Rhino Sinusitis

51
PENDAHULUAN Sinusitis diartikan sebagai peradangan sinus paranasal, dan rhinitis diartikan sebagai peradangan pada rongga hidung. Penyebab utamanya selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh bakteri. 2 Pada tahun 1996, Task Force on Rhinosinusitis, sponsored by the American Academy of Otolaryngology-Mead and Neck Surgery, the American Rhinologic Society, and the American Academy of Otolaryngologic Allergy mengusulkan pergantian istilah sinusitis menjadi rhinosinusitis. Fakta bahwa sangat jarang terjadi sinusitis tanpa adanya rhinitis. 1 Terjangkit rhinosinusitis mencakup kondisi bawaan, seperti fibrosa cystic atau sindrom immotile cilia, perubahan alergi atau fungsi imunitas yang berubah, anatomi yang tidak normal, penyakit sistemik, dan mekanisme syaraf. Faktor eksternal yang dapat menyebabkan rhinosinusitis adalah agen infeksi, trauma, paparan bahan kimia atau obat-obatan berbahaya, dan perubahan pembedahan. 3

description

referat

Transcript of Rhino Sinusitis

PENDAHULUAN

Sinusitis diartikan sebagai peradangan sinus paranasal, dan rhinitis diartikan sebagai

peradangan pada rongga hidung. Penyebab utamanya selesma (common cold) yang merupakan

infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh bakteri.2

Pada tahun 1996, Task Force on Rhinosinusitis, sponsored by the American Academy of

Otolaryngology-Mead and Neck Surgery, the American Rhinologic Society, and the American

Academy of Otolaryngologic Allergy mengusulkan pergantian istilah sinusitis menjadi

rhinosinusitis. Fakta bahwa sangat jarang terjadi sinusitis tanpa adanya rhinitis.1

Terjangkit rhinosinusitis mencakup kondisi bawaan, seperti fibrosa cystic atau sindrom

immotile cilia, perubahan alergi atau fungsi imunitas yang berubah, anatomi yang tidak normal,

penyakit sistemik, dan mekanisme syaraf. Faktor eksternal yang dapat menyebabkan

rhinosinusitis adalah agen infeksi, trauma, paparan bahan kimia atau obat-obatan berbahaya, dan

perubahan pembedahan.3

Rhinosinusitis akut didefinisikan dengan adanya kondisi tertentu selama 4 minggu.

Rhinosinusitis kronis dapat didiagnosa setelah kondisi tersebut terjadi sekurang-kurangnya

selama 3 bulan. Istilah rhinosinusitis sub-akut digunakan saat kejadian terlihat antara 4 dan 12

minggu. Ketika terdapat empat atau lebih kejadian acute bacterial rhinosinusitis (ABRS) dalam

satu tahun dengan resolusi gejala disela-sela kejadian, diagnose yang tepat adalah recurrent avute

rhinosinusitis.3

Berdasarkan Summary Health Statistics for U.S. Adults National Health Interview

Survey pada tahun 2009, lebih dari 29,3 juta orang dewasa di United States yang telah

didiagnosa terkena rhinosinusitis oleh dokter. Tingkat kejadian rhinosinusitis dua lipat lebih

sering terjadi pada wanita (20,9%) dibandingkan pada pria (11,6%). Jumlah rhinosinusitis

umumnya lebih rendah di bagian barat United States (12,1%) dibandingkan dengan wilayah

bagian selatan (19,5%). Orang-orang kulit putih Hispanik (17,5%) dan orang-orang non-hispanik

(15,7%) memeliki kemungkinan dua kali lebih besar terkena rhinosinusitis untuk di daerah

Hispanik (8,6%). Data survei sebelumnya tidak menunjukkan bahwa status kemiskinan berkaitan

dengan jumlah kejadian rhinosinusitis, variasi regional jumlah kejadian rhinosinusitis mungkin

saja dikaitkan dengan perbedaan kualitas udara, termasuk adanya polutan dan alergi.1

PEMBAHASAN

ANATOMI

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang anatomi

hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali sebelum terjadi

perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan.

a. Anatomi hidung luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar menonjol

pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas. Struktur hidung luar dibedakan atas tiga

bagian, yang paling atas adalah kubah tulang yang tak dapat digerakkan, di bawahnya

terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah

lobulus hidung yang mudah digerakkan.

Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:

1) pangkal hidung (bridge)

2) batang hidung (dorsum nasi)

3) puncak hidung (hip)

4) ala nasi

5)kolumela

6) lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau

menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :

1) tulang hidung (os nasal)

2) prosesus frontalis os maksila

3) prosesus nasalis os frontal

sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak

di bagian bawah hidung, yaitu :

1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior

2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala

mayor

3) tepi anterior kartilago septum.

b. Anatomi hidung dalam

Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di

sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari

nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior,

konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung

dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut

meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. (Ballenger

1. Septum nasi

Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior

dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago

septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan

inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista sfenoid.

2. Kavum nasi

Kavum nasi terdiri dari:

- Dasar hidung

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal

os palatum. .

- Atap hidung

Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus

frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar

atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen

n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan

menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.

- Dinding Lateral

Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os

lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os

etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina

pterigoideus medial. .

- Konka

Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara konka

inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media

dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut

meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema)

yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa

lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang

melekat pada maksila bagian superior dan palatum.

3. Meatus superior

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum

dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior

bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya

bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat

resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.

4. Meatus media

Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas

dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus

frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media

yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan

sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk

bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang

dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk

tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas

infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah

satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior

biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior

biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior

muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus

nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.

5. Meatus Inferior

Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara

duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang

batas posterior nostril.

6. Nares

Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan

nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares

posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam

oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh

lamina pterigoideus.

Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri

atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus

paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan

dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks

prosesus zygomatikus os maksilla.

Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi

udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan

bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita

dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar

epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga

hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel

c. Kompleks Osteomeatal (KOM)

Adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berupa celah pada dinding lateral

hidung. Pada potongan koronal sinus paranasalis KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga

diantara konka media dan lamina. Struktur anatomi yang membentuk KOM adalah

prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan

ressus frontal.

Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang

keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum

sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar

melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal.

Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau

ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media

ANATOMI SINUS PARANASAL

Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung. Anatominya

dapat dijelaskan sebagai berikut :

Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus

maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini

dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua

bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. Pada meatus medius yang

merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior rongga hidung terdapat suatu

celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan

ethmoid anterior.

Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap

berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto rontgen anak-anak

belum ada sinus frontalis karena belum terbentuk. Pada meatus superior yang merupakan

ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan

sinus sfenoid.

A. Sinus Maksilaris

Sinus maxillaris merupaka sinus paranasalis yang terbesar. Sinus ini sudah ada sejak lahir

dan mencapa ukuran maksimum (+ 15 ml) pada saat dewasa. Dari segi klinis yang perlu

diperhatikan dari anatomi sinus maxilla adalah :

1. Dasar sinus maxillaris berhubungan dengan gigi P1, P2, M1, dan M2

2. Ostium sinus maxillaris lebih tinggi dari dasarnya

Sinus maksilaris (Antrum of Highmore) adalah sinus yang pertama berkembang. Struktur

ini pada umumnya berisi cairan pada kelahiran. Pertumbuhan dari sinus ini adalah bifasik

dengan pertumbuhan selama 0-3 tahun dan 7-12 tahun.Sepanjang pneumatisasi kemudian

menyebar ke tempat yang rendah dimana gigi yang permanen mengambil tempat mereka.

Pneumatisasinya dapat sangat luas sampaiakar gigi hanya satu lapisan yang tipis dari jaringan

halus yang mencakup mereka.

Sinus maksilaris orang dewasa berbentuk piramida dan mempunyai volume kira-kira 15

ml (34 x 33 x 23 mm). dasar dari piramida adalah dinding nasal dengan puncak yang

menunjuk ke arah processus zigomatikum. Dinding anterior mempunyai foramen intraorbital

yang berada pada bagian midsuperior dimana nervus intraorbital berjalan di atas atap sinus

dan keluar melalui foramen ini. Bagian tertipis dari dinding anterior adalah sedikit diatas

fossa canina. Atap dibentuk oleh dasar orbita dan ditranseksi oleh n.infraorbita. dinding

posterior tidak bisa ditandai. Di belakang dari dinding ini adalah fossa pterygomaxillaris

dengan a.maksilaris interna, ganglion sfenopalatina dan saluran vidian, n.palatina mayor dan

foramen rotundum. Dasar dari sinus bervariasi tingkatannya. Sejak lahir sampai umur 9 tahun

dasar dari sinus adalah di atas rongga hidung. Pada umur 9 tahun dasar dari sinus secara

umum samadengan dasar nasal. Dasar sinus berlanjut menjadi pneumatisasi sinus maksilaris.

Oleh karena itu berhubungan dengan penyakit gigi di sekitar gigi rahang atas, yaitu premolar

dan molar.

Cabang dari a.maksilaris interna mendarahi sinus ini. Termasuk infraorbita, cabang

a.sfenopalatina, a.palatina mayor, v.aksilaris dan v.jugularis system duralsinus. Sedangkan

persarafan sinus maksila oleh cabang dari n.V.2 yaitu n.palatina mayor dan cabang dari

n.infraorbita.

Ostium sinus maksilaris terletak di bagian superior dari dinding medial sinus. Intranasal

biasanya terletak pada pertengahan posterior infundibulum etmoid, atau disamping 1/3

bawah processus uncinatus. Ukuran ostium ini rata-rata 2,4 mm tapidapat bervariasi. 88%

dari ostium sinus maksilaris bersembunyi di belakang processus uncinatus sehingga tidak

bisa dilihat secara endoskopi.

B. Sinus Ethmoidalis

Sinus etmoid adalah struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru dilahirkan. Selama

masih janin perkembangan pertama sel anterior diikuti oleh sel posterior. Sel tumbuh secara

berangsur-angsur sampai usia 12 tahun. Sel ini tidak dapat dilihat dengan sinar x sampai usia

1 tahun. Septa yang ada secara berangsur-angsur menipis dan pneumatisasi berkembang

sesuai usia. Sel etmoid bervariasi dan sering ditemukan di atas orbita, sfenoid lateral, ke atap

maksila dan sebelah anterior diatas sinus frontal. Peyebaran sel etmoid ke konka disebut

konka bullosa.

Gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15 ml (33 x 27 x 14mm). Bentuk

ethmoid seperti piramid dan dibagi menjadi sel multipel oleh sekat yang tipis. Atap dari

ethmoid dibentuk oleh berbagai struktur yang penting. Sebelah anterior posterior agak miring

(15°). 2/3 anterior tebal dan kuat dibentuk oleh os frontal dan foveola etmoidalis. 1/3

posterior lebih tinggi sebelah lateral dan sebelahmedial agak miring ke bawah ke arah lamina

kribiformis. Perbedaan berat antara atapmedial dan lateral bervariasi antara 15-17 mm. sel

etmoid posterior berbatasandengan sinus sfenoid.

Sinus etmoid mendapat aliran darah dari a.karotis eksterna dan interna dimana

a.sfenopalatina dan a.oftalmika mendarahi sinus dan pembuluh venanya mengikuti arterinya.

Sinus etmoid dipersarafi oleh n V.1 dan V.2, n V.1 mensarafi bagiansuperior sedangkan

sebelah inferior oleh n V.2. Persarafan parasimpatis melaluin.vidianus, sedangkan persarafan

simpatis melalui ganglion servikal. Sel di bagian anterior menuju lamela basal.

Pengalirannya ke meatus mediamelalui infundibulum etmoid. Sel yang posterior bermuara ke

meatus superior dan berbatasan dengan sinus sfenoid. Sel bagian posterior umumnya lebih

sedikit dalam jumlah namun lebih besar dalam ukuran dibandingkan dengan sel bagian

anterior. Bula etmoid terletak diatas infundibulum dan permukaan lateral inferiornya, dan

tepi superior prosesus uncinatus membentuk hiatus semilunaris. Ini merupakan sel etmoid

anterior yang terbesar. Infundibulum etmoid perkembanganya mendahului sinus. Dinding

anterior dibentuk oleh prosesus uncinatus, dinding medial dibentuk oleh prosesus frontalis os

maksila dan lamina papyracea.

C. Sinus Frontalis

Sinus frontalis sepertinya dibentuk oleh pergerakan ke atas dari sebagian besar sel-sel

etmoid anterior. Os frontal masih merupakan membran pada saatkelahiran dan mulai

mengeras sekitar usia 2 tahun. Perkembangan sinus mulai usia 5tahun dan berlanjut sampai

usia belasan tahun.

Volume sinus ini sekitar 6-7 ml (28 x 24 x 20 mm). Anatomi sinus frontalis sangat

bervariasi tetapi secara umum ada dua sinus yang terbentuk seperti corong. Dinding posterior

sinus yang memisahkan sinus frontalis dari fosa kranium anterior lebih tipis dan dasar sinus

ini juga berfungsi sebagai bagian dari atap rongga mata.

Sinus frontalis mendapatkan perdarahan dari a.oftalmika melalui a.supraorbitadan

supratrochlear. Aliran pembuluh vena melalui v.oftalmica superior menuju sinuskavernosus

dan melalui vena-vena kecil di dalam dinding posterior yang mengalir kesinus dural. Sinus

frontalis dipersarafi oleh cabang n V.1. secara khusus, nervus-nervus ini meliputi cabang

supraorbita dan supratrochlear.

D. Sinus Sfenoidalis

Sinus sfenoidalis sangat unik karena tidak terbentuk dari kantong ronggahidung. Sinus ini

dibentuk dalam kapsul rongga hidung dari hidung janin. Tidak berkembang sampai usia 3

tahun. Usia 7 tahun pneumatisasi telah mencapai sela turcica. Sinus mencapai ukuran penuh

pada usia 18 tahun.

Usia belasan tahun, sinus ini sudah mencapai ukuran penuh dengan volume 7,5 ml (23 x

20 x 17 mm). Pneumatisasi sinus ini, seperti sinus frontalis, sangat bervariasi. Secara umum

merupakan struktur bilateral yang terletak posterosuperior dari rongga hidung. Dinding sinus

sphenoid bervariasi ketebalannya, dinding anterosuperior dan dasar sinus paling tipis (1-1,5

mm). Dinding yang lain lebih tebal. Letak dari sinus oleh karena hubungan anatominya

tergantung dengan tingkat pneumatisasi. Ostium sinus sfenoidalis bermuara ke recessus

sfenoetmoidalis. Ukurannya sangat kecil (0,5 -4 mm) dan letaknya 10 mm di atas dasar sinus.

Atap sinus sfenoid diperdarahi oleh a.ethmoid posterior, sedangkan bagian lainnya

mendapat aliran darah dari a.sfenopalatina. Aliran vena melalui v.maksilaris ke v.jugularis

dan pleksus pterigoid. sinus sfenoid dipersarafi oleh cabang n V.1 danV.2. n.nasociliaris

berjalan menuju n.etmoid posterior dan mempersarafi atap sinus. Cabang-cabang

n.sfenopalatina mempersarafi dasar sinus.

FISIOLOGI HIDUNG

Fungsi hidung ialah untuk jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air conditioning),

penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara, turut membantu proses bicara

dan refleks nasal.

a. SEBAGAI JALAN NAPAS

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka

media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk

lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti

jalan yang sam seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah,

sebagian akan melaui nares anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk

pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.

b. PENGATUR KONDISI UDARA

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang

akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban

udara dan mengatur suhu.

Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir (mucous blanket).

Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,

sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan sebelumnya.

Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah

epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung

secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37 oC.

c. SEBAGAI PENYARING DAN PELINDUNG

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri

dandilakukan oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, serta palut lendir (mucous

blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar

akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh

gerakan silia. Faktor lain ialah enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang

disebut lysozyme.

d. INDRA PENGHIDU

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada

atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat

mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan

kuat.

e. RESONANSI SUARA

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.

Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar

suara sengau (rinolalia).

f. PROSES BICARA

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan

palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut tertutup dan hidung terbuka,

palatum mole turun untuk aliran darah.

g. REFLEKS NASAL

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,

kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan sekresi kelenjar

liur, lambung dan pankreas.

Rhinosinusitis

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai oleh

rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya selesma (common cold) yang

merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh bakteri.2

Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua

sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paliang sering terkena ialah sinus etmoid dan maksila,

sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi. Simus maksila disebut

antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, infeksi gigi mudah menyebar ke sinus

disebut dentogen.2

Rhinosinusitis akut didefinisikan dengan adanya kondisi tertentu selama 4 minggu.

Rhinosinusitis kronis dapat didiagnosa setelah kondisi tersebut terjadi sekurang-kurangnya

selama 3 bulan. Istilah rhinosinusitis sub-akut digunakan saat kejadian terlihat antara 4 dan 12

minggu. Ketika terdapat empat atau lebih kejadian acute bacterial rhinosinusitis (ABRS) dalam

satu tahun dengan resolusi gejala disela-sela kejadian, diagnosis yang tepat adalah recurrent

acute rhinosinusitis. 3

Patofisiologi

Peradangan adalah proses dimana mediator, seperti leukosit, mampu memusnahkan

komponen/agen asing dan memperbaiki jaringan yang rusak. Peradangan akut diartikan dengan

adanya aliran cairan dan plasma protein dari pembuluh darah dengan perpindahan leukosit,

utamanya neuropil, sehingga sel-sel ini bersatu untuk melawan zat atau komponen yang tidak

baik. Hal ini dapat diidentifikasi dalam beberapa menit hingga beberapa jam dari kejadian

pemicu. Peradangan kronis berkembang sehingga kondisi tersebut terus terjadi selama

berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Tanda-tanda peradangan kronis adalah adanya

limfosit (sel darah putih), makrofage, eosinofil, dan basofil, bersamaan dengan adanya

peningkatan vaskularitas, fibrosis, dan kematian jaringan. Peradangan sub-akut diartikan sebagai

periode interval ketika pola kekambuhan peradangan teramati. Infeksi umumnya didiagnosa

ketika terdapat mikroorgnisme pada inang, berinteraksi secara langsung dengan jaringan inang

dan berkembang biak. Hal ini menyebabkan timbulnya penyakit pada organisme inang. Infeksi

bakteri diartikan dengan adanya satu bakteri atau lebih di setiap bidang dengan kepadatan tinggi,

yang berhubungan dengan paling sedikit 1.000 koloni yang terbentuk per millimeter.1

Rhinosinusitis Akut karena Virus

Mayoritas rhinosinusitis akut secara etimologi dikatakan menular. Patogen penyebabnya

adalah virus. Penelitian sinus pada pasien dengan rhinosinusitis akut menunjukkan organisme

virus yang umumnya teridentifikasi dalam penurunan kejadian adalah rhinovirus 15%, virus

influenza 5%, virus parainfluenza 3%, dan adenovirus 2%. Rhinovirus memasuki tubuh melalui

hidung, bisa dikarenakan vaksinasi secara langsung atau melalui partikel udara yang besar.

Partikel virus berjalan di dalam aliran lender atau mucus menuju daerah adenoid dimana virus

tersebut menempel pada reseptor khusus (reseptor rhinovirus interseluler adhesi molekul pada sel

limpoepitelial diantara folikel limfoid. Suatu reaksi peradangan kemudian terjadi, dan gejala

rhinosinusitis akut karena virus (acute viral rhinosinusitis), termasuk sakit tenggorokan, obstruksi

nasal, dan rhinorrhea berkembang dalam beberapa jam pemaparan.1

Dari computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) terhadap

standard modalitas pengambilan gambar untuk rhinosinusitis, film radiografi sederhana.

Abnormalitas, termasuk tingkat aliran udara, sekresi aerosol, dan mukosa yang menebal lebih

sering terlihat pada sinus rahang atas sebesar 87%, tetapi juga terdapat di sinus etmoid sebesar

65%, sinus frontal sebesar 32%, dan sinus sphenoid sebesar 39%. Eksositosis sejumlah besar

mucin oleh sel goblet di sinus paranasal epithelium setelah mereka telah dirangsang oleh

mediator peradangan dalam kejadian infeksi viral akut. 1

Rhinosinusitis Bakterial Akut

Acute bacterial rhinosinusitis (ABRS) terjadi ketika pasien dengan AVRS mengalami

perkembangan infeksi bakteri superimposed atau sekunder. Hanya sekitar 0,5% hingga 2%

AVRS yang dikomplikasikan dengan adanya infeksi bakteri. AVRS dapat menyebabkan

perkembangan ABRS dengan beberapa mekanisme. Mukosa edematous yang dapat meradang

dapat mengganggu sinus ostia dan merusak pengeringan lender. Fungsi mukosiliaris dan

pembersihan juga terpengaruh secara langsung oleh peradangan; kerusakan ini diperbesar jika

terjadi peningkatan produksi lender. Infeksi oleh patogen bakteri yang menjangkiti hidung dan

nasofaring didukung dengan adanya lender statis dan mempermudah terjadinya kejadian karena

bakteri mengendap dalam sinus paranasal karena bersin.1

Konsep transisi dari AVRS menjadi ABRS ini penting untuk diperhatikan karena kami

membahas kondisi pasien dan evaluasi akurat terhadap kemajuan gejala untuk kepentingan

diagnose. Suatu kejadian AVRS dapat dipersulit dengan adanya infeksi bakteri, tetapi tampilan

perbedaan klinis awalan diantara keduanya tidak mungkin terjadi.1

MIKROBIOLOGI RHINOSINUSITIS BAKTERIAL AKUT

Informasi mengenai mikrobiologis acute community-acquired bacterial rhinosinusitis

pada orang dewasa telah digambarkan secara umum dari jaringan lender sinus maksiliaris,

karena ini adalah sinus paranasal yang paling mudah diakses. Mayoritas infeksi ABRS

dikarenakan terisolasinya bakteri tunggal, tetapi terdapat infeksi polimikrobakterial di sekitar

satu per empat kasus. Spesies bakteri yang paling sering terisolaso dari sinus maksiliaris pasien

dengan ABRS yang tidak parah adalah Streptococcus penumoniae, Haemophilus influenza, dan

Moraxella catarrhalis.1 Frekuensi relative bakteri yang terisolasi dalam ABRS terbukti

mempunyai hubungan perkembang biakan; S. pneumonia diidentifikasi pada 20% hingga 43%

kasus, H. influenzae pda 22% hingga 35% kasus, dan M. catarrhalis pada 2% hingga 10% kasus.

H. influenzae yang teridentifikasi umumnya adalah organisme nontypeable. Pada beberapa

dekade terakhir abad ke-20, terdapat peningkatan timbulnya beta-laktamase yang memproduksi

H. influenzae sebesar lebih dari 50%; bagaimanapun juga, di abad ke-21, hal ini menjadi stabil

dengan kisaran 40% yang terisolasi. Macrolide-resistant S. pneumonia adalah masalah yang

meningkat, dan dikaitkan dengan naiknya resiko kegagalan dalam perawatan. Bakteri anaerob

hanya berpengaruh sebesar 2% hingga 6% terhadap ABRS, beberapa diantaranya timbul dari

patologi dental primer. Staphylococcus aureus dan S. pyogenes memiliki pengaruh tertentu

terhadap ABRS. Secara keseluruhan, mereka hanya berpengaruh kurang dari 5% dalam kasus,

walauun S. aureus sering terlalu tinggi diperkirakan berdasarkan jaringan swab nasal,

berkebalikan dengan jaringan sinus endoscupically-directed atau direct sinus aspirates. Sebagai

catatan, S. aureus dan S. pyogenes memliki kecenderungan lebih tinggi untuk menyebabkan

komplikasi rhinosinusitis akut, seperti intracranial atau perpanjangan orbital penyakit.3

CARA KHUSUS – MIKROBIOLOGI dari NOSOCOMIAL ACUTE BACRTERIAL

RHINOSINUSITIS

Rhinosinusitis nosocomial cenderung menunjukkan adanya organisme gram-negatif yang

lebih tinggi dibandingkan community-acquired ABRS. Contoh organisme yang ditemukan pada

infeksi nosocomial meliputi Psedumonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, Enterobacter

species, Proteus mirabilis, Serratia marcescens, dan cocci gram-positif, seprti streptococci dan

staphylococci. Selama bertahun-tahun kita mengetahui bahwa pasien yang beresiko tinggi

terhadap rhinosinusitis nosocomial adalah mereka yang membutuhkan periode perawatan

internsif tambahan dengan intubasi Nasotracheal yang atau pipa nasogastrik berlangsung lama.

Intubasi nasotracheal beresiko lebih tinggi terhadap sinusitis nosocomial daripada intubasi

orotrachea. Sinusitis nosocomial berkembangan pada 25% pasien yang membutuhkan intubasi

nasotracheal lebih dari 5 hari.1

CARA KHUSUS – ACUTE FULMINANT INVASIVE FUNGAL SINUSITIS

Acute fulminant invasive fungal sinusitis adalah penyakit berbahya yang dikaitkan

dengan adanya penyebaran jamur yang sangat cepat dari mukosa sinonasal menuju orbit,

jaringan lunak, dan parenchyma otak melalui invasi langsung dan vascular. Kondisi klinis pasien

yang terkena umumnya diasosiasikan dengn fungsi neutrofil yang terganggu, seperti hematologic

malignancies, aplastic anemia, diabetes, acquired immunodeficiency syndrome, transplant organ,

atau iatrogenic immunosuppression karena kemoterapi. Organisme etiologis yang paling umum

adalah spesies Aspergillus dan Mucormycosis. Pada populasi pasien khusus dengan menurunnya

kemampuan memaksimalkan respon imunitas terhadap organisme penginfeksi ini, tanda-tanda

dan gejala penyakit bisa jadi tidak terlihat. Temuan bersifat fisik yang paling umum dijumpai

pada endoskopi sinonasal adalah adanya perbedaan mukosa hidung dan sinus yang menunjukkan

adanya angioinvasion oleh organisme jamur, dengan hypoperfusion utama jaringan. Sedangakn

perubahan warna menunjukkan adanya ischemia jaringan, sedangkan perubahan warna hitam

adalah temuan akhir dari jaringan yang mati. Penurunan pendarahan mucosal dan sensai mati-

rasa (bius) lokal di daerha wajah atau rongga mulut bisa menjadi tanda dari proses penyebaran

tersebut. Lokasi abnormalitas mukosal yang paling umum adalah di bagian turbinate tengah atau

depan, septum nasal, dan langit-langit. Standar utama untuk memberikan diagnosa terhadap

penyakit ini adalah bidang permanen dengan noda perak Gomori methamine yang menunjukkan

“bentuk hyphal dalam submukosa dengan atau tanpa serangan angiocentric dan jaringan mati

dengan rembesan peradangan inang yang minimal”. Karena diagnosa yang tepat sangat penting

untuk dilakukan terhadap kondisi seperti ini, bidang yang membeku dengan pemeriksaan

histopatologis terhadap luka yang mencurigakan sangat dibutuhkan untuk memudahkan

pembedahan resection dan inisiasi terapi anti-jamur tanpa adanya penundaan. Metode kalium

hidroksida-calcoflour putih adalah alternative teknik diagnosa yang cepat dimana kalium

hidroksida digunakan untuk melarutkan material hidup, dan calcoflour putih digunakan untuk

pencerah optikal yang berikatan dengan dinding sel hyphae dan bercahaya ketika dilihat dengan

mikroskop fluorescent.1

GEJALA

Gejala-gejala yang berkaitan dengan rhinosinusitis sudah banyak diketahui. Gejala-

gejalan yang umum terjadi mencakup obstruksi nasal, pemberhentian nasal, sekret nasal,

postnasal drip, nyeri tekan wajah, terganggunya indra penciuman, batuk, demam, bau

mulut/halitosis, kelelahan, sakit gigi, sakit tenggorokan, otalgia, dan sakit kepala.2

ABRS didiagnosa ketika ketiga gejala cardinal: secret nasal, obstruksi nasal, dan nyeri

tekan pada wajah, muncul selama 10 hari atau lebih diluar serangan gejala pernafasan atas, atau

ketika gejala atau tanda rhinosinusitis akut memburuk dalam 10 hari setelah periode perbaikan

awal (pemburukan-ganda). Dalam 3 sampai 4 hari timbulnya penyakit, AVRS tidak dapat

dibedakan dari transisi awal ABRS. Pemberhentian purulent tidak mengindikasikan adanya

bakteri pada lender, tetapi menunjukkan adanya neutrofil, yang dikaitkan dengan peradangan

akut tanpa menghiraukan etiologi. Rhinorrhea yang jelas bisa menjadi tanda adanya AVRS,

rhinosinusitis alergi, atau penyebab rhinosinusitis non-alergi lainnya, seperti rhinitis vasomotor.

Pada hari ke-10 atau lebih, peradangan dan edema AVRS mungkin masih muncul;

bagaimanapun juga, kondisi seharusnya sudah membaik. Jika gejala masih berkembang pada

hari ke-10, dianjurkan melakukan diagnosa ABRS. 3

Demam tidak termasuk sebagai tanda kardinal ABRS karena demam hanya mempunyai

sensitivitas dan kekhususan sebesar 50% untuk diagnosis. Jika seorang pasien menunjukkan

adanya tiga gejala kardinal, yang terlihat serius atau demam tinggi pada 3 atau 4 hari pertama

serangan penyakit, diagnosa terhadap ABRS dipertimbangkan lebih awal.3

Selain riwayat penyakit yang diterangkan diatas, penyedia layanan perawatan kesehatan

untuk pasien dengan gejala rhinosinusitis akut harus melaksanakan pengecekan rekam medis dan

sosial. Timbulnya kondisi comorbis yang signifikan, seperti diabetes melitus,

immunocompromised statusi, penyakit pulmonia, atau kondisi congenital sangat penting untuk

diperhatikan ketika merancang rencan perawatan. Riwayat rhinitis alergi atopy atau perennial

juga berkaitan dengan rencana perawatan. Trauma pada wajah atau hidung yang terdahulu,

pembedahan wajah, atau pembedahan sinonasal dapat mempengaruhi munculnya gejala dan

penyakit pada pasien. Tinjauan mendalam terhadap obat-obatan pasien dan obat-obatan

alergiharus didapatkan sebelumnya untuk dapat menggunakan decongestant atau bius lkal untuk

mempermudah pemeriksaan di klinik, dan untuk memberikan resep obat-obatan. Mengetahui

riwayat sosial pasien, termasuk pemaparan tembakau dan kondisi rumah dan kantor sangat

penting untuk merawat pasien dengan mendalam. Faktor-faktor ini menunjukkan kondisi yang

menyebabkan timbulnya gejala rhinosinusitis dan perkembangan ABRS pada pasien.1

PEMERIKSAAN FISIK

Diagnosis AVRS atau ABRS dapat dibuat dengan akurat dengan menggunakan riwayat

pasien, pemeriksaan fisik secara mendalam sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Tanda-tanda

vital harus dicatat. Pemeriksaan kepala dan leher harus dimulai dengan pemeriksaan wajah.

Pembengkakan, erythema, atau edema yang terletak disekitar pipi yang terkena atau edema

periorbital bisa menunjukkan adanya ABRS yang serius dengan pelebaran ke jaringan lunak.1

Palpasi dan perkusi disekitar wajah dan dentition maksila dapat membantu menentukan

letak nyeri. Pemeriksaan mata mencakup pemeriksaan tampilan konjungtiva, tes status visual,

evaluasi fungsi otot ekstraokular, inspeksi terhadap timbuknya proptosis, dan funduscopic atau

pemeriksaan Tonopen jika terindikasi secara klinis. Pemeriksaan otoscopic bisa menunjukkan

serous otitis media atau acute otitis media. Rhinoscopy anterior adalah alat dasar dalam

pemeriksaan fisik yang sangat berkaitan dengan pendeteksian patologi pada saluran sinonasal.

Umumnya, hidung diperiksa sebelum dan sesudah topical decongestant. Pemakain decongestant

terlebih dahulu, seperti oxymetazoline atau neosynephrine, saluran nasal anterior dan turbinates

inferior juga diperiksa. Setelah hidung diberi decongestant, seseorang biasanya mampu

memvisualisasi turbinate bagian tengah dan memeriksa nanah pada bagian meatus tengah seperti

halnya hyperaemia, edema, atau crusting. Turbinate yang membesar, timbulnya polip atau

masses, dan nasal septal deviasi dapat membatasi luasnya pemeriksaan. Visualisasi kekeringan

purulen postnasal pada pemeriksaan oropharyngeal cenderung sensitive terhadap ABRS.1

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior, dan posterior, pemeriksaan naso-

endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya

pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan ethmoid anterior dan frontal) atau di meatus

superior (pada sinusitis ethmoidalis posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa

edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan pada kantus medius.2

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT-Scan. Foto polos posisi

Waters, PA, lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus

maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, air-fluid level, atau penebalan

mukosa.2

CT-Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai secara

anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan

perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis

kronis yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat

melakukan operasi sinus.2

Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.

Pemeriksaan ini sudah jarang dilakukan karena sangat terbatas kegunaannya.2

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari

meatus medius/superior, untuk mendapatkan antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila

diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila. 2

Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui

meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya,

selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. 2

TERAPI

AVRS

Obat-obatan analgesik dan antipiretik akan membantu mengurangi nyeri dan

demam, dua gejala utama yang mendorong pasien untuk mendapatkan perawatan medis

dalam keadaan klinis ini. Irigasi nasal dengan solusi saline hipertonik terbukti dapat

memperbaiki gejala dan menurunkan obat-obatan penghilang nyeri dalam AVRS. Mereka

menipiskan lender dan membantu membersihkan mukosiliaris . Pilihan dekongestan

mencakup pengelolaan sistemik dan topical, walaupun dekongestan nasal topical mampu

mengurangi gejala dengan potensi yang meningkat. Pemberi resep harus memberi tahu

pasien yang berpotensi mengalami perkembangan rhinitis medicamenosa dengan

penggunaan terus-menerus lebih dari 3 hari. Terapi steroid sistemik belum terlihat efektif

untuk AVRS, dan memiliki resiko perubahan perilaku, naiknya nafsu makan, dan

pertambahan berat badan, bahkan hanya dalam pemakaian jangka pendek. Steroid nasal

topical mempunyai penyerapan sistemik dan karenanya hal ini beresiko efek samping

rendah.1

ABRS

ABRS yang tidak serius dengan sakit ringan dengan nyeri ringan dan demam

setinggi 38,3 derajat Celcius, tata kelola untuk melegakan gejala dan menunda pemakaian

antibiotic hingga 7 hari setelah diagnosa. Antibiotic diberikan jika kondisi pasien tidak

membaik setelah 7 hari atau memburuk selama periode pengawasan.1

ABRS sedang, antibiotic dapat ditunda sebagaimana RCTs menunjukkan adanaya

presentase perbaikan spontan yang tinggi ketika pasien mendapatkan placebo dengan

keuntungan tambahan biasanya dari penambahan antibiotic. 1

Terapi antimikroba tidak mempunyai efek penyembuhan klinis dalam 3 hingga 5

hari setelah diagnosa ABRS, peningkatan nilai penyembuhan klinis sebesar 15% pada

hari ke-7 hingga 12 dengan sejumlah yang dibutuhkan untuk merawat tujuh pasien. 1

ABRS seperti pemberian analgesic, antipiretik, irigasi saline nasal, dekongestan,

corticosteroids, antihistamines, dan mucolytics, tidak satu terapipun yang disetujui oleh

Food and Drug Administration untuk digunakan pada rhinisinusitis akut. Resiko rhinitis

medicamentosa, penggunaan decongestant topical dianjutkan dalam penanganan ABRS,

perbaikan hasil dan reduksi kongesti pada mukosa sinonasal pada MRI. 1

Amoxicillin adalah antibiok pertama yang dianjurkan untuk kebanyakan pasien.

Amoxicillin aman, terjangkau, efektif, dan mempunyai spectrum mikrobiologis yang

sempit. Alternatif yang dianjurkan untuk pasien dengan alergi penicillin adalah

penggunaan antibiotik trimethopirm-suldamethoxazole atau macrolide. 1

KOMPLIKASI

Rhinosinusitis akut mempunyai tiga kemungkinan tahapan: resolusi, perkembangan

sequelae, atau perkembgnan rhinosinusitis kronis. Sequelae yang merugikan dari rhinosinusitis

akut dapat diklasifikasikan secara luas menjadi extrakranial, yang mencakup komplikasi lokal,

penyebaran ke jaringan lunak, atau penyeberan ke orbit, dan keterlibatan intrakranial. Walaupun

penggunaan antibiotik secara luas dan perhatian tentang penggunaannya yang berlebihan dalam

ABRS, presentase yang signifikan namun sedikit dari pasien masih mengalami perkembangan

sequelae yang buruk dari rhinosinusitis akut, dan khususnya dari ABRS.2

Beberapa faktor telah diidentifikasi sebagai faktor resiko perkembangan komplikasi

ABRS. Mayoritas pasien mengaku komplikasi sekunder ABRS muncul pada bulan di musin

dingin, dimulai pada Bulan Januari hingga Maret. Kejadian musiman ini sepertinya merupaka

kejadian sekunder dari kenaikan infeksi virus pada musim gugur dan musim dingin. Dalam

populasi anak-anak, kelompok usia yang paling beresiko mendapat perawatan di rumah sakit

karena komplikasi ABRS adalah kelompok umur 3 hingga 6 tahun. Bagaimana pun, diantar

banyak pasien anak-anak yang mengalami komplikasi orbital ABRS, yang beresiko mengalami

penyeberan intrakranial adalah kelompok umur 7 tahun atau lebih. Pada orang dewasa,

penyebaran intrakranial lebih sering terlihat pada pasien dengan riwayat rhinosinusitis kronis.

Bagaimanapun, dalam populasi anak-anak, keterlibatan intrakranial hampir terjadi pada ABRS.

Secara keseluruhan, kelompok yang paling beresiko mengalami komplikasi intrakranial adalah

kelompok jenis kelamin pria pada masa puber dan remaja-dewasa (10 hingga 29 tahun). Telah

ditunjukkan bahwa kelompok usia ini dipengaruhi secara tidak seimbang karena pada usia ini

sistem valvelss diploic sedang berada pada tahap paling vascular, sehingga menyediakan jalan

yang baik untuk memungkinkan adanya infeksi bakteri. Selain itu, diperkirakan bahwa maturing

posterior table pada sinus frontal adalah pembatas yang buruk untuk penyebaran organisme.

Bayi-bayi beresiko dalam mengalami meningitis karena, berkebalikan dengan pembatas infeksi

yang efisien yang disiapkan oleh mature arachnoid mater, bakteri dengan bebas disalurkan

kedalam lapisan immature arachnoid.1

KOMPLIKASI EKSTRAKRANIAL

Sequela benign dari rhinonisnusitis akut adalah anosmia. Rhinosinusitis akut

menyebabkan 18% hingga 86% anosmia. Hyposmia sementara biasa terjadi pada kasus

rhinosinusitis akut, anosmia permanen bisa juga terjadi, walaupun sangat jarang. Jumlah kasus

yang terjadi pada wanita tidak seimbang dengan yang tejadi pada pria, menunjukkan 67% pasien

dengan penurunan daya penciuman karena virus dalam satu penelitian. Dua penelitian terbaru

menunjukkan hasil yang dapat dipercaya dengan perbaikan penciuman pada 80% pasien dengan

kerusakan sensorineural pada penciuman, termasuk yang berkaitan dengan rhinosinusitis akut,

dirawat dengan steroid sistemik.1

Pott puffy tumor (PPT), yang dijelaskan pertama kali oleh Sir Percivall Pott pada

tahun 1775, adalah abses subperiosteal tulang frontal yang dikaitkan dengan osteomyelitis

frontal. Patofisiologi timbul sebagai infeksi bakteri, paling umum adalah S. aureus,

nonterococcal streptococcus, dan oral anaerobes, sering dalam bentuk polymicrobial, menyebar

dari sinus frontal menuju tulang frontal yang menyebabkan peradangan dan suppuration

pembuluh vena valveless diploic, yang menyebar menuju sistem Haverian dari table dalam dan

luar tengkorak, mengakibatkan demineralisasi lokal dan nekrosis. Hal ini berpengaruh dalam

perforasi sinus fronal table anterior ini, memudahkan subperiosteal pus collection dan formasi

jaringan granulasi yang menunjukkan sifat-sifat PPT. Entitas ini ditangani dengan pendekatan

pembedahan dan medis.1

Ekstensi orbirtal rhinosinusitis akut adalah komplikasi yang paling umum terjadi

pada populasi anak-anak dan orang dewasa. Pada jaman pre-antibiotik, 17% pasien dengan

infeksi orbital meninggal karena meningitis dan 20% menjadi buta karena bagian mata

terpengaruh. Tahun 1991, kebutaan menurun menjadi 10,5% dan dalam penelitian kesehatan

anak-anak dari tahun 2009 yang meninjau 157 komplikasi orbital ABRS, kejadian kebutaan

lanjutan sebesar 0,6%. Klasifikasi Chandler untuk komplikasi orbital rhinosinusitis dikenalkan

pada tahun 1970. Kelebihan sistem ini adalah organisasinya sebagai sebuah pola gerakan yang

menjelaskan pathogenesis penyebaran orbital ABRS dari preseptal cellulitis (I) menuju

postseptal cellulitis (II), dan progesi utama menuju abses subperiosteal (III) dan akhirnya abses

orbital (IV). Perseptal atau periorbital cellulitis (kelas I) adalah komplikasi orbital yang paling

umum terjadi pada semua kelompok umur (70%). Kekurangan skema klasifikasi ini adalah

pengurangan tahap lanjutan peradangan orbital, termasuk orbital apex syndrome, retrobulbar

phlegnom, retrobulbar abscess, dan cavernous sinus thrombosis yang bisa berkembang sebagai

akibat komplikasi rhinosinusitis akut.1

Penanganan keterlibatan orbital sekunder ditetapkan berdasarkan tahapan penyakit

Chandler. Semua pasien memerlukan antibiotik. Untuk pasien dengan perseptal cellulitis pada

umur lebih dari 3 tahun yang perlu di-follow up, perawatan bisa dengan antibiotic oral spectrum-

luas, elevasi kepala, kompres hangat, decongestant topikal, dan irigasi saline. Untuk penyakit

yang lebih lanjut, penanganan antibiotik empiris IV dapat dimulai dengan pemberian antibiotic

beta-laktamase dosis-tinggi, dengan pengetahuan tentang kekebalan yang mungkin terjadi, atau

cephalosporin generasi-ketiga. Kebanyakan preseptal dan postseptal cellulitis (tingakt I dan II)

dapat ditangani secara medis dengan baik. Indikasi keterlibatan pembedahan mencakup: pada

penyakit tahap I atau II jika kondisi pasien gagal membaik secara signifikan dalam 24 hingga 48

jam penggunaan antibiosis yang sesuai, dengan segera jika tingkat ketajaman visual memburuk,

jika pasien mengalami perkembangan kenaikan proptosis dan/atau ophtalmoplegia, dan jika

terdapat abses yang ditunjukkan pada CT. Abses subperiosteal harus ditinjau secara individual,

dan rencana perawatan harus disesuaikan dengan situasi klinis yang spesifik. Kriteria yang

direkomendasikan untuk penanganan media abses subperiosteal medial adalah penglihatan,

pupil, dan retina normal, tidak ada ophthalmopegia, tekanan intraocular kurang dari 20 mm Hg,

5 mm proptosis atau kurang, dan lebar abses sebesar 4 mm atau kurang. Pasien ini akan

membutuhkan pengawasan penuh, dan jika mereka mempunyai deteriosasi atau gagal membaik

secara medis dalam 48 hingga 72 jam, mereka cenderung membutuhkan penggambaran ukang

dan intervensi pembedahan. Intervensi pembedahan untuk keterlibatan orbital sekunder

mencakup pembedahan sinus endoskopi untuk mengosongkan sinus yang terpengaruh dan kultur

yang diperoleh.1

Luasan pembedahan ditentukan oleh besarnya derajat pengaruh sinus. Pendekatan untuk

abses, jika ada, bergantung pada lokasinya dalam orbit. Banyak abses periosteal, khususnya pada

anak-anak, terletak disepanjang dinding orbital medial karena pelebaran dari sinus etmoid dan

dapat dikeluarkan pada saat endoscopic ethmoidectomy. Batasan utama pada pendekatan

endoskopis dalam kondisi akut adalah potensi peningkatan pendarahan, yang dapat

memungkingkan visualisasi. Jika ini adalah suatu pertimbangan, irisan Lynch tradisional dapat

dipertimbangkan untuk mendekati abses orbital medial dan untuk melaksanakan ethmoidectomy

eksternal. Sebuah abses yang lateral, superior, atau inferior pada orbit mungkin akan

membutuhkan orbitotomy eksternal untuk pengeluaran (drainage). Walaupun sering digunakan

dalam intervensi pembedahan untuk infeksi orbital dengan tingkat yang lebih rendah,

ophthalmologists diperlu untuk melengkapi saat merujuk tentang abses intraconal.1

KOMPLIKASI INTRAKRANIAL

Komplikasi intrakranial mempengaruhi sekitar 0,5% dan 24% pasien yang dirujuk ke

rumah sakit dengan rhinosinusitis. Komplikasi intrakranial mencakup meningitis, abses

ekstradural, subdural empyema, abses intraserebral, dan cavernous and superior sagittal sinus

thrombosis. frekuensi relatifnya telah dicantumkan dalam kajian pustaka. Infeksi sinus paranasal

dapat menyebar hingga bagian intrakranial secara langsung melalui osteomylitis tengkorak,

dengan thrombophlebitis yang memburuk dan septic emboli, atau melalui kerusakan/kecacatan

pos-traumatis, bawaan, atau setelah pembedahan yang menghubungkan jaringan dengan bagian

intrakranial. Ukuran abses otak sekunder dari asal otologis atau sinogenik telah diperkirakan

sekitar dua per tiga, dan walaupun menurut sejarah hal ini sangat berhubungan dengan etiologi

otologis, kajian pustaka menunjukkan bahwa penyebab sinogenik adalah hal yang sudah umum.

Walaupun kelebihan dalam teknik pengambilan gamabr mempermudah deteksi dini serta

perkembangan pharmaceutical dan pembedahan, ketidak-wajaran dan kematian dari komplikasi

intrakranial tetap stabol sejak sekita tahun 1980 pada tingkat 5% hingga 21% dan mencapai 40%,

berturut-turut. Ketidak-wajaran mencakup deficit neurologis jangka-panjang, gangguan kognitif,

kelumpuhan syaraf cranial, aphasia, epilepsi, hydrocephalus, dan hilangnya daya penglihatan

dan pendengaran.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Johnson, Jonas T., Rosen, Clark A. 2014. Bailey’s Head and Neck Surgery

Otolaryngology, 5th Edition. China: Wolters Kluwer Lippincott Williams and Wilkins

2. Arsyad Soepardi, Efiaty, Prof., Dr., dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,

Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher, Edisi 7. Jakarta: FKUI

3. Lee, K. J. 2003. Essential Otolaryngology, H

ead & Neck Surgery, 8th Edition. United States of America: Medical Publishing Division

4. Buku Saku EPOS, European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyp,2007

5. Sherwood Laurale; Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Penerbit: EGC. Jakarta

2006.