Trauma Pelvis PBL

53
SKENARIO 2 BLOK EMERGENCY I. Trauma Pelvis (Buli-buli) I.1. Definisi Trauma buli-buli sering disebabkan rudapaksa dari luar dan sering didapatkan bersama fraktur pelvis. Fraktur tulang panggul dapat menimbulkan kontusio/ruptur kandung kemih. Pada kontusio buli-buli hanya terjadi memar pada buli-buli dengan hematuria tanpa ekstravasasi urin. I.2. Etiologi 90% trauma tumpul buli-buli akibat fraktur pelvis. Robeknya buli- bulikarena fraktur pelvis bisa pula terjadi akibat fragmen tulang pelvis yang merobek dindingnya. Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli iatrogenic antara lain pada reseksi buli-buli transurethral. Partus yang lama/tindakan operasi di daerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenic pada buli-buli. Dapat pula terjadi secara spontan, biasanya terjadi jika sebelumnya terdapat kelainan pada dinding buli-buli seperti tuberculosis, tumor buli-buli, dll. I.3. Klasifikasi Kontusio buli-buli, hanya terdapat memar pada dindingnya, mungkin didapatkan hematoma vesikel, tetapi tidak didapatkan ekstravasasi urin ke luar buli-buli. Cedera buli-buli ekstraperitoneal, terjadi akibat trauma pada saat buli- buli kosong. Dapat diakibatkan oleh fraktur pelvis. Cedera buli-buli intraperitoneal, terjadi akibat trauma pada saat buli-buli sedang terisi penuh. o Menurut Tile (1988) 1. Tipe A : Meliputi fraktur pelvis yang stabil A1 : Fraktur avulsi (pelepasan tulang akibat tarikan ligament, tendon) tanpa gangguan cincin Biasanya berlokasi di anterosuperior atau anteroinferior spina iliaca. Bisa juga terjadi pada tuberositas ischium akibat kontraksi kuat otot hamsring. A2 : Fraktur cincin pelvis tanpa peranjakan. A3: Fraktur transversal pada sacrum dan coccyx tanpa melibatkan cincin pelvis 2. Tipe B : Meliputi fraktur-fraktur yang stabil secara vertical tetapi tidak stabil secara horisontal. B1 : Trauma konversi anteroposterior terdiri dari 3 stadium yaitu Stadium 1 : Pemisahan simfisis pubis < 2,5 cm tanpa keterlibatan cincin pelvis posterior 1

Transcript of Trauma Pelvis PBL

Page 1: Trauma Pelvis PBL

SKENARIO 2 BLOK EMERGENCY

I. Trauma Pelvis (Buli-buli)I.1. DefinisiTrauma buli-buli sering disebabkan rudapaksa dari luar dan sering didapatkan bersama fraktur pelvis. Fraktur tulang   panggul   dapat   menimbulkan   kontusio/ruptur   kandung   kemih. Pada   kontusio buli-buli hanya terjadi memar pada buli-buli dengan hematuria tanpa ekstravasasi urin.I.2. Etiologi 90% trauma tumpul buli-buli akibat fraktur pelvis. Robeknya buli-bulikarena fraktur pelvis bisa pula terjadi 

akibat fragmen tulang pelvis yang merobek dindingnya.   Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli iatrogenic   antara lain   pada   reseksi   buli-

buli transurethral. Partus yang lama/tindakan operasi di daerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenic pada buli-buli.  Dapat pula terjadi secara spontan, biasanya terjadi jika sebelumnya terdapat kelainan pada dinding buli-

buli seperti tuberculosis, tumor buli-buli, dll.I.3. Klasifikasi Kontusio  buli-buli,   hanya  terdapat  memar  pada  dindingnya,  mungkin  didapatkan hematoma vesikel, 

tetapi tidak didapatkan ekstravasasi urin ke luar buli-buli. Cedera buli-buli ekstraperitoneal, terjadi akibat trauma pada saat buli-buli kosong. Dapat diakibatkan oleh 

fraktur pelvis. Cedera   buli-buli   intraperitoneal,   terjadi   akibat   trauma   pada   saat   buli-buli   sedang   terisi 

penuh.

o Menurut Tile (1988)1. Tipe A : Meliputi fraktur pelvis yang stabil

A1 : Fraktur avulsi (pelepasan tulang akibat tarikan ligament, tendon) tanpa gangguan cincinBiasanya   berlokasi   di   anterosuperior   atau   anteroinferior spina   iliaca.   Bisa   juga   terjadi   pada   tuberositas ischium akibat kontraksi kuat otot hamsring. 

A2 : Fraktur cincin pelvis tanpa peranjakan.

A3: Fraktur transversal pada sacrum dan coccyx tanpa melibatkan cincin pelvis

2. Tipe B : Meliputi fraktur-fraktur yang stabil secara vertical tetapi tidak stabil secara horisontal.B1 : Trauma konversi anteroposterior terdiri dari 3 stadium yaituStadium 1 : Pemisahan simfisis pubis < 2,5 cm tanpa  keterlibatan cincin pelvis posteriorStadium 2 : Pemisahan simfisis pubis > 2,5 cm dengan kerusakan pada  cincin pelvis posterior      unilateralStadium 3 : Pemisahan simfisis pubis > 2,5 cm dengan   kerusakan cincin pelvis posterior  bilateral

B2 : Trauma kompresi lateral (ipsilateral)Tidak stabil pada rotasi internal melibatkan cincin anterior dan posterior dari hemipelvis ipsilateral

B3 : Trauma kompresi lateral (kontralateral)Tidak   stabil   pada   rotasi   internal   dan   terdapat   keterlibatan cincin   pelvis   anterior kontralateral   terhadap trauma posterior  

3. Tipe C :Meliputi fraktur yang tidak stabil baik yang secara vertikal maupun horisontal.Dibagi menjadi 3 (yang paling mengancam jiwa) tipe yaitu:C1 : Kerusakan pada pelvis anterior dan porterior ipsilateral dengan instabilitas vertikal dan horisontal pada hemipelvis yang terkena.C2 :   Pemisahan hemipelvis bilateral dengan istabilitas rotasional dan vertical yang bermakna.C3 :   Fraktur pelvis manapun yang disertai dengan fraktur acetabulum

1

Page 2: Trauma Pelvis PBL

Fraktur tipe  ini  biasanya diakibatkan oleh trauma dengan energi  tinggi  dengan  instabilitas  ligament atau tulang yang komplit.Kematian pada fraktur tidak stabil karena perdarahan, kegagalan beberapa sistem organ atau sepsis

a. Menurut Young-Burgessi. Kompresi Anterior-Posterior (APC)

Disebabkan oleh tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis pubis. Ada cedera open book yang menganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale

ii. Kompresi Lateral (LC)Terjadi akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya tarik. Sering terjadi disrupsi pembuluh darah besar.

iii. Shear Vertikal (SV)Terjadi pemindahan vertikal hemipelvis yang dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah.

iv. Mekanisme Kombinasi (CM)Meliputi faktor pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua vektor tekanan terpisah

b. Menurut Key dan Conwelli. Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin

1. Fraktur avulsia. Spina iliaka anterior posteriorb. Spina iliaka anterior inferiorc. Tuberositas ischium

2. Fraktur pubis dan ischium3. Fraktur sayap ilium (Duverney)4. Fraktur sakrum5. Fraktur dan dislokasi tulang koksigeus

ii. Keretakan tunggal pada cincin panggul1. Fraktur pada kedua ramus ipsilateral2. Fraktur dekat atau subluksasi simfisis pubis3. Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakroiliaka

iii. Fraktur bilateral cincin panggul 1. Fraktur vertikal ganda dan atau dislokasi pubis2. Fraktur ganda dan atau dislokasi (Malgaigne)3. Fraktur multipel yang hebat

iv. Fraktur asetabulum1. Tanpa pergeseran2. Dengan pergeseran 

c. Klasifikasi laini. Fraktur isolasi dan fraktur tulang ischium dan tulang pubis tanpa gangguan pada cincin

1. Fraktur ramus isiopubis superior2. Fraktur ramus isiopubis inferior3. Fraktur yang melewati asetabulum4. Fraktur sayam ilium5. Avulsi spina iliaka antero-inferior

ii. Fraktur disertai robekan cincind. Klasifikasi berdasarkan stabilitas dan komplikasi

i. Fraktur avulsiii. Fraktur stabiliii. Fraktur tidak stabiliv. Fraktur dengan komplikasi

2

Page 3: Trauma Pelvis PBL

I.4. PatofisiologiTrauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan yang besar atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua dengan osteoporosis dan osteomalasia dapat terjadi fraktur stress pada ramus pubis.Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas:a. Kompresi anteroposterior

Hal   ini   biasanya   akibat   tabrakan   antara   seorang   pejalan   kaki   dengan   kendaraan.   Ramus   pubis mengalami fraktur, tulang inominata terbelah dan mengalami rotasi eksterna disertai robekan simfisis. Keadaan ini disebut sebagai open book injury. 

b. Kompresi lateralKompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan. Hal  ini  terjadi apabila ada trauma samping karena kecalakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakroiliaka atau fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.

c. Trauma vertikalTulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakroiliaka pada sisi yang sama.  Hal ini terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai

d. Trauma kombinasiPada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan diatas

b.

I.5. Manefestasi Klinis

3

Page 4: Trauma Pelvis PBL

Umumnya fraktur tulang pelvis disertai perdarahan hebat sehingga dapat menyebabkan syok. Tampak   jejas/hematoma   pada   abdomen   bagian   bawah.   Nyeri   tekan di   daerah   suprapubik di 

tempat hematoma. Pada kontusio buli-buli: nyeri terutama bila ditekan di   daerah   suprapubik dan dapat   ditemukan 

hematurtia. Tidak terdapat rangsang peritoneum. Pada rupture bulibuli intraperitoneal: urin masuk ke rongga peritoneum sehingga memberi   tanda   cairan 

intraabdomen dan rangsang peritoneum. Tidak terdapat benjolan dengan perkusi pekak. Pada ruptur buli-buli ekstraperitoneal: infiltrat urin di rongga peritoneal   yang   sering   menyebabkan 

septisemia.   Penderita   mengeluh   tidak   bisa buang   air kecil, kadang keluar darah dari uretra. Timbul benjolan yang   nyeri dan pekak pada perkusi   pada   daerah suprapubik.

I.6. Diagnosis1. Diagnosis   ditentukan   berdasarkan   tanda   dan   gejala   klinik   serta   hematuria.   Pada   fotopelvis 

atau foto polos abdomen terlihat fraktur tulang pelvis.2. Pemeriksaan   sistogram,   dapat   memberikan   keterangan   ada   tidaknya   ruptur   kandung   kemih 

dan   lokasi   ruptur   apakah   intra/ekstraperitoneal.   Pemeriksaan   ini   dilakukan  dengan memasukkan   medium   kontras   ke   kandung   kemih   sebanyak   300-400   ml   kemudian   dibuat   foto   antero-posterior.   Kandung   kemih   lalu   dikosongkan   dan   dibilas   dan   dibuat   foto   sekali   lagi.   Bila   tidak   dijumpai ekstravasasi,   diagnosisnya   adalah   kontusio   buli-buli.   Pada  ruptur   ekstraperitoneal,   gambaran ekstravasasi   terlihat   seperti   nyala   api   pada   daerah  p e r i v e s i k e l ,   s e d a n g k a n   p a d a   r u p t u r i n t r a p e r i t o n e a l   t e r l i h a t   k o n t r a s   m a s u k   k e   d a l a m   rongga abdomen.

3. Pada ruptur kecil sistokopi dapat membantu diagnosis.4. T e s   b u l i - b u l i :   d i l a k u k a n   d e n g a n   c a r a   b u l i - b u l i   d i k o s o n g k a n   t e r l e b i h   d a h u l u 

d e n g a n   kateter,   lalu   dimasukkan   300   ml   larutan   garam   faal,   kateter   kemudian   diklem sebentar lalu dibuka kembali. Bila selisihnya cukup besar kemungkinan terjadi ruptur buli-buli.

Anamnesis:a. Keadaan dan waktu traumab. Miksi terakhirc. Waktu dan jumlah makan dan minum yang terakhird. Bila penderita wanita apakah sedang hamil atau menstruasie. Trauma lainnya seperti trauma pada kepalaPemeriksaan klinik:a. Keadaan umum

- Denyut nadi, tekanan darah dan respirasi- Lakukan survei kemungkinan trauma lainnya

b. Lokal- Pemeriksaan nyeri:

Tekanan dari samping cincin panggul Tarikan pada cincin panggul

- Inspeksi perineum untuk mengetahui adanya perdarahan, pembengkakan dan deformitas- Tentukan derajat ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada ramus dan simfisis pubis- Pemeriksaan colok dubur

Berdasarkan klasifikasi Tile:Fraktur Tipe A: pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan lokal tetapi jarang terdapat kerusakan pada visera pelvis.Fraktur Tipe B dan C: pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak dapat berdiri, serta juga tidak dapat kencing.  Kadang – kadang terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapat bersifat  lokal tetapi sering meluas, dan jika menggerakkan satu atau kedua ala ossis ilium akan sangat nyeri. Pemeriksaan penunjang trauma pelvis

v. Pemeriksaan radiologis:

4

Page 5: Trauma Pelvis PBL

1. Setiap   penderita   trauma   panggul   harus   dilakukan   pemeriksaan   radiologis   dengan   prioritas pemeriksaan rongent posisi AP. 

2. Pemeriksaan   rongent  posisi   lain  yaitu  oblik,   rotasi   interna  dan eksterna  bila  keadaan umum memungkinkan.

vi. Pemeriksaan urologis dan lainnya:1. Kateterisasi2. Ureterogram3. Sistogram retrograd dan postvoiding4. Pielogram intravena5. Aspirasi diagnostik dengan lavase peritoneal

Pemeriksaan pencintraan berupa sistografi,  yaitu dengan memasukkan kontras ke dalam buli-buli sebanyak 300-400ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-uretrum. Kemudian dibuat beberapa foto, yaitu (1) foto pada saat bulu-buli terisi kontras dalam posisi anterior posterioi (AP), (2) pada posisi oblik, dan (3) wash out film yaitu foto setelah kontras dikeluarkan dari bui-buli.Jika didapatkan robekan pada buli-buli, terlihat ekstravasasi kontras didalam rongga perivesikel yang merupakan tanda adanya robekan ekstraperitoneal. Jika terdapat kontras yang terdapat pada sela-sela usus berarti ada robeka buli-buli intraperitoneal.

Di daerah yang jauh dari pusat rujukam dan tidak ada sarana untuk melakukan sistograf dapat diuji coba pembilasan buli-buli, yaitu dengan memasukkan cairan garam fisiologis steril kedalam buli-buli sebanyak 300ml kemudian  cairan dikeluarkan lagi. Jika cairan tidak keluar atau keluar tetapi kurang dari volume yang dimasukkan, kemungkinan besar ada robekan pada buli-buli.

I.7. Tatalaksanaa. Bila penderita datang dalam keadaan syok, harus diatasi dulu dengan memberikan cairan intravena atau 

darah. Bila sirkulasi telah stabil, lakukan reparasi buli-buli.b. P a d a   k o n t u s i o   b u l i - b u l i ,   c u k u p   d i l a k u k a n   p e m a s a n g a n   k a t e t e r   d e n g a n   t u j u a n 

u n t u k   memberikan istirahat pada buli-buli. Diharapkan buli-buli sembuh setelah 7-10 hari.c. Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi  laparotomi untuk mencari robekan  pada   buli-

buli  serta kemungkinan cedera organ lain.  Rongga intraperitoneum dicuci,   r o b e k a n   p a d a b u l i - b u l i   d i j a h i t   2   l a p i s ,   k e m u d i a n   d i p a s a n g   k a t e t e r   s i s t o s t o m i   y a n g   dilewatkan di luar sayatan laparotomi.

d. P a d a   c e d e r a   e k s t r a p e r i t o n e a l ,   r o b e k a n   y a n g   s e d e r h a n a   d i a n j u r k a n   u n t u k m e m a s a n g   kateter 7-10 hari  tetapi dianjurkan juga untuk melakukan penjahitan disertai pemasangan kateter sistostomi.

e. Untuk   memastikan   buli-buli   telah   sembuh,   sebelum   melepas   kateter uretra/kateter sistostomi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan sistografi untuk melihat kemungkinan masih   adanya   ekstravasasi   urin.   Sistografi   dibuat   pada   hari   ke   10-14   pasca   trauma.   Jika masih ada ekstravasasi kateter sistostomi dipertahankan sampai 3 minggu.

f. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat – alat dalam rongga panggulg. Stabilisasi fraktur panggul, misalnya:

6. Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif seperti istirahat, traksi, pelvic sling

7. Fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan operasi yang dikembangkan oleh grup ASIF

Berdasarkan klasifikasi Tile:a. Fraktur Tipe A: hanya membutuhkan  istirahat ditempat tidur yang dikombinasikan dengan   traksi 

tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien akan lebih nyaman dan bisa menggunakan penopang.b. Fraktur Tipe B:

Fraktur tipe openbook

5

Page 6: Trauma Pelvis PBL

Jika   celah   kurang   dari   2.5cm,   diterapi   dengan   cara   beristirahat   ditempat   tidur,   kain   gendongan posterior atau korset elastis. 

Jika  celah  lebih  dari  2.5cm dapat  ditutup  dengan membaringkan pasien  dengan cara  miring  dan menekan ala ossis ilii menggunakan fiksasi luar dengan pen pada kedua ala ossis ilii.

Fraktur tipe closebook  Beristirahat ditempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi apapun bisa dilakukan, akan 

tetapi  bila  ada perbedaan panjang kaki  melebihi  1.5cm atau terdapat deformitas pelvis  yang nyata maka perlu dilakukan reduksi dengan menggunakan pen pada krista iliaka.

c. Fraktur Tipe C: sangat berbahaya dan sulit diterapi. Dapat dilakukan reduksi dengan traksi kerangka yang dikombinasikan fiksator luar dan perlu istirahat ditempat tidur sekurang – kurangnya 10 minggu. Kalau reduksi belum tercapai, maka dilakukan reduksi secara terbuka dan mengikatnya dengan satu atau lebih plat kompresi dinamis.

I.8. Komplikasia. Komplikasi segera

8. Trombosis vena ilio femoralSering ditemukan dan sangat berbahaya. Berikan antikoagulan secara rutin untuk profilaktik.

9. Robekan kandung kemihTerjadi apabila ada disrupsi simfisis pubis atau tusukan dari bagian tulang panggul yang tajam.

10. Robekan uretraTerjadi karena adanya disrupsi simfisis pubis pada daerah uretra pars membranosa.

11. Trauma rektum dan vagina12. Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan masif sampai syok.13. Trauma pada saraf

a. Lesi saraf skiatikDapat   terjadi  pada   saat   trauma  atau  pada   saat   operasi.  Apabila  dalam   jangka  waktu  6 minggu tidak ada perbaikan, maka sebaiknya dilakukan eksplorasi.

b. Lesi pleksus lumbosakralisBiasanya terjadi pada fraktur sakrum yang bersifat vertikal disertai pergeseran. Dapat pula terjadi gangguan fungsi seksual apabila mengenai pusat saraf.

b. Komplikasi lanjut14. Pembentukan tulang heterotrofik

Biasanya   terjadi   setelah   suatu   trauma   jaringan   lunak   yang   hebat   atau   setelah   suatu   diseksi operasi. Berikan Indometacin sebagai profilaksis.

15. Nekrosis avaskulerDapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu setelah trauma.

16. Gangguan pergerakan sendi serta osteoartritis sekunderApabila   terjadi   fraktur   pada   daerah   asetabulum   dan   tidak   dilakukan   reduksi   yang   akurat, sedangkan sendi ini menopang berat badan, maka akan terjadi ketidaksesuaian sendi yang akan memberikan gangguan pergerakan serta osteoartritis dikemudian hari.

17. Skoliosis kompensator

II. Trauma UretraII.1. Definisi

Trauma urethra biasanya terjadi pada pria dan jarang terjadi pada wanita. Sering ada hubungan dengan fraktur pelvis dan straddle injury. Urethra pria terdapat dua bagian yaitu :

a) Anterior, terdiri dari : urethra pars granularis, pars pendularis, dan pars bulbosab) Posterior, terdiri dari : pars membranacea dan pars prostatika

II.2. Etiologi Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar. Cedera iatrogenic akibat instrumentasi pada uretra.

6

Page 7: Trauma Pelvis PBL

Trauma   tumpul   yang   menimbulkan   fraktur   tulang   pelvis   yang   menyebabkan   ruptur   uretra   pars membranasea.

Trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan rupture uretra pars bulbosa. Pemasangan kateter yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan urethra karena false route atau 

salah jalan.

1. Etiologi trauma urethra posteriora. Urethra   pars   membranacea   adalah   bagian   urethra   yang   melewati   diafragma   urogenitalis 

(diafragma U.G) dan merupakan bagian yang paling mudah terkena trauma, bila terjadi fraktur pelvis

b. Diafragma U.G yang mengandung otot – otot yang berfungsi sebagai sphincter urethra melekat / menempel pada daerah os pubis bagian bawah

c. Bila   terjadi   trauma   tumpul   yang   menyebabkan   fraktur   daerah   tersebut,   maka   urethra   pars membranacea akan terputus pada daerah apex prostat dan pada daerah prostat membranaeous junction

2. Etiologi trauma urethra anteriorStraddle injury dan iatrogenik, seperti instrumentasi atau tindakan endoskopik

II.3. Klasifikasi1) Trauma uretra posterior, yang terletak proksimal diafragma urogenital.2) Trauma uretra anterior, yang terletak distal diafragma urogenital.

Derajat cedera urtera dibagi dalam 3 jenis :• Uretra   posterior   masih   utuh   dan   hanya   mengalami   stretching   (peregangan).   Pada   foto 

uretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi, dan urethra hanya tampak memanjang.• Uretra   posterior   terputus   pada   perbatasan   prostate-membranasea,   sedangkan   diafragma 

urogenital masih utuh. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras yang masih terbatas di atas diafragma urogenitalis.

• Uretra  posterior,  diafragma genitalis,  uretra  pars  bulbosa sebelah proksimal   ikut   rusak.  Foto uretrogram   menunjukkan   ekstravasasi   kontras   meluas   hingga   dibawah   diafragma   urogenital sampai ke perineum.

II.4. Patofisiologi Cedera dapat menyebabkan memar dinding dengan atau tanpa robekan mukosa baik parsial atau 

total. Rupture uretra hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis terjadi robekan  pars  membranasea  karena  prostat  dengan  uretra  prostatica   tertarik  ke  cranial  bersama fragmen   fraktur,   sedangkan   uretra   membranosa   terikat   di   diafragma   urogenital.   Rupture   uretra posterior   dapat   terjadi   total   atau   inkomplit.   Pada   rupture   total,   uretra   terpisah   seluruhnya   dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-buli dan prostat terlepas ke cranial.

Uretra anterior terbungkus di dalam corpus spongiosum penis. Korpus spongiosum bersama dengan corpora cavernosa penis dibungkus oleh fasia buck dan fasia colles. Jika terjadi rupture uretra beserta corpus spongiosum, darah dan urine keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia buck dan secara   klinis   terlihat   hematoma   yang   terbatas   pada   penis.   Namun,   jika   fasia   buck   ikut   robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia colles, sehingga dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma.

 Patofisiologi trauma urethra posteriora. Trauma urethra posterior biasanya disebabkan oleh karena trauma tumpul dan fraktur pelvisb. Urethra biasanya terkena pada bagian proksimal dari diafragma U.G dan terjadi perubahan posisi 

prostat  ke arah superior   (prostat  terapung=floating prostat)  dengan terbentuknya hematoma periprostat dan perivesical

Patofisiologi trauma urethra anterior

7

Page 8: Trauma Pelvis PBL

a. Kontusio- Tidak terdapat robekan, hanya terjadi memar- Hematoma perineal biasanya menghilang tanpa komplikasi

b. Laserasi“Straddle injury” yang berat dapat menyebabkan robeknya urethra dan terjadi ekstravasasi urine yang bisa meluas ke skrotum, sepanjang penis dan ke dinding abdomen yang bila tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan infeksi dan sepsis

II.5. Manifestasi Klinisurethra posteriora. Pasien mengeluh tidak bisa kencing dan sakit pada perut bagian bawahb. Darah menetes dari urethra adalah gejala yang paling penting dari   ruptur   urethra.Gejala   ini   merupakan 

indikasi untuk dilakukan urethrogram retrograde.Kateterisasi merupakan kontraindikasi karena dapat   menyebabkan   infeksi   periprostatika   dan   perivesika hematoma serta dapat menyebabkan laserasi yang partial menjadi total.

c. Tanda – tanda fraktur pelvis dan nyeri suprapubik dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik.d. Pada pemeriksaan colok dubur, bisa didapatkan prostat mengapung (floating prostat) pada ruptura total dari 

urethra pars membranacea oleh karena terputusnya ligamen puboprostatikae. Trias rupture uretra posterior : bloody discharge, retensi urin, floating prostat

urethra anteriora. Riwayat jatuh dari tempat yang tinggi dan terkena darah perineum atau riwayat instrumentasi disertai adanya darah menetes dari urethra yang merupakan gejala pentingb. Nyeri daerah perineum dan kadang – kadang ada hematoma prostatc. Retensio urine bisa terjadi dan dapat diatasi dengan sistosomi suprapubik untuk sementara, sambil menunggu diagnosa pasti. Pemasangan kateter urethra merupakan kontraindikasitrias ruptur uretra anterior : bloody discharge, retensio urin, dan hematom/ jejas peritoneal/ urin infiltrat

II.6. Diagnosis Rupture uretra posterior harus dicurigai bila terdapat darah sedikit di meatus uretra disertai patah tulang 

pelvis. Pada pemeriksaan colok dubur ditemukan prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada 

diafragma urogenital. Kadang sama sekali tidak teraba lagi karena pindah ke cranial. Pemeriksaan radiologi dengan menggunakan uretrogam retrograde dapat memberi keterangan letak dan 

tipe uretra.Pemeriksa penunjangColok dubur : prostat seperti mengapung karena tida terfiksasi lagi pada diagramurogenital / tidak teraba sama sekali karen pindah ke kranialHati- hati karena fragmen tulang dapat mencederai rektumPemeriksaan radiologi: uretrogram retrogad untuk mengetahui letak/ tipe ruptur Ruptur posterior curiga kalau ada darah sedikit di meatus uretra disertai patah tulang pelvistrauma uretra posterior :LAB: anemia, urin gak ada karena retensiRADIO: fraktur pelvis

II.7. Tatalaksana• Jika dapat kencing dengan mudah, lakukan observasi saja.• Jika sulit kencing atau terlihat ekstravasasi pada uretrogram usahakan memasukkan kateter foley 

sampai buli-buli. Jika gagal lakukan pembedahan sistosomi untuk manajemen aliran urin.• Bila   rupture   uretra   posterior   tidak   disertai   cedera   organ   intraabdomen,   cukup   dilakukan 

sistosomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung dan pemasangan kateter silicon selama 3 minggu. Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2-3 hari kemudian, sebaiknya dipasang kateter secara langsir.

• Pada rupture uretra anterior total,   langsung dilakukan pemulihan uretra dengan anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal. Dipasang kateter silicon selama 3 minggu. Bila rupture 

8

Page 9: Trauma Pelvis PBL

parsial dilakukan sistostomi dan pemasangan kateter foley di uretra selama 7-10 hari, sampai terjadi epitelisasi uretra yang cedera. Kateter sistosomi baru dicabut bila saat kateter sistostomi diklem ternyata penderita bisa buang air kecil.

2.8 Komplikasia) Trauma Uretra Anterior : perdarahan, infeksi/sepsis dan striktura urethrab) Trauma Uretra Posterior : striktura uretra, impotensi dan inkontinensia

III. Trauma Mata (hifema)3.1. DefinisiKegawatdaruratan   dalam   ilmu   penyakit   mata   adalah   suatu   keadaan   dimana   mata   terancam   akan kehilangan   fungsi   penglihatannya   atau   akan   terjadi   kebutaan   apabila   tidak   dilakukan   tindakan   atau pengobatan sesegera mungkin.

Trauma Okuli adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan mata atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata,kelopak mata,saraf mata  dan   rongga  orbita,kerusakan   ini   akan  memberikan  penyulit   sehingga   mengganggu   fungsi  mata sebagai indra penglihat3.2. Etiologi dan klasifikasiDefinisi Kedaruratan   mata   adalah   sikap   keadaan   yang   mengancam   tajam   penglihatan   seseorang   berupa penurunan tajam penglihatan sampai terjadinya kebutaanKlasifikasi Kegawatdaruratan   (emergency)   di   bidang   oftalmologi   (penyakit   mata)   diklasifikasikan   menjadi   tiga macam, yaitu:1. Gawat sangat2. Gawat3. Semi Gawat1. Gawat sangatYang   dimaksud   dengan   keadaan   "gawat   sangat"   adalah   keadaan   atau   kondisi   pasien   memerlukan tindakan   yang   harus   sudah   diberikan   dalam   waktu   beberapa   menit.   Terlambat   sebentar   saja   dapat mengakibatkan kebutaan.Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah: luka bakar kimia (luka bakar kerena alkali/basa dan luka bakar asam)2. GawatYang dimaksud dengan keadaan "gawat" adalah keadaan atau kondisi  pasien memerlukan penegakan diagnosis dan pengobatan yang harus sudah diberikan dalam waktu satu atau beberapa jam.Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah:a. Laserasi kelopak matab. Konjungtivitis gonorhoec. Erosi kornead. Laserasi korneae. Benda asing di korneaf. Descemetokelg. Tukak korneah. Hifemai. Skleritis (peradangan pada sklera)j. Endoftalmitisk. Glaukoma kongestifl. Glaukoma sekunderm. Selulitis orbitan. Trauma tumpul matao. Trauma tembus matap. Trauma radiasi

9

Page 10: Trauma Pelvis PBL

3. Semi GawatYang   dimaksud   dengan   keadaan   "semi   gawat"   adalah   keadaan   atau   kondisi   pasien   memerlukan pengobatan yang harus sudah diberikan dalam waktu beberapa hari atau minggu.Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah:• Trakoma yang disertai dengan entropion.• Entropion • Katarak kongenital• Glaukoma kongenital• Glaukoma simpleks• Perdarahan badan kaca• Retinoblastoma (tumor ganas retina)• Neuritis optika / papilitis• Eksoftalmus (bola mata menonjol keluar) atau lagoftalmus (kelopak mata tidak dapat menutup sempurna).• Tumor intraorbita• Perdarahan retrobulbar• Hypovitaminosis A.Klasifikasi lain1. Sight threatening conditionDalam   situasi   ini   mata   akan   mengalami   kebutaan   atau   cacat   yang   menetap   dengan   penurunan penglihatan   yang   berat   dalam   waktu   beberapa   detik   sampai   beberapa   menit   saja   bila   tidak   segera mendapatkan pertolongan yang tepat.  Cedera mata  akibat  bahan kimia  basa  (alkali)   termasuk dalam keadaan   ini.   Oklusi   arteria   sentralis   retina   merupakan   keadaan   bukan   trauma   yang   termasuk   dalam kelompok ini.2. Mayor conditionDalam situasi  ini  pertolongan harus diberikan tetapi  dengan batasan waktu yang  lebih  longgar,  dapat beberapa jam sampai beberapa hari. Bila pertolongan tidak diberikan maka penderita akan mengalami hal yang sama seperti disebutkan pada sight threatening condition.3. Monitor ConditionSituasi   ini   tidak   akan   menimbulkan   kebutaan   meskipun   mungkin   menimbulkan   suatu   penderitaan subyektif pada pasien bila terabaikan pasien mungkin dapat masuk kedalam keadaan ”mayor condition”

Menurut BETT klasifikasi trauma okuli dapat digambarkan menurut bagan berikut: Bagan 1. Klasifikasi Trauma Okuli Menurut BETT 5

Menurut klasifikasi BETT trauma okuli dibedakan menjadi closed globe dan open globe. Closed globe adalah trauma yang hanya menembus sebagian kornea, sedangkan open globe adalah trauma yang menembus seluruh kornea hingga masuk  lebih dalam  lagi.  Selanjutnya closed globe  injury dibedakan menjadi contusio dan lamellar laceration. Sedangkan open globe injury dibedakan menjadi rupture dan laceration yang dibedakan lagi menjadi penetrating, IOFB, dan perforating.5

Trauma non-perforans : Di mana dinding mata (sklera dan kornea) tidak memiliki cedera pada keseluruhan dindingnya tetapi ada kerusakan intraokuler. Terbagi menajdi 2 yaitu :a. Kontusio : Mengarah pada trauma non-perforans yang diakibatkan dari trauma benda tumpul. 

Kerusakan mungkin terjadi pada tempat trauma atau tempat yang jauh.b. Laserasi   lamellar   :   Mengarah   pada   trauma   non-perforans   yang   mengenai   hingga   sebagian 

ketebalan dinding mata yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul   2. Trauma perforans

Di mana terdapat perlukaan yang mengenai seluruh lapisan pada sklera atau kornea atau keduanya. Terdiri atas :

10

Page 11: Trauma Pelvis PBL

a. Ruptur : kerusakan pada seluruh ketebalan dinding mata yang diakibatkan oleh benda tumpul. Luka muncul akibat peningkatan tekanan intraoculer yang jelas akibat mekanisme cedera masuk-keluar.

b.  Laserasi : kerusakan pada seluruh ketebalan dinding mata yang diakibatkan oleh benda tajam. Terbagi atas 3 yaitu luka penetrasi (laserasi yang berjumlah hanya satu pada dinding mata yang disebabkan oleh benda tajam), perforasi (terdapat dua laserasi pada seluruh ketebalan dinding mata (satu masuk dan satu keluar) pada dinding mata yang disebabkan oleh benda tajam. Kedua luka harus disebabkan oleh penyebab yang sama).

c. Benda asing Intraokuler : luka penetrasi di mana benda asingnya tetap tertinggal dalam mata.Klasifikasi trauma okuler berdasarkan mekanisme trauma:3 Trauma mekanik :a. Trauma palpebraPada palpebra dapat terjadi :1. Hematoma palpebra merupakan pembengkakan atau penimbunan darah di bawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra. Bila perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan berbentuk kacamata hitam yang sedang di pakai, maka keadaan ini disebut hematoma kaca mata yang terjadi akibat pecahnya arteri oftalmika yang merupakan tanda dari fraktur basis crania.12. Aberasi dan laserasi kelopak mata. Benda partikel harus dikeluarkan dari aberasi kelopak untuk mengurangi resiko pembentukan tato kulit. Laserasi partial-thickness pada kelopak yang tidak mengenai batas kelopak dapat diperbaiki secara bedah sama seperti laserasi kulit lainnya.2a. Trauma pada sistem lakrimalb. Laserasi konjungtivac. Benda asing pada kornea dan konjungtivad. Erosi korneae. Trauma non perforans (trauma tumpul,closed-globe injury,)Trauma tumpul yang terjadi dapat mengakibatkan beberapa hal, yaitu:4, 1. Edema konjungtivaJaringan   konjungtiva   yang   bersifat   selaput   lendir   dapat   menjadi   kemotik   pada   setiap   kelainannya, demikian pula akibat trauma tumpul. Bila kelopak terpajan ke dunia luar dan konjungtiva secara langsung kena angin tanpa mengedip, maka keadaan ini dapat mengakibatkan edema pada konjungtiva.2. Hematoma subkonjungtiva

Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang terdapat pada atau di bawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera. Pecahnya pembuluh darah ini dapat akibat batuk rejan, trauma tumpul basis kranii (hematoma kaca mata), atau pada keadaan pembuluh darah yang rentan (pada usia lanjut, hipertensi, arteriosklerosis, konjungtivitis, anemia, dan obat-obat tertentu) dan mudah pecah. Bila akibat   trauma   tumpul,   maka   perlu   dipastikan   bahwa   tidak   terdapat   robekan   di   bawah   jaringan konjungtiva atau sclera.3. Edema pada korneaEdema kornea akan memberikan keluhan penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat keruh, dengan uji plasido yang positif. 4. Erosi korneaErosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa cedera pada membran basal. 5. Hifema 

Hifema adalah adanya darah di dalam kamera anterior. Hifema atau adanya darah dalam bilik mata depan dapat terjadi karena trauma tumpul. 6. IridopareseIridoplegia adalah adanya kelumpuhan pada otot pupil sehingga terjadi midriasis. Penanganan: Berikan pilokarpin,  apabila  dengan pemberian yang sampai  berbulan-bulan tetap midriasis  maka  telah terjadi iridoplegia yang iriversibel.7. Iridodialisis

11

Page 12: Trauma Pelvis PBL

Iridodialisis ialah iris yang pada suatu tempat lepas dari pangkalnya, pupil menjadi tdak bula dan di sebut dengan pseudopupil. 8. Dislokasi lensaDislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula zinn yang mengakibatkan kedudukan lensa terganggu.9. Subluksasi lensaTerjadi akibat putusnya sebagian zonula zinn sehingga lensa berpindah tempat. Dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita kelainan pada zonula zinn yang rapuh (Sindrom Marphan).10. Katarak traumaKatarak  akibat  cedera  dapat  akibat   trauma perforasi  ataupun tumpul   terlihat  sesudah beberapa hari ataupun tahun. Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior ataupun posterior. 11. Ablasi RetinaTrauma diduga merupakan pencetus untuk terlepasnya retina dari koroid pada penderita ablasi retina. Biasanya pasien telah mempunyai bakat untuk terjadinya ablasi retina seperti retina tipis akibat retinitis semata, myopia, dan proses degenerasi retina lainnya.g. Trauma pada dasar orbitalis (outflow fracture)h. Trauma perforans (open-globe injury)Bila trauma disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam bola mata maka akan terlihat tanda-tanda bola mata tembus seperti :21. Tajam penglihatan yang menurun2. Tekanan bola mata rendah3. Bilik mata dangkal4. Bentuk dan letak pupil berubah5. Terlihatnya ada ruptur pada kornea atau sklera6. Terdapat jaringan yang di prolaps seperti cairan mata, iris, lensa badan kaca atau retina7. Konjungtiva kemosis

Trauma Akibat Temperatur dan Radiasi1. Trauma bakarA. PanasRefleks menutup mata dengan cepat, fenomena Bell’s dan refleks menjauh dari sumber panas yang dapat menyebabkan kerusakan bola mata dari api. Terbakar akibat bahan metal yang bersentuhan dengan mata bisa menyebabkan trauma kornea dengan skar yang menetap.B. DinginPeralihan edema stroma kornea dengan dingin dilaporkan bervariasi, mencakup individu dengan Raynaud Disease. Stress dingin dapat menyebabkan konjungtiva vaskuler tetap pada fenomena raynaud. Peralihan dingin   merangsang   edema   kornea   dilaporkan   pada   sebagian   besar   pasien   dengan   disfungsi   CN   V (trigeminal).2. Radiasi Ultraviolet3. Radiasi Ion 9

Trauma KimiaTrauma kimia  pada  mata   luar  dapat  menyebabkan masalah  dari   iritasi  yang kecil  menjadi  kerusakan lengkap dari permukaan epitel okuli, corneal opacification, kebutaan. 9a. Trauma kimia yang disebabkan oleh Alkali.Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan akibat yang sangat gawat pada mata.  Alkali  akan menembus dengan cepat  kornea,  bilik  mata depan dan sampai  pada  jaringan retina,   sehingga dapat terjadi penghancuran jaringan kolagen retina.1b. Trauma kimia yang disebabkan oleh Asam.Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik (asetat, forniat), dan organik anhidrat (asetat). Bila bahan asam mengenai mata maka akan terjadi pengendapan ataupun penggumpalan protein permukaan sehingga bila konsentrasi tidak tinggi maka tidak akan bersifat destruktif seperti trauma alkali.Berdasarkan Birminghamm Eye Terminology System (BETTS), trauma okuli dibagi atas 2 yaitu : 8

12

Page 13: Trauma Pelvis PBL

1. Trauma bola mata tertutup (closed globe injury)A. KontusioB. Laserasi lamellar2. Trauma bola mata terbuka (Open-globe Injury)A. RupturB. Laserasi: o Penetrasio Intraocular foreign body (IOFB)o Perforasi

TRAUMA TUMPULTrauma tumpul sendiri dapat berupa:a) Trauma tumpul palpebra.Suatu benturan tumpul bisa mendorong mata ke belakang sehingga kemungkinan merusak struktur pada permukaan (kelopak mata,  konjungtiva,  sklera,  kornea dan  lensa)  dan struktur  mata bagian belakang (retina dan persarafan). Karena palpebra merupakan pelindung bola mata maka saat terjadi trauma akan melakukan reefleks menutup. Hal ini akan menyebabkan terjadinya hematoma palpebra.  Hematoma ini terjadi karena keluarnya darah dari pembuluh darah yang rusak pada trauma tersebut.b) Trauma tumpul lensa:

Dislokasi lensa oleh karena ruptur di zonula zinni. Dapat sebagian (subluksasi), dapat pula total (luksasi). Lepasnya dapat ke depan dapat pula ke belakang.(9)• Dislokasi   Lensa.  Dislokasi   lensa   terjadi  pada  putusnya  zonula   zinn  yang  akan  mengakibatkan kedudukan lensa terganggu.• Subluksasi Lensa. Terjadi akibat putusnya sebagian zonula zinn sehingga lensa berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita kelainan pada zonula zinn yang rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang. Subluksasi lensa akan memberikan gambaran  pada iris berupa iridodonesis. Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastic akan menjadi cembung, dan maata akan menjadi  lebih miopik.  Lensa yang menjadi sangat   cembung  mendorong   iris   ke  depan   sehingga   sudut  bilik  mata   tertutup.  Bila   sudut  bilik  mata menjadi sempit pada mata ini mudha terjadi glaucoma sekunder.• Luksasi  Lensa Anterior.  Bila seluruh zonula zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma maka lensa dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak dalam bilik mata depan ini maka akan terjadi   gangguan   pengaliran   keluar   cairan   bilik   mata   sehingga   akan   timbul   glaucoma   kongestif   akut dengan gejala-gejalanya. Pasien akan mengeluh penglihatan menurun mendadak, disertai rasa sakit yang sangat,  muntah,  mata merah dengan blefarospasme. Terdapat  injeksi  siliar  yang berat,  edema korne, lensa di dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar. Tekanan bola mata sangat tinggi.• Luksasi Lensa Posterior. Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi luksasi lensa posterior akibat putusnya zonula zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah polus posterior fundus okuli. Pasien akan mengeluh adanya skotoma  pada   lapang  pandangannya  akibat   lensa  mengganggu  kampus.   Mata   ini   akan  menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau afakia. Pasien akan melihat normal dengan lensa +12.0 dioptri untuk jauh, bilik mata depan dalam dan iris tremulans. Lensa yang terlalu lama berada dalam polus posterior dapat menimbulkan penyulit akibat degenerasi lensa, berupa glaucoma fakolitik ataupun uveitis fakotoksik.• Katarak   Trauma.   Pada   trauma   tumpul   akan   terlihat   katarak   subkapsular   anterior   ataupun posterior.  Kontusio  lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat pula dalam bentuk katarak tercetak yang disebut cincin Vossius. Cincin Vossius merupakan cincin berpigmen yang terletak tepat di belakang  pupil   yang  dapat   terjadi   segera   setelah   trauma,  yang  merupakan  deposit  pigmen   iris  pada dataran depan lensa sesudah suatu trauma, seperti suatu stempel jari.c) Trauma tumpul kornea.Abrasi  Kornea adalah keadaan dimana epitel  dari  kornea terlepas  yang bisa diakibatkan oleh trauma tumpul, trauma tajam dan trauma kimia dan juga benda asing subtarsal. Abrasi kornea bisa berulang dan 

13

Page 14: Trauma Pelvis PBL

menyebabkan rasa sakit  yang hebat,  dimana abrasi  kornea merupakan suatu kegawatdaruratan pada mata yang bisa menyebabkan ulserasi dan oedema kornea yang akan menganggu visus. Diagnosis bisa ditunjang  dengan uji  flourosensi  dimana akan   terlihat  warna hijau  bila   terjadi   kerusakan pada epitel kornea.   Penatalaksanaan   yang   dapat   dilakukan   adalah   pemberian   antibiotik   topikal   dan   midriatikum untuk merelaksasi iris dan mengurangi rasa sakit. Pastikan juga tidak terdapat benda asing yang dapat menganggu proses  penyembuhan.  Masa penyembuhan tergantung  pada  luasnya kerusakan,  dan  juga adakah infeksi, benda asing dan mata kering yang bisa menyebabkan kegagalan terapi. Mata kemudian di tutup dengan penutup yang membuat pasien merasa lebih nyaman.d) Trauma fundus oculi.

Trauma tumpul yang mengenai  mata dapat mengakibatkan kelainan pada retina, koroid,  dan saraf optik. Perubahan yang terjadi dapat berupa edema retina, perdarahan retina, ablasi retina, maupun atrofi saraf optik. Jika dijumpai penderita dengan trauma tumpul dan penurunan tajam penglihatan yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian kacamata, sedangkan keadaan media mata jernih, maka dapat diperkirakan adanya kelainan di fundus atau di belakang bola mata . Diagnosis banding penglihatan turun setelah   sebuah   cedera   mata   adalah   trauma   retina,   perdarahan   corpus   vitreous,   dan   trauma   yang mengakibatkan kerusakan pada kiasma optikus.

Fundus harus diperiksa dengan oftalmoskopi direk setelah midriasis penuh dilakukan. Jika tidak terlihat   detil   struktur   mata,   maka   hal   ini   menunjukkan   terjadinya   perdarahan   vitreous.   Perdarahan vitreous   terabsosrbsi  dalam waktu  beberapa  minggu  atau  mungkin  diperlukan  pengangkatan  dengan virektomi. Daerah perdarahan retina dan daerah berwarna putih (edema) dapat dilihat. Koroid juga bisa robek dan menyebabkan perdarahan subretina yang kemudian diikuti oleh parut subretina.(9)

Trauma pada mata dapat menyebabkan munculnya beberapa gejala klinis yaitu :a) Perdarahan di palpebra (echymosis, black eye) 

Pada   perdarahan   yang   berat,   palpebra   menjadi   bengkak,   kebiru-biruan,   karena   jaringan   ikat palpebra halus. Perdarahan dapat menjalar ke bagian lain di muka, juga dapat menyeberang ke mata  yang   lain  menimbulkan  hematoma kacamata  atau  menjalar   ke  belakang  menyebabkan eksoftalmus.

b) Emfisema palpebra Emfisema palpebra teraba sebagai pembengkakan dengan krepitasi, disebabkan adanya udara di 

dalam jaringan palpebra yang longgar. Hal ini menunjukkan adanya fraktura dari dinding orbita, sehingga menimbulkan hubungan langsung antara rongga orbita dengan ruang hidung atau sinus-sinus sekeliling orbita.  Sering mengenai   lamina papyricea os etmoidalis,  yang merupakan dinding medial  dari   rongga orbita, karena dinding ini tipis.c) Luka laserasi di palpebra (9)Trauma tumpul  dapat pula menimbulkan  luka  laserasi  pada palpebra.  Bila   luka  ini  hebat dan disertai dengan   edema   yang   hebat   pula,   jangan   segera   dijahit,   tapi   bersihkanlah   lukanya   dan   tutup   dengan pembalut basah yang steril. Bila bengkaknya berkurang, baru dijahit.d) Kelainan gerakan mata (9)o Kelopak   mata   tak   dapat   menutup   dengan   sempurna   (lagoftalmus),   yang   dapat   disebabkan lumpuhnya N.VIIo Kelopak mata tak dapat membuka dengan sempurna  (ptosis), yang mungkin disebabkan edema atau perdarahan pada palpebra. Ptosis dapat juga terjadi akibat lumpuhnya m.levator palpebra. Pada trauma tumpul dapat juga terlihat gangguan gerak bola mata, karena perdarahan di rongga orbita atau adanya kerusakan di otot-otot mata luar.Dapat terjadi oleh karena :o parese atau paralise dari m. Levator palpebra (N.III)o Pseudoptosis, oleh karena edema palpebrae) Hiperemia konjungtiva dan perdarahan subkonjungtiva (9)f) Timbulnya lipatan-lipatan pada M. Descement dan M. Bowman (9)

14

Page 15: Trauma Pelvis PBL

Hal   ini   disebabkan   menurunnya   tekanan   intra   okuler   pada   waktu   terjadinya   trauma   yang kemudian disusul dengan naiknya tonus menjadi normal kembali. Lipatan-lipatan ini akan hilang bila tonus normal kembali. Keluhannya visus menurun, yang menjadi baik lagi bila tonus normal kembali.g) Perdarahan di dalam bilik mata depan (hifema) (9,10)  Hifema   adalah   terkumpulnya   darah   dalam   bilik   depan   bola   mata   (camera   oculi   anterior). Perdarahan bilik mata depan akibat ruda paksa ini merupakan akibat yang paling sering dijumpai karena trauma. Perdarahan bilik depan bola mata ini terutama berasal dari pembuluh darah corpus ciliare dan sebagian   kecil   dari   pembuluh   darah   iris,   sedang   penyerapan   darahnya   sebagian   besar   akan   diserap melalui   trabekular   meshwork   dan   selanjutnya   ke   kanal   schlemm,   sisanya   akan   diabsorbsi   melalui permukaan iris.(10)h) Pupil midriasis (9)

Disebabkan  iridoplegia,  akibat serabut saraf yang mengatur otot sfingter pupil.   Iridoplegia  ini dapat terjadi temporer 2-3 minggu, dapat juga permanen, tergantung adanya parese atau paralise dari otot tersebut. Dalam waktu itu mata terasa silau.i) Iridodialise/iridoreksis/robekan iris (9)  Merupakan robekan pada akar  iris,  sehingga pupil  agak ke pinggir   letaknya, pada pemeriksaan biasa terdapat warna gelap selain pada pupil, tetapi juga pada dasar iris terdapat iridodialisa. Pada pemeriksaan oftalmoskopi terdapat warna merah pada pupil dan juga pada tempat iridodialisa, yang merupakan refleks fundus.j) Perdarahan badan kaca (9)

Dapat berasal dari badan siliar, koroid dan retina. Karenanya bila terdapat perdarahan di dalam badan   kaca,   sebaiknya   dilakukan   pemeriksaan   ultrasonografi,   untuk   mengetahui   keadaan   di   bagian posterior mata.k) Kelainan retina berupa edema dan ruptur retina (9)

Edema retina biasanya di daerah polus anterior dekat makula atau di perifer. Tampak seolah-olah retina dilapisi susu. Bila terjadi di makula, visus sentral sangat terganggu dengan skotoma sentralis.l) Perdarahan retina (9)

Dapat   timbul   bila   trauma   menyebabkan   pecahnya   pembuluh   darah.   Bentuk   perdarahan tergantung dari lokalisasinya. Bila terdapat di lapisan serabut saraf tampak sebagai bulu ayam, bila letak lebih   keluar   tampak   sebagai   bercak   yang   berbatas   tegas,   perdarahan   di   depan   retina   (preretina) mempunyai permukaan datar di bagian atas dan cembung di bagian bawah. Darahnya dapat pula masuk ke   dalam   badan   kaca.   Penderita   mengeluh   terdapat   bayangan-bayangan   hitam   di   lapangan penglihatannya, kalau banyak dan masuk ke dalam badan kaca dapat menutupi jalannya cahaya, sehingga visus terganggu.m) Robekan sklera (9)  Kalau robekannya kecil, sekitar robekan didiatermi dan robekannya dijahit. Pada robekan yang besar, lebih baik dilakukan enukleasi bulbi, untuk hindarkan oftalmia simpatika. Robekan ini biasanya terletak dibagian atas.                  n) Eksoftalmus (9)

Biasanya   disebabkan   perdarahan   retrobulber,   berasal   dari   a.optalmika   beserta   cabang-cabangnya. Dengan istirahat di tempat tidur, perdarahan diserap kembali, juga diberi koagulansia. Bila eksoftalmus disertai pulsasi dan “souffles”, berarti ada aneurisma arteriovena antara arteri karotis interna dan sinus kavernosa.o) Enoftalmus (9)

Disebabkan robekan besar pada kapsula tenon, yang menyelubungi bola mata di luar sklera atau disebabkan fraktur dasar orbita. Seringkali enoftalmus tidak terlihat selama masih terdapat edema.Pada pemeriksaan funduskopi mungkin terlihat atrofi saraf optik yang menyebabkan visus sangat menurun. Hal ini disebabkan adanya perdarahan retrobulber, fraktura dinding orbita bagian posterior, fraktura basis kranii. Untuk menentukannya diperlukan foto tulang tengkorak.

1.4.3 TRAUMA TEMBUS ( LUKA AKIBAT BENDA TAJAM ) Luka akibat benda tajam dapat mengakibatkan : (9)

15

Page 16: Trauma Pelvis PBL

1. Luka pada palpebraKalau Kalau pinggiran palpebra  luka dan tak dapat  diperbaiki,  dapat menimbulkan koloboma 

palpebra   akuisita.   Bila   besar   dapat   mengakibatkan   kerusakan   kornea   oleh   karena   mata   tak   dapat menutup dengan sempurna.2. Luka pada orbita

Luka tajam yang mengenai orbita dapat merusak bola mata, merusak saraf optik, menyebabkan kebutaan atau merobek otot luar mata sehingga timbul paralise dari otot dan diplopia. Mudah terkena infeksi,   menimbulkan   selulitis   orbita   (orbital   phlegmon),   karena   adanya   benda   asing   atau   adanya hubungan terbuka dengan rongga-rongga di sekitar orbita.3. Luka mengenai bola mata

Harus dihentikan :    - luka dengan atau tanpa perforasi- luka dengan atau tanpa benda asingKalau ada perforasi  di  bagian depan (kornea)   :  bilik  mata depan dangkal,  kadang-kadang  iris 

melekat atau menonjol pada luka perforasi di kornea, tensi intra okuler merendah, tes fistel positif. Bila perforasinya mengenai bagian posterior (sklera) : bilik mata depan dalam, perdarahan di dalam sklera, koroid, retina, mungkin ada ablasi retina, tensi intra okuler rendah.a) Luka mengenai konjungtiva (9)

Bila kecil dapat sembuh dengan spontan, biloa besar perlu dijahit,disamping pemberian antibiotik lokal dan sistemik untuk mencegah infeksi sekunder.b)  Luka di kornea (9)

Bila tanpa perforasi : erosi atau benda asing tersangkut di kornea. Tes fluoresin (+). Jaga jangan sampai terkena infeksi,  sehingga dapat timbul ulkus serpens akut atau herpes kornea, dengan pemberian antibiotika atau kemoterapeutika yang berspektrum luas, lokal dan sistemik. Benda asing di kornea di angkat, setelah diberi anastesi lokal dengan pantokain 1 %. Kalau mulai ada neovaskularisasi dari   limbus, berikanlah kortison lokal  atau subkonjungtiva.  Tetapi   jangan diberikan kortison pada luka yang baru atau bila ada herpes kornea.

Bila  ada perforasi   :  bila   luka  kecil,   lepaskan konjungtiva  di   limbus  yang  berdekatan, kemudian di tarik supaya menutupi luka kornea tersebut (flap konjungtiva). Bila luka di kornea luas, maka luka itu harus dijahit. Kemudian ditutup dengan flap konjungtiva. Jika luka di kornea itu disertai dengan prolaps iris, iris yang keluar harus dipotong dan sisanya di reposisi, robekan di kornea dijahit dan ditutup denganh flap konjungtiva. Kalau luka telah berlangsung beberapa jam, sebaiknya bilik mata depan dibilas terlebih dahulu dengan larutan penisilin 10.000 U/cc, sebelum kornea dijahit. Sesudah selesai seluruhnya, berikan antibiotika dengan spektrum luas lokal dan sistemik, juga subkonjungtiva. c) Luka di sklera (9)

Luka yang mengenai   sklera  berbahaya karena dapat  mengakibatkan perdarahan badan kaca, keluarnya   isi  bola  mata,   infeksi  dari  bagian  dalam bola  mata,  ablasi   retina.   Luka  kecil,   tanpa   infeksi sekunder pada waktu terkena trauma, dibersihkan, tutup dengan konjungtiva, beri antibiotik lokal dan sistemik, mata ditutup. Luka dapat sembuh. Luka yang besar, sering disertai dengan perdarahan badan kaca, prolaps badan kaca, koroid atau badan siliar, mungkin terdapat di dalam luka tersebut. Bila masih ada kemungkinan,  bahwa mata  itu masih dapat melihat,  maka  luka dibersihkan,  jaringan yang keluar dipotong, luka sklera dijahit, konjungtiva dijahit, beri atropin, kedua mata ditutup. Sekitar luka didiatermi. Bila   luka  cukup  besar  dan  diragukan  bahwa  mata   tersebut  masih  dapat  melihat,  maka   sebaiknya  di enukleasi, untuk menghindarkan timbulnya optalmia simpatika pada mata yang sehat.d) Luka pada corpus siliar (9)

Luka disini mempunyai prognosis yang buruk, karena kemungkinan besar dapat menimbulkan endoftalmitis,  panoftalmitis yang dapat berakhir  dengan ptisis  bulbi  pada mata yang terkena trauma, sedang pada mata yang sehat dapat timbul oftalmia simpatika. Karena itu bila  lukanya besar, disertai prolaps dari isi bola mata, sehingga mata mungkin tak dapat melihat lagi, sebaiknya di enukleasi bulbi, supaya mata yang sehat tetap baik.Bila trauma disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam bola mata , maka akan terlihat tanda-tanda bola mata tembus, seperti ;- Mata merah, nyeri, fotofobia, blepharospasme dan lakrimasi

16

Page 17: Trauma Pelvis PBL

- Tajam penglihatan yang menurun akibat tedapatnya kekeruhan media refrakta secara langsung atau tidak langsung akibat ruma tembus tersebut- Tekanan bola mata rendah akibat keluarnya cairan bola mata- Bilik mata dangkal akibat perforasi kornea- Bentuk dan letak pupil berubah.- Terlihatnya rupture pada kornea atau sclera- Adanya hifema pada bilik mata depan- Terdapat jaringan yang di prolaps seperti cairan mata, irirs lensa, badan kaca atau retina.3.3. PatofisiologiTerdapat empat mekanisme yang menyebabkan terjadi trauma okuli yaitu : 4 • coup, • countercoup,•  equatorial• global reposititioning. Coup   adalah   kekuatan   yang   disebabkan   langsung   oleh   trauma.   Countercoup   merupakan   gelombang getaran yang diberikan oleh cuop, dan diteruskan melalui okuler dan struktur orbita. Akibat dari trauma ini, bagian equator dari bola mata cenderung mengambang dan merubah arsitektur dari okuli normal. Pada akhirnya, bola mata akan kembali ke bentuk normalnya, akan tetapi hal ini tidak selalu seperti yang diharapkan.4Trauma mata yang sering adalah yang mengenai kornea dan permukaan luar bola mata (konjungtiva) yang disebabkan oleh benda asing. Meskipun demikian kebanyakan trauma ini adalah kecil, seperti penetrasi pada kornea dan pembetukan infeksi yang berasal dari terputusnya atau perlengketan pada kornea yang mana hal ini dapat menjadi serius. Benda asing dan aberasi di kornea menyebabkan nyeri dan iritasi yang dapat dirasakan sewaktu mata dan kelopak mata digerakkan. Defek epitel kornea dapat menimbulkan keruhan serupa. Fluoresens akan mewarnai membran basal epitel yang terpajan dan dapat memperjelas kebocoran cairan akibat luka tembus (uji Seidel positif)2Mekanisme trauma pada bola mata akibat benda tumpul:61. Dampak langsung pada bola mata: tempat kontak mendapatkan cedera terbesar pada mata.2. Kekuatan   gelombang   penekanan   :   ditransmisikan   melalui   isi   cairan   ke   seluruh   arah   dan menghantam bilik mata depan, mendorong diafragma iris ke belakang, dan juga menghantam koroid dan retina. Kadang-kadang gelombang penekanan sangat besar sehingga menyebabkan cedera pada tempat yang jauh dari tempat cedera awal yang disebut counter coup3. Kekuatan   gelombang   penekanan   yang   dipantulkan   :   setelah   mengenai   dinding   luar,   maka gelompang penekanan menuju ke kutub belakang dan dapat merusak fovea.4. Kekuatan   gelombang   penekanan   balik   :   setelah   mengenai   dinding   belakang,   gelombang penekanan dikembalikan lagi ke depan, yang dapat merusak koroid dan diafragma dengan tarikan dari belakang ke depan.5. Kekuatan tidak langsung : apabila bola mata mengenai struktur tulang dan elastis dari struktur penyusun bola mata. 

3.4. Manifestasi klinisGejala klinis yang dapat terjadi pada trauma mata antara lain 6,7,8 : 1. Perdarahan atau keluar cairan dari mata atau sekitarnyaPada trauma mata perdarahan dapat terjadi akibat luka atau robeknya kelopak mata atau perdarahan yang berasal dari bola mata. Pada trauma tembus caian humor akueus dapat keluar dari mata.  2. Memar pada sekitar mataMemar pada sekitar mata dapat terjadi akibat hematoma pada palpebra. Hematoma pada palpebra juga dapat terjadi pada pasien yang mengalami fraktur basis kranii.3. Penurunan visus dalam waktu yang mendadakPenurunan visus pada trauma mata dapat disebabkan oleh dua hal,  yang pertama terhalangnya  jalur refraksi  akibat komplikasi trauma baik di segmen anterior maupun segmen posterior bola mata, yang kedua akibat terlepasnya lensa atau retina dan avulsi nervus optikus.  

17

Page 18: Trauma Pelvis PBL

4. Penglihatan gandaPenglihatan ganda atau diplopia pada trauma mata dapat terjadi karena robeknya pangkal iris. Karena iris robek maka bentuk pupil menjadi tidak bulat. Hal ini dapat menyebabkan penglihatan ganda pada pasien.5. Mata bewarna merahPada trauma mata yang disertai dengan erosi kornea dapat ditemukan pericorneal injection (PCI) sehingga mata   terlihat   merah   pada   daerah   sentral.   Hal   ini   dapat   pula   ditemui   pada   trauma   mata   dengan perdarahan subkonjungtiva. 6. Nyeri dan rasa menyengat pada mataPada trauma mata dapat terjadi nyeri yang disebabkan edema pada palpebra. Peningkatan tekanan bola mata juga dapat menyebabkan nyeri pada mata. 7. Sakit kepalaPada trauma mata sering disertai dengan trauma kepala. Sehingga menimbulkan nyeri kepala. Pandangan yang kabur dan ganda pun dapat menyebabkan sakit kepala. 8. Mata terasa Gatal, terasa ada yang mengganjal pada mataPada  trauma mata  dengan benda asing  baik  pada  konjungtiva  ataupun segmen anterior  mata  dapat menyebabkan mata terasa gatal dan mengganjal. Jika terdapat benda asing hal ini dapat menyebabkan peningkatan produksi air mata sebagai salah satu mekanisme perlindungan pada mata.9. FotopobiaFotopobia pada trauma mata dapat terjadi karena dua penyebab. Pertama adanya benda asing pada jalur refraksi,  contohnya hifema, erosi kornea, benda asing pada segmen anterior bola mata menyebabkan jalur  sinar  yang masuk ke dalam mata menjadi  tidak teratur,  hal   ini  menimbulkan silau pada pasien. Penyebab lain fotopobia pada pasien trauma mata adalah lumpuhnya iris. Lumpuhnya iris menyebabkan pupil tidak dapat mengecil dan cenderung melebar sehingga banyak sinar yang masuk ke dalam mata. 

3.5. DiagnosisDiagnosis   trauma   okuli   dapat   di   tegakkan   berdasarkan   anamnesis,   pemerksaan   fisis   dan 

pemeriksaan penunjang jika tersedia. Pada anamnesis informasi yang di peroleh dapat berupa mekanisme dan   onset   terjadinya   trauma.,   bahan   penyebab   truma   dan   pekrjaan   untuk   mengetahui   objek penyebabnya. Anamnesis harus mencakup perkiraan ketajaman penglihatan sebelum dan segera sesudah cedera. Harus di catat apakah gangguan penglihatan bersifat prograsif lambat atau berawitan mendadak. Harus   dicurigai   adanya   benda   asing   intraokuler   apabila   terdapat   riwayat   me-malu,   mengasah   atau kedakan.  Cedera pada anak dengan  riwayat  yang tidak sesuai  dengan cedera  yang diderita,  harus  di curigai   akan   adanya   penganiayaan   anak.   Riwayat   kejadian   harus   diarah   secara   khusus   pada   detail terjadinya trauma, riwayat pembedahan okuler sebelumnya, riwayat penyakit, pengobatan sebelumnnya dan elergi.(3)

Pada anamnesis perlu diketahui apakah terjadi penurunan visus setelah cedera atau saat cedera terjadi. Onset dari penurunan visus apakah terjadi secara progresif atau terjadi secara tiba-tiba. Harus dicurigai adanya benda asing apabila ada riwayat pemakaian palu, pahat, ataupun ledakan, dan harus dipertimbangkan untuk melakukan pencitraan. Pemakaian palu dan pahat dapat melepaskan serpihan-serpihan   logam   yang   akan   menembus   bola   mata,   dan   hanya   meninggalkan   petunjuk   perdarahan subkonjungtiva yang mengindikasikan  adanya  penetrasi   sklera  dan benda  asing  yang  tertingal.  Nyeri, lakrimasi,   dan   pandangan   kabur   merupakan   gambaran   umum   trauma,   namun   gejala   ringan   dapat menyamarkan benda asing intraokular yang berpotensi membutakan. (4)

Pemeriksaan struktur  eksternal  mata termasuk didalamnya palpasi,   inspeksi  dengan penlight, pemeriksaan kelopak mata, pewarnaan dengan fluoresensi, dan anestesi topikal. Palpasi rima orbita harus dilakukan bila dicurigai  terjadi cedera tumpul atau fraktur. Penlight digunakan untuk memeriksa mata akan adanya tanda-tanda perforasi, seperti dangkalnya kamera anterior atau prolaps uvea. Hifema dapat timbul tanpa perforasi  dan, pada kenyataanya,  sering ada pada trauma tumpul.  Pemeriksaan kelopak mata (retraksi dan eversi kelopak mata atas dan bawah) akan membantu inspeksi benda asing atau luka bakar kimiawi. Apabila pasien merasakan adanya benda asing atau bila ada riwayat trauma tumpul dan trauma   tajam,   dapat   dilakukan   pemeriksaan   dengan   fluoresensi,   dengan   memberi   pewarnaan   pada kornea untuk mengidentifikasi adanya defek epitel kornea.(4)

18

Page 19: Trauma Pelvis PBL

Bagian anterior mata harus diperiksa dengan memakai lup atau slit lamp yang bertujuan untuk mengetahui   lokasi   luka   atau   celah   tembus.   Pemeriksaan   oftalmoskopi   direk   dan   indirek   juga   dapat dilakukan. Selain itu dapat pula dilakukan pemeriksaan tonometri untuk mengatahui tekanan intraokular, dimana  trauma yang menyebabkan rupture  bola  mata  dapat  menyebabkan tekanan  intraokular  yang menurun. (10)

Pemeriksaan   fisik   dilakukan   secara   hati-hati   dan   manipulasi   sedapat   mungkin   diminimalisir. Pemeriksaan fisik dimulai dengan pengukuran dan pencatatan ketajaman penglihatan. Apabila gangguan penglihatannya   parah,   maka   periksa   proyeksi   cahaya,   diskriminasi   dua   titik,   dan   adanya   defek   pupil eferan. Periksa motilitas mata dan sensasi kulit perorbita dan lakukan palpasi untuk mencari defek pada bagian tepi tulang orbita. Pada pemeriksaan kornea dan konjungtiva bila luka tidak menyebabkan rupture bola mata, maka dilakukan eversi kelopak mata untuk mengetahui lokasi benda tersebut sejelas-jelasnya. Kedalaman dan kejernihan kamera anterior dicatat. Ukuran bentuk dan reaksi terhadap cahaya dari pupil harus dibandingkan dengan mata yang lain untuk memastikan apakah terdapat defek pupil di mata yang cedera. Bila dalam inspeksi terlihat rupture bola mata atau adanya kecenderungan rupture bola mata, maka  tidak dilakukan pemeriksaan lagi. Mata dilindungi dengan pelindung tanpa bebat, kemudian dirujuk ke  spesialis  mata.  Dokumentasi   foto  bermanfaat  untuk   tujuan-tujuan  medikolegal  pada  semua kasus trauma eksternal.(4,8)

Pemeriksaan slit lamp juga dapat dilakukan untuk melihat kedalam cedera di segmen anterior bola mata. Tes fluoresisn dapat digunakan untuk mewarnai kornea, sehingga cedera kelihatan dengan jelas. Pemeriksaan tonometri perlu dilakukan untuk mnegetahui tekanan bola mata. Pemeriksaan fundus yang di dilatasikan dengan oftalmoskop indirek penting untuk dilakukan untuk mengetahui adanya benda asing intraokuler. Bila benda asing yang masuk cukup dalam, dapat dilakukan tes seidel untuk mengetahui adanya cairan yang keluar dari mata. Tes ini dilakukan dengan cara memberi anestesi pada mata yang akan di periksa, kemusian diuji pada strip fluorescein steril. Penguji menggunakan slit lamp dengan filter kobalt  biru,  sehingga akan terlihat perubahan warna strip akibat perubahan pH bila  ada pengeluaran cairan mata.(4)

CT-Scan merupakan pemeriksaan pilihan untuk mengetahui benda asing intraokular. X-Ray dapat dilakukan apabila CT-Scan tidak memungkinkan. MRI tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan benda asing jenis metal, karena medan magnet yang diproduksi saat pemeriksaan dilakukan dapat menyebabkan benda   asing   menjadi   proyektil   berkecepatan   tinggi   dan   menyebabkan   kerusakan   okular.   Ultrasound biomikroskop   juga   bermanfaat   dalam   menentukan   lokasi   dari   benda   asing   intraokular. Electroretinography (ERG) berguna untuk mengetahui ada tidaknya degenarasi  pada retina dan sering digunakan pada pasien yang tidak berkomunikasi dengan pemeriksa.(4,8)

Anamnesis yang teliti sangat penting :a. Penggunaan   palu   dan   alat   pahat   dapat   melepaskan   serpihan-serpihan   logam   yang   akan menembus   bola   mata   dan   hanya   meninggalkan   petunjuk   perdarahan   subkonjungtiva   yang mengindikasikan adanya penetrasi sclera dan benda asing yang tertinggal.b. Kawat yang tegang atau paku dapat menembus kornea dengan cepat, kadang menghasilkan jalur yang hampir tidak terlihat.c. Trauma tumpul pada mata juga dapat menyebabkan kerusakan orbita (blow-out fracture).d. Sangat penting untuk menentukan sifat bahan kimia yang mungkin mengalami kontak dengan mata.  Basa kuat menembus  jaringan anterior mata dan dapat dengan cepat menyebabkan kerusakan irreversible.Gejala pasien berhubungan dengan derajat dan jenis trauma yang dialami. Nyeri, lakrimasi dan pandangan kabur   merupakan   gambaran   umum   trauma,   namun   gejala   ringan   dapat   menyamarkan   benda   asing intraokular yang berpotensi membutakan.

LokasiLokalisasi dari benda asing yang masuk ke dalam mata melewati kornea dan sklera dapat ditemukan pada beberapa lokasi seperti :1

19

Page 20: Trauma Pelvis PBL

• Bilik mata depan. Pada bilik mata depan, benda asing intraokuler seringkali tertanam di bagian bawah. Benda asing kecil  dapat tersembunyi di sudut dari bilik mata depan, dan hanya dapat terlihat dengan pemeriksaan gonioscopy• Iris. Pada iris, benda asing biasanya tertahan dan ditemukan terperangkap dalam stroma.• Bilik   mata  belakang.  Benda  asing   dapat   terperangkap  di  belakang   iris   setelah  masuk  masuk melalui mata atau setelah membuat lubang pada iris.• Lensa. Benda asing dapat ditemukan pada permukaan anterior atau di dalam lensa. Gambaran opak atau lensa yang menjadi katarak dapat terlihat.• Kavitas vitreous. Benda asing dapat menembus sampai ke dalam lapisan korpus vitreous.• Retina, koroid, dan sklera. Benda asing dapat memperoleh akses ke struktur-struktur ini melalui kornea atau langusn melalui perforasi pada sklera.• Kavitas orbita. Benda asing yang menembus bola mata kadang-kadang menyebabkan perforasi ganda dan menempati jaringan lain dalam orbita.

A. PEMERIKSAAN FISIK8,9Gejala dan Tanda Trauma Tembus Mata :a. Riwayat adanya objek dengan kecepatan tinggi yang mengenai matab. Jaringan berwarna gelap pada kornea atau sklera (sumbatan iris pada luka)c. Pupil yang distorsid. Darah pada bilik mata depane. Bilik mata anterior yang dalam dan tidak biasaf. Katarakg. Perdarahan vitreus

A. KorneaKornea diperiksa untuk mencari  apakah terdapat  kehilangan  lapisan epitel,   laserasi  dan benda asing. Penetesan   fluoresens   akan   mengidentifikasikan   luas   aberasi   dan   jika   pekat   akan   mengidentifikasi kebocoran aqueous melalui luka tembus.B. Bilik mata anteriorTrauma   tumpul  dapat  menyebabkan  perdarahan  kedalam bilik  mata  anterior  dimana  perdarahan   ini berkimpul dengan batas cairan (hifema) yang disebabkan oleh rupturnya akar pembuluh darah iris atau iris terobek dari insersinya pada korpus siliar (dialisis iris). Pupil juga mengalami dilatasi akibat trauma tumpul (midriasis traumatik).c. Lensa mataDislokasi lensa setelah trauma benda tumpul dapat dipertimbangkan apabila terdapat kedipan pupil pada saat gerakan mata (iridodnesis).  Katarak pada lensa berkembang dengan sangat cepat setelah trauma penetrasi. Trauma tumpul juga menyebabkan katarak pada subkaspul posterior dalam hitungan jam dari trauma. 

1. Dengan Slit Lamp9Slit Lamp akan memungkinkan pemeriksaan yang lebih detail, yang dapat menunjukkan :a. Bilik   mata   anterior   yang   lebih   dangkal   dibandingkan   dengan   mata   kontralateral   dapat mengimplikasikan trauma tembus anterior.b. Hifema mikroskopik dimana terdapat sel darah merah di dalam bilik mata anterior namun tidak cukup untuk membentuk hifema.c. Adanya sel darah putih dalam ruang anterior (uveitis traumatik) d. Resesi sudut iridokornea dilihat dengan lensa kontak gonioskopi (insersi otot siliaris kedalam spur sklera bergerak ke posterior). Ini di dapatkan pada trauma tumpul.e. Peningkatan tekanan intraokular dengan tonometri aplanasi.2. Ophthalmoscopy 3. Tonometri 4. USG B-scan 

20

Page 21: Trauma Pelvis PBL

5. CT-Scan3.6. TatalaksanaPenatalaksanaan pada trauma mata bergantung pada berat ringannya trauma ataupun jenis trauma itu sendiri. Namun demikian ada empat tujuan utama dalam mengatasi kasus trauma okular adalah :- Memperbaiki penglihatan.- Mencegah terjadinya infeksi. - Mempertahankan arsitektur mata.- Mencegah sekuele jangka panjang.Penanganan Trauma Oculus Non Perforans : Setiap pasien trauma mata seharusnya medapatkan pengobatan antitetanus toksoid untuk mencegah terjadinya infeksi tetanus dikemudian hari terutama trauma yang menyebabkan luka penetrasi. Apabila jelas tampak ruptur bola mata, maka manipulasi  lebih lanjut harus dihindari sampai pasien mendapat anastesi  umum. Sebelum pembedahan jangan diberi  obat siklopegik ataupun antibiotic topical  karena kemungkinan toksisitas pada jaringan intraocular yang terpajan. Berikan antibiotik sistemik spectrum luas dan   upayakan   memakai   pelindung   mata(bebat   mata).   Analgetik   dan   antiemetik   diberikan   sesuai kebutuhan, dengan retriksi makanan dan minum. Induksi anastesi umum jengan menggunakan obat-obat penghambat depolarisasi neuron muscular, karena dapat meningkatkan secara transient tekanan di dalam bola mata sehingga meningkatkan kecendrungan herniasi isi intraocular. Anak juga lebih baik diperiksa awal   dengan   bantuan   anstetik   umum   yang   bersifat   singkat   untuk   memudahkan   pemeriksaan.   Pada trauma yang berat, seorang dokter harus selalu mengingat kemungkinan timbulnya kerusakan lebih lanjut akibat manipulasi yang tidak perlu sewaktu berusaha melakukan pemeriksaan bola mata lengkap. Yang tak kalah pentingnya yaitu kesterilan bahan atau zat seperti anastetik topical, zat warna, dan obat lain maupun alat pemeriksaan yang diberikan ke mata.1Benda   berbentuk   partikel   kecil   harus   dikeluarkan   dari   abrasi   kelopak   untuk   mengurangi   resiko pembentukan tato kulit.  Laserasi  palpebra yang superfisial  hanya memerlukan jahitan pada kulit  saja. Untuk   mengelakkan   terjadinya   jaringan   parut   yang   tidak   diinginkan,   perlu   dilakukan   debridement konservatif, menggunakan jahitan eversi yang berkaliber kecil dan membuka jahitan dengan cepat.9,10

Pre-Operatif1. Bagian mata diperban dengan kasa yang steril2. Hindari menggunakan obat topikal ataupun intervensi-intervensi lain yang perlu membuka tutup mata3. Berikan obat yang sesuai untuk sedatif, dan juga control kesakitan 4. Intravena antibiotik5. Berikan suntikan anti tetanus            Non-Operatif

Sebagian dari trauma perforans sangat minimal sehingga ia sembuh dengan sendirinya tanpa ada kerosakan   intraokuler,   mahupan   prolaps.   Kasus-kasus   sebegini   hanya   memerlukan   terapi   antibiotik sistemik ataupun topikal dengan observasi yang ketat. 

Penanganan OperatifLaserasi korneoskleral dengan uvea prolaps biasanya memerlukan penanganan operasi di bawah 

anaestesi general. Tujuan pertama dari prosedur ini adalah untuk mempertahankan keutuhan dari bola mata. Keduanya adalah untuk mengembalikan penglihatan pasien semaksimal mungkin. 3.7. PencegahanTrauma   mata   dapat   dicegah   dan   diperlukan   penerangan   kepada   masyarakat   untuk   menghindarkan terjadinya trauma pada mata, seperti:- Trauma tumpul akibat kecelakaan tidak dapat dicegah, kecuali trauma tumpul perkelahian- Diperlukan perlindungan pekerja untuk menghindarkan terjadinya trauma tajam- Setiap pekerja yang sering berhubungan dengan bahan kimia sebaiknya mengerti bahan apa yang ada di tempat kerjanya

21

Page 22: Trauma Pelvis PBL

- Pada pekerja las sebaiknya menghindarkan diri terhadap sinar dan percikan bahan las dengan memakai kacamata- Awasi anak yang sedang bermain yang mungkin berbahaya untuk matanya3.8. Komplikasi Galukoma sekunder, di sebabkan oleh adanya penyumbatan oleh darah pada sudut kamera okuli anterior. Imhibisi   kornea,   yaitu   masuknya   darah   yang   terurai   ke   dalam   lamel-lamel   kornea,   sehingga kornea  menjadi  berwarna  kuning   tengguli  dan  visus   sangat  menurun.  Penanganan   terhadap   imhibisi kornea: Tindakan pembedahan yaitu keratoplastik.Komplikasi  dari   trauma  mata   juga  bergantung  pada  berat   ringannya   trauma,  dan   jenis   trauma yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus trauma basa pada mata antara lain :1. Simblefaron2. Kornea keruh, edema, neovaskuler3. Katarak traumatik, merupakan katarak yang muncul sebagai akibat cedera pada mata yang dapat merupakan trauma perforasi  ataupun tumpul  yang terlihat  sesudah beberapa hari  ataupun beberapa tahun. Katarak traumatik ini dapat muncul akut, subakut, atau pun gejala sisa dari trauma mata. Trauma basa   pada   permukaan   mata   sering   menyebabkan   katarak,   selain   menyebabkan   kerusakan   kornea, konjungtiva, dan iris. Komponen basa yang masuk mengenai mata menyebabkan peningkatan PH cairan akuos dan menurunkan kadar glukosa dan askorbat. Hal ini dapat terjadi secara akut ataupun perlahan-lahan. Trauma kimia dapat juga disebabkan oleh zat asam, namun karena trauma asam sukar masuk ke bagian dalam mata dibandingkan basa maka jarang4. Phtisis bulbi3.9. PrognosisMata   sembuh   dengan   baik   setelah   trauma   minor   dan   jarang   terjadi   sekuele   jangka   panjang   karena munculnya sindrom erosi berulang. Namun trauma tembus mata seringkali dikaitkan dengan kerusakan penglihatan berat dan mungkin membutuhkan pembedahan ekstensif. 

Retensi   jangka   panjang   dari   benda   asing   berupa   besi   dapat   merusak   fungsi   retina   dengan menghasilkan   radikal   bebas.   Serupa   dengan   hal   itu,   trauma   kimia   pada   mata   dapat   menyebabkan gangguan penglihatan berat jangka panjang dan rasa tidak enak pada mata. Trauma tumpul dapat menyebabkan kehilangan penglihatan yang tidak dapat di terapi jika terjadi lubang retina pada fovea. Penglihatan juga dapat terganggu jika koroid pada makula rusak. Dalam jangka panjang dapat timbul glaucoma sekunder pada mata beberapa tahun setelah cedera awal jika jalinan trabekula mengalami kerusakan. Trauma orbita berat juga dapat menyebabkan masalah kosmetik dan okulomotor.

IV. KesadaranIV.1. DefinisiKesadaran   (consciousness)   didefinisikan   sebagai  suatu   keadaan   “menyadari   keadaan   dirinya   sendiri   juga keadaan   lingkungannya”.   Selain   itu,   kesadaran   dapat   diartikan   sebagai   keadaan   yang   mencerminkan pengintegrasian impuls afferen (input) dan impuls efferen (output). Kesadaran berdasarkan dua hal1. Isi kesadaran (content)2. Keadaaan bangun (arousal)

Secara  klinis  “keadaan bangun” dapat  ditandai  dengan kemampuan membuka mata,  baik  secara  spontan maupun setelah diberi ransangan, sedangkan  indikator klinis dari “isi kesadaran: adalah dari fungsi bicara dan bahasanya. Akan tetapi, gangguan kesadaran lebih ditekankan pada gangguan terhadap keadaan bangun. Maruzzi  dan Maquon pada   tahun  1940  menemukan  struktur  anatomi  yang  bertanggung   jawab   terhadap sistem kesadaran. Bangunan tersebut terletak dibagian tengah batang otak dan memanjang ke hipotalamus dan talamus yang disebut dengan “Ascending Reticular Activating System” / ARAS atau lebih sering disebut Formatio Reticularis.Arousal merupakan hasil interaksi timbal balik dari ARAS dengan korteks bilateral. ARAS terdapat mulai dari medula oblongata sampai hipotalamus. Fungsi ARAS adalah meransang korteks untuk tetap terjaga (arousal). Hal tersebut tercermin dari pemeriksaan bila:

22

Page 23: Trauma Pelvis PBL

1. Bila ditusuk jarum maka mata terbuka2. Refleks kornea menimbulkan reaksi pupil3. Pergerakan bola mata (spontan dan refleks)4. Keadaan terjaga dan tidur

IV.2. FisiologiSistem aktivitas retikuler berfungsi mempertahankan kesadaran. Sistem ini terletak di bagian atas batang otak, terutama   di   mesensefalon   dan   hipothalamus.   Lesi   di   otak,   yang   terletak   di   atas   hipothalamus   tidak   akan menyebabkan penurunan kesadaran, kecuali bila lesinya luas dan bilateral. Lesi fokal di cerebrum, misalnya oleh tumor atau stroke, tidak akan menyebabkan coma, kecuali bila letaknya dalam dan mengganggu hipothalamus.

Tingkat Kesadaran Manusia: (Price, 2006)

Sadar → sadar penuh, orientasi baik terhadap orang, tempat dan waktu, kooperatif,  dapat mengingat angka yang diberitahukan beberapa menit sebelumnya.

Otomatisme → tingkah laku normal, dapat bicara, kesulitan mengingat, bertindak otomatis tanpa tahu apa yang baru saja dilakukan.

Konfusi → canggung, mengalami gangguan daya ingat, kurang kooperatif, sulit dibangunkan, bingung.

Delirium → disorientasi waktu, tempat dan orang, tidak kooperatif, agitasi, gelisah, sulit dibangunkan dari tidurnya.

Stupor   →   diam,   tidur,   berespon   terhadap   rangsang   suara   keras   dan   cahaya,   berespo   baik   terhadap rangsang sakit.

Stupor dalam → bisu, sulit dibangunkan, masih berespon terhadap nyeri.

Koma → tidak sadar, tidak berespon, refleks masi ada.

Koma ireversibel/mati → refleks tidak ada, pupil dilatasi, tidak ada denyut jantung dan nafas.

IV.3. Gangguan kesadaranKoma disebabkan oleh gangguan pada korteks secara menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula   disebabkan   oleh   gangguan   langsung   atau   tidak   langsung   terhadap   formasio   retikularis   di   talamus, mesensefalon, atau ponsKoma kortikal - bihesmiferikPada   individu   sehat   konsumsi   oksigen   otak:   3,5ml/100gr   otak/menit,   sedangkan   aliran   darah   otak   (ADO): 50ml./100gr otak/menit.  Apabila terjadi penurunan ADO, maka akan terjadi penurunan konsumsi oksigen yang bisa mengganggu keutuhan kesadaran seseorang. Selain itu, glukosa juga sangat memiliki peranan penting dalam memelihara keutuhan kesadaran. Hal ini dikarenakan, glukosa merupakan satu – satunya substrat yang digunakan otak dalam menghasilkan ATP.Berikut ada beberapa hal yang dapat mengakibatkan gangguan kesadaran:

1. HipoventilasiBerhubungan dengan: hipoksemia, hiperkapnia, gagal jantung kongestif, infeksi sistemik dan kemampuan respiratorik   yang   tidak   efektif.  Hipoksia   merupakan   faktor   potensial   untuk   terjadinya   ensefalopati, terutama pada pasien dengan hiperkapnia akut.

2. Anoksia iskemikSuatu   keadaan   dimana   darah   masih   cukup,   akan   tetapi   ADO   tidak   cukup   memberi   darah   ke   otak. Penyebabnya adalah penyakit yang mengakibatkan penurunan curah jantung, misalnya: infark jantung, aritmia,   renjatan,  dan  refleks  vasovagal,  atau  penyakit  yag  meningkatkan   resistensi  vaskular   serebral 

23

Page 24: Trauma Pelvis PBL

misalnya   oklusi   arterial   (stroke)   atau   spasmel.   Iskemia   (kegagalan   vaskular)   lebih   berbahaya   daripa hipoksian karena asam laktat (produk toksik metabolisme otak) tidak dapat dikeluarkan.

3. Anoksia anoksikKeadaan dimana tidak cukupnya oksigen masuk kedalam darah yang disebabkan oleh tekanan oksigen lingkungan yang rendah (pada ketinggian atau adanya gas nitrogen) atau oleh ketidakmampuan oksigen untuk mencapai dan menembus membran kapiler alveoli (penyakit paru dan hipoventilasi)

4. Anoksia anemikDisebabkan   oleh   jumlah   hemoglobin   yang   mengikat   dan   membawa   oksigen   dalam   darah   menurun, sementara   oksigen   yang   masuk   kedalam   darah   cukup.   Penyebabnya:   anemia   dan   keracunan   karbon monoksida.

5. Hipoksia atau iskemia difusDiakibatkan  oleh:   kadar  oksigen  dalam darah  menurun  cepat   sekali   atau  akibat  ADO yang  menurun mendadak. Penyebab utamnya: obstruksi jalan napas (tercekik, tenggelah, mati lemas), obstruksi arteri serebral secara masif (digantung), dan penurunan curah jantung secara mendadak (asistole, aritmia berat, sinkop vasodepressor,  emboli  pulmonal,  perdarahan sistemik  masif).  Trombosis  atau emboli,  purpura trombositopeni   teombotika,   koagulasi   intravaskulari   diseminata,   endokarditis   bakterial   akut,   malaria falsifarum, emboli lemak dapat menimbulkan iskemia multifokal yang luas dan memberikan gambaran iskemia serebral difus akut.

6. Gangguan metabolisme karbohidratMeliputi hiperglikemia, hipoglikemia, dan asidosis laktat. Penyebab potensial timbulnya koma pada DM cukup bervariasi,  antara   lain:  hiperosmolaritas,  ketoasidosis,   asidosis   laktat,   iatrogenik,  hiponatremia, koagulasi intravaskularis diseminata, hipofosfatemia, uremia, infark otak dan hipotensi. Selain itu, pada infark  otak,  cedera  kepala,  dan meningitis  kadar  glukosa darah dapat  meningkat.  Hipoglikemia  dapat disebabkan oleh DM (tidak diobati, atau sesudah diobati dengan sulfonil urea, fenformin, insulin), alkohol, obat  – obatan (inhibitor  monoamin oksidase),  puasa,   tumor pankreas,  dan penyakit  endokrin   lainnya misalnya  hipotiroidisme  dan  hipopituitarisme.  Hipoglikemia  mengangguan   sintesis   asetilkolin   didalam otak sehingga terjadi blokade jalur kolinergik. Kegagalan transmisi kolinergik mengakibatkan penurunan fungsi  beberapa  asam amino  yaitu  glutamat,   glutamin,  GABA,   alanin.   Sedangkan  aspartat  meningkat empat kali  dan amonia meningkat empat belas kali  yang mengakibatkan penurunan kesadaran hingga koma. Hipoglikemia akan mengganggua korteks otak secara difus, atau mengganggu fungsi batang otak, atau keduanya. Terdapat kerusakan neuron secara dini dan paling berat dikorteks otak, sementara neuron dibatanga otak dan ganglia basalis lebih ringan kerusakannya.

7. Gangguan keseimbangan asam basa Meliputi asidosis respiratorik,  dan metabolik serta alkalosis respiratorik dan metabolik.  Hanya asidosis respiratorik yang bertindak sebagai penyebab langsung timbulnya stupor dan koma. Asidosis metabolik lebih sering menimbulkan delirium dan obtundasi.

8. UremiaPatofisiologinya belum jelas karena urea bukan bahan toksik buat otak. 

9. Koma hepatikMeningkatnya kadar amonia dalam darah diotak merupakan faktor utama terjadinya koma hepatikum. Amonia  dalam kadar  tinggi  dapat  bersifat   toksik   langsung   terhadap  otak  dan   selain   itu  amonia   juga menganggu   pompa   natrium   dan   menganti   kalium   intraseluler   serta   amonia   juga   mengganggu metabolisme energi sel otak sehingga mirip dengan keadaan hipoksia. 

10. Defisensi vitamin BSering   kali   mengakibatkan   delirium,   demensia,   dan   stupor.   Defisiensi   tiamin   menimbulkan   penyakit Wernicke yaitu suatu kompleks gejala yag disebabkan oleh kerusakan neuron dan vaskular disubstansia grisea, sekitar ventrikulus, dan aquaduktus.

Koma diensefalik1. Lesi infratentorial

Pada   umunya   berbentuk   proses   desak   ruang   (PDR)   atau   space   occupying   process   (SOP),   misalnya gangguan peredaran darah otak (GPDO / stroke) dalam bentuk perdarahan, neoplasma, abses, edema 

24

Page 25: Trauma Pelvis PBL

otak, dan hidrosefalus obstrukstif.  PDR mengakibatkan peningkatan TIK dan terjadi penekanan formatio retikularis dimesensefalon dan diensefalon (herniasi otak).

2. Herniasi sentralDisebabkan peningkatan TIK secara menyeluruh. Terjadi herniasi otak melalui tentorium serebelli secara simetris. Penyebab tersering: perdarahna talamus, edema otak akut, dan hidrosefalus obstruktif akut.

3. Herniasi unkusMerupakan   herniasi   lobus   temporalis   bagian   mesensial   terutama   unkus.   Herniasi   disebabkan   oleh kompresi rostrokaudal progresif melalui emapat tahap yaitu:

a. Penekanan terhadap diensefalon dan nukleus hipotalamusb. Penekanan mesensefalon sehinga  mengakibatkan N.III   ispilateral  akan terjepit  diantara  arteri 

serebri posterior dan arteri serebelli superior sehingga terjadi oftalmoplegi ipsilateral.c. Pons akan tertekan dilanjutkan dengan penekanan terhadap medula oblongatad. Tahap agonia

Faktor penyebab: GPDO, neoplasma, abses dan edema otak.

4. Herniasi cinguliTerjadi dibawah fakls serebri yang disebabkan oleh penekanan dari satu sisi hemisfer otak. Akibatnya, sistem arteri dan vena serebri tertekan sehingga mengganggu lobus frontalis bagian puncak dan medial. Keadaan  ini  akan  menimbulkan  inkontinensia  urin  dan alvi   serta  gejala  gegenhalten  dan negativisme motorik atau paratonia (setiap ransangan akan timbul gerakan melawan secar reflektorik).

5. Lesi infratentorialMeliputi dua macam proses patologik dalam ruang infratentorial (fossa kranii posterior) yaitu pertama, proses diluar batang otak atau serebellum yang mendesak sistem retikularis, dan yang kedua merupakan proses didalam batang otak yang secara langsung mendesak dan merusak sistem retikularis batang otak. Proses yang timbul berupa:

a. Penekanan langsung terhadap tegmentum mesensefalon (formatio retikularis).b. Herniasi  serebellum dan batang otak  ke  rostral  melewati tentorium serebelli  yang kemudian 

menekan formatio retikularis di mesensefalon.c. Herniasi tonsilo-serebellum kebawah melalui foramen magnum dan sekaligus menekan medulla 

oblongata.Penyebab: GPDO di batang otak atau serebellum, neoplasma, abses, atau edema otak.

Lesi SupratentorialPada lesi  supratentorial,  gangguan kesadaran akan terjadi baik oleh kerusakan langsung pada jaringan otak atau akibat penggeseran dan kompresi pada ARAS karena proses tersebut maupun oleh gangguan vaskularisasi dan edema yang di- akibatkannya. Proses ini menjalar secara radial dari lokasi lesi kemudian ke arah rostro-kaudal sepanjang batang otak.

Gejalagejala klinik akan timbul sesuai dengan perjalan proses tersebut yang dimulai dengan:gejala neurologik fokal sesuai dengan lokasi lesi. Jika keadaan bertambah berat dapattimbul sindroma diensefalon, sindroma meseisefalon bahkan sindroma ponto meduler dan deserebrasi Oleh kenaikan tekanan  intrakranial  dapat terjadi  herniasi  girus singuli  di  kolong falks serebri,  herniasi transtentoril danherniasi unkus lobus temporalis melalui insisura tentorii.

Lesi infratentorialPada   lesi   infratentorial,   gangguan   kesadaran   dapat   terjadi   karena   kerusakan   ARAS   baik   oleh   proses intrinsik pada batang otak maupun oleh proses ekstrinsik

Gangguan difus (gangguan metabolik)

25

Page 26: Trauma Pelvis PBL

Pada penyakit metabolik, gangguan neurologik umumnya bilateral dan hampir selalu simetrik. Selain itu gejala neurolo-giknya tidak dapat dilokalisir pada suatu susunan anatomik tertentu pada susunan saraf pusat.Penyebab gangguan kesadaran pada golongan  ini  terutama akibat kekurangan 0,  kekurangan glukosa, gangguan sirkulasi darah serta pengaruh berbagai macam toksin.

Kekurangan 02

Otak yang normal memerlukan 3.3 cc O2/100 gr otak/menit yang disebut  Cerebral Metabolic Rate for Oxygen (CMR 02).CMR 0  2  ini pada berbagai kondisi normal tidak banyak berubah. Hanya pada kejang- kejang   CMR   O2  meningkat   dan   jika   timbul   gangguan   fungsi   otak,   CMR   02  menurun.   Pada   CMR   O2 

kurangdari 2.5 cc/100 gram otak/menit akan mulai terjadi gangguan mental dan umumnya bila kurang dari 2 cc O2/100 gram otak/menit terjadi koma.

GlukosaEnergi   otak   hanya   diperoleh   dari   glukosa.   Tiap   100   gram   otak   memerlukan   5.5   mgr   glukosa/menit. Menurut Hinwich pada hipoglikemi, gangguan pertama terjadi pada serebrum dan kemudian progresif ke batang otak yang letaknya lebih kaudal. Menurut Arduini hipoglikemi menyebabkan depresi selektif pada susunan saraf pusat yang dimulai pada formasio reti-kularis dan kemudian menjalar ke bagian-bagian lain.

Pada hipoglikemi, penurunan atau gangguan kesadaran merupakan gejala dini. Gangguan sirkulasi darah

Untuk mencukupi keperluan dan glukosa, aliran darah ke otak memegang peranan penting. Bila aliran darah ke otak berkurang, dan glukosa darah juga akan berkurang

ToksinGangguan kesadaran dapat terjadi oleh toksin yang berasal dari  penyakit metabolik dalam tubuh sendiri atau toksin yang berasal dari luar/akibat infeksi

IV.4. PemeriksaanPenilaian secara kualitatifKualitas   kesadaran   atau   isi   kesadaran   menunjukkan   kemampuan   dalam   mengenal   diri   sendiri   dan sekitarnya yang merupakan fungsi hemisfer serebri.

Dalam klinik dikenal tingkat-tingkat kesadaran : Kompos mentis, inkompos mentis (apati, delirium, somnolen, sopor, koma)

Kompos mentis : Keadaan waspada dan terjaga pada seseorang yang bereaksi sepenuhnya dan adekuat terhadap rangsang visuil, auditorik dan sensorik.

Apatis : sikap acuh tak acuh, tidak segera menjawab bila ditanya.

Delirium : kesadaran menurun disertai  kekacauan mental dan motorik seperti desorientasi,   iritatif,  salah persepsi terhadap rangsang sensorik, sering timbul ilusi dan halusinasi.

Somnolen : penderita   mudah   dibangunkan,   dapat   lereaksi   secara   motorik   atau   verbal   yang   layak   tetapi setelah memberikan respons, ia terlena kembali bila rangsangan dihentikan.

Sopor (stupor) : penderita hanya dapat dibangunkan dalam waktu singkat oleh rangsang nyeri yang hebat dan berulang-ulang.

Koma : tidak ada sama sekali jawaban terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun hebatnya

Penilaian secara kuantitatif

26

Page 27: Trauma Pelvis PBL

Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.

Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1 – 6 tergantung responnya. E (4) = Eye opening

o E4 – membuka mata sendiri dengan baik (spontan)o E3 – membuka mata jika ada ransangan suara (dipanggil)o E2 – membuka mata jika ada ransangan nyerio E1 – tidak membuka mata terhadap segala ransangan

M (6) = Motoric responseo M6 – bekerja sesuai perintah (gerakan normal)o M5 – dapat melokalisir ransangan sensorik dikulit (raba)o M4 – Gerakan tidak teratur pada saat ransangan nyeri tetapi tidak dapat melokalisir letaknya 

(withdrawal)o M3 – menjauhi ransangan nyeri, dengan gerakan fleksi o M2 – pada saat diransang, ekstensi spontano M1 – tidak ada gerakan terhadap ransangan

V (5) = Verbal responseo V5 – berorientasi baik (bicara normal)o V4 – bingung (bisa mmebentuk kalimat tetapi kacau)o V3 – bisa bentuk kata tapin tidak bisa bentuk kalimato V2 – mengeluarkan suara tidak ada arti (groaning)o V1 – tidak bersuara

Keterangan:  Skor 15: kompos mentis Skor 11 – 14: letargi Skor 8 – 11 : stupor / sopor Skor <8: koma

HifemaDefinisiHifema merupakan perdarahan di dalam bilik mata depan (Dorland)Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan, yaitu daerah diantara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor aqueus  (cairan mata)  yang  jernih.  Darah yang terkumpul  di  bilik  mata depan biasanya terlihat dengan mata telanjang.  Walaupun darah yang terdapat  di  bilik  mata depan sedikit,   tetap dapat  menurunkan penglihatan.KlasifikasiBerdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi :1. Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan yang disebabkan pecahnya pembuluh darah iris 

dan badan silier akibat trauma pada segmen anterior bola mata.2. Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan prosedur operasi mata).3. Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan silier, sehingga pembuluh darah pecah.4. Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah (contohnya juvenile xanthogranuloma).5. Hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma).Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi atas 2 yaitu:1. Hifema primer, timbul segera setelah trauma hingga hari ke 2.2. Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.

27

Page 28: Trauma Pelvis PBL

Hifema dibagi menjadi beberapa grade menurut Sheppard berdasarkan tampilan klinisnya:1. Grade I : Darah mengisi kurang dari sepertiga COA (58%)2. Grade II : Darah mengisi sepertiga hingga setengah COA (20%)3. Grade III : Darah mengisi hampir total COA (14%)4. Grade IV : Darah memenuhi seluruh COA (8%)EtiologiHifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti terkena bola, batu, peluru senapan angin, dll. Selain   itu,   hifema   juga   dapat   terjadi   karena   kesalahan   prosedur   operasi   mata.   Keadaan   lain   yang   dapat menyebabkan hifema namun jarang terjadi adalah adanya tumor mata (contohnya retinoblastoma), dan kelainan pembuluh darah (contohnya juvenile xanthogranuloma).Hifema yang terjadi karena trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan bagian dalam bola   mata,   misalnya   terjadi   robekan-robekan   jaringan   iris,   korpus   siliaris   dan   koroid.   Jaringan   tersebut mengandung banyak pembuluh darah, sehingga akan menimbulkan perdarahan. Perdarahan di dalam bola mata yang berada di kamera anterior akan tampak dari   luar. Timbunan darah ini  karena gaya berat akan berada di bagian terendah.PatofisiologiTrauma tumpul yang mengenai mata dapat menyebabkan robekan pada pembuluh darah iris, akar iris dan badan silier sehingga mengakibatkan perdarahan dalam bilik mata depan. Iris bagian perifer merupakan bagian paling lemah. Suatu trauma yang mengenai mata akan menimbulkan kekuatan hidraulis yang dapat menyebabkan hifema dan iridodialisis, serta merobek lapisan otot spingter sehingga pupil menjadi ovoid dan non reaktif. Tenaga yang timbul dari suatu trauma diperkirakan akan terus ke dalam isi bola mata melalui sumbu anterior posterior sehingga menyebabkan kompresi ke posterior serta menegangkan bola mata ke lateral sesuai dengan garis ekuator. Hifema yang terjadi dalam beberapa hari akan berhenti, oleh karena adanya proses homeostatis. Darah dalam bilik mata depan akan diserap sehingga akan menjadi jernih kembali.Manifestasi KlinisPasien   akan   mengeluh   nyeri   pada   mata   disertai   dengan   mata   yang   berair.   Penglihatan   pasien   akan   sangat menurun. Terdapat penumpukan darah yang terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. Selain itu, dapat terjadi peningkatan tekanan intra ocular, sebuah keadaan yang harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya glaucoma.Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus karena darah mengganggu media refraksi. Darah  yang mengisi   kamera   okuli     ini   secara     langsung   dapat     mengakibatkan   tekanan   intraokuler   meningkat   akibat bertambahnya   isi   kamera   anterior   oleh   darah.   Kenaikan   tekanan   intraokuler   ini   disebut   glaukoma   sekunder. Glaukoma sekunder juga dapat terjadi akibat massa darah yang menyumbat jaringan trabekulum yang berfungsi membuang humor aqueous yang berada di kamera anterior. Selain itu akibat darah yang lama berada di kamera anterior akan mengakibatkan pewarnaan darah pada dinding kornea dan kerusakan jaringan kornea.Terdapat pula tanda dan gejala yang relative jarang: penglihatan ganda, blefarospasme, edema palpebra, midriasis, dan sukar melihat dekat.Pemeriksaan1. Pemeriksaan   ketajaman   penglihatan:   menggunakan   kartu   mata   Snellen;   visus   dapat   menurun   akibat 

kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan retina.2. Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi vaskuler okuler, glaukoma.3. Pengukuran tonografi: mengkaji tekanan intra okuler.4. Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan iridocorneal contact, aqueous flare, dan 

synechia posterior.5. Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler.6. Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya glaukoma bila TIO normal atau meningkat ringanTatalaksana

28

Page 29: Trauma Pelvis PBL

Pasien dengan hifema yang tampak mengisi lebih dari 5% bilik mata depan sebaiknya diistirahatkan. Pemberian steroid   tetes   harus   segera   dimulai.   Aspirin   dan   antiinflamasi   nonsteroid   harus   dihindari.   Dilatasi   pupil   dapat meningkatkan   risiko   perdarahan   kembali   sehingga   mungkin   ditunda   sampai   hifema   reda   dengan   penyerapan spontan.  Oleh karena  itu,  pemeriksaan dini  untuk mencari  kerusakan segmen posterior  mungkin memerlukan pemeriksaan ultrasonografi. Mata sebaiknya diperiksa secara berkala untuk mencari adanya perdarahan sekunder, glaukoma, atau bercak darah di kornea akibat pigmen besi. Perdarahan ulang terjadi pada 16-20% kasus dalam 2-3 hari.  Komplikasi   ini  memiliki   risiko tinggi  menimbulkan glaukoma dan pewarnaan kornea.  Beberapa penelitian mengisyaratkan bahwa penggunaan asam aminokaproat oral (100 mg/kg setiap 4 jam sampai maksimum 30 g/hari selama 5 hari) untuk menstabilkan pembentukan bekuan darah sehingga menurunkan risiko perdarahan ulang. Tatalaksana   glaukoma   meliputi   terapi   topikal   dengan   penyekat-β   (mis,   timolol   0,25%   2   kali   sehari),   analog prostaglandin (mis, latanoprost 0,005% malam hari), dorzolamide 2% dua atau tiga kali sehari, atau apraclonidine 0,5% tiga kali sehari. Terapi oral dengan acetazolamide 250 mg per oral empat kali sehari, dan obat hiperosmotik (manitol, gliserol, dan sorbitol) dapat pula digunakan bila terapi topikal tidak efektif. Bedah drainase glaukoma mungkin diperlukan pada kasus-kasus yang sangat berat.Hifema harus dievakuasi secara bedah bila tekanan intraokular tetap tinggi (> 35 mmHg selama 7 hari atau 50 mmHg selama 5 hari) untuk menghindari kerusakan nervus optikus dan pewarnaan kornea, tetapi terdapat risiko terjadinya perdarahan kembali. Jika pasien mengidap hemoglobulinopati, besar kemungkinan terjadi atrofi optik glaukomatosa dan pengeluaran bekuan darah secara bedah harus dipertimbangkan lebih dari awal.  Instrumen-instrumen vitrektomi digunakan untuk mengeluarkan bekuan di sentral dan membilas (levage) bilik mata depan. Dimasukkan alat irigasi dan probe mekanis di sebelah anterior limbus melalui bagian kornea yang jernih untuk menghindari kerusakan iris dan lensa. Jangan mencoba mengeluarkan bekuan yang terdapat di sudut bilik mata depan atau di jaringan iris. Di sini, dilakukan iridektomi perifer. Cara lain untuk membersihkan bilik mata depan adalah dengan evakuasi viskoelastik. Dibuat sebuah insisi kecil di limbus untuk menyuntikkan bahan viskoelastik, dan sebuah  insisi  yang  lebih  besar  berjarak  180 derajat   (dari   insisi  pertama)  untuk memungkinkan hifema di dorong keluar.Glaukoma onset lambat dapat timbul setelah beberapa bulan atau tahun, terutama bila terdapat penyempitan sudut   bilik   mata   depan   lebih   dari   satu   kuadran.   Pada   sejumlah   kasus   yang   jarang,   bercak   darah   di   kornea menghilang secara perlahan-lahan dalam jangka waktu hingga satu tahun.

Bedah pada hifemaa. Parasentesis

Parasentesis  merupakan  tindakan  pembedahan  dengan  mengeluarkan  darah   atau  nanah  dari  bilik  mata depan, dengan teknik sebagai berikut: dibuat insisi kornea 2 mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila dilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik mata depan keluar. Bila darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam fisiologik.

b. IridosiklitisPada trauma tumpul dapat terjadi reaksi jaringan uvea sehingga menimbulkan iridosiklitis atau radang uvea anterior.Pada mata akan terlihat mata merah, akibat adanya darah dalam bilik mata depan akan terdapat suar dan pupil yang mengecil dengan tajam penglihatan menurun.Pada uveitis anterior diberikan tetes midriatik dan steroid topikal. Bila terlihat tanda radang berat maka dapat diberikan steroid sistemik.Sebaiknya pada mata ini diukur tekanan bola mata untuk persiapan memeriksa fundus dengan midriatika.

PencegahanHifema  dapat   terjadi   bila   terdapat   trauma  pada  mata.   Gunakan   kacamata  pelindung   saat  bekerja  di   tempat terbuka atau saat berolahraga.Komplikasi

29

Page 30: Trauma Pelvis PBL

Kadang-kadang sesudah hifema hilang atau 7 hari setelah trauma dapat terjadi perdarahan atau hifema baru yang disebut hifema sekunder yang pengaruhnya akan lebih hebat karena perdarahan lebih sukar hilang.Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar berakibat suatu reses sudut bilik mata sehingga terjadi gangguan pengaliran cairan mata.Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan fisis bulbi dan kebutaan.Hifema pada anak sebaiknya dipikirkan kemungkinan leukimia dan retinoblastoma.PrognosisPrognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera okuli anterior. Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan   tanpa disertai glaukoma, prognosisnya baik (bonam) karena darah akan diserap kembali dan hilang sempurna dalam beberapa hari.  Sedangkan hifema yang telah mengalami  glaukoma,  prognosisnya bergantung pada seberapa besar glaukoma tersebut menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan. Bila tajam penglihatan telah mencapai 1/60 atau lebih rendah maka prognosis penderita adalah buruk (malam) karena dapat menyebabkan kebutaan.

KebutaanDefinisiDalam   Oftamologi,   terminalogi   kebutaan   terbatas   pada   tidak   dapatnya   melakukan   aktivitas   sampai   tidak terdapatnya cahaya. Menurut WHO mendefinisikan kebutaan sebagai suatu visual akuiti yang kurang dari 3/60 (Snellen) atau yang ekuivalennya. WHO juga menambahkan dengan ketidak sanggupan hitung jari pada siang hari pada jarak 3m.

Menjelaskan fisiologi kesadaran

                                            RANGSANG

SPESIFIK NON SPESIFIK

             SUBSTANSIA RETIKULARIS     SUBSTANSIA RETIKULARIS30

Page 31: Trauma Pelvis PBL

FORMATIO RETIKULARIS FORMATIO RETIKULARIS

THALAMUS THALAMUS         (inti intralaminar)               (inti intralaminar)

Korteks           Korteks        (area spesifik)       (seluruh bagian)

Kesadaran dibagi dua yaitu kualitas dan derajat kesadaran. Jumblah(kuantitas) input/rangsangan menentukan derajat kesadaran, sedangkan kualitas kesadaran ditentukan oleh cara pengolahan input yang menghasilkan output SSP. Pada topik koma kita lebih menitikberatkan kepada derajat dari kesadaran. Berdasarkan skema diatas kita dapat melihat  bahwa  input/rangsangan dibagi  dua,  spesifik  dan non-spesifik.   Input  spesifik  merujuk  kepada perjalanan impuls aferen yang khas dimana menghasilkan suatu kesadaranyang khas pula. Lintasan yang digunakan impuls-impuls tersebut dapat dinamakan lintasan yang menghubungkan suatu titik pada tubuh dengansuatu  titik  di  daerah korteks primer (penghantarannya berlangsung dari titik ketitik), yang berarti bahwa suatu titik pada kulit yang   dirangsang   mengirimkanimpuls   yang   akan   diterima   oleh   sekelompok   neuron   dititik   tertentu daerahreseptif   somatosensorik  primer.   Setibanya   impuls   aferen  di  tingkat   korteks   terwujudlah   suatu kesadaran akan suatu modalitas  perasaan yang spesifik,  yaitu perasaan nyeri di kaki atau di wajah atau suatu penglihatan, penghiduanatau suatu pendengaran tertentu.Input yang bersifat non-spesifik adalah sebagian dari   impuls aferenspesifik yang disalurkan melalui   lintasan aferen non-spesifik (lintasan  ini   lebihdikenal sebagai “diffuse ascending reticular system”) yang terdiri  dariserangkaian neuron-neuron di substansia retikularis medulla spinalis danbatang otak yang menyalurkan impuls aferen ke thalamus (inti intralaminar).Inti intralaminar yang   menerima   impuls   non-spesifik   tersebut   akan  menggalakkan   dan   memancarkan   impuls   yang diterimanyamenuju/merangsang/menggiatkan   seluruh   korteks   secara   difuse   dan   bilateralsehingga timbul kesadaran/kewaspadaan.Karena itu, neuron-neuron inti intralaminar disebut “neuron penggalak kewaspadaan”, sedangkan   neuron-neuron   diseluruh   korteks   serebri   yangdigalakkan   disebut   “neuron   pengemban kewaspadaan. Apabila terjadi gangguan sehingga kesadaran menurun sampai derajatyang terendah, maka koma yang dihadapi dapat terjadi oleh sebab neuron pengemban   kewaspadaan   sama   sekali   tidak   berfungsi (koma kortikal bihemisferik )’ atau oleh sebab ‘neuron penggalak kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan(koma diensefalik )’. Dari penjelasan diatas kita dapat melihat bahwa berdasarkan susunananatomi, koma dibagi menjadi 2 yaitu;koma kortikal bihemisferik dan komadiensefalik .

31

Page 32: Trauma Pelvis PBL

Gambar 1.1 koordinasi system afferen

Definisi kegawatdaruratan penurunan kesadaran

Penurunan kesadaran atau koma merupakan  salah satu  kegawatan  neurologi  yang  menjadi  petunjuk kegagalan fungsi  integritas  otak dan sebagai  final common pathway  darigagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak dengan akibat kematian.

Klasifikasi koma

Koma kortikal bihemisferik

Neuron merupakan satuan fungsional susunan saraf. Berbeda secara struktur, metabolisme dan fungsinya dengan sel tubuh lain. Pertama, neuron tidak bermitosis.Kedua, untuk metabolismenya neuron hanya menggunakan O2dan glukosa saja. Sebab bahan baku seperti protein, lipid,  polysaccharide dan zat   lain  yang biasa digunakan untuk metabolisme sel  tidak  dapat  masuk ke neuron karena terhalang oleh ‘blood brain barrier’ . Angka pemakaian glukosa ialah 5,5 mg/100 gr jaringan otak/menit. Angka pemakaian O2ialah 3,3 cc/100 gr jaringan otak/menit. Glukosa yang digunakan oleh neuron 35% untuk proses oksidasi,50% dipakai untuk sintesis lipid, protein, polysaccharide, dan zat-zatlain   yang   menyusun infrastruktur neuron, dan 15% untuk fungsitransmisi.Hasil akhir dari proses oksidasi didapatkan CO2dan H2O serta ATPyang berfungsi mengeluarkan ion Na dari dalam sel danmempertahankan ion K di dalam sel. Bila metabolisme neuron tersebut  terganggu maka infrastruktur dan fungsi neuron akan lenyap, bilamana tidak ada perubahan yang dapat memperbaiki metabolisme. Koma yang bangkit akibat hal ini dikenal juga sebagai KomaMetabolik.

Yang dapat membangkitkan koma metabolik antara lain:-Hipoventilasi-Anoksia iskemik.-Anoksia anemik.-Hipoksia atau iskemia difus akut.-Gangguan metabolisme karbohidrat.-Gangguan keseimbangan asam basa.-Uremia.-Koma hepatik -Defisiensi vitamin B.

32

Page 33: Trauma Pelvis PBL

Koma diensefalik

Koma akibat gangguan fungsi  atau  lesi  struktural   formationretikularis di daerah mesensefalon dan diensefalon (pusat penggalak kesadaran). Secara anatomik koma diensefalik dibagi menjadi   2 bagian utama yaitu koma akibat lesi supratentorial dan lesi infratentorial.  Lesi supratentorial.

Proses desak ruang supratentorial, lama kelamaan mendesakhemisferium kea rah foramen magnum, yang merupakan satu-satunya jalan keluaruntuk suatu proses desak didalam ruang tertutup sepertitengkorak. Karena itu batang otak bagian depan (diensefalon) mengalami distorsi dan penekanan.Saraf-saraf otak mengalami penarikan dan menjadi lumpuh dansubstansia retikularis mengalami gangguan. Oleh karena itu bangkitlahkelumpuhan saraf otak yang disertai gangguan penurunan derajat kesadaran. Kelumpuhan saraf otak okulomotorius dan trokhlearis merupakan cirri bagi proses desak ruang supratentorial yangsedang menurun ke fossa posterior serebri

Lesi infratentorial.

 Ada 2 macam proses patologik dalam ruang infratentorial (fossakranii posterior). Pertama, proses diluar batang otak atau serebelumyang mendesak system retikularis. Kedua, proses didalam batang otakyang secara langsung mendesak dan merusak system retikularis batang otak. 

Etiologi penurunan kesadaran

Penyebab koma secara garis besar dapat disingkat/dibuat jembatankeledai menjadi kalimat “SEMENITE ”. Selain itu ada juga beberapa buku yangmenggunakan jembatan keledai yang berbeda tetapi memiliki pengertianyang sama. Dari jembatan keledai ini kita juga dapat membedakan manakahyang termasuk ke dalam koma bihemisferik ataupun koma diensefalik.

S ; Sirkulasi– gangguan pembuluh darah otak (perdarahan maupun infark)E ; Ensefalitis– akibat infeksi baik oleh bakteri, virus, jamur, dllM  ;  Metabolik – akibat gangguan metabolic yang menekan/mengganggukinerjaotak.   (gangguan hepar,  uremia, hipoglikemia, koma diabetikum, dsb).E ; Elektrolit – gangguan keseimbangan elektrolit (seperti kalium, natrium).N ; Neoplasma– tumor baik primer ataupun sekunder yang menyebabkanpenekanan intracranial. Biasanya dengan gejala TIK meningkat(papiledema, bradikardi, muntah).I ; Intoksikasi – keracunan.T ; Trauma– kecelakaan.E ; Epilepsi

 Pemeriksaan GCS

kesadaran dapat dinilai dengan menggunakanGlasgow ComaScale (GCS) yang meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan/ Mata (E), PemeriksaanMotorik (M ) dan Verbal (V). Pemeriksaan ini mempunyai nilai terendah3 dan nilaitertinggi15.

Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk penglihatan/ mata:E1 tidak membuka mata dengan rangsang nyeri

33

Page 34: Trauma Pelvis PBL

E2membuka mata dengan rangsang nyeriE3membuka mata dengan rangsang suaraE4 membuka mata spontanMotorik:M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeriM2 reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeriM3 reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeriM4 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaranM5 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaranM6 reaksi motorik sesuai perintah

Verbal:V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none)V2 respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)V3 respon kata dengan rangsang nyeri (words)V4 bicara dengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused)V5 bicara dengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)

Nilai GCSa. Skor 14-15 : compos mentis b. Skor 12-13 : apatisc. Skor 11-12 : somnolentd. Skor 8-10 : stupore. Skor < 5 : koma

Tatalaksana secara umum  Penatalaksanaan penderita koma secara umum harus dikelola menurut prinsip 5 B yaitu 1.BreathingJalan napas harus bebas dari obstruksi.Posisi penderita miring agar lidah tidak jatuh kebelakang,serta bilamuntah tidak terjadi aspirasi. Bila pernapasanberhenti segera lakukan resusitasi.

2.BloodDiusahakan tekanan darah cukup tinggi untukmengalirkan darah ke otak. Tekanan darah yang rendahberbahaya untuk susunan saraf pusat. Komposisi kimiawidarah dipertahankan semaksimal mungkin, karenaperubahan-perubahan tersebut akan mengganggu perfusidan metabolisme otak.

3.BrainUsahakan untuk mengurangi edema otak yangtimbul. Bila penderita kejang sebaiknya diberikandifenilhidantoin 3 dd 100 mg atau karbamezepin 3 dd 200 mgper os atau nasogastric. Bila perlu difenilhidantoin diberikanintravena secara perlahan.

4.BladderHarus diperhatikan fungsi ginjal, cairan,elektrolit, dan miksi. Kateter harus dipasang kecuali terdapat inkontinensia urin ataupun infeksi.

5.BowelMakanan penderita harus cukup mengandungkalori dan vitamin. Pada penderita tua sering terjadikekurangan albumin yang memperburuk edema otak, hal iniharus cepat dikoreksi. Bila terdapat kesukaran menelandipasang sonde hidung. Perhatikan defekasinya dan hindariterjadi obstipasi

Resusitasi Jantung Paru (RJP)

34

Page 35: Trauma Pelvis PBL

                               Definisi

Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi henti nafas dan henti jantungTujuan 

Untuk mengatasi henti nafas dan henti jantung sehingga dapat pulih kembaliIndikasi :

1.  Henti nafas (Respiratory Arrest), henti nafas yang bukan disebabkan gangguan pada jalan nafas dapat terjadi karena gangguan pada sirkulasi (asistole, bradikardia, fibrilasi ventrikel)2. Henti jantung (Cardiac Arrest) dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti: Hipoksemia karena berbagai sebab Gangguan elektrolit (hipokalemia, hiperkalemia, hipomagnesia) Gangguan irama jantung (aritmia) Penekanan mekanik pada jantung (tamponade jantung, tension pneumothoraks)

Diagnosis : Tidak terdapat adanya pernafasan (dengan cara Look-Listen-Feel) Tidak ada denyut jantung karotisPerhatian :Pada pasien yang telah terpasang monitor EKG dan terdapat gambaranasistole pada layar monitor, harus selalu dicek denyut nadi karotis untuk memastikan adanya denyut jantung. Begitu juga sebaliknya pada pasien terpasang monitor  EKG yang telah di-RJP  terdapat  gambaran gelombang EKG harus diperiksa  denyut  nadi  karotis  untuk memastikan apakah sudah teraba nadi (henti jantung sudah teratasi) atau hanya gambaran EKGpulseless. Jika nadi karotis belum teraba maka RJP dilanjutkan

TindakanTanpa alat :a. memberikan pernafasan buatan dan pijat jantung luar dengan perbandingan 2 : 30 dalam 2 menit (5 siklus). Tiap 5 siklus dievaluasi dengan mengecek pernafasan (LLF) dan jantung (perabaan nadi karotis). Jika masih henti jantung dan henti nafas, RJP dilanjutkanDengan alat :Untuk mencapai hasil RJP yang lebih baik harus segera diusahakan pemasangan intubasi endotrakealRJP dihentikan bila : Jantung sudah berdetak ditandai adanya nadi dan nafas sudah spontan Mengecek nadi dan pernafasan Penolong sudah kelelahan Pasien dinyatakan tidak mempunyai harapan lagi/meninggal

Aplikasi RJP (Resusitasi Jantung Paru)1. Jika kita melihat pasien/korban yang tergeletak tampak tidak bernafas, pertama kali yang kita harus lakukan adalah memastikan bahwa lingkungan di  sekitar korban yang tergeletak  itu aman. Jika belum aman (misalnya korban tergeletak di tengah jalan raya atau di dalam gedung terbakar), maka korban harus dievakuasi/dipindah terlebih dahulu ke tempat yang aman dan memungkinkan mendapatkan pertolongan.2.  Nilai   respon pasien apakah pasien benar-benar  tidak sadar  atau hanya tidur saja.  Mengecek kesadarannya dengan cara memanggil-manggil nama pasien, menepuk atau menggoyang bahu pasien, misalnya “Pak-pak bangun !”  atau  “Bapak  baik-baik   saja?”   Jika  masih  belum sadar  atau  bangun   juga  bisa  diberi   rangsang  nyeri   seperti menekan pangkal kuku jari.  Jika pasien sadar, tanyakan mengapa ia terbaring di tempat ini.  Jika pasien sadar, terlihat kesakitan atau terluka segera cari bantuan dan kemudian kembali sesegera mungkin untuk menilai kondisi pasien.3.   Jika   tidak   ada   respon   berarti   pasien   tidak   sadar.   Aktifkan   sistem   emergensi   dengan   cara   meminta   tolong dibawakan alat-alat emergensi atau dipanggilkan petugas terlatih atau ambulan jika berada di luar RS. Misalnya ‘Tolong  ada pasien  tidak  sadar  di   ruang  A,   ”tolong  panggil  petugas  emergensi   ”  atau  ”Tolong  ambil  alat-alat emergensi ada pasien tidak sadar di ruang A”. Jika di lapangan : ”Tolong ada pasien tidak sadar di pantai tolong panggil  ambulan atau 118 ”. Jika yang menemukan korban tidak sadar lebih dari satu orang, maka satu orang 

35

Page 36: Trauma Pelvis PBL

mengaktifkan sistem emergensi sedangkan lainnya menilai kondisi pasien. INGAT ! Dalam menolong pasien tidak sadar,   kita   tidak   mungkin   bekerja   sendiri   jadi   harus   meminta   bantuan   orang   lain.   Dalam   meminta   bantuan, penolong harus menginformasikan kepada petugas gawat darurat mengenai lokasi kejadian, penyebabnya, jumlah dan   kondisi   korban   dan   jenis   pertolongan   yang   akan   diberikan.   Jika   tersedia   alat   defibrilator   dengan   AED (Automatic Emergency Defibrilator),  maka kita dapat menyiapkannya untuk pemeriksaan heart rate dan  irama jantung dan jika ada indikasi melakukan defibrilasi.4. Gunakan manuver chin lift untuk membuka jalan nafas korban yang tidak mengalami cedera kepala dan leher. Jika diperkirakan ada trauma leher maka gunakan tehnik jaw thrust. Untuk lebih jelas lihat kembali pengelolaan jalan nafas.Periksa pernafasan dengan menggunakan tehnik LLF (Look, Listen, Feel) dengan tetap mempertahankan terbukanya jalan nafas selama 10 detik. Teknik LLF dapat dilihat di pengelolaan jalan nafas.5.Jika  yakin  tidak ada pernafasan maka segera  beri nafas  buatan dua kali  pernafasan dengan tetap  menjamin terbukanya jalan nafas. Bisa dengan mulut ke mulut/hidung atau dengan menggunakan sungkup muka. Satu kali pernafasan selama satu detik sampai  dada  tampak mengembang.   Jika  dada tidak mengembang kemungkinan pemberian nafas buatan tidak adekuat atau jalan nafas tersumbat.6. Setelah nafas buatan diberikan segera nilai sirkulasi dengan mengecek nadi arteri karotis. Nadi carotis dapat diraba dengan menggunakan 2 atau 3 jari menempel pada daerah kira-kira 2 cm dari garis tengah leher atau jakun pada sisi yang paling dekat dengan pemeriksa. Waktu yang tersedia untuk mengukur nadi carotis sekitar 5 – 10 detik.7. Jika nadi teraba, nafas buatan diteruskan dengan kecepatan 10-12 kali/menit atau satu kali pernafasan diberikan setiap 5-6 detik disertai  pemberian oksigen dan pemasangan infus.  Jika perlu pemasangan ETT dan ventilator. Pemantauan/monitoring terus dilakukan. Pemeriksaan denyut nadi dilakukan setiap 2 menit sampai pasien stabil. Pasien dirawat di ruangIntensif Care Unit (ICU). Penyebab henti nafas harus dicari dengan melakukan anamnesis pada keluarga penderita dan pemeriksaan fisik8. Pikirkan penyebabnya hipotensi/syok, edema paru, infark myokard dan aritmia. Aritmia bisa berupa aritmia yang sangat cepat seperti Supra Ventrikel Takikardi (SVT), atrial flutter, atrial fibrilasi, ventrikel takikardi. Aritmia sangat lambat bisa berupa AV blok derajat II dan derajat III. Koreksi penyebab atau konsul ke dokter ahli.9. Jika nadi tidak teraba segera lakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) dengan perbandingan kompresi dada (pijat jantung luar) 30 dan ventilasi (nafas buatan) 2. Kecepatan kompresi dada adalah 100 kali/menit. Kompresi dada merupakan  tindakan yang  berirama berupa penekanan  telapak   tangan pada   tulang  sternum sepertiga  bagian bawah dengan tujuan memompa jantung dari luar sehingga aliran darah terbentuk dan dapat mengalirkan oksigen ke otak dan jaringan tubuh. Usahakan mengurangi penghentian kompresi dada selama RJP.

Cara melakukan RJP :a.Penderita  harus berbaring terlentang di  atas alas yang keras.  Posisi  penolong berlutut  di  sisi  korban sejajar dengan dada penderita.b.Penolong meletakkan bagian yang keras telapak tangan pertama penolong di atas tulang sternum di tengah dada di antara kedua puting susu penderita (2-3 jari di atas prosesus Xihoideus) dan letakkan telapak tangan kedua di atas telapak tangan pertama sehingga telapak tangan saling menumpuk.  Kedua  lutut penolong merapat,   lutut menempel bahu korban, kedua lengan tegak lurus, pijatan dengan cara menjatuhkan berat badan penolong ke sternum.

36

Page 37: Trauma Pelvis PBL

c. Tekan tulang sternum sedalam 4-5 cm (1 ½ - 2 inci) kemudian biarkan dada kembali normal (relaksasi). Waktu kompresi  dan  relaksasi  dada diusahakan sama.   Jika  ada  dua  penolong,  penolong pertama sedang  melakukan kompresi  maka penolong kedua sambil  menunggu pemberian ventilasi   sebaiknya meraba arteri  karotis  untuk mengetahui apakah kompresi yang dilakukan sudah efektif. Jika nadi teraba berarti kompresi efektif.d. Setelah 30 kali kompresi dihentikan diteruskan dengan pemberian ventilasi 2 kali (1 siklus = 30 kali kompres dan 2 kali ventilasi). Setiap 5 siklus dilakukan monitoring denyut nadi dan pergantian posisi penolong jika penolong lebih dari satu orang.e.   Jika   terpasang ETT maka tidak menggunakan siklus  30   :  2   lagi.  Kompresi  dilakukan dengan kecepatan 100 kali/menit tanpa berhenti dan ventilasi dilakukan 8-10 kali/menit. Setiap 2 menit dilakukan pergantian posisi untuk mencegah kelelahan.RJP pada anak1. Letakkan penderita pada posisi terlentang di atas alas yang keras2. Tiup nafas dua kali (tanpa alat atau dengan alat)3. Pijat jantung dengan menggunakan satu tangan dengan bertumpu pada telapak tangan di atas tulang dada, di tengah sternum.4. Penekanan tulang dada dilakukan sampai turun ± 3-4 cm dengan frekuensi 100 kali/menit.RJP pada bayi1. Letakkan penderita pada posisi terlentang di atas alas yang keras2. Tiup nafas 2 kali3. Untuk pijat jantung gunakan penekanan dua atau tiga jari. Bisa menggunakan ibu jari tangan kanan dan kiri menekan dada dengan kedua tangan melingkari  punggung dan dada bayi.  Bisa juga dengan menggunakan jari telunjuk, jari tengah dan atau jari manis langsung menekan dada.4.   Tekan   tulang   dada   sampai   turun   kira-kira   sepertiga   diameter   anterior-posterior   rongga   dada   bayi   dengan frekuensi minimal 100 kali/menit.RJP pada situasi khusus1. TenggelamTenggelam   merupakan   penyebab   kematian   yang   dapat   dicegah.   Keberhasilan   menolong   korban   tenggelam tergantung dari lama dan beratnya derajat hipoksia.

Penolong harus melakukan RJP terutama memberikan bantuan nafas, secepat mungkin setelah korban dikeluarkan dari   air.   Setelah   melakukan   RJP   selama   5   siklus   barulah   seorang   penolong   mengaktifkan   system   emergensi. Manuver   yang   dilakukan   untuk   menghilangkan   sumbatan   jalan   nafas   tidak   direkomendasikan   karena   bisa menyebabkan trauma, muntah dan aspirasi serta memperlambat RJP.2. HipotermiPada pasien tidak sadar oleh karena hipotermi, penolong harus menilai pernafasan untuk mengetahui ada tidaknya henti nafas dan menilai denyut nadi unuk menilai ada tidaknya henti jantung atau adanya bradikardi selama 30-45 detik karena frekuensi jantung dan pernafasan sangat lambat tergantung derajat hipotermi.Jika korban tidak bernafas,  segera beri  pernafasan buatan. Jika nadi tidak ada segera  lakukan kompresi  dada. Jangan menunggu suhu tubuh menjadi hangat. Untuk mencegah hilangnya panas tubuh korban, lepaskan pakaian basah, beri selimut hangat jika mungkin beri oksigen hangat.3. Sumbatan jalan nafas oleh benda asing

Posisi sisi mantap (recovery position)Posisi ini digunakan untuk korban yang tidak sadar yang telah bernafas normal dan sirkulasi aman. Posisi ini dibuat untuk menjaga jalan nafas tetap terbuka dan mengurangi risiko sumbatan jalan nafas dan aspirasi. Caranya korban diletakkan miring pada salah satu sisi tubuh dengan tangan yang dibawah berada di depan badan.

37

Page 38: Trauma Pelvis PBL

Daftar Pustaka

☼ Sobotta J, Putz R. 2006. Sobotta Atlas of Human . 14th ed. Elsevier Urban & Fisher, Amsterdam☼ Snell   RS.   2012.  Clinical   Anatomy   by   Regions  .   9th  ed.   Lippincott   Williams   &   Wilkins,   a   Wolter   Kluwer, 

Philadelphia☼ Pineiro LM. 2007. Uretral Trauma.On Urology Emergency.Springer ☼ Mechem   CC.   2010.    Pelvic   Fracture   in   Emergency   Medicine.  Di   unduh   melalui 

http://emedicine.medscape.com/article/825869-overview#a0104 pada 28 September 2012☼ Martin AC, Louis JM, Stephanie AS, et all. 2006.  Emergent Pelvic Fixation in Patients with Exsanguinating 

Pelvic   Fractures.  Elsevier   Urban   &   Fisher,   Amsterdam.   Diunduh   melalui http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1072751507001408 pada 28 September 2012

☼ Mardjono M, Sidharta P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta☼ Ilyas S. 2005. Hifema. dalam : Ked arurata n dalam Ilmu Penyakit Mata . Cetakan Ke-3.Balai

penerbit FKUI, Jakarta☼ Harsono. 2005.  Buku Ajar Neurologis Klinis, 3rd ed. Penerbit Gajah Mada University Press, Jogjakarta☼ Feliciano D, Mattox K, Moore E. 2007. Pelvic Trauma on Trauma Manual . 4th edition. McGraw Hill, New York☼ Cowan N. 2005. Uretral Trauma on Urological Emergency in Clinical Practice. Springer, New Zealand

38