pendahuluan trauma okuli
-
Upload
chairatu-sadrina -
Category
Documents
-
view
99 -
download
13
description
Transcript of pendahuluan trauma okuli
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Trauma okuli merupakan salah satu penyebab utama gangguan
penglihatan dan kebutaan pada satu mata yang dapat dicegah. Trauma okuli dapat
dibagi menjadi trauma tajam, trauma tumpul, trauma kimia, trauma termal, trauma
fisik, extra ocular foreign body, dan trauma tembus berdasarkan mekanisme
trauma. Trauma okuli dapat terjadi diberbagai tempat, di rumah tangga, di tempat
kerja, maupun di jalan raya. (1)
Prevalensi trauma okuli di Amerika Serikat sebesar 2,4 juta pertahun dan
sedikitnya setengah juta di antaranya menyebabkan kebutaan. Di dunia, kira-kira
terdapat 1,6 juta orang yang mengalami kebutaan, 2,3 juta mengalami penurunan
fungsi penglihatan bilateral, dan 19 juta mengalami penurunan fungsi penglihatan
unilateral akibat trauma okuli. Berdasarkan jenis kelamin, beberapa penelitian
yang menggunakan data dasar rumah sakit maupun data populasi, menunjukkan
bahwa laki-laki mempunyai prevalensi lebih tinggi. Angka insiden trauma pada
laki-laki sebesar 20 per 100.000 dibandingkan 5 per 100.000 pada wanita. Trauma
okuli terbanyak terjadi pada usia muda, di mana rerata umur kejadian trauma
adalah 24 tahun. (1)
Komplikasi yang ditimbulkan akibat trauma pada mata dapat meliputi
semua bagian mata, yaitu komplikasi pada kelopak mata, permukaan bola mata,
kamera okuli anterior, vitreus, dan retina. Jenis-jenis trauma yang melibatkan
orbita ataupun struktur intra okuli dapat diakibatkan oleh benda tajam, benda
tumpul, trauma fisik, ataupun trauma kimia. Tipe dan luasnya kerusakan akibat
trauma pada mata sangat tergantung dari mekanisme dan kuatnya trauma yang
terjadi. Suatu trauma yang berpenetrasi ke intraokuli baik objek yang besar
ataupun objek kecil akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar
dibandingkan trauma akibat benturan. (1)
Penanganan dini trauma okuli secara tepat dapat mencegah terjadinya
kebutaan maupun penurunan fungsi penglihatan. Penanganan trauma okuli secara
2
komprehensif dalam waktu kurang dari 6 jam dapat menghasilkan hasil yang lebih
baik. (1)
3
BAB II
LAPORAN KASUS
1.2. Identitas Pasien
Nama : Tn. R
Umur : 14 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Indra Jaya
No CM : 1-02-56-37
Tanggal pemeriksaan : 3 November 2014
1.3. Anamnesis
Keluhan Utama : Mata kanan sakit sekali
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke poli mata RSUDZA dengan
keluhan mata kanan nyeri hebat akibat terkena petasan 1 hari yang lalu.
Pasien mengaku sedang bermain petasan dengan temannya dan tiba-tiba
petasan terlempar ke mata kanannya. Saat kejadian, pasien mengaku
menyiram mata dengan air keran. Kemudian pasien langsung ke RS terdekat
dan dirujuk ke RSUDZA. Nyeri OD dirasakan terus menerus disertai mata
perih. Mata berair (+). Mata merah (+). Sekret (+). Mata gatal (-).
Perdarahan (-).
Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat sakit mata sebelumnya disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat kejadian yang sama pada anggota
keluarga disangkal.
Riwayat Kebiasaan Sosial : Diet makanan berlemak disangkal. Merokok
disangkal. Berenang disangkal.
Riwayat Penggunaan Obat : saat di IGD RS setempat, pasien mengaku diberi
obat tetes, tapi lupa namanya.
4
1.4. Status Optalmologis
VOD Status Optalmologis VOS
Sulit dinilai Visus 5/5Di tengah Hirshberg Di tengah
Sulit dinilai Gerakan Bola Mata
Eksoftalmus (-)Endoftalmus (-)Gerakan baik ke
segala arahEdema (+)
Nyeri tekan (+)Hematom (+)
Bulu mata hilang sebagian
PalpebraEdema (-)
Nyeri tekan (-)Hematom (-)
Injeksi siliar (+) Konjungtiva Bulbi Hiperemis (-)Hiperemis (+) Konjungtiva Tarsal Hiperemis (-)
JernihEdema (+)Abrasi (+)
Infiltrate (-)
Kornea
JernihEdema (-)Abrasi (-)
Infiltrate (-)Cukup
Hifema (+)Kamera Okuli
AnteriorKesan normal
HitamBulat
d =3mmRCL (+) RCTL (+)
RAPD (-)
Iris/Pupil
HitamBulat
d = 3 mmRCL (+) RCTL (+)
RAPD (-)Sulit dinilai Lensa Jernih
5
1.5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penundang yang dilakukan pada pasien ini berupa pemeriksaan :
1. Pemeriksaan refraksi
2. Pemeriksaan slit lamp
1.6. Diagnosis
Diagnosis pada pasien ini adalah hematom palpebra + abrasi kornea OD ec
trauma oculi.
1.7. Tatalaksana
Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu :
a. Medikamentosa
Cendo Floxa ED OD 1x gtt1/jam
Cefadroxil tab 2x1
Metil Prednisolon tab 4 mg 1x1
Asam Mefenamat tab 3x1
b. Non-medikamentosa
Dilakukan bebat pada mata kanan
Hindari manipulasi pada mata
Gunakan kacamata hitam untuk perlindungan sehari-hari
Tirah baring
1.8. Follow-up
Follow-up 6 November 2014
VOD Status Optalmologis VOS
5/30 Visus 5/5Di tengah Hirshberg Di tengah
Eksoftalmus (-)Endoftalmus (-)
Gerakan terhambat ke arah lateral dan medial serta oblik, gerakan ke atas dan bawah baik
Gerakan Bola Mata Eksoftalmus (-)Endoftalmus (-)Gerakan baik ke
segala arah
6
Edema (+)Nyeri tekan (+)Hematom (-)Hiperemis (+)
Bulu mata hilang sebagian
Palpebra Edema (-)Nyeri tekan (-)Hematom (-)
Injeksi siliar (+) Konjungtiva Bulbi Hiperemis (-)Hiperemis (+) Konjungtiva Tarsal Hiperemis (-)
JernihEdema (+)Abrasi (+)
Infiltrate (-)
Kornea JernihEdema (-)Abrasi (-)
Infiltrate (-)Cukup
Hifema Minimal (+)Kamera Okuli
AnteriorKesan normal
Hitam Bulat
d =3mmRCL (+) RCTL (+)
RAPD (-)
Iris/Pupil HitamBulat
d = 3 mmRCL (+) RCTL (+)
RAPD (-)Jernih Lensa Jernih
Tambahan terapi :
Kalnex tab 3x1
Siloxan ED OD 8x gtt1
Cendo genta salep 3x1
Cendo noncort ED OD 8x gtt1
Giflox ED OD 8x gtt1
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1.9. Trauma Okuli
1.9.1. Definisi
Trauma okuli merupakan trauma atau cedera yang terjadi pada
mata yang dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf
mata dan rongga orbita, kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga
mengganggu fungsi mata sebagai indra penglihat.
1.9.2. Epidemiologi
Trauma mata merupakan penyebab umum kebutaan unilateral pada anak
dan dewasa muda; kelompok usia ini mengalami sebagian besar cedera mata yang
parah. Dewasa muda – terutama pria – merupakan kelompok usia yang paling
mungkin mengalami trauma tembus mata. Kecelakaan di rumah, kekerasan,
ledakan aki, cedera yang berhubungan dengan olah raga, dan kecelakaan lalu
lintas merupakan keadaan-keadaan yang paling sering menyebabkan trauma mata.
(2)
Prevalensi trauma okuli di Amerika Serikat sebesar 2,4 juta pertahun dan
sedikitnya setengah juta di antaranya menyebabkan kebutaan. Di dunia, kira-kira
terdapat 1,6 juta orang yang mengalami kebutaan, 2,3 juta mengalami penurunan
fungsi penglihatan bilateral, dan 19 juta mengalami penurunan fungsi penglihatan
unilateral akibat trauma okuli. Berdasarkan jenis kelamin, beberapa penelitian
yang menggunakan data dasar rumah sakit maupun data populasi, menunjukkan
bahwa laki-laki mempunyai prevalensi lebih tinggi. Angka insiden trauma pada
laki-laki sebesar 20 per 100.000 dibandingkan 5 per 100.000 pada wanita. Trauma
okuli terbanyak terjadi pada usia muda, di mana rerata umur kejadian trauma
adalah 24 tahun. (1)
8
1.9.3. Klasifikasi Trauma
Trauma okuli merupakan salah satu penyebab utama gangguan
penglihatan dan kebutaan pada satu mata yang dapat dicegah. Trauma okuli dapat
dibagi menjadi trauma tajam, trauma tumpul, trauma kimia, trauma termal, trauma
fisik, extra ocular foreign body, dan trauma tembus berdasarkan mekanisme
trauma. (1)
1.10. Trauma Termal Okuli
1.10.1. Definisi
Trauma termal okuli umumnya terjadi akibat paparan terhadap cairan
panas, paparan api langsung atau rokok dan petasan. Bergantung pada kecepatan
dari reflex berkedip, bulu mata dapat berfungsi proteksi terhadap mata dan
pertahanan untuk mencegah gangguan visus. Bagaimanapun, bulu mata memiliki
faktor dominan dalam proteksi terhadap trauma termal, sehingga pada saat terjadi
destruksi bulu mata dapat menyebakan kontraktur pada palpebra. Derajat
keparahan pada trauma termal bergantung pada lamanya durasi terpapar dan sifat
dari penyebabnya. (3)
Trauma termal okuli melibatkan trauma pada sklera, konjungtiva, kornea,
dan kelopak mata. Hal ini dianggap sebagai kegawatdaruratan mata dan
membutuhkan penilaian yang cepat dan intervensi untuk meminimalkan
morbiditas. (4) Kematian sel yang terjadi pada cedera termal biasanya terbatas
pada epitel superfisial, bagaimanapun kerusakan lebih dalam mungkin dapat
terjadi juga. (5)
1.10.2. Epidemiologi
Trauma termal okuli muncul 7-18% dari total trauma okuli. Trauma okuli
merupakan 3-4% dari total kelainan pada mata. Trauma okuli akibat paparan
langsung api mencapai 16% dari total trauma termal okuli. Kasus ini terjadi lebih
sering terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita. Perbedaan ini mungkin dapat
disebabkan oleh karena laki-laki lebih banyak bekerja pada industry dengan resiko
tinggi terjadi trauma okuli. (4)
9
1.10.3. Patofisiologi
Trauma termal merusak jaringan dengan denaturasi dan koagulasi protein
seluler dan diikuti dengan kerusakan akibat iskemia jaringan yang disebabkan
oleh gangguan vaskular. Jika limbus terpapar secara signifikan, maka sering
diikuti dengan defek epitel kornea dan invasi konjungtiva ke kornea akibat
hilangnya respon stem sel dalam proses regenerasi epitel kornea. (4)
1.10.4. Gejala Klinis
Pada trauma termal paling sering muncul dengan adanya riwayat kontak
langsung terhadap objek panas. Walaupun trauma ini dapat membuat defek yang
cukup besar pada area permukaan okuli, tetapi trauma ini sering hanya terjadi
pada lapisan superficial. Keluhan yang dirasakan pasien sama dengan keluhan
abrasi kornea karena kejadian ini disertai abrasi kornea. Gejala paling sering
muncul adalah mata berair, fotopobia, edema kornea, dan sensasi benda asing di
mata. Trauma termal pada kornea juga didapatkan adanya bulu mata yang
terpisah-pisah akibat individu yang sering mempertahankan posisi mata terbuka
saat mencoba menghindari api. (4)
Pemeriksaan optalmologi secara menyeluruh sangat diperlukan. Hal ini
dapat mengidentifikasi adanya laserasi, injeksi konjungtiva, injeksi scleral,
blanching scleral, defek kornea, kekeruhan kornea, uveitis, glaukoma, perforasi
ocular, atau penurunan ketajaman visus. Evaluasi fluorescein diperlukan untuk
menentukan sejauh mana cedera yang terjadi. (4)
1.10.5. Diagnosa
Dalam mendiagnosa trauma termal penting untuk mengetahui mekanisme
cedera yang terjadi untuk menentukan luas area yang mengalami trauma dan
organ yang terlibat. Pada anamnesis juga ditanyakan apakah ada benda asing atau
bagian dari objek penyebab trauma yang tersisa di mata. Perlu juga ditanyakan
apakah hal ini akibat serangan fisik atau kecelakaan. Durasi terjadinya trauma dan
munculnya gejala menentukan tatalaksana, komplikasi dan prognosis seperti
terjadinya peningkatan resiko endoftalmitis jangka panjang. Riwayat sebelumnya
dan riwayat keluarga penting untuk diketahui. (6)
10
1.10.6. Pemeriksaan Mata
Pemeriksaan mata yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut (6):
1) Pemeriksaan visus menggunakan Snellen Chart
2) Menilai derajat trauma berdasarkan struktur anatomi (menilai sekitar mata,
bola mata dan adneksa serta mengidentifikasi terjadinya ptosis, enoftalmus,
atau pergeseran bola mata)
3) Menilai adanya laserasi pada palpebra dan fisura palpebra
4) Menilai bola mata dengan menilai struktur konjungtiva, sclera, kornea,
kamera okuli anterior, iris dan pupil (mengidentifikasi terjadinya abrasi,
laserasi, debris atau benda asing, robekan iris, dan bentuk pupil yang tidak
bulat)
5) Menilai respon pupil (menyingkirkan adanya defek pupil aferen yang
menunjukkan trauma berat)
6) Melakukan optalmoskopi direk/funduskopi (menilai refrek fundus, nervus
optikus, macula, dan untuk menyingkirkan perdarahan vitreus atau ablasio
retina)
7) Tes konfrontasi
8) Menilai kemampuan gerak bola mata
1.10.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada trauma termal, prioritas utama adalah menjauhkan
individu dari sumber trauma dan mendinginkan area luka sesegera mungkin. Mata
sebaiknya dilakukan irigasi terlebih dahulu menggunakan cairan fisiologis, RL,
atau air keran. Idealnya, hal ini dilakukan sebelum pasien dirujuk ke unit gawat
darurat. Untuk membersihkan mata dari debris yang lengket atau benda asing
yang ada pada mata, harus dilakukan ekstraksi corpal. Pemberian anastesi topical
sangat dianjurkan di unit gawat darurat, akan tetapi pemberian dalam jangka
waktu lama akan menghambat penyembuhan epitel. Kompres dingin dilakukan
untuk area yang mengalami trauma dengan tujuan menurunkan termal pada area
cedera dan mengurangi ketidaknyamanan. Karena trauma termal sangat nyeri,
maka disarankan untuk diberikan oral atau parenteral nonsteroid dan analgesic.
11
Belum ada evident based yang menyatakan topical analgesic lebih baik
dibandingkan oral analgesic. Setelah nyeri teratasi, dilakukan pemeriksaan tajam
penglihatan untuk mengidentifikasi adanya gangguan visus. Penggunaan pin hole
dapat mengoptimalisasi pemeriksaan pada pasien dengan gangguan refraksi. Pada
saat melakukan pemeriksaan visus, bulu mata sebaiknya diefersikan agar dapat
menilai struktur stromal secara optimal. Pemberian artificial tears atau salep
antibiotic mata disarankan apabila terjadi gangguan produksi air mata. Hal ini
juga dapat mencegah perlengketan jangka panjang antara bola mata dengan
palpebra. (3)
Sebagai tambahan, penatalaksanaan spesifik terhadap trauma termal ringan
dan sedang dapat diberikan salep atau tetes mata antibiotic. Umumnya juga
diberikan golongan cycoplegic seperti cyclopentolate 0,5%. Untuk derajat trauma
termal berat dilakukan pembalutan luka untuk mencegah terjadinya infeksi dan
segera dirujuk. (3)
Berikut adalah bagan dalam melakukan tatalaksana pada trauma okuli:
12
Ketika pasien mengalami trauma termal, penting untuk dilakukan
penilaian secara menyeluruh untuk menilai adanya kerusakan lebih lanjut.
Inspeksi secara teliti pada bulu mata dan permukaan okuli merupakan hal penting
untuk menentukan tatalaksana yang tepat. Jika bulu mata mengalami trauma
akibat terbakar, penting untuk menentukan apakah pasien mampu menutup mata
secara sempurna. Jika pasien tidak dapat menutup mata secara sempurna, dapat
diindikasikan untuk dilakukan tarsorapi yang dapat membantu untuk memproteksi
permukaan okuli. (5)
Tatalaksana pembedahan pada trauma termal dilakukan untuk debridement
material nekrotik, graft pada perforasi kornea, koreksi posisi stem sel pada limbus,
mengembalikan kejernihan kornea, dan memperbaiki kelainan posisi palpebra.
Saat ini terdapat pengembangan ilmu untuk transplantasi stemsel pada limbus
menggunakan sel membran amnion dan keratoprotesis. Transplantasi membran
amnion membantu untuk mengembalikan permukaan konjungtiva dan
mengurangi inflamasi limbus-stromal. (5)
1.10.8. Prognosis
Skema klasifikasi pada trauma okuli awalnya dibembangkan oleh Ballen
pada 1960an dan dilanjutkan oleh Roper-Hall. Klasifikasi Roper-Hall secara
menyeluruh dibuat berdasarkan derajat kekeruhan kornea dan iskemik perilimbus
yang dimasukkan dalam grade I (prognosis baik) sampai grade IV (prognosis
buruk). Pfister juga membuat klasifikasi bervariasi yaitu ringan, ringan-sedang,
sedang-berat, berat, dan sangat berat berdasarkan gambaran kekeruhan kornea dan
iskemik perilimbus. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah mengenali dan
menentukan luas iskemik perilimbus, kornea, dan keterlibatan konjungtiva pada
saat terjadinya trauma. (5)
13
1.10.9. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat trauma okuli adalah erosi
kornea, iridoplegia, hifema, iridosiklitis, subluksasi lensa, luksasi lensa anterior,
luksasi lensa posterior, edema retina dan koroid, ablasi retina, rupture koroid,
serta avulse papil saraf optic. Jika komplikasi ini muncul, maka penatalaksanaan
yang dilakukan sesuai komplikasi.
14
BAB IV
KESIMPULAN
1.11. Kesimpulan
Trauma termal okuli umumnya terjadi akibat paparan terhadap cairan panas,
paparan api langsung atau rokok dan petasan. Gejala paling sering muncul adalah
mata berair, fotopobia, edema kornea, dan sensasi benda asing di mata.
Penatalaksanaan pada trauma termal, prioritas utama adalah menjauhkan individu
dari sumber trauma dan mendinginkan area luka sesegera mungkin. Mata
sebaiknya dilakukan irigasi terlebih dahulu menggunakan cairan fisiologis, RL,
atau air keran. Penanganan dini trauma okuli secara tepat dapat mencegah
terjadinya kebutaan maupun penurunan fungsi penglihatan. Penanganan trauma
okuli secara komprehensif dalam waktu kurang dari 6 jam dapat menghasilkan
hasil yang lebih baik.
15
DAFTAR PUSTAKA
x
1.Djelantik AS, Andayani A, Widiana IG. The Relation of Onset of Trauma and Visual Acuity on Traumatic Patient. Jurnal Oftamologi Indonesia. 2010 June; VII(3).
2.Augsburger J, Asbury T. Trauma Mata dan Orbita. In Riordan P, Whitcher JP, editors. Oftalmologi Umum. New York: The McGraw-Hill Education; 2010. p. 372-381.
3.Spector J, Fernandez WG. Chemical, Thermal, and Biological Ocular Exposure. Emergency Medicine Clinics of North America. 2008 June; XXIV.
4.Solano J. Ocular Burns. MedScape Journal. 2013 June.
5.Fish R, Davidson RS. Management of ocular thermal and chemical injuies, including amniotic membrane therapy. Current Opinion in Ophthalmology. 2010 january; XXI.
6.Naidu K. The injured eye - practical management guidelines and referral criteria for the rural doctor. CPD. 2006 April; VII(48).
x