Sistem Gastrointestinal Lansia

34
Proses Penuaan Normal Pada Saluran Gastrointestinal Proses penuaan memberikan pengaruh pada setiap bagian dalam system gastrointestinal (GI). Namun karena luasnya persoalan fisiologis pada system gastrointestinal, hanya sedikit masalah-masalah yang berkaitan dengan usia yang dilihat dalam kesehatan lansia. Banyak masalah-masalah GI yang dihadapi oleh lansia yang erat kaitannya dengan fungsi normal saluran gastrointestinal dan perubahan- perubahan kebutuhan nutrisi lansia. A. Rongga Mulut Penampilan fisik kemampuan, berkomunikasi dan asupan nutrisi di sebagitingkatkan oleh kebersihan mukosa mulut dan keutuhan gigi. Walaupun tanggalnya gigi bukan suatu konsekuensi dasar dari proses penuaan, banyak lansia yang mengalami penanggalan gigi sebagai akibat dari hilangnya tulang penyokong pada periosteal dan periodontal. Hilangnya sokongan tulang ini juga berperan terhadap kesulitan- kesulitan yang berkaitan dengan penyediaan sokongna gigi yang adekuat dan stabil pada usia lebih lanjut. Gigi yang tersisa pada usia setelah 70 tahun sering menimbulkan perasaan ngilu pada permukaan pengunyahan. Penyusutan dan fibrosis pada akar halus bersama-sama dengan retraksi gusi yang berkontribusi

description

sistem gastrointestinal

Transcript of Sistem Gastrointestinal Lansia

Proses Penuaan Normal Pada Saluran GastrointestinalProses penuaan memberikan pengaruh pada setiap bagian dalam system gastrointestinal (GI). Namun karena luasnya persoalan fisiologis pada system gastrointestinal, hanya sedikit masalah-masalah yang berkaitan dengan usia yang dilihat dalam kesehatan lansia. Banyak masalah-masalah GI yang dihadapi oleh lansia yang erat kaitannya dengan fungsi normal saluran gastrointestinal dan perubahan-perubahan kebutuhan nutrisi lansia.A. Rongga MulutPenampilan fisik kemampuan, berkomunikasi dan asupan nutrisi di sebagitingkatkan oleh kebersihan mukosa mulut dan keutuhan gigi. Walaupun tanggalnya gigi bukan suatu konsekuensi dasar dari proses penuaan, banyak lansia yang mengalami penanggalan gigi sebagai akibat dari hilangnya tulang penyokong pada periosteal dan periodontal. Hilangnya sokongan tulang ini juga berperan terhadap kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan penyediaan sokongna gigi yang adekuat dan stabil pada usia lebih lanjut. Gigi yang tersisa pada usia setelah 70 tahun sering menimbulkan perasaan ngilu pada permukaan pengunyahan. Penyusutan dan fibrosis pada akar halus bersama-sama dengan retraksi gusi yang berkontribusi terhadap penanggalan gigi pada penyakit periodontal. Mukosa mulut tampak merah dan berkilat pada lansia karena adanya atrofi. Bibir dan gusi tampak tipis karena epitelium telah menyusut dan menjadi lebih mengandung keratin. Vaskularitas mukosa mulut menurun dan gusi yang tampak pucat adalah akibat dari menurunnya suplai darah.Aliran air liur tetap normal pada lansia sehat dan tidak mendapatkan pengobatan yang akan dapat menyebabkan mulut menjadi kering. Meskipun ada beberapa kontroversi berkenaan dengan hilangnya kuncup perasa akibat proses penuaan, banyak lansia mengeluh adanya gangguan sensasi rasa dan penurunan kemampuan mengenali rasa yang tidak tajam.B. ESOFAGUS, LAMBUNG DAN USUS

Motilitas esophagus tetap normal meskipun esophagus mengalami sedikit dilatasi seiring penuaan. Sfingter esophagus bagian bawah (kardiak) kehilangan tonus. Reflex muntah pada lansia akan melemah. Kombinasi dan factor-faktor ini meningkatkan resiko terjadinya aspirasi pada lansia. Kesulitan dalam mencerna makanan adalah akibat dari penurunan sekresi asam hidroklorik, dengan pengurangan absorpsi zat besi, kalsium, dan vitamin B12. Motilitas gaster biasanya menurun dan melambatnya gerakan dari sebagian makanan yang dicerna keluar dari lambung dan terus melalui usus halus dan usus besar.

C. SALURAN EMPEDU, HATI, KANDUNG EMPEDU DAN PANCREASKapasitas fungsional hati dan pancreas tetap dalam rentang normal karena adanya cadangan fisiologis dari hati dan pancreas. Setelah usia 70 tahun, ukuran hati dan pancreas akan mengecil, terjadi penurunan kapasitas menyimpan dan kemampuan mensintesis protein dan enzim-enzim pencernaan. Sekresi insulin normal dengan kadar gula darah yang tinggi (250-300 mg/dL), tetapi respon insulin akan berkurang seiring dengan peningkatan gula darah secara moderat (120-200 mg/ dL). PROSES penuaan telah mengubah proporsi lemak empedu tanpa perubahan metabolism asam empedu yang signifikan. Factor ini mempengaruhi peningkatan sekresi kolesterol. Banyak perubahan-perubahan terkait usia terjadi dalam system empedu yang terjadi pada pasien yang gemuk (obesitas). KEBUTUHAN NUTRISI PADA LANSIA DALAM RANGKA PROMOSI KESEHATAN

Secara fisiologis, kebutuhan energy lebih dikaitkan dengan tingkat aktivitas fisik daripada usia kronologis. Kebutuhan asupan kalori sehari-hari yang disarankan (Recommended Daily Allowence) pada lansia yang berusia 65 sampai 75 tahun adalah 2300 kkal. RDA untuk lansia di atas 75 tahun diturunkan menjadi 2050 kkal, konsumsi kalori dari karbohidrat kompleks yang diharuskan sebanyak 55 samapai 65 % dan kurang dari 30% lemak, serta porsi sisanya adalah protein. Factor-faktor fisiologis lainnya yang dikaitkan dengan kebutuhan nutrisi yang unik pada lansia adalah menuunnya sensitivitas olfaktorius, perubahan persepsi rasa dan peningkatan kolesistikinin yang dapat mempengaruhi keinginan untuk makan dan peningkatan rasa kenyang. Proses penuaan itu sendiri sebenarnya tidak mengganggu proses penyerapanvitamin pada berbagai tingkatan yang luas. Namun, laporan-laporan terakhir mengindikasikan bahwa lansia mengalami defisiensi vitamin B12, vitamin D dan asam folat. Perubahan-perubahan dalam kebutuhan mineral meliputi rendahnya kebutuhan akan zat besi pada wanita lansia daripada wanita usia produktif. Asupan kalsium sebagai satu mineral esensial lainnya bagi lansia sekitar 600 mg perhari untuk wanita. Hal ini hanya menggambarkan 30 sampai 40% dari kebutuhan yang disarankan. Pada proses penuaan yang normal, peningkatan jaringan adipose secara normal dapat menyertai penurunan massa tubuh dan cairan tubuh total.1. Pencegahan primer

Proses penuaan memengaruhi kebutuhan nutrisi dan status pada 30 juta lansia, 6 juta dari mereka beresiko tinggi terhadap malnutrisi. Studi-studi mengindikasikan bahwa lansia yang memiliki penghasilan kurang dari 6000 dolar pertahun atau kurang dari 35 dolar perminggu untuk konsumsi makanan, dan para lansia yang mengunjungi rekan atau keluarganya kurang dari dua kali perminggu, dna para lansia yang kelebihan berat badan sebesar 25 kg atau yang kekurangan berat badan 10 kg adalah mereka yang beresiko tinggi mengalami kekurangan nutrisi. Faktor-faktor sosioekonomi, juga penderita penyakit kronis dan polifarmasi, turut berperan terhadap masalah malnutrisi yang actual atau potensial bagi lansia. Faktor-Faktor SosioekonomiFaktor-faktor sosioekonomi yang memengaruhi lansia meliputi isolasi sosial dan pendapatan yang rendah.. Banyak lansia harus memilih antara makanan, obat-obatan atau sewa tempat tinggal karena mereka hidup dengan pendapatan yang rendah atau tidak teratur. Kekurangan asupan protein, vitamin dan mineral dapat diakibatkan karena ketidakmampuan untuk membelanjakan makanan yang tepat. Banyak lansia yang tidak bergigi memiliki masalah kelainan gigi atau penyakit peridontal dan tidak dapat merawat giginya. Daging yang berkualitas tinggi, buah-buahan mentah mentah dan sayuran sering dihindari karena semua itu terlalu mahal atau tidak dpat dikunyah atau ditelan. Perawat mungkin dapat bekerja sama dengan dokter gigi setempat atau sekolah doktervgigi untuk menyediakan pelayanan penapisan gigi. Penyakit-Penyakit KronisBanyak penyakit kronis seperti gagal jantung kongestif dan gagal ginjal kronis yang membutuhkan terapi diet yang sangat ketat. Diet ini sering menyulitkan dalam mempertahankannyadan mungkin dapat turut berperan terhadap masalah defisiensi nutrisi. Perhatian yang sungguh-sungguh harus diberikan terhadap orang-orang yang memebutuhkan terapi diet untuk meyakinkan asupan nutrisi yang adekuat.

PengobatanPengobatan seperti diuretic akan mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit. Penyalahgunaan pemakaian laksatif dan penurunan fungsi nefron ginjal normal terkait usia mungkin dapat terjadi bagian dari masalah ini. Lansia dapat lebih memahami penjelasan tentang interaksi obat nutrient yang merugikan karena adanya penurunan metabolism dan penggunaan berbagai obat. Efek samping lainnya adalah peningkatan atau penurunan absorpsi nutrient. Alcohol juga mengganggu absorpsi vitamin B dan folat. Zat-zat neuroleptic dapat menekan nafsu makan, sementara obat-obat lainnya dapat meningkatkannya. Antihistamin juga turut berperan terhadap penurunan nafsu makan. Minyak mineral, yang kadang-kadang digunakan seperti laksatif dapat menghambat penyerapan vitamin A, D dan K yang larut dalam lemak.Banyak lansia juga mengalami masalah kelebian berat badan sekarang daripada sebelumnya. Kondisi ini menempatkan lansia pada peningkatan resiko untuk mengalami penyakit kronis seperti hipertensi, stroke, arteri korener dan diabetes.2. Pencegahan sekunderPencegahan sekunder dimulai dari pengkajian seksama terhadap klien dan upaya-upaya untuk mengidentifikasi sumber masalah gizi. Kesalahan pengaturan metabolism seharusnya diperbaiki dan pemberian obat-obatan untuk kondisi-kondisi kronis dapat disesuaikan untuk mengurangi efek samping yang mengganggu nutrisi yang normal.depresi yang tidak terdeteksi dan fase awal demensia sering terjadi pada kurangnya asupan diet dan malnutrisi. Selain itu suatu pengkajian nutrisi adalah penting untuk menentukan tujuan yang realistis dan tepat pada lansia dengan masalah nutrisi. Pelayanan ahli diet akan menguntungkan bagi klien.Banyak lansia yang tidak mengetahui bagaimana kebutuhan nutrisi mereka mengalami perubahan sebagai akibat penuaan. Oleh akrena itu seluruh pemberi pelayanan kesehatan perlu dipersiapkan untuk memberikan informasi yang akurat dan terbaru tentang nutrisi normal. Asuhan keperawatan adalah suatu bagian penting dalam memperbaiki asupan nutrisi apda institusi pelayanan akut maupun pelayanan jangka panjang. Keterlibatan keluarga sangat penting untuk menyediakan nutrisi yang baik di semua lingkungan. Kemampuan untuk memberikan makanan kesukaan lansia dan memberikan atmosfir social yang mendorong asupan makanan adalah hal terbaik yang dapat dilakukan oleh keluarga. Keluarga sering memiliki keinginan yang kuat untuk berpartisipasi dalam cara ini dan berespon dengan baik terhadap saran-saran. GANGGUAN-GANGGUAN PADA SISTEM GASTROINTESTINAL

A. PENYAKIT PERIDONTAL

Patofisiologi Dan Manifestasi Klinis

Penyakit periodontal (gingitivis dan periodontitis) adalah inflamasi dari struktur-struktur yang menyokong gigi, dengan hasil akhir berupa kerusakan tulang. Kerusakan ini menyebabkan kehilangan gigi. Gingitivis dan periodontitis disebabkan oleh bakteri yang terdapat dalam plak. Gingitivis adalah infeksi gusi superfisial, biasanya disebabkan oleh hiegine gigi yang buruk. Tanda pertama gingitivis adalah gusi yang kemerahan dan gusi bengkak yang berdarah ketika menggosok gigi. Jika infeksi terus berkembang, bau mulut tidak sedap (halitosis), rasa tidak enak dalam mulut atau adanya eksudat purulent di sekitar garis gusi. Kondisi lain yang dapat memperberat penyakit periodontal meliputi infeksi mulut, maloklusi, malnutrisi, disbetes mellitus, dan iritasi local seperti posisi gigi palsu yang tidak tepat.1. Pencegahan primer

Pencegahan efektif termasuk menggosok gigi secara teratur dan emmbersihkan gigi dengan benang, dan pemeriksaan gigi secar teratur untuk pembersihan plak dan kalkulus dua atau tiga kali pertahun. Lansia harus mengunjungi dokter gigi secara teratur bahkan jika mereka memiliki sebagian gigi palsu. Gigi palsu harus diperiksa secara periodic untuk menjamin posisi gigi yang tepat dan untuk mencegah iritasi mulut.

2. Pencegahan sekunder

Klien dapat mengeluh gusi sakit dan bengkak yang membuat sulit untuk mengunyah, atau gigi yang tanggal, apath sebagian kecil gigi atau bahkan bau yang tidak enak. Gusi berdarah atau eksudat purulent dapat terlihat. Perawat harus menentukan apakah pasien mengunjungi dokter gigi, jika ya, kapan tanggal pemeriksaan terakhir klien. Jika infeksi gigi terjadi, inflamasi dapat terlihat. Gingitivis dapat disembuhkan dengan intervensi gigi secara dini. Perawatannya melibatkan pembersihan secara seksama dengan cara membersihkan tartar dan bakteri dari baeah gusi dan dari permukaan akar gigu. Proses pembersihan ini disebut penghlusan akar gigi. Jika infeksi periodontal (piorea) yang berat terjadi pengobatan dengan antibiotic mungkin diperlukan. Pembedahan gigi mungkin diperlukan untuk memperbaiki tulang dan jaringan. Dengan intervensi dini, periodontis biasanya dapat dikendalikan. Perawat dapat membantu pasien untuk mendapatkan penanganan dari seorang ahli bedah mulut jika tanggalnya gigi dan penyakit gusi menjadi berat.B. DISFAGIA

Walaupun disfagia dianggap konsekuensi normal akibat penuaan, penyebab struktural, vaskular atau neurogenik sekarang telah dikenali sebagai patologi yang mendasari. Disfagia menunjukkan patologi yang signifikan pada lansia. Tanpa meperhatikan penyebabnya, mukosa esophagus biasanya mengalami iritasi akibat makanan yang statis. Perasaan jantung seperti terbakar atau nyeri dada biasanya diketahui. Secara umum makanan padat dapat ditelan lebih mudah daripada cairan, kecuali jika terjadi lesi structural.regurgutasi dan aspirasi pulmonal sering terjadi, juga keluahan-keluahan makanan yang menyangkut di kerongkongan dan batuk selama menelan.1. Pencegahan primer Disfagia dapat terjadi dari paralisis, iritasi tenggorokan, efek samping obat, lesi structural (tumor atau striktur), atau perubahan vascular (disfagia aortika). Stroke dan gangguan neuromuscular seperti penyakit Parkinson, polimiosititis, miastenia gravis, hipertiroidisme, dan sclerosis amiotropik lateral dapat menyebabkan disfagia. Disfagia yang diakibatkan dari penyebab vascular dapat terjadi dari dilatasi atau aneurisma aorta. Seluruh atau sebagian esophagus dapat dipengaruhi abnormalitas structural atau neurogenic. Permulaan dari mekanisme menelan dan pergerakan makanan ke dalam lambung dapat terganggu.2. Pencegahan sekunder

Pengumpulan riwayat penyakit sangat penting untuk menentukan respon klien terhadap disfagia. Perawat harus mengobservsi klien pada waktu makan dan memperhatikan bagaimana ia dapat mengatur cairan atau makanan dengan konsistensi yang berbeda. Kemampuan klien untuk menghasilkan saliva harus dikaji. Saliva yang adekuat dapat membantu pembentukan bolus makanan. Saliva yang kental dan mulur dapat mengganggu makan. Seperti juga halnya jika terdapat xerostomia (mulut kering) makanan dapat terpecah-pecah di dalam mulut, yang menyebabkan pasien tersedak. Saat perawat berbicara dengan pasien, keabnormalan pola bicara dan nada suara dapat diketahui. Palatum dan orofaring yang mengalami paralisis dapat menyebabkan nada suara hipernasal. Suara yang serak dapat diseabbkan oleh paralisis parsial dari saraf kranial ke 10. Pencegahan regurgitasi dan aspirasi adalah suatu keharusan dan pengkajian kemampuan klien untuk menelan adalah langkah pertama kearah pencegahan. Hufler merekomendasikan 3 pemeriksaan yang digunakan untuk mengevaluasi reflex menelan klien:

Minta klien untuk meletakkan lidahnya pda palatum. Pergerakan ini penting untuk mendorong makanan masuk ke kerongkongan. Usap arkus tonsiler pasien dan palatum mole dengan usapan kapas lembab dan tanyakan apakah usapan ini dapat dirasakan. Beberapa perasaan sangat penting pada area-area ini agar menelan dapat dilakukan.

Periksa kontraksi normal faring dengan meransang askus tonsiler dengan usapan kapas. Apusan kapas tersebut harus dilembabkan dengan air jeruk dingin untuk mendapatkan informasi tentang kontraksi otot-otot faring.

Perawat dapat membantu klien memposisikan lidahnya pada palatum dengan cara mealkukan maneuver ini di depan cermin. Kemudian, arkus tonsiler dimasase dengan apusan kapas lembab, yang akan membantu menjaga otot-otot farin. Jika klien memperoleh kembali reflex menelannya, diet yang lunak seperti pudding atau makanan bayi yang lunak dapat mulai diberikan. Untuk mencegah asprasi klien harus diposisikan dengan leher agak direfleksikan ke depan. Maneuver ini mendorong trakea untuk tertutup dan esophagus untuk terbuka. Cairan harus dihindari pada awalnya karena pasien disfagia biasanya memiliki kesulitan untuk menelan cairan. Untuk itu sejumlah cairan harus dicampurkan dengan makanan.

Perawat mengobservasi kehilangan berat badan klien atau tanda-tanda dehidrasi. Klien harus ditimbang dengan interval yang teratur. Ketakutan tersedak dapat menyebabkan klien membatasi asupan makanan dan cairan. Jika tersedak menjadi suatu masalah, siapkan alat pengisap di dekat klien. Asuhan keperawatan dapat meliputi pemberian obat-obatan nitrat untuk mengurangi nyeri akibat spasme esophagus. Klien harus diinfoemasikan tentang efek samping dari obat-obatan.

REFLUKS GASTROESOFAGUS DAN HERNIA HIATAL

Refluks gastroesofagus adalah aliran balik getah lambung masuk kedalam esofagus. Dinding esofagus lebih tipis dan lebih sensitif pada lansia. Selain itu, dilatasi esofagus bagian bawah dengan relaksasi sfingter esofagus bawah (lower esophageal spihinkter [LES]) membuat refluks esofagus lebih cenderung terjadi. Hernia hiatal sering terlihat dengan tekanan LES. namun,, banyak lansia yang mengalami gejala refluks tanpa hernia hiatal. Hernia hiatal adalah masuknya lambung dan organ-organ dalam abdomen lainnya ke dalam rongga toraks melalui suatu pembesaran hiatus esofagus dalam diagfragma. Hernia hiatal hiatal terjadi pada 40 sampai 60% orang dewasa yang berusia lebih dari 60 tahun. Terdapat dua tipe hernia hiatal. Tipe 1 atau hernia pergeseran (sliding hernia) adalah herniasi lambung ke atas masuk ke dalam hiatus diafragma yang mengalami sedikit pembesaran. Hernia tipe 1 ini lebih sering terjadi dari pada hernia tipe 2, atau hernia bergulung (rolling hernia), yaitu adanya herniasi dari sebagian lambung disepanjang esofagus, yang memperbesar taut gastroesofagus.

Manifestasi Klinik

Gejala-gejala refluks esofagus mungkin tidak ada atau bervariasi. Keluhan biasanya termasuk rasa terbakar pada jantung,regurgitasi,lambung yang asam, disfagia, dan odinofagia (nyeri saat menelan). Rasa terbakar pada jantung dimanifestasikan dengan adanya rasa terbakar retrosternal, biasanya setelah makan, yang terjadi ketika membungkuk atau berbaring telentang.

Sebagian besar hernia hiatal tidak menimbulkan gejala. Jika gejala terjadi, lansia dapat mengalami beberapa derajat rasa terbakar pada dada, flatulensi, bersendawa, disfagia, atau rasa nyaman pada epigastrium setelah memakan jenis-jenis makanan tertentu. Gejala-gejala hernia hiatal biasanya berhubungan dengan refluks esofagus, yang terjadi akibat regurgitasi getah lambung masuk kedalam esofagus bawah, yang menyebabkan iritasi mukosa esofagus. Jika refluks esofagitis berat terjadi, ulserasi peptikum dan striktur dapat terjadi. Refluks gastroesofagus lebih cenderung terjadi pada tipe 1. Nyeri yang dihasilkan dari refluks esofagus harus dibedakan dari nyeri angina. Nyeri refluks biasanya dihubungkan dengan makan atau berbaring telentang, dan tidak dihubungkan dengan perubahan tanda-tanda vital.

2. pencegahan sekunder

Ketika mengkaji riwayat penyakit, perawat harus menanyakan tentang adanya rasa terbakar pada jantung, disfagia, bersendawa, lambung yang asam, atau regurgitasi. Perawat harus menentukan jenis makanan apakah yang berhubungan denagn awitan terjadinya gejala dan apakah aktivitas-aktivitas tertentu ( misalnya berjongkok, membungkuk, atau berbaring terlentang) yang mengurangi atau memperberat gejala.

PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN

Asuhan keperawatan pada lansia dengan refluks esfagus atau hernia hiatal melibatkan pengkajian yang berkelanjutan, pengajaran pasien, dan pemantauan respons terhadap terapi. Karena modifikasi perilaku gaya hidup dapat membantu mengurangi gejala-gejala, klien harus diinstruksikan tentang tindakan-tindakan yang dapat menurunkan tekanan intrabdomen dan membantu digesti, juga tentang obat-obatan yang diresepkan dan efek sampingnya. Klien harus dianjurkan untuk menghilangkan zat-zat yang dapat menimbulkan gejala dari dietnya.

GANGGUAN-GANGGUAN PADA USUS HALUS

Penyakit malabsorpsi

Gangguan yang paling sering terjadi pada usus halus yang berkaitan dengan klien lansia adalah malabsorpsi, yaitu gangguan asimilasi nutrien dari usus halus. Penurunan sekresi asam lambung dan penggunaan antasid dalam waktu lama mendorong ke arah pertumbuhan bekteri secara berlebihan, sering menyebabkan malabsorpsi pada lansia. Malabsorpsi dapat juga dihubungkan dengan operasi usus sebelumnya atau obat-obatan, seperti antikolinergik, dan narkotik yang memperlambat motilitas usus yang kemudian meningkatkan pertumbuhan bakteri. Ketika mekanisme imun usus mengalami gangguan, seperti karena infeksi usus kronis akibat Giardia lambia, diare berat akibat malabsorpsi. Pankreatitis kronis mungkin dapat menyebabkan keadaan malabsorpsi karena aliran getah pankreas berkurang, sehingga hanya sebagian makanan yang diingesti yang dapat diabsorpsi. Penyakit celiac pada orang dewasa atau gluten enterophaty juga dapat menyebabkan malabsorpsi karena gluten dalam diet dapat menyebabkan pengecilan vili usus halus dan mengurangi area permukaan yang tersedia untuk absorpsi nutrien.

Malabsorpsi pada pasien lansia dapat juga terjadi akibat iskemia mesentrika. Bila aliran darah ke usus terganggu, efisiensi usus mengalami penururnan, oleh karena itu menyebabkan malabsorpsi. Kontaminasi usus halus oleh bakteri abdomen ( sindrom blind loopl lengkung buta) juga dapat menyebabkan malabsorpsi. Bakteri bersaing dengan vitamin B12 Dan juga menyerang garam empedu, menganggu fungsi deterjen mereka dalam absorpsi lemak. Kondisi malabsorpsi ini lebih sering dihubungkan dengan divertikulosis usus halus, statis akibat usus yang konstriksi, dan statis setelah gastrektomi parsial.

Manifestasi Klinik

Malabsorpsi bukan akibat yang normal dari penuaan, walaupun masalah malabsorpsi dapat muncul pada lansia, sering dengan manifestasi lain yang menyertainya. Tanda dan gejala malabsorpsi sering terlihat dalam hubungannya dengan gangguan inflamasi usus. Diare, nyeri abdomen, dan perdarahan rektum adalah gejala-gejala yang paling jelas. Orang-orang yang mengalami penyakit celiac dapat mengalami osteomalasia yang terjadi akibat gangguan absorpsi vitamin D dan kehilangan kalsium secara tidak normal dalam feses. Lansia sering tampak kurus dan semakin kurus akibat sakit, dengan membran mukosa yang pucat dan kulit yang kering dan berisik. Tekanan darah mungkin rendah dan demam dapat terjadi jika terdpat pertumbuhan bakteri yang berlebih dalam usus.

1. Pencegahan primer

Pencengahan primer terhadap malabsorpsi bertujuan untuk memodifikasi atau menghilangkan faktor-faktor yang turut berperan. Pasien harus diperingatkan tentang penggunaan antasida berlebihan yang menyebabkan pertumbuhan bakteri secara berlebihan yang dapat berbahaya bagi pasien, yang membawa ke arah kondisi malabsorpsi. Pemantauan secara seksama dan terus-menerus pada kklien yang menggunakan berbagai macam obat yang diresepkan sangat penting untuk mencegah penurunan mortilitas usus yang disebabkan oleh obat-obatan.

Pasien lansia harus diajarkan untuk membaca label dan mewaspadai makanan-makanan yang menimbulkan tanda-tanda intoleransi, seprerti susu dan produk-produk yang mengandung susu. Produk-produk susu yang difermentasikan, seperti yogurt, sering dapat ditoleransi lebih baik dari pada produk-produk yang mengandung susu. Intoleransi laktosa mungkin dapat dikurangi dengan susu yang laktosanya telah dihidrolisis atau produk enzim yang dijual bebas, seperti lact-acid.

Klien dapat mempunyai masalah malabsorpsi akibat isolasi atau situasi kehidupan yang penuh stress. Evaluasi dan modifikasi stresor pada situasi lansia harus ditujukkan dengan cara memberikan makana-makanan yang mudah dicerna dalam suatu lingkungan yang nyaman. Kontak sosial dan dukungan adalah faktor penting yang meningkatkan kebiasaan makan yang sehat untuk banyak lansia.

2. Pencegahan Sekunder

Pasien harus ditanyai tentang pola eliminasi dan asupan diet yang normalnya. Jika diare sering terjadi, karakter, konsistensi, warna, dan bau feses harus dicatat. Pengkajian klien meliputi pengawasan terhadap tanda dan gejala dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit dengan memeriksa berat badan klien setiap hari, karakter membran mukosa, dan hipotensi postural.

Riwayat diet memberikan suatu dasar untuk membuat modifikasi yang diperlukan. Klien dapat diajarkan untuk memodifikasi diet dengan cara menghilangkan gluten dan latktose. Karena pembatasan diet yang ketat sering merupakan sesuatu yang sangat sulit bagi lansia, dukungan yang terus-menerus mungkin diperlukan untuk memastikan kepatuhan klien dan untuk menghilangkan masalah-masalah malabsorpsi lebih lanjut. Ketika kondisi pasien telah semakin membaik, sejumlah kecil gluten atau laktose mungkin dapat ditoleransi oleh klien. Konsultasi secara periodik dapat membantu menjamin dukungan nutrisi yang adekuat. Klien dapat hanya menunjukkan tanda-tanda penyakit malabsorpsi yang samar-samar. Mungkin hanya anemia, diare, dan penurunan berat badan yang menjadi tanda bahwa malabsorpsi sedang terjadi. Perawat mungkin mampu mendeteksi tanda-tanda ini, yang tidak tampak penting bagi klien. Edukasi pasien secara berkelanjutan diperlukan untuk memberikan penguatan tentang pentingnya gejala-gejala penyerta ini.

PENYAKIT-PENYAKIT PADA USUS BESAR

Gangguan yang sering terjadi pada usus besar yang mempengaruhi lansia adalah divertikulosis, kanker, konstipasi dan diare.

PENYAKIT DIVERTIKULAR

Penyakit divertikular sering terjadi pada lansia. Pada usia 80 tahun, sedikitnya 40% orang-orang terkena penyakit ini. Kultur barat dan diet yang secara khas rendah serat mungkin menyebabkan insidensi divertikulosis yang tinggi. Divertikulum kolonik adalah suatu kantong diluar atau herniasi melalui mukosa kolon. Biasanya terdapat penebalan dinding kolon yang jelas. Kolon sigmoid paling sering terpengaruh dan mungkin merupakan satu-satunya bagian usus yang terkena pada 50 sampai 65% pasien.

Sebagian besar orang dengan divertikulosis adalah tanpa gejala; namun, sebagian orang dapat mengalami konstipasi, kembung, dan rasa tidak nyaman serta distensi abdomen. Komplikasi dari divertikulosis timbul ketika terdapat inflamasi akut (divertikulitis), ruptur dari satu atau lebih divertikula, perdarahan atau obstruksi. Divertikulitis terjadi ketika ada mikroperforasi dan kebocoran isi usus ke dalam jaringan-jaringan disekitarnya, yang menyebabkan inflamasi. Pasien dapat mengalami nyeri, nyeri tekan abdomen, demam, dan sering terdapat massa yang dapat diraba. Perdarahan gastrointestinal bagian bawah terjadi sampai 15% dari pasien dengan penyakit divertikular. Perdarahan sering terjadi tanpa nyeri abdomen yang signifikan.

Gangguan mortilitas usus dianggap merupakan predisposisi pembentukan divertikula pada lansia. Terjadinya ruptur divertikulum dapat mengancam jiwa, yang akhirnya perlu pembedahan besar dan sering kali suatu kolostomi sementara. Obstruksi usus dan penyakit divertikular adalah penyebab kematian terbanyak yang berhubungan dengan gastrointestinal pada lansia.

1. Pencegahan Primer

Klien lansia harus dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan darah samar di dalam feses setiap tahunnya. Diet yang seimbang dengan asupan serat yang adekuat sangat dianjurkan. Pasien yang mengalami perubahan kebiasaan buang air besar secara tiba-tiba atau adanya perdarahan gastrointestinal harus segera mendapatkan perhatian medis. Gaya hidup yang aktif harus dianjurkan karena latihan dan kontak sosial yang berarti dapat meningkatkan pola makan dan eliminasi yang sehat.

2. Pencegahan Sekunder

Pengajuan pertanyaan yang seksama tentang kebiasaan buang air besar, khususnya perubahan dalam konstipasi dan diare, adalah bagian yang penting dalam pengkajian. Diare atau konstipasi yang terjadi secara bergantian yang berkembang menjadi mual dan muntah merupakan tanda adanya ruptur atau suatu obsrtuksi divertikulum. Status nutrisi pasien, kebiasaan makan, dan pengetahuan umum tentang proses penyakit harus dikaji.

Asuhan keperawatan terhadap lansia dengan penyakit divertikular termasuk penatalaksanaan nyeri dan manipulasi diet. Upaya-upaya untuk menangani nyeri harus menghindari penggunaan opiat, yang dapat meningkatkan tekanan intralumen sigmoid. Manipulasi diet adalah kebutuhan terus-menerus yang secara aktif melibatkan klien dan pemberi perawatan. Oleh karena itu, edukasi dimulai selama fase akut proses penyakit untuk mengajarkan klien tentang pentingnya serat dalam diet, menghindari makanan yang pedas, dan mengendalikan konstipasi tanpa menggunakan laksatif secara berlebihan.

OBSTRUKSI USUS

Obstruksi usus adalah penghentian sebagian atau keseluruhan dari majunya aliran isis usus, biasanya terjadi sebagai akibat dari penutupan lumen usus yang aktual. Obstruksi dapat disebabkan oleh adhesi mekanis (dari pembedahan sebelumnya), volvolus, intusepsi, tumor, atau ileus neurogenik atau paralitik, atau penyakit usus iskemik. Kanker kolon mungkin merupakan penyebab obstruksi yang paling sering pada lansia.

Usus secara normal mensekresikan dan mereabsorpsi kira-kira 7 sampai 8 liter cairan yang kaya elektrolit setiap harinya. Ketika suatu obsrtuksi terjadi, sejumlah besar cairan, bakteri yang berfermentasi, dan udara yang tertelan berkumpul pada bagian proksimal dari obstruksi tersebut. Pasien mengalami mual, muntah, dan distensi. Pertukaran cairan sering terjadi dan permeabilitas kapiler menurun, yang menyebabkan kebocoran isis usus yang masuk ke dalam rongga peritoneal.

Pada awalnya, pasien dengan obstruksi usus akan memiliki tanda dan gejala yang berhubungan dengan upaya tubuh untuk mengatasi obstruksi tersebut. Peristaltik akan berusaha untuk meningkatkan kecepatan untuk mencoaba melewati isis usus melalui sistem tersebut. Pasien akan mengalami bisisng usus dengan kecepatan tinggi dengan nyeri kram. Seiring dengan perkembangan obstruksi, bising usus menjadi hipoaktif, distensi abdomen meningkat, dan muntah, sering menyemprot, jika selang nasogastrik tidak digunakan. Pasien akan tetap memiliki pergerakan usus bahkan dengan adanya obstruksi karena kolon distal akan terus mengosongkan isinya. Lansia, yang mungkin mengalami dehidrasi, ringan sebelum episode akut, akan dengan cepat mengalami penurunan volume cairan. Tanda-tanda sepsis dapat terjadi akibat kebocoran usus kedalam rongga abdomen.

1. Pencegahan Primer

Pencegahan obstruksi usus pada klien lansia dapat dicapai dengan memberikan pendidikan kepada mereka tentang tanda-tanda peringatan kanker kolon. Hal ini melibatkan kebutuhan utnuk melaporkan perubahan-perubahan kebiasaan buang air besar kepada pemberi perawatan primer. Pemeriksaan darah samar pada feses secara periodik, bersama-sama dengan pendididikan tentang faktor risiko yang lain, seperti riwayat keluarga dan kebiasaan diet yang buruk, juga sangat penting.

2. Pencegahan Sekunder

Pengkajian keperawatan termasuk pengkajian riwayat nyeri pasien secara seksama. Pengkajian abdomen harus meliputi auskultasi bising usus dan palpasi. Pengkajian tekanan darah posisi telentang dapat menunjukkan defisit volume cairan. Data laboratorium dapat menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan peningkatan hemoglobin dan hematokrit yang disebabkan oleh hemokonsentrasi dan defisit volume cairan. Pasien dapat mengalami demam atau temperatur dibawah normal jika terjadi sepsis akut.

Penatalaksanaan keperawatan akan memfokuskan pada penggantian cairan dan elektrolit yang hilang melaui muntah atau drainase nasogastrik secara seksama. Cairan harus diganti secara perlahan-lahan untuk mencegah kompilkasi gagal jantung kongestif. Klien biasanya dipertahankan untuk istirahat di tempat tidur selama fase akut. Perawatan harus terstruktur untuk menghindari komplikasi yang berhubungan dengan imobilitas. Penatalaksanaan nyeri yang bijaksana sangat penting untuk menghindari komplikasi yang berhubungan dengan imobiltas. Penataksanaan nyeri yang bijaksana sangat penting untuk memberikan penurunan rasa nyeri sementara menghindari masalah lebih lanjut akibat konfusi dan disorientasi. Selain itu, jika obstruksi tidak dapat dihilangkan dalam waktu 48 jam, penambahan nutrisi harus dilakukan.

KONSTIPASI

Peristaltik mengandalkan suatu sistem yang kompleks dari integrasi antar sistem saraf simpatis, parasimpatis, saraf gaster, dan efek neuron lokal dan sistem saraf pusat. Makanan-makanan tertentu, aktivitas, pengobatan, dan emosi semuanya mepengaruhi peristaltik. Konstipasi adalah masalah umum yang disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang aktivitas, dan penururnan kekuatan dan tonus otot. Defisiensi diet dalam asupan cairan dan serat juga dapat menimbulkan konstipasi. Banyak lansia mengalami konstipasi sebagai akibat dari penumpulan sensasi saraf, tidak sempurnanya pengosongan usus, atau kegagalan dalam menanggapi sinyal untuk defekasi.

Konstipasi adalah suatu penurunan frekuensi pergerakan usus yang disertai dengan perpanjangan waktu dan kesulitan pergerakan feses. Konstipasi dapat dikategorikan lebih lanjut sebagai konstipasi yang diimajinasikan, konstipasi kolonik, atau konstipasi rektal.

1. Pencegahan Primer

Pencegahan konstipasi pada lansia dimulai dengan memodifikasi kepercayaan tentang eliminasi. Pemberian edukasi tentang kandungan cairan, selulosa, dan serat dalam diet dan menetapkan laithan rutin yang sesuai akan membantu dalam eliminasi yang sehat. Diet yang berserat sangat membantu dalam mencegah konstipasi karena serat menahan cairan, membuat feses menjadi lebih berbentuk, lunak, dan mudah untuk dikeluarkan. Karena lansia mengalami perlambatan motilitas gastrointestinal, tambahan diet berserat akan menururnkan waktu yang diperlukan bagi suatu zat untuk bergerak melalui usus. Jumlah asupan diet serat setiap hari yang dianjurkan adalah dari 20 sampai 35 gram. Suatu campuran gandum, saus apel, dan jus kismis telah ditemukan merupakan metode yang efektif dalam meningkatkan eliminasi usus yang normal.

Kegiatan pengajaran termasuk memberikan informasi tentang pemberian obat-obatan katartik, laksatif, dan purgatif. Purrgatif tidak digunakan karena dapat menyebabkan hal-hal seperti feses encer dan kram yang berbahaya. Katariktik dapat mengakibatkan feses lunak, tetapi juga dihubungkan dengan beberapa kram abdomen. Laksatif juga bekerja pada usus besar dan diklasifikasikan sebagai pemberi bentuk, osmotik, surfaktan (zat yang membasahi), kontak (stimulan, iritan), lubrikan, atau supositoria dan enema. Suatu regimen untuk usus terdiri dari suposituria sesuai kebututhan jika dipilih untuk dosis harian dari Susu Magnesium atau Metamucil. Cairan, terutama air bening, adalah pelembut feses yang alami. Anjurkan untuk minum beberapa gelas air putih setiap harinya. Kopi, teh, dan jus bekerja sebagai deuretik, menarik air daris usus, sehingga menghasilkan feses yang keras. Walaupun kopi dan teh, terutama sebagai rutinitas pagi hari, dapat menstimulasi kerja usus harian, asupannya harus minimal.

Latihan fisik adalah suatu faktor yang penting dalam menghindari konstipasi. Untuk klien yang mengalami imobilitas yang telah mengalami perlambatan motilitas usus, bahkan ketika berganti posisi di tempat tidur atau memindahkan berat seseorang di kursi dapat memiliki efek yang positif terhadap peristaltik. Suatu program untuk meningkatkan aktivitas yang dimulai dengan latihan rentang gerak pasif adlah suatu komponen esensial dalam mencegah konstipasi.

2. Pencegahan Sekunder

Perawat yang mengkaji konstipasi pada lansia harus:

Menetukan jenis konstipasi melalui suatu riwayat buang air besar.

Mengidentifikasi faktor-faktor yang menempatkan pasien pada risiko tinggi untuk mengalami konstipasi.

Mengisolasi dan memodifikasi elemen-elemen yang turut berperan terhadap masalah kostipasi.

Penatalaksanaan keperawatan untuk lansia dengan konstipasi yang dibayangkan atau dipersepsikan harus memfokuskan pada pendidikan tentang defekasi yang normal. Perawat dapat membantu klien utnuk memeriksa sumber dari sikap dan kepercayaannya tentang eliminasi. Klien dianjurkan untuk menetapkan tujuan dari eliminasi setiap hari dan untuk menyimpan kalender atau catatan harian sebagai pengingat selama fase awal perubahan perilaku. Jika terdpat penyalahgunaan laksatif jangka panjang, konstipasi kolonik dapat terjadi ketika obat-obat ini dihentikan. Oleh karena itu, klien akan perlu diajarkan tentang tindakan-tindakan preventif.

Tindakan-tindakan tambahan untuk lansia yang mengalami konstipasi kolonik termasuk menetapkan rutinitas defekasi dengan privasi yang adekuat. Waktu yang paling sering untuk buang air besar adalah 1 jam setelah sarapan pagi. Jika riwayat defekasi klien menunjukkan adanya pola eliminasi pada malam hari, 1 jam setelah makan malam mungkin lebih produktif. Memberikan cairan hangat dengan makanan dan membantu klien pada posisi duduk tegak yang nyaman akan membantu pergerakan feses. Kostipasi rektal memerlukan semua intervensi yang telah disebutkan sebelumnya. Selain itu, lansia dengan konstipasi rektal mungkin memerlukan latihan otot-otot pelvis kembali.

DIARE

Diare adalah defekasi yang meningkat dalam frekuensi, lebih cair, dan sulit untuk dikendalikan. Infeksi bakteri dan virus, impaksi fekal, pemberian makanan melalui slang, dan diet yang berlebihan (terutama pisang) dapat menyebabkan diare akut pada lansia. Diare dapat mengganggu gaya hidup normal. Untuk lansia yang aktif secara fisik, diare dapat membatasi interaksi sosialnya. Ketika klien harus berada ditempat tidur atau kurang mobilisasi, diare dapat menimbulkan masalah serius, seperti infeksi saluran kemih atau ulkus dekubitus.

Diare kronis dapat disebabkan oleh malabsorpsi, penyakit divertikular, gangguan inflamasi usus, atau obat-obatan, terutama antasid, antibiotik, antidisritmia, dan antihipertensi. Penyakit sistemik seperti tirotoksikosis, penyakit hati, neuropati diabetik, dan uremia dapat menyebabkan diare. Penyakit iskemi diantara lansia, terutama mereka dengan masalah jantung, dapat mengarah pada kolitis iskemik dengan diare. Prosedur pembedahan, seperti gastrektomi dan gangguan psikogenik juga dapat menyebabkan diare.

1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer pada lansia dengan diare bertujuan untuk memebrikan pendididkan pada klien tentang penyebab diare dan mempertahankan diet yang seimbang. Karena diare mungkin merupakan akibat dari gangguan yang lebih serius seperti obstruksi usus atau keganasan, semua lansia harus dianjurkan untuk mencari bantuan medis jika diare tetap terjadi.

2. Pencegahan Sekunder

Lansia dengan awitan diare akut biasanya mengalami penururnan volume dan dapat mengalami demam, takikardia, dan hipotemsi postural, turgor kulit buruk. Peningkatan hemoglobin dan hematokrit, seperti juga perubahan kadar kalium dan natrium serum, dapat terjadi. Pada awalnya, perawat memeriksa pasien untuk mengetahui adanya impaksi fekal. Perhitungan banyaknya feses dan pengukuran asupan dan haluaran yang akurat perlu dicatat. Pemberian makanan melalui selang yang terlalu cepat atau memiliki osmolaritas terlalu tinggi dapat menyebabkan diare. Pengobatan pasien harus ditinjau ulang untuk mengobservasi obat-obatan dengan diare sebagai potensial efek sampingnya. Kaji adanya nyeri atau daerah nyeri tekan terlokalisasi pada abdomen.

Fokus utama penatalaksanaan keperawatan adalah untuk mempertahankan nutrisis yang adekuat dan keseimbangan elektrolit serta untuk mencegah kerusakan kulit, sementara menemukan dan menghilangkan penyebab diare. Malnutrisi dapat menjadi penyebab dan akibat dari diare pada lansia. Formula asam amino bebas yang diberikan secara perlahan (20 sampai 30 mi/jam) melalui selang lambung mungkin diperlukan untuk mengatasi malnutrisi dan meningkatkan absorpsi. Selain itu, klien harus diberikan hidrasi secara adekuat sebelum program pemberian makanan jenis apa pun mulai dilakukan.

Pencegahan kerusakan kulit selama episode-episode diare memerlukan pengawasan secara ketat. Kulit harus langsung diberikan dengan sabun ringan dan air hangat dan dikeringkan dengan baik setelah buang air besar. Krim pelembap protektif dapat memberikan perlindungan terhadap keasaman enzim digestif.