PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

download PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

of 28

Transcript of PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    1/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    I. MM Kegawatdaruratan Gangguan KesadaranDalam bidang neurology, koma merupakan kegawat daruratan medik yang paling sering

    ditemukan/dijumpai. Koma bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu keadaan klinik tertentu yang

    disebabkan oleh berbagai faktor serta membutuhkan tindakan penanganan yang cepat dan tepat, dimana

    saja dan kapan saja (Harsono, 2005)

    Klasifikasi komaKoma dibagi menjadi 2 yaitu; koma kortikal bihemisferik dan koma diensefalik

    1. Koma kortikal bihemisferikNeuron merupakan satuan fungsional susunan saraf. Berbeda secara struktur, metabolisme dan

    fungsinya dengan sel tubuh lain. Pertama, neuron tidak bermitosis. Kedua, untuk metabolismenya

    neuron hanya menggunakan O2 dan glukosa saja. Sebab bahan baku seperti protein, lipid,polysaccharide dan zat lain yang biasa digunakan untuk metabolisme sel tidak dapat masuk ke neuron

    karena terhalang oleh blood brain barrier.Angka pemakaian glukosa ialah 5,5 mg/100 gr jaringan otak/menit. Angka pemakaian O2 ialah 3,3

    cc/100 gr jaringan otak/menitKoma yang bangkit akibat hal ini dikenal juga sebagai Koma Metabolik.

    Yang dapat membangkitkan koma metabolik antara lain:- Hipoventilasi

    - Anoksia iskemik.- Anoksia anemik.

    - Hipoksia atau iskemia difus akut.

    - Gangguan metabolisme karbohidrat.- Gangguan keseimbangan asam basa.

    - Uremia.

    - Koma hepatik

    - Defisiensi vitamin B

    2. Koma diensefalik.Koma akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formation retikularis di daerah mesensefalon dandiensefalon (pusat penggalak kesadaran). Secara anatomik koma diensefalik dibagi menjadi 2 bagian

    utama yaitu koma akibat lesi supratentorial dan lesi infratentorial.

    Etiologi Koma (Harsono, 2005)

    S ; Sirkulasigangguan pembuluh darah otak (perdarahan maupun infark)E ; Ensefalitisakibat infeksi baik oleh bakteri, virus, jamur, dllM ; Metabolikakibat gangguan metabolic yang menekan/mengganggu kinerja otak. (gangguan hepar,uremia, hipoglikemia, koma diabetikum, dsb).

    E ; Elektrolitgangguan keseimbangan elektrolit (seperti kalium, natrium).

    N ; Neoplasma tumor baik primer ataupun sekunder yang menyebabkan penekanan intracranial.Biasanya dengan gejala TIK meningkat (papiledema, bradikardi, muntah).I ; Intoksikasikeracunan.T ; Traumakecelakaan.E ; Epilepsi.

    Gejala Klinis dan Diagnosis Koma

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    2/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    1. Anamnesa.

    Karena penderita terganggu kesadarannya, maka harus diambil heteroanamnesis dari orang yangmenemukan penderita atau mengetahui kejadiannya. Hal yang harus diperhatikan antara lain:

    - Penyakit penderita sebelum koma.

    - Keluhan penderita sebelum tidak sdar

    - Obat yang digunakan.

    - Apa ada sisa obat, muntahan, darah, dsb didekat penderita saat ia ditemukan tidak sadar.- Apakah koma terjadi secara mendadak atau perlahan?. Gejala apa saja yang nampak oleh orang-orang

    disekitarnya?.- Apakah ada trauma sebelumnya

    - Apakah penderita mengalami inkontinensia urin dan feses.

    2. Pemeriksaan intern/fisik.

    a. Tanda-tanda vital.

    b. Bau nafas penderita (amoniak, aseton, alcohol, dll)

    c. Kulit ; turgor (dehidrasi), warna (sianosis - intoksikasi CO, obat-obatan), bekas injeksi (morfin), luka-luka karena trauma.

    d. Selaput mukosa mulut (adanya darah atau bekas minum racun).e. Kepala; *Opistotonus (meningitis), *Miring kanan/kiri (tumor fossa posterior).

    *Apakah keluar darah atau cairan dari telinga/hidung?. *Hematom disekitar mata (Brill hematoma) ataupada mastoid (Battles sign). *Apakah ada fraktur impresi?.f. Leher; Apakah ada fraktur? Jika tidak, periksa kaku kuduk.

    g. Thorax; paru & jantung.h. Abdomen; Hepar (koma hepatik), ginjal (koma uremik), retensi urin (+/-).

    i. Ekstrimitas; sianosis ujung jari, edema pada tungkai.

    3. Pemeriksaan neurologis.a. Pemeriksaan kesadaran; digunakan Glasgow Coma Scale (GCS).

    b. Pemeriksaan untuk menetapkan letak proses / lesi.

    Table 1.1 pemeriksaan untuk menentukan letak lesi (Harsono, 2005)

    4. Pemeriksaan dengan alat.

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    3/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    CT scanmerupakan pemeriksaan yang paling sering atau umum digunakanOftalmoskop : Pada setiap penderita koma, fundus okuli harus diperiksa untuk melihat adanya

    (1).papiledema. (2).tanda-tanda arteriosclerosis pembuluh darah di retina. (3).Tuberkel di koroidea.

    Elektroensefalografi (EEG) ; untuk melihat kelainan difus atau fokal. Harus dibandingkan antara

    hemisfer kiri dan kanan. Serial EEG diperlukan untuk evaluasi penderita koma.

    Eko-ensefalografi ; menggunakan gelombang ultrasound. Midline echo pada orang normal

    menandakan posisi ventrikel III. Yang perlu diperhatikan adalah dorongan dari midline echo untukmenentukan lateralisasi.

    Doppler ( B scan) ; alat untuk mengukur kecepatan aliran darah di arteria karotis dan pembuluh darahkolateral (temporalis,orbita). Pemeriksaan ini penting untuk mengetahui adanya stenosis pada arteri.

    Koma kortikal bihemisferik disebut juga koma metabolik, dimana pada koma jenis ini terdapatpenyakit primer yang mendasari (penyakit non-saraf) timbulnya koma. Gejala klinisnya : organic brainsyndrome dan gangguan neurologist yang bilateral.

    Koma diensefalik timbul akibat gangguan fungsi atau lesi struktur formation retikularis (batang otak)akibat proses desak ruang. Gejala klinisnya : semua manifestasi gangguan neurologik menunjukkan ciri

    lateralisasi seperti hemiparese, anisokor (Harsono, 2005)

    Diagnosis banding koma(1). Afasia global akut

    pada keadaan ini penderita tidak mengerti dan tidak dapat berbicara, tetapi refleks-refleks sefalik lainnya

    masih baik.(2). Lock in syndrome

    pada sindroma ini didapatkan paralysis keempat ekstrimitas, penderita tidak dapat berbicara, tetapi

    penderita masih dapat melakukan kedipan dan gerakan bola mata. Gerakan ini dapat dipakai untuk

    berkomunikasi. Sindroma ini dijumpai pada lesi di mesensefalon

    Penatalaksanaan Koma (Harsono, 2005)1. Breathing Jalan napas harus bebas dari obstruksi. Posisi penderita miring agar lidah tidak jatuhkebelakang, serta bila muntah tidak terjadi aspirasi. Bila pernapasan berhenti segera lakukan resusitasi.

    2. Blood Diusahakan tekanan darah cukup tinggi untuk mengalirkan darah ke otak. Tekanan darah

    yang rendah berbahaya untuk susunan saraf pusat. Komposisi kimiawi darah dipertahankan semaksimalmungkin, karena perubahan-perubahan tersebut akan mengganggu perfusi dan metabolisme otak.

    3. Brain Usahakan untuk mengurangi edema otak yang timbul. Bila penderita kejang sebaiknya

    diberikan difenilhidantoin 3 dd 100 mg atau karbamezepin 3 dd 200 mg per os atau nasogastric. Bilaperlu difenilhidantoin diberikan intravena secara perlahan.

    4. Bladder Harus diperhatikan fungsi ginjal, cairan, elektrolit, dan miksi. Kateter harus dipasang

    kecuali terdapat inkontinensia urin ataupun infeksi.

    5. Bowel Makanan penderita harus cukup mengandung kalori dan vitamin. Pada penderita tua seringterjadi kekurangan albumin yang memperburuk edema otak, hal ini harus cepat dikoreksi. Bila terdapat

    kesukaran menelan dipasang sonde hidung. Perhatikan defekasinya dan hindari

    terjadi obstipasi.

    Penatalaksanaan berdasarkan etiologi, secara singkat akan diuraikan berdasarkan urutan SEMENITE

    1. Sirkulasi

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    4/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    a. Perdarahan subaranoidal Asam traneksamat 4 dd 1 gr iv perlahan-lahan selama 2 minggu,

    dilanjutkan peroral selama 1 minggu untuk mencegah kemungkinan rebleeding. Nimodipin(ca blocker) untuk mencegah vasospasme. Setelah 3 minggu sebaiknya dilakukan arteriografi untuk

    mencari penyebab perdarahan, dan bila mungkin diperbaiki dengan jalan operasi.

    b. Perdarahan intraserebral Pengobatan sama seperti diatas. Pembedahan hanya dilakukan bila

    perdarahan terjadi di lokasi tertentu, misalnya serebelum.

    c. Infark otak keadaan ini dapat disebabkan oleh karena trombosis maupun emboli. Pengobatan infarkakut dapat dibagi dalam 3 kelompok :

    Pengobatan terhadap edema otak, mis. Dengan mannitolPengobatan untuk memperbaiki metabolisme otak, mis. Dengan citicholine / codergocrine mesylate /

    piracetam

    Pemberian obat antiagregasi trombosit dan antikoagulan..

    2. Ensefalomeningitis.

    Meningitis purulentaantibiotic

    Meningitis tuberkulosa dipakai kombinasi INH, rifampisin, kanamisin, dan pirazinamide.3. Metabolisme.

    Koma karena gangguan metabolime harus diobati penyakit primernya. Penatalaksanaannya terletak dibagian penyakit dalam.

    4. Elektrolit dan endokrin.Bagian penyakit dalam. Kalium selain menyebabkan gangguan saraf juga dapat menyebabkan gangguan

    jantung.

    Prognosis.

    Prognosis jelek bila didapatkan gejala-gejala seperti di bawah ini lebih dari 3 hari:

    1. Adanya gangguan fungsi batang otak, seperti dolls eye phenomenon negative, refleks korneanegative, refleks muntah negative.2. Pupil lebar tanpa adanya refleks cahaya.

    3. GCS yang rendah (1-1-1).

    II. MM Kegawatdaruratan Trauma Pelvis

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    5/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    Gbr. 2,1 A.Pelvis Pria, B.Pelvis Wanita (Richard Snell, 2012)

    Disrupsi cincin pelvis merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada pasien cedera

    multipel. Dimana kefatalannya disebabkan oleh perdarahan retroperitoneal dan cedera-cedera lain

    sehubungan dengannya. Fraktur bisa jadi sangat mematikan jika muncul dalam kombinasinya bersama

    dengan cedera penting pada sistem organ mayor. Karena daya yang tinggi penting untuk disrupsi cincinpelvis pada pasien dewasa muda, tidaklah mengejutkan kalau sampai 80% pasien ini juga mendapat

    cedera muskuloskeletal. Angka mortalitas pada pasien cedera cincin pelvis berkekuatan-tinggi rata-rata

    15-20%. Kematian ini umumnya disebabkan oleh cedera yang umumnya sehubungan dengan polacedera. Mortalitas meningkat hampir 13 kali jika pasien mengalami hipotensi. Ketika berkombinasi

    dengan cedera kepala atau cedera abdomen yang membutuhkan intervensi bedah, mortalitas meningkat

    sampai 50%. Jika kedua prosedur diperlukan, mortalitas meningkat sampai 90%.

    Klasifikasi (Mechem, 2010)

    TILE mengklasifikasikan fraktur pelvis menjadi 3 kelompok yaitu :

    1. Tipe A : Meliputi fraktur pelvis yang stabilA1 : Fraktur avulsi (pelepasan tulang akibat tarikan ligament, tendon) tanpa gangguan cincinBiasanya berlokasi di anterosuperior atau anteroinferior spina iliaca. Bisa juga terjadi pada tuberositas

    ischium akibat kontraksi kuat otot hamsring.

    A2 : Fraktur cincin pelvis tanpa peranjakan.

    A3: Fraktur transversal pada sacrum dan coccyx tanpa melibatkan cincin pelvis2. Tipe B : Meliputi fraktur-fraktur yang stabil secara vertical tetapi tidak stabil secara horisontal.

    B1 : Trauma konversi anteroposterior terdiri dari 3 stadium yaitu

    Stadium 1 : Pemisahan simfisis pubis < 2,5 cm tanpa keterlibatan cincin pelvis posterior

    Stadium 2 : Pemisahan simfisis pubis > 2,5 cm dengan kerusakan pada cincin pelvisposterior unilateral

    Stadium 3 : Pemisahan simfisis pubis > 2,5 cm dengan kerusakan cincin pelvis posterior bilateral

    B2 : Trauma kompresi lateral (ipsilateral)

    Tidak stabil pada rotasi internal melibatkan cincin anterior dan posterior dari hemipelvis ipsilateral

    B3 : Trauma kompresi lateral (kontralateral)

    Tidak stabil pada rotasi internal dan terdapat keterlibatan cincin pelvis anterior kontralateral terhadap

    trauma posterior

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    6/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    3. Tipe C :Meliputi fraktur yang tidak stabil baik yang secara vertikal maupun horisontal.Dibagi menjadi3 (yang paling mengancam jiwa) tipe yaitu:C1 : Kerusakan pada pelvis anterior dan porterior ipsilateral dengan instabilitas vertikal dan horisontal

    pada hemipelvis yang terkena.

    C2 : Pemisahan hemipelvis bilateral dengan istabilitas rotasional dan vertical yang bermakna.

    C3 : Fraktur pelvis manapun yang disertai dengan fraktur acetabulum

    Fraktur tipe ini biasanya diakibatkan oleh trauma dengan energi tinggi dengan instabilitas ligament atautulang yang komplit.

    Kematian pada fraktur tidak stabil karena perdarahan, kegagalan beberapa sistem organ atausepsis

    MEKANISME DASAR CEDERA PELVISAda 4 mekanisme dasar cedera pelvis, yaitu:

    1. Kompresi antero posteriorCedera ini biasanya tekanan yang kuat dari anterior ke posterior, terjadi fraktur ramus pubis atau

    terbukanya tulang inominata (menjauh satu sama lain dan rotasi external), dan disrupsi simfisis yangdisebut open book frakture. Di posterior ligamentum sacroiliaca robek atau terjadi

    fraktur ilium bagian posterior.2. Kompresi Lateral

    Tekanan dari samping menyebabkan pelvis mengalami endorotasi dan mengalami fraktur. Biasanyaterjadi pada kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Di anterior ramus pubispada satu atau

    dua sisi terjadi fraktur. Di posterior terjadi regangan sacroiliaca yang hebat atau fraktur ilium pada

    sisi trauma atau sisi yang berlawanan. Jika cedera pada sacroiliacamenyebabkan peranjakan yanghebat dapat menyebabkan fraktur instabil.

    3. Vertical ShearTerjadi vertical displacement pada satu tulang inominata, fraktur ramus pubis dan regio sacroiliaca.

    Biasanya terjadi pada orang yang jatuh pada ketinggian dalam keadaan menumpu pada satu kaki.Fraktur yang diakibatkannya terutama instabil dan berat, dengan robekan jaringan lunak serta

    pendarahan retroperitorial.4. Kombinasi Kompresi lateral dan rotasi

    Fraktur ini menyerupai gagang ember (bucket handle), dimana terjadi fraktur ramus pubis pada sisi

    yang berlawanan dengan traumanya, sedang tepi sacrum atau ilium remuk dan terbelah pada sisi

    trauma. Jika terjadi frakur pada os sacrum, maka pleksus sacralis mungkin terkena.

    Pemeriksaan dan Diagnosis Kegawatdaruratan Trauma Pelvis (Mechem, 2010)

    Pengukuran hemoglobin dan hematokrit menunjukan tanda perdarahan, urinalisa menunjukkanhematuria mikroskopis atau grosss hematuria.

    Radiologi anteroposterior panggul menjadi tes skrining dasar dan 90% dapat memperlihatkan

    adanya cedera panggul cedera panggul, membutuhkan diagnosis cepat, dan pada pasien dengan

    hemodinamik stabil

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    7/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    a b

    Gbr. 2.2 a. Radiologi unstabil pelvis, b. Pelvis normal

    gbr.2.3 cidera pada pelvis dimana simpisis pubis dan articulation sacroiliaca kanan melebar/menjauh

    (Mechem, 2010)

    CT Scan pemeriksaan terbaik untuk mengevaluasi dari anatomi pelvic, derajat perdarahan pada

    panggul, retroperitoneal dan intraperitoneal. CT scn juga dapat mengkonfirmasi adanya dislokasi antarapanggul dengan fraktur asetabular.

    a bgbr 2.4 a. CT Scan normal pelvis, b.Windswept pelvis (Mechem, 2010)

    USG FAST (Focused Assessment with Sonography for Trauma) dapat membantu menunjukan

    perdarahan/terdapat cairan intrapelvisRetrograde Uretrografi diperlukan pada pria yang mengalami perdarahan uretra

    Pentalaksanaan Kegawatdaruratan Trauma PelvisPrioritas awal dengan penanganan hemodinamika dilakukan resusitasi agresif dan pencegahan

    perdarahan tidak berlanjut.

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    8/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    Setelah itu, pemeriksaan A FAST membantu dengan cepat bersamaan dengan radiologi dada

    utnuk melihat adanya sumber perdarahan lain terutama untuk pasien tidak stabil, hindari gerakanberlebih pada pelvis.

    Fiksasi eksternal diindikasikan sebagai pengobatan langsung pada pasien yang

    hemodinamikanya tidak stabil dengan fraktur yang tidak stabil.

    buka reduksi dan fiksasi internal (ORIF) terbukti memberikan hasil yang lebih unggul. Orif

    merupakan kontraindikasi untuk pasien yang tidak stabil dan skit kritis atau pasien patah tulang terbukadengan debridement luka tidak memadai

    gbr. 2.5 ORIF

    Perlu juga diingat untuk memberikan juga analgesik untuk megnhilangkan rasa nyeri danantibiotik untuk profilaksis jika ada gangguan pada usus, saluran kemih, hindari penggunaan steroidsebagai terapi inisiasi pada pasien fraktur dengan perdarahan, steroid boleh diberikan jika terdapat

    adanya resiko peradangan nantinya.(Mechem, 2010)

    Fiksasi Eksternal (David, 2009)

    Fiksasi Eksternal Anterior Standar

    Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis emergensi pada resusitasipasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan fraktur pelvis tidak stabil. Efek menguntungkan

    fiksasi eksternal pada fraktur pelvis bisa muncul dari beberapa faktor. Imobilisasi dapat membatasi

    pergeseran pelvis selama pergerakan dan perpindahan pasien, menurunkan kemungkinan disrupsi

    bekuan darah. Pada beberapa pola (misal, APC II), reduksi volume pelvis mungkin dicapai denganaplikasi fiksator eksternal. Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis openbook mengarah pada peningkatan tekanan retroperitoneal, yang bisa membantu tamponade perdarahanvena. Penambahan fraktur disposisi dapat meringankan jalur hemostasis untuk mengontrol perdarahan

    dari permukaan tulang kasar.C-Clamp

    Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis posterior yang adekuat. Hal

    ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang melibatkan disrupsi posterior signifikan atau dalamkasus-kasus dimana ala ossis ilium mengalami fraktur. C-clamp yang diaplikasikan secara posterior

    telah dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini. Clamp memberikan aplikasi gaya tekan posterior

    tepat melewati persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar harus dilatih untuk mencegah cedera

    iatrogenik selama aplikasi; prosedur umumnya harus dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi.Penerapan C-clamp pada regio trochanter femur menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal

    anterior standar untuk fiksasi sementara cedera APC.

    AngiografiEksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan kehilangan darah berkelanjutan

    yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi fraktur pelvis dan infus cairan agresif. Keseluruhan

    prevalensi pasien dengan fraktur pelvis yang membutuhkan embolisasi dilaporkan

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    9/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    studi lain, 8% dari 162 pasien yang ditinjau ulang oleh penulis membutuhkan angiografi. Embolisasi

    dibutuhkan pada 20% pola cedera APC, cedera VS, dan fraktur pelvis kompleks, namun hanya 1,7%pada cedera LC. Eastridge dkk melaporkan bahwa 27 dari 46 pasien dengan hipotensi persisten dan

    fraktur pelvis yang sama sekali tak stabil, termasuk cedera APC II, APC III, LC II, LC III dan VS,

    memiliki perdarahan arteri aktif (58,7%). Miller dkk menemukan bahwa 19 dari 28 pasien dengan

    instabilitas hemodinamik persisten diakibatkan oleh pada fraktur pelvis menunjukkan perdarahan arteri

    (67,9%). Pada studi lain, ketika angiografi dilakukan, hal tersebut sukses menghentikan perdarahanarteri pelvis pada 86-100% kasus. Ben-Menachem dkk menganjurkan embolisasi bersifat lebih-dulu,menekankan bahwa jika sebuah arteri yang ditemukan pada angiografi transected, maka arteri tersebutharus diembolisasi untuk mencegah resiko perdarahan tertunda yang dapat terjadi bersama dengan lisis

    bekuan darah. Penulis lain menjelaskan embolisasi non-selektif pada arteri iliaca interna bilateral untuk

    mengontrol lokasi perdarahan multipel dan menyembunyikan cedera arteri yang disebabkan olehvasospasme.

    Angiografi dini dan embolisasi berikutnya telah diperlihatkan untuk memperbaiki hasil akhir

    pasien. Agolini dkk menunjukkan bahwa embolisasi dalam 3 jam sejak kedatangan menghasilkan angka

    ketahanan hidup yang lebih besar secara signifikan. Studi lain menemukan bahwa angiografi pelvis yangdilakukan dalam 90 menit izin masuk memperbaiki angka ketahanan hidup. Namun, penggunaan

    angiografi secara agresif dapat menyebabkan komplikasi iskemik. Angiografi dan embolisasi tidakefektif untuk mengontrol perdarahan dari cedera vena dan lokasi pada tulang, dan perdarahan vena

    menghadirkan sumber perdarahan dalam jumlah lebih besar pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi.Waktu yang digunakan pada rangkaian angiografi pada pasien hipotensif tanpa cedera arteri mungkin

    tidak mendukung ketahanan hidup.

    Balutan PelvisBalutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk mencapai hemostasis langsung dan

    untuk mengontrol perdarahan vena yang disebabkan fraktur pelvis. Selama lebih dari satu dekade, ahli

    bedah trauma di Eropa telah menganjurkan laparotomi eksplorasi yang diikuti dengan balutan pelvis.

    Teknik ini diyakini terutama berguna pada pasien yang parah. Ertel dkk menunjukkan bahwa pasiencedera multipel dengan fraktur pelvis dapat dengan aman ditangani menggunakan C-clamp dan balutan

    pelvis tanpa embolisasi arteri. Balutan lokal juga efektif dalam mengontrol perdarahan arteri.Akhir-akhir ini, metode modifikasi balutan pelvis balutan retroperitonealtelah diperkenalkan

    di Amerika Utara. Teknik ini memfasilitasi kontrol perdarahan retroperitoneal melalui sebuah insisi

    kecil (gambar 2.6). Rongga intraperitoneal tidak dimasuki, meninggalkan peritoneum tetap utuh untuk

    membantu mengembangkan efek tamponade. Prosedurnya cepat dan mudah untuk dilakukan, dengankehilangan darah minimal. Balutan retroperitoneal tepat untuk pasien dengan beragam berat

    ketidakstabilan hemodinamik, dan hal ini dapat mengurangi angiografi yang kurang penting. Cothren

    dkk melaporkan tidak adanya kematian sebagai akibat dari kehilangan darah akut pada pasien yang tidakstabil secara hemodinamik persisten ketika balutan langsung digunakan. Hanya 4 dari 24 yang bukan

    responden pada studi ini membutuhkan embolisasi selanjutnya (16,7%), dan penulis menyimpulkan

    bahwa balutan secara cepat mengontrol perdarahan dan mengurangi kebutuhan angiografi emergensi.

    Gambar 2.6. Ilustrasi yang mendemonstrasikan teknis pembalutan retroperitoneal. A, dibuat sebuah

    insisi vertikal midline 8-cm. Kandung kemih ditarik ke satu sisi, dan tiga bagian spons tak terlipat

    dibungkus kedalam pelvis (dibawah pinggir pelvis) dengan sebuah forceps. Yang pertama diletakkan

    http://ningrumwahyuni.files.wordpress.com/2009/12/447f05.jpghttp://ningrumwahyuni.files.wordpress.com/2009/12/447f05.jpg
  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    10/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    secara posterior, berbatasan dengan persendian sacroiliaca. Yang kedua ditempatkan di anterior dari

    spons pertama pada titik yang sesuai dengan pertengahan pinggiran pelvis. Spons ketiga ditempatkanpada ruang retropubis kedalam dan lateral kandung kemih. Kandung kemih kemudian ditarik kesisi

    lainnya, dan proses tersebut diulangi. B, Ilustrasi yang mendemonstrasikan lokasi umum enam bagian

    spons yang mengikuti balutan pelvis.

    Resusitasi CairanResusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dan

    mengontrol lokasi perdarahan. Dua bor besar (16-gauge) kanula intravena harus dibangun secarasentral atau di ekstremitas atas sepanjangpenilaian awal. Larutan kristaloid 2 L harus diberikan dalam20 menit, atau lebih cepat pada pasien yang berada dalam kondisi syok. Jika respon tekanan darah yang

    cukup dapat diperoleh, infus kristaloid dapat dilanjutkan sampai darah tipe-khusus atau keseluruhancocok bisa tersedia.

    Produk-produk Darah dan Rekombinan Faktor VIIa

    Pasien hipotensif yang tidak merespon resusitasi cairan awal membutuhkan sejumlah besar cairansesudah itu, mengarah pada defisiensi jalur hemostasis. Karenanya, semua pasien yang seperti itu harus

    diasumsikan membutuhkan trombosit dan fresh frozen plasma (FFP). Umumnya, 2 atau 3 unit FFP dan7-8 unit trombosit dibutuhkan untuk setiap 5 L penggantian volume.

    Transfusi darah masif memiliki resiko potensial imunosupresi, efek-efek inflamasi, dankoagulopati dilusi. Sepertinya, volume optimal dan kebutuhan relatif produk-produk darah untuk

    resusitasi masih kontoversial. Sebagai tambahan, jumlah transfusi PRC merupakan faktor resiko

    independen untuk kegagalan multi-organ paska cedera. Beberapa penulis telah mengusulkan bahwapasien trauma koagulopati terutama harus diresusitasi dengan penggunaan FFP yang lebih agresif,

    dengan transfusi yang terdiri atas PRC, FFP dan trombosit dalam rasio 1:1:1 untuk mencegah kemajuan

    koagulopati dini.

    EVALUASI STATUS RESUSITASI

    Titik akhir resusitasi ditentukan berdasarkan kombinasi data laboratorium dan tanda-tandafisiologis. Pembacaan tingkat hemoglobin diketahui tidak akurat selama fase akut resusitasi. Titik akhirresusitasi yang umumnya dipertimbangkan termasuk tekanan darah normal, menurunnya denyut jantung,

    urin output yang cukup ( 30 mL/jam), dan tekanan vena sentral (CVP) normal. Namun, bahkan setelahnormalisasi parameter-parameter ini, oksigenasi jaringan yang tidak memadai bisa menetap. Pengukuranlaboratorium tambahan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi oksigenasi jaringan termasuk defisit

    basa, bikarbonat dan laktat. Semua ini menilai glikolisis anaerobik. Istilah defisit basa dan kelebihan

    basa digunakan bergantian, satu-satunya perbedaan untuk menjadi defisit basa diperlihatkan sebagainomor positif dan kelebihan basa diperlihatkan sebagai nomor negatif. Defisit basa normal adalah 0-3

    mmol/L; angka ini secara rutin diukur melalui analisa gas darah arteri (AGDA). Defisit basa menetap

    menandakan resusitasi yang tidak mencukupi.

    ALGORITMA PENGOBATAN DAN ANGKA KETAHANAN HIDUP

    Analisa retrospektif hasil akhir sebelum pembentukan algoritma pengobatan secara dramatis

    mengilustrasikan kesulitan buatan bahwa protokol-protokol tersebut dicari untuk dihindari. Pada satu

    seri, kematian 43 pasien, mewakili 60% kematian pada seri ini, dihubungkan secara keseluruhan atausebagai bagian dari fraktur pelvis. Pada 26 pasien yang fraktur pelvis-nya dipertimbangkan sebagai

    penyebab kematian utama, 24 pasien mengalami syok atau memiliki bukti klinis hipovolemia pada

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    11/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    waktu masuk, dan 18 pasien kehilangan darah akibat fraktur pelvis mereka segera setelah masuk rumah

    sakit.Pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi pada awalnya kestabilan hemodinamiknya

    diberikan 2 L larutan kristaloid (skema 2.1). Pemeriksaan sonografi abdomen terfokus untuk trauma

    (focused abdominal sonography for trauma/FAST) dilakukan. Jika hasilnya positif, pasien dibawa

    langsung ke ruang operasi untuk laparotomi eksplorasi. Fiksator eksternal pelvis dipasang, dan

    dilakukan balutan pelvis. Pasien yang secara hemodinamik tetap tidak stabil menjalani angiografi pelvissebelum dipindahkan ke ICU. Jika stabilitas hemodinamik pulih, pasien dipindahkan langsung ke ICU.

    Di ICU, pasien menerima resusitasi cairan lanjutan dan dihangatkan; berbagai usaha dilakukan untukmenormalkan status koagulasi.

    Jika hasil FAST negatif, transfusi PRC dimulai di departemen gawat darurat. Jika pasien secara

    hemodinamik tetap tidak stabil sambil mengikuti PRC unit kedua, pasien dibawa ke ruang operasi untukfiksasi eksternal pelvis dan balutan pelvis. Pasien yang secara hemodinamik tetap tidak stabil mendapat

    angiografi pelvis sebelum dipindahkan ke ICU. Jika stabilitas hemodinamik pulih, pasien dipindahkan

    langsung ke ICU. CT-scan abdomen dapat dilakukan saat ini. Jika pasien membutuhkan transfusi

    berkelanjutan ketika di ICU, penilaian angiografi, jika sebelumnya belum dilakukan, maka harusdilakukan. (David, 2009)

    skema 2.1 Algoritma untuk pengobatan pasien dengan fraktur pelvis yang muncul dengan instabilitashemodinamik. Pasien yang belum dilakukan laparotomi biasanya melakukan CT-scan abdomen yang

    dimulai di ICU. Di ICU, pasien menerima resusitasi cairan lebih lanjut dan dihangatkan; berbagai usaha

    dilakukan untuk menormalkan status koagulasi. rFVIIa harus dipertimbangkan jika kondisi pasien

    melawan semua intervensi lainnya.FAST = focused abdominal sonography for trauma, PRBCs = packed

    red blood cells

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    12/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    skema 2.2 managemen pada pasien fraktur pelvis tidak stabil (Croce martin, 2006)

    III. Memahami dan Menjelaskan Kegawatdaruratan Trauma Uretra

    Gbr. 3.1 Anatomi Uretra Pria

    Anatomi uretra Pria

    Merupakan muara terakhir dari sistem berkemih, sebagai penghubung antara vesica urinaria denganluar tubuh

    Pada juga berfungsi sebagai sistem pengeluaran sperma pada ukuran uretra sekitar 18-20 cm dan terbagi menjadi 3 bagian

    uretra pars prostatika terdapat diantara prostat, sering mengalami kelainan pada penderitaBPH (benign Prostat Hiperplasia)

    uretra pars membranosa saluran terpendek (1-2 cm) penghubung antara prostat dengan penis

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    13/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    uretra pars spongiosa / cavernosa bagian dari uretra yang menghubungkan langsung denganluar tubuh yang dilindungi oleh penis. Di glands penis terdapat fossa naviculare dan ostiumuretra eksternum (tempat keluarnya urin ke luar tubuh)

    Pada bagian uretra pars prostatika dan pars membranasea juga disebut sebagai uretra pars posterior

    dan pada bagian uretra pars spongiosa/cavernosa/bulbos merupakan bagian dari uretra pars anterior

    Ruptur Uretra

    Ruptur urethra merupakan suatu kegawatdaruratan bedah, dimana sering terjadi dengan frakturpelvis dan biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Sekitar 70% dari

    kasus fraktur pelvis terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. 25% kasus didapatkan akibat jatuhdari ketinggian , dan ternyata trauma tumpul didapatkan lebih dari 90% kasus cedera urethra. Secara

    keseluruhan pada terjadinya fraktur pelvis, ikut pula terjadi cedera urethra bagian posterior (3,5%-19% )

    pada pria dan (0%-6%) pada urethra perempuan (Martinez, 2007)Klasifikasi, Etiologi dan Mekanisme

    Cedera urethra posterior utamanya disebabkan oleh fraktur pelvis, Ahli bedah ortopedi membagi

    fraktur menjadi tiga type menurut kejadiannya yaitu : (i) cedera akibat kompresi anterior-posterior, (ii)

    cedera akibat kompresi lateral dan (iii) cedera tarikan vertikal. Fraktur tipe I dan II mengenai pelvisbagian anterior dan biasanya stabil. Tipe tarikan vertikal seringkali akibat jatuh dari ketinggian , paling

    berbahaya dan bersifat tidak stabil.Fraktur pelvis tidak stabil (unstable) meliputi cedera pelvis anterior disertai kerusakan pada

    tulang posterior dan ligament disekitar articulation sacroiliaca sehingga salah satu sisi lebih kedepandibanding sisi lainnya (Fraktur Malgaigne). Cedera urethra posterior terjadi akibat terkena segmen

    fraktur atau paling sering karena tarikan ke lateral pada uretra pars membranaceus dan ligamentum

    puboprostatika.Cedera akibat tarikan yang menimbulkan rupture urethra disepanjang pars membranaceus (5-

    10%).Cedera ini terjadi ketika tarikan yang mendadak akibat migrasi kesuperior dari buli-buli dan

    prostat yang menimbulkan tarikan disepanjang urethra posterior. Cedera ini juga terjadi pada fraktur

    pubis bilateral (straddle fraktur) akibat tarikan terhadap prostat dari segmen fraktur berbentuk kupu-kupu sehingga menimbulkan tarikan pada urethra pars membranaceus

    Pada uretra pars membranasea diafragmannya mengandung otot-otot yang berfungsi sebgaispingter uretral melekat pada os.pubis bagian bawah.

    Pada rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga

    buli-bulidan prostat terlepas ke cranial

    Etiologia)akibat fraktur pelvisb)akibat trauma tumpulc)iatrogenic akibat kateter yang kurang hati-hati yang dapat menimbulkan robekan uretra

    A. Ruptura Uretra PosteriorRupture uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis. Fraktur yang

    mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkanrobekan uretra pars prostate-membranasea.

    A.1 Klasifikasi

    Colapinto dan McCollum (1976) membagi derjat cedera uretra dalam 3 jenis (Felliciano, 2007) :

    1. Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (peregangan).2. Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea, selanjutnya diafragma

    urogenitalia masih utuh.

    3. Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa sebelah proksimal ikut rusak.

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    14/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    AAST membuat klasifikasi rupture urethra posterior (Pineiro, 2007) :

    Tipe, Deskripsi, Tanda dan Gejala :I. Kontusio darah pada meatus dengan uretrogram normal

    II . Cedera tarikan Pemanjangan uretra tanpa adanya ekstravasasi kontras

    III. Cedera parsial Ekstravasasi (keluarnya darah/cairan lain dari vascular atau tempatnya yang

    normal ke suatu tempat lain yang tak seharusnya) kontras pada tempat cedera dan tampak kontras

    pada buli-buliIV. Cedera Komplit Ekstravasasi kontras pada tempat cedera, tak tampak kontras di buli-buli,

    panjang cedera < 2cmV. Cedera komplit Transeksi komplit dengan jarak pemisahan uretra >2cm,atau perluasan ke

    prostat/vagina.

    A.2 Diagnosis

    Pada umumnya cedera urethra posterior terjadi pada kasus politrauma sehingga setelah dilakukan

    resusitasi pada airway , fungsi respirasi dan penilaian perdarahan dilanjutkan dengan anamesis

    ( mekanisme trauma) pemeriksaan fisis lengkap dan evaluasi laboratorium dan radiologi. Dapat di dugaterjadi cedera urethra dari anamnesis atau trauma yang nyata pada pelvis atau perineum. Pada trauma

    tembus tipe dari senjata yang digunakan termasuk lebar atau caliber peluru yang digunakan membantuuntuk menilai kerusakan jaingan yang ditimbulkan . Pada penderita yang sadar , riwayat miksi perlu

    diketahui untuk mengetahui waktu terakhir miksi, pancaran urine,nyeri saat miksi dan adanya hematuria(Martinez, 2007)

    Rupture uretra posterior seringkali memberikan gambaran yang khas berupa: (1) perdarahan per-

    uretram, (2) retensi urin yang menyebabkan vesika urinaria penuh, dan (3) pada pemeriksaan colokdubur didapatkan adanya floating prostate (prostat melayang) di dalam suatu hematom karena

    terputusnya ligament puboprostatika. Pada pemeriksaan uretrografi retrigrad mungkin terdapat elongasi

    uretra atau ekstravasasi kontra pada pars prostate-membranasea.

    gbr. 3.2 Lig.Puboprostatik yang memfiksasi prostat dan VU (Johannes Sobotta, 2006)

    Meski tidak spesifik, hematuria pada miksi pertama merupakan indikasi adanya cedera urethra. Jumlahdari perdarahan urethra berhubungan dengan beratnya cedera.

    o Uretrografi Retrograd

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    15/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    Metode pada pemeriksaan uretrografi bervariasi, biasanya digunakan kateter ukuran kecil (14F) dan

    ditempakan 1-2 cm dalam fossa navicularis dan balon kateter dikembangkan sekitar 1-2 cc.Digunakan zat kontras ( meglumin diatrizoat 30% ) yang tidak diencerkan sebanyak 10-30 ml dan

    langsung diambil foto dalam posisi oblique 300 , namun pada penderita fraktur pelvis unstable

    posisi ini tidak perlu dilakukan (Martinez, 2007)

    A.3 TindakanPertama kali yang perlu dilakukan mengatasi kegawatan yang mungkin timbul paska trauma

    utamanya gangguan hemodinamik .Syok sering terjadi akibat perdarahan rongga pelvis bila adaditangani dengan pemberian cairan maupun transfuse darah , obat-obat koagulansia, analgetik dan

    antibiotika (Cowan Nigel, 2005)

    Terdapat beberapa kontroversi akan penaganan ruptur urethra posterior akibat fraktur pelvis,pilihan penanganan yang dapat dilakukan yaitu : Realignment primer, Open uretroplasty segera,

    uretroplasty primer delay, realignment primer beberapa hari kemudian, sistostomi dan repair 3 bulan

    kemudian

    Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan adalah melakukan sistostomi (lampiran 3.1) untukdiversi urin. Setelah keadaan stabil sebagian ahli urologi melakukan primary endoscopic realignment

    yaitu melakukan pemasangan kateter uretra sebagai splint melalui tuntunan uretroskopi. Dengan cara inidiharapkan kedua ujung uretra yang terpisah dapat saling didekatkan. Tindakan ini dilakukan sebelum 1

    minggu pasca rupture dan kateter uretra dipertahankan selama 14 hari.

    gbr 3.3 contoh hasil sistostomiDiskontinuitas uretra dapat dijembatani dengan beberapa variasi. Dapat dilakukan open

    sistostomy dan melihat buli-buli untuk adanya kemungkinan rupture, bila cedera penyerta lainnya tidak

    massif dapat dilakukan realignment. Pertama kateter uretra dimasukkan dengan panduan jari kedalambuli-buli. Kemudian dilakukan perabaan pada anterior prostat sehingga kateter dapat diposisikan.Bila

    hal ini gagal dapat dilakukan dengan sistoskopi fleksibel.Ada pula yang menggunakan teknik dengan

    memasang tube sonde no 8 secara antegrade sampai tube keluar di meatus kemudian diikatkan dengan

    kateter utnuk kembali dimasukkan ke buli-buli.Pemasangan kateter secara retrograde dapat puladilakukan dengan panduan melalui jari pada bladder neck (Martinez, 2007)

    Dengan stenting menggunakan kateter dilakukan lebih awal kemungkinan untuk timbulnya

    komplikasi striktur berkurang bila dibandingkan dengan hanya memasang sistostomi saja. Keuntungan

    lainnya yaitu urethra yang avulse (robek) dan prostat yang awalnya berjauhan kembali didekatkansehingga akan memudahkan saat dilakukan uretroplasty.Beberapa penulis menilai dengan pemasangan

    kateter dini dapat memperpendek panjang striktur. Realignment ini sebaiknya dilakukan sesegera

    mungkin (dalam 72 jam setelah cedera).Kateter urethra dipertahankan selama 6 minggu, dan dilanjutkan dengan pemeriksaan

    uretrosistografi,bila tidak didapatkan ekstravasasi maka kateter dapat di keluarkan dengan tetap

    mempertahankan kateter suprapubik.Rekonstruksi uretra posterior (Konsul ke spesialis bedah)

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    16/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    Standar baku dalam penanganan yaitu kateterisasi suprapubik selama 3 bulan dan dilanjutkan

    anastomosis end-to-end bulboprostatika. Setelah 3 bulan, jaringan scar pada tempat disrupsi urethrasudah stabil dan matang menjadi indikasi utnuk dilakukaknnya prosedur rekonstruksi selain itu cedera

    penyerta lainnya telah stabil dan pasien sudah rawat jalan.

    Sebelum rekonstruksi dilakukan, dilakukan pencitraan uretrosistografi retrograde untuk mengetahui

    karakteristik defek uretra. Saat dilakukan pencitraan ini pasien diminta untuk berusaha berkemih

    sehingga bladder neck terbuka dan defek rupture dapat dievaluasi lebih akurat. Pemeriksaan yang lebihakurat yaitu dengan MRI.

    Teknik yang digunakan yaitu transperineal, dimana pasien ditempatkan pada posisi litotomi dan insisimidline atau flap inverted .Urethra bulbosa dibebabaskan dan di sisihkan menjauhi defek urethra ke

    mid-scrotum. Jaringan skar defek rupture uretra di eksisi dan urethra prostatica di identifikasi pada apex

    prostat.Untuk membuat anastomosis yang non tension atau karena ujung-ujung defek berjauhan, dapatdilakukan beberapa maneuver seperti pemisahan krus, pubektomi inferior dan re-routing uretra untuk

    mendekatkan gap.

    A.4 Penyulit

    Penyulit yang terjadi pada rupture uretra adalah striktura uretra yang seringkali kambuh,disfungsi ereksi, dan inkontinensia urin.

    B. Rupture Uretra AnteriorCedera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan uretra anterior adalah straddle injury

    (cedera selangkangan) yaitu uretra terjepit diantara tulang pelvis dan benda tumpul. Jenis kerusakanurerta yang terjadi berupa: kontusio dinding uretra, rupture parsial, atau rupture total dinding uretra.

    B.1 Patologi

    Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urin keluar dari uretra tetapimasih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun

    jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah

    dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan

    gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.

    B.2 DiagnosisTerdapat trias rupture uretra anterior diantaranya perdarahan peruretram, retensio urin yang

    menyebabkan vesika urinaria penuh, dan hematom/jejas peritoneal/urin infiltrat

    Pada kontusio uretra, pasien mengeluh adanya perdarahan per-uretram atau hematuria. Jika

    terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis atau hematoma kupu-kupu. Pada keadaan ini seringkali pasien tidak dapat miksi.

    Pola dari hematom dapat berguna unuk menilai batasan anatomi yang mengalami

    cedera. Ekstravasasi darah atau urine disepanjang korpus penis menunjukkan cedera dibatasi oleh fasciabucks.

    o LaboratoriumDilakukan pemeriksaan hemoglobin pada penderita dengan kontusio, hematuria atau pada fraktur

    pelvis yang menimbulkan perdarahan hebat

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    17/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    Gbr.3.4 Fascia buck (Johannes Sobotta, 2006)

    o Uretrografi RetrogradMetode pada pemeriksaan uretrografi bervariasi, biasanya digunakan kateter ukuran kecil (14F) danditempakan 1-2 cm dalam fossa navicularis dan balon kateter dikembangkan sekitar 1-2 cc.

    Digunakan zat kontras ( meglumin diatrizoat 30% ) yang tidak diencerkan sebanyak 10-30 ml dan

    langsung diambil foto dalam posisi oblique 300 , namun pada penderita fraktur pelvis unstableposisi ini tidak perlu dilakukan (Martinez, 2007)

    B.3 TindakanPertama kali yang perlu dilakukan mengatasi kegawatan yang mungkin timbul paska trauma

    utamanya gangguan hemodinamik .Syok sering terjadi akibat perdarahan rongga pelvis bila ada

    ditangani dengan pemberian cairan maupun transfuse darah , obat-obat koagulansia, analgetik dan

    antibiotika (Cowan Nigel, 2005).Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera ini dapat menimbulkan

    penyulit striktura uretra dikemudian hari, maka setelah 4 6 bulan perlu dilakukan pemeriksaanuretrografi ulangan. Pada rupture uretra parsial dengan ekstravasasi ringan, cukup dilakukan sistostomiuntuk mengalihkan aliran urin. Kateter sistostomi dipertahankan sampai 2 minggu, dan dilepas setelah

    diyakinkan melalui pemeriksaan uretrografi bahwa sudah tidak ada ekstravasasi kontras atau tidak

    timbul striktura uretra. Namun jika timbul striktura uretra, dilakukan reparasi uretra atau stachse.

    Diskontinuitas uretra dapat dijembatani dengan beberapa variasi. Dapat dilakukan opensistostomy dan melihat buli-buli untuk adanya kemungkinan rupture, bila cedera penyerta lainnya tidak

    massif dapat dilakukan realignment. Pertama kateter uretra dimasukkan dengan panduan jari kedalam

    buli-buli. Kemudian dilakukan perabaan pada anterior prostat sehingga kateter dapat diposisikan.Bila

    hal ini gagal dapat dilakukan dengan sistoskopi fleksibel.Ada pula yang menggunakan teknik denganmemasang tube sonde no 8 secara antegrade sampai tube keluar di meatus kemudian diikatkan dengan

    kateter utnuk kembali dimasukkan ke buli-buli.Pemasangan kateter secara retrograde dapat pula

    dilakukan dengan panduan melalui jari pada bladder neck (Martinez, 2007).Dengan stenting menggunakan kateter dilakukan lebih awal kemungkinan untuk timbulnya

    komplikasi striktur berkurang bila dibandingkan dengan hanya memasang sistostomi saja. Keuntungan

    lainnya yaitu urethra yang avulse (robek) dan prostat yang awalnya berjauhan kembali didekatkansehingga akan memudahkan saat dilakukan uretroplasty.Beberapa penulis menilai dengan pemasangan

    kateter dini dapat memperpendek panjang striktur. Realignment ini sebaiknya dilakukan sesegera

    mungkin (dalam 72 jam setelah cedera).

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    18/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    Komplikasi

    StrikturSetelah dilakukan rekonstruksi rupture uretra posterior, 12-15% penderita terbentuk striktur. Biasanya

    96% kasus berhasil ditangani dengan dilakukan penangan secara endoskopi

    IV. MM Kegawadaruratan Trauma Orbita

    Kegawatdaruratan dalam ilmu penyakit mata adalah suatu keadaan dimana mata terancam akankehilangan fungsi penglihatannya atau akan terjadi kebutaan apabila tidak dilakukan tindakan atau

    pengobatan sesegera mungkin.Kegawatdaruratan mata karena trauma dapat terbagi menjadi gawat darurat yaitu trauma kimia

    (basa/alkali dan asam) dan oklusi arteri retina sensralis, kondisi gawat, antara lam trauma radiasi

    (solar/matahari, ultraviolet), trauma jaringan ekstra okular (palpebra, sistem lakrimal), trauma tumpulbola mata trauma tajam bola mata.

    Trauma tumpul pada mata dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan mata sepertiedema

    kornea sehingga kornea menjadi keruh dan penglihatan akan menurun, bias terjadihifema di bilik mata

    depan yang disebabkan pecahnya pembuluh darah iris yang terkadang disertai lepasnya iris dari akarnya(iridodialisis) atau timbul perdarahan badan kaca karenarusaknya pembuluh darah di badan siliar. Tanda

    lain dapat ditemui periorbital ekimosis(perdarahan),laserasi palpebra, perdarahan subkonjungtiva,vossius ring, subluksasi atau dislokasi lensa, rupture bola mata, ablasio retina, dan timbulnya neuropati

    optic traumatic.Pemeriksaan yang harus dilakukan antara lain pemeriksaan visus, reflex pupil, pemeriksaan

    dengan slip- lamp disertai fluorescein, pemeriksaan TIO, funduskopi dengan pupil yang dilebarkan,

    dan pemeriksaan laboratorium darah.Penatalksanaan antara lain menghentikan perdarahan dengan obat-obat anti perdarahan,

    mengendalikan TIO, pemberian sikloplegik dan bila terdapat hifema penuh dilakukan parasintesis untuk

    mencegah naiknya TIO dan mencegah inhibisi kornea.Penderita dianjurkan untuk dirawat, bed rest total

    dengan tidur menggunakan bantal tinggi(60). Kedua mata dianjurkan untuk ditutup agar mata dapatdiistirahatkan. Bila terdapat rupture bola mata atau ablasio retina, harus segera dilakukan tindakan

    operatif sebagai usaha untuk menyelamatkan bola mata dan fungsi penglihatan.

    HifemaHifema dapat terjadi akibat suatu trauma tembus ataupun tumpul pada matayang merobek

    pembuluh darah iris atau badan siliar, dan dapat juga terjadi secara spontan. Perdarahannya bisa jugabersal dari pembuluh darah kornea atau limbus dan badan siliar. Pada pengamatan akan tampak darah

    dibalik kornea dan menutupi gambaran iris. Hifema dapat disertai dengan tanpa perdarahan pada

    konjungktifa (Ilyas, 2005).Pada beberapa produk darah menepel pada bagian anterior pigmen membrane dan iris didaerah

    pupil dan sudut iridocorneal. Walaupun sepintas bilik mata depan jernih, tetapi iritis cukup kuat untuk

    membentuk sinekia anterior dan posterior. Hifema sekunder pada umumnya Nampak antara hari ke-2

    dan ke-5. Biasanya diikuti dengan ancaman iritis.Pada hifema ringan dapat terjadi penyulit glaucomasekunder dengan meningkatnya tekanan intra okuler. Hal ini akibat dari adanya edema di trabecular

    meshwork, sehingga terjadi gangguan out flow humor akuos.Tekanan intraokuler kadang-kadang baru

    terjadi beberapa hari setelah trauma. Ini adalah akibat adanya perdarahan sekunder.

    -Frekuensi perdarahan sekunder tanpa kenaikan TIO30%-Frekuensi perdarahan sekunder dengan kenaikan TIO50 %

    Etiologi Hifema

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    19/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    Penyebab tersering dari hifema adalah trauma, baik trauma tumpul maupun trauma tembus.

    Hifema juga dapat disebabkan oleh perdarahan spontan. Perdarahan dapat terjadi segera setelah traumayang disebut perdarahan primer atau perdarahan terjadi 5-7 hari sesudah trauma disebut perdarahan

    sekunder. Hifema sekunder biasanya terjadi akibat gangguan mekanisme pembekuan atau

    penyembuhan lukasehingga mempunyai prognosis yang lebih buruk. Perdarahan spontan dapat

    terjadi pada mata dengan rubeosis iridis(pembentukan vaskularisasi mata yang baru, biasanya pada

    penderita DM), tumor pada iris, retinoblastoma dan kelainan darah.Hal ini mungkin akibat terjadinyakelemahan pada dinding-dinding pembuluh darah (Ilyas, 2005)

    Patofisiologi Hifema

    Trauma tumpul pada kornea ataulimbus dapat menimbulkan tekanan yang sangat tinggi, dan

    dalam waktu yang singkat dalam bola mata terjadi penyebaran tekanan ke cairan badan kaca danjaringan sklera yang tidak elastis sehingga terjadi perenggangan-perenggangan dan robekan pada

    kornea, sklera sudut iridokornea, badan siliar yang dapat menimbulkan perdarahan. Perdarahan

    sekunder dapat terjadi oleh karena resorbsi dari pembekuan darah terjadi cepat, sehingga pembuluh

    darah tidak mendapat waktu yang cukup untuk meregenerasi kembali, dan menimbulkan perdarahan lagiPada proses penyembuhan, hifema dikeluarkan dari bilik mata depan dalam bentuk sel

    darah merah melalui sudut bilik mata depan atau kanal scelemn dan permukaan depan iris. Penyerapanmelalui dataran depan iris dipercepat oleh enzim proteolitik yang dapat berlebihan di dataran depan iris

    (Ilyas, 2005).Sebagian darah dikeluarkan dalam bentuk hemosiderin . Bila terdapathemosiderin berlebihan di

    dalam bilik mata depan, dapat terjadi penimbunan pigmen ini ke dalam lapis kornea. Penimbunan ini

    menimbulkan kekeruhan kornea terutamadi bagian sentral sehingga terjadi perubahan warna korneamenjadi coklat yang disebut imbibisi kornea. (Ilyas, 2005).

    Sementara itu darah dalam bilik mata depan tidak sepenuhnya berbahaya,namun bila

    jumlahnya memadai maka dapat menghambat aliran humor aquos kedalam trabekula, sehingga

    dapat menimbulkan glaukoma sekunder.

    Manifestasi Klinis HifemaBiasanya pasien akan mengeluh sakit, disertai dengan epifora (pengeluaran air mata berlebihan)dan blefaropasme (spasme kelompak mata). Penglihatan pasien akan sangat menurun , bila pasien duduk

    hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh

    ruang bilik mata depan. Kadang-kadang terlihat iridoplegia (paralisis sfingter iris) dan iridodialisis (iristerlepas dari tempatnya)

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    20/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    Gbr. 4.1 (atas) hifema pada BMD memenuhi sebagian BMD, (bawah) hifema, kanan menunjukkan

    darah hampir memenuhi seluruh seluruh bilik mata depan, dan gambar yang sebelah kiri menunjukkangambar hifema spontan

    Diagnosis Hifema (Ilyas, 2005)

    Anamnesis

    Pada saat anamnesis kasus trauma mata ditanyakan waktu kejadian, proses terjadi trauma dan benda

    yang mengenai mata tersebut :1) Bagaimana arah datangnya benda yang mengenai mata itu, apakah dari depan, samping atas,

    samping bawah atau dari arah lain dan2) bagaimana kecepatannya waktu mengenai mata dan bahan tersebut,apakah terbuat dari kayu, besi

    atau bahan lainnya.

    Jika kejadian kurang dari satu jam maka perlu ditanyakan :Ketajaman penglihatan atau

    Nyeri pada mata karena berhubungan dengan peningkatan tekanan intra okuler akibat perdarahan

    sekunder.

    Apakah trauma tersebut disertai dengan keluarnya darah , danApakah pernah mendapatkan pertolongan sebelumnya.

    Perlu juga ditanyakan riwayat kesehatan mata sebelum terjadi trauma, apabila terjadi penguranganpenglihatan ditanyakan apakah pengurangan penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan

    tersebut,ambliopia(penurunan visus tanpa lesi organic yang dideteksi), penyakit kornea atau glaukoma,riwayat pembukaan darah atau

    Penggunaan antikoagulan sistemik seperti aspirin atau warfarin

    Pemeriksaan mata

    Pemeriksaan mata harus dilakukan secara lenkap. Semua hal yang berhubungan dengan cedera

    bola mata ditanyakan. Dilakukan pemeriksaa hifema danmenilai perdarahan ulang. Bila ditemukan

    kasus hifema, sebaiknya dilakukan pemeriksaan secara teliti keadaan mata luar, hal ini penting karenamungkin saja padariwayat trauma tumpul akan ditemukan kelainan berupa trauma tembus seperti

    ekmosis, laserasi kelopak mata, proptosis, enoftalmus, fraktur yang disertai denga ngangguan padagerakan mata. Kadang-kadang kita menemukan kelainan berupa defek epitel, edema korneadan imbibisikornea bila hifema sudah terjadi lebih dari 5 hari. Ditemukan darah didalam bilik mata depan.

    Menentukan derajat keparahan hifema antara lain, menurut Edward Layden:

    1.Hyphaema tingkat I: bila perdarahan kurang dari 1/3 bilik depan mata.2.Hyphaema tingkat II: bila perdarahan antara 1/3 sampai 1/2 bilik depan mata.

    3.Hyphaema tingkat III bila perdarahan lebih dari bilik depan mata .

    Rakusin membaginya menurut:

    1.Hyphaema tk I: perdarahan mengisi 1/4 bagian bilik depan mata.

    2.Hyphaema tk II : perdarahan mengisi 1/2 bagian bilik depan mata.

    3. Hyp ha em a t k I II : pe rda rah an me ng isi 3/ 4 b ag ian bilik depan mata.4.Hyphaema tk IV : perdarahan mengisi penuh biIik depan mata.Hifema paling banyak memenuhi kurang dari 1/3 bilik mata depan.

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    21/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    Gbr. 4.2 tingkatan hifema berdasarkan grade dari yang paling rendah ke beratkanan ke kiri

    Saat melakukan pemeriksaan, hal terpenting adalah hati-hati dalam memeriksa kornea karena

    akan meningkatkan resiko bloodstaining pada lapisan endotl kornea.Keadaan iris dan lensa juga dicatat,

    kadang-kadang pada iris dapat terlihat iridodialisis atau robekan iris.

    Akibat trauma yang merupakan penyebab hifema ini mungkin lensa tidak berada ditempatnya

    lagi atau telah terjadi dislokasi lensa bahkan lensa.Pada hifema sebaiknya dilakukan pemeriksaantekanan bola mata untuk mengetahui apakah sudah terjadi peningkatan tekanan bola mata.Penilaian

    fundus perlu dicoba tetapi biasanya sangat sulit sehingga perluditunggu sampai hifema hilang.Pemeriksaan funduskopi perlu dilakukan untuk mengetahui akiba trauma pada segmen posterior bola

    mata. Kadang-kadang pemeriksaan ini tidak mungkin karena terdapat darah pada media penglihatan.

    Pemeriksaan Penunjang HifemaTonometri, untuk memeriksa tekanan intra okuler.USG untk menyingkirkan adanya perdarahan vitreus atau ablasio retinaSkrining sickle cellX-ray

    CT-scan orbitaGonioskop

    gbr. 4.3 Pemeriksaan Gonioskop

    PENATALAKSANAAN (Ilyas, 2005)Walaupun perawatan penderita hifema ini masih banyak diperdebatkan,namun pada dasarnya

    penatalaksanaan hifema ditujukan untuk :

    Menghentikan perdarahan atau mencegah perdarahan ulangMengeluarkan darah dari bilik mata depanMengendalikan tekanan bola mataMencegah terjadinya imbibisi korneaMengobati uveitis bila terjadi akibat hifema iniMenemukan sedini mungkin penyulit yang mungkin terjadiBerdasarkan hal tersebut di atas, maka cara pengobatan penderita dengan traumatic hyphaema pada

    prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu(1)Perawatan dengan cara konservatif / tanpa operasi, dan

    (2) Perawatan yang disertai dengan tindakan operasi.

    Bila tanpa penyulit :1.Tirah baring sempurna dengan posisi kepala lebih tinggi 40

    o.Larangan gerakan fisik dan mengangkat kepala.

    2.Pemakaian bebat mataMasih kontroversi memakai bebat atau tidak. Bila ke-2 mata dibebat diharapkanmengistirahatkan

    mata.Tetapi ini pada anak-anak menyebabkan mereka gelisah, dan pada orang dewasa

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    22/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    terjadidisorientasi.Tetapi bila 1 mata dibebat maka paling tidak penderita atau keluarga sadar

    terhadappenyakitnya yang serius dan mereka perlu lebih hati-hati dan membatasi gerak.3.Pada umumnya setelah 5-6 hari hifema hilang

    4.Simptomatis diberikan bila perlu.

    Misalnya penenang, anti fibrinolitik

    Bila penyerapan berjalan lambat lebih dari 7 hari maka dapat dibantu denganpemberian miotikum

    dengan tujuan memperluas permukaan iris sehingga penyerapandarah lebih cepatBila ada kecenderungan pembentukn sinekia dapat diberi midriatikum

    Bila ada tanda-tanda glaukoma sekunder dapat diberi antikoagulan

    5.Dilakukan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan darah dari bilik mata depan.Hal ini dilakukan

    pada kasus-kasus:Hifema yang tidak kurang selama lima hari dan darah lebih dari bilik mata depan

    Tanda-tanda glaukoma sekunder

    Tanda-tanda hemosiderosis Biasanya hemosiderosis yang ringan hilangnya agak lama yaitu setelah

    beberapabulan. Hal ini disebabkan karena proses fagositosis dari produk hemoglobin iniberjalan lambatdari tepi kesentral

    6.Pemakaian obat-obatan

    Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatic hyphaema tidaklah mutlak, tapi cukup bergunauntuk menghentikan perdarahan, mempercepatabsorbsinya dan menekan komplikasi yang timbul. Untuk

    maksud di atas digunakan obat-obatan seperti ;

    a) KoagulansiaGolongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun parenteraI, berguna untuk

    menekan/menghentikan perdarahan, Misalnya : Anaroxil, Adona AC,Coagulen, Transamin, vit K dan vit

    C

    b) Midriatika Miotika

    Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat golongan midriatika ataumiotika, karenamasing-masing obat mempunyai keuntungan dan kerugian sendiri-sendiri: Miotika memang akanmempercepat absorbsi, tapi meningkatkan kongestidan midriatika akan mengistirahatkan perdarahan.

    c) Ocular Hypotensive DrugSemua sarjana menganjurkan pemberian acetazolamide (Diamox) secara oralsebanyak 3x sehari

    bilamana ditemukan adanya kenaikan tekanan intraokuler.

    d) Kortikosteroid dan Antibiotika

    Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi komplikasi iritis dan perdarahan

    sekunder dibanding dengan antibiotik

    e) Obat-obat lain

    Sedatif diberikan bilamana penderita gelisah. Bila ditemukan rasa sakit diberikan analgetik aau

    asetozalamid bila sakit pada kepala akibat tekanan bola mata naik.Analgetik diberikan untuk mengatasi

    nyeri seperti asetaminofen dengan atau tanpakodein.

    Perawatan Operasi

    Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan:

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    23/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    a.Glaukoma sekunder yang berkurang / menghilang dengan pengobatan konservatif

    b.Kemungkina timbulnya hemosiderosis kornea dan tidak ada pengurangan dari tingginya hifemadengan perawatan non operasi selam 3-5 hari

    Atas dasar di atas Darr menentukan cara pengobatan traumatic hyphaema,sedang Rakusin

    menganjurkan tindakan operasi setelah hari kedua bila ditemukan hyphaema dengan tinggi

    perdarahannya bilik depan bola mata. Tindakan operasi yang dikerjakan adalah:

    Paracentesa: mengeluarkan cairan/darah dari bilik depan bola matamelalui lubang yang kecil di limbusMelakukan irigasi di bilik depan bola mata dengan larutan fisiologikDengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka korneoscleranya sebesar 1200

    Tindakan pembedahan parasentese dilakukan bila terlihat tanda-tanda imbibisikornea, glaukoma, hifema

    pnuh dan berwarna hitam atau bila darah setelah 5 haritidak memperlihatka tanda-tanda

    berkurang.Untuk mencegah atropi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila :

    Tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hariTekananbola mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari

    Untuk mencegah imbibisi kornea,dilakukan pembedahan bila :Tekanan bola mata rata-rata > 25 mmHg selama 6 hariBila terdapat tanda-tanda dini imbibisi kornea

    Untuk mencegah sinekia posterior perifer dilakukan pembedahan bila :

    Hifema total bertahan selama 5 hariHifema difus bertahan selama 9 hari

    KOMPLIKASI HifemaKomplikasi yang paling sering ditemukan pada traumatic hifema adalah perdarahan sekunder, glaukoma sekunder dan hemosiderosis (peningkatan fokal cadangan besi tanpa disertai kesurakan jaringan),

    Selain komplikasi dari traumanya sendiri berupa : dislokasi dari lensa, ablatio retina (pelepasan retina dari tempat seharusnya), katarak dan iridodialysis.

    Besarnya komplikasi juga sangat tergantung pada tingginya hyphaema.

    1.Perdarahan sekunder. Komplikasi ini sering terjadi pada hari ketiga sampaikeenam. Sedangkan

    insidensinya sangat bervariasi, antara 10-40 persen.Perdarahan sekunder ini timbul karena iritasi pada

    iris akibat traumanya, ataumerupakan lanjutan dari perdarahan primernya

    2.Glaukoma sekunder. Timbulnya glaukoma sekunder pada traumatic hyphaema disebabkan oleh

    tersumbatnya trabecular meshwork oleh butir-butir/gumpalandarah. Residensinya 20 persen.

    3.Hemosiderosis cornea. Hemosiderosis ini akan timbul bila ada perdarahan/perdarahan sekunder

    disertai kenaikan tekanan intraokuler.Gangguan visus karena hemosiderosis tidak selalu permanen, tapi

    kadang-kadangdapat kembali jernih dalam waktu yang lama (dua tahun). Insidensinya 1-10 persen

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    24/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    PROGNOSIS HIFEMA (Ilyas, 2005)

    Dikatakan bahwa prognosis hifema bergantung pada jumlah darah di dalam bilik mata

    depan. Bila darah sedikit di dalam bila mata depan, maka darah ini akanhilang dan jernih dengan

    sempurna. Sedangkan bila darah lebih dari setengah tingginya bilik mata depan, maka prognosis buruk

    yang akan disertai dengan beberapa penyulit.

    Pada hifema akibat trauma bila terjadi kemunduran tajam penglihatan dapatdipikirkan

    kemungkinan adanya kerusakan langsung pada mata akibat traumatersebut, seperti luksasi lensa, ablasiretina dan edema makula. Hifema sekunder yangterjadi pada hari ke 5-7 sesudah trauma, biasanya lebih

    masif dibanding denganhifema primer dan dapat memberikan rasa sakit sekali.

    Prognosa dari hifema sangat bergantung pada:oTingginya hifema

    oAda/tidaknya komplikasi dari perdarahan/traumanyaoCara perawatan

    oKeadaan dari penderitanya sendiri

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    25/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    Lampiran A. Sistem klasifikasi ATLS dari American College of Surgeons berguna untuk memahami

    manifestasi sehubungan dengan syok hemoragik pada orang dewasa (tabel 1). Volume darah

    diperkirakan 7% dari berat badan ideal, atau kira-kira 4900 ml pada pasien dengan berat badan 70 kg(155 lb).

    Tabel 1. Klasifikasi Perdarahan ATLS

    Kelas Rata-rata

    Kehilangan

    Darah (mL)

    Volume

    Darah (%)

    Tanda dan Gejala Umum Kebutuhan Resusitasi

    I < 750 < 15 Tidak ada perubahan denyut

    antung, pernafasan dan tekanan

    darah

    Tidak ada

    II 7501500 1530 Takikardi dan takipnoe; tekanandarah sistolik mungkin hanyamenurun sedikit; sedikit pnoe;

    tekanan darah sistolik mungkin

    hanya menurun sedikit;pengurangan pengurangan output

    urin (20-30 mL/jam)

    Biasanya larutan kristaloid

    tunggal, namun beberapapasien mungkin

    membutuhkan transfusi

    darah

    III 15002000 3040 Takikardi dan takipnoe yang jelas,ekstremitas dingin dengan

    pengisian-kembali kapiler terlambat

    secara signifikan,menurunnyatekanan darah sistolik, menurunnya

    status mental, menurunnya output

    urin (5-15 mL/jam)

    Seringnya membutuhkan

    transfusi darah

    IV > 2000 > 40 Takikardia jelas, tekanan darah

    sistolik yang menurun secarasignifikan, kulit dingin dan pucat,

    mental status yang menurun dengan

    hebat, output urin yang tak berarti

    Perdarahan yang

    membahayakan-jiwamembutuhkan transfusi

    segera

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    26/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    Lampiran 3.1 Sistostomi

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    27/28

    Sken 2 Trauma Pelvis blok Emergensi | Fatihah Iswatun Sahara

    Indikasi operasi sistostomi trokarRetensio urin dimana:

    kateterisasi gagal: striktura uretra, batu uretra yang menancap (impacted) kateterisasi tidak dibenarkan: ruptur uretra

    Syarat pada sistostomi trokar:

    buli-buli jelas penuh dan secara palpasi teraba tidak ada sikatrik bekas operasi didaerah abdomen bawah tidak dicurigai adanya perivesikal hematom, seperti pada fraktur pelvis

    Indikasi operasi sistostomi terbuka

    Retensio urin dimana:

    kateterisasi gagal: striktura uretra, batu uretra yang menancap (impacted) kateterisasi tidak dibenarkan: ruptur uretra bila sistostomi trokar gagal bila akan dilakukan tindakan tambahan seperti mengambil batu dalam buli-buli, evakuasi

    gumpalan darah, memasang drain di kavum Retzii dan sebagainya.

    Teknik Operasi

    Sistostomi Trokar

    Posisi terlentang Desinfeksi lapangan pembedahan dengan larutan antiseptik. Lapangan pembedahan dipersempit dengan linen steril. Dengan pembiusan lokal secara infiltrasi dengan larutan xylocain di daerah yang akan di insisi. Insisi kulit di garis tengah mulai 2 jari diatas simfisis ke arah umbilikus sepanjang lebih kurang

    1 cm. Insisi diperdalam lapis demi lapis sampai linea alba.

    Trokar set, dimana kanula dalam keadaan terkunci pada Sheath ditusukkan melalui insisi tadike arah buli-buli dengan posisi telentang miring ke bawah. Sebagai pedoman arah trokar

    adalah tegak miring ke arah kaudal sebesar 15-30%.

    Telah masuknya trokar ke dalam buli-buli ditandai dengan:o Hilangnya hambatan pada trokaro Keluarnya urin melalui lubang pada canullao Trokar terus dimasukkan sedikit lagi.o Secepatnya canulla dilepaskan dari Sheathnya dan secepatnya pula kateter Foley,

    maksimal Ch 20, dimasukkan dalam buli-buli melalui kanal dari sheath yang masihterpasang.

    o Segera hubungkan pangkal kateter dengan kantong urin dan balon kateter dikembangkandengan air sebanyak kurang lebih 10 cc.

    o Lepas sheath dan kateter ditarik keluar sampai balon menempelpada dinding buli-buli.o Insisi ditutup dengan kasa steril, kateter difiksasi ke kulit dengan plester.

    Sistostomi Terbuka

  • 7/28/2019 PBL Trauma Pelvis dan Hifema FIS

    28/28

    Posisi terlentang Desinfeksi lapangan pembedahan dengan larutan antiseptik. Lapangan pembedahan dipersempit dengan linen steril. Dengan pembiusan lokal secara infiltrasi dengan larutan xylocain di daerah yang akan di insisi. Insisi kulit di garis tengah mulai 2 jari diatas simfisis ke arah umbilikus sepanjang lebih kurang

    10 cm. Disamping itu dikenal beberapa macam irisan yaitu transversal menurut Cherney. Insisi

    diperdalam lapis demi lapis sampai fascia anterior muskulus rektus abdominis. Muskulus rektusabdominis dipisahkan secara tumpul pada linea alba.

    Sisihkan lipatan peritoneum diatas buli-buli keatas, selanjutnya pasang retraktor. Buat jahitan penyangga di sisi kanan dan kiri dinding buli. Lakukan tes aspirasi buli dengan spuit 5 cc, bila yang keluar urin, buat irisan di tempat titik

    aspirasi tadi lalu perlebar dengan klem.

    Setelah dilakukan eksplorasi dari buli, masukkan kateter Foley Ch 20-24. Luka buli-buli ditutup kembali dengan jahitan benang chromic catgut. Bila diperlukan diversi suprapubik untuk jangka lama maka dinding buli digantungkan di

    dinding perut dengan jalan menjahit dinding buli-buli pada otot rektus kanan dan kiri.

    Jahit luka operasi lapis demi lapis. Untuk mencegah terlepasnya kateter maka selain balon kateter dikembangkan juga dilakukan

    penjahitan fiksasi kateter dengan kulit.

    Daftar Pustaka

    Sobotta J, Putz R. 2006. Sobotta Atlas of Human . 14th ed. Elsevier Urban & Fisher, Amsterdam Snell RS. 2012. Clinical Anatomy by Regions . 9th ed. Lippincott Williams & Wilkins, a Wolter

    Kluwer, Philadelphia

    Pineiro LM. 2007. Uretral Trauma.On Urology Emergency.Springer Mechem CC. 2010. Pelvic Fracture in Emergency Medicine. Di unduh melaluihttp://emedicine.medscape.com/article/825869-overview#a0104pada 28 September 2012

    Martin AC, Louis JM, Stephanie AS, et all. 2006. Emergent Pelvic Fixation in Patients withExsanguinating Pelvic Fractures. Elsevier Urban & Fisher, Amsterdam. Diunduh melaluihttp://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1072751507001408pada 28 September 2012

    Mardjono M, Sidharta P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta Ilyas S. 2005. Hifema. dalam : Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata. Cetakan Ke-

    3.Balai penerbit FKUI, Jakarta

    Harsono. 2005. Buku Ajar Neurologis Klinis, 3rd ed. Penerbit Gajah Mada University Press,Jogjakarta

    Feliciano D, Mattox K, Moore E. 2007. Pelvic Trauma on Trauma Manual . 4th edition. McGrawHill, New York Cowan N. 2005. Uretral Trauma on Urological Emergency in Clinical Practice. Springer, New

    Zealand

    http://emedicine.medscape.com/article/825869-overview#a0104http://emedicine.medscape.com/article/825869-overview#a0104http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1072751507001408http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1072751507001408http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1072751507001408http://emedicine.medscape.com/article/825869-overview#a0104