osteoporosis skripsi

download osteoporosis skripsi

of 44

description

osteoporosis referat, skripsi osteoporosis, referat osteoporosis

Transcript of osteoporosis skripsi

58

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangOsteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Pada tahun 2001, National Institute of health (NIH) mengajukan definisi baru osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh compromised bone strength sehingga tulang mudah patah (setyohadi, 2006). Osteoporosis sering disebut sebagai the silent disease karena proses kepadatan tulang berkurang secara perlahan dan berkembang secara progresif selama bertahun-tahun tanpa menimbulkan gejala sampai terjadi patah tulang. (Hadi, 2009).Menurut WHO (1994), angka kejadian patah tulang (fraktur) akibat osteoporosis di seluruh dunia mencapai angka 1,7 juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga mencapai 6,3 juta orang pada tahun 2050 dan 71% angka kejadian ini akan terdapat di negara-negara berkembang (Tana,2005). Indonesia termasuk salah satu negara berkembang yang memiliki angka kejadian osteoporosis cukup besar. Berdasarkan analisa data yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Depkes pada 14 provinsi menunjukkan bahwa masalah Osteoporosis di Indonesia telah mencapai pada tingkat yang perlu diwaspadai yaitu 19,7%. Lima proviinsi dengan resiko osteoporosis lebih tinggi adalah Sumatera Selatan (27,7%). Jawa Tengah (24,02%), DI Yogyakarta (23,5%), Sumatera Utara (22,82%), Jawa Timur (21,42%), dan Kalimantan Timur (10,5%). (DepKes RI, 27 september 2004).

Pada tahun 2006, hasil analisis data dan resiko osteoporosis yang dilakukan Departemen Kesehatan RI, setiap 2 dari 5 penduduk Indonesia memiliki resiko untuk terkena osteoporosis. Hal ini lebih tinggi dari prevalensi dunia yang hanya 1 dari 3 beresiko osteoporosis (Era Baru News,2008).

Osteoporosis seringkali tidak menunjukkan gejala yang dapat cepat diketahui, sehingga diagnosisnya secara klinis sulit dilakukan. Oleh karena itulah sebagian besar penderita osteoporosis datang berobat sudah dalam tahap osteoporosis lanjut dengan gejala patah tulang, punggung yang semakin membungkuk, hilangnya tinggi badan, dan nyeri punggung.

Perlu ditegakkan secepat mungkin untuk mencegah osteoporosis. Dalam prakteknya, berarti mendeteksi rendahnya massa tulang sebelum terjadi patah tulang. Pengukuran massa tulang biasanya dilakukan pada tulang belakang, pinggul, dan pergelangan tangan. Alasan pengukuran massa tulang untuk memberi informasi kemungkinan mengalami patah tulang. Sampai saat ini densitometri adalah cara paling akurat untuk mendiagnosa osteooporosis.Terdapat beberapa faktor penyebab osteoporosis antara lain usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, ras, indeks massa tubuh, dan penggunaan obat kortikosteroid. Penelitian Tedy Ghazali menemukan profil penderita osteoporosis pada 23 orang dengan presentase yaitu usia 50-59 tahun (40,9%), wanita (59,1%), riwayat keluarga (18,2%), daerah asal sumatera selatan (90,8%), kategori kurus (54,6%), konsumsi obat kortikosteroid (68,2%) yang dilakukan di Graha Spesialis RSUP Dr. Mohammad hoesin Palembang tahun 2009.Berdasarkan beda waktu dan subjek penelitian, maka dilakukan penelitian ini untuk memperbaharui data angka kejadian dan faktor risiko penderita osteoporosis di Graha Spesialis RSUP Dr. Mohammad hoesin Palembang.1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana deskripsi faktor resiko pada penderita osteoporosis yang berobat jalan di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang ?

1.3 Tujuan Penelitian1.3.1 Tujuan Umum

Mendeskripsikan faktor risiko pada penderita osteoporosis yang berobat jalan di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui profil penderita osteoporosis di RSUP Dr. Mohammad hoesin Palembang.2. Mencari faktor risiko pada penderita osteoporosis di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1Manfaat secara akademikHasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan dasar ilmu pengetahuan terutama dalam hal osteoporosis.

1.4.2Manfaat secara praktis

Dengan mengetahui faktor risiko osteoporosis diharapkan penelitian ini dapat dijadikan rujukan dalam menyusun program tindakan pencegahan yang teratur dan terarah sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan angka kejadian osteoporosis.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1Osteoporosis2.1.1Definisi OsteoporosisWorld Health Organization (WHO) dan konsensus ahli mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit yang ditandai dengan rendahnya massa tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan tulang, menyebabkan kerapuhan tulang sehingga meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Dimana keadaan tersebut tidak memberikan keluhan klinis, kecuali apabila telah terjadi fraktur (Consensus development conference, 1994).

Tulang adalah jaringan yang hidup dan terus bertumbuh. Tulang mempunyai struktur, pertumbuhan dan fungsi yang unik. Bukan hanya memberi kekuatan dan membuat kerangka tubuh menjadi stabil, tulang juga terus mengalami perubahan karena berbagai stres mekanik dan terus mengalami pembongkaran, perbaikan dan pergantian sel. Untuk mempertahankan kekuatannya, tulang terus menerus mengalami proses penghancuran dan pembentukan kembali. Tulang yang sudah tua akan dirusak dan digantikan oleh tulang yang baru dan kuat. Proses ini merupakan peremajaan tulang yang akan mengalami kemunduran ketika usia semakin tua. Pembentukan tulang paling cepat terjadi pada usia akil balik atau pubertas, ketika tulang menjadi makin besar, makin panjang, makin tebal, dan makin padat yang akan mencapai puncaknya pada usia sekitar 25-30 tahun. Berkurangnya massa tulang mulai terjadi setelah usia 30 tahun, yang akan makin bertambah setelah diatas 40 tahun, dan akan berlangsung terus dengan bertambahnya usia, sepanjang hidupnya. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya penurunan massa tulang yang berakibat pada osteoporosis (Tandra, 2009).

2.1.2 Epidemiologi

Osteoporosis dapat dijumpai tersebar di seluruh dunia dan sampai saat ini masih merupakan masalah dalam kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang. Di amerika serikat osteoporosis menyerang 20-25 juta penduduk, 1 diantara 2-3 wanita postmenopause dan lebih dari 50% penduduk diatas umur 75-80 tahun. Dari pasien-pasien tersebut diatas 1,5 juta mengalami fraktur setiap tahunnya, yang antara lain mengenai tulang femur bagian proksimal sebanyak 250.000 pasien dan fraktur vertebra menerang 500.000 pasien. Fraktur panggul, merupakan keadaan yang paling berat pada pasien osteoporosis dan akan mengakibatkan kematian pada sebanyak 10-15% setiap tahunnya. Lebih dari 50% pasien fraktur panggul terancam mengalami ketergantungan (tidak dapat melakukan sesuatu) sehingga 25% diantaranya memerlukan bantuan perawat terlatih.

Dari beberapa penelitian yang dilakukan, didapat bahwa satu diantara tiga wanita diatas usia 50 tahun menderita osteoporosis, penderita osteoporosis di Eropa, Jepang, Amerika Serikat sebanyak 75 juta penduduk, sedangkan China 84 juta penduduk, ada 200 juta penderita osteoporosis di seluruh dunia, dan ternyata risiko kematian akibat patah tulang pinggul sama dengan kanker payudara (Studi Cummings et al, 1989).

Di Indonesia ternyata prevalensi osteoporosis untuk umur kurang dari 70 tahun untuk wanita sebanyak 18-36%, sedangkan pria 20-27%, untuk umur diatas 70 tahun untuk wanita 53,6%, pria 38%. Lebih dari 50% keretakan osteoporosis pinggang di seluruh dunia kemungkinan terjadi di Asia pada 2050 (Yayasan Osteoporosis Internasional).

Peluang kejadian osteoporosis yang begitu tinggi yaitu satu dari tiga perempuan dan satu dari lima pria di Indonesia terserang osteoporosis atau keretakan tulang (Yayasan Osteoporosis Internasional), dua dari lima orang Indonesia memiliki risiko terkena penyakit osteoporosis (DEPKES, 2006) dan jumlah penderita osteoporosis di Indonesia jauh lebih besar dari data terkhir Depkes, yang mematok angka 19,7% dari seluruh penduduk dengan alasan perokok di negeri ini urutan ke-2 dunia setelah China. Dengan tingginya peluang tersebut, sangat diperlukan perhatian khusus untuk membuat suatu program, baik itu program pencegahan ataupun program penatalaksanaan yang baik terhadap penderita osteoporosis.

2.1.3 EtiologiOsteoporosis merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial, sehingga terdapat beberapa klaifikasi berdasarkan penyebabnya.

a. Osteoporosis Primer

Osteoporosis primer dapat terjadi pada tiap kelompok umur. Dihubungkan dengan faktor risiko meliputi kekurangan hormon dan kenaikan usia atau penuaan. Osteoporosis jenis ini merupakan osteoporosis yang paling sering, yaitu mencapai 80% kasus.

Terdapat beberapa tipe osteoporosis primer, yaitu :

1) Osteoporosis tipe 1 (osteoporosis pascamenopause)

Osteoporisis tipe ini terjadi akibat kurangnya hormon estrogen (hormon utama pada wanita), yang memiliki salah satu fungsi untuk membantu pengangkutan kalsium ke dalam tulang. Biasanya gejala timbul pada perempuan yang berusia antara 51-75 tahun, namun tidak menutup kemungkinan dapat muncul lebih cepat atau lebih lambat. Hal ini tergantung pada jumlah kadar estrogen pada seseorang (Michaelson, 2004).

2) Osteoporosis tipe II (osteoporosis senilis)

Osteoporosis tipe ini mungkin merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dnegan usia dan ketidakseimbanagn antara kecepatan hancurnya tulang (osteoklas) dan pembentukan tulang baru (osteoblas). Senilis memiiliki arti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada orang dengan usia lanjut, umumnya diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita (Michaelson, 2004).3) Osteoporosis Idiopatik

Osteoporosis tipe ini merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini umumnya terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon serta vitamin yang normal, sehingga penyebab dari kerapuhan tulang yang terjadi pada keadaan ini tidak diketahui secara jelas (Michaelson, 2004).

b. Osteoporosis Sekunder

Osteoporosis sekunder merupakan osteoporosis yang disebabkan oleh obat-obatan atau keadaan medis (penyakit) lain, diantaranya penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), gagal ginjal kronik, dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) serta obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, antikejang, dan hormon tiroid yang berlebihan).

Tabel 1. Penyebab Osteoporosis Sekunder pada Dewasa

Penyakit Endokrin atauObat-obatanLain-lain

Penyakit Metabolik

a. Hipogonadisme a. Phenytoin a. Arthritis Reumatoidb. Hiperadrenokortisme b. Glukokortioid b. Myeloma & Cac. Tirotoksikosis c. Phenobarbital c. Immobilisasid. Anorexia nervosa d. Terapi tiorid d. Thalasemiae. Hiperprolaktinemia berlebihan e. Mastositisf. Porphyria e. Heparin f. Hiperkalsiuriag. Hipophosphatasia f. Antagonis GnRH g. Penyakit paruh. Kehamilan Obstruktif kroniki. Hiperparatiroid (PPOK)

Sumber : American College of Reumatology

2.1.4 PatogenesisTulang adalah jaringan hidup yang harus terus diperbaharui untuk menjaga kekuatannya. Tulang yang tua selalu dirusak dan digantikan oleh tulang yang baru dan kuat. Bila proses yang terjadi di permukaan tulang dan disebut peremajaaan tulang tidak terjadi, maka rangka kita akan rusak karena keletihan ketika masih muda. Ada dua jenis sel utama dalam tulang yakni osteoklas, yang merusak tulang, dan osteoblas yang membentuk tulang baru. Kedua sel dibentuk dalam sumsum tulang.

Osteoblas membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe 1 proteoglikan sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid melalui suatu proses yang disebut osifikasi, sedangkan osteoklas adalah sel-sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat diabsorpsi, dan sel-sel ini juga menghasilkan enzim-enzim proteolitik yang memecah matriks dan beberapa asam yang melarutkan mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke dalam aliran darah.

Saat kita bertambah tua osteoklas lebih aktif dan osteoblas kurang aktif, sehingga tulang lebih banyak dirusak dan lebih sedikit dibentuk, dan terjadi pengurangan massa tulang menyeluruh. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya osteoporosis.

Pada osteoporosis, massa tulang padat dan berongga berkurang. Menipisnya lapisan tulang padat sangat mengurangi kekuatan tulang dan meningkatkan kemungkinan patah tulang. Penguranan massa tulang pada tulang berongga menyebabkan lempengan dan serabut tulang yang tebal menjadi tipis dan terputus-putus. Perubahan ini menambah lemahnya tulang sehingga tulang menjadi keropos dan rapuh.

Pada osteoporosis tipe I (setelah menopause), maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama pada dekade awal setelah menopause, sehingga inseden patah tulang, terutama patah tulang vertebra dan radius distal meningkat. Penurunan densitas tulang terutama pada tulang trabekular, karena memiliki permukaan yang luas dan hal ini dapat dicegah dengan terapi sulih estrogen. Petanda resorpsi tulang dan formasi tulang, keduanya meningkat menunjukkan adanya peningkatan bone turnover. Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel-sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6 dan TNF- yang berperan meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktifitas osteoklas meningkat.

Selain peningkatan aktifitas osteoklas, menopause juga menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan eksresi kalsium di ginjal. Selain itu, menopause juga menurunkan sintesis berbagai protein yang membawa 1,25(OH)2D, sehingga pemberian estrogen akan meningkatkan konsentrasi 1,25(OH)2D di dalam plasma. Tetapi pemberian estrogen transdermal tidak akan meningkatkan sintesis protein tersebut, karena estrogen transdermal tidak diangkut melewati hati. Walaupun demikian, estrogen transdermal tetap dapat meningkatkan absorpsi kalsium di usus secara langsung tanpa dipengaruhi vitamin D.

Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause, maka kadar PTh akan meningkat pada wanita menopause, sehingga osteoporosis akan semakin berat. Pada menopause, kadangkala didapatkan peningkatan kadar kalsium serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya volume plasma, meningkatnya kadar albumin dan bikarbonat, sehingga meningkatkan kadar kalsium yang terikat albumin dan juga kadar kalsium dalam bentuk garam kompleks. Peningkatan bikarbonat pada menopause terjadi akibat penurunan rangsang respirasi, sehingga terjadi relatif asidosis respiratorik. Walaupun terjadi peningkatan kadar kalsium yang terikat albumin dan kalsium dalam garam kompleks, kadar kalsium tetap sama dengan keadaan premenopausal. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar 1.Pada osteoporosis tipe II selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang spinalnya sebesar 42% dan kehilangan tulang femurnya sebesar 58%. Pada dekade ke delapan dan sembilan kehidupannya, terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan risiko fraktur. Peningkatan resoprsi tulang merupakan risiko fraktur yang independen terhadap BMD. Peningkatan osteokalsin seringkali didapatkan pada orang tua, tetapi hal ini lebih menunjukkan peningkatan turnover tulang dan bukan peningkatan formasi tulang.

Sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebab penurunan fungsi osteoblas pada orang tua, diduga karena penurunan kadar estrogen dan IGF-1.

Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua. Hal ini disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorpsi dan paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium, akan timbul hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan semakin meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan masssa tulang, terutama pada orang-orang yang tinggal di daerah 4 musim.

Aspek nutrisi yang lain adalah defisiensi protein. Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan massa tulang pada orang tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan, imobiblisasi lama).

Defisiensi estrogen, ternyata juga merupakan masalah yang penting sebagai salah satu penyebab osteoporosis pada oranng tua, baik pada laki-laki maupun perempuan. Demikian juga kadar testosteron pada laki-laki. Defisiensi estrogen pada laki-laki juga berperan pada kehilangan massa tulang. Penurunan kadar estradiol dibawah 40 pMol/L pada laki-laki akan menyebabkan osteoporosis. Karena laki-laki tidak pernah mengalami menopause (penurunan kadar estrogen yang mendadak), maka kehilangan massa tulang yang besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi. Falahati-Nini dkk menyatakan bahwa estrogen pada laki-laki berfungsi mengatur resopsi tulang, sedangkan estrogen dan progesteron mengatur formasi tulang. Kehilangan massa tulang trabekular pada laki-laki berlangsung linier, sehingga terjadi penipisan trabekula, tanpa disertai putusnya trabekula pada wanita disebabkan karena peningkatan resorpsi yang berlebihan akibat penurunan kadar estrogen yang drastis pada waktu menopause.

Dengan bertambahnya umur, remodeling endokortikal dan intrakortikal akan meningkat, sehingga kehilangan tulang terutama terjadi pada tulang kortikal dan meningkatkan risiko patah tulang tulang kortikal, misalnya pada femur proksimal. Total permukaan tulang untuk remodeling tidak berubah dengan bertambahnya umur, hanya berpindah dari tulang trabekular ke tulang kortikal. Pada laki-laki tua, penigkatan resorpsi endokortikal tulang panjang akan diikut peningkatan formasi periosteal, sehingga diameter tulang panjang akan meningkat dan menurunkan risiko patah tulang pada laki-laki tua.

Risiko patah tulang yang juga harus diperhatikan adalah risiko terjatuh yang lebih tinggi pada orang tua dibandingkan orang yang lebih muda. Hal ini berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, gangguan keseimbangan dan stabilitas postural, gangguan penglihatan, lantai yang licin atau tidak rata dan lain sebagainya. Pada umumnya, risiko terjatuh pada orang tua tidak disebabkan oleh penyebab tunggal. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar 2. (Bambang setyohadi, 2006).Gambar 1. Patogenesis osteoporosis pasca menopause

Gambar 2. Patogenesis osteoporosis tipe II dan fraktur

2.1.5 Manifestasi Klinis

Penyakit osteoporosis sering disebut sebagai silent disease karena proses kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada penderita osteoporosis senilis) dan berlangsung secara progresif selama bertahun-tahun tanpa kita sadari dan tanpa disertai adanya gejala.

Osteoporosis pada tahap awal tidak menimbulkan gejala. Namun pada tahap lanjut timbul gejala-gejala seperti

1) Hilangnya tinggi badan

2) Punggung yang semakin membungkuk

3) Nyeri punggung

4) Patah tulang akibat trauma ringan.

Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi menipis. Timbullah nyeri tulang dan kelainan bentuk. Menipisnya tulang belakang menyebabkan nyeri tulang menahun. Tulang belakang yang rapuh bisa patah secara spontan atau karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu di punggung, yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit iini akan menghilang secara bertahap setelah beberapa minggu atau beberapa bulan.

Perubahan bentuk tubuh terjadi ketika beberapa tulang belakang hancur, akan terbentuk kelengkungan yag abnormal dari tulang belakang (punuk Dowager), yang menyebabkan ketegangan otot dan timbul rasa sakit. Tulang lain bisa ikut patah, kerap kali disebabkan oleh tekanan yang ringan atau karena jatuh.

Patah tulang menimbulkan sakit dan kecacatan. Pada sebagian kasus keadaan ini akan dirasakan sepanjang hayat, namun pada kasus lain lambat laun akan hilang atau membaik. Patah tulang paling sering terjadi pada pergelangan, tulang belakakang, dan pinggul namun bisa juga terjadi pada bagian lain, terutama panggul dan lengan atas.

2.1.6 Diagnosa Osteoporosis

Untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, diperlukan pendekatan yang sistematis, terutama untuk menyingkirkan osteoporosis sekunder. Sebagaimana penyakit lain, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan radiologi dan kalau perlu biopsi tulang.

1. Anamnesis

Anamnesis memegang peranan yang penting pada evaluasi penderita osteoporosis. Kadang-kadang, keluhan utama dapat langsung mengarah kepada diagnosis, misalnya fraktur kolum femoris pada osteoporosis, bowing leg pada riket, atau kesemutan dan rasa kebal di sekitar mulut dan ujung jari pada hipokalsemia.

Faktor lain yang harus ditanyakan juga adalah fraktur pada trauma minimal, imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, latihan yang teratur yang bersifat weight-bearing.

Obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang juga harus diperhatikan, seperti kortikosteroid, hormon tiroid, anti konvulsan, heparin, antasid, yang mengandung aluminium, sodium-fluorida dan bifosfonat etidronat.

Alkohol dan perokok juga merupakan fator risiko osteoporosis. Penyakit-penyakit lain yang harus ditanyakan yang juga berhubungan dengan osteoporosis adalah penyakit ginjal, saluran cerna, hati, endokrin, dan insufisiensi pankreas. Riwayat haid, umur menarke dan menopause, penggunaan obat-obat kontraseptif juga harus diperhatikan. Riwayat keluarga dengan osteoporosis juga harus diperhatikan, karena ada beberapa penyakit tulang metabolik yang bersifat herediter.

2. Pemeriksaan Fisik

Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap penderita osteoporosis. Demikian juga gaya berjalan penderita, deformitas tulang, leg length inequelity, nyeri spinal dan jaringan parut pada leher (bekas opersi tiroid?).

Penderita osteoporosis sering menunjukkkan kifosis dorsal atau gibbus (Dowagers hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan protuberansia abdomen, spasme otot paravertebral dan kulit yang tipis (tanda McConkey).

3. Pemeriksaan Biokimia darah

Beberapa zat biokimia dapat dipakai sebagai petanda adanya kelainan metabolisme tulang kalsium darah terdiri dari tiga bagian yaitu yang terikat pada protein albumin sebanyak 40%, yang berbentuk ion yaitu kalsium ++ sebanyak 100-250 mgr/24 jam dengan asupan sebanyak 600-800 mgr/hari. Bila eksresi kurang dari 100 mgr harus dipikirkan adanya malabsorpsi atau hyperparathyroidism akibat retensi kalsium ginjal.

Kadar PTH juga harus diperiksa. Meningkatnya kadar hormon ini akan menyebabkan peningkatan kadar kalsium darah.

4. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi adalah pemeriksaan utama yang paling mudah dan murah untuk dilakukan. Sayangnya pemerikaaan ini baru akan memberikan kelainan setelah lebih dari 30% kehilangan massa tulang. Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara khusus atau secara kebetulan pada tulang-tulang tertentu. Biasanya kita akan membuat suatu bone survey terutama pada tulang belakang jika :

Terdapat nyeri tulang yang menetap lebih dari 10 minggu

Terjadi patah tulang dengan trauma minimal

patah tulang dengan densitas tulang normal

adanya keganasan

5. Skintigrafi tulang

Skintigrafi tulang dengan menggunakan Technetium-99m yang dilabel pada metilen difosfonat atau hidroksimetilen difosfonat, sangat baik untuk menilai metastasis pada tulang, tumor primer pada tulang, osteomielitis dan nekrosis aseptik. Diagnosis skintigrafi tulang ditegakkan dengan mencari uptake yang meningkat, baik secara umum maupun secara lokal.

6. Pemeriksaan Densitas Tulang

Beberapa macam pemeriksaan densitas tulang sangat berguna dan dianggap sebagai gold standard untuk mendiagnosis osteoporosis. Beberapa cara telah dikemukakan seperti single photon absorptiometry (SPA), single energy X ray absorpstiometry (SPX), dual photon absorptiometry (DPA), dual energy x ray absorptiometry (DXA), lumbal dan proksimal femur dengan quantitative computed tomography (QCT).

Densitas mineral tulang yang rendah merupakan faktor risiko utama yang dapat dicegah dan prediktor utama terjadinya fraktur. Secara umum setiap terjadi penurunan densitas tulang sebesar 1 standar deviasi di bawah rata-rata densitas mineral tulang orang dewasa muda akan meningkatkan terjadinya fraktur sebanyak 2-3 kali.

Pemeriksaan densitometri untuk mengetahui densitas tulang pada osteoporotik dipakai standar WHO sebagai berikut :

Tabel 2. Kepadatan Tulang Berdasarkan T-score menurut World Health Organization (WHO).

Kategori DiagnostikT-score

Normal>-1

Osteopenia< -1

Osteoporosis< -2,5 (tanpa fraktur)

Osteoporosis berat< -2,5 (dengan fraktur)

Pada seseorang yang mengalami patah tulang, diagnosis osteoporosis ditegakkan berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik dan rontgen tulang. Pemeriksaaan lebih lanjut munngkin diperlukan untuk menyingkirkan keadaan lainnya penyebab osteoporosis yang bisa diatasi.

Untuk mendiagnosa osteoporosis sebelum terjadinya patah tulang dilakukan pemeriksaan yang menilai kepadatan tulang. Di Indonesia dikenal 3 cara penegakan diagnosa penyakit osteoporosis, yaitu :

1. Densitometer (Lunar) menggunakan teknologi DXA (dual-energy x-ray absorptiometry). Pemeriksaan ini merupakan gold standard diagnosa osteoporosis. Pemeriksaan kepadatan tulang ini aman dan tidak menimbulkan nyeri serta bisa dilakukan dalam waktu 5-15 menit.

DXA sangat berguna untuk :

Wanita yang memiliki risiko tinggi menderita osteoporosis

Penderita yang diagnosisnya belum pasti

Penderita yang hasil pengobatan osteoporosisnya harus dinilai secara akurat

2. Densitometer-USG. Pemeriksaan ini lebih tepat disebut sebagai screening awal penyakit osteoporosis. Hasilnya pun hanya ditandai dengan nilai T dimana nilai lebih -1 berarti kepadatan tulang masih baik, nilai antara -1 dan -2,5 berarti osteopenia (penipisan tulang), nilai kurang dari -2,5 berarti osteoporosis (keropos tulang). Keuntungannya adalah kepraktisan dan harga pemeriksaannya yang lebih murah.

3. Pemeriksaan laboratorium untuk osteokalsin dan dioksipiridinolin, CTx. Proses pengeroposan tulang dapat diketahui dengan memeriksakan penanda biokimia CTx (C-Telopeptide). CTx merupakan hasil penguraian kolagen tulang yang dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga spesifik dalam menilai kecepatan proses pengeroposan tulang. Pemeriksaan CTx juga sangat berguna dalam memantau pengobatan menggunakan antiresorpsi oral.

proses pembentukan tulang dapat diketahui dengan memeriksakan penanda biokimia N-MID-Osteocalsin. Osteocalsin merupakan protein spesifik tulang sehingga pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai penanda biokimia pembentukan tulang dan juga untuk menentukan kecepatan turnover tulang pada beberapa penyakit tulang lainnya. Pemeriksaan osteocalsin juga dapat digunakan untuk memantau pengobatan osteoporosis.

Di luar negeri, dokter dapat pula menggunakan metode lain untuk mendiagnosa penyakit osteoporosis, antara lain :

1. Sinar X menunjukkan degenerasi tipikal tulang punggung bagian bawah.

2. Pengukuran massa tulang dengan memeriksa lengan, paha dan tulang belakng.

3. Tes darah yang dapat memperlihatkan naiknya kadar hormon paratiroid.

4. Biopsi tulang untuk melihat tulang mengecil, keropos tetapi tampak normal(Bambang setyohadi, 2006).2.1.7Faktor RisikoOsteoporosis dapat terjadi pada setiap orang dengan faktor risiko yang berbeda. Yang termasuk dalam faktor risiko osteoporosis adalah :1) Usia

Makin lama seseorang hidup, makin besar kehilangan kepadatan tulangnya dan makin besar kemungkinannya mengalami osteoporosis. Disamping itu, kemampuannya untuk menyerap kalsiium menjadi berkurang jika seseorang menjadi semakin tua (Hermansyah, 2004).

2) Jenis Kelamin

Wanita mempunyai faktor risiko terkena osteoporosis 6-8 kali lebih besar dibandingkan pria. Hal ini disebabkan pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya pada usia 40 tahun (Lane, 2001).

3) Ras

Semakin terang kulit seseorang, semakin tinggi risiko terkena osteoporosis. Karena itu, ras Eropa Utara (Swedia, Norwegia, Denmark) dan Asia berisiko lebih tinggi terkena osteoporosis dibanding ras Afrika yang berkulit hitam. Ras Afrika memiliki massa tulang lebih padat dan kadar hormon estrogen yang lebih tinggi dibanding ras kulit putih Amerika. Disamping itu massa otot yang dimiliki ras Afrika cenderung lebih besar sehingga tekanan pada tulang pun besar dan risiko untuk terkena osteoporosis semakin rendah (Lau, 2001).

4) Riwayat keluargaE. Lane (1999), menyebutkan bahwa riwayat keluarga memiliki kontribusi terhadap massa tulang dan dapat membuat seseorang rentan atau terlindung dari osteoporosis.

Berdasarkan data Pusat Penelitian Gizi dan Makanan, Departemen kesehatan Republik Indonesia, Apabila ada riwayat tulang keropos (osteoporosis) dalam keluarga, kemungkinan 60-80% akan terjadi osteoporosis (Tana, 2005).5)Penyakit Kronik

Beberapa penyakit kronik berhubungan dengan densitas tulang yang rendahdiantaranya diabetes mellitus, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), gagal ginjal kronik, kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal), dan rheumatoid arthritis (Kaltenborn, 1992).6) Rangka Tubuh

Individu dengan kerangka tubuh kecil cenderung lebih sering mengalami osteoporosis dibandingkan individu dengan kerangka tubuh besar, karena penurunan massa tulangnya relatif lebih kecil. Rangka tubuh berhubungan langsung dengan tinggi badan dan berat badan.

Wanita gemuk jarang sekali menderita osteoporosis, sehingga kegemukan merupakan pelindung terhadap osteoporosis. Obesitas berhubungan denganpeningkatan massa otot, dampak berat tulang yang lebih besar, danperlindungan skeleton lebih besar khususnya panggul oleh lemaksubkutan. Massa lemak yang tinggi merupakan salah satu prediktormassa tulang karena meningkatkan tekanan mekanis melalui otot sepertistimulasi kegiatan osteoblas atau aksi gravitasi massa pada skeletonsehingga meningkatkan rangsangan osteogenesis (Fatimah, 2008).Beban mekanik dan tarikan dapat memelihara homeostasismineral, dan menstimulasi pembentukan tulang dengan mengurangi apoptosis dan meningkatkan proliferasi osteoblas dan osteosit. Namun telah dipaparkan bahwa beban dinamis yang memicu kontraksi otot lebihbersifat anabolik terhadap tulang dibandingkan beban statis, sehinggadiperlukan massa otot yang lebih besar dan pola hidup dengan aktivitasfisik yang tinggi.Efek protektif obesitas pada massa tulang telahdiketahui dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti produksi estrogenoleh jaringan adiposa, efek menahan beban, dan efek anabolik insulin pada osteoblas. Adipokin, leptin danadiponektin memiliki peran terhadap pengaturan metabolisme tulang.Leptin memiliki kerja langsung pada sel tulang diduga berperan padapertumbuhan sel osteoblastik dan mineralisasi tulang (Roux dkk, 2003). Pada studi in vitroleptin menghambat regenerasi osteoklas, dan berperan pada formasi danresorpsi tulang, walaupun pada beberapa studi obesitas berlebih (IMT >40 kg/m2) pada wanita pascamenopause berkaitan dengan penurunanmassa tulang, akibat kadar leptin berlebih.Kadar adipokin berkaitandengan turnover tulang, diduga secara dinamis memengaruhimetabolisme tulang dan adiponektin memiliki hubungan paling kuatterhadap parameter tulang wanita pascamenopause.Adiponektin dapat meningkatkan proliferasi dan diferensiasiosteoblas dan secara in vitro dapat menghambat osteoklastogenesis.Adiponektin juga dapat memengaruhi metabolisme tulang melaluisensitivitas insulin. Insulin bersifat anabolik pada tulang melalui efeklangsung pada proliferasi osteoblas dan secara tidak langsung padaproduksi hormon seks dan Sex Hormone Binding Globulin (SHBG).Walaupun IMT yang tinggi memiliki efek positif terhadap tulang, namunobesitas harus dihindari karena terkait dengan berbagai penyakit kronikseperti diabetes, penyakit jantung, dan beberapa kanker (Nuznez NP dkk, 2007).7) Penggunaan Obat Kortikosteroid

Glukokortikoid merupakan penyebab osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik yang terbanyak. Risiko pemberian GK jangka lama sangat tergantung dengan dosis perhari,lamanya pemberian, jenis kortikosteroid dan dosis kumulatif total. Dosis yang dapat menginduksi osteoporosis yaitu penggunaan glukokortikoid 7,5mg selama 3 bulan (ACR, 2010). Glukokortikoid akan menyebabkan gangguan absorpsi kalsium di usus dan peningkatan eksresi kalsium lewat ginjal sehingga akan menyebabkan hipokalsemia, hiperparatioridisme sekunder dan peningkatan kerja osteoklas. Selain itu glukokortikoid juga akan menekan produksi gonadotropin, sehingga produksi estrogen menurun dan akhirnya osteoklas juga akan meningkat kerjanya. Terhadap osteoblas, glukokortikoid akan menghambat kerjanya, sehingga formasi tulang menurun. Dengan adanya peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas dan penurunan formasi tulang oleh osteoblas, maka akan terjadi osteoporosis yang progresif. Berdasarkan meta-analisis didapatkan bahwa risiko fraktur panggul pada pengguna steroid meningkat 2,1-4,4 kali. Oleh sebab itu terapi osteoporosis pada pengguna steroid dapat dimulai bila T-score mencapai -1 dan bmd serial harus dilakukan tiap 6 bulan, bukan tiap 1-2 tahun seperti pada osteoporosis primer (Bambang setyohadi, 2006).

Gambar 3. Kerangka teori2.2Kerangka Teori

Gambar 4. Kerangka Konsep

2.3Kerangka Konsep

BAB IIIMETODE PENELITIAN3.1Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat survey deskriptifpada penderita osteoporosis yang datang berobat di Graha Spesialis RSUP Dr. Mohammad hoesin Palembang.3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Graha Spesialis RSUP Dr. Mohammad hoesin Palembang.Waktu penelitian pada bulan September hingga November 2014.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah semua penderita osteoporosis yang berobat di Graha Spesialis RSUP Dr. Mohammad hoesin Palembang.3.3.2Sampel Penelitian

Cara mendapatkan sampel :

Sampel penelitian dengan metode sensus terhadap semua penderita osteoporosis yang berobat diGraha Spesialis RSUP DR. Mohammad Hoesin Palembang yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia sebagai partisipan pada periode 1 September hingga 30 November 2014. 3.3.3Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.3.3.1 Kriteria Inklusi

1. Pasien yang didiagnosis sebagai penderita osteoporosis yang memenuhi kriteria diagnosis osteoporosis sesuai yang terdapat dalam definisi operasional.

2. Pasien bersedia diminta data lengkap dan mengisi kuesioner.

3.3.3.2 Kriteria Ekslusi

1. Pasien yang mengalami gangguan komunikasi

2. Pasien yang mengalami dimensia dan Alzheimer

3. Pasien yang sama dan pernah datang pada penelitian sebelumnya namun datang kembali pada penelitian berikutnya.

3.4Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini adalah :

1. Usia penderita osteoporosis2. Jenis kelamin

3. Suku bangsa

4. Riwayat keluarga5. Riwayat penyakit kronik6. Indeks massa tubuh (IMT)

7. Penggunaan obat kortikosteroid3.5 Definisi Operasional

3.5.1Osteoporosis

Definisi: Penyakit yang ditandai dengan rendahnya massa tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan tulang, menyebabkan kerapuhan tulang sehingga meningkatkan risiko terjadinya fraktur.

Alat ukur : DXA (dual-energy x-ray absorptiometry).

Cara ukur : Dilakukan oleh dokter dengan menggunakan alat ukur yang tersedia di Graha Spesialis RSUP Dr. Mohammad hoesin Palembang.Hasil ukur:

Osteoporosis bila T-score -2,5

3.5.2 Usia penderita osteoporosis Definisi : Usia yang dipakai pada penelitian ini dihitung berdasarkan ulang tahun terakhir dari subjek penelitian (penderita osteoporosis) yang berobat ke Bagian Penyakit Dalam RSUP Mohammad Hoesin Palembang periode 1 September 2014 30 November 2014.Alat ukur: kuesioner

Cara ukur: self assesment

Hasil ukur: skala nominal

Penggolongan usia :

1. 30-39 tahun

2. 40-49 tahun

3. 50-59 tahun

4. 60-69 tahun

5. >69 tahun

3.5.3Jenis KelaminDefinisi : Jenis kelamin subjek penelitian (penderita osteoporosis) yang berobat ke Bagian Penyakit Dalam RSUP Mohammad Hoesin Palembang periode 1 September 2014 30 November 2014.Alat ukur : kuesioner

Cara ukur: self assesmentHasil ukur:

1. Penderita laki laki

2. Penderita perempuan

3.5.4Suku BangsaDefinisi: Daerah asal penderita osteoporosis yang berobat ke Bagian Penyakit Dalam RSUP Mohammad Hoesin Palembang periode 1 September 2014 30 November 2014.Alat ukur : kuesioner

Cara ukur : self assesment

Hasil ukur: Skala Nominal3.5.5Riwayat KeluargaDefinisi: Riwayat penyakit osteoporosis dalam keluarga yang berobat ke Bagian Penyakit Dalam RSUP Mohammad Hoesin Palembang periode 1 September 2014 30 November 2014.Alat ukur: kuesioner

Cara ukur: self assesment

Hasil ukur :

1. Ada riwayat osteoporosis dalam keluarga

2. Tidak ada riwayat osteoporosis dalamkeluarga3.5.6Riwayat Penyakit KronikDefinisi: penyakit yang berlangsung lama dan berkaitan dengan terjadinya osteoporosis yaitu diabetes mellitus, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik, hipertiroid, dan rheumatoid arthritis.Alat ukur: kuesioner

Cara ukur: self assesment

Hasil ukur :

1. Ada riwayat penyakit kronik2. Tidak ada riwayat penyakit kronik3.5.7Indeks massa tubuh (IMT)

Definisi: Indeks massa tubuh didapatkan dengan pengukuran langsung kepada penderita osteoporosis yang berobat ke bagian penyakit dalam RSUP DR. Mohammad Hoesin PalembangAlat ukur: Timbangan dan Pengukur tingi badanCara ukur: Dengan menggunakan alat ukur yang tersedia di Graha Spesialis RSUP Dr. Mohammad hoesin Palembang.a. Melihat nilai berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) penderita yang tercatat pada kuesioner.

b. Dari data BB dan TB tersebut, dicari nilai indeks massa tubuh (IMT) penderita dengan menggunakan rumus :

Hasil ukur :1. Overweight (IMT > 25,0)

2. Normal (IMT 18,5-25,0)

3. Underweight (IMT 692

7

13

284

14

26

56

Jumlah50100

Makin lama seseorang hidup, makin besar kehilangan kepadatan tulangnya dan makin besar kemungkinannya mengalami osteoporosis dan setiap peningkatan umur 1 dekade berhubungan dengan peningkatan risiko 1,4-1,8 (Bambang S, 2006).Osteoporosis yang terjadi pada pascamenopause disebabkan karena pembentukan tulang baru berkurang, sedangkan reabsorbsi kalsium dari tulang meningkat.Dipercepatnya tulang yang hilang, terjadi pada tahun sekitar menopause dan pada sampai 3 tahun pertama setelah menopause.Gejala osteoporosis seperti fraktur dan nyeri tulang kronis tidak tampak sampai 10 tahun setelah menopause (Suzuki T, 1998).Pada penelitian yang sama pada tahun 2008 tidak terdapat perbedaan yang bermakna diantara kelompok - kelompok usia dimana didapatkan osteoporosis terbanyak pada kategori usia 50 tahun yaitu 81,9%(Ghazali T, 2008)4.2Distribusi Penderita Osteoporosis Berdasarkan Jenis kelamin.Pada penelitian ini didapatkan profil penderita osteoporosis yang berobat ke Graha Spesialis RSUP. DR. Mohammad Hoesin Palembang dengan koresponden sebanyak 50 orang yaitu terdiri dari laki-laki 6 orang (12%) dan perempuan44 orang (88%) atau dengan perbandingan 1:7,3. Dari semua koresponden perempuan seluruhnya telah mengalami menopause.Distribusi penderita osteoporosis berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.Tabel 4. Distribusi penderita osteoporosis di Graha Spesialis RSUP Dr. Mohammad hoesin Palembang berdasarkan Jenis kelamin.

Jenis KelaminN%

Laki-laki

Perempuan6

4412

88

Jumlah50100

Jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya osteoporosis. Wanita secara signifikan memilki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis. Pada osteoporosis primer, perbandingan antara wanita dan pria adalah 5 : 1. Pria memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis sekunder, yaitu sekitar 40- 60%, karena akibat dari hipogonadisme, konsumsi alkohol, atau pemakaian kortikosteroid yang berlebihan. Secara keseluruhan perbandingan wanita dan pria adalah 4 : 1(Marcus R, 2008).Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria. Hal ini terkait defisiensi estrogen yang merupakan masalah yang penting sebagai salah satu penyebab osteoporosis pada orang tua, baik pada laki-laki maupun perempuan. Karena laki-laki tidak pernah mengalami menopause (penurunan estrogen secara mendadak), maka kehilangan massa tulang yang besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi (Bambang S, 2006).Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan pada tahun 2008 dimana terdapat perbedaan angka rata rata yang jauh diantara kelompok berdasarkan jenis kelamin yaitu didapatkan presentase penderita osteoporosis laki laki 40,9% dan perempuan 59,1% (Ghazali T, 2008)

4.3 Distribusi Penderita Osteoporosis Berdasarkan Suku Bangsa.Pada penelitian ini didapatkan, dari 50 responden sebagian besar bersuku bangsa Sumatera Selatan 38 orang (76%), Batak 7 orang (14%), dan Jawa 5 orang (10%).Distribusi penderita osteoporosis berdasarkan suku bangsa dapat dilihat pada tabel 5.Tabel 5. Distribusi Penderita Osteoporosis di Graha Spesialis RSUP Dr. Mohammad hoesin Palembang Berdasarkan Suku bangsa.

Suku BangsaN%

Sumatera Selatan

BatakJawa38

7

576

14

10

Jumlah50100

Ras Eropa Utara (Swedia, Norwegia, Denmark) dan Asia berisiko lebih tinggi terkena osteoporosis dibanding ras Afrika yang berkulit hitam. Ras Afrika memiliki massa tulang lebih padat dan kadar hormon estrogen yang lebih tinggi dibanding ras kulit putih Amerika. Disamping itu massa otot yang dimiliki ras Afrika cenderung lebih besar sehingga tekanan pada tulang pun besar dan risiko untuk terkena osteoporosis semakin rendah (Lau, 2001).Terdapat persamaan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tedy (2008) yatu koresponden terbanyak bersuku bangsa palembang (90,8%) (Ghazali T, 2008)4.4Distribusi Penderita Osteoporosis Berdasarkan Riwayat Keluarga.Pada penelitian ini didapatkan, dari 50 responden, 41 orang (82%) tidak memiliki riwayat keluarga yang menderita osteoporosis dan hanya 9 orang (18%) yang memiliki riwayat keluarga penderita osteoporosis. Distribusi penderita osteoporosis berdasarkan riwayat keluarga dapat dilihat pada tabel 6.Tabel 6. Distribusi Penderita Osteoporosis di Graha Spesialis RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Berdasarkan Riwayat Keluarga.

Riwayat keluarga yang menderita osteoporosisN%

Ada

Tidak ada9

4118

82

Jumlah50100

E. Lane (1999), menyebutkan bahwa riwayat keluarga memiliki kontribusi terhadap massa tulang dan dapat membuat seseorang rentan atau terlindung dari osteoporosis.Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan pada tahun 2008 tidak terdapat perbedaan yang bermakna dengan hasil penelitian ini dimana didapatkan presentase penderita osteoporosis yang memiliki riwayat keluarga 18,2%. (Ghazali T, 2008)4.5Distribusi Penderita Osteoporosis Berdasarkan Riwayat Penyakit Kronik.Pada penelitian ini didapatkan, dari 50 responden, hanya 8 orang (16%) yang memiliki riwayat menderita penyakit kroniksedangkan sebanyak 42 orang (84%) tidak memiliki riwayat dan dari 8 orang tersebut penyakit kronik yang dialami yaitu diabetes mellitus. Distribusi penderita osteoporosis berdasarkan riwayat menderita penyakit kronik dapat dilihat pada tabel 7.Tabel 7. Distribusi penderita osteoporosis di Graha Spesialis RSUP Dr. Mohammad hoesin Palembang berdasarkan Riwayat Penyakit kronik.

Riwayat penyakit kronikN%

Ada

Tidak ada8

4216

84

Jumlah50100

Beberapa penyakit kronik berhubungan dengan densitas tulang yang rendah diantaranya diabetes mellitus, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), gagal ginjal kronik, kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal), dan rheumatoid arthritis (Kaltenborn, 1992).Diabetes Melitus dapat menimbulkan pengaruh buruk terhadap keutuhan tulang sehingga dapat meningkatkan risiko osteoporosis dan fraktur. Mekanisme yang melatarbelakangi terjadinya penurunan kekuatan tulang pada DM belum diketahui secara jelas, diduga akibat gangguan puncak massa tulang dan komplikasi kronik DM seperti neuropati dan nefropati diabetik. Pada DM tipe 1, gangguan ini lebih berat dibandingkan DM tipe 2. Hal ini diduga karena hilangnya pengaruh anabolik dari insulin dan IGF-1 yang akan menyebabkan gangguan pencapaian puncak massa tulang sehingga mengakibatkan gangguan pembentukan tulang. Pada DM tipe 2, kepadatan massa tulang tidak terlalu menurun dibandingkan DM tipe 1, namun tetap tidak dapat terhindar dari risiko terjadinya fraktur, karena kualitas tulangnya mengalami penurunan(Hofbauer LC, 2007).Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan pada tahun 2006 di RSUP Dr. Kariadi Semarang bahwa diabetes mellitus dapat menginduksi terjadinya osteoporosis (Wardhana W, 2012). Hal ini sesuai dengan penelitian ini bahwa pasien yang menderita penyakit kronik seperti diabetes melitus memiliki kecenderungan untuk menderita osteoporosis.4.6Distribusi Penderita Osteoporosis Berdasarkan Indeks Massa Tubuh.Pada penelitian ini didapatkan, dari 50 responden, hanya 6 orang (12%) tergolong dalam kategori kurus dan 44 orang (88%) tergolong normal hingga gemuk. Distribusi penderita osteoporosis berdasarkan indeks massa tubuh dapat dilihat pada tabel 8.Tabel 8. Distribusi Penderita Osteoporosis di Graha Spesialis RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Berdasarkan Indeks Massa Tubuh.

Indeks Massa TubuhN%

Gemuk

Normal

Kurus13

31

626

62

12

Jumlah50100

Individu dengan kerangka tubuh kecil cenderung lebih sering mengalami osteoporosis dibandingkan individu dengan kerangka tubuh besar, karena penurunan massa tulangnya relatif lebih kecil. Rangka tubuh berhubungan langsung dengan tinggi badan dan berat badan.Efek protektif obesitas pada massa tulang telahdiketahui dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti produksi estrogenoleh jaringan adiposa, efek menahan beban, dan efek anabolik insulin pada osteoblas. Adipokin, leptin dan adiponektin memiliki peran terhadap pengaturan metabolisme tulang.Leptin memiliki kerja langsung pada sel tulang diduga berperan pada pertumbuhan sel osteoblastik dan mineralisasi tulang (Roux dkk, 2003). Pada studi in vitro leptin menghambat regenerasi osteoklas, dan berperan pada formasi dan resorpsi tulang, walaupun pada beberapa studi obesitas berlebih (IMT >40 kg/m2) pada wanita pascamenopause berkaitan dengan penurunan massa tulang, akibat kadar leptin berlebih. Kadar adipokin berkaitan dengan turnover tulang, diduga secara dinamis memengaruhi metabolisme tulang dan adiponektin memiliki hubungan paling kuat terhadap parameter tulang wanita pascamenopause.Adiponektin dapat meningkatkan proliferasi dan diferensiasi osteoblas dan secara in vitro dapat menghambat osteoklastogenesis.Adiponektin juga dapat memengaruhi metabolisme tulang melalui sensitivitas insulin. Insulin bersifat anabolik pada tulang melalui efek langsung pada proliferasi osteoblas dan secara tidak langsung pada produksi hormon seks dan Sex Hormone Binding Globulin (SHBG).Walaupun IMT yang tinggi memiliki efek positif terhadap tulang, namun obesitas harus dihindari karena terkait dengan berbagai penyakit kronik seperti diabetes, penyakit jantung, dan beberapa kanker (Nuznez NP dkk, 2007).Perhitungan Indeks Massa Tubuh disesuaikan dengan standar FAO/WHO yaitu dengan rumus :

1. Overweight (IMT > 25,0)

2. Normal (IMT 18,5-25,0)

3. Underweight (IMT formasi tulang)

Faktor risiko

Usia penderita osteoporosis

Jenis kelamin

Suku bangsa

Riwayat keluarga

Riwayat penyakit kronik

Indeks massa tubuh (IMT)

Penggunaan obat kortikosteroid

IMT =

Berat Badan (kg)

Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)

Semua pasien yang datang berobat ke Graha Spesialis RSUP Dr. Mohammad hoesin Palembang.

Pemeriksaan fisik + BMD test

Osteoporosis

Kriteria inklusi/ekslusi

Partisipant

Kuesioner

Faktor risiko

Usia penderita osteoporosis

Jenis kelamin

Suku bangsa

Riwayat keluarga

Riwayat penyakit kronik

Indeks massa tubuh (IMT)

kortikosteroid

Pengolahan dan analisis data

Kesimpulan

IMT =

Berat Badan (kg)

Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)

4151