Rhinitis Vaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
-
Upload
lili-widianto -
Category
Documents
-
view
241 -
download
6
description
Transcript of Rhinitis Vaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
BAGIAN ILMU THT REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
RINITIS VASOMOTOR
Disusun oleh:
Lili Widianto
1010015034
Pembimbing:
dr. Selvianti, Sp.THT-KL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMANSAMARINDAAGUSTUS 2015
BAGIAN ILMU THT REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
RINITIS VASOMOTOR
Disusun oleh:
Lili Widianto
1010015034
Sebagai salah satu syarat ujian Stase THT
Pembimbing:
dr. Selvianti, Sp.THT-KL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMANSAMARINDAAGUSTUS 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ iDAFTAR ISI............................................................................................................ iiDAFTAR GAMBAR............................................................................................... iiiDAFTAR TABEL.................................................................................................... ivKATA PENGANTAR.............................................................................................. v1. PENDAHULUAN.............................................................................................. 12. TINJAUAN PUSATAKA.................................................................................. 22.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung........................................................................... 22.1.1 Anatomi Hidung.............................................................................................. 22.1.2 Fisiologi Hidung.............................................................................................. 62.2 Rinitis Vasomotor............................................................................................... 82.2.1 Epidemiologi................................................................................................... 82.2.2 Etiopatogenesis................................................................................................ 92.2.3 Patofisiologi..................................................................................................... 142.2.4 Manifestasi Klinis............................................................................................ 142.2.5 Diagnosis......................................................................................................... 162.2.6 Penatalaksanaan............................................................................................... 172.2.7 Komplikasi...................................................................................................... 242.2.8 Prognosis......................................................................................................... 243. KESIMPULAN.................................................................................................. 25DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 26
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Anatomi Hidung Eksterna................................................................ 2Gambar 2.2. Anatomi Hidung Interna (1)............................................................. 3Gambar 2.3. Anatomi Hidung Interna (2)............................................................. 4Gambar 2.4. Membran Hidung Interna................................................................. 5Gambar 2.5. Fungsi Inspirasi dan Ekspirasi Hidung............................................. 6Gambar 2.6. Mekanisme Mukosiliar..................................................................... 8Gambar 2.7. Patogenesis Rhinitis Vasomotor....................................................... 12Gambar 2.8. Ketidakseimbangan Sistem Otonom pada Rinitis Vasomotor (1).... 13Gambar 2.9. Ketidakseimbangan Sistem Otonom pada Rinitis Vasomotor (2).... 14Gambar 2.10. Alur Tatalaksana Rinitis Vasomotor.............................................. 23
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Perbedaan Rinitis Alergika dan Non Alergika..................................... 17Tabel 2.2. Daftar Obat Rinitis Vasomotor............................................................ 20Tabel 2.3. Pilihan Terapi Rinitis Vasomotor Berdasarkan Manifestasi Klinis..... 22
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatn kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang
berjudul “Rinitis Vasomotor”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan Referat ini tidak lepas dari
bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Selvianti, Sp. THT-KL selaku pembimbing dalam penulisan referat ini.
2. Rekan dokter muda angkatan 2014 yang telah membantu proses penulisan referat
ini.
Akhir kata, ” Tiada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, penulis membuka
diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna perbaikan yang lebih
baik. Semoga Referat ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
"Jangan percaya pada sesuatu hanya karena anda telah mendengarnya. Jangan
percaya pada sesuatu hanya karena diucapkan dan dikabarkan oleh banyak orang.
Jangan percaya pada sesuatu hanya karena ditemukan tertulis dalam buku-buku
agama Anda. Jangan percaya pada apapun hanya berdasarkan otoritas guru dan
orang tua. Jangan percaya pada tradisi karena mereka telah diwariskan selama
beberapa generasi. Tapi setelah observasi dan analisis, ketika Anda menemukan
yang sejalan dengan alasan dan kondisi untuk kebaikan dan ada mafaat, maka
terimalah dan hiduplah dengan itu."
-Siddharta Gautama
Agustus, 2015
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
Rinitis adalah inflamasi pada membran mukosa nasal yang ditandai dengan
hidung gatal, rinorhea, dan kongesti nasal.1,2 Keluhan kronik yang bukan disebabkan
oleh reaksi alergi dikenal sebagai rinitis non alergika1. Sekitar 10% populasi
mengalami rinitis non alergika dan 71% diantaranya merupakan rinitis vasomotor.3,4
Studi lain menunjukkan 25% populasi mengalami rinitis non alergika dan sekitar
50% berusaha mencari pengobatan.5
Pengaruh rinitis non alergika terhadap kualitas hidup tenyata lebih besar
dibandingkan pada pasien dengan asma.3 Beberapa studi menyebutkan pengaruh
negatif berupa gangguan tidur, perasaan mengantuk selama aktivitas, gangguan
konsentrasi, dan gangguan emosional.5 Selain penurunan kualitas hidup, biaya
medikasi dan pengurangan pendapatan selama sakit juga menjadi permasalahan.6
Menurut Standar Kompetensi Dokter Indonesia, rinitis vasomotor merupakan
kompetensi kategori 4A. Seorang dokter umum diharapkan memiliki kemampuan dan
keterampilan dalam mendiagnosa hingga menatalaksana rinitis vasomotor secara
mandiri.7 Diagnosa rinitis vasomotor bersifat eksklusional. Sehingga sebelum
diagnosa ditegakkan, diperlukan anamnesa lengkap untuk mengekslusi kemungkinan
alergi, infeksi, dan penggunaan obat-obatan yang dapat mencetuskan manifestasi
yang menyerupai rinitis vasomotor.3,6
Oleh karena itu, penulis akan membahas definisi hingga tatalaksana rinitis
vasomotor dalam referat ini.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung
2.1.1 Anatomi Hidung
Dari luar hidung berbentuk seperti pyramid yang terdiri dari kerangka
osteokartilago yang lapisi oleh otot dan kulit. Sepertiga atas dibentuk oleh osteoid dan
dua pertiga bawahnya berupa kartilago. Bagian osteoid terdiri dari dua buah os. nasal
yang saling bertemu di garis tengah dengan tepi atas melekat pada prosesus frontal.
Sedangkan bagian kartilago terdiri atas kartilago superolateral, inferolateral,
sesamoid, dan septum.8
Gambar 2.1. Anatomi Hidung Eksterna 8
Otot-otot yang melapisi kerangka nasal yaitu: m.procerus, m.nasalis, m.
levator labii superior alaeque nasi, m. dilator nares anterioir et posterior, m. depressor
septi. Lapisan terluar berupa kulit yang memiliki banyak kelenjar sebasea. 8,9
Hidung bagian dalam dibagi menjadi dua kavitas oleh septum nasi. Masing-
masing kavitas berhubungan dengan dunia luar melalui naris atau nostril dan
berhubungan dengan nasofaring melalui koana. Bagian vestibulum dilapisi oleh kulit
sedangkan bagian kavum nasi dilapisi oleh mukosa.8,9
Vestibulum nasi yang dilapisi oleh kulit memiliki kelenjar sebasea, folikel
rambut, dan rambut yang disebut vibrisae. Bagian paling atas vestibulum ditandai
oleh limen nasi yang terbentuk oleh tepi bawah kartilago superolateral. Bagian
medialnya dibentuk oleh kolumela dan bagian bawah septum nasi.8,9
Kavum nasi terbentuk oleh dinding lateral, medial, atap, dan dasar. Bagian
dinding lateral nasal terdiri dari tiga atau empat konka (turbinate). Konka ini
merupakan proyeksi dari osteoid yang dilapisi oleh membran mukosa. Daerah
dibawah konka disebut meatus. Dinding medial dari kavum nasi dibatasi oleh septum
nasi. Atap dari kavum nasi berupa os. nasal os. sphenoid, dan cribiform plate.
Sedangkan dasarnya dibentuk oleh prosesus palatine dari os. maksila pada tiga
perempat anterior dan os. palatine pada seperempat posterior.8,9
Gambar 2.2. Anatomi Hidung Interna 8
Gambar 2.3 Anatomi Hidung Interna 8
Bagian kavum nasi dibagi menjadi tiga yaitu vestibulum, daerah olfaktori, dan
daerah respiratori. Daerah vestibulum seperti yang telah dijelaskan sebelumnya terdiri
dari rambut, folikel rambut, dan kelenjar sebasea. Bagian olfaktori yang terletak
sepertiga superior dari dinding lateral, sebagian septum nsai, dan atap kavum nasi.
Bagian ini dilapisi oleh membran mukus yang berwarna lebih pucat. Sedangkan
daerah duapertiga bawah kavum nasi merupakan daerah respiratori. Mengandung
membran mukus dengan berbagai ketebalan. Pada bagian konka mukus yang melapisi
tebal, sedangkan pada bagian meatus tipis.8 Daerah ini memiliki vaskularisasi yang
banyak dan memiliki jaringan erektil.9,10 Permukaannya dilapisi oleh epitel kolumner
bersilia yang mengandung banyak sel goblet.8,10
Hidung dipersarafi oleh n.olfaktrius untuk pembau. Nervus ini keluar melalui
cribiform plate dan berakhir membentuk bulbus olfaktorius. Sedangkan untuk
persarafan sensorik, hidung dipersarafi oleh n. etmoidalis anterior, percabangan dari
ganglion slenopalatina, dan percabangan dari n. infraorbitalis. Selain itu hidung juga
dipersarafi oleh persarafan otonom yang terdiri dari saraf parasimpatik yang
mensuplai kelenjar hidung, mengontrol sekresi, serta berperan dalam vasodilatasi
pembuluh darah hidung. Persarafan ini berasal dari n.petrosal superior yang berubah
menjadi n.viridan pada saat menembus kanal pterygoid dan menjadi ganglion
spenoalatina saat mencapai kavum nasi. Sedangkan saraf simpatis berasal dari
segment medulla spinalis torakal 2 yang masuk melalui ganglion servikal superior,
berubah menjadi n.petrosal profunda dan bergabung bersama persarafan parasimpatis
melewati kanal pterigoid untuk masuk ke kavum nasi. Persarafan ini berperan untuk
vasokonstriktor.8,9,10
Hidung diperdarahi oleh lima arteri pada bagian dinding medial dan lateral
kavum nasi, yaitu : a. etmoidalis anterior, a. etmoidalis posterior, a. sphenopalatina, a.
palatine mayor, dan a. labialis superior. Kelima arteri ini membentuk Kiesselbach
area pada bagian septum nasi anterior.8,9,10
Aliran limfatik hidung eksterna dan bagian anterior kavum nasi disalurkan
menuju lymph node submandibular, lalu menuju lymph node jugulare atau
retropharyngeal. Sedangkan aliran limfatik kavum nasi superioir berhubungan dengan
ruang subaraknoid sepanjang n. olfaktorius.8
Gambar 2.4. Membran Hidung Interna 8
2.1.2. Fisiologi Hidung
Hidung memiliki fungsi berupa fungsi respirasi, air conditioning, protektif,
resonansi, reflek nasal, dan pembau. Fungsi pernapasan normal manusia adalah
melalui hidung. Dalam fungsi respirasi ini dikenal siklus nasal dimana terjadi
kongesti dan dekongesti konka media dan inferior untuk mengatur aliran udara yang
melewati kavum nasi. Siklus nasal ini diatur oleh persarafan otonom.8,10,11 Selama
inspirasi aliran udara yang masuk kedalam vestibulum nasi berupa aliran laminar.
Pada saat melewati limen nasi aliran udara berubah menjadi aliran turbulen .
Perubahan aliran udara ini memperpanjang waktu kontak udara dengan mukosa nasal
yang berperan dalam fungsi pembauan, penyaringan, pengaturan kelembapan, dan
penghangatan udara.10
Gambar 2.5. Fungsi Inspirasi dan Ekspirasi Hidung 8
Fungsi selanjutnya yaitu fungsi air conditioning. Fungsi ini mencakup filtrasi
dan purifikasi partikel debu, polen, dan bakteri menggunakan vibrissae dan membran
mukus. Lalu fungsi pengaturan suhu menggunakan veneous cavernous8. Suhu
didalam kavum nasi bagian anterior lebih rendah dibanding bagian posterior. Proses
penghangatan udara melalui hidung ini berjalan bertahap menjadikan suhu udara
yang masuk mencapai 370C saat memasuki nasofaring. Fungsi humidifikasi dengan
sekresi dan transudasi kelenjar nasal, sel goblet, serta pembuluh darah pada lamina
propia. Kelembapan udara yang dicapai pada saat memasuki nasopharing adalah
90%. Ketika ekspirasi, kelembapan dan panas akan kembali ke mukosa hidung
melalui proses kondensasi.10
Selanjutnya fungsi proteksi melalui pertahanan nonspesifik dan spesifik.
Pertahanan nonspesifik terbagi lagi menjadi pertahanan mekanik dan seluler non
spesifik. Pertahanan mekanis mukosa nasal diperankan oleh sistem mukosiliar.
System ini terdiri dari silia epitel saluran pernapasan dan mucous blanket yang terdiri
dari lapisan dalam berupa serosa dan lapisan luar yang mukoid.10 Mekanisme
mukosiliar bekerja dengan kecepatan 5-10 mm permenit menggerakan benda asing
kearah nasofaring lalu tertelan.8 Pertahanan seluler nonspesifik dilakukan oleh fagosit
berupa granulosit, monosit, dan makrofag. Fagosit ini akan dibantu oleh natural
killer sel melawan infeksi virus pada mukosa nasi. Selain itu juga terdapat faktor
proteksi nonspesifik didalam sekret hidung berupa interferon, protease, lisozim, dan
antioksidan.10
Mekanisme pertahanan spesifik terbagi menjadi dua, yaitu humoral dan
seluler. Respon humoral melibatkan immunoglobulin yang dihasilkan sel plasma
paraglandular. Immunoglobulin utama pada saluran pernapasan adalah IgA. Namun
juga terdapat IgM dan IgG. Sedangkan untuk respon seluler spesifik melibatkan
limfosit T dan B, neutrophil, basophil, eosinophil,dan sel langerhan. Sel T memiliki
kemampuan memori sedangkan sel B berperan dalam menghasilkan antibody.10
Fungsi lain hidung yaitu dalam produksi suara dan berbicara.10 Fonasi untuk
menyebutkan abjad M, N, dan NG melibatkan antara nasofaring dan kavum nasi.12
Fungsi ini akan lebih terlihat pada saat terjadi proses patologis. Produksi suara
berkurang pada saat terjadi obstruksi pada nasal secara parsial atau komplit.9,10
Gambar 2.6. Mekanisme Mukosiliar 8
2.2 Rinitis Vasomotor
2.2.1 Epidemiologi
Rinitis vasomotor disebut juga sebagai rinitis non alergika atau rinitis
idiopatik, yang menggambarkan suatu disfungsi kronik nasal dengan karakteristik
hiperaktivitas nasal (rinorhea, hidung tersumbat, dan bersin) sebagai respon terhadap
stimulus non alergika seperti yang telah disebutkan.13 Rinitis vasomotor merupakan
suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinophilia,
perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi
oral,antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung
dekongestan).11
Rinitis secara epidemiologi dibagi menjadi rinitis alergika, non alergika, dan
campuran. Menurut data epidemiologis di Amerika, kejadian rinitis alergika
mencakup 43%, non alergika 23%, dan campuran 34%. Studi lain di Eropa
menunjukkan bahwa satu dari empat orang yang menderita rinitis merupakan rinitis
tipe non alergika. Studi tersebut memperkirakan 50 juta orang Eropa menderita rinitis
non alergika dengan perkiraan 200 juta orang diseluruh dunia. Di Amerika sendiri
angka kejadian rinitis non alergika mencapai sekitar 30 juta orang.3,4,13
Onset rinitis non alergika ini cenderung pada orang dewasa dengan perkiraan
umur 30-60 tahun. Onset muncul pada usia diatas 20 tahun, sedangkan pada tipe
alergika lebih banyak sebelum usia 20 tahun. Apabila keluhan muncul pada saat usia
anak, maka kemungkinan penyebabnya dalah adenoid atau konka hipertropi. Sekitar
58% - 71% rinitis non alergika terjadi pada wanita. Pada penelitian lain ditemukan
perbedaan bermakna berdasarkan jenis kelamin dimana wanita dua kali lipat lebih
rentan.1,4,13
2.2.2 Etiopatogenesis
Rinitis vasomotor berbeda dengan rinitis medikamentosa maupun rinitis jenis
lainnya. Rinitis vasomotor memiliki etiologi yang bersifat idiopatik dan diagnosisnya
secara eksklusional. 3,5,6,8
Patogenesis yang pasti belum diketahui. Beberapa hipotesa telah dikemukakan
untuk menerangkan patogenesis rinitis vasomotor sebagai berikut.3,5,11
1. Neurogenik
Serabut simpatis hidug berasal dari korda spinalis segmen Th 1-2,
menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar. Serabut
simpatis melepaskan ko-transmiter noradrenalin dan neuropeptide Y yang
menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus simpatis ini
berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan adanya peningkatan tahanan rongga
hidung yang bergantian setiap 2-4 jam. Keadaan ini disebut sebagai siklus nasi.
Dengan adanya siklus ini, seseorang akan mampu untuk bernapas dengan tetap
normal melalui rongga hidung yang berubah-ubah luasnya.
Serabut saraf parasimpatis berasal dari nucleus salivatori superior menuju
ganglion sfenopalatina dan membentuk n. vidianus, kemudian menginervasi
pembuluh darah dan terutama kelenjar eksokrin. Pada perangsangan akan terjadi
pelepasan ko-transmiter asetilkolin dan vasoaktif intestinal peptide yang
menyebabkan peningkatan sekresi hidung dan vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti
hidung.
Bagaimana tepatnya saraf otonom ini bekerja belumlah diketahui dengan
pasti, tetapi diduga hipotalamus bertindak sebagai pusat penerima impuls aferen,
termasuk rangsang emosional dari pusat yang lebih tinggi. Dalam keadaan hidung
normal, persarafan simpatis lebih dominan. Rinitis vasomotor diduga sebagai akibat
dari ketidakseimbangan impuls saraf otonom dimukosa hidung yang berupa
bertambahnya aktivitas system parasimpatis.
2. Neuropeptida
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh
meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensorik serabut C di hidung. Adanya
rangsangan abnormal saraf sensorik ini akan diikuti dengan peningkatan pelepasan
neuropeptide seperti substansi P dan kalsitonin gene related protein yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas vascular dan sekresi kelenjar. Keadaan ini
menerangkan terjadinya peningkatan respon pada hiper-reaktivitas hidung.
3. Nitrit Oksida
Kadar nitrit oksida (NO) yang tinggi dan persisten dilapisan epitel hidung
dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga rangsangan
non-spesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub-epitel. Akibatnya terjadi
peningkatan reaktivitas serabut trigeminal dan rekrutmen refleks vascular dan
kelenjar mukosa hidung.
4. Trauma
Rinitis vasomotor dapat disebabkan komplikasi jangka panjang dari trauma
hidung melalui mekanisme neurogenic dan/atau neuropeptide.
Sumber lain menjelaskan mekanisme rinitis diakibatkan oleh peningkatan
permeabilitas epitel nasal, respon inflamasi non-IgE, serta respon neurogenik.
Diketahui bahwa peningkatan permeabilitas epitel nasal diakibatkan oleh kerusakan
epitel akibat terpapar oleh zat iritan, infeksi, atau karena respon system pertahanan
seluler seperti eosinophil. Hal ini mencetuskan stimulus ke saraf sensorik dan
memicu terjadinya manifestasi klinis dari penyakit ini.5,14
Penjelasan lain menggunakan teori neurogenik. Menjelaskan bahwa dalam
kondisi normal, persarafan simpatis didalam kavum nasi bekerja lebih dominan
dibandingkan dengan persarafan parasimpatis. Meskipun demikian, persarafan
parasimpatis memiliki peran dalam mekanisme proteksi berupa bersin, sekresi,
kongesti apabila terdapat benda asing. Namun dalam penelitian lebih lanjut diketahui
bahwa pada rinitis vasomotor, terjadi hiporeaktifitas persarafan simpatik yang disertai
dengan hiperreaktifitas persarafan parasimpatik. Ketidakseimbangan inilah yang
menyebabkan terganggunya fungsi normal nasal seperti rinorhea. 3,5,6,14
Gambar 2.7. Patogenesis Rinitis Vasomotor 14
Gambar 2.8. Ketidakseimbangan Sistem Otonom pada Rinitis Vasomotor 3
Gambar 2.9. Ketidakseimbangan Sistem Otonom pada Rinitis Vasomotor 3
2.2.3 Patofisiologi
Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa rinitis
vasomotor diduga dikarenakan hiperaktivitas parasimpatis atau hipoaktivitas
simpatik.3,5,6,14 Persarafan parasimpatis pada daerah nasal berperan dalam vasodilatasi
vascular dan stimulasi sekresi kelenjar mukus. Sedangkan persarafan simpatis
berperan dalam vasokonstriksi dan inhibisi sekresi kelenjar mukus. Hipersekresi
kelenjar akan menimbulkan manifestasi berupa rinorhea. Vasodilatasi vaskular akan
menyebabkan edema mukosa dan konka sehingga muncul sensasi hidung tersumbat. 8,10
2.2.4 Manifestasi Klinis
Pada rinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan non
spesifik seperti asap rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman beralkohol,
makanan pedas, udara dingin, pendingin dan pemanas ruangan, perubahan
kelembapan, perubahan suhu luar, kelainan stress/emosi. Pada keadaan normal
faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.5,6,11,14
Kelainan ini mempunyai gejala yang menyerupai rinitis alergika, namun
gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung
dari posisi pasien. Selain itu terdapat rinorhea yang mukoid atau serosa. Keluhan ini
jarang disertai dengan gejala mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu
bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga
oleh karena asap rokok dan sebagainya.11
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3 golongan,
yaitu 1. Golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon yang baik
denga terapi antihistamin dan glukokortikosteorid topikal; 2. Golongan rinorhea
(runners), gejala dapat diatasi dengan pemberian anti kolinergik topikal; dan 3.
Golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya memberikan respon yang baik
dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan vasokonstriktor oral.6,11,14
Faktor Predisposisi15:
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis antara lain:
ergotamine, chlorpromazine, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
2. Faktor fisik seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang
tinggi, serta bau yang menyengat (misalnya parfum) dan makanan yang pedas,
panas, serta dingin (misalnya es krim).
3. Faktor endokrin, seperti kehamilan, masa pubertas, pemakaian kontrasepsi oral,
dan hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti rasa cemas, tegang dan stress.
Gejala8 :
1. Paroxysmal sneezing, sering muncul pagi hari saat bangun tidur.
2. Excessive rhinorrhea
3. Nasal obstruction, terjadi bergantian sisi mengikuti dan paling dominan pada
malam hari.
4. Postnasal drip
Tanda8 :
Mukosa nasi didaerah konka mengalami kongesti dan hipertropi. Namun pada
beberapa kasus dapat normal.
2.2.5 Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakan dengan cara eksklusi yaitu menyingkirkan
adaya rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anamnesis
dicari faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala.5,6,11,14.
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran yang khas berupa
edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula
pucat. Hal ini perlu dibedakan dengan rinitis alergika. Permukaan konka dapat licin
atau berbenjol-benjol (hipertropi). Pada rongga hidung terdapat secret mukoid,
biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinorhea secret yang ditemukan ialah
serosa dan banyak jumlahnya.11,15
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
rinitis alergika. Kadang ditemukan juga eosinophil pada secret hidung, akan tetapi
dengan jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya negative. Kadar IgE spesifik tidak
meningkat.3,11
Tabel 2.1.Perbedaan Rinitis Alergika dan Non Alergika16
2.2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada rinitis vasomotor bervariasi, tergantung pada faktor
penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar dibagi dalam1,8,11. :
1. Menghindari stimulus/ faktor pencetus.
2. Pengobatan simptomatis, dengan obat-obatan dekongestan oral, cuci hidung
dengan larutan garam fisiologis, kauterisasi konka hipertropi dengan larutan
AgNO3 25% atau triklor-asetat pekat. Dapat juga diberikan kortikosteroid topikal
100-200 mikrogram. Dosis dapat ditingkatkan sampai 400 mikrogram sehari.
Hasilnya akan terlihat setelah pemakaian paling sedikit selama 2 minggu. Saat ini
terdapat kortikosteroid topikal baru dalam larutan akua seperti flutikason
propionate dan mometason furoat dengan pemakaian cukup satu kali sehari
dengan dosis 200 mcg. Pada kasus dengan rinorhea yang berat, dapat
ditambahkan antikolinergik topikal (ipratropium bromide). Saat ini sedang dalam
penelitian adalah terapi desensitisasi dengan obat capsaicin topikal yang
mengandung lada.
3. Operasi dengan cara bedah-beku, eletrokauter, atau konkototmi parsial konka
inferior.
4. Neurektomi n. vidianus yaitu dengan melakukan pemotongan pada n. vidianus,
bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil optimal. Operasi ini tidaklah
mudah, dapat menimbulkan komlikasi seperti sinusitis, diplopia, buta, gangguan
lakrimasi, neuralgia, atau anastesis infraorbita dan palatum. Dapat juga dilakukan
tindakan blocking ganglion sfenopalatina.
Pilihan penatalaksanaan rinitis vasomotor tidaklah spesifik. Umumnya
tatalaksana ditujukan untuk mengatasi symptom. Tatalaksana yang tidak spesifik ini
memberikan keuntungan dikarenakan manifestasi dari rinitis vasomotor yang
bervariasi. Salah satu tatalaksana yang dilakukan yaitu dengan antihistamin topikal
dan steroid topikal1.
Pengobatan utama untuk rinitis non alergika adalah steroid topikal intranasal.
Obat ini bekerja pada mukosa kavum nasi dengan mereduksi aktivasi dan
menginduksi apoptosis limfosit T dan eosinophil, mereduksi jumlah sel mast,
neutrophil, basophil, dan makrofag didalam kavum nasi, memblok produksi metabolit
asam arakidonat, mereduksi aliran darah dan permeabilitas vascular, regulasi
degradasi neuropeptide dan inhibisi neurogenic ekstravasasi.2,17 Sediaan aerosol
budesonide, beklometason atau flutikason diindikasikan untuk tatalaksana rinitis
vasomotor oleh FDA. Obat ini mengatasi respon inflamasi tanpa membedakan
etiologi inflamasi yang terjadi. Keuntungan penggunaan steroid topikal nasal adalah
mampu mengatasi simptom secara terlokalisir. Efek samping berupa epistaksis dapat
dikurangi dengan penggunaan spray dengan arah menjauhi septum nasi. Sediaan baru
seperti mometason dan flutikason memiliki efek samping sistemik yang lebih sedikit
dibandingkan steroid oral. Obat golongan steroid digunakan sebagai terapi lini
pertama pada rinitis non alergika.1,2,13,17
Golongan antihistamin juga merupakan salah satu pilihan terapi rinitis
vasomotor. Obat ini bekerja melalui antagonis reseptor H1 dan H2, dan diduga H3
juga terlibat. Reseptor H1 dalam kavum nasi berperan dalam respon bersin, rinorhea,
kongesti vascular, akibat vasodilatasi dan penngkatan permeabilitas. Sedangkan
reseptor H2 menstimulasi sekresi mukus saluran pernapasan dan vasodilatasi
vascular.18 Azelastine nasal spray sebagai golongan antihitasmin memiliki efektifitas
cukup tinggi pada pasien dengan keluhan bersin dan rinorhea. Meskipun obat ini
termasuk golongan antihistamin, namun diduga efektivitas obat ini bukan karena
antihistamin melainkan melalui kerja antiinflamasi dan antineuroinflamasi. Kerja obat
ini adalah sebagai antiinflamasi melalui reduksi efek neurokinin seperti substansi P,
leukotriene, dan vasointestinal neuropeptide, mencegah release histamine secara in
vitro dan in vivo, mengurangi aktivasi eosinophil, sel mast, dan sintesis nitrit oksida,
serta reduksi permeabilitas vascular.1,5,13,18,19 Golongan antihistamin sendiri dibagi
menjadi generasi satu dan generasi dua. Obat generasi satu mereduksi rinorhea
melalui jalur anti kolinergik, sedangkan generasi dua memiliki aktivitas
antikolinergik yang minimal. Kombinasi azelastine dengan flutikason memberikan
efektivitas yang jauh lebih baik dibandingkan penggunaan monoterapi azelastine
meskipun belum ada penelitian pada pasien rinitis vasomotor. Monoterapi maupun
kombinasi yang disebutkan ini merupakan salah satu pilihan pertama dalam terapi
rinitis vasomotor.17,19
Obat golongan lain yaitu antikolinergik. Obat antikolinergik efektif memblok
rillis asetilkolin oleh persarafan parasimpatik yang berperan dalam rinorhea pada
rinitis. Ipratropium bromide intranasal merupakan salah satu jenis obat antikolinergik
poten yang digunakan baik pada rinitis alergika maupun nonalergika.1,20 Studi
menunjukkan obat ini dapat mengatasi rinorhea yang predominan pada rinitis akibat
perubahan temperature, aroma menyengat, dan penuanan. Efektifitas obat ini lebih
rendah apabila dibandingkan dengan beklometason monoterapi. Namun efektifitas
obat ini akan meningkat apabila dikombinasi dengan beklometason.1 Efek samping
penggunaan obat ini berupa hidung kering dan epistaksis. Tidak ada studi yang
melaporkan efek rebound setelah penghentian penggunaan. Efek sistemik yang
sangat jarang terjadi berupa mulut kering, iritasi mata, penglihatan kabur pernah
dilaporkan.20
Dekongestan baik oral maupun topikal juga dapat digunakan untuk mengatasi
kongesti nasal. Golongan dekongestan terbagi menjadi dua, yaitu fenilamin dan
imidazolin. Fenilamin merupakan golongan dekongestan oral seperti efedrin,
pseudoefedrin, feniefrin, dan fenilpropanolami. Sedangkan golongan imidazolin
bersifat topikal seperti xylometazolin, oxymetazolin, dan nafazolin. Golongan
fenilamin bekerja dengan mengagonis reseptor α-adrenergik sehingga memberikan
efek dekongestan. Golongan ini memberikan efek takikardi, iritabilitas, retensi urine
seiring dengan meningkatnya dosis terapi sehingga dikontraindikasikan pada pasien
dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, dan pada penggunaan penghambat
monoamine oksidase. Golongan imidazolin topikal mengurangi aliran darah nasal
melalui reseptor α1 dan α2 adrenergik.2 Namun hingga saat ini belum ada studi
mengenai efektifitas obat ini secara spesifik terhadap rinitis vasomotor. Efek samping
dari obat ini juga perlu diperhatikan pada penggunaan jangka panjang seperti
stimulasi kordis, palpitasi, dan insomnia. Selain itu penggunaan obat lebih dari 3-10
hari, dalam sumber lain menyebut 5 hari, dapat mencetuskan rinitis medikamentosa.
Oleh karena itu obat golonga ini disarankan hanya sebagai pelega yang digunakan
dalam jangan waktu pendek.1,2
Tabel 2.2.Daftar Obat Rinitis Vasomotor16
Golongan Nama Dagang Efek Efek Samping
Antihistamin Azelastin Mengatasi Tidak ada efek
Topikal (Astelin) rinorhea, bersin,
postnasal drip, dan
kongesti nasal.
serius, rasa pahit.
Kortikosteroid
Topikal
Mometason Furoat
(Nasonex)
Mengatasi hidung
tersumbat dan
kongesti nasal.
Iritasi hidung dan
epistaksis.
Budesonid
(Rhinocort),
beclometason
(Beclovent),
Tiamnisolon
asetonid (Kenalog)
Mengatasi hidung
tersumbat dan
kongesti nasal.
Epistaksis,
sefalgia, kongesti
nasal.
Kromoglikat
Topikal
Kromolin Sodium
(Intal)
Mengurani bersin
dan kongesti nasal.
Iritasi hisung,
sefalgia, kongesti
nasal.
Antikolinergik
Topikal
Ipratropium
Bromida
(Atrovent)
Mengatasi
rinorhea.
Iritasi hidung,
sensasi kering.
Antihistamin Oral Sedasi dan
Nonsedasi
Somnolen,
sefalgia, mulut
kering.
Dekongestan
Topikal
Oksimetazolin
(Nezeril, Afrin,
Dristan)
Mengatasi
kongesti nasal.
Dekongestan Oral Pseudoefedrin Mengatasi
Kongesti nasal.
Tabel 2.3.Pilihan Terapi Rinitis Vasomotor Berdasarkan Manifestasi Klinis13
Gambar 2.10. Alur Tatalaksana Rinitis Vasomotor16
2.2.7 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi akibat perjalan penyakit ini adalah polip nasi, rinitis
hipertropi, dan sinusitis 14.
2.2.8 Prognosis
Prognosis pengobatan golongan onstruksi lebih baik daripada golongan
rinorhea. Oleh karena golongan rinorhea sangat mirip dengan rinitis alergika, perlu
anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.11 Prognosis
umumnya tidak mengancam jiwa, namun fungsi dan berulangnya kejadian dapat
dubia ad bonam jika pasien menghindari faktor pencetus.15
BAB 3
KESIMPULAN
Hidung memiliki fungsi berupa fungsi respirasi, air conditioning, protektif,
resonansi, reflek nasal, dan pembau.8,9 Gangguan pada fungsi fisiologis hidung akan
menyebabkan munculnya manifestasi yang beragam. Salah satunya berupa hidung
gatal, rinorhea, dan hidung tersumbat pada rinitis.2,8,10
Rinitis vasomotor disebut juga sebagai rinitis non alergika atau rinitis
idiopatik, yang menggambarkan suatu disfungsi kronik nasal dengan karakteristik
hiperaktivitas nasal (rinorhea, hidung tersumbat, dan bersin) sebagai respon terhadap
stimulus non alergika seperti yang telah disebutkan.13 Onset rinitis non alergika ini
cenderung pada orang dewasa dengan perkiraan umur 30-60 tahun. Wanita lebih
berisiko mengalami rinitis vasomotor.1,4,13
Rinitis vasomotor memiliki etiologi yang bersifat idiopatik dan diagnosisnya
secara eksklusional. 3,5,6,8 Patogenesis yang pasti belum diketahui. Banyak yang
berpendapat bahwa ketidakseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis
memicu munculnya manifestasi pada penyakit ini.3,5,6,11,14 Berdasarkan gejala yang
menonjol, kelainan ini dibedakan menjadi sneezers, runners, dan blockers. 6,11,14
Diagnosis umumnya ditegakan dengan cara eksklusi yaitu menyingkirkan
adaya rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anamnesis
dicari faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala.5,6,11,14 Penatalaksanaan dapat
dilakukan dengan menghindari stimulus, medikamentosa (steroid topikal,
antihistamin topikal, dekongestan topikal, antikolinergik topikal), dan tatalaksana
bedah.1,8,11,16
Komplikasi yang terjadi akibat perjalan penyakit ini adalah polip nasi, rinitis
hipertropi, dan sinusitis 14. Prognosis umumnya tidak mengancam jiwa, namun fungsi
dan berulangnya kejadian dapat dubia ad bonam jika pasien menghindari faktor
pencetus.15
DAFTAR PUSTAKA
1. Settipane, R. A. & Lieberman, P. Update on Nonallergic Rinitis. Annals of
Allergy, Asthma, & Immunology 2001; 86, 494-508.
2. Lalwani, A. K. Current Diagnosis & Treatment Otolaringology, Head and
Neck Surgery. New York: Mc GrawHill, 2007.
3. Blom, H. M. Nonallergic Noninfectious Perennial Rinitis, 1998.
4. Settipane, R. A. Epidemiology of Vasomotor Rinitis. World Allergy Organ
Journal 2009; 2(6), 115-118.
5. Ramakroshnan, V. R. Pharmacotherapy for Nonallergic Rhinits 2013; diakses
dari http://emedicine.medscape.com/article/874171-overview pada tanggal
12/08/2015.
6. Wheeler, P. W. & Wheeler, S. F. Vasomotor Rinitis. American Family
Physician 2005; 72(6), 1057-1062.
7. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia Edisi
Kedua , 2012.
8. Dhingra PL. Disease of Ear Nose and Throat. 5thEd. New Delhi, India :
Elsevier, 2010.
9. Moore, K. L. Clinically Oriented Anatomy. 4th Ed. USA : Lippincott &
Wilkins, 2009.
10. Probst, R., Grevers, G., Iro, H. Basic Otorhinolaryngology. Jerman : Thieme,
2006.
11. Irawati, N., Poerbonegoro, N. L., Kasakeyan, E. Rinitis Vasomotor dalam
Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R. D., Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher Edisi Keenam. (135-
138). Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2007.
12. Jeremiah, A., Noam, C. Nasal Physiology 2015; diunduh dari
http://care.american-rhinologic.org pada tanggal 12/08/2015.
13. Scarupa, M. D., Kaliner, M. A. Nonallergic Rinitis, With a Focus on
Vasomotor Rinitis. WAO Jurnal 2009; 2, 20-25.
14. Garay, R. Mechanisms of Vasomotor Rinitis. Allergy 2004; 59 (76), Hal 4-10.
15. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014
Tentang Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
16. Quillen, D. M., Feller, D. B. Diagnosing Rinitis Allergic vs. Nonallergic.
American Family Physician 2006;, 73, 1583-1590.
17. Meltzer, E. O. The Treatment of Vasomotor Rhinitis With Intranasl
Corticosteroids. WAO Journal 2009; 2, 166-179.
18. Lieberman, P. The Role of Antihistamine in the Treatment of Vasomotr
Rhinits. WAO Journal 2009; 2, 156-161.
19. Nozad, C.H., Michael, L. M., Lew, D. B., Michcaseael, C.F. Non-allergic
rinitis: a case report and review. Clinical and Molecular Allergy 2010; 8(1).
20. Naclerio, R. Anticholinergic Drugs in Nonallergic Rhinitis. WAO Journal
2009; 2, 162-165.