tugas sinusitis

32
RINOSINUSITIS Definisi Rinosinusitis Kronis Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Secara klinis, rinosinusitis dapat dikategorikan sebagai rinosinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan rinosinusitis kronis bila berlangsung lebih dari 3 bulan (Mangunkusumo dan Rifki, 2003). Rinosinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada yaitu maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis (Paraswati, 2007). Sinus Maksilaris 1

description

tugas sinusitis

Transcript of tugas sinusitis

Page 1: tugas sinusitis

RINOSINUSITIS

Definisi Rinosinusitis Kronis

Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau

infeksi virus, bakteri maupun jamur. Secara klinis, rinosinusitis dapat

dikategorikan sebagai rinosinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa

hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu

sampai 3 bulan dan rinosinusitis kronis bila berlangsung lebih dari 3 bulan

(Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

Rinosinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada yaitu

maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis. Bila mengenai beberapa sinus

disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut

pansinusitis (Paraswati, 2007).

Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore, yang telah ada saat lahir. Saat

lahir sinus bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan

akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Merupakan sinus

terbesar dan terletak di maksila pada pipi yang berbentuk segitiga. Dinding

anterior sinus adalah permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa kanina,

dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding

medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar

orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium

1

Page 2: tugas sinusitis

sinus maksilaris berada disebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke

hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.

Sinus maksilaris ini sering terinfeksi oleh karena merupakan sinus

paranasalis yang terbesar, letak ostiumnya yang lebih tinggi dari dasar sehingga

aliran sekret dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, dasar dari

anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu P1

dan P2 dan M1, M2 dan M3, kadang-kadang juga gigi caninus, bahkan akar-akar

gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke

atas menyebabkan sinusitis dan karena ostium sinus maksila terletak di meatus

medius, disekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat

(Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

Sinus Etmoidalis

Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang

tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak

diantara konka media dan dinding medial orbita. Sama halnya dengan sinus

maksilaris, bahwa sinus etmoidalis ini telah ada saat lahir. Ukurannya dari anterior

ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5

ml cm dibagian posterior. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi

sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior

yang bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media.

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut

resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar

2

Page 3: tugas sinusitis

disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang

disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila.

Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis

frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina

kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan

membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid

posterior berbatasan dengan dinding anterior sinus sfenoid (Soetjipto dan

Mangunkusumo, 2003).

Berhubungan dengan orbita, sinus etmoid dilapisi dinding tipis yakni lamina

papirasea. Sehingga jika melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya

pecah maka darah akan masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma

(Ballenger, 1994).

Sinus Frontalis

Sinus frontalis terdiri dari 2 sinus yang terdapat di setiap sisi pada daerah dahi, di

os frontal. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebar 2,4 cm dan

dalamnya 2 cm. Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada pada

usia 8 tahun dan mencapai ukuran maksimal pada usia 20 tahun.

Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang

biasanya berada dekat garis tengah, tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya

ke posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus

frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-

3

Page 4: tugas sinusitis

kadang kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk

salah satu sinus (Hilger, 1997).

Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita yang disebut

dengan tulang compacta dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus

frontal mudah menjalar ke daerah ini (Ballenger, 1994).

Sinus Sfenoidalis

Sinus sfenoidalis terletak di dalam os sfenoidalis dibelakang sinus etmoid

posterior. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7

cm. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Pneumatisasi sinus spenoidalis

dimulai pada usia 8-10 tahun. Biasanya berbentuk tidak teratur dan sering terletak

di garis tengah. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum

intersfenoid. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus dibagian lateral

os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak

sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.

Batas-batasnya adalah sebelah anterior dibentuk oleh resesus sfenoetmoidalis

di medial dan oleh sel-sel etmoid posterior di lateral. Dinding posterior dibentuk

oleh os sfenoidale. Sebelah lateral berkontak dengan sinus kavernosus, arteri

karotis interna, nervus optikus dan foramen optikus. Penyakit-penyakit pada sinus

sfenoidalis dapat mengganggu struktur-struktur penting ini, dan pasien dapat

mengalami gejala-gejala oftalmologi akibat penyakit sinus primer. Dinding

medial dibentuk oleh septum sinus tulang intersfenoid yang memisahkan sinus

kiri dari yang kanan. Superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa

dan sebelah inferiornya atap nasofaring (Hilger, 1997).

4

Page 5: tugas sinusitis

Gambar 1. Anatomi hidung dan sinus (Hilger, 1997)

Gambar 2. Lokasi sinus dari depan, samping dan belakang (Hazenfield, 2009)

5

Page 6: tugas sinusitis

1. Sinus frontal

2. Sinus etmoid anterior

3. Aliran dari sinus frontal

4. Aliran dari ethmoid

5. Sinus etmoid posterior

6. Konka media

7. Sinus sphenoid

8. Konka Inferior

9. Hard palate

Gambar 3.  Dinding lateral hidung (Hazenfield, 2009)

Etiologi Rinosinusitis Kronis

Etiologi dan faktor predisposisi rinosinusitis kronis cukup beragam. Pada era pra-

antibiotik, rinosinusitis hiperplastik kronis timbul akibat rinosinusitis yang

berulang dengan penyembuhan yang tidak lengkap. Berbagai faktor fisik, kimia,

saraf, hormonal dan emosional mempengaruhi mukosa hidung. Secara umum,

rinosinusitis kronis lebih lazim pada iklim yang dingin dan basah. Defisiensi gizi,

kelemahan tubuh yang tidak bugar, dan penyakit umum sistemik perlu

dipertimbangkan dalam etiologi rinosinusitis kronis. Perubahan dalam faktor-

faktor lingkungan, misalnya dingin, panas, kelembapan, dan kekeringan, demikian

pula polutan atmosfer termasuk asap tembakau, dapat merupakan faktor

predisposisi.

6

Page 7: tugas sinusitis

Dalam daftar predisposisi umum ini harus ditambahkan paparan terhadap

infeksi sebelumnya, misalnya common cold, asma ataupun penyakit alergi seperti

rinitis alergika.

Faktor-faktor lokal tertentu juga dapat menjadi predisposisi penyakit

rinosinusitis kronis, berupa deformitas rangka, alergi, gangguan geligi, benda

asing dan neoplasma.

Etiologi rinosinusitis kronis dapat berupa virus, bakteri dan jamur dimana

virus adalah penyebab utama infeksi saluran napas atas seperti, rinosinusitis,

faringitis, dan sinusitis akut. Virus rinosinusitis biasanya menyerang hidung,

nasofaring dan juga meluas ke sinus, yang termasuk didalamnya adalah rinovirus,

influenza virus dan parainfluenza virus.

Rinosinusitis kronis dapat disebabkan oleh bakteri yang sama seperti yang

menyebabkan rinosinusitis akut. Namun, karena rinosinusitis kronik biasanya

berkaitan dengan drenase yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang

terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik. Bakteri

penyebab rinosinusitis kronis banyak macamnya, baik anaerob maupun yang

aerob, namun yang merupakan proporsi terbesar adalah bakteri anaerob (Munir

dan Kurnia, 2007). Bakteri aerob yang sering ditemukan antara lain

staphylococcus aureus, streptococcus viridians, haemuphilus influenza, neisseria

flavus, staphylococcus epidermidis, streptococcus pneumonia, dan escherichia

coli. Sedangkan bakteri anaerob antara lain peptostreptococcus,

corynebacterium, bacteroides, dan veillonella. Infeksi campuran antara organisme

aerob dan anaerob sering kali juga terjadi (Hilger, 1997).

7

Page 8: tugas sinusitis

Patofisiologi Rinosinusitis Kronis

Hidung sebagai salah satu organ syok yang menonjol pada penyakit alergi, rinitis

kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan alergi, komplikasi pada

obstruksi anatomis karena edema dan akhirnya efek lanjut gangguan alergenik

kronik, seperti hipertropi mukosa, dan poliposis (Hilger, 1997).

Sinus-sinus terbentuk oleh evaginasi membran mukosa hidung, dan pelapis

sinus merupakan epitelium pernapasan. Patofisiologi dasar penyakit rinosinusitis

kronis ini suatu gangguan mukosa di dan sekitar ostium di regio meatus medius

akibat reaksi radang pada hidung yang berkelanjutan. Setiap infeksi traktus

respiratorius atas biasanya mengenai mukosa sinus, karena epitel sinus merupakan

epitelium kuboid bertingkat bersilia yang mirip dengan epitelium kolumner

bertingkat bersilia pada hidung, sehingga hal-hal yang terjadi di hidung biasanya

terjadi pula di sinus-sinus, karena hidung akan mengeluarkan ingus yang dapat

menghasilkan superinfeksi bakterial, yang kemudian bakteri tersebut dapat masuk

melalui ostium menuju ke dalam rongga-rongga sinus dan berkembangbiak

didalamnya (Samsudin, 1991).

Rinosinusitis terjadi bila edema di mukosa kompleks ostiomeatal yang

letaknya berhadapan akan saling bertemu, dimana sekretnya ini menebal, dan bila

ditunggangi kontaminasi bakteri, mukosanya akan mengandung purulen. Virus

juga memproduksi enzim neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan

mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia, hal ini menyebabkan silianya

menjadi kurang aktif, dan sekret yang dihasilkan mukosa sinus menjadi kental,

sehingga tidak dapat dialirkan. Maka akan terjadi gangguan drenase dan ventilasi

8

Page 9: tugas sinusitis

di dalam sinus. Bila sumbatan ini berlangsung berulang atau terus-meneruslah

yang akan menyebabkan rinosinusitis kronis, dimana akan terjadi hipoksia dan

retensi lendir, sehingga timbul infeksi oleh bakteri aerob maupun anaerob.

Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau

pembentukan polip dan kista (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

Polip nasi dapat menjadi manifestasi klinik dari penyakit sinusitis. Polipoid

berasal dari edema mukosa dinding lateral cavum nasi, dimana stroma akan terisi

oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila

proses terus berlanjut, dimana mukosa yang sembab makin membesar dan

kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga

terjadilah polip.

Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari tempat yang sempit di bagian atas

hidung, di bagian lateral konka media dan sekitar muara sinus maksila dan sinus

etmoid. Di tempat-tempat ini mukosa hidung saling berdekatan (Pawankar, 2000

dan Stammberger 1997). Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop,

mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Dari penelitian Stammberger

didapati 80% polip nasi berasal dari celah antara prosesus unsinatus,  konka media

dan infundibulum. Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di

nasofaring, disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus

maksila dan disebut juga polip antro-koana. Menurut Stammberger polip

antrokoana biasanya berasal dari kista yang terdapat pada dinding sinus maksila.

Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid posterior atau

resesus sfenoetmoid (Jareoncharsri dan Stammberger, 1997). 

9

Page 10: tugas sinusitis

Polusi,Zat kimia

Sumbatan Alergi,

Mekanis defisiensi

imun

Sepsis residual

Pengobatan yang tidak memadai

Gambar 4. Siklus dari peristiwa yang berulang pada rinosinusitis kronis (Hilger, 1997)

Gambar 5. Purulen pada infeksi sinus maksilaris (Cody, 1991)

10

Drenase yg tidak

memadai

Hilangnya silia

Perubahan mukosa

Infeksi

Page 11: tugas sinusitis

Gambar 6. Kista atau polip pada sinus maksilaris sinistra (Hazenfield, 2009)

Gambar 7. Polip hidung tampak pada rinoskopi anterior (Nizar dan Mangunkusumo, 2003)

11

Page 12: tugas sinusitis

Gambar 8. Polip hidung dengan tangkainya (Nizar dan Mangunkusumo, 2003)

Gambar 9. Nasal polip (Hazenfield, 2009)

12

Page 13: tugas sinusitis

Gambar 10. Polipektomi hidung. Suatu pengait digunakan untuk menjerat dan menarik polip (Hilger, 1997)

Gejala Klinis Rinosinusitis Kronis

Diagnosis rinosinusitis kronis ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1

kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor (Kennedy, 1995). Yang merupakan

kriteria mayor dari rinosinusitis kronis antara lain berupa:

a. Nyeri atau sakit pada bagian wajah.

b. Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret di hidung dan sekret pasca nasal

(post nasal drip).

c. Gejala faring, yaitu rasa sakit tidak nyaman dan gatal di tenggorok.

d. Terdapat purulen pada pemeriksaan. Pada rhinoskopi anterior ditemukan

sekret kental purulen dari meatus medius atau meatus superior, sedangkan

pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke

tenggorok.

13

Page 14: tugas sinusitis

e. Hyposmia atau anosmia.

f. Gejala mata, oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.

g. Gejala di saluran cerna, oleh karena mukopus yang tertelan dapat

menyebabkan gastroenteritis, sering terjadi pada anak.

Sedangkan kriteria minornya dapat berupa:

a. Nyeri atau sakit kepala.

b. Demam.

c. Halitosis.

d. Kelelahan (fatigue).

e. Sakit gigi (dental pain).

f. Gejala saluran nafas berupa batuk yang kadang-kadang dapat menyebabkan

komplikasi di paru berupa bronkitis atau bronkiektasis atau asma bronkial,

sehingga terjadi penyakit sinobronkial.

g. Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya tuba

eustachius (Ryan, 2005).

Nyeri kepala pada rinosinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan

akan berkurang atau atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui

dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus

dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena (Mangunkusumo dan

Rifki, 2003).

14

Page 15: tugas sinusitis

Diagnosis Rinosinusitis Kronis

Kriteria rinosinusitis akut dan kronis pada penderita dewasa dan anak

berdasarkan gambaran klinik, yaitu:

No Kriteria Rinosinusitis akut Rinosinusitis Kronis

Dewasa Anak Dewasa Anak

1 Lama gejala dan tanda< 12

minggu< 12

minggu> 12

minggu> 12

minggu

2 Jumlah episode serangan akut, masing-masing berlangsung minimal 10 hari

< 4 kali / tahun

< 6 kali /

tahun

> 4 kali /

tahun

> 6 kali /

tahun

3 Jumlah episode serangan akut, masing-masing berlangsung minimal 10 hari

Dapat sembuh sempurna dengan pengobatan medikamentosa

Tidak dapat sembuh sempurna dengan pengobatan medikamentosa

Tabel 1. Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004 (Kennedy, 1995)

Dari gambaran klinik ini, barulah kita dapat menentukan langkah diagnosis

dari rinosinusitis kronis, yang dibuat berdasarkan anamnesis yang cermat dan

pemeriksaan fisik untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasalis yang

dilakukan dengan inspeksi dari luar, palpasi, perkusi, rinoskopi anterior, rinoskopi

posterior dan transilumetri. Transiluminasi hanya dapat dipakai untuk memeriksa

sinus maksilaris dan sinus frontalis, bila fasilitas radiologis tidak tersedia.

Pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan radiologi, posisi rutin yang

dipakai adalah posisi Waters, PA dan Lateral. Pungsi sinus maksila, sinoskopi

sinus maksila dengan menggunakan endoskop, pemeriksaan histopatologik dari

15

Page 16: tugas sinusitis

jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinoskopi, pemeriksaan meatus

medius dan meatus superior dengan menggunakan nasoendoskopi dan

pemeriksaan CT-Scan (Mangunkusumo dan Rifki). Pemeriksaan CT–Scan,

merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada

sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak penebalan

mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu

atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik pada kasus-

kasus kronik yang tidak membaik dengan terapi, rinosinusitis dengan komplikasi,

evaluasi preoperatif, dan jika ada dugaan keganasan. Magnetic Resonance

Imaging (MRI) lebih baik daripada tomografi komputer dalam resolusi jaringan

lunak dan sangat baik untuk membedakan rhinosinusitis karena jamur, neoplasma,

dan perluasan intrakanialnya, namun resolusi tulang tidak tergambar baik dan

harganya mahal (FKUI-Kapita Selekta Kedokteran, 2003).

Komplikasi Rinosinusitis Kronis

Komplikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya

antibiotika. Komplikasi biasanya terjadi pada rinosinusitis kronis dengan

eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat terjadi ialah osteomielitis dan abses

subperiostal, kelainan orbita, kelainan intrakranial dan kelainan paru.

Osteomielitis dan abses subperiostal penyebab terseringnya pada tulang

frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat.

Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil dan biasanya ditemukan

pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral.

16

Page 17: tugas sinusitis

Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan

mata (orbita). Karena pada hakekatnya mata merupakan struktur yang dikelilingi

pada 3 sisi oleh sinus-sinus, frontalis di atas, etmoidalis di medial dan maksilaris

di bawah, maka keadaan yang melibatkan sinus-sinus ini dapat meluas untuk

melibatkan isi orbita. Yang paling sering adalah sinusitis frontal dan maksila.

Penyebaran infeksi terjadi melalui duktus nasolakrimalis, tromboflebitis dan

perkontinuitatum. Selain itu juga, semua sinus mempunyai hubungan sirkulasi di

mata melalui pembuluh pterigodea, serta cabang-cabang arteri yang mempunyai

nama yang sama pada setiap sinusnya yang berjalan berdampingan dengan vena

yang menghubungkannya dengan mata. Seperti cabang sfenopalatina dari arteri

maksilaris interna menyuplai konka, meatus dan septum. Cabang etmoidalis

anterior dan posterior dari arteri oftalmika menyuplai sinus frontalis dan

etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus maksilaris diperdarahi oleh suatu

cabang arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis serta alveolaris dari arteri

maksilaris interna, dan cabang faringealis dari arteri maksilaris interna disebarkan

ke dalam sinus sfenoidalis. Vena-vena membentuk suatu pleksus kavernosus yang

rapat di bawah membrana mukosa. Pleksus ini terlihat nyata di atas konka media

dan inferior, serta bagian bawah septum di mana ia membentuk jaringan erektil.

Drenase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior dan sfenopalatina,

seperti pada vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena

oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Untuk persarafannya yang

terlibat langsug adalah termasuk juga divisi oftalmikus, misalnya bagian depan

dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis

17

Page 18: tugas sinusitis

anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasolabialis, yang berasal dari

nervous oftalmikus. Pada sfenoid dapat pula timbul gejala pada mata, tetapi hanya

karena hubungannya dengan sinus kavernosus tempat lewatnya saraf otak ketiga

(okulomotorius), keempat (troklearis), kelima (trigeminus) dan keenam

(abdusens) (Hilger, 1997). Kelainan yang dapat timbul, antara lain:

a. Selulitis orbita: edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi

isi orbita namun pus belum terbentuk.

b. Abses subperiosteal: pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang

orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.

c. Abses orbita: pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi

orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan

unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang

tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita juga

proptosis yang makin bertambah.

d. Trombosis sinus kavernosus: merupakan akibat penyebaran bakteri melalui

saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu

tromboflebitis septik, dan yang selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus

kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.

Kelainan intrakranial yang dimaksud dapat berupa:

a. Meningitis akut: salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah

meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang

saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding

18

Page 19: tugas sinusitis

posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel

udara etmoidalis.

b. Abses dura: adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,

sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga

pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu

menimbulkan tekanan intra kranial.

c. Abses subdural: adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau

permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.

d. Abses otak: setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka

dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.

Sedangkan untuk kelainan paru berupa bronkitis kronik dan bronkiektasis,

selain itu dapat pula timbul asma bronkial (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

Terapi Rinosinusitis Kronis

Penanganan rinosinusitis kronis dapat dilakukan dengan cara konservatif dan

operatif dengan tujuan untuk membebaskan obstruksi, mengurangi viskositas

sekret, dan mengeradikasi kuman. Jika telah ditemukan faktor predisposisinya,

maka dapat dilakukan tata laksana yang sesuai yaitu dengan penanganan

konservatif, dengan pemberian antibiotika yang sesuai untuk mengatasi infeksinya

serta obat-obatan simptomatis lainnya seperti analgetik berupa aspirin atau

preparat codein, dan kompres hangat pada wajah juga dapat membantu untuk

menghilangkan rasa sakit tersebut. Dekongestan, misalnya pseudoefedrin, dan

tetes hidung poten seperti fenilefrin dan oksimetazolin cukup bermanfaat untuk

19

Page 20: tugas sinusitis

mengurangi udem sehingga dapat terjadi drainase sinus. Terapi pendukung

lainnya seperti mukolitik, antipiretik dan antihistamin (Piccirillo, 2004).

Adapun antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis, diantaranya

dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Agen Antibiotika DosisSINUSITIS AKUTLini pertamaAmoksisilin Anak: 20-40mg/kg/hari terbagi dalam 3

dosis Dewasa: 3 x 500 mg

Kotrimoxazol Anak: 6 - 12 mg TMP/ 30 – 60 mg SMX/ kg/hari terbagi dlm 2 dosisDewasa: 2 x 2 tab dewasa

Eritromisin Anak: 30-50mg/kg/hari terbagi setiap 6 jamDewasa: 4 x 250-500mg

Doksisiklin Dewasa: 2 x 100 mgLini keduaAmoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2

dosisDewasa: 2 x 875 mg

Cefuroksim 2 x 500 mgKlaritromisin Anak: 15 mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis

Dewasa: 2 x 250 mgAzitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1x250 mg selama

4 hari berikutnya.Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500 mgSINUSITIS KRONIKAmoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2

dosisDewasa: 2 x 875 mg

Azitromisin Anak: 10 mg/kg pada hari 1 diikuti 5mg/kg selama 4 hari berikutnyaDewasa: 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250mg selama 4 hari

Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500mg

Tabel 2. Antibiotika yang dapat dipilih pada terapi rinosinusitis (Piccirillo, 2004)

20

Page 21: tugas sinusitis

Selain itu, dapat juga dibantu dengan diatermi gelombang pendek (Ultra

Short Wave Diathermy) selama 10 hari di daerah sinus yang sakit. Tindakan ini

membantu memperbaiki drenase dan pembersihan sekret dari sinus yang sakit.

Untuk sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedangkan untuk

sinusitis etmoid, frontal atau sfenoid dilakukan pencucian Proetz. Irigasi dan

pencucian sinus dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 – 6 kali tidak ada

perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekret purulen, berarti mukosa sinus

sudah tidak dapat kembali normal (perubahan irreversible), maka dapat dilakukan

operasi radikal untuk menghindari komplikasi lanjutan. Untuk mengetahui

perubahan mukosa masih reversible atau tidak, dapat juga dilakukan dengan

pemeriksaan sinoskopi untuk melihat antrum (sinus maksila) secara langsung

dengan menggunakan endoskop (Mangunkusumo dan Rifki, 2003).

Bila penanganan konservatif gagal, maka dilakukan terapi operatif yaitu

dengan cara mengangkat mukosa sinus yang patologik dan membuat drenase dari

sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc,

sedangkan untuk sinus etmoid dilakukan etmoidektomi yang biasa dilakukan dari

dalam hidung (intranasal) atau dari luar (ekstranasal) (Mangunkusumo dan Rifki,

2003).

Namun, akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan

menggunakan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang sehingga saat

operasi kta dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi pada

rongga-rongga sinus. Jaringan patologik dapat diangkat tanpa melukai jaringan

normal dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar, inilah yang disebut dengan

21

Page 22: tugas sinusitis

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya adalah membuka dan

membersihkan daerah kompleks ostio-meatal yang menjadi sumber penyumbatan

dan infeksi, sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui

osteum alami. Dengan demikian sinus akan kembali normal (Mangunkusumo dan

Rifki, 2003).

22