MTHT
-
Upload
nadya-yuniarti-dhp -
Category
Documents
-
view
23 -
download
2
description
Transcript of MTHT
MODUL ORGAN MATA DAN THT
SEORANG LAKI-LAKI 47 TAHUN DENGAN MATA KANAN MERAH DAN
BURAM
KELOMPOK V
030.07.156 Marissa Rusyani
030.07.161 Nadya YDHP
030.07.212 Regina Fristasari
030.09.179 P Gusti Ratih Permatasari
030.09.181 Petrus Philipus Mekas
030.09.182 Pradita Adiningsih
030.09.184 Pramita Yulia Andini
030.09.186 Pryta Widyaningrum
030.09.187 Puteri Rahmia
030.09.188 Putri Nabilah Candra N
030.09.250 Tara Wandhita Usman
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
19 SEPTEMBER 2011
1
BAB I
LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki berumur 47 tahun dating ketempat praktek anda sebagai dokter
umum dengan keluhan mata kanan merah dan buram sejak lebih kurang 4 hari yang lalu.
Tn. S yang bekerja sebagai karyawan, mengeluhkan mata kanannya merah dan
buram. Keluhan yang lain adalah terasa sakit di mata kanannya, silau terhadap cahaya dan
mengeluarkan air mata terus menerus. pasien juga mengeluh sering pilek tetapi pasien belum
pernah berobat ke dokter. Pasien mencoba mengobati sakit mata merahnya dengan tetes mata
Rohto tetapi tidak ada perubahan. Pasien menyangkal pernah mengalami trauma pada mata
kanannya, seperti kemasukan benda asing, terkena tumbuhan atau kecelakaan dan operasi.
Dari pemeriksaan oftalmologis, didapatkan hasil :
OD OS
6 / 30 Visus 6 / 12 S – 1.00 → 6 / 6
N / p TIO 18 mmHg
Pergerakan
bola
mata
Edema ringan Palpebra Tenang
Hiperemis, injeksi siliar Conjunctiva bulbi Tenang
Keratik presipitat + Cornea Jernih
Dalam, sel flare +, hipopion 2
mm
COA Dalam
Irregular, sinekia posterior + Iris / pupil Bulat, reflex cahaya +/+
Jernih Lensa Jernih
Jernih Vitreus Jernih
Normal Fundus Normal
BAB II
2
PEMBAHASAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 47 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Karywan
Status : -
Alamat : -
KELUHAN UTAMA
Mata kanan merah dan buram sejak 4 hari yang lalu.
HIPOTESIS MASALAH
Uveitis
Uveitis merupakan radang yang mengenai bagian uvea mata (corpus siliaris, lapisan
koroid dan iris ).Uveitis biasa terjadi pada umur 20-50 tahun,dimana perjalanan
penyakit ini perlahan,serta tidak memiliki gejala sistemik seperti muntak dan
mual.uveitis dibagi menjadi 3 yaitu uveitis anterior (meliputi iritis,siklitis, dan
iridosiklitis),uveitis intermediet (mengenai corpus ciliaris) dan uveitis posterior
(mengenai korois).Gejala yang terjadi pada penderita uveitis adalah lakrimasi,
fotofobia, mata merah dan visus menurun .Selain itu dapat disebabkan karena fokus
infeksi di organ sekitar mata, dibeberapa pemeriksaan fisik juga bisa ditemukan tanda
keratic presipitat, pupil irregular dan cenderung miosis, sinekia selain itu tekanan
intraokulernya normal bisa juga tinggi atau turun.(1)
3
Keratitis
Keratitis memiliki tanda subjektif berupa fotofobia, lakrimasi, blefarospasme dan
gangguan visus.Karena kornea itu avaskuler maka pertahanan waktu peradangan tak
dapat segera datang seperti jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi.Jadi
pada awalnya bagian stroma kornea akan berperan sebagai makrofag baru serelah itu
terjadi injeksi perikorneal yang berasal dari a.ciliaris anterior.(2) Keadaan mata merah juga
diikuti dengan visus yang menurun akibat adanya kekeruhan kornea. Karena kornea
sangat berperan dalam pembiasan cahaya maka saat terjadi infiltrasi dari sel radang di
kornea akan sangat mempengaruhi penglihatan. Biasanya apabila keratitis terus berjalan
maka dapat terjadi sinekia anterior karena iris menempel dengan kornea dikarenakan coa
dipenuhi dengan fibrin.
Konjungtivitis
Peradangan pada konjungtiva yang dapat disebabkan oleh bakteri,virus,fungi dan
alergi. Peradangan ini memberikan gambaran mata merah yang bisa terjadi karena
adanya injeksi pembuluh darah konjungtiva yang berasal dari a.konjungtiva posterior,
memberi gambaran ada sekret mukopurulen atau purulenta, warna kemerahan yang
terlihat dari injeksi ini merah di bagian forniks dan mengurang ke arah limbus, dapat
membentuk anastomose, berkelok-kelok, mudah dilihat dan dapat digerakkan dengan
penekanan pada palpebra inferior.(3) Tentunya untuk menentukan penyebab dari
konjungtivitis ini perlu dilakukan usapan terhadap mata oleh kapas yang diberikan air
dan metilen blue kemudian di keringkan dan di cek di mikroskop.
Glaukoma akut
Glaukoma akut merupakan gangguan dengan mata merah dan penurunan visus yang
mendadak. Serangan glaukoma akut yang terjadi secara tiba-tiba dengan rasa sakit
hebat di mata dan di kepala , perasaan mual muntah, ada bradikardia akibat
okulokardiak, adanya tanda kongestif mata seperti kelopak mata bengkak, mata
merah, TIO tinggi, pupil midriasis , kornea suram, iris sembab meradang dan lapang
pandang menciut berat. Iris bengkak dengan sinekia posterior dan lensa menjadi keruh
dan penurunan visus yang berat.(4)
4
ANAMNESIS TAMBAHAN
Riwayat Penyakit Sekarang:
Lokasi nyeri dimana?
Kapan pertama kali terjadinya keluhan-keluhan?
Ada keluhan lain atau tidak?
Riwayat Penyakit Dahulu
Ada penyakit sistemik lain yang diderita atau tidak? Seperti diabetes mellitus atau
osteoarthritis?
Ada riwayat alergi atau tidak?
Riwayat keluarga
Keluarga ada yang menderita seperti ini juga atau tidak?
Riwayat pengobatan
Sudah pernah ke dokter atau belum sebelumnya?
Obat apa saja yang pernah dikonsumsi? Dan apa hasilnya setelah minum obat tersebut?
PEMERIKSAAN FISIK
1. Visus
Dari hasil pemeriksaan visus (ketajaman penglihatan sentral) di dapatkan visus mata
kanan pasien adalah 6/30. Angka ini menyatakan bahwa pasien ini hanya mampu
membaca huruf-huruf pada baris kedua kartu snellen. Visus 6/30 mempunyai arti
bahwa mata kanan pasien tersebut mampu membaca huruf-huruf pada baris kedua
kartu snelllen dalam jarak 6m sedangkan mata normal dapat membaca huruf-huruf
tersebut dalam jarak 30m. jadi kesimpulannya, mata kanan pasien ini mengalami
penurunan visus sebesar 6/30 sedangkan visus normal adalah 6/6.
5
Sedangkan untuk mata kiri pasien diperoleh visus 6/12 S-1.00 6/6. Hal ini
menunjukkan bahwa visus mata kiri pasien normal setelah dikoreksi dengan lensa S -
1.00 dari sebelumnya visus mata kiri pasien ini 6/12.berarti pasien mengalami
penurunan visus.
2. Tekanan IntraOkuler (TIO)
Tekanan intraokuler mata kanan pasien didapatkan normal dengan cara palpasi
(digital) dikarenakan pemeriksaan secara kontak dengan tonometer adalah
kontraindikasi untuk mata kanan pasien ini karena sedang terjadi infeksi yang
ditunjukkan dengan adanya mata merah.
Sedangkan untuk mata kiri pasien didapatkan TIO sebesar 18 mm/Hg. Dari nilai ini
dapat dikatakan bahwa TIO mata kiri pasien ini masih normal yaitu dengan nilai
normal sekitar 15-20 mm/Hg.
Tekanan intraokuler di kedua bola mata ini masih dalam batas normal diduga belum
terjadi penurunan fungsi dari badan siliar dan juga bisa menyingkirkan glaucoma akut
yang biasanya ditandai dengan TIO tinggi.
3. Pergerakan bola mata
Dari pemeriksaan didapatkan pergerakan kedua bola mata pasien masih dalam batas
normal. Hal ini berarti tidak adanya kerusakan pada otot penggerak bola mata dan
juga tidak terjadi kerusakan nervus III, IV, dan VI.
4. Palpebra
Edema ringan terjadi pada palpebra mata kanan. Hal ini menunjukkan bahwa
terjadinya infeksi pada mata kanan pasien yang sudah mulai mengarah ke palpebra.
Kulit palpebra tipis dan halus serta dihubungkan oleh jaringan ikat yang halus dengan
otot yang ada dibawahnya sehingga kulit dengan mudah dapat digerakkan, dengan
demikian maka edema dan perdarahan mudah tertumpuk disini sehingga menimbukan
pembengkakan palpebra. Sedangkan palpebra mata kiri pasien dalam keadaan tenang.
5. Konjungtiva bulbi
Konjungtiva bulbi mata kanan pasien tampak hiperemis, dan terdapat injeksi siliar.
Hiperemis dan injeksi siliar ini mendukung keluhan pasien yang mengatakan
6
terdapatnya mata merah yang berarti terjadinya pelebaran (dilatasi) dari pembuluh
darah yaitu arteri perikorneal(a.ciliaris anterior) sehingga mata tampak merah.
Adanya hal ini menunjukkan kelainan yang mungkin terjadi di kornea,iris,badan
siliar.Injeksi yang terbentuk berupa garis lurus dan tak dapat digerakkan pada
penekanan palpebra inferior.dari pemeriksaan ini kita bisa melemahkan kemungkinan
konjungtivitis karena pada konjungtivitis itu yang terjadi injeksi konjungtiva dan pada
glaucoma injeksi yang terjadi adalah injeksi episklera.
Sedangkan untuk konjungtiva bulbi mata kiri kelihatan tenang.
6. Kornea
Pada pemeriksaan terdapat keratik presipitat + pada mata kanan pasien. Keratik
presipitat adalah kelompokan sel putih dan debris inflamatorik (sel radang) yang
biasanya tampak jelas pada endotel kornea pasien yang sedang mengalami
peradangan akut. Biasanya keratitik presipitat ini terdapat pada uveitis maupun
keratitis aktif atau prakeratitis terutama akibat infeksi herpes virus. Namun untuk
keratitis yang karena virus herpes simpleks akan memberikan gambaran dendritik di
korneanya dan untuk herpes zoster biasanya disertai rasa sakit.
Sedangkan kornea mata kiri pasien dalam keadaan jernih.
7. COA
Mata kanan pasien pada camera occuli anterior terdapat sel flare + , hipopion 2 mm
dan tampak dalam. Sel flare adalah sel yang terjadi karena adanya proses peradangan
sehingga ketika cahaya masuk melewati COA karena adanya sel peradangan itu
cahaya akan dibiaskan (efek tyndall) sehingga cahaya yang tampak pada slitlamp
sebagai berkas sinar yang disebut flare. Sedangkan hipopion terjadi akibat peradangan
berat pada bilik mata depan yang dapat menyebabkan timbulnya tumpukan sel-sel
radang di sudut inferior (hipopion). COA yang tampak dalam merupakan gambaran
bahwa lokasi iris sedikit ke belakang.
Sedangkan COA untuk mata kanan pasien tampak dalam tanpa adanya sel-sel dalam
bilik mata depan mata kanan pasien.
8. Iris/Pupil
7
Pada pemeriksaan tampak iris/pupil irreguler dan terdapat sinekia posterior +. Adanya
sinekia posterior ini akibat peradangan yang terjadi terus menurus sehingga fibrin
yang biasanya digunakan untuk membantu proses inflamasi malah dapat
menyebabkan terjadinya pelengketan iris pada lensa. Sedangkan bentuk irregular dari
iris tersebut terjadi akibat adanya sinekia posterior tersebut.
Pada mata kiri pasien iris/pupil tampak bulat dengan refleks cahaya +/+
9. Lensa
Didapatkan lensa pada kedua mata pasien dalam keadaan jernih (tidak terjadi
kekeruhan).
10. Vitreus
Kedua mata dalam keadaan jernih, dengan adanya hal ini maka dapat melemahkan
uveitis bagian posterior karena pada bagian intermediet dan posterior uveitis terdapat
kekeruhan di vitreus.
11. Fundus
Kedua mata masih dalam batas normal.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium darah
Pemeriksaan darah lengkap
Untuk mengetahui apakah leukosit dan hitung jenis meningkat, yang akan
menandakan terjadinya infeksi.
2. Foto rontgen sinus para nasal
Untuk mengetahiu apakah pasien menderita sinusitis atau tidak, dikarenakan pada
anamnesis pasien yang mengatakan bahwa pasien sering pilek. Agar tidak terjadi
ping-pong fenomena.
8
DIAGNOSIS KERJA
Berdasarkan hasil anamnesis dan hasil pemeriksaan oftalmologis, kelompok kami
mendiagnosis pasien ini menderita uveitis oculli dextra. Berdasarkan gambaran klinis yaitu
uveitis akut oculli dextra. Berdasarkan gambaran anatomis uveitis anterior oculli dextra dan
berdasarkan gambaran patologis adalah uveitis non granulomatosa oculli dextra. Berdasarkan
derajat keparahan uveitis akut.
Penegakkan diagnosa ini didasarkan pada gejala-gejala subyektif (yang dikeluhkan
pasien) yaitu adanya mata merah, penglihatan buram dan juga adanya lakrimasi (pengeluaran
air mata) terus menerus dan juga fotofobia.
Keluhan-keluhan pasien itu juga didukung oleh ditemukannya hiperemis dan injeksi siliar
yang menyebabkan mata merah dan juga adanya penurunan visus mata kiri pasien yang
menjelaskan adanya buram pada pasien. Selain itu juga adanya sel-sel radang pada kornea
juga mendukung diagnosis uveitis karena peradangan pada uvea biasa bisa menyebabkan
adanya keratik presipitat + dan juga adanya hipopion serta sel flare pada COA juga
merupakan tanda paling sering uveitis. Sedangkan kita mendiagnosis sementara sebagin
uveitis anterior oculli dextra disebabkan adanya radang pada iris yang ditunjukkan oleh
bentuk pupil yang irregular dan juga adanya sinekia posterior +. Sedangkan dikatakan
nongranulomatosa karena terdapatnya presipitat kecil halus.
PATOFISIOLOGI
Pada awalnya pasien datang mengeluhkan mata merah dan penglihatan buram.
Setelah dianamnesis kembali pasien mengatakan bahwa sering mengalami flu, adanya
keluhan tersebut kami curiga adanya sinusitis yang terdekat dengan mata yaitu ethmoidalis,
hal ini menyebabkan adanya peradangan di orbita khususnya di bagian uvea yaitu uveitis
anterior. Hal ini ditandai dengan adanya mata merah dan visus turun.
Uveitis anterior pada pasien diduga terjadi karena faktor endogen berupa sinusitis
enthmoidalis yang menyebabkan terjadi peradangan orbita. Radang menyerang iris dan
corpus siliaris sehingga terjadi pembesaran (injeksi) arteri siliaris anterior yang memberikan
gambaran merah pada konjungtiva dengan bentuk lurus dan jelas dibagian limbus kornea dan
berkurang dibagian forniks.(5,6) Peradangan ini juga menyebar ke bagian anterior mata seperti
palpebra sehingga terjadi edema ringan.
9
Uveitis anterior ini juga menyebabkan sel radang keluar dan mengikuti aliran aquos
humor, selain itu juga menyebabkan kerusakan aquos blood barier sehingga meningkatkan
protein, fibrin dan sel radang itu sendiri di aquos humor. Karena mengikuti alur dari aquos
humor maka dari korpus siliaris aquos humor akan berjalan dari camera oculi posterior
menuju ke camera oculi anterior melalui pupil untuk kemudian akan menutrisi kornea dan
sclera kemudian akan menuju trabekula dan kanalis schlemm untuk kembali ke system
vena.Karena membawa fibrin yang dapat menyebabkan perlekatan , saat berada di camera
oculi posterior hal ini membuat perlekatan antara iris dan lensa yang disebut sinekhia
posterior sehingga memberi gambaran sudut COA dalam, dikarenakan secara anatomi pupil
berada di dekat iris dan alur aquos humor tersebut melewati pupil juga maka tertempel juga
pupil yang menyebabkan bentuk pupil menjadi irregular.
Alur aquos humor tadi juga memberikan akibat terbentuknya keratic presipitat pada
endotel kornea karena sel radang itu berjalan dari camera oculi posterior yang ada iris dan
kaya akan pembuluh darah maka suhunya tinggi dan berat jenis cairan rendah maka sel
radang berjalan ke atas namun,pada saat di kornea yang avaskular maka suhu menurun dan
berat jenis cairan meningkat sehingga sel radang tersebut bertebaran di endotel kornea. Sel
radang ini juga mengandung banyak sel darah putih sehingga membentuk hipopion di bagian
inferior mata. Gangguan penurunan visus pada pasien terjadi karena hal ini karena kornea
merupakan media pembiasan yang memiliki daya bias besar sehingga bila ada yang
menghalangi pembiasan maka visus pasien akan sangat terpengaruh.(4,5,6)
Aquos humor tadi berisi sel radang sehingga yang seharusnya jernih menjadi keruh
dan saat di periksa menggunkan slit lamp atau sentolop member gambaran sel flare(+).
Pasien sebelumnya juga mengeluhkan fotofobia dan lakrimasi , hal ini dapat terjadi
karena pada pasien uveitis anterior, peradangan membuat parasimpatis bekerja sehingga
m.sphincter pupil berkontraksi dan pupil menjadi miosis yang mempengaruhi sekresi
glandula lakrimal juga parasimpatis sehingga terjadi sekresi berlebihan dan terjadi
lakrimasi.miosis pupil pada pasien menyebabkan kedalaman focus lensa terbesar sehingga
berkas cahaya yang masuk akan melalui tengah sehingga cahaya yang masuk lebih banyak
dan membuat silau, sehingga pasien fotofobia yang juga merangsang pengeluaran air mata.
Keluhan pasien yang mengatakan lakrimasi, fotofobia, penglihatan buram yang tidak
terlalu berat mengarahkan kita ke non granulomatosa, selain itu dengan ditemukannya keratic
presipitat bukan mutton fat, kemerahan mata yang tidak terlalu berat , adanya sinekia
10
posterior,dan pupil irregular maka secara patologis pasien ini menderita uveitis non
granulomatosa.
Pemeriksaan menunjukkan bahwa vitreus, lensa dan fundus jernih ,berarti bagian uvea
posterior tidak mengalami gangguan maka dari itu kelompok kami mengambil diagnosis
kerja secara anatomis uveitis anterior oculli dextra , diagnosis kerja secara patologi uveitis
non granulomatosa dan secara tingkat keparahan uveitis akut. Serta pada mata kiri pasien
mengalami myopia yang telah dibantu dengan lensa sferis sehingga visus telah normal.
DIAGNOSIS BANDING
Uveitis posterior
Tidak dijadikan diagnosis kerja karena pada kasus terdapat tanda peradangan pada
bagian anterior mata dan keluhan utama pasien adalah mata merah dan
buram ,sedangkan pada uveitis posterior yang menjadi keluhan utama adalah mata
buram dan seperti melihat lalat beterbangan selain itu pada uveitis posterior tidak
memperlihatkan tanda peradangan di bagian anterior mata, dikuatkan lagi dengan
jernihnya vitreus pada mata pasien di kasus.
Keratitis
Tidak dijadikan diagnosis kerjakarena dengan adanya penempelan iris yang justru
dengan lensa karena peradangan lebih ke iris (uvea). Pada kasus tidak ditemukan
adanya infiltrate pada stroma kornea namun justru endotel yang juga melapisi iris.
Glaucoma akut
Tidak dijadikan diagnosis kerja karena pada kasus tidak terdapat peningkatan tekanan
intraokuler dan tidak disertai tanda sistemik seperti mual muntah dan sakit berat yang
sangat mendadak dan penurunan visus berat, selain itu pupil cenderung melebar, dan
tidak ditemukan sinekia posterior.
Konjungtivitis
Tidak dijadikan diagnosis kerja karena pada kasus yang terjadi adalah injeksi siliar.
anda seperti sel flare dan sinekia posterior yang khas di uveitis anterior bukan
konjungtivitis. Selain itu ada konjungtivitis penglihatan tidak kabur, respon pupil
normal, ada kotoran mata dan umumnya tidak ada rasa sakit, fotofobia.
11
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Okuli Dextra:
Analgetik sistemik untuk mengurangi rasa sakit seperti Penghambat prostaglandin,
NSAIDs ( biasanya aspirin dan ibuprofen ) dapat mengurangi peradangan yang
terjadi.
Antibiotik tetes ( setiap 2 jam sekali )
Obat siklopegia : homatropine 2%, 5%, Scopolamine 0,25%, dan cyclopentolate
0,5%, 1%, dan 2%, Sulfat Atropin 1% 3 kali sehari untuk melepaskan sinekia dan
memberikan istirahat pada pupil dan badan siliar, mengurangi rasa nyeri pada sekitar
mata akibat spasme badan siliar (obat ini merelaksasikan), melebarkan pupil yang
miosis dan menekan peradangan.
Steroid tetes mata atau subkonjungtiva diberikan untuk menekan peradangan atau
steroid topical seperti prednisolon acetate 0,125% dan 1%, prednisolone sodium
phospat 0,125% , 0,5%, dan 1%, deksamentason alcohol 0,1%, deksamethasone
sodium phospat 0,1%, fluoromethasone 0,1% dan 0,25%, dan medrysone 1%. Pada
keadaan berat dapat diberikan Steroid sistemik yaitu Prednisone oral (murah dan utk
jangka panjang )dipergunakan pada uveitis anterior yang dengan penggunaan steroid
topical hanya berespon sedikit dengan dosis1mg/kg/bb lalu lakukan tapering off
dengan menurunkan dosis 20 % untuk 2 minggu berikutnya.(7)
Okuli Sinistra:
Untuk mengatasi miopi diberikan lensa sferis (-) 1.00
Obat simptomatik untuk influenza nya , cari fokal infeksinya
Non medikamentosa
Memakai kaca mata gelap untuk fotofobia.
Mata istirahat dengan tidak membaca dan terkena sinar, selain daripada mata ditutup.
12
Follow-up pasien uveitis anterior harus terjadwal antara 1 – 7 hari, tergantung pada
keparahannya. Yang dinilai pada setip follow-up adalah visual aquity, pengukuran
tekanan intraocular, pemeriksaan dengan menggunakan slitlamp, assasment cel dan
flare, dan evaluasi respon terhadap terapi.
KOMPLIKASI
Glaukoma sekunder sudut tertutup
Pada kasus uveitis anterior dapat terbentuk sinekia posterior dimana iris berlekatan
dengan lensa hal ini bisa menyebabkan bentuk pupil irregular. Saat uveitis semakin
berat karena terapi yang lambat atau tidak adekuat maka akan terjadi sinekia total
yang membentuk gambaran seclusio pupil ,seperti yang telah dipaparkan bahwa aliran
aquos humor untuk menuju ke COA dan akan menyebabkan dorongan terhadap iris
karena cairan menumpuk dibelakang sehingga terbentuk iris bombe lalu mengecilkan
sudut COA untuk pengaliran aquos humor sehingga terjadi glaukoma sekunder sudut
tertutup. Glaukoma sekunder sudut tertutup juga dapat terjadi karena sel radang
menyumbat kanal schlemm untuk aliran aquos humor.
Katarak
Hal ini dapat terjadi apabila peradangan di iris dan corpus siliar meluas ke vitreus dan
menyebabkan metabolisme lensa terganggu sehingga menyebabkan kekeruhan lensa
dan menjadi katarak.
PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Keadaan yang dialami pasien menurut kami belum membahayakan hidupnya karena
peradangan yang dialami baru mencapai bagian anterior. Dengan tatalaksana yang
adekuat dan cepat maka kematian tidak terjadi dan kerusakan mata serta keganasan
bisa dihindari.
13
Ad funsionam : dubia ad bonam
Gangguan pada mata telah mencapai anterior dengan gambaran mata merah dan visus
telah turun namun secara patologis yang terjadi adalah non granulomatosa sehingga
sel radang di kornea tidak berbentuk besar dan hipopion walaupun tanda penyakit
telah berat namun 2mm masih bisa disembuhkan ,selain itu sinekia posterior belum
mencapai seclusio pupil sehingga masih ada kemungkinan disembuhkan dengan
siklopegia dan bagian posterior mata yaitu retina dan koroid tidak terkena sehingga
penglihatan masih belum terganggu,dengan terapi yang adekuat dan cepat maka
fungsi mata bisa diperbaiki.
Ad sannationem : dubia ad bonam
Pada keluhan pasien yang menyatakan sering terjadi flu, kami menduga adanya
sinusitis namun hal itu perlu diperiksa dengan baik untuk mengetahui fokus infeksi
yang terjadi, apabila fokus infeksi dapat diatasi kami merasa tingkat kekambuhan
pada pasien akan rendah.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
14
ANATOMI MATA
Mata terletak di regio orbita. Mata dilindungi oleh palpebra. Palpebra superior lebih besar
dan lebih mudah bergerak dibandingkan dengan palpebra inferior. Palpebra bagian dalam
terdapat konjungtiva. Terdapat pula glandula Zeis yang merupakan kelenjar sebasea dan
glandula Moll, serta glandula Meibom, yang menghasilkan sekret minyak untuk mencegah
air mata menguap terlalu cepat sehingga mata tidak menjadi kering, dan membantu kelopak
mata agar tertutup dengan baik.
Gambar 1. Tampak Luar Mata dan Potongan
Sagital Kelopak Mata
Kelopak mata tertutup jika otot orbicularis oculi
berkontraksi dan otot levator palpebra berelaksasi. Kelopak mata terbuka jika otot levator
palpebra yang dipersarafi oleh N. III berkontraksi sehingga mengangkat kelopak mata atas.
Bola mata digerakkan oleh M. Obliquus
superior yang dipersarafi oleh N. IV untuk
melihat ke bawah dan lateral; M. Obliquus
inferior yang dipersarafi oleh N. III untuk
melihat ke atas dan lateral; M. Rectus medial
yang dipersarafi oleh N.III untuk melihat ke
arah medial; M. Rectus lateralis yang
dipersarafi N. VI untuk melihat kearah lateral; M. Rectus superior yang dipersarafi oleh N.III
untuk melihat ke atas dan medial; M. Rectus inferior yang dipersarafi N.III untuk melihat
kebawah dan medial.(8)
15
Gambar 2. Tampak Dalam Bola Mata
Bagian terluar adalah kornea. Transparan, avaskular, permukaan rata, berfungsi sebagai
media refraksi ketika cahaya memasuki mata. Di bagian posterior kornea berkontak dengan
aqueous humor, yang juga memberi nutrisi pada kornea.
Iris adalah diafragma berpigmen yang kontraktil dan tipis, dengan pupil di tengahnya. Pupil
dilengkapi dengan M. sphincter pupilae yang merupakan otot sirkular, dipersarafi oleh
parasimpatis untuk mengecilkan pupil sehingga mengurangi jumlah cahaya yang masuk dan
M. dilator pupilae yang merupakan otot radial, dipersarafi oleh simpatis untuk membesarkan
ukuran pupil sehingga banyak cahaya yang dapat masuk.
Retina merupakan tempat dimana bayangan akan jatuh. Di bagian posterior medial terdapat
macula lutea, yang merupakan area dari retina untuk dapat melihat paling jelas. Di sisi medial
macula lutea terdapat optic disc, yang merupakan tempat masuk bagi N.II, A. Retina
centralis, dan V. Retina centralis. Area ini merupakan blind spot.(8)
Axis dimata ada yang anatomis yaitu garis yang menghubungkan kedua kutub anterior
(kornea) dan kutub posterior (terletak antara fovea centralis dan papilla nervi optisi) dan axis
optic yaitu garis yang ditarik melalui tengah media refraksi dan hampir identik dengan axis
antomi.Serta axis visual yaitu garis yang menghubungkan fovea centralis ke tengah pupil.
HISTOLOGI MATA
KORNEA
Secara histologik kornea terdiri dari lima lapisan:
16
1. Epitel
Pada permukaan luar terdapat epitel, yaitu suatu epitel berlapis gepeng tanpa lapisan
tanduk, tebalnya 50-70µm, dengan lima hingga enam lapisan sel. Lapisan basal
silindris rendah, kemudian tiga atau empat lapisan sel polyhedral dan satu atau dua
lapisan sel permukaan yang gepeng. Epitel ini sangat sensitive, dengan banyak akhir
saraf bebas, dan mempunyai daya regenerasi istimewa/sangat baik. Mitosis hanya
dapat terjadi pada lapisan basal.
2. Membrane Bowman
Dibawah epitel terdapat membrana Bowman dengan tebal 8 µm, tidak berbentuk dan
tidak mengandung sel, dibentuk oleh perpadatan substansi antar sel dengan serabut
kolagen halus yang tersebar tak beraturan. Membrane ini berakhir dengan tegas pada
limbus.
3. Substansia propia
Substansia propia membentuk massa kornea (90% ketebalannya), bersifat tembus
cahaya, dan terdiri dari lamel kolagen dengan sel. Lamel merupakan serat lebar,
seperti pita, serabut dalam setiap lamel sejajar dengan lamel pada sudut-sudut yang
berbeda. Lamel saling melekat karena adanya pertukaran serabut antara lamel yang
berdampingan. Diameter serabut seragam (25-30nm), menunjukkan periodisitas yang
khas dan terbenam dalam substansi anatarsel yang kaya akan polisakarida bersulfat.
Fibroblast berbentuk bintang, gepeng, dengan cabang yang ramping, terletak antar
lamel.
4. Membran Descemet
17
Membrane Descemet tampak homogen , terletak sebelah dalam substansia propia.
Tebalnya di bagian tengah 5-7 µm tetapi menebal hingga 8-10 µm di tepid an
melanjutkan diri dengan materi jarring-jaring trabekular (ligament pektinata) pada
sudut iridika pada cincin Schwalbe. Dengan mikroskop electron tampak membrane
ini mengandung serabut kecil dengan periodisitas 100nm yang tersusun dalam pola
heksagona yang amat teratur. Secara kimiawi materinya adalah kolagen.(9)
5. Endotel
Membrane Descemet adalah membrane basal untuk endotel, merupakan satu lapis sel
kuboid yang melapisi permukaan dalam kornea. Sel menunjukkan kompleks tautan,
permukaan sel yang tak teratur, dan sejumlah besar vesikula pinositik. Vesikula ini
mentransportasikan cairan dan larutan.
UVEA
Lapisan vascular terdiri dari koroid, badan siliar, dan iris yang semuanya menunjukkan
pembuluh darah yang banyak dan sel-sel berpigmen; yang oleh karenanya disebut uvea.
Koroid
Membrane yang coklat seperti busa ini mengandung pleksus vena yang luas yang biasanya
mengempis setelah kematian dan karenanya sulit untuk menentukan ketebalannya. Tebalnya
kurang lebih 0,1-0,3mm dengan rogga perikoroid yang memisahkannya dari sclera.
Badan siliar
Bagian terbesar badan siliar adalah muskulus siliaris yang terdiri dari tiga lapisan serat otot
polos yang berasal sama yaitu dari skleral spur dan ligament pektinata. Seratnya tersusun
meridional, radial, dan ekuatorial. Diantara serat otot polos polosnya terdapat jarring-jaring
elastic yang rapat yang mengandung melanosit. Permukaan dalam badan siliar menghadap
korpus vitreum dan kamera okuli posterior diliputi oleh sel kuboid. Lapisan dalam, epitel
siliaris, tidak berpigmen mempunyai permukaan yang tak teratur dan merupakan
perpanjangan kedepan retina saraf (sensorik).
Iris
Pada iris susunannya terdiri dari beberapa lapisan. Lapisan anterior merupakan bagian dari
uvea (mesodermal), dan lapisan yang posterior ektodermal (pars iridika). Di anterior tak
18
terdapat membrane selular yang jelas; fibroblast dan sel berpigmen membentuk lapisan yang
tak utuh dengan serat kolagen antar sel.
FISIOLOGI AKOMODASI
Gambar 3. Fisiologi Akomodasi
Akomodasi meningkatkan kekuatan lensa untuk penglihatan dekat, dan dilakukan oleh otot
siliaris. Ketika otot berkontraksi, tegangan zonula Zinii yang menggantung lensa akan
mengendur. Ketika lensa kurang mendapat tarikan dari zonula Zinii, lensa akan mencembung
dan berbentuk lebih sferis karena elastisitasnya. Semakin cembung lensa, semakin besar
kekuatannya.
Perjalanan dan Sistem Drainase Aqueous Humor
Aqueous humor adalah cairan jernih yang mengisi COA yang berfungsi memberi nutrisi pada
organ mata yang avaskular seperti kornea. Komposisinya serupa dengan plasma, tetapi
dengan konsentrasi askorbat, piruvat dan laktat yang lebih tinggi, serta protein, urea, glukosa
yang lebih rendah. Aqueous humor diproduksi oleh corpus ciliare. Aqueous humor memasuki
COA melalui pupil lalu menuju anyaman trabekular di sudut COA.
Anyaman trabekular terdiri atas berkas jaringan kolagen dan elastic, membentuk suatu
saringan dengan ukuran pori-pori yang semakin mengecil saat mendekati kanal Schlemm.
19
Saluran eferen kanal Schlemm sekitar 30 saluran pengumpul dan 12 vena aqueous,
menyalurkan cairan ke dalam sistem vena.(9,10)
Gambar 4. Jalur aquos humor
FISIOLOGI REFRAKSI
Refraksi adalah suatu fenomena fisika berupa penyerapan sinar yang melalui
media
transparan yang berbeda. Sebagai suatu contoh proses refraksi saat sebuah pensil
diletakkan di dalam gelas yang berisi air, maka akan tampak gambaran pensil di
udara tidak lurus dengan yang tampak pada air.
Hasil pembiasan sinar padamata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola mata. Pada
orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata
demikian seimbangsehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan
dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata
emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan
mata yang tidakmelakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh.
Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti Punctum Proksimum
merupakan titik terdekat di mana seseorang masih dapat melihat dengan jelas.P u n c
t um Remotum adalah titik terjauh di mana seseorang masih dapat melihat dengan
jelas, titik ini merupakan titik dalam ruang yang berhubungan dengan retina atau
foveola bila mata istirahat. Gangguan atau kelainan dari proses refraksi normal di
atas disebut sebagai anomali refraksi.
20
Kelainan refraksi pada mata terdiri atas miopia, hipermetropia, astigmatisme
dan presbiopia. Kelainan mata tersebut dapat dikoreksi dengan penggunaan
kacamata, lensa kontak, dan saat ini dapat dilakukan prosedur bedah refraktif antara
lain excimer laser, misalnya LASIK, intracorneal ring.
MEKANISME PENGLIHATAN NORMAL
Cahaya masuk melalui kornea diteruskan ke pupil. Pupil merupakan lubang bundar anterior
di bagian tengah iris yang mengatur jumlah cahaya yang masuk ke mata. Pupil membesar bila
intensitas cahaya kecil (bila berada di tempat gelap), dan apabila berada di tempat terang atau
intensitas cahayanya besar, maka pupil akan mengecil. Yang mengatur perubahan pupil
tersebut adalah iris. Iris merupakan cincin otot yang berpigmen dan tampak di dalam aqueous
humor, karena iris merupakan cincin otot yang berpigmen, maka iris juga berperan dalam
menentukan warna mata. Setelah melalui pupil dan iris, maka cahaya sampai ke lensa. Lensa
ini berada diantara aqueous humor dan vitreous humor, melekat ke otot–otot siliaris melalui
ligamentum suspensorium. Fungsi lensa selain menghasilkan kemampuan refraktif yang
bervariasi selama berakomodasi, juga berfungsi untuk memfokuskan cahaya ke retina.
Apabila mata memfokuskan pada objek yang dekat, maka otot–otot siliaris akan berkontraksi,
sehingga lensa menjadi lebih tebal dan lebih kuat. Dan apabila mata memfokuskan objek
yang jauh, maka otot–otot siliaris akan mengendur dan lensa menjadi lebih tipis dan lebih
lemah. Bila cahaya sampai ke retina, maka sel–sel batang dan sel–sel kerucut yang
merupakan sel–sel yang sensitif terhadap cahaya akan meneruskan sinyal–sinyal cahaya
tersebut ke otak melalui saraf optik. Bayangan atau cahaya yang tertangkap oleh retina adalah
terbalik, nyata, lebih kecil, tetapi persepsi pada otak terhadap benda tetap tegak, karena otak
sudah dilatih menangkap bayangan yang terbalik itu sebagai keadaan normal.
21
Gambar 5. Fisiologi penglihatan
UVEITIS
a. Klasifikasi
Berdasarkan anatomi, uveitis dapat diklasifikasikan menjadi uveitis anterior yaitu
radang di iris dan badan siliar (iritis, iridosiklitis, siklitis), uveitis intermediate yaitu
radang di pars plana badan siliar, uveitis posterior (koroiditis), dan panuveitis yaitu
radang pada seluruh uvea.
Berdasarkan gambaran kinis dibagi menjadi uveitis akut dan kronis. Uveitis akut
memiliki onset 6 minggu – 3 bulan, dan ditemukannya tanda radang akut. Sedang uveitis
kronis memiliki onset > 3 bulan sampai beberapa tahun, dan asimptomatis.
Berdasarkan gambaran patologis dibagi menjadi uveitis supurativa / purulen dan
uveitis non supurativa yang dibagi lagi menjadi uveitis granulomatosa dan non
granulomatosa.
22
Perbedaan Uveitis Granulomatosa dan Non Granulomatosa
Non granulomatosa Granulomatosa
Onset Akut Tersembunyi
Sakit Nyata Tak ada atau ringan
Fotofobia Nyata Ringan
Penglihatan kabur Sedang Nyata
Merah
sirkumkorneal
Nyata Ringan
Presipitat keratik Putih halus Kelabu besar
PupilKecil dan tak tratur Kecil dan tak teratur
(bervariasi)
Sinekia posterior Kadang-kadang Kadang-kadang
Nodul iris Kadang-kadang Kadang-kadang
TempatUvea anterior Uvea anterior dan
posterior
Perjalanan Akut Menahun
Rekurensi Sering Kadang-kadang
Uveitis non granulomatosa lebih umum terjadi, karenan umumnya tidak ditemukan
organism pathogen dan berespon baik dengan kortikosteroid, diduga peradangan ini
semacam reaksi hipersensitivitas. Terdapat reaksi radang, denga terlihatnya infiltrasi sel-
sel limfosit dan sel plasma dalam jumlah cukup banyak dan sedikit sel mononuklear. Pada
kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di dalam kamera okuli
anterior.
23
Uveitis granulomatosa umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan oleh
organisme penyebab (misalnya Mycobacterium tuberculosis atau Toxoplasma gondii).
Meskipun begitu pathogen tapi ini jarang ditemukan, serta diagnostik etiologik pasti
jarang ditegakkan.
Berdasarkan etiologi dibagi menjadi infeksi, alergi, toksik, trauma, penyakit sistemik
non infeksi, dan idiopatik. Untuk etiologi infeksi dapat dibagi lagi menjadi eksogen,
sekunder, dan endogen yang penyebabnya dapat berupa bakteri, virus, jamur maupun
parasit.
Bentuk uveitis yang paling sering adalah uveitis anterior akut (iritis), umumnya
unilateral dan ditandai dengan riwayat sakit, fotofobia, dan penglihatan yang kabur; mata
merah dan pupil kecil atau irregular. Radang traktus uvealis umumnya unilateral dan
terjadi pada dewasa muda dan usia pertengahan.
b. Gejala dan Tanda
Pada bentuk non-granulomatosa, onsetnya khas akut, dengan rasa sakit, injeksi,
fotofobia dam penglihatan kabur. Terdapat kemerahan sirkumkorneal yang disebabkan
dilatasi pembuluh pembuluh darah limbus. Deposit putih halus (Keratik Presipitat “KP”)
pada permukaan posterior kornea dapat dilihat dengan slit-lamp atau dengan kaca
pembesar. Pupilnya kecil, dan mungkin terdapat kumpulan fibrin dengan sel di kamera
anterior. Jika terdapat sinekia posterior makan bentuk pupil menjadi tidak teratur.
Pasien juga harus ditanyakan mengenai riwayat arthritis dan kemungkinan terpajan
terhadap toksoplasmosis, histoplasmosis, tuberculosis, dan sifilis. Kemungkinan adanya
focus infeksi jauh dalam tubuh harus pula dicari.
Pada uveitis granulomatosa ( yang dapat menimbulkan uveitis anterior, posterior
ataupun keduanya) biasanya onsetnya tidak kentara. Penglihatan berangsur kabur dan
mara tersebut memerah secara difus di daerah sirkumkorneal. Sakitnya minimal, dan
fotofobianya tidak sama berat dengan bentuk non granulomatosa. Pupil sering mengecil
dan menjadi tidak teratur karena terbentuk sinekia posterior. KP “mutton fat” besar-besar
terlihat di permukaan posterior kornea dengan slit-lamp. Tampak kemerahan (flare) dan
sel-sel di kamera anterior, dan nodul yang terdiri atas kelompok sel-sel putih tampak di
tepian pupil iris (nodul Koeppe). Nodul-nodul ini sepadan dengan mutton fat. Nodul
serupa di seluruh stroma iris disebut nodul Busacca.
24
Lesi koroid dan retina yang aktif dan segar tampak sebagai bercak-bercak putih-
kekuningan samar-samar dengan oftalmoskop melalui corpus vitreum berkabut. Kasus
posterior demikian umumnya digolongkan sebagai penyakit granulomatosa.
c. Patofisiologi
Seperti semua proses radang, uveitis anterior ditandai dengan adanya dilatasi
pembuluh darah yang akan menimbulkan gejala hiperemia silier (hiperemi
perikorneal atau pericorneal vascular injection). Peningkatan permeabilitas ini akan
menyebabkan eksudasi ke dalam akuos humor, sehingga terjadi peningkatan
konsentrasi protein dalam akuos humor. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp)
hal ini tampak sebagai akuos flare atau sel, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak
Brown (efek tyndal). Kedua gejala tersebut menunjukkan proses keradangan akut.
Pada proses keradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel radang
di dalam BMD yang disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke dalam BMD,
dikenal dengan hifema.
Apabila proses radang berlangsung lama (kronis) dan berulang, maka sel-sel radang
dapat melekat pada endotel kornea, disebut sebagai keratic precipitate (KP). Ada dua
jenis keratic precipitate, yaitu :
- mutton fat KP : besar, kelabu, terdiri atas makrofag dan pigmen- pigmen yang
difagositnya, biasanya dijumpai pada jenis granulomatosa.
- punctate KP : kecil, putih, terdiri atas sel limfosit dan sel plasma, terdapat pada jenis
non granulomatosa.
Apabila tidak mendapatkan terapi yang adekuat, proses keradangan akan berjalan
terus dan menimbulkan berbagai komplikasi.
Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan
kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun dengan endotel
kornea yang disebut sinekia anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi
pupil, yang disebut seklusio pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang,
disebut oklusio pupil.
Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh sel-sel
radang, akan menghambat aliran akuos humor dari bilik mata belakang ke bilik mata
depan sehingga akuos humor tertumpuk di bilik mata belakang dan akan mendorong
iris ke depan yang tampak sebagai iris bombans. Selanjutnya tekanan dalam bola mata
semakin meningkat dan akhirnya terjadi glaukoma sekunder.
25
d. Komplikasi dan Sekuele
Uveitis anterior dapat menimbulkan sinekia anterior perifer, yang
menghalangi humor akueus keluar di sudut kamera anterior dan berakibat glaukoma.
Sinekia posterior dapat menimbulkan glaukoma dengan memungkinkan
berkumpulnya humor akueus di belakang iris, sehingga menonjolkan iris ke depan.
Pelebaran pupil sejak dini dan terus menerus mengurangi kemungkinan timbulnya
sinekia posterior. gangguan metabolisme lensa dapat menimbulkan katarak. Ablasio
retina kadang-kadang timbul akibat tarikan pada retina oleh benang-benang vitreus.
Edema kistoid macular dan degenerasi dapat terjadi pada uveitis anterior yang
berkepanjangan.
KERATITIS
Radang kornea biasanya diklasifikasi dalam lapis kornea yang terkena, seperti keratitis
superficialis dan interstisial atau profunda. Keratitis dapat disebabkan oleh berbagai hal
seperti kurangnya air mata, keracunan obat, reaksi alergi terhadap yang diberi topika, dan
reaksi terhadap konjunctivitis menahun. Keratitis akan memberikan gejala mata merah, rasa
silau, dan merasa kelilipan. Pengobatan dapat diberikan antibiotika, air mata buatan dan
sikloplegik.
a. Keratitis Bakterial
Setiap bakteri seperti Staphylococcus, Pseudomonas, dan Enterobacteriaceae dapat
mengakibatkan keratitis bacterial. Pengobatan antibiotika diberikan pada keratitis
bekterial dini.
b. Keratitis Jamur
Jamur yang dapat mengakibatkan keratitis adalah Fusarium, Cephalocepharium, dan
Curvularia. Yang pada masa sekarang dianggap sebagai penggunaan antibiotika dan
kortikosteroid yang tidak tepat. Keluhan baru timbul setelah 5 hari sampai 3 minggu,
berupa sakit mata yang hebat, berair dan silau.
26
Pada mata terlihat infiltrate yang berhifa dan satelit bila terletak di dalam stroma.
Biasanya disertai dengan cincin endotel dengan plaque tampak bercabang-cabang,
dengan endhotelium plaque, gambaran satelit pada kornea, dan lipatan Descement.
c. Keratitis Virus
- Keratitis Herpes Simplex : dibagi menjadi dua bentuk yaitu epithelial dan stromal.
Hal yang murni epithelial adalah dendritik dan stromal adalah diskiformis.
Perbedaan ini akibat mekanisme kerusakannya berbeda. Hal ini sangat berkaitan
dengan pengobatan dimana pada yang epithelial dilakukan terhadap virus dan
pembelahan dirinya sedang pada keratitis stromal dilakukan pengobatan
menyerang virus dan reaksi radangnya.
- Keratitis Herpes Zoster : merupakan infeksi pada Ganglion Gaseri saraf
trigeminus. Bila yang terkena ganglion cabang oftalmik maka akan terlihat gejala-
gejala herpes zoster pada mata. Gejala ini tidak akan melampaui garis median
kepala. Biasanya mengenai orang dengan usia lanjut. Keratitis vesicular dapat
terjadi akibat herpes zoster.
Gejala pada mata adalah sakit pada daerah yang terkena dan badan terasa hangat.
Penglihatan berkurang dan merah. Pada kelopak akan terlihat vesikel dan infiltral
pada kornea. Vesikel tersebar sesuai dengan dermatom yang dipersarafi saraf
trigeminus yang dapat progresif dengan terbentuknya jaringan parut.
GLAUKOMA AKUT
Glaukoma akut merupakan salah satu glaukoma sudut tertutup primer. Glaukoma sudut
tertutup terjadi bila terdapat kenaikan mendadak dari tekanan intraokular, yang disebabkan
penutupan sudut bilik mata depan yang mendadak oleh akar iris, sehingga menghalangi sama
sekali keluarnya humor akueus melalui trabekula, menyebabkan meningginya tekanan
intraokular, maka gejala yang ditimbulkan sangat berat seperti: nyeri pada mata, sakit kepala,
pandangan kabur, haloe, mual dan muntah serta disertai tanda kongesti, maka disebut pula
glaukoma akut kongestif atau glaukoma akut. Glaukoma akut hanya timbul pada orang-orang
yang mempunyai sudut bilik mata yang sempit. Jadi hanya pada orang-orang dengan
predisposisi anatomis.
27
Gambar 1. Bilik mata depan normal (kiri), dan sudut tertutup (kanan)
Glaukoma akut merupakan suatu kedaruratan mata yang memerlukan penanganan
segera untuk mencegah kerusakan nervus optikus yang dapat menyebabkan kebutaan.
Pengobatan medika mentosa harus dimulai secepat mungkin untuk menurunkan tekanan intra
okuler sebelum terapi definitive iridektomi laser atau bedah dilakukan.
Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan hasil pemeriksaan gonioskopi yang
dapat memberikan bukti bahwa sudut bilik mata tertutup.
Faktor predisposisi
Faktor anatomis yang menyebabkan sudut sempit adalah :
1. Bulbus okuli yang pendek, biasanya pada mata yang hipermetrop. Makin berat
hipermetropnya makin dangkal bilik mata depannya.
2. Tumbuhnya lensa, menyebabkan bilik mata depan menjadi lebih dangkal. Pada umur
25 tahun, dalamnya bilik mata depan rata-rata 3,6 mm, sedangkan pada umur 70 tahun
3,15 mm.
3. Kornea yang kecil, dengan sendirinya bilik mata depannya dangkal.
4. Tebalnya iris. Makin tebal iris, makin dangkal bilik mata depan.
Pada sudut bilik mata yang sempit, letak lensa jadi lebih dekat ke iris, sehingga aliran
cairan bilik mata dari bilik mata belakang ke bilik mata depan tehambat, inilah yang disebut
dengan hambatan pupil. Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya tekanan di dalam bilik
mata belakang dan medorong iris ke depan. Pada sudut bilik mata depan yang memang
sudah sempit, adanya dorongan ini menyebabkan iris menutupi jaringan trabekula, sehingga
28
cairan bilik mata tidak dapat atau sukar untuk keluar dan terjadilah glaukoma sudut
tertutup.
Pathogenesis
Sudut bilik mata dibentuk dari jaringan korneosklera dengan pangkal iris. Pada
keadaan fisiologis bagian ini terjadi pengaliran keluar cairan bilik mata. Berdekatan dengan
sudut ini didapatkan jaringan trabekulum, kanal Schlemm, baji sklera, garis Schwalbe dan
jonjot iris. Pada sudut filtrasi terdapat garis Schwalbe yang merupakan akhir perifer endotel
dan membran desemet, kanal schlemm yang menampung cairan mata kesalurannya.
Sudut filtrasi berbatas dengan akar iris berhubungan dengan sklera kornea dan disini
ditemukan sklera spur yang membuat cincin melingkar 360 derajat dan merupakan batas
belakang sudut filtrasi serta tempat insersi otot siliar longitudinal. Anyaman trabekula
mengisi kelengkungan sudut filtrasi yang mempunyai dua komponen yaitu badan siliar dan
uvea.
Tekanan intraokular ditentukan oleh kecepatan terbentuknya cairan mata (akueus
humor) bola mata oleh badan siliar dan hambatan yang terjadi pada jaringan trabekular
meshwork. Akueus humor yang dihasilkan badan siliar masuk ke bilik mata belakang,
kemudian melalui pupil menuju ke bilik mata depan dan terus ke sudut bilik mata depan,
tepatnya ke jaringan trabekulum, mencapai kanal Schlemm dan melalui saluran ini keluar
dari bola mata.
Pada glaukoma sudut terbuka, kelainan terjadi pada jalinan trabekular, sedangkan
sudut bilik mata terbuka lebar. Jadi tekanan intraokuler meningkat karena adanya hambatan
outflow humor akuos akibat kelainan mikroskopis pada jalinan trabekular.
Pada glaukoma sudut tertutup, jalinan trabekular normal, sedangkan tekanan
intraokuler meningkat karena obstruksi mekanik akibat penyempitan sudut bilik mata,
sehingga outflow humor akuos terhambat saat menjangkau jalinan trabekular. Keadaan
seperti ini sering terjadi pada sudut bilik mata yang sempit (kadang-kadang disebut dengan
“dangerous angle”).
Penting untuk diketahui, jika sudut bilik mata tidak sempit atau sudut terbuka luas,
perifer iris tidak kontak dengan perifer kornea, sehingga sudut bilik mata depan tidak tertutup
29
dan glaukoma sudut tertutup tidak akan terjadi. Ini merupakan perbedaan dasar antara
glaukoma sudut terbuka dengan glaukoma sudut tertutup.
Ketika dislokasi lensa sebagai penyebab tertutupnya sudut bilik mata maka keadaan
ini dikenal dengan glaukoma sudut tertutup sekunder. Jika glaukoma sudut tertutup tidak
diketahui penyebabnya, kondisi ini dikenal dengan glaukoma sudut tertutup primer.
Apabila sudut bilik mata depan tertutup secara cepat dan berat, ini dikenal dengan
glaukoma akut yang disertai dengan banyak gejala dan tanda. Apabila penutupan sudut bilik
mata depan tidak sempurna dan kadang-kadang saja terjadi, ini dikenal dengan glaukoma
sudut tertutup intermitten atau glaukoma sudut tertutup kronik, dan disertai dengan sedikit
gejala. Apabila glaukoma sudut tertutup intermitten yang tidak mempunyai gejala, ini dikenal
dengan glaukoma sudut tertutup kreeping.
Struktur anterior yang berhubungan dengan glaucoma akut yaitu : diameter kornea
lebih kecil, kurvatura kornea anterior lebih datar, kurvatura kornea posterior lebih datar,
sudut bilik mata depan lebih dangkal, lensa lebih tebal, kurvatura lensa anterior pendek, letak
lensa lebih ke anterior dan sumbu bola mata lebih pendek.
Satu hal penting untuk diketahui bahwa tidak semua sudut bilik mata sempit akan
berkembang menjadi glaukoma akut, dapat terjadi hanya sebagian kecil saja, terutama pada
mata yang pupilnya berdilatasi sedang (3,0 - 4,5mm) yang dapat memungkinkan terjadinya
blok pupil sehingga dapat berlanjut menjadi sudut tertutup.
Akibat terjadinya blok pupil, maka tekanan intraocular lebih tinggi di bilik mata
belakang daripada bilik mata depan. Jika blok pupil semakin berat tekanan intraokuler di bilik
mata belakang semakin bertambah, sehingga konveksivitas iris semakin bertambah juga, ini
dikenal dg iris bombe, yang membuat perifer iris kontak dengan jalinan trabekuler, dan
menyebabkan sudut bilik mata depan tertutup. Jika tekanan intraokuler meningkat secara
drastic akibat sudut tertutup komplit maka akan terjadi glaukoma akut.
Mekanisme lain yang dapat menyebabkan glaukoma akut adalah: plateau iris dan
letak lensa lebih ke anterior. Pada keadaan seperti ini juga sering terjadi blok pupil.
30
MIOPI
Miopia merupakan kelainan refraksi dimana berkas sinar sejajar yang memasuki mata tanpa
akomodasi, jatuh pada fokus yang berada di depan retina. Dalam keadaan ini objek yang
jauh tidak dapat dilihat secara teliti karena sinar yang datang saling bersilangan pada badan
kaca, ketika sinar tersebut sampai di retina sinar-sinar ini menjadi divergen,membentuk
lingkaran yang difus dengan akibat bayangan yang kabur. Miopia tinggi adalah miopia
dengan ukuran 6 dioptri atau lebih.(3)
Derajat miopia dapat dikategorikan, yaitu :
Miopia ringan (0,25 – 3,00D)
Miopia sedang (3,00 – 6,00D)
Miopia berat / tinggi (>6,00D)
Patofisiologi
Pada myopia bola mata biasanya terlalu panjang untuk refraksi (myopia aksial). Refraksi
yang terlalu kuat lebih jarang terjadi (myopia refraktif). Akibatnya, sinar yang berasal dari
obyek yang jauh tidak menghasilkan bayangan tajam di retina.
Terjadinya elongasi sumbu yang berlebihan pada miopia patologi masih belum
diketahui. Sama halnya terhadap hubungan antara elongasi dan komplikasi penyakit ini,
seperti degenerasi chorioretina, ablasio retina dan glaucoma.Columbre dan rekannya, tentang
penilaian perkembangan mata anak ayam yang di dalam pertumbuhan normalnya, tekanan
intraokular meluas ke rongga mata dimana sklera berfungsi sebagai penahannya. Jika
kekuatan yang berlawanan ini merupakan penentu pertumbuhan ocular post natal pada mata
manusia, dan tidak ada bukti yang menentangnya maka dapat pula disimpulkan dua
mekanisme patogenesis terhadap elongasi berlebihan pada myopia.
Menurut tahanan sclera:
Mesadermal
31
Abnormalitas mesodermal sklera secara kualitas maupun kuantitas dapat mengakibatkan
elongasi sumbu mata. Percobaan Columbre dapat membuktikan hal ini, dimana
pembuangan sebahagian masenkhim sklera dari perkembangan ayam menyebabkan
ektasia daerah ini, karena perubahan tekanan dinding okular. Dalam keadaan normal
sklera posterior merupakan jaringan terakhir yang berkembang. Keterlambatan
pertumbuhan strategis ini menyebabkan kongenital ektasia pada area ini. Sklera normal
terdiri dari pita luas padat dari bundle serat kolagen, hal ini terintegrasi baik, terjalin
bebas, ukuran bervariasi tergantung pada lokasinya. Bundle serat terkecil terlihat menuju
sklera bagian dalam dan pada zona ora equatorial. Bidang sklera anterior merupakan area
crosectional yang kurang dapat diperluas perunitnya dari pada bidang lain. Pada test
bidang ini ditekan sampai 7,5 g/mm2. Tekanan intraokular equivalen 100 mmHg, pada
batas terendah dari stress ekstensi pada sklera posterior ditemukan 4 x dari pada bidang
anterior dan equator. Pada batas lebih tinggi sklera posterior kirakira 2 x lebih diperluas.
Perbedaan tekanan diantara bidang sklera normal tampak berhubungan dengan hilangnya
luasnya bundle serat sudut jala yang terlihat pada sklera posterior. Struktur serat kolagen
abnormal terlihat pada kulit pasien denganEhlers-Danlos yang merupakan penyakit
kalogen sistematik yang berhubungan dengan miopia.
Ektodermal – Mesodermal
Vogt awalnya memperluasnya konsep bahwa miopia adalah hasil ketidak harmonisan
pertumbuhan jaringan mata dimana pertumbuhan retina yang berlebihan dengan
bersamaan ketinggian perkembangan baik koroid maupun sklera menghasilkan
peregangan pasif jaringan. Meski alasan Vogt pada umumnya tidak dapat diterima, telah
diteliti ulang dalam hubungannya dengan miopia bahwa pertumbuhan koroid dan
pembentukan sklera dibawah pengaruh epitel pigmen retina. Pandangan baru ini
menyatakan bahwa epitel pigmen abnormal menginduksi pembentukan koroid dan sklera
subnormal. Hal ini yang mungkin menimbulkan defek ektodermal – mesodermal umum
pada segmen posterior terutama zona oraequatorial atau satu yang terlokalisir pada daerah
tertentu dari pole posterior mata, dimana dapat dilihat pada miopia patologik (tipe
stafiloma posterior).
32
Meningkatnya suatu kekuatan yang luas:
1. Tekanan intraokular basal
Contoh klasik miopia sekunder terhadap peningkatan tekanan basal terlihat pada
glaucoma juvenil dimana bahwa peningkatan tekanan berperan besar pada peningkatan
pemanjangan sumbu bola mata.
Susunan peningkatan tekanan
Secara anatomis dan fisiologis sklera memberikan berbagai respon terhadap induksi
deformasi. Secara konstan sklera mengalami perubahan pada stress. Kedipan kelopak
mata yang sederhana dapat meningkatkan tekanan intraokular 10 mmHg, sama juga
seperti konvergensi kuat dan pandangan ke lateral. Pada valsava manuver dapat
meningkatkan tekanan intraokular 60 mmHg.Juga pada penutupan paksa kelopak mata
meningkat sampai 70 mmHg -110 mmHg. Gosokan paksa pada mata merupakan
kebiasaan jelek yang sangat sering diantara mata miopia, sehingga dapat meningkatkan
tekanan intraocular.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksan
oftalmologis pada pasien kelompok kami mendiagnosis kerja pasien ini dengan uveitis oculli
dextra. Berdasarkan gambaran klinis yaitu uveitis akut oculli dextra. Berdasarkan gambaran
anatomis uveitis anterior oculli dextra dan berdasarkan gambaran patologis adalah uveitis non
granulomatosa oculli dextra. Berdasarkan derajat keparahan uveitis akut.
Penegakkan diagnosa ini didasarkan pada gejala-gejala subyektif (yang dikeluhkan pasien)
yaitu adanya mata merah, penglihatan buram dan juga adanya lakrimasi (pengeluaran air
mata) terus menerus dan juga fotofobia.
Keluhan-keluhan pasien itu juga didukung oleh ditemukannya hiperemis dan injeksi siliar
yang menyebabkan mata merah dan juga adanya penurunan visus mata kiri pasien yang
33
menjelaskan adanya buram pada pasien. Selain itu juga adanya sel-sel radang pada kornea
juga mendukung diagnosis uveitis karena peradangan pada uvea biasa bisa menyebabkan
adanya keratik presipitat + dan juga adanya hipopion serta sel flare pada COA juga
merupakan tanda paling sering uveitis. Sedangkan kita mendiagnosis sementara sebagin
uveitis anterior oculli dextra disebabkan adanya radang pada iris yang ditunjukkan oleh
bentuk pupil yang irregular dan juga adanya sinekia posterior +.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hodge, W. G. Traktus Uvealis & Sklera. Dalam: Vaughan, D. G., Asbury, T. dan
Riodan, P. (editor). Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Widya Medika; 2000.p.
155-58.
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. p.147-52.
3. American Academy of Ophtalmology: Acute Primary Angle Closure Glaucoma in
Basic and Clinical Science Course. Section 10. 2005-2006. p. 122-126.
4. Silbernag, S, Lang, F. Teks Atlas Berwarna Patofisiologi : Penyakit Alat Optikus pada
Mata. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG ; 2007.
5. Cunningham ET, Shetlar DJ. Traktus Uvealis dan Sklera.
Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: Widya Medika: 2009. p.150-162.
6. Ilyas S. Mata. Jakarta : Balai penerbit FKUI. 2009.167-174.
34
7. Roger,KD. Uveitis Nongranulomatous. Available at: www emedicine.co.id. Accessed
September 16, 2011.
8. Snell RS. Basic Anatomy: The Head and Neck. Clinical Anatomy. In: Sun B, editor.
7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2004. p 818-33.
9. Ocular Pathology: Anatomy of The Human Eye. Available at:
http://www.images.missionforvisionusa.org/anatomy/2005/10/cornea-histology.html.
Accessed September 18, 2011.
10. Salmon JF. Glaukoma. Oftalmologi Umum. In: Susanto D, editor. 17 th ed. Jakarta:
Penerbit EGC. 2007. p 214.
35