Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

32
SKENARIO 2 TRAUMA PELVIS Seorang laki-laki dewasa mengalami kecelakaan lalu lintas terjatuh dari sepeda motor menabrak pohon dengan riwayat kehilangan kesadaran (+) dan daerah selangkangannya terkena stang motor lalu dibawa berobat ke UGD RSUD. Oleh dokter yang memeriksanya didapatkan : A,B,C : Baik, GCS : 15 St.Lokalis : Regio Orbita dextra : Inspeksi : Visus 1/60 dan tak terkoreksi ; Hematoma palpebra Conjunctiva bulbi : injeksi siliaris (+), oedema kornea, darah di COA/BMD Pupil : bulat, reflex cahaya (+) Fundus : sulit di-evaluasi TIO : normal per palpasi Regio Pelvis : Inspeksi : jejas di daerah suprapubic, bulging (+), hematoma Penis dan scrotum : ada bercak darah di meatus orificium eksterna yang sudah mengering Palpasi : kistik, nyeri tekan daerah suprapubik 1

Transcript of Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

Page 1: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

SKENARIO 2

TRAUMA PELVIS

Seorang laki-laki dewasa mengalami kecelakaan lalu lintas terjatuh dari sepeda motor menabrak pohon dengan riwayat kehilangan kesadaran (+) dan daerah selangkangannya terkena stang motor lalu dibawa berobat ke UGD RSUD. Oleh dokter yang memeriksanya didapatkan : A,B,C : Baik, GCS : 15 St.Lokalis : Regio Orbita dextra :

Inspeksi : Visus 1/60 dan tak terkoreksi ; Hematoma palpebra

Conjunctiva bulbi : injeksi siliaris (+), oedema kornea, darah di COA/BMD

Pupil : bulat, reflex cahaya (+)

Fundus : sulit di-evaluasi

TIO : normal per palpasi

Regio Pelvis :

Inspeksi : jejas di daerah suprapubic, bulging (+), hematoma

Penis dan scrotum : ada bercak darah di meatus orificium eksterna yang sudah mengering

Palpasi : kistik, nyeri tekan daerah suprapubik

1

Page 2: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

LANGKAH I:

I. Menjelaskan dan memahami trauma pelvis (buli-buli).

I.1. Definisi.

I.2. Etiologi.

I.3. Patofisiologi.

I.4. Manifestasi klinis.

I.5. Diagnosis.

I.6. Penatalaksanaan.

II. Menjelaskan dan memahami trauma uretra.

II.1. Definisi.

II.2. Klasifikasi.

II.3. Etiologi.

II.4. Patofisiologi.

II.5. Manifestasi klinik.

II.6. Diagnosis.

II.7. Penatalaksanaan.

III. Menjelaskan dan memahami definisi kesadaran dan struktur di serebral yang berfungsi mengatur kesadaran.

III.1. Definisi.

III.2. Struktur di serebral.

IV. Menjelaskan dan memahami mekanisme gangguan kesadaran.

V. Menjelaskan dan memahami cara penilaian kesadaran baik secara kualitatif dan kuantitatif terutama dengan penilaian GCS ( Glasgow Coma Scale ).

VI. Menjelaskan dan memahami kasus kegawatdaruratan mata.

VI.1. Definisi.

VI.2. Klasifikasi

VI.3. Etiologi

VI.4. Manifestasi klinis

VI.5. Komplikasi

2

Page 3: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

VI.6. Penatalaksanaan

VII. Menjelaskan dan memahami hifema sebagai kasus kegawatdaruratan mata.

7.1. Definisi

7.2. Etiologi

7.3. Klasifikasi

7.4. Patofisiologi

7.5. Manifestasi klinis

7.6. Diagnosis

7.7. Penatalaksanaan

7.8. Prognosis

VIII. Menjelaskan dan memahami pencegahan kebutaan yang berhubungan dengan kasus kegawatdaruratan.

8.1. Definisi.

8.2. Etiologi

8.3. Diagnosis

8.4. Penatalaksanaan

8.5. Pencegahan

3

Page 4: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

LANGKAH II :

4

Page 5: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

LANGKAH III :

I. Menjelaskan dan memahami trauma pelvis (buli-buli).

1.1. Menjelaskan definisi trauma pelvis (buli-buli)Trauma buli – buli merupakan keadaan darurat bedah yang membutuhkan

penanganan segera. Bila tidak ditanggulangi dengan segera, dapat menimbulkan komplikasi, seperti peritonitis dan sepsis.

1.2. Menjelaskan etiolgi trauma pelvis (buli – buli)a. Trauma buli – buli terbanyak karena kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan

kerja yang menyebabkan fragmen patah tulang pelvis yangmencederai buli – buli.

b. Trauma iatrogenik, seperti operasi ginekologik dan operasi daerah pelvis atau akibat tindakan endoskopik, seperti operasi transurethral.

c. Trauma tumpul dapat menyebabkan ruptur buli – buli, terutama dalam keadaan penuh atau terdapat kelainan patologik, seperti tuberkulosis, tumor,atau obstruksi sehingga trauma kecil sudah menimbulkan ruptur.

d. Trauma tajam akibat luka tusuk atau tembak yang jarang ditemukan.

1.3. Menjelaskan patofisiologi trauma pelvis (buli-buli)a. Fraktur tulang panggul dapat menimbulkan kontusio atau ruptur kandung

kemih.b. Pada kontusio buli–buli hanya terjadi memar pada dinding buli-buli dengan

hematuria tanpa ekstravasasi urin.c. Ruptur buli–buli dapat bersifat intraperitoneal atau ekstraperitoneal.

d. Ruptura ekstraperitoneal biasanya terjadi oleh karena fragmen dari fraktur pelvis menusuk buli–buli sehingga perforasi. Hal ini mengakibatkan terjadi ekstravasasi urin di rongga perivesikale.

e. Ruptura intraperitoneal terjadi bila buli–buli dalam keadaan penuh dan terjadi trauma langsung pada daerah abdomen bawah (direct blow). Pada kasus ini, akan terjadi gejala–gejala peritonitis.

1.4. Menjelaskan manifestasi klinis trauma pelvis (buli-buli)a. Tanda–tanda fraktur pelvis mudah didiagnosa dengan pemeriksaan

fisik dengan ditemukannya nyeri tekan dan krepitasi daerah fraktur.b. Kadang–kadang fraktur pelvis disertai perdarahan hebat sehingga penderita

bisa datang dengan anemia bahkan syok. c. Pada abdomen bagian bawah tampak jejas atau hematom dan terdapatnyeri

tekan di daerah suprapubik tempat hematom. d. Pada ruptur intraperitoneal, ditemukan tanda–tanda abdomen akut sertaurin

masuk ke rongga peritoneum sehingga memberikan tanda ada cairan diabdomen dan ada ransang peritoneum.

5

Page 6: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

e. Pada ruptur ekstraperitoneal, terdapat tanda adanya infitrasi urin dirongga peritoneal yang sering menyebabkan septisemia serta penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil dan kadang keluar darah dari uretra.

1.5. Diagnosis trauma buli-buli. Foto pelvis/ foto polos perut terdapat fraktur tulang pelvis Katerisasi dikerjakan bila klinis tidak terdapat darah menetes sari urethra.

Bila terdapat darah menetes dari urethra, harus dibuat uretrogram untuk memastikan adanya ruptur uretra. Pada katerisasi sering didapatkan gross hematuria

Trauma VU ditegakkan dengan Sistogram: untuk mengetahui adanya

ruptur VU dan lokasi ( intra/ ekstra) Sistografi : nampak kebocoran

berupa ekstravasasi kontras dalam rongga perivesica (tidak dianjurkan)Cara: masukan kontras 300- 400 ml ke VU

Foto antero-posterior (AP)Kosongkan VU kemudian bilas dan foto lagi

Dengan hasil:a. Tidak ada ekstravasasi merupakan diagnosa dari kontusio buli-bulib. Ekstravasasi seperti nyala api pada daerah perivesikal

menunjukkan ruptur ekstraperitonealc. Kontras masuk rongga abdomen menunjukkan ruptur

intraperitoneal

1.6. Penatalaksanaan trauma buli-buli.Datang syok diberikan resusitasi cairan IV/ darah

Setelah sirkulasi stabil, lakukan reparasi VU dengan prinsip memulihkan ruptur VU:

a. Penyaliran ruang perivesikalb. Pemulihan dinding, penyaliran VU, dan perivesikalc. Jaminan arus urin melalui kateter

Operasi dikerjakan dengan insisi mediana suprapubik. Pada ruptur ekstraperitoneal, setelah buli-buli dibuka, dilakukan repair. Dilakukan juga inspeksi rongga peritoneum untuk memastikan adakh cairan berdarah, yang merupakan indikasi untuk eksplorasi rongga peritoneum lebih lanjut. Luka ditutup dengan meninggalkan sistosomi suprapubik dan juga dipasang kateter uretra. Pada ruptur intraperitoneal operasi dilakukan dengan langsung membuka peritoneum, dan repair buli-buli dilakukan dengan membuka buli-buli

Untuk luka yang lebih berat, biasanya dilakukan pembedahan untuk menentukan luasnya cedera dan untuk memperbaiki setiap robekan. Selanjutnya air kemih dibuang dari kandung kemih dengan menggunakan 2 kateter, 1 terpasang melalui uretra (kateter trans-uretra) dan yang lainnya terpasang langsung ke dalam kandung kemih melalui perut bagian bawah

6

Page 7: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

(kateters suprapubik). Kateter tersebut dipasang selama 7-10 hari atau diangkat setelah kandung kemih mengalami penyembuhan yang sempurna.

II. Menjelaskan dan memahami trauma uretra.

II.1. Menejelaskan definisi trauma uretra.

Trauma uretra adalah trauma yang biasanya terjadi pada pria dibandingkan dengan para wanita, berhubungan dengan fraktur pelvis dan “straddle injury”. Terjadi cedera yang menyebabkan memar dinding dengan atau tanpa robekan mukosa baik parsial atau total.

II.2. Menjelaskan klasifikasi trauma uretra.

Berdasarkan anatomi, diklasifikasikan menjadi:

Ruptur uretra anterior : terletak di distal diafragma urogenital Ruptur uretra posterior : terletak di proksimal diafragma urogenital

II.3. Menjelaskan etiologi trauma uretra.

Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan cedera iatrogenik akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis menyebabkan rupturnya uretra pars membranasea, sedangkan trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan rupturnya uretra pars bulbosa. Pemasangan kateter atau businasi pada uretra yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan uretra karena false route atau salah jalan, demikian pula dengan tindakan operasi trans-uretra dapat menimbulkan cedera uretra iatrogenik.

II.4. Menjelaskan patofisiologi trauma uretra.

Ruptur uretra posteriorTrauma uretra posterior biasanya disebabkan oleh trauma tumpul atau

karena fraktur pelvis. Uretra biasanya terkena pada bagian proksimal dari diafragma urogenital dan terjadi perubahan posisi prostat ke arah superior (prostat menjadi terapung / floating prostat) dengan terbentuknya hematoma periprostat dan perivesical.

Ruptur uretra anteriorUretraanterior terbungkus di dalam corpus spongiosum penis. Corpus

spongiosum bersama corpora cavernosa penis dibungkus oleh fascia buck dan fascia colles. Jika ruptur uretra beserta corpus spongiosum, darah dan urin keluar dari uretra tapi masih terbatas pada fascia buck, di mana secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fascia buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fascia colles sehingga darah dapat menjalar hingga ke scrotum atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberi gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma.

7

Page 8: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

II.5. Menjelaskan manifestasi klinis trauma uretra.

Gejala umum :1. Perdarahan dari uretra2. Hematoma perineal3. Retensi urin, sebelumnya masih bisa miksi walaupun nyeri4. Bila buli-buli terlalu penuh, terjadi ekstravasasi sehingga timbul nyeri

Ruptur uretra posterior, ada 3 jenis1. Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching. Foto

uretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi urin, dan uretra hanya tampak memanjang.

2. Uretra posterior terputus pada perbatasan prostato-membranasea, sedangkan diafragma urogenitalia masih utuh.Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras yang masih terbatas di atas diafragma urogenitalis.

3. Uretra posterior, diafragma urogenitalis,dan uretra pars bulbosa sebelah proksimal ikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras meluas hingga di bawah diafragma urogenitalia sampai ke perineum.

Ruptur uretra anteriorPada ruptur uretra anterior terdapat daerah memar atau hematom pada penis dan skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan tanda klasik cedera uretra. Bila terjadi ruptur uretra total, penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil sejak trauma dan nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik. Retensio urin dapat terjadi pada keadaan ini.

8

Page 9: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

2.6. Menjelaskan diagnosis trauma uretra.

1. Ax/ : riwayat trauma , mekanisme trauma hematome.2. PD/ :

Trias rupture uretra posterior: bloody discharge, retensi urin, floating prostatRuptur uretra anterior: hematom/ darah memar pada penis dan skrotumRuptur total: gak bisa BAK sejak trauma( raba VU penuh), nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubikkarena kateter: obstruksi oleh edema /bekuan darah ekstravasasi urin dapat menambah atau mengurangi darah sehingga dapat meluas juah trgantung fasia yang rusak dan timbul infiltrat: infiltrat urin menimbulkan infeksi kemudian selulitis dan septisemia.

Trias ruptur uretra anterior: bloody discharge, retensio urin, dan hematom/ jejas peritoneal/ urin infiltrat.

3. Lab. : urinalisis eritrosit positif.4. Radiologis : uretrografi, AP pelvic foto.

2.7. Menjelaskan penatalaksanaan trauma uretra.

Penatalaksanaan trauma urethra posterior

Kateterisasi urethra merupakan kontraindikasi pada pasien ruptur urethra. Setelah kegawatan dapat diatasi, maka dipasang sistosomisuprapubik

dengan membuka buli – buli dan melakukan inspeksi buli – buli secara baik untuk meyakinkan ada / tidaknya laserasi buli – buli.

Dalam minggu pertama setelah dipasang sistosomi suprapubik,pemasangan kateter urethra dapat dicoba dengan bantuan endoskopidengan anestesi.Bila tindakan ini berhasil, kateter dipertahankan kuranglebih 4 minggu (kateter silikon).

Komplikasi trauma urethra posterior

1. Striktura urethra, impotensi dan inkontinensia2. Komplikasi akan tinggi bila dilakukan repair segera, dan akanmenurun

bila hanya melakukan sistostomi suprapubik terlebih dahulu dankemudian repair dilakukan belakangan .

Penatalaksanaan trauma urethra anterior

Eksplorasi segera pada daerah ruptura dan dilakukan repair urethra

Komplikasi trauma urethra anterior

Perdarahan, infeksi/sepsis dan striktura urehtra .

9

Page 10: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

III. Menjelaskan dan memahami definisi kesadaran dan struktur di serebral yang berfungsi mengatur kesadaran.

III.1. Menjelaskan definisi kesadaran.

Kesadaran adalah keadaan yang mencerminkan pengintegrasian implus aferen dan eferen.

Gangguan keasadaran adalah dimana tidak terdapat aksi dan reaksi, walaupun dirangsang secara kasar.

III.2. Menjelaskan struktur di serebral yang berfungsi mengatur kesadaran.

Input saraf dapat dibedakan dalam input yang bersifat spesifik dan bersifat non-spesifik. Lintasan asenden dalam susunan saraf pusat yang menyalurkan implus sensorik protopatik, propioseptik dan perasa pancaindra dari perifer ke daerah korteks perseptif primer disebut lintasan asenden spesifik atau lintasan asenden lemniskal.

Ada pula lintasan asendens non spesifik yakni formasi retikularis disepanjang batang otak yang menerima dan menyalurkan implus dari lintasan spesifik melalui koleteral ke pusat kesadaran pada batang otak bagian atas serta meneruskannya ke nukleus intralaminaris talami yang selanjutnya disebarkan difus keseluruh permukaan otak.

Pada manusian pusat kesadarn terdapat didaerah pons, formasio retikularis daerah mesensefalon dan diensefalon. Lintasan non spesifik ini oleh merruzi dan magoum disebut diffuse ascending reticular activating system (ARAS). Melalui lintasan non pesifik ini, suatu implus dari perifer akan menimbulkan rangsangan pada seluruh permukaan korteks serebri.

Dengan adanya 2 sistem lintasan tersebut terdapatlah penghantaran asenden yang pada dasarnya berbeda. Lintasan spesifik menghantarkan implus dari satu titik pada alat reseptor ke satu titik pada korteks persetif primer. Sebaliknya lintasan asenden nonspesifik menghantarkan setiap implus dari titik manapun pada tubuh keseluruh korteks serebri.

Neuron-neuron dikorteks serebri yang digalakan oleh implus asenden nonspesifik itu dinamakan neuron pengemban kewaspadaan, sedangkan yang berasal dari formasio retikularis dan nuklei intralaminalis talami disebut neuron penggalak kewaspadaan. Gangguan pada kedua jenis neuron tersebut oleh sebab apapun akan menimbulkan gangguan kesadaran.

IV. Menjelaskan dan memahami mekanisme gangguan kesadaran.

- Proses supratentorial dapat menyebabkan penurunan tingkat kesadaran1. Disfungsi difus kortikal dari korteks serebri seperti ensefalitis, neoplasma,

trauma kepala tertutup dengan perdarahan, empiema subdural (akumulasi nanah) intraserebral.

10

Page 11: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

2. Disfungsi subkortikal bilateral seperti trauma batang otak, GPDO.3. Kelainan lokal hemisfer serebri disebabkan masa yang menjepit, menekan

struktur bagian dalam diensefalon, herniasi mengganggu talamus dan activating hipotalamus.

- Proses infratentorial, penuruan kesadaran.1. Destruksi langsung pada ARAS2. Batang otak rusak akibat invasi langsung (GPDO, diemilinasi, neoplasma,

granuloma)3. Kompresi ARAS langsung pada pons dan midbrain, iskemik dan edema,

yang dapat menyebabkan herniasi keatas serebelum dan kebawah.

V. Menjelaskan dan memahami cara penilaian kesadaran baik secara kualitatif dan kuantitatif terutama dengan penilaian GCS ( Glasgow Coma Scale ).

Penilaian secara kualitatifKualitas kesadaran atau isi kesadaran menunjukkan kemampuan dalam mengenal diri sendiri dan sekitarnya yang merupakan fungsi hemisfer serebri.

Dalam klinik dikenal tingkat-tingkat kesadaran : Kompos mentis, inkompos mentis (apati, delirium, somnolen, sopor, koma)

Kompos mentis : Keadaan waspada dan terjaga pada seseorang yang bereaksi sepenuhnya dan adekuat terhadap rangsang visuil, auditorik dan sensorik.

Apatis : sikap acuh tak acuh, tidak segera menjawab bila ditanya.

Delirium : kesadaran menurun disertai kekacauan mental dan motorik seperti desorientasi, iritatif, salah persepsi terhadap rangsang sensorik, sering timbul ilusi dan halusinasi.

Somnolen : penderita mudah dibangunkan, dapat lereaksi secara motorik atau verbal yang layak tetapi setelah memberikan respons, ia terlena kembali bila rangsangan dihentikan.

Sopor (stupor) : penderita hanya dapat dibangunkan dalam waktu singkat oleh rangsang nyeri yang hebat dan berulang-ulang.

Koma : tidak ada sama sekali jawaban terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun hebatnya

Penilaian secara kuantitatif

(Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.

Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1 – 6 tergantung responnya.

11

Page 12: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

Eye (respon membuka mata) :(4) : spontan(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)(1) : tidak ada responVerbal (respon verbal) :(5) : orientasi baik(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi tempat dan waktu.(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)(2) : suara tanpa arti (mengerang)(1) : tidak ada respon

Motor (respon motorik) :(6) : mengikuti perintah(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri)(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).(1) : tidak ada respon

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E…V…M..Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil :GCS : 14 – 15 = CKR (cidera kepala ringan)

GCS : 9 – 13 = CKS (cidera kepala sedang)

GCS : 3 – 8 = CKB (cidera kepala berat)

Sistem penilai tingkat kesadaran yang digunakan secara luas saat ini adalah Skala Koma Glasgow. Tiga petunjuk utama dari kesadaran adalah: membuka mata, respons verbal dan respons motor.

Tabel 1

Glasgow Coma Scale Glasgow Coma Score

Eye opening (E)

Spontaneous with blinking 4

To call 3

To pain 2

12

Page 13: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

None 1

Motor response (M)

Obeys commands 6

Localizes pain 5

Normal flexion (withdrawal) 4

Abnormal flexion (decorticate) 3

Extension (decerebrate) 2

None (flaccid) 1

Verbal response (V)

Oriented 5

Confused coversation 4

Inappropriate words 3

Incomprehensible sounds 2

None 1

GCS cum score = (E+M+V); best possible score = 15;worst possible score = 3

Untuk anak-anak, dipakai Skala Koma Glasgow untuk anak-anak, tetapi dengan perubahan pada skor verbalnya bagi anak yang berusia kurang dari 4 tahun (skor respons membuka mata dan respons motornya seperti dewasa) :

Skor Verbal SKG/GCS Pediatrik.

Tabel 2

Verbal Respons

V-score

Appropriate words or social smile, fixes and follows 5

Cries, but consolable 4

Persistenly irritable 3

Restless, agitated 2

None 1

VI. Menjelaskan dan memahami kasus kedaruratan mata.

VI.1. Definisi kedaruratan mata.

13

Page 14: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

Kedaruratan mata adalah sikap keadaan yang mengancam tajam penglihatan seseorang berupa penurunan tajam penglihatan sampai terjadinya kebutaan.

VI.2. Klasifikasi kedaruratan mata.

Berdasrkan konsep penanganan masalah gawat darurat maka kedaruratan mata dapat dikelompokkan dalam beberapa keadaan :

1. Sight threatening condition.

Dalam situasi ini mata akan mengalami kebutaan atau cacat yang menetap dengan penurunan penglihatan yang berat dalam waktu beberapa detik sampai beberapa menit saja bila tidak segera mendapatkan pertolongan yang tepat. Cedera mata akibat bahan kimia basa (alkali) termasuk dalam keadaan ini. Oklusi arteria sentralis retina merupakan keadaan bukan trauma yang termasuk dalam kelompok ini.

2. Mayor condition

Dalam situasi ini pertolongan harus diberikan tetapi dengan batasan waktu yang lebih longgar, dapat beberapa jam sampai beberapa hari. Bila pertolongan tidak diberikan maka penderita akan mengalami hal yang sama seperti disebutkan pada sight threatening condition

3. Monitor condition

Situasi ini tidak akan menimbulkan kebutaan meskipun mungkin menimbulkan suatu penderitaan subyektif pada pasien bila terabaikan pasien mungkin dapat masuk kedalam keadaan ”mayor condition”.

VI.3. Etiologi kedaruratan mata.

Kedaruratan mata dapat terjadi karena dua hal :

1. Tidak ada hubungannya dengan trauma mata, misalnya

Glaukoma akuta.

Oklusi arteria sentralis retina.

2. Disebabkan trauma.

Ada dua macam trauma yang mempengaruhi mata, yaitu :

Trauma langsung terhadap mata.

Trauma tidak langsung dengan akibat pada mata, misalnya :

o Trauma kepala dengan kebutaan mendadak

14

Page 15: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

o Trauma dada dengan akibat kelainan pada retina.

Pembagian sebab-sebab trauma langsung terhadap mata adalah sebagai berikut:

1. Trauma mekanik.

a. Trauma tajam, biasanya mengenai struktur dibola mata (tulang orbita dan kelopak mata) dan mengenai bola mata (ruptura konjungtiva, ruptur kornea).

b. Trauma tumpul, Fraktur dasar orbita ditandai dengan enoftalmus. Dapat terjadi kebutaan pasca trauma tumpul orbita. Hematoma palpebra biasanya dibatasi oleh rima orbita, selalu dipikirkan cedera pada sinus paranasal.

c. Trauma ledakan / tembakan.

Ada 3 hal yang terjadi yaitu:

Tekanan udara yang berubah.

Korpus alineum yang dilontarkan ke arah mata yang dapat bersifat mekanik maupun zat kimia tertentu.

Perubahan suhu / termis.

2. Trauma non-mekanik.

a. Trauma kimia dibedakan menjadi dua, trauma yang disebabkan oleh zat yang bersifat asam, dan trauma yang disebabkan oleh zat yang bersifat basa.

b. Trauma termik, Trauma ini disebabkan seperti panas, umpamanya percikan besi cair, diperlukan sama seperti trauma kimia.

c. Trauma radiasi, disebabkan oleh infra merah dan ultraviolet.

VI.4. Manifestasi klinis kedaruratan mata.

Adapun manifestasi klinisnya adalah :

Lebam

Oedema

Nyeri

Lakrimasi

Adanya benda asing

Pupil bergeser (T10 meningkat)

15

Page 16: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

Adanya zat kimia

Perubahan visus

VI.5. Komplikasi kedaruratan mata.

1. Mengancam penglihatan.

Glaukoma kronik

Perdarahan vitreus

Eksoftalmus unilateral

Kelainan syaraf

2. Kerusakan permanen.

Benda asing

Abrasi kornea

Laserasi bola mata

Infeksi konjungtivitis berat, selulitis orbita

Penyumbatan arteri

Pengelupasan retina

Ensoftalmos

VI.6. Penatalaksanaan kedaruratan mata.

1. Trauma oftalmik.

o Bila dicurigai ada laserasi,cedera tembus, ruptur bola mata jangan lakukan penekanan.

o Penekanan dapat diakibatkan ekstrusi isi intraokuler dak kerusakan yang tidak dapat diperbaiki.

o Robekan kelopak mata, letakkan ibu jari dan jari telunjuk pada atas dan bawah orbita.

2. Cedera bola mata.

o Hindari manipulasi mata sampai saat perdarahan.

o Pasang balutan ringan tanpa tekanan, dan perisai logam yang bersandar pada tulang orbita diplester kedahi dan pipi.

o Pembalutan bilateral, jaga jarak bola mata minimal.

o Kolaborasi antibiotik, analgesik, anti tetanus.16

Page 17: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

o Bila ruptur bola mata sudah teratasi periksakan struktur lain dapat dilakukan laserasi kelopak mata, penjahitan.

3. Benda asing, lakukan irigasi tanpa menyentuh kornea.

4. Abrasi kornea, balut tekan mata mengkolaborasi antibiotik, anastesi. Monitor efeki anatesi, terlambat penyembuhan.

5. Luka bakar kimia,irigasi segera dengan air bersih atau NaCl , bilas terus sampai 20 menit atau sampai bersih.

6. Ruptur bola mata, pasang perisai, hindari manipulasi, jangan pakai tetes mata.

7. Trauma tumpul, kontusio orbita, kompres es, istirahatkan

VII. Menjelaskan dan memahami hifema sebagai kasus kedaruratan mata.

VII.1. Definisi hifema.

Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan, yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor aqueus (cairan mata) yang jernih. Darah yang terkumpul di bilik mata depan biasanya terlihat dengan mata telanjang. Walaupun darah yang terdapat di bilik mata depan sedikit, tetap dapat menurunkan penglihatan.

VII.2. Etiologi hifema.

Hifema biasanya disebabkan trauma tumpul pada mata yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif akan merobek pembuluh darah iris dan merusak sudut camera oculi anterior (COA). Tetapi dapat juga terjadi secara spontan atau pada patologi vaskuler ocular. Darah ini dapat bergerak dalam kamera anterior, mengotori permukaan dalam kornea. Inflamasi yang parah pada iris, sel darah yang abnormal dan kanker mungkin juga bisa menyebabkan perdarahan pada bilik depan mata. Kadang-kadang pembuluh darah baru yang terbentuk pada kornea pasca bedah katarak dapat pecah sehingga timbul hifema.

Perdarahan dapat terjadi segera sesudah trauma yang disebut perdarahan primer. Perdarahan primer dapat sedikit dapat pula banyak. Perdarahan sekunder biasanya timbul pada hari ke 5 setelah trauma. Perdarahannya biasanya lebih hebat daripada yang primer. Oleh karena itu seseorang dengan hifema harus dirawat sedikitnya 5 hari. Dikatakan perdarahan sekunder ini terjadi karena resorpsi dari bekuan darah terjadi terlalu cepat sehingga pembuluh darah tak mendapat waktu yang cukup untuk regenerasi kembali.

17

Page 18: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

Perdarahan spontan dapat terjadi pada mata dengan rubeosis iridis, tumor pada iris, retinoblastoma, dan kelainan darah. Hifema spontan pada anak sebaiknya dipikirkan kemungkinan leukemia dan retinoblastoma.

Pada penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk sel darah merah melalui sudut COA menuju kanal Schiem sedangkan sisanya akan diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya enzim fibrinolitik di daerah ini. Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk ke dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea menjadi bewarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisio kornea, yang hanya dapat ditolong dengan keratoplasti. Imbibisio kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema yang penuh disertai glaukoma.

Hifema yang terjadi karena trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan bagian dalam bola mata, misalnya terjadi robekan-robekan jaringan iris, korpus siliaris dan koroid. Jaringan tersebut mengandung banyak pembuluh darah, sehingga akan menimbulkan perdarahan. Perdarahan di dalam bola mata yang berada di kamera anterior akan tampak dari luar. Timbunan darah ini karena gaya berat akan berada di  bagian terendah.

VII.3. Klasifikasi hifema.

Tingkatan dari hifema ditentukan oleh banyaknya perdarahan dalam bilik depan bola mata. Pembagian mengenai tingginya hifema sangat berbeda-beda dari berbagai pengarang. Tetapi pembagian yang cukup berguna dan paling sering digunakan adalah pembagian menurut :

Edward Layden: Hifema tingkat 1: bila perdarahan kurang dari1/3 bilik depan mata. Hifema tingkat II: bila perdarahan antara 1/3 sampai 1/2 bilik depan mata. Hifema Tingkat III bila perdarahan lebih dari ½ bilik depan mata.

Rakusin membaginya menurut  : Hifema tk I: perdarahan mengisi 1/4 bagian bilik depan mata. Hifema tk II : perdarahan mengisi 1/2 bagian bilik depan mata. Hifema tk III: perdarahan mengisi 3/4 bagian bilik depan mata. Hifema tk IV : perdarahan mengisi penuh biIik depan mata.

Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi: Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan yang disebabkan

pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier akibat trauma pada segmen anterior bola mata.

Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan prosedur operasi mata). Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan silier, sehingga

pembuluh darah pecah. Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah (contohnya juvenile

xanthogranuloma). Hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma).

Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi atas 2 yaitu:

18

Page 19: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

Hifema primer, timbul segera setelah trauma hingga hari ke 2. Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.

VII.4. Patofisiologi hifema.Trauma tumpul yang mengenai mata dapat menyebabkan robekan pada

pembuluh darah iris, akar iris dan badan silier sehingga mengakibatkan perdarahan dalam bilik mata depan. Iris bagian perifer merupakan bagian paling lemah. Suatu trauma yang mengenai mata akan menimbulkan kekuatan hidraulis yang dapat menyebabkan hifema dan iridodialisis, serta merobek lapisan otot spingter sehingga pupil menjadi ovoid dan non reaktif. Tenaga yang timbul dari suatu trauma diperkirakan akan terus ke dalam isi bola mata melalui sumbu anterior posterior sehingga menyebabkan kompresi ke posterior serta menegangkan bola mata ke lateral sesuai dengan garis ekuator. Hifema yang terjadi dalam beberapa hari akan berhenti, oleh karena adanya proses homeostatis. Darah dalam bilik mata depan akan diserap sehingga akan menjadi jernih kembali.

Umumnya pendarahan yang timbul dapat berasal dari: Kumpulan arteri utama dan cabang dari badan ciliar, Arteri koroid, Vena badan siliar dapat juga terlibat/tidak, Pembuluh darah iris pada sisi pupil.  

VII.5. Manifestasi klinis hifema.Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang berair.

Penglihatan pasien akan sangat menurun. Terdapat penumpukan darah yang terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. Selain itu, dapat terjadi peningkatan tekanan intra ocular, sebuah keadaan yang harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya glaucoma.

Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus karena darah mengganggu media refraksi. Darah yang mengisi kamera okuli ini secara langsung dapat mengakibatkan tekanan intraokuler meningkat akibat bertambahnya isi kamera anterior oleh darah. Kenaikan tekanan intraokuler ini disebut glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder juga dapat terjadi akibat massa darah yang menyumbat jaringan trabekulum yang berfungsi membuang humor aqueous yang berada di kamera anterior. Selain itu akibat darah yang lama berada di kamera anterior akan mengakibatkan pewarnaan darah pada dinding kornea dan kerusakan jaringan kornea.

Terdapat pula tanda dan gejala yang relative jarang: penglihatan ganda, blefarospasme, edema palpebra, midriasis, dan sukar melihat dekat.

VII.6. Diagnosis hifema.Pemeriksaan lengkap perlu dilakukan pada pasien trauma bola mata untuk

menyingkirkan trauma terbuka pada bola mata. Dan setiap kunjungan selanjutnya ketajaman visus, keadaan jaringan mata lainnya, luas hifema, dan tekanan bola mata harus diperiksa.

19

Page 20: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

Pemeriksaan menggunakan slit lamp digunakan untuk menilai jumlah akumulasi darah, memastikan tidak ada darah yang menggeras (clot), dan penyerapan darah tetap lancar. Pemeriksaan Laboratorium; seluruh orang kulit hitam dan keturunan Hispanik dengan hifema harus diketahui keadaan sel darah sabitnya6. Pemeriksaan Radiologi; tidak terlalu diperlukan, tetapi dapat menilai adanya tulang orbita yang patah atau retak.

Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata Snellen; visus dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan retina.

Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi vaskuler okuler, glaukoma.

Pengukuran tonografi: mengkaji tekanan intra okuler. Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan

iridocorneal contact, aqueous flare, dan synechia posterior. Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler. Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya glaukoma bila

TIO normal atau meningkat ringan.

VII.7. Penatalaksanaan hifema.Penatalaksanaan hifema tanpa komplikasi glaukoma dengan merawat

pasien dengan tidur di tempat tidur yang ditinggikan 45 derajat pada kepala dan mata ditutup (bukan dibebat tekan). Pada penderita yang gelisah dapat diberikan obat penenang. Biasanya hifema akan diserap kembali dan hilang sempurna dalam beberapa hari (4-7 hari) tergantung dari banyaknya darah. Selama perawatan harus dimonitor tekanan intra okuler untuk mencegah terjadinya glaukoma.

Untuk mengurangi nyeri, dapat diberikan paracetamol. Tidak disarankan pemberian pereda nyeri jenis aspirin, karena salah satu efek aspirin akan menyebabkan perdarahan spontan kembali pada sumber perdarahan yang sudah berhenti. Obat-obatan untuk mengurangi tekanan intraokuler golongan penghambat anhidrase karbonat misalnya asetazolamid dapat diberikan. Prinsip penanganan adalah untuk mencegah perdarahan ulang dan mencegah tekanan intra okuler yang tinggi.

Pada hifema yang telah disertai dengan glaukoma, maka penanganannya bertujuan untuk menghentikan perdarahan serta berusaha secepat mungkin menghilangkan darah yang berada di kamera anterior. Untuk menghentikan perdarahan dapat diberikan koagulansia agar darah dapat membeku dengan cepat, dapat pula dengan memperkuat dinding pembuluh darah. Mencegah perdarahan sekunder perlu pula dilakukan. Perdarahan sekunder sering terjadi akibat inflamasi, sehingga pemberian obat anti inflamasi dapat membantu mencegah perdarahan sekunder.

Pada beberapa kasus, prosedur pembedahan parasentesis (mengeluarkan darah dari bilik mata depan) dilakukan bila terdapat hifema yang penuh dan berwarna hitam, imbibisi kornea, glaukoma akibat hifema, atau bila setelah 5 hari tidak ada tanda-tanda hifema akan berkurang. Parasentesis dilakukan

20

Page 21: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

dengan membuat insisi pada kornea dekat limbus, kemudian diberi salep mata antibiotik dan mata ditutup dengan verband.

VII.8. Prognosis hifema.

Tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera okuli anterior. Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan tanpa disertai glaukoma, prognosisnya baik (bonam) karena darah akan diserap kembali dan hilang sempurna dalam beberapa hari. Sedangkan hifema yang telah mengalami glaukoma, prognosisnya bergantung pada seberapa besar glaukoma tersebut menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan. Bila tajam penglihatan telah mencapai 1/ 60 atau lebih rendah maka prognosis penderita adalah buruk (malam) karena dapat menyebabkan kebutaan.

VIII. Menjelaskan dan memahami pencegahan kebutaan yang berhubungan dengan kasus kegawatdaruratan.

VIII.1. Definisi kebutaan.

Organisasi Kesehatan Dunia, WHO mendefinisikan gangguan penglihatan diamana keadaan seseorang tidak dapat menjalankan pekerjaan yg memerlukan penglohtannya sehingga hal yg esensial sebagaimana orang sehat.

WHO menganjurkan kriteria untuk negara yang sedang berkembang dengan ketajaman pnglihatan 3/60 atau lebih rendah visusnya uang tidak dapat dikoreksi.

VIII.2. Etiologi kebutaan.

a. KatarakMerupakan penyebab paling sedikit 50% kasus kebutaan diseluruh

dunia. Seiring dengan peningktan usia harapan hidup, jumlah orang yang terkena semakin meningkat.

b. TrakomaMenyebabkan keratokonjugtivitis bilateral, biasanya pada masa anak-anak,

yang menyebabkan pembentukan jaringan parut kornea pada masa dewasa yang apabila parah, menyebabkan kebutaan.

c. Lepra(Penyakit Hansen) mengenai 15-16 juta orang didunia dan memiliki

presentasi keterlibatan mata yang lebih tinggi dibandingkan penyakit sistemik lain.

d. OnkoserkariasisDitularkan melalui gigitan blackfly, yang berkembang biak di aliran sungai

atau air yang jernih (sehingga diberi nama river blindness). Manifestasi utama onkoserkariasis pada mata adalah keratitis, uveitis, retinokorditis, dan atropi optikus.

e. Xeroftalmia

21

Page 22: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

Disebabkan oleh hipovitaminosis A. Secara klinis terjadi xerosis konjungtiva dengan bercak Bitot yang khas dan pelunakan kornea (keratomalasia), yang daoat menyebabkan perforasi kornea. Malnutrisi protein menyebabkan eksaserabasi penyakit dan menyebabkan refrakter terhadap pengobatan. Bayi yang terkena sering tidak dapat bertahan sampai dewasa dan meninggal akibat malnutrisi, pneumonia, atuat diare.

Penyebab lain seperti :♦ Glaukoma♦ Pelepasan retina♦ Retinopati diabetes♦ Keratitis herpes simpleks♦ Penyakit herediter

VIII.3. Diagnosis kebutaan.o Pemeriksaan visus.

o Pemeriksaan lapangan pandang.

VIII.4. Penatalaksanaan kebutaan.

▪ Rehabilitasi orang buta

Tujuan rehabilitasi adalah agar pasien mampu menjalani kehidupan senormal mungkin, meringankan beban keluarga dan masyarakat, dan memelihara kepercayaan kepada diri sendiri.

Dengan cara, meliputi :

- Memberi dorongan untuk menghodari terjadinya depresi- Memelihara, menggunakan indrayang tersisa seintensif mungkin

dengan cara dapat mengenal alam sekitar melalui perabaan, pendengaran, pembau.

- Memberi pendidikan yang khusus- Menyediakan lapangan kerja yang khusus- Menumbuhkan kerjasama atau toleransi masyarakat dan pemeliharaan

khusus- Berusaha untuk menolong orang yang sudah buta

▪ Latihan mobilitas

▪ Braile merupakan sistem membaca untuk orang buta yang sangat efektif

▪ Perangkat elektonik “Optakon” yaitu alat elektronik yang mengubah bayangan visual huruf menjadi bentuk taktil.

VIII.5. Pencegahan kebutaan.

♦ Meningkatkan asupan vitamin A untuk mencegah xeroftalmia

22

Page 23: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

♦ Mencegah terjadinya katarak

♦ Konsultasi genetik untuk mencegah penyakit herediter

♦ Program bantuan keuangan yang bekerja sama dengan oemerintah dan non-pemerintah untuk membantu orang buta

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidajat. R, Win de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC

Purnomo, Basuki B. (2009). “Buku Ajar Urologi”. Jakarta : Penerbit Sagung Seto

http://ilmubedahurologi.wordpress.com/tag/ruptur-uretra/

http://bedahumum.wordpress.com/2008/12/14/sistostomi-dan-punksi-buli-buli/

(Roper- hall, 1990, FI UI 1982, perhimpunan indonesia 1994).

Mahar Mardjono. Priguna Sidharta. 2009. Neurologis Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat

Priguna Sidharta. 2008. Tata Pemeriksaan Klinik Dalam Neurologi. Jakarta: Dian Rakyat

Ilyas,Sidarta. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

23

Page 24: Skenario 2.Doc Trauma Pelvis Kelompok B-13

24