rhinitis alergika

51
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Gangguan alergi yang melibatkan hidung ternyata lebih sering dari pada perkiraan dokter maupun orang awam, yaitu mempengaruhi 10% sampai lebih dari 40% seluruh penduduk dunia. Hidung, sebagai salah satu organ yang menonjol pada penyakit alergi 1 . Rhinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh perempuan dan laki-laki yang berusia 20 tahunan. Merupakan inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang disebabkan alergi terhadap partikel, seperti debu, asap, serbuk yang ada di udara. Meskipun bukan penyakit berbahaya yang mematikan, rinitis alergi harus dianggap penyakit yang serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Tak hanya aktivitas sehari-hari yang menjadi terganggu, biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun akan semakin mahal apabila penyakit ini tidak segera diatasi karena telah menjadi kronis 2 . Rhinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya, berkurangnya produktivitas kerja dan prestasi sekolah, serta dapat mengganggu aktivitas sosial 2 . Prevalensi rhinitis alergi di Indonesia mencapai 5-22% dan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dari tingginya prevalensi rhinitis alergi di Indonesia didasari dari faktor resiko yang belum dipahami oleh Rhinitis Alergi | 1

description

case rhinitis alergika

Transcript of rhinitis alergika

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Gangguan alergi yang melibatkan hidung ternyata lebih sering dari pada perkiraan

dokter maupun orang awam, yaitu mempengaruhi 10% sampai lebih dari 40% seluruh

penduduk dunia. Hidung, sebagai salah satu organ yang menonjol pada penyakit alergi1.

Rhinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh perempuan dan laki-

laki yang berusia 20 tahunan. Merupakan inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang

disebabkan alergi terhadap partikel, seperti debu, asap, serbuk yang ada di udara. Meskipun

bukan penyakit berbahaya yang mematikan, rinitis alergi harus dianggap penyakit yang serius

karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Tak hanya aktivitas sehari-hari

yang menjadi terganggu, biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun akan semakin

mahal apabila penyakit ini tidak segera diatasi karena telah menjadi kronis2.

Rhinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus

meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya, berkurangnya

produktivitas kerja dan prestasi sekolah, serta dapat mengganggu aktivitas sosial2. Prevalensi

rhinitis alergi di Indonesia mencapai 5-22% dan cenderung mengalami peningkatan setiap

tahunnya. Dari tingginya prevalensi rhinitis alergi di Indonesia didasari dari faktor resiko

yang belum dipahami oleh penderita serta pengobatan yang tidak adekuat dan tidak

berkelanjutan. Di Indonesia alergen yang tersering menyebabkan rhinitis alergi yaitu tungau,

dan tungau debu rumah3.

Diperlukan pemahaman yang baik tentang rhinitis alergi dikarenakan cukup seringnya

angka kejadian penyakit ini. Dokter umum sebagai lini pertama harus lebih memahami

bagaimana penyakit ini terjadi dan faktor apa saja yang berperan terhadap terjadinya rhinitis

alergi, agar dapat memberikan edukasi dan terapi yang adekuat untuk pasien.

Rhinitis Alergi | 1

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. H

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 45 tahun

Alamat : Jl. Pasar Bawah, Lahat

No. RM : 118546

Tanggal Pemeriksaan : 4 Februari 2015

2.2 Anamnesis

Keluhan Utama :

Kedua lubang hidung sering tersumbat sejak 10 tahun yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Lahat dengan keluhan kedua lubang hidung

sering tersumbat sejak 10 tahun yang lalu. Diakui kedua lubang hidung tersumbat

diwaktu yang tidak menentu, baik pagi maupun malam, biasanya kedua lubang hidung

tersumbat jika cuaca dingin, ruangan berdebu. Keluhan kedua lubang hidung tersumbat

juga disertai pilek yang mengeluarkan cairan putih bening encer dan banyak namun tidak

berbau, bersin-bersin dapat mencapai 3-5 kali dan dapat berulang lebih sering. Pasien

juga sering merasakan mata berair, pipi memerah dan rasa gatal pada hidung sehingga

biasanya pasien menggaruk hidung dengan menggunakan punggung tangannya. Keluhan

pada pasien tidak mengganggu aktivitas, karena pasien masih dapat bekerja. Keluhan

tidak disertai dengan batuk, nyeri tenggorokan, nyeri kepala dan penurunan fungsi

pendengaran.

Rhinitis Alergi | 2

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat asma (+)

Riwayat hipertensi (-)

Riwayat Diabetes Melitus(-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

Keluhan yang sama timbul pada ayah diakui pasien.

Riwayat Alergi :

Riwayat alergi terhadap makanan, dan obat-obatan disangkal pasien.

Riwayat Pengobatan :

Pasien mengobati keluhan dengan minum antibiotik.

Riwayat Kebiasaan :

Pasien bekerja sebagai petugas fisioterapi di RSUD Lahat, dan untuk berangkat bekerja,

pasien menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Pasien tidak menggunakan masker

saat bekerja dan mengendarai kendaraan bermotor.

2.3 Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital

Tekanan darah : 120/80

Pernafasan : 20 x/ menit

Nadi : 84 x/menit

Suhu : Afebris

Rhinitis Alergi | 3

Status Lokalis

Telinga

Bagian KelainanAuris

Dextra Sinistra

Preaurikula Kelainan kongenital

Radang

Tumor

Trauma

Nyeri tekan

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Aurikula Kelainan kongenital

Radang

Tumor

Trauma

Nyeri tarik

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Retroaurikula Edema

Hiperemis

Nyeri tekan

Radang

Tumor

Sikatriks

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Canalis Acustikus

Externa

Kelainan kongenital

Kulit

Sekret

Serumen

Edema

Jaringan granulasi

Massa

Cholesteatoma

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Membrana Timpani Intak

Reflek cahaya

+

+

+

+

Rhinitis Alergi | 4

Fungsi Pendengaran

Aurikula Dextra Aurikula Sinistra

Batas atas dan batas bawah Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tes Weber Tidak dilakukan

Hidung

Bentuk : normal

Cavum nasi : lapang (+/+), perdarahan mengalir (-/-), blood clotting (-/-)

Mukosa : Hiperemis (+/+)

Concha : concha inferior eutrofi (+/+), hiperemis (+/+), livid pada

pangkal concha inferior (+/+)

Sinus paranasal : nyeri tekan pada: pangkal hidung (-), pipi (-), dahi (-),

pembengkakan pada daerah muka (-)

Tenggorokan :

Mukosa : Hiperemis (-/-), Granul (-/-)

Uvula : Deviasi (-/-)

Tonsil : T1 – T1, Hiperemis (-), kripta melebar (-/-), detritus (-/-)

2.4 Resume

Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Lahat dengan keluhan kedua lubang

hidung sering tersumbat sejak 10 tahun yang lalu. Diakui kedua lubang hidung tersumbat

diwaktu yang tidak menentu, baik pagi maupun malam, biasanya kedua lubang hidung

tersumbat jika cuaca dingin, ruangan berdebu. Keluhan kedua lubang hidung tersumbat

juga disertai pilek yang mengeluarkan cairan putih bening encer dan banyak namun tidak

berbau, bersin-bersin dapat mencapai 3-5 kali dan dapat berulang lebih sering. Pasien

juga sering merasakan mata berair, pipi memerah dan rasa gatal pada hidung sehingga

biasanya pasien menggaruk hidung dengan menggunakan punggung tangannya. Keluhan

pada pasien tidak mengganggu aktivitas, karena pasien masih dapat bekerja. Keluhan

Rhinitis Alergi | 5

tidak disertai dengan batuk, nyeri tenggorokan, nyeri kepala dan penurunan fungsi

pendengaran.

Pasien memiliki riwayat asma (+), keluhan yang sama seperti pasien di keluarga (+),

pasien mengobati keluhan dengan minum antibiotik, pasien memiliki kebiasaan

berkendara motor tanpa masker.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan mukosa hidung hiperemis (+/+), choncha inferior

eutrofi (+/+), hiperemis (+/+), livid pada pangkal concha inferior (+/+).

2.5 Diagnosis

Rhinitis Alergi Persisten Ringan Sedang

2.6 Diagnosis Banding

- Rhinitis Vasomotor

- Rhinitis Akut (virus, bakteri)

2.7 Penatalaksanaan

a. Non- Medikamentosa

Menghindari allergen penyebab, dengan menggunakan masker saat bekerja dan

berkendara

b. Medikamentosa

- Antihistamin ( Cetirizin 1x5mg )

- Dekongestan Oral ( Pseudoephedrine 3x60mg )

2.8 Prognosis

Quo Ad Vitam : Bonam

Quo Ad Functionam : Dubia ad bonam

ANALISA KASUS

Rhinitis Alergi | 6

Pasien di diagnosis Rhinitis Alergi Persisten Ringan Sedang berdasarkan :

Anamnesis

- Kedua lubang hidung sering tersumbat sejak 10 tahun yang lalu. Diakui hidung

tersumbat diwaktu yang tidak menentu, baik pagi maupun malam, biasanya

hidung tersumbat jika cuaca dingin, ruangan berebu.

- Hidung terasa gatal dan mengeluarkan cairan putih bening encer dan banyak

namun tidak berbau

- Bersin-bersin dapat mencapai 3-5 kali dan dapat berulang lebih sering.

- Mata berair

- Keluhan pada pasien tidak mengganggu aktivitas, karena pasien masih dapat

bekerja.

Pemeriksaan Fisik

- Mukosa hidung hiperemis(+/+)

- choncha inferior eutrofi (+/+), hiperemis (+/+), livid pada pangkal concha

inferior (+/+)

Penatalaksanaan

- Menghindari allergen

- Antihistamin

- Dekongestan

Berdasarkan teori Rhinitis Alergi

Anamnesis

- serangan bersin berulang bila terjadinya lebih dari lima kali.

- keluar ingus (rinore) putih bening encer dan banyak tidak berbau

- hidung tersumbat dan gatal

- mata gatal dan banyak air mata keluar (lakrimasi).

Rhinitis Alergi | 7

Klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its

Impact on Asthma) tahun 2008, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya:

1) Intermiten (kadang-kadang), bila gejala kurang dari 4 hari perminggu atau

kurang dari 4 minggu.

2) Persisten atau menetap, bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4

minggu.

Klasifikasi tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi

1) Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.

2) Sedang-berat, bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

Pemeriksaan Fisik

- Mukosa edema, basah

- Biasanya pada rhinitis alergi persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi

- Concha inferior livid.

Penatalaksanaan

- Menghindari allergen

- Medikamentosa

Antihistamin atau antihistamin disertai dekongestan

Rhinitis Alergi | 8

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah yang

terdiri dari 4 :

1) pangkal hidung (bridge)

2) dorsum nasi

3) puncak hidung

4) ala nasi

5) columela

6) lubang hidung (nares anterior).

Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau

menyempitkan lubang hidung.

Kerangka tulang terdiri dari 4 :

1) tulang hidung (os nasale)

2) prosesus frontalis os maksila

3) prosesus nasalis os frontal

Rhinitis Alergi | 9

Gambar 2. Anatomi Kerangka Hidung

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang

terletak di bagian bawah hidung, yang terdiri atas 4:

1) sepasang cartilago nasalis lateralis superior

2) sepasang cartilago nasalis lateralis inferior (cartilago alar mayor)

3) beberapa pasang cartilago alar minor

4) tepi anterior cartilago septum

Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,

dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan kiri.

Pintu atau lubang masuk cavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang

belakang disebut nares posterior (choana) yang menghubungkan cavum nasi dengan

nasofaring4. Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat

dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang

mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrie4.

Tiap cavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior

dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan

tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os ethmoid, vomer, krista

nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah cartilago

septum (lamina kuadrangularis) dan columela4.

Rhinitis Alergi | 10

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada

bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Pada dinding lateral

terdapat 4 buah concha. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah concha inferior,

kemudian yang lebih kecil adalah concha media, lebih kecil lagi ialah concha superior,

sedangkan yang terkecil disebut concha suprema. concha suprema disebut juga

rudimenter4.

Gambar 3. Anatomi Hidung Bagian Dalam

Concha inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan

labirin etmoid, sedangkan concha media, superior dan suprema merupakan bagian dari

labirin etmoid. Di antara concha-concha dan dinding lateral hidung terdapat rongga

sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus

inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara concha inferior dengan

dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara

(ostium) ductus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara concha media dan

dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula ethmoid, prosesus

unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum ethmoid. Hiatus semilunaris merupakan

suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan

sinus ethmoid anterior4. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara concha

superior dan concha media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sphenoid.

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os

Rhinitis Alergi | 11

palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina

cribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung4.

Perdarahan

Gambar 4. Perdarahan Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.ethmoid anterior dan

posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmica, sedangkan a.oftalmica berasal dari

a.carotis interna4. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang

a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sphenopalatine

yang keluar dari foramen sphenopalatine bersama n.sphenopalatine dan memasuki

rongga hidung di belakang ujung posterior concha media4.

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.facialis. Pada

bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sphenopalatine,

a.ethmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut Plexus

Kiesselbach’s. Plexus Kiesselbach’s letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma,

sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak4.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan

arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmica yang

berhubungan dengan sinus cavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup,

Rhinitis Alergi | 12

sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke

intrakranial4.

Persarafan

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

n.ethmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari

n.oftalmicus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari

n.maksila melalui ganglion sphenopalatina4.

Ganglion sphenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan

persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-

serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superficialis mayor

dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sphenopalatina terletak

di belakang dan sedikit di atas ujung posterior concha media4.

Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfactorius. Saraf ini turun melalui lamina

cribosa dari permukaan bawah bulbus olfactorius dan kemudian berakhir pada sel-sel

reseptor penghidu pada mucosa olfactorius di daerah sepertiga atas hidung1.

Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi

atas mukosa pernafasan (mucosa respiratori) dan mukosa penghidu (mucosa

olfactorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan

permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar

epithalium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet4.

Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-

kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa

berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket)

pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet4.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan

gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam cavum nasi akan didorong ke arah

nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya

sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung4.

Rhinitis Alergi | 13

Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan

menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh

pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah

epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar

mukosa dan jaringan limfoid4.

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol

terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan

longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler periglanduler

dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid

vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada

bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan

mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan

demikian mukosa hidung menyerupai suatu jaringan cavernosus yang erektil, yang

mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini

dipengaruhi oleh saraf otonom4.

3.2 Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis

hidung adalah6 : 1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara. 2) Fungsi penghidu,

terdapatnya mucosa olfactorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus

penghidu. 3) Fungsi fonetik untuk resonanasi suara, membantu proses bicara dan

mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. 4) Fungsi statik dan mekanik

untuk meringankan beban kepala. 5) Reflek nasal.

1) Fungsi Respirasi

Udara inpirasi masuk ke hidung menuju system respirasi melalui nares

anterior, lalu naik ke atas setinggi concha media dan kemudian turun ke bawah

ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arcus.

Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit

penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan

terjadi sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37º

Rhinitis Alergi | 14

Celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah

di bawah epitel dan adanya permukaan concha dan septum yang luas2.

Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring

dihidung oleh: 3

a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

b. Silia

c. Palut lendir

Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang

besar akan dikeluarkan dengan reflek bersin.

2) Indra Penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya

mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian

atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi

dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk

membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari

berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberry, jeruk, pisang

atau coklat2.

3) Fungsi Fonetik

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan

menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,

sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses

pembentukan konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka

dan palatum mole turun untuk aliran udara6.

4) Reflek Nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan

saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan

refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan

sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas2.

Rhinitis Alergi | 15

3.3 Rhinitis Alergi

3.3.1 Definisi

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada

pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen

spesifik tersebut5.

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2008

adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan

tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE7.

3.3.2 Etiologi

Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang

secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas

memiliki peran penting. Pada 20 – 30% semua populasi dan pada 10 – 15% anak

semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih

besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam rhinitis alergi yaitu alergen, yang

terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara

genetik telah memiliki kecenderungan alergi2.

Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalasi yang masuk bersama

udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur,

serbuk sari, dan lain-lain2.

Penyebab alergi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu : Spesifik dan

Non Spesifik1.

1) Spesifik

Yang paling berperan adalah alergen hirupan (inhalan). Alergen inhalan

merupakan alergen yang sering ditemukan dan sangat penting dalam kelompok

allergen. Alergen inhalan biasanya dibagi ke dalam 2 jenis berdasarkan

kemampuan hidup dalam lingkungannya, yaitu perenial dan seasonal.

a. Alergen perenial

Rhinitis Alergi | 16

Ada sepanjang tahun dan sulit dihindari. Berupa debu rumah, tungau debu

rumah, serpihan kulit binatang, jamur

b. Alergen seasonal

Biasanya dari serbuk sari tanaman.

c. Non Spesifik

a. Iklim

Udara lembab, perubahan suhu, angin. Iklim ini secara tidak langsung

berpengaruh terhadap penyebaran debu rumah dan tepung sari bunga, disamping

memberi suasana yang baik untuk tumbuhnya berbagai macam jamur.

b. Hormonal

Wanita yang mempunyai bakat alergi dapat kambuh gejala alerginya jika sedang

hamil karena minum pil KB atau menderita hipertiroid.

c. Psikis

Meningkatnya emosi dan ketegangan jiwa pada orang yang berbakat alergi

memudahkan kambuhnya manifestasi alergi.

d. Infeksi

Infeksi memudahkan kambuhnya alergi demikian juga sebaliknya.

e. Iritasi

Rangsangan dapat pula menyebabkan kambuhnya alergi misalnya: asap rokok,

bahan-bahan polusi.

f. Genetik

Tak diragukan lagi besarnya faktor genetik terhadap penyakit alergi, karena

banyak penderita berasal dari keluarga yang juga menderita penyakit alergi.

Risiko untuk menderita penyakit alergi adalah sebayak 30 % bila satu orang tua

yang atopi dan lebih dari 30 % bila kedua orang tua atopi. Demikian pula ibu

yang atopi berperan lebih besar secara bermakna daripada ayah yang atopi.

Rhinitis Alergi | 17

Gambar 5. Jenis Alergen

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas 5:

1) Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya:

tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan serta

jamur.

2) Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya:

susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.

3) Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya:

penisilin dan sengatan lebah.

4) Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa

misalnya: bahan kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi

gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang member gejala asma bronchial dan

rhinitis alergi2.

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis

besar terdiri dari5:

1) Respon primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat

non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya

dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

Rhinitis Alergi | 18

2) Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan

ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag

berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau

memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi

respon tersier.

3) Respon tersier

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini

dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh

tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu1 :

1) tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersentitivity),

- Pada pemaparan suatu antigen, IgE akan terikat dengan sel mast

sehingga terjadi hubungan silang, degranulasi dan pelepasan mediator.

- Gejala mulai timbul dalam hitungan detik hingga beberapa menit

setelah terpapar oleh antigen tetapi selalu proses reaksinya

berlangsung sampai beberapa jam.

- Respon fisiologis permulaan terhadap histamin dan mediator-

mediator lain termasuk vasodilatasi, peningkatan permeabilitas

vaskuler, stimulasi kelenjar mukus dan kontraksi otot polos.

- Respon fase lambat di stimulasi dengan pelepasan sintesis mediator

baru seperti leukotrien termasuk infiltrasi sel radang dan oedem

kronik jaringan.

- Secara klinis, reaksi tipe 1 akan menghasilkan rinitis angiooedem,

diare, asma, dan dapat berlanjut ke anafilaksis.

- Pertama kali tersensitisasi pada banyak pasien, reaksi alergi ini akan

menetap untuk beberapa tahun dan sering sampai seumur hidup.

- Walaupun reaksi tipe 1 terhadap makanan tidak sering terjadi,

biasanya sangat mudah terinfeksi karena akan menghasilkan gejala

yang segera.

- Reaksi ini biasanya berat dan dirawat seumur hidup dan dapat juga

Rhinitis Alergi | 19

melibatkan satu organ atau lebih.

- Reaksi tipe 1 yang ditimbulkan oleh makanan dapat diidentifiksai

secara mudah dengan mengukur IgE darah secara invitro.

2) tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik,

- Terjadi apabila antibodi terikat dengan antigen sendiri atau antigen

asing.

- Kemudian menghasilkan fagositosis aktivitas sel killer atau

complement-lysis mediated.

Contoh klinis : anemia hemolitik, sindrom good pasture, reaksi

transfusi.

3) tipe 3 atau reaksi kompleks imun

- Melibatkan kompleks antigen-antibodi dengan kerusakan jaringan

yang terlibat.

- Molekul antibodi terutama IgG terikat pada antigen sirkulasi

menghasilkan kompleks makromolekul yang dapat berpresipitasi

dalam kapiler, mengikat dan mengaktivasi komplemen untuk

menyebabkan peradangan jaringan.

4) tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).

- Respon antara 24-28 jam sesudah kontak.

- Diduga dalam perkembangan kondisi dari alergi kronik.

- Reseptor sel T bereaksi dengan antigen spesifik yang sifatnya serupa

dengan sel B.

- Kemudian IgE menghasilkan sel B pada tipe 1, dimana sensitisasi

sebelumnya diperlukan untuk mencetuskan kondisi utama dari

permukaan sel T.

- Sebagai dasar dari tes tuberculin.

Rhinitis Alergi | 20

3.3.3 Prevalensi

Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit atopi,

diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%3. Rhinitis alergi telah menjadi problem

kesehatan global, mempengaruhi 10% sampai lebih dari 40% seluruh penduduk dunia.

Rhinitis alergi juga telah menjadi 1 dari 10 alasan utama pasien datang berobat ke

dokter. Namun, prevalensi ini bisa menjadi lebih tinggi, hal ini dikarenakan banyaknya

pasien yang mengobati diri sendiri tanpa berkonsultasi ke dokter1.

3.3.4 Patofisiologi

Karakteristik utama dari sistem kekebalan tubuh adalah pengenalan dari "non-

self" yang berpasangan dengan ”memory”. Fungsi dari sistem kekebalan tubuh

melibatkan limfosit T dan limfosit B serta zat terlarut yang disebut sitokin yang

bertindak di dalam dan di luar sistem kekebalan tubuh untuk mempengaruhi sistem

tersebut dan juga beraneka ragam mediator. Gell dan Coombs menggambarkan empat

jenis reaksi hipersensitivitas: langsung, sitotoksik, komplek imun, dan tertunda. 

Rhinitis alergi melibatkan terutama jenis, Gell dan Coombs, reaksi hipersensitif tipe I5.

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi.

Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu2:

a. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang

berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya

b. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang

berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah

pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Rhinitis Alergi | 21

Gambar 6. Patofisiologi rhinitis alergi ( early and late phase reaction )

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau

monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan

menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,

antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA

kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility

Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel

penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0

untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin

seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13 2.

IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,

sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).

IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di

permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.

Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila

mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE

akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit

dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed

Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed

Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien

Rhinitis Alergi | 22

C4 (LT C4), bradikinin. Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3,

IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan

lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)2.

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga

menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan

menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan

permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung

tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf

Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi

pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1)2.

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak

berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam

setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel

inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung

serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony

Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala

hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator

inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic

Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase

(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik

dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca

dan kelembaban udara yang tinggi2.

3.3.5 Gambaran Histopatologik

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan

pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang

interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil

pada jaringan mukosa dan submukosa hidung2.

Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,

mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten)

sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu

Rhinitis Alergi | 23

terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa

hidung menebal2.

3.3.6 Klasifikasi

Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat

berlangsungnya, yaitu: 5

1) Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara

yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari

(pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis atau

rhino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung

dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

2) Rhinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa

variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling

sering adalah alergen inhalasi, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.

Alergen inhalasi utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen luar

rumah (outdoor). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen

ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan

gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan

fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan

musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering

ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari

WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2008,

yaitu berdasarkan lamanya terjadi gejala7:

1) Intermiten (kadang-kadang), bila gejala kurang dari 4 hari seminggu atau

kurang dari 4 minggu setiap saat kambuh.

2) Persisten atau menetap, bila gejala lebih dari 4 hari seminggu atau lebih dari 4

minggu setiap saat kambuh.

Rhinitis Alergi | 24

Berdasarkan keparahan dan kualitas hidup , rhinitis alergi dibagi menjadi7

1) Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.

2) Sedang-berat, bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

3.3.7 Diagnosis

Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan

pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rhinitis

alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin

merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak

dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses

membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila

terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan2.

Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,

hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar

(lakrimasi). Gejala klinis lainnya dapat berupa berdeham, dan batuk-batuk lebih jarang

dikeluhkan5.

Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid

disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, biasanya dapat

ditemukan mukosa inferior hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya

bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat

obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner 1,4.

Rhinitis Alergi | 25

Gambar 7. Allergic Shiner pada pasien Rhinitis Alergi

Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal,

dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan

menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di

dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease 1,4.

Gambar 8. (Kiri ke Kanan) Allergic Crease dan Allergic Sallute

Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan

menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior

faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral

faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue)1,4.

Gambar 9. Facies Adenoid dan geographic tongue

Pemeriksaan PenunjangRhinitis Alergi | 26

1) In vitro

Pemeriksaan in vitro merupakan pemeriksaan diagnostik secara laboratorium

untuk mendeteksi dan mengidentifikasi penyebab. Kelebihan pemeriksaan ini

dibandingkan tes kulit adalah aman dan nyaman bagi penderita sehingga dapat

dilakukan pada bayi dan anak kecil serta dapat dilakukan pada pasien dimana tes kulit

tidak dapat dilakukan yaitu penderita tidak dapat bebas dari antihistamin, antidepresan

trisiklik atau penderita dengan kelainan kulit (dermatografisme dan dermatitis atopi

berat). Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula

pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan

nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,

misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan

ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu

keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST

(Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno SorbentAssay

Test)2.

Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap

berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak

menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan

alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi

bakteri2.

2) In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukil kulit, uji

intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET).

SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai

konsentrasi. Keuntungan SET, selain allergen penyebab juga derajat alergi serta dosis

inisial untuk desensitisasi dapat diketahui2.

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah

Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas

dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“ Challenge Test”) 2.

Allergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu

pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah

berpantang selama 5 hari, selanjutnmya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis

Rhinitis Alergi | 27

makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala

menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan2.

3.3.8 Diagnosis Banding

Diagnosa banding dari rhinitis alergi adalah sebagai berikut:2,5

1. Rhinitis Non-alergik2

Rhinitis non-alergik adalah suatu keadaan inflamasi hidung yang disebabkan

oleh selain alergi. Keadaan ini tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi

yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE spesifik serum).

Kelainan ini dapat bermacam-macam bergantung dari penyebabnya, antara

lain:

a. Rhinitis vasomotor

Rhinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa

hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Kelainan ini

merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rhinitis vasomotor

mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis alergi sehingga sulit untuk

dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus

yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang. Etiologi yang pasti

belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan fungsi

vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan. Keseimbangan

vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer,

seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan

jasmani dansebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak

dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.

Rhinitis Alergi | 28

Tabel 1. Diagnosis banding rhinitis alergika dan rhinitis vasomotor.

Penatalaksanaan rhinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya gejala

dan dapat dibagi atas tindakan konservatif dan operatif.

2. Rhinitis Akut

Rhinitis akut itu sama saja dengan flu. Jangan bingung karena rhinitis akut

adalah bahasa kedokterannya influensa. Rhinitis akut adalah peradangan akut

pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri5.

Gejala rhinitis akut yang biasanya timbul beragam yaitu :

- Stadium Prodromal Kering (stadium awal), gejala umum seperti

menggigil, nyeri kepala, pucat, kurang nafsu makan, kadang suhu

subfebril atau tidak terlalu panas, tapi sering juga terjadi suhu yang

tinggi apalagi pada anak-anak yang disertai rasa gatal, panas, rasa

kering pada hidung dan tenggorokan, iritasi hidung. Mukosa

hidung biasanya pucat dan kering.

- Stadium Kataralis (stadium lanjutan), sekret mencair, obstruksi

atau penyumbatan hidung, kehilangan penciuman sementara,

lakrimalisasi atau airmata terus-menerus meleleh. Mukosa hidung

memerah, bengkak, dan terdapat sekret atau ingus yang banyak.

Setelah beberapa hari, terjadi fase yang di sebut fase mukus. Fase

mukus ini gejalanya sekret yang mengental, penciuman membaik

dan gejala lokal berkurang. Pada kondisi ideal dengan daya tahan

tubuh yang baik, perbaikan seharusnya dicapai dalam satu minggu.

Rhinitis Alergi | 29

Infeksi bakteri sekunder mungkin saja dapat terjadi. Sekret atau

ingus kemudian berwarna kuning kehijauan dan penyakit akan

lebih lama membaik.

Rhinitis akut ini tidak ada terapi atau pengobatan untuk penyebab.

Terapi simptomatis termasuk dekongestan hidung dengan tetes

atau dekongestan oral.

Rhinitis Virus

Terbagi menjadi 3, yaitu 5:

- Rhinitis simplek (pilek, salesma, common cold, coryza)

Etiologi : oleh virus, melalui droplet udara. Masa inkubasi 1-4 hari

dan berakhir dalam 2-3 minggu.

Gambaran klinis : panas pada belakang hidung, hidung tersumbat,

rinore, dan bersin berulang-ulang, demam. Mukosa hidung merah

membengkak, sekret encer smpai mukopurulen dan banyak.

Pengobatan : tirah baring, pemberian obat antihistamin disertai

dekongestan dan analgetik.

- Rhinitis Influenza

Gejala mirip dengan common cold

- Rhinitis Eksantematous

Morbili, varisela, sering berhubungan dengan rhinitis, dimana

didahului dengan eksantemanya sekitar 2-3 hari.

Rhinitis Bakteri5

- Infeksi Non Spesifik

Dapat terjadi secara primer ataupun sekunder. Primer, akibat

infeksi streptococcus atau staphylococcus. Membran putih keabu-

abuan yang lengket dapat terbentuk di rongga hidung dan bila

diangkat dapat menyebabkan perdarahan,

- Rhinitis Difteri

Dapat bersifat primer pada hidung dan sekunder pada tenggorokan.

Diduga karena imunisasi yang tidak lengkap. Gejala berupa

demam, toksemia, terdapat limfadenitis dan dapat menimbulkan

Rhinitis Alergi | 30

paralisis otot pernafasan. Pada hidung terdapat sekret campur

darah, membran keabu-abuan tampak menutup concha inferior dan

cavum nasi bagian bawah, membran lengket dan bila diangkat

dapat menyebabkan perdarahan. Pengobatan yang diberikan

meliputi isolasi pasien, penisilin sitemik, dan anti toksin difteri.

3.3.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan rhinitis alergi : 2,3,4,6,7

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen

penyebabnya dan eliminasi.

2. Medikamentosa

a. Antihistamin

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja

secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan

preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama

pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa

kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin

generasi 1 (clasic) dan generasi 2 (non-sedative). Antihistamin generasi 1

bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai

efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk

kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,

siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.

Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar

darah otak. Bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai

efek antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek pada SSP minimal (non-

sedative).

Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif

untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non

sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut keamananya. Kelompok

pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek cardiotoksik.

Rhinitis Alergi | 31

Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang

tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan

kematia medadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah

loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai

sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan

antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk

beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa.

b. Dekongestan

Dekongestan dapat mengurangi sumbatan hidung dan kongesti dengan

cara vasokonstriksi melalui reseptor adrenergik alfa. Preparat topikal bekerja

dalam waktu 10 menit, dan dapat bertahan hingga 12 jam. Efek samping

adalah rasa panas dan kering di hidung, ulserasi mukosa. Gejala rhinitis

medikamentosa dapat terjadi pada pemakaian dekongestan topikal jangka

panjang.

Efek terapi dari preparat oral dirasakan setelah 30 menit dan berakhir 6

jam kemudian, atau dapat lebih lama (8-24 jam) bila bentuk sediaanya adalah

tablet lepas lambat (sustained release). Efek samping berupa iritabilitas,

pusing melayang (dizziness), sakit kepala, tremor, takikardi, dan insomnia.

c. Kortikosteroid

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung

akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering

dipakai adalah kortikosteroid topikal.

Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit

pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,

mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini

menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen

(bekerja pada respon cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal

bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga

pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga

menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil,

Rhinitis Alergi | 32

eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai

profilaksis.

3. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),

konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan

bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara

kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

4. Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang

berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak

memberikan hasil yang memuaskan. Mekanisme immunoterapi dalam

menekan gejala rinitis adalah dengan cara mengurangi jumlah IgE, neutrofil,

eosinofil, sel mast, dan limfosit T dalam peredaran darah. Salah satu contoh

preparat ini adalah omalizumab. Omalizumab merupakan antibodi anti-IgE

monoklonal yang bekerja dengan mengikat IgE dalam darah. Dosis

omalizumab adalah 300 mg secara subkutan, 1 kali setiap 3-4 minggu.

Rhinitis Alergi | 33

Gambar 10. Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi1

3.3.10 Komplikasi

Komplikasi rhinitis alergi yang paling sering adalah2,4,6:

1. Polip hidung.

Terdapat pertumbuhan benigna yang lembut terjadi pada lapisan hidung yang

disebabkan radang kronik.

Rhinitis Alergi | 34

2. Sinusitis paranasal.

Merupakan proses inflamasi mukosa satu atau lebih sinus paranasal. Terjadi

akibat edema ostia sinus oleh proses alergi dalam mukosa yang menyebabkan

sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara

rongga sinus. Hal tersebut menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama

anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain

akibat destruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas oleh

eosinofil dengan akibat sinusitis semakin parah.

3.3.11 Prognosis

Sebagian besar pasien dapat hidup normal. Hanya pasien yang mendapat

imunoterapi untuk alergen spesifik yang dapat sembuh dari penyakitnya dan banyak

juga pasien yang melakukan pengobatan simtomatik saja secara intermiten dengan

baik. Rinitis alergi mungkin dapat timbul kembali dalam 2-3 tahun setelah

pemberhentian imunoterapi. Gejala rinitis alergi akan menurun pada pasien bila

mencapai umur 4 dekade3.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer, Arif dkk.. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Pertama. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 106-108. 2001

2. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam. 2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

3. Sumarman, Iwin. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan Pencegahan Rinitis Alergis, Tinjauan Aspek Biomolekuler. Bandung : FK UNPAD. 1-17. 2000.

Rhinitis Alergi | 35

4. Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.

5. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N.2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal : 128-134.

6. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Edisi ke delapan. McGrawl-Hill. 2003.

7. Mullol J, Valero A, Alobid I, Bartra J, Navarro AM, Chivato T, et al. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma Update (ARIA 2008). The perspective from Spain. J Invest Allergol Clin Immunol. 2008;18:327-34.

Rhinitis Alergi | 36