Osteoporosis

30
STUDI KASUS OSTEOPOROSIS KASUS Seorang wanita 77 tahun. Terjatuh pada lantai licin dan diagnosa fraktura pinggul. Kondisi umum sehat dan tidak meminum obat sebelumnya. Tinggi 157 cm, berat 49 kg. Tinggal sendiri, tidak minum merokok.Untuk nyeri fraktura diberikan parasetamol sehari 4 x 1000 mg dan codein 4 x 30 mg Keluhan : nyeri masih terasa PEMBAHASAN Pada kasus di atas seorang wanita berumur 77 tahun didiagnosa fraktura pinggul. Parasetamol yang diberikan 4x1000 mg berfungsi sebagai analgesik begitu pula kodein. Kodein dikombinasikan dengan parasetamol dengan tujuan untuk meningkatkan efek dari analgesik parasetamol. Tetapi karena keluhan nyeri masih dirasakan maka perlu penggantian obat analgesik baru. Disini kelompok kami merekomendasikan NSAID. Pada lansia, penggunaan obat nyeri perlu memperhitungkan lama penggunaan obat dan dosis. Obat pilihan untuk untuk lansia yaitu obat yang memiliki waktu paruh singkat dan dosis yang rendah. NSAID merupakan analgesik non opioid bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim siklooksigenase (cyclooxygenase, COX), apakah isoenzim COX-1 atau COX-2 atau keduanya, dalam pembentukan prostanoid prostaglandin (PG), prostacyclin dan tromboxan (Fauci et al, 2008).

Transcript of Osteoporosis

Page 1: Osteoporosis

STUDI KASUS OSTEOPOROSIS

KASUS

Seorang wanita 77 tahun. Terjatuh pada lantai licin dan diagnosa fraktura pinggul. Kondisi

umum sehat dan tidak meminum obat sebelumnya. Tinggi 157 cm, berat 49 kg. Tinggal sendiri,

tidak minum merokok.Untuk nyeri fraktura diberikan parasetamol sehari 4 x 1000 mg dan

codein 4 x 30 mg

Keluhan : nyeri masih terasa

PEMBAHASAN

Pada kasus di atas seorang wanita berumur 77 tahun didiagnosa fraktura pinggul.

Parasetamol yang diberikan 4x1000 mg berfungsi sebagai analgesik begitu pula kodein. Kodein

dikombinasikan dengan parasetamol dengan tujuan untuk meningkatkan efek dari analgesik

parasetamol. Tetapi karena keluhan nyeri masih dirasakan maka perlu penggantian obat

analgesik baru. Disini kelompok kami merekomendasikan NSAID. Pada lansia, penggunaan obat

nyeri perlu memperhitungkan lama penggunaan obat dan dosis. Obat pilihan untuk untuk lansia

yaitu obat yang memiliki waktu paruh singkat dan dosis yang rendah. NSAID merupakan

analgesik non opioid bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim siklooksigenase

(cyclooxygenase, COX), apakah isoenzim COX-1 atau COX-2 atau keduanya, dalam

pembentukan prostanoid prostaglandin (PG), prostacyclin dan tromboxan (Fauci et al, 2008).

Salah satu contoh NSAID yang dapat diberikan yaitu diklofenak, terutama dalam bentuk

natrium diklofenak. Obat ini memiliki waktu paruh yang singkat dibandingkan NSAID yang lain

yaitu 2 jam. Dosis yang diberikan 100-150 mg/hari dalam dosis terbagi dengan dosis maksimum

200 mg (Dipiro et al, 2009).

Natrium diklofenak dikontraindikasikan pada pasien yang mengalami tukak lambung dan

hipersensitivitas terhadap diklofenak dan NSAID lainnya, dan pasien yang memiliki riwayat

asma.

Page 2: Osteoporosis

Peringatan :

Hati-hati penggunaan pada penderita dekomposisi jantung atau hipertensi,

karena diklofenak dapat menyebabkan retensi cairan dan edema.

Hati-hati penggunaan pada penderita gangguan fungsi ginjal, jantung, hati, penderita usia

lanjut dan penderita dengan luka atau perdarahan pada saluran pencernaan.

Hindarkan penggunaan pada penderita porfiria hati.

Hati-hati penggunaan selama kehamilan karena diklofenak dapat menembus

plasenta. Diklofenak tidak dianjurkan untuk ibu menyusui karena diklofenak diekskresikan

melalui ASI. 

Pada anak-anak efektivitas dan keamanannya belum diketahui dengan pasti.

(Fauci et al, 2008)

Adjuvan yang diberikan bersamaan dengan natrium diklofenak yaitu famotidine. Suatu

penelitian yang dilakukan oleh dr. Michael Weinblatt dan rekan dari Brigham and Womens

Hospital di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat menunjukkan bahwa kombinasi ini dapat

menurunkan efek samping diklofenak pada saluran cerna seperti pendarahan pada

gastrointestinal (lelo, 2009).

Parameter yang harus diperhatikan yaitu dosis yang diberikan harus diawali dari dosis

yang rendah baru ditingkatkan sedikit demi sedikit. Selain itu NSAID dapat menyebabkan

peningkatan tekanan darah sehingga penggunaannya harus diperhatikan sesuai dosis. Apabila

nyeri sudah hilang maka obat dapat dihentikan penggunaannya. Jika terjadi ruam kulit, ulser

saluran cerna, perdarahan, gangguan penglihatan, peningkatan berat badan, udem, eses hitam,

atau sakit kepala yang persisten, hubungi dokter. Jika ada gangguan pencernaan, gunakan obat

sesudah makan (Lelo, 2009).

PENGERTIAN OSTEOPOROSIS

Osteoporosis adalah gangguan sistem skeletal didefinisikan sebagai tingkat kekuatan tulang di

bawah normal akibat berkurangnya kepadatan tulang secara progresif  yang menyebabkan tulang

menjadi rapuh dan mudah patah. WHO mendefinisikan osteoporosis sebagai penurunan

kepadatan tulang sebesar 2,5 standar deviasi (SD) di bawah rata-rata untuk orang dewasa muda

yang sehat dari gender yang sama dan juga dilihat dari T-skor -2,5 (Fauci et al, 2008).

Page 3: Osteoporosis

OBAT PENGINDUKSI OSTEOPOROSIS

Osteoporosis dibagi menjadi dua yaitu osteoposrosis primer dan osteoporosis sekunder.

Osteoporosis primer disebabkan oleh reduksi estrogen yang terjadi dalam tubuh wanita setelah

menopause atau terkait usia dalam perubahan laju pembentukan tulang yang terjadi baik wanita

maupun pria akibat penuaan. Sedangkan osteoporosis sekunder disebabkan oleh kondisi dan

peawatan tertentu seperti induksi akibat obat.

Obat yang dapat menginduksi osteoporosis yaitu

1. Glukokortikoid

Kortikosteroid sangat banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit,

terutama penyakit otoimun. Obat ini mempunyai banyak efek samping, salah satunya adalah

menyebabkan kehilangan massa tulang yang ireversibel, bila digunakan dalam dosis yang

tinggi dan jangka panjang. Efek kortikosteroid pada tulang trabekular jauh lebih besar

daripada efeknya pada tulang kortikal, dan kehilangan massa tulang yang tercepat sampai

terjadi fraktur pada umumnya terjadi pada vertebra, iga dan ujung tulang panjang.

Kehilangan massa tulang tercepat terjadi pada tahun pertama penggunaan steroid yang dapat

mencapai 20% dalam 1 tahun. Insidens fraktur akibat osteoporosis pada pengguna steroid

tidak diketahui secara pasti. Selain itu, penggunaan steroid dosis rendah termasuk inhalasi

juga dapat menyebabkan osteoporosis. Dari berbagai penelitian, diketahui bahwa

penggunaan prednison lebih dari 7,5 mg/hari akan menyebabkan osteoporosis pada banyak

penderita.

Efek glukokortikoid pada tulang meliputi :

Histomorfometri

Secara histomorfometri, glukokortikoid akan mengakibatkan penurunan tebal dinding

tulang trabekular, penurunan mineralisasi, peningkatan berbagai parameter resorpsi

tulang, depresi pengerahan osteoblas dan penekanan fungsi osteoblas.

Efek pada osteoblas dan formasi tulang

Penggunaan glukokortikoid dosis tinggi dan terus menerus akan mengganggu sintesis

osteoblas dan kolagen. Replikasi sel akan mulai dihambat setelah 48 jam paparan dengan

glukokortikoid. Selain itu juga terjadi penghambatan sintesis osteokalsin oleh osteoblas.

Efek pada resorpsi tulang

Page 4: Osteoporosis

In vitro, glukokortikoid menghambat diferensiasi osteoblas dan resorpsi tulang pada

kultur organ. Efek peningkatan resorpsi tulang pada pemberian glukokortikoid in vivo,

berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder akibat penghambatan absorpsi

kalsium di usus oleh glukokortikoid.

Efek pada hormon seks

Glukokortikoid menghambat sekresi gonadotropin oleh hipofisis, estrogen oleh ovarium

dan testosteron oleh testes. Hal ini akan memperberat kehilangan massa tulang pada

pemberian steroid.

Absorpsi kalsium di usus dan ekskresi kalsium di ginjal

Penggunaan glukokortikoid dosis farmakologik akan mengganggu transport aktif

transelular kalsium. Mekanisme yang pasti tidak diketahui dan tidak berhubungan dengan

vitamin D. Gan asupan natrium yang tinggi dan akan menurun dengan pembatasan

asupan natrium dan pemberian diuretik tiazid.

Efek pada metabolisme hormon paratiroid dan vitamin D

Kadar PTH dan 1,25 dihidroksivitamin D (1,25 (OH)2D) dalam serum meningkat pada

pengguna glukokortikoid, walaupun kadar kalsium serum tinggi. Hal ini diduga

berhubungan dengan perubahan reseptor kalsium sel yang mengubah transport kalsium.

Glukokortikoid meningkatkan sensitivitas osteoblas terhadap PTH, meningkatkan

reseorpsi tulang dan menghambat formasi tulang. Glukokortikoid akan menghambat

produksi IL-1 dan IL-6 limfosit-T. Pada penderita artritis reumatoid, pemberian

glukokortikoid akan menurunkan aktifitas peradangan sehingga penurunan massa tulang

juga dihambat. Walaupun demikian, para ahli masih berbeda pendapat, apakah hal ini

merupakan efek glukokortikoid pada tulang atau ada faktor-faktor lainnya.

Osteonekrosis

Osteonekrosis (nekrosis aseptik, nekrosis avaskular), merupakan efek lain glukokortikoid

pada tulang. Bagian tulang yang sering terserang adalah kaput femoris, kaput humeri dan

distal femur. Mekanismenya belum jelas, diduga akibat emboli lemak dan peningkatan

tekanan intraoseus.

2. Antikonvulsan

Obat antikonvulsan dapat memicu kehilangan densitas tulang dan fraktur.

Page 5: Osteoporosis

3. Tiroksin berlebih

Tiroksin adalah hormon yang dilepaskan oleh kelenjar tiroid. Hormon ini berperan dalam

metabolisme tubuh. Apabila hormon ini meningkat jumlahnya di dalam tubuh, maka proses

metabolism akan semakin aktif, akibatnya metabolism kalsium juga akan semakin cepat

sehingga kalsium akan lebih banyak diekresikan melalui urin dan tinja. Banyaknya ekskresi

kalsium akan menyebabkan tulang kehilangan banyak kalsium sehingga tulang mudah

keropos dan menimbulkan osteoporosis.

4. Siklosporin

Pasien yang menjalani transplantasi memungkinkan memliki resiko yang tinggi kehilangan

kepadatan tulang dengan cepat dan patah tulang, tidak hanya glukokortikoid tetapi juga dari

perawatan dengan imunosupresan seperti siklosporin dan takrolimus. Selain itu, pasien

sering mengalami abnormalitas metabolik seperti gagal ginjal dan hati yang cenderung

mempengaruhi pengurangan massa tulang.

5. Obat sitotoksik

Obat sitotoksik digunakan dalam berbagai variasi stage dari perawatan kanker payudara dan

juga memperlihatkan efek merusak pada massa tulang dan resiko patah tulang.

6. Aromatase inhibitor

Obat ini berpotensi memblok enzim aromatase yang mengonversi androgen dan precursor

adrenal lainnya menjadi estrogen sehingga menyebabkan penurunan tingkat peredaran

estrogen postmenopause secara dramatis.

(Fauci et al, 2008).

Faktor resiko yang menyebabkan osteoporosis yaitu

Defisiensi estrogen

Osteoporosis postmenopausal terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama

pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada

wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75 tahun, tetapi

bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki risiko

yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah

timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.

Defisiensi estrogen mungkin menyebabkan kehilangan massa tulang dengan dua

mekanisme yang berbeda tetapi saling terkait yaitu, pertama aktivasi sisi remodeling

Page 6: Osteoporosis

tulang baru dan yang kedua, ketidakseimbangan antara pembentukan tulang dan resorpsi

tulang. Perubahan dalam frekuensi aktivasi menyebabkan kehilangan massa tulang

sementara waktu sampai keadaan stabil antara resorpsi dan pembentukan tercapai.

Ketidakseimbangan remodeling menghasilkan kerusakan permanen pada massa tulang.

Selain itu keberadaan sisi remodeling yang lebih banyak pada skeleton meningkatkan

kemungkinan trabekula berpenetrasi sehingga menghilangkan template pada saat tulang

baru dibentuk dan mempercepat kehilangan jaringan tulang. Sel sumsum (makrofag,

monosit, precursor osteoklas, sel mast) sama halnya dengan sel tulang (osteoblas,

osteosit, osteoklas) mengekspresikan ERs α dan β. Hilangnya estrogen meningkatkan

produksi RANKL dan mungkin mengurangi produksi osteoprogerin, meningkatkan

rekrutmen osteoklas. Estrogen juga berperan penting menentukan lama hidup sel tulang

dengan mengontrol laju apoptosis. Dalam situasi kekurangan estrogen, waktu hidup

osteoblas berkurang, sebaliknya umur dan aktivitas osteoklas meningkat. Patah tulang

terjadi di awal pada sisi dimana tulang trabekular paling berkontribusi pada kekuatan

tulang. Konsekuensi akibat defisiensi estrogen yaitu patah tulang vertebral. Defisiensi

estrogen dapat terjadi pada wanita menopause.

Usia

Seiring dengan pertambahan usia, fungsi organ tubuh justru menurun. Pada usia 75-85

tahun, wanita memiliki risiko 2 kali lipat dibandingkan pria dalam mengalami kehilangan

tulang trabekular karena proses penuaan, penyerapan kalsium menurun dan fungsi

hormon paratiroid meningkat.

Penggunaan kalsium rendah

Puncak massa tulang mungkin kurang oleh terganggunya asupan kalsium selama masa

pertumbuhan diantara nutrisi lainnya, selanjutnya mengarah pada peningkatan resiko

osteoporosis. Selama fase dewasa, kekurangan kalsium berkontribusi pada hipertiroid

relatif sekunder dan peningkatan laju remodeling tulang untuk mempertahankan tingkat

serum kalsium normal. Efek jangka panjang yaitu kerusakan skeleton karena

meningkatkan laju remodeling dan ketidakseimbangan yang berlangsung antara resopsi

dan benbentukan pada sisi remodeling yang meningkatkan kecepatan hilangnya jaringan

tulang.

Minuman berkafein dan Alkohol yang berlebihan

Page 7: Osteoporosis

Minuman berkafein seperti kopi dan alkohol juga dapat menimbulkan tulang

keropos, rapuh dan rusak. Hal ini dipertegas oleh Dr.Robert Heany dan Dr. Karen

Rafferty dari creighton University Osteoporosis Research Centre di Nebraska yang

menemukan hubungan antara minuman berkafein dengan keroposnya tulang. Hasilnya

adalah bahwa air seni peminum kafein lebih banyak mengandung kalsium, dan kalsium

itu berasal dari proses pembentukan tulang. Selain itu kafein dan alkohol bersifat toksin

yang menghambat proses pembentukan massa tulang (osteoblas).

Riwayat patah tulang saat dewasa

Seseorang yang sudah mengalami patah tulang sebelumnya akan lebih mudah tekena

osteoporosis akibat tulang yang patah memungkinkan tingkat kekuatan tulang akan

melemah.

Gaya hidup yang kurang baik

Konsumsi daging merah dan minuman bersoda, karena keduanya mengandung fosfor

yang merangsang pembentukan horman parathyroid, penyebab pelepasan kalsium dari

dalam darah

Berat badan rendah

Perawakan kurus dan mungil memiliki bobot tubuh cenderung ringan misal

kurang dari 57 kg, padahal tulang akan giat membentuk sel asal ditekan oleh bobot yang

berat. Karena posisi tulang menyangga bobot maka tulang akan terangsang untuk

membentuk massa pada area tersebut, terutama pada derah pinggul dan panggul. Jika

bobot tubuh ringan maka massa tulang cenderung kurang terbentuk sempurna.

Keturunan osteoporosis

Jika ada anggota keluarga yang menderita osteoporosis, maka berhati-hatilah.

Osteoporosis menyerang penderita dengan karakteristik tulang tertentu. Seperti kesamaan

perawakan dan bentuk tulang tubuh. Itu artinya dalam garis keluarga pasti punya struktur

genetik tulang yang sama.

Merokok

Ternyata rokok dapat meningkatkan risiko penyakit osteoporosis. Perokok sangat

rentan terkena osteoporosis, karena zat nikotin di dalamnya mempercepat penyerapan

tulang. Selain penyerapan tulang, nikotin juga membuat kadar dan aktivitas hormon

estrogen dalam tubuh berkurang sehingga susunan-susunan sel tulang tidak kuat dalam

Page 8: Osteoporosis

menghadapi proses pelapukan. Disamping itu, rokok juga membuat penghisapnya bisa

mengalami hipertensi, penyakit jantung, dan tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh.

Kalau darah sudah tersumbat, maka proses pembentukan tulang sulit terjadi. Jadi, nikotin

jelas menyebabkan osteoporosis baik secara langsung tidak langsung.

Saat masih berusia muda, efek nikotin pada tulang memang tidak akan terasa

karena proses pembentuk tulang masih terus terjadi. Namun, saat melewati umur 35, efek

rokok pada tulang akan mulai terasa, karena proses pembentukan pada umur tersebut

sudah berhenti.

Kurangnya aktivitas fisik

Wanita yang malas bergerak atau olahraga akan terhambat proses osteoblasnya (proses

pembentukan massa tulang). Selain itu kepadatan massa tulang akan berkurang. Semakin

banyak gerak dan olahraga maka otot akan memacu tulang untuk membentuk massa.

Ras atau suku

Ras juga membuat perbedaan dimana ras kulit putih atau keturunan asia memiliki

risiko terbesar. Hal ini disebabkan secara umum konsumsi kalsium wanita asia rendah.

Salah satu alasannya adalah sekitar 90% intoleransi laktosa dan menghindari produk dari

hewan. Pria dan wanita kulit hitam dan hispanik memiliki risiko yang signifikan

meskipun rendah.

Penyakit kronis

Variasi genetik dan penyakit dapatan diasosiasikan dengan peningkatan resiko

osteoporosis. Mekanisme yang berkontribusi pada kehilangan massa tulang unik untuk

setiap penyakit dan biasanya hasil dari beberapa faktor seperti nutrisi,kurangnya aktivitas,

dan faktor yang member efek pada laju remodeling tulang. Contoh penyakit yang

berasosiasi pada peningkatan resiko osteoporosis antara lain kelainan hematologi

(leukemia, hemofili, limpoma), hiperparatiroidisme, malnutrisi, insufisiensi adrenal, dan

lain-lain.

(Fauci et al, 2008).

Pada kasus di atas faktor resiko yang dimiliki pasien yaitu defisiensi estrogen, umur, dan riwayat

patah tulang. Umur 77 tahun wanita sudah mengalami post menopause yang menyebabkan

kurangnya produksi estrogen karena tidak aktifnya ovarium dalam menghasilkan ovum. Selain

itu, patah tulang sebelumnya dapat memicu osteoporosis.

Page 9: Osteoporosis

TERAPI NON FARMAKOLOGI

Terapi non farmakologi untuk osteoporosis dapat dilakukan dengan pengaturan diet.

Keseimbangan diet dengan asupan adekuat dari kalsium dan vitamin D. Perubahan gaya hidup

seperti mengurangi minuman yang berkafein dan minum alkohol berlebihan karena dapat

mempercepat resorpsi tulang. Sebisa mungkin hindari rokok dan jangan merokok.

Olahraga Tai-Chi ternyata berguna untuk memperbaiki keseimbangan tubuh penderita

osteoporosis. Untuk lansia, penting untuk mencegah terjadinya jatuh di rumah/lingkungan rumah

karena hampir semua penderita patah tulang di rumah. Usahakan agar faktor-faktor yang dapat

mengakibatkan jatuh dihilangkan seperti lantai licin, karpet longgar, keadaan tangga, pengobatan

sedatif (membuat ngantuk). Pada osteoporosis, latihan jasmani dilakukan untuk mencegah dan

mengobati penyakit osteoporosis. Latihan jasmani menggunakan beban berguna untuk

melenturkan dan menguatkan tulang. Latihan jasmani sebaiknya dilakukan sejak muda dan terus

dilanjutkan sampai tua (Fauci et al, 2008).

TERAPI FARMAKOLOGI

Terapi farmakologi untuk osteoporosis dibagi menjadi dua yaitu terapi dengan antiresorpsi dan

dengan terapi anabolik.

A. TERAPI ANTIRESORPI

1. Kalsium

Kalsium harus dikonsumsi dalam jumlah adekuat untuk mencegah

hiperparatiroidisme dan destruksi tulang. Kalsium harus dikombinasikan dengan vitamin

D dan obat-obat osteoporosis ketika diperlukan. Kalsium yang diberikan biasanya dalam

bentuk garamnya seperti kalsium karbonat dan kalsium sitrat. Kalsium karbonat

merupakan garam pilihan yang mengandung elemen kalsium paling besar (40%) dan

lebih murah. Kalsium karbonat harus diberikan dengan makanan agar dapat diabsorpsi

dari peningkatan sekresi asam. Kalsium sitrat absorpsinya tidak tergantung asam

sehingga dapat diberikan tanpa makanan. Efek samping dari kalsium yaitu konstipasi

(Dipiro et al, 2009).

Page 10: Osteoporosis

Tabel 1. Estimasi asupan adekuat kalsium sesuai umur.

Tingkatan umurEstimasi adekuat asupan kalsium

harian, mg/hari

Anak-anak muda (1-3 th) 500

Anak-anak lebih tua (4-8 th) 800

Adolesen dan dewasa muda (9-18 th) 1300

Pria dan wanita (19-50 th) 1000

Pria dan wanita ( 51 th ke atas) 1200

Tabel 2. Preparasi kalsium

Preparasi kalsium Kandungan kalsium

Calcium citrate 60 mg/300mg

Calcium lactate 80 mg/600 mg

Calcium gluconate 40 mg/500 mg

Calcium carbonate 400 mg/g

Calcium carbonate+ 5 g vitamin

D2 (OsCal 250)

250 mg/tablet

Calcium carbonate (Tums 500) 500 mg/tablet

(Fauci et al, 2008)

Kalsium diindikasikan pada pasien yang mengalami defisiensi kalsium. Kalsium

dikontraindikasikan pada pasien hiperkalsemia dan vibrasi ventricular. Sediaan yang

beredar seperti kalsium glukolonat (generik) tablet 600 mg, kalsium laktat (generik)

tablet 300 mg. (Dipiro et al, 2009).

2. Vitamin D

Vitamin D disintesis dalam kulit di bawah pengaruh cahaya panas dan ultraviolet.

Namun, segmen besar dari populasi tidak memperoleh cukup vitamin D untuk

mempertahankan apa yang sekarang dianggap sebagai pasokan yang cukup [serum 25

(OH) D konsisten> 75 mol / L (30 ng / mL)]. Karena suplemen vitamin D pada dosis

yang akan mencapai kadar serum aman dan murah, Institute of Medicine

merekomendasikan asupan harian 200 IU untuk orang dewasa <50 tahun, 400 IU untuk

orang-orang dari 50-70 tahun, dan 600 IU untuk orang-orang > 70 tahun. Tablet

Page 11: Osteoporosis

multivitamin biasanya mengandung 400 IU, dan suplemen kalsium juga banyak

mengandung vitamin D. Beberapa data menunjukkan bahwa dosis tinggi (1.000 IU)

mungkin diperlukan pada orang tua dan sakit kronis (Fauci et al, 2008).

Efek samping dari pemberian vitamin D yaitu dalam jangka pendek seperti mual-

mual, muntah, sakit kepala. Sedangkan dalam jangka panjang dapat menyebabkan

anoreksia, polidipsi, pruritus, hipertermia. Vitamin D apabila diberikan bersamaan

dengan pemberian kalsium dari makanan akan mendapatkan respon klinis yang baik.

Peringatan pada pasien gagal ginjal yang tidak dapat mensintesis kalsitriol dengan jumlah

cukup pada wanita hamil, penggunaannya harus memperhatikan rasio manfaat dan resiko

(Dipiro et al, 2009).

3. Bifosfonat

Mekanisme kerja obat ini adalah dengan berikatan dengan hidroksipatit dalam

tulang dan menurunkan resorpsi dengan mengganggu fungsi osteoklas dan mengurangi

jumlah osteoklas dengan cara menginduksi apoptosis (Fauci et al, 2008). Contoh dari

obat golongan bisphosphonat yaitu alendronat, risedronat, dan ibandronat. Menurut FDA

ketiga obat ini terbukti dapat mencegah dan mengobati osteoporosis postmenopause.

Alendronat dan risedronat digunakan untuk osteoporosis yang diinduksi kortikosteroid.

Obat golongan ini dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki hipersensitivitas

terhadap bophosphonat, osteomalasia, dan hipokalsemia. Efek samping yang timbul

seperti mual-mual, muntah, iritasi, nyeri abdomen dan ulserasi (Dipiro et al, 2009).

Bifosfonat tidak dapat diberikan bersama dengan antacid dan kalsium karena

obat-obat ini dapat menurunkan absorpsi biposphonat. Selain itu, biphosponat harus

diberikan 30 menit sebelum pemberian kalsium. Obat ini harus diberikan secara hati-hati

untuk mengoptimalkan manfaat klinis dan meminimalkan resiko efek samping terhadap

gastrointestinal (Dipiro et al, 2009).

Dosis bofosfonat pada orang dewasa

Alendronat : untuk pencegahan diberikan 5 mg/hari,35 mg/minggu; untuk

perawatan 10 mg/hari, 70 mg tablet, 70 mg tablet dengan vitamin D 2800 atau 5600

Unit

Risendronat : 5 mg/hari, 35 mg/minggu, 150 mg/bulan

Ibandronat : 2,5 mg/hari, 150 mg sekali sebulan, 5 mg IV per tahun

Page 12: Osteoporosis

Terapi kombinasi baik dengan terapi estrogen maupun ralofixen menghasilkan

peningkatan BMD yang lebih besar dibandingkan apabila digunakan sendiri-sendiri

(Dipiro et al, 2009).

4. SERM

Semua SERM (Selective Estrogen Receptor Modulator) berikatan dengan ER

tetapi setiap agen menhasilkan konformasi reseptor-obat yang unik. Akibatnya co-

aktivator spesifik atau co-reseptor protein diikat pada reseptor menghasilkan efek yang

berbeda pada transkripsi gen yang tergantung pada kehadiran faktor transkripsi lainnya

dalam sel. Contoh obat ini adalah raloxifen (Fauci et al, 2008).

Raloxifen merupakan estrogen agonis pada tulang tetapi antagonis pada susu dan

uterus diindikasikan untuk mencegah dan merawat osteoporosis postmenopause. Obat ini

menurunkan fraktur tulang belakang dan meningkatkan BMD tulang pinggul, tetapi

efeknya lebih rendah daripada bifosfonat. Apabila pemberian obat dihentikan, kehilangan

massa tulang akan kembali terjadi sesuai dengan usia atau faktor laju penyakit. Raloxifen

ditoleransi baik. Dosis yang diberikan yaitu 60 mg/hari. Hot flush sering terjadi pada

wanita yang selesai menopause atau terapi estrogennya dihentikan (Fauci et al, 2008).

5. Kalsitonin

Mekanisme kerja obat ini adalah bersama-sama dengan hormon paratiroid

mengatur homeostasis kalsium dan metabolism kalsium tulang. Kalsitonin dilepaskan

dari kelenjar tiroid terjadi peningkatan kadar kalsium serum. Kalsitonin menekan

aktivitas osteoklas dengan langsung beraksi pada reseptor kalsitonin osteoklas. Kalsitonin

salmon digunakan secara klini karena lebih poten dibandingkan kalsitonin mamalia

(Fauci et al, 2008).

Obat ini diindikasikan untuk pengobatan osteoporosis pada wanita setidaknya 5

tahun setelah menopause, penyakit paget, dan nyeri tulang. Efek sampingnya mual,

muntah, reaksi radang local. Obat ini beredar ada dalam bentuk nasal spray dan injeksi

(Dipiro et al, 2009).

Kalsitonin merupakan pengobatan lini ketiga karena efikasinya kurang

dibandingkan terapi antiresorpsi lainnya. Hanya fraktur tulang belakang yang

didokumentasikan mengalami penurunan dengan pemakaian kalsitonin intranasal.

Kalsitonin tidak secara konsisten memberikan efek pada BMD pinggul dan tidak

Page 13: Osteoporosis

menurunkan resiko fraktur tulang pinggul. Dosis intranasal yang diberikan yaitu 200 unit

setiap hari dan subkutan 100 unit setiap hari tetapi jarang diberikan karena efek samping

dan biaya yang mahal (Dipiro et al, 2009).

6. Terapi estrogen

Mekanisme estrogen yaitu mungkin dengan menghambat osteoklas secara

langsung. Meskipun demikian, estrogen umumnya memberi efek pada resorpsi tulang

yang dimediasi tidak langsung melalui faktor parakrin yang dihasilkan oleh osteoblas.

Aksinya meliputi (1) peningkatan IGF-I dan TGF-β, dan (2) menekan IL-1 (α dan β), IL-

6, TNF-α dan sintesis osteokalsin. Aksi estrogen tidak langsung umumnya menurunkan

resorpsi tulang (Fauci et al, 2008).

FDA menyepakati estrogen sebagai terapi pencegahan osteoporosis tetapi hanya

digunakan dalam jangka pendek pada wanita yang memerlukan terapi estrogen untuk

memanajemen gejala menopause seperti hot flush. Resiko penggunaan jangka panjang

lebih besar dibandikan manfaat yang diberikan (Fauci et al, 2008).

Dosis rekomendasi untuk estrogen oral yaitu 0,3 mg per hari dalam bentuk

estrogen ester, 0,625 mg/hari estrogen konjugat, dan 5 µg/hari untuk etinilestradiol.

Untuk estrogen transdermal dosis yang umumnya digunakan yaitu 50µg estradiol setiap

hari, tetapi dosis rendah mungkin disesuaikan untuk beberapa individu. Efek peningkatan

BMD dari terapi estrogen dan terapi kombinasi estrogen-progestin lebih kecil daripada

efek yang dihasilkan bifosfonat tetapi lebih dibandingkan raloxifen (Dipiro et al, 2009).

B. TERAPI ANABOLIK

Terapi Hormon Paratiroid.

Mekanisme dari hormon paratiroid (PTH) secara eksogen pemberiannya nampak

memiliki aksi langsung pada aktivitas osteoblas. PTH mengaktifkan remodeling tulang

tetapi masih nampak mendukung pebentukan tulang diatas resorpsi tulang. PTH

menstimulasi IGF-I dan produksi kolagen dan nampak meningkatkan jumlah osteoblas

dengan menstiulasi replikasi, meningkatkan rekrutmen osteoblas, dan menghambat

apoptosis. Tidak seperti perawatan lainnya, PTH benar-benar menghasilkan peningkatan

pada jaringan tulang dan nampak restorasi mikroarsitektur tulang (Fauci et al, 2008).

Page 14: Osteoporosis

PTH analog seperti teriparatide merupakan obat yang disetujui untuk pengobatan

osteoporosis pada pria maupun wanita. Perawatan dengan PTH diberikan sebagai injeksi

tunggal harian diberikan maksimal 2 tahun. Teriparatid menhasilkan peningkatan dalam

massa tulang dan mediasi perbaikan arsitektur tulang. Efeknya akan kurang apabila

pasien sebelumnya diberikan bifosfonat. Jika teriparatid diputuskan sebagai pilihan

pengobatan, paling baik jika diberikan monoterapi dan diikuti dengan suatu agen

antiresorpsi seperti bifosfanat. Terapi teriparatid diindikasikan untuk pasien wanita post

menopause, pria yang memiliki resiko tinggi patah tulang, pasien dengan osteoporosis

fraktur, dan massa jenis tulang rendah ( skor T <-3,5). Obat ini dikontraindikasikan pada

pasien yang memiliki peningkatan resiko terhadap osteosarcoma. Teriparatid tidak boleh

diberikan kombinasi dengan alendronat karena dapat menghambat efek teriparatid

(Dipiro et al, 2009).

Untuk terapi osteoporosis diberikan :

alendronate seminggu 1 x 70 mg

kalsium dan vitamin D, sehari 2 x 1 tablet pemberian setelah alendronat

Mekanisme kerja alendronate

Alendronate bekerja menghambat resorpsi tulang dengan cara berikatan dengan sisi aktif

resorpsi tulang sehingga menghambat resorpsi aktif oleh osteoklas tanpa menghambat

fungsi osteoblas. Penghambatan resorpsi tulang menurunkan konsentrasi pelepasan

substansi dari tulang dan reduksi signifikan dalam plasma kalsium dan fosfat (Dollery,

1999)

Efek samping alendronate

- Menyebabkan erosi dan ulserasi esophagus yang banyak.

- Overdosis alendronat dapat dikurangi dengan pemberian susu atau antasida yang

mengandung kalsium sehingga mencegah penyerapan melalui usus.

- Konstipasi

- Diare

- Ulser esophagus

- Flatulen (Sering kentut)

Page 15: Osteoporosis

- Disfagia (Sulit menelan)

- Penurunan konsentrasi fosfat dan kalsium pada serum

(Dollery, 1999)

Interaksi alendronate dengan obat lainnya dan makanan

Penggunaan alendronat bersamaan dengan NSAIDs dan aspirin meningkatkan kejadian

efek samping gastro intestinal bagian atas. Absorpsi alendronat dihambat pada pemberian

bersamaan antasida dan suplemen kalsium (Dollery, 1999)

Saran yang diberikan untuk aturan pakai obat obat-obat tersebut

Alendronat tidak boleh diberikan bersamaan dengan suplemen kalsium dan vitamin D

karena dapat mengurangi absorpsi alendronat, tetapi karena di dalam resep diberikan

kalsium dan vitamin D, maka anjurkan pasien untuk meminum alendronat 30 menit

sebelum suplemen kalsium dan vitamin D (Dollery, 1999).

Saran apa yang berkaitan dengan pemberian alendronat

Dosis 10mg/hari. Alendronat diminum dalam keadaan perut kosong (belum makan).

Sebelum diminum, tablet alendronat harus dicuci dahulu dengan segelas air. Tetap tegak

selama setengah hingga satu jam setelah menelan tablet dan jangan berbaring sebelum

makan pertama. Alendronat sebaiknya tidakk diberikan sebelum tidur. Peresepan

bersama aspirin dan NSAIDs harus secara hati – hati (Dollery, 1999)

Pasien meminta informasi mengenai teripatide dan meminta saran anda tentang kemungkinan

pilihan tersebut. Berikan saran anda!

TERIPARATIDE

Teriparatide adalah obat pilihan kedua pada pencegahan kerapuhan patah tulang pada

wanita penderita osteoporosis yang berumur 65 tahun atau lebih tua. Teripatide dianjurkan jika

penggunaan bifosfonat gagal atau tidak toleran terhadap terapi bifosfonat (Sweetman, 2009).

Teriparatide digunakan dalam pengobatan osteoporosis pascamenopause, terutama pada

mereka dengan risiko patah tulang tinggi, dan pada laki-laki dengan osteoporosis primer atau

hipogonadisme yang berada pada peningkatan risiko patah tulang. Dosis umum adalah 20

mikrogram subkutan setiap hari ke paha atau dinding perut. Setiap perangkat 3-mL pena prefilled

Page 16: Osteoporosis

memberikan dosis 20-mcg setiap hari sampai 28 hari. Pasien diingatkan perangkat pena harus

disimpan dalam lemari es (Dipiro, 2006). Pengobatan dibatasi maksimum 18 bulan di Inggris,

meskipun telah digunakan sampai 2 tahun di Amerika Serikat (Sweetman, 2009).

Yang harus diperhatikan dalam penggunaan Teriparatide adalah untuk pasien yang

memiliki riwayat hipersensitivitas karena teriparatide adalah peptida dan kemungkinan reaksi

hipersensitivitas sistemik harus diingat (Sweetman, 2009). Pasien yang sebelumnya

mendapatkan terapi alendronate akan menurukan aktivitas dari teriparatide. Teriparatide juga

kontraindikasi pada terhadap pasien yang memiliki penyakit-penyakit tertentu seperti pada

pasien dengan gangguan ginjal berat dan harus digunakan dengan hati-hati dengan mereka yang

memiliki gangguan ginjal sedang. Hiperkalsemia dapat berkembang dengan teriparatide oleh

karena itu dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat menderita hiperkalsemia (Sweetman,

2009). Walau hiperkalsemia transient jarang terjadi pada pasien yang tidak memiliki riwayat

menderita hiperkalsemia, namun pemeriksaan konsentrasi kalsium dalam serum tetap dianjurkan

1 bulan setelah dimulainya terapi (Dipiro, 2006). Dilaporkan terjadinya osteosarcoma pada tikus

yang diberikan teriparatide sehingga pasien yang mungkin memiliki peningkatan risiko

osteosarcoma, termasuk mereka dengan riwayat metastasis tulang atau sebelumnya mendapatkan

radioterapi untuk kerangka, seharusnya tidak menerima terapi teriparatide. teriparatide juga

kontraindikasi pada pasien dengan penyakit tulang metabolik termasuk penyakit Paget dan

hiperparatiroidisme (Sweetman, 2009).

Teriparatide tersedia dalam bentuk infus intravena dan dalam bentuk pen untuk

pemberian secara subkutan (Dipiro, 2006). Pasien harus diberikan konseling bahwa pemberian

secara subkutan memiliki efek samping yang dapat mengganggu pasien seperti yang paling

umum adalah gangguan pencernaan, nyeri pada tungkai dekat injeksi, sakit kepala, dan pusing.

Pusing, vertigo, dan sinkop dapat berhubungan dengan hipotensi ortostatik transien yang terjadi

pada beberapa pasien, terutama ketika memulai pengobatan sehingga dosis awal harus diberikan

dengan pasien baik berbaring atau duduk dalam hal mengantisipasi terjadi hipotensi ortostatik

dan pasien harus diberikan konseling untuk tidak boleh mengemudi atau mengoperasikan mesin

berpotensi berbahaya saat melakukan injeksi teriparatide secara subkutan (Dipiro, 2006).

Asthenia, arthralgia, dan rhinitis dapat terjadi. Angina pektoris, depresi, dispnea, kram kaki,

radang paru-paru, gangguan kemih, dan linu panggul juga telah dilaporkan (Sweetman, 2009).

Page 17: Osteoporosis

Teriparatide dapat digunakan untuk terapai selama 18 bulan atau maksimal selama 2

tahun. Penggunaannya dibatasi pada waktu tersebut karena teriparatide dimetabolisme aktif di

hati dan diekskresikan diginjal sehingga penggunaan dalam jangka panjang dikhawatirkan

merusak hati dan fungsi ginjal (Sweetman, 2009).

Page 18: Osteoporosis

DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, Joseph T. et al. 2006. Pharmacotherapy Handbook, 6th Edition. New York: McGraw-Hill. Hal: 29

Dipiro, Joseph T., Cecily V. Dipiro, Terry L. Schwinghammer, dan Barbara G. Wells. 2009. Pharmacotherapy Handbook 7th Edition. United State : The McGraw-Hill Companies.

Dollery, Collin. 1999. Therapeutic Drug Second Edition. Toronto : Harcourt Brace and Company Llimited.

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser Longo, Jameson, dan Loscalzo. 2008. Harrison’s Principle of Internal Medicine Seventeenth Edition. United State : McGraw-Hill Companies Inc.

Lelo, Aznan. 2009. Manfaat Ains Terhadap Nyeri Gangguan Muskuloskeletal Pada Usia Lanjut. Sumatera Utara : Fakultass kedoketran, Universitas Sumatera Utara.

Sweetman, Sean C. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference, Thirty-sixth Edition. London: Pharmaceutical Press. Hal: 1105

Page 19: Osteoporosis

FARMAKOTERAPI I

STUDI KASUS OSTEOPOROSIS

OLEH :

ARIFANI SISWIDIASARI 0508505008

GEDE MAS TEDY WAHYUDHANA 0808505010

NI LUH PUTU ARIASIH 0808505020

NI LUH GEDE LISNIAWATI 0808505020

NI KOMANG ENNY WAHYUNI 0808505025

I B P DHARMA SANTOSA 0808505036

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

TAHUN 2011

Page 20: Osteoporosis