PBL Blok 23 Rhinitis Alergika

22
Hidung Tersumbat, Gatal, Sering Bersin, dengan Sekret Encer Lydia Margaretha 10-2010-136 Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta Barat. Email: [email protected] Pendahuluan Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa hidung (mukosa olfaktori). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar pada rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar ephitelium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Alergi hidung adalah keadaan atopi yang paling sering dijumpai, menyerang 20% dari populasi anak-anak dan dewasa muda di Amerika Utara dan Eropa Barat. Di tempat lain, alergi hidung dan penyakit atopi lainnya kelihatannya lebih rendah, terutama pada negara-negara yang kurang berkembang. Penderita Rhinitis alergika akan mengalami hidung tersumbat berat, sekresi hidung yang berlebihan atau rhinore, dan bersin yang terjadi berulang cepat. Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien-pasien yang memiliki 1

description

makalah pbl rinitis

Transcript of PBL Blok 23 Rhinitis Alergika

Page 1: PBL Blok 23 Rhinitis Alergika

Hidung Tersumbat, Gatal, Sering Bersin, dengan Sekret Encer

Lydia Margaretha

10-2010-136

Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta Barat. Email: [email protected]

Pendahuluan

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas

mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa hidung (mukosa olfaktori). Mukosa

pernapasan terdapat pada sebagian besar pada rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh

epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar ephitelium) yang mempunyai silia dan

diantaranya terdapat sel-sel goblet.

Alergi hidung adalah keadaan atopi yang paling sering dijumpai, menyerang 20% dari

populasi anak-anak dan dewasa muda di Amerika Utara dan Eropa Barat. Di tempat lain,

alergi hidung dan penyakit atopi lainnya kelihatannya lebih rendah, terutama pada negara-

negara yang kurang berkembang. Penderita Rhinitis alergika akan mengalami hidung

tersumbat berat, sekresi hidung yang berlebihan atau rhinore, dan bersin yang terjadi berulang

cepat.

Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada

pasien-pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi atau terpapar

dengan allergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi) yang sama serta meliputi

mekanisme pelepasan mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen yang

serupa.

Rhinitis  alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin,

keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar

dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE.

1

Page 2: PBL Blok 23 Rhinitis Alergika

Anamnesis

Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian

pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan dari

anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan.

Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan

pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien

yang profesional dan optimal.1

Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan :

- Apakah ada bersin-bersin terutama pada pagi hari terutama bila kontak dengan debu?

- Apakah ada sekret encer keluar dari hidung?

- Apakah ada hidung tersumbat?

- Apakah ada hidung dan mata yang gatal?

- Apakah ada dalam keluarga yang mengalami hal serupa?

- Apakah ada riwayat atopi (asma, dll)?

- Apakah baru pertama kali terjadi?

WORKING DIAGNOSIS

Rhinitis Allergika

Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada

pasien-pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi atau terpapar

dengan allergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi) yang sama serta meliputi

mekanisme pelepasan mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen yang

serupa.2

Gambaran histologik

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan

pembesaran sel Goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang

interseluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada

jaringan mukosa dan submukosa hidung.2

Page 3: PBL Blok 23 Rhinitis Alergika

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Di luar keadaan serangan,

mukosa kembali normal. Akan tetapi, serangan dapat terjadi terus menerus-persisten

sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang irreversible, yaitu

proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.2

Etiologi2

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi menjadi :

1. Allergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya tungau

debu rumah (D. pteronyssinus, D. farina, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit

binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass), serta jamur (Aspergillus,

Alternaria).

2. Allergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi,

telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, dan kacang-kacangan.

3. Allergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan

sengatan lebah.

4. Allergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya

bahan kosmetik, perhiasan.

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar

terdiri dari :

1. Respon Primer, terjadi eliminasi dan fagositosis antigen, reaksi ini bersifat non spesifik dan

dapat berakhir sampai disini. Bila antigen tidak dapat dihilangkan, maka berlanjut menjadi

respon sekunder.

2. Respon Sekunder, reaksi yang terjadi spesifik, yang membangkitkan sistem humoral,

sistem selular saja atau bisa membangkitkan kedua sistem terebut, jika antigen berhasil

dihilangkan maka berhenti pada tahap ini, jika antigen masih ada, karena defek dari ketiga

mekanisme sistem tersebut maka berlanjut ke respon tersier

3. Respon Tersier, reaksi imunologik yang tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini bersifat

sementara atau menetap, tergantung daya eliminasi antigen oleh tubuh.

3

Page 4: PBL Blok 23 Rhinitis Alergika

Klasifikasi2,3

         Berdasarkan waktunya Rhinitis Alergi dapat di golongkan menjadi:

1.      Rinitis alergi musiman (Hay Fever, seasonal, polinosis)

Biasanya terjadi pada musim semi. Umumnya disebabkan kontak dengan allergen dari luar

rumah, seperti benang sari dari tumbuhan yang menggunakan angin untuk penyerbukannya,

debu dan polusi udara atau asap, serta spora jamur. Gejala klinis yang tampak ialah mata

merah disertai lakrimasi dan gejala pada hidung.

2.      Rinitis alergi yang terjadi terus menerus (perennial)

Disebabkan bukan karena musim tertentu ( serangan yang terjadi sepanjang masa (tahunan))

diakibatkan karena kontak dengan allergen yang sering berada di rumah misalnya kutu debu

rumah, bulu binatang peliharaan serta bau-bauan yang menyengat. Allergen yang sering pada

dewasa dan anak adalah allergen ingestan dan biasanya disertai gejala alergi lain, seperti

urtikaria dan gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan ini lebih ringan

dibandingkan golongan musiman, tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih

sering ditemukan.

Pemeriksaan Fisik4

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid, dan

adanya secret yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior akan tampak hipertrofi.

Gejala yang spesfik pada anak akan tampak bayangan gelap di bawah mata yang terjadi

karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain

dari itu juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan punggung tangan.

Gejala ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung lama-kelamaan

mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang

disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,

sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (fasies adenoid). Dinding

posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appereance), serta dinding lateral

faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tounge).

4

Page 5: PBL Blok 23 Rhinitis Alergika

Pemeriksaan Penunjang2

- Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.

- Pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila pasien juga

menderita asma bronchial atau urtikaria.

- Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna, dengan RAST (Radio Immuno Sorbent

Assay Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).

- Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap

berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah

banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin

disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya

infeksi bakteri.

- Skin test dengan test eliminasi dan provokasi (Challenge test). Setelah berpantang

selama 5 hari, pasien diberikan makanan yang dicurigai dan diamati reaksinya. Pada

test eliminasi, jenis makanan yang dicurigai dihilangkan dari menu sampai suatu

ketika gejala menghilang.

Patofisiologi2,3

Tepung sari yang dihirup, spora jamur, dan antigen hewan di endapkan pada mukosa

hidung. Alergen yang larut dalam air berdifusi ke dalam epitel, dan pada individu individu

yang kecenderungan atopik secara genetik, memulai produksi imunoglobulin lokal (Ig ) E.

Pelepasan mediator sel mast yang baru, dan selanjutnya, penarikan neutrofil, eosinofil,

basofil, serta limfosit bertanggung jawab atas terjadinya reaksi awal dan reaksi fase lambat

terhadap alergen hirupan. Reaksi ini menghasilkan mukus, edema, radang, gatal, dan

vasodilatasi. Peradangan yang lambat dapat turut serta menyebabkan hiperresponsivitas

hidung terhadap rangsangan nonspesifik suatu pengaruh persiapan.

Histamin merupakan mediator penting pada gejala alergi di hidung. Histamine bekerja

langsung pada reseptor histamine selular, dan secara tidak langsung melalui refleks yang

berperan pada bersin dan hipersekresi. Melalui saraf otonom, histamin menimbulkan gejala

bersin dan gatal, serta vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan

5

Page 6: PBL Blok 23 Rhinitis Alergika

gejala beringus encer dan edema local reaksi ini timbul segera setelah beberapa menit pasca

pajanan allergen.

Kurang lebih 50% Rhinitis alergik merupakan manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I fase

lambat, gejala Gejala rhinitis alergik fase lambat seperti hidung tersumbat, kurangnya

penciuman, dan hiperreaktivitas lebih diperankan ooleh eosinofil.

Manifestasi Klinis2,3

1.      Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari (umumnya bersin

lebih dari 6 kali).

2.      Hidung tersumbat.

3.      Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi biasanya

bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau kekuning-kuningan jika

berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus.

4.      Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan tenggorok.

5.      Badan menjadi lemah dan tak bersemangat.

Gejala klinis yang khas adalah terdapatnya serangan bersin yang berulang-ulang

terutama pada pagi hari, atau bila terdapat kontak dengan sejumlah debu. Sebenarnya bersin

adalah mekanisme normal dari hidung untuk membersihkan diri dari benda asing, tetapi jika

bersin sudah lebih dari lima kali dalam satu kali serangan maka dapat diduga ini adalah gejala

rhinitis alergi. Gejala lainnya adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak.  Hidung

tersumbat, mata gatal dan kadang-kadang disertai dengan keluarnya air mata.

Komplikasi2

1.      Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip

hidung.

2.      Otitis media efusi. Rinitis alergi dapat menyebabkan otitis media efusi yang sering

residif dan terutama kita temukan pada pasien anak-anak.

3.      Sinusitis paranasal

6

Page 7: PBL Blok 23 Rhinitis Alergika

Otitis media dan sinusitis kronik bukanlah akibat langsung dari rinitis alergi melainkan

adanya sumbatan pada hidung sehingga menghambat drainase.

Penatalaksanaan2,3

1.      Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab

2.      Pengobatan, penggunaan obat antihistamin H-1 adalah obat yang sering dipakai sebagai

lini pertama pengobatan rhinitis alergi atau dengan kombinasi dekongestan oral. Obat

Kortikosteroid dipilih jika gejala utama sumbatan hidung akibat repon fase lambat tidak

berhasil diatasi oleh obat lain

3.      Tindakan Operasi (konkotomi) dilakukan jika tidak berhasil dengan cara diatas

4.      Penggunaan Imunoterapi.

Imunoterapi pada anak diberikan secara selektif dengan tujuan pencegahan. Jenis-

jenis terapi medikamentosa akan diuraikan di bawah ini

1.      Antihistamin-H1 oral

Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor H1 sehingga mempunyai aktivitas

anti alergi. Obat ini tidak menyebabkan takifilaksis. Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi

generasi pertama dan kedua. Generasi pertama antara lain klorfeniramin dan difenhidramin,

sedangkan generasi kedua yaitu setirizin/levosetirizin dan loratadin/desloratadin.

Generasi terbaru antihistamin-H1 oral dianggap lebih baik karena mempunyai rasio

efektifitas/keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta

bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat

generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti hidung.

Efek samping antihistamin-H1 generasi pertama yaitu sedasi dan efek antikolinergik.

Sedangkan antihistamin-H1 generasi kedua sebagian besar tidak menimbulkan sedasi, serta

tidak mempunyai efek antikolinergik atau kardiotoksisitas.

2.      Antihistamin-H1 lokal

Antihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin dan levokobastin) juga bekerja dengan memblok

reseptor H1. Azelastin mempunyai beberapa aktivitas anti alergik. Antihistamin-H1 lokal

7

Page 8: PBL Blok 23 Rhinitis Alergika

bekerja sangat cepat (kurang dari 30 menit) dalam mengatasi gejala hidung atau mata. Efek

samping obat ini relatif ringan. Azelastin memberikan rasa pahit pada sebagian pasien. 

3.      Kortikosteroid intranasal

Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,

mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat

ini merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif

terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat

setelah beberapa hari.

Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena efek sistemik

pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek samping

setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid topikal hidung

dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi

hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat yang

menonjol.

4.      Kortikosteroid oral/IM           

Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon,

prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason) poten untuk mengurangi inflamasi

dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika

memungkinkan, kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian

kortikosteroid oral/IM. Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik

mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis

alergik pada anak. Pada anak kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat

intranasal dan inhalasi. 

5.      Kromon lokal (‘local chromones’)

Kromon lokal (local chromones), seperti kromoglikat dan nedokromil, mekanisme kerjanya

belum banyak diketahui. Kromon intraokular sangat efektif, sedangkan kromon intranasal

kurang efektif dan masa kerjanya singkat. Efek samping lokal obat ini ringan dan tingkat

keamanannya baik. Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator sel mast

8

Page 9: PBL Blok 23 Rhinitis Alergika

dapat diberikan pada anak yang kooperatif. Obat ini biasanya diberikan 4 kali sehari dan

sampai saat ini tidak dijumpai efek samping.

6.      Dekongestan oral

Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat

simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada

pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain

hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan

membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan

oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan

antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.

7.      Dekongestan intranasal

Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin)

juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat

ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi

kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama

seperti sediaan oral tetapi lebih ringan.

Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah

usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis

toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.

8.      Antikolinergik intranasal

Antikolinergik intranasal (misalnya ipratropium) dapat menghilangkan gejala beringus

(rhinorrhea) baik pada pasien alergik maupun non alergik. Efek samping lokalnya ringan dan

tidak terdapat efek antikolinergik sistemik. Ipratropium bromida diberikan untuk rinitis

alergik pada anak dengan keluhan hidung beringus yang menonjol.

9.      Anti-leukotrien

Anti-leukotrien, seperti montelukast, pranlukast dan zafirlukast, akan memblok reseptor

CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam

9

Page 10: PBL Blok 23 Rhinitis Alergika

kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai

obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.

Pencegahan

Ø  Potonglah rumput di halaman rumah sesering mungkin.

Ø  Bersihkan rumah terutama kamar dengan rutin.

Ø  Rumah harus ada aliran udara yang baik dan kering.

Ø  Hindari allergen dalam rumah (hewan peliharaan, kerpet berbulu, dll)

Ø  Gunakan masker jika bepergian dalam lingkungan yang penuh debu, polusi, angin, dll.

Oleh karena orang dewasa menghabiskan 1/3 waktu mereka dan anak-anak

menghabiskan ½ dari waktu mereka di kamar tidur, maka penting agar tidak ada alergen di

kamar tidur. Jangan gunakan kasur, bantal dan guling yang diisi dengan kapuk.

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

Rhinitis simpleks3,4

Penyakit ini merupakan penyakit virus yang paling sering ditemukan pada manusia.

Sering disebut juga sebagai selesma, common cold, flu. Penyebabnya ialah beberapa jenis

virus dan yang paling sering ialah rhinovirus. Virus-virus lainnya adalah myxovirus, virus

Coxsackie, dan virus ECHO.

Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya

kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh (kedinginan, kelelahan, adanya penyakit

menahun,dll).

Pada stadium prodormal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas,

kering, dan gatal dalam hidung. Kemudian akan timbul bersin berulang-ulang. Hidung

tersumbat dan ingus encer, yang biasanya disertai demam, dan nyeri kepala. Mukosa hidung

tampak merah dan membengkak. Bila terjadi infeksi sekunder bakteri, ingus menjadi

mukopurulen.

10

Page 11: PBL Blok 23 Rhinitis Alergika

Tidak ada terapi spesifik, selain istirahat, pemberian obat-obat simptomatis, seperti

analgesic, antipiretik, dan obat dekongestan. Antibiotic diberikan jika hanya terdapat infeksi

dekunder oleh bakteri.

Rhinitis bakterialis2,5

Rhinitis bakterialis biasanya disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae,

tuberkulosa, dan Treponema pallidum (sifilis).

Rhinitis difteri dapat terjadi primer, maupun sekunder dari tenggorok. Gejala rhinitis

difteri akut ialah demam, toksemia, limfadenitis, paralisis otot pernafasan. Pada hidung, ingus

mungkin tercampur darah, mungkin juga ditemukan pseudomembran putih yang mudah

berdarah, dan ada krusta coklat di nares anterior dan rongga hidung. Jika menjadi kronik

biasanya lebih ringan dan mungkin dapat sembuh sendiri, tetapi masih dapat menular.

Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan bakteri dari secret hidung. Terapi dpaat

diberikan ADS, penisilin lokal dan im.

Rhinitis tuberkulosa merupakan kejadian tuberkulosa ekstra pulmoner. Tuberculosis

pada hidung berbentuk noduler, atau ulkus, terutama mengenai tulang rawan septum dan

mengakibatkan perforasi. Terdapat secret mukopurulen dan krusta, sehingga menimbulkan

hidung tersumbat. Diagnosis dengan ditemukannya BTA pada secret hidung. Pada

histopatologis ditemukan sel Langhans dan limfositosis. Terapi dengan antituberkulosis dan

obat cuci hidung.

Rhinitis sifilis primer dan sekunder ialah gejala rhinitis akut, seperti adanya bercak,

pada mukosa. Rhinitis tersier dapat ditemukan ulkus atau gumma, yang terutama mengenai

septum nasi dan dapat membuat perforasi septum. Terdapat secret mukopurulen yang bau

dan krusta. Mungkin terlihat perforasi septum atau hidung pelana. Diagnosis dengan

pemeriksaan mikrobiologik dan biopsy. Terapi diberikan penisilin dan obat cuci hidung.

Rhinitis jamur2,3,5

Dapat terjadi dengan sinusitis dan bersifat invasive atau non invasive. Rhinitis jamur

non invasive berupa rinolit yang sebenarnya adalah gumpalan jamur (fungus ball). Biasanya

tidak sampai terjadi destruksi tulang dan kartilago. Untuk terapi pada rinolit dengan

mengangkat seluruh gumpalan jamur. Pada pemeriksaan hidung didapat secret mukopurulen,

11

Page 12: PBL Blok 23 Rhinitis Alergika

adanya ulkus atau perforasi pada septum disertai jaringan nekrotik berwarna kehitaman

(black eschar).

Sedangkan pada invasive ditandai dengan adanya hifa jamur pada lamina propria. Jika

terjadi invasi jamus pada submukosa dapat mengakibatkan perforasi septum atau hidung

pelana. Jamur sebagai penyebab dapat dilihat dengan sediaan langsung maupun kultur jamur,

misalnya Aspergillus, Candida, Histoplasma, Fussarium, dan Mucor. Terapi pada invasive

dengan mengeradikasikan agen penyebabnya dengan antijamur oral dan topikal. Cuci hidung

dan pembersihan hidung untuk mengangkat krusta. Bagian yang terinfeksi dapat diolesi

gentian violet. Kadang juga dilakukan debridement seluruh jaringan nekrotik dan yang tidak

sehat. Jika jaringan nekrotik luas maka diperlukan tindakan rekonstruksi untuk mengatasi

destruksi.

Rhinitis vasomotor

            Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa

hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktifitas parasimpatis. Rhinitis vasomotor

disebut juga dengan vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal vasomotor instability, non

spesific allergic rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis. Rhinitis vasomotor

ialah keadaan yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal

(kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, beta blocker,

aspirin, klorpromazin, dan obat topikal hidung dekongestan).2

            Rhinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis alergi sehingga sulit

untuk dibedakan.  Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus yang

banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang.3,5

            Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan

keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan. 

Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer,

seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan

sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan

oleh individu tersebut.2,5

Adanya paparan terhadap suatu iritan memicu ketidakseimbangan sistem saraf

otonom dalam mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa hidung, vasodilatasi

12

Page 13: PBL Blok 23 Rhinitis Alergika

dan edema pembuluh darah mukosa hidung, hidung tersumbat dan rinore. Pemicunya seperti

alcohol, perubahan temperatur / kelembaban, parfum, hair spray ataupun pewangi ruangan,

asap rokok atau polusi, faktor psikis seperti stress dan ansietas, penyakit-penyakit endokrin,

serta obat-obatan seperti anti hipertensi dan kontrasepsi oral.5

            Gejala yang dijumpai pada rhinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan dengan

rhinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore.  Rinore yang hebat dan bersifat mukus

atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat bergantian

dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi. Keluhan bersin-bersin

tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rhinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di

hidung dan mata.2-5

            Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya

perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan

sebagainya. Berdasarkan gejala yang menonjol, rhinitis vasomotor dibedakan dalam dua

golongan, yaitu golongan obstruksi (blockers) dan golongan rinore (runners/sneezers).  Oleh

karena golongan rinore sangat mirip dengan rhinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan

yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.2-5

            Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa

hidung, konkha hipertropi dan berwarna merah gelap atau merah tua (karakteristik), tetapi

dapat juga dijumpai berwarna pucat.  Permukaan konkha dapat licin atau berbenjol.  Pada

rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit.  Akan tetapi pada golongan rinore,

sekret yang ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak. Pemeriksaan laboratorium

dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rhinitis alergi.  Test kulit (skintest) biasanya

negatif, demikian pula IgE spesifik biasanya tidak meningkat 2,3

Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam :2

1. Menghindari penyebab / pencetus.

2. Pengobatan konservatif (Farmakoterapi) :

Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan hidung

tersumbat. 

13

Page 14: PBL Blok 23 Rhinitis Alergika

Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-bersin

dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif.  Biasanya

digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan. 

Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone.

3. Terapi operatif (dilakukan bila pengobatan konservatif gagal)

Neurektomi n. vidianus (vidian neurectomy), yaitu dengan melakukan pemotongan pada n.

vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil.  Operasi sebaiknya dilakukan pada

pasien dengan keluhan rinore yang hebat.  Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka

kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi, seperti

sinusitis, diplopia, buta, gangguan lakrimal, neuralgia atau anetesia infraorbita dan palatum.

Dapat juga dilakukan blocking ganglion sfenopalatina.2,3

KESIMPULAN

Rhinitis alergika dapat (allergic rhinitis) terjadi karena sistem kekebalan tubuh kita

bereaksi berlebihan terhadap partikel-partikel yang ada di udara yang kita hirup. Sistem

kekebalan tubuh kita menyerang partikel-partikel itu, menyebabkan gejala-gejala seperti

bersin-bersin dan hidung meler. Partikel-partikel itu disebut alergen yang artinya partikel-

partikel itu dapat menyebabkan suatu reaksi alergi.

Gejala yang mempunyai rhinitis alergika, biasanya mempunyai gejala selama

beberapa tahun (kronik). Atau mungkin mempunyai gejala sepanjang tahun, atau hanya pada

saat-saat tertentu saja. Dengan berjalannya waktu, alergen mungkin menjadi tidak begitu

mempengaruhi, dan gejala-gejala yang ada mungkin menjadi tidak separah sebelumnya.

Tetapi dapat juga mengalami komplikasi seperti sinusitis ataupun infeksi telinga.

14

Page 15: PBL Blok 23 Rhinitis Alergika

DAFTAR PUSTAKA

1. Soegondo S. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Jakarta: Pusat Penerbit

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2005.h.35-7.

2. Mangunkusumo. E, Rifki N. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2006.h.119-27.

3. Becker W, et al. Ear, nose, and throat diseases. Edisi ke-2. New York: Thieme.2003.h.73-8.

4. Bickley, Linn S. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi ke-8.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.h.2003.339-43.

5. Efiaty AS, Nurbati I, Jenny B, Ratna DR. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2011.h.128-40.

15