Osteoporosis DP
-
Author
lansoprazole -
Category
Documents
-
view
226 -
download
2
Embed Size (px)
description
Transcript of Osteoporosis DP
OSTEOPOROSIS AKIBAT PENGGUNAAN GLUKOKORTIKOIDWahyuddin*, Mahriani Sylvawani***Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala**Divisi Rheumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
I. PENDAHULUANOsteoporosis merupakan masalah utama kesehatan masyarakat yang mempengaruhi ratusan juta orang di dunia. World Health Organization (WHO) memasukkan osteoporosis dalam daftar 10 penyakit degeneratif utama di dunia. Terdapat 200 juta pasien di seluruh dunia yang menderita osteoporosis.1 Studi BoneEVA di Jerman melaporkan prevalensi usia 25 - 74 tahun terdapat 1,2% untuk pria dan 7% untuk wanita yang menderita osteoporosis.5 Studi cross sectional MONICA di Jerman dan EU27 di negara-negara Eropa mengungkapkan terdapat 31% wanita dan 45,1% pria berusia 25-74 tahun memiliki setidaknya satu patah tulang.4,5Prevalensi osteoporosis di Indonesia tidak diketahui secara pasti. Tes saring menggunakan ultrasound bone density yang diadakan pada tahun 2002 di 5 kota besar, menunjukan bahwa dari keseluruhan masyarakat yang dilakukan tes saring, 35% menunjukkan hasil yang normal, 36% menunjukkan adanya osteopenia, sedangkan 29% telah terjadi osteoporosis.6Glukokortikoid sering digunakan dalam pengobatan banyak penyakit dan merupakan salah satu penyebab utama dari osteoporosis sekunder.7,8 Di Amerika Serikat, glukokortikoid diresepkan untuk 1 juta pasien per tahun, sedangkan di Inggris sebanyak 1,6 juta resep dikeluarkan untuk penggunaan steroid dalam waktu 10 tahun, digunakan oleh 0,9% dari seluruh populasi dan sekitar 2,5% pada kelompok usia 70-79 tahun.30 Kejadian osteoporosis akibat glukokortikoid merupakan yang tersering ketiga setelah pasca menopause dan usia lanjut.8 Insiden patah tulang baru setelah satu tahun terapi glukokortikoid mencapai 17%, studi observasional menunjukkan bahwa patah tulang yang timbul sering tanpa gejala, terjadi pada 30-50% pasien yang menggunakan glukokortikoid, bahkan steroid inhalasi dapat menyebabkan keropos tulang jika digunakan untuk jangka waktu yang lama.28,32,34 Risiko patah tulang meningkat cepat setelah dimulainya terapi oral kortikosteroid (dalam waktu 3 sampai 6 bulan) dan menurun setelah terapi dihentikan. Risiko tetap independen dari penyakit yang mendasari, usia dan jenis kelamin. Pengobatan kortikosteroid oral dosis rendah 2,5 7,5 mg (prednisolon atau setara) setiap hari menyebabkan penurunan kepadatan mineral tulang dan meningkatkan risiko patah tulang selama masa pengobatan.29,8,32,33,35II.ETIOLOGIOsteoporosis ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan gangguan mikroarsitektur tulang, mengakibatkan peningkatan kerapuhan tulang dan peningkatan risiko fraktur.4 WHO secara operasional mendefinisikan osteoporosis berdasarkan Bone Mineral Density (BMD), yaitu jika BMD mengalami penurunan lebih dari -2,5 Standard deviation (SD) dari nilai rata-rata BMD pada orang dewasa muda sehat (BMD T-score < -2,5 SD). Osteopenia adalah nilai BMD -1 sampai dengan -2,5 SD dari orang dewasa muda sehat.2 Osteoporosis terbagi dua kelompok, osteoporosis primer (involusional) dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer tidak diketahui penyebabnya, sedangkan pada osteoporosis sekunder yang diketahui penyebabnya. Osteoprosis primer terbagi 2, yakni osteoporosis tipe 1 (osteoporosis pasca menopause) yang disebabkan defisiensi estrogen dan osteoporosis tipe 2 (osteoporosis senelis) yang oleh gangguan absopsi kalsium di usus sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya osteoporosis.7Osteoporosis sekunder dapat terjadi pada tiap kelompok umur yang disebabkan oleh penyakit atau kelainan tertentu, atau dapat pula akibat pemberian obat yang mempercepat pengeroposan tulang. 8,9 Penyebab utama dari osteoporosis sekunder adalah penggunaan obat glukokortikoid.7,8 Keadaan ini berhubungan dengan pemakaian glukortikoid meluas sebagai obat antiinflamasi dan sebagai obat imunosupresi. Risiko pemberian glukortikoid jangka lama sangat tergantung dengan dosis perhari, lamanya pemberian, jenis kortikosteroid dan dosis kumulatif total.7 Pasien yang mendapat glukortikoid jangka lama, 50% mengalami fraktur traumatik selama periode 1 tahun pertama pemberian glukortikoid. Bone loss lebih cepat timbul pada bulan pertama setelah pemberian.32III. FAKTOR RISIKOA. Dapat dikendalikan1. Aktifitas fisikKurang kegiatan fisik menyebabkan sekresi kalsium yang tinggi dan pembentukan tulang tidak maksimum, dengan olah raga otot akan memacu tulang untuk membentuk massa. Aktivitas fisik harus mempunyai unsur pembebanan pada tubuh atau anggota gerak dan penekanan pada aksis tulang untuk meningkatkan respon osteogenik dari estrogen.9,112. Status GiziPerawakan kurus cenderung memiliki bobot tubuh cenderung ringan merupakan faktor risiko terjadinya kepadatan tulang yang rendah. Hubungan positif terjadi bila berat badan meningkat dan kepadatan tulang juga meningkat.2,93. Konsumsi KalsiumKalsium (Ca), fosfor (P), dan magnesium (Mg) merupakan komponen mineral utama pembentuk tulang. Penyimpanan dalam tulang akan mencapai puncaknya (Peak Bone Mass/PBM) sekitar umur 20-30 tahun. Pada priode PBM ini jika massa tulang tercapai dengan kondisi maksimal akan dapat menghindari terjadinya osteoporosis pada usia berikutnya. Pencapaian PBM menjadi rendah jika individu kurang konsumsi Ca.9 ,10,114. Kebiasaan merokokMerokok rentan terkena osteoporosis karena nikotin mempercepat penyerapan tulang dan juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang sehingga susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pembentukan tulang.2,9,115. Penyakit tertentuPemakaian insulin merangsang pengambilan asam amino ke sel tulang sehingga meningkatkan pembentukan kolagen tulang akibatnya orang yang kekurangan insulin atau resistensi insulin akan mudah terkena osteoporosis. Kontrol gula yang buruk pada penderita diabetes juga akan memperberat metabolisme vitamin D dan osteoporosis. Beberapa penyakit lainnya yaitu gagal ginjal kronik, asidosis metabolik kronik, gagal jantung kronik, lupus, rhematoid arthritis dan lain sebagainya.2,9
6. Minuman keras/beralkohol Alkohol berlebihan dapat menyebabkan luka-luka kecil pada dinding lambung. Ini menyebabkan perdarahan yang membuat tubuh kehilangan kalsium dalam darah yang dapat menurunkan massa tulang dan pada gilirannya menyebabkan osteoporosis.2,9,117. Minuman soda dan berkafeinMinuman bersoda (softdrink) mengandung fosfor dan kafein (caffein). Fosfor akan mengikat kalsium dan membawa kalsium keluar dari tulang, sedangkan kafein meningkatkan pembuangan kalsium lewat urin.2,98. Obat-obatanHeparin, antikonvulsan, glukokortikoid, obat kemoterapi, lithium dan lain ebagainya dapat menyebabkan osteoporosis.2,9 Obat yang paling sering menyebabkan osteoporosis adalah glukokortikoid.7B. Tidak dapat dikendalikan1. Riwayat KeluargaSeseorang termasuk berisiko tinggi bila orang tuanya juga menderita osteoporosis. Faktor genetik ini terutama berpengaruh pada ukuran dan densitas tulang.2,9,122. Jenis KelaminOsteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun. Selain itu, wanita pun mengalami menopause yang dapat terjadi pada usia 45 tahun.2,93. UsiaBerkurangnya massa tulang mulai terjadi setelah usia antara 30 sampai 35 tahun. Patah tulang meningkat pada wanita usia >45 tahun, sedangkan pada laki-laki patah tulang baru meningkat pada usia >75 tahun. Penyusutan massa tulang sampai 3 - 6% pertahun terjadi pada 5-10 tahun pertama pascamenopause.2,94. RasSemakin terang kulit seseorang, semakin tinggi risiko terkena osteoporosis. Karena itu, ras Eropa Utara (Swedia, Norwegia, Denmark) dan Asia berisiko lebih tinggi terkena osteoporosis dibanding ras Afrika hitam. Ras Afrika memiliki massa tulang lebih padat dibanding ras kulit putih Amerika.2,9Kondisi tertentu, penyakit dan obat-obatan yang berkontribusi terhadap osteoporosis dapat dilihat di tabel 1.9Tabel 1.Kondisi, penyakit dan obat-obatan yang menyebabkan dan berkontribusi pada osteoporosis dan FrakturLifestyle factors
Alcohol abuse Excessive thinness Excess Vitamin A
Frequent falling High salt intake Immobilization
Inadequate physical activity Low calcium intake Smoking (active or passive)
Vitamin D insufficiency
Genetic diseases
Cystic fibrosis Ehlers-Danlos Gauchers disease
Glycogen storage diseases Hemochromatosis Homocystinuria
Hypophosphatasia Marfan syndrome Menkes steely hair syndrome
Osteogenesis imperfecta Parental history of hip fracture Porphyria
Riley-Day syndrome
Hypogonadal states
Androgen insensitivity Anorexia nervosa Athletic amenorrhea
Hyperprolactinemia Panhypopituitarism Premature menopause ( 50 tahun dengan riwayat penggunaan glukokortikoid.24
Keterangan1. Indeks massa tubuh rendah, riwayat orang tua mengalami patah tulang panggul, merokok, mengkonsumsi alkohol >3 gelas perhari, penggunaan glukokortikoid harian, pengguna kortikosteroid dengan dosis kumulatif yang lebih tinggi, menggunakan kortikosteroid injeksi dosis maksimum, penurunan signifikan nilai BMD pada tulang sentral. 2. Penilaian faktor risiko pasien berdasarkan FRAX3. Pada pasien risiko rendah sampai sedang, direkomendasikan terapi pada pasien yang menggunakan glukokortikoid >3 bulan4. Memiliki risiko fraktur osteoporosis mayor dalam 10 tahun kedepan.
2. Evaluasi klinisEvaluasi klinis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang tepat wajib dilakukan.19 Kepadatan tulang berkurang secara perlahan sehingga pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala.4,7,20 Pada tahap lanjut, jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau karena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari punggung, yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk Dowager), yang menyebabkan ketegangan otot dan sakit. Tulang lainnya bisa patah, yang seringkali disebabkan oleh tekanan yang ringan atau karena jatuh.7,21Gambar 4: Perbedaan tulang normal dan osteoporosis.21
Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul. Tulang lain yang rentan terjadi fraktur adalah korpus vertebra, pelvis, femur, dan tulang penyangga beban lainnya.10,22 3. Pemeriksaan RadiologikGambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan daerah trabekular yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra.74. Penentuan masa tulangSemakin banyak massa tulang yang dimiliki, semakin kuat tulang tersebut dan semakin besar beban yang dibutuhkan untuk menimbulkan patah tulang.16 Pengukuran massa tulang merupakan salah satu alat diagnosis yang sangat penting.,2,3,4,8,7,9 Diagnosis osteoporosis ditegakkan dengan pengukuran BMD atau terjadinya patah tulang belakang maupun pinggul dengan tidak adanya trauma berat (seperti kecelakaan kendaraan bermotor atau riwayat jatuh lain).7 Berbagai metode yang dapat digunakan untuk menilai densitas maasa tulang adalah single photon absorptiometry (SPA), single energy X-ray absorptiometry (SPX), dual photon absorptiometry (DPA), dual energy X-ray absorptiometry (DPX), quantitative computed tomography (QCT)7,9 dan quantitative ultrasound (QUS)25. Saat ini gold standard pemeriksaan osteoporosis pada laki-laki maupun osteoporosis pascamenopause pada wanita adalah DXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry), yang digunakan untuk pemeriksaan vertebra, collum femur, radius distal, atau seluruh tubuh.1,2,8,9,10,19,23 DXA akan memberi informasi densitas mineral tulang pada area tertentu dalam gram/cm2. Perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan dengan kadar rerata densitas mineral tulang dengan orang dewasa etnis yang sama, yang disebut dengan T score dalam %, sedangkan perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan dengan kadar rerata densitas mineral tulang orang dengan umur yang sama dan etnis yang sama, disebut Z Score dalam %.5,9 Ada empat kategori diagnosis tingkat densitas tulang berdasarkan T-score.7,9,16,19,23 1. Normal: nilai densitas atau kandungan mineral tulang tidak lebih dari 1 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau kira-kira 10% di bawah rata-rata orang dewasa atau lebih tinggi (T-score -1 SD).2. Osteopenia (massa tulang rendah): nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 1 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, tapi tidak lebih dari 2,5 selisih pokok di bawah rerata orang dewasa, atau 10 - 25% di bawah rata-rata (T-score -1 s/d - 2,5 SD).3. Osteoporosis: nilai densitas tulang lebih dari 2,5 selisih pokok di bawah nilai rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata atau kurang (T-score 2,5 SD).4. Osteoporosis lanjut: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata ini atau lebih, dan disertai adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis (T-score -2,5 SD dengan adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis).Indikasi untuk pemeriksaan BMD:9, Wanita berusia lebih dari 65 thn dan laki-laki berusia lebih dari 70 thn tanpa memperhatikan faktor risiko apapun. Wanita pasca menopause dini, wanita dalam masa transisi menuju menopause, laki-laki berusia antara 50 69 thn faktor risiko klinis terjadinya fraktur. Orang dewasa dengan keadaan tertentu (misalnya rhematoid arthritis) atau sedang mengkonsumsi obat-obatan (misalnya glukokortikoid dengan dosis perhari 5 mg prednisolon atau ekuivalennya 3 bln) yang mengakibatkan penurunan massa tulang.5. Vertebral imagingPatah tulang belakang tanpa riwayat trauma sudah dapat menegakkan diagnosa osteoporosis, bahkan tanpa BMD dan merupakan indikasi terapi farmakologis. Adanya patah tulang belakang tunggal meningkatkan risiko patah tulang belakang berikutnya sampai 5 kali lipat, sedangkan risiko patah tulang pinggul kedepannya 2-3 kali lipat.24 Indikasi rontgen tulang belakang pada individu berikut:9 Wanita usia 70 thn dan laki-laki berusia 80 thn bila nilai BMD Tscore < -1,0 (bila BMD tidak ada boleh berpatokan hanya pada usia) Wanita pasca menopause dan laki-laki berusia 50 thn dengan faktor risiko: Trauma ringan yang menyebabkan fraktur. Riwayat penurunan tinggi badan 1,5 inchi (4 cm) yang dibandingkan saat pasien dewasa dengan tinggi badan saat ini. Berpeluang kehilangan tinggi badan 0,8 inchi (2 cm) yang diukur sejak pasien datang untuk penilaian awal. Sedang menggunakan glukokortikoid atau pernah menggunakan dalam jangka panjang.6. Magnetic Resonance ImagingMRI mepunyai kemampuan yang cukup menjanjikan dalam menganalisa struktur trabekula dan sekitarnya. Metode ini mempunyai kelebihan dengan tidak adanya efek radiasi, namun sedang dalam penelitian.21Gambar. 5:Pendekatan pada wanita premenopause dan pria usia < 50 tahun yang menggunakan glukokortikoid.24
VIII. PENATALAKSANAANOsteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja osteoklas (anti resorptif) dan/atau meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang). Walaupun demikian, saat ini obat yang beredar pada umumnya bersifat anti resorptif. Yang termasuk golongan obat anti resoprtif adalah esterogen, anti esterogen, bisfosfat dan kalsitonin, sedangkan yang termasuk stimulator tulang adalah Na-flurida, paratiroid hormone (PTH) dan lain sebagainya, Kalsium dan vitamin D tidak mempunyai anti resorptif maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk optimalisasi mineralisasi osteosid setelah proses formasi oleh osteoblas. Kekurangan kalsium akan menyebabkan peningkatan produksi PTH yang dapat menyebabkan pengobatan osteoporosis menjadi tidak efektif.13,14a. Terapi Non farmakologisStrategi nonfarmakologi mencakup gaya hidup, asupan vitamin D dan kalsium, menghentikan rokok dan alkohol, penguatan otot dan olah raga, menciptakan lingkungan yang aman adalah cara-cara untuk mencegah osteoporosis.19 1. KalsiumAsupan kalsium dapat diperoleh dari makanan sehari hari maupun suplemen.8,19,24 Laki-laki dan wanita berusia 19 49 thn disarankan mengkonsumsi kalsium 800-1200 mg/hari.3,24 Laki-laki dan wanita 50 thn disarankan asupan kalsium 1000 mg/hari.2,3,25 Hamil dan menyusui disarankan asupan kalsium 1000 mg/hari.192. Vitamin DKombinasi kalsium dan vitamin D disarankan hampir disemua guideline manajemen osteoporosis, dosis yang dianjurkan 600 IU/hari telah dibuktikan mampu mencegah osteoporosis.3,4,213. Olah raga dan berat badanImobilisasi merupakan penyebab rapuh tulang. Jumlah latihan yang optimal pasien dengan osteoporosis tidak diketahui, tetapi latihan beban secara teratur merupakan komponen integral dari manajemen osteoporosis dan disesuaikan dengan pasien.12 Latihan yang dianjurkan meliputi berjalan, jogging, Tai-Chi, memanjat tangga, menari, tenis. yoga, pilates.9 Berat badan rendah dan diet yang berlebihan berhubungan dengan status mineral tulang yang rendah dapat meningkatkan risiko patah tulang. Indeks massa tubuh tidak kurang dari 19 kg/m2 direkomendasikan untuk pencegahan osteoporosis.19 4. Mencegah jatuhSebagian besar patah tulang osteoporosis, terutama pada orang tua, karena densitas tulang yang rendah dan jatuh.19
5. Menghentikan rokok, alkohol dan asupan kafeinAsupan kafein menyebabkan penyerapan kalsium usus menurun dan meningkatkan ekskresi kalsium urin. Anjuran untuk membatasi kafein kurang dari 1 sampai 2 porsi (240-360 ml dalam setiap porsi) minuman berkafein per hari.19 Asupan alkohol lebih dari dua gelas per hari untuk wanita atau tiga gelas sehari untuk pria merugikan kesehatan tulang dan meningkatkan risiko jatuh.9 Merokok ternyata juga dapat menurunkan aktifitas estrogen secara bermakna.7 National Osteoporosis Foundation sangat mendorong menghentikan rokok sebagai bagian dari intervensi osteoporosis.9 Tabel 2:Rekomendasi konseling untuk modifikasi gaya hidup dan penilaian pasien yang menggunakan glukokortikoid 3 bulan8
b. Terapi FarmakologisTerapi farmakologi diberikan pada penderita: Patah tulang pinggul maupun tulang belakang tanpa memperhatikan nilai T-score.9 T-score -2.5 pada leher tulang femoral, tulang pinggul dan tulang belakang.9 Pasien dengan T-score -1 SD sampai -2,5 SD ditambah dengan nilai FRAX 3% untuk tulang panggul maupun femur atau 20% untuk osteoporosis mayor.9,19Tujuan utama penanganan osteoporosis adalah mengurangi risiko terjadinya patah tulang. Banyak uji klinis skala besar telah membuktikan kemanjuran obat osteoporosis.24 Yang termasuk obat antiresorpsi dan telah disetujui FDA penggunaannya adalah:1. BisphosphonatesBisphosphonate merupakan terapi lini pertama dan profilaksis pada osteoporosis akibat glukokortikoid.8,32,33,37 Direkomendasikan untuk mempertimbangkan untuk memulai pemberian bisphosphonate pada wanita pasca menopause dan pria berusia 50 thn yang menggunakan prednisolone >7,5 mg selama minimal 3 bulan.33 Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas.7 Biphosphonat menghambat resorpsi tulang osteoklastik. Biphosphonat atau nonaminobifosfat memetabolisme osteoklas menjadi bentuk yang tidak aktif dengan secara langsung merusak sel osteoklas dan menginduksi terjadinya apoptosis.27 Selain itu, beberapa bisfosfonat juga dapat mempengaruhi aktifasi prekursor osteoklas, diferensiasi prekursor osteoklas menjadi osteoklas yang matang, kemotaksis, perlekatan osteoklas pada permukaan tulang dan akhirnya apoptosis osteoklas. Bisfosfonat juga memiliki efek tak langsung terhadap osteoklas dengan cara merangsang osteoblas menghasilkan substansi yang dapat menghambat osteoklas dan menurunkan kadar stimulator osteoklas. Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa bisfosfonat dapat meningkatkan jumlah dan diferensiasi osteoblas. Dengan mengurangi aktifitas osteoklas, maka pemberian bisfosfonat akan memberikan keseimbangan yang positif pada unit remodeling tulang.21,27 Gambar 6: Mekanisme kerja biphosphonate.27
Alendronate, risedronate, etidronate dan zoledronate telah menjadi pilihan utama pada pasien yang mendapat terapi glukokortikoid.7,37 AlendronateAlendronate 10 mg/hari, diberikan selama 3 tahun dengan pemantauan tiap tahunnya, dapat diberikan selama 10 thn bila ada indikasi.19 Alendronate merupakan terapi lini pertama osteoporosis.20 RisedronateRisedronate 35 mg perminggu.19 Aman dan efektif diberikan pada pasien dengan gangguan ginjal mederate.20 Asam Zoledronic Asam zoledronic 5 mg intravena pertahun diindikasikan untuk pencegahan patah tulang klinis baru pada pasien yang baru saja (dalam waktu 90 hari) mengalami patah tulang pinggul karena trauma ringan.9,19 Diindikasikan juga pada wanita pasca menopause dan meningkatkan masa tulang pada pria, juga sebagai terapi dan pencegahan pada penderita yang menggunakan glukokortikoid dalam 1 thn terakhir.9Tabel 3: Panduan klinis tatalaksana osteoporosis akibat glukokortikoid.37
2. Recombinant human PTH 1-34 (r-PTH)Teriparatide diindikasikan untuk osteoporosis berat atau penderita yang tidak respon dengan anti osteoporosis lainnya.dosis terapi 20 ug/hari.19,20 Direkomendasikan juga pada penderita osteoporosis yang diinduksi oleh glukokortikoid.20,323. Strontium RanelateDirekomendasikan pada osteoporosis berat, osteoporosis risiko tinggi fraktur yang terkait dengan terapi glukokortikoid sistemik yang lama.9 Dosis terapi 2 g/hari.7
IX.EVALUASI TERAPIEvaluasi hasil pengobatan dapat dilakukan dengan pengukuran densitometri setelah 1 2 thn pengobatan. Pengobatan dianggap berhasil bila tidak terjadi penurunan densitas masa tulang.7 Petanda biokimia tulang dapat menilai hasil pengobatan lebih cepat, yaitu dalam waktu 3 - 4 bln setelah pengobatan.7,19 Gambaran radiologi pasca terapi pada patah tulang vertebra merupakan pilihan monitoring untuk melihat ada tidaknya patah tulang yang baru.21Tabel 4: Rekomendasi monitoring pada penderita osteoporosis akibat glukokortikoid.8
X. KESIMPULANPrinsip umum Mendapatkan riwayat pasien secara rinci berkaitan dengan faktor risiko klinis patah tulang karena osteoporosis dan jatuh. Lakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan terkait diagnostik untuk mengevaluasi tanda osteoporosis dan penyebab sekunder. Merubah gaya hidup, penguatan asupan nutrisi dan faktor risiko lain yang dapat dimodifikasi untuk pencegahan fraktur. Penilaian risiko dengan FRAX Memutuskan bagaimana melakukan terapi berdasarkan semua informasi klinis dengan menggunakan panduan.Pertimbangan terapi medis yang bersandar pada: Adanya patah tulang belakang (dengan atau tanpa gejala) dan tulang panggul. Densitometri leher tulang femur atau tulang panggul dengan T-score -2,5 Osteopenia ditambah dengan nilai FRAX 3% untuk tulang panggul maupun femur atau 20% untuk osteoporosis mayor.Evaluasi dan tindak lanjut Pasien yang belum membutuhkan terapi saat ini agar dievalusi berkala. Penderita yang mengkonsumsi obat-obatan yang direkomendasi agar setiap 2 tahun melakukan pemeriksaan BMD ulangan ataupun pemeriksaan laboratoium lain bila ada gejala. Pencitraan tulang belakang dapat diulang pada pasien yang mengalami penurunan tinggi badan dan untuk memastikan tidak ada patah tulang yang baru.
DAFTAR PUSTAKA1. Haussler B GH, Gol D, Glaeske G, Pientka L, Felsenberg D. Epidemiology, treatment and costs of osteoporosis in Germany-the BoneEVA Study. 2007:77842. Kanis JA, on behalf of World Health Organization Scientific Group. Assessment of osteoporosis at the primary health care level. Technical report. UK: World Health Organization Collaborating Centre for Metabolic Bone Diseases, University of Sheffield; 2008.3. Strom O, Borgstrom F, Kanis JA, Compston J, Cooper C, Mc-Closkey EV et al. Osteoporosis: burden, health care provision and opportunities in the EU: a report prepared in collaboration with the International Osteoporosis Foundation (IOF) and the European Federation of Pharmaceutical Industry Associations (EFPIA). Arch Osteoporos 2013;6:59155.4. a5. aa6. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata KM, Setiyohadi B, Syam AF, Editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 6th Ed. Jakarta: Interna publishing; 2014. Chapter 37, penyakit skeletal; p. 3423-522. 7. a8. a9. Neve A, Corrado A, Cantatore FP. Osteoblast physiology in normal and pathological conditions. Review. Rheumatology Clinic, Department of Medical and Occupational Sciences, University of Foggia, Foggia, Italy. 2010.10. Watts NB, Adler RA, Bilezikian JP, Drake MT, Eastell R, Orwoll ES et al. Osteoporois in men: An Endocrine Society Clinical Practice Guideline.. J Clin Endocrinol Metab. 2012;97(6):1802-22.11. Compston JE, Cooper AL, Cooper C, Francis R, Kais JA, Marsh D et al. Osteoporosis Clinical guideline for prevention and treatment. Executive Summary. 2014 Nov.12. Whitaker M, Guo J, Kehoe T, Benson G. Bisphosphonates for Osteoporosis Where Do We Go from Here? N Engl J Med 2012; 366:22; 2048-51.13. Black DM, Bauer DC, Schwartz AV, Cummings SR, Rosen SJ. Continuing Bisphosphonate Treatment for Osteoporosis For Whom and for How Long? N Engl J Med 2012; 366:22; 2051-57.14. Bell, Norman H. RANK ligand and the regulation of skletal remodeling. J Clin Invest 2003;(111):1120-22.15. Amin S. Osteoporosis. American College of Rheumatology Reviews 2012. 16. McCloskey E. Auth. FRAX Identifying people at high risk of fracture in WHO Fracture Risk Assessment Tool, a new clinical tool for informed treatment decisions. International Osteoporosis Foundation. 2009.17. http://www.shef.ac.uk/FRAX18. Malaysian Osteoporosis Society. Clinical Guidance on Management of Osteoporosis. 2012 june.19. Watts NB, Bilezikian JP, Camacho PM, Greenspan SL, Harris ST, Hodgson SF et al. The diagnosis and treatment of postmenopausal osteoporosis; AACE: Endoc Pract. 2010 nov; 16(3)3.20. Ensrud EK, Schousboe JT. Vertebral fracture. N Engl J Med 2011;364:1634-42.21. Miller PD. Bone Disease in CKD: A Focus on Osteoporosis Diagnosis and Management. The national kidney fondation. Am J Kidney Dis. 2014.22. Vasikaran S, Eastell R, Bruyre O et al. Markers of bone turnover for the prediction of fracture risk and monitoring of osteoporosis treatment: a need for international reference standards. Osteoporos Int 2011;22: 391-420.23. The Taiwanese Osteoporosis Association. Guidelines for the Prevention and Treatment of Osteoporosis. 2011 Sept.24. J. A. Kanis & E. V. McCloskey & H. Johansson & C. Cooper & R. Rizzoli & J.-Y. Reginster. European guidance for the diagnosis and management of osteoporosis in postmenopausal women. Position paper. Sprin Osteoporos Int 2012.25. a26. Management of Bone Complications in Cancer [image on the Internet]. 2015; cited 2015 Jun 15]. Available from: http://www.medscape.org/viewarticle/520178_5.27. Civitelli R, Ziambaras K. Epidemiology of glucocorticoid-induced osteoporosis. J Endocrinol Invest. 2008 Jul;31;7:2-6.28. Van ST, Leufkens HG, Cooper C. The epidemiology of corticosteroid-induced osteoporosis: a meta-analysis. Osteoporos Int. 2002 Oct 13(10):777-87.29. Sewerynek E, Stuss M. Steroid-induced Osteoporosis. Aging Health. Medscape. 2012;8(5):471-477.30. Ke no. 831. Pereira RM, Carvalho JF, Paula AP, Zerbini C, Domiciano DS, Gonalves H et al. Guidelines for the prevention and treatment of glucocorticoid-induced osteoporosis. Rev Bras Reumatol. 2012 Aug;52(4):580-93.32. Klop C, Vries FD, Vinks T, Kooij MJ, Van STP, Bijlsma JWJ et al. Increase in prophylaxis of glucocorticoid-induced osteoporosis by pharmacist feedback: a randomised controlled trial. J Osteoporos Int (2014) 25:385392.33. Fraser LA, Adachi JD. Glucocorticoid-Induced Osteoporosis: Treatment Update and Review. Ther Adv Musculoskelet Dis. 2009 Apr; 1(2): 7185. 34. Compston J. Management of Glucocorticoid-Induced Osteoporosis: Pathophysiology. Medscape 2010 marc 02; [cited 2015 Jun 15]. Available from: http://www.medscape.org/viewarticle/715459_3.35. McIlwain HH. Glucocorticoid-induced osteoporosis: Pathogenesis, diagnosis and management. Preventive Medicine 2003;36:243-9.36. Juliet Compston. Management of glucocorticoid-induced Osteoporosis. Nat. Rev. Rheumatol. 2010 feb :6;828819