Lap Skenario 1 Trauma
-
Upload
azedh-az-zahra -
Category
Documents
-
view
224 -
download
1
Transcript of Lap Skenario 1 Trauma
TRIAGE
a. Definisi
Triase berasal dari bahasa Perancis ‘trier’ yang berarti menyeleksi. Triase
adalah suatu proses khusus memilah pasien berdasarkan beratnya
cedera/penyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat.
b. Prinsip
Triase mempunyai 2 komponen :
1. Menyeleks pasien dan menyusun prioritas berdasarkan beratnya penyakit
2. Alokasi dan rasionalisasi sumber daya
Prinsip dasarnya adalah melakukan yang terbaik untuk sebanyak-banyaknya
korban. Perhatian dititikberatkan pada pasien atau korban dengan kondisi medis
paling urgent dan paling besar kemungkinannya untuk diselamatkan.
c. Kategori
1. Segera – Immediate (I) – MERAH
Pasien mengalami cedera mengancam jiwa yang kemungkinan besar
dapat hidup bila ditolong segera. Misalnya :
Tension pneumothorax
Distress pernapasan (RR lebih dari 30 kali per menit)
Perdarahan internal vasa besar
Perdarahan hebat
Cedera jalan napas
Cardiac arrest
Shock – nadi radial tidak teraba, akral dingin, pengisian kapiler lebih
dari 2 detik
Luka terbuka di abdomen atau thoraks
Trauma kepala berat
Komplikasi diabetes
Keracunan
Persalinan patologis, misalnya malpresentasi janin
Tidak sadar
Luka bakar, termasuk luka bakar inhalasi
Fraktur terbuka
2. Tunda – Delayed (II) – KUNING
Pasien perlu tindakan definitif tetapi tidak ada ancaman jiwa segera.
Pasien dapat menunggu giliran pengobatan tanpa bahaya. Misalnya :
Fraktur tertutup pada ekstremitas (perdarahan terkontrol)
Perdarahan laserasi terkontrol
Luka bakar <25% luas permukaan tubuh
Trauma tulang belakang (dapat dilakukan imobilisasi dan proteksi dari
trauma lebih lanjut)
Perdarahan sedang
Trauma kepala tanpa gangguan kesadaran
3. Minimal (III) – HIJAU
Pasien mendapat cedera minimal, dapat berjalan dan menolong diri
sendiri atau mencari pertolongan. Misal :
Laserasi minor
Memar atau lecet
Luka bakar superfisial
4. Expextant (0) – HITAM
Pasien mengalami cedera mematikan dan akan meninggal meski
mendapat pertolongan. Misalnya :
Cedera kepala berat
Luka bakar derajat 3 hampir di seluruh tubuh
Kerusakan organ vital (Setijanto, 2014).
PRIMARY SURVEY
Survei ABCDE
(Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure)ini disebut survei primer yang
harus selesai dilakukan dalam 2 - 5 menit. Terapi dikerjakan serentak jika korban
mengalami ancaman jiwa akibat banyak sistim yang cedera :
1. Airway
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas
dengan bebas?
Jika ada obstruksi maka lakukan :
Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
Suction / hisap (jika alat tersedia)
Guedel airway / nasopharyngeal airway
Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral
2. Breathing
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas
bebas. Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan :
Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)
Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada
Pernafasan buatan
Berikan oksigen jika ada.
Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika kondisi pasien tidak stabil.
3. Sirkulasi
Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan
nafas bebas dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan :
Hentikan perdarahan eksternal
Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)
Berikan infus cairan
4. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons
terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow
Coma Scale
AWAKE = A
RESPONS BICARA (verbal) = V
RESPONS NYERI = P
TAK ADA RESPONS = U
Cara ini cukup jelas dan cepat.
5. Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera
yang mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang, maka
imobilisasi in-line harus dikerjakan.
SECONDARY SURVEY
Setelah semua dilakukan dan keadaan pasien menjadi stabil lakukan kembali
secondary survey. Dokter diharapkan memeriksa kembali dari awal, mulai dari
anamnesis terutama untuk mengetahui mekanisme trauma, lakukan pemeriksaan fisik
yang lengkap, dan rencanakan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis
dan menetapkan tindakan selanjutnya. Pada pemeriksaan lanjut (secondary survey)
dari anamnesis didapatkan keterangan bahwa pasien mengalami kecelakaan lalu lintas
ketika mengendarai sepeda motor dan menabrak jembatan ketika menghindari
penyebrang jalan. Dada pasien terkena stang motor dan kaki tertimpa motor.Terdapat
jejas pada hemithoraks kanan. Pasien dibawa ke RS terdekat. GCS pasien compos
mentis, nafas cepat dangkal. Pasien tampak lemah dengan tekanan darah
100/70vmmHg, nadi 110 x/menit. Pada pemeriksaan toraks tampak simetris, teraba
krepitaso, hipersonor, vesikuler melemah, dan emphisema subkutis.
Penatalaksanaan awal pasien di ruang resusitasi pada umumnya sesuai dengan tata
cara penanganan pasien trauma yaitu mulai dari tahapan primary survey, resusitasi,
secondary survey dan pemeriksaan penunjang. Pasien dalam keadaan cukup stabil
(tanda vital). Pemeriksaan foto toraks menunjukkan ada fraktur iga multipel, kontusio
paru dan hemotoraks serta pemeriksaan FAST menunjukan tidak ada cairan di rongga
abdomen dan ditemukan efusi pleura kanan. Pasien dilakukan pemasangan chest tube
kanan dan kiri dan pasca tindakan dirawat di ruang observasi intensif. Setelah
beberapa hari dirawat di ICU diputuskan untuk dilakukan pemasangan fiksasi interna.
Masalah yang pertama kali dihadapi (primary survey) adalah (1) pneumotoraks ventil
(2) fraktur femur. Tindakan yang dilakukan pada saat pertama kali pasien diterima di
instalasi gawat darurat sudah cukup memadai, terutama (1) collar brace yang telah
terpasang sebelumnya dari rumah sakit luar, (2) pemberian cairan dan transfusi darah
untuk mengatasi syok dan anemia, (3) tindakan intubasi untuk mempertahankan jalan
napas dan mengurangi beban otot pernapasan serta pemberian O2 untuk oksigenasi
(4) pemasagan chest tube untuk mengevakuasi cairan di rongga pleura sehingga
masalah restriksi dapat dikurangi dan (5) pemberian morfin untuk mengatasi rasa
nyeri. Setelah tindakan resusitasi dilakukan maka masuk tahapan secondary survey
guna menentukan diagnosis pasti dengan melakukan pemeriksaan fisis yang
menyeluruh diikuti dengan pemeriksaan laboratorium dan radiologis. Seharusnya
pemeriksaan foto toraks dan USG dilakukan setelah seluruh pemeriksaan fisis
dikerjakan. Pada pasien ini kedua pemeriksaan itu dilakukan lebih awal kemungkinan
untuk menentukan masalah (diagnosis) sesungguhnya secepat mungkin sehingga
komplikasi yang mungkin terjadi dapat segera dicegah. Pemeriksaan laboratorium
memang dilakukan setelah secondary survey dikerjakan termasuk pemeriksaan
analisis gas darah. Analisis gas darah diperlukan untuk menetukan apakah pasien
dengan trauma toraks harus dilakukan intubasi atau tidak (Demetriades, 2009).
NYERI DADA
Nyeri dada bisa disebabkan oleh berbagai macam hal, seperti kelainan pada
jantu, paru-paru, neuromuskuler, ataupun nyeri alih abdomen. Pada kasus trauma
kemungkinan bisa terjadi fraktur costa, fraktur sternum, contusion pulmoner,
pneumothotax, hematothorax, contusion myocard, tamponade cordis, dan lain-lain.
Pada kasus dalam skenario, nyeri dada kemungkinan bisa disebabkan karena
jejas pada hemithorax kanan karena dada terbentur stang motor.
SESAK NAFAS YANG SEMAKIN BERTAMBAH
Perdarahan jaringan interstisium, intraalveolar, diikuti kolaps kapiler dan
atelektasis menyebabkan tahanan perifer pembuluh paru naik kemudian tekanan
darah akan turun dan pertukaran gas menjadi berkurang. Pada pneumothorax ventil,
sesak semakin bertambah karena udara yang terhisap tidak dapat eluar.
KAKI KANAN TIDAK DAPAT DIGERAKKAN
Kaki kanan tidak dapat digerakkan seperti dalam skenario bisa disebabkan
karena fraktur femur, fraktur tibia fibula, dislokasi panggil, trauma spinal, dan lain-
lain. Pada skenario sudah dilakukan pemeriksaan dan didapatkan adanya fraktur
femur dekstra.
FRAKTUR
1. Fraktur
a. Pengertian Fraktur
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang,
penyebab terbanyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti
proses degeneratif juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur.
Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang berupa
retakan, pengisutan ataupun patahan yang lengkap dengan fragmen tulang
bergeser
b. Etiologi
Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan
terjadinya fraktur diantaranya peristiwa trauma(kekerasan) dan peristiwa
patologis.
c. Klasifikasi Fraktur
Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan
jaringan disekitar, bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis.
Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar .
Fraktur dapat dibagi menjadi :
a) Fraktur tertutup (closed),bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar.
b) Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan
di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat (menurut R.
Gustillo), yaitu:
Derajat I : Luka <1 cm
Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka
remuk Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau
kominutif ringan Kontaminasi minimal.
Derajat II : Laserasi >1 cm
Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi
Fraktur kominutif sedang
Kontaminasi sedang
Derajat III : Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi
struktur kulit, otot, dan neurovaskular serta kontaminasi
derajat tinggi. Fraktur terbuka derajat III terbagi atas:
i. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang
adekuat, meskipun terdapat laserasi
luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat
kominutif yang disebabkan oleh trauma
berenergi tinggi tanpa melihat besarnya
ukuran luka.
ii. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur
tulang yang terpapar atau kontaminasi masif.
iii. Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer
yang harus diperbaiki tanpa melihat
kerusakan jaringan lunak.
Berdasarkan bentuk patahan tulang
a) Transversal
Adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap
sumbu panjang tulang atau bentuknya melintang dari tulang.
Fraktur semacam ini biasanya mudah dikontrol dengan
pembidaian gips.
b) Spiral
Adalah fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul
akibat torsi ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini
hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak.
c) Oblik
Adalah fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana
garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang.
d) Segmental
Adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen
tulang yang retak dan ada yang terlepas menyebabkan
terpisahnya segmen sentral dari suplai darah.
e) Kominuta
Adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau
terputusnya keutuhan jaringan dengan lebih dari dua fragmen
tulang.
f) Greenstick
Adalah fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak
lengkap dimana korteks tulang sebagian masih utuh demikian
juga periosterum. Fraktur jenis ini sering terjadi pada anak –
anak.
g) Fraktur Impaksi
Adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang
ketiga yang berada diantaranya, seperti pada satu vertebra
dengan dua vertebra lainnya.
h) Fraktur Fissura
Adalah fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang
berarti, fragmen biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan
reduksi
Berdasarkan lokasi pada tulang fisis
Tulang fisis adalah bagian tulang yang merupakan lempeng
pertumbuhan, bagian ini relatif lemah sehingga strain pada sendi
dapat berakibat pemisahan fisis pada anak – anak. Fraktur fisis
dapat terjadi akibat jatuh atau cedera traksi. Fraktur fisis juga
kebanyakan terjadi karena kecelakaan lalu lintas atau pada saat
aktivitas olahraga. Klasifikasi yang paling banyak digunakan
untuk cedera atau fraktur fisis adalah klasifikasi fraktur menurut
Salter – Harris :
a) Tipe I : fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng
pertumbuhan, prognosis sangat baik setelah dilakukan reduksi
tertutup.
b) Tipe II : fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan, timbul
melalui tulang metafisis , prognosis juga sangat baik denga reduksi
tertutup.
c) Tipe III : fraktur longitudinal melalui permukaan artikularis dan
epifisis dan kemudian secara transversal melalui sisi metafisis dari
lempeng pertumbuhan. Prognosis cukup baik meskipun hanya
dengan reduksi anatomi. d) Tipe IV : fraktur longitudinal melalui
epifisis, lempeng pertumbuhan dan terjadi melalui tulang
metafisis. Reduksi terbuka biasanya penting dan mempunyai
resiko gangguan pertumbuhan lanjut yang lebih besar.
e) Tipe V : cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens dari
gangguan pertumbuhan lanjut adalah tinggi.
PNEUMOTHORAX
Pneumotoraks adalah terdapatnya udara bebas di dalam rongga pleura, yaitu rongga di
antara pleura parietalis dan viseralis. Dalam keadaan normal, rongga ini tidak terisi udara dan
memiliki tekanan negatif sebesar - 11 sampai - 12 cm air pada waktu inspirasi dan - 4 sampai
- 8 cm air pada saat ekspirasi.
Pada penumotoraks, oleh karena terdapat udara bebas, maka tekanan di dalam rongga
pleura meningkat menjadi lebih positif dari tekanan normal dan bahkan dapat melebihi
tekanan atmosfir. Akibat peningkatan tekanan di dalam rongga pleura, jaringan paru akan
mengempis yang derajatnya tergantung pada besar kenaikan tekanan, pengembangan jaringan
paru sisi yang sehat terganggu, dan mediastinum dengan semua isinya terdorong ke arah sisi
sehat dengan segala akibatnya.
Pneumotoraks berdasarkan terjadinya yang didasarkan atas penyebab terjadinyadibagi
menjadi:
Penumotoraks artifisial ialah pneumotoraks yang disebabkan tindakan tertentu atau
memang disengaja untuk tujuan tertentu. Seperti terapi kolaps, sering dilakukan untuk
tuberkulosis paru yang mengalami batuk darah dengan tujuan untuk menghentikan
perdarahan.
Pneumotoraks traumatik, disebabkan jejas yang mengenai dada, misalnya peluru
menembus dada dan paru serta kecelakaan lalu lintas biasanya menyebabkan trauma
tumpul pada dada.
Pneumotoraks spontan, tanpa didahului oleh kecelakaan atau trauma. Seringkali
didapatkan penyakit dasar berupa tuberkulosis paru yang prosesnya lama, emfisema,
kanker paru, dan asma bronkiale kronis.
Menurut lokasi, pneumotoraks dibedakan dalam pnemotoraks parietalis, mediastinalis
dan basalis. Sesuai dengan derajat pengempisan jaringan paru, pneumotoraks dapat dibagi
atas pneumotoraks totalis dan parsialis.
Berdasarkan jenis fistel yang menghubungkan antara saluran pernapasan dengan rongga
pleura, dibagi menjadi:
Pneumotoraks terbuka, udara bebas keluar masuk rongga pleura karena terdapat
hubungan langsung yang terbuka antara bronkus atau udara luar dengan rongga pleura;
tekanan di dalam rongga pleura sama dengan tekanan atmosfir.
Pneumotoraks tertutup sudah tidak terdapat aliran udara antara rongga pleura dengan
bronkus atau dunia luar karena fistel sudah tertutup; tekanan rongga pleura dapat sama,
lebih tinggi atau lebih rendah dan tekanan atmosfir.
Pneumotoraks ventil, pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin
lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil.
Saat inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus, serta percabangannya dan
selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di
dalam rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura
makin lama makin tinggi.
Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan:
Inspeksi:
Terjadi pencembungan pada sisi yang sakit
Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
Palpasi:
Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
Perkusi:
Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak menggetar
Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura tinggi
Auskultasi:
Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
Suara napas terdengar amforik bila ada fistel bronkopleura yang cukup besar pada
pneumotoraks terbuka
Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif
Pemeriksaan foto toraks akan menunjukkan bagian yang terkena pneumktoraks akan
tampak hitam, rata dan paru yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru.
Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler yang
sesuai dengan lobus paru.. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa yang
berada di daerah hilus. Ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak
selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.
Penatalaksanaan
Tindakan dekompresi dengan membuat hubungan rongga pleura dengan dunia luar dengan
cara:
Menususkkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan demikian
tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena udara
mengalir keluar melalui jarum tersebut.
Membuat hubungan dengan dunia luar melalui kontra ventil.
1. Dapat memakai infus set. Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai rongga pleura,
kemudian pipa plastik/ infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan
dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah itu klem penyumbat dibuka dan akan
tampak gelembung udara yang keluar dari ujung pipa plastik yang berada di dalam botol.
2. Pipa Water Sealed Drainage (WSD)
Melaui sela iga ke 4 pada garis aksila tengah atau pada garis aksila posterior. Selain
itu dapat pula melalui sela iga ke 2 di garis klavikula tengah. Selanjutnya ujung
selang plastik di dada dan pipa kava WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainnya.
Posisi ujung pipa kaca yang berada dibotol sebaiknya berada 2 cm di bawah
permukaan air supaya gembung udara dapat dengan mudah keluar melalui perbedaan
tekanan tersebut (Alsagaff, 2005).
HEMOTHORAX
Definisi
Hemotoraks adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan timbulnya
darah di ruangan antara dua pleura (cavum pleura). Pleura adalah dua lapisan kantung
yang meliputi paru-paru dan memisahkannya dari dinding toraks. Penyebab paling
umum dari hemotoraks adalah cidera tumpul atau tajam pada toraks, seperti ketika
terjadi fraktur pada costae yang menembus pleura dan menyebabkan darah memasuki
cavum pleura. Hal ini dapat membuat paru-paru mengempis serta menyebabkan
timbulnya nyeri dada dan kesulitan bernapas. Hal ini merupakan suatu kondisi medis
darurat yang memerlukan perawatan segera. Jika tidak ditangani dengan segera, dapat
terjadi komplikasi yang mengancam jiwa, seperti syok hipovolemik akibat
perdarahan yang hebat dan gagal napas.
Beberapa faktor risiko bagi seseorang untuk mengalami hemotoraks antara
lain seseorang yang pernah melakukan bedah toraks atau bedah kardio, mengalami
gangguan perdarahan, penderita penyakit tuberkulosis, atau penderita kanker paru.
Komplikasi yang dapat muncul pada penderita hemotoraks antara lain peningkatan
risiko untuk gagal napas dan mengalami pnuemotoraks. Komplikasi yang paling berat
adalah kematian.
Gejala-Gejala
Tanda dan gejala hemotoraks yang mungkin timbul antara lain:
denyut jantung yang cepat (takikardia)
kecemasan
kegelisahan
kelelahan
kulit dingin dan berkeringat
kulit pucat
nyeri dada
sesak napas.
Penatalaksanaan
Penanganan dan pengobatan hemotorak dapat berbeda tergantung pada
kondisi yang dideritanya. Pilihan pengobatan yanga ada antara lain torakotomi dan
torakosentesis. Torakotomi merupakan penatalaksanaan dengan cara memasukkan
jarum ke cavum pleura untuk mengeluarkan darah sehingga tekanan terhadap paru-
paru dapat berkurang. Torakotomi merupakan penatalaksanaan yang dilakukan pada
kasus hemotoraks berat dengan cara melakukan pembedahan pada toraks dengan
tujuan untuk menghentikan perdarahan.
THORACOSENTESIS
Needle thoracocentesis adalah memasukkan jarum atau kateter ke dalam cavum pleurauntuk mengeluarkan akumulasi udara atau cairan di dalam cavum pleura.
Indikasi :
Thoracocetesis di indikasikan untuk mengobati gejala dari efusi pleura yang besar
atau untuk mengobati empyiema. Prosedur ini juga diindikasikan untuk effusi pleura
dari berbagai jenis. Selain itu juga karna hasil effusi transudat dari turunnya tekanan
onkotik plasma dan naiknya tekanan hidrostatik seperti pada penyakit gagal jantung,
sirrosis, sindroma nefrotik (Porcel, 2009). Selain itu juga digunakan pada tension
pneumothorax dan spontaneous simple pneumothorax.
Kontra Indikasi :
Tidak ada kontraindikasi absolut yang dikenakan pada prosedur ini, hanya kontra
indikasi relatif. Yaitu apabila terdapat suatu luka pada daerah yang akan dilakukan
insisi atau thoracocentesis, atau terdapat cellulitis pada daerah yang akan di pungsi.
Persiapan Alat :
- Alat pelindung diri (masker, handscoen)
- Jarum IV line No. 14
- Betadine
- Kassa
- Handscoen
- Plester
Pasien :
- Inform consent
- Berikan penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan
- Pasien tidur terlentang / sesuai kebutuhan
Prosedur Pemakaian :
a. Posisi - pasien telentang.
b. Identifikasi vena jugularis, dan garis mid-klavikularis di sisi pasien yang
terkena
c. Tentukan tempat pemasangan di sela iga 2.
d. Bersihkan tempat yang akan dipasang dengan cairan antiseptik.
e. Pasang kateter IV 10-16 gauge 2-4 inci ke 3-10 cc jarum suntik. Pasang katup
flapper.
f. Masukkan jarum ke dalam sela iga 2.
g. Lepaskan jarum dan alat suntik, tinggalkan kateter dan katup flapper di
tempat.
h. Pasang balutan kecil di sekitar kateter.
i. Letakkan pasien dalam posisi tegak lurus untuk membantu memudahkan
respirasi.
j. Monitoring respon pasien (respiratory rate, suara pernapasan, warna kulit
pasien.
k. Terus memonitor pasien dan meninjau kembali diperlukan (Field Medical
Service School, 2001).
INFORMED CONSENT
Informed Consent adalah istilah yang telah diterjemahkan dan lebih sering
disebut dengan Persetujuan Tindakan Medik. Secara harfiah, Informed Consent terdiri
dari dua kata, yaitu :Informed dan Consent. Informed berarti telah mendapat
informasi/penjelasan/keterangan.Consent berarti memberi persetujuan atau
mengizinkan. Dengan demikian Informed Consent itu merupakan suatu persetujuan
yang diberikan pasien/keluarga setelah mendapatkan informasi.
Informed Consent dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 ditafsirkan sebagai
Persetujuan Tindakan Medik adalah persetujuan yang diberikan pasien atau
keluarganya atas dasar informasi dan penjelasan mengenai tindakan medik yang
dilakukan terhadap pasien tersebut (pasal 1).
Inform consent adalah pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu
pasien, keluarga, atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada
dokter untuk melakukan tindakan mediksesudah orang yang berhak tersebut diberi
informasi secukupnya.
Doktrin inform consent tidak berlaku pada 5 keadaan:
1. Keadaan darurat medis
2. Ancaman terhadap kesehatan mayarakat
3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)
4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada
pasien yang melepaskan haknya memeberikan consent.
5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent.
Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) yaitu :
1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (Implied Consent), yaitu bisa dalam
keadaan normal (biasa) atau darurat, umumnya tindakan yang biasa dilakukan
atau sudah diketahui umum misal menyuntik pasien. Bila pasien dalam
keadaan gawat darurat ”Emergency” memerlukan tindakan segera, sementara
pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya
pun tidak ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan edik terbaik
menurut dokter (Permenkes No. 585 tahun 1989, pasal 11).
2. Dinyatakan (Expressed Consent), yaitu persetujuan dinyatakan secara lisan
atau tertulis. Persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan medis yang
tidak mengandung resiko tinggi seperti pencabutan kuku, sedangkan
persetujuan secara tertulis mutlak diperlukan pada tindakan medis yang
mengandung resiko tinggi seperti tindakan pembedahan perlu surat
pernyataan dari pasien/keluarga.
Hubungan Dokter - Pasien dalam Keadaan GawatDarurat
Hubungan dokter-pasien dalam keadaan gawat daruratsering merupakan
hubungan yang spesifik. Dalam keadaanbiasa (bukan keadaan gawat darurat) maka
hubungan dokter– pasien didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak,yaitu pasien
dengan bebas dapat menentukan dokter yangakan dimintai bantuannya (didapati azas
voluntarisme).Demikian pula dalam kunjungan berikutnya, kewajiban yangtimbul
pada dokter berdasarkan pada hubungan yang telahterjadi sebelumnya (pre-existing
relationship).Dalamkeadaan darurat hal di atas dapat tidak ada dan azas
voluntarismedari keduabelah pihak juga tidak terpenuhi.Untukitu perlu diperhatikan
azas yang khusus berlaku dalampelayanan gawat darurat yang tidak didasari atas
azasvoluntarisme.
Apabila seseorang bersedia menolong orang lain dalamkeadaan darurat, maka
ia harus melakukannya hingga tuntasdalam arti ada pihak lain yang melanjutkan
pertolongan ituatau korban tidak memerlukan pertolongan lagi. Dalam halpertolongan
tidak dilakukan dengan tuntas maka pihakpenolong dapat digugat karena dianggap
mencampuri/menghalangi kesempatan korban untuk memperolehpertolongan lain
(loss of chance) (Herkutanto, 2007).
Alsagaff H, Mukty A. 2005. Dasar- Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press.
Demetriades D. 2009. Assessment and management of trauma 5th edition. Department
of surgery university of southern california.
Field Medical Service School. 2001. Needle Thoracocentesis.
http://www.brooksidepress.org/Products/OperationalMedicine/DATA/operati
onalmed/Manuals/FMSS/NEEDLETHORACENTESISFMST0411.htm
(Diakes pada tanggal 25 April 2014).
Herkutanto. 2007.Aspek medikolegal pelayanan gawat darurat.Majalah Kedokteran
Indonesia, 57 (2):38.
Holder AR. 1972.Emergency room liability.JAMA, 220:5.
http://www.persify.com/id/perspectives/medical-conditions-diseases/hemotoraks-_-
9510001031336 diakses pada tanggal 27 April 2014.
Porcel JM. Tuberculous pleural effusion. Lung. Sep-Oct 2009;187(5):263-70
Setijanto E. 2014. Triase. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret,
pp: 137-148.