Laporan Kasus STEMI Extensive Anterior Wall onset >24jam killip II
Presentasi Kasus STEMI
-
Upload
yohanes-ivan -
Category
Documents
-
view
96 -
download
2
description
Transcript of Presentasi Kasus STEMI
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R Pekerjaan : Pegawai PELNI
Usia : 52 tahun Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-laki Pembiayaan : Umum
Alamat : Sikka Tanggal MRS : 21 April 2015
ANAMNESIS
(Dilakukan secara autoanamnesis kepada pasien)
Keluhan Utama
Nyeri dada sebelah kiri sejak 2 ½ jam sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD TC Hillers dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri sejak 2 ½
jam sebelum masuk rumah sakit (pk 02:00). Nyeri dada dirasakan seperti tertindih benda
berat, menjalar ke bahu kiri, disertai keringat dingin dan rasa mual. Nyeri dada dirasakan
berlangsung terus-menerus, lebih dari 20 menit. Nyeri dada muncul saat pasien sedang tidur,
dan riwayat sakit dada sebelumnya disangkal. Keluhan nyeri dada hebat seperti dirobek
disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat asma (-), penyakit jantung sebelumnya (-), alergi obat (-)
Riwayat Faktor Risiko
Riwayat Diabetes Mellitus (+) sejak 3 tahun yang lalu, Dislipidemia (+), Hipertensi (-),
Stroke (-), penyakit vaskular perifer (-), merokok (-), dan riwayat PCI/CABG (-). Ayah
pasien mengalami serangan jantung pertama kali saat berusia 80 tahun.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6 = 15
Pasien tampak gelisah , tidak tampak sesak, tidak tampak sianosis
Tanda – tanda vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 84x/menit
Suhu : 36,6 C
Frekuensi nafas : 20x/menit
Status Generalis
Mata : Konjungtiva pucat -/- ; Sklera ikterik -/- ; Edema palpebra -/-
Leher : JVP 5-2cmH2O, distensi vena jugular -/-, pembesaran KGB (-)
Thorax
Jantung : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Suara nafas vesikuler +/+, ronkhi -/- ; wheezing -/-
Abdomen : Datar, soepel, nyeri tekan (-), defans muskular (-), hepar-lien tidak teraba
membesar, Bising usus (+) 5x/menit, Shifting dullness (-)
Ekstremitas : Kulit tampak lembab, diaforesis (+), akral hangat (+), Edema ekstremitas (-),
capillary refilling time < 2 detik
Elektrokardiografi
Intepretasi EKG :
EKG I (21 April 2015 pk 04:30)
Sinus ryhthm, laju 81x/menit, normal axis, durasi p-wave 0,10 s, durasi QRS-complex 0,11 s,
Elevasi ST-segment 1 mm di lead II, III, aVF, ST depresi downslope di lead aVL.
Diagnosis
Diagnosis Kerja :
Acute ST-segment Elevation Myocardial Infarct dinding inferior onset 2 ½ jam,
Killip I
Diabetes Mellitus Tipe II
Diagnosis Banding :
NSTEMI
Unstable angina pectoris
Tatalaksana
Hospitalisasi di ICU
Tirah baring dan monitor EKG
IVFD Ringer Laktat 12 tetes/menit
Oksigen 4 L / menit via nasal canule
Aspirin 320 mg (kunyah) Lanjut 1x80 mg per oral
ISDN 5 mg sublingual
Clopidogrel 225 mg (telan) Lanjut 1x75 mg per oral
Captopril 2x6,25 mg per oral
Simvastatin 1x10 mg per oral
Laxadin 2xCI per oral
Diazepam 1x2 mg per oral
Observasi keluhan, tanda vital, dan EKG serial
Rencana pemeriksaan :
o Darah lengkap
o Urin lengkap
o Ureum, kreatinin
o Profil lipid : kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida
o Gula darah sewaktu
o CKMB-Troponin
o Rontgen Thorax PA
DISKUSI KASUS
Sindroma koroner akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama
karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi. Secara
patogenesis, lebih dari 90% SKA disebabkan ruptur (disruption) dari plak aterosklerosis
diikuti oleh agregasi trombosit dan pembentukan trombus intrakoroner. Trombus intrakoroner
ini menyebabkan penyempitan lumen pembuluh darah koroner dalam berbagai derajat dan
mengganggu aliran darah sehingga terjadi ketidakseimbangan antara supply dan demand.
Sumbatan parsial akan menyebabkan unstable angina dan NSTEMI sedangkan sumbatan total
akan bermanifestasi sebagai STEMI.
Proses dari aterosklerosis sampai menyebabkan munculnya thrombus terjadi akibat
komplikasi berupa ruptur plak dan disfungsi endotel. Ruptur plak aterosklerosis dianggap
menjadi pencetus utama trombosis koroner. Penyebab dasar ruptur plak dianggap merupakan
kombinasi dua hal yaitu (1) faktor-faktor kimia yang mengurangi stabilitas plak dan (2)
stresor mekanik terhadap lesi aterosklerosis yang ada.
Plak aterosklerosis terdiri dari inti lemak (lipid-core) dan kapsul fibrosa. Substansi-
substansi pro inflamasi dapat menyebabkan gangguan integritas kapsul fibrosa dan membuat
plak menjadi relatif tidak stabil serta mudah ruptur. Mengikuti ruptur plak, akan terjadi
pembentukan trombus sebagai hemostasis primer. Pajanan tissue factor dari inti plak aterom
akan memcetuskan sistem koagulasi, dan mengaktivasi trombosit. Trombosit yang teraktivasi
akan mengeluarkan isi di dalam granulnya berupa adenosine diphosphate (ADP) dan
fibrinogen dimana akan memfasilitasi proses agregasi trombosit, faktor Va dimana akan
mengaktivasi kaskade pembekuan darah, serta tromboxane dan serotonin dimana merupakan
vasokonstriktor. Hal ini akan menyebabkan pembentukan trombus intrakoroner, perdarahan
intraplak dan penyempitan lumen, dimana kemudian akan terjadi aliran darah turbulen
sehingga meningkatkan shear stress dan aktivasi trombosit terus-menerus.
Normalnya, terdapat mekanisme perlawanan terhadap proses di atas dimana dimediasi
oleh zat-zat yang dihasilkan oleh sel endotelium yang normal. Namun akibat disfungsi
endotel, maka terjadi penurunan jumlah vasodilator lokal (NO dan prostasiklin). Selain itu
juga terjadi penurunan aktivitas antitrombosis dari endotel, berupa penurunan aktivitas
inhibitor trombosis dan koagulasi seperti antitrombin, protein C, protein S, tissue factor
pathway inhibitor (TFPI), dan tissue plasminogen activator (tPA).
Gambar 1. Mekanisme aterosklerosis menjadi trombosis koroner
Formasi trombus intrakoroner akan menyebabkan beberapa potensial kelainan. Ruptur
plak yang superfisial akan menimbulkan trombus yang bersifat non-oklusif. Trombus
tersebut akan berinkorporasi dengan plak aterosklerosis atau mengalami lisis. Pada kasus ini
kelainan yang terjadi bersifat asimptomatik. Namun ruptur plak asimptomatik yang rekuren
ini akan menyebabkan pembesaran stenosis koroner yang progresif. (2)
Semakin dalam ruptur plak, semakin besar exposure trombosit terhadp kolagen
subendotelial dan tissue factor. Terbentuklah trombus yang signifikan menyebabkan iskemia
dan berkembang menjadi SKA. Bila sumbatan trombus bersifat sebagian (parsial) maka yang
akan terjadi adalah UAP atau NSTEMI. Kedua kelainan ini dibedakan dari derajad iskemia
yang terjadi, apakah sudah cukup berat untuk sampat terjadi nekrosis dimana dapat dilihat
dari peingkatan biomarker. Apabila sumbatan yang terjadi bersifat total, maka akan terjadi
STEMI.
Gambar 2. Konsekuensi trombosis koroner (2)
Gambar 3. Patogenesis sindroma koroner akut
Infark miokard terjadi apabila iskemia cukup berat sampai nekrosis terjadi. Secara
patologi, infark dapat dibedakan berdasarkan luas nekrosis yang terjadi pada dinding
miokard. Infark subendokardial merupakan infark yang terjadi pada bagian terdalam dari
miokardium. Subendokardium merupakan daerah paling rawan terhadap iskemia dan infark
karena daerah ini merupakan zona yang mendapatkan tekanan paling tinggi dari ruang
ventrikel, sedikit memiliki pembuluh darah kolateral, dan merupakan zona terjauh dari
pembuluh darah koroner epikardial. Infark transmural melibatkan seluruh ketebalan lapisan
dinding miokardium, akibat okulsi berkepanjangan.
Gambar 4. Zona infark pada dinding jantung1
Perubahan yang terjadi pada infark dibagi menjadi perubahan awal dan perubahan
lanjutan. Perubahan awal (early changes) meliputi perubahan histologik seluler dan
fungsional akibat gangguan oksigenasi. Perubahan ini terjadi dalam 2-4 hari. Sejalan dengan
penurunan suplai oksigen akibat pembuluh darah koroner yang tersumbat, terjadi perubahan
cepat metabolisme dari aerob menjadi anaerob. Terjadi akumulasi asam lakatat akibat proses
anaerob sehingga terjadi penurunan pH. Lebih lanjut terjadi kekurangan adenosine
triphospate (ATP), dimana mengganggu aktivitas Na-K-ATPase transmembran dan
menyebabkan peningkatan konsentrasi natrium intrasel dan kalium ekstrasel. Peningkatan
natrium intrasel menyebabkan edema seluler. Kebocoran membran dan peningkatan kalium
ekstrasel menyebabkan gangguan pada potensial listrik transmembran, dan dapat
mencetuskan terjadinya aritmia. Perubahan metabolisme ini terjadi dalam 2 menit pertama
terbentuknya sumbatan trombosis. Tanpa intervensi, kerusakan sel yang ireversibel sudah
terjadi dalam 20 menit pertama.2
Gambar 5. Efek dari hipoksia seluler sel-sel otot jantung 2
Edema berkembang terus-menerus dalam 4-12 jam berikutnya akibat peningkatan
permeabilitas vaskular dan peningkatan tekanan onkotik interstisial. Perubahan histologis
ireversibel paling awal yang terjadi adalah munculnya wavy myofibers, dimana terlihat
sebagai edema memisahkan sel-sel miokardium. Respon inflamasi akut melalui infiltrasi
neutrofil akan dimulai setelah 4 jam. Dalam 18-24 jam sudah terjadi nekrosis koagulasi.
Perubahan lanjut yang terjadi meliputi pembersihan (clearing) miokardium yang
nekrosis dan deposisi jaringan kolagen yang membentuk scar tissue. Sel-sel otot jantung
yang mengalami kerusakan ireversibel tidak beregenerasi, namun akan digantikan akan
jaringan fibrosa. Makrofag akan menginfiltrasi beberapa saat setelah infiltrasi neutrofil dan
membuang jaringan nekrosis. Pada periode ini, resorpsi jaringan yang terjadi disebut sebagai
yellow softening, akan diikuti oleh penipisan dan dilatasi daerah yang mengalami nekrosis,
menyebabkan kelemahan struktural dari dinding ventrikel. Fibrosis dan pembentukan
jaringan parut akan selesai dalam 7 minggu setelah proses infark.
Gambar 6. Perubahan histologi infark miokardium1
Nyeri dada akut merupakan salah satu gejala yang paling sering datang di Instalasi
Gawat Darurat (IGD). Namun dari seluruh pasien dengan presentasi sugestif sindroma
koroner akut (SKA), setelah dievaluasi diagnostik, hanya 15-25% pasien dengan presentasi
nyeri dada akut yang mengalami SKA.1
Dalam menghadapi pasien dengan keluhan nyeri dada, maka perlu dipikirkan
kelainan-kelainan yang dapat menimbulkan keluhan tersebut (Kelas I-C). Anamnesis yang
cermat dan tepat tentang karakteristik nyeri dada merupakan langkah awal dalam menentukan
penyebab dan rencana tatalaksana kelainan. Adapun nyeri dada dapat disebabkan oleh
kelainan-kelainan sebagai berikut.
Tabel 1. Diagnosis Banding Keluhan Nyeri Dada1
SYSTEM SYNDROME CLINICAL DESCRIPTION KEY DISTINGUISHING
FEATURES
Cardiac Angina Retrosternal chest pressure,
burning, or heaviness; radiating
occasionally to neck, jaw,
epigastrium, shoulders, left arm
Precipitated by exercise, cold
weather, or emotional stress;
duration 2-10 min
Rest or unstable angina Same as angina, but may be more
severe
Typically <20 min; lower tolerance
for exertion; crescendo pattern
Acute myocardial
infarction
Same as angina, but may be more
severe
Sudden onset, usually lasting
≥30 min; often associated with
shortness of breath, weakness,
nausea, vomiting
Pericarditis Sharp, pleuritic pain aggravated
by changes in position; highly
variable duration
Pericardial friction rub
Vascular Aortic dissection Excruciating, ripping pain of
sudden onset in anterior of chest,
often radiating to back
Marked severity of unrelenting pain;
usually occurs in setting of
hypertension or underlying
connective tissue disorder such as
Marfan syndrome
Pulmonary embolism Sudden onset of dyspnea and
pain, usually pleuritic with
pulmonary infarction
Dyspnea, tachypnea, tachycardia,
signs of right heart failure
Pulmonary
hypertension
Substernal chest pressure,
exacerbated by exertion
Pain associated with dyspnea and
signs of pulmonary hypertension
Pulmonary Pleuritis and/or
pneumonia
Pleuritic pain, usually brief, over
involved area
Pain pleuritic and lateral to midline,
associated with dyspnea
Tracheobronchitis Burning discomfort in midline Midline location, associated with
coughing
Spontaneous
pneumothorax
Sudden onset of unilateral
pleuritic pain, with dyspnea
Abrupt onset of dyspnea and pain
SYSTEM SYNDROME CLINICAL DESCRIPTION KEY DISTINGUISHING
FEATURES
Gastrointestina
l
Esophageal reflux Burning substernal and epigastric
discomfort, 10-60 min in duration
Aggravated by large meal and
postprandial recumbency; relieved
by antacid
Peptic ulcer Prolonged epigastric or
substernal burning
Relieved by antacid or food
Gallbladder disease Prolonged epigastric or right
upper quadrant pain
Unprovoked or following meal
Pancreatitis Prolonged, intense epigastric and
substernal pain
Risk factors including alcohol,
hypertriglyceridemia, medications
Musculoskeleta
l
Costochondritis Sudden onset of intense fleeting
pain
May be reproduced by pressure over
affected joint; occasionally, swelling
and inflammation over
costochondral joint
Cervical disc disease Sudden onset of fleeting pain May be reproduced with movement
of neck
Trauma or strain Constant pain Reproduced by palpation or
movement of chest wall or arms
Infectious Herpes zoster Prolonged burning pain in
dermatomal distribution
Vesicular rash, dermatomal
distribution
Psychological Panic disorder Chest tightness or aching, often
accompanied by dyspnea and
lasting 30 minutes or more,
unrelated to exertion or
movement
Patient may have other evidence of
emotional disorder
Pada pasien terdapat gejala nyeri dada kiri dengan onset mendadak, dengan
karakteristik sakit dada seperti tertindih, menjalar ke bahu kiri, nyeri berlangsung lebih dari
20 menit, dan disertai gejala lain seperti berkeringat dan mual. Nyeri dada tidak dicetuskan
oleh aktivitas fisik, emosi, tidak bersifat sangat hebat seperti dirobek, dan tidak bertambah
berat apabila pasien batuk. Dari karakteristik gejala, infark miokard akut dapat dipikirkan
menjadi penyebab timbulnya keluhan nyeri dada pada pasien.
Nyeri dada yang dialami oleh pasien yang mengalami infark miokard akut
menggambarkan suatu gejala klasik angina pectoris, namun dengan kualitas yang lebih berat,
lebih lama, dan menjalar lebih luas. Sensasi yang timbul merupakan hasil pelepasan
mediator-mediator seperti adenosine dan laktat dari sel-sel miokard yang mengalami iskemia.
Mediator-mediator ini kemudian akan merangsang ujung-ujung saraf sensoris di daerah
tersebut. Karena iskemia yang terjadi pada infark miokard akut terjadi terus-menerus dan
berlanjut menjadi nekrosis, substansi-substansi tersebut berakumulasi dan mengaktivasi
saraf-saraf aferen dalam waktu yang lebih lama. Penjalaran sering terjadi sepanjang regio
dermatom C7 – T4, termasuk leher, bahu, dan lengan. (2) Sensasi nyeri dapat menjalar
sampai setinggi oksipital namun tidak pernah sampai melewati umbilikus.3
Walaupun sensasi gejala yang dirasakan sering terasa berat, namun tidak selalu.
Faktanya 25% pasien yang mengalami miokard infark tidak mengalami gejala (asimptomatik)
selama fase akut. Hal ini terutama dijumpai pada pasien-pasien dengan diabetes mellitus yang
tidak dapat merasakan sensasi nyeri secara adekuat akibat neuropati perifer. Presentasi angina
atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, gangguan
pencernaan (indigestion), sesak nafas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah
mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia
muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (lebih dari 75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal
ginjal menahun, dan demensia.4
Pada pasien ini selain sakit dada, juga terdapat gejala lain seperti keringat dingin dan
mual. Keringat dingin dan mual termasuk gejala-gejala sistemik otonom yang disebabkan
oleh peningkatan respons saraf simpatis. Peningkatan tonus saraf simpatis terjadi melalui
pelepasan katekolamin endogen sebagai respon terhadap kombinasi ketidaknyamanan yang
terus menerus (intense discomfort) dan rangsangan terhadap baroreseptor.
Onset timbulnya gejala pada pasien ini bersifat tiba-tiba dan diakui terjadi pada pk
02.00 atau waktu subuh. Waktu subuh (early morning hours) memiliki kaitan dengan
kejadian infark miokard. Diketahui bahwa pada waktu tersebut, secara fisiologis, di dalam
tubuh manusia terjadi peningkatan tekanan darah, viskositas, dan kadar epinefrin plasma.
Hal-hal tersebut merupakan stresor terhadap plak aterosklerosis dan dapat menyebabkan
ruptur plak.2
Faktor-faktor risiko perlu dicari apabila menghadapi kasus keluhan nyeri dada.
Karena dengan ditemukannya faktor-faktor risiko tersebut, maka diagnosis SKA menjadi
lebih kuat. Adapun faktor-faktor risiko tersebut adalah sebagai berikut.
Jenis kelamin laki-laki, usia lanjut
Memiliki riwayat penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer)
Mempunyai riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya, riwayat menjalani
tindakan PCI atau CABG
Riwayat hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam
keluarga.
Hipertensi dapat mengakselerasi proses pembentukan aterosklerosis melalui beberapa
jalan. Peningkatan tekanan darah dapat menyebabkan kerusakan endotel dan meningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah terhadap lipoprotein. Merokok (tobacco smoking)
dapat meningkatkan proses oksidasi LDL, mengurangi kadar HDL, dan merusak endotel
melalui stres oksidatif, peningkatan kecenderungan adhesi dari trombosit, dan stimulasi
berlebihan saraf simpatis oleh nikotin.2
Dislipidemia, khususnya peningkatan kadar LDL berkorelasi dengan peningkatan
kejadian aterosklerosis. Jika kadar dalam tubuh berlebihan, LDL dapat berakumulasi pada
ruang subendotelial dan kemudian merusak tunika intima pembuluh darah. Diabetes mellitus
juga merupakan faktor risiko terjadinya aterosklerosis, berhubungan dengan kerusakan fungsi
endotel.2
Hasil pemeriksaan fisik pada SKA biasanya bervariasi sesuai lokasi dan luas infark
yang terjadi. Pasien yang mengalami STEMI sering datang dalam keadaan cemas, banyak
bergerak mencari posisi dimana dapat mengurangi sensasi ketidaknyamanan yang ada.
Frekuensi denyut jantung dapat bervariasi dari bradikardi sampai takikardi yang
reguler maupun ireguler, bergantung dari ritme dasar dan derajad kegagalan ventrikel kiri.
Sebagian besar pasien-pasien dengan STEMI tanpa komplikasi datang dalam keadaan
normotensif, walaupun penurunan stroke volume diikuti dengan takikardi dapat menyebabkan
penurunan tekanan sistolik dan tekanan nadi, serta peningkatan tekanan darah diastolik. Pada
pasien-pasien yang awalnya memiliki tekanan darah normal, peningkatan tekanan darah
dapat terlihat pada jam-jam pertama awitan. Peningkatan tekanan darah ini dapat dianggap
sebagai pengaruh peningkatan aktivitas adrenergik sebagai respon sekunder terhadap nyeri,
kecemasan, dan agitasi. Pasien-pasien yang awalnya memiliki tekanan darah tinggi sering
menjadi normotensif tanpa pengobatan setelah STEMI, walaupun banyak pada kelompok ini
terjadi peningkatan tekanan darah kembali setelah 3-6 bulan pasca infark. Harus diperhatikan
apakah pada pasien terjadi syok kardiogenik sebagai komplikasi dari STEMI. Syok
kardiogenik didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik dibawah 90 mmHg dan terdapat
bukti terjadi end-organ hypoperfusion. Pasien-pasien dengan infark inferior sering
mengalami penurunan tekanan darah sistolik di bawah 90 mmHg yang bersifat transien. Hal
ini disebabkan terjadinya aktivasi refleks Bezold –Jarisch. Hipotensi ini akan kembali normal
secara spontan, atau dipercepat dengan pemberian atropine IV (0,5-1 mg), dan memposisikan
pasien dalam posisi Trendelenburg. Kadang-kadang, lebih dari setengah pasien dengan
STEMI inferior terjadi stimulasi parasimpatis yang berlebihan, berupa hipotensi dan
bradikardi. Sebaliknya setengah pasien dengan STEMI anterior terlihat peningkatan stimulasi
simpatis meliputi hipertensi dan takikardi.
Pada kebanyakan pasien dengan STEMI yang luas dapat terjadi demam. Demam yang
terjadi merupakan respon non-spesifik terhadap nekrosis jaringan, dalam 24-48 jam sejak
awitan infark. Terjadi pelepasan sitokin seperti interleukin 1(IL-1), dan tumor necrosis factor
(TNF) dari makrofag dan endotel vaskular seagai respon terhadap kerusakan jaringan. Suhu
tubuh mulai meningkat dalam 4-8 jam setelah onset infark, dimana suhu rektal dapat
mencapai 38,3-38,9 C. Suhu tubuh biasa kembali normal pada hari keempat atau kelima
setelah awitan infark.2
Frekuensi nafas dapat meningkat sedikit segera mengikuti perkembangan STEMI.
Pada pasien yang datang tanpa gagal jantung, hal ini disebabkan oleh kegelisahan dan sensasi
nyeri yang ada. Pada pasien dengan gagal jantung kiri, frekuensi nafas berkorelasi dengan
derajad berat dari gagal jantung yang terjadi. Pasien dengan edema paru dapat datang dengan
frekuensi napas lebih dari 40 kali/menit.
Pada pemeriksaan dada, ronkhi basah biasanya dapat terdengar pada pasien STEMI
yang mengalami gagal jantung kiri. Dapat pula disertai dengan wheezing. Dari luas ronkhi ini
dapat ditentukan klasifikasi prognostik melalui klasifikasi kelas Killip sebagai berikut.
Tabel 2. Klasifikasi Killip5
Kelas Killip Karakteristik Klinis Mortalitas 30 hari (%)
I Tidak ada tanda kongesti 5,1
II Ronkhi basah kasar, distensi vena
jugularis, atau S3
13,6
III Edema paru 32,2
IV Syok kardiogenik 57,8
Bunyi jantung 4 (S4), merupakan tanda adanya kontraksi atrium sebagai respon
penurunan komplians ventrikel kiri. Bunyi jantung 3 (S3) merupakan tanda adanya volume
overload dimana terjadi pada penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri. Bising jantung
(murmur) dapat terdengar apabila iskemia dan infark yang terjadi sampai menyebabkan
disfungsi muskulus papilaris sehingga terjadi insufisiensi katup mitral, atau apabila infark
sampai menyebabkan komplikasi ruptur septum interventrikular sehingga terjadi defek
septum ventrikel.
Pada pemeriksaan abdomen, apabila terjadi gagal jantung kanan, dapat ditemukan
tanda-tanda seperti hepatomegali dan refluks abdominojugular. Namun tanda-tanda ini jarang
ditemukan pada pasien dengan infark ventrikel kiri akut.
Pada pasien ini pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan keadaan umum pasien yang
tampak gelisah. Tanda-tanda vital pada pasien dalam batas normal, dan tidak didapatkan
tanda-tanda gagal jantung akut pada pasien berupa penampakan sesak, sianosis, ataupun
ronkhi pada auskultasi paru. Namun pada pasien terdapat tanda peningkatan stimulasi otonom
berupa kulit teraba lembab dan berkeringat. Namun tanda-tanda hipoperfusi end-organ,
berupa akral dingin dan capillary refilling time yang melambat.
Kelainan pada pemeriksaan elektrokardiografi menggambarkan aktivitas listrik
abnormal yang terjadi akibat SKA. Pada unstable angina pectoris (UAP) dan NSTEMI,
depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T merupakan gambaran paling sering.
Abnormalisasi gelombang ini dapat bersifat transien, yaitu saat berlangsungnya episode nyeri
dada pada UAP, atau menetap pada NSTEMI.
Gambar 7 . Abnormalitas EKG pada UAP dan NSTEMI
Kelainan SKA-STEMI sendiri memiliki abnormalitas EKG yang berbeda, berupa
elevasi segmen ST, diikuti oleh timbulnya inversi gelombang T dan gelombang Q beberapa
jam setelah onset.
Gambar 8 . Evolusi EKG pada STEMI
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J-point dan ditemukan pada 2 lead yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan
perempuan pada sebagian besar lead adalah 0,1mV. Pada lead V1-V3 nilai ambang untuk
diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen
ST di lead V1-V3 untuk pria usia ≥40 tahun adalah ≥ 0,2 mV, pada pria usia kurang dari 40
tahun adalah ≥0,25mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead
V1-V3 tanpa memandang usia adalah ≥0,15mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi
segmen ST di sandapan V3R dan V4R adalah ≥0,05mV, kecuali pria usia kurang dari 30
tahun, nilai ambang ≥0,1mV dianggap lebih tepat.4
Depresi segmen ST yang resiprokal, sandapan yang berhadapan dengan permukaan
tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di
mid-anterior (V3-V6).
Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB
(komplet) baru / persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi.
Oleh karena itu, pasien dengan EKG yang diagnostik STEMI dapat segera mendapat terapi
reperfusi sebelum hasil pemeriksaan cardiac marker tersedia.4
Tabel 3. Lokasi infark berdasarkan sandapan EKG
Lokasi iskemi /
infark
Sandapan dengan deviasi
segmen ST
Pembuluh koroner yang
berkaitan
Inferior II, III, aVF RCA
Anterior V1-V4 LAD
Lateral V5-V6, I, aVL CFX
Posterior V7-V9 RCA
Ventrikel kanan V3R, V4R RCA
Pada pasien dengan gambaran EKG LBBB (left bundle branch block), diagnosis
infark berdasarkan EKG sulit. Baseline dari segmen ST dan gelombang T cenderung bergeser
ke arah diskordan (appropriate discordance). Namun EKG serial dapat menunjukan
perubahan dinamik dari segmen ST.
Gambar 9. Diskordansi segmen ST dan gelombang T pada LBBB
Terdapat sebuah kriteria untuk membantu mendiagnosis kejadian infark pada pasien
dengan gambaran EKG LBBB yakni kriteria Sgarbossa, yaitu sebagai berikut.7
Elevasi segmen ST > 1 mm yang bersifat konkordan pada sandapan-sandapan dengan
kompleks QRS yang positif (skor 5)
Depresi segmen ST > 1 mm yang bersifat konkordan pada sandapan V1-V3 (skor 3)
Elevasi segmen ST > 5 mm yang bersifat diskordan dan berlebihan (excessively) pada
sandapan-sandapan dengan kompleks QRS yang negatif (skor 2).
Total skor ≥ 3 memiliki spesifitas 90% untuk mendiagnosis infark miokard.
Gambar 10. Kriteria Sgarbossa
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah pada
iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sandapan sesegera mungkin (10 menit)
sesampainya di ruang gawat darurat (Kelas I; LOE B)(6). Sebagai tambahan, sandapan V3R
dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah pada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sandapan V7-V9 juga harus direkam
pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal non-diagnostik. Sedapat mungkin
EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat dan sebaiknya
diulang setiap keluhan angina timbul kembali.
Pada pasien dilakukan perekaman EKG 12 sandapan pertama kali pada pk 04:30,
segera setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik singkat, dan sambil menunggu keluarga
pasien membeli obat-obatan inisial. Adapun hasil pemeriksaan EKG pada pasien sebagai
berikut.
Intepretasi gambaran EKG pertama pada pasien adalah Sinus ryhthm, laju 81x/menit,
normal axis, durasi p-wave 0,10 s, durasi QRS-complex 0,11 s, Elevasi ST-segment 1 mm di
lead II, III, aVF, ST depresi downslope di lead aVL. Didapatkan elevasi segmen ST setinggi
1 mm di sandapan inferior. Gambaran EKG ini sudah memenuhi kriteria gambaran elevasi
segmen ST pada kasus STEMI.
Gambar 11. EKG serial pertama dari pasien
Selain itu juga didapatkan gambaran depresi segmen ST downslope di sandapan aVL
dimana memiliki nilai diagnostik STEMI dinding inferior karena dapat diduga sebagai
gambaran resiprokal (mirror image) dari sandapan inferior. Namun tetap diperlukan EKG
serial untuk menilai evolusi segmen ST dimana terdapat pada kasus STEMI.
Berdasarkan gejala dan tanda pada pasien ini dimana terdapat angina tipikal dan
gambaran EKG diagnostik, walau hasil cardiac marker belum tersedia, pasien dapat
ditetapkan sebagai definitif SKA, atau secara lebih khusus STEACS (ST-segment elevation
acute coronary syndrome). Berdasarkan hal ini maka perlu diberikan terapi awal (initial
management). Menurut ACLS AHA 2010, dijelaskan bahwa pemberian terapi awal berupa
morfin, oksigen, nitrat, aspirin (MONA) dikerjakan secara simultan bersamaan dengan proses
penentuan diagnosis pada pasien dengan keluhan sugestif iskemia atau infark jantung.8
Gambar 12. Penentuan diagnosis dan tatalaksana awal pada SKA (8)
Berdasarkan pedoman tatalaksana sindrom koroner akut menurut PERKI yang
dimaksud terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja
kemungkinan SKA atau definitif SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat,
sebelum ada pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung (cardiac marker).
Patut diketahui bahwa terapi awal merupakan tatalaksana yang sangat penting pada
pasien-pasien dengan SKA. Dokter umum sebagai penyedia pelayanan primer memiliki peran
yang sangat besar dalam membantu penanganan SKA. Hal ini disebabkan mereka sering
menjadi tenaga medis pertama (first medical contact) yang menghadapi pasien dengan SKA.
Sebelum sampai di fasilitas kesehatan yang mampu melakukan tatalaksana lanjut, pasien
dengan dugaan SKA harus diberikan terapi awal, karena telah terbukti bahwa terapi ini dapat
menurunkan angka mortalitas SKA sampai dengan di atas 50%.9
Adapun terapi awal yang diberikan pada pasien ini adalah sebagai berikut.
Tirah baring
Tirah baring dilakukan disertai monitor EKG secara kontinyu untuk mendeteksi
kejadian iskemia dan aritmia pada pasien-pasien dengan gejala nyeri dada yang masih
berlangsung. (Kelas I-C)10
Oksigen 4 L/menit via nasal kanul.
Suplementasi oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi oksigen
arteri < 95% atau yang mengalami distres respirasi. (Kelas I-C) Pada pasien ini tidak
ada keluhan sesak nafas, tidak tampak tanda distres pernafasan, dan tidak diketahui
kadar saturasi oksigen arteri, namun oksigen tetap diberikan atas dasar bahwa
suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama,
tanpa mempertimbangkan saturasi oksigen arteri. (Kelas IIa-C)
Aspirin 320 mg, dikunyah
Pemberian aspirin segera sudah diketahui menurunkan mortality rate melalui
beberapa clinical trial. Oleh karena itu, kecuali pasien diketahui memiliki alergi
terhadap aspirin atau perdarahan gastrointestinal aktif, aspirin nonenterik harus
diberikan sesegera mungkin kepada semua pasien yang dicurigai mengalami SKA.
(Kelas I-A)8. Dosis yang diberikan adalah 160 (Kelas I-B) sampai 325 mg ( Kelas I-
C ) dan dikunyah untuk mempercepat penyerapan.
Aspirin merupakan antiplatelet dan termasuk dalam terapi antitrombotik, dimana
tujuan pemberiannya adalah untuk mencegah perkembangan sumbatan intrakoroner.
Aspirin secara ireversibel menghambat enzim siklooksigenase (COX-2 inhibitor).
Enzim ini diperlukan untuk proses konversi asam arakhidonat dari trombosit menjadi
tromboksan A2. Tromboksan A2 merupakan agen yang berperan dalam proses
agregrasi dan vasokonstriksi.
Normalnya, endotel pembuluh darah akan memproduksi prostasiklin sebagai respon
terhadap agregrasi trombosit, dimana merupakan inhibitor yang kuat dan vasodilator
yang poten. Namun pada disfungsi endotel, produksi prostasiklin menurun.11
Obat-obatan anti inflamasi non-steroid (OAINS) lainnya merupakan kontraindikasi
pada pasien-pasien dengan SKA, karena dapat meningkatkan risiko mortalitas,
kejadian re-infark, hipertensi, gagal jantung, dan ruptur miokardium. (Kelas III-C)8
Isosorbid dinitrate (ISDN) 5 mg sublingual
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi
oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah
koroner baik yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis.
Nitrat menyebabkan relaksasi pada otot polos pembuluh darah melalui konversi
menjadi nitric oxide pada membran plasma otot polos pembuluh darah. Senyawa ini
kemudian akan mengaktivasi guanilat siklase untuk memproduksi cyclic guanosine
monophosphate (cGMP), dan akumulasi cGMP di intrasel akan menyebabkan
relaksasi otot polos.2
Gambar 13 . Mekanisme kerja nitrat
Pasien-pasien dengan keluhan nyeri dada iskemik harus mendapat nitrat sublingual
sampi maksimal 3 kali pemberian, dengan interval 3-5 menit, sampai gejala nyeri
berkurang atau tekanan darah mencapai batas rendah nya. (Kelas I-B). Adapun
kontraindikasi penggunaan nitrat adalah pada pasien-pasien dengan hipotensi (tekanan
darah sistolik ≤ 90 mmHg, bradikardia ≤ 50 mmHg, takikardia tanpa disertai gagal
jantung, dan infark ventrikel kanan. (Kelas III-C) Perhatian khusus untuk pasien
dengan STEMI dinding inferior, perlu dilakukan pemeriksaan EKG untuk menilai
jantung kanan agar infark ventrikel kanan dapat dievaluasi. Pada kasus infark
ventrikel kanan, diperluan preload ventrikel kanan yang adekuat. Nitrat juga tidak
boleh diberikan pada pasien yang baru mengkonsumsi obat-obatan yang mengandung
inhibitor fosfodiesterase yaitu sidenafil dalam 24 jam, dam tadafil dalam 48 jam.
(Kelas III-C)4
Tabel 4. Jenis dan dosis nitrat untuk terapi SKA4
Nitrat Dosis
Isosorbid dinitrate (ISDN) Sublingual 2,5-15 mg, oral 15-80 mg/hari
dibagi dalam 2-3 dosis, intravena 1,25-5
mg/jam
Isosorbid mononitrate Oral 2x20 mg/hari
Oral (slow release) 120-240 mg/hari
Nitroglicerin Sublingual tablet 0,3-0,6 mg
Intravena 5-200 mcg/menit
Berkurangnya keluhan nyeri dada pasca pemberian nitrat tidak sensitif dan spesifik
terhadap diagnosis SKA, dimana keluhan akibat kelainan gastrointestinal dan
penyebab kardiak lain selain SKA juga dapat berkurang setelah pemberian nitrat.8
Pada pasien yang tidak responsif dengan pemberian nitrat, dapat diberikan analgesia
berupa morfin intravena. Morfin adalah analgesia pilihan untuk pasien-pasien dengan
STEMI. (Kelas I-C).8 Morfin sulfat 1-5 mg intravena dapat diulang setiap 10-30
menit, bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis nitrat sublingual.
(Kelas IIa-B)4
Selain pemberian terapi awal (initial management) pada pasien kasus ini juga diberikan terapi
lain sebagai berikut.
Clopidogrel 300 mg (telan) Lanjut 1x75 mg per oral
Clopidogrel adalah derivat thienopyridine, dimana menghambat aktivasi reseptor
P2Y12ADP pada trombosit. Clopidogrel direkomendasikan sebagai antiplatelet
pengganti pada pasien-pasien yang alergi aspirin. Kombinasi aspirin dan clopidogrel
lebih superior dibandingkan aspirin sendiri dalam mengurangi mortalitas
kardiovaskular, kejadian penyakit jantung rekuren, dan stroke pada pasien UAP atau
NSTEMI. Oleh karena itu, clopidogrel direkomendasikan terlebih untuk pasien-pasien
dengan UAP atau NSTEMI, keculai yang berencana untuk dilakukan tindakan
pembendahan karena efek peningkatan risiko perdarahannya.4
Pada studi clinical trial Clopidogrel versus Aspirin in Patients at Risk for Ischaemic
Events (CAPRIE), clopidogrel secara marjinal lebih baik daripada aspirin (p=0,045).
Clopidogrel berkaitan dengan insidensi perdarahan saluran cerna sebesar 2%, dengan
2,7% pada aspirin. Insidensi perdarahan intrakranial 0,4% dibandingkan 0,5% pada
aspirin.11
Gambar 14. Perbandingan penggunaan aspirin dan clopidogrel13
Pada pasien STEMI yang akan mendapatkan terapi fibrinolitik diberikan aspirin (162-
325 mg loading dose) dan clopidogrel (300 mg loading dose) (Kelas I-A). Aspirin
kemudian diteruskan dalam waktu yang tidak terbatas.(Kelas I-A) Clopidogrel (75
mg/hari) dianjurkan diteruskan selama setidaknya 14 hari (Kelas I-A) dan sampai 1
tahun (Kelas I-C).12
Gambar 15 . Clinical trial terhadap terapi dual antiplatelet pada STEMI14
Captopril 2x6,25 mg per oral
ACE inhibitor berguna dalam mengurangi remodelling dan menurunkan angka
kematian penderita pasca infark miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik
jatung, dengan atau tanpa gagal jantung. Penggunaannya terbatas pada pasien dengan
karakteristik tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang
telah terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek
antiaterogenik.4
ACE inhibitor diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI (kecuali ada
kontraindikasi) pada pasien dengan ejeksi ventrikel kiri ≤ 40% dan pasien dengan
diabetes mellitus, hipertensi atau penyakit ginjal kronik (Kelas I-A) Sebagai alternatif
dari ACE inhibitor ARB dapat digunakan (KelasI-B)4
Tabel 5. Jenis dan dosis ACE inhibitor untuk IMA4
ACE Inhibitor Dosis
Captopril 2-3 x 6,25-50 mg
Ramipril 2,5 – 10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
Lisinopril 2,5 – 20 mg/hari dalam 1 dosis
Simvastatin 1x10 mg per oral
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi
diet, inhibitor HMG-CoA reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita
SKA, termasuk mereka yang telah menjalani terapi revaskulariasi, jika tidak terdapat
kontraindikasi. (Kelas I-A) Terapi statin hendaknya dimulai sebelum pasien keluar
rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100mg/dL
(Kelas I-A).
Bisacodyl Syr 2x CI per oral
Pemberian pencahar dimaksudkan untuk mengurangi demand pasien selama hari
perawatan dalam proses ekskresi.
Setelah diberikan penanganan awal, dalam menghadapi kasus dugaan STEMI perlu
dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan untuk menentukan langkah penanganan
berikutnya. Adapun pada pasien dilakukan perencanaan pemeriksaan lanjutan sebagai
berikut.
Pemeriksaan marka jantung (cardiac marker)
Pada pasien ini direncanakan pemeriksaan marka jantung berupa CKMB dan
troponin. Pemeriksaan dilakukan oleh laboratorium klinik di luar rumah sakit dimana
memiliki fasilitas untuk melakukan pemeriksaan enzim jantung tersebut.
Pemeriksaan enzim jantung sebagai penanda kasus infark miokardium didasari teori
bahwa jaringan miokardium yang mengalami nekrosis menyebabkan rusaknya
struktur sarkolema. Hal ini menyebabkan makromolekul di dalamnya mengalami
kebocoran dan terdapat di aliran darah.
Gambar 16 . Nekrosis miokardium menyebabkan pengeluaran marka jantung1
Kreatin kinase (CKMB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit jatugn
yang menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin sebagai marka
nekrosis jantung memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dari CKMB.
Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak
dapat dipakai untuk menentukan penyebab kejadian nekrosis tersebut
(koroner/nonkoroner). Troponin juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak-
nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis, dan perikarditis. Keadaan non kardiak yang dapat meningkatkan kadar
troponin adalah sepsis, luka bakar, gagal nafas, emboli paru, hipertensi pulmoner, dan
kemoterapi.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CKMB atau troponin I dan T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan
hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan gejala. Jika awitan SKA tidak dapat
ditentukan, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan
pertama.4 Karena tidak menunjukan peningkatan kadar dalam 4-6 jam pertama setelah
awitan, maka pemeriksaan marka jantung (cardiac marker) tidak boleh menyebabkan
penundaan dalam melakukan tindakan reperfusi.8
Gambar 17. Perubahan kadar CKMB dan troponin di dalam darah pada STEMI1
Adapun pada pasien didapatkan hasil pemeriksaan marka jantung sebagai berikut.
Tabel 6. Hasil pemeriksaan marka jantung Tn. R
Enzim jantung Hasil Intepretasi
CKMB 146 U/L Meningkat
Troponin Positif Abnormal
Pada kasus didapatkan peningkatan CKMB dan abnormalitas troponin sehingga dapat
ditentukan bahwa kelainan yang terjadi pada pasien adalah definitif sindrom koroner
akut STEMI.
Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, urin lengkap, profil lipid, fungsi
ginjal, gula darah sewaktu
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang
gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi
darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksan laboratorium tidak boleh
menunda terapi SKA.4
Adapun intepretasi hasil pemeriksaan laboratorium yang bermakna pada pasien
adalah kadar gula darah sewaktu sebesar 374 mg/dL. Dari anamnesis juga didapatkan
bahwa pasien memiliki riwayat diabetes mellitus. Kadar gula darah yang tinggi
berkaitan dengan peningkatan mortality rate pada pasien dengan SKA. Namun,
melalui trial NICE-SUGAR (Normoglycemia in Intensive Care Evaluation),
dikatakan bahwa kontrol gula darah yang ketat (tight glucose control) yaitu dengan
kadar 81-108 mg/dL dibandingkan dengan modest control (<180 mg/dL) berkaitan
dengan peningkatan mortality rate (terutama akibat penyebab kardiovaskular) dan
episode hipoglikemia yang lebih banyak.6 Sehingga PERKI menyarankan untuk
menjaga kadar gula darah dari hiperglikemia (>180 mg/dL) dan hipoglikemia (<90
mg/dL) (Kelas I-B). Selain itu pemberian antitrombotik pada pasien diabetes serupa
dengan pasien non-diabetik (Kelas I-C).4
Rontgen thorax PA
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat
untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada idealnya harus dilakukan di ruang
gawat darurat dengan alat portabel. Pemeriksaan radiografi tidak boleh menyebabkan
delay dalam pelaksanaan terapi reperfusi (kecuali terdapat kontraindikasi potensial,
seperti suspek diseksi aorta.) (Kelas I-C) Selain itu tujuan lain pemeriksaan radiografi
adalah identifikasi komplikasi seperti edema paru akut, dan penyakit penyerta.4
Pada pasien dilakukan pemeriksaan foto rontgen thorax dengan hasil sebagai berikut.
Gambar 18. Foto Rontgen Thorax Pasien
Kesan hasil foto rongten pada pasien adalah :
o Besar cor normal
o Pulmo dalam batas normal, saat ini tidak tampak ada tanda edema pulmonal
o Tulang intak
Observasi tanda-tanda vital dan EKG serial
Observasi keluhan dan tanda-tanda vital bertujuan untuk mendeteksi komplikasi-
komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien dengan STEMI. Kematian akibat
aritmia dan henti jantung sering terjadi pada STEMI terutama pada jam-jam pertama
setelah awitan.12 Selain itu juga perlu diobservasi kemungkinan terjadinya komplikasi
lain seperti gagal jantung akut dan syok kardiogenik.
EKG serial ditujukan untuk menilai evolusi abnormalitas gelombang EKG pada kasus
STEMI. Jika EKG awal tidak menunjukkan kelainan atau non-diagnostik sementara
angina masih berlangsung, maka pemeriksaan EKG diulang 10-20 menit kemudian.
Jika EKG ulangan tetap menunjukkan gambaran non-diagnostik sementara keluhan
angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang
tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang. 4
Pada pasien gambaran EKG kedua adalah sebagai berikut.
Gambar 19. EKG serial kedua pasien
Intepretasi gambaran EKG kedua pada pasien adalah Sinus ryhthm, laju 75x/menit, normal
axis, durasi p-wave 0,08 s, durasi QRS-complex 0,112 s, Elevasi ST-segment 4 mm di lead
II, III, aVF, ST depresi downslope di lead aVL. Pada EKG serial kedua ini didapatkan
gambaran evolusi segmen ST persisten yang khas pada kasus STEMI.
Setelah diagnosis definitif STEMI tegak, penatalaksanaan reperfusi harus dilakukan.
Gambar 20. Algoritma ACLS STEMI8
Terapi reperfusi merupakan fokus utama penatalaksanaan kasus SKA-STEMI.
Reperfusi dapat dilakukan dengan obat-obatan fibrinolitik atau secara invasif melalui
tindakan percutaneous coronary intervention (PCI). Kedua tatalakasana ini dapat
mengembalikan aliran darah kepada miokardium yang terancam nekrosis sehingga
mengurangi luas infark dan meningkatkan angka survival. Supaya efektif, reperfusi harus
dilakukan sesegera mungkin, semakin cepat dilakukan, semakin banyak otot jantung yang
diselamatkan. Keputusan mengenai terapi reperfusi harus dibuat dalam hitungan menit pasien
didiagnosis, bergantung dari temuan pada keluhan dan EKG, sering sebelum tersedianya hasil
pemeriksaan marka jantung.2 Terapi reperfusi diindikasikan untuk semua pasien dengan
durasi gejala < 12 jam dengan elevasi segmen ST persisten atau LBBB baru/tersangka baru.
(Kelas I-A)
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya
rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas PCI. Bila tidak ada, langsung pilih terapi
fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian ke rumah sakit tersebut
apakah kurang atau lebih dari 2 jam. Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi
pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien
dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas PCI.
Primary PCI adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan dengan
fibrinolitik apabila diakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit dari waktu
kontak medis pertama. Primary PCI diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung berat
atau syok kardiogenik.
Fibrinolitik merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat-tempat
yang tidak dapat melakukan PCI pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan.4 Obat-
obatan fibrinolitik mengakselerasi lisis dari trombus intrakoroner, sehingga mengembalikan
aliran darah. Fungsi agen fibrinolitik adalah menstimulasi sistem fibrinolisis natural dalam
tubuh, yaitu mengubah prekursor plasminogen yang inaktif menjadi plasmin protease yang
aktif, dimana mampu melisiskan sumbatan fibrin (fibrin clots).
Walaupun targetnya adalah trombus intrakoroner, plasmin memiliki spesifisitas
substrat yang kurang baik dan dapat mendegradasi protein-protein lain, termasuk fibrinogen
dimana merupakan prekursor dari fibrin. Hasilnya, perdarahan adalah komplikasi paling
seing dari obat-obatan ini.
Inisiasi yang cepat dari fibrinolisis bersifat krusial. Pasien yang mendapatkan terapi
dalam 2 jam setelah awitan gejala STEMI memiliki mortality rate setengah kali lebih kecil
dibandingkan mereka yang mendapatkan terapi fibrinolisis setelah 6 jam. Keberhasilan
reperfusi ditandai dengan berkurangnya keluhan nyeri dada, kembalinya segmen ST ke
baseline, dan tercapai lebih cepatnya kadar puncak dari marka jantung.2
Gambar 21 . Mekanisme kerja agen-agen fibrinolitik(2)
Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada
pasien-pasien tanpa kontraindikasi apabila primary PCI tidak bisa dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama (Kelas I-A). Fibrinolisis harus
dimulai pada ruang gawat darurat.
Adapun rekomendasi lain berkaitan dengan terapi fibrinolitik adalah sebagai berikut.
Tabel 7. Rekomendasi berkaitan dengan fibrinolitik4
Rekomendasi Kelas LOE
Agen spesifik fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan
dibandingkan dengan agen yang tidak spesifik terhadap fibrin.
I B
Aspirin oral harus diberikan I B
Clopidogrel I A
Antikoagulasi disarankan untuk pasien STEMI yang diberikan agen
fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama pasien
dirawat di rumah sakit hingga hari ke 8. Pilihan antikoagulan adalah
sebagai berikut.
I A
Enoxaparin IV diikuti SC
Heparin tidak terfraksi, diberikan secara bolus intravena sesuai
berat badan dan infus.
I
I
A
C
Pada pasien yang diberikan streptokinase, berikan fondaparinux bolus IV, IIa B
diikuti dengan dosis SC 24 jam kemudian
Setelah diberikan fibrinolisis, semua pasien perlu dirujuk ke rumah sakit
yang dapat menyediakan PCI
I A
Rescue OCI diindikasikan segera bila fibrinolisis gagal I A
Emergency PCI diindikasian apabila terjadi iskemia rekuren atau bukti
reoklusi setelah fibrinolisis yang berhasil
I B
Kontraindikasi terapi fibrinolitik adalah sebagai berikut.
Tabel 8. Kontraindikasi terapi fibrinolitik (4)
Konraindikasi Absolut Kontraindikasi relatif
Stroke hemoragik atau stroke yang belum diketahui penyebabnya dengan awitan kapanpun.
Transient ischaemic attack (TIA)
dalam 6 bulan terakhir
Stroke iskemik dalam 6 bulan terakhir Pemakaian antikoagulan oral
Kerusakan sistem saraf sentral dan neoplasma Kehamilan atau dalam 1 minggu
post partum
Trauma operasi / trauma kepala berat dalam 3 minggu
terakhir
Tempat tusukan yang tidak dapat
dikompresi
Perdarahan saluran cerna dalam 1 bulan terakhir Resusitasi traumatik
Penyakit perdarahan Hipertensi refrakter ( Tekanan darah
> 180 mmHg)
Diseksi aorta Penyakit hati lanjut
Infeksi endokarditis
Ulkus peptikum yang aktif
Tabel 9 . Regimen fibrinolitik untuk STEMI4
Agen fibrinolitik Dosis
Streptokinase 1,5 juta U dalam 100 cc Dextrose 5%, atau larutan salin 0,9%,
dalam waktu 30-60 menit.
Alteplase Bolus 15 mg intravena, 0,75mg/kg selama 30 menit, kemudian 0,5
mg/kg selama 60 menit. Dosis total tidak lebih dari 100 mg
Tenecteplase Bolus IV tunggal
30 mg jika BB < 60 kg
35 mg jika BB 60-69 kg
40 mg jika BB 70-79 kg
45 mg jika BB 80-89 kg
50 mg jika BB > 90 kg
Pada kasus, pasien datang dengan diagnosis kerja definitif STEMI dan dalam onset 2 ½ jam.
Dengan begitu pasien termasuk dalam kandidat reperfusi (eligible for reperfusion). Sesuai
guideline yang ada, karena di RSUD TC Hillers tidak terdapat fasilitas pelayanan kateterisasi
jantung, dan untuk menuju cardiac center dengan fasilitas tersebut dibutuhkan waktu lebih
dari 2 jam, maka pilihan terapi reperfusi yang dapat dilakukan adalah fibrinolitik. Selain itu
pilihan terapi fibrinolisis dianggap lebih baik karena pasien datang dengan awitan kurang dari
3 jam.
Sebelum melakukan tindakan reperfusi farmakologik menggunakan agen fibrinolitik perlu
diketahui apakah pasien memiliki kontraindikasi fibrinolitik. Melalui checklist fibrinolitik
dapat diketahui apakah pasien memiliki kontraindikasi tersebut.
Gambar 22. Checklist Fibrinolitik pada pasien STEMI13
Pada pasien setelah dilakukan checklist fibrinolitik, tidak terdapat kontraindikasi untuk
dilakukan tindakan fibrinolitik. Namun pada kasus ini, tidak dilakukan tindakan reperfusi
menggunakan agen fibrinolitik karena tidak tersedianya agen fibrinolitik seperti streptokinase
di RSUD T.C. Hillers dan Kabupaten Sikka.
Pada pasien-pasien yang tidak mendapatkan terapi reperfusi, baik karena terdapat
kontraindikasi, onset lebih dari 12 jam, atau alasan apapun, terapi antiplatelet berupa aspirin,
klopidogrel dan terapi antitrombin (heparin, enoxaparin, atau fondaparinux) harus diberikan
sesegera mungkin. Pada studi OASIS-6, fondaparinux lebih superior dibanding heparin pada
1641 orang pasien, sehingga lebih dianjurkan sebagai agen antirombin pada kasus 12
Gambar 23 . Rekomendasi terapi antitrombotik pada pasien tanpa tindakan reperfusi 12
Pemberian terapi antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga 8 hari
pemberian. (Kelas IIa-B). Strategi lain yang digunakan adalah meliputi pemberian LMWH
(Kelas IIa-C) atau fondaparinux (Kelas IIa-B) dengan regimen dosis yang sama dengan
pasien yang mendapatkan terapi fibrinolitik.4
Obat-obatan antikoagulan menghambat kaskade koagulasi dan hemostasis sekunder.
Bagian terakhir dari koagulasi intrinsik dan ekstrinsik adalah pembentukan bekuan fibrin
akibat aktivitas trombin. Mekanisme utama antikoagulan adalah menghambat aktivasi
trombin oleh faktor Xa (UFH, LMWH, Fondaparinux), menghambat trombin (UFH), atau
mengurangi produksi produksi protrombin fungsional (warfarin).
Unfractional heparin adalah campuran heterogen dari glikosaminoglikan. UFH di
dalam sirkulasi berikatan dengan antitrombin, dan secara besar meningkatkan efek nya dalam
melawan trombosis. Antitrombin adalah sebuah protein natural yang menghambat kerja
trombin dan faktor-faktor pembekuan lain. Ketika terbentuk kompleks UFH-antitrombin,
afinitas antitrombin meningkat 1000 kali dalam mengurangi kemampuan trombin untuk
membentuk fibrin dari fibrinogen. Kompleks UFH-antitrombin juga dapat menghambat
aktivasi faktor X dalam proses koagulasi. Sebagai tambahan, UFH juga memiliki kemampuan
antiplatelet dengan mengikat dan memblokade kerja faktor von Willebrand.
Unfractional heparin diberikan secara parenteral, karena tidak diserap melalui traktus
gastrointestinal. Bioavailbilitas nya bervariasi karena terdapat jumlah ikatan yang berbeda
dengan protein plasma, makrofag, dan sel-sel endotel antar individu. Hubungan dosis dengan
efek sering tidak dapat diprediksi, sehingga perlu dilakukan monitor derajat aktivitas
antikoagulasi melalui pemeriksaan activated partial thromboplastin time.
Efek samping heparin yang paling penting adalah perdarahan. Kejadian overdosis
heparin dapat diobati dengan pemberian protamine sulfat secara intravena, dimana akan
membentuk kompleks stabil dengan UFH dan secara cepat mengembalikan efek antikoagulan
seperti semula.2
Efek samping lain yang penting adalah kejadian heparin-induced thrombocytopenia
(HIT) dimana dapat muncul dalam 2 bentuk. Bentuk yang lebih umum dimana dianggap
merupakan hasil langsung dari proses heparin-induced platelet aggregation, muncul sampai
pada 15% pasien dan biasanya bersifat asimptomatik, dose dependent, dan swasirna. Jenis
HIT yang ringan ini jarang menyebabkan penurunan berat pada jumlah trombosit dan
biasanya tidak membutuhkan penghentian penggunaan heparin.
Bentuk HIT lain yang lebih jarang, namun lebih berbahaya, adalah immune-mediated
HIT, sebuah kondisi dimana dapat terjadi sampai pada 3% pasien yang diobati dengan UFH.
Kelainan ini dapat menyebabkan perdarahan yang mengancam jiwa, dan trombosis.
Trombosis yang terjadi disebabkan oleh pembentukan antibodi-antibodi dimana secara
langsung menghambat aktivitas kompleks heparin-trombosit, menyebabkan aktivasi,
agregrasi platelet, dan pembentukan bekuan darah. Pada kelainan ini, jumlah trombosit dapat
menurun dengan cepat dan tidak bergantung dengan dosis heparin yang diberikan. Pemberian
heparin harus segera dihentikan, dan dibutuhkan terapi antitrombotik penganti untuk
mencegah pembekuan darah lebih lanjut.
Saat ini sudah tersedia agen antikoagulan untuk mengurangi beberapa kekurangan
dari UFH, yaitu low molecular weight heparin (LMWH), seperti enoxaparin, dalteparin, dan
tinzaparin. Sesuai namanya LMWH memiliki molekul yang lebih kecil dari UFH (kira-kira
1/3 nya). Agen-agen ini juga berinteraksi dengan antitrombin, tapi tidak seperti UFH,
kompleks LMWH-antitrombin lebih menghambat (preferentially inhibits) faktor Xa daripada
trombin, karena inhibisi trombin membutuhkan molekul heparin yang lebih besar dari
LMWH. Kemampuan inhibisi selektif terhadap faktor Xa meningkatkan efek pencegahan
pembentukan trombin dalam kaskade koagulasi. Keuntungan-keuntungan LMWH
dibandingkan UFH adalah sebagai berikut.
Inhibisi terhadap faktor Xa yang terikat pada trombosit, menghasilkan aktivitas
antikoagulasi yang lebih baik.
Berkurangya ikataan dengan protein plasma dan sel endotel menghasilkan
bioavailbilitas yang dapat diprediksi dan waktu paruh yang lebih panjang.
Komplikasi perdarahan yang lebih sedikit.
Insidensi immune-mediated HIT yang lebih rendah.
Dari segi praktikal, keuntungan penggunaan LMWH adalah kemudahan dalam
pemberian dan kadar antikogulasi yang lebih konsisten. Agen LMWH dapat diberikan secara
injeksi subkutan 1-2 kali per hari, dengan fixed doses, tanpa perlu monitoring pemeriksaan
laboratorium darah yang sering. Namun karena LMWH diekskresi melalui ginjal, maka
pemantauan efek antikoagulan diperlukan pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Antikoagulan fondaparinux adalah pentasakarida sintetis, dimana secara spesifik
menginhibisi faktox Xa, sehingga menghambat aktivasi trombin. Seperti heparin,
fondaparinux berikatan dengan antitrombin, dan meningkatkan kemampuan antitrombin
untuk menginaktivasi faktor Xa. Berbeda dengan UFH, fondaparinux tidak meninaktivasi
trombin yang sudah terbentuk, sehingga tidak mempengaruhi aktivitas trombosit atau
menyebabkan HIT. Fondaparinux diberikan secara injeksi subkutan, dengan waktu paruh
yang cukup panjang (17-21 jam) untuk diberikan 1 kali per hari.2
Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan
terapi antikoagulan selama minimum 48 jam (Kelas II-C) dan lebih baik selama rawat inap,
hingga maksimim 8 hari (dianjurkan regimen non-UFH) bila lama terapi lebih dari 48 jam
karena risiko heparin-induced thrombocytopenia dengan terapi UFH berkepanjangan (Kelas
II-A)
Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi
antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari pemberian
(Kelas IIa-B)
Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH (Kelas IIa-C) atau fondaparinux
(Kelas IIa-B) dengan regimen dosis yang sama dengan pasien yang mendapat terapi
fibrinolisis.4
Gambar 24 . Dosis Ko-terapi antitrombin (12)
Dalam studi The Fifth Organization to Assess Strategies in Acute Ischemic
Syndromes (OASIS-5) dimana membandingkan penggunaan fondaparinux dan enoxaparin
pada kasus sindroma koroner akut didapatkan hasil fondaparinux berkaitan dengan dengan
penurunan angka kematian yang signifikan pada hari ke 30 hari (295 versus 352; p=0.02) dan
hari ke 180 (574 versus 638; p=0.05). 11
Pada OASIS-6, dimana melibatkan pasien-pasien STEMI, khususnya yang tidak
menjalani primary PCI, fondaparinux secara signifikan menurunkan mortalitas dan kejadian
reinfark tanapa meningkatkan kejadian perdarahan dan stroke.11
Pada pasien ini perawatan nya diberikan pemberian antikoagulan fondaparinux.
Fondaparinux diberikan dengan dosis 1x0,4cc (2,5 mg) secara injeksi subkutan.
Fondaparinux lebih dipilih dibandingkan enoxaparin karena selain memiliki kelebihan
daripada enoxaparin pada pasien STEMI tanpa reperfusi, lebih sedikit efek samping, juga
terdapat indikasi sosial yaitu pasien beragama muslim, sedangkan enoxaparin sendiri
memiliki kandungan dari usus halus babi (pig-intestines). Pada pasien direncanakan
pemberian fondaparinux selama 8 hari.
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada pemberian fondaparinux apabila
disesuaikan dengan pedoman yang ada adalah sebagai berikut.
Fondaparinux dosis pertama (2,5mg) diberikan secara injeksi intravena, kemudian
dilanjutkan dengan pemberian hari berikutnya secara injeksi subkutan
Perlu diobservasi tanda-tanda efek samping pemberian fondaparinux yang mungkin
terjadi antara lain, peningkatan kadar SGOT/SGPT, trombositopenia, demam.
Pada follow up pasien selama perawatan didapatkan kejadian yang bermakna, antara lain
sebagai berikut.
a. Berkurang dan hilangnya keluhan nyeri dada
b. Munculnya keluhan demam sejak hari perawatan ke-5
Pada follow up kasus, sejak hari perawatan ke-5, pasien mengeluhkan gejala demam.
Demam disertai menggigil. Adapun grafik suhu selama follow up adalah sebagai
berikut.
Hari I Hari II Hari III Hari IV Hari V Hari VI Hari VII Hari VIII Hari IX35.5
36
36.5
37
37.5
38
38.5
39
36.6 36.5
36.8
36.5
38.5
37.6
37
36.5
36.8
Suhu (Celcius)
Suhu
Gambar 25. Grafik suhu selama perawatan
Keluhan demam dan peningkatan suhu selama perawatan pada pasien kemungkinan
disebabkan oleh kelainan-kelainan sebagai berikut.
Infeksi nosokomial, dimana disebabkan oleh phlebitis dari tempat tusukan iv-
line. Hal ini didukung oleh peningkatan jumlah leukosit darah pada hari
perawatan ke-6 yaitu sebesar 12.210. Atas dasar pertimbangan ini, maka pada
pasien dilakukan pergantian tempat pemasangan infus dan diberikan antibiotik
Levofloxacin 1 x 500 mg. Setelah ditatalaksana, keluhan demam berangsur
berkurang dan leukositosis menurun.
Efek samping pemberian injeksi fondaparinux.
Pemberian fondaparinux memiliki efek samping demam. Sebesar 13,6%
pasien yang diberi terapi fondaparinux mengalami demam.16 Fondaparinux
pada kasus ini diberikan pada kasus sejak hari perawatan ke-2. Kemungkinan
pemberian fondaparinux sebagai penyebab demam didasari alasan bahwa
setelah pemberiannya dihentikan, gejala demam berkurang dan hilang.
c. Menurunnya kadar trombosit selama pemberian terapi fondaparinux
Pada pasien sejak diberikan fondaparinux dan muncul gejala demam, dilakukan
pemeriksaan darah lengkap berkala sejak hari perawatan ke-4. Adapun grafik
penurunan trombosir pada pasien kasus adalah sebagai berikut.
Hari I Hari IV Hari V Hari VI Hari VII Hari VIII0
50
100
150
200
250
158
224
152
105
79
143
Trombosit (x1000)
Trombosit (x1000)
Axis Title
Gambar 26. Grafik penurunan hitung trombosit selama perawatan
Penurunan trombosit dimulai pada hari perawatan ke-4, dua hari setelah diberikan
injeksi antikoagulan fondaparinux dan semakin menurun selama hari perawatan
kelima sampai ketujuh. Adapun kemungkinan penyebab trombositopenia yang
dialami oleh pasien adalah sebagai berikut
Trombositopenia akibat efek samping injeksi fondaparinux
Trombositopenia dapat muncul pada pemberian antikoagulan fondaparinux.
Trombositopenia moderate (50.000-100.000) mucul pada 3.0% pasien yang
diberikan injeksi fondaparinux 2,5 mg sebagai terapi praoperative.
Trombositopenia berat (<50.000) muncul pada 0.2% pasien yang diberikan
injeksi fondaparinux 2.5 mg. Pada pasien yang diberikan fondaparinux, hitung
trombosit perlu diperiksa dan dimonitor, dan apabila menurun di bawah
100.000/mm3, pemberian fondaparinux perlu dihentikan.
Pada pasien penurunan kadar trombosit dianggap sebagai efek samping
pemberian fondaparinux. Hal ini diperkuat dengan peningkatan kembali kadar
trombosit pada hari perawatan ke-8, satu hari setelah injeksi fondaparinux
dihentikan.
Suatu kejadian heparin-induced thrombocytopenia
Walaupun sebenarnya fondaparinux dianggap tidak berhubungan dengan
kejadian heparin-induced thrombocytopenia (HIT), namun pernah dilaporkan
2 kejadian kasus HIT berhubungan dengan pemberian fondaparinux.
d. Kadar gula darah yang belum terkontrol
Pada kasus pasien memiliki komorbid diabetes mellitus tipe 2 dengan gula darah yang
belum terkontrol. Adapun grafik kadar gula darah pasien selama perawatan adalah
sebagai berikut.
Hari II Hari IV Hari VI Hari IX0
50
100
150
200
250
300
350
195234
156
296
224
303
176
325
GDPGD2PP
Gambar 27. Grafik kadar GDP dan GD2PP pasien
Hari II Hari IV Hari VI Hari IX0
2
4
6
8
10
12
14
16
10
1415 15
6
10 10 10LevemirNovorapid2
Gambar 28. Jumlah unit insulin yang diberikan pada pasien
Pada pasien akibat tidak terkontrolnya gula darah, maka diberikan insulin sebagai terapi.
Penggunaan insulin sebagai kontrol terhadap gula darah pada pasien SKA didasari bahwa
insulin diperlukan pada beberapa keadaan tertentu pada pasien DM termasuk infark miokard
akut.17 Pada pasien diberikan insulin kombinasi basal-bolus, dimana diberikan 1 kali suntikan
insulin basal dan 3 kali suntikan insulin prandial. Diberikan levemir dimana merupakan
insulin long acting dan novorapid dimana merupakan insulin analog rapid acting.
Dengan terapi insulin tersebut kadar gula pasien sempat terkontrol dengan baik memasuki
hari rawat ke-6, dimana juga tidak terdapat komplikasi hipoglikemia selama pemberian
insulin. Namun terjadi peningkatan kembali kadar gula darah pada hari ke-9 perawatan
sehingga perlu untuk dilakukan kontrol gula darah lanjutan pada saat pasien kontrol rawat
jalan kembali.
Pasien kemudian dipulangkan pada hari perawatan ke-9, dimana keluhan sakit dada,
sesak, dan demam tidak ada, dan pasien dalam keadaan stabil. Pasien kemudian dijadwalkan
untuk kontrol dan direcanakan untuk dirujuk ke RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita
Jakarta. Hal ini sesuai dengan rekomendasi bahwa setealah fase akut, pasien-pasien perlu
menjalani ekokardiografi untuk penilaian ukuran infark dan fungsi ventrikel kiri pada
istirahat (Kelas I-B).
Mengingat sifat penyakit jantung koroner sebagai penyakit kronis dan risiko tinggi
bagi pasien yang telah pulih dari STEMI untuk mengalami kejadian kardiovaskular
selanjutnya, maka perlu dilakukan berbagai intervensi untuk meningkatkan prognosis pasien.
Dalam penanganan jangka panjang ini peran dokter umum lebih besar, namun ada baiknya
intervensi ini ditanamkan dari saat pasien dirawat di rumah sakit, misalnya dengan
mengajarkan perubahan gaya hidup sebelum pasien dipulangkan.
Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI adalah :
Kendali faktor risiko seperti hipertensi, diabetes dengan ketat
Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100mg) diindikasikan
tanpa henti (Kelas I-A)
DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12
bulan setelah STEMI (Kelas I-C)
Pengobatan oral dengan pernyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien
dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri. (Kelas I-A)
Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien
masuk rumah sakit tanpa memandang nilai kolesterol inisial. (Kelas I-A)
Daftar Pustaka
(1) Antman EM, Braunwald SE. ST-elevation myocardial infarction:pathology,
pathophysiology, and clinical features. Dalam : Libby P.Bonow RO, Mann DL., Zipes
DP, penyunting. Braunwald’s heart disease: a textbook of cardiovascular. Edisi ke-9.
Philadelphia: Elsevier Saunders:2012. Pg.1088-1109.
(2) Lilly LS. Acute Coronary Syndrome. Pathophysilogy of Heart Disease. Edisi ke-5.
Baltimore:Wolters Kluwe:2011. Pg.161-189
(3) Antman EM, Braunwald SE. ST-elevation myocardial infarction. Dalam : Loscalzo J.
Harrison’s Cardiovascular Medicine. Edisi ke-17. New York:Mc.Graw Hill:2010. Pg.
395-413
(4) Perhimpunan Kardiovaskular Indonesia. Sindrom Koroner Akut Segmen ST elevasi.
Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta:2014. Halaman 42-73
(5) Liwang F. Wijaya I.P. Penyakit Jantung Koroner. Kapita Selekta Kedokteran.
Essentials of medicine. Jakarta : Media Aesculapius:2014, halaman 749-755
(6) 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial
Infarction : A Report of the American College of Cardiology Foundation/American
Heart Association. Task Force on Practive Guidelines. Available at:
http://circ.ahajournals.org/content/early/2012/12/17/CIR.0b013e3182742cf6.citation
(7) Cadogan M. Sgarbossa Criteria. Life in the fast lane. Available at:
http://lifeinthefastlane.com/ecg-library/basics/sgarbossa/
(8) O’Connor, et.al. Part 10: Acute Coronary Syndromes: 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation. Journal of The American Heart Association.
Available at : http://circ.ahajournals.org/cgi/content/full/122/18_suppl_3/S787
(9) Kumar A. Cannon C.P. Acute Coronary Syndrome : Diagnosis and Management, Part
I. Available at : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2755812/
(10) ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With Unstable Angina and
Non–ST-Segment Elevation Myocardial Infarction: Executive Summary and
Recommendations A Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines (Committee on the Management of
Patients With Unstable Angina) available at :
http://circ.ahajournals.org/content/102/10/1193.full
(11) Khan M.G. Antiplatelet Agents, Anticoagulants, and Specifi Thrombin Inhibitors.
Cardiac Drug Therapy. 7th edition. New Jersey : Humana Press :2007. Pg. 331-348
(12) ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal 2012;33:2569-2619
(13) Creager A.M. Results of the CAPRIE trial: efficacy and safety of clopidogrel.
Available at : http://vmj.sagepub.com/content/3/3/257.full.pdf
(14) The Evidence for Current Cardiovascular Disease Prevention Guidleines:
Antiplatelet and Anticoagulant Therapy Evidence and Guidelines. Available at :
http://www.slideshare.net/TurgunHAMT/2-acc-prevention-antiplatelet-and
anticoagulant-29239209
(15) 2005 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation
and Emergency Cardiovascular Care. Part 8: Stabilization of the Patient With Acute
Coronary Syndromes available at:
http://circ.ahajournals.org/content/112/24_suppl/IV-89/F2.expansion.html
(16) Arixtra (Fondaparinux). Prescribing Information. Available at :
http://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2005/021345s010lbl.pdf
(17) Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
Perhimpunan Endokrinologi Indonesia: 2011. Halaman 25