Makalah PBL Blok 18

42
Tinjauan pustaka Difteri pada Anak dan Penatalaksanaannya Gian Alodia Risamasu 102011344 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Pendahuluan Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk Alamat Korespondensi: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510 Telephone: (021) 5694-2061 (hunting), Fax: (021) 563-1731 Email: [email protected] 1

description

mklh18

Transcript of Makalah PBL Blok 18

Page 1: Makalah PBL Blok 18

Tinjauan pustaka

Difteri pada Anak dan Penatalaksanaannya

Gian Alodia Risamasu

102011344

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Pendahuluan

Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).

Penyakit ini  disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang

menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan

faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui

udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin

penderita.

Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus

difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama

dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak - anak muda.

Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh

karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan

kita.

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengenal lebih dalam apa itu difteri, kelainan

apa saja yang dapat ditimbulkan dari penyakit ini, serta bagaimana cara penatalaksanaannya,

baik medikamentosa maupun nonmedikamentosa. Semoga makalah ini berguna dan dapat

menambah wawasan pengetahuan dari para pembaca.

Anamnesis

Alamat Korespondensi:Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaArjuna Utara No. 6 Jakarta 11510Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),Fax: (021) 563-1731Email: [email protected]

1

Page 2: Makalah PBL Blok 18

1. Identitas Pasien

Menanyakan kepada pasien atau orang tua dari anak, meliputi: 1

- Nama lengkap pasien

- Umur pasien

- Tanggal lahir

- Jenis kelamin

- Agama

- Alamat

- Umur (orang tua)

- Pendidikan dan pekerjaan (orang tua)

- Suku bangsa

2. Keluhan Utama

Menanyakan keluhan utama pasien yaitu : anak tampak sesak nafas sejak 1 hari yang

lalu. 1

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Menanyakan perjalanan penyakit pasien, dimana keluhan didahului batuk pilek sejak 1

minggu yang lalu, demam tinggi, nyeri menelan sejak 2 hari yang lalu serta anak tidak

mau makan. 1

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Apakah pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Jika ya, apakah sudah berobat ke

dokter dan apa diagnosisnya serta pengobatan yang diberikan. 1

5. Riwayat Imunisasi

Menanyakan apakah riwayat imunisasi anak lengkap terutama imunisasi DPT bila

mencurigai anak terkena difteri. Tanyakan apakah sudah diimunisasi dan apakah

imunisasi diulang setelah 1 tahun. 1

6. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga.

Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini. 1

7. Riwayat Status Sosial Ekonomi

Keluarga ini termasuk berkecukupan atau tidak. Apakah pasien tinggal ditempat yang

cukup memadai dan kondisi lingkungan rumah yang cukup higienis. Bagaimana pola

makan dan kebersihan diri anak. 1

2

Page 3: Makalah PBL Blok 18

8. Riwayat Pengobatan

Obat apa saja yang sudah diminum pasien untuk mengatasi sesak pada anak. 1

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan tanda – tanda vital serta keadaan umum pasien1

Kesadaran compos mentis, tampak sesak dan agitasi. Frekuensi nafas 50 x/menit, denyut nadi

30x/menit, suhu 40 derajat celcius, tekanan darah.

Antopometri1

Untuk mengetahui berat badan dan tinggi badan anak apakah normal atau tidak.

Pemeriksaan mulut dan faring1

Pemeriksaan fisik pada kasus ini lebih difokuskan pada pemeriksaan bagian faring. Pemeriksaan

faring pada anak dapat dilakukan setelah pemeriksaan fisik lainnya selesai dilakukan karena pada

pemeriksaan faring ini akan membutuhkan bantuan orangtua untuk memegang dan menenangkan

anaknya.

Jika pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan spatel lidah, teknik yang terbaik adalah

dengan mendorong spatel tersebut ke bawah dan sedikit menariknya ke depan (seperti ditekan),

sementara anak mengatakan “ah”. Hati-hati, jangan sampai meletakkan spatel terlalu belakang

pada lidah karena akan memicu refleks muntah. Kadang-kadang anak yang kecil dan merasa

cemas harus dipegangi karena anak ini akan mengatupkan mulutnya dan mengerutkan bibirnya.

Dalam menghadapi kasus ini, spatel harus diselipkan dengan hati-hati di antara kedua baris

giginya dan kemudian menekan lidahnya. Tindakan ini memungkinkan untuk mendorong lidah

anak ke bawah atau memicu refleks muntah sehingga kita dapat melihat sekilas keadaan faring

posterior serta tonsilnya.

Pada pemeriksaan ini, inspeksi ukuran, posisi, kesimetrisan dan penampakan tonsil. Ukuran

tonsil bervariasi cukup luas pada anak dan sering kali digolongkan dalam skala 1+ hingga 4+.

Angka 1+ menunjukkan adanya celah yang terlihat jelas di antara kedua tonsil dan angka 4+

memperlihatkan bahwa kedua tonsil saling menyentuh pada garis tengah ketika mulut dibuka

lebar-lebar. Tonsil pada anak sering terlihat lebih obstruktif daripada kenyataan yang

sebenarnya.

3

Page 4: Makalah PBL Blok 18

Lakukan juga inspeksi pada palatum molle, uvula, dan daerah faring. Perhatikan warna serta

kesimetrisannya dan cari eksudat, pembengkakan, ulserasi, dan pembesaran tonsil.

Hasil pemeriksaan fisik daerah faring pada penderita difteria menunjukkan daerah tenggorok

berwarna merah gelap dan pada uvula, faring, serta lidah terdapat eksudat (pseudomembran)

yang berwarna kelabu. Jalan napas pada penyakit difteria dapat tersumbat karena adanya udem

pada faring, tonsil, atau laring.

Pemeriksaan leher (kelenjar limfe) 1

Lakukan inspeksi leher dengan memperhatikan kesimetrisannya dan setiap massa atau jaringan

parut yang ada. Cari pembesaran kelenjar ludah parotis atau submandibular dan perhatikan setiap

nodus limfatikus yang terlihat.

Lakukan palpasi nodus limfatikus. Gunakan permukaan ventral jari telunjuk serta jari tengah,

dan gerakkan kulit di atas jaringan yang ada di bawahnya pada setiap daerah. Pasien harus

berada dalam keadaan rileks dengan leher sedikit difleksikan ke depan dan jika diperlukan, agak

difleksikan ke arah sisi yang hendak diperiksa. Biasanya, pemeriksaan kedua sisi leher dapat

dilakukan dalam satu pemeriksaan. Namun, untuk memeriksa nodus limfatikus submental,

tindakan palpasi dengan tangan yang satu sementara bagian puncak kepala pasien ditahan dengan

tangan lainnya akan membantu pemeriksaan ini.

Palpasi rangkaian nodus limfatikus pada daerah servikal anterior yang lokasinya di sebelah

anterior dan superficial muskulus sternomastoideus. Kemudian, lakukan palpasi rangkaian nodus

limfatikus pada daerah servikal posterior di sepanjang muskulus trapezius (tepi anterior) dan

muskulus sternomastoideus (tepi posterior). Fleksikan leher pasien agak ke depan kearah sisi

yang hendak diperiksa.

Pada kasus ini, pemeriksaan difokuskan pada pemeriksaan nodus limfatikus submandibular dan

servikal karena pada difteria, kedua kelenjar limfe ini seringkali membesar. Limfonodi yang

membesar dan nyeri tekan memberi kesan adanya peradangan oleh karena infeksi virus atau

bakteri, sedangkan limfonodi yang teraba keras memberi kesan adanya keganasan. Pembesaran

limfonodus dapat terjadi bilateral maupun unilateral.

Pemeriksaan thorax1

4

Page 5: Makalah PBL Blok 18

Diawali dengan inspeksi untuk melihat bentuk thorax, pergerakan dada saat statis maupun

dinamis, keadaan sela iga.

Palpasi secara acak dan terstruktur thorax anterior dan posterior, meraba sela iga, pergerakan

thorax saat statis maupun dinamis, pemeriksaan vocal fremitus.

Perkusi secara acak dan terstuktur.

Auskultasi dengan meminta anak untuk menarik napasnya dalam-dalam, seringkali anak tersebut

akan menahan napas, sehingga menyulitkan dalam melakukan auskultasi paru. Jadi, bagi anak

prasekolah akan lebih mudah untuk membiarkannya bernapas seperti biasa. Dengarkan bunyi

pernapasan dengan memperhatikan intensitasnya dan mengenali setiap variasi dari pernapasan

vesikuler yang normal. Biasanya bunyi pernapasan lebih keras pada lapang paru anterior atas.

Pada keadaan terdapatnya obstruksi saluran napas atas, inspirasi akan memanjang dan disertai

tanda lain seperti stridor, batuk, serta ronkhi. Stridor merupakan bunyi pernapasan yang khas

pada penderita difteria. Bunyi ini seringkali terdengar lebih keras pada leher daripada pada

dinding dada. Stridor menunjukkan obstruksi parsial laring atau trachea dan memerlukan

tindakan segera.

Pemeriksaan Penunjang

Pada penderita difteri hasil akan menunjukkan : 2

- Ronsen menunjukkan adanya sumbatan pada faring maupun laring.

- Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis

polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat

albuminuria ringan.

- Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebacterium difteriae.

- Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahan di bawah

membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood. 3

- Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan protein.

- Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu pemeriksaan

swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin.

5

Page 6: Makalah PBL Blok 18

Spesimen untuk biakan harus diambil dari hidung dan tenggorok dan salah satu tempat lesi

mukokutan lain. Sebagian membran harus diambil dan diserahkan bersama eksudat di bawahnya.

Idealnya, spesimen harus diambil oleh dokter atau personil yang terlatih. Pasien harus duduk

menghadap sumber cahaya. Sambil lidah ditekan dengan spatula, sebuah lidi kapas steril

diusapkan dengan kuat pada setiap tonsil, melalui dinding belakang faring dan semua tempat

yang meradang. Hati-hati jangan sampai menyentuh lidah atau permukaan pipi bagian dalam

(bukal). Sebaiknya mengambil dua usapan dari daerah yang sama. Usapan yang satu dapat

digunakan untuk membuat sediaan apus, sedangkan usapan yang lain dimasukkan ke dalam

wadah kaca atau plastic dan dikirim ke laboratorium. Alternatif lainnya adalah menempatkan

kedua usapan dalam suatu wadah dan mengirimkannya ke laboratorium. Jika spesimen tidak

dapat diproses dalam 4 jam, usapan harus dimasukkan dalam media transport (misalnya Amies

atau Stuart).3

Walaupun basil difteri tumbuh baik pada agar darah biasa, pertumbuhannya lebih baik dengan

melakukan inokulasi pada salah satu atau dua media khusus: 4

1. Loeffler coagulated serum atau Dorset egg medium. Walaupun tidak selektif, kedua

media tersebut menghasilkan pertumbuhan basil difteri yang berlimpah setelah inkubasi 1

malam. Morfologi selular basil ini lebih khas, yaitu batang pleomorfik yang agak

bengkok, terwarna tidak beraturan, pendek sampai panjang, menunjukkan granula

metakromatik (granula babes Ernst), dan tersusun dalam bentuk ‘V’ atau palisade sejajar.

Granula metakromatik lebih jelas setelah diwarnai dengan biru metilen atau pulasan

Albert daripada dengan pulasan Gram.

2. Agar darah telurit yang selektif. Media ini memudahkan isolasi saat bakteri berjumlah

sedikit, misalnya pada kasus karier yang sehat. Pada media ini, koloni basil difteri

berwarna keabuan sampai hitam dan berkembang sempurna hanya setelah 48 jam. Koloni

mencurigakan, yang mengandung basil dengan morfologi coryneform pada pulasan

Gram, harus disubkultur pada lempeng agar darah untuk memeriksa kemurniannya dan

keberadaan morfologi yang ‘khas’. Harus diingat pula bahwa C. diphteriae biotipe mitis,

yang paling banyak ditemukan, menunjukkan zona hemolisis-β yang jelas pada agar

darah.

6

Page 7: Makalah PBL Blok 18

Suatu laporan dugaan adanya C. diphteriae seringkali dapat diberikan pada tahap ini. Walaupun

demikian, ini harus dipastikan atau disingkirkan dengan beberapa uji biokimia sederhana dan

dengan menunjukkan adanya toksigenesitas. Karena uji toksigenesitas mensyaratkan inokulasi

pada kelinci percobaan atau suatu uji toksigenik in vitro (Elek-ouchterlony test) dan harus

dilakukan di laboratorium pusat, hanya identifikasi biokimia cepat yang akan dibahas di sini. C.

diphteriae bersifat katalase positif dan nitrat positif. Urea tidak dihidrolisis. Asam tanpa gas

dihasilkan dari glukosa dan maltose, umumnya tidak dari sakarosa. Fermentasi glukosa dapat

diuji pada media Kliger. Aktivitas urease dapat ditunjukkan pada MIU dan reduksi nitrat pada

kaldu nitrat seperti pada Enterobacteriaceae. Untuk fermentasi maltose dan sakarosa, air pepton

Andrade dapat digunakan sebagai pelarut dengan konsentrasi akhir 1% untuk tiap karbohidrat.

Hasil biasanya dapat dibaca setelah 24 jam, walaupun kemungkinan perlu diinkubasi lagi

semalaman. Harus ditekankan bahwa peran laboratorium mikrobiologi adalah untuk memastikan

diagnosis klinis difteri. Terapi tidak boleh ditunda karena menunggu hasil laboratorium.4

Kesalahan yang sering terjadi ialah dalam membedakan difteria dengan infeksi-infeksi lain

seperti tonsillitis, faringitis streptokokal dan infeksi Vincent. Diperlukan waktu beberapa hari

bagi laboratorium mikrobiologi untuk memastikan toksigenitas kuman difteri yang diasingkan.4

Laboratorium tidak dapat menentukan diagnosis difteri hanya berdasarkan pemeriksaan

mikroskopis saja karena strain C. diphteriae baik yang toksigenik maupun yang nontoksigenik

tidak dapat dibedakan satu dengan lainnya secara mikroskopik, spesies Corynebacterium yang

lain pun secara morfologik mungkin serupa. Oleh karena itu, apabila pada pemeriksaan

mikroskopik ditemukan kuman-kuman berbentuk khas difteri, maka hasil presumtif yang

diberikan adalah ditemukan kuman-kuman tersangka difteri. Hal ini menunjukkan pentingnya

diagnosis bakteriologik laboratorium untuk mendapatkan cara-cara yang mudah, cepat,

sederhana, dan dipercaya yang dapat membantu klinikus dalam menegakkan diagnosisnya.4

Diagnosis bakteriologik harus dianggap sebagai penunjang dan bukan sebagai pengganti

diagnosis klinik. Hapusan tenggorok atau bahan pemeriksaan lainnya harus diambil sebelum

pemberian antimikroba, dan harus segera dikirim ke laboratorium.4

Anatomi Saluran Pernapasan Atas

7

Page 8: Makalah PBL Blok 18

Sistem pernapasa nmerupakan saluran penghantar udara yang terdiri dari beberapa organ dasar

seperti hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan paru-paru. Organ-organ ini bekerja sama

dalam menerima udara bersih, pergantian udara dari darah, dan mengeluarkan udara yang telah

dimodifikasi.5

Sistem pernapasan dapat dibagi menjadi 2 bagian tergantung fungsinya, yaitu konduksi, sebagai

bagian yang berfungsi dalam proses penghantaran dan bagian respiratorik yang terdiri atas

alveoli dan regio distal lainnya yang berfungsi dalam pertukaran gas. Organ-organ respirasi

dapat dibagi lagi menurut letaknya, yaitu upper respiratory tract yang terdiri dari daerah dari

hidung hingga laring dan lower respiratory tract yang terdiri dari trakea, bronkus, bronkiolus, dan

paru-paru.5

Hidung (Nares) 5

Hidung merupakan ‘pintu masuk’ udara pertama kali sebelum masuk ke dalam saluran

pernapasan dalam. Hidung bagian luar tertutup oleh kulit tipis dengan jaringan subkutan yang

cukup kuat di bawahnya. Hidung tersusun atas osteon pada bagian atas dan kartilago pada bagian

bawah. Osteon pada hidung tersusun oleh os nasale, processus frontalis os maxillaris, dan bagian

nasal dari os frontalis. Sedangkan bagian kartilago, disusun oleh cartilago septal nasi, kartilago

nasi lateralis, serta kartilago ala nasi mayor dan minor.

Hidung memiliki struktur yang terbuka ke arah wajah melalui Nares dan struktur yang terbuka ke

arah Nasopharynx melalui Choana. Hidung bagian kanan dan hidung bagian kiri dipisahkan oleh

suatu sekat yang disebut Septum Nasi. Septum Nasi dibentuk oleh Lamina Perpendicular Ossis

Ethmoidalis, Os Vomer, dan Cartilago Septum Nasi.

Hidung diperdarahi oleh pembuluh-pembuluh nadi dan vena, meliputi A. Lateralis Nasi cabang

A. Facialis, A. Dorsalis Nasi cabang A. Ophtalmica, A. Infra Orbitalis cabang A. Maxilaris

Internus, V. Facialis, dan V. Opthalmica. Otot-otot hidung terdiri atas M. Nasalis, yang berfungsi

untuk memperkecil lubang hidung dan M. Depressor Septi Nasi untuk memperlebar lubang

hidung. Otot-otot motorik ini dipersarafi oleh N. VII (N. Fasialis). Persarafan sensoris pada sisi

medial punggung hidung sampai ujung hidung oleh N. Infra Trochlearis dan N. Nasalis Externus

cabang N.V1, sedangkan sisi lateral oleh N. Infra Orbitalis cabang N. V2.

8

Page 9: Makalah PBL Blok 18

Rongga Hidung 5

Rongga hidung berada di sebelah superior Palatum Durum dan terpisah satu sama lain oleh

Septum Nasi di garis tengah. Masing-masing rongga hidung memiliki pintu anterior dan pintu

posterior, dasar, atap, dinding lateral, dan dinding medial yang terbentuk oleh Septum Nasi.

Sementara itu, masing-masing lubang hidung membentuk muara di sebelah anterior untuk

masing-masing ronggahidung dan Choana membentuk pintu hidung di sebelah posterior. Kedua

Choana merupakan pintu-pintu bertulang yang kaku yang membentuk saluran penghubung

antara rongga-rongga hidung dan Nasopharynx. Choana memiliki arah bidang frontal kepala.

Atap rongga hidung terdiri atas 3 regio, yaitu:

- Regio Sphenoidalis

Merupakan bagian posterior atap rongga hidung yang dibentuk oleh sisi anterior dan inferior

badan os Sphenoidale.

- Regio Ethmoidalis

Merupakan atap medial yang dibentuk oleh bidang horizontal Lamina Kribroformis os.

Ethmoidale.

- Regio Fronto-Nasale

Merupakan bagian anterior yang landai, sesuai dengan permukaan inferior tulang hidung yang

landai pada jembatan hidung.

Rongga hidung diperdarahi oleh Aa. Ethmoidalis Anterior dan Posterior, A. Sphenopalatina

cabang A. Maxillaris Internus, A. Palatina Major, serta A. Labialis Superior. Vena-vena rongga

hidung yang meliputi V. Fasialis, V. Sphenopalatina, V. Ethmoidalis Anterior, dan V.

Opthalmica membentuk Plexus Cavernosus.

Selaput lendir rongga hidung dipersarafi oleh N. Olfaktorius (I) dan N. Trigeminus (V). N.

Olfaktorius merupakan saraf sensoris khusus yang mempersarafi selaput lendir atap rongga

hidung. Saraf ini dimulai dari Bulbus Olfaktorius, kemudian lintasan-lintasan olfaktorius

melewati traktus-traktus olfaktorius sampai ke otak. Pada rongga hidung juga dapat dijumpai

9

Page 10: Makalah PBL Blok 18

serabut saraf sensorik yang membawa sensasi nyeri, suhu, raba, dan tekan. Saraf tersebut adalah

N. Ethmoidalis Anterior. Terdapat pula N. Infraorbitalis yang cabang akhirnya memasuki

vestibulum hidung dari kulit yang menutupi lubang hidung. Sebagian besar selaput lendir

dinding lateral hidung dipersarafi oleh cabang menurun N. Palatinus Mayor yang berasal dari

kutub inferior ganglion Pterigopalatinum.

Pharynx 5

Pharynx merupakan sebuah pipa musculomembranosa yang membentang dari bassis cranii

sampai setinggi vertebra cervical 6 atau tepi bawah cartilago cricoidea dan melebar di bagian

superior. Di sebelah caudal dilanjutkan dengan oesophagus dan pada batas antara Pharynx

dengan Oesophagus menyempit dengan lebar sekitar 1,5 cm. Pharynx dibagi menjadi 3 bagian,

yaitu Nasopharynx (Epipharynx), Oropharynx (Mesopharynx), dan Laryngopharynx

(Hypopharynx). Batas-batas Pharynx antara lain:

Batas Cranial: bagian posterior Corpus Ossis Sphenoidalis dan Pars Basilaris

Ossis Occipitalis.

Batas Dorsal + Lateral: jaringan penyambung longgar yang menempati spatium

peripharyngeale.

Batas Ventral: Pharynx terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, dan Larynx,

sehingga dinding anterior tidak sempurna.

Batas Superior-Inferior: Lamina Medialis Processus Pterygoidei, Raphe

Pterygomandibularis, Mandibulla, lidah, os Hyoideum, cartilago thyreoidea, dan

cartilago cricoidea.

Batas Lateral: hubungan ke Cavum Tympani melalui Tuba Eustachii.

Lapisan-lapisan otot pharynx (Tunica Muscularis) terdiri atas 3 otot lingkar/sirkular, yaitu M.

Constrictor Pharyngis Inferior, M. Constrictor Pharyngis Medius, dan M. Constrictor Pharyngis

Superior, serta 3 otot yang masing-masing turun dari Processus Styloideus, Torus Tubarius, dan

Palatum Molle, yaitu M. Stylopharyngeus, M. Salpingopharyngeus, dan M. Palatopharyngeus.

M. Constrictor Pharyngis Inferior

10

Page 11: Makalah PBL Blok 18

Merupakan otot sirkular paling tebal. Terdiri atas 2 bagian otot kecil, yaitu M.

Cricopharyngeus dan M. Thyreopharyngeus. M. Cricopharyngeus melekat pada sisi

lateral cartilago cricoidea. M. Thyreopharyngeus berasal dari Linea Obliqua Lamina

Cartilaginis Thyroidei dan Cornu Inferius Cartilago Thyreoidea. Sewaktu menelan, M.

Cricopharyngeus berfungsi sphincter dan M. Thyreopharyngeus sebagai pendorong.

M. Constrictor Pharyngis Medius

Terdiri atas dua bagian otot kecil. Sebelah anterior, melekat pada Cornu Minus Ossis

Hyoidei dan bagian bawah ada Lig. Stylohyodeum sebagai M. Chondropharyngeus.

M. Constrictor Pharyngis Superior

Merupakan lembaran otot tipis. Pada bagian anteriornya melekat pada Hamulus

Pterygoideus, Raphe Pterygomandibularis, ujung dorsal Linea Mylohyoidea Ossis

Mandibulae, dan sisi Radix Linguae. Perlekatan ini membagi M Constrictor Pharyngis

Superior menjadi otot-otot yang lebih kecil, yaitu M. Pterygopharyngeus, M.

Buccopharyngeus, M. Mylopharyngeus, dan M. Glossopharyngeus.

Perdarahan pharynx berasal dari A. Pharyngea Ascendens, A. Palatina Ascendes dan Ramus

Tonsillaris cabang A. Facialis, A. Palatina Major dan A. Canalis Pterygoidei cabang A.

Maxillaris Interna, serta Rami Dorsales Linguae cabang A. Lingualis.3 Pembuluh-pembuluh

balik membentuk sebuah plexus yang ke atas berhubungan dengan plexus pterygoideus dan ke

arah bawah bermuara ke dalam V. Jugularis Interna dan V. Facialis.

Persarafan Pharynx berasal dari Plexus Pharyngeus yang dibentukoleh Rami Pharyngei N.

Glossopharyngeus, N. Vagus, dan serabut-serabut simpatik postganglioner dari Ganglion

Cervicale Superius. Saraf motorik utama Pharynx adalah Pars Cranialis N. Accessorius yang

melintasi cabang-cabang N. Vagus, mempersarafi semua otot Pharynx dan Palatum, kecuali M.

Stylopharyngeus dan M. Constrictor Pharyngis Superior yang dipersarafi oleh N.

Glossopharyngeus. M. Constrictor Pharyngis Inferior dipersarafi lewat Ramus Externus N.

Laryngeus Superior dan N. Recurrents.

Saraf sensoris utama Pharynx adalah N. Glossopharyngeus dan N. Vagus, tetapi sebagian besar

mukosa nasopharynx dipersarafi oleh N. Maxillaris lewat Ganglon Pterygopalatinum. Mukosa

11

Page 12: Makalah PBL Blok 18

Palatum Molle dan Tonsilla Palatina dipersarafi oleh Nn. Palatini Minores lewat Ganglion

Pterygopalatinumdan N. Glossopharyngeus.

Larynx 5

Larynx merupakan saluran udara yang bersifat sphincter dan juga organ pembentuk suara,

membentang antara lidah sampai trachea atau pada laki-laki dewasa setinggi vertebra cervical 3

sampai 6 , tetapi sedikit lebih tinggi pada anak-anak dan perempuan dewasa. Larynx berada di

antara pembuluh-pembuluh besar leher dan di sebelah ventral tertutup oleh kulit, fascia, otot, dan

depressor lidah. Ke arah superior, Larynx terbuka ke dalam Laryngopharynx, dinding posterior

Larynx menjadi dinding anterior Laryngopharynx. Kearah posterior, Larynx dilanjutkan sebagai

trachea.

Larynx terdiri atas cartilago thyreoidea, cartilago cricoidea, dan cartilago epiglottis, cartilago

arytaenoidea, cartilago cuneiforme, dan cartilago corniculatum. Cartilago Thyroidea merupakan

tulang rawan larynx terbesar, terdiri atas 2 lamina persegi empat yang tepi anteriornya menyatu

ke arah inferior, membentuk sebuah sudut yang menonjol yang dikenal sebagai Prominentia

Laryngea (sangat jelas terlihat pada laki-laki (jakun)). Cartilago Cricoidea berbentuk semu cincin

stempel dan membentuk bagian inferior dinding Larynx. Cartilago Arytaenoidea terletak di

posterior Larynx, sebelah superolateral Lamina Cartilago Cricoidea. Cartilago Corniculatum

terletak di sebelah posterior, dalam Plica Aryepiglottica, dan bersandar pada apex Cartilago

Arytaenoidea. Tiap sisi epiglottis dilekatkan ke masing-masing Cartilago Arytaenoidea oleh

Plica Aryepiglottica.

Otot-otot Larynx dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok ekstrinsik dan intrinsik.

Otot-otot ekstrinsik menghubungkan Larynx dengan struktur-struktur sekitar. Otot-otot

ekstrinsik meliputi M. Sternothyreoideus yang menarik Larynx ke bawah, M. Thyreohyoideus

yang menarik Larynx ke atas, dan M. Constrictor Pharyngis Inferior.

Otot-otot intrinsik mempunyai tempat lekat yang terbatas pada Larynx, yaitu M.

Cricothyreoideus, M. Cricoarytaenoideus Posterior, M. Cricoarytaenoideus Lateralis, M.

Arytaenoideus Transversus, M. Arytaenoideus Obliquus, M. Aryepiglotticus, dan M.

Thyreoarytaenoideus.

12

Page 13: Makalah PBL Blok 18

Fungsi otot-otot intrinsik Larynx dapat dibagi dalam 3 kelompok, yakni:

1. Otot-otot yang mengubah glottis

- Membuka glottis: M. Cricoarytaenoideus Posterior.

- Menutup glottis: M. Cricoarytaenoideus Lateralis, M. Arytaenoideus

Obliquus, M. Arytaenoideus Transversus, M. Thyreoarytaenoideus, M.

Cricothyreoideus.

2. Otot-otot yang mengatur ketegangan Lig. Vocale

- Menegangkan Lig. Vocale: M. Cricothyreoideus dan M.

Cricoarytaenoideus Posterior.

- Mengendurkan Lig. Vocale: M. Thyreoarytaenoideus, M. Vocalis, dan M.

Cricoarytaenoideus Lateralis.

3. Otot-otot yang mengubah Aditus Laryngeus

- Menutup Aditus Laryngis: M. Arytaenoideus Obliquus, M.

Aryepiglotticus, dan M. Thyreoarytaenoideus.

- Membuka Aditus Laryngis: M. Thyreoepiglotticus.

Perdarahan utama Larynx berasal dari cabang-cabang A. Thyreoidea Superior dan A. Thyreoidea

Inferior. Terdapat pula V. Thyreoidea Superior yang bermuara ke dalam V. Jugularis Interna dan

V. Thyreoidea Inferior yang bermuara ke dalam V. Brachiocephalica Sinistra. Persarafan Larynx

berasal dari cabang-cabang internus dan externus N. Laryngeus Superior, N. Recurrents, dan

saraf simpatis.

Diagnosis Kerja

Diagnosis kerja kasus tersebut adalah difteria yang merupakan toksikoinfeksi yang disebabkan

oleh Corynebacterium diphteriae strain penghasil toksin.

13

Page 14: Makalah PBL Blok 18

Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini menjadi 3 tingkat yaitu : 6

- Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala

hanya nyeri menelan.

- Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding belakang

rongga mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.

- Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai  dengan gejala komplikasi 

seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan anggota gerak) dan

nefritis (radang ginjal).

Penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien : 6

- Difteri hidung

Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek, kemudian sekret yang

keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran

dapat mencapai faring dan laring.

- Difteri faring dan tonsil ( Difteri Fausial )

Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat

gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin ringan tanpa pembentukan

pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita.Pada kondisi

yang lebih berat diawali dengan radang tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak

terlalu tinggi, pseudomembran awalnya hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat

meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan ada pembengkakan regional leher tampak

seperti leher sapi (bull’s neck). Dapat terjadi sakit menelan, dan suara serak serta stridor inspirasi

walaupun belum terjadi sumbatan laring.

- Difteri laring dan trakea

Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang primer. Gejala

gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat timbul sesak

nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Ada bull’s neck, laring

tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran.

Bila anak terlihat sesak dan payah sekali perlu dilakukan trakeostomi sebagai pertolongan

pertama.

- Difteri kutaneus dan vaginal

14

Page 15: Makalah PBL Blok 18

Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane

diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi justru

tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul pada daerah konjungtiva  dan umbilikus.

- Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga

Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan

cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan,

edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan

sekret purulen dan berbau.

Etiologi

Difteria berupa infeksi akut terutama pada saluran napas bagian atas disebabkan oleh C.

diphteriae yang toksigenik. Kadang-kadang kulit, konjungtiva, dan vulva dapat terinfeksi tetapi

sangat jarang sekali. Difteria kulit lebih sering dijumpai di daerah-daerah tropic. Penyakit difteria

terutama menyerang anak-anak umur kurang dari 15 tahun yang tidak diimunisasi, terutama

antara umur 1-9 tahun, tetapi mungkin pula terdapat pada orang-orang dewasa yang tidak

divaksinasi atau pada bayi-bayi baru lahir. Pada saluran pernapasan, lesi primer umum dijumpai

dalam tenggorok/nasofaring di mana tampak terbentuknya pseudomembran berwarna keabu-

abuan. Pada kasus-kasus ringan, membrane ini mungkin tidak terbentuk. Strain-strain non-

toksigenik mungkin pula membentuk membrane yang khas, hal mana menunjukkan bahwa

eksotoksin bukan merupakan penyebabnya. Kuman difteri berkembang biak pada tempat

tersebut, sedangkan eksotoksin yang dihasilkan terbawa oleh aliran darah ke jaringan tubuh

lainnya dan menimbulkan hemoragik serta nekrotik pada berbagai macam organ. 6

Genus Corynebacterium meliputi banyak sekali spesies, baik yang bersifat saprofit atau yang

patogen bagi tanaman, hewan, dan manusia. C. diphteriae merupakan satu-satunya spesies yang

pathogen pada manusia. Ketiga biotip C. diphteriae adalah gravis, mitis, dan intermedius. Nama-

nama ini diberikan berdasarkan beratnya penyakit yang ditimbulkannya. Gravis berarti

berat/parah, mitis berarti lunak/ringan, dan intermedius berarti menengah. Kini nama-nama ini

sudah tidak sesuai lagi mengingat terdapatnya strain-strain baik yang toksigenik maupun yang

tidak pada ketiga biotip tersebut, tetapi nama-nama ini masih tetap dipergunakan karena penting

15

Page 16: Makalah PBL Blok 18

dalam identifikasi seperti dalam morfologi koloni, morfologi sel, serta sifat-sifat biokimiawi

yang berguna dalam epidemiologi. 6

Kuman difteri berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 µm dan biasanya salah satu ujungnya

menggembung, sehingga berbentuk gada, tidak berspora, tidak bergerak, positif Gram, dan tidak

tahan asam. Di dalam preparat sering tampak membentuk susunan huruf V, L, Y, tulisan cina

atau anyaman pagar (palisade). Bentuk-bentuk pleomorfik sering dijumpai terutama bila kuman

dibiakkan dalam perbenihan suboptimal. Granula metakromatik Babes-Ernst dapat dilihat

dengan pewarnaan menurut Neisser atau biru metilen Loeffler. Pemeriksaan terhadap granula

metakromatik ini tidak spesifik. 6

Meskipun C. diphteriae bersifat anaerob fakultatif, pertumbuhan optimal diperoleh dalam

suasana aerob. Untuk mengasingkan dan produksi toksin kuman, diperlukan perbenihan-

perbenihan kompleks. Untuk membiakkan kuman ini dapat dipergunakan perbenihan Pai,

perbenihan serum Loeffler, atau perbenihan agar darah. Pada perbenihan serum, kuman ini

tumbuh dengan membentuk koloni-koloni kecil mengkilap berwarna putih keabu-abuan setelah

pengeraman selama 12-24 jam pada 37°C. Perbenihan serum Loeffler ini juga berguna karena

perbenihan ini tidak menunjang pertumbuhan Streptokokus dan Pneumokokus yang mungkin

terdapat di dalam bahan pemeriksaan. 6

Penambahan garam-garam telurit ke dalam perbenihan seperti perbenihan agar darah telurit dan

perbenihan McLeod, akan mengurangi jumlah pencemaran pada waktu pengasingan, dan juga

menyebabkan koloni-koloni kuman difteri berwarna hitam/hitam kelabu. Sifat-sifat ini dapat

dipakai untuk membantu diferensiasi ketiga biotip kuman difteri tersebut. Pada perbenihan-

perbenihan ini, tipe mitis bersifat hemolitik, sedangkan tipe-tipe gravis dan intermedius tidak.

Dalam perbenihan kaldu, tipe gravis cenderung untuk membentuk selaput (pellicle) pada

permukaan perbenihan, tipe mitis tumbuh merata (difus), sedangkan tipe intermedius akan

membentuk suatu endapan (sedimen). Asam tanpa gas dibentuk dari berbagai karbohidrat. 6

Dibandingkan dengan kuman-kuman lain yang tak berspora, C. diphteriae lebih tahan terhadap

pengaruh cahaya, pengeringan, dan pembekuan. Dalam pseudomembran kering, tahan selama 14

hari, tetapi dalam air mendidih hanya tahan selama 1 menit, dan pada 58°C tahan selama 10

menit. Kuman ini mudah dimatikan oleh desinfektan. 6

16

Page 17: Makalah PBL Blok 18

Secara imunologik, semua toksin difteri adalah identik, tetapi kumannya sendiri secara antigenic

merupakan spesies heterogen. Ketiga tipe (gravis, mitis, intermedius) menunjukkan adanya

perbedaan-perbedaan pada permukaan sel kuman. Perbedaan dalam komponen-komponen

permukaan sel dapat juga diketahui dengan bacteriophaga typing dan pembentukan bakteriosin. 6

Antigen yang erat kaitannya dengan spesifisitas tipe dari strain-strain C. diphteriae adalah

antigen K yang berupa protein termolabil dan terdapat pada permukaan dinding sel kuman.

Antigen ini berperan penting dalam imunitas anti bakteri dan hipersensitivitas, tetapi tidak ada

hubungannya dengan imunitas anti-toksin. Antigen K bersama-sama dengan glikolipid

merupakan penentu-penentu utama dalam kemampuan invasi dan virulensi kuman difteri.

Antigen O (suatu polisakarida) yang termostabil merupakan antigen grup yang umum dijumpai

pada Corynebacteria yang bersifat parasit bagi manusia dan hewan. Selain antigen K, kuman

difteri juga memiliki cord factor berupa glikolipid yang merupakan penunjang virulensi kuman.

Aktivitas cord factor C. diphteriae ini mirip dengan cord factor yang terdapat pada M.

tuberculosis. 6

Pada difteria, eksotoksin yang dihasilkan oleh C. diphteriae merupakan penentu biokimia utama

dalam pathogenesis infeksi. Toksin hanya dibentuk oleh strain-strain C. diphteriae yang

lisogenik bagi bakteriofaga yang membawa gen toks (tox gene). Meskipun demikian, strain-

strain non-toksigenik dapat dijadikan toksigenik dan lisogenik bila diinfeksi memakai Tox +

bakteriofaga yang sesuai. Toksin dihasilkan sebelum partikel-partikel faga dibentuk, dan tidak

dibentuk lagi apabila sel mengalami lisis. Pembentukan toksin secara in vitro sangat dipengaruhi

oleh keadaan lingkungan, terutama kadar Fe inorganic dalam perbenihan. Strain yang

dipergunakan untuk pembuatan toksin guna keperluan komersial adalah strain Park Williams 8

yang mampu tumbuh dan membentuk toksin dalam perbenihan yang mengandung kadar Fe yang

sangat rendah. 6

Toksin difteri berupa rantai tunggal polipeptida dengan berat molekul kira-kira 62.000. toksin ini

terdiri dari 2 fragmen, fragmen A dan B, dengan BM masing-masing 24.000 dan 38.000. kedua

fragmen ini diperlukan dalam efek toksin pada hewan dan sel-sel biakan jaringan. Hewan

berbeda-beda dalam kepekaanya terhadap toksin difteri. Toksin ini letal bagi manusia, kelinci,

marmot, dan burung dalam dosis 160 nanogram/kg BB. 6

17

Page 18: Makalah PBL Blok 18

Epidemiologi

Difteria terdapat di seluruh dunia dan sering terdapat dalam bentuk wabah. Imunisasi

aktif anak-anak pra sekolah sangat menurunkan kejadian penyakit ini. Penyakit ini terutama

menyerang anak-anak usia 1-9 tahun. Manusia merupakan satu-satunya hospes alam, dan

karenanya merupakan satu-satunya reservoir penting dari infeksi. Kuman – kuman difteri

menghuni saluran pernapasan bagian atas dan dari sini dapat menyebar ke orang lain melalui

droplet. Dalam klinik, luka-luka pasca bedah kadang-kadang dapat terinfeksi oleh kuman ini.

Discharge ekstra respiratorik seperti yang berasal dari ulkus pada kulit dapat juga menjadi

sumber infeksi faringeal. Penularan melalui susu yang terkontaminasi dan pengurus makanan

yang terkontaminasi telah terbukti atau dicurigai.5

Pada tahun 1920, lebih dari 125.000 kasus dan 10.000 kematian karena difteria

dilaporkan setiap tahun di Amerika Serikat, dengan angka kematian tertinggi pada penderita

yang amat muda dan yang lebih tua. Dari tahun 1921-1924, difteri merupakan penyebab utama

kematian pada anak-anak kanada umur 2-14 tahun. Insidennya mulai turun, dan dengan

penggunaan toksoid difteri yang luas di Amerika Serikat sesudah perang dunia II, insiden ini

menurun secara mantap dengan pengurangan dramatis pada akhir tahun 1970. Sejak saat tersebut

hanya ada kasus nol sampai 5 pertahun dan tidak ada epidemik difteri saluran pernapasan.

Penurunan yang serupa ditemukan di Eropa. Walaupun insiden penyakit turun di selurih dunia,

difteri tetap endemik di banyak negara berkembang. Insiden difteri yang bertahan rendah dan

tingkat vaksinasi anak tinggi menyebabkan para pakar menetapkan tujuan sasaran pelenyapan

difteri pada orang-orang berumur 25 tahun atau sebelumnya di Amerika Serikat pada tahun

2000.5

Bila difteria merupakan endemic, ia terutama mengenai anak berumur 15 tahun, tetapi

epidemiologi sekarang telah bergeser ke dewasa yang kurang terpajang secara alamiah terhadap

C. diphtheria bertoksin pada zaman vaksin dan mempunyai jangka injeksi booster rendah.5

Patofisiologi

Difteri merupakan penyakit infeksi yang akut dengan masa inkubasi 1-7 hari yang disebabkan

oleh strain C. diphteriae yang toksigenik. Toksin yang dibuat pada lesi local diabsorpsi oleh

18

Page 19: Makalah PBL Blok 18

darah dan diangkut ke bagian tubuh yang lain, tetapi efek toksin yang paling utama ialah

meliputi jantung dan saraf perifer. Jalan masuk infeksi yang umum untuk C. diphteriae adalah

saluran napas bagian atas, di mana organism berkembang biak pada lapisan superficial pada

selaput lendir. C. diphteriae biasanya tetap pada lapisan superficial lesi kulit atau mukosa

pernapasan, menginduksi reaksi radang local. Di sana, eksotoksinnya diuraikan, menyebabkan

nekrosis pada jaringan sekitarnya. Virulensi utama organism terletak pada kemampuannya

menghasilkan eksotoksin polipeptida 62-KD kuat, yang menghambat sintesis protein dan

menyebabkan nekrosis jaringan local. Respons dari peradangan membentuk suatu

pseudomembran berwarna keabuan yang terdiri dari bakteri, sel-sel epitel yang mengalami

nekrotik, sel-sel fagosit, dan fibrin. Mula-mula membran tersebut tampak pada tonsil atau pada

bagian posterior faring dan bisa menyebar ke atas ke bagian palatum yang lunak dan keras dan

ke nasofaring, atau ke bagian bawah ke laring dan trakea. Pengambilan specimen dari daerah

yang dilapisi pseudomembran ini sukar dan menampakkan perdarahan edema submukosa.

Paralisis palatum dan hipofaring merupakan pengaruh toksin local awal. Penyerapan toksin dapat

menyebabkan nekrosis tubulus ginjal, trombositopenia, miokardiopati, dan demielinasi saraf. 7

Difteria laryngeal sangat berbahaya sebab kemungkinan terjadi sumbatan pada saluran napas.

Difteria kulit biasa ditemukan di daerah tropic. Di Amerika Utara, luka kulit yang juga

memberikan hasil C. diphteriae positif biasanya merupakan infeksi-infeksi sekunder pada luka

gores atau pada gigitan serangga, di mana juga mengandung Streptococcus beta hemolyticus atau

Staphylococcus aureus atau keduanya. 7

Luka difteria juga terjadi pada bagian depan lubang hidung, bagian dalam hidung, mulut, mata,

telinga tengah, dan pada kasus-kasus yang jarang, pada vagina. Endokarditis yang disebabkan

oleh C. diphteriae yang toksik dan nontoksik juga sudah pernah dilaporkan. Beberapa

Corynebacteria, seperti C. pseudodiphteriticum, C. hofmannii, C. xerosis, C. pyogenes, dan C.

ulcerans, biasa disebut difteroid. Kuman ini merupakan flora normal pada selaput mukosa

saluran pernapasan, saluran kencing, dan konjungtiva, kadang-kadang bisa juga menyebabkan

penyakit. Sejumlah difteroid menyebabkan penyakit pada hewan, tetapi jarang menyerang

manusia. 7

Difteroid yang anaerob (Propionibacterium acnes) biasa terdapat pada kulit yang normal, dan

sering dapat ikut berperan pada patogenitas jerawat. Beberapa Corynebacteria bisa menjadi

19

Page 20: Makalah PBL Blok 18

oportunis dan menghasilkan atau menyebabkan bakteremia disertai angka kematian yang tinggi

(C. xerosis, C. equi, C. matruchotii, dan C. pseudodiphteriticum) pada pasien-pasien yang

imunosupresif. C. minutissimum merupakan penyebab eritrasma, suatu infeksi superficial pada

daerah-daerah ketiak dan pubis. 7

Status kebal seseorang merupakan penentu utama apakah penyakit akan timbul atau tidak setelah

invasi oleh kuman difteri. Imunitas terhadap difteria terutama tergantung pada adanya antitoksin

dalam tubuh. Antitoksin ini dibentuk sebagai respon terhadap infeksi baik klinik maupun

subklinik, atau sebagai akibat imunisasi aktif buatan. Antitoksin ini dapat dipindahkan secara

alamiah, misalnya secara transplasental dalam uterus, atau secara buatan seperti pada transfuse.

Imunisasi bayi dan anak prasekolah sangat menurunkan insiden difteria pada anak-anak, dan

juga menyebabkan menurunnya jumlah karier. Kekebalan seseorang terhadap toksin difteria

dapat diketahui dengan melakukan reaksi Schick. 7

Reaksi Schick dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml toksin difteria 1/50 M.L.D. secara

intrakutan pada lengan bagian voler. Sebagai kontrol, dilakukan penyuntikan serupa dengan

toksin yang telah dipanaskan terlebih dahulu 60°C selama 30 menit untuk menghilangkan

aktivitas toksinnya. Reaksi positif ditandai dengan timbulnya reaksi inflamasi setempat yang

mencapai intensitas maksimum dalam 4-7 hari, untuk selanjutnya menghilang secara perlahan-

lahan. Reaksi positif menunjukkan tidak adanya imunitas terhadap toksin difteri. Reaksi negative

menunjukkan bahwa kadar antitoksin dalam darah sudah lebih dari 0,03 unit/ml dan berarti

bahwa orang tersebut kebal terhadap difteria. Reaksi alergi kadang-kadang dijumpai pada orang

dewasa dan anak-anak menjelang dewasa, terutama di daerah di mana difteria bersifat endemik. 7

Manifestasi Klinis

Fokus infeksi primer difteri adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan hidung dan laring dua

tempat berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda

dan gejala-gejala radang local. Demam jarang lebih tinggi dari 39°C. Infeksi nares anterior (lebih

sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan

membran. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. 7

Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum, tetapi hanya

setengah penderita menderita demam, dan lebih sedikit yang menderita disfagia, serak, malaise,

20

Page 21: Makalah PBL Blok 18

atau nyeri kepala. Infeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil unilateral

atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring

posterior, hipofaring, dan daerah glottis. Udem jaringan lunak di bawahnya dan dan pembesaran

limfonodi dapat menyebabkan gambaran ‘bull neck’. Tingkat perluasan local berkorelasi secara

langsung dengan kelemahan yang berat, gambaran bull neck, dan kematian karena gangguan

jalan napas atau komplikasi yang diperantarai toksin. 7

Membrane pelekat seperti kulit meluas ke posterior daerah tenggorok, relative tidak panas, dan

disfagia membantu membedakan difteri dari faringitis eksudat karena Streptococcus pyogenes

dan virus Epstein-Barr. Angina Vincent, flebitis infektif dan thrombosis vena jugularis, serta

mukositis pada penderita yang mengalami kemoterapi kanker biasanya dibedakan oleh keadaan

klinis. Infeksi laring, trakea, dan bronkus dapat merupakan perluasan primer atau sekunder dari

infeksi faring. Parau, stridor, dispnea, dan batuk radang tenggorok (croup), merupakan kunci.

Perbedaan dari epiglotis bakteri, laringotrakeitis virus berat, dan trakeitis staphylococcus

sebagian berhubungan relative kecil dengan tanda-tanda dan gejala-gejala pada penderita dengan

difteri, dan terutama pada visualisasi perlekatan pseudomembran pada saat laringoskopi dan

intubasi. 7

Penderita dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena udem jaringan lunak dan

penyumbatan lepas epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pembuatan saluran napas

buatan dan pemotongan psudomembran menyelamatkan jiwa, tetapi sering ada komplikasi

obstruktif lebih lanjut, dan komplikasi toksik sistemik tidak dapat dihindarkan. C. diphteriae

kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada tempat-tempat lain, seperti telinga (otitis

eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan ulseratif), dan saluran genital (vulvovaginitis

purulenta dan ulseratif). Wujud klinis, ulserasi, pembentukan membrane, dan perdarahan

submukosa membantu membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus lain. 7

Diagnosa Banding

Abses retrofaring

21

Page 22: Makalah PBL Blok 18

Abses retrofaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di ruang retrofaring. Biasanya pada

anak 3 bulan-5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe. 8

Kuman penyebab infeksi biasanya merupakan campuran aerob dan anaerob. Sumber infeksi

berasal dari infeksi akut saluran napas atas yang secara langsung atau secara limfogen

menyebabkan infeksi kelenjar limfe retrofaring, trauma benda asing, atau tuberkulosis cervikal. 8

Demam, leher kaku, nyeri dan sukar menelan. Posisi kepala hiperekstensi dan miring ke arah

yang sehat. Anak kecil akan menangis terus dan tidak mau makan atau minum. Dapat timbul

sesak napas, stridor, dan perubahan suara. Pada dinding belakang faring tampak benjolan

hiperemis yang teraba lunak. 8

Abses peritonsilar

Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari

kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman

penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan

dewasa muda. 8

Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob.

Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus

pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus

influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella,

Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses

peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik. 8

Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeru menelan) yang hebat,

biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau

(foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar

membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. 8

Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in neck

mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot tengkuk (cervical muscle

inflammation). 8

22

Page 23: Makalah PBL Blok 18

Prosedur diagnosis dengan melakukan aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat aspiration

dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran 16–

18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah

(purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan. 8

Penatalaksanaan

Antitoksin

Antitoksin spesifik merupakan terapi utama dan harus diberikan atas dasar diagnosis klinis,

karena ia hanya menetralisasi toksin bebas. Antitoksin difteri yang sekarang ini tersedia adalah

preparat dari serum kuda. Antitoksin diberikan sekali dengan dosis empiris didasarkan pada

derajat toksisitas, tempat dan ukuran membran, serta lama sakit. Kebanyakan pakar lebih

menyukai lewat intravena, dengan infuse di atas 30-60 menit. Antitoksin mungkin tidak

bermanfaat untuk manifestasi local difteri kulit, tetapi penggunaannya hati-hati karena dapat

terjadi sekuele toksik. 8

Sebanyak 10% individu sebelumnya menderita hipersensitivitas terhadap protein kuda, bahkan

penderita yang sangat sakit pun harus diuji sebelum diinfus antitoksin. Uji intradermal yang

digunakan adalah 0,02 mL antitoksin yang dilarutkan dalam garam fisiologis 1 : 100 atau

antitoksin yang dilarutkan dalam garam fisiologis 1 : 1000 jika individu tersebut memiliki

riwayat alergi binatang atau terpajan sebelumnya oleh serum binatang. Reaksi segera ditentukan

sebagai indurasi dengan eritema sekitarnya sekurang-kurangnya 3 mm lebih besar daripada uji

control negative, dibaca pada 15 sampai 20 menit. Desensitisasi dilakukan pada mereka yang

menunjukkan reaksi segera menurut protocol yang dianjurkan oleh American Academy of

Pediatrics dengan dosis berturut-turut setiap 15 menit. 8

Untuk mereka dengan hasil uji negative, dosis awal 0,5 mL antitoksin diencerkan dalam 10 mL

garam fisiologis atau larutan glukosa 5% diberikan selambat mungkin dengan pengamatan 30

menit; sisanya kemudian dilarutkan 1 : 20 dan diberikan pada kecepatan tidak melebihi 1

mL/menit. 8

Antibiotik

23

Page 24: Makalah PBL Blok 18

Terapi antibiotik terindikasi untuk menghentikan produksi toksin, mengobati infeksi yang

terlokalisasi, dan mencegah penularan organism pada kontak C. diphteriae biasanya rentan

terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampin, dan

tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah

digunakan secara luas. Antibioik yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Eritromisin

sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring. Terapi yang

tepat adalah eritromisin yang diberikan secara oral atau parenteral (40-50 mg/kg/24 jam;

maksimum 2 g/24 jam), penisilin G Kristal aqua diberikan secara intramuskuler atau intravena

(100.000 – 150.000 U/kg/24 jam; dibagi dalam 4 dosis), atau penisilin prokain (25.000 – 50.000

U/kg/24 jam; dibagi dua dosis) diberikan secara intramuskuler. Terapi antibiotik bukan

pengganti terapi antitoksin. Terapi diberikan selama 14 hari. Terapi diberikan selama 14 hari.

Hilangnya organism harus dipantau sekurang-kurangnya 2 biakan berturut-turut dari hidung dan

tenggorokan (atau kulit) yang diambil dengan interval 24 jam setelah selesai terapi. Pengobatan

dengan eritromisin diulangi jika hasil biakan positif. 8

Terapi Lainnya

Penderita dengan difteri faring ditempatkan dalam isolasi yang ketat, dan penderita dengan

difteri kulit ditempatkan pada isolasi kontak sampai biakan yang diambil sesudah penghentian

terapi menunjukkan hasil negative. Luka kulit dibersihkan menyeluruh dengan dengan sabun dan

air. Tirah baring sangat penting pada fase akut penyakit, dengan pengembalian aktivitas fisik

berpedoman pada tingkat toksisitas dan keterlibatan jantung. Komplikasi penyumbatan jalan

napas dan aspirasi harus secara agresif dicegah pada penderita difteria orofaring dan laring,

dengan pembentukan jalan napas artificial terlebih dahulu. Gagal jantung kongestif dan

malnutrisi harus dipikirkan dan dicegah. Trakeostomi apabila terdapat sumbatan saluran nafas. 8

Komplikasi

Neuropati toksik

24

Page 25: Makalah PBL Blok 18

Komplikasi neurologis parallel dengan luasnya infeksi primer dan pada mulalinya yang

multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang orofaring, sering terjadi hipestesia

dan paralisis local palatum molle. Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior

dapat menyertai, menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan risiko kematian karena

aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan paralisis okulomotor

dan paralisis siliaris, yang Nampak sebagai strabismus, pandangan kabur, atau kesukaran

akomodasi. Polineuropati simetris mulainya 10 hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring

dan terutama menyebabkan difisit motor dengan hilangnya reflex tendon dalam. Kelemahan otot

proksimal tungkai menyebar ke distal, dan lebih sering kelemahan distal yang menyebar kearah

proksimal. Paralisis diafragma dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. Dua atau

3 minggu sesudah mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat

menyebabkan hipotensi atau gagal jantung. 8

Miokardiopati toksik

Miokardiopati toksik terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan menyebabkan 50-

60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara dapat terdeteksi pada kebanyakan

penderita, terutama pada anak yang lebih tua, tetapi risiko komplikasi yang berarti berkorelasi

secara langsung dengan luasnya dan keparahan penyakit orofaring local eksudatif dan penundaan

pemberian antitoksin. 8

Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3 sakit ketika penyakit

faring membaik, tetapi dapat muncul secara akut seawal 1 minggu bila berkemungkinan hasil

akhirnya meninggal, atau secara tersembunyi lambat sampai sakit minggu ke-6. Takikardi di luar

proporsi demam lazim dan dapat merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi

system saraf autonom. Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T pada

EKG relative merupakan tanda lazim. 8

Prognosis

25

Page 26: Makalah PBL Blok 18

Prognosis untuk penderita difteri tergantung pada virulensi organism (subspecies gravis

mempunya mortalitas tertinggi), umur, status imunisasi, tempat infeksi, dan kecepatan pemberian

antitoksin. Penyumbatan mekanik karena difteri laring atau difteri bull neck dan komplikasi

miokarditis menyebabkan mortalitas karena difteria yang paling besar. Mortalitas hampir 10%

untuk difteri saluran pernapasan. Pada penyembuhan, pemberian toksoid difteri terindikasi untuk

menyempurnakan dosis imunisasi booster, karena tidak semua penderita mengembangkan

antibodi pascainfeksi.8

Pencegahan

Imunisasi aktif dengan toksoid merupakan cara pencegahan terbaik. Imunisasi pertama dilakukan

pada bayi berumur antara 2-3 bulan, biasanya berupa 2 dosis APT (alum precipitated toxoid)

dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis, yang diberikan dengan interval 2, 4,

dan 6 bulan. Dosis booster diberikan usia 18 dan 24 bulan, serta pada anak sekolah berumur 5

tahun. 8

Imunisasi pasif dengan menggunakan antitoksin berkekuatan 1.000 - 3.000 unit dapat diberikan

kepada orang tidak kebal yang sering berhubungan dengan kuman-kuman virulen. Oleh karena

proteksi semacam ini berlangsung sebentar dan pemberian antitoksin ini dapat menimbulkan

hipersensitivitas atau timbul reaksi anafilaktik pada orang yang sebelumnya pernah kontak

dengan protein asing, maka penggunaannya harus dibatasi pada keadaan-keadaan yang memang

sangat gawat. 8

Kesimpulan

Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini  

disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae yang menghasilkan toksin, yaitu

kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara

hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan

dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui

batuk dan bersin penderita. Gejala klinik yang paling khas dari difteri adalah adanya

pseudomembran, demam ringan, dan adanya eksotoksin dari Corynebacterium diphtheria.

Difteri dapat diobati dengan pemberian antitoksin maupun antibiotic. Komplikasi dari difteri

dapat berupa miokardiopati toksik maupun neuropati toksik. Prognosis buruk apabila terjadi

26

Page 27: Makalah PBL Blok 18

gagal nafas maupun komplikasi miokardiopati toksik. Pencegahan difteri dapat dilaksanakan

dengan imunisasi DPT dengan total 5x pemberian.

Daftar Pustaka

1. Gleadle, Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta :Erlangga, 2007.h.1-

17.

2. Rudolph AM, Hoffman JIE. Pediatri. Jakarta : EGC, 2010. h. 635-39.

3. Mansjoer A, Triyanti K. Kapita selekta kedokteran. Jakarta : Universitas Indonesia,

2000.h.119.

4. Syahrurachman A. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta : Universitas Indonesia, 2010.h. 156.

5. Berhman RE, Kliegman RM. Nelson esensi pediatric. Jakarta : EGC, 2010.h.556.

6. Robbins, Cotran. Dasar patologis penyakit. Jakarta : EGC, 2009. h. 222.

7. Sudoyo AR. Ilmu penyakit dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, 2009.h.

2956.

8. Latief A. Ilmu kesehatan anak. Jakarta : Infomedika, 2007.h. 555.

27