tugas sinusitis
-
Upload
bunga-tri-amanda -
Category
Documents
-
view
27 -
download
0
description
Transcript of tugas sinusitis
RINOSINUSITIS
Definisi Rinosinusitis Kronis
Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau
infeksi virus, bakteri maupun jamur. Secara klinis, rinosinusitis dapat
dikategorikan sebagai rinosinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa
hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu
sampai 3 bulan dan rinosinusitis kronis bila berlangsung lebih dari 3 bulan
(Mangunkusumo dan Rifki, 2003).
Rinosinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada yaitu
maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis. Bila mengenai beberapa sinus
disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis (Paraswati, 2007).
Sinus Maksilaris
Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore, yang telah ada saat lahir. Saat
lahir sinus bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Merupakan sinus
terbesar dan terletak di maksila pada pipi yang berbentuk segitiga. Dinding
anterior sinus adalah permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa kanina,
dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding
medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar
orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium
1
sinus maksilaris berada disebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke
hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
Sinus maksilaris ini sering terinfeksi oleh karena merupakan sinus
paranasalis yang terbesar, letak ostiumnya yang lebih tinggi dari dasar sehingga
aliran sekret dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, dasar dari
anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu P1
dan P2 dan M1, M2 dan M3, kadang-kadang juga gigi caninus, bahkan akar-akar
gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke
atas menyebabkan sinusitis dan karena ostium sinus maksila terletak di meatus
medius, disekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat
(Mangunkusumo dan Rifki, 2003).
Sinus Etmoidalis
Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak
diantara konka media dan dinding medial orbita. Sama halnya dengan sinus
maksilaris, bahwa sinus etmoidalis ini telah ada saat lahir. Ukurannya dari anterior
ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5
ml cm dibagian posterior. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi
sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior
yang bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media.
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
2
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila.
Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis
frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan dinding anterior sinus sfenoid (Soetjipto dan
Mangunkusumo, 2003).
Berhubungan dengan orbita, sinus etmoid dilapisi dinding tipis yakni lamina
papirasea. Sehingga jika melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya
pecah maka darah akan masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma
(Ballenger, 1994).
Sinus Frontalis
Sinus frontalis terdiri dari 2 sinus yang terdapat di setiap sisi pada daerah dahi, di
os frontal. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebar 2,4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada pada
usia 8 tahun dan mencapai ukuran maksimal pada usia 20 tahun.
Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang
biasanya berada dekat garis tengah, tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya
ke posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus
frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-
3
kadang kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk
salah satu sinus (Hilger, 1997).
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita yang disebut
dengan tulang compacta dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus
frontal mudah menjalar ke daerah ini (Ballenger, 1994).
Sinus Sfenoidalis
Sinus sfenoidalis terletak di dalam os sfenoidalis dibelakang sinus etmoid
posterior. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7
cm. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Pneumatisasi sinus spenoidalis
dimulai pada usia 8-10 tahun. Biasanya berbentuk tidak teratur dan sering terletak
di garis tengah. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersfenoid. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus dibagian lateral
os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak
sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.
Batas-batasnya adalah sebelah anterior dibentuk oleh resesus sfenoetmoidalis
di medial dan oleh sel-sel etmoid posterior di lateral. Dinding posterior dibentuk
oleh os sfenoidale. Sebelah lateral berkontak dengan sinus kavernosus, arteri
karotis interna, nervus optikus dan foramen optikus. Penyakit-penyakit pada sinus
sfenoidalis dapat mengganggu struktur-struktur penting ini, dan pasien dapat
mengalami gejala-gejala oftalmologi akibat penyakit sinus primer. Dinding
medial dibentuk oleh septum sinus tulang intersfenoid yang memisahkan sinus
kiri dari yang kanan. Superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa
dan sebelah inferiornya atap nasofaring (Hilger, 1997).
4
Gambar 1. Anatomi hidung dan sinus (Hilger, 1997)
Gambar 2. Lokasi sinus dari depan, samping dan belakang (Hazenfield, 2009)
5
1. Sinus frontal
2. Sinus etmoid anterior
3. Aliran dari sinus frontal
4. Aliran dari ethmoid
5. Sinus etmoid posterior
6. Konka media
7. Sinus sphenoid
8. Konka Inferior
9. Hard palate
Gambar 3. Dinding lateral hidung (Hazenfield, 2009)
Etiologi Rinosinusitis Kronis
Etiologi dan faktor predisposisi rinosinusitis kronis cukup beragam. Pada era pra-
antibiotik, rinosinusitis hiperplastik kronis timbul akibat rinosinusitis yang
berulang dengan penyembuhan yang tidak lengkap. Berbagai faktor fisik, kimia,
saraf, hormonal dan emosional mempengaruhi mukosa hidung. Secara umum,
rinosinusitis kronis lebih lazim pada iklim yang dingin dan basah. Defisiensi gizi,
kelemahan tubuh yang tidak bugar, dan penyakit umum sistemik perlu
dipertimbangkan dalam etiologi rinosinusitis kronis. Perubahan dalam faktor-
faktor lingkungan, misalnya dingin, panas, kelembapan, dan kekeringan, demikian
pula polutan atmosfer termasuk asap tembakau, dapat merupakan faktor
predisposisi.
6
Dalam daftar predisposisi umum ini harus ditambahkan paparan terhadap
infeksi sebelumnya, misalnya common cold, asma ataupun penyakit alergi seperti
rinitis alergika.
Faktor-faktor lokal tertentu juga dapat menjadi predisposisi penyakit
rinosinusitis kronis, berupa deformitas rangka, alergi, gangguan geligi, benda
asing dan neoplasma.
Etiologi rinosinusitis kronis dapat berupa virus, bakteri dan jamur dimana
virus adalah penyebab utama infeksi saluran napas atas seperti, rinosinusitis,
faringitis, dan sinusitis akut. Virus rinosinusitis biasanya menyerang hidung,
nasofaring dan juga meluas ke sinus, yang termasuk didalamnya adalah rinovirus,
influenza virus dan parainfluenza virus.
Rinosinusitis kronis dapat disebabkan oleh bakteri yang sama seperti yang
menyebabkan rinosinusitis akut. Namun, karena rinosinusitis kronik biasanya
berkaitan dengan drenase yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang
terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik. Bakteri
penyebab rinosinusitis kronis banyak macamnya, baik anaerob maupun yang
aerob, namun yang merupakan proporsi terbesar adalah bakteri anaerob (Munir
dan Kurnia, 2007). Bakteri aerob yang sering ditemukan antara lain
staphylococcus aureus, streptococcus viridians, haemuphilus influenza, neisseria
flavus, staphylococcus epidermidis, streptococcus pneumonia, dan escherichia
coli. Sedangkan bakteri anaerob antara lain peptostreptococcus,
corynebacterium, bacteroides, dan veillonella. Infeksi campuran antara organisme
aerob dan anaerob sering kali juga terjadi (Hilger, 1997).
7
Patofisiologi Rinosinusitis Kronis
Hidung sebagai salah satu organ syok yang menonjol pada penyakit alergi, rinitis
kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan alergi, komplikasi pada
obstruksi anatomis karena edema dan akhirnya efek lanjut gangguan alergenik
kronik, seperti hipertropi mukosa, dan poliposis (Hilger, 1997).
Sinus-sinus terbentuk oleh evaginasi membran mukosa hidung, dan pelapis
sinus merupakan epitelium pernapasan. Patofisiologi dasar penyakit rinosinusitis
kronis ini suatu gangguan mukosa di dan sekitar ostium di regio meatus medius
akibat reaksi radang pada hidung yang berkelanjutan. Setiap infeksi traktus
respiratorius atas biasanya mengenai mukosa sinus, karena epitel sinus merupakan
epitelium kuboid bertingkat bersilia yang mirip dengan epitelium kolumner
bertingkat bersilia pada hidung, sehingga hal-hal yang terjadi di hidung biasanya
terjadi pula di sinus-sinus, karena hidung akan mengeluarkan ingus yang dapat
menghasilkan superinfeksi bakterial, yang kemudian bakteri tersebut dapat masuk
melalui ostium menuju ke dalam rongga-rongga sinus dan berkembangbiak
didalamnya (Samsudin, 1991).
Rinosinusitis terjadi bila edema di mukosa kompleks ostiomeatal yang
letaknya berhadapan akan saling bertemu, dimana sekretnya ini menebal, dan bila
ditunggangi kontaminasi bakteri, mukosanya akan mengandung purulen. Virus
juga memproduksi enzim neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan
mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia, hal ini menyebabkan silianya
menjadi kurang aktif, dan sekret yang dihasilkan mukosa sinus menjadi kental,
sehingga tidak dapat dialirkan. Maka akan terjadi gangguan drenase dan ventilasi
8
di dalam sinus. Bila sumbatan ini berlangsung berulang atau terus-meneruslah
yang akan menyebabkan rinosinusitis kronis, dimana akan terjadi hipoksia dan
retensi lendir, sehingga timbul infeksi oleh bakteri aerob maupun anaerob.
Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).
Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis. Polipoid
berasal dari edema mukosa dinding lateral cavum nasi, dimana stroma akan terisi
oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila
proses terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar dan
kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga
terjadilah polip.
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari tempat yang sempit di bagian atas
hidung, di bagian lateral konka media dan sekitar muara sinus maksila dan sinus
etmoid. Di tempat-tempat ini mukosa hidung saling berdekatan (Pawankar, 2000
dan Stammberger 1997). Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop,
mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Dari penelitian Stammberger
didapati 80% polip nasi berasal dari celah antara prosesus unsinatus, konka media
dan infundibulum. Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di
nasofaring, disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus
maksila dan disebut juga polip antro-koana. Menurut Stammberger polip
antrokoana biasanya berasal dari kista yang terdapat pada dinding sinus maksila.
Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid posterior atau
resesus sfenoetmoid (Jareoncharsri dan Stammberger, 1997).
9
Polusi,Zat kimia
Sumbatan Alergi,
Mekanis defisiensi
imun
Sepsis residual
Pengobatan yang tidak memadai
Gambar 4. Siklus dari peristiwa yang berulang pada rinosinusitis kronis (Hilger, 1997)
Gambar 5. Purulen pada infeksi sinus maksilaris (Cody, 1991)
10
Drenase yg tidak
memadai
Hilangnya silia
Perubahan mukosa
Infeksi
Gambar 6. Kista atau polip pada sinus maksilaris sinistra (Hazenfield, 2009)
Gambar 7. Polip hidung tampak pada rinoskopi anterior (Nizar dan Mangunkusumo, 2003)
11
Gambar 8. Polip hidung dengan tangkainya (Nizar dan Mangunkusumo, 2003)
Gambar 9. Nasal polip (Hazenfield, 2009)
12
Gambar 10. Polipektomi hidung. Suatu pengait digunakan untuk menjerat dan menarik polip (Hilger, 1997)
Gejala Klinis Rinosinusitis Kronis
Diagnosis rinosinusitis kronis ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1
kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor (Kennedy, 1995). Yang merupakan
kriteria mayor dari rinosinusitis kronis antara lain berupa:
a. Nyeri atau sakit pada bagian wajah.
b. Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret di hidung dan sekret pasca nasal
(post nasal drip).
c. Gejala faring, yaitu rasa sakit tidak nyaman dan gatal di tenggorok.
d. Terdapat purulen pada pemeriksaan. Pada rhinoskopi anterior ditemukan
sekret kental purulen dari meatus medius atau meatus superior, sedangkan
pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke
tenggorok.
13
e. Hyposmia atau anosmia.
f. Gejala mata, oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
g. Gejala di saluran cerna, oleh karena mukopus yang tertelan dapat
menyebabkan gastroenteritis, sering terjadi pada anak.
Sedangkan kriteria minornya dapat berupa:
a. Nyeri atau sakit kepala.
b. Demam.
c. Halitosis.
d. Kelelahan (fatigue).
e. Sakit gigi (dental pain).
f. Gejala saluran nafas berupa batuk yang kadang-kadang dapat menyebabkan
komplikasi di paru berupa bronkitis atau bronkiektasis atau asma bronkial,
sehingga terjadi penyakit sinobronkial.
g. Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya tuba
eustachius (Ryan, 2005).
Nyeri kepala pada rinosinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan
akan berkurang atau atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui
dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus
dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena (Mangunkusumo dan
Rifki, 2003).
14
Diagnosis Rinosinusitis Kronis
Kriteria rinosinusitis akut dan kronis pada penderita dewasa dan anak
berdasarkan gambaran klinik, yaitu:
No Kriteria Rinosinusitis akut Rinosinusitis Kronis
Dewasa Anak Dewasa Anak
1 Lama gejala dan tanda< 12
minggu< 12
minggu> 12
minggu> 12
minggu
2 Jumlah episode serangan akut, masing-masing berlangsung minimal 10 hari
< 4 kali / tahun
< 6 kali /
tahun
> 4 kali /
tahun
> 6 kali /
tahun
3 Jumlah episode serangan akut, masing-masing berlangsung minimal 10 hari
Dapat sembuh sempurna dengan pengobatan medikamentosa
Tidak dapat sembuh sempurna dengan pengobatan medikamentosa
Tabel 1. Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004 (Kennedy, 1995)
Dari gambaran klinik ini, barulah kita dapat menentukan langkah diagnosis
dari rinosinusitis kronis, yang dibuat berdasarkan anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan fisik untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasalis yang
dilakukan dengan inspeksi dari luar, palpasi, perkusi, rinoskopi anterior, rinoskopi
posterior dan transilumetri. Transiluminasi hanya dapat dipakai untuk memeriksa
sinus maksilaris dan sinus frontalis, bila fasilitas radiologis tidak tersedia.
Pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan radiologi, posisi rutin yang
dipakai adalah posisi Waters, PA dan Lateral. Pungsi sinus maksila, sinoskopi
sinus maksila dengan menggunakan endoskop, pemeriksaan histopatologik dari
15
jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinoskopi, pemeriksaan meatus
medius dan meatus superior dengan menggunakan nasoendoskopi dan
pemeriksaan CT-Scan (Mangunkusumo dan Rifki). Pemeriksaan CT–Scan,
merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada
sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak penebalan
mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu
atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik pada kasus-
kasus kronik yang tidak membaik dengan terapi, rinosinusitis dengan komplikasi,
evaluasi preoperatif, dan jika ada dugaan keganasan. Magnetic Resonance
Imaging (MRI) lebih baik daripada tomografi komputer dalam resolusi jaringan
lunak dan sangat baik untuk membedakan rhinosinusitis karena jamur, neoplasma,
dan perluasan intrakanialnya, namun resolusi tulang tidak tergambar baik dan
harganya mahal (FKUI-Kapita Selekta Kedokteran, 2003).
Komplikasi Rinosinusitis Kronis
Komplikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotika. Komplikasi biasanya terjadi pada rinosinusitis kronis dengan
eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat terjadi ialah osteomielitis dan abses
subperiostal, kelainan orbita, kelainan intrakranial dan kelainan paru.
Osteomielitis dan abses subperiostal penyebab terseringnya pada tulang
frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat.
Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil dan biasanya ditemukan
pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral.
16
Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata (orbita). Karena pada hakekatnya mata merupakan struktur yang dikelilingi
pada 3 sisi oleh sinus-sinus, frontalis di atas, etmoidalis di medial dan maksilaris
di bawah, maka keadaan yang melibatkan sinus-sinus ini dapat meluas untuk
melibatkan isi orbita. Yang paling sering adalah sinusitis frontal dan maksila.
Penyebaran infeksi terjadi melalui duktus nasolakrimalis, tromboflebitis dan
perkontinuitatum. Selain itu juga, semua sinus mempunyai hubungan sirkulasi di
mata melalui pembuluh pterigodea, serta cabang-cabang arteri yang mempunyai
nama yang sama pada setiap sinusnya yang berjalan berdampingan dengan vena
yang menghubungkannya dengan mata. Seperti cabang sfenopalatina dari arteri
maksilaris interna menyuplai konka, meatus dan septum. Cabang etmoidalis
anterior dan posterior dari arteri oftalmika menyuplai sinus frontalis dan
etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus maksilaris diperdarahi oleh suatu
cabang arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis serta alveolaris dari arteri
maksilaris interna, dan cabang faringealis dari arteri maksilaris interna disebarkan
ke dalam sinus sfenoidalis. Vena-vena membentuk suatu pleksus kavernosus yang
rapat di bawah membrana mukosa. Pleksus ini terlihat nyata di atas konka media
dan inferior, serta bagian bawah septum di mana ia membentuk jaringan erektil.
Drenase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior dan sfenopalatina,
seperti pada vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Untuk persarafannya yang
terlibat langsug adalah termasuk juga divisi oftalmikus, misalnya bagian depan
dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis
17
anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasolabialis, yang berasal dari
nervous oftalmikus. Pada sfenoid dapat pula timbul gejala pada mata, tetapi hanya
karena hubungannya dengan sinus kavernosus tempat lewatnya saraf otak ketiga
(okulomotorius), keempat (troklearis), kelima (trigeminus) dan keenam
(abdusens) (Hilger, 1997). Kelainan yang dapat timbul, antara lain:
a. Selulitis orbita: edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi
isi orbita namun pus belum terbentuk.
b. Abses subperiosteal: pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang
orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
c. Abses orbita: pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang
tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita juga
proptosis yang makin bertambah.
d. Trombosis sinus kavernosus: merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik, dan yang selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus
kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.
Kelainan intrakranial yang dimaksud dapat berupa:
a. Meningitis akut: salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah
meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang
saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding
18
posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel
udara etmoidalis.
b. Abses dura: adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,
sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga
pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intra kranial.
c. Abses subdural: adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
d. Abses otak: setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka
dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
Sedangkan untuk kelainan paru berupa bronkitis kronik dan bronkiektasis,
selain itu dapat pula timbul asma bronkial (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).
Terapi Rinosinusitis Kronis
Penanganan rinosinusitis kronis dapat dilakukan dengan cara konservatif dan
operatif dengan tujuan untuk membebaskan obstruksi, mengurangi viskositas
sekret, dan mengeradikasi kuman. Jika telah ditemukan faktor predisposisinya,
maka dapat dilakukan tata laksana yang sesuai yaitu dengan penanganan
konservatif, dengan pemberian antibiotika yang sesuai untuk mengatasi infeksinya
serta obat-obatan simptomatis lainnya seperti analgetik berupa aspirin atau
preparat codein, dan kompres hangat pada wajah juga dapat membantu untuk
menghilangkan rasa sakit tersebut. Dekongestan, misalnya pseudoefedrin, dan
tetes hidung poten seperti fenilefrin dan oksimetazolin cukup bermanfaat untuk
19
mengurangi udem sehingga dapat terjadi drainase sinus. Terapi pendukung
lainnya seperti mukolitik, antipiretik dan antihistamin (Piccirillo, 2004).
Adapun antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis, diantaranya
dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Agen Antibiotika DosisSINUSITIS AKUTLini pertamaAmoksisilin Anak: 20-40mg/kg/hari terbagi dalam 3
dosis Dewasa: 3 x 500 mg
Kotrimoxazol Anak: 6 - 12 mg TMP/ 30 – 60 mg SMX/ kg/hari terbagi dlm 2 dosisDewasa: 2 x 2 tab dewasa
Eritromisin Anak: 30-50mg/kg/hari terbagi setiap 6 jamDewasa: 4 x 250-500mg
Doksisiklin Dewasa: 2 x 100 mgLini keduaAmoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2
dosisDewasa: 2 x 875 mg
Cefuroksim 2 x 500 mgKlaritromisin Anak: 15 mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 250 mgAzitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1x250 mg selama
4 hari berikutnya.Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500 mgSINUSITIS KRONIKAmoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2
dosisDewasa: 2 x 875 mg
Azitromisin Anak: 10 mg/kg pada hari 1 diikuti 5mg/kg selama 4 hari berikutnyaDewasa: 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250mg selama 4 hari
Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500mg
Tabel 2. Antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis (Piccirillo, 2004)
20
Selain itu, dapat juga dibantu dengan diatermi gelombang pendek (Ultra
Short Wave Diathermy) selama 10 hari di daerah sinus yang sakit. Tindakan ini
membantu memperbaiki drenase dan pembersihan sekret dari sinus yang sakit.
Untuk sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedangkan untuk
sinusitis etmoid, frontal atau sfenoid dilakukan pencucian Proetz. Irigasi dan
pencucian sinus dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 – 6 kali tidak ada
perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekret purulen, berarti mukosa sinus
sudah tidak dapat kembali normal (perubahan irreversible), maka dapat dilakukan
operasi radikal untuk menghindari komplikasi lanjutan. Untuk mengetahui
perubahan mukosa masih reversible atau tidak, dapat juga dilakukan dengan
pemeriksaan sinoskopi untuk melihat antrum (sinus maksila) secara langsung
dengan menggunakan endoskop (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).
Bila penanganan konservatif gagal, maka dilakukan terapi operatif yaitu
dengan cara mengangkat mukosa sinus yang patologik dan membuat drenase dari
sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc,
sedangkan untuk sinus etmoid dilakukan etmoidektomi yang biasa dilakukan dari
dalam hidung (intranasal) atau dari luar (ekstranasal) (Mangunkusumo dan Rifki,
2003).
Namun, akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan
menggunakan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang sehingga saat
operasi kta dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi pada
rongga-rongga sinus. Jaringan patologik dapat diangkat tanpa melukai jaringan
normal dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar, inilah yang disebut dengan
21
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya adalah membuka dan
membersihkan daerah kompleks ostio-meatal yang menjadi sumber penyumbatan
dan infeksi, sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui
osteum alami. Dengan demikian sinus akan kembali normal (Mangunkusumo dan
Rifki, 2003).
22