PROGRAM REHABILITASI MENTAL PASIEN GANGGUAN …...mengenai mental yang sehat dan cara-cara...
Transcript of PROGRAM REHABILITASI MENTAL PASIEN GANGGUAN …...mengenai mental yang sehat dan cara-cara...
-
PROGRAM REHABILITASI MENTAL
PASIEN GANGGUAN MENTAL PADA PANTI
REHABILITASI SOSIAL JIWA DAN NARKOBA
PURBALINGGA JAWA TENGAH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh
Muhammad Ali Nurdin
NIM 1112052000017
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN
PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN
ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1439 H / 2018 M
-
-
-
-
ABSTRAK
Muhammad Ali Nurdin, 1112052000017, Program
Rehabilitasi Mental Pasien Gangguan Mental pada Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Dibawah bimbingan Dra. Rini Laili Prihatini, M.Si.
Riset Kesehatan Dasar Kemenkes RI tahun 2013 menunjukan
bahwa penderita gangguan mental di Indonesia masih tinggi.
Upaya untuk mengatasi gangguan mental adalah dengan
melakukan rehabilitasi sedini mungkin ke pusat pelayanan
kesehatan atau berobat ke tenaga kesehatan yang kompeten.
Upaya rehabilitasi penting dilakukan untuk memperbaiki dan
mengembangkan kembali fisik serta mental seseorang agar dapat
kembali kepada kondisi awal sebagai manusia yang berguna dan
dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar seperti
sediakala.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan jenis
deskriptif. Subyek penelitian ini adalah 1 orang pendiri sekaligus
kepala panti, 4 orang staf yang bekerja di panti serta 2 orang
masyarakat sekitar panti. Adapun teknik menentukan informan
untuk dijadikan subyek dalam penelitian ini menggunakan teknik
purposive sampling. Analisis data yang digunakan adalah teknik
analisis domain yang analisis hasil penelitiannya ditujukan untuk
memperoleh gambaran seutuhnya dari objek yang diteliti atau
yang biasa disebut juga dengan eksplorasi.
Hasil observasi dan wawancara yang telah peneliti lakukan
menunjukan bahwa pelaksanaan program rehabilitasi mental pada
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba sudah berjalan dengan
lancar dan efektif sebagai metode penyembuhan bagi pasien.
Sedangkan untuk penerimaan pasien terhadap program
rehabilitasi mental di panti sudah baik, hal itu terlihat dari tidak
ada pasien yang menolak program rehabilitasi mental yang ada di
panti. Faktor penentu keberhasilan program rehabilitasi mental di
panti ditentukan oleh faktor kerjasama dan faktor sosok yang
memimpin program rehabilitasi mental terutama rehabilitasi
mental non-medis, yaitu program ruqyah, program istighosah dan
program minum air karomah.
Kata Kunci: Rehabilitasi mental, Gangguan mental,
Program.
-
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah
memberikan nikmat dan karunia yang tiada terhingga kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial. Shalawat dan
salam semoga tercurahkan kepada manusia mulia, baginda nabi
besar Muhammad SAW. Semoga tercurahkan pula kepada para
keluarganya, sahabat-sahabatnya dan mudah-mudahan sampai
kepada kita selaku ummatnya yang tunduk dan patuh
menjalankan ajaran dan Sunnah-sunnah beliau.
Proses penyusunan skripsi ini sungguh memakan waktu, stamina,
biaya, pikiran dan diwarnai dengan banyak dinamika kehidupan
yang indah dalam dunia ilmiah. Namun bantuan, perhatian dan
dorongan baik berupa kritikan dan saran maupun dorongan dalam
bentuk lain, senantiasa Allah kirimkan melalui orang-orang
terdekat dan tersayang. Untuk itu, dalam kesempatan ini dengan
hati tulus penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga
kepada kedua orang tua penulis yang tak pernah lelah dan tanpa
henti mendoakan penulis siang dan malam.
Ucapan terima kasih dan penghargaan tak terhingga juga penulis
sampaikan kepada yang terhormat:
1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. H. Arief Subhan, MA.,
Wakil Dekan I Bidang Akademik Suparto M.Ed., Ph.D.,
-
vi
Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum Dr.
Roudhonah, MA., dan Wakil Dekan III Bidang
Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama Dr. Suhaimi,
M.Si.
2. Dra. Rini Laili Prihatini, M.Si selaku Ketua Prodi
Bimbingan dan Penyuluhan Islam UIN Jakarta, sekaligus
sebagai Dosen Penasihat Akademik serta Dosen
Pembimbing Skripsi penulis yang telah meluangkan
banyak waktunya dan mencurahkan segenap ilmu, arahan,
masukan, saran dan motivasi kepada penulis selama ini.
Penulis juga mohon dimaafkan lahir-bathin atas segala
kesalahan yang telah penulis lakukan selama ini.
3. Ir. Noor Bekti Negoro, SE., M.Si selaku Sekretaris Prodi
Bimbingan dan Penyuluhan Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah turut membantu
melancarkan semua proses yang dibutuhkan oleh penulis.
4. Bapak dan ibu dosen Prodi Bimbingan dan Penyuluhan
Islam serta bapak dan ibu dosen Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis
selama ini.
5. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Utama dan
Perpustakaan Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
serta seluruh civitas akademik Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kepala sekaligus pendiri Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa
dan Narkoba di Purbalingga Jawa Tengah K.H. Supono
-
vii
Mustajab, M.Si beserta seluruh staf dan pegawai panti
yang telah menerima penulis dengan terbuka dan
memberikan informasi serta data yang dibutuhkan dalam
penelitian ini.
7. Mas Taufik, mas Nana, mas Fuad, mas Arif dan mas
Opank yang telah banyak membantu penulis selama di
panti penelitian. Mudah-mudahan Allah membalas jasa-
jasa kalian dengan sebaik-baiknya.
8. Kakak penulis teh Ida Dahlia dan bang Dian Irawan, juga
tiga keponakan penulis Haikal Araby, Al-Hafizh Akbar
dan Amanda Aprilia. Tak lupa kepada seluruh kerabat
penulis yang terus memotivasi untuk segera
menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman-teman BPI 2012: Apip, Sofet, Irpan, Aceng, Ipul,
Novi, Yanti, Saadah, Via, Daul, Rizka, Neli, Sela, Syifa,
Hilya, Diah, Upi, Aul, dan teman-teman lainnya di BPI
2012. Serta teman-teman seperjuangan di Prodi BPI UIN
Jakarta seluruh angkatan, juga teman-teman seperjuangan
di UIN Jakarta.
10. Teman-teman Alumni Ponpes Nurul Furqon Cibinong di
UIN Jakarta yang telah memberikan semangat untuk
menyelesaikan studi S1 ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak tanpa
terkecuali yang telah membantu seluruh proses skripsi ini dari
awal hingga akhir serta membantu proses perkuliahan penulis
dari awal hingga akhir di kampus tercinta ini. Mudah-mudahan
-
viii
segala macam bantuan dalam bentuk apapun menjadi amal ibadah
dan dibalas oleh Allah SWT, Tuhan pencipta alam.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, amiin.
Jakarta, 29 Agustus 2018
Muhammad Ali Nurdin
-
ix
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan Pembimbing ............................. i
Lembar Pengesahan .................................................. ii
Lembar Pernyataan ................................................... iii
Abstrak ...................................................................... iv
Kata Pengantar .......................................................... v
Daftar Isi ................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ........................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah .................... 13
1. Batasan Masalah .................................... 13 2. Rumusan Masalah .................................. 14
C. Tujuan Penelitian .......................................... 14 D. Manfaat Penelitian ........................................ 15 E. Tinjauan Pustaka ........................................... 15 F. Sistematika Penulisan ................................... 21
BAB II LANDASAN TEORI ................................. 23
A. Teori Kesehatan Mental ................................ 23 B. Jiwa dan Mental ............................................ 38
1. Jiwa Perspektif Teori Umum ................. 38 2. Jiwa Perspektif Teori Islam .................... 40 3. Mental Perspekti teori Umum
dan Islam ................................................ 42
C. Program ......................................................... 46 1. Pengertian Program ................................ 46 2. Program Kesejahteraan Sosial ............... 48
-
x
3. Prinsip Dasar Dalam Praktik Kesejahteraan Sosial .............................. 53
D. Rehabilitasi Mental ....................................... 58 1. Pengertian Rehabilitasi Mental .............. 58 2. Jenis Rehabilitasi ................................... 60 3. Fungsi Rehabilitasi ................................. 62 4. Tahapan Rehabilitasi .............................. 63 5. Rasionalisasi Program Rehabilitasi
Mental .................................................... 65
E. Gangguan Mental .......................................... 77 1. Pengertian Gangguan Mental ................. 77 2. Penyebab Gangguan Mental .................. 81 3. Macam-macam Gangguan Mental ......... 84
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............. 94
A. Metode Penelitian ......................................... 94 B. Jenis Penelitian .............................................. 96 C. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................ 97
1. Lokasi Penelitian .................................... 97 2. Waktu Penelitian .................................... 98
D. Subyek dan Obyek Penelitian ....................... 98 1. Subyek Penelitian ................................... 98 2. Obyek Penelitian .................................... 101
E. Teknik Pengumpulan Data ............................ 101 1. Teknik Observasi ................................... 101 2. Teknik Wawancara ................................ 103 3. Teknik Dokumentasi .............................. 104
F. Sumber Data .................................................. 105 1. Sumber Data Primer ............................... 105 2. Sumber Data Sekunder .......................... 106
G. Fokus Amatan dan Analisis .......................... 106 H. Teknik Analisis Data ..................................... 107 I. Asumsi Peneliti ............................................. 110
-
xi
BAB IV HASIL DAN ANALISA PENELITIAN .. 113
A. Gambaran Umum Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah .................................................. 113
1. Profil Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah............................................ 113
2. Visi dan misi, Sasaran dan Tujuan Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa
dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah .. 116
3. Tata Tertib .............................................. 122 4. Program Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa
dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah.. 126
5. Jadwal Harian Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah ........................................... 128
6. Struktur Pengurus Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah ........................................... 128
7. Tahapan Pelayanan Rehabilitasi pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba Purbalingga Jawa Tengah ........ 130
B. Temuan Lapangan ......................................... 133 1. Program Rehabilitasi Mental pada
Pasien Gangguan Mental ....................... 134
2. Analisis Program Rehabilitasi Mental Pasien Gangguan Mental pada Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
Purbalingga Jawa Tengah ...................... 175
C. Diskusi .......................................................... 208
BAB V PENUTUP .................................................. 213
A. Kesimpulan ................................................... 213 B. Saran ............................................................. 215
Daftar Pustaka ............................................... 217
Lampiran ....................................................... 225
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak zaman dahulu, sikap terhadap gangguan mental
telah muncul dalam konsep primitif animisme. Ada
kepercayaan bahwa dunia ini diawasi dan dikuasai oleh roh-
roh atau dewa-dewa. Orang primitif percaya bahwa angin
bertiup, ombak mengalun, batu berguling dan pohon tumbuh
karena pengaruh roh yang tinggal dalam benda-benda
tersebut. Orang Yunani percaya bahwa gangguan mental
terjadi karena dewa marah dan membawa pergi jiwanya.1
Untuk menghindari kemarahan dewa tersebut, maka
mereka mengadakan perjamuan pesta (sesaji) dengan mantra
dari korban yang mereka persembahkan. Praktik-praktik
semacam itu berlangsung mulai dari abad 7-5 SM. Seiring
perkembangan zaman, maka praktik semacam itupun kian
berkurang, walaupun kepercayaan tentang penyakit mental
berasal dari roh-roh jahat tetap bertahan sampai abad
pertengahan.2
Selanjutnya pada abad 4 SM muncul tokoh-tokoh bidang
medis dari bangsa Yunani seperti Hipocrates, Hirophilus,
1 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi
Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, Cet ke-2 (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hal. 16. 2 Ibid., h. 16.
-
2
Galenus, Vesalius, Paracelsus dan Cornelius Agrippa yang
mulai menggunakan konsep biologis dalam penanganannya
sehingga lebih manusiawi. Asumsinya adalah gangguan
mental disebabkan gangguan biologis atau kondisi biologis
seseorang, bukan akibat roh jahat. Aliran ini mendapat
pertentangan keras dari aliran sebelumnya yang meyakini
adanya roh jahat.3
Abad ke-20 masehi merupakan revolusi kesehatan mental
dengan munculnya pendekatan psikoanalisa yang
mempelopori penanganan penderita gangguan mental secara
medis dan psikologis. Tokoh utamanya adalah Sigmund
Freud, yang melakukan penanganan hipnose, katarsis,
asosiasi bebas dan analisis mimpi. Tujuannya adalah
mengatasi masalah gangguan mental individu dengan
menggali konflik intrapsikis penderita gangguan mental.
Intervensi tersebut dikenal dengan istilah penanganan klinis
(psikoterapi).4
Seiring dengan adanya revolusi pemahaman masyarakat
mengenai mental yang sehat dan cara-cara penanganannya,
maka pemahaman tentang gangguan mental terus berubah
dan berkembang. Gangguan mental dalam beberapa hal
disebut perilaku abnormal (abnormal behavior) yang juga
dianggap sama dengan sakit mental (mental illness) ataupun
sakit jiwa (insanity, lunacy, madness). Selain itu terdapat
3
Kartika Sari Dewi, Kesehatan Mental (Semarang: Universitas
Diponegoro Press, 2012), h. 13. 4 Ibid., h. 13-14.
-
3
pula istilah-istilah yang serupa seperti: distress, discontrol,
disadvantage, disability, inflexibility, irrationality,
syndromal pattern dan disturbance. Berbagai istilah ini
dalam beberapa hal dianggap sama namun di lain pihak
digunakan secara berbeda. Dalam International
Classification of Diseases (ICD) dan Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), istilah yang
digunakan adalah „mental disorder‟ yang bila diterjemahkan
menjadi „gangguan mental‟.5
Seorang ahli psikologi agama, Zakiah Daradjat
menawarkan satu istilah yang agak berbeda dalam
menjelaskan tentang gangguan mental. Menurut Daradjat,
gangguan mental adalah kumpulan dari keadaan-keadaan
yang tidak normal baik yang berhubungan dengan fisik
maupun dengan mental. Ketidaknormalan tersebut tidak
disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian-bagian anggota
badan, meskipun kadang-kadang gejalanya terlihat pada
fisik.6
Gangguan mental selalu berkaitan dengan gangguan-
gangguan internal berupa motivasi-motivasi yang tidak riil
dan kekuatan-kekuatan yang saling berkonflik dalam
kepribadian seseorang, misalnya berupa konflik antara
dorongan-dorongan yang infantil (bersifat kekanak-kanakan)
5 Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, Kesehatan Mental: Konsep
dan Penerapan, Cet ke-6 (Malang: UMM Press, 2011), h. 42. 6
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 33.
-
4
melawan pertimbangan yang rasional dan matang, konflik
antara norma-norma batin sendiri melawan standar sosial
yang dianut orang dan konflik lain yang saling bertentangan
dalam diri seseorang.7
Penyebab sederhana gangguan mental adalah karena
harapan dan kebutuhan yang diidamkan tidak tercapai
sehingga menimbulkan ketegangan dan konflik dalam batin.
Setiap manusia selalu mempunyai macam-macam kebutuhan
untuk mempertahankan eksistensi hidupnya sehingga
timbullah dorongan, usaha dan dinamisme untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Bila kebutuhan-kebutuhan hidup itu
terhalangi, maka akan timbullah ketegangan-ketegangan dan
konflik batin. Bila hal ini berlangsung terus-menerus, maka
akan muncul kekalutan/ gangguan mental.8
Berkaitan dengan penyebab tersebut, Allah SWT
berfirman dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 155:
ِل َوٱۡۡلَوفُِس َه ٱۡۡلَۡمَوَٰ َه ٱۡلَخۡوِف َوٱۡلُجوِع َووَۡقٖص مِّ َولَىَۡبلَُووَُّكم بَِشۡيٖء مِّ
بِِريَه ِر ٱلصََّٰ ِتِۗ َوبَشِّ )٥١١(َوٱلثََّمَرَٰ
Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan
kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang sabar”.
7
Kartini Kartono, Hygiene Mental, Cet ke-7 (Bandung: Mandar
Maju, 2000), h. 83-84. 8 Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jilid 1 (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2007), h. 304.
-
5
Sejalan dengan hal tersebut, sifat manusia yang mudah
berkeluh kesah dalam batinnya apabila harapan dan
kebutuhan yang diidamkannya tidak tercapai, yang pada
akhirnya menyebabkan gangguan mental sudah disinggung
dalam al-Quran surat al-Maarij ayat 19-21:
َه ُخلَِق هَلُوًعا وَسَٰ َوإَِذا َمسَّهُ ) ٠٢(ٱلشَّرُّ َجُزوٗعا إَِذا َمسَّهُ )٥١ (إِنَّ ٱۡۡلِ
) ٠٥ (ٱۡلَخۡيُر َمىُوًعا
Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh
kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh
kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”.
Demikianlah al-Quran menjelaskan mengenai penyebab
manusia mengalami gangguan mental. Manusia diciptakan
cenderung bersifat keluh kesah apabila harapannya tidak
sesuai dengan kenyataan. Selain itu, ketidaksanggupan
manusia dalam menyesuaikan diri dengan situasi yang
dihadapinya, respon yang salah terhadap kesulitan yang
dihadapi, penyesuaian diri yang lamban terhadap kondisi
yang ada serta ketidakmampuan menghadapi segala macam
kesulitan akan menyebabkan gangguan mental.
Dewasa ini banyak orang yang tidak menyadari bahwa
dirinya sebenarnya mengalami gangguan mental. Di samping
itu banyak orang yang menderita gangguan mental namun
tidak mau menerima perawatan apapun karena tidak merasa
-
6
bahwa ia sedang mengalami gangguan mental. Atau karena
anggota keluarga dan kawan-kawannya tidak mengetahui
bahwa orang ini sedang sakit mental. Ada juga orang-orang
yang diketahui oleh keluarga dan kawan-kawannya sebagai
orang yang menderita gangguan mental tetapi tidak mau
mengobatinya karena beberapa alasan, misalnya kekurangan
biaya ataupun karena ingin menjaga kehormatan nama baik
keluarga yang dilandasi rasa malu mengakui bahwa anggota
keluarganya menderita gangguan mental.9
Rendahnya minat masyarakat untuk melakukan
pengobatan bagi penderita gangguan mental tersebut
mengakibatkan terjadinya perlakuan salah masyarakat
terhadap penderita gangguan mental, salah satunya adalah
dengan melakukan pemasungan.10
Hasil Riset Kesehatan
Dasar Kemenkes RI tahun 2013 menunjukan bahwa
penderita gangguan mental yang dikategorikan gangguan
mental ringan sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke
atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan prevalensi
(jumlah keseluruhan kasus) gangguan jiwa berat seperti
skizofrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar
400.000 orang. Ironisnya, dari jumlah tersebut ternyata
9
Yustinus Semiun, Kesehatan Mental, Edisi ke-3 (Yogyakarta:
Kanisius, 2006), h. 10-11. 10
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI,
Riset Kesehatan Dasar 2013 (Jakarta: Balitbangkes, 2013), h. 125.
-
7
14,3% atau sekitar 57.000 orang di Indonesia pernah
dipasung atau sedang dipasung.11
Untuk provinsi Jawa Tengah tempat penelitian ini
dilaksanakan, dari prevalensi gangguan jiwa berat pada
penduduk Indonesia 1,7 per mil, Jawa Tengah menempati
urutan ke-5 teratas secara nasional setelah Yogyakarta, Aceh,
Sulawesi Selatan dan Bali.12
Dari angka tersebut, kota
tertinggi penderita gangguan mental terdapat di
Kabupaten/Kota Magelang dan Wonogiri. Sedangkan
Kabupaten Purbalingga menempati urutan ke-7 terbanyak
penderita gangguan mental.13
Berdasarkan angka tersebut, di
seluruh kabupaten Purbalingga pada tahun 2013 ditemukan
30 kasus pemasungan terhadap penderita gangguan mental.14
Tingginya angka pemasungan terhadap penderita
gangguan mental di Indonesia di atas bukanlah satu-satunya
derita bagi penderita gangguan mental, masih terdapat
perlakuan salah lainnya yang sering dialami oleh para
penderita gangguan mental seperti stigmatisasi dan
diskriminasi oleh anggota masyarakat yang menilai para
penderita gangguan mental berbeda dengan masyarakat
lainnya. Bentuk diskriminasi terhadap mereka antara lain
11
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, “Stop Stigma dan
Diskriminasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa,” Diakses pada 9
September 2016 dari http://www.depkes.go.id. 12
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI,
Riset Kesehatan Dasar 2013 (Jakarta: Balitbangkes, 2013), h. xi. 13
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI,
Riset Kesehatan Dasar 2013 Provinsi Jawa Tengah (Jakarta: Balitbangkes,
2013), h. 146. 14
Republika, “30 Warga Penderita Gangguan Jiwa Dipasung”,
Diakses pada 10 September 2018 dari http://www.republika.co.id.
http://www.depkes.go.id/
-
8
diceraikan oleh pasangan, ditelantarkan oleh keluarga,
bahkan dirampas harta bendanya.15
Untuk mencegah hal itu terjadi, Menteri Kesehatan RI
mengajak seluruh jajaran kesehatan untuk dapat
melaksanakan Empat Seruan Nasional Stop Stigma dan
Diskriminasi terhadap penderita gangguan mental, yaitu:
1. Tidak melakukan stigmatisasi dan diskriminasi
kepada siapapun juga dalam pelayanan kesehatan;
2. Tidak melakukan penolakan atau menunjukkan
keengganan untuk memberikan pelayanan kesehatan
kepada penderita gangguan mental;
3. Senantiasa memberikan akses pada pelayanan
kesehatan baik akses pemeriksaan, pengobatan,
rehabilitasi maupun reintegrasi ke masyarakat pasca
perawatan di rumah sakit jiwa atau di panti sosial;
4. Melakukan berbagai upaya promotif (pemeliharaan/
penjagaan) dan preventif (pencegahan) untuk
mencegah terjadinya masalah kejiwaan, mencegah
timbulnya atau kambuhnya gangguan jiwa,
meminimalisasi resiko masalah kesehatan jiwa, serta
mencegah timbulnya dampak psikososial.16
Komitmen menteri kesehatan tersebut diperkuat dengan
diterbitkannya Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2014
15
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, “Stop Stigma dan
Diskriminasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa,” Diakses pada 9
September 2016 dari http://www.depkes.go.id. 16
Ibid.
http://www.depkes.go.id/
-
9
tentang Kesehatan Jiwa yang disahkan pada 8 Agustus 2014.
Undang-Undang ini ditujukan untuk menjamin setiap orang
agar dapat mencapai kualitas hidup yang baik serta
memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi,
komprehensif dan berkesinambungan melalui upaya promotif
(pemeliharaan/ penjagaan), preventif (pencegahan), kuratif
(penyembuhan) dan rehabilitatif (pemulihan).17
Undang-Undang lain menyatakan bahwa penderita
gangguan mental berhak mendapatkan perawatan atas biaya
negara. Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang RI
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia (HAM),
Pasal 42 yang menyatakan bahwa setiap warga negara yang
berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak
memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan
khusus atas biaya negara untuk menjamin kehidupan yang
layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya,
meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.18
Dengan demikian rehabilitasi menjadi
penting untuk dilakukan karena rehabilitasi merupakan
amanat Undang-Undang yang harus ditaati dan dijalankan
oleh pemerintah dan harus didukung oleh seluruh masyarakat
Indonesia.
17
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, “Stop Stigma dan
Diskriminasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa,” Diakses pada 9
September 2016 dari http://www.depkes.go.id. 18
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, “Undang-Undang No 39
Tahun 1999,” Diakses pada 9 September 2016 dari
http://www.komnasham.go.id.
http://www.depkes.go.id/http://www.komnasham.go.id/
-
10
Amanat undang-undang untuk melakukan rehabilitasi
bagi penderita gangguan mental tersebut ditujukan untuk
memperbaiki kembali dan mengembangkan fisik serta mental
seseorang sehingga orang itu dapat mengatasi masalah
kesejahteraan sosial bagi dirinya serta keluarganya.19
Dengan
demikian rehabilitasi merupakan upaya mengembalikan
seseorang kepada kondisi awal supaya menjadi manusia yang
berguna dan memiliki tempat kembali di tengah masyarakat.
Rehabilitasi pada tataran praktik mempertemukan
berbagai disiplin ilmu mulai dari medis, psikologi, sosial
bahkan pendidikan multidisipliner untuk menghasilkan
proses rehabilitasi yang saling terkait dan mendukung upaya
pengembalian fungsi sosial, sehingga individu dapat
menjalankan perannya sesuai dengan tuntutan
lingkungannya.20
Rehabilitasi didasari pada sebuah asumsi
bahwasanya pada diri penyandang masalah sosial terkandung
adanya potensi untuk berubah menuju kondisi yang normal.21
Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali
kemampuan fisik dan mental seseorang agar dapat
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar seperti
sediakala.
19
Y. B. Suparlan, Kamus Istilah Pekerjaan Sosial (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), h. 139. 20
Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial RI,
Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi (Jakarta:
Balitbangsos RI, 2004), h. 186. 21
Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), h. 53.
-
11
Rehabilitasi bukan hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah saja melalui Kementerian Sosial RI, namun juga
perlu peran dari masyarakat untuk bersama-sama ikut terlibat
dalam merehabilitasi penderita gangguan mental di
Indonesia. Keterlibatan masyarakat dalam melaksanakan
rehabilitasi terhadap penderita gangguan mental, baik dalam
bentuk lembaga maupun non lembaga sangat memungkinkan
untuk dikembangkan sebagai salah satu usaha
mengembalikan keberfungsian sosial penderita gangguan
mental.22
Sejalan dengan hal tersebut, Haji Supono Mustajab
di Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah mendirikan Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba sebagai bentuk
partisipasi dalam merehabilitasi penderita gangguan mental
di Indonesia.
Rehabilitasi yang dilaksanakan oleh panti ini
memadukan pengobatan medis dan non-medis. Secara medis
pihak panti bekerja sama dengan dokter dari Purbalingga dan
Banyumas, salah satunya adalah dokter spesialis jiwa dr.
Basiran Sp.Kj. yang berasal dari RSUD Banyumas sebagai
penanggung jawab dan konsultan. Sedangkan secara non-
medis atau rohani dilakukan sendiri oleh pimpinan panti,
yakni H. Supono Mustajab dengan metode siraman rohani
22
Ruaida Murni dan Mulia Astuti, “Rehabilitasi Sosial Bagi
Penyandang Disabilitas Mental Melalui Unit Informasi dan Layanan Sosial
Rumah Kita,” Jurnal Sosio Informa, Vol 1 No 3 (September-Desember 2015):
h. 280.
-
12
setiap selesai sholat, ruqyah, istighosah, dan minum air
karomah.23
Data menunjukan, Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba Purbalingga memiliki 90 pasien rawat inap yang
didominasi oleh laki-laki dengan 74 pasien dan sisanya
perempuan dengan 16 pasien. Pasien yang berjumlah 90
orang tersebut berasal dari 13 kabupaten/ kota di 3 provinsi
di pulau jawa, yakni Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Ke-90 pasien di panti ini berada dalam satu
komplek panti dan dibiarkan melakukan aktifitas di luar
ruangan yang berada dalam komplek panti, namun jika
pasien mengalami gangguan mental berat dan dianggap
membahayakan pasien lain maka akan ditempatkan di ruang
isolasi panti.24
Dengan dilaksanakannya rehabilitasi pada Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah tersebut, diharapkan adanya penurunan pada angka
penderita gangguan mental di Indonesia. Pengobatan dan
rehabilitasi bagi penderita gangguan mental sangat
dibutuhkan untuk mengembalikan martabat kemanusiaannya
di tengah masyarakat, mampu berpartisipasi kembali dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta
23
Suara Merdeka, “Wisma Rehabiltasi Jiwa Purbalingga, Tempat
Sumanto Akan Menimba Ilmu Agama,” Diakses pada 9 September 2016 dari
http://www.suaramerdeka.com. 24
Wawancara Pribadi dengan Maolana Achmad, selaku Konselor
Adiksi pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba, Purbalingga, 10
Agustus 2016.
http://www.suaramerdeka.com/
-
13
dapat mengatasi masalah kesejahteraan sosial bagi dirinya
serta keluarganya.
Dengan memperhatikan latar belakang di atas dan
setelah melalui berbagai pertimbangan, maka penulis tertarik
untuk menulis sebuah skripsi berjudul: “Program
Rehabilitasi Mental Pasien Gangguan Mental Pada Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Pembatasan masalah diperlukan untuk mencegah
pembahasan masalah yang melebar dan tidak terfokus.
Dalam penelitian ini penulis membatasi masalah yang
akan dibahas yaitu:
Batasan pada program rehabilitasi mental di Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah dibatasi hanya pada program yang bersifat non-
medis, meliputi program ruqyah, program istighosah dan
program minum air karomah.
Sedangkan batasan pada gangguan mental dilihat dari
aspek gangguan mental berat, yang meliputi skizofrenia,
manik depresif dan paranoia. Aspek gangguan mental
berat tersebut juga dibatasi hanya pada penderita atau
-
14
pasien yang telah menerima bantuan berupa pengobatan/
rehabilitasi di panti sekurang-kurangnya 1 bulan.
2. Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini
sebagai berikut:
a. Bagaimana pelaksanaan program rehabilitasi
mental pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba Purbalingga Jawa Tengah?
b. Bagaimana penerimaan program rehabilitasi
mental pada pasien gangguan mental di Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah?
c. Apa faktor penentu keberhasilan program
rehabilitasi mental pada Panti Rehabilitasi Sosial
Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
program rehabilitasi mental di Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa
dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah terhadap pasien
gangguan mental. Selain tujuan secara umum, ada beberapa
tujuan khusus dari penelitian ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan
program rehabilitasi mental pada Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah.
-
15
2. Untuk mengetahui dan menganalis penerimaan
program rehabilitasi mental pada pasien gangguan
mental di Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
Purbalingga Jawa Tengah.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor penentu
keberhasilan program rehabilitasi mental pada Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini dapat memperkaya teori
bimbingan dan penyuluhan serta kajian kesehatan
mental seperti teori gangguan mental, teori penyakit
mental dan teori rehabilitasi mental.
2. Sebagai kontribusi untuk jurusan yang dapat
dijadikan bahan rujukan dalam membuat program
praktikum.
3. Hasil penelitian dapat memberikan masukan atau
referensi tambahan bagi panti tempat diadakannya
penelitian dalam penyusunan program kerja dalam
upaya perawatan dan rehabilitasi terhadap pasien
gangguan mental.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam rangka penelitian ini, penulis telah melakukan
tinjauan pustaka di Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi serta Pusat Perpustakaan UIN Syarif
-
16
Hidayatullah Jakarta untuk memastikan tidak ada skripsi yang
sama dengan skripsi yang penulis susun. Tinjauan pustaka
dilakukan terhadap lima skripsi terdahulu yang berkaitan
dengan judul penelitian ini, diantaranya:
1. Ilmawati Hasanah dengan judul penelitian “Program
Rehabilitasi Sosial Bagi Narapidana Di Lembaga
Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta: Perspektif
Pekerjaan Sosial Koreksional” pada Jurusan
Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2015. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil dari
penelitian ini adalah program rehabilitasi sosial di
Lapas Cipinang merupakan program wajib yang telah
ditetapkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI dan diberikan kepada narapidana dengan
pola pembinaan, baik pembinaan kepribadian dan
pembinaan kemandirian.25
Kelebihan dari skripsi ini adalah mampu
menjabarkan proses penerimaan narapidana terhadap
program rehabilitasi sosial yang diberikan pihak
Lapas secara mendalam, dapat menemukan kendala
yang paling mendasar kemudian menjabarkannya satu
25
Ilmawati Hasanah, “Program Rehabilitasi Sosial Bagi Narapidana
Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta: Perspektif Pekerjaan
Sosial Koreksional” (Jakarta: Skripsi Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h.
98.
-
17
persatu dan pembahasan skripsi ini tidak melebar
kemana-mana dan tetap terfokus hanya dalam
perspektif pekerjaan sosial koreksinonal. Adapun
kekurangan dari skripsi ini terletak pada analisis
mengenai pola rehabilitasi sosial kurang mendalam
dan sangat sedikit dijelaskan oleh peneliti.
2. Jovendra Aliansyah dengan judul skripsi
“Rehabilitasi Mental Remaja Korban
Penyalahgunaan Narkoba Di Yayasan Madani
Mental Care Cipinang Besar Selatan Jakarta Timur”
pada Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan
Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013. Hasil
dari penelitian ini adalah rehabilitasi mental yang
dilaksanakan oleh Yayasan Madani Mental Care
berupa terapi medis, terapi religius spiritual dan terapi
psikososial dapat menyembuhkan mental remaja
korban penyalahgunaan narkoba.26
Kelebihan skripsi ini terletak pada kemampuan
penulis melihat penyebab penyalahgunaan narkoba di
kalangan remaja terlebih dahulu dan kemampuan
melihat sisi lain dari keberhasilan dan hambatan yang
ada pada yayasan tempat diadakannya penelitian ini.
26
Jovendra Aliansyah, “Rehabilitasi Mental Remaja Korban
Penyalahgunaan Narkoba Di Yayasan Madani Mental Care Cipinang Besar
Selatan Jakarta Timur” (Jakarta: Skripsi Prodi Bimbingan dan Penyuluhan
Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2013), h. 65.
-
18
Adapun kekurangan skripsi ini adalah penulis
menukar kata subjek dan objek penelitian pada bagian
Metodologi Penelitian sehingga menimbulkan
kebingungan dan analisis yang disajikan pada Bab IV
kurang mendalam.
3. Penelitian berjudul “Program Rehabilitasi Terhadap
Anak Berkebutuhan Khusus Cerebral Palsy di
Yayasan Sayap Ibu Bintaro (Studi Kasus Yayasan
Sayap Ibu Bintaro Provinsi Banten)” oleh Nurhikmah
pada Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2016. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis
penelitian deskriptif. Hasil dari penelitian yang
dilakukan oleh Nurhikmah adalah program
rehabilitasi yang dilaksanakan oleh Yayasan Sayap
Ibu Bintaro terhadap anak-anak yang berkebutuhan
khusus Cerebral Palsy berupa fisioterapi, hidroterapi,
terapi wicara dan terapi group work berjalan lancar
dan sukses sebagai program rehabilitasi.27
Kelebihan dari skripsi ini adalah peneliti
mengungkapkan cara penanganan anak berkebutuhan
khusus cerebral palsy yang baik dan benar.
27
Nurhikmah, “Program Rehabilitasi Terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus Cerebral Palsy di Yayasan Sayap Ibu Bintaro (Studi Kasus Yayasan
Sayap Ibu Bintaro Provinsi Banten” (Jakarta: Skripsi Jurusan Kesejahteraan
Sosial Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2016), h. 67.
-
19
Sedangkan kekurangan yang ditemukan pada skripsi
ini adalah peneliti tidak menguraikan program
rehabilitasi yang dijalankan lembaga secara jelas pada
bagian temuan lapangan dan analisis sehingga terlihat
kurang mendalam.
4. Siti Masyitoh dengan judul penelitian “Program
Pelatihan Terapis Dalam Pengobatan Alternatif di
Bengkel Rohani Ciputat”. Skripsi tersebut merupakan
karya ilmiah pada Jurusan Manajemen Dakwah
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2011. Hasil dari
skripsi tersebut adalah program pelatihan bagi para
calon terapis dalam bidang pengobatan alternatif yang
dikembangkan oleh Bengkel Rohani Ciputat
diberikan kepada calon terapis agar dapat menjadi
terapis yang handal namun tetap berpatokan pada
pengobatan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
SAW.28
Kelebihan skripsi ini adalah mampu melihat
kekurangan dan kelebihan dari program pelatihan
terapis di Bengkel Rohani Ciputat secara jujur dan
apa adanya serta mampu menjabarkan tata cara
pengobatan alternatif di lembaga itu dengan seksama
28
Siti Masyitoh, “Program Pelatihan Terapis Dalam Pengobatan
Alternatif di Bengkel Rohani Ciputat” (Jakarta: Skripsi Jurusan Manajemen
Dakwah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 50.
-
20
sehingga yang membaca merasa tertarik. Adapun
kekurangan skripsi ini yaitu kurangnya pembahasan
pada analisis program pelatihan terapis yang menjadi
nyawa penelitian ini dan permasalahan dalam
penelitian tersebut terasa tidak ada.
5. Penelitian berjudul “Rehabilitasi Sosial Untuk
Penyalahguna Napza di Yayasan Karya Peduli Kita
Tangerang Selatan” oleh Roudhotul Firdha pada
Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2016. Hasil dari skripsi tersebut adalah
rehabilitasi sosial yang dilaksanakan oleh pihak
Yayasan Karya Peduli Kita untuk para korban
penyalahgunaan napza berupa pemulihan secara fisik,
mental maupun sosial menggunakan metode terapi
medis, terapi psikiatrik, terapi psikososial dan terapi
psikoreligius sukses sebagai program rehabilitasi
sosial untuk penyalahguna napza.29
Kelebihan skripsi ini adalah peneliti
menggambarkan dengan seksama proses rehabilitasi
sosial serta hasil yang didapatkan dari proses
rehabilitasi sosial untuk korban penyalahgunaan
napza tersebut. Adapun kekurangan dari skripsi
29
Roudhotul Firdha, “Rehabilitasi Sosial Untuk Penyalahguna Napza
di Yayasan Karya Peduli Kita Tangerang Selatan” (Jakarta: Skripsi Jurusan
Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 97.
-
21
adalah peneliti tidak menguraikan permasalahan pada
bagian latar belakang masalah secara mendalam.
Berbeda dengan kelima skripsi tersebut, penulis dalam
skripsi ini lebih memfokuskan pembahasannya pada program
rehabilitasi mental terhadap pasien gangguan mental pada
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Pada pelaksanaan program rehabilitasi mental
tersebut panti memadukan dua cara, yakni cara medis dengan
memberikan obat-obatan medis kepada para pasien dan cara
non-medis dengan menerapkan program ruqyah, istighosah
dan minum air karomah yang menjadi batasan masalah pada
penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan
Dalam rangka mencapai pembahasan skripsi yang
sistematis, maka penulis membuat sistematika penulisan ke
dalam lima (5) BAB yang terdiri dari sub-sub bab sehingga
menjadi satu kesatuan yang utuh. Adapun sistematika
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN. Isi BAB I merupakan
pendahuluan dari keseluruhan BAB yang ada pada skripsi ini.
BAB I terdiri dari Latar Belakang Masalah, Batasan dan
Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Tinjauan Pustaka dan Sistematika Penulisan.
BAB II : LANDASAN TEORI. Dalam BAB ini akan
dipaparkan mengenai teori-teori ataupun pembahasan yang
-
22
berkaitan dengan kesehatan mental, program, rehabilitasi
mental dan mengenai gangguan mental.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN. Isi BAB III ini
terdiri dari Metode Penelitian, Jenis Penelitian, Lokasi dan
Waktu Penelitian, Subyek dan Obyek Penelitian, Teknik
Pengumpulan Data, Sumber Data, Fokus Amatan dan
Analisis, Teknik Analisis data, dan Asumsi Peneliti.
BAB IV : HASIL DAN ANALISA PENELITIAN. Isi
BAB ini terdiri dari Gambaran Umum Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah yang
menggambarkan secara singkat mengenai lembaga penelitian
dan Temuan Lapangan yang merupakan jawaban dari
rumusan masalah serta analisisnya secara komprehensif.
Selanjutnya BAB ini juga terdiri dari Diskusi yang
merupakan penulisan hasil temuan dalam bentuk narasi secara
singkat pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
Purbalingga Jawa Tengah.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN. Pada BAB ini
disajikan kesimpulan penelitian dan saran dari hasil
pembahasan.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
-
23
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori Kesehatan Mental
Kesehatan mental terdiri dari dua kata, yakni kesehatan
dan mental. Kesehatan kata dasarnya adalah sehat, yang
merupakan kata adopsi dari bahasa Arab yang artinya segar
tidak sakit, sembuh, selamat, memperbaiki dan selamat dari
aib.1 Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah
Nasional Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai
kesehatan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang dimiliki
manusia sebagai karunia Allah SWT yang wajib disyukuri
dengan mengamalkan tuntunan-Nya, memeliharanya dan
mengembangkannya.2
Dengan demikian yang dinamakan
sehat tidak hanya diukur dari sehat secara fisik saja, namun
sehat dan segar secara badaniah, rohaniah dan sosial.
Sedangkan kata mental dalam Kamus Ilmu Jiwa dan
Pendidikan adalah kepribadian yang merupakan kebulatan
yang dinamik pada diri seseorang yang tercermin dalam cita-
cita, sikap dan perbuatannya.3 Menurut istilah mental adalah
semua unsur-unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap dan
perasaan yang dalam keseluruhan kebulatannya akan
1
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1989), h. 9. 2 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cet ke-4 (Bandung: Mizan,
1996), h. 182. 3 Jalaluddin, Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan (Surabaya: Putra Al-
Maarif, t.t.), h. 115.
-
24
menentukan corak tingkah laku, cara menghadapi suatu hal
yang menekan perasaan mengecewakan, menggembirakan,
menyenangkan dan sebagainya.4 Mental adalah seluruh unsur
yang ada pada diri individu yang tidak berbentuk fisik/ organ
terlihat mata namun ada dalam setiap diri manusia.
Kata kesehatan dan mental di atas dipadukan menjadi satu
istilah yang kita sebut dengan kesehatan mental. Kesehatan
mental diambil dari konsep mental hygiene yang berasal dari
kata mental dan hygeia. Hygeia adalah nama dewi kesehatan
Yunani dan hygiene berarti ilmu kesehatan. Sedangkan
mental dari kata lain mens atau mentis yang berarti jiwa,
nyawa, sukma, roh, semangat.5 Dalam banyak literatur, istilah
mental hygiene bukanlah satu-satunya istilah yang digunakan
untuk menyebut kesehatan mental. Istilah lain yang juga
digunakan untuk maksud yang sama adalah psychological
medicine, nervous health, atau mental health.6
Diantara berbagai istilah tersebut yang dipandang
memiliki makna yang tepat untuk menyebutkan kesehatan
mental adalah mental hygiene dibandingkan penggunaan
istilah mental health. Hal ini karena mental health artinya
keadaan jiwa yang sehat namun mengandung pengertian yang
statis. Sedangkan mental hygiene bermakna kesehatan mental
4
Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 35. 5 Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan
Mental dalam Islam, cet ke-6 (Bandung: Mandar Maju, 1989), h. 3. 6 Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, Kesehatan Mental: Konsep
dan Penerapan, Cet ke-6 (Malang: UMM Press, 2011), h. 27-28.
-
25
namun lebih dinamis karena menunjukan adanya usaha
peningkatan. Namun demikian, istilah mental health telah
meluas digunakan termasuk oleh badan kesehatan dunia
World Health Organization (WHO).7 Di Indonesia, istilah
yang paling sering digunakan adalah „mental hygiene’ jika
disebutkan mengunakan bahasa Inggris dan istilah „kesehatan
mental‟ jika disebutkan dalam bahasa Indonesia.
Sejak zaman dahulu, sikap terhadap gangguan mental
telah muncul dalam konsep primitif animisme. Ada
kepercayaan bahwa dunia ini diawasi atau dikuasai oleh roh-
roh atau dewa-dewa. Orang primitif percaya bahwa angin
bertiup, ombak mengalun, batu berguling dan pohon tumbuh
karena pengaruh roh yang tinggal dalam benda-benda
tersebut. Orang Yunani percaya bahwa gangguan mental
terjadi karena dewa marah dan membawa pergi jiwanya.
Untuk menghindari kemarahannya, maka mereka
mengadakan perjamuan pesta (sesaji) dengan mantra dari
korban yang mereka persembahkan. Praktik-praktik semacam
itu berlangsung mulai dari abad 7-5 SM. Seiring
perkembangan zaman, maka praktik semacam itupun kian
berkurang, walaupun kepercayaan tentang penyakit mental
7 Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, Kesehatan Mental: Konsep
dan Penerapan, Cet ke-6 (Malang: UMM Press, 2011), h. 28.
-
26
tersebut berasal dari roh-roh jahat tetap bertahan sampai abad
pertengahan.8
Selanjutnya pada abad 4 SM muncul tokoh-tokoh bidang
medis dari bangsa Yunani seperti Hipocrates, Hirophilus,
Galenus, Vesalius, Paracelsus dan Cornelius Agrippa yang
mulai menggunakan konsep biologis dalam penanganannya
sehingga lebih manusiawi. Asumsinya adalah gangguan
mental disebabkan gangguan biologis atau kondisi biologis
seseorang, bukan akibat roh jahat. Aliran ini mendapat
pertentangan keras dari aliran sebelumnya yang meyakini
adanya roh jahat.9
Perkembangan kesehatan mental dipengaruhi oleh
gagasan, pemikiran dan inspirasi para ahli terutama dari dua
tokoh perintis, yaitu Dorothea Lynde Dix dan Clifford
Whittingham Beers. Kedua tokoh ini banyak mendedikasikan
hidupnya dalam bidang pencegahan gangguan mental dan
pertolongan bagi orang-orang miskin dan lemah. Dorothea
Lynde Dix lahir pada tahun 1802 dan meninggal dunia
tanggal 17 Juli 1887. Dia adalah seorang guru sekolah di
Massachussets, yang menaruh perhatian terhadap orang-orang
yang mengalami gangguan mental. Sebagian perintis
(pioneer) selama 40 tahun, dia berjuang untuk memberikan
8 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi
Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, Cet ke-2 (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hal. 16. 9
Kartika Sari Dewi, Kesehatan Mental (Semarang: Universitas
Diponegoro Press, 2012), h. 13.
-
27
pengorbanan terhadap orang-orang gila secara lebih
manusiawi. Berkat usahanya yang tak kenal lelah, di Amerika
Serikat didirikan 32 rumah sakit jiwa. Dia layak mendapat
pujian sebagai salah seorang wanita besar di abad ke-19.10
Pada tahun 1909, gerakan kesehatan mental secara formal
mulai muncul. Selama dekade 1900-1909, beberapa
organisasi kesehatan mental telah didirikan, seperti American
Social Hygiene Association (ASHA) dan American
Federation for Sex Hygiene. Perkembangan gerakan-gerakan
di bidang kesehatan mental ini tidak lepas dari jasa Clifford
Whittingham Beers (1876-1943). Bahkan, karena jasa-jasanya
itulah, dia dinobatkan sebagai ”The Founder Of The Mental
Hygiene Movement”. Dedikasi Beers yang begitu kuat dalam
kesehatan mental dipengaruhi oleh pengalamannya sebagai
pasien di beberapa rumah sakit jiwa yang berbeda. Selama di
rumah sakit, dia mendapatkan pelayanan atau pengobatan
yang keras dan kasar (kurang manusiawi). Kondisi seperti ini
terjadi karena pada masa itu belum ada perhatian terhadap
masalah gangguan mental, apalagi pengobatannya.11
Pada abad ke-20 barulah muncul revolusi kesehatan
mental ke dua, yakni munculnya pendekatan psikologis
(Psikoanalisa) yang mempelopori penanganan penderita
gangguan mental secara medis dan psikologis. Tokoh
10
Indra Aditiyawarman, “Sejarah Perkembangan Gerakan Kesehatan
Mental”, Jurnal Komunika Dakwah dan Komunikasi, Vol 4 No 1 (Januari-Juni
2010): h. 92-93. 11
Ibid., h. 93.
-
28
utamanya adalah Sigmund Freud, yang melakukan
penanganan hipnose, katarsis, asosiasi bebas dan analisis
mimpi. Tujuannya adalah mengatasi masalah mental individu
dengan menggali konflik intrapsikis penderita gangguan
mental. Intervensi tersebut dikenal dengan istilah penanganan
klinis (psikoterapi).12
Pendekatan psikologis tersebut meyakini bahwa faktor
psikologis berpengaruh besar pada kondisi mental seseorang,
dimana dalam pendekatan psikologis memiliki 3 pandangan
yang besar yang membahas mengenai hal tersebut, yaitu:13
1. Psikoanalisa
Pendekatan ini meyakini bahwa interaksi individu
pada awal kehidupannya serta konflik intrapsikis yang
terjadi akan mempengaruhi perkembangan kesehatan
mental seseorang. Faktor epigenetik mempelajari
kematangan psikologis seseorang yang berkembang
seiring pertumbuhan fisik dalam tahap-tahap
perkembangan individu, juga merupakan faktor penentu
kesehatan mental individu.
2. Behavioristik
Pendekatan ini meyakini proses pembelajaran dan
proses belajar sosial akan mempengaruhi kepribadian
seseorang. Kesalahan individu dalam proses pembelajaran
dan belajar sosial akan mengakibatkan gangguan mental.
12
Kartika Sari Dewi, Kesehatan Mental (Semarang: Universitas
Diponegoro Press, 2012), h. 13-14. 13
Ibid., h. 16.
-
29
3. Humanistik
Perilaku individu dipengaruhi oleh hierarki kebutuhan
yang dimiliki. Selain itu, individu diyakini memiliki
kemampuan memahami potensi dirinya dan berkembang
untuk mencapai aktualisasi diri.14
Lebih lanjut badan kesehatan dunia, World Health
Organization (WHO) menyatakan bahwa kesehatan mental
merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu
yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk
mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara
produktif dan menghasilkan, serta berperan serta di
komunitasnya.15
Menurut Karl Menninger, individu yang sehat
mentalnya adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk
menahan diri, menunjukkan kecerdasan, berperilaku dengan
menenggang perasaan orang lain serta memiliki sikap hidup
yang bahagia. Adapun karakteristik individu sehat mental
mengacu pada kondisi atau sifat-sifat positif, seperti:
kesejahteraan psikologis (psychological well-being) yang
positif, karakter yang kuat serta sifat-sifat baik/ kebajikan
(virtues).16
Dalam UU Nomor 3 Tahun 1966, bab 1 pasal 1
disebutkan bahwa kesehatan mental adalah keadaan mental
yang sehat menurut ilmu kedokteran sebagai unsur daripada
14
Kartika Sari Dewi, Kesehatan Mental (Semarang: Universitas
Diponegoro Press, 2012), h. 16. 15
Ibid., h. 10-11. 16
Ibid., h. 11.
-
30
kesehatan yang dimaksud dalam pasal 2 Undang-undang
pokok-pokok kesehatan (UU No. 9 tahun 1960 tentang pokok-
pokok kesehatan) yang menyebutkan bahwa kesehatan
meliputi kesehatan badan, rohani atau mental dan sosial serta
bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan
kelemahan.17
Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang
sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan
terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya
sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan
ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang
bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat.18
Pengertian ini
menunjukan bahwa kesehatan mental adalah keharmonisan
antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya agar
merasakan kebahagiaan dan kebermaknaan hidup di dunia dan
akhirat.
Menurut Kartini Kartono, kesehatan mental atau mental
hygiene menitik beratkan pada kehidupan kerohanian. Mental
hygiene merupakan ilmu kesehatan jiwa yang membahas
kehidupan kerohanian yang sehat dengan memandang pribadi
manusia sebagai satu totalitas dari psikis dan fisik yang
kompleks. Ilmu kesehatan mental ini erat hubungannya
dengan tekanan-tekanan batin dan konflik-konflik pribadi
yang terdapat pada diri manusia. Tekanan-tekanan batin dan
17
Dede Rahmat Hidayat dan Herdi, Bimbingan Konseling Kesehatan
Mental di Sekolah, Cet ke-2 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 31. 18
Djalaludin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Cet ke-8
(Jakarta: Kalam Mulia, 1998), h. 77.
-
31
konflik-konflik pribadi itu sering mengganggu ketenangan
hidup seseorang.19
Seorang ahli psikologi agama, Zakiah Daradjat
mengungkapkan ada beberapa pengertian dan definisi tentang
kesehatan mental yang dipaparkan oleh para ahli, sesuai
dengan pandangan dan bidangnya masing-masing. Definisi
pertama menurut Zakiah Daradjat, kesehatan mental adalah
terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose)
dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose). Definisi
pertama ini banyak mendapat sambutan dari kalangan
psikiatri (kedokteran jiwa).20
Definisi pertama inilah yang
paling banyak digunakan oleh psikiatri di Indonesia.
Menurut definisi ini, orang yang sehat mentalnya adalah
orang yang terhindar dari segala macam gangguan jiwa dan
penyakit jiwa. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa
indikator seseorang menderita gangguan jiwa adalah bila
sering mengalami cemas tanpa diketahui sebabnya,
munculnya rasa malas, tidak ada kegairahan untuk bekerja
dan badan selalu terasa lesu. Sedangkan penderita sakit jiwa
adalah orang yang pandangannya jauh berbeda dari
pandangan orang pada umumnya dan jauh dari realitas.21
19
Kartini Kartono, Hygiene Mental, Cet ke-7 (Bandung: Mandar
Maju, 2000), h. 3-4. 20
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 4. 21
Ibid., h. 4.
-
32
Demikianlah definisi pertama dari empat definisi menurut
Zakiah Daradjat mengenai kesehatan mental.
Definisi kedua menurut Zakiah Daradjat, kesehatan
mental adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan
diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat
serta lingkungan dimana ia hidup. Definisi kedua ini lebih
luas dan bersifat umum karena dihubungkan dengan
kehidupan secara keseluruhan. Kesanggupan untuk
menyesuaikan diri itu akan membawa orang kepada
kenikmatan hidup dan terhindar dari kecemasan, kegelisahan
dan ketidakpuasan. Disamping itu, ia penuh dengan semangat
dan kebahagiaan dalam hidup.22
Definisi ini menunjukan
bahwa orang yang mampu hidup harmonis dengan dirinya
sendiri dan orang lain di lingkungannya, maka itulah orang
yang sehat mentalnya.
Definisi ketiga menurut Zakiah Daradjat, kesehatan
mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan
untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi,
bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin,
sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain
serta terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.
Definisi ini mendorong orang untuk mengembangkan dan
memanfaatkan segala potensi yang ada. Dari definisi ini
diharapkan tidak ada bakat yang terpendam atau bakat yang
22
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 4-5.
-
33
digunakan dengan cara yang tidak membawa pada
kebahagiaan, apalagi mengganggu hak dan kepentingan orang
lain.23
Definisi keempat menurut Zakiah Daradjat, kesehatan
mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-
sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, mempunyai kesanggupan
untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi dan
merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan
dirinya. Menurut definisi ini, fungsi-fungsi jiwa seperti
pikiran, perasaan, sikap jiwa, pandangan dan keyakinan hidup
harus dapat saling membantu dan bekerjasama satu sama lain
sehingga terciptanya keharmonisan yang menjauhkan orang
dari perasaan ragu dan bimbang serta terhindar dari
kegelisahan dan pertentangan batin/ konflik.24
Definisi ini mengatakan bahwa fungsi-fungsi jiwa dengan
semua unsur-unsurnya bertindak menyesuaikan seseorang
dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan lingkungannya.
Dalam menghadapi suasana dan situasi yang selalu berubah
dalam kehidupan, fungsi-fungsi jiwa akan bekerjasama secara
harmonis dalam menyiapkan diri untuk menghadapi
perubahan-perubahan tersebut. Dengan demikian perubahan-
perubahan itu tidak akan menyebabkan kegelisahan dan
kegoncangan jiwa pada diri seseorang.25
Perpaduan yang
23
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 5-6. 24
Ibid., h. 6. 25
Ibid., h. 6.
-
34
harmonis antara fungsi-fungsi jiwa dalam menghadapi segala
permasalahan yang dihadapi dalam hidup akan membawa
seseorang pada kesehatan mental yang baik.
Dengan demikian pendapat kesehatan mental menurut
Zakiah Daradjat adalah terhindarnya seseorang dari gejala-
gejala gangguan dan penyakit jiwa, dapat menyesuaikan diri,
dapat memanfaatkan segala potensi dan bakat yang ada dan
membawa kepada kebahagiaan bersama serta tercapainya
keharmonisan jiwa dalam hidup. Perlu diingat bahwa
kesehatan mental itu adalah relatif, dimana keharmonisan
yang sempurna antara seluruh fungsi-fungsi tubuh itu tidak
ada, yang dapat diketahui adalah berapa jauh jaraknya
seseorang dari kesehatan mental yang normal.26
Berdasarkan beberapa pendapat tentang kesehatan mental
terutama berdasarkan teori dari Zakiah Daradjat di atas,
penulis mendefinisikan dalam penelitian ini kesehatan mental
adalah keserasian yang sungguh-sungguh antara pikiran,
perasaan, sikap jiwa, pandangan dan keyakinan hidup dalam
diri individu sehingga dapat merasakan ketenangan hidup dan
sanggup menghadapi permasalahan yang dihadapinya hingga
menjadikan ia terhindar dari gejala-gejala gangguan jiwa dan
dari gejala-gejala penyakit jiwa.
26
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 7.
-
35
Zakiah Daradjat menambahkan ada beberapa ciri orang
yang mempunyai mental sehat, yaitu:27
1. Terhindar dari gangguan mental dan penyakit mental.
2. Mampu menyesuaikan diri.
3. Sanggup menghadapi masalah-masalah dan
kegoncangan-kegoncangan biasa.
4. Adanya keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak ada
konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna
dan bahagia.
5. Dapat menggunakan potensi yang ada pada dirinya
seoptimal mungkin.28
Mental yang sehat ditandai dengan adanya integrasi diri
dan pengontrolan diri, yaitu kontrol terhadap pikiran, angan-
angan, keinginan-keinginan, dorongan-dorongan, emosi-
emosi, sentimen dan segenap tingkahlaku. Orang yang
terganggu mentalnya tidak akan mampu menguasai diri
sendiri dan tidak memiliki kontrol diri sehingga mereka selalu
diricuhkan oleh gangguan-gangguan konflik, batin dan
macam-macam frustasi yang serius.29
Seseorang yang
memiliki kontrol terhadap pikiran, emosi, ambisi dan segenap
tingkahlaku merupakan orang yang mentalnya sehat,
27
Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Jiwa, cet ke-8 (Jakarta:
Gunung Agung, 1996), h. 9. 28
Ibid., h. 9. 29
Kartini Kartono, Hygiene Mental, Cet ke-7 (Bandung: Mandar
Maju, 2000), h. 284.
-
36
sebaliknya jika seseorang tidak mampu mengontrol segenap
tingkahlakunya maka kesehatan mentalnya terganggu.
Orang yang sehat mentalnya tidak akan lekas merasa
putus asa, pesimis atau apatis karena ia dapat menghadapi
semua rintangan atau kegagalan dalam hidup dengan tenang
dan wajar serta menerima kegagalan itu sebagai suatu
pelajaran yang akan membawa sukses nantinya. Maka,
kesehatan mental-lah yang menentukan tanggapan seseorang
terhadap suatu persoalan dan kemampuannya menyesuaikan
diri. Kesehatan mental pulalah yang menentukan apakah
orang akan mempunyai kegairahan untuk hidup atau akan
pasif dan tidak bersemangat.30
Respon atau tanggapan serta
sikap seseorang dalam menghadapi segala macam persoalan
yang dihadapinya ditentukan oleh kondisi kesehatan
mentalnya.
Perlu diingat, orang yang memiliki kesehatan mental yang
baik sekalipun tidak bisa terbebas dari kecemasan dan
perasaan bersalah. Dia tetap mengalami kecemasan dan
perasaan bersalah tetapi tidak dikuasai oleh kecemasan dan
perasaan bersalah itu. orang yang memiliki kesehatan mental
sanggup menghadapi masalah-masalah biasa dengan penuh
keyakinan diri dan dapat memecahkan masalah-masalah
tersebut tanpa adanya gangguan yang hebat pada struktur
30
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 9.
-
37
dirinya.31
Orang yang mentalnya sehat sekalipun tidak serta-
merta terbebas dari rasa cemas dan perasaan bersalah, akan
tetapi rasa cemas dan perasaan bersalah itu tidak menguasai
dirinya dan mampu ia hadapi dengan tenang dan penuh
keyakinan.
Kesehatan mental bukan hanya sekedar mental yang sehat
berada dalam tubuh yang sehat seperti kata pepatah Yunani
„mens sana in corpore sano‟, tetapi kesehatan mental juga
merupakan suatu keadaan yang berhubungan erat dengan
seluruh eksistensi manusia. Itulah suatu keadaan kepribadian
yang bercirikan kemampuan seseorang untuk menghadapi
kenyataan dalam hidup dan untuk berfungsi secara efektif
dalam suatu masyarakat yang dinamik.32
Dengan demikian,
tubuh yang sehat belum dapat dijadikan ukuran mentalnya
sehat, mental yang sehat dapat terjadi jika seseorang mampu
merespon dan menghadapi kenyataan dalam hidup dengan
tenang dan wajar.
Dalam penelitian ini, pengertian kesehatan mental yang
penulis jadikan landasan teori adalah pengertian dari Zakiah
Daradjat dalam buku Kesehatan Mental cetakan ke-23 tahun
2001 yang menggabungkan empat definisi yang lazim
digunakan para ahli. Pengertian kesehatan mental tersebut
yaitu terhindarnya seseorang dari gejala-gejala gangguan dan
penyakit jiwa, dapat menyesuaikan diri, dapat memanfaatkan
31
Yustinus Semiun, Kesehatan Mental, Jilid 1 (Yogyakarta: Kanisius,
2006), h. 9. 32
Ibid., h. 52.
-
38
segala potensi dan bakat yang ada dan membawa kepada
kebahagiaan serta tercapainya keharmonisan jiwa dalam
hidup.
B. Jiwa dan Mental
1. Jiwa Perspektif Teori Umum
Jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak
yang menjadi penggerak dan pengatur bagi sekalian
perbuatan-perbuatan pribadi (personal behavior) dari
hewan tingkat tinggi hingga manusia. Perbuatan pribadi
tersebut adalah perbuatan sebagai hasil proses belajar
yang dimungkinkan oleh keadaan jasmani, rohaniah dan
sosial. Menurut Aristoteles, jiwa disebut sebagi anima
yang terbagi dalam tiga macam jenis yaitu:33
a. Anima vegetativa, yaitu anima yang terdapat pada
tumbuh-tumbuhan yang mempunyai kemampuan
untuk makan, minum dan berkembang biak.
b. Anima sensitiva, yaitu anima yang terdapat dalam
hewan. Anima ini memiliki kemampuan seperti
anima vegetativa juga kemampuan untuk
berpindah tempat, mempunyai nafsu, dapat
mengamati, mengingat dan merasakan.
c. Anima intelektiva, yaitu anima yang terdapat
dalam diri manusia. Selain memiliki kemampuan
33
Edwi Arief Sosiawan, “Psikologi Sosial”, Diakses pada 10
September 2018 dari www.file.upi.edu.
-
39
seperti anima sensitiva juga mempunyai
kemampuan berpikir dan berkemauanan.34
Lebih lanjut dalam teori Sigmund Freud ada tiga
elemen pendukung struktur kepribadian manusia, yaitu:35
a. The Id (Aspek biologis)
Id adalah sistem kepribadian yang asli dan dibawa
sejak lahir. Dari Id ini kemudian akan muncul Ego
dan Superego. Saat dilahirkan, Id berisi semua aspek
psikologik yang diturunkan seperti insting, impuls
dan drives. Id berada dalam daerah unconscious dan
beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure
principle), yaitu berusaha memperoleh kenikmatan
dan menghindari rasa sakit. Id tidak mampu menilai
atau membedakan benar-salah dan tidak tahu moral.
b. The Ego (Aspek psikologis)
Ego berkembang dari Id agar orang mampu
menangani realita sehingga Ego beroperasi
berdasarkan prinsip realita (reality principle). Ego
sebagai eksekutif kepribadian berusaha memenuhi
kebutuhan Id sekaligus juga memenuhi kebutuhan
moral dan kebutuhan mencapai kesempurnaan dari
Superego.
34
Edwi Arief Sosiawan, “Psikologi Sosial”, Diakses pada 10
September 2018 dari www.file.upi.edu. 35
Alwisol, Psikologi Kepribadian (Malang: UMM Press, 2009), h.
14-16.
-
40
c. The Superego (Aspek sosiologis)
The Superego atau Das Ueber Ich adalah aspek
sosiologis dalam kepribadian yang merupakan wakil
dari nilai-nilai tradisional dan cita-cita masyarakat
yang diajarkan dalam bentuk perintah atau larangan.
The Superego lebih merupakan kesempurnaan
daripada kesenangan, karena itu Das Ueber Ich dapat
pula dianggap sebagai aspek moral dalam
kepribadian. Fungsi pokoknya adalah menentukan
apakah sesuatu itu benar atau salah, pantas atau tidak,
susila atau tidak, sehingga dengan demikian pribadi
dapat bertindak sesuai moral masyarakat.36
2. Jiwa Perspektif Teori Islam
Jiwa dalam bahasa Arab disebut al-Nafs, dalam
bahasa Yunani disebut Psyche yang diterjemahkan dengan
jiwa atau Soul dalam bahasa Inggris.37
Menurut Buya
Hamka, jiwa merupakan jejak atau hasil interaksi antara
aspek-aspek jiwa, yakni akal, hawa nafsu dan kalbu.
Konsep jiwa yang ditawarkan Hamka lebih
menitikberatkan pada perseteruan akal dengan hawa nafsu
sebagai dua kekuatan utama dalam jiwa manusia,
sementara kondisi kalbu yang akan menjadi kondisi jiwa
36
Alwisol, Psikologi Kepribadian (Malang: UMM Press, 2009), h.
14-16. 37
Ema Yudiani, “Dinamika Jiwa dalam Perspektif Psikologi Islam”,
Jurnal Ilmu Agama, Vol 14 No 1 (Juni-Juli 2013): h. 45.
-
41
secara keseluruhan sepenuhnya tergantung pada hasil
perseteruan tersebut.38
Aspek jiwa menurut Hamka adalah sebagai berikut:
a. Akal
Hakikat akal adalah aspek jiwa manusia yang
berfungsi untuk mengikat hawa nafsunya,
sebagaimana tali pengikat ternak agar ternak tidak lari
kemana-mana. Akal manusia akan mengikatnya agar
ia tidak lepas kendali dengan mudah dan serta merta
mengikuti hawa nafsunya. Lebih lanjut Hamka
menyebutkan bahwa akal digerakkan oleh tiga daya
yang dimiliki jiwa, yaitu pikiran (al-fikr), perasaan
(al-wijdan) dan kemauan (al-iradah).
b. Hawa Nafsu
Hawa nafsu yang dimaksudkan oleh Hamka
adalah nafsul amarah yang digambarkan dalam Al-
Qur‟an sebagai kecenderungan manusia yang lebih
rendah dari pada binatang. Nafsu adalah musuh
bebuyutan akal dalam jiwa manusia. Lebih lanjut
beliau menerangkan sifat-sifat nafsu manusia,
diantaranya bersifat ingin bebas dan egosentris dalam
semua perkara, bertujuan untuk kesenangan semata,
38
Ema Yudiani, “Dinamika Jiwa dalam Perspektif Psikologi Islam”,
Jurnal Ilmu Agama, Vol 14 No 1 (Juni-Juli 2013): h. 46.
-
42
tidak pernah menyesal meskipun telah berbuat salah
dan nafsu selalu dibisikkan oleh setan.
c. Kalbu
Hamka tidak terlalu banyak mengupas kalbu atau
hati, namun secara gamblang beliau menyatakan
bahwa hati adalah medan pertempuran yang
diperebutkan oleh akal dan hawa nafsu. Kalbu akan
mengikuti akal atau nafsu yang nantinya akan
menguasainya. Jika akal yang menang selamatlah hati
dan selamatlah seluruh jiwa, jika nafsu yang berkuasa
maka rusaklah jiwa keseluruhannya.39
Ahli psikologi Islam Mujib dan Mudzakir lebih
menekankan keutamaan kalbu dalam konsep struktur jiwa
yang ditawarkannya. Lebih lanjut, menurutnya jiwa
manusia berasal dari dua substansi yang saling bertolah
belakang yaitu substansi jasmani yang diwakili oleh jasad
dan substansi ruhani yang yang diwakili oleh ruh. Hasil
penggabungan kedua substansi tersebutlah yang
menghasilkan jiwa. Serupa dengan pendapat Hamka,
Mujib dan Mudzakir juga berpendapat bahwa jiwa terdiri
dari akal, nafsu dan kalbu.40
3. Mental Perspektif Teori Umum dan Islam
Kata mental dalam Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan
adalah kepribadian yang merupakan kebulatan yang
39
Ema Yudiani, “Dinamika Jiwa dalam Perspektif Psikologi Islam”,
Jurnal Ilmu Agama, Vol 14 No 1 (Juni-Juli 2013): h. 46-47. 40
Ibid., h. 50.
-
43
dinamik pada diri seseorang yang tercermin dalam cita-
cita, sikap dan perbuatannya. 41 Menurut istilah mental
adalah semua unsur-unsur jiwa termasuk pikiran, emosi,
sikap dan perasaan yang dalam keseluruhan kebulatannya
akan menentukan corak tingkah laku, cara menghadapi
suatu hal yang menekan perasaan mengecewakan,
menggembirakan, menyenangkan dan sebagainya. 42
Mental adalah seluruh unsur yang ada pada diri individu
yang tidak berbentuk fisik/ organ terlihat mata namun ada
dalam setiap diri manusia.
Secara sederhana mental dapat dipahami sebagai
sesuatu yang berhubungan dengan batin dan watak atau
karakter, tidak bersifat jasmani (badan).43
Mental adalah
paduan secara menyeluruh antara berbagai fungsi-fungsi
psikologis dengan kemampuan menghadapi krisis-krisis
psikologis yang menimpa manusia yang dapat
berpengaruh terhadap emosi dan dari emosi ini akan
memperngaruhi pada kondisi mental.44
Secara definitif memang belum ada kepastian definisi
yang jelas dari para ahli kejiwaan mengenai pengertian
mental. Secara etimologi kata mental berasal dari bahasa
41
Jalaluddin, Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan (Surabaya: Putra Al-
Maarif, t.t.), h. 115. 42
Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 35. 43
Tim Penyusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-2 (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 646. 44
Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental (Jakarta: Pustaka
Alhusna, 1992), h. 30.
-
44
Yunani yang mempunyai pengertian sama dengan
pengertian psyche, artinya psikis, jiwa atau kejiwaan.45
Ada juga yang mengatakan bahwa mental dari kata lain
mens atau mentis yang berarti jiwa, nyawa, sukma, roh,
semangat. 46 James Draver memaknai mental yaitu
„revering to the mind‟, maksudnya adalah sesuatu yang
berhubungan dengan pikiran atau pikiran itu sendiri.47
Sedangkan C.P Chaplin mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan mental yaitu yang berhubungan dengan
pikiran, akal, ingatan atau proses yang berasosiasi dengan
pikiran, akal dan ingatan.48
Lebih lanjut Sigmund Freud memberikan definisi
bahwa mental yang sehat adalah adanya keseimbangan
antara dorongan-dorongan dan motif-motif tiap bagian
jiwa dalam pemuasannya. Begitu juga Arthur Gorden
melihat bahwa kemampuan mengharmoniskan dorongan-
dorongan psikis dengan realitas dengan sendirinya akan
terbentuk kepribadian/ mental yang sehat dan akan
melahirkan tingkah laku yang sehat pula (normal).49
45
Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, Kesehatan Mental: Konsep
dan Penerapan, Cet ke-6 (Malang: UMM Press, 2011), h. 21. 46
Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan
Mental dalam Islam, cet ke-6 (Bandung: Mandar Maju, 1989), h. 3. 47
James Draver, A Dictionary of psychology (New York: Pengin
Books, t.t.) h, 169. 48
C.P Chaplin, Kamus Psikologi. Penerjemah Kartini Kartono
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h. 407. 49
F. Patty, dkk., Pengantar Psikologi Umum (Surabaya: Usaha
Nasional, 1982), h. 189-190.
-
45
Mental yang sehat ditandai dengan adanya integrasi
diri dan pengontrolan diri, yaitu kontrol terhadap pikiran,
angan-angan, keinginan-keinginan, dorongan-dorongan,
emosi-emosi, sentimen dan segenap tingkahlaku. Orang
yang terganggu mentalnya tidak akan mampu menguasai
diri sendiri dan tidak memiliki kontrol diri sehingga
mereka selalu diricuhkan oleh gangguan-gangguan
konflik, batin dan macam-macam frustasi yang serius.50
Seseorang yang memiliki kontrol terhadap pikiran, emosi,
ambisi dan segenap tingkahlaku merupakan orang yang
mentalnya sehat, sebaliknya jika seseorang tidak mampu
mengontrol segenap tingkahlakunya maka kesehatan
mentalnya terganggu.
Orang yang sehat mentalnya tidak akan lekas merasa
putus asa, pesimis atau apatis karena ia dapat menghadapi
semua rintangan atau kegagalan dalam hidup dengan
tenang dan wajar serta menerima kegagalan itu sebagai
suatu pelajaran yang akan membawa sukses nantinya.
Maka, kesehatan mental-lah yang menentukan tanggapan
seseorang terhadap suatu persoalan dan kemampuannya
menyesuaikan diri. Kesehatan mental pulalah yang
menentukan apakah orang akan mempunyai kegairahan
untuk hidup atau akan pasif dan tidak bersemangat.51
50
Kartini Kartono, Hygiene Mental, Cet ke-7 (Bandung: Mandar
Maju, 2000), h. 284. 51
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 9.
-
46
Respon atau tanggapan serta sikap seseorang dalam
menghadapi segala macam persoalan yang dihadapinya
ditentukan oleh kondisi kesehatan mentalnya.
C. Program
1. Pengertian Program
Menurut bahasa, kata program berasal dari bahasa
Inggris, programe yang berarti acara atau rencana.
Sedangkan menurut istilah program adalah rancangan
mengenai asas-asas serta usaha-usaha yang akan
dijalankan.52
Menurut Wirawan, program adalah kegiatan
atau aktifitas yang dirancang untuk melaksanakan
kebijakan dan dilaksanakan untuk waktu yang tidak
terbatas.53
Dari pengertian ini terdapat makna bahwa
program adalah rencana/ rancangan kegiatan yang akan
dilakukan.
Menurut Suharsimi Arikunto, Program merupakan
sistem. Sedangkan sistem adalah suatu kesatuan dari
beberapa bagian atau komponen program yang saling
kait-mengkait dan bekerjasama satu dengan lainnya untuk
mencapai tujuan yang sudah ditetapkan dalam sistem.
Dengan begitu, program terdiri dari komponen-komponen
yang saling berkaitan dan saling menunjang dalam rangka
52
Tim Penyusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 702. 53
Wirawan, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi dan Profesi
(Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 17.
-
47
mencapai suatu tujuan tertentu.54
Dalam pengertian ini,
selain rencana/ rancangan, program juga merupakan
kumpulan komponen yang saling berkaitan dan saling
menunjang guna mencapai suatu tujuan.
Program didefiniskan sebagai suatu unit atau kesatuan
kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari
suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang
berkesinambungan dan terjadi dalam suatu organisasi/
lembaga yang melibatkan sekelompok orang. Ada tiga
pengertian penting dan perlu ditekankan dalam
menentukan program, yaitu:
a. Realisasi atau implementasi suatu kebijakan.
b. Terjadi dalam waktu yang relatif lama-bukan
kegiatan tunggal tetapi jamak berkesinambungan.
c. Terjadi dalam organisasi/ lembaga yang
melibatkan sekelompok orang.55
Konsep teori program mempunyai dua dimensi, yaitu
dimensi perspektif dan dimensi deskriptif. Dimensi
perspektif memfokuskan pada apa yang harus dilakukan
dalam keadaan ideal ketika melaksanakan program,
sedangkan dimensi deskriptif memfokuskan pada
penjelasan program, yaitu apa yang sesungguhnya terjadi
54
Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi
Program Pendidikan: Pedoman Teoretis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi
Pendidikan, Edisi ke-2 (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 9. 55
Ibid., h. 4.
-
48
sepanjang program berfungsi termasuk sumber program,
aktifitas-aktifitas program, pengaruh-pengaruh (outcomes)
program dan akibat (impact) program.56
Dengan demikian, sebuah program sangat dibutuhkan
dalam setiap pelaksanaan kegiatan individu maupun
kegiatan dari sebuah lembaga. Hal yang perlu diingat
adalah bahwa kegiatan yang sudah tidak lagi dilaksanakan
bukan lagi disebut program dan kegiatan yang tidak
direncanakan namun terjadi juga bukanlah suatu program.
Hal itu sesuai dengan definisi dari program yang
merupakan rencana suatu kegiatan yang berarti belum
atau sedang dilakukan.
2. Program Kesejahteraan Sosial
Perhatian pemerintah dan masyarakat secara umum
terhadap perlunya standar kehidupan yang lebih baik telah
mendorong terbentuknya berbagai usaha kesejahteraan
sosial. Usaha kesejahteraan sosial itu sendiri pada
dasarnya merupakan suatu program ataupun kegiatan
yang didesain secara kongkrit untuk menjawab masalah,
kebutuhan masyarakat ataupun meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Usaha kesejahteraan sosial itu dapat
ditujukan pada individu, keluarga, kelompok-kelompok
56
Wirawan, Evalua