalam waktu beberapa menit. Terlambat sebentar saja dapat mengakibatkan kebutaan. Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah: luka bakar kimia (luka bakar kerena alkali/basa dan luka bakar asam)

2. Gawat

Yang dimaksud dengan keadaan "gawat" adalah keadaan atau kondisi pasien memerlukan penegakan diagnosis dan pengobatan yang harus sudah diberikan dalam waktu satu atau beberapa jam.Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah:

Laserasi kelopak mata

Konjungtivitis gonorhoe

Erosi kornea

Laserasi kornea

Benda asing di kornea

Descemetokel

Tukak kornea

Tukak atau ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat

kematian jaringan kornea.

Hifema

Hifema atau timbunan darah di dalam bilik mata depan. Terjadi akibat trauma tumpul

yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.

Skleritis (peradangan pada sklera)

Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada mata. Sklera bersama dengan jaringan uvea dan retina berfungsi sebagai pembungkus dan pelindung bola mata.

Iridosiklitis akut

Endoftalmitis

Endoftalmitis merupakan infeksi intraokular yang umumnya melibatkan seluruh jaringan segmen anterior dan posterior mata. Umumnya didahului oleh trauma tembus pada bola mata, ulkus kornea perforasi, riwayat operasi intraokuler (misalnya: ekstraksi katarak, operasi filtrasi, vitrektomi). Gejala klinis endoftalmitis adalah penurunan tajam penglihatan (visus menurun), mata merah, bengkak, nyeri.

Glaukoma kongestif

Glaukoma sekunder

Ablasi retina (retinal detachment)

Yaitu suatu keadaan terpisahnya (separasi) sel kerucut dan batang atau lapisan sensorik retina dengan sel epitel pigmen (retinal pigment epithelium atau RPE).

Selulitis orbita

Trauma tembus mata

Trauma radiasi

3. Semi GawatYang dimaksud dengan keadaan "semi gawat" adalah keadaan atau kondisi pasien memerlukan pengobatan yang harus sudah diberikan dalam waktu beberapa hari atau minggu.Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah: Defisiensi (kekurangan) vitamin A.

Sinonim (nama lain) untuk kondisi ini adalah: vitaminosis A, hypovitaminosis A.

Trakoma yang disertai dengan entropion.

Entropion adalah keadaan kelopak mata yang terbalik atau membalik ke dalam tepi jaringan, terutama tepi kelopak bawah. Namun pada trakoma, entropion terdapat pada kelopak atas.

Oftalmia simpatika

Yaitu peradangan granulomatosa yang khas pada jaringan uvea, bersifat bilateral, dan didahului oleh trauma tembus mata yang biasanya mengenai badan siliar, bagian uvea lainnya, atau akibat adanya benda asing dalam mata.

Katarak kongenital

Yaitu kekeruhan lensa mata yang timbul sejak lahir, dan merupakan salah satu penyebab kebutaan pada anak yang cukup sering dijumpai. Gejalanya: leukokoria (bercak putih), fotofobia (silau, dapat disertai atau tanpa rasa sakit), strabismus (juling), nystagmus (pergerakan bola mata yang involunter. Involunter maksudnya: tanpa sengaja, diluar kemauan; dapat teratur, bolak-balik, dan tidak terkendali).

Glaukoma kongenital

Glaukoma simpleks

Perdarahan badan kaca

Retinoblastoma (tumor ganas retina)

Yaitu jenis tumor ganas mata yang berasal dari neuroretina (sel kerucut dan batang).

Neuritis optika / papilitis

Eksoftalmus (bola mata menonjol keluar) atau lagoftalmus (kelopak mata tidak dapat menutup sempurna).

Tumor intraorbita

Perdarahan retrobulbar

Macam-macam bentuk trauma pada mata:

Fisik atau Mekanik

Trauma Tumpul, misalnya terpukul, kena bola tenis, atau shutlecock, membuka tutup botol tidak dengan alat, ketapel.

Trauma Tajam, misalnya pisau dapur, gunting, garpu, bahkan peralatan pertukangan.

Trauma Peluru, merupakan kombinasi antara trauma tumpul dan trauma tajam, terkadang peluru masih tertinggal didalam bola mata. Misalnya peluru senapan angin, dan peluru karet.

Khemis

Trauma Khemis basa, misalnya sabun cuci, sampo, bahan pembersih lantai, kapur, lem (perekat).

cuka, bahan asam-asam dilaboratorium, gas airmata.

Fisis

Trauma termal, misalnya panas api, listrik, sinar las, sinar matahari.

Trauma bahan radioaktif, misalnya sinar radiasi bagi pekerja radiologi.

Struktur wajah dan mata sangat sesuai untuk melindungi mata dari cedera.Bola mata terdapat di dalam sebuah rongga yang dikelilingi oleh bubungan bertulang yang kuat. Kelopak mata bisa segera menutup untuk membentuk penghalang bagi benda asing dan mata bisa mengatasi benturan yang ringan tanpa mengalami kerusakan.Meskipun demikian, mata dan struktur di sekitarnya bisa mengalami kerusakan akibat cedera, kadang sangat berat sampai terjadi kebutaan atau mata harus diangkat. Cedera mata harus diperiksa untuk menentukan pengobatan dan menilai fungsi penglihatan.Trauma tumpul, meskipun dari luar tidak tampak adanya kerusakan yang berat, tetapi transfer energi yang dihasilkan dapat memberi konsekuensi cedera yang fatal. Kerusakan yang terjadi bergantung kekuatan dan arah gaya, sehingga memberikan dampak bagi setiap jaringan sesuai sumbu arah trauma. Trauma tumpul dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

Kontusio, yaitu kerusakan disebabkan oleh kontak langsung dengan benda dari luar terhadap bola mata, tanpa menyebabkab robekan pada dinding bola mata Konkusio, yaitu bila kerusakan terjadi secara tidak langsung. Trauma terjadi pada jaringan di sekitar mata, kemudian getarannya sampai ke bola mata.

Baik kontusio maupun konkusio dapat menimbulkan kerusakan jaringan berupa kerusakan molekular, reaksi vaskular, dan robekan jaringan. Menurut Duke-Elder, kontusio dan konkusio bola mata akan memberikan dampak kerusakan mata, dari palpebra sampai dengan saraf optikus.

TRAUMA TUMPUL PADA MATA

Hematoma PalpebraHematoma palpebra yang merupakan pembengkakan atau penimbunan darah di bawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra. Hemat oma kelopak merupakan kelainan yang sering terlihat pada trauma tumpul kelopak. Trauma dapat akibat pukula tinju, ataupun benda-benda keras lainnya. Keadaan ini memberikan bentuk yang menakutkan pada pasien, dapat tidak berbahaya ataupun sangat berbahaya karena mungkin ada kelainan lain di belakangnya.

Bila perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan berbentuk kaca mata hitam yang sedang dipakai, maka keadaan ini diseut sebagai hematoma kaca mata. Hematoma kaca mata merupakan keadaan sangat gawat. Hematoma kaca mata terjadi akibat pecahnya arteri oftalmika yang merupakan tanda fraktur basis kranii. Pada pecahnya a.oftalmika maka darah masuk ke dalam kedua rongga orbita melalui fisura orbita. Akibat darah tidak dapat menjalar lanjut karena dibatasi septum orbita kelopak maka akan berbentuk gambaran hitam pada kelopak seperti seseorang memakai kaca mata.

Pada hematoma kelopak yang dini dapat diberikan kompres dingin untuk menghentikan perdarahan dan menghilangkan rasa sakit. Bila telah lama, untuk memudahkan absorpsi darah dapat dilakukan kompres hangat pada kelopak mata.

Trauma Tumpul Konjungtiva

Edema konjungtiva

Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi kemotik pada setiap kelainannya, demikian pula akibat trauma tumpul. Bila kelopak terpajan ke dunia luar dan konjungtiva secara langsung kena angin tanpa dapat mengedip, maka keadaan ini telah dapat mengakibatkan edema pada konjungtiva.

Kemotik konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpebra tidak menutup sehingga bertambah rangsangan terhadap konjugtiva. Pada edema konjungtiva dapat diberikan dekongestan untuk mencegah pembendungan cairan di dalam selaput lendir konjungtiva. Pada kemotik konjungtiva berat dapat dilakukan insisi sehingga cairan konjungtiva kemotik keluar melalui insisi tersebut.

Hematoma subkonjungtiva

Hematoma subkonjungtiva terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang terdapat pada atau di bawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera. Pecahnya pembuluh darah ini dapat akibat batuk rejan, trauma tumpul basis kranii (hematoma kaca mata), atau pada keadaan pembuluh darah yang rentan dan mudah pecah. Pembuluh darah akan rentan dan mudah pecah pada usia lanjut, hipertensi, arteriosklerose, konjungtiva meradang (konjungtivitis), anemia, dan obat-obat tertentu.

Bila perdarahan ini terjadi akiba trauma tumpul maka perlu dipastikan bahwa tidak terdapat robekan di bawah jaringan konjungtiva atau sklera. Kadang-kadang hematoma subkonjungtiva menutupi keadaan mata yang lebih buruk seperti perforasi bola mata. Pemeriksaan funduskopi adalah perlu pada setiap penderita dengan perdarahan subkonjungtiva akibat trauma. Bila tekanan bola mata rendah dengan pupil lonjong disertai tajam penglihatan menurun dan hematoma subkonjungtiva maka sebaiknya dilakukan eksplorasi bola mata untuk mencari kemungkinan adanya ruptur bulbus okuli.

Pengobatan dini pada hematoma subkonjungtiva ialah dengan kompres hangat. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1-2 minggu tanpa diobati.

Trauma tumpul pada kornea

Edema kornea

Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata dapat mengakibatkan edema kornea malahan ruptur membran descemet. Edema kornea akan memberikan keluhan penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat keruh, deng an uji plasido yang positif.Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan masuknya serbukan sel radang dan neovaskularisasi ke dalam jaringan stroma kornea. Pengobatan yang diberikan adalah larutan hipertonik seperti NaCl 5% atau larutan garam hipertonik 2-8%, glukose 40% dan larutan albumin.Bila terdapat peninggian tekanan bola mata maka diberikan asetazolamida. Pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki tajam penglihatan dengan lensa kontak lembek dan mungkin akibat kerjanya menekan kornea terjadi pengurangan edema kornea. Penyulit trauma kornea yang berat berupa terjadinya kerusakan M.descemet yang lama sehingga mengakibatkan keratopati bulosa yang akan memberikan keluhan rasa sakit dan menurunkan tajam penglihatan akibat astigmatisme iregular.

Erosi kornea

Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasya epitel kornea yang dapat diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa cedera pada membran basal. Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya dapat bermigrasi dengan cepat dan menutupi defek epitel tersebut. Pada erosi pasien akan merasa sakit sekali akibat erosi merusak ornea yang mempunyai serat sensibel yang banyak, mata berair, dengan blefarospasme, lakrimasi, fotofobia, dan penglihatan akan terganggu oleh media kornea yang keruh.

Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel kornea yang bila diberi pewarnaan fluoresein akan berwarna hijau. Pada erosi kornea perlu diperhatikan adalah adanya infeksi yang timbul kemudian.

Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan dan menghilangkan rasa sakit yang sangat. Hati-hati bila memakai obat anestetik topikal untuk menghilangkan rasa sakit pada pemeriksaan karena dapat menambah kerusakan epitel.

Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikupas. Untuk mencegah infeksi bakteri diberikan antibiotika seperti antibiotika spektrum luas neosporin, kloramfenikol, dan sulfasetamid tetes mata. Akibat rangsangan yang mengakibatkan spasme siliar maka diberikan sikloplegik aksi-pendek seperti tropikamida. Pasien akan merasa lebih tertutup bila dibebat tekan selama 24 jam. Erosi yang kecil biasanya akan tertutup kembali setelah 48 jam.

Erosi kornea rekuren

Erosi rekuren biasanya terjadi akibat cedera yang merusak membran basal atau tukak metaherpetik. Epitel yang menutup kornea akan mud ah lepas kembali di waktu bangun pagi. Terjadinya erosi kornea berulang akibat epitel tidak dapat bertahan pada defek epitel kornea. Sukarnya epitel menutupi kornea diakibatkan oleh terjadinya pelepasan membran basal epitel kornea tempat duduknya sel basal epitel kornea. Biasanya membran basal yang rusak akan kembali normal setelah 6 minggu.Pengobatan terutama bertujuan melumas permukaan kornea sehingga regenerasi tidak cepat terlepas untuk membentuk membran basal kornea. Pengobatan biasanya dengan memberikan sikloplegik untuk menghilangkan rasa sakit ataupun untuk mengurangkan gejala radang uvea yang mungkin timbul. Antibiotik diberikan dalam bentuk tetes dan mata ditutup untuk mempercepat tumbuh epitel baru dan mencegah infeksi sekunder. Biasanya bila tidak terjadi infeksi sekunder erosi kornea yang mengenai seluruh permukaan kornea akan sembuh dalam 3 hari. Pada erosi kornea tidak diberi antibiotik dengan kombinasi steroid.Pemakaian lensa kontak lembek pada pasien dengan erosi rekuren sangat bermanfaat, karena dapat mempertahankan epitel berada di tempat dan tidak dipengaruhi kedipan kelopak mata.

Trauma tumpul uvea

Iridoplegia

Trauma tumpul padda uvea dapat mengakibatkan kelumpuhan otot sfingter pupil atau iridoplegia sehingga pupil menjadi lebar atau midriasis.

Pasien akan sukar melihat dekat karena gangguan akomodasi, silau akibat gangguan pengaturan masuknya sinar pada pupil.

Pupil terlihat tidak sama besar atau anisokoria dan bentuk pupil dapat menjadi iregular. Pupil ini tidak bereaksi terhadap sinar. Iridoplegia akibat trauma akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pada pasien dengan iridoplegia sebaiknya diberi istirahat untuk mencegah terjadinya kelelahan sfingter dan pemberian roboransia.

Iridodialisis

Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris sehingga bentuk pupil menjadi berubah. Pasien akan melihat ganda dengan satu matanya.

Pada iridodialisis akan terlihat pupil lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi bersama-sama dengan terbentuknya hifema. Bila keluhan demikian maka pada pasien sebaiknya dilakukan pembedahan dengan melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas.

Iridosiklitis

Pada trauma tumpul dapat terjadi reaksi jaringan uvea sehingga menimbulkan iridosiklitis atau radang uvea anterior. Pada mata akan terlihat mata merah, akibat adanya darah di dalam bilik mata depan maka akan terdapat suar dan pupil yang mengecil dengan tajam penglihatan menurun.Pada uveitis anterior diberikan tetes mata midriatik dan steroid topikal. Bila terlihat tanda radang berat maka dapat diberikan steroid sistemik.

Sebaiknya pada mata ini diukur tekanan bola mata untuk persiapan memeriksa fundus dengan midriatika.

Trauma tumpul pada lensaDislokasi lensaTrauma tumpul lensa dapat mengakibatkan dislokasi lensa. Dislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula Zinn yang akan mengakibatkan kedudukan lensa terganggu.

Subluksasi lensa

Subluksasi lensa terjadi akibat putusnya sebagian zonula Zinn sehingga lensa berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita kelainan pada zonula Zinn yang rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang. Subluksasi lenssa akan memberikan gambaran pada iris berupa iridodonesis.

Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastis akan menjdai cembung, dan mata akan menjadi lebih miopik. Lensa yg menjadi sangat cembung mendorong iris ke depa sehingga bilik mata tertutup. Bila sudut bilik mata menjadi sempit pada mata ini mudah terjadi glaukoma sekunder.

Subluksasi dapat mengakibatkan glaukoma sekunder dimana terjadi penutupan sudut bilik mata oleh lensa yang mencembung. Bila tidak terjadi penyulit subluksasi lensa seperti glaukoma atau uveitis maka tidak dilakukan pengeluaran lensa dan diberi kaca mata koreksi yang sesuai.

Luksasi lensa anterior

Bila seluruh zonula Zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma maka lensa dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak di dalam bilik mata depan ini maka akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata sehingga akan timbul glaukoma kongestif akut dengan gejala-gejalanya.

Pasien akan mengeluh penglihatan menurun mendadak, disertai rasa sakit yang sangat, muntah, mata merah dengan blefarospasme. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema kornea, lensa di dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar. Tekanan bola mata sangat tinggi.

Pada luksasi lensa anterior sebaiknya pasien secepatnya dikirim pada dokter mata untuk dikeluarkan lensanya dengan terlebih dahulu diberikan asetazolamida untuk menurunkan tekanan bola matanya.

Luksasi lensa posterior

Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi luksasi lensa posterior akibat putusnya zonula Zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah polus posterior fundus okuli. Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangnya akibat lensa mengganggu kampus.

Mata ini akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau afakia. Pasien akan melihat normal dengan lensa +12.0 dioptri untuk jauh, bilik mata depan dalam dan iris tremulans. Lensa yang terlalu lama berada pada polus posterior dapat menimbulkan penyulit akibat degenerasi lensa, berupa glaukoma fakolitik ataupun uveitis fakotoksik. Bila luksasi lensa telah menimbulkan penyulit sebaiknya secepatnya dilakukan ekstraksi lensa.

Katarak trauma

Katarak akibat cedera pada mata dapat akibat trauma perforasi ataupun tumpul terlihat sesudah beberapa hari ataupun tahun. Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior ataupun posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat pula dalam bentuk katarak tercetak (imprinting) yang disebut cincin Vossius.

Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi kecil akan menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga bentuk kekeruhan terbatas kecil. Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan terbentuknya katarak dengan cepat disertai dengan terdapatnya masa lensa di dalam bilik mata depan.

Pada keadaan ini akan terlihat secara histopatologik masa lensa yang akan bercampur makrofag dengan cepatnya, yang dapat memberikan bentuk endoftalmitis fakoanafilaktik. Lensa dengan kapsul anterior saja yang pecah akan menjerat korteks lensa sehingga akan mengakibatkan apa yang disebut sebagai cincin Soemering atau bilaepitel lensa berproliferasi aktif akan terlihat mutiara Elsching.Pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat terjadinya. Bila terjadi pada anak sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah ambliopia pada anak dapat di pasang lensa intra okuler primer atau sekunder.

Pada katarak trauma apabila tidak terdapat penyulit maka dapat ditunggu sampai mata menjadi tenang. Bila terjadi peyulit seperti glaukoma, uveitis dan lain sebagainya maka segera dilakukan ekstraksi lensa. Penyulit uveitis dan glaukoma sering dijumpai pada orang usia tua. Pada beberapa pasien dapat terbentuk cincin Soemmering pada pupil sehingga dapat mengurangi tajam penglihatan. Keadaan ini dapat disertai perdarahan, ablasi retina, uveitis atau salah letak lensa.

Cincin Vossius

Pada trauma lensa dapat terlihat apa yang disebut sebagai cincin Vossius yang merupakan cincin berpigmen yang terletak tepat di belakang pupil yang dapat terjadi segera setelah trauma, yang merupakan deposit pigmen iris pada dataran depan lensa sesudah sesuatu trauma, seperti suatu stempel jari. Cincin hanya menunjukkan tanda bahwa mata tersebut telah mengalami suatu trauma tumpul.

Trauma tumpul retina dan koroid

Edema retina dan koroid

Trauma tumpul pada retina dapat mengakibatkan edema retina, penglihatan akan sangat menurun. Edema retina akan memberikan warna retina yang lebih abu-abu akibat sukarnya melihat jaringan koroid melalui retina yang sembab. Berbeda dengan oklusi arteri retina sentral dimana terdapat edema retina kecuali daerah makula, sehingga pada keadaan ini akan terlihat cherry red spot yang berwarna merah. Edema retina akibat trauma tumpul juga mengakibatkan edema makula sehingga tidak terdapat cherry red spot.

Pada trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah terjadi edema makula atau edema Berlin. Pada keadaan ini akan terjadi edema yang luas sehingga seluruh polus posterior fundus okuli berwarna abu-abu.

Umumnya penglihatan akan normal kembali setelah beberapa waktu, akan tetapi dapat juga penglihatan berkurang akibat tertimbunnya daerah makula oleh sel pigmen epitel.

Ablasi retina

Trauma diduga merupakan pencetus untuk terlapasnya retina dari koroid pada penderita ablasi retina. Biasanya pasien telah mempunyai bakat untuk terjadinya ablasi retina ini seperti retina tipis akibat retinitis semata, miopia, dan proses degenerasi retina lainnya. Pada pasien akan terdapat keluhan seperti adanya selaput yang seperti tabir mengganggu lapang pandangnya. Bila terkena atau tertutup daerah makula maka tajam penglihatn akan menurun.

Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang berwarna abu-abu dengan pembuluh darah yang terlihat terangkat dan berkelok-kelok. Kadang-kadang terlihat pembuluh darah seperti yang terputus-putus. Pada pasien dengan ablasi retina maka secepatnya dirawat untuk dilakukan pembedahan oleh dokter mata.

Trauma Koroid

Ruptur Koroid

Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang dapat merupakan akibat ruptur koroid. Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior bola mata dan melingkar konsentris di sekitar papil saraf optik.

Bila ruptur koroid ini terletak atau mengenai daerah makula lutea maka tajam penglihatan akan turun dengan sangat. Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan subretina agak sukar dilihat akan tetapi bila darah tersebut telah diabsorpsi maka akan terlihat bagian ruptur berwarna putih karena sklera dapat dilihat langsung tanpa tertutup koroid.

Trauma tumpul saraf optik

Avulsi papil saraf optik

Pada trauma tumpul dapat terjadi saraf optik terlepas dari pangkalnya di dalam bola mata yang disebut sebagai avulsi papil saraf optik. Keadaan ini akan mengakibatkan turunnya tajam penglihatan yang berat dan sering berakhir dengan kebutaan. Penderita ini perlu dirujuk untuk dinilai kelainan fungsi retina dan saraf optiknya.

Optik neuropati traumatik

Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian pula perdarahan dan edema sekitar saraf optik. Penglihatan akan berkurang setelah cedera mata. Terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa adanya kelainan nyata pada retina. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan warna dan lapangan pandang. Papil saraf optik dapat normal beberapa minggu sebelum menjadi pucat.

Diagnosis banding penglihatan turun setelah sebuah cidera mata adalah trauma retina, perdarahan badan kaca, trauma yang mengakibatkan kerusakan pada kiasam optik. Pengobatan adalah dengan merawat pasien pada waktu akut dengan membei steroid. Bila penglihatan memburuk setelah steroid maka perlu dipertimbangkan untuk pembedahan.Hifema sebagai Kasus Kegawatdaruratan

Definisi

Hifema adalah suatu keadaan dimana didalam bilik mata depan ditemukan darah. Darah didalam bilik mata depan yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor aqueus (cairan mata) yang jernih. Darah yang terkumpul di bilik mata depan biasanya terlihat dengan mata telanjang. Walaupun darah yang terdapat di bilik mata depan sedikit, tetap dapat menurunkan penglihatan. Dapat mengisi seluruh bilik mata atau hanya bagian bawah bilik mata depan. Darah didalam bilik mata depan biasa terdapat pada cedera mata, trauma bedah, discrasia darah (hemofilia) dan tumor intra kranial.

HifemaPatofisologi

Hifema dapat terjadi sesudah suatu trauma tembus ataupun tumpul pada mata, akan tetapi dapat juga terjadi secara spontan. Secara umum dianggap bahwa hifema berasal dari pembuluh darah iris dan badan siliar. Mungkin juga berasal dari pembuluh darah di kornea atau limbus karena terbentuknya neovaskularisasi pada bekas luka operasi atau pada rubeosis iridis. Trauma terhadap iris dapat mensyebabkan ruptura pembuluh darah, sehingga darah akan keluar dan mengisi rongga COA. Sedangkan pada neovaskularisasi pada bekas luka operasi atau pada robeosis iridis, ruptura bisa terjadi secara spontan karena rapuhnya dinding pembuluh darah.

Perdarahan yang terdapat pada hifema

Darah pada hifema dikeluarkan dari bilik mata depan dalam bentuk sel darah merah melalui kanalis Schlemm dan permukaan depan iris. Penyerapan melaui permukaan depan iris ini dipercepat dengan adanya kegiatan enzim fibrinolitik yang berlebihan didaerah ini. Sebagian hifema dikeluarkan dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat penumpukkan hemosiderin pada COA, hemosiderin dapat masuk kedalam lapisan kornea, menyebabkan kornea menjadi berwarna kuning, dan disebut hemosiderosis atau imbibisi kornea. Imbibisi kornea dapat dipercepat terjadinya, disebabkan oleh hifema yang penuh disertai glaucoma. Adanya darah dalam COA dapat menghambat aliran cairan bilik mata oleh karena unsur darah menutupi COA dan trabekula, sehingga terjadi glaucoma.

Hifema pada kamera okuli anteriorDarah pada hifema bisa berasal dari badan siliar, yang mungkin dapat masuk ke dalam badan kaca (corpus vitreum). Sehingga pada punduskopi gambaran pundus tidak tampak, dan ketajaman penglihatan menurunnya lebih banyak. Bila hifema sedikit, ketajaman penglihatan mungkin masih baik dan tekanan intraokular masih normal. Sedangkan perdarahan yang mengisi setengah COA dapar menyebabkan gangguan visus dan kenaikan tekanan intraocular, sehingga mata terasa sakit oleh karena glaukoma.Hifema dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar (corpus ciliaris). Pasien akan mengeluh sakit, disertai epifora dan blefarospasme. Penglihatan pasien akan sangat menurun. Bila pasien duduk hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan, dan dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis.Merupakan keadaan yang gawat. Sebaiknya dirawat, karena takut timbul perdarahan sekunder yang lebih hebat dari perdarahan primer, yang biasanya timbul pada hari kelima setelah trauma. Perdarahan sekunder ini terjadi karena bekuan darah terlalu cepat diserap, sehingga pembuluh darah tidak mendapat waktu cukup untuk regenerasi kembali, dan menimbulkan perdarahan lagi. Adanya darah di dalam COA dapat menghambat aliran aquos humor ke dalam trabekula , sehingga dapat menimbulkan glaucoma sekunder.Hifema dapat pula menyebabkan uveitis. Darah dapat terurai dalam bentuk hemosiderin, yang dapat meresap masuk kedalam kornea, menyebabkan kornea berwarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisio kornea. Jadi penyulit yang harus diperhatikan adalah : glaucoma sekunder, uveitis, dan imbibisio kornea.Hifema dapat sedikit, dapat pula banyak. Bila sedikit ketajaman penglihatan mungkin masih baik dan TIO normal. Perdarahan yang mengisi setengah COA, dapat menyebabkan gangguan visus dan TIO, sehingga mata terasa sakit oleh glaucomanya. Jika hifemanya mengisi seluruh COA, rasa sakit bertambah dan visus lebih menurun lagi, karena TIO bertambah pula. Zat besi didalam bola mata dapat menimbulkan sederosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan.

Hematokornea;infiltrasi darah diikuti oleh perdarahan yang menetap. (perdarahan pada hifema)EtiologiPenyebab hifema adalah : Gaya-gaya akibat kontusif sering merobek pembuluh-pembuluh iris dan merusak sudut kamera okuli anterior biasanya pada trauma tumpul atau trauma tembus. Perdarahan spontan dapat terjadi pada mata dengan rubeosis iridis, tumor pada iris, retino blastoma, dan kelainan darah. Perdarahan pasca bedah, bisa juga terjadi pada pasca bedah katarak kadang-kadang pembuluh darah baru yang terbentuk pada kornea dan limbus pada luka bekas operasi bedah katarak dapat pecah sehingga timbul hifemaKlasifikasiBerdasarkan waktu terjadinya hifema, maka dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu :

1. PrimerPerdarahan yang terjadi segera sesudah trauma

2. SekunderBiasanya timbul setelah 5-7 hari sesudah trauma. Perdarahan lebih hebat dari yang primer. Oleh karena itu seorang dengan hifema harus dirawa sedikitnya 5 hari. Perdarahan ulang terjadi pada 16 sampai 20% kasus dalam 2 sampai 3 hari. Perdarahan sekunder ini terjadi oleh karena resorbsi dari bekuan darah yang terjadi terlalu cepat, sehingga pembuluh darah tidak dapat waktu cukup untuk regenerasi kembali.

DiagnosisPasien akan mengeluh sakit disertai dengan epifora dan blefarospasme. Penglihatan pasien akan sangat menurun, bila ditemukan kasus hifema sebaiknya dilakukan pemeriksaan secara teliti keadaan mata luar. Hal ini penting mungkin saja pada riwayat trauma tunpul akan ditemukan kelainan berupa trauma tembus seperti :

Ekimosis

laserasi kelopak

proptosis

enoftalmus

fraktur yang disertai gangguan gerakan mata

kadang-kadang kita menemukan kelainan berupa defek epitel, edem kornea dan imbibisi kornea bila hifema sudah terjadi lebih dari 5 hari.

Ditemukan darah di dalam bilik mata bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul dibagian bawah bilik mata depan, perdarahan yang mengisi setengah bilik mata depan dapat menyebabkan gangguan visus dan kenaikan tekanan intraokuler, sehingga mata terasa sakit oleh karena glaucoma. Jika hifema mengisi seluruh bilik mata depan, rasa sakit bertambah dan penglihatan lenih menurun lagi. Pada iris, dapat ditemukan robekan atau iridodialysis dan iridoplegia.Pada hifema karena trauma, jika ditemukan penurunan tajam penglihatan segera maka harus dipikirkan kerusakan seperti luksasi lensa, ablasi retina, udem macula.Pada hifema sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang berupa :

TonometriUntuk mengetahui apakah terjadi peningkatan tekanan intraokuler.

Fundus kopiUntuk mengetahui akibat trauma pada segmen belakang bola mata, kadang-kadang pemeriksaan ini tidak mungkin karena terdapat darah pada media refraksi disegmen belakang bola mata, yaitu pada badan kaca.

KomplikasiKomplikasi yang mungkin dapat terjadi pada kasus hifema adalah

Imbibisi korneaDarah yang terdapat pada hifema dikeluarkan dari bilik mata depan dalam bentuk sel darah merah melalui bilik mata (kanal schlem) dan permukaan depan iris. Penyerapan melalui permukaan depan iris ini dipercepat dengan adanya kegiatan enzim fibrinolitik yang berlebihan didaerah ini. Sebagian hifema dikeluarkan dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat hemosiderin yang berlebihan dalam bilik mata depan maka dapat terjadi penimbunan pigmen ini didalam lapisan-lapisan kornea yang berwarna kecoklat-coklatan yang disebut imbibisi kornea. Jika sudah terjadi seperti ini hanya dapat diperbaiki dengan keratoplasty.

GlaukomaGlaukoma akut terjadi apabila jaringan trabekular tersumbat oleh fibrin dan sel atau apabila pembentukan bekuan darah menyebabkan penyumbatan pupil. Hal ini terjadi akibat darah dalam bilik mata, karena lauco-unsur darah menutupi sudut bilik mata trabekula, sehingga hal ini akan menyebabkan tekanan intraocular.

Uveitis

KebutaanZat besi didalam mata dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan dapat menimbulkan fitsis bulbi dan kebutaan.

PenatalaksanaanPrinsip pengobatan :

1. Menghentikan pendarahan atau mencegah pendarahan berulang

2. Mengeluarkan darah dari bilik mata depan

3. Mengendalikan tekanan bola mata

4. Mencegah imbibisi kornea

5. Mengatasi uveitis

6. Mendeteksi dini penyulit yang mungkin terjadi setelah hifema

Pada perawatan dengan pasien hifema diharuskan bertirah baring, mata agar mata beristirahat, dan tidur dengan kepala diangkat dengan membentuk sudut 30 derajat lalu diberikan koagulansi dab tetes steroid dan sikloplegenik pada mata yang sakit selama 5 hari. Mata diperiksa secara berkala untuk mencari adanya pendarahan sekunder, laucoma atau bercak darah di kornea akibat pigmen besi. Pendarahan ulang terjadi pada 16-20% kasus 2-3 hari.Jika timbul glaucoma, maka penatalaksanan mencakup pemberian timolol 0,25% atau 0,5% dua kali sehari; asetazolamid, 250 mg empat kali sehari, dan obat hiperosmotik (manitol, gliserol, dan sorbitol).Bila tekanan intraokuler tetap tinggi dapat dilakukan parasintesis yaitu mengeluarkan darah melalui sayatan di kornea. Hifema harus dievakuasi secara bedah apabila tekanan intraocular tetap tinggi (>35 mmHg selama 7 hari atau 50 mmHg selama 5 hari) untuk menghindari kerusakan saraf optikus dan pewarnaan kornea, pasien mengidap hemoglobinopati, besar kemungkinan cepat terjadi atrofi optikus glaucoma dan pengeluaran bekuan darah secara bedah harus dipertimbangkan lebih awal. Instrument-instrumen vitrektomi digunakan untuk mengeluarkan bekuan di sentral dan lavase kamera anterior. Dimasukkan tonggak irigasi dan probe mekanis disebelah anterior limbus melalui bagian kornea yang jernih untuk menghindari kerusakan iris dan lensa. Tidak dilakukan usaha untuk mengeluarkan bekuan dari sudut kamera okuli anterior atau dari jaringan iris kemudian dilakukan dilakukan iridektomi perifer. Cara lain untuk membersihkan kamera interior adalah dengan evakuasi kolestik. Dibuat sebuah insisi kecil di limbus untuk menyuntikkan bahan viskolastik, dan sebuah insisi yang lebih besar 180 derajat berlawanan agar hifema dapat didorong keluar.

PrognosisPrognosis pada kasus hifema pada jumlah darah dalam bilik mata depan :

1. Bila darah sedikit maka darah ini akan hilang dan akan jernih sempurna

2. Bila darah lebih dari setengah tinggi bilik mata depan maka prognosisnya akan buruk dan disertai dengan penyulit.

3. Dan bila hifema yang penuh didalam bilik mata depan akan memberikan prognosis yang lebih burukHifema sekunder yang terjadi 5-7 hari sesudah trauma biasanya dapat memberikan rasa yang sakit. Pada hifema sekunder terjadi akibat gangguan mekanisme pembekuan atau penyembuhan luka sehingga mempunyai prognosis buruk.

V. Resusitasi Jantung Paru

(lampiran)DAFTAR PUSTAKABeyer TL, Hirst LW. Corneal blood staining at low pressures. Arch Ophthalmol 1985;103:654-655.

Hazinski, Mary Fran, et. al. Highlights of the 2010: Guidelines for CPR and ECC. American Heart Association. 2010Ilyas, Sidarta. Atlas Ilmu Penyakit Mata, Sagung Seto, Jakarta 2001.

Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2009Ilyas, Sidarta. Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2000.Ilyas, Sidarta. Penuntun Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta 1996.

McDonnell PJ, Green WR, Stevens RE, Bargeron CB, Riquelme JL. Blood staining of the cornea. Ophthalmology 1985;92:1668-1674.

Messmer EP, Gottsch J, Font RL. Blood staining of the cornea: a histopathologic analysis of 16 cases. Cornea 1985;3:205-212.

Price, Wlison. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGCPurnomo, Basuki B. Dasar-dasar Urologi edisi ketiga. Sagung Seto, Jakarta. 2011Purwadianto, Agus.2000. Kedaruratan Medik. Jakarta Barat : Binarupa Aksara

R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong.2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC

Sankar PS, Chen TC, Grosskreutz CL, Pasquale LR. Traumatic hyphema. Int Ophthalmol Clin 2002;42:57-68.

Vaughan D. G. Oftalmologi Umum. Widya Medika, Jakarta 2001.

Walton W, von Hagen S, Grigorian R, Zarbin M. Management of traumatic hyphema. Surv Ophthalmol 2002;47:297-334.

1 | SKENARIO 2 EMERGENSI - R.A. Wita Ferani K. - 1102009229