referat ikterus

62
BAB I PENDAHULUAN Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jauneyang berarti kuning. Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah. Untuk pendekatan terhadap pasien ikterus perlu ditinjau kembali patofisiologi terjadinya peninggian bilirubin indirek atau direk. 1 Pada banyak pasien ikterus dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti ditambah dengan pemeriksaan laboratorium yang sederhana, diagnosis dapat ditegakkan. Namun tidak jarang diagnosis pasti masih sukar ditetapkan, sehingga perlu dipikirkan berbagai pemeriksaan lanjutan. Ikterus merupakan suatu sindroma yang dikarakteristikkan oleh adanya hiperbilirubinemia dan deposit pigmen empedu pada jaringan termasuk kulit dan membran mukosa. Secara garis besar ikterus dapat digolongan menjadi ikterus fisiologis maupun patologis. Ikterus patologis sering didapatkan pada dewasa, dan terbagi menjadi beberapa tipe, yaitu yaitu ikterus pre hepatika

description

ikterus icterus pendekatan klinis

Transcript of referat ikterus

BAB I

PENDAHULUAN

Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning. Ikterus

adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang

menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi

darah. Untuk pendekatan terhadap pasien ikterus perlu ditinjau kembali patofisiologi

terjadinya peninggian bilirubin indirek atau direk. 1

Pada banyak pasien ikterus dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti

ditambah dengan pemeriksaan laboratorium yang sederhana, diagnosis dapat ditegakkan.

Namun tidak jarang diagnosis pasti masih sukar ditetapkan, sehingga perlu dipikirkan

berbagai pemeriksaan lanjutan. Ikterus merupakan suatu sindroma yang dikarakteristikkan

oleh adanya hiperbilirubinemia dan deposit pigmen empedu pada jaringan termasuk kulit dan

membran mukosa. Secara garis besar ikterus dapat digolongan menjadi ikterus fisiologis

maupun patologis. Ikterus patologis sering didapatkan pada dewasa, dan terbagi menjadi

beberapa tipe, yaitu yaitu ikterus pre hepatika (hemolitik), ikterus hepatika (parenkimatosa)

dan ikterus post hepatika (obstruksi). Terdapat dua bentuk ikterus obstruksi yaitu obstruksi

intra hepatal dan ekstra hepatal. Ikterus obstruksi intra hepatal dimana terjadi kelainan di

dalam parenkim hati, kanalikuli atau kolangiola yang menyebabkan tanda-tanda stasis

empedu sedangkan ikterus obstruksi ekstra hepatal terjadi kelainan diluar parenkim hati

(saluran empedu di luar hati) yang menyebabkan tanda-tanda stasis empedu.1

BAB II

STATUS PASIEN INTERNA

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny Dahlia

Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 01 – 12 – 1979

Usia : 34 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jl. Kampung Dalam Rt. 1/11 Jatinegara

Tanggal masuk RS : 26-04-2014

No. Rekam Medik : 00834501

ANAMNESIS

Keluhan Utama : Mata dan badan berwarna kuning sejak 1 minggu SMRS

Keluhan tambahan : Mual, badan terasa lemas

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan mata dan badan berwarna kuning sejak 1 minggu SMRS,

awalnya hanya kedua mata yang berwarna kuning lalu ke seluruh tubuh dimulai dari telapak

tangan, badan dan kaki serta kuku. Pasien merasakan badan terasa lemas, cepat lelah jika

beraktifitas, pusing (-) sakit kepala (-), nafsu makan berkurang, pasien mual, tanpa disertai

muntah terutama jika masuk makanan, pasien hampir selalu tidak menghabiskan

makanannya, perut pasien terasa kembung, dan jika ditekan perut dibagian atas terasa nyeri,

nyeri tidak menjalar, batuk (-), sesak (-) pasien sempat demam 2 hari SMRS, demam tidak

terlalu tinggi, demam muncul siang hari, keesokan harinya sudah tidak demam lagi,

menggigil (-), pasien mengatakan buang air kecil lancar, tetapi warna air kencing menjadi

kuning keruh seperti air teh, buang air besar lancar, sudah 2x buang air besar, tetapi warna

kotoran menjadi kuning pucat, kadang berwarna keabu-abuan, pasien menyangkal adanya

penurunan berat badan selama ini. Pasien juga menyangkal adanya perut yang semakin

membesar selama ini.

Riwayat Penyakit Dahulu :

11 bulan yang lalu pasien pernah dirawat selama 4 hari dengan keluhan yang sama,

mual lebih hebat disertai dengan muntah dan juga nyeri perut bagian atas, nyeri

dirasakan seperti menusuk dan nyeri terasa hebat, oleh dokter dikatakan pasien

menderita hepatitis B aktif dan batu empedu namun batu masih kecil pasien boleh

pulang

Tidak ada riwayat tekanan darah tinggi

Tidak ada riwayat penyakit diabetes melitus

Tidak ada riwayat penyakit jantung

Tidak ada riwayat penyakit maag

Tidak ada riwayat penyakit asma

Riwayat Penyakit Keluarga :

Keluarga dengan keluhan penyakit yang sama : ayah dan teman dekat

Tidak ada riwayat tekanan darah tinggi

Tidak ada riwayat penyakit diabetes melitus

Tidak ada riwayat penyakit jantung

Tidak ada riwayat asma.

Riwayat Pengobatan : Pasien tidak meminum obat untuk keluhan saat ini

Riwayat Alergi : Tidak ada alergi makanan dan alergi obat

Riwayat psikososial : Pasien bekerja sebagai penjual soto, setiap hari bekerja ± 15 jam

sehari, pasien suka makan makanan yang dibeli diluar tidak

masakan sendiri, suka makanan yang mengandung lemak, jeroan,

pasien tidak merokok, jarang berolahraga, pasien pernah minum

minuman beralkohol (jarang), pasien sering mengkonsumsi

minuman bersoda (sehari 2x), pasien pernah melakukan donor darah

(1,5 tahun yang lalu), pasien tinggal sekamar dengan sahabatnya

(perempuan) selama ± 10 tahun, sering bergantian pakaian dan

barang pribadi, teman pasien pernah menderita sakit kuning, dirawat

selama 5 hari dirumah sakit, kemudian pulang kerumah dijaga oleh

pasien sampai keluhan sakit kuning menghilang kemudian pasien

tidak tinggal bersama lagi, terakhir kalinya (2 minggu SMRS)

pasien mengunjungi rumah temannya tersebut dan 1 minggu SMRS

gejala kuning pada pasien kambuh lagi.

PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis

Tanda-tanda vital

Tekanan Darah :110/80 mmHg

Suhu : 36,5 oC

Nadi : 91 x/menit

Pernafasan : 20 x/menit

Antropometri

Berat Badan : 52 kg

Tinggi Badan : 155 cm

Status Gizi : 21.6 Normoweight

STATUS GENERALIS

Kepala : Normocephal, Rambut tidak rontok.

Mata : refleks cahaya +/+ (isokor), Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterus +/+

Hidung : sekret -/- , epistaksis -/-

Mulut : bibir kering (+), mukosa lembab, lidah tidak kotor, stomatitis (-), sianosis (-)

Telinga : cairan -/-, serumen -/-

Leher : tidak ada pembesaran KGB -/-, tidak ada pembesaran tiroid -/-

Paru :

Inspeksi : simetris, retraksi otot napas -/-, spider nevi (-)

Palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama, nyeri tekan -/-

Perkusi : sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : suara nafas vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Denyut jantung di ictus cordis tidak teraba

Perkusi : Batas jantung normal

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :

Inspeksi : Datar, tidak tampak massa, skar (-)

Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), hepatomegali (+) 2 cm dibawah

arcus costae, teraba keras, tepi tumpul, tidak berbenjol benjol,

splenomegali (-)

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus normal

Ekstremitas atas : Ikterus (+/+)

Akral : hangat

RCT < 2 detik : <2 detik

Edema : (-/-)

Ekstremitas bawah : Ikterus (+/+)

Akral : hangat

RCT < 2 detik : < 2 detik

Edema : (-/-)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Tanggal 25-04-2014Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hemoglobin 13,4 g/dL 11,5 – 16,5Leukosit 8.690 /uL 4.400 – 11.300Hematokrit 38,3 % 36 - 46Trombosit 268.000 /uL 150.000 – 450.000Eritrosit 4,71 106 /uL 4,0 – 5,2MCV 81.3 fL 80 – 100MCH 28.5 Pg 26,0 – 34,0MCHC 35.0 g/dL 31,0 – 37,0Eosinofil 1 % 2 – 4Basofil 1 % 0 – 1Neutrofil batang 0 % 3 – 5Neutrofil segmen 58 % 50 – 70Limfosit 28 % 25 – 40Monosit 12 % 2 – 8LED 7 mm/jam 0 – 25

UrinalisisJenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Warna Kuning TuaKejernihan Agak KeruhBJ 1,016 1,015 – 1,025PH 6,5 4,8 – 7,4Protein Negatif NegatifGlukosa Negatif NegatifKeton Positip 1 (5.8 mg/dL) NegatifBilirubin Positip 2 (6.8 mg/dL) NegatifUrobilinogen 8 mg/dL <1Nitrit Negatif NegatifDarah Negatif NegatifLeukosit Esterase Negatif NegatifSedimenEritrosit 1 – 2 /LPB 0 – 2Lekosit 6 – 8 /LPB 0 – 5Epitel 8 – 10 /lp 5 – 15Silinder Negatif /lpKristal NegatifBakteri PositifTumor MarkerAFP 8,28 ng/mL <15

CEA 5,59 ng/mL Bukan perokok : <3,8Perokok : <5,5

CA 15-3 21,81 u/mL <25CA-125 30,08 u/mL <35

Tanggal : 26 – 04 – 2014 Jam 18.35Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hemoglobin 12,9 g/dL 11,5 – 16,5Leukosit 9200 /uL 4.400 – 11.300Hematokrit 36 % 36 – 46Trombosit 283.000 /uL 150.000 – 450.000Eritrosit 4,59 106 /uL 4,0 – 5,2MCV 79 fL 80 – 100MCH 28 Pg 26,0 – 34,0MCHC 35 g/dL 31,0 – 37,0

GDS 195 mg/dL 70 – 200

SGOT 460 U/L 10 – 31SGPT 699 U/L 9 – 36Ureum Darah 12 mg/dL 10 – 50Kreatinin Darah 0.3 mg/dL < 1,4ElektrolitNatrium (Na) 131 mEq/L 135 – 147Kalium (K) 2.7 mEq/L 3.5 – 5.0Klorida (Cl) 98 mEq/L 94 - 111

Tanggal 26 – 04 – 2014 Jam 19.19Kimia klinikAlbumin 3.2 g/dL 4.0 – 5.2Bilirubin total 31.9 mg/dL < 1.0Bilirubin direk 21.7 mg/dL < 0.3Bilirubin indirek 10.2 mg/dL < 0.8Petanda hepatitisHBsAg (Kualitatif) - (negative) - (negative)

Tanggal 28 – 04 – 2014 Jam 07.54 ElektrolitNatrium (Na) 139 mEq/L 135 – 147Kalium (K) 3.4 (L) mEq/L 3.5 – 5.0Klorida (Cl) 100 mEq/L 94 – 111

RESUME

Pasien wanita usia 34 tahun datang dengan keluhan mata dan badan berwarna kuning

sejak 1 minggu SMRS, telapak tangan, kaki serta kuku juga kuning, badan terasa

lemas, cepat lelah jika beraktifitas, nafsu makan berkurang, mual, tanpa disertai

muntah terutama jika masuk makanan, perut terasa kembung, nyeri tekan perut bagian

atas, nyeri tidak menjalar, sempat demam 2 hari SMRS, demam tidak tinggi, keesokan

harinya sudah tidak demam lagi, warna air kencing menjadi kuning keruh seperti air

teh, sudah 2x buang air besar, warna kotoran menjadi kuning pucat, kadang berwarna

keabu-abuan, pasien menyangkal adanya penurunan berat badan dan perut semakin

membesar selama ini. 11 bulan yang lalu pasien pernah dirawat selama 4 hari dengan

keluhan yang sama, mual lebih hebat disertai dengan muntah dan juga nyeri perut

bagian atas, riwayat hepatitis B aktif, ayah dan teman dekat pasien menderita penyakit

kuning. pada pemeriksaan fisik didapatkan : Tekanan darah : 110/80 mmHg, Suhu :

36,5 oC, Nadi : 91 x/menit, Pernafasan : 20 x/menit, mata: konjugtiva anemis -/-,

sclera ikterik +/+ , kulit badan : kuning, mulut : bibir kering (+), abdomen : nyeri

tekan epigastrium (+), hepatomegali (+) 2 cm dibawah arcus costae, teraba keras, tepi

tumpul, pada pemeriksaan laboratorium didapatkan : SGOT 460 U/L, SGPT 699 U/L,

Kalium (K) 2.7 mEq/L, Bilirubin total: 31.9 mg/dL, Bilirubin direk: 21.7 mg/dL,

Bilirubin indirek 10.2 mg/dL, HbSAg : Negative. CEA : 5,59 ng/ml

DAFTAR MASALAH

1. Ikterus

2. Dyspepsia

3. Hipokalemia

ASSESSMENT

1. IKTERUS

S : Anamnesis :

Pasien mengeluh mata dan badan berwarna kuning sejak 1 minggu SMRS, awalnya

hanya kedua mata yang berwarna kuning lalu ke seluruh tubuh dimulai dari telapak

tangan, badan dan kaki serta kuku. Pasien merasakan badan terasa lemas, cepat lelah

jika beraktifitas, nafsu makan berkurang, warna kotoran menjadi kuning pucat,

kadang berwarna keabu-abuan, warna air kencing menjadi kuning keruh seperti air

teh, 11 bulan yang lalu pasien pernah dirawat selama 4 hari dengan keluhan yang

sama, mual lebih hebat disertai dengan muntah dan juga nyeri perut bagian atas,

riwayat hepatitis B aktif, ayah dan teman dekat pasien menderita penyakit kuning.

O: Pemeriksaan fisik :

Mata: konjugtiva anemis -/-, sclera ikterik +/+ , kulit badan : kuning, Abdomen :

nyeri tekan epigastrium (+), hepatomegali (+) 2 cm dibawah arcus costae, teraba

keras, tepi tumpul. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan : SGOT 460 U/L,

SGPT 699 U/L, Bilirubin total: 31.9 mg/dL, Bilirubin direk: 21.7 mg/dL,

Bilirubin indirek 10.2 mg/dL, HbSAg : Negative.

A: Ikterus e.c suspect Hepatitis B kronis

Ikterus e.c. suspect hepatoma

P: Rdx:

Tes HBSAg kualitatif

Anti HBe

HBV DNA

Anti HAV IgM

MRCP

Ca 19-9

Biopsi hati

Rth:

IFN 5 Juta Unit 1x1 selama 4 bulan

Lamivudine tab 100 mg 1x1

Non medika mentosa :

Pasien sebaiknya tidak melakukan donor darah, tidak pinjam meminjam

alat cukur dan sikat gigi.

Diet tinggi kalori, protein dan lemak secukupnya

Bed rest

Hindari minum alcohol

2. Dyspepsia

S : Anamnesis :

Pasien mual, tanpa disertai muntah terutama jika masuk makanan, pasien hampir

selalu tidak menghabiskan makanannya, perut pasien terasa kembung, nyeri ulu

hati

O: Pemeriksaan fisik :

Abdomen : Nyeri tekan epigastrium (+)

A: Dyspepsia

P: Rdx: Pemeriksaan elektrolit

Rth: ranitidin injeksi 2x1

3. Hipokalemia

S :

O: Kalium (K) 2.7 mEq/L

A: Hipokalemia

P: Rdx: Pemeriksaan elektrolit

Rth: KCl 25 mEq dalam NaCl/ 12 jam

BAB III

FISIOLOGI DAN BIOKIMIA HATI

Hati merupakan organ yang terletak pada abdomen pada kuadran kanan atas yang menempati

sebagian besar hipokondrium kanan sampai epigastrium. Hati melaksanakan berbagai macam

metabolisme pada tubuh yang akan dijelaskan dibawah ini. Selain itu adapun fungsi hati

dalam memberikan pewarnaan pada feses dan juga pada urin. 1

3.1. Fisiologi Hati

Produk sekretorik lain yang mengalir ke dalam lumen duodenum adalah empedu. Sistem

empedu mencakup hati, kandung empedu, dan duktus-duktus terkait. Hati adalah organ

metabolik terbesar dan terpenting di tubuh. Organ ini penting bagi sistem pencernaan

untuk sekresi garam empedu, tetapi hati juga melakukan berbagai fungsi lain,

mencangkup hal-hal berikut : 1,2

1. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein) setelah

penyerapan mereka dari saluran pencernaan.

2. Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat dan senyawa asing

lainnya.

3. Sintesis berbagai protein plasma, mencangkup protein-protein yang penting unutk

pembekuan darah serta untuk mengangkut hormon tiroid, steroid, dan kolesterol

dalam darah.

4. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.

5. Pengaktifan vitamin D, yang dilaksanakan oleh hati bersama ginjal.

6. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang usang, berkat adanya makrofage

residen.

7. Ekskresi kolesterol dan bilirubin, yang terakhir dalah produk penguraian yang berasal

dari destruksi sel darah merah yang sudah usang.

Walaupun fungsinya sangat beragam, spesialisasi sel-sel di dalam hati sangat sedikit.

Tiap-tiap sel hati, atau hepatosit, tampaknya mampu melaksanakan berbagai tugas

metabolik diatas, kecuali aktivitas sel fagositik yang dilaksanakan oleh makrofag residen

atau yang lebih dikenal dengan sel Kupffer. Spesialisasi berlangsung di organel-organel

yang sangat berkembang di dalam hepatosit.1,2

Untuk melaksanakan berbagai tugas tersebut, hati secara anatomis tersusun sedemikian

rupa, sehingga setiap hepatosit dapat berkontak langsung dengan darah dari dua sumber:

darah vena langsung memasuki hati melalui hubungan vaskuler yang khas dan kompleks

yang dikenal sebagai sistem porta hati. Vena yang mengalir dari saluran pencernaan

tidak secara langsung menyatu dengan vena cava inferior, vena besar yang

mengembalikan darah ke jantung. Malahan, vena-vena dari lambung dan usus memasuki

vena porta hepatika, yang mengangkut produk-produk yag diserap dari saluran

pencernaan langsung ke hati untuk diolah, disimpan, atau didetoksifikasi sebelum

produk-produk tersebut mendapatkan akses ke sirkulasi umum. Di dalam hati, vena porta

kembali bercabang-cabang menjadi jaringan kapiler (sinusoid hati) yang memungkinkan

pertukaran antara darah dan hepatosit sebelum mengalirkan darah ke vena hepatika, yang

kemudian menyatu dengan vena kava inferior. Hepatosit juga mendapat darah arteri

yang segar, yang menyalurkan oksigen mereka dan menyalurkan metabolit-metabolit

untuk diolah di hati. 1,2

3.1.1. Lobulus-Lobulus Hati dipisahkan Oleh Pembuluh Vaskuler dan Empedu 1,2

Hati tersusun menjadi unit-unit fungsional yang dikenal sebagai lobulus, yaitu susunan

heksagonal jaringan yang mengelilingi sebuah vena sentral, seperti kue angel

food besudut enam dengan lubang mewakili vena sentral. Ditepi luar setiap potongan

lobulus terdapat tiga pembuluh: cabang arteri hepatika, cabang vena porta, dan duktus

biliaris. Darah dari cabang-cabang arteri hepatika dan vena porta tersebut mengalir dari

perifer lobulus ke dalam ruang kapiler yang melebar disebut sinusoid. Sinusoid ini

terdapat di antara barisan sel-sel hati ke vena sentral seperti jari-jari pada ban sepeda.

Sel-sel Kupffer melapisi bagian dalam sinusoid dan mengahancurkan sel darah merah

yang usang serta bakteri yang lewat besama darah. Hepatosit tersusun di antara

sinusoid-sinusoid dalam lempeng yang tebalnya dua lapis sel, sehingga setiap tepi

lateralnya berhadapan dengan darah sinusoid. Vena sentral dari semua lobulus hati

menyatu untuk membentuk vena hepatika, yang menyalurkan darah keluar dari hati.

Terdapat sebuah saluran tipis penyalur empedu, kanalikulus biliaris, yang berjalan

diantara sel-sel di dalam setiap lempeng hati. Hepatosit secara terus menerus

mengeluarkan empedu ke dalam saluran tipis tersebut, yang mengangkutnya ke duktus

biliaris di perifer lobulus. Duktus biliaris dari berbagai lobulus menyatu untuk

akhirnya membentuk duktus biliaris komunis, yang menyalurkan empedu dari hati ke

doudenum. Setiap hepatosit berkontak dengan sinusoid di satu sisi dan dengan

kanalikulus biliaris di sisi lain.

3.1.2. Empedu disekresikan Oleh Hati dan dibelokkan ke kandung empedu di antara waktu

makan. 1,2

Lubang duktus biliaris ke dalam duodenum dijaga oleh sfingter Oddi, yang mencegah

empedu memasuki duodenum, kecuali selama ingesti makanan. Apabila sfingter

tertutup, sebagian besar empedu yang dihasilkan oleh hati akan dibelokkan ke dalam

kandung empedu, suatu struktur kecil berbentuk kantung yang melekat di bawah, tetapi

tidak berhubungan langsung dengan hati. Empedu kemudian disimpan dan dipekatkan

didalam kandung empedu di antara waktu makan. Setelah makan, empedu masuk ke

duodenum akibat kombinasi efek pengosongan kandung empedu dan peningkatan

sekresi empedu oleh hati. Jumlah empedu yang disekresikan per hari berkisar dari 250

ml sampai 1 liter, bergantung pada derajat rangsangan.

3.1.3. Garam empedu didaur-ulang melalui sirkulasi enterohepatik. 1,2

Empedu terdiri dari cairan alkalis encer yang serupa dengan sekresi NaHCO3 pankreas

serta beberapa konstituen organik, termasuk garam-garam empedu, kolesterol, lesitin,

dan bilirubin. Konstituen organik berasal dari aktivitas hepatosit, sedangkan air,

NaHCO3, dan garam anorganik lain ditambahkan oleh sel-sel duktus. Walaupun tidak

mengandung enzim percernaan apapun, empedu penting untuk proses pencernaan dan

penyerapan lemak, terutama melalui aktivitas garam empedu.

Garam empedu adalah turunan kolesterol. Mereka secara aktif disekresikan ke dalam

empedu dan akhirnya masuk ke duodenum bersama dengan kontituen empedu lainnya.

Setelah ikut serta dalam pencernaan dan penyerapan lemak, sebagian besar garam

empedu direabsorbsi ke dalam darah oleh mekanisme transportasi aktif khusus yang

terdapat dalam ileum terminal, bagian terakhir dari usus halus. Dari sini garam-garam

empedu dikembalikan melalui sistem porta hepatika ke dalam hati, yang kembali

mensekresikan mereka ke dalam empedu. Pendaurulangan garam-garam empedu antara

usus halus dan hati ini disebut sebagai sirkulasi enterohepatik.

Jumlah total garam empedu di dalam tubuh rata-rata adalah 3 sampai 4 gram, namun

dalam satu kali makan garam empedu yang disalurkan ke duodenum dapat mencapai 3

sampai 15 gram. Jelaslah, bahwa garam empedu harus didaur-ulang beberapa kali

sehari. Biasanya hanya sekitar 5% dari garam empedu yang disekresikan oleh hati lolos

melalui tinja setiap harinya. Garam empedu yang hilang tersebut digantikan oleh garam

empedu yang baru disintesis oleh hati, dengan demikian jumlah simpanan garam

empedu dipertahankan konstan.

3.1.4. Garam empedu membantu pencernaan dan penyerapan lemak masing – masing

melalui efek deterjen dan pembentukan misel. 1,2

Garam empedu membantu pencernaan lemak melalui efek deterjen (emulsifikasi)

mereka dan mempermudah penyerapan lemak melalui partisifasi mereka dalam

pembentukan misel. Kedua fungsi ini terkait dengan struktur garam empedu

Efek deterjen garam empedu. Efek deterjen mengacu pada kemampuan garam

empedu mengubah globulus – globulus lemak berukuran besar menjadi emulsi lemak

yang terdiri dari banyak butir lemak kecil yang terbenam di dalam cairan kimus.

Dengan demikian, luas permukaan yang tersedia untuk aktifitas lipase pancreas

meningkat. Agar dapat mencerna lemak, lipase harus berkontak langsung dengan

molekul trigliserida. Karena tidak larut dalam air, molekul – molekul lemak

cenderung menggumpal menjadi butir – butir besar dalam lingkungan lumen usus

yang banyak mengandung air. Jika garam empedu tidak mengemulsifikasi butir –

butir lemak ini, lipase hanya dapat bekerja pada lemak yang terdapat di permukaan

butiran tersebut, dan pencernaan trigliserida akan berlangsung sangat lama.

Garam empedu memperlihatkan efek deterjen serupadengan deterjen yang anda

gunakan untuk melarutkan minyak sewaktu mencuci piring. Molekul garam empedu

mengandung bagian larut lemak (steroid yang berasal dari kolesterol) ditambah

bagian larut air yang bermuatan negatif. Bagian larut lemak akan larut dalam butiran

lemak, sehingga bagian larut air yang bermuatan negative menonjol dari permukaan

butiran lemak. Gerakan mencampur usus akan memecah – mecah butiran lemak

menjadi butiran yang lebih kecil. Butiran – butiran kecil ini akan kembali menyatu

apabila tidak terdapat garam empedu dipermukaannya yang membentuk “selaput”

bermuatan negative larut air di permukaan setiap butir kecil tersebut. Karena muatan

yang sama akan tolak menolak, gugus bermuatan negative dipermukaan butiran lemak

akan menyebabkan butiran lemak tersebut saling menolak satu sama lain. Tolak

menolak listrik ini mencegah butir lemak kecil menyatu kembali membentuk butir

lemak besar sehingga tercipta emulsi lemak yang meningkatkan luas permukaan yang

tersedia untuk kerja lipase. Perningkatan luas permukaan sangat penting untuk

menyelesaikan pencernaan lemak dengan cepat; tanpa garam, empedu, pencernaan

lemak akan berjalan sangat lamban. 2,3

Pembentukan misel. Garam empedu bersama dengan kolesterol dan lisitin, yang juga

merupakan konstituen empedu berperan penting mempermudah penyerapan lemak

melalui pembentukan misel. Seperti garam empedu, lesitin memiliki bagian yang larut

lemak dan larut air, sementara kolesterol hampir tidak dapat larut sama sekali dalam

air. Dalam suatu misel (micelle), garam empedu dan lesitin menggumpal dalam

kelompok – kelompok kecil dengan bagian larut lemak berkerumun dibagian tengah

untuk membentuk inti “hidrofobik” (“takut air”) sementara bagian larut air

membentuk selafut hidrofilik (“senang air”) dibagian luar. Agregat misel memiliki

ukuran sekitar seperjuta lebih kecil daripada butir emulsi lemak. Misel, karena larut

air akibat lapisan hidrofiliknya, dapat melarutkan zat – zat tidak larut air (dan dengan

demikian larut lemak) diintinya yang larut lemak. Dengan demikian, misel merupakan

vehikulum yang praktis untuk merngangkut bahan – bahan yang tidak larut air dalam

isi lumen yang banyak mengandung air. Bahan larut lemak yang paling penting yang

diangkut adalah produk pencernaan lemak (monogliserida dan asam lemak bebas)

serta vitamin – vitamin larut lemak, yang diangkut ketempat penyerapannya dengan

menggunakan misel. Jika tidak menumpang di misel yang larut air ini, nutrient –

nutrient tersebut akan mengapung di permukaan cairan kimus (seperti minyak

mengapung diatas air) dan tidak pernah mencapai permukaan absorptive usus halus

Selain itu, kolesterol, suatu zat yang sangat tidak larut air, larut dalam inti misel

hidrofobik. Mekanisme ini penting dalam homeostasis kolesterol. Jumlah kolesterol

yang dapat diangkut dalam bentuk misel bergantung pada jumlah relative garam

empedu dan lisitin terhadap kolesterol. Apabila sekresi kolesterol oleh hati melebihi

sekresi garam empedu atau lesitin (baik kolesterolnya teralu banyak atau garam

empedu dan lesitinnya teralu sedikit), kelebihan kolesterol dalam empedu akan

mengendap menjadi mikrokristal yang dapat menggumpal menjadi batu empedu.

Salah satu pengobatan untuk batu empedu yang mengandung kolesterol adalah ingesti

garam – garam empedu untuk meningkatkan kandungan garam empedu sebagai usaha

untuk melarutkan batu kolesterol. Namun, hanya sekitar 75% batu empedu yang

berasal dari kolesterol. Dua puluh lima persen sisanya terbentuk akibat pengendapan

normal konstituen empedu lainnya, yakni bilirubin. 2,3

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

4.1. Definisi

Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning.

Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran

mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya

dalam sirkulasi darah. 1,2,3

Bilirubin dibentuk sebagai akibat pemecahan cincin hem, biasanya akibat

metabolisme sel darah merah. Penumpukan bilirubin dalam aliran darah menyebabkan

pigmentasi kuning dalam plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada

jaringan yang memperoleh banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin serum akan

menumpuk kalau produksinya dari heme melampaui metabolisme dan ekskresinya.

Ketidakseimbangan antara produksi dan klirens dapat terjadi akibat pelepasan prekursor

bilirubin secara berlebihan ke dalam aliran darah atau akibat proses fisiologi yang

mengganggu ambilan (uptake) hepar, metabolisme ataupun ekskresi metabolit ini. 1,2,3

Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi

kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/L) atau sekitar 2 kali batas

atas kisaran normal. Dan jika ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin

mungkin sebenarnya sudah mencapai angka 7 mg%. Kadar bilirubin serum normal adalah

bilirubin direk : 0-0.3 mg/dL, dan total bilirubin: 0.3-1.0 mg/dL. 4

Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap

bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan tanda yang lebih sensitif untuk

menunjukkan hiperbilirubinemia daripada ikterus yang menyeluruh. Tanda dini yang

serupa untuk hiperbilirubinemia adalah warna urin yang gelap yang terjadi akibat ekresi

bilirububin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukoronid. Pada ikterus yang mencolok

kulit dapat berwarna kehijauan karena oksidasi sebagian bilirubin yang beredar menjadi

biliverdin. 11

Gambar 1. Sklera ikterik

4.2. Patofisiologi

Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung

dalam 3 fase, yaitu prehepatik, intrahepatik, pascahepatik, masih relevan. Walaupun

diperlukan penjelasan akan adanya fase tambahan dalam tahapan metabolisme bilirubin.

pembagian yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga tahapan metabolisme bilirubin

menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor plasma, liver uptake, konjugasi,

dan ekskresi bilier. Ikterus disebabkan oleh gangguan pada salah satu dari 5 fase

metabolisme bilirubin tersebut. 3

Fase Prahepatik 3,7

Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan oleh hal-hal

yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah).

A. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4mg

per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel

darah merah yang matang oleh sel sel retikuloendotelial, sedangkan sisanya

(early labeled bilirubin) 20-30% berasal dari protein heme lainnya yang berada

terutama dalam sumsum tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah

merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin. Sebagian dari

protein hem dipecah menjadi besi dan produk diantara biliverdin dengan

perantaraan enzim hemeoksigenase. Enzim lain, biliverdin reduktase, mengubah

biliverdin menjadi bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama dalam sel system

retikuloendotelial (mononuklir fagositosis). Peningkatan hemolysis sel darah

merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.

Pembentukan early labeled bilirubin meningkat pada beberapa kelainan dengan

eritropoiesis yang tidak efektif namun secara klinis kurang penting.

B. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak

terkonjugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak

dapat melalui membran glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni.

Ikatan melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis, dan beberapa bahan

seperti antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat ikatan dengan

albumin.

Fase Intrahepatik 3,7

Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati yang

mengganggu proses pembuangan bilirubin

C. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan

berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin. Pengambilan oleh

hati secara rinci dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y,

belum jelas.

D. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami

konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida / bilirubin

konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan bilirubin yang

tidak larut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai kompleks dengan

molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak terdapat dalam

empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang larut dalam air

sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh

konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga terbentuk bilirubin glukuronid /

bilirubin terkonjugasi / bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh enzim

microsomal glukoronil-transferase menghasilkan bilirubin yang larut air.

Fase Pascahepatik 3,7

Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati oleh batu

empedu atau tumor

E. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama

bahan lainnya. Anion organic lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang

kompleks ini. Di dalam usus, flora bakteri mereduksi bilirubin menjadi

sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang

memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam

empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai mencapai air seni sebagai

urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan bilirubin konjugasi tetapi tidak bilirubin

tak terkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap khas pada

gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik. Bilirubin tak terkonjugasi

bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak

terkonjugasi dapat melewati barrier darah-otak atau masuk ke dalam plasnta.

Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi dengan

gula melalui enzim glukoroniltransferase dan larut dalam empedu cair.

Gangguan metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat salah satu dari keempat mekanisme

ini: over produksi, penurunan ambilan hepatik, penurunan konjugasi hepatik, penurunan

eksresi bilirubin ke dalam empedu (akibat disfungsi intrahepatik atau obstruksi mekanik

ekstrahepatik). 3

Metabolisme Bilirubin

Usus

Reabsorbsi

Bakteri Usus

Glucoronyl Transferase

Hemoglobin (RES)

Heme Globin

Bilirubin Unconjugated

Bilirubin Conjugated

Urobilinogen

Hepar

Stercobilin Urobilin Urin

Ginjal

Fase Prehepatik:- Pembentukan bilirubin (Bil Indirek)- Transport plasma

Fase intrahepatik:- Liver uptake:Scr aktif ( peran protein pengikat(ligandin/protein Y dan non uptake albumin)

- Konjugasi:Bil. Terkonjungasi dng asamglukoronik→ diglukuronida (Bil. direk) → Dikatalise oleh enzimemikrosomal glukoronik transferase(Bil.larut air)

Fase pascahepatik- Ekskresi (Bil. Direk) → flora usus

bakteri (medekonjugasu & mereduksi) → Sterkobilinogen (feces kecoklatan) → Empedu / ginjal(urobilinogen).

4.3. PENYAKIT GANGGUAN METABOLISME BILIRUBIN

A. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek

Hemolisis. Walaupun hati yang normal dapat memetabolisme kelebihan bilirubin, namun

peningkatan konsentrasi bilirubin pada keadaan hemolysis dapat melampaui

kemampuannya. Pada keadaan hemolysis yang berat konsentrasi bilirubin jarang lebih

dari 3 – 5 mg/dL (>51-86 umol/L) kecuali kalau terdapat kerusakan hati juga. Namun

demikian kombinasi hemolysis yang sedang dan penyakit hati yang ringan dapat

mengakibatkan keadaan icterus yang lebih berat; dalam hal ini hiperbilirubinemia

bercampur, karena ekskresi empedu kanalikular terganggu. 4,5

Sindrom Gilbert. Gangguan yang bermakna adalah hiperbilirubinemia indirek (tak

terkonjugasi), yang menjadi penting secara klinis, karena keadaan ini sering

disalahartikan sebagai penyakit hepatitis kronis. Penyakit ini menetap, sepanjang hidup

dan mengenai sejumlah 3-5 % pendudu dan ditemukan pada kelompok umur dewasa

muda dengan keluhan tidak spesifik secara tidak sengaja. Beberapa anggota keluarga

sering terkena tetapi bentuk genetika yang pasti belum dapat dipastikan. Patogenesisnya

belum dapat dipastikan adanya gangguan (defek) yang kompleks dalam pengambilan

bilirubin dari plasma yang berfluktuasi antara 2-5 mg/dL (34-86 umol/L) yang cenderung

naik dengan berpuasa dan keadaan stress lainnya. Keaktifan enzim glukoroniltransferase

rendah; karenanya mungkin ada hubungan dengan Sindrom Crigller-Najjar tipe II.

Banyak pasien juga mempunyai masa hidup sel darah merah yang berkurang, namun

demikian tidak cukup untuk menjelaskan keadaan hiperbilirubinemia. 4,5

Sindrom Gilbert dapat dengan mudah dibedakan dengan hepatitis dengan tes faal hati

yang normal, tidak terdapatnya empedu dalam urin, dan fraksi bilirubin indirek yang

dominan. Hemolysis dibedakan dengan tidak terdapatnya anemia atau retikulosis.

Histologi hati normal, namun biopsy hati tidak diperlukan untuk diagnosis. Pasien harus

diyakinkan bahwa tidak ada penyakit hati. 4,5

Sindrom Crigler-Najjar. Penyakit yang diturunkan dan jarang ini disebabkan oleh

karena adanya keadaan kekurangan glukoronil-transferase, terdapat dalam 2 bentuk.

Pasien dengan autosom resesif tipe 1 (lengkap=komplit) mempunyai hiperbilirubinemia

yang berat dan biasanya meninggal pada umur 1 tahun. Pasien dengan penyakit autosom

resesif tipe 2 (sebagian=parsial) mempunyai hiperbilirubinemia yang kurang berat (<20

mg/dL, <342 umol/L) dan biasanya bisa hidup sampai masa dewasa tanpa kekurangan

neurologic. Fenobarbital, yang dapat merangsang kekurangan glukoronil transferase,

dapat mengurangi kuning. 4,5

B. Hiperbilirubinemia konjugasi/direk 3,6

Hiperbilirubinemia Konjugasi Non-kolestasis

Sindrom Dubin-Johnson. Penyakit autosom resesif ditandai dengan ikterus yang ringan

dan tanpa keluhan. Kerusakan dasar terjadinya gangguan eksresi berbagai anion organic

seperti juga bilirubin, namun ekskresi garam empedu tidak terganggu. Berbeda dengan

sindrom gilbert, hiperbilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin konjugasi dan empedu

terdapat dalam urin.

Hati mengandung pigmen sebagai akibat bahan seperti melanin, namun gambaran

histologi normal. Penyebab deposisi pigmen belum diketahui. Nilai aminotransferase dan

fosfatase alkali normal. Oleh karena sebab yang belum diketahui gangguan yang khas

eksresi korpopofirin urin dengan rasio reversal isomer I;III menyertai keadaan ini. 4,5

Sindrom rotor. Penyakit jarang ini menyerupai sindrom dubin-johnson, tetapi hati tidak

mengalami pigmentasi dan perbedaan metabolic lain yang nyata ditemukan. 4,5

Hiperbilirubinemia Konjugasi Kolestasis

Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan eksresi bilirubin

kedalam empedu. Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh kelainan

intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit

akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi sistemik sehingga

timbul hiperbilirubinemia. 4,5

Kolestasis intrahepatic. Istilah kolestasis lebih disukai untuk pengertian ikterus

obstruktif sebab obstruksi yang bersifat mekanis tidak perlu selalu ada. Aliran empedu

dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati (kanalikulus), sampai ampula

Vater. Untuk kepentingan klinis, membedakan penyebab sumbatan intrahepatic atau

ekstrahepatik sangat penting. Penyebab paling sering kolestasis intrahepatic adalah :

Hepatitis, alkohol, leptospirosis, kolestatis obat (CPZ), zat yang meracuni hati fosfor,

kloroform, obat anestesi dan penyakit hepatitis autoimun. Penyebab yang kurang sering

adalah : Sirosis hati bilier primer, kolestasis pada trimester terakhir kehamilan, sindroma

Dubin Johnson dan Rotor, karsinoma metastatic dan penyakit lain yang jarang. 4,5

Virus hepatitis, alcohol dan keracunan obat (drug-induced hepatitis) dan kelainan

autoimun merupakan penyebab tersering. Peradangan intrahepatik mengganggu transport

bilirubin konjugasi dan menyebabkan kterus. Hepatitis A merupakan penyakit self limited

dan dimanifestasikan dengan adanya icterus yang timbul secara akut. Hepatitis B dan C

akut sering tidak menimbulkan icterus pada tahap awal (akut), tetapi bisa berjalan kronik

dan menahun dan mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau bahkan sudah menjadi

sirosis hati. Tidak jarang penyakit hati menahun juga disertai gejala kuning, sehingga

kadang-kadang diagnosis salah sebagai penyakit hepatitis akut. 4

Alcohol bisa mempengaruhi pengambilan empedau dan sekresinya dan mengakibatkan

kolestasis. Pemakaian alcohol secara terus menerus bisa menimbulkan perlemakan

(steatosis), hepatitis, dan sirosis dengan bebagai tingkat icterus. Perlemakan hati

merupakan penemuan yang sering, biasanya dengan manifestasi yang ringan tanpa

icterus, tetapi kadang-kadang bisa menjurus ke sirosis. Hepatitis karena alcohol biasanya

memberi gejala icterus sering timbul akut dan dengan keluhan dan gejala yang lebih

berat. jika ada nekrosis sel hati ditandai dengan adanya peningkatan transaminase yang

tinggi. 4

Penyebab yang lebih jarang adalah hepatitis autoimun yang biasanya sering mengenai

kelompok muda terutama perempuan. Data terakhir menyebutkan juga kelompok yang

lebih tua bisa dikenai. Dua penyakit autoimun yang berpengaruh terhadap system bilier

tanpa terlalu menyebabkan reaksi hepatitis adalah sirosis bilier primer dan kolangitis

sklerosing. Sirosis bilier primer merupakan penyakit hati bersifat progresif dan terutama

mengenai perempuan paruh baya. Gejala yang mencolok adalah rasa lelah dan gatal yang

sering merupakan penemuan awal, sedangkan kuning merupakan gejala yang timbul

kemudian. 4

Kolangitis sklerosing primer (Primary sclerosing cholangitis/ PSG) merupakan penyakit

kolestasis lain, lebih seing dijumpai pada laki-laki dan sekitar 70% menderita penyakit

peradangan usus. PSG bisa menjurus ke kolangio-karsinoma. Banyak obat yang

mempunyai efek dalam kejadian icterus kolestatik, seperti asetaminofen, penisilin, obat

kontrasepsi oral, klorpromazin dan steroid estrogenic. 4

Kolestasis ekstrahepatik.

Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi

yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun

parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang akolik. Penyebab tersering obstruksi bilier

ekstrahepatik adalah : batu duktus koledokus dan kanker pankreas. Penyebab lainnya

yang relative lebih jarang adalah striktur jinak (operasi terdahulu) pada duktus koledokus,

karsinoma duktus koledokus, pankreatitis atau pseudocyst pancreas dan kolangitis

sklerosing. Kolestasis mecerminkan kegagalan sekresi empedu. Mekanismenya sangat

kompleks. 4

Efek patofisiologi mencerminkan efek backup konstituen empedu (yang terpenting

bilirubin, garam empedu dan lipid) ke dalam sirkulasi sistemik dan kegagalannya untuk

masuk usus halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin sering menghasilkan campuran

hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja

sering berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa mencapai saluran cerna usus halus.

Peningkata garam empedu dalam sirkulasi selalu diperkirakan sebagai penyebab keluhan

gatal (pruritus), walaupun sebenarnya hubungannya belum jelas sehingga pathogenesis

gatal masih belum dapat diketahui dengan pasti. 4

Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak, dan vitamin K, gangguan ekskresi

garam empedu dapat berakibat steatorrhea dan hipoprotrombinemia. Pada keadaan

kolestasis yang berlangsung lama (primary biliary cirrhosis) gangguan penyerapan Ca

dan vitamin D dan vitamin lain yang larut lemak dapat terjadi dan dapat menyebabkan

osteoporosis atau osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid mengakibatkan

hyperlipidemia, walaupun sintesis kolesterol di hati dan esterifikasi yang berkurang

dalam darah turut berperan; konsentrasi trigliserida tidak berpengaruh. Lemak beredar

dalam darah sebagai lipoprotein densitas rendah yang unik dan abnormal yang disebut

lipoprotein X. 4

4.5. Manifestasi Klinis Kolestasis Intrahepatik dan Ekstrahepatik

Tidak jarang kolestasis ekstrahepatik sukar dibedakan dengan kolestasis

intrahepatic, padaal membedakan keduanya sangat penting dan urgen. Gejala awal

terjadinya perubahan warna urin yang menjadi lebih kuning, gelap, tinja pucat, dan

gatal (pruritus) yang menyeluruh adalah tanda klinis adanya kolestasis. Kolestasis

kronik bisa menimbulkan pigmentasi kulit kehitaman, ekskoriasi karena pruritus,

perdarahan diathesis, sakit tulang dan endapan lemak kulit (xantelasma atau xantoma).

Gambaran seperti diatas tidak tergantung penyebabnya. Keluhan sakit perut, gejala

sistemik seperti anoreksia, muntah, demam mencerminkan penyebab penyakit dasarnya

daripada kolestasis dan karenanya dapat memberi petunjuk etiologinya. 4

4.6. Diagnosis

Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan jasmani sangat penting, karena

kesalahan diagnosis terutama dikarenakan penilaian klinis yang kurang atau penilaian

gangguan laboratorium yang berlebihan. Kolestasis ekstrahepatk dapat diduga dengan

adanya keluhan sakit bilier atau kandung empedu yang teraba. Jika sumbatan karena

keganasan pancreas (bagian kepala/kaput) sering timbul kuning yang tidak disertai

gejala keluhan sakit perut (painless jaundice). Kadang-kadang jika bilirubin telah

mencapai konsentrasi yang lebih tinggi sering warna kuning mencapai sclera mata

memberi kesan berbeda dimana icterus lebh memberi kesan kehijauan (greenish

jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan (yellowish jaundice) pada

kolestasis intrahepatic. 4

4.7. Tes Laboratorium

Mempunyai keterbatasan diagnosis. Kelainan laboratorium yang khas adalah

peninggian nilai fosfatase alkali, yang terutama diakibatkan peningkatan sintesis

daripada gangguan ekkresi, namun tetap belum bisa menjelaskan penyebabnya. Nilai

bilirubin juga mencerminkan beratnya tetapi bukan penyebab kolestasisnya, juga

fraksionasi tidak menolong membedakan keadaaan intrahepatic dari ekstrahepatik. 4

Nilai aminotransferase bergantung terutama pada penyakit dasarnya, namun

seringkali meningkat tidak tinggi. Jika peningkatan tinggi sangat mungkin karena

proses kolestasis ekstrahepatik, terutama pada sumbatan akut yang diakibatkan oleh

adanya batu di duktus koledokus. 4

Peningkatan amylase serum menunjukkan sumbatan ekstrahepatik, perbaikan

waktu protrombin setelah pemberian vitamin K mengarah kepada adanya bendungan

ekstrahepatik, namun hepatoselular juga dapat berespons. Ditemukannya antibodi

terhadap antimitokondria mendukung keras kemungkinan sirosis bilier primer. 4

Diagnosis yang akurat untuk suatu gejala ikterus dapat ditegakkan melalui

penggabungan dari gejala-gajala lain yang timbul dan hasil pemeriksaan fungsi hepar

serta beberapa prosedur diagnostik khusus. Sebagai contoh, ikterus yang disertai

demam, dan terdapat fase prodromal seperti anoreksia, malaise, dan nyeri tekan hepar

menandakan hepatitis. Ikterus yang disertai rasa gatal menandakan kemungkinan

adanya suatu penyakit xanthomatous atau suatu sirosis biliary primer. Ikterus dan

anemia menandakan adanya suatu anemia hemolitik. 7

4.8. Pendekatan Klinis

Warna kekuningan pada kulit atau telapak tangan (pseudoikterus) dapat terjadi

karena memakan terlalu banyak makanan yang mengandung beta-carotin (seperti

squash, melon, papaya, dan wortel) berbeda dengan icterus yang sesungguhnya,

keadaan diatas (karotenemi) tidak mengakibatkan warna kuning di sclera atau

peningkatan bilirubin. 4

Icterus disebabkan oleh gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolism

bilirubin. Icterus dapat disebabkan karena berbagai sebab mulai dari yang bersifat jinak

sampai kepada keadaan yang bisa membahayakan jiwa. Tahap awal ketika akan

mengadakan penilaian klinis seorang pasien dengan icterus adalah tergantung kepada

apakah hiperbilirubinemia bersifat terkonjugasi atau tak terkonjugasi. 4

Tes paling sederhana adalah melihat apakah terdapat bilirubin dalam urin atau

tidak, dan kemudian dipastikan oleh pemeriksan bilirubin dalam darah. Pemeriksaan

jasmani awal harus memusatkan terhadap keluhan utama dan perjalanan penyakitnya,

kemudian dilihat adanya tanda-tanda penyakit akut atau kronik. Jika icterus ringan

tanpa warna air seni yang gelap harus dipikirkan kemungkinan adanya

hiperbilirubinemia indirek yang mungkin disebabkan oleh penyakit sindrom gilbert dan

bukan karena penyakit hepatobilier. Keadaan icterus yang lebih berat dengan disertai

warna air seni yang gelap menandakan penyakit hati atau bilier.

Pembagian diagnosis banding ke dalam penyebab pre hepatic, intrahepatic atau

ekstrahepatik walaupun mempunyai kekurangan namun masih dapat membuat

penatalaksanaan menjadi lebih mudah misalnya penyebab icterus yang tergolong pre

hepatic termasuk hemolysis dan penyerapan hematom akan menyebabkan peningkatan

bilirubin tak terkonjugasi (indirek). Kelainan intrahepatic dapat berakibat

hiperbilirubinemia tak terkonjugasi maupun konjugasi. Peningkatan bilirubin konjugasi

(direk) bisa diakibatkan hepatitis infeksiosa, alcohol, reaksi obat dan kelainan autoimun.

Kelainan post hepatic dapat pula meningkatkan bilirubin konjugasi. Pembentukan batu

merupakan keadaan yang paling sering yang bersifat jinak dalam kelompok kelainan

posthepatik yang menyebabkan kuning. 4,5

Diagnosis banding akan mengikutsertakan juga berbagai keadaaan lain seperti

infeksi di saluran empedu, pankreatitis dan keganasan. Jika terdapat penyakit

hepatobilier, apakah kondisinya akut atau kronik. Apakah penyakit penyebab kuning ini

adalah hepatitis virus, alcohol, atau karena obat. Jika mengarah kepada kolestasis

apakah intra atau ektrahepatik. Apakah dibutuhkan tindakan operasi. Apakah ada

komplikasi anamnesis. Riwayat penyakit yang rinci sangat dibutuhkan, sebab kesalahan

diagnosis dapat terjadi akibat keputusan klinis yang kurang tepat dan terlalu percaya

data laboratorium. 4,5

Jika terdapat tanda-tanda adanya hipertensi portal, asites, perubahan kulit

seyogyanya mengarah ke penyakit kronis daripada proses akut. Seringkali pasien

melihat gejala warna gelap air seni lebih dahulu dibandingkan warna kuning kulit,

karenanya warna gelap urin lebih bisa dipakai sebagai ukuran awal mulainya penyakit.

Jika terdapat keluhan mual dan muntah yang mendahului terjadinya warna kuning

padakulit, keadaan tersebut lebih menandakan ke arah hepatitis akut atau sumbatan

duktus koledokus. Oleh karena batu. Jika ada sakit perut atau menggigil lebih

cenderung ke sumbatan duktus koledokus. Adanya anoreksia dan malaise yang timbul

perlahan dan tidak begitu nyata lebih menjurus kepada hepatitis kronis. 4,5

Penyakit sistemik patut dicurigai, misalnya, jika terdapat peninggian tekanan vena

jugularis yang menjurus ke adanya dekompensasi kordis atau pericarditis konstriktif

pada pasien dengan hepatomegaly dan asites. Status gizi yang kurang dan menjurus

kepada keadaan kakeksia dengan hati yang membesar dank eras dan irregular sering

disebabkan oleh keganasan daripada sirosis. 4

Limfadenopati yang difus mengarah kepada adanya mononucleosis infeksiosa

pada kasus icterus yang akut dan leukemia pada penyakit kronis. Adanya

hepatosplenomegali tanpa adanya penyakit hati kronik dapat disebabkan oleh penyakit

infiltrative (seperti limfoma, amyloidosis) walaupun biasanya icterus bersifat minimal

atau bahkan tidak ada. Dalam keadaan ini perlu dipikiran skistosomiasis dan malaria

yang sering memberikan gambaran seperti itu jika terjadi di daerah endemic. 4

Jika icterus berjalan sangat progresif perlu dipikirkan segera bahwa kolestasis

lebih bersifat kearah sumbatan ekstrahepatik (batu saluran empedu atau keganasan

kaput pankreas). 4

4.9. Pemeriksaan Penunjang

Urin

Tes yang sederhana yang dapat kita lakukan adalah melihat warna urin dan melihat

apakah terdapat bilirubin di dalam urin atau tidak. 9

Tes serologi hepatitis virus

IgM hepatitis A adalah pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis A akut. Hepatitis B

akut ditandai oleh adanya HBSAg dan deteksi DNA hepatitis B. 10

Biopsi hati

Histologi hati tetap merupakan pemeriksaan definitif untuk ikterus hepatoseluler dan

beberapa kasus ikterus kolestatik (sirosis biliaris primer, kolestasis intrahepatik akibat

obat-obatan (drug induced). 10

Umumnya biopsy aman pada kasus dengan kolestasis, namun berbahaya pada

keadaaan obstruksi ekstrahepatik yang berkepanjangan, karenanya harus disingkirkan

dahulu dengan pemeriksaan pencitraan sebelum dilakukan biopsy.

Kecuali pasien dalam keadaan kolangitis kolestasis supurativa, bukan keadaan

emergensi. Diagnosis sebaiknya ditegakkan melalui penilaian klinis, dengan bantuan

alat penunjang khusus jika ada. Jka diagnosis tidak pasti, ultrasonografi atau CT akan

sangat membantu. Obstruksi mekanis dapat ditegakkan jika ditemukan tanda

pelebaran saluran bilier terutama pada pasien dengan kolestasis yang progresif.

Pemeriksaan lebih lanjut dengan kolangiografi langsung (ERCP, PTC, MRCP) dapat

dipertimbangkan. Jika pada pemeriksaan ultrasonografi tidak ditemukan pelebaran

saluran empedu, sangat mungkin lebih cenderung kearah intra hepatic dan biopsy

sangat dianjurkan. 7,8

Jika alat penunjang tersebut di atas tidak terdapat, maka laparoskopi diagnosis harus

dipertimbangkan, jika pertimbangan klinis lebih menjurus ke sumbatan ekstrahepatik

dan kolestasis memburuk progresif. 4

Endoscopic Retrograd Cholangiopancreatography (ERCP) dan PTC (Percutans

Transhepatic Colangiography).

ERCP merupakan suatu perpaduan antara pemeriksaan endoskopi dan radiologi untuk

mendapatkan anatomi dari sistim traktus biliaris (kolangiogram) dan sekaligus duktus

pankreas (pankreatogram). ERCP merupakan modalitas yang sangat bermanfaat

dalam membantu diagnosis ikterus bedah dan juga dalam terapi sejumlah kasus

ikterus bedah yang inoperabel. ERCP memberikan kemungkinan untuk melihat secara

langsung saluran bilier dan sangat bermanfaat untuk menetapkan sebab sumbatan

ekstrahepatik. 4,8,9

Indikasi ERCP diagnostik pada ikterus bedah meliputi: 2

a. Kolestasis ekstra hepatik

b. Keluhan pasca operasi bilier

c. Keluhan pasca kolesistektomi

d. Kolangitis akut

e. Pankreatitis bilier akut.

Di samping itu kelainan di daerah papila Vateri (tumor, impacted stone) yang juga

sering merupakan penyebab ikterus bedah dapat terlihat jelas dengan teknik

endoskopi ini. 2

Penemuan Laboratorium

Hiperbilirubinemia dengan nilai aminotransferase dan fosfatase alkali yang normal

menunjukkan kemungkinan proses hemolysis atau penyakit sindrom gilbert. Ini

dipastikan dengan fraksionasi bilirubin tidak bisa membantu untuk membedakan

icterus hepatoselular dari keadaan ikerus kolestasis. Peninggian aminotransferase >500

U lebih mengarah kepada hepatitis atau keadaan hipoksia akut. Peninggian fosfatase

alkali yang tidak proporsional mengarah kepada kolestatik atau kelainan infiltrative.

Pada keadaan yang disebut belakangan bilirubin biasanya normal atau hanya naik

sedikit saja. Bilirubin diatas 25 sampai 30 mg/dl seringkali disebabkan adanya

hemolysis atau disfungsi ginjal yang menyertai pada keadaan penyakit hepatobilier

berat.4

Konsentrasi albumin yang rendah dan globulin yang tinggi menunjukkan adanya

penyakit kronis. Peningkatan waktu protrombin yang membaik setelah pemberian

vitamin K (5 – 10 mg IM selama 2-3 hari) lebih mengarah kepada keadaan kolestatik

daripada proses hepatoselular. Namun hal ini tidak bisa terlalu dipastikan karena pada

pasien dengan penyakit hepatoselular pun pemberian vitamin K bisa juga memberikan

perbaikan.4

Pemeriksaan Pencitraan

Pemeriksaan pencitraan sangat berharga untuk mendiagnosis penyakit infiltrative dan

kolestatik. Pemeriksaan sonografi perut, CT dan MRI sering bisa menemukan

metastatic dan penyakit fokal pada hati dan telah menggantikan pemeriksaan nuklir

scan untuk maksud tersebut. Namun demikian pemeriksaan ini kurang bermanfaat

dalam mendiagnosis penyakit hepatoselular (seperti sirosis) sebab penemuannya

bersifat tidak spesifik. 7

Pemeriksaan biopsy hati perkutan mempunyai arti yang sangat penting, namun jarang

dibutuhkan pada pasien icterus. Pemeriksaan laparoskopi memungkinkan untuk

memeriksa langsung hati dan kandung empedu dan bermanfaat untuk pasien tertentu.

Laparotomy diagnostic jarang diperlukan pada pasien dengan kolestatik atau

hepatosplenomegali yang belum bisa diterangkan penyebabnya.8,9

Berikut adalah beberapa temuan klinis dan laboratorium yang dapat digunakan untuk

menegakkan diagnosis ikterus:

Tabel tes diagnostik

Tes fungsiIkterus

pre-hepatikIkterus hepatik

Ikteruspost-hepatik

Bilirubin totalNormal /

MeningkatMeningkat

Konjugasi bilirubin

Meningkat

Normal Meningkat

Bilirubin tak terkonjugasiNormal /

MeningkatNormal

UrobilinogenNormal /

MeningkatMenurun /

Negatif

Warna Urine Normal Gelap

Warna feses Normal Pucat

Alkaline fosfataseNormal

Meningkat

Alanin transferase dan Aspartat Meningkat

Bilirubin terkonjugasi dalam Urin

Didapatkan Tidak didapatkan

PASIEN IKTERUS

ANAMNESA, PEM FISIK

USG

TANPA DILATASI DILATASI

EVALUASI DISANGKANONOBSTRUKTIF OBSTRUKSI(Biopsi Liver ?)

BATU CBD OBSTRUKSI HILUSOBSTRUKSI RENDAHKELAINAN PANKREAS

PTCERCP MRCP

ERCP PTC+/- Ekstrkasi batu +/- Drenase bilier+/- Stenting +/- Stenting+/- Sitologi/Biopsi +/- Sitologi/Biopsi+/- Drenase bilier

DIAGNOSA JELASYa

Tidak Tidak

PTC TERAPI YANG SESUAI ERCP

Gambar 4. Alogaritma diagnosis ikterus Obstruksi 4

4.10. Pengobatan

Pengobatan jaundice sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Jika

penyebabnya adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus), biasanya jaundice akan

menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya. Beberapa gejala yang cukup

mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik,

pengobatan penyebab dasarnya sudah mencukupi. 9

Pruritus pada keadaan irreversible (seperti sirosis bilier primer) biasanya

responsive terhadap kolestiramin 4-16 g/hari PO dalam dosis terbagi dua yang akan

mengikat garam empedu di usus. Kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat,

hipoprotrombinemia biasanya membaik setelah pemberian fitonandion (Vitamin K1)

5-10 mg/hari SK untuk 2-3 hari. 4

Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis yang

ireversibel, namun pencegahan penyakit tulang metabolic mengecewakan. Suplemen

vitamin A dapat mencegah kekurangan vitamin yang larut lemak ini dan steatorrhea

yang berat dapat dikurangi dengan pemberian sebagian lemak dalam diet dengan

medium chain triglyceride. 4

Jika penyebabnya adalah sumbatan bilier ekstra-hepatik biasanya membutuhkan

tindakan pembedahan, ekstraksi batu empedu di duktus, atau insersi stent, dan drainase

via kateter untuk striktura (sering keganasan) atau daerah penyempitan sebagian.

Untuk sumbatan maligna yang non-operabel, drainase bilier paliatif dapat dilakukan

melalui stent yang ditempatkan melalui hati (transhepatik) atau secara endoskopik

(ERCP). Pada sejumlah pasien ikterus bedah yang mempunyai risiko tinggi dapat

dilakukan "ERCP terapeutik". Prinsip dari ERCP terapeutik adalah memotong sfingter

papila Vateri dengan kawat yang dialiri arus listrik sehingga muara papila menjadi

besar (spingterotomi endoskopik). Kebanyakan tumor ganas yang menyebabkan

obstruksi biliaris sering sekali inoperabel pada saat diagnosis ditegakkan. Papilotomi

endoskopik dengan pengeluaran batu telah menggantikan laparatomi pada pasien

dengan batu di duktus kholedokus. Pemecahan batu di saluran empedu mungkin

diperlukan untuk membantu pengeluaran batu di saluran empedu. 3,4

I K TE R I K

Etiologi :2

-Intralumen: Batu, striktur, cacing-Ekstralumen: Ca papilla, Ca duodenum, Ca caput pancreas, massa di bifurcatio (cholangio ca, hepatoma, kista, abses)

Etiologi :2

- Alkohol- Obat- Virus- Toksin- Sepsis- Infiltratif

Etiologi :4

- Obat- Herediter- Gangguan

hemolitik

POST HEPATIKHEPATIKPRE HEPATIK

Anamnesa, Pem. Fisik, Lab (termasuk LFT)1,2,3,4,6

USG1-4

Seromarker1-4

CT Scan1-2

Biopsi1-2

USG1-4,6/ MRCP*

(utk diagnostik)

Endoscopic treatment 5

ERCP6

(diagnostik & terapeutik)* Optional (boleh dilakukan bila memungkinkan)

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton, Arthur C dan John E hall. 1997 Fisiologi Gastrointestinal. Dalam : Irawati

Setiawan (Editor Bahasa Indonesia) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta:

EGC, h. 1108-1109

2. Husadha, Yast, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Fisiologi dan Pemeriksaan

Biokimiawi Hati. Edisi 3.  Jakarta : Balai Penerbit FKUI;.. Halaman 225-226

3. Schwartz SI. Manifestations of Gastrointestinal Desease. Dalam : Principles of

Surgery fifth edition, editor : Schwartz, Shires, Spencer. Singapore : McGraw-Hill,

1989. 1091-1099

4. Sulaiman, Ali, 2007, Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam : Aru W Sudoyo

et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : Penerbitan IPD

FKUI,.  h. 420-423

5. Pratt S, Kaplan MM. Jaundice. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,

Hauser SL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine Vol.1.16th ed.

USA, Mc GrawHill, 2005.p.240

6. Lindseth Glenda N, 2006, Ikterus dan Metabolisme Bilirubin. Dalam : Hartanto

Huriawati et al. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit volume 1 Edisi 6.

Jakarta : EGC. h.481-485

7. Medline Plus. Bilirubin. Http://www.nlm.nih.gov.

8. Lesmana. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) diagnostik dan

terapeutik pada Obstruksi Biller. Http://www.kalbe.co.id.

9. Medline Plus. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP).

Http://www.nlm.nih.gov.

10. Davey P. Ikterus. Dalam : At a Glace Medicine. Jakarta : Erlangga Medical Series,

2006.