Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

37
Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal Oleh : Luh Nyoman Ananda Mahayati (1202006173) Nyoman Try Yuliani Pertiwi (1202006150) Pembimbing: dr. I Putu Kurniyanta Sp.An DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA SMF/BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RSUP SANGLAH/ FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2017

Transcript of Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

Page 1: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

i

Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas

Gastrointestinal

Oleh :

Luh Nyoman Ananda Mahayati (1202006173)

Nyoman Try Yuliani Pertiwi (1202006150)

Pembimbing:

dr. I Putu Kurniyanta Sp.An

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

SMF/BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

RSUP SANGLAH/ FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

2017

Page 2: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi

Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya Kami dapat menyelesaikan

jurnal terjemahan ini dengan judul “Obat-obatan Motilitas Gastrointestinal” tepat

pada waktunya.

Laporan ini dibuat sebagai prasyarat dalam mengikuti Kepaniteraan

Klinik Madya (KKM) di BAG/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK

UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar. Dalam penyusunan laporan kali ini, penulis

memperoleh banyak bimbingan, petunjuk dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. I Ketut Sinardja, Sp.An, KIC selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu

Anastesi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.

2. dr. I Putu Kurniyanta Sp.An selaku dokter pembimbing dan penguji

dalam penyusunan jurnal terjemahan ini.

3. Semua pihak yang telah membantu penyusunan jurnal terjemahan ini.

Penulis menyadari bahwa dalam jurnal terjemahan ini masih terdapat kekurangan,

diharapkan adanya saran demi penyempurnaan karya ini. Semoga bisa

memberikan sumbangan ilmiah bagi dunia kedokteran dan manfaat bagi

masyarakat. Terima kasih.

Denpasar, Juni 2017

Penulis

Page 3: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

DAFTAR ISI

Halaman

COVER ........................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii

DAFTAR GAMBAR………………………………………………………… ............. iv

DAFTAR TABEL…………………………………………………………… ............... v

Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal............................................1

Antasida Oral…...............................................................................................................2

Komplikasi terapi antasida……………………… …………………………...3

Interaksi obat............................................ ..........................................................4

Inhibitor Pompa Proton…................................ ............................................................5

Omeprazole………………………………………..…………………………...5

Esomeprazole......................................................................................................7

Pantoprazole........................................................................................................7

Prokinetik Gastrointestinal…...........................................................................................2

Penghambat dopamine..………………………………………………………...8

Makrolida…………………….........................................................................................13

Agonis reseptor 5-HT4..………………………………………….…… .……………...13

Antagonis Serotonin……..………………………………………….…...……………...14

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 35-7. Omeprazole ............................................................................................ 6

Gambar 35-8. Domperidone .......................................................................................... 9

Gambar 35-9. Erythromycin dan efeknya terhadap pengosongan lambung .............. 14

Page 5: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 35-5 Farmakokinetik Proton Pump Inhibitor …………………………………….12

Tabel 35-6 Volume dan pH isi lambung pada penelitian ………………………………..7

Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

Page 6: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

Aspirasi adalah inhalasi isi lambung atau orofaringeal ke dalam saluran

napas. Aspirasi selama prosedur anestesi umum terjadi pada 1 diantara 8.500

orang dewasa dan 1 diantara 4.400 anak-anak berusia dibawah 16 tahun.

Penelitian sebelumnya yang menggunakan 56.000 pasien berusia dibawah 18

tahun mengidentifikasi insiden aspirasi, yakni sebesar 1 diantara 2.600 prosedur

anestesi. Insidennya terjadi pada 1 diantara 4500 pasien yang menjalani prosedur

elektif, tetapi hanya 1 diantara 400 pasien yang menjalani prosedur gawat darurat.

Penulis mengomentari bahwa morbiditas respiratorik jarang terjadi dan tidak

terdapat mortalitas yang berhubungan dengan aspirasi isi lambung pada studi

kohort ini. Penelitian sebelumnya pada orang dewasa menemukan bahwa, selain

pada prosedur gawat darurat (banyak terdapat pada pasien dengan obstruksi usus),

pasien dengan status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) 3 atau

lebih memiliki risiko lebih tinggi mengalami aspirasi, komplikasi yang

berhubungan dengan paru-paru, dan kematian. Penelitian tersebut menemukan

bahwa sekitar sepertiga kasus aspirasi terjadi selama laringoskopi dan intubasi,

sepertiga terjadi selama ekstubasi, dan sepertiga lainnya terjadi saat tersebut

prosedur dilakukan.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan komplikasi paru akibat aspirasi

meliputi volume dan tingkat keasaman isi lambung yang teraspirasi. Obat-obatan

yang dapat meningkatkan pH isi lambung (antasida) dan yang menurunkan

volume isi lambung (obat-obatan prokinetik) memiliki peran dalam mengurangi

tingkat keparahan dari sekuele yang diakibatkan oleh aspirasi.

1. Antasida Oral

Antasida merupakan obat-obatan yang menetralkan (mengeliminasi ion

hidrogen) keasaman isi lambung atau menurunkan sekresi hidrogen klorida pada

lambung. Antasida oral telah digunakan selama berabad-abad. Dalam praktiknya

kini, antasida oral yang paling sering digunakan adalah garam aluminium,

kalsium, dan magnesium; ion hidrogen pada asam lambung bereaksi dengan basa

membentuk suatu komposisi yang bersifat stabil. Saat ion hidrogen dikonsumsi,

pH isi lambung meningkat. Contoh yang banyak diketahui, yakni sodium

Page 7: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

bikarbonat (NaHCO3), yang pada lambung akan bergabung dengan HCl untuk

menghasilkan NaCl, H2O, dan CO2.

Meningkatkan pH lambung dapat meringankan gejala gastritis, tetapi bila

pH lambung terlalu tinggi, pencernaan makanan akan terhambat sebagaimana

diketahui bahwa pH lambung yang asam penting untuk pemecahan komponen-

komponen makanan. Peningkatan pH isi lambung mencapai >5 mengakibatkan

inaktivasi enzim pepsin dan memproduksi efek kelasi seperti empedu. Netralisasi

pH cairan lambung meningkatkan motilitas lambung melalui gastrin (aluminium

hidroksida merupakan pengecualian) dan meningkatkan tonus sfinkter esophagus

bagian bawah melalui mekanisme yang independen dari gastrin.

Natrium bikarbonat (NaHCO3) menghasilkan efek antasida yang cepat,

hingga pH lambung mencapai titik netralnya, dimana hal ini dapat mengakibatkan

fenomena acid rebound. Pasien dengan hipertensi atau penyakit jantung

kemungkinan tidak dapat mentoleransi peningkatan sodium yang berhubungan

dengan penggunaan antasida jangka panjang.

Magnesium hidroksida juga menghasilkan efek netralisasi asam lambung

namun tidak berhubungan dengan fenomena acid rebound yang signifikan.

Bertolak belakang dengan aluminium hidroksida, efek laksatif yang prominen

(diare osmotik) merupakan karakteristik dari meagnesium hidroksida. Absorpsi

sistemik magnesium cukup untuk mengakibatkan gangguan neurologis,

neuromuskuler, dan kardiovaskuler pada pasien dengan disfungsi ginjal. Disfungsi

ginjal juga dapat mengakibatkan terjadinya alkalosis metabolik pada beberapa

pasien.

Kalsium karbonat juga dapat mengakibatkan alkalosis metabolik bila

digunakan sebagai terapi berkepanjangan. Konsentrasi kalsium pada plasma

meningkat secara transien. Hiperkalsemia simptomatis dapat terjadi pada pasien

dengan penyakit ginjal. Pemberian antasida yang mengandung kalsium karbonat

dapat mengakibatkan hipofosfatemia dan meskipun dalam jumlah yang kecil,

antasida yang mengandung kalsium karbonat dapat mendukung hipersekresi ion

hidrogen (acid rebound). Pelepasan CO2 di lambung dapat mengakibatkan

sendawa dan penumpukan gas berlebihan pada perut. Konstipasi diminimalisir

Page 8: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

dengan menyertakan magnesium oksida dengan kalsium karbonat. Telah

dilaporkan terdapat kasus appendisitis akut akibat penumpukan fekalit kalsium

karbonat.

Aluminium hidroksida sebenarnya merupakan percampuran antara

aluminium hidroksida, aliminium oksida, dan CO2 sebagai karbonat. Absorpsi

sistemik aluminium bersifat minimal, tetapi pada pasien dengan penyakit ginjal,

konsetrasi aluminium dalam plasma dan jaringan dapat menjadi berlebih.

Ensefalopati pada pasien yang menjalani hemodialisis telah dihubungkan dengan

intoksikasi aluminium terutama pada pasien yang menelan bahan yang

mengandung sitrat. Komponen aluminium, berbeda dengan antasida lainnya,

memperlambat pengosongan lambung dan konstipasi. Efek tersebut, ditambah

dengan rasanya yang kurang enak, berkontribusi terhadap keengganan pasien

untuk menggunakaknnya.

Kegagalan terkadang terjadi dari usaha antasida untuk meningkatkan pH

cairan lambung, hal ini dapat terlihat dari tidak bercampurnya obat tersebut secara

adekuat dengan isi lambung atau volume isi lambung yang meningkat tinggi

dimana dosis standar tidak adekuat untuk menetralkan ion hidrogen lambung.

Pneumonitis yang berhubungan dengan perubahan fungsional dan histologis pada

paru-paru dapat memperlihatkan reaksi tubuh seperti reaksi terhadap benda asing

terhadap partikulat antasida yang terinhalasi.

Antasida yang tidak membentuk partikulat-partikulat seperti contohnya

sodium sitrat memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengakibatkan reaksi

tubuh terhadap benda asing bila teraspirasi, dan percampurannya dengan cairan

lambung juga lebih baik. Lebih lanjut lagi, onset hingga menimbulkan efek yang

dimiliki sodium sitrat lebih cepat. Sodium sitrat, 15 – 30 mL dari 0,3 mol/L

larutan diberikan 15 hingga 30 menit sebelum induksi anestesi, efektif untuk

meningkatkan pH cairan lambung pada pasien yang sedang hamil ataupun tidak

sedang hamil.

1.1 Komplikasi terapi antasida

Page 9: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

Peningkatan pH urin dan cairan lambung dari penggunaan antasida

berhubungan dengan beberapa efek samping. Alkalinisasi kronik cairan lambung

berhubungan dengan pertumbuhan berlebih bakteri pada duodenum dan usus

halus. Alkalinisasi urin dapat menjadi predisposisi infeksi saluran kencing;

apabila kronik, urolitiasis dapat terjadi. Peningkatan pH urin yang bertahan hingga

>24 jam setelah pemberian antasida, dapat memengaruhi kemampuan ginjal

dalam mengeliminasi obat-obatan.

Acid rebound merupakan efek samping yang unik yang dimiliki antasida

yang mengandung kalsium. Respon ini ditandai dengan peningkatan bermakna

sekresi asam lambung yang terjadi beberapa jam setelah netralisasi asam

lambung. Belum jelas diketahui jika fenomena acid rebound ini menetap dengan

terapi kalsium karbonat jangka panjang. Milk-alkali syndrome ditandai dengan

hiperkalsemia, peningkatan konsentrasi nitrogen urea darah, dan kreatinin plasma,

serta alkalosis sistemik yang ditunjukkan dengan peningkatan pH plasma diatas

normal. Konsentrasi kalsium fosfat plasma pada umumnya meningkat. Penurunan

bermakna fungsi ginjal dengan kalsifikasi parenkim renal juga dapat terjadi.

Sindrom ini berhubungan dengan konsumsi kalsium karbonat dalam jumlah yang

banyak diserta dengan konsumsi susu sebanyak >1 liter setiap harinya.

Penurunan konsentrasi fosfor dapat terjadi pada pasien yang mengonsumsi

garam aluminium jumlah tinggi karena mereka berikatan dengan ion fosfat pada

saluran cerna yang menghalangi absorpsi fosfor. Efek ini dapat merupakan

keuntungan pada pasien dengan penyakit ginjal karena dapat menurunkan

konsentrasi fosfat plasma, namun pada pasien dengan penyakit ginjal kronik

memiliki risiko terjadinya toksisitas oleh aluminium. Individu dengan

hipofosfatemia dapat mengalami anoreksia, kelemahan otot rangka, dan malaise.

Osteomalasia, osteoporosis, dan fraktur dapat terjadi. Bila dirasakan tetap perlu

untuk memberikan terapi pasien osteomalasia atau osteoporosis dengan antasida

yang mengandung aluminium dalam jangka panjang, maka pemberian

suplementasi fosfat dapat dipertimbangkan.

1.2 Interaksi obat

Page 10: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

Alkalinisasi lambung meningkatkan pengosongan lambung,

mengakibatkan penghantaran obat yang cepat juga menuju usus halus. Hal ni

dapat memfasilitasi penyerapan obat-obatan yang memiliki daya serap rendah

atau dapat memperpendek waktu penyerapan. Terdapat beberapa obat-obatan

yang penyerapannya ditingkatkan oleh antasida. Kecepatan absorpsi salisilat,

indometasin, dan naproxen meningkat bila pH lambung meningkat. Aluminium

hidroksida mempercepat absorpsi dan meningkatkan bioavailabilitas diazepam

melalui mekanisme yang belum diketahui. Sebaliknya, bioavailabilitas beberapa

obat juga dapat menurun karena kapasitasnya untuk membentuk kompleks dengan

antasida. Sebagai contoh, antasida menurunkan bioavailabilitas cimetidine oral

sebanyak 15%. Antasida yang mengandung aluminium, kalsium atau magnesium,

mengganggu absorpsi tetrasiklin dan kemungkinan digoxin pada saluran cerna.

2. Reseptor Histamin Antagonis

Histamin menginduksi kontraksi dari otot halus pada jalur pernafasan,

meningkatkan sekresi dari asam pada pencernaan, dan menstimulasi pelepasan

dari neurotransmitter pada system saraf pusat melalui tiga bagian reseptor yaitu

H1, H2, H3. Saat ini reseptor histamin yang keempat, yang disebut reseptor H4 telah

di kloning, yang mengarahkan perkembangan pada beberapa obat yang

menghambat cara kerjanya. Tergantung pada respon histamin yang menghambat,

obat dikelompokan menjadi reseptor antagonis H1-, H2-, H3-, dan H4-. Reseptor

histamin antagonis berikatan dengan reseptor membrane sel, kecuali molekul

antagonis, tanpa mengaktivasi reseptor itu sendiri. Untuk reseptor histamin

antagonis, terjadi interaksi secara kompetitif dan berulang. Penting untuk

diketahui bahwa reseptor histamin antagonis tidak menghambat pelepasan

histamin tetapi berikatan dengan reseptor dan menghambat respon yang dimediasi

oleh histamin.

Modulator reseptor H3- dan H4- tidak memegang peranan dalam praktik

anastesi dan tidak dijelaskan dengan jelas. Aktivasi dari reseptor H3 menghambat

sintesis dan melepaskan histamin dari neuron pada system saraf pusat, seperti

contohnya; reseptor tersebut berlaku sebagai autoreseptor presinaptik. Reseptor

Page 11: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

H4 dikeluarkan oleh sel mast, sel dendritik, basofil, dan limfosit T. Aktivasi dari

reseptor H4 menginduksi kemostasis dari sel imun.

2.1 Reseptor Antagonis H1-

Reseptor Antagonis H1- dikelompokan menajadi reseptor antagonis

generasi pertama dan generasi kedua. Obat generasi pertama cenderung

memproduksi sedasi, sedangkan obat generasi kedua cenderung tidak sedatif.

Reseptor antagonis H1- sangat selektif terhadap reseptor H1-, memiliki sedikit

efek pada reseptor H2, H3, atau H4. Reseptor Antagonis H1- generasi pertama

juga mengaktivasi muskarinik, kolinergik, 5-hydroxytryptamine (serotonin), atau

reseptor alfa-adrenergik, yang mana beberapa antagonis generasi kedua juga

memiliki hal ini.

Selektivitas dari antagonis generasi kedua untuk reseptor H1 mengurangi

toksisitas sistem saraf pusat. Peningkatan pengertian dari farmakologi molekular

obat ini dihasilkan dari klasifikasi ulang sebagai agonis terbalik dibandingkan

dengan reseptor antagonis H1-. Reseptor antagonis H1- berperan sebagai agonis

terbalik yang bergabung dan menyeimbangkan bentuk inaktif dari reseptor H1-,

menggeser keseimbangan menjadi keadaan tidak aktif.

Farmakokinetik Reseptor H1- Antagonis

Waktu

puncak

plasma

(jam)

Eliminasi

waktu paruh

(jam)

Kecepatan

pembersihan

(mL/kg/min)

Generasi pertama reseptor antagonis

Chlorpheniramine 2.8 27.9 1.8

Diphenhydramine 1.7 9.2 23.3

Hydroxyzine 2.1 20.0 98

Generasi kedua reseptor antagonis

Loratadine 1.0 11.0 202

Acrivastine 0.85 – 1.4 1.4 – 2.1 4.56

Azelastine 5.3 22 8.5

Tabel. 35-1

Page 12: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

Gambar 35-1. Generasi pertama dan kedua reseptor H1- antagonis

2.1.1. Farmakokinetik

Reseptor antagonis H1- diserap dengan baik setelah administrasi secara

oral, terkadang mencapai puncak konsentrasi plasma dalam waktu dua jam.

Banyak ikatan protein yang tinggi, dalam rentang 78% hingga 99%. Sebagian

besar dari reseptor antagonis H1- yang baru tidak diakumulasi dalam jaringan.

Sebagian besar reseptor antagonis H1- di metabolisme oleh sistem oksidase fungsi

gabungan microsomal hepatik. Konsentrasi plasma relatif rendah pada dosis

tunggal, yang mengindikasi ekstraksi hepatik. Nilai untuk mengeliminasi waktu

paruh dari obat ini sangat beragam. Seperti contohnya, eliminasi waktu paruh dari

kloperamin adalah lebih dari 24 jam dan acrivastin sekitar 2 jam. Sekresi

acrivastin sebagian besar tidak berubah dalam urine, tetapi pada cetirizine, terjadi

metabolism karbosilat aktif dari hidroksizin.

Page 13: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

2.1.2 Penggunaan klinis

Reseptor antagonis H1- digunakan pada sebagian besar pengobatan.

Reseptor antagonis H1- menghambat dan meringankan gejala alergi

rinokonjungtivitis (bersin, gatal pada mata dan hidung, rhinore, mata berair, dan

eritema konjungtival), tetapi kurang efektif pada kongesti nasal yang jenisnya

reaksi alergi lambat. Dalam perannya di pengobatan rhinitis alergi, Reseptor

antagonis H1- memberikan keuntungan dalam pengobatan infeksi saluran

pernafasan atas dan tidak terdapat keuntungan dalam pengobatan otitis media.

Tergantung dari pilihan dan dosis reseptor antagonis H1-, persiapan sebelum

pengobatan dapat memberikan proteksi terhadap spasme bronkus yang

disebabkan oleh berbagai stimulus (histamin, olahraga, udara dingin dan kering).

Pada awalnya kekhawatiran terhadap pengeringan sekresi pada pasien dengan

asma belum di buktikan. Pada pasien dengan kronik urtikaria, reseptor antagonis

H1- meredakan gatal dan mengurangi jumlah, ukuran dan durasi lesi urtikaria.

Pada pasien dengan urtikaria refraktori, ditangani dengan reseptor antagonis H2-

(cimetidine, ranitidine) dapat mengurangi gejala gatal. Sebagai efek langsung

pada reseptor H2, yang terhitung sebanyak 10% - 15% reseptor histamin di

pembuluh darah, dimana efek ini berperan dalam kemampuan reseptor antagonis

H2- untuk menghambat metabolism dari reseptor antagonis H1- dengan sistem

hepatik sitokrom, mengarahkan pada peningkatan plasma dan konsentrasi jaringan

dari reseptor antagonis H1-.

Generasi kedua dari reseptor antagonis H1- (cetirizine, fexofenadine,

loratadine, desloratadine, azelastine) menggantikan obat generasi pertama

(diphenhydramine, chlorpheniramine, cyproheptadine) pada penanganan alergi

rinokonjungtivitis dan urtikaria kronis. Biaya yang lebih besar dapat dimaklumi

karena rasio keuntungan yang lebih tinggi (contoh; memiliki efek samping

tehadap SSP yang lebih rendah). Contohnya, generasi pertama reseptor antagonis

H1- memiliki efek sedasi yang berakibat waktu reaksi yang tertunda.

Diphenhydramine digolongkan sebagai sedatif, antipruritus, dan antimetik. Ketika

dikonsumsi sendiri, hal ini akan menstimulasi ventilasi dengan cara peningkatan

reaksi hipoksia dan hiperkarbik jalur pernafasan. Ketika diphenhydramine

digunakan dalam kombinasi dengan sistemik atau neuraxial opioids untuk

Page 14: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

mengatasi mual dan gatal, terdapat resiko depresi pernafasan. Meskipun demikian,

diphenhydramine melawan induksi opioid yang mengurangi respon pernafasan

terhadap CO2 dan tidak memperburuk depresi dari respon hipoksia pernafasan

selama keadaan hiperkarbia sedang.

Distribusi reseptor histamin yang banyak pada miokardium dan pembuluh

darah koroner mempengaruhi jantung untuk mengganti pengaturan jantung saat

terjadi pelepasan banyak histamin yang ditandai dengan reaksi hipersensitifitas

tipe 1. Penggunaan antihistamin pada penanganan akut dari reaksi anafilaktik

diarahkan pada penghambatan vasodilatasi yang dimediasi oleh histamin dan

menghasilkan hemodinamik tidak stabil, penurunan sistem penafasan dan

komplikasi sistemik lainnya. Administrasi dari reseptor antagonis H1- dan

administrasi epinephrine ditujukan pada penanganan anafilaktik akut. Reseptor

antagonis H1- berguna dalam penanganan tambahan pada pruritus, urtikaria dan

angioedema. Obat ini dapat diberikan sebagai profilaksis dari reaksi anafilaksis

terhadap pewarna radiokontras. Generasi kedua reseptor antagonis H1- seperti

terfenadine, fexofenadine, and astemizole memiliki kelarutan yang rendah

terhadap air dan tidak seperti obat generasi pertama, yang tidak dapat digunakan

secara parenteral.

Kelebihan dari reseptor antagonis H2- dari pada reseptor antagonis H1-

dalam penanganan anafilaksis adalah kecepatan resolusi dari gejala.

Kemungkinan redaman dari reseptor antagonis H2- meningkat pada inotropik dan

kronotropik, dengan demikian membatasi potensi mekanisme kompensasi

jantung, namun tidak spesifik pada praktek klinis. Dimenhydrinate telah

digunakan dalam penanganan mabuk perjalanan seperti halnya mual dan muntah

paska operasi. Dapat disimpulkan bahwa efek dimenhydrinate dalam penanganan

mabuk perjalanan dan penyakit telinga bagian dalam dapat disebabkan inhibisi

dari fungsi integrasi yang komprehensif dari vestibular nuclei dengan penurunan

vestibular dan masukan visual. Manipulasi dari otot mata luar dalam operasi

strabismus dapat memicu “oculoemetic”. Jika serabut afferent pada refleks ini

juga bergantung pada intergritas dari bagian vestibular nuclei, maka

dimenhydrinate dapat menghambat refleks ini dan mengurangi kejadian mual dan

muntah paska operasi. Pemberian dimenhydrinate, secara intravena 20 mg, pada

Page 15: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

dewasa menurunkan angka kejadian muntah pada pasien pasca operasi. Pada

anak-anak, 0.5 mg/kg intravena, secara signifikan mengurangi kejadia muntah

setelah operasi strabismus dan tidak berhubungan dengan sedasi berkepanjangan.

Dibandingkan dengan serotonin antagonis, dimenhydrinate merupakan antiemetik

yang tidak mahal.

2.1.3 Efek Samping

Generasi pertama antagonis H1 terkadang memiliki efek samping pada

sistem saraf pusat termasuk penurunan kesadaran, kewaspadaan berkurang, reaksi

yang melambat, dan kerusakan fungsi kognitif. Hal ini disebabkan oleh aktifitas

silang terhadap reseptor muskarinik, efek antikolinergik seperti mulut kering,

pandangan kabur, retensi urin, dan impotensi dapat terjadi. Takikardi adalah hal

yang sering terjadi, dan interval QT yang memanjang pada EKG, henti jantung

dan aritmia dapat terjadi. Generasi pertama reseptor antagonis H1- tetap menjadi

pilihan terapi karena efektif dan murah. Pemberian obat ini disarankan sebelum

tidur karena efek sampingnya yang berupa penurunan kesadaran.

Generasi kedua antagonis H1 tidak memiliki efek samping pada sistem

saraf pusat seperti penurunan kesadaran kecuali jika dikonsumsi melebihi dosis.

Peningkatan efek dari diazepam atau alkohol dapat disebabkan oleh obat generasi

kedua. Fexofenadine, yang merupakan hasil metabolisme dari terfenadine, tidak

memperpanjang interval QT pada EKG, walaupun dalam dosis yang tinggi. Pasien

dengan gangguan hati, penyakit jantung yang disertai dengan pemanjangan

interval QT, atau gangguan metabolic seperti hypokalemia atau hipomagnesemia

cenderung merugikan efek cardiovascular dari reseptor antagonis H1-. Generasi

kedua reseptor antagonis H1- kebanyakan tidak hilang dengan hemodialisa.

Intoksikasi antihistamin mirip dengan keracunan antikolinergik dan dapat

dihubungkan dengan kejang dan kelainan konduksi jantung yang menyerupai

kelebihan dosis antidepresan tricyclic. Obat antihistamin non sedasi yang lama

(terfenadine, astemizole) berhubungan dengan pemanjangan interval QT dan

atipikal (torsades de pointes) ventricular takikardi setelah kelebihan dosis dan

setelah pemberian dengan antibiotik makrolit, atau obat lain yang mengganggu

proses eliminasinnya. Obat ini telah ditarik dari pasar sejak tahun 1999.

Page 16: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

2.2 Reseptor Antagonis H2-

Cimetidine, ranitidine, famotidine, dan nizatidine adalah reseptor

Antagonis H2- yang merupakan produk selektif dan inhibisi reversible dari sekresi

reseptor H2 oleh sel pariental di abdomen. Hubungan antara sekresi cairan

lambung yang berlebihan yang mengandung konsentrasi ion hydrogen yang tinggi

dan penyakit ulkus peptikum menekankan nilai potensial dari obat yang

menghambat secara selektif respon ini. Meskipun adanya reseptor H2 diseluruh

tubuh, penghambatan pengikatan histamin pada reseptor di sel pariental lambung

adalah efek keuntungan yang besar dari reseptor antagonis H2-.

2.2.1 Mekanisme aksi

Reseptor histamin pada membrane basolateral dari sel parietal lambung

yang mengeluarkan asam adalah tipe H2 dan tidak dihambat dengan antagonis H1

konvensional. Kedudukan reseptor H2 oleh pelepasan histamin dari sel mast dan

sel lain dapat mengaktifasi adenylate cyclase, meningkatkan konsentrasi

intraselular dari cyclic adenosine monophosphate (cAMP). Peningkatan

konsentrasi cAMP dapat mengaktifkan pompa proton pada sel pariental lambung

(enzim sebagai hydrogen-potasium-ATPase) untuk mengeluarkan ion hydrogen

pada gradient konsentrasi yang luas pada pertukaran ion potassium. Reseptor H2-

antagonis bersaing dan secara selektif menghambat pengikatan histamin dengan

reseptor H2, dengan demikian terjadi penurunan konsentrasi intraselular dari

cAMP dan berikutnya sekresi ion hydrogen oleh sel pariental.

Gambar 35-2. Fluks ion melewati sel parietal Gambar 35-3.Reseptor H2-Antagonis

Page 17: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

Potensi relatif dari reseptor antagonis H2- untuk menghambat sekresi ion

hydrogen lambung sekitar 20 hingga 50 lipatan, dengan cimetidine yang sedikit

poten dan famotidine yang sangat poten. Durasi inhibisi dalam jangka 6 jam untuk

cimetidine hingga 10 jam untuk ranitidine,famotidine, dan nizatidine. Tidak ada

dari keempat reseptor antagonis H2- yang memiliki efek konsisten pada fungsi

spinter esofagus bawah atau pada waktu pengosongan lambung. Penghentian dari

terapi reseptor antagonis H2- yang kronis dapat menyebabkan munculnya

hipersekresi asam lambung.

Tabel 35-2

Farmakokinetik dari Reseptor H2- Antagonis

Cimetidine Ranitidine Famotidine Nizatidine

Potensi 1 4-10 20-50 4-10

EC50 (𝜇g/mL)a 250-500 60-165 10-13 154-180

Bioavailabilitas (%) 60 50 43 98

Waktu puncak konsentrasi

plasma (jam)

1-2 1-3 1.0-3.5 1-3

Volume distribusi (L/kg) 0.8-1.2 1.2-1.9 1.1-1.4 1.2-1.6

Pengikatan protein plasma (%) 13-26 15 16 26-35

Cairan cerebrospinal: plasma 0.18 0.06-0.17 0.05-0.09 667-850

Pembersihan (mL/menit) 450-650 568-709 417-483 667-850

Pembersihan hepatik (%)

Oral 60 73 50-80 22

Intravena 25-40 30 25-30 25

Pembersihan ginjal (%)

Oral 40 27 25-30 57-65

Intravena 50-80 50 65-80 75

Eliminasi waktu paruh (jam) 1.5-2.3 1.6-2.4 2.5-4 1.1-1.6

Penurunan dosis pada

gangguan ginjal

Ya Ya Ya Ya

Gangguan hepatik Tidak Tidak Tidak Tidak

Gangguan metabolisme obat

oleh enzim sitokrom P450

Ya Minimal Tidak Tidak

2.2.2 Farmakokinetik

Absorbsi dari cimetidine, ranitidine dan famotidine sangat cepat melalui

konsumsi oral. Karena metabolisme pertama yang dilalui secara hepatik, tetapi

Page 18: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

bioavailabilitas dari obat ini 50%. Nizatidine tidak melalui metabolisme melalui

hepatik, dan bioavailabilitas setelah konsumsi secara oral mencapai 100%. Waktu

puncak rata-rata dari konsentrasi plasma reseptor antagonis H2- sekitar 1 hingga 3

jam setelah konsumsi oral. Karena volume distribusi untuk keempat obat melebihi

kadar total air dalam tubuh, maka sebagian (13% - 35%) berikatan dengan protein.

Cimetidine terdistribusi secara luas di seluruh organ tubuh yang tidak

mengandung lemak. Sekitar 70% dari seluruh cimetidine ditemukan pada otot

skeletal. Volume distribusi tidak diubah oleh penyakit ginjal tetapi dapat

meningkat dengan penyakit hepatik yang parah dan dapat berubah dengan

perubahan pada tekanan darah sistemik dan curah jantung. Keempat obat tersebut

terkandung dalam ASI (air susu ibu) dan dapat melewati plasenta dan sawar darah

otak. Kandungan cimetidine dalam cairan serebrospinal meningkat pada pasien

dengan penyakit hepatik yang parah. Dosis dari cimetidine perlu diturunkan

untuk menghindari gangguan mental pada pasien dengan penyakit hepatik.

Volume distribusi cimetidine juga menurun sekitar 40% pada pasien lansia,

menunjukan penurunan pada masa otot skeletal yang berhubungan dengan

penuaan.

Walaupun terdapat beragam cara dalam pembersihan dan eliminasi waktu

paruh dari reseptor antagonis H2-, eliminasi waktu paruh plasmanya dalam jangka

waktu 1.5 hingga 4 jam. Eliminasi dari keempat obat tersebut terjadi oleh

kombinasi dengan metabolisme hepatik, filtrasi glomerulus, dan sekresi tubulus

ginjal. Metabolisme hepatik adalah mekanisme utama untuk pembersihan dari

plasma dosis oral cimetidine, ranitidine, dan famotidine, dan ekskresi ginjal

adalah jalur utama untuk pembersihan dari plasma obat oral nizatidine. Banyak

nizatidine yang memiliki metabolisme aktif (N-2-monodesmethyl-nizatidine),

memiliki sekitar 60% dari aktifitas obat orang tua. Metabolisme hepatik dari

cimetidine terjadi secara primer dari konversi sisi rantai dengan sisi lainnya atau

sulfoxide, dan produk inaktif ini terkandung dalam urin sebagai 5-hydroxymethyl

dan atau metabolisme sulfoxide. Pembersihan ginjal dari keempat reseptor H2-

antagonis sekitar dua hingga tiga kali lebih baik dari pembersihan kreatinin,

mencerminkan luas sekresi tubulus ginjal. Gagal ginjal meningkatkan eliminasi

waktu paruh dari keempat obat, dengan efek terbaik pada nizatidine dan

Page 19: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

famotidine. Penurunan dosis dari keempat obat disarankan untuk pasien dengan

gangguan ginjal. Dosis dari reseptor H2- antagonis juga dapat diturunkan pada

pasien dengan luka bakar akut. Hanya 10% hingga 20% dari seluruh cimetidine

atau ranitidine yang dibersihkan dengan hemodialisa. Kegagalan hepatik tidak

secara signifikan mempengaruhi farmakokinetik dari reseptor H2- antagonis.

Peningkatan umur sebaiknya dipertimbangkan ketika menentukan dosis dari

reseptor H2- antagonis. Sebagai contohnya, pembersihan cimetidine menurun 75%

pada pasien berumur 20 hingga 70 tahun. Penurunan 40% juga terjadi pada

volume distribusi cimetidine di pasien lansia. Eliminasi paruh waktu dari

ranitidine dan famotidine dapat meningkat hingga dua kali lipat pada pasien

lansia.

2.2.3 Penggunaan klinis

Reseptor H2- antagonis biasanya digunakan dalam penanganan penyakit

ulkus duodenum yang disebabkan oleh hipersekresi dari ion hydrogen lambung.

Pada masa preoperatif, reseptor H2- antagonis telah digunakan sebagai

kemoprofilaksis untuk meningkatkan pH dari cairan lambung sebelum dilakukan

anastesia. Akan tetapi, panduan praktik The American Society of Anesthesiologist

disebutkan bahwa untuk puasa sebelum operasi dan penggunaan bahan

farmakologi untuk menurunkan risiko aspirasi paru menyebutkan bahwa rutinitas

preoperatif menggunakan pengobatan yang menghambat sekresi asam lambung

untuk menurunkan risiko dari aspirasi pulmonal pada pasien yang tidak secara

jelas meningkatkan risiko aspirasi pulmonal tidak dianjurkan. Mekipun ada

indikasi, reseptor H2- antagonis telah dianjurkan secagai obat serbaguna pada

masa perioperatif untuk menurunkan risiko dari inhalasi asam pneumonitis dari

cairan asam lambung yang sering terjadi saat periode perioperatif. Pendekatan

pertama adalah dengan pemberian cimetidine, 300 mg secara oral (3 sampai 4

mg/kg), 1.5 hingga 2 jam sebelum induksi anastesi, dengan atau tanpa dosis yang

sama dengan sore sebelumnya. Famotidine diberikan pada pagi hari saat operasi

memiliki efektivitas yang sama dalam penurunan cairan pH lambung antara

famotidine dengan dosis 20 mg atau 40 mg.

Page 20: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

Reseptor H2- antagonis juga meurunkan volume cairan lambung. Namun,

reseptor H2- antagonis yang kontras dengan antacid tidak memiliki pengaruh pada

pH dari cairan lambung yang ada di perut. Cimetidine melewati plasenta tetapi

tidak memiliki efek samping dengan janin ketika dikonsumsi sebelum operasi

sesar. reseptor H2- antagonis lainnya memiliki profil yang serupa dengan

cimetidine melalui perpindahan dengan plasenta.

Persiapan pasien sebelum operasi dengan riwayat alergi atau pasien yang

menjalani prosedur yang berhubungan dengan peningkatan reaksi alergi

(pemberian pewarna kontras radiografi) dapat termasuk pemberian oral profilaksis

reseptor H1- antagonis (diphenhydramine, 0.5 to 1.0 mg/kg) dan reseptor H2-

antagonis (cimetidine, 4 mg/kg) setiap 6 jam dalam 12 hingga 24 jam sebelum

reaksi terjadi. Pemberian kortikosteroid setidaknya 24 jam lebih awal biasanya

ditambahkan dalam pengobatan ini. Reaksi alergen berulang yang mengancam

jiwa setiap pemberian cimetidine intravena dapat bereaksi secara kumulatif

sebelum pemberian epinefrin sebelumnya dengan adanya waktu sirkulasi yang

baik. Sebenarnya, pengobatan semacam itu dapat memperburuk bronkospasme.

Risiko hipotensi lebih lanjut juga menjadi pertimbangan pemberian intravena

simetidin. Selanjutnya, aktivitas H2-reseptor dapat memiliki efek yang diinginkan

selama reaksi alergi, termasuk meningkatnya kontraktilitas miokard dan

vasodilatasi arteri koroner.

Obat yang menginduksi pelepasan histamin dilanjutkan dengan pemberian

obat tertentu secara intravena (morfin, atrakurium, mivakurium, protamine) tidak

dicegah dengan profilaksis reseptor H1- antagonis yang digabung dengan reseptor

H2- antagonis. Penurunan tekanan darah sistemik yang besar terjadi karena respon

obat yang diinduksi pelepasan histamin adalah sedikit, untuk mengkonfirmasi

sebelum adanya reseptor histamin dengan obat antagonis spesifik mengurangi

efek kardiovaskular kemudian melepaskan histamin. Pengobatan sebelum dengan

reseptor H1- antagonis (diphenidramin) atau reseptor H2- antagonis (cimetidine)

tidak efektif dalam mencegah efek kardiovaskular karena histamin yang

dikeluarkan dalam respon pemberian obat, menekankan peran kedua reseptor H1

dan H2 pada reseptor ini. Faktanya, pelepasan histamin yang dinduksi obat dapat

berlebihan pada pasien yang diobati dengan reseptor H2- antagonis.

Page 21: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

2.2.4 Efek samping

Frekuensi efek samping yang parah adalah sedikit dengan keempat obat

reseptor H2- antagonis. Risiko yang mengalami efek samping selama pengobatan

dengan reseptor H2- antagonis meningkat dengan adanya berbagai penyakit

sistemik., disfungsi ginjal dan hati, dan penuaan. Efek samping yang paling sering

muncul adalah diare, sakit kepala, lemas, dan nyeri otot skeletal. Efek samping

dapat muncul dengan prevalensi < 1 % termasuk gangguan mental, pusing,

penurunan kesadaran, ginekomastia, galaktore, trombositopenia, peningkatan

plasma level dari enzim liver, demam, bradikardi, takikardi dan aritmia. Reaksi

kardiak cenderung berhubungan dengan penghambatan reseptor kardiak H2.

Gangguan mental pada pasien yang diobati dengan cimetidine dapat muncul

gangguan hati dan ginjal. Perubahan status mental biasanya terjadi di lansia dan

cenderung dihubungkan dengan pemberian cimetidine dosis tinggi secara

intravena, biasanya pada pasien yang dirawat di ruang intensif. Mayoritas pasien

mengalami perubahan status mental setelah 24 hingga 48 jam setelah

pemberhentian cimetidine. Ranitidine dan famotidine juga melewati sawar darah

otak dan telah dilaporkan menyebabkan gangguan mental. Gangguan mental telah

jarang diobservasi pada pasien yang mendapatkan pengobatan reseptor H2-

antagonis jangka panjang.

Tabel 35-3

Efek samping dari Reseptor H2- Antagonis

Interaksi dengan cerebral reseptor H2 (sakit kepala, penurunan kesadaran, bingung)

Interaksi dengan kardiak reseptor H2 (bradikardi, hipotensi, henti jantung)

Hiperprolaktinemia

Akut pankreatitis

Peningkatan transaminase hati

Dehidrasi dehydrogenase alkohol

Trombositopenia

Agranulositosis

Interstitial nefritis

Gangguan metabolisme obat oleh sitokrom P450

Page 22: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

Cimetidine dan ranitidine meningkatkan konsentrasi plasma dari prolaktin,

yang dapat menyebabkan galaktore pada wanita dan ginekomastia pada pria.

Famotidine dan nizatidine tidak menyebabkan peningkatan level plasma prolactin.

Cimetidine, tetapi selain reseptor H2- antagonis, menghambat pengikatan

dihydrosteron dengan reseptor androgen. Pastinya, impoten dan kehilangan libido

dapat terjadi pada pria yang mendapatkan obat cimetidine dosis tinggi.

Efek samping dari reseptor H2- antagonis pada fungsi hepatik biasanya

dilihat dari peningkatan level plasma dari enzim aminotransaminase, biasanya

pada pasien yang menerima reseptor H2- antagonis dosis tinggi secara intravena.

reseptor H2- antagonis biasanya tidak ditandai dengan perubahan aliran darah

hepatik.

Kardiak aritmia (sinus bradikardi, sinus arrest, sinus arrest dengan ritme

idioventrikular, komplit atrioventrikular blok) telah di jelaskan setelah pemberian

reseptor H2- antagonis secara oral maupun intravena. Sebagian besar aritmia

terjadi setelah pemberian jangka panjang. Jarang dijelaskan adanya pemanjangan

interval QT dan henti jantung yang fatal dengan famotidine yang di laporkan.

Efek kardiak dari reseptor H2- antagonis mirip dengan stimulasi yang diperantarai

stimulasi 𝛽1 oleh cAMP. Hal ini dapat menjelaskan mengapa penghambatan

reseptor H2- antagonis dapat menyebabkan bradikardi. Selanjutnya,

penghambatan dari reseptor H2- antagonis dapat meningkatkan efek reseptor H1-,

termasuk efek dromotropik negatif. Bradikardi dan hipotensi secara umum

disambungkan dengan pemberian intravena yang cepat dari obat ini, paling jarang

pada sakit yang kritis dan lansia. Mekanisme hipotensi muncul karena vasodilatasi

perifer. Pendekatan secara bijaksana untuk pemberian obat selama 15 hingga 30

menit ketika pemberian intravena dibutuhkan.

Pemanjangan blokade reseptor H2- dan terkait dengan akhlorhidria

lambung dapat melemahkan lapisan lambung dari bakteri dan predisposisi dari

infeksi penyakit. Infeksi paru-paru dari inhalasi sekresi dapat terjadi jika efek

asam pada bakteri di perut yang berubah. Namun demikian, penekanan asam

meningkatkan risiko pneumonia, risiko ini kecil dan biasanya dapat di terapi.

Selanjutnya peningkatan pH cairan lambung dapat mengarah pada pertumbuhan

Page 23: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

berlebih dari organisme lain seperti Candida albicans. Hal ini berhubungan

dengan kejadian peritonitis Candida yang diobservasi setelah perforasi ulkus

peptikum pada pasien yang diobati dengan cimetidine. Peningkatan pH cairan

lambung yang memanjang juga menghasilkan produksi komponen nitroso karena

peningkatan nitrat menurunkan bakteri. Turunan nitroso adalah mutagensecara in

vitro poten, tetapi tidak ada bukti bahwa ini terjadi secara in vivo yang

berhubungan dengan terapi cimetidine jangka panjang. Cimetidine, selain

ranitidine atau famotidine, telah menunjukan penambahan imun mediasi sel

melalui hambatan dari reseptor H2 pada limfosit T.

2.2.5 Interaksi obat

Berbagai interaksi obat telah dijelaskan antara reseptor H2- antagonis,

biasanya cimetidine dan obat lainya. Interaksi obat secara umum terjadi ketika

obat baru dimulai atau diberhentikan. Pada hal ini, perhitungan konsentrasi

plasma obat atau perhitungan labortorium dari efek (waktu protrombin) dapat

berguna.

Tipe principal dari interaksi obat dilaporkan dengan cimetidine terjadi

gangguan metabolisme hepatik dari obat lainnya karena pengikatan dari

Gambar 35-4. Efek propranolol dalam denyut jantung istirahat ditekan dengan pemberian

cimetidine. Mean 6 SD; n 5 5;*P ,.05.) (dari Feely J, Wilkinson GR, Wood AJJ. Reduction of liver

blood flow and propranolol metabolism by cimetidine. N Engl J Med. 1981;304:692–696.)

Page 24: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

cimetidine dengan bagian heme dari sitokrom P450 sistem oxidase. Cimetidine

menghambat metabolisme obat seperti propranolol dan diazepam yang secara

normal melalui ekstraksi hepatik tinggi. Pelambatan metabolisme dan eliminasi

memanjang waktu paruh dengan farmakologi berlebihan yang berhubungan

dengan efek propranolol dan diazepam telah didokumentasikan dengan

penanganan 24 jam dengan cimetidine. Sebaliknya, benzodiazepine, seperti

oxazepam dan lorazepam yang dieliminasi hampir seluruhnya dengan

glukuronidasi tidak berubah dengan induksi cimetidine yang berefek pada aktivasi

enzim P450.

Cimetidine dapat melemahkan metabolisme lidocaine dan meningkatkan

kemungkinan keracunan sistemik. Sebalikya, konsentrasi plasma dari bupivacaine

setelah anastesi epidural untuk pembedahan sesar tidak dipengaruhi oleh dosis

tunggal pemberian cimetidine sebelum induksi anastesi. Aktivitas plasma

kolinesterase tidak menurun oleh cimetidine, kurang mengikat dengan sistem

enzim sitokrom P450 dan berpotensi lebih lemah dari cimetidine untuk

menurunkan metabolisme oxidative obat lainnya. Famotidine dan nizatidine tidak

berikatan dengan sistem enzim sitokrom P450 dan memiliki potensi terbatas untuk

menghambat metabolisme obat lainnya.

Tabel 35-4

Interaksi obat dengan Cimetidine

Obat Efek cimetidine

pada konsentrasi

plasma

Pembersihan

obat (%

penurunan)

Mekanisme

Ketoconazole Menurun Tidak berubah Penurunan penyerapan

karena peningkatan pH

cairan lambung yang

melambatkan pelarutan

Warfarin Meningkat 23-36 Penurunan hidroksilasi

dari isomer dextrorotasi

Thiophylline Meningkat 12-34 Penurunan metilasi

Fenitoin Meningkat 21-24 Penurunan hidrosilasi

Page 25: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

Propranolol Meningkat 20-27 Penurunan hidrosilasi

Nifedipine Meningkat 38 Tidak diketahui

Lidocaine Meningkat 14-30 Penurunan N-dealkali

Quinidine Meningkat 25-37 Penurunan 3-hidroksilasi

Imipramine Meningkat 40 Penurunan N-demetilasi

Desipramine Meningkat 36 Penurunan hidroksilasi

dalam metabolisme cepat

Triazolam Meningkat 27 Penurunan hidroksilasi

Meperidine Meningkat 22 Penurunan oksidasi

Procainamide Meningkat 28 Bersaing dengan sekresi

tubulus ginjal

Reseptor H2- antagonis bersaing dengan komponen kationik untuk sekresi

tubulus ginjal. Karena persaingan dengan cimetidine dan ranitidine dengan

kreatinin untuk sekresi tubulus ginjal, nilai serum kreatinin meningkat sekitar

15%. Cimetidine dan ranitidine, tetapi selain famotidine, merusak sekresi tubulus

ginjal dari procainamide dan theophylline. Famotidine, telah dilaporkan

berinteraksi dengan penyerapan fosfat, mengarah pada perkembangan

hipofosfatemia. Kerusakan pembersihan theofilin ginjal dengan cimetidine dapat

diabaikai jika dibandingkan dengan kerusakan metabolisme hepatik dari theofilin.

Gambar 35-5. Laju penurunan konsentrasi plasma diazepam, 0.1 mg/kg IV,

dilambatkan dengan pemberian cimetidine, 6-6.8 mg/kg

Page 26: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

Keempat reseptor H2- antagonis berpotensi menurunkan penyerapan

beberapa obat dengan peningkatan pH cairan lambung. Cimetidine telah

dilaporkan dapat meningkatkan penyerapan ethanol dari perut yang menghasilkan

penghambatan dehydrogenase alkohol lambung.

Gambar 35-6. Tingkat maternal plasma dari bupivacaine setelah anastesi epidural.

(Kuhnert BR, Zuspan KJ, Kuhnert PM, et al. Lack of infuence of cimetidine on

bupivacaine levels during parturition. Anesth Analg. 1987; 66:986–990.)

Sebagai tambahan dengan interaksi obat yang diproduksi oleh reseptor H2-

antagonis, beberapa obat menurunkan disposisi antagonis. Magnesium dan

almunium hidroksida antacid menurun sekitar 30% hingga 40%, masing-masing,

bioavailabilitas dari cimetidine, ranitidine, dan famotidine. Meskipun penurunan

penyerapan ini, tingkat terapiutik darah dari reseptor H2- antagonis dapat tetap

tercapai, dan pemisahan ketat jadwal dosis selama terapi kombinasi obat

kemungkinan tidak diperlukan. Metabolisme hepatik dari cimetidine dapat

meningkat jika fenobarbital diberikan secara bersamaan.

3. Inhibitor Pompa Proton / Proton Pump Inhibitor (PPI)

Proton pump inhibitor (PPI) (omeprazole, esomeprazole, lansoprazole,

pantoprazole, rabeprazole) merupakan obat yang paling efektif yang tersedia

untuk mengontrol keasaman lambung beserta volumenya. Langkah akhir dari

Page 27: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

sekresi asam lambung adalah enzim membran pompa proton (hydrogen-potasium-

ATPase) yang mentransfer ion hidrogen melewati membrane sel parietal sebagai

ganti untuk ion potassium. Sekresi asam hidroklorik oleh sel parietal lambung

sangat bergantung pada fungsi dari pompa proton (ion hidrogen). Proton pump

inhibitor (PPI) lebih efektif dibandingkan antagonis reseptor H2 untuk pemulihan

esofagitis dan mencegah kekambuhan. Proton pump inhibitor juga lebih efektif

dibandingkan antagonis reseptor H2 untuk meredakan rasa tidak nyaman/nyeri ulu

hati, yang tanda kardinal dari penyakit refluks gastroesofageal. Namun, pada

pasien tanpa esofagitis, antagonis reseptor H2 merupakan pilihan yang lebih hemat

dari segi biaya.

3.1 Omeprazole

Omeprazole merupakan substitut benzimidazole yang berperan sebagai

prodrug yang menjadi PPI. Omeprazole merupakan basa lemah dan terkonsentrasi

pada kanalikuli sekretoris dari sel parietal lambung. Omeprazole menginhibisi

pompa enzim. Dosis awal omeprazole hanya akan menginhibisi pompa proton

pada permukaan luminal, dosis tambahan diperlukan untuk menginhibisi pompa-

pompa tambahan tersebut. Makadari itu, omeprazole memerlukan beberapa hari

untuk memberikan efek maksimalnya untuk mengurangi sekresi asam lambung.

Pemberian harian menimbulkan 66% inhibisi terhadap sekresi asam lambung

selama 5 hari. Penghentian konsumsi omeprazole juga tidak akan seketika

mengembalikan sekresi asam lambung.

Gambar 35-7 Omeprazole.

Omeprazole memberikan efek inhibisi yang cukup lama terhadap sekresi

asam lambung tanpa memerhatikan stimulus, dan omeprazole juga menginhibisi

sekresi asam lambung siang hari, nokturnal, maupun yang distimulasi makanan

Page 28: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

serta lebih kuat dibandingkan antagonis reseptor H2. Obat ini menyembuhkan

ulkus duodenal dan kemungkinan juga ulkus lambung lebih cepat dibandingkan

antagonis reseptor H2. Pada pasien dengan ulkus peptikum dengan perdarahan

aktif, terapi dengan omeprazole menurunkan tingkat perdarahan dan keperluan

untuk tindakan operasi. Omeprazole lebih superior terhadap antagonis reseptor H2

untuk terapi refluks esofagitis dan merupakan terapi farmakologis terbaik untuk

sindrom Zollinger-Ellison.

3.1.1 Terapi preoperatif

Omeprazole sebagai terapi preoperatif efektif meningkatkan pH cairan

lambung dan menurunkan volume cairan lambung pada anak-anak dan orang

dewasa. Onset dari efek antisekretorik omeprazole setelah pemberian dosis

tunggal (20 mg) didapatkan dalam 2 – 6 jam. Durasi kerjanya memanjang (>24

jam) karena obat ini terkonsentrasi secara selektif pada lingkungan asam dari sel

parietal lambung. Omeprazole, 20 mg yang dikonsumsi secara oral pada malam

sebelum operasi dilakukan, meningkatakan pH cairan lambung, sedangkan

pemberian pada hari operasi dilakukan (hingga 3 jam sebelum induksi anestesi),

gagal memperbaiki kondisi asam dari cairan lambung. Hal ini mengindikasikan

bahwa omeprazole oral harus diberikan >3 jam sebelum induksi anestesi untuk

memastikan efek kemoprofilaksis yang adekuat.

Tabel 35-5.

Farmakokinetik dari PPI

Omeprazol

e

Esomeprazol

e

Lansoprazol

e

Pantoprazol

e

Rabeprazol

e

Bioavailabilitas (%) 60 60 85 77 85

Waktu puncak

konsentrasi plasma

(jam)

2 – 4 2 – 4 1,5 – 3 2,5 2,9 – 3,8

Ikatan dengan protein

(%)

>90 >90 97 98 96

Waktu paruh eliminasi 0,5 – 1 0,5 – 1 1,5 1,9 1

Page 29: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

(jam)

Metabolisme di liver Ya Ya Ya Ya Ya

Efek terhadap

sitokrom P450

Minimal Minimal Minimal Tidak Tidak

3.1.2 Efek samping

Omeprazole melewati sawar darah otak dan dapat mengakibatkan nyeri

kepala, agitasi, dan kebingungan. Efek samping pada saluran cerna meliputi nyeri

perut, perut kembung akibat penumbukan gas, mual, dan muntah. Pertumbuhan

berlebih bakteri pada usus halus dapat terjadi akibat supresi suasana asam. Tidak

diperlukan penurunan dosis PPI meskipun pasien memiliki disfungsi ginjal dan

liver.

3.2 Esomeprazole

Esomeprazole merupakan isomer levorotatory dari omeprazole.

Levoisomer ini dimetabolisme secara berbeda di liver, menghasilkan konsentrasi

obat yang lebih tinggi di plasma dibandingkan dengan omeprazole.

3.3 Pantoprazole

Pantoprazole merupakan PPI yang poten dan bekerja cepat. Memis et al.

meneliti dua kelompok yang terdiri dari masing-masing 30 pasien dan

mendapatkan pantoprazole (40 mg) atau ranitidine (50 mg) intravena yang

diberikan satu jam sebelum induksi anestesi dan didapatkan bahwa kedua obat

sama-sama efektif dalam menurunkan pH dan volume cairan lambung.

Page 30: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

4. Prokinetik Gastrointestinal

Obat-obatan yang memodulasi motilitas saluran cerna menghasilkan efek

terapeutiknya dengan meningkatkan tonus sfinkter esofagus bagian bawah,

meningkatkan kontraksi peristaltik, dan mempercepat pengosongan lambung.

4.1 Penghambat Dopamin

a) Metoclopramide

Metoclopramide bekerja sebagai prokinetik gastrointestinal yang

menigkatkan tonus sfinkter esofagus bagian bawah dan menstimulasi motilitas

saluran cerna bagian atas pada orang normal dan parturien. Obat ini merupakan

satu-satunya yang disetujui oleh U.S Food and Drug Administration (FDA) untuk

terapi gastroparesis diabetikum. Sekresi ion hidrogen lambung tidak dipengaruhi.

Efek akhirnya adalah percepatan pengosongan lambung dan mempersingkat

waktu transit pada usus halus.

b) Domperidone

Domperidone merupakan derivat benzimidazole, yang seperti

metoclopramide, bekerja sebagai antagonis spesifik dopamine yang menstimulasi

peristaltik pada saluran cerna, mempercepat waktu pengosongan lambung, dan

meningkatkan tonus sfinkter esofagus bagian bawah. Domperidone saat ini tidak

diperjualbelikan di Amerika Serikat. Tidak seperti metoclopramide, domperidone

tidak dengan mudah melewati sawar darah otak dan tidak memiliki aktivitas

antikolinergik. Aktivitas gastrokinetiknya didapatkan dari aktivitas dopaminergik

perifer. Mengingat efek dopaminergiknya yang kurang pada sistem saraf pusat,

obat ini tidak berhubungan dengan gejala ekstrapiramidal. Namun, obat ini

memengaruhi sekresi prolaktin oleh kelenjar pituitari. FDA melarang pemasaran

domperidone karena kekhawatiran terhadap wanita menyusui yang sengaja

menggunakan obat ini untuk meningkatkan produksi ASI karena terdapat risiko

terhadap jantung yang berhubungan dengan penggunaan domperidone, seperti

aritmia, henti jantung, dan kematian mendadak. Kegunaan atau nilai domperidone

sebagai profilaksis atau terapi untuk mual dan muntah pasca operasi masih belum

jelas.

Page 31: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

Gambar 35-8. Domperidone

4.1.2 Mekanisme kerja

Metoclopramide menghasilkan stimulasi kolinergik selektif pada saluran

cerna yang meliputi (a) peningkatan kinerja otot polos pada sfinkter esofagus dan

fundus lambung, (b) meningkatkan motilitas lambung dan usus halus, dan (c)

relaksasi pilorus dan duodenum selama kontraksi lambung. Efek stimulasi

kolinergik dari metoclopramide terbatas pada otot halus saluran cerna bagian

proksimal. Terdapat bukti bahwa metoclopramide mensensitisasi otot polos

saluran cerna terhadap efek dari asetilkolin, yang menjelaskan bahwa

metoclopramide memerlukan adanya aktivitas kolinergik untuk dapat bekerja

efektif. Aktivitas postsinaps dihasilkan dari kemampuan metoclopramide untuk

melepaskan asetilkoloin. Atropin bekerja melawan efek metoclopramide yang

meningkatkan tonus sfinkter esofagus bagian bawah dan hipermotilitas saluran

cerna. Hal tersebut mengindikasikan bahwa metoclopramide bekerja pada saraf

kolinergik post-ganglion, intrinsic terhadap dinding saluran cerna.

Metoclopramide bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Namun,

metoclopramide mampu melewati sawar darah otak dan, didalam SSP, inhibisi

metoclopramide terhadap reseptor dopamine dapat mengakibatkan efek samping

ekstrapiramidal yang signifikan. Efek antagonisme ini juga menstimulasi sekresi

prolaktin, tetapi rasio risiko-keuntungannya dianggap lebih aman dibandingkan

domperidone. Efek antagonisme tehadap dopamine yang dihasilkan oleh

metoclopramide juga memberikan efek pada zona pembangkitan kemoreseptor

(terletak diluar sawar darah otak) yang berkontribusi terhadap efek antiemetik.

Page 32: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

4.1.3 Farmakokinetik

Metoclopramide dengan cepat diabsorpsi setelah pemberian secara oral,

mencapai konsentrasi plasma puncak dalam waktu 40 – 120 menit. Metabolisme

first-pass hepatik yang masif membatasi bioavailabilitasnya hingga 75%.

Kebanyakan pasien mencapai konsentrasi terapeutik yakni 40 – 80 ng/mL setelah

pemberian 10 mg metoclopramide secara oral. Waktu paruh eliminasinya yakni 2

– 4 jam. Metoclopramide dapat secara langsung melewati sawar darah otak dan

plasenta. Konsentrasi metoclopramide pada ASI dapat melebihi konsentrasinya

pada plasma. Sebanyak 85% dari dosis oral obat ini terdeteksi pada urin.

Gangguan fungsi ginjal memperpanjang waktu eliminasinya dan diperlukan

penurunan dosis.

4.1.4 Penggunaan klinis

Kegunaan klinis dari metoclopramide meliputi (a) penurunan volume

cairan lambung preoperatif, (b) efek antiemetik, (c) sebagai terapi gastroparesis,

(d) terapi simptomatis refluks gastroesofageal, dan (e) intoleransi terhadap terapi

nutrisi enteral pada pasien dengan kondisi kritis. Pemberian metoclopramide, 10 –

20 mg secara intravena, dapat berguna untuk mempercepat pengosongan lambung

sebelum induksi anestesi, untuk memfasilitasi intubasi usus halus, atau untuk

mempercepat pengosongan lambung untuk meningkatkan hasil pemeriksaan

radiografi. Metoclopramide telah digunakan untuk meningkatkan efektivitas terapi

oral bila obat lainnya atau kondisi medis lain yang dimiliki pasien dapat

memperlambat pengosongan lambung.

4.1.5 Penurunan volume lambung preoperatif

Metoclopramide, 10 – 20 mg intravena yang diberikan 15 – 30 menit

sebelum induksi anestesi, menyebabkan peningkatan tonus sfinkter esofagus

bagian bawah dan penurunan volume cairan lambung. Pemberian secara intravena

dapat mengakibatkan kram perut. Efek pengosongan lambung ini dapat

merupakan keuntungan sebelum dilakukan induksi anestesi pada (a) pasien yang

baru saja mengonsumsi makanan padat, (b) pasien trauma, (c) pasien obesitas, (d)

pasien dengan diabetes mellitus dan gejala gastroparesis, dan (e) parturien,

Page 33: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

terutamanya pada pasien dengan riwayat esofagitis (“heartburn”),

mengindikasikan adanya disfungsi sfinkter esofagus bagian bawah dan

hipomotilitas lambung. Namun, keuntungan penggunaan metoclopramide pada

pasien dengan tingkat cairan lambung yang memang rendah sulit

didokumetasikan. Terlepas dari efeknya terhadap volume cairan lambung,

pemberian metoclopramide tidak memengaruhi pH cairan lambung. Lebih lanjut,

penting untuk diperhatikan bahwa inhibisi motilitas lambung yang dicetuskan

oleh opioid tidak dapat dikembalikan seperti semula dengan pemberian

metoclopramide. Metoclopramide dan obat-obat profilaksis lainnya (antasida atau

antagonis reseptor H2) tidak menggantikan kebutuhan akan manajemen jalan

napas yang baik, termasuk pemasangan pipa trakea.

4.1.6 Efek antiemetik

Efek antiemetik metoclopramide untuk mencegah mual dan muntah pasca

operasi telah menjadi perdebatan. Namun, metoclopramide telah berhasil

menunjukkan efeknya menurunkan mual dan muntah pasca kemoterapi, serta

muntah pasca operasi sectio caesarea, walaupun obat ini efeknya tidak sebaik

antagonis 5-HT3. Efek antiemetik metoclopramide kemungkinan berasal dari

antagonisme terhadap dopamine pada zona kemoreseptor. Efek antiemetik

tambahan lainnya dihasilkan oleh peningkatan tonus sfinkter esofagus bagian

bawah yang dipengaruhi oleh metoclopramide dan percepatan pengosongan isi

lambung. Efek ini selanjutnya membalikkan imobilitas lambung dan cephalad

peristaltic yang menyertai refleks muntah. Mual dan muntah yang dicetuskan oleh

opioid yang dapat menyertai pemberian obat-obatan preoperatif atau manajemen

nyeri postoperatif, dapat diringankan.

Tabel 35-6

Volume dan pH Isi Lambung pada Kelompok Penelitian (Mean ± SE)

Metoclopramide (n = 30) Plasebo (n = 28)

Volume lambung (rentangan) 24 6 2 mL (3–600) 30 6 5 mL (4–155)

Volume <25mL 16a (53%) 15a (54%)

pH lambung (rentangan) 2.86 6 0.27 (1–6) 2.55 6 5 mL (1–5.5)

Page 34: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

pH <2,5 12a (40%) 16a (57%)

ajumlah pasien

4.1.7 Efek samping

Metoclopramide tidak boleh diberikan pada pasien yang diketahui

menderita penyakit Parkinson, restless leg syndrome, atau memiliki gangguan

pergerakan yang terkait inhibisi atau kekurangan dopamine. Pada pasien tanpa

gangguan pergerakan yang diketahui, reaksi ekstrapiramidal distonik (krisis

okulogirik, opistotonus, trismus, torticollis) terjadi pada < 1% pasien yang diterapi

secara berkepanjangan dengan metoclopramide. Meskipun reaksi ekstrapiramidal

dapat menjadi masalah jika dosis oral dalam jumlah besar diberikan (40 – 80 mg

perhari), terdapat laporan akan adanya disfungsi neurologis yang berhubungan

pemberian preoperatif metoclopramide. Reaksi ekstrapiramidal tersebut identik

dengan sindrom parkinsonian yang diakibatkan oleh obat antipsikotik yang

memiliki efek antagonis terhadap dopamine. Akatisia, suatu perasaan tidak

menyenangkan dan restlessness pada ekstremitas bawah, dapat terjadi setelah

pemberian metoclopramide secara intravena.

Kram perut dapat terjadi setelah pemeberian cepat metoclopramide secara

intravena (<3 menit). Pemberian secara intravena juga berhubungan dengan

hipotensi, takikardi, bradikardi, dan aritmia. Sedasi, disforia, agitasi, mulut kering,

edema periorbital, hirsutisme, dan urtikaria merupakan efek samping yang jarang

terjadi. Pembesaran payudara, galaktorea, dan gangguan siklus menstruasi dapat

terjadi namun sangat jarang, hal ini dapat terjadi akibat peningkatan konsentrasi

prolaktin plasma yang dipengaruhi oleh metoclopramide. Karena alasan ini,

pasien dengan riwayat kanker payudara sebaiknya tidak diterapi dengan

metoclopramide. Transfer plasenta dari metoclopramide terjadi secara cepat,

namun efek samping pada fetus dengan pemberian dosis tunggal tidak pernah

ditemui. Metoclopramide dapat meningkatkan efek sedatif dan depresi system

saraf pusat serta insiden simptom ektrapiramidal yang disebabkan oleh beberapa

obat lainnya, oleh karena alasan tersebut metoclopramide tidak boleh

dikombinasikan dengan phenothiazine atau butyrophenone atau pada pasien

dengan gejala ekstrapiramidal yang diketahui atau dengan kejang. Pasien yang

Page 35: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

diterapi dengan inhibitor monoamine oksidase atau antidepresan trisiklik

sebaiknya tidak menggunakan metoclopramide. Metoclopramide mengurangi

bioavailabilitas cimetidine yang dikonsumsi secara oral sebanyak 25% - 50%.

Metoclopramide juga tidak diberikan pada pasien pasca operasi saluran cerna atau

anastomosis intestinal karena obat ini menstimulasi motilitas usus dan dapat

menghambat proses penyembuhan luka.

Metoclopramide memiliki efek inhibisi terhadap aktivitas kolinesterase

plasma, dimana hal ini dapat menjelaskan respon yang lambat terhadap pemberian

suksinilkolin dan mivacurium. Parturien berada dalam kelompok berisiko tersebut

mengingat sudah terdapat peningkatan kadar kolinesterase plasma akibat

kehamilannya.

5. Makrolida

Antibiotik eritromisin dan antibiotik dalam golongan makrolida lainnya

meningkatkan tonus sfinkter esofagus bagian bawah, meningkatkan koordinasi

intraduodenal, dan mendukung pengosongan isi lambung pada penderita

gastropati diabetikum. Efek samping dari makrolida adalah serupa dengan

antibiotik jenis lainnya maka harus dipikirkan kemungkinan terjadinya toleransi

6. Agonis Reseptor 5-HT4

Agonis reseptor 5-HT4 yang non-selektif seperti cisapride dan mosapride,

menurunkan refluks asam lambung, meningkatkan tonus sfinkter esofagus bagian

bawah, meningkatkan motilitas lambung, usus halus, serta usus besar dengan

meningkatkan pelepasan asetilkolin pada pleksus myenterik di mukosa saluran

cerna. Stasis lambung akibat opioid, yang merupakan penyebab penting terjadinya

mual dan muntah pasca operasi, dapat dikembalikan oleh cisapride. Tegaserod,

agonis reseptor 5-HT4 parsial dapat memperbaiki waktu transit pada usus dan

meredakan konstipasi. Golongan obat ini masih memiliki sifat nonselektif relatif

yang dihubungkan dengan pemanjangan interval QT.

Page 36: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

7. Antagonis Serotonin

Serotonin terlibat dalam motilitas dan sekresi saluran cerna, namun

penelitian mengenai obat nonselektif yang meningkatkan kerja serotonin belum

menunjukkan hasil yang menjanjikan.

Gambar 35-9. Erythromycin 200 mg, diberikan secara intravena dan 15 menit

setelahnya diikuti pemberian makanan yang mengandung bahan/penanda

radioaktif menghasilkan efek pengosongan lambung yang lebih cepat pada pasien

gastroparesis diabetikum (A) dan pasien tanpa diabetes (B) dibandingkan dengan

pengosongan lambung pada pasien yang tidak mendapatkan erythromycin

sebelumnya

Page 37: Obat-obatan yang Memengaruhi Motilitas Gastrointestinal

DAFTAR PUSTAKA

1. Flood, P., Rathmell, JP., Shafer, S. 2015. STOELTING’S Pharmacology

and Physiology in Anesthetic Practice Fifth Edition. United States of

America : Library of Congress Cataloging.