PROGRAM REHABILITASI MENTAL PASIEN GANGGUAN …...mengenai mental yang sehat dan cara-cara...

267
PROGRAM REHABILITASI MENTAL PASIEN GANGGUAN MENTAL PADA PANTI REHABILITASI SOSIAL JIWA DAN NARKOBA PURBALINGGA JAWA TENGAH Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos) Oleh Muhammad Ali Nurdin NIM 1112052000017 PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H / 2018 M  

Transcript of PROGRAM REHABILITASI MENTAL PASIEN GANGGUAN …...mengenai mental yang sehat dan cara-cara...

  • PROGRAM REHABILITASI MENTAL

    PASIEN GANGGUAN MENTAL PADA PANTI

    REHABILITASI SOSIAL JIWA DAN NARKOBA

    PURBALINGGA JAWA TENGAH

    Skripsi

    Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

    Oleh

    Muhammad Ali Nurdin

    NIM 1112052000017

    PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN

    PENYULUHAN ISLAM

    FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN

    ILMU KOMUNIKASI

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    1439 H / 2018 M

     

  •  

  •  

  •  

  • ABSTRAK

    Muhammad Ali Nurdin, 1112052000017, Program

    Rehabilitasi Mental Pasien Gangguan Mental pada Panti

    Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa

    Tengah. Dibawah bimbingan Dra. Rini Laili Prihatini, M.Si.

    Riset Kesehatan Dasar Kemenkes RI tahun 2013 menunjukan

    bahwa penderita gangguan mental di Indonesia masih tinggi.

    Upaya untuk mengatasi gangguan mental adalah dengan

    melakukan rehabilitasi sedini mungkin ke pusat pelayanan

    kesehatan atau berobat ke tenaga kesehatan yang kompeten.

    Upaya rehabilitasi penting dilakukan untuk memperbaiki dan

    mengembangkan kembali fisik serta mental seseorang agar dapat

    kembali kepada kondisi awal sebagai manusia yang berguna dan

    dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar seperti

    sediakala.

    Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan jenis

    deskriptif. Subyek penelitian ini adalah 1 orang pendiri sekaligus

    kepala panti, 4 orang staf yang bekerja di panti serta 2 orang

    masyarakat sekitar panti. Adapun teknik menentukan informan

    untuk dijadikan subyek dalam penelitian ini menggunakan teknik

    purposive sampling. Analisis data yang digunakan adalah teknik

    analisis domain yang analisis hasil penelitiannya ditujukan untuk

    memperoleh gambaran seutuhnya dari objek yang diteliti atau

    yang biasa disebut juga dengan eksplorasi.

    Hasil observasi dan wawancara yang telah peneliti lakukan

    menunjukan bahwa pelaksanaan program rehabilitasi mental pada

    Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba sudah berjalan dengan

    lancar dan efektif sebagai metode penyembuhan bagi pasien.

    Sedangkan untuk penerimaan pasien terhadap program

    rehabilitasi mental di panti sudah baik, hal itu terlihat dari tidak

    ada pasien yang menolak program rehabilitasi mental yang ada di

    panti. Faktor penentu keberhasilan program rehabilitasi mental di

    panti ditentukan oleh faktor kerjasama dan faktor sosok yang

    memimpin program rehabilitasi mental terutama rehabilitasi

    mental non-medis, yaitu program ruqyah, program istighosah dan

    program minum air karomah.

    Kata Kunci: Rehabilitasi mental, Gangguan mental,

    Program.

     

  • v

    KATA PENGANTAR

    Bismillahirrahmanirrahiim

    Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

    memberikan nikmat dan karunia yang tiada terhingga kepada

    penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai

    salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial. Shalawat dan

    salam semoga tercurahkan kepada manusia mulia, baginda nabi

    besar Muhammad SAW. Semoga tercurahkan pula kepada para

    keluarganya, sahabat-sahabatnya dan mudah-mudahan sampai

    kepada kita selaku ummatnya yang tunduk dan patuh

    menjalankan ajaran dan Sunnah-sunnah beliau.

    Proses penyusunan skripsi ini sungguh memakan waktu, stamina,

    biaya, pikiran dan diwarnai dengan banyak dinamika kehidupan

    yang indah dalam dunia ilmiah. Namun bantuan, perhatian dan

    dorongan baik berupa kritikan dan saran maupun dorongan dalam

    bentuk lain, senantiasa Allah kirimkan melalui orang-orang

    terdekat dan tersayang. Untuk itu, dalam kesempatan ini dengan

    hati tulus penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga

    kepada kedua orang tua penulis yang tak pernah lelah dan tanpa

    henti mendoakan penulis siang dan malam.

    Ucapan terima kasih dan penghargaan tak terhingga juga penulis

    sampaikan kepada yang terhormat:

    1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. H. Arief Subhan, MA.,

    Wakil Dekan I Bidang Akademik Suparto M.Ed., Ph.D.,

     

  • vi

    Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum Dr.

    Roudhonah, MA., dan Wakil Dekan III Bidang

    Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama Dr. Suhaimi,

    M.Si.

    2. Dra. Rini Laili Prihatini, M.Si selaku Ketua Prodi

    Bimbingan dan Penyuluhan Islam UIN Jakarta, sekaligus

    sebagai Dosen Penasihat Akademik serta Dosen

    Pembimbing Skripsi penulis yang telah meluangkan

    banyak waktunya dan mencurahkan segenap ilmu, arahan,

    masukan, saran dan motivasi kepada penulis selama ini.

    Penulis juga mohon dimaafkan lahir-bathin atas segala

    kesalahan yang telah penulis lakukan selama ini.

    3. Ir. Noor Bekti Negoro, SE., M.Si selaku Sekretaris Prodi

    Bimbingan dan Penyuluhan Islam UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta yang telah turut membantu

    melancarkan semua proses yang dibutuhkan oleh penulis.

    4. Bapak dan ibu dosen Prodi Bimbingan dan Penyuluhan

    Islam serta bapak dan ibu dosen Fakultas Ilmu Dakwah

    dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis

    selama ini.

    5. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Utama dan

    Perpustakaan Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    serta seluruh civitas akademik Universitas Islam Negeri

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    6. Kepala sekaligus pendiri Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa

    dan Narkoba di Purbalingga Jawa Tengah K.H. Supono

     

  • vii

    Mustajab, M.Si beserta seluruh staf dan pegawai panti

    yang telah menerima penulis dengan terbuka dan

    memberikan informasi serta data yang dibutuhkan dalam

    penelitian ini.

    7. Mas Taufik, mas Nana, mas Fuad, mas Arif dan mas

    Opank yang telah banyak membantu penulis selama di

    panti penelitian. Mudah-mudahan Allah membalas jasa-

    jasa kalian dengan sebaik-baiknya.

    8. Kakak penulis teh Ida Dahlia dan bang Dian Irawan, juga

    tiga keponakan penulis Haikal Araby, Al-Hafizh Akbar

    dan Amanda Aprilia. Tak lupa kepada seluruh kerabat

    penulis yang terus memotivasi untuk segera

    menyelesaikan skripsi ini.

    9. Teman-teman BPI 2012: Apip, Sofet, Irpan, Aceng, Ipul,

    Novi, Yanti, Saadah, Via, Daul, Rizka, Neli, Sela, Syifa,

    Hilya, Diah, Upi, Aul, dan teman-teman lainnya di BPI

    2012. Serta teman-teman seperjuangan di Prodi BPI UIN

    Jakarta seluruh angkatan, juga teman-teman seperjuangan

    di UIN Jakarta.

    10. Teman-teman Alumni Ponpes Nurul Furqon Cibinong di

    UIN Jakarta yang telah memberikan semangat untuk

    menyelesaikan studi S1 ini.

    Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak tanpa

    terkecuali yang telah membantu seluruh proses skripsi ini dari

    awal hingga akhir serta membantu proses perkuliahan penulis

    dari awal hingga akhir di kampus tercinta ini. Mudah-mudahan

     

  • viii

    segala macam bantuan dalam bentuk apapun menjadi amal ibadah

    dan dibalas oleh Allah SWT, Tuhan pencipta alam.

    Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, amiin.

    Jakarta, 29 Agustus 2018

    Muhammad Ali Nurdin

     

  • ix

    DAFTAR ISI

    Lembar Persetujuan Pembimbing ............................. i

    Lembar Pengesahan .................................................. ii

    Lembar Pernyataan ................................................... iii

    Abstrak ...................................................................... iv

    Kata Pengantar .......................................................... v

    Daftar Isi ................................................................... ix

    BAB I PENDAHULUAN ........................................ 1

    A. Latar Belakang Masalah ............................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah .................... 13

    1. Batasan Masalah .................................... 13 2. Rumusan Masalah .................................. 14

    C. Tujuan Penelitian .......................................... 14 D. Manfaat Penelitian ........................................ 15 E. Tinjauan Pustaka ........................................... 15 F. Sistematika Penulisan ................................... 21

    BAB II LANDASAN TEORI ................................. 23

    A. Teori Kesehatan Mental ................................ 23 B. Jiwa dan Mental ............................................ 38

    1. Jiwa Perspektif Teori Umum ................. 38 2. Jiwa Perspektif Teori Islam .................... 40 3. Mental Perspekti teori Umum

    dan Islam ................................................ 42

    C. Program ......................................................... 46 1. Pengertian Program ................................ 46 2. Program Kesejahteraan Sosial ............... 48

     

  • x

    3. Prinsip Dasar Dalam Praktik Kesejahteraan Sosial .............................. 53

    D. Rehabilitasi Mental ....................................... 58 1. Pengertian Rehabilitasi Mental .............. 58 2. Jenis Rehabilitasi ................................... 60 3. Fungsi Rehabilitasi ................................. 62 4. Tahapan Rehabilitasi .............................. 63 5. Rasionalisasi Program Rehabilitasi

    Mental .................................................... 65

    E. Gangguan Mental .......................................... 77 1. Pengertian Gangguan Mental ................. 77 2. Penyebab Gangguan Mental .................. 81 3. Macam-macam Gangguan Mental ......... 84

    BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............. 94

    A. Metode Penelitian ......................................... 94 B. Jenis Penelitian .............................................. 96 C. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................ 97

    1. Lokasi Penelitian .................................... 97 2. Waktu Penelitian .................................... 98

    D. Subyek dan Obyek Penelitian ....................... 98 1. Subyek Penelitian ................................... 98 2. Obyek Penelitian .................................... 101

    E. Teknik Pengumpulan Data ............................ 101 1. Teknik Observasi ................................... 101 2. Teknik Wawancara ................................ 103 3. Teknik Dokumentasi .............................. 104

    F. Sumber Data .................................................. 105 1. Sumber Data Primer ............................... 105 2. Sumber Data Sekunder .......................... 106

    G. Fokus Amatan dan Analisis .......................... 106 H. Teknik Analisis Data ..................................... 107 I. Asumsi Peneliti ............................................. 110

     

  • xi

    BAB IV HASIL DAN ANALISA PENELITIAN .. 113

    A. Gambaran Umum Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga

    Jawa Tengah .................................................. 113

    1. Profil Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga

    Jawa Tengah............................................ 113

    2. Visi dan misi, Sasaran dan Tujuan Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa

    dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah .. 116

    3. Tata Tertib .............................................. 122 4. Program Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa

    dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah.. 126

    5. Jadwal Harian Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga

    Jawa Tengah ........................................... 128

    6. Struktur Pengurus Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga

    Jawa Tengah ........................................... 128

    7. Tahapan Pelayanan Rehabilitasi pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan

    Narkoba Purbalingga Jawa Tengah ........ 130

    B. Temuan Lapangan ......................................... 133 1. Program Rehabilitasi Mental pada

    Pasien Gangguan Mental ....................... 134

    2. Analisis Program Rehabilitasi Mental Pasien Gangguan Mental pada Panti

    Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba

    Purbalingga Jawa Tengah ...................... 175

    C. Diskusi .......................................................... 208

    BAB V PENUTUP .................................................. 213

    A. Kesimpulan ................................................... 213 B. Saran ............................................................. 215

    Daftar Pustaka ............................................... 217

    Lampiran ....................................................... 225

     

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Sejak zaman dahulu, sikap terhadap gangguan mental

    telah muncul dalam konsep primitif animisme. Ada

    kepercayaan bahwa dunia ini diawasi dan dikuasai oleh roh-

    roh atau dewa-dewa. Orang primitif percaya bahwa angin

    bertiup, ombak mengalun, batu berguling dan pohon tumbuh

    karena pengaruh roh yang tinggal dalam benda-benda

    tersebut. Orang Yunani percaya bahwa gangguan mental

    terjadi karena dewa marah dan membawa pergi jiwanya.1

    Untuk menghindari kemarahan dewa tersebut, maka

    mereka mengadakan perjamuan pesta (sesaji) dengan mantra

    dari korban yang mereka persembahkan. Praktik-praktik

    semacam itu berlangsung mulai dari abad 7-5 SM. Seiring

    perkembangan zaman, maka praktik semacam itupun kian

    berkurang, walaupun kepercayaan tentang penyakit mental

    berasal dari roh-roh jahat tetap bertahan sampai abad

    pertengahan.2

    Selanjutnya pada abad 4 SM muncul tokoh-tokoh bidang

    medis dari bangsa Yunani seperti Hipocrates, Hirophilus,

    1 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi

    Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, Cet ke-2 (Yogyakarta: Pustaka

    Pelajar, 2004), hal. 16. 2 Ibid., h. 16.

     

  • 2

    Galenus, Vesalius, Paracelsus dan Cornelius Agrippa yang

    mulai menggunakan konsep biologis dalam penanganannya

    sehingga lebih manusiawi. Asumsinya adalah gangguan

    mental disebabkan gangguan biologis atau kondisi biologis

    seseorang, bukan akibat roh jahat. Aliran ini mendapat

    pertentangan keras dari aliran sebelumnya yang meyakini

    adanya roh jahat.3

    Abad ke-20 masehi merupakan revolusi kesehatan mental

    dengan munculnya pendekatan psikoanalisa yang

    mempelopori penanganan penderita gangguan mental secara

    medis dan psikologis. Tokoh utamanya adalah Sigmund

    Freud, yang melakukan penanganan hipnose, katarsis,

    asosiasi bebas dan analisis mimpi. Tujuannya adalah

    mengatasi masalah gangguan mental individu dengan

    menggali konflik intrapsikis penderita gangguan mental.

    Intervensi tersebut dikenal dengan istilah penanganan klinis

    (psikoterapi).4

    Seiring dengan adanya revolusi pemahaman masyarakat

    mengenai mental yang sehat dan cara-cara penanganannya,

    maka pemahaman tentang gangguan mental terus berubah

    dan berkembang. Gangguan mental dalam beberapa hal

    disebut perilaku abnormal (abnormal behavior) yang juga

    dianggap sama dengan sakit mental (mental illness) ataupun

    sakit jiwa (insanity, lunacy, madness). Selain itu terdapat

    3

    Kartika Sari Dewi, Kesehatan Mental (Semarang: Universitas

    Diponegoro Press, 2012), h. 13. 4 Ibid., h. 13-14.

     

  • 3

    pula istilah-istilah yang serupa seperti: distress, discontrol,

    disadvantage, disability, inflexibility, irrationality,

    syndromal pattern dan disturbance. Berbagai istilah ini

    dalam beberapa hal dianggap sama namun di lain pihak

    digunakan secara berbeda. Dalam International

    Classification of Diseases (ICD) dan Diagnostic and

    Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), istilah yang

    digunakan adalah „mental disorder‟ yang bila diterjemahkan

    menjadi „gangguan mental‟.5

    Seorang ahli psikologi agama, Zakiah Daradjat

    menawarkan satu istilah yang agak berbeda dalam

    menjelaskan tentang gangguan mental. Menurut Daradjat,

    gangguan mental adalah kumpulan dari keadaan-keadaan

    yang tidak normal baik yang berhubungan dengan fisik

    maupun dengan mental. Ketidaknormalan tersebut tidak

    disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian-bagian anggota

    badan, meskipun kadang-kadang gejalanya terlihat pada

    fisik.6

    Gangguan mental selalu berkaitan dengan gangguan-

    gangguan internal berupa motivasi-motivasi yang tidak riil

    dan kekuatan-kekuatan yang saling berkonflik dalam

    kepribadian seseorang, misalnya berupa konflik antara

    dorongan-dorongan yang infantil (bersifat kekanak-kanakan)

    5 Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, Kesehatan Mental: Konsep

    dan Penerapan, Cet ke-6 (Malang: UMM Press, 2011), h. 42. 6

    Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko

    Gunung Agung, 2001), h. 33.

     

  • 4

    melawan pertimbangan yang rasional dan matang, konflik

    antara norma-norma batin sendiri melawan standar sosial

    yang dianut orang dan konflik lain yang saling bertentangan

    dalam diri seseorang.7

    Penyebab sederhana gangguan mental adalah karena

    harapan dan kebutuhan yang diidamkan tidak tercapai

    sehingga menimbulkan ketegangan dan konflik dalam batin.

    Setiap manusia selalu mempunyai macam-macam kebutuhan

    untuk mempertahankan eksistensi hidupnya sehingga

    timbullah dorongan, usaha dan dinamisme untuk memenuhi

    kebutuhan tersebut. Bila kebutuhan-kebutuhan hidup itu

    terhalangi, maka akan timbullah ketegangan-ketegangan dan

    konflik batin. Bila hal ini berlangsung terus-menerus, maka

    akan muncul kekalutan/ gangguan mental.8

    Berkaitan dengan penyebab tersebut, Allah SWT

    berfirman dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 155:

    ِل َوٱۡۡلَوفُِس َه ٱۡۡلَۡمَوَٰ َه ٱۡلَخۡوِف َوٱۡلُجوِع َووَۡقٖص مِّ َولَىَۡبلَُووَُّكم بَِشۡيٖء مِّ

    بِِريَه ِر ٱلصََّٰ ِتِۗ َوبَشِّ )٥١١(َوٱلثََّمَرَٰ

    Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan

    kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan

    harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita

    gembira kepada orang-orang yang sabar”.

    7

    Kartini Kartono, Hygiene Mental, Cet ke-7 (Bandung: Mandar

    Maju, 2000), h. 83-84. 8 Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jilid 1 (Jakarta: RajaGrafindo

    Persada, 2007), h. 304.

     

  • 5

    Sejalan dengan hal tersebut, sifat manusia yang mudah

    berkeluh kesah dalam batinnya apabila harapan dan

    kebutuhan yang diidamkannya tidak tercapai, yang pada

    akhirnya menyebabkan gangguan mental sudah disinggung

    dalam al-Quran surat al-Maarij ayat 19-21:

    َه ُخلَِق هَلُوًعا وَسَٰ َوإَِذا َمسَّهُ ) ٠٢(ٱلشَّرُّ َجُزوٗعا إَِذا َمسَّهُ )٥١ (إِنَّ ٱۡۡلِ

    ) ٠٥ (ٱۡلَخۡيُر َمىُوًعا

    Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh

    kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh

    kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”.

    Demikianlah al-Quran menjelaskan mengenai penyebab

    manusia mengalami gangguan mental. Manusia diciptakan

    cenderung bersifat keluh kesah apabila harapannya tidak

    sesuai dengan kenyataan. Selain itu, ketidaksanggupan

    manusia dalam menyesuaikan diri dengan situasi yang

    dihadapinya, respon yang salah terhadap kesulitan yang

    dihadapi, penyesuaian diri yang lamban terhadap kondisi

    yang ada serta ketidakmampuan menghadapi segala macam

    kesulitan akan menyebabkan gangguan mental.

    Dewasa ini banyak orang yang tidak menyadari bahwa

    dirinya sebenarnya mengalami gangguan mental. Di samping

    itu banyak orang yang menderita gangguan mental namun

    tidak mau menerima perawatan apapun karena tidak merasa

     

  • 6

    bahwa ia sedang mengalami gangguan mental. Atau karena

    anggota keluarga dan kawan-kawannya tidak mengetahui

    bahwa orang ini sedang sakit mental. Ada juga orang-orang

    yang diketahui oleh keluarga dan kawan-kawannya sebagai

    orang yang menderita gangguan mental tetapi tidak mau

    mengobatinya karena beberapa alasan, misalnya kekurangan

    biaya ataupun karena ingin menjaga kehormatan nama baik

    keluarga yang dilandasi rasa malu mengakui bahwa anggota

    keluarganya menderita gangguan mental.9

    Rendahnya minat masyarakat untuk melakukan

    pengobatan bagi penderita gangguan mental tersebut

    mengakibatkan terjadinya perlakuan salah masyarakat

    terhadap penderita gangguan mental, salah satunya adalah

    dengan melakukan pemasungan.10

    Hasil Riset Kesehatan

    Dasar Kemenkes RI tahun 2013 menunjukan bahwa

    penderita gangguan mental yang dikategorikan gangguan

    mental ringan sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke

    atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan prevalensi

    (jumlah keseluruhan kasus) gangguan jiwa berat seperti

    skizofrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar

    400.000 orang. Ironisnya, dari jumlah tersebut ternyata

    9

    Yustinus Semiun, Kesehatan Mental, Edisi ke-3 (Yogyakarta:

    Kanisius, 2006), h. 10-11. 10

    Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI,

    Riset Kesehatan Dasar 2013 (Jakarta: Balitbangkes, 2013), h. 125.

     

  • 7

    14,3% atau sekitar 57.000 orang di Indonesia pernah

    dipasung atau sedang dipasung.11

    Untuk provinsi Jawa Tengah tempat penelitian ini

    dilaksanakan, dari prevalensi gangguan jiwa berat pada

    penduduk Indonesia 1,7 per mil, Jawa Tengah menempati

    urutan ke-5 teratas secara nasional setelah Yogyakarta, Aceh,

    Sulawesi Selatan dan Bali.12

    Dari angka tersebut, kota

    tertinggi penderita gangguan mental terdapat di

    Kabupaten/Kota Magelang dan Wonogiri. Sedangkan

    Kabupaten Purbalingga menempati urutan ke-7 terbanyak

    penderita gangguan mental.13

    Berdasarkan angka tersebut, di

    seluruh kabupaten Purbalingga pada tahun 2013 ditemukan

    30 kasus pemasungan terhadap penderita gangguan mental.14

    Tingginya angka pemasungan terhadap penderita

    gangguan mental di Indonesia di atas bukanlah satu-satunya

    derita bagi penderita gangguan mental, masih terdapat

    perlakuan salah lainnya yang sering dialami oleh para

    penderita gangguan mental seperti stigmatisasi dan

    diskriminasi oleh anggota masyarakat yang menilai para

    penderita gangguan mental berbeda dengan masyarakat

    lainnya. Bentuk diskriminasi terhadap mereka antara lain

    11

    Departemen Kesehatan Republik Indonesia, “Stop Stigma dan

    Diskriminasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa,” Diakses pada 9

    September 2016 dari http://www.depkes.go.id. 12

    Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI,

    Riset Kesehatan Dasar 2013 (Jakarta: Balitbangkes, 2013), h. xi. 13

    Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI,

    Riset Kesehatan Dasar 2013 Provinsi Jawa Tengah (Jakarta: Balitbangkes,

    2013), h. 146. 14

    Republika, “30 Warga Penderita Gangguan Jiwa Dipasung”,

    Diakses pada 10 September 2018 dari http://www.republika.co.id.

     

    http://www.depkes.go.id/

  • 8

    diceraikan oleh pasangan, ditelantarkan oleh keluarga,

    bahkan dirampas harta bendanya.15

    Untuk mencegah hal itu terjadi, Menteri Kesehatan RI

    mengajak seluruh jajaran kesehatan untuk dapat

    melaksanakan Empat Seruan Nasional Stop Stigma dan

    Diskriminasi terhadap penderita gangguan mental, yaitu:

    1. Tidak melakukan stigmatisasi dan diskriminasi

    kepada siapapun juga dalam pelayanan kesehatan;

    2. Tidak melakukan penolakan atau menunjukkan

    keengganan untuk memberikan pelayanan kesehatan

    kepada penderita gangguan mental;

    3. Senantiasa memberikan akses pada pelayanan

    kesehatan baik akses pemeriksaan, pengobatan,

    rehabilitasi maupun reintegrasi ke masyarakat pasca

    perawatan di rumah sakit jiwa atau di panti sosial;

    4. Melakukan berbagai upaya promotif (pemeliharaan/

    penjagaan) dan preventif (pencegahan) untuk

    mencegah terjadinya masalah kejiwaan, mencegah

    timbulnya atau kambuhnya gangguan jiwa,

    meminimalisasi resiko masalah kesehatan jiwa, serta

    mencegah timbulnya dampak psikososial.16

    Komitmen menteri kesehatan tersebut diperkuat dengan

    diterbitkannya Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2014

    15

    Departemen Kesehatan Republik Indonesia, “Stop Stigma dan

    Diskriminasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa,” Diakses pada 9

    September 2016 dari http://www.depkes.go.id. 16

    Ibid.

     

    http://www.depkes.go.id/

  • 9

    tentang Kesehatan Jiwa yang disahkan pada 8 Agustus 2014.

    Undang-Undang ini ditujukan untuk menjamin setiap orang

    agar dapat mencapai kualitas hidup yang baik serta

    memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi,

    komprehensif dan berkesinambungan melalui upaya promotif

    (pemeliharaan/ penjagaan), preventif (pencegahan), kuratif

    (penyembuhan) dan rehabilitatif (pemulihan).17

    Undang-Undang lain menyatakan bahwa penderita

    gangguan mental berhak mendapatkan perawatan atas biaya

    negara. Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang RI

    Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia (HAM),

    Pasal 42 yang menyatakan bahwa setiap warga negara yang

    berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak

    memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan

    khusus atas biaya negara untuk menjamin kehidupan yang

    layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya,

    meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan

    berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa

    dan bernegara.18

    Dengan demikian rehabilitasi menjadi

    penting untuk dilakukan karena rehabilitasi merupakan

    amanat Undang-Undang yang harus ditaati dan dijalankan

    oleh pemerintah dan harus didukung oleh seluruh masyarakat

    Indonesia.

    17

    Departemen Kesehatan Republik Indonesia, “Stop Stigma dan

    Diskriminasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa,” Diakses pada 9

    September 2016 dari http://www.depkes.go.id. 18

    Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, “Undang-Undang No 39

    Tahun 1999,” Diakses pada 9 September 2016 dari

    http://www.komnasham.go.id.

     

    http://www.depkes.go.id/http://www.komnasham.go.id/

  • 10

    Amanat undang-undang untuk melakukan rehabilitasi

    bagi penderita gangguan mental tersebut ditujukan untuk

    memperbaiki kembali dan mengembangkan fisik serta mental

    seseorang sehingga orang itu dapat mengatasi masalah

    kesejahteraan sosial bagi dirinya serta keluarganya.19

    Dengan

    demikian rehabilitasi merupakan upaya mengembalikan

    seseorang kepada kondisi awal supaya menjadi manusia yang

    berguna dan memiliki tempat kembali di tengah masyarakat.

    Rehabilitasi pada tataran praktik mempertemukan

    berbagai disiplin ilmu mulai dari medis, psikologi, sosial

    bahkan pendidikan multidisipliner untuk menghasilkan

    proses rehabilitasi yang saling terkait dan mendukung upaya

    pengembalian fungsi sosial, sehingga individu dapat

    menjalankan perannya sesuai dengan tuntutan

    lingkungannya.20

    Rehabilitasi didasari pada sebuah asumsi

    bahwasanya pada diri penyandang masalah sosial terkandung

    adanya potensi untuk berubah menuju kondisi yang normal.21

    Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali

    kemampuan fisik dan mental seseorang agar dapat

    melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar seperti

    sediakala.

    19

    Y. B. Suparlan, Kamus Istilah Pekerjaan Sosial (Yogyakarta:

    Kanisius, 1990), h. 139. 20

    Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial RI,

    Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi (Jakarta:

    Balitbangsos RI, 2004), h. 186. 21

    Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya (Yogyakarta:

    Pustaka Pelajar, 2008), h. 53.

     

  • 11

    Rehabilitasi bukan hanya menjadi tanggung jawab

    pemerintah saja melalui Kementerian Sosial RI, namun juga

    perlu peran dari masyarakat untuk bersama-sama ikut terlibat

    dalam merehabilitasi penderita gangguan mental di

    Indonesia. Keterlibatan masyarakat dalam melaksanakan

    rehabilitasi terhadap penderita gangguan mental, baik dalam

    bentuk lembaga maupun non lembaga sangat memungkinkan

    untuk dikembangkan sebagai salah satu usaha

    mengembalikan keberfungsian sosial penderita gangguan

    mental.22

    Sejalan dengan hal tersebut, Haji Supono Mustajab

    di Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah mendirikan Panti

    Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba sebagai bentuk

    partisipasi dalam merehabilitasi penderita gangguan mental

    di Indonesia.

    Rehabilitasi yang dilaksanakan oleh panti ini

    memadukan pengobatan medis dan non-medis. Secara medis

    pihak panti bekerja sama dengan dokter dari Purbalingga dan

    Banyumas, salah satunya adalah dokter spesialis jiwa dr.

    Basiran Sp.Kj. yang berasal dari RSUD Banyumas sebagai

    penanggung jawab dan konsultan. Sedangkan secara non-

    medis atau rohani dilakukan sendiri oleh pimpinan panti,

    yakni H. Supono Mustajab dengan metode siraman rohani

    22

    Ruaida Murni dan Mulia Astuti, “Rehabilitasi Sosial Bagi

    Penyandang Disabilitas Mental Melalui Unit Informasi dan Layanan Sosial

    Rumah Kita,” Jurnal Sosio Informa, Vol 1 No 3 (September-Desember 2015):

    h. 280.

     

  • 12

    setiap selesai sholat, ruqyah, istighosah, dan minum air

    karomah.23

    Data menunjukan, Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan

    Narkoba Purbalingga memiliki 90 pasien rawat inap yang

    didominasi oleh laki-laki dengan 74 pasien dan sisanya

    perempuan dengan 16 pasien. Pasien yang berjumlah 90

    orang tersebut berasal dari 13 kabupaten/ kota di 3 provinsi

    di pulau jawa, yakni Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan

    Jawa Timur. Ke-90 pasien di panti ini berada dalam satu

    komplek panti dan dibiarkan melakukan aktifitas di luar

    ruangan yang berada dalam komplek panti, namun jika

    pasien mengalami gangguan mental berat dan dianggap

    membahayakan pasien lain maka akan ditempatkan di ruang

    isolasi panti.24

    Dengan dilaksanakannya rehabilitasi pada Panti

    Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa

    Tengah tersebut, diharapkan adanya penurunan pada angka

    penderita gangguan mental di Indonesia. Pengobatan dan

    rehabilitasi bagi penderita gangguan mental sangat

    dibutuhkan untuk mengembalikan martabat kemanusiaannya

    di tengah masyarakat, mampu berpartisipasi kembali dalam

    kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta

    23

    Suara Merdeka, “Wisma Rehabiltasi Jiwa Purbalingga, Tempat

    Sumanto Akan Menimba Ilmu Agama,” Diakses pada 9 September 2016 dari

    http://www.suaramerdeka.com. 24

    Wawancara Pribadi dengan Maolana Achmad, selaku Konselor

    Adiksi pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba, Purbalingga, 10

    Agustus 2016.

     

    http://www.suaramerdeka.com/

  • 13

    dapat mengatasi masalah kesejahteraan sosial bagi dirinya

    serta keluarganya.

    Dengan memperhatikan latar belakang di atas dan

    setelah melalui berbagai pertimbangan, maka penulis tertarik

    untuk menulis sebuah skripsi berjudul: “Program

    Rehabilitasi Mental Pasien Gangguan Mental Pada Panti

    Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa

    Tengah”.

    B. Batasan dan Rumusan Masalah

    1. Batasan Masalah

    Pembatasan masalah diperlukan untuk mencegah

    pembahasan masalah yang melebar dan tidak terfokus.

    Dalam penelitian ini penulis membatasi masalah yang

    akan dibahas yaitu:

    Batasan pada program rehabilitasi mental di Panti

    Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa

    Tengah dibatasi hanya pada program yang bersifat non-

    medis, meliputi program ruqyah, program istighosah dan

    program minum air karomah.

    Sedangkan batasan pada gangguan mental dilihat dari

    aspek gangguan mental berat, yang meliputi skizofrenia,

    manik depresif dan paranoia. Aspek gangguan mental

    berat tersebut juga dibatasi hanya pada penderita atau

     

  • 14

    pasien yang telah menerima bantuan berupa pengobatan/

    rehabilitasi di panti sekurang-kurangnya 1 bulan.

    2. Rumusan Masalah

    Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini

    sebagai berikut:

    a. Bagaimana pelaksanaan program rehabilitasi

    mental pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan

    Narkoba Purbalingga Jawa Tengah?

    b. Bagaimana penerimaan program rehabilitasi

    mental pada pasien gangguan mental di Panti

    Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga

    Jawa Tengah?

    c. Apa faktor penentu keberhasilan program

    rehabilitasi mental pada Panti Rehabilitasi Sosial

    Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah?

    C. Tujuan Penelitian

    Secara umum penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

    program rehabilitasi mental di Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa

    dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah terhadap pasien

    gangguan mental. Selain tujuan secara umum, ada beberapa

    tujuan khusus dari penelitian ini, yaitu:

    1. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan

    program rehabilitasi mental pada Panti Rehabilitasi

    Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah.

     

  • 15

    2. Untuk mengetahui dan menganalis penerimaan

    program rehabilitasi mental pada pasien gangguan

    mental di Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba

    Purbalingga Jawa Tengah.

    3. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor penentu

    keberhasilan program rehabilitasi mental pada Panti

    Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga

    Jawa Tengah.

    D. Manfaat Penelitian

    Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Hasil penelitian ini dapat memperkaya teori

    bimbingan dan penyuluhan serta kajian kesehatan

    mental seperti teori gangguan mental, teori penyakit

    mental dan teori rehabilitasi mental.

    2. Sebagai kontribusi untuk jurusan yang dapat

    dijadikan bahan rujukan dalam membuat program

    praktikum.

    3. Hasil penelitian dapat memberikan masukan atau

    referensi tambahan bagi panti tempat diadakannya

    penelitian dalam penyusunan program kerja dalam

    upaya perawatan dan rehabilitasi terhadap pasien

    gangguan mental.

    E. Tinjauan Pustaka

    Dalam rangka penelitian ini, penulis telah melakukan

    tinjauan pustaka di Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan

    Ilmu Komunikasi serta Pusat Perpustakaan UIN Syarif

     

  • 16

    Hidayatullah Jakarta untuk memastikan tidak ada skripsi yang

    sama dengan skripsi yang penulis susun. Tinjauan pustaka

    dilakukan terhadap lima skripsi terdahulu yang berkaitan

    dengan judul penelitian ini, diantaranya:

    1. Ilmawati Hasanah dengan judul penelitian “Program

    Rehabilitasi Sosial Bagi Narapidana Di Lembaga

    Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta: Perspektif

    Pekerjaan Sosial Koreksional” pada Jurusan

    Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

    Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun

    2015. Penelitian ini menggunakan pendekatan

    kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil dari

    penelitian ini adalah program rehabilitasi sosial di

    Lapas Cipinang merupakan program wajib yang telah

    ditetapkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi

    Manusia RI dan diberikan kepada narapidana dengan

    pola pembinaan, baik pembinaan kepribadian dan

    pembinaan kemandirian.25

    Kelebihan dari skripsi ini adalah mampu

    menjabarkan proses penerimaan narapidana terhadap

    program rehabilitasi sosial yang diberikan pihak

    Lapas secara mendalam, dapat menemukan kendala

    yang paling mendasar kemudian menjabarkannya satu

    25

    Ilmawati Hasanah, “Program Rehabilitasi Sosial Bagi Narapidana

    Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta: Perspektif Pekerjaan

    Sosial Koreksional” (Jakarta: Skripsi Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas

    Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h.

    98.

     

  • 17

    persatu dan pembahasan skripsi ini tidak melebar

    kemana-mana dan tetap terfokus hanya dalam

    perspektif pekerjaan sosial koreksinonal. Adapun

    kekurangan dari skripsi ini terletak pada analisis

    mengenai pola rehabilitasi sosial kurang mendalam

    dan sangat sedikit dijelaskan oleh peneliti.

    2. Jovendra Aliansyah dengan judul skripsi

    “Rehabilitasi Mental Remaja Korban

    Penyalahgunaan Narkoba Di Yayasan Madani

    Mental Care Cipinang Besar Selatan Jakarta Timur”

    pada Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan

    Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013. Hasil

    dari penelitian ini adalah rehabilitasi mental yang

    dilaksanakan oleh Yayasan Madani Mental Care

    berupa terapi medis, terapi religius spiritual dan terapi

    psikososial dapat menyembuhkan mental remaja

    korban penyalahgunaan narkoba.26

    Kelebihan skripsi ini terletak pada kemampuan

    penulis melihat penyebab penyalahgunaan narkoba di

    kalangan remaja terlebih dahulu dan kemampuan

    melihat sisi lain dari keberhasilan dan hambatan yang

    ada pada yayasan tempat diadakannya penelitian ini.

    26

    Jovendra Aliansyah, “Rehabilitasi Mental Remaja Korban

    Penyalahgunaan Narkoba Di Yayasan Madani Mental Care Cipinang Besar

    Selatan Jakarta Timur” (Jakarta: Skripsi Prodi Bimbingan dan Penyuluhan

    Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta, 2013), h. 65.

     

  • 18

    Adapun kekurangan skripsi ini adalah penulis

    menukar kata subjek dan objek penelitian pada bagian

    Metodologi Penelitian sehingga menimbulkan

    kebingungan dan analisis yang disajikan pada Bab IV

    kurang mendalam.

    3. Penelitian berjudul “Program Rehabilitasi Terhadap

    Anak Berkebutuhan Khusus Cerebral Palsy di

    Yayasan Sayap Ibu Bintaro (Studi Kasus Yayasan

    Sayap Ibu Bintaro Provinsi Banten)” oleh Nurhikmah

    pada Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu

    Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta tahun 2016. Penelitian ini

    menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis

    penelitian deskriptif. Hasil dari penelitian yang

    dilakukan oleh Nurhikmah adalah program

    rehabilitasi yang dilaksanakan oleh Yayasan Sayap

    Ibu Bintaro terhadap anak-anak yang berkebutuhan

    khusus Cerebral Palsy berupa fisioterapi, hidroterapi,

    terapi wicara dan terapi group work berjalan lancar

    dan sukses sebagai program rehabilitasi.27

    Kelebihan dari skripsi ini adalah peneliti

    mengungkapkan cara penanganan anak berkebutuhan

    khusus cerebral palsy yang baik dan benar.

    27

    Nurhikmah, “Program Rehabilitasi Terhadap Anak Berkebutuhan

    Khusus Cerebral Palsy di Yayasan Sayap Ibu Bintaro (Studi Kasus Yayasan

    Sayap Ibu Bintaro Provinsi Banten” (Jakarta: Skripsi Jurusan Kesejahteraan

    Sosial Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta, 2016), h. 67.

     

  • 19

    Sedangkan kekurangan yang ditemukan pada skripsi

    ini adalah peneliti tidak menguraikan program

    rehabilitasi yang dijalankan lembaga secara jelas pada

    bagian temuan lapangan dan analisis sehingga terlihat

    kurang mendalam.

    4. Siti Masyitoh dengan judul penelitian “Program

    Pelatihan Terapis Dalam Pengobatan Alternatif di

    Bengkel Rohani Ciputat”. Skripsi tersebut merupakan

    karya ilmiah pada Jurusan Manajemen Dakwah

    Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2011. Hasil dari

    skripsi tersebut adalah program pelatihan bagi para

    calon terapis dalam bidang pengobatan alternatif yang

    dikembangkan oleh Bengkel Rohani Ciputat

    diberikan kepada calon terapis agar dapat menjadi

    terapis yang handal namun tetap berpatokan pada

    pengobatan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad

    SAW.28

    Kelebihan skripsi ini adalah mampu melihat

    kekurangan dan kelebihan dari program pelatihan

    terapis di Bengkel Rohani Ciputat secara jujur dan

    apa adanya serta mampu menjabarkan tata cara

    pengobatan alternatif di lembaga itu dengan seksama

    28

    Siti Masyitoh, “Program Pelatihan Terapis Dalam Pengobatan

    Alternatif di Bengkel Rohani Ciputat” (Jakarta: Skripsi Jurusan Manajemen

    Dakwah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 50.

     

  • 20

    sehingga yang membaca merasa tertarik. Adapun

    kekurangan skripsi ini yaitu kurangnya pembahasan

    pada analisis program pelatihan terapis yang menjadi

    nyawa penelitian ini dan permasalahan dalam

    penelitian tersebut terasa tidak ada.

    5. Penelitian berjudul “Rehabilitasi Sosial Untuk

    Penyalahguna Napza di Yayasan Karya Peduli Kita

    Tangerang Selatan” oleh Roudhotul Firdha pada

    Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Dakwah

    dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta tahun 2016. Hasil dari skripsi tersebut adalah

    rehabilitasi sosial yang dilaksanakan oleh pihak

    Yayasan Karya Peduli Kita untuk para korban

    penyalahgunaan napza berupa pemulihan secara fisik,

    mental maupun sosial menggunakan metode terapi

    medis, terapi psikiatrik, terapi psikososial dan terapi

    psikoreligius sukses sebagai program rehabilitasi

    sosial untuk penyalahguna napza.29

    Kelebihan skripsi ini adalah peneliti

    menggambarkan dengan seksama proses rehabilitasi

    sosial serta hasil yang didapatkan dari proses

    rehabilitasi sosial untuk korban penyalahgunaan

    napza tersebut. Adapun kekurangan dari skripsi

    29

    Roudhotul Firdha, “Rehabilitasi Sosial Untuk Penyalahguna Napza

    di Yayasan Karya Peduli Kita Tangerang Selatan” (Jakarta: Skripsi Jurusan

    Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 97.

     

  • 21

    adalah peneliti tidak menguraikan permasalahan pada

    bagian latar belakang masalah secara mendalam.

    Berbeda dengan kelima skripsi tersebut, penulis dalam

    skripsi ini lebih memfokuskan pembahasannya pada program

    rehabilitasi mental terhadap pasien gangguan mental pada

    Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa

    Tengah. Pada pelaksanaan program rehabilitasi mental

    tersebut panti memadukan dua cara, yakni cara medis dengan

    memberikan obat-obatan medis kepada para pasien dan cara

    non-medis dengan menerapkan program ruqyah, istighosah

    dan minum air karomah yang menjadi batasan masalah pada

    penelitian ini.

    F. Sistematika Penulisan

    Dalam rangka mencapai pembahasan skripsi yang

    sistematis, maka penulis membuat sistematika penulisan ke

    dalam lima (5) BAB yang terdiri dari sub-sub bab sehingga

    menjadi satu kesatuan yang utuh. Adapun sistematika

    penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

    BAB I : PENDAHULUAN. Isi BAB I merupakan

    pendahuluan dari keseluruhan BAB yang ada pada skripsi ini.

    BAB I terdiri dari Latar Belakang Masalah, Batasan dan

    Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,

    Tinjauan Pustaka dan Sistematika Penulisan.

    BAB II : LANDASAN TEORI. Dalam BAB ini akan

    dipaparkan mengenai teori-teori ataupun pembahasan yang

     

  • 22

    berkaitan dengan kesehatan mental, program, rehabilitasi

    mental dan mengenai gangguan mental.

    BAB III : METODOLOGI PENELITIAN. Isi BAB III ini

    terdiri dari Metode Penelitian, Jenis Penelitian, Lokasi dan

    Waktu Penelitian, Subyek dan Obyek Penelitian, Teknik

    Pengumpulan Data, Sumber Data, Fokus Amatan dan

    Analisis, Teknik Analisis data, dan Asumsi Peneliti.

    BAB IV : HASIL DAN ANALISA PENELITIAN. Isi

    BAB ini terdiri dari Gambaran Umum Panti Rehabilitasi

    Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah yang

    menggambarkan secara singkat mengenai lembaga penelitian

    dan Temuan Lapangan yang merupakan jawaban dari

    rumusan masalah serta analisisnya secara komprehensif.

    Selanjutnya BAB ini juga terdiri dari Diskusi yang

    merupakan penulisan hasil temuan dalam bentuk narasi secara

    singkat pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba

    Purbalingga Jawa Tengah.

    BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN. Pada BAB ini

    disajikan kesimpulan penelitian dan saran dari hasil

    pembahasan.

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

     

  • 23

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Teori Kesehatan Mental

    Kesehatan mental terdiri dari dua kata, yakni kesehatan

    dan mental. Kesehatan kata dasarnya adalah sehat, yang

    merupakan kata adopsi dari bahasa Arab yang artinya segar

    tidak sakit, sembuh, selamat, memperbaiki dan selamat dari

    aib.1 Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah

    Nasional Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai

    kesehatan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang dimiliki

    manusia sebagai karunia Allah SWT yang wajib disyukuri

    dengan mengamalkan tuntunan-Nya, memeliharanya dan

    mengembangkannya.2

    Dengan demikian yang dinamakan

    sehat tidak hanya diukur dari sehat secara fisik saja, namun

    sehat dan segar secara badaniah, rohaniah dan sosial.

    Sedangkan kata mental dalam Kamus Ilmu Jiwa dan

    Pendidikan adalah kepribadian yang merupakan kebulatan

    yang dinamik pada diri seseorang yang tercermin dalam cita-

    cita, sikap dan perbuatannya.3 Menurut istilah mental adalah

    semua unsur-unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap dan

    perasaan yang dalam keseluruhan kebulatannya akan

    1

    Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya

    Agung, 1989), h. 9. 2 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cet ke-4 (Bandung: Mizan,

    1996), h. 182. 3 Jalaluddin, Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan (Surabaya: Putra Al-

    Maarif, t.t.), h. 115.

     

  • 24

    menentukan corak tingkah laku, cara menghadapi suatu hal

    yang menekan perasaan mengecewakan, menggembirakan,

    menyenangkan dan sebagainya.4 Mental adalah seluruh unsur

    yang ada pada diri individu yang tidak berbentuk fisik/ organ

    terlihat mata namun ada dalam setiap diri manusia.

    Kata kesehatan dan mental di atas dipadukan menjadi satu

    istilah yang kita sebut dengan kesehatan mental. Kesehatan

    mental diambil dari konsep mental hygiene yang berasal dari

    kata mental dan hygeia. Hygeia adalah nama dewi kesehatan

    Yunani dan hygiene berarti ilmu kesehatan. Sedangkan

    mental dari kata lain mens atau mentis yang berarti jiwa,

    nyawa, sukma, roh, semangat.5 Dalam banyak literatur, istilah

    mental hygiene bukanlah satu-satunya istilah yang digunakan

    untuk menyebut kesehatan mental. Istilah lain yang juga

    digunakan untuk maksud yang sama adalah psychological

    medicine, nervous health, atau mental health.6

    Diantara berbagai istilah tersebut yang dipandang

    memiliki makna yang tepat untuk menyebutkan kesehatan

    mental adalah mental hygiene dibandingkan penggunaan

    istilah mental health. Hal ini karena mental health artinya

    keadaan jiwa yang sehat namun mengandung pengertian yang

    statis. Sedangkan mental hygiene bermakna kesehatan mental

    4

    Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental

    (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 35. 5 Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan

    Mental dalam Islam, cet ke-6 (Bandung: Mandar Maju, 1989), h. 3. 6 Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, Kesehatan Mental: Konsep

    dan Penerapan, Cet ke-6 (Malang: UMM Press, 2011), h. 27-28.

     

  • 25

    namun lebih dinamis karena menunjukan adanya usaha

    peningkatan. Namun demikian, istilah mental health telah

    meluas digunakan termasuk oleh badan kesehatan dunia

    World Health Organization (WHO).7 Di Indonesia, istilah

    yang paling sering digunakan adalah „mental hygiene’ jika

    disebutkan mengunakan bahasa Inggris dan istilah „kesehatan

    mental‟ jika disebutkan dalam bahasa Indonesia.

    Sejak zaman dahulu, sikap terhadap gangguan mental

    telah muncul dalam konsep primitif animisme. Ada

    kepercayaan bahwa dunia ini diawasi atau dikuasai oleh roh-

    roh atau dewa-dewa. Orang primitif percaya bahwa angin

    bertiup, ombak mengalun, batu berguling dan pohon tumbuh

    karena pengaruh roh yang tinggal dalam benda-benda

    tersebut. Orang Yunani percaya bahwa gangguan mental

    terjadi karena dewa marah dan membawa pergi jiwanya.

    Untuk menghindari kemarahannya, maka mereka

    mengadakan perjamuan pesta (sesaji) dengan mantra dari

    korban yang mereka persembahkan. Praktik-praktik semacam

    itu berlangsung mulai dari abad 7-5 SM. Seiring

    perkembangan zaman, maka praktik semacam itupun kian

    berkurang, walaupun kepercayaan tentang penyakit mental

    7 Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, Kesehatan Mental: Konsep

    dan Penerapan, Cet ke-6 (Malang: UMM Press, 2011), h. 28.

     

  • 26

    tersebut berasal dari roh-roh jahat tetap bertahan sampai abad

    pertengahan.8

    Selanjutnya pada abad 4 SM muncul tokoh-tokoh bidang

    medis dari bangsa Yunani seperti Hipocrates, Hirophilus,

    Galenus, Vesalius, Paracelsus dan Cornelius Agrippa yang

    mulai menggunakan konsep biologis dalam penanganannya

    sehingga lebih manusiawi. Asumsinya adalah gangguan

    mental disebabkan gangguan biologis atau kondisi biologis

    seseorang, bukan akibat roh jahat. Aliran ini mendapat

    pertentangan keras dari aliran sebelumnya yang meyakini

    adanya roh jahat.9

    Perkembangan kesehatan mental dipengaruhi oleh

    gagasan, pemikiran dan inspirasi para ahli terutama dari dua

    tokoh perintis, yaitu Dorothea Lynde Dix dan Clifford

    Whittingham Beers. Kedua tokoh ini banyak mendedikasikan

    hidupnya dalam bidang pencegahan gangguan mental dan

    pertolongan bagi orang-orang miskin dan lemah. Dorothea

    Lynde Dix lahir pada tahun 1802 dan meninggal dunia

    tanggal 17 Juli 1887. Dia adalah seorang guru sekolah di

    Massachussets, yang menaruh perhatian terhadap orang-orang

    yang mengalami gangguan mental. Sebagian perintis

    (pioneer) selama 40 tahun, dia berjuang untuk memberikan

    8 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi

    Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, Cet ke-2 (Yogyakarta: Pustaka

    Pelajar, 2004), hal. 16. 9

    Kartika Sari Dewi, Kesehatan Mental (Semarang: Universitas

    Diponegoro Press, 2012), h. 13.

     

  • 27

    pengorbanan terhadap orang-orang gila secara lebih

    manusiawi. Berkat usahanya yang tak kenal lelah, di Amerika

    Serikat didirikan 32 rumah sakit jiwa. Dia layak mendapat

    pujian sebagai salah seorang wanita besar di abad ke-19.10

    Pada tahun 1909, gerakan kesehatan mental secara formal

    mulai muncul. Selama dekade 1900-1909, beberapa

    organisasi kesehatan mental telah didirikan, seperti American

    Social Hygiene Association (ASHA) dan American

    Federation for Sex Hygiene. Perkembangan gerakan-gerakan

    di bidang kesehatan mental ini tidak lepas dari jasa Clifford

    Whittingham Beers (1876-1943). Bahkan, karena jasa-jasanya

    itulah, dia dinobatkan sebagai ”The Founder Of The Mental

    Hygiene Movement”. Dedikasi Beers yang begitu kuat dalam

    kesehatan mental dipengaruhi oleh pengalamannya sebagai

    pasien di beberapa rumah sakit jiwa yang berbeda. Selama di

    rumah sakit, dia mendapatkan pelayanan atau pengobatan

    yang keras dan kasar (kurang manusiawi). Kondisi seperti ini

    terjadi karena pada masa itu belum ada perhatian terhadap

    masalah gangguan mental, apalagi pengobatannya.11

    Pada abad ke-20 barulah muncul revolusi kesehatan

    mental ke dua, yakni munculnya pendekatan psikologis

    (Psikoanalisa) yang mempelopori penanganan penderita

    gangguan mental secara medis dan psikologis. Tokoh

    10

    Indra Aditiyawarman, “Sejarah Perkembangan Gerakan Kesehatan

    Mental”, Jurnal Komunika Dakwah dan Komunikasi, Vol 4 No 1 (Januari-Juni

    2010): h. 92-93. 11

    Ibid., h. 93.

     

  • 28

    utamanya adalah Sigmund Freud, yang melakukan

    penanganan hipnose, katarsis, asosiasi bebas dan analisis

    mimpi. Tujuannya adalah mengatasi masalah mental individu

    dengan menggali konflik intrapsikis penderita gangguan

    mental. Intervensi tersebut dikenal dengan istilah penanganan

    klinis (psikoterapi).12

    Pendekatan psikologis tersebut meyakini bahwa faktor

    psikologis berpengaruh besar pada kondisi mental seseorang,

    dimana dalam pendekatan psikologis memiliki 3 pandangan

    yang besar yang membahas mengenai hal tersebut, yaitu:13

    1. Psikoanalisa

    Pendekatan ini meyakini bahwa interaksi individu

    pada awal kehidupannya serta konflik intrapsikis yang

    terjadi akan mempengaruhi perkembangan kesehatan

    mental seseorang. Faktor epigenetik mempelajari

    kematangan psikologis seseorang yang berkembang

    seiring pertumbuhan fisik dalam tahap-tahap

    perkembangan individu, juga merupakan faktor penentu

    kesehatan mental individu.

    2. Behavioristik

    Pendekatan ini meyakini proses pembelajaran dan

    proses belajar sosial akan mempengaruhi kepribadian

    seseorang. Kesalahan individu dalam proses pembelajaran

    dan belajar sosial akan mengakibatkan gangguan mental.

    12

    Kartika Sari Dewi, Kesehatan Mental (Semarang: Universitas

    Diponegoro Press, 2012), h. 13-14. 13

    Ibid., h. 16.

     

  • 29

    3. Humanistik

    Perilaku individu dipengaruhi oleh hierarki kebutuhan

    yang dimiliki. Selain itu, individu diyakini memiliki

    kemampuan memahami potensi dirinya dan berkembang

    untuk mencapai aktualisasi diri.14

    Lebih lanjut badan kesehatan dunia, World Health

    Organization (WHO) menyatakan bahwa kesehatan mental

    merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu

    yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk

    mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara

    produktif dan menghasilkan, serta berperan serta di

    komunitasnya.15

    Menurut Karl Menninger, individu yang sehat

    mentalnya adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk

    menahan diri, menunjukkan kecerdasan, berperilaku dengan

    menenggang perasaan orang lain serta memiliki sikap hidup

    yang bahagia. Adapun karakteristik individu sehat mental

    mengacu pada kondisi atau sifat-sifat positif, seperti:

    kesejahteraan psikologis (psychological well-being) yang

    positif, karakter yang kuat serta sifat-sifat baik/ kebajikan

    (virtues).16

    Dalam UU Nomor 3 Tahun 1966, bab 1 pasal 1

    disebutkan bahwa kesehatan mental adalah keadaan mental

    yang sehat menurut ilmu kedokteran sebagai unsur daripada

    14

    Kartika Sari Dewi, Kesehatan Mental (Semarang: Universitas

    Diponegoro Press, 2012), h. 16. 15

    Ibid., h. 10-11. 16

    Ibid., h. 11.

     

  • 30

    kesehatan yang dimaksud dalam pasal 2 Undang-undang

    pokok-pokok kesehatan (UU No. 9 tahun 1960 tentang pokok-

    pokok kesehatan) yang menyebutkan bahwa kesehatan

    meliputi kesehatan badan, rohani atau mental dan sosial serta

    bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan

    kelemahan.17

    Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang

    sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan

    terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya

    sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan

    ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang

    bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat.18

    Pengertian ini

    menunjukan bahwa kesehatan mental adalah keharmonisan

    antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya agar

    merasakan kebahagiaan dan kebermaknaan hidup di dunia dan

    akhirat.

    Menurut Kartini Kartono, kesehatan mental atau mental

    hygiene menitik beratkan pada kehidupan kerohanian. Mental

    hygiene merupakan ilmu kesehatan jiwa yang membahas

    kehidupan kerohanian yang sehat dengan memandang pribadi

    manusia sebagai satu totalitas dari psikis dan fisik yang

    kompleks. Ilmu kesehatan mental ini erat hubungannya

    dengan tekanan-tekanan batin dan konflik-konflik pribadi

    yang terdapat pada diri manusia. Tekanan-tekanan batin dan

    17

    Dede Rahmat Hidayat dan Herdi, Bimbingan Konseling Kesehatan

    Mental di Sekolah, Cet ke-2 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 31. 18

    Djalaludin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Cet ke-8

    (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), h. 77.

     

  • 31

    konflik-konflik pribadi itu sering mengganggu ketenangan

    hidup seseorang.19

    Seorang ahli psikologi agama, Zakiah Daradjat

    mengungkapkan ada beberapa pengertian dan definisi tentang

    kesehatan mental yang dipaparkan oleh para ahli, sesuai

    dengan pandangan dan bidangnya masing-masing. Definisi

    pertama menurut Zakiah Daradjat, kesehatan mental adalah

    terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose)

    dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose). Definisi

    pertama ini banyak mendapat sambutan dari kalangan

    psikiatri (kedokteran jiwa).20

    Definisi pertama inilah yang

    paling banyak digunakan oleh psikiatri di Indonesia.

    Menurut definisi ini, orang yang sehat mentalnya adalah

    orang yang terhindar dari segala macam gangguan jiwa dan

    penyakit jiwa. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa

    indikator seseorang menderita gangguan jiwa adalah bila

    sering mengalami cemas tanpa diketahui sebabnya,

    munculnya rasa malas, tidak ada kegairahan untuk bekerja

    dan badan selalu terasa lesu. Sedangkan penderita sakit jiwa

    adalah orang yang pandangannya jauh berbeda dari

    pandangan orang pada umumnya dan jauh dari realitas.21

    19

    Kartini Kartono, Hygiene Mental, Cet ke-7 (Bandung: Mandar

    Maju, 2000), h. 3-4. 20

    Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko

    Gunung Agung, 2001), h. 4. 21

    Ibid., h. 4.

     

  • 32

    Demikianlah definisi pertama dari empat definisi menurut

    Zakiah Daradjat mengenai kesehatan mental.

    Definisi kedua menurut Zakiah Daradjat, kesehatan

    mental adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan

    diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat

    serta lingkungan dimana ia hidup. Definisi kedua ini lebih

    luas dan bersifat umum karena dihubungkan dengan

    kehidupan secara keseluruhan. Kesanggupan untuk

    menyesuaikan diri itu akan membawa orang kepada

    kenikmatan hidup dan terhindar dari kecemasan, kegelisahan

    dan ketidakpuasan. Disamping itu, ia penuh dengan semangat

    dan kebahagiaan dalam hidup.22

    Definisi ini menunjukan

    bahwa orang yang mampu hidup harmonis dengan dirinya

    sendiri dan orang lain di lingkungannya, maka itulah orang

    yang sehat mentalnya.

    Definisi ketiga menurut Zakiah Daradjat, kesehatan

    mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan

    untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi,

    bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin,

    sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain

    serta terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.

    Definisi ini mendorong orang untuk mengembangkan dan

    memanfaatkan segala potensi yang ada. Dari definisi ini

    diharapkan tidak ada bakat yang terpendam atau bakat yang

    22

    Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko

    Gunung Agung, 2001), h. 4-5.

     

  • 33

    digunakan dengan cara yang tidak membawa pada

    kebahagiaan, apalagi mengganggu hak dan kepentingan orang

    lain.23

    Definisi keempat menurut Zakiah Daradjat, kesehatan

    mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-

    sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, mempunyai kesanggupan

    untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi dan

    merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan

    dirinya. Menurut definisi ini, fungsi-fungsi jiwa seperti

    pikiran, perasaan, sikap jiwa, pandangan dan keyakinan hidup

    harus dapat saling membantu dan bekerjasama satu sama lain

    sehingga terciptanya keharmonisan yang menjauhkan orang

    dari perasaan ragu dan bimbang serta terhindar dari

    kegelisahan dan pertentangan batin/ konflik.24

    Definisi ini mengatakan bahwa fungsi-fungsi jiwa dengan

    semua unsur-unsurnya bertindak menyesuaikan seseorang

    dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan lingkungannya.

    Dalam menghadapi suasana dan situasi yang selalu berubah

    dalam kehidupan, fungsi-fungsi jiwa akan bekerjasama secara

    harmonis dalam menyiapkan diri untuk menghadapi

    perubahan-perubahan tersebut. Dengan demikian perubahan-

    perubahan itu tidak akan menyebabkan kegelisahan dan

    kegoncangan jiwa pada diri seseorang.25

    Perpaduan yang

    23

    Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko

    Gunung Agung, 2001), h. 5-6. 24

    Ibid., h. 6. 25

    Ibid., h. 6.

     

  • 34

    harmonis antara fungsi-fungsi jiwa dalam menghadapi segala

    permasalahan yang dihadapi dalam hidup akan membawa

    seseorang pada kesehatan mental yang baik.

    Dengan demikian pendapat kesehatan mental menurut

    Zakiah Daradjat adalah terhindarnya seseorang dari gejala-

    gejala gangguan dan penyakit jiwa, dapat menyesuaikan diri,

    dapat memanfaatkan segala potensi dan bakat yang ada dan

    membawa kepada kebahagiaan bersama serta tercapainya

    keharmonisan jiwa dalam hidup. Perlu diingat bahwa

    kesehatan mental itu adalah relatif, dimana keharmonisan

    yang sempurna antara seluruh fungsi-fungsi tubuh itu tidak

    ada, yang dapat diketahui adalah berapa jauh jaraknya

    seseorang dari kesehatan mental yang normal.26

    Berdasarkan beberapa pendapat tentang kesehatan mental

    terutama berdasarkan teori dari Zakiah Daradjat di atas,

    penulis mendefinisikan dalam penelitian ini kesehatan mental

    adalah keserasian yang sungguh-sungguh antara pikiran,

    perasaan, sikap jiwa, pandangan dan keyakinan hidup dalam

    diri individu sehingga dapat merasakan ketenangan hidup dan

    sanggup menghadapi permasalahan yang dihadapinya hingga

    menjadikan ia terhindar dari gejala-gejala gangguan jiwa dan

    dari gejala-gejala penyakit jiwa.

    26

    Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko

    Gunung Agung, 2001), h. 7.

     

  • 35

    Zakiah Daradjat menambahkan ada beberapa ciri orang

    yang mempunyai mental sehat, yaitu:27

    1. Terhindar dari gangguan mental dan penyakit mental.

    2. Mampu menyesuaikan diri.

    3. Sanggup menghadapi masalah-masalah dan

    kegoncangan-kegoncangan biasa.

    4. Adanya keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak ada

    konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna

    dan bahagia.

    5. Dapat menggunakan potensi yang ada pada dirinya

    seoptimal mungkin.28

    Mental yang sehat ditandai dengan adanya integrasi diri

    dan pengontrolan diri, yaitu kontrol terhadap pikiran, angan-

    angan, keinginan-keinginan, dorongan-dorongan, emosi-

    emosi, sentimen dan segenap tingkahlaku. Orang yang

    terganggu mentalnya tidak akan mampu menguasai diri

    sendiri dan tidak memiliki kontrol diri sehingga mereka selalu

    diricuhkan oleh gangguan-gangguan konflik, batin dan

    macam-macam frustasi yang serius.29

    Seseorang yang

    memiliki kontrol terhadap pikiran, emosi, ambisi dan segenap

    tingkahlaku merupakan orang yang mentalnya sehat,

    27

    Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Jiwa, cet ke-8 (Jakarta:

    Gunung Agung, 1996), h. 9. 28

    Ibid., h. 9. 29

    Kartini Kartono, Hygiene Mental, Cet ke-7 (Bandung: Mandar

    Maju, 2000), h. 284.

     

  • 36

    sebaliknya jika seseorang tidak mampu mengontrol segenap

    tingkahlakunya maka kesehatan mentalnya terganggu.

    Orang yang sehat mentalnya tidak akan lekas merasa

    putus asa, pesimis atau apatis karena ia dapat menghadapi

    semua rintangan atau kegagalan dalam hidup dengan tenang

    dan wajar serta menerima kegagalan itu sebagai suatu

    pelajaran yang akan membawa sukses nantinya. Maka,

    kesehatan mental-lah yang menentukan tanggapan seseorang

    terhadap suatu persoalan dan kemampuannya menyesuaikan

    diri. Kesehatan mental pulalah yang menentukan apakah

    orang akan mempunyai kegairahan untuk hidup atau akan

    pasif dan tidak bersemangat.30

    Respon atau tanggapan serta

    sikap seseorang dalam menghadapi segala macam persoalan

    yang dihadapinya ditentukan oleh kondisi kesehatan

    mentalnya.

    Perlu diingat, orang yang memiliki kesehatan mental yang

    baik sekalipun tidak bisa terbebas dari kecemasan dan

    perasaan bersalah. Dia tetap mengalami kecemasan dan

    perasaan bersalah tetapi tidak dikuasai oleh kecemasan dan

    perasaan bersalah itu. orang yang memiliki kesehatan mental

    sanggup menghadapi masalah-masalah biasa dengan penuh

    keyakinan diri dan dapat memecahkan masalah-masalah

    tersebut tanpa adanya gangguan yang hebat pada struktur

    30

    Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko

    Gunung Agung, 2001), h. 9.

     

  • 37

    dirinya.31

    Orang yang mentalnya sehat sekalipun tidak serta-

    merta terbebas dari rasa cemas dan perasaan bersalah, akan

    tetapi rasa cemas dan perasaan bersalah itu tidak menguasai

    dirinya dan mampu ia hadapi dengan tenang dan penuh

    keyakinan.

    Kesehatan mental bukan hanya sekedar mental yang sehat

    berada dalam tubuh yang sehat seperti kata pepatah Yunani

    „mens sana in corpore sano‟, tetapi kesehatan mental juga

    merupakan suatu keadaan yang berhubungan erat dengan

    seluruh eksistensi manusia. Itulah suatu keadaan kepribadian

    yang bercirikan kemampuan seseorang untuk menghadapi

    kenyataan dalam hidup dan untuk berfungsi secara efektif

    dalam suatu masyarakat yang dinamik.32

    Dengan demikian,

    tubuh yang sehat belum dapat dijadikan ukuran mentalnya

    sehat, mental yang sehat dapat terjadi jika seseorang mampu

    merespon dan menghadapi kenyataan dalam hidup dengan

    tenang dan wajar.

    Dalam penelitian ini, pengertian kesehatan mental yang

    penulis jadikan landasan teori adalah pengertian dari Zakiah

    Daradjat dalam buku Kesehatan Mental cetakan ke-23 tahun

    2001 yang menggabungkan empat definisi yang lazim

    digunakan para ahli. Pengertian kesehatan mental tersebut

    yaitu terhindarnya seseorang dari gejala-gejala gangguan dan

    penyakit jiwa, dapat menyesuaikan diri, dapat memanfaatkan

    31

    Yustinus Semiun, Kesehatan Mental, Jilid 1 (Yogyakarta: Kanisius,

    2006), h. 9. 32

    Ibid., h. 52.

     

  • 38

    segala potensi dan bakat yang ada dan membawa kepada

    kebahagiaan serta tercapainya keharmonisan jiwa dalam

    hidup.

    B. Jiwa dan Mental

    1. Jiwa Perspektif Teori Umum

    Jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak

    yang menjadi penggerak dan pengatur bagi sekalian

    perbuatan-perbuatan pribadi (personal behavior) dari

    hewan tingkat tinggi hingga manusia. Perbuatan pribadi

    tersebut adalah perbuatan sebagai hasil proses belajar

    yang dimungkinkan oleh keadaan jasmani, rohaniah dan

    sosial. Menurut Aristoteles, jiwa disebut sebagi anima

    yang terbagi dalam tiga macam jenis yaitu:33

    a. Anima vegetativa, yaitu anima yang terdapat pada

    tumbuh-tumbuhan yang mempunyai kemampuan

    untuk makan, minum dan berkembang biak.

    b. Anima sensitiva, yaitu anima yang terdapat dalam

    hewan. Anima ini memiliki kemampuan seperti

    anima vegetativa juga kemampuan untuk

    berpindah tempat, mempunyai nafsu, dapat

    mengamati, mengingat dan merasakan.

    c. Anima intelektiva, yaitu anima yang terdapat

    dalam diri manusia. Selain memiliki kemampuan

    33

    Edwi Arief Sosiawan, “Psikologi Sosial”, Diakses pada 10

    September 2018 dari www.file.upi.edu.

     

  • 39

    seperti anima sensitiva juga mempunyai

    kemampuan berpikir dan berkemauanan.34

    Lebih lanjut dalam teori Sigmund Freud ada tiga

    elemen pendukung struktur kepribadian manusia, yaitu:35

    a. The Id (Aspek biologis)

    Id adalah sistem kepribadian yang asli dan dibawa

    sejak lahir. Dari Id ini kemudian akan muncul Ego

    dan Superego. Saat dilahirkan, Id berisi semua aspek

    psikologik yang diturunkan seperti insting, impuls

    dan drives. Id berada dalam daerah unconscious dan

    beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure

    principle), yaitu berusaha memperoleh kenikmatan

    dan menghindari rasa sakit. Id tidak mampu menilai

    atau membedakan benar-salah dan tidak tahu moral.

    b. The Ego (Aspek psikologis)

    Ego berkembang dari Id agar orang mampu

    menangani realita sehingga Ego beroperasi

    berdasarkan prinsip realita (reality principle). Ego

    sebagai eksekutif kepribadian berusaha memenuhi

    kebutuhan Id sekaligus juga memenuhi kebutuhan

    moral dan kebutuhan mencapai kesempurnaan dari

    Superego.

    34

    Edwi Arief Sosiawan, “Psikologi Sosial”, Diakses pada 10

    September 2018 dari www.file.upi.edu. 35

    Alwisol, Psikologi Kepribadian (Malang: UMM Press, 2009), h.

    14-16.

     

  • 40

    c. The Superego (Aspek sosiologis)

    The Superego atau Das Ueber Ich adalah aspek

    sosiologis dalam kepribadian yang merupakan wakil

    dari nilai-nilai tradisional dan cita-cita masyarakat

    yang diajarkan dalam bentuk perintah atau larangan.

    The Superego lebih merupakan kesempurnaan

    daripada kesenangan, karena itu Das Ueber Ich dapat

    pula dianggap sebagai aspek moral dalam

    kepribadian. Fungsi pokoknya adalah menentukan

    apakah sesuatu itu benar atau salah, pantas atau tidak,

    susila atau tidak, sehingga dengan demikian pribadi

    dapat bertindak sesuai moral masyarakat.36

    2. Jiwa Perspektif Teori Islam

    Jiwa dalam bahasa Arab disebut al-Nafs, dalam

    bahasa Yunani disebut Psyche yang diterjemahkan dengan

    jiwa atau Soul dalam bahasa Inggris.37

    Menurut Buya

    Hamka, jiwa merupakan jejak atau hasil interaksi antara

    aspek-aspek jiwa, yakni akal, hawa nafsu dan kalbu.

    Konsep jiwa yang ditawarkan Hamka lebih

    menitikberatkan pada perseteruan akal dengan hawa nafsu

    sebagai dua kekuatan utama dalam jiwa manusia,

    sementara kondisi kalbu yang akan menjadi kondisi jiwa

    36

    Alwisol, Psikologi Kepribadian (Malang: UMM Press, 2009), h.

    14-16. 37

    Ema Yudiani, “Dinamika Jiwa dalam Perspektif Psikologi Islam”,

    Jurnal Ilmu Agama, Vol 14 No 1 (Juni-Juli 2013): h. 45.

     

  • 41

    secara keseluruhan sepenuhnya tergantung pada hasil

    perseteruan tersebut.38

    Aspek jiwa menurut Hamka adalah sebagai berikut:

    a. Akal

    Hakikat akal adalah aspek jiwa manusia yang

    berfungsi untuk mengikat hawa nafsunya,

    sebagaimana tali pengikat ternak agar ternak tidak lari

    kemana-mana. Akal manusia akan mengikatnya agar

    ia tidak lepas kendali dengan mudah dan serta merta

    mengikuti hawa nafsunya. Lebih lanjut Hamka

    menyebutkan bahwa akal digerakkan oleh tiga daya

    yang dimiliki jiwa, yaitu pikiran (al-fikr), perasaan

    (al-wijdan) dan kemauan (al-iradah).

    b. Hawa Nafsu

    Hawa nafsu yang dimaksudkan oleh Hamka

    adalah nafsul amarah yang digambarkan dalam Al-

    Qur‟an sebagai kecenderungan manusia yang lebih

    rendah dari pada binatang. Nafsu adalah musuh

    bebuyutan akal dalam jiwa manusia. Lebih lanjut

    beliau menerangkan sifat-sifat nafsu manusia,

    diantaranya bersifat ingin bebas dan egosentris dalam

    semua perkara, bertujuan untuk kesenangan semata,

    38

    Ema Yudiani, “Dinamika Jiwa dalam Perspektif Psikologi Islam”,

    Jurnal Ilmu Agama, Vol 14 No 1 (Juni-Juli 2013): h. 46.

     

  • 42

    tidak pernah menyesal meskipun telah berbuat salah

    dan nafsu selalu dibisikkan oleh setan.

    c. Kalbu

    Hamka tidak terlalu banyak mengupas kalbu atau

    hati, namun secara gamblang beliau menyatakan

    bahwa hati adalah medan pertempuran yang

    diperebutkan oleh akal dan hawa nafsu. Kalbu akan

    mengikuti akal atau nafsu yang nantinya akan

    menguasainya. Jika akal yang menang selamatlah hati

    dan selamatlah seluruh jiwa, jika nafsu yang berkuasa

    maka rusaklah jiwa keseluruhannya.39

    Ahli psikologi Islam Mujib dan Mudzakir lebih

    menekankan keutamaan kalbu dalam konsep struktur jiwa

    yang ditawarkannya. Lebih lanjut, menurutnya jiwa

    manusia berasal dari dua substansi yang saling bertolah

    belakang yaitu substansi jasmani yang diwakili oleh jasad

    dan substansi ruhani yang yang diwakili oleh ruh. Hasil

    penggabungan kedua substansi tersebutlah yang

    menghasilkan jiwa. Serupa dengan pendapat Hamka,

    Mujib dan Mudzakir juga berpendapat bahwa jiwa terdiri

    dari akal, nafsu dan kalbu.40

    3. Mental Perspektif Teori Umum dan Islam

    Kata mental dalam Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan

    adalah kepribadian yang merupakan kebulatan yang

    39

    Ema Yudiani, “Dinamika Jiwa dalam Perspektif Psikologi Islam”,

    Jurnal Ilmu Agama, Vol 14 No 1 (Juni-Juli 2013): h. 46-47. 40

    Ibid., h. 50.

     

  • 43

    dinamik pada diri seseorang yang tercermin dalam cita-

    cita, sikap dan perbuatannya. 41 Menurut istilah mental

    adalah semua unsur-unsur jiwa termasuk pikiran, emosi,

    sikap dan perasaan yang dalam keseluruhan kebulatannya

    akan menentukan corak tingkah laku, cara menghadapi

    suatu hal yang menekan perasaan mengecewakan,

    menggembirakan, menyenangkan dan sebagainya. 42

    Mental adalah seluruh unsur yang ada pada diri individu

    yang tidak berbentuk fisik/ organ terlihat mata namun ada

    dalam setiap diri manusia.

    Secara sederhana mental dapat dipahami sebagai

    sesuatu yang berhubungan dengan batin dan watak atau

    karakter, tidak bersifat jasmani (badan).43

    Mental adalah

    paduan secara menyeluruh antara berbagai fungsi-fungsi

    psikologis dengan kemampuan menghadapi krisis-krisis

    psikologis yang menimpa manusia yang dapat

    berpengaruh terhadap emosi dan dari emosi ini akan

    memperngaruhi pada kondisi mental.44

    Secara definitif memang belum ada kepastian definisi

    yang jelas dari para ahli kejiwaan mengenai pengertian

    mental. Secara etimologi kata mental berasal dari bahasa

    41

    Jalaluddin, Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan (Surabaya: Putra Al-

    Maarif, t.t.), h. 115. 42

    Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental

    (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 35. 43

    Tim Penyusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus

    Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-2 (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 646. 44

    Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental (Jakarta: Pustaka

    Alhusna, 1992), h. 30.

     

  • 44

    Yunani yang mempunyai pengertian sama dengan

    pengertian psyche, artinya psikis, jiwa atau kejiwaan.45

    Ada juga yang mengatakan bahwa mental dari kata lain

    mens atau mentis yang berarti jiwa, nyawa, sukma, roh,

    semangat. 46 James Draver memaknai mental yaitu

    „revering to the mind‟, maksudnya adalah sesuatu yang

    berhubungan dengan pikiran atau pikiran itu sendiri.47

    Sedangkan C.P Chaplin mengatakan bahwa yang

    dimaksud dengan mental yaitu yang berhubungan dengan

    pikiran, akal, ingatan atau proses yang berasosiasi dengan

    pikiran, akal dan ingatan.48

    Lebih lanjut Sigmund Freud memberikan definisi

    bahwa mental yang sehat adalah adanya keseimbangan

    antara dorongan-dorongan dan motif-motif tiap bagian

    jiwa dalam pemuasannya. Begitu juga Arthur Gorden

    melihat bahwa kemampuan mengharmoniskan dorongan-

    dorongan psikis dengan realitas dengan sendirinya akan

    terbentuk kepribadian/ mental yang sehat dan akan

    melahirkan tingkah laku yang sehat pula (normal).49

    45

    Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, Kesehatan Mental: Konsep

    dan Penerapan, Cet ke-6 (Malang: UMM Press, 2011), h. 21. 46

    Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan

    Mental dalam Islam, cet ke-6 (Bandung: Mandar Maju, 1989), h. 3. 47

    James Draver, A Dictionary of psychology (New York: Pengin

    Books, t.t.) h, 169. 48

    C.P Chaplin, Kamus Psikologi. Penerjemah Kartini Kartono

    (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h. 407. 49

    F. Patty, dkk., Pengantar Psikologi Umum (Surabaya: Usaha

    Nasional, 1982), h. 189-190.

     

  • 45

    Mental yang sehat ditandai dengan adanya integrasi

    diri dan pengontrolan diri, yaitu kontrol terhadap pikiran,

    angan-angan, keinginan-keinginan, dorongan-dorongan,

    emosi-emosi, sentimen dan segenap tingkahlaku. Orang

    yang terganggu mentalnya tidak akan mampu menguasai

    diri sendiri dan tidak memiliki kontrol diri sehingga

    mereka selalu diricuhkan oleh gangguan-gangguan

    konflik, batin dan macam-macam frustasi yang serius.50

    Seseorang yang memiliki kontrol terhadap pikiran, emosi,

    ambisi dan segenap tingkahlaku merupakan orang yang

    mentalnya sehat, sebaliknya jika seseorang tidak mampu

    mengontrol segenap tingkahlakunya maka kesehatan

    mentalnya terganggu.

    Orang yang sehat mentalnya tidak akan lekas merasa

    putus asa, pesimis atau apatis karena ia dapat menghadapi

    semua rintangan atau kegagalan dalam hidup dengan

    tenang dan wajar serta menerima kegagalan itu sebagai

    suatu pelajaran yang akan membawa sukses nantinya.

    Maka, kesehatan mental-lah yang menentukan tanggapan

    seseorang terhadap suatu persoalan dan kemampuannya

    menyesuaikan diri. Kesehatan mental pulalah yang

    menentukan apakah orang akan mempunyai kegairahan

    untuk hidup atau akan pasif dan tidak bersemangat.51

    50

    Kartini Kartono, Hygiene Mental, Cet ke-7 (Bandung: Mandar

    Maju, 2000), h. 284. 51

    Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko

    Gunung Agung, 2001), h. 9.

     

  • 46

    Respon atau tanggapan serta sikap seseorang dalam

    menghadapi segala macam persoalan yang dihadapinya

    ditentukan oleh kondisi kesehatan mentalnya.

    C. Program

    1. Pengertian Program

    Menurut bahasa, kata program berasal dari bahasa

    Inggris, programe yang berarti acara atau rencana.

    Sedangkan menurut istilah program adalah rancangan

    mengenai asas-asas serta usaha-usaha yang akan

    dijalankan.52

    Menurut Wirawan, program adalah kegiatan

    atau aktifitas yang dirancang untuk melaksanakan

    kebijakan dan dilaksanakan untuk waktu yang tidak

    terbatas.53

    Dari pengertian ini terdapat makna bahwa

    program adalah rencana/ rancangan kegiatan yang akan

    dilakukan.

    Menurut Suharsimi Arikunto, Program merupakan

    sistem. Sedangkan sistem adalah suatu kesatuan dari

    beberapa bagian atau komponen program yang saling

    kait-mengkait dan bekerjasama satu dengan lainnya untuk

    mencapai tujuan yang sudah ditetapkan dalam sistem.

    Dengan begitu, program terdiri dari komponen-komponen

    yang saling berkaitan dan saling menunjang dalam rangka

    52

    Tim Penyusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus

    Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 702. 53

    Wirawan, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi dan Profesi

    (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 17.

     

  • 47

    mencapai suatu tujuan tertentu.54

    Dalam pengertian ini,

    selain rencana/ rancangan, program juga merupakan

    kumpulan komponen yang saling berkaitan dan saling

    menunjang guna mencapai suatu tujuan.

    Program didefiniskan sebagai suatu unit atau kesatuan

    kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari

    suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang

    berkesinambungan dan terjadi dalam suatu organisasi/

    lembaga yang melibatkan sekelompok orang. Ada tiga

    pengertian penting dan perlu ditekankan dalam

    menentukan program, yaitu:

    a. Realisasi atau implementasi suatu kebijakan.

    b. Terjadi dalam waktu yang relatif lama-bukan

    kegiatan tunggal tetapi jamak berkesinambungan.

    c. Terjadi dalam organisasi/ lembaga yang

    melibatkan sekelompok orang.55

    Konsep teori program mempunyai dua dimensi, yaitu

    dimensi perspektif dan dimensi deskriptif. Dimensi

    perspektif memfokuskan pada apa yang harus dilakukan

    dalam keadaan ideal ketika melaksanakan program,

    sedangkan dimensi deskriptif memfokuskan pada

    penjelasan program, yaitu apa yang sesungguhnya terjadi

    54

    Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi

    Program Pendidikan: Pedoman Teoretis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi

    Pendidikan, Edisi ke-2 (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 9. 55

    Ibid., h. 4.

     

  • 48

    sepanjang program berfungsi termasuk sumber program,

    aktifitas-aktifitas program, pengaruh-pengaruh (outcomes)

    program dan akibat (impact) program.56

    Dengan demikian, sebuah program sangat dibutuhkan

    dalam setiap pelaksanaan kegiatan individu maupun

    kegiatan dari sebuah lembaga. Hal yang perlu diingat

    adalah bahwa kegiatan yang sudah tidak lagi dilaksanakan

    bukan lagi disebut program dan kegiatan yang tidak

    direncanakan namun terjadi juga bukanlah suatu program.

    Hal itu sesuai dengan definisi dari program yang

    merupakan rencana suatu kegiatan yang berarti belum

    atau sedang dilakukan.

    2. Program Kesejahteraan Sosial

    Perhatian pemerintah dan masyarakat secara umum

    terhadap perlunya standar kehidupan yang lebih baik telah

    mendorong terbentuknya berbagai usaha kesejahteraan

    sosial. Usaha kesejahteraan sosial itu sendiri pada

    dasarnya merupakan suatu program ataupun kegiatan

    yang didesain secara kongkrit untuk menjawab masalah,

    kebutuhan masyarakat ataupun meningkatkan taraf hidup

    masyarakat. Usaha kesejahteraan sosial itu dapat

    ditujukan pada individu, keluarga, kelompok-kelompok

    56

    Wirawan, Evalua