referat ikterus
-
Upload
esha-fahluthfi -
Category
Documents
-
view
50 -
download
1
description
Transcript of referat ikterus
BAB I
PENDAHULUAN
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning. Ikterus
adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang
menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi
darah. Untuk pendekatan terhadap pasien ikterus perlu ditinjau kembali patofisiologi
terjadinya peninggian bilirubin indirek atau direk. 1
Pada banyak pasien ikterus dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti
ditambah dengan pemeriksaan laboratorium yang sederhana, diagnosis dapat ditegakkan.
Namun tidak jarang diagnosis pasti masih sukar ditetapkan, sehingga perlu dipikirkan
berbagai pemeriksaan lanjutan. Ikterus merupakan suatu sindroma yang dikarakteristikkan
oleh adanya hiperbilirubinemia dan deposit pigmen empedu pada jaringan termasuk kulit dan
membran mukosa. Secara garis besar ikterus dapat digolongan menjadi ikterus fisiologis
maupun patologis. Ikterus patologis sering didapatkan pada dewasa, dan terbagi menjadi
beberapa tipe, yaitu yaitu ikterus pre hepatika (hemolitik), ikterus hepatika (parenkimatosa)
dan ikterus post hepatika (obstruksi). Terdapat dua bentuk ikterus obstruksi yaitu obstruksi
intra hepatal dan ekstra hepatal. Ikterus obstruksi intra hepatal dimana terjadi kelainan di
dalam parenkim hati, kanalikuli atau kolangiola yang menyebabkan tanda-tanda stasis
empedu sedangkan ikterus obstruksi ekstra hepatal terjadi kelainan diluar parenkim hati
(saluran empedu di luar hati) yang menyebabkan tanda-tanda stasis empedu.1
BAB II
STATUS PASIEN INTERNA
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny Dahlia
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 01 – 12 – 1979
Usia : 34 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Kampung Dalam Rt. 1/11 Jatinegara
Tanggal masuk RS : 26-04-2014
No. Rekam Medik : 00834501
ANAMNESIS
Keluhan Utama : Mata dan badan berwarna kuning sejak 1 minggu SMRS
Keluhan tambahan : Mual, badan terasa lemas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan mata dan badan berwarna kuning sejak 1 minggu SMRS,
awalnya hanya kedua mata yang berwarna kuning lalu ke seluruh tubuh dimulai dari telapak
tangan, badan dan kaki serta kuku. Pasien merasakan badan terasa lemas, cepat lelah jika
beraktifitas, pusing (-) sakit kepala (-), nafsu makan berkurang, pasien mual, tanpa disertai
muntah terutama jika masuk makanan, pasien hampir selalu tidak menghabiskan
makanannya, perut pasien terasa kembung, dan jika ditekan perut dibagian atas terasa nyeri,
nyeri tidak menjalar, batuk (-), sesak (-) pasien sempat demam 2 hari SMRS, demam tidak
terlalu tinggi, demam muncul siang hari, keesokan harinya sudah tidak demam lagi,
menggigil (-), pasien mengatakan buang air kecil lancar, tetapi warna air kencing menjadi
kuning keruh seperti air teh, buang air besar lancar, sudah 2x buang air besar, tetapi warna
kotoran menjadi kuning pucat, kadang berwarna keabu-abuan, pasien menyangkal adanya
penurunan berat badan selama ini. Pasien juga menyangkal adanya perut yang semakin
membesar selama ini.
Riwayat Penyakit Dahulu :
11 bulan yang lalu pasien pernah dirawat selama 4 hari dengan keluhan yang sama,
mual lebih hebat disertai dengan muntah dan juga nyeri perut bagian atas, nyeri
dirasakan seperti menusuk dan nyeri terasa hebat, oleh dokter dikatakan pasien
menderita hepatitis B aktif dan batu empedu namun batu masih kecil pasien boleh
pulang
Tidak ada riwayat tekanan darah tinggi
Tidak ada riwayat penyakit diabetes melitus
Tidak ada riwayat penyakit jantung
Tidak ada riwayat penyakit maag
Tidak ada riwayat penyakit asma
Riwayat Penyakit Keluarga :
Keluarga dengan keluhan penyakit yang sama : ayah dan teman dekat
Tidak ada riwayat tekanan darah tinggi
Tidak ada riwayat penyakit diabetes melitus
Tidak ada riwayat penyakit jantung
Tidak ada riwayat asma.
Riwayat Pengobatan : Pasien tidak meminum obat untuk keluhan saat ini
Riwayat Alergi : Tidak ada alergi makanan dan alergi obat
Riwayat psikososial : Pasien bekerja sebagai penjual soto, setiap hari bekerja ± 15 jam
sehari, pasien suka makan makanan yang dibeli diluar tidak
masakan sendiri, suka makanan yang mengandung lemak, jeroan,
pasien tidak merokok, jarang berolahraga, pasien pernah minum
minuman beralkohol (jarang), pasien sering mengkonsumsi
minuman bersoda (sehari 2x), pasien pernah melakukan donor darah
(1,5 tahun yang lalu), pasien tinggal sekamar dengan sahabatnya
(perempuan) selama ± 10 tahun, sering bergantian pakaian dan
barang pribadi, teman pasien pernah menderita sakit kuning, dirawat
selama 5 hari dirumah sakit, kemudian pulang kerumah dijaga oleh
pasien sampai keluhan sakit kuning menghilang kemudian pasien
tidak tinggal bersama lagi, terakhir kalinya (2 minggu SMRS)
pasien mengunjungi rumah temannya tersebut dan 1 minggu SMRS
gejala kuning pada pasien kambuh lagi.
PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda vital
Tekanan Darah :110/80 mmHg
Suhu : 36,5 oC
Nadi : 91 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Antropometri
Berat Badan : 52 kg
Tinggi Badan : 155 cm
Status Gizi : 21.6 Normoweight
STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephal, Rambut tidak rontok.
Mata : refleks cahaya +/+ (isokor), Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterus +/+
Hidung : sekret -/- , epistaksis -/-
Mulut : bibir kering (+), mukosa lembab, lidah tidak kotor, stomatitis (-), sianosis (-)
Telinga : cairan -/-, serumen -/-
Leher : tidak ada pembesaran KGB -/-, tidak ada pembesaran tiroid -/-
Paru :
Inspeksi : simetris, retraksi otot napas -/-, spider nevi (-)
Palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama, nyeri tekan -/-
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Denyut jantung di ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar, tidak tampak massa, skar (-)
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), hepatomegali (+) 2 cm dibawah
arcus costae, teraba keras, tepi tumpul, tidak berbenjol benjol,
splenomegali (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus normal
Ekstremitas atas : Ikterus (+/+)
Akral : hangat
RCT < 2 detik : <2 detik
Edema : (-/-)
Ekstremitas bawah : Ikterus (+/+)
Akral : hangat
RCT < 2 detik : < 2 detik
Edema : (-/-)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 25-04-2014Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 13,4 g/dL 11,5 – 16,5Leukosit 8.690 /uL 4.400 – 11.300Hematokrit 38,3 % 36 - 46Trombosit 268.000 /uL 150.000 – 450.000Eritrosit 4,71 106 /uL 4,0 – 5,2MCV 81.3 fL 80 – 100MCH 28.5 Pg 26,0 – 34,0MCHC 35.0 g/dL 31,0 – 37,0Eosinofil 1 % 2 – 4Basofil 1 % 0 – 1Neutrofil batang 0 % 3 – 5Neutrofil segmen 58 % 50 – 70Limfosit 28 % 25 – 40Monosit 12 % 2 – 8LED 7 mm/jam 0 – 25
UrinalisisJenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Warna Kuning TuaKejernihan Agak KeruhBJ 1,016 1,015 – 1,025PH 6,5 4,8 – 7,4Protein Negatif NegatifGlukosa Negatif NegatifKeton Positip 1 (5.8 mg/dL) NegatifBilirubin Positip 2 (6.8 mg/dL) NegatifUrobilinogen 8 mg/dL <1Nitrit Negatif NegatifDarah Negatif NegatifLeukosit Esterase Negatif NegatifSedimenEritrosit 1 – 2 /LPB 0 – 2Lekosit 6 – 8 /LPB 0 – 5Epitel 8 – 10 /lp 5 – 15Silinder Negatif /lpKristal NegatifBakteri PositifTumor MarkerAFP 8,28 ng/mL <15
CEA 5,59 ng/mL Bukan perokok : <3,8Perokok : <5,5
CA 15-3 21,81 u/mL <25CA-125 30,08 u/mL <35
Tanggal : 26 – 04 – 2014 Jam 18.35Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 12,9 g/dL 11,5 – 16,5Leukosit 9200 /uL 4.400 – 11.300Hematokrit 36 % 36 – 46Trombosit 283.000 /uL 150.000 – 450.000Eritrosit 4,59 106 /uL 4,0 – 5,2MCV 79 fL 80 – 100MCH 28 Pg 26,0 – 34,0MCHC 35 g/dL 31,0 – 37,0
GDS 195 mg/dL 70 – 200
SGOT 460 U/L 10 – 31SGPT 699 U/L 9 – 36Ureum Darah 12 mg/dL 10 – 50Kreatinin Darah 0.3 mg/dL < 1,4ElektrolitNatrium (Na) 131 mEq/L 135 – 147Kalium (K) 2.7 mEq/L 3.5 – 5.0Klorida (Cl) 98 mEq/L 94 - 111
Tanggal 26 – 04 – 2014 Jam 19.19Kimia klinikAlbumin 3.2 g/dL 4.0 – 5.2Bilirubin total 31.9 mg/dL < 1.0Bilirubin direk 21.7 mg/dL < 0.3Bilirubin indirek 10.2 mg/dL < 0.8Petanda hepatitisHBsAg (Kualitatif) - (negative) - (negative)
Tanggal 28 – 04 – 2014 Jam 07.54 ElektrolitNatrium (Na) 139 mEq/L 135 – 147Kalium (K) 3.4 (L) mEq/L 3.5 – 5.0Klorida (Cl) 100 mEq/L 94 – 111
RESUME
Pasien wanita usia 34 tahun datang dengan keluhan mata dan badan berwarna kuning
sejak 1 minggu SMRS, telapak tangan, kaki serta kuku juga kuning, badan terasa
lemas, cepat lelah jika beraktifitas, nafsu makan berkurang, mual, tanpa disertai
muntah terutama jika masuk makanan, perut terasa kembung, nyeri tekan perut bagian
atas, nyeri tidak menjalar, sempat demam 2 hari SMRS, demam tidak tinggi, keesokan
harinya sudah tidak demam lagi, warna air kencing menjadi kuning keruh seperti air
teh, sudah 2x buang air besar, warna kotoran menjadi kuning pucat, kadang berwarna
keabu-abuan, pasien menyangkal adanya penurunan berat badan dan perut semakin
membesar selama ini. 11 bulan yang lalu pasien pernah dirawat selama 4 hari dengan
keluhan yang sama, mual lebih hebat disertai dengan muntah dan juga nyeri perut
bagian atas, riwayat hepatitis B aktif, ayah dan teman dekat pasien menderita penyakit
kuning. pada pemeriksaan fisik didapatkan : Tekanan darah : 110/80 mmHg, Suhu :
36,5 oC, Nadi : 91 x/menit, Pernafasan : 20 x/menit, mata: konjugtiva anemis -/-,
sclera ikterik +/+ , kulit badan : kuning, mulut : bibir kering (+), abdomen : nyeri
tekan epigastrium (+), hepatomegali (+) 2 cm dibawah arcus costae, teraba keras, tepi
tumpul, pada pemeriksaan laboratorium didapatkan : SGOT 460 U/L, SGPT 699 U/L,
Kalium (K) 2.7 mEq/L, Bilirubin total: 31.9 mg/dL, Bilirubin direk: 21.7 mg/dL,
Bilirubin indirek 10.2 mg/dL, HbSAg : Negative. CEA : 5,59 ng/ml
DAFTAR MASALAH
1. Ikterus
2. Dyspepsia
3. Hipokalemia
ASSESSMENT
1. IKTERUS
S : Anamnesis :
Pasien mengeluh mata dan badan berwarna kuning sejak 1 minggu SMRS, awalnya
hanya kedua mata yang berwarna kuning lalu ke seluruh tubuh dimulai dari telapak
tangan, badan dan kaki serta kuku. Pasien merasakan badan terasa lemas, cepat lelah
jika beraktifitas, nafsu makan berkurang, warna kotoran menjadi kuning pucat,
kadang berwarna keabu-abuan, warna air kencing menjadi kuning keruh seperti air
teh, 11 bulan yang lalu pasien pernah dirawat selama 4 hari dengan keluhan yang
sama, mual lebih hebat disertai dengan muntah dan juga nyeri perut bagian atas,
riwayat hepatitis B aktif, ayah dan teman dekat pasien menderita penyakit kuning.
O: Pemeriksaan fisik :
Mata: konjugtiva anemis -/-, sclera ikterik +/+ , kulit badan : kuning, Abdomen :
nyeri tekan epigastrium (+), hepatomegali (+) 2 cm dibawah arcus costae, teraba
keras, tepi tumpul. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan : SGOT 460 U/L,
SGPT 699 U/L, Bilirubin total: 31.9 mg/dL, Bilirubin direk: 21.7 mg/dL,
Bilirubin indirek 10.2 mg/dL, HbSAg : Negative.
A: Ikterus e.c suspect Hepatitis B kronis
Ikterus e.c. suspect hepatoma
P: Rdx:
Tes HBSAg kualitatif
Anti HBe
HBV DNA
Anti HAV IgM
MRCP
Ca 19-9
Biopsi hati
Rth:
IFN 5 Juta Unit 1x1 selama 4 bulan
Lamivudine tab 100 mg 1x1
Non medika mentosa :
Pasien sebaiknya tidak melakukan donor darah, tidak pinjam meminjam
alat cukur dan sikat gigi.
Diet tinggi kalori, protein dan lemak secukupnya
Bed rest
Hindari minum alcohol
2. Dyspepsia
S : Anamnesis :
Pasien mual, tanpa disertai muntah terutama jika masuk makanan, pasien hampir
selalu tidak menghabiskan makanannya, perut pasien terasa kembung, nyeri ulu
hati
O: Pemeriksaan fisik :
Abdomen : Nyeri tekan epigastrium (+)
A: Dyspepsia
P: Rdx: Pemeriksaan elektrolit
Rth: ranitidin injeksi 2x1
3. Hipokalemia
S :
O: Kalium (K) 2.7 mEq/L
A: Hipokalemia
P: Rdx: Pemeriksaan elektrolit
Rth: KCl 25 mEq dalam NaCl/ 12 jam
BAB III
FISIOLOGI DAN BIOKIMIA HATI
Hati merupakan organ yang terletak pada abdomen pada kuadran kanan atas yang menempati
sebagian besar hipokondrium kanan sampai epigastrium. Hati melaksanakan berbagai macam
metabolisme pada tubuh yang akan dijelaskan dibawah ini. Selain itu adapun fungsi hati
dalam memberikan pewarnaan pada feses dan juga pada urin. 1
3.1. Fisiologi Hati
Produk sekretorik lain yang mengalir ke dalam lumen duodenum adalah empedu. Sistem
empedu mencakup hati, kandung empedu, dan duktus-duktus terkait. Hati adalah organ
metabolik terbesar dan terpenting di tubuh. Organ ini penting bagi sistem pencernaan
untuk sekresi garam empedu, tetapi hati juga melakukan berbagai fungsi lain,
mencangkup hal-hal berikut : 1,2
1. Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein) setelah
penyerapan mereka dari saluran pencernaan.
2. Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon serta obat dan senyawa asing
lainnya.
3. Sintesis berbagai protein plasma, mencangkup protein-protein yang penting unutk
pembekuan darah serta untuk mengangkut hormon tiroid, steroid, dan kolesterol
dalam darah.
4. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.
5. Pengaktifan vitamin D, yang dilaksanakan oleh hati bersama ginjal.
6. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang usang, berkat adanya makrofage
residen.
7. Ekskresi kolesterol dan bilirubin, yang terakhir dalah produk penguraian yang berasal
dari destruksi sel darah merah yang sudah usang.
Walaupun fungsinya sangat beragam, spesialisasi sel-sel di dalam hati sangat sedikit.
Tiap-tiap sel hati, atau hepatosit, tampaknya mampu melaksanakan berbagai tugas
metabolik diatas, kecuali aktivitas sel fagositik yang dilaksanakan oleh makrofag residen
atau yang lebih dikenal dengan sel Kupffer. Spesialisasi berlangsung di organel-organel
yang sangat berkembang di dalam hepatosit.1,2
Untuk melaksanakan berbagai tugas tersebut, hati secara anatomis tersusun sedemikian
rupa, sehingga setiap hepatosit dapat berkontak langsung dengan darah dari dua sumber:
darah vena langsung memasuki hati melalui hubungan vaskuler yang khas dan kompleks
yang dikenal sebagai sistem porta hati. Vena yang mengalir dari saluran pencernaan
tidak secara langsung menyatu dengan vena cava inferior, vena besar yang
mengembalikan darah ke jantung. Malahan, vena-vena dari lambung dan usus memasuki
vena porta hepatika, yang mengangkut produk-produk yag diserap dari saluran
pencernaan langsung ke hati untuk diolah, disimpan, atau didetoksifikasi sebelum
produk-produk tersebut mendapatkan akses ke sirkulasi umum. Di dalam hati, vena porta
kembali bercabang-cabang menjadi jaringan kapiler (sinusoid hati) yang memungkinkan
pertukaran antara darah dan hepatosit sebelum mengalirkan darah ke vena hepatika, yang
kemudian menyatu dengan vena kava inferior. Hepatosit juga mendapat darah arteri
yang segar, yang menyalurkan oksigen mereka dan menyalurkan metabolit-metabolit
untuk diolah di hati. 1,2
3.1.1. Lobulus-Lobulus Hati dipisahkan Oleh Pembuluh Vaskuler dan Empedu 1,2
Hati tersusun menjadi unit-unit fungsional yang dikenal sebagai lobulus, yaitu susunan
heksagonal jaringan yang mengelilingi sebuah vena sentral, seperti kue angel
food besudut enam dengan lubang mewakili vena sentral. Ditepi luar setiap potongan
lobulus terdapat tiga pembuluh: cabang arteri hepatika, cabang vena porta, dan duktus
biliaris. Darah dari cabang-cabang arteri hepatika dan vena porta tersebut mengalir dari
perifer lobulus ke dalam ruang kapiler yang melebar disebut sinusoid. Sinusoid ini
terdapat di antara barisan sel-sel hati ke vena sentral seperti jari-jari pada ban sepeda.
Sel-sel Kupffer melapisi bagian dalam sinusoid dan mengahancurkan sel darah merah
yang usang serta bakteri yang lewat besama darah. Hepatosit tersusun di antara
sinusoid-sinusoid dalam lempeng yang tebalnya dua lapis sel, sehingga setiap tepi
lateralnya berhadapan dengan darah sinusoid. Vena sentral dari semua lobulus hati
menyatu untuk membentuk vena hepatika, yang menyalurkan darah keluar dari hati.
Terdapat sebuah saluran tipis penyalur empedu, kanalikulus biliaris, yang berjalan
diantara sel-sel di dalam setiap lempeng hati. Hepatosit secara terus menerus
mengeluarkan empedu ke dalam saluran tipis tersebut, yang mengangkutnya ke duktus
biliaris di perifer lobulus. Duktus biliaris dari berbagai lobulus menyatu untuk
akhirnya membentuk duktus biliaris komunis, yang menyalurkan empedu dari hati ke
doudenum. Setiap hepatosit berkontak dengan sinusoid di satu sisi dan dengan
kanalikulus biliaris di sisi lain.
3.1.2. Empedu disekresikan Oleh Hati dan dibelokkan ke kandung empedu di antara waktu
makan. 1,2
Lubang duktus biliaris ke dalam duodenum dijaga oleh sfingter Oddi, yang mencegah
empedu memasuki duodenum, kecuali selama ingesti makanan. Apabila sfingter
tertutup, sebagian besar empedu yang dihasilkan oleh hati akan dibelokkan ke dalam
kandung empedu, suatu struktur kecil berbentuk kantung yang melekat di bawah, tetapi
tidak berhubungan langsung dengan hati. Empedu kemudian disimpan dan dipekatkan
didalam kandung empedu di antara waktu makan. Setelah makan, empedu masuk ke
duodenum akibat kombinasi efek pengosongan kandung empedu dan peningkatan
sekresi empedu oleh hati. Jumlah empedu yang disekresikan per hari berkisar dari 250
ml sampai 1 liter, bergantung pada derajat rangsangan.
3.1.3. Garam empedu didaur-ulang melalui sirkulasi enterohepatik. 1,2
Empedu terdiri dari cairan alkalis encer yang serupa dengan sekresi NaHCO3 pankreas
serta beberapa konstituen organik, termasuk garam-garam empedu, kolesterol, lesitin,
dan bilirubin. Konstituen organik berasal dari aktivitas hepatosit, sedangkan air,
NaHCO3, dan garam anorganik lain ditambahkan oleh sel-sel duktus. Walaupun tidak
mengandung enzim percernaan apapun, empedu penting untuk proses pencernaan dan
penyerapan lemak, terutama melalui aktivitas garam empedu.
Garam empedu adalah turunan kolesterol. Mereka secara aktif disekresikan ke dalam
empedu dan akhirnya masuk ke duodenum bersama dengan kontituen empedu lainnya.
Setelah ikut serta dalam pencernaan dan penyerapan lemak, sebagian besar garam
empedu direabsorbsi ke dalam darah oleh mekanisme transportasi aktif khusus yang
terdapat dalam ileum terminal, bagian terakhir dari usus halus. Dari sini garam-garam
empedu dikembalikan melalui sistem porta hepatika ke dalam hati, yang kembali
mensekresikan mereka ke dalam empedu. Pendaurulangan garam-garam empedu antara
usus halus dan hati ini disebut sebagai sirkulasi enterohepatik.
Jumlah total garam empedu di dalam tubuh rata-rata adalah 3 sampai 4 gram, namun
dalam satu kali makan garam empedu yang disalurkan ke duodenum dapat mencapai 3
sampai 15 gram. Jelaslah, bahwa garam empedu harus didaur-ulang beberapa kali
sehari. Biasanya hanya sekitar 5% dari garam empedu yang disekresikan oleh hati lolos
melalui tinja setiap harinya. Garam empedu yang hilang tersebut digantikan oleh garam
empedu yang baru disintesis oleh hati, dengan demikian jumlah simpanan garam
empedu dipertahankan konstan.
3.1.4. Garam empedu membantu pencernaan dan penyerapan lemak masing – masing
melalui efek deterjen dan pembentukan misel. 1,2
Garam empedu membantu pencernaan lemak melalui efek deterjen (emulsifikasi)
mereka dan mempermudah penyerapan lemak melalui partisifasi mereka dalam
pembentukan misel. Kedua fungsi ini terkait dengan struktur garam empedu
Efek deterjen garam empedu. Efek deterjen mengacu pada kemampuan garam
empedu mengubah globulus – globulus lemak berukuran besar menjadi emulsi lemak
yang terdiri dari banyak butir lemak kecil yang terbenam di dalam cairan kimus.
Dengan demikian, luas permukaan yang tersedia untuk aktifitas lipase pancreas
meningkat. Agar dapat mencerna lemak, lipase harus berkontak langsung dengan
molekul trigliserida. Karena tidak larut dalam air, molekul – molekul lemak
cenderung menggumpal menjadi butir – butir besar dalam lingkungan lumen usus
yang banyak mengandung air. Jika garam empedu tidak mengemulsifikasi butir –
butir lemak ini, lipase hanya dapat bekerja pada lemak yang terdapat di permukaan
butiran tersebut, dan pencernaan trigliserida akan berlangsung sangat lama.
Garam empedu memperlihatkan efek deterjen serupadengan deterjen yang anda
gunakan untuk melarutkan minyak sewaktu mencuci piring. Molekul garam empedu
mengandung bagian larut lemak (steroid yang berasal dari kolesterol) ditambah
bagian larut air yang bermuatan negatif. Bagian larut lemak akan larut dalam butiran
lemak, sehingga bagian larut air yang bermuatan negative menonjol dari permukaan
butiran lemak. Gerakan mencampur usus akan memecah – mecah butiran lemak
menjadi butiran yang lebih kecil. Butiran – butiran kecil ini akan kembali menyatu
apabila tidak terdapat garam empedu dipermukaannya yang membentuk “selaput”
bermuatan negative larut air di permukaan setiap butir kecil tersebut. Karena muatan
yang sama akan tolak menolak, gugus bermuatan negative dipermukaan butiran lemak
akan menyebabkan butiran lemak tersebut saling menolak satu sama lain. Tolak
menolak listrik ini mencegah butir lemak kecil menyatu kembali membentuk butir
lemak besar sehingga tercipta emulsi lemak yang meningkatkan luas permukaan yang
tersedia untuk kerja lipase. Perningkatan luas permukaan sangat penting untuk
menyelesaikan pencernaan lemak dengan cepat; tanpa garam, empedu, pencernaan
lemak akan berjalan sangat lamban. 2,3
Pembentukan misel. Garam empedu bersama dengan kolesterol dan lisitin, yang juga
merupakan konstituen empedu berperan penting mempermudah penyerapan lemak
melalui pembentukan misel. Seperti garam empedu, lesitin memiliki bagian yang larut
lemak dan larut air, sementara kolesterol hampir tidak dapat larut sama sekali dalam
air. Dalam suatu misel (micelle), garam empedu dan lesitin menggumpal dalam
kelompok – kelompok kecil dengan bagian larut lemak berkerumun dibagian tengah
untuk membentuk inti “hidrofobik” (“takut air”) sementara bagian larut air
membentuk selafut hidrofilik (“senang air”) dibagian luar. Agregat misel memiliki
ukuran sekitar seperjuta lebih kecil daripada butir emulsi lemak. Misel, karena larut
air akibat lapisan hidrofiliknya, dapat melarutkan zat – zat tidak larut air (dan dengan
demikian larut lemak) diintinya yang larut lemak. Dengan demikian, misel merupakan
vehikulum yang praktis untuk merngangkut bahan – bahan yang tidak larut air dalam
isi lumen yang banyak mengandung air. Bahan larut lemak yang paling penting yang
diangkut adalah produk pencernaan lemak (monogliserida dan asam lemak bebas)
serta vitamin – vitamin larut lemak, yang diangkut ketempat penyerapannya dengan
menggunakan misel. Jika tidak menumpang di misel yang larut air ini, nutrient –
nutrient tersebut akan mengapung di permukaan cairan kimus (seperti minyak
mengapung diatas air) dan tidak pernah mencapai permukaan absorptive usus halus
Selain itu, kolesterol, suatu zat yang sangat tidak larut air, larut dalam inti misel
hidrofobik. Mekanisme ini penting dalam homeostasis kolesterol. Jumlah kolesterol
yang dapat diangkut dalam bentuk misel bergantung pada jumlah relative garam
empedu dan lisitin terhadap kolesterol. Apabila sekresi kolesterol oleh hati melebihi
sekresi garam empedu atau lesitin (baik kolesterolnya teralu banyak atau garam
empedu dan lesitinnya teralu sedikit), kelebihan kolesterol dalam empedu akan
mengendap menjadi mikrokristal yang dapat menggumpal menjadi batu empedu.
Salah satu pengobatan untuk batu empedu yang mengandung kolesterol adalah ingesti
garam – garam empedu untuk meningkatkan kandungan garam empedu sebagai usaha
untuk melarutkan batu kolesterol. Namun, hanya sekitar 75% batu empedu yang
berasal dari kolesterol. Dua puluh lima persen sisanya terbentuk akibat pengendapan
normal konstituen empedu lainnya, yakni bilirubin. 2,3
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1. Definisi
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning.
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya
dalam sirkulasi darah. 1,2,3
Bilirubin dibentuk sebagai akibat pemecahan cincin hem, biasanya akibat
metabolisme sel darah merah. Penumpukan bilirubin dalam aliran darah menyebabkan
pigmentasi kuning dalam plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada
jaringan yang memperoleh banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin serum akan
menumpuk kalau produksinya dari heme melampaui metabolisme dan ekskresinya.
Ketidakseimbangan antara produksi dan klirens dapat terjadi akibat pelepasan prekursor
bilirubin secara berlebihan ke dalam aliran darah atau akibat proses fisiologi yang
mengganggu ambilan (uptake) hepar, metabolisme ataupun ekskresi metabolit ini. 1,2,3
Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi
kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/L) atau sekitar 2 kali batas
atas kisaran normal. Dan jika ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin
mungkin sebenarnya sudah mencapai angka 7 mg%. Kadar bilirubin serum normal adalah
bilirubin direk : 0-0.3 mg/dL, dan total bilirubin: 0.3-1.0 mg/dL. 4
Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap
bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan tanda yang lebih sensitif untuk
menunjukkan hiperbilirubinemia daripada ikterus yang menyeluruh. Tanda dini yang
serupa untuk hiperbilirubinemia adalah warna urin yang gelap yang terjadi akibat ekresi
bilirububin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukoronid. Pada ikterus yang mencolok
kulit dapat berwarna kehijauan karena oksidasi sebagian bilirubin yang beredar menjadi
biliverdin. 11
Gambar 1. Sklera ikterik
4.2. Patofisiologi
Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung
dalam 3 fase, yaitu prehepatik, intrahepatik, pascahepatik, masih relevan. Walaupun
diperlukan penjelasan akan adanya fase tambahan dalam tahapan metabolisme bilirubin.
pembagian yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga tahapan metabolisme bilirubin
menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor plasma, liver uptake, konjugasi,
dan ekskresi bilier. Ikterus disebabkan oleh gangguan pada salah satu dari 5 fase
metabolisme bilirubin tersebut. 3
Fase Prahepatik 3,7
Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan oleh hal-hal
yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah).
A. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4mg
per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel
darah merah yang matang oleh sel sel retikuloendotelial, sedangkan sisanya
(early labeled bilirubin) 20-30% berasal dari protein heme lainnya yang berada
terutama dalam sumsum tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah
merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin. Sebagian dari
protein hem dipecah menjadi besi dan produk diantara biliverdin dengan
perantaraan enzim hemeoksigenase. Enzim lain, biliverdin reduktase, mengubah
biliverdin menjadi bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama dalam sel system
retikuloendotelial (mononuklir fagositosis). Peningkatan hemolysis sel darah
merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.
Pembentukan early labeled bilirubin meningkat pada beberapa kelainan dengan
eritropoiesis yang tidak efektif namun secara klinis kurang penting.
B. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak
terkonjugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak
dapat melalui membran glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni.
Ikatan melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis, dan beberapa bahan
seperti antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat ikatan dengan
albumin.
Fase Intrahepatik 3,7
Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati yang
mengganggu proses pembuangan bilirubin
C. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan
berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin. Pengambilan oleh
hati secara rinci dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y,
belum jelas.
D. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida / bilirubin
konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan bilirubin yang
tidak larut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai kompleks dengan
molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak terdapat dalam
empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang larut dalam air
sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh
konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga terbentuk bilirubin glukuronid /
bilirubin terkonjugasi / bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh enzim
microsomal glukoronil-transferase menghasilkan bilirubin yang larut air.
Fase Pascahepatik 3,7
Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati oleh batu
empedu atau tumor
E. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama
bahan lainnya. Anion organic lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang
kompleks ini. Di dalam usus, flora bakteri mereduksi bilirubin menjadi
sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang
memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam
empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai mencapai air seni sebagai
urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan bilirubin konjugasi tetapi tidak bilirubin
tak terkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap khas pada
gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik. Bilirubin tak terkonjugasi
bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak
terkonjugasi dapat melewati barrier darah-otak atau masuk ke dalam plasnta.
Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi dengan
gula melalui enzim glukoroniltransferase dan larut dalam empedu cair.
Gangguan metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat salah satu dari keempat mekanisme
ini: over produksi, penurunan ambilan hepatik, penurunan konjugasi hepatik, penurunan
eksresi bilirubin ke dalam empedu (akibat disfungsi intrahepatik atau obstruksi mekanik
ekstrahepatik). 3
Metabolisme Bilirubin
Usus
Reabsorbsi
Bakteri Usus
Glucoronyl Transferase
Hemoglobin (RES)
Heme Globin
Bilirubin Unconjugated
Bilirubin Conjugated
Urobilinogen
Hepar
Stercobilin Urobilin Urin
Ginjal
Fase Prehepatik:- Pembentukan bilirubin (Bil Indirek)- Transport plasma
Fase intrahepatik:- Liver uptake:Scr aktif ( peran protein pengikat(ligandin/protein Y dan non uptake albumin)
- Konjugasi:Bil. Terkonjungasi dng asamglukoronik→ diglukuronida (Bil. direk) → Dikatalise oleh enzimemikrosomal glukoronik transferase(Bil.larut air)
Fase pascahepatik- Ekskresi (Bil. Direk) → flora usus
bakteri (medekonjugasu & mereduksi) → Sterkobilinogen (feces kecoklatan) → Empedu / ginjal(urobilinogen).
4.3. PENYAKIT GANGGUAN METABOLISME BILIRUBIN
A. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek
Hemolisis. Walaupun hati yang normal dapat memetabolisme kelebihan bilirubin, namun
peningkatan konsentrasi bilirubin pada keadaan hemolysis dapat melampaui
kemampuannya. Pada keadaan hemolysis yang berat konsentrasi bilirubin jarang lebih
dari 3 – 5 mg/dL (>51-86 umol/L) kecuali kalau terdapat kerusakan hati juga. Namun
demikian kombinasi hemolysis yang sedang dan penyakit hati yang ringan dapat
mengakibatkan keadaan icterus yang lebih berat; dalam hal ini hiperbilirubinemia
bercampur, karena ekskresi empedu kanalikular terganggu. 4,5
Sindrom Gilbert. Gangguan yang bermakna adalah hiperbilirubinemia indirek (tak
terkonjugasi), yang menjadi penting secara klinis, karena keadaan ini sering
disalahartikan sebagai penyakit hepatitis kronis. Penyakit ini menetap, sepanjang hidup
dan mengenai sejumlah 3-5 % pendudu dan ditemukan pada kelompok umur dewasa
muda dengan keluhan tidak spesifik secara tidak sengaja. Beberapa anggota keluarga
sering terkena tetapi bentuk genetika yang pasti belum dapat dipastikan. Patogenesisnya
belum dapat dipastikan adanya gangguan (defek) yang kompleks dalam pengambilan
bilirubin dari plasma yang berfluktuasi antara 2-5 mg/dL (34-86 umol/L) yang cenderung
naik dengan berpuasa dan keadaan stress lainnya. Keaktifan enzim glukoroniltransferase
rendah; karenanya mungkin ada hubungan dengan Sindrom Crigller-Najjar tipe II.
Banyak pasien juga mempunyai masa hidup sel darah merah yang berkurang, namun
demikian tidak cukup untuk menjelaskan keadaan hiperbilirubinemia. 4,5
Sindrom Gilbert dapat dengan mudah dibedakan dengan hepatitis dengan tes faal hati
yang normal, tidak terdapatnya empedu dalam urin, dan fraksi bilirubin indirek yang
dominan. Hemolysis dibedakan dengan tidak terdapatnya anemia atau retikulosis.
Histologi hati normal, namun biopsy hati tidak diperlukan untuk diagnosis. Pasien harus
diyakinkan bahwa tidak ada penyakit hati. 4,5
Sindrom Crigler-Najjar. Penyakit yang diturunkan dan jarang ini disebabkan oleh
karena adanya keadaan kekurangan glukoronil-transferase, terdapat dalam 2 bentuk.
Pasien dengan autosom resesif tipe 1 (lengkap=komplit) mempunyai hiperbilirubinemia
yang berat dan biasanya meninggal pada umur 1 tahun. Pasien dengan penyakit autosom
resesif tipe 2 (sebagian=parsial) mempunyai hiperbilirubinemia yang kurang berat (<20
mg/dL, <342 umol/L) dan biasanya bisa hidup sampai masa dewasa tanpa kekurangan
neurologic. Fenobarbital, yang dapat merangsang kekurangan glukoronil transferase,
dapat mengurangi kuning. 4,5
B. Hiperbilirubinemia konjugasi/direk 3,6
Hiperbilirubinemia Konjugasi Non-kolestasis
Sindrom Dubin-Johnson. Penyakit autosom resesif ditandai dengan ikterus yang ringan
dan tanpa keluhan. Kerusakan dasar terjadinya gangguan eksresi berbagai anion organic
seperti juga bilirubin, namun ekskresi garam empedu tidak terganggu. Berbeda dengan
sindrom gilbert, hiperbilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin konjugasi dan empedu
terdapat dalam urin.
Hati mengandung pigmen sebagai akibat bahan seperti melanin, namun gambaran
histologi normal. Penyebab deposisi pigmen belum diketahui. Nilai aminotransferase dan
fosfatase alkali normal. Oleh karena sebab yang belum diketahui gangguan yang khas
eksresi korpopofirin urin dengan rasio reversal isomer I;III menyertai keadaan ini. 4,5
Sindrom rotor. Penyakit jarang ini menyerupai sindrom dubin-johnson, tetapi hati tidak
mengalami pigmentasi dan perbedaan metabolic lain yang nyata ditemukan. 4,5
Hiperbilirubinemia Konjugasi Kolestasis
Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan eksresi bilirubin
kedalam empedu. Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh kelainan
intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit
akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi sistemik sehingga
timbul hiperbilirubinemia. 4,5
Kolestasis intrahepatic. Istilah kolestasis lebih disukai untuk pengertian ikterus
obstruktif sebab obstruksi yang bersifat mekanis tidak perlu selalu ada. Aliran empedu
dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati (kanalikulus), sampai ampula
Vater. Untuk kepentingan klinis, membedakan penyebab sumbatan intrahepatic atau
ekstrahepatik sangat penting. Penyebab paling sering kolestasis intrahepatic adalah :
Hepatitis, alkohol, leptospirosis, kolestatis obat (CPZ), zat yang meracuni hati fosfor,
kloroform, obat anestesi dan penyakit hepatitis autoimun. Penyebab yang kurang sering
adalah : Sirosis hati bilier primer, kolestasis pada trimester terakhir kehamilan, sindroma
Dubin Johnson dan Rotor, karsinoma metastatic dan penyakit lain yang jarang. 4,5
Virus hepatitis, alcohol dan keracunan obat (drug-induced hepatitis) dan kelainan
autoimun merupakan penyebab tersering. Peradangan intrahepatik mengganggu transport
bilirubin konjugasi dan menyebabkan kterus. Hepatitis A merupakan penyakit self limited
dan dimanifestasikan dengan adanya icterus yang timbul secara akut. Hepatitis B dan C
akut sering tidak menimbulkan icterus pada tahap awal (akut), tetapi bisa berjalan kronik
dan menahun dan mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau bahkan sudah menjadi
sirosis hati. Tidak jarang penyakit hati menahun juga disertai gejala kuning, sehingga
kadang-kadang diagnosis salah sebagai penyakit hepatitis akut. 4
Alcohol bisa mempengaruhi pengambilan empedau dan sekresinya dan mengakibatkan
kolestasis. Pemakaian alcohol secara terus menerus bisa menimbulkan perlemakan
(steatosis), hepatitis, dan sirosis dengan bebagai tingkat icterus. Perlemakan hati
merupakan penemuan yang sering, biasanya dengan manifestasi yang ringan tanpa
icterus, tetapi kadang-kadang bisa menjurus ke sirosis. Hepatitis karena alcohol biasanya
memberi gejala icterus sering timbul akut dan dengan keluhan dan gejala yang lebih
berat. jika ada nekrosis sel hati ditandai dengan adanya peningkatan transaminase yang
tinggi. 4
Penyebab yang lebih jarang adalah hepatitis autoimun yang biasanya sering mengenai
kelompok muda terutama perempuan. Data terakhir menyebutkan juga kelompok yang
lebih tua bisa dikenai. Dua penyakit autoimun yang berpengaruh terhadap system bilier
tanpa terlalu menyebabkan reaksi hepatitis adalah sirosis bilier primer dan kolangitis
sklerosing. Sirosis bilier primer merupakan penyakit hati bersifat progresif dan terutama
mengenai perempuan paruh baya. Gejala yang mencolok adalah rasa lelah dan gatal yang
sering merupakan penemuan awal, sedangkan kuning merupakan gejala yang timbul
kemudian. 4
Kolangitis sklerosing primer (Primary sclerosing cholangitis/ PSG) merupakan penyakit
kolestasis lain, lebih seing dijumpai pada laki-laki dan sekitar 70% menderita penyakit
peradangan usus. PSG bisa menjurus ke kolangio-karsinoma. Banyak obat yang
mempunyai efek dalam kejadian icterus kolestatik, seperti asetaminofen, penisilin, obat
kontrasepsi oral, klorpromazin dan steroid estrogenic. 4
Kolestasis ekstrahepatik.
Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi
yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun
parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang akolik. Penyebab tersering obstruksi bilier
ekstrahepatik adalah : batu duktus koledokus dan kanker pankreas. Penyebab lainnya
yang relative lebih jarang adalah striktur jinak (operasi terdahulu) pada duktus koledokus,
karsinoma duktus koledokus, pankreatitis atau pseudocyst pancreas dan kolangitis
sklerosing. Kolestasis mecerminkan kegagalan sekresi empedu. Mekanismenya sangat
kompleks. 4
Efek patofisiologi mencerminkan efek backup konstituen empedu (yang terpenting
bilirubin, garam empedu dan lipid) ke dalam sirkulasi sistemik dan kegagalannya untuk
masuk usus halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin sering menghasilkan campuran
hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja
sering berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa mencapai saluran cerna usus halus.
Peningkata garam empedu dalam sirkulasi selalu diperkirakan sebagai penyebab keluhan
gatal (pruritus), walaupun sebenarnya hubungannya belum jelas sehingga pathogenesis
gatal masih belum dapat diketahui dengan pasti. 4
Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak, dan vitamin K, gangguan ekskresi
garam empedu dapat berakibat steatorrhea dan hipoprotrombinemia. Pada keadaan
kolestasis yang berlangsung lama (primary biliary cirrhosis) gangguan penyerapan Ca
dan vitamin D dan vitamin lain yang larut lemak dapat terjadi dan dapat menyebabkan
osteoporosis atau osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid mengakibatkan
hyperlipidemia, walaupun sintesis kolesterol di hati dan esterifikasi yang berkurang
dalam darah turut berperan; konsentrasi trigliserida tidak berpengaruh. Lemak beredar
dalam darah sebagai lipoprotein densitas rendah yang unik dan abnormal yang disebut
lipoprotein X. 4
4.5. Manifestasi Klinis Kolestasis Intrahepatik dan Ekstrahepatik
Tidak jarang kolestasis ekstrahepatik sukar dibedakan dengan kolestasis
intrahepatic, padaal membedakan keduanya sangat penting dan urgen. Gejala awal
terjadinya perubahan warna urin yang menjadi lebih kuning, gelap, tinja pucat, dan
gatal (pruritus) yang menyeluruh adalah tanda klinis adanya kolestasis. Kolestasis
kronik bisa menimbulkan pigmentasi kulit kehitaman, ekskoriasi karena pruritus,
perdarahan diathesis, sakit tulang dan endapan lemak kulit (xantelasma atau xantoma).
Gambaran seperti diatas tidak tergantung penyebabnya. Keluhan sakit perut, gejala
sistemik seperti anoreksia, muntah, demam mencerminkan penyebab penyakit dasarnya
daripada kolestasis dan karenanya dapat memberi petunjuk etiologinya. 4
4.6. Diagnosis
Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan jasmani sangat penting, karena
kesalahan diagnosis terutama dikarenakan penilaian klinis yang kurang atau penilaian
gangguan laboratorium yang berlebihan. Kolestasis ekstrahepatk dapat diduga dengan
adanya keluhan sakit bilier atau kandung empedu yang teraba. Jika sumbatan karena
keganasan pancreas (bagian kepala/kaput) sering timbul kuning yang tidak disertai
gejala keluhan sakit perut (painless jaundice). Kadang-kadang jika bilirubin telah
mencapai konsentrasi yang lebih tinggi sering warna kuning mencapai sclera mata
memberi kesan berbeda dimana icterus lebh memberi kesan kehijauan (greenish
jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan (yellowish jaundice) pada
kolestasis intrahepatic. 4
4.7. Tes Laboratorium
Mempunyai keterbatasan diagnosis. Kelainan laboratorium yang khas adalah
peninggian nilai fosfatase alkali, yang terutama diakibatkan peningkatan sintesis
daripada gangguan ekkresi, namun tetap belum bisa menjelaskan penyebabnya. Nilai
bilirubin juga mencerminkan beratnya tetapi bukan penyebab kolestasisnya, juga
fraksionasi tidak menolong membedakan keadaaan intrahepatic dari ekstrahepatik. 4
Nilai aminotransferase bergantung terutama pada penyakit dasarnya, namun
seringkali meningkat tidak tinggi. Jika peningkatan tinggi sangat mungkin karena
proses kolestasis ekstrahepatik, terutama pada sumbatan akut yang diakibatkan oleh
adanya batu di duktus koledokus. 4
Peningkatan amylase serum menunjukkan sumbatan ekstrahepatik, perbaikan
waktu protrombin setelah pemberian vitamin K mengarah kepada adanya bendungan
ekstrahepatik, namun hepatoselular juga dapat berespons. Ditemukannya antibodi
terhadap antimitokondria mendukung keras kemungkinan sirosis bilier primer. 4
Diagnosis yang akurat untuk suatu gejala ikterus dapat ditegakkan melalui
penggabungan dari gejala-gajala lain yang timbul dan hasil pemeriksaan fungsi hepar
serta beberapa prosedur diagnostik khusus. Sebagai contoh, ikterus yang disertai
demam, dan terdapat fase prodromal seperti anoreksia, malaise, dan nyeri tekan hepar
menandakan hepatitis. Ikterus yang disertai rasa gatal menandakan kemungkinan
adanya suatu penyakit xanthomatous atau suatu sirosis biliary primer. Ikterus dan
anemia menandakan adanya suatu anemia hemolitik. 7
4.8. Pendekatan Klinis
Warna kekuningan pada kulit atau telapak tangan (pseudoikterus) dapat terjadi
karena memakan terlalu banyak makanan yang mengandung beta-carotin (seperti
squash, melon, papaya, dan wortel) berbeda dengan icterus yang sesungguhnya,
keadaan diatas (karotenemi) tidak mengakibatkan warna kuning di sclera atau
peningkatan bilirubin. 4
Icterus disebabkan oleh gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolism
bilirubin. Icterus dapat disebabkan karena berbagai sebab mulai dari yang bersifat jinak
sampai kepada keadaan yang bisa membahayakan jiwa. Tahap awal ketika akan
mengadakan penilaian klinis seorang pasien dengan icterus adalah tergantung kepada
apakah hiperbilirubinemia bersifat terkonjugasi atau tak terkonjugasi. 4
Tes paling sederhana adalah melihat apakah terdapat bilirubin dalam urin atau
tidak, dan kemudian dipastikan oleh pemeriksan bilirubin dalam darah. Pemeriksaan
jasmani awal harus memusatkan terhadap keluhan utama dan perjalanan penyakitnya,
kemudian dilihat adanya tanda-tanda penyakit akut atau kronik. Jika icterus ringan
tanpa warna air seni yang gelap harus dipikirkan kemungkinan adanya
hiperbilirubinemia indirek yang mungkin disebabkan oleh penyakit sindrom gilbert dan
bukan karena penyakit hepatobilier. Keadaan icterus yang lebih berat dengan disertai
warna air seni yang gelap menandakan penyakit hati atau bilier.
Pembagian diagnosis banding ke dalam penyebab pre hepatic, intrahepatic atau
ekstrahepatik walaupun mempunyai kekurangan namun masih dapat membuat
penatalaksanaan menjadi lebih mudah misalnya penyebab icterus yang tergolong pre
hepatic termasuk hemolysis dan penyerapan hematom akan menyebabkan peningkatan
bilirubin tak terkonjugasi (indirek). Kelainan intrahepatic dapat berakibat
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi maupun konjugasi. Peningkatan bilirubin konjugasi
(direk) bisa diakibatkan hepatitis infeksiosa, alcohol, reaksi obat dan kelainan autoimun.
Kelainan post hepatic dapat pula meningkatkan bilirubin konjugasi. Pembentukan batu
merupakan keadaan yang paling sering yang bersifat jinak dalam kelompok kelainan
posthepatik yang menyebabkan kuning. 4,5
Diagnosis banding akan mengikutsertakan juga berbagai keadaaan lain seperti
infeksi di saluran empedu, pankreatitis dan keganasan. Jika terdapat penyakit
hepatobilier, apakah kondisinya akut atau kronik. Apakah penyakit penyebab kuning ini
adalah hepatitis virus, alcohol, atau karena obat. Jika mengarah kepada kolestasis
apakah intra atau ektrahepatik. Apakah dibutuhkan tindakan operasi. Apakah ada
komplikasi anamnesis. Riwayat penyakit yang rinci sangat dibutuhkan, sebab kesalahan
diagnosis dapat terjadi akibat keputusan klinis yang kurang tepat dan terlalu percaya
data laboratorium. 4,5
Jika terdapat tanda-tanda adanya hipertensi portal, asites, perubahan kulit
seyogyanya mengarah ke penyakit kronis daripada proses akut. Seringkali pasien
melihat gejala warna gelap air seni lebih dahulu dibandingkan warna kuning kulit,
karenanya warna gelap urin lebih bisa dipakai sebagai ukuran awal mulainya penyakit.
Jika terdapat keluhan mual dan muntah yang mendahului terjadinya warna kuning
padakulit, keadaan tersebut lebih menandakan ke arah hepatitis akut atau sumbatan
duktus koledokus. Oleh karena batu. Jika ada sakit perut atau menggigil lebih
cenderung ke sumbatan duktus koledokus. Adanya anoreksia dan malaise yang timbul
perlahan dan tidak begitu nyata lebih menjurus kepada hepatitis kronis. 4,5
Penyakit sistemik patut dicurigai, misalnya, jika terdapat peninggian tekanan vena
jugularis yang menjurus ke adanya dekompensasi kordis atau pericarditis konstriktif
pada pasien dengan hepatomegaly dan asites. Status gizi yang kurang dan menjurus
kepada keadaan kakeksia dengan hati yang membesar dank eras dan irregular sering
disebabkan oleh keganasan daripada sirosis. 4
Limfadenopati yang difus mengarah kepada adanya mononucleosis infeksiosa
pada kasus icterus yang akut dan leukemia pada penyakit kronis. Adanya
hepatosplenomegali tanpa adanya penyakit hati kronik dapat disebabkan oleh penyakit
infiltrative (seperti limfoma, amyloidosis) walaupun biasanya icterus bersifat minimal
atau bahkan tidak ada. Dalam keadaan ini perlu dipikiran skistosomiasis dan malaria
yang sering memberikan gambaran seperti itu jika terjadi di daerah endemic. 4
Jika icterus berjalan sangat progresif perlu dipikirkan segera bahwa kolestasis
lebih bersifat kearah sumbatan ekstrahepatik (batu saluran empedu atau keganasan
kaput pankreas). 4
4.9. Pemeriksaan Penunjang
Urin
Tes yang sederhana yang dapat kita lakukan adalah melihat warna urin dan melihat
apakah terdapat bilirubin di dalam urin atau tidak. 9
Tes serologi hepatitis virus
IgM hepatitis A adalah pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis A akut. Hepatitis B
akut ditandai oleh adanya HBSAg dan deteksi DNA hepatitis B. 10
Biopsi hati
Histologi hati tetap merupakan pemeriksaan definitif untuk ikterus hepatoseluler dan
beberapa kasus ikterus kolestatik (sirosis biliaris primer, kolestasis intrahepatik akibat
obat-obatan (drug induced). 10
Umumnya biopsy aman pada kasus dengan kolestasis, namun berbahaya pada
keadaaan obstruksi ekstrahepatik yang berkepanjangan, karenanya harus disingkirkan
dahulu dengan pemeriksaan pencitraan sebelum dilakukan biopsy.
Kecuali pasien dalam keadaan kolangitis kolestasis supurativa, bukan keadaan
emergensi. Diagnosis sebaiknya ditegakkan melalui penilaian klinis, dengan bantuan
alat penunjang khusus jika ada. Jka diagnosis tidak pasti, ultrasonografi atau CT akan
sangat membantu. Obstruksi mekanis dapat ditegakkan jika ditemukan tanda
pelebaran saluran bilier terutama pada pasien dengan kolestasis yang progresif.
Pemeriksaan lebih lanjut dengan kolangiografi langsung (ERCP, PTC, MRCP) dapat
dipertimbangkan. Jika pada pemeriksaan ultrasonografi tidak ditemukan pelebaran
saluran empedu, sangat mungkin lebih cenderung kearah intra hepatic dan biopsy
sangat dianjurkan. 7,8
Jika alat penunjang tersebut di atas tidak terdapat, maka laparoskopi diagnosis harus
dipertimbangkan, jika pertimbangan klinis lebih menjurus ke sumbatan ekstrahepatik
dan kolestasis memburuk progresif. 4
Endoscopic Retrograd Cholangiopancreatography (ERCP) dan PTC (Percutans
Transhepatic Colangiography).
ERCP merupakan suatu perpaduan antara pemeriksaan endoskopi dan radiologi untuk
mendapatkan anatomi dari sistim traktus biliaris (kolangiogram) dan sekaligus duktus
pankreas (pankreatogram). ERCP merupakan modalitas yang sangat bermanfaat
dalam membantu diagnosis ikterus bedah dan juga dalam terapi sejumlah kasus
ikterus bedah yang inoperabel. ERCP memberikan kemungkinan untuk melihat secara
langsung saluran bilier dan sangat bermanfaat untuk menetapkan sebab sumbatan
ekstrahepatik. 4,8,9
Indikasi ERCP diagnostik pada ikterus bedah meliputi: 2
a. Kolestasis ekstra hepatik
b. Keluhan pasca operasi bilier
c. Keluhan pasca kolesistektomi
d. Kolangitis akut
e. Pankreatitis bilier akut.
Di samping itu kelainan di daerah papila Vateri (tumor, impacted stone) yang juga
sering merupakan penyebab ikterus bedah dapat terlihat jelas dengan teknik
endoskopi ini. 2
Penemuan Laboratorium
Hiperbilirubinemia dengan nilai aminotransferase dan fosfatase alkali yang normal
menunjukkan kemungkinan proses hemolysis atau penyakit sindrom gilbert. Ini
dipastikan dengan fraksionasi bilirubin tidak bisa membantu untuk membedakan
icterus hepatoselular dari keadaan ikerus kolestasis. Peninggian aminotransferase >500
U lebih mengarah kepada hepatitis atau keadaan hipoksia akut. Peninggian fosfatase
alkali yang tidak proporsional mengarah kepada kolestatik atau kelainan infiltrative.
Pada keadaan yang disebut belakangan bilirubin biasanya normal atau hanya naik
sedikit saja. Bilirubin diatas 25 sampai 30 mg/dl seringkali disebabkan adanya
hemolysis atau disfungsi ginjal yang menyertai pada keadaan penyakit hepatobilier
berat.4
Konsentrasi albumin yang rendah dan globulin yang tinggi menunjukkan adanya
penyakit kronis. Peningkatan waktu protrombin yang membaik setelah pemberian
vitamin K (5 – 10 mg IM selama 2-3 hari) lebih mengarah kepada keadaan kolestatik
daripada proses hepatoselular. Namun hal ini tidak bisa terlalu dipastikan karena pada
pasien dengan penyakit hepatoselular pun pemberian vitamin K bisa juga memberikan
perbaikan.4
Pemeriksaan Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan sangat berharga untuk mendiagnosis penyakit infiltrative dan
kolestatik. Pemeriksaan sonografi perut, CT dan MRI sering bisa menemukan
metastatic dan penyakit fokal pada hati dan telah menggantikan pemeriksaan nuklir
scan untuk maksud tersebut. Namun demikian pemeriksaan ini kurang bermanfaat
dalam mendiagnosis penyakit hepatoselular (seperti sirosis) sebab penemuannya
bersifat tidak spesifik. 7
Pemeriksaan biopsy hati perkutan mempunyai arti yang sangat penting, namun jarang
dibutuhkan pada pasien icterus. Pemeriksaan laparoskopi memungkinkan untuk
memeriksa langsung hati dan kandung empedu dan bermanfaat untuk pasien tertentu.
Laparotomy diagnostic jarang diperlukan pada pasien dengan kolestatik atau
hepatosplenomegali yang belum bisa diterangkan penyebabnya.8,9
Berikut adalah beberapa temuan klinis dan laboratorium yang dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis ikterus:
Tabel tes diagnostik
Tes fungsiIkterus
pre-hepatikIkterus hepatik
Ikteruspost-hepatik
Bilirubin totalNormal /
MeningkatMeningkat
Konjugasi bilirubin
Meningkat
Normal Meningkat
Bilirubin tak terkonjugasiNormal /
MeningkatNormal
UrobilinogenNormal /
MeningkatMenurun /
Negatif
Warna Urine Normal Gelap
Warna feses Normal Pucat
Alkaline fosfataseNormal
Meningkat
Alanin transferase dan Aspartat Meningkat
Bilirubin terkonjugasi dalam Urin
Didapatkan Tidak didapatkan
PASIEN IKTERUS
ANAMNESA, PEM FISIK
USG
TANPA DILATASI DILATASI
EVALUASI DISANGKANONOBSTRUKTIF OBSTRUKSI(Biopsi Liver ?)
BATU CBD OBSTRUKSI HILUSOBSTRUKSI RENDAHKELAINAN PANKREAS
PTCERCP MRCP
ERCP PTC+/- Ekstrkasi batu +/- Drenase bilier+/- Stenting +/- Stenting+/- Sitologi/Biopsi +/- Sitologi/Biopsi+/- Drenase bilier
DIAGNOSA JELASYa
Tidak Tidak
PTC TERAPI YANG SESUAI ERCP
Gambar 4. Alogaritma diagnosis ikterus Obstruksi 4
4.10. Pengobatan
Pengobatan jaundice sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Jika
penyebabnya adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus), biasanya jaundice akan
menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya. Beberapa gejala yang cukup
mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik,
pengobatan penyebab dasarnya sudah mencukupi. 9
Pruritus pada keadaan irreversible (seperti sirosis bilier primer) biasanya
responsive terhadap kolestiramin 4-16 g/hari PO dalam dosis terbagi dua yang akan
mengikat garam empedu di usus. Kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat,
hipoprotrombinemia biasanya membaik setelah pemberian fitonandion (Vitamin K1)
5-10 mg/hari SK untuk 2-3 hari. 4
Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis yang
ireversibel, namun pencegahan penyakit tulang metabolic mengecewakan. Suplemen
vitamin A dapat mencegah kekurangan vitamin yang larut lemak ini dan steatorrhea
yang berat dapat dikurangi dengan pemberian sebagian lemak dalam diet dengan
medium chain triglyceride. 4
Jika penyebabnya adalah sumbatan bilier ekstra-hepatik biasanya membutuhkan
tindakan pembedahan, ekstraksi batu empedu di duktus, atau insersi stent, dan drainase
via kateter untuk striktura (sering keganasan) atau daerah penyempitan sebagian.
Untuk sumbatan maligna yang non-operabel, drainase bilier paliatif dapat dilakukan
melalui stent yang ditempatkan melalui hati (transhepatik) atau secara endoskopik
(ERCP). Pada sejumlah pasien ikterus bedah yang mempunyai risiko tinggi dapat
dilakukan "ERCP terapeutik". Prinsip dari ERCP terapeutik adalah memotong sfingter
papila Vateri dengan kawat yang dialiri arus listrik sehingga muara papila menjadi
besar (spingterotomi endoskopik). Kebanyakan tumor ganas yang menyebabkan
obstruksi biliaris sering sekali inoperabel pada saat diagnosis ditegakkan. Papilotomi
endoskopik dengan pengeluaran batu telah menggantikan laparatomi pada pasien
dengan batu di duktus kholedokus. Pemecahan batu di saluran empedu mungkin
diperlukan untuk membantu pengeluaran batu di saluran empedu. 3,4
I K TE R I K
Etiologi :2
-Intralumen: Batu, striktur, cacing-Ekstralumen: Ca papilla, Ca duodenum, Ca caput pancreas, massa di bifurcatio (cholangio ca, hepatoma, kista, abses)
Etiologi :2
- Alkohol- Obat- Virus- Toksin- Sepsis- Infiltratif
Etiologi :4
- Obat- Herediter- Gangguan
hemolitik
POST HEPATIKHEPATIKPRE HEPATIK
Anamnesa, Pem. Fisik, Lab (termasuk LFT)1,2,3,4,6
USG1-4
Seromarker1-4
CT Scan1-2
Biopsi1-2
USG1-4,6/ MRCP*
(utk diagnostik)
Endoscopic treatment 5
ERCP6
(diagnostik & terapeutik)* Optional (boleh dilakukan bila memungkinkan)
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton, Arthur C dan John E hall. 1997 Fisiologi Gastrointestinal. Dalam : Irawati
Setiawan (Editor Bahasa Indonesia) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta:
EGC, h. 1108-1109
2. Husadha, Yast, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Fisiologi dan Pemeriksaan
Biokimiawi Hati. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;.. Halaman 225-226
3. Schwartz SI. Manifestations of Gastrointestinal Desease. Dalam : Principles of
Surgery fifth edition, editor : Schwartz, Shires, Spencer. Singapore : McGraw-Hill,
1989. 1091-1099
4. Sulaiman, Ali, 2007, Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam : Aru W Sudoyo
et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : Penerbitan IPD
FKUI,. h. 420-423
5. Pratt S, Kaplan MM. Jaundice. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hauser SL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine Vol.1.16th ed.
USA, Mc GrawHill, 2005.p.240
6. Lindseth Glenda N, 2006, Ikterus dan Metabolisme Bilirubin. Dalam : Hartanto
Huriawati et al. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit volume 1 Edisi 6.
Jakarta : EGC. h.481-485
7. Medline Plus. Bilirubin. Http://www.nlm.nih.gov.
8. Lesmana. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) diagnostik dan
terapeutik pada Obstruksi Biller. Http://www.kalbe.co.id.
9. Medline Plus. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP).
Http://www.nlm.nih.gov.
10. Davey P. Ikterus. Dalam : At a Glace Medicine. Jakarta : Erlangga Medical Series,
2006.