PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

48
1 Tuberkulosis Anak Adnan Firdaus/102012105/D3 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta Jalan Terusan Arjuna No. 6 Kebon Jeruk Jakarta Barat [email protected]/[email protected] Pendahuluan Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan yang sudah sangat tua, bahkan lebih tua daripada sejarah manusia. Gambaran adanya TB telah terekam sejak zaman dahulu, misalnya dalam salah satu tokoh cerita terkenal karya sastrawan besar Victor Hugo, yaitu The Hunchback of Notre Dame. Bahkan adanya TB juga dapat ditelusuri dari peninggalan Mesir kuno. Di dalam piramid Mesir ditemukan gambar relief dinding yang menggambarkan manusia bongkok dengan gambaran gibbus, yang kemudian membesar karena spondilitis TB. Kemudian terbukti ditemukan kuman Mycobacterium tuberculosis pada sebagian mummi Mesir. Ternyata sejarah kuman TB lebih tua daripada sejarah Mesir kuno. Pada penelitian artefak purba ditemukan jejak kuman TB dan pada sebagian fosil dinosaurus ternyata juga ditemukan kuman TB. 1 Dunia medis baru mengenal sosok kuman TB setelah Robert Koch berhasil mengidentifikasinya pada abad ke-19, yaitu pada tanggal 24 Maret 1882 yang kemudian diperingati sebagai Hari TB Dunia. Hingga saat ini TB masih tetap merupakan masalah kesehatan dan Universitas Kristen Krida Wacana

description

Makalah Blok 18 Respiratory

Transcript of PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

Page 1: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

1

Tuberkulosis Anak

Adnan Firdaus/102012105/D3

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta

Jalan Terusan Arjuna No. 6 Kebon Jeruk Jakarta Barat

[email protected]/[email protected]

Pendahuluan

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan yang sudah sangat tua, bahkan lebih tua

daripada sejarah manusia. Gambaran adanya TB telah terekam sejak zaman dahulu, misalnya

dalam salah satu tokoh cerita terkenal karya sastrawan besar Victor Hugo, yaitu The Hunchback

of Notre Dame. Bahkan adanya TB juga dapat ditelusuri dari peninggalan Mesir kuno. Di dalam

piramid Mesir ditemukan gambar relief dinding yang menggambarkan manusia bongkok dengan

gambaran gibbus, yang kemudian membesar karena spondilitis TB. Kemudian terbukti

ditemukan kuman Mycobacterium tuberculosis pada sebagian mummi Mesir. Ternyata sejarah

kuman TB lebih tua daripada sejarah Mesir kuno. Pada penelitian artefak purba ditemukan jejak

kuman TB dan pada sebagian fosil dinosaurus ternyata juga ditemukan kuman TB.1

Dunia medis baru mengenal sosok kuman TB setelah Robert Koch berhasil

mengidentifikasinya pada abad ke-19, yaitu pada tanggal 24 Maret 1882 yang kemudian

diperingati sebagai Hari TB Dunia. Hingga saat ini TB masih tetap merupakan masalah

kesehatan dan justru semakin berbahaya, sehingga disebut sebagai the re-emerging disease.1

Sepanjang dasawarsa terakhir abad ke-20 jumlah kasus baru TB meningkat di seluruh

dunia, 95% kasus terjadi di negara berkembang. Di Indonesia, TB juga masih merupakan

masalah yang menonjol. Bahkan secara global, Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai

penyumbang kasus terbanyak di dunia.1

Skenario Kasus

Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun dibawa ke puskesmas dengan keluhan batuk yang

tidak kunjung sembuh sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan disertai demam ringan terutama malam

hari, nafsu makan dan berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik didapati KU tampak sakit

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 2: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

2

ringan, kesadaran compos mentis, BB 15 kg, TD 90/60 mmHg, frekuensi napas 24 x/menit, suhu

37,7ºC, KGB servikal teraba 1,5 cm, kenyal, bilateral dan multiple. Lain-lainnya dalam batas

normal.

Anamnesis

1. Keluhan utama.

2. Riwayat penyakit sekarang.

3. Riwayat penyakit dahulu.

4. Riwayat penyakit keluarga.

5. Riwayat pemakaian obat.

6. Riwayat status sosial dan lingkungan.

Pemeriksaan Fisik

Dari pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan adalah:

1. KU tampak sakit ringan.

2. Kesadaran compos mentis.

3. Berat badan 15 kg.

4. Tanda-Tanda Vital (TTV): Tekanan darah: 90/60 mmHg, frekuensi napas: 24 x/menit, suhu:

37,7ºC.

5. Kelenjar getah bening (KGB) servikal teraba 1,5 cm, kenyal, bilateral dan multiple.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah:

1. Uji Tuberkulin

Uji tuberkulin merupakan alat diagnosis TB yang sudah sangat lama dikenal, tetapi

hingga saat ini masih mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terutama pada anak, dengan

sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini

adalah PPD RT-23 2TU (tuberculin unit) buatan Statens Serum Institute Denmark, dan PPD

(purified protein derivative) dari Biofarma.1

Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23

atau PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 3: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

3

72 jam setelah penyuntikan. Pengkuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan

hiperemi/eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi

indurasi, ditandai dengan pulpen, kemudian diameter transversal indurasi diukur dengan alat

pengukur transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi

sama sekali, hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm, jangan hanya dilaporkan sebagai negatif.

Selain ukuran indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika ditemukan

vesikel hingga bula.1

Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi >10 mm dinyatakan

positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh

infeksi TB alamiah, tetapi masih dapat mungkin disebabkan oleh imunisasi Bacille Calmette

Guerin (BCG) atau infeksi M. atipik. Pengaruh BCG terhadap reaksi positif tuberkulin

secara bertahap akan semakin berkurang dengan berjalannya waktu, dan paling lama

berlangsung hingga 5 tahun setelah penyuntikan.1

Pada anak balita yang telah mendapatkan BCG, diameter indurasi 10-15 mm

dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi

masih dapat mungkin disebabkan oleh BCGnya. Akan tetapi, bila ukuran indurasi >15 mm,

hasil positif ini sangat mungkin karena infeksi TB alamiah. Jika membaca hasil tuberkulin

pada anak berusia lebih dari 5 tahun, faktor BCG dapat diabaikan.1

Apabila diameter indurasi 0-4 mm, dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9

mm dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan oleh kesalahan teknis, keadaan

anergi, atau reaksi silang dengan M. atipik. Bila mendapatkan hasil yang meragukan, uji

tuberkulin dapat diulang. Untuk menghindari efek booster tuberkulin, ulangan dilakukan 2

minggu kemudian dan penyuntikan dilakukan di lokasi yang lain, minimal berjarak 2 cm.1

Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut:

1. Infeksi TB alamiah, infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten), infeksi TB dan sakit TB,

TB yang telah sembuh.

2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan).

3. Infeksi mikobakterium atipik.

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 4: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

4

Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut:

1. Tidak ada infeksi TB.

2. Dalam masa inkubasi infeksi TB.

3. Anergi.

Anergi adalah keadaan penekanan sitem imun oleh berbagai keadaan, sehingga tubuh

tidak memberikan reaksi terhadap tuberkulin walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB.

Beberapa keadaan dapat menimbulkan alergi, misalnya gizi buruk, keganasan, penggunaan

steroid jangka panjang, sitostatik, penyakit morbili, pertusis, varisela, influenza, TB yang

berat, serta pemberian vaksinasi dengan vaksin viru yang hidup. Yang dimaksud dengan

influenza adalah infeksi oleh virus influenza, bukan batuk pilek panas biasa, yang umumnya

disebabkan oleh rhinovirus dan disebut sebagai selesma (common cold).1

Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik

yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB,

maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Ini terjadi karena vasodilatasi

lokal, edema, endapan fibrin dan terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan.1

Tabel 1. Klasifikasi Individu Berdasarkan Status Tuberkulosisnya

Sumber: CDC & American Thoracic Society (ATS)1,2

Kelas TB Kontak Infeksi Sakit Tindakan

0 - - - -

1 + - - Profilaksis I

2 + + - Profilaksis II

3 + + + Terapi

Keterangan:

Kelas 0: seseorang atau sekelompok orang yang tidak mengalami kontak dengan pasien

TB paru dewasa aktif, tentu tidak terinfeksi TB, dan tidak sakit TB.

Kelas 1: orang/anak yang sedang mengalami kontak dengan pasien TB paru dewasa aktif,

namun tidak/belum terinfeksi TB, dan tentu tidak sakit TB.

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 5: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

5

Kelas 2: orang/anak yang sedang mengalami kontak dengan pasien TB paru dewasa aktif,

telah terinfeksi TB, namun tidak sakit TB.

Kelas 3: orang/anak yang sedang mengalami kontak dengan pasien TB paru dewasa aktif,

telah terinfeksi TB, dan sakit TB.

2. Uji Interferon

Telah dikembangkan suatu pemeriksaan imunitas selular yang lebih praktis yaitu

dengan memeriksa spesimen darah, dan diharapkan dapat membedakan infeksi TB dan

sakit TB. Pemeriksaan yang dimaksud adalah uji interferon (interferon gamma release

assay, IGRA). Terdapat dua jenis IGRA, pertama adalah inkubasi darah dengan early

secretory antigenic target-6 (ESAT-6) dan culture filtrate protein-10 (CFP-10) dengan

nama dagang QFT/QFT-G (Quantiferon TB dan Quantiferon TB Gold). Kedua adalah

pemeriksaan enzyme linked immunospot dengan nama dagang T-spot TB.1

Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen tertentu,

diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumnya limfosit T tersebut telah

tersensitisasi dengan antigen TB (pasien telah mengalami infeksi TB), maka limfosit T

akan menghasilkan interferon gamma, yang kemudian dikalkulasi. Dari hasil kalkukasi

tadi diharapkan dapat dilakukan penentuan cut-off point yang membedakan infeksi

dengan sakit TB. Antigen yang digunakan untuk uji ini adalah ESAT-6 dan CFP-10.

Akan tetapi, uji klinis menunjukkan bahwa QFT TB memiliki sensitivitas dan spesifitas

yang tidak terlalu baik, terlebih untuk pasien anak. Kemudian dikembangkan uji QFT-

G, hanya saja jumlah penelitian yang menyatakan efektivitas pemeriksaan ini pada anak

usia <17 tahun masih terbatas. Sejauh ini hasilnya juga belum menggembirakan,

sehingga harapan untuk dapat membedakan infeksi TB dengan sakit TB belum dapat

dicapai.1

Selain itu, pemeriksaan imunitas selular lain dengan spesimen darah, yaitu

enzyme-linked immunospot interferon gamma untuk TB (ELISpoT TB). Pemeriksaan

ini dapat membedakan antara hasil positif yang disebabkan oleh infeksi M. tuberculosis,

oleh BCG, dan oleh infeksi M. atipik. Akan tetapi, pemeriksaan tersebut hingga saat ini

belum dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.1

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 6: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

6

3. Radiologi

Gambaran foto toraks pada TB anak tidak khas, kelainan-kelainan

radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya, foto toraks

yang normal (tidak terdeteksi secara radiologis) tidak dapat menyingkirkan

diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan penunjang lain mendukung. Dengan

demikian, pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis

TB, kecuali gambaran milier. Ciri khas TB paru pada anak adalah limfadenitis hilus

yang relatif besar dan penting dibandingkan dengan fokus parenkim awal dengan

ukuran yang kurang, dulu dikenal sebagai kompleks Ghon (dengan atau tanpa

kalsifikasi dari kelenjar limfe). Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif

TB adalah sebagai berikut:1

a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat.

b. Konsolidasi segmental/lobar.

c. Milier.

d. Kalsifikasi dengan infiltrat.

e. Atelektasis.

f. Kavitas.

g. Efusi pleura.

h. Tuberkuloma.

Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi harus

disertai dengan foto lateral, mengingat bahwa pembesaran KGB di daerah hilus biasanya

lebih jelas pada foto lateral. Sebagai pegangan umum, jika ditemui ketidaksesuaian

(diskongruensi) antara gambaran radiologis yang berat dan gambaran klinis ringan, maka

harus dicurigai TB. Pada keadaan foto toraks tidak jelas, bila perlu dilakukan pemeriksaan

pencitraan lain seperti CT-Scan toraks.1

4. Serologi

Pada awalnya pemeriksaan serologis diharapkan dapat membedakan antara

infeksi TB dan sakit TB. Berbagai penelitian dan pengembangan pemeriksaan

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 7: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

7

imunologik antigen-antibodi spesifik untuk M. tuberculosis ELISA dengan

menggunakan PPD, A60, 38kDa, lipoarabinomanan (LAM) dengan bahan

pemeriksaan dari darah, sputum, cairan bronkus (bronkus dan bronchoalveolar

lavage, BAL), cairan pleura, dan CSS terus dilakukan. Juga yang belakangan ini

diteliti adalah deteksi anti-interferon-gamma-autoantibody (anti IFN-ɡ). Beberapa

pemeriksaan serologis yang ada diantaranya adalah PAP TB, Mycodot,

immunochromatographic test (ICT) dan lain-lain. Akan tetapi, hingga saat ini

belum ada satu pun pemeriksaan serologis yang dapat memenuhi harapan itu.

Semua pemeriksaan tersebut umumnya masih dalam taraf penelitian untuk

pemakaian klinis praktis.1

5. Mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan terdiri dari dua macam, yaitu

pemeriksaan mikroskopis apusan langsung untuk menemukan BTA dan pemeriksaan

biakan kuman M. Tuberculosis.1

Pemeriksaan di atas sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan

spesimen berupa sputum. Sebagai gantinya, dilakukan pemeriksaan bilas lambung

(gastric lavage) 3 hari berturut-turut, minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopis

langsung pada anak sebagian besar negatif, sedangkan hasil biakan M. tuberculosis

memerlukan waktu yang lama yaitu sekitar 6-8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan

biakan yang hasilnya diperoleh lebih cepat (1-3 minggu), yaitu pemeriksaan Bactec,

tetapi biayanya mahal dan secara teknologi lebih rumit.1

Perkembangan lain di bidang mikrobiologi adalah pemeriksaan PCR.

Pemeriksaan PCR merupakan teknik amplifikasi urutan DNA yang spesifik. Secara

teori, dengan metode ini, kuman yang berasal dari spesimen bilas lambung akan dapat

dideteksi meskipun hanya ada satu kuman M. tuberkulosis pada bahan pemeriksaan,

sehingga diiharapkan sensitivitasnya cukup tinggi.1

Akan tetapi, terdapat beberapa kelemahan untuk menerapkan PCR sebagai

pemeriksaan rutin, yaitu variasi tingkat sensitivitas pada pemeriksaan di berbagai

laboratorium, dan mudahnya terjadi kontaminasi kuman/bagian dari kuman yang

berasal dari pemeriksaan sebelumnya, sehingga dapat menyebabkan positif palsu. Hasil

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 8: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

8

positif pun tidak selalu menunjukkan kuman yang aktif, karena kuman dorman atau

persister dapat terdeteksi dengan pemeriksaan ini. Selain itu, teknologi yang digunakan

masih tergolong rumit, sehingga menyebabkan tingginya biaya PCR. Oleh karena itu,

hingga saat ini pemeriksaan PCR belum digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.1

Spesimen darah tidak bermanfaat pada pemeriksaan PCR. Spesimen yang dapat

digunakan adalah sputum, bilas lambung, cairan pleura, atau CSS.1

6. Patologi Anatomik

Pemeriksaan penunjang yang mempunyai nilai tinggi meskipun tidak setinggi

mikrobiologi adalah pemeriksaan histopatologik, yang dapat memberikan gambaran yang

khas. Pemeriksaan PA dapat memberikan gambaran granuloma yang ukurannya kecil,

terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tersebut

mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma.

Gambaran kahas lainnya adalah ditemukannya multinucleated giant cell (sel datia

Langhans). Diagnosis histopatologik dapat ditegakkan denan menemukan perkijuan, sel

epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans. Kadang-kadang dapat ditemukan juga BTA.1

Kendalanya adalah kesulitan mendapatkan spesimen yang representatif. Spesimen

yang paling mudah dan paling sering diperiksa adalah limfadenopati kolli. Idealnya kelenjar

diambil secara utuh agar gambaran histopatologi yang khas dapat terlihat. Pemeriksaan PA

kelenjar limfe ini mempunyai perancu, yaitu infeksi M. atipik dan limfadenitis BCG yang

secara histopatologis sulit dibedakan dengan TB. Pada kenyataannya, seringkali KGB kolli

ini diambil dengan cara biopsi jarum halus. Sebenarnya, spesimen yang diambil dengan

menggunakan jarum halus kurang representatif karena jaringan yang terambil hanya berupa

sel, sehingga lebih mendekati pemeriksaan serologi yang sulit untuk dibuat kesimpulan

pasti.1

Diagnosis

Rekomendasi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) berdasarkan surat keputusan

No.004/Rek/PP IDAI/VI/2013 tentang diagnosis tuberkulosis (TB) pada anak didasarkan pada:3

1. Bukti atau kecurigaan adanya kontak dengan sumber infeksi TB, biasanya pasien TB dewasa

dengan hasil basil tahan asam (BTA) positif.

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 9: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

9

2. Gejala dan tanda klinis sugestif TB, termasuk penilaian seksama terhadap kurva tumbuh

kembang anak.

3. Uji tuberkulin positif.

4. Gambaran radiologis sugestif ke arah TB.

Epidemiologi

Laporan WHO (global reports 2010), menyatakan bahwa pada tahun 2009 angka kejadian

TB di seluruh dunia sebesar 9,4 juta (antara 8,9 juta hingga 9,9 juta jiwa) dan meningkat terus secara

perlahan pada setiap tahunnya dan menurun lambat seiring didapati peningkatan per kapita.

Prevalensi kasus TB di seluruh dunia sebesar 14 juta (berkisar 12 juta sampai 16 juta). Di semua

negara telah terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%, Asia sebesar 55%,

dan untuk China dan India secara tersendiri sebesar 35% dari semua kasus tuberkulosis.4

Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di

dunia.4 Jumlah penderita TB di Indonesia mengalami penurunan, dari peringkat ke tiga menjadi

peringkat ke lima di dunia menurut WHO setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria.2 Namun

hal ini dikarenakan jumlah penderita TB di Afrika Selatan dan Nigeria melebihi dari jumlah

penderita TB di Indonesia dalam jumlah mutlak pasien TB. Kalau dilihat dari proporsi jumlah pasien

TB dibanding jumlah penduduk, maka Indonesia menduduki ranking lebih tinggi. Estimasi

prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 dan estimasi insidensi berjumlah 430,000

kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya.4

Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan tahun

2013 adalah 0,4%, tidak berbeda dengan tahun 2007. Lima provinsi dengan TB paru tertinggi

adalah Jawa Barat (0,7%), Papua (0,6%), DKI Jakarta (0,6%), Gorontalo (0,5%), Banten (0,4%),

dan Papua Barat (0,4%). Proporsi penduduk dengan gejala TB paru batuk >2 minggu sebesar

3,9% dan batuk darah 2,8%. Berdasarkan karakteristik penduduk, prevalensi TB paru cenderung

meningkat dengan bertambahnya umur, pada pendidikan rendah, tidak bekerja. Dari seluruh

penduduk yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan, hanya 44,4% diobati dengan obat

program. Lima provinsi terbanyak yang mengobati TB dengan obat program adalah DKI Jakarta

(68,9%), DI Yogyakarta (67,3%), Jawa Barat (56,2%), Sulawesi Barat (54,2%), dan Jawa

Tengah (50,4%).5

Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama

diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai

target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 10: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

10

2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati (data awal Mei

2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan demikian, Case Notification

Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian

angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort

tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian

program pengendalian TB nasional yang utama.6

Pengertian

Tuberkulosis adalah infeksi menular (dapat ditularkan dari orang ke orang) yang biasanya

mempengaruhi paru-paru. Sekarang menyebar melalui tetesan udara (droplet) ketika orang yang

terinfeksi batuk atau bersin. Hal ini disebabkan oleh bakteri yang disebut Mycobacterium TBC.

Pada saat diagnosis, orang dengan TB biasanya memiliki berbagai gejala seperti demam ringan,

batuk terus-menerus dengan sputum (dahak), berkeringat di malam hari, dan penurunan berat

badan yang tidak disengaja.7

Etiologi

Mikroorganisme penyebab tuberkulosis pada manusia adalah Mycobacterium

tuberculosis. Kuman Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri pleomorfik, batang gram

positif lemah dengan panjang 2-4 um. Mikrobakteria bersifat tahan asam, yaitu mampu

membentuk kompleks mikolat yang stabil dengan pewarna arylmethane. Istilah basil tahan asam

digunakan sebagai nama lain mikrobakteria. Mikobakteria tumbuh lambat dan waktu yang

dibutuhkan untuk menumbuhkan kuman ini di media sintesis biasanya 3-6 minggu.8

Klasifikasi TB

1. TB aktif menggambarkan infeksi yang sedang berlangsung di mana seseorang

mengembangkan gejala dan memiliki positif (abnormal) hasil pada tes TB.7

2. TB laten terjadi ketika seseorang tanpa gejala memiliki hasil positif pada kulit TB atau tes

darah. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang terinfeksi dengan TB di masa lalu tapi

bakteri berada dalam keadaan tidak aktif atau tidak aktif. Orang dengan TB laten tidak bisa

menyebarkan bakteri TB kepada orang lain.7

3. Multidrug-resistant TB (MDR-TB) adalah bentuk TB aktif yang disebabkan oleh bakteri

yang tidak merespon obat yang paling umum digunakan untuk mengobati TB.7

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 11: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

11

Cara penularan

1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.9

2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan

dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.9

3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu

yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung

dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang

gelap dan lembab.9

4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari

parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien

tersebut.9

5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi

percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.9

Risiko penularan

1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru

dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB

paru dengan BTA negatif.9

2. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection

(ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama satu tahun.9

3. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap

tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.9

4. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.9

Patogenesis

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang

sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai

alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik.

Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian

besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 12: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

12

menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam

makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut.

Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.9

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe

regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran

ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe

(limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar

limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di

apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan

gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran

limfe yang meradang (limfangitis).9

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer

secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa

inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga

timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu

dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga

mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.9

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman

TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami

perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer

dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap

tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi,

uji tuberculin masih negatif.9

Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk.

Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system imun

seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat

tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk

ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di

jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi

setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan

mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 13: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

13

primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam

kelenjar ini.9

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat

disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar

dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat,

bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di

jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat

awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu.

Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar

yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding

bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat

menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis

dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.9

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran

limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe

regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB

masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen

inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.9

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran

hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar

secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB

kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah

organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri,

terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi

dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi

pertumbuhannya.9

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh

imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung

berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di

apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahuntahun kemudian, bila daya tahan tubuh

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 14: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

14

pejamu menurun, focus TB ini dapat 5 mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ

terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.9

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata

akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk

dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya

manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini

timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada

jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.

Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam

mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.9

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan

jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai

ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang

menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa

nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.9

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic

spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di

dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis,

sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic

spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.9

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering

terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran

limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran

limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan

setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran

kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru

kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik

biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna.

Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.9

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB

tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 15: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

15

tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi

primer.9

Manifestasi Klinis

Patogenesis Tb sangat kompleks, sehingga manifestasi klinis TB sangan bervariasi dan

bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang berperan adalah kuman TB, pejamu, serta

interaksi antar keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah dan virulensi kuman, sedangkan

pejamu bergantung pada usia, dan kompetensi imun serta kerentanan pejamu pada awal

terjadinya infeksi. Manifestasi klinis TB terbagi dua, yaitu manifestasi sistemik dan manifestasi

spesifik organ/lokal.1

Manifestasi Sistemik:

1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid,

infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain), yang dapat disertai keringat malam. Demam

umunya tidak tinggi.1

2. Batuk lama >3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan.1

3. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik dalam 1 bulan dengan penanganan

gizi yang adekuat.1

4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan BB tidak naik dengan adekuat

(failure to thrive).1

5. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.1

Manifestasi Spesifik Organ/Lokal

Manifestasi klinis spesifik bergantung pada organ yang terkena, misalnya kelenjar limfe,

susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit.1

1. Kelenjar limfe superfisialis

Pembesaran kelenjar limfe superfisialis sebagau manifestasi TB sering dijumpai.

Kelenjar yang sering terkena adalah kelenjar limfe kolli anterior atau posterior, tetapi juga

dapat terjadi di aksila, inguinal, submandibula, dan supraklavikula. Secara klinis,

karakteristik kelenjar yang dijumpai biasanya multiple, unilateral, tidak nyeri tekan, tidak

hangat pada perabaan, mudah digerakkan, dan dapat saling melekat (confluence) satu sama

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 16: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

16

lain. Perlekatan ini terjadi akibat adanya inflamasi pada kapsul kelenjar limfe (perifocal

inflammation). Pembesaran kelenjar superfisialis ini dapat disebabkan penyakit lain.1

2. Susunan saraf pusat

Tuberkulosis pada SSP yang tersering adalah meningitis TB. Penyakit ini merupakan

penyakit yang berat dengan mortalitas dan kecatatan yang tinggi. Gejala klinis yang terjadi

berupa nyeri kepala, penurunan kesadaran, kaku kuduk, muntah proyektil, dan kejang.

Proses patologis meningitis TB biasanya terbatas di basal otak, sehingga gejala neurologis

lain berhubungan dengan gangguan saraf kranial.1

Bentuk TB SSP yang lain adalah tuberkuloma, yang manifestasi klinisnya lebih

samar daripada meningitis TB, sehingga sering terdeteksi secara tidak sengaja. Bila telah

terjadi lesi yang menyebabkan proses desak ruang, maka manifestasi klinisnya sesuai

dengan lokasi lesi.1

3. Sistem Skeletal

Gejala yang umum ditemukan pada TB sistem skeletal adalah nyeri, bengkak

pada sendi yang terkena, dan gangguan atau keterbatasan gerak. Gejala infeksi sistemik

biasanya tidak nyata. Pada bayi dan anak yang sedang dalam masa pertumbuhan,

epifisis tulang merupakan daerah dengan vaskularisasi tinggi yang disukai oleh kuman

TB. Oleh karena itu, TB sistem skeletal lebih sering terjadi pada anak daripada orang

dewasa. Tuberkulosis sistem skeletal yang sering terjadi adalah spondilitis TB, koksitis

TB, dan gonitis TB. Manifestasi klinis TB sistem skeletal biasanya muncul secara

perlahan dan samar sehingga sering lambat terdiagnosa. Manifestasi klinis dapat

muncul pascatrauma, yang berperan sebagai pencetus. Tidak jarang pasien datang pada

tahap lanjut dengan kelainan tulang yang sudah lanjut dan ireversibel. Gejalanya dapat

berupa pembengkakan sendi, gibbus, pincang, lumpuh, dan sulit membungkuk.1

4. Kulit

Mekanisme terjadinya manifestasi TB pada kulit dapat melalui dua cara, yaitu

inokulasi langsung (infeksi primer) seperti tuberculosis chancre, dan akibat limfadenitis

TB yang pecah menjadi skrofuloderma (TB pascaprimer). Menifestasi TB pada kulit

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 17: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

17

yang paling sering dijumpai adalah bentuk kedua, yaitu dalam bentuk skrofuloderma.

Skrofuloderma sering ditemukan di leher dan wajah, di tempat yang mempunyai

kelenjar getah bening (KGB), misalnya daerah parotis, submandibula, supraklavikula,

dan lateral leher.1

Penatalaksanaan

Tatalaksana TB pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan antara

pemberian medikamentosa, penanganan gizi, dan pengobatan penyakit penyerta. Selain itu

penting untuk dilakukan pelacakan sumber infeksi, dan bila ditemukan sumber infeksi juga harus

mendapatkan pengobatan. Upaya perbaikan kesehatan lingkungan juga diperlukan untuk

menunjang keberhasilan pengobatan. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan

kesehatan kepada masyarakat atau kepada orang tua pasien mengenai pentingnya menelan obat

secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, pengawasan terhadap jadwal pemberian

obat, keyakinan bahwa obat diminum dan sebagainya.1

1. Medikamentosa

Obat TB utama (first line, lini pertama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),

pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan

obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamdi, etambutol, dan steptomisin. Obat TB

lain (lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide,

prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, moxiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin,

kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.1

a. Isoniazid1

Isoniazid (isonikotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat

efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan

metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), dan bersifak bakteriostatik terhadap

kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke

dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites,

jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang (adverse reaction) yang sangan

rendah.

Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15

mg/kgBB/hari, maksimal 300 mg/hari, dan diberikan dalam satu pemberian. Isoniazid

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 18: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

18

yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup

100 mg/5 ml. Sediaan dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan

penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum dan CSS dapat dicapai

dalam 1-2 jam, dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme

melalui asetilasi di hati. Terdapat dua kelompok pasien berdasarkan kemampuannya

melakukan asetilasi, yaitu asetilator cepat dan asetilator lambat.

Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis

perifer. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan

kadar transmaninase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan

menurun sendiri tanpa penghentian obat. Neuritis perifer akibat inhibisi kompetitif karena

metabolisme piridoksin. Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati

rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki.

b. Rifampisin1

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua

jaringan, dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh

isoniazid. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada perut

kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini,

rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis

maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan

bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis

isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Seperti halnya isoniazid, rifampisin didistribusikan secara

luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS. Distribusi rifampisin ke dalam CSS

lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada

keadaan normal. Ekskresi rifampisin terutama terjadi melalui traktus bilier. Kadar yang

efektif juga dapat ditemukan di ginjal dan urin.

Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada isoniazid. Efek yang kurang

menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air

mata, menjadi orange kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan

gastrointestinal (muntah dan mual), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya

ditandai dengan peningkatan kadar transminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 19: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

19

diberikan bersama isonoazid, terjadi peningkatan risiko hepatotoksisitas yang dapat

diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10

mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat

menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan

beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofilin, kloramfenikol,

kortikosteroid, dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul

150 mg, 300 mg, dan 450 mg, sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak

dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis

zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan

karena dapat timbul malabsorpsi.

c. Pirazinamid1

Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan

cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, dan

diresorbsi baik pada saluran cerna.

Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis

maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 ug/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid

diberikan dalam fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana

asam, yang timbul akibat jumlah kuman masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid

aman pada anak. Kira-kira 10% orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami

efek samping berupa atralgia, artritis atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak

manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah

hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang

timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti

isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersama dengan makanan.

d. Etambutol1

Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata.

Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid, jika diberikan

dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini

dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 20: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

20

20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gram/hari, dengan sosis tunggal. Kadar serum puncak 5

ug dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg.

Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral

dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian

juga pada keadaan meningitis.

Eksresi terutama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol

tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna merah-

hijau, sehingga penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam

penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian etambutol dengan

dosis 15-25 mg/kgBB/hari tidak ditemukan kejadian neuritis optika pada pasien yang

dipantau hingga 10 tahun pascapengobatan. Rekomendasi WHO terakhir mengenai

pelaksanaan TB anak, etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-

25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan

TB resisten obat jika obat-obat lainya tidak tersedia atau tidak dapat digunaka.

e. Streptomisin1

Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular

pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman

intraselular. Saat ini, streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB, tetapi

penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB.

Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal

1 gram/hari, dan kadar puncak 40-50 ug/ml dalam waktu 1-2 jam.

Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang. Streptomisin

berdifusi dengan baik pada pada jaringan dan cairan pleura, dan diekskresi melalui ginjal.

Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap

isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama sterptomisin terjadi pada

nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala

berupa telingan berdengung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal sangat jarang terjadi.

Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan

dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi

akan menderita tuli berat.

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 21: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

21

Tabel 2. Obat Antituberkulosis yang Biasa Dipakai dan Dosisnya

Sumber: Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak oleh IDAI1

Nama ObatDosis harian

(mg/kgBB/hari)

Dosis maksimal

(mg per hari)Efek samping

Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas

Rifampisin** 10-20 600

Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,

trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan

tubuh berwarna orange kemerahan

Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, artralgia, gastrointestinal

Etambutol 15-20 1250

Neuritis optik, ketajaman mata berkurang, buta

warna merah-hijau, penyempitan lapang

pandnag, hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisin 15-40 1000 Ototoksik, nefrotoksik

* Bila isoniazid dikombinasi dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari.** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin.

Panduan Obat TB

Pengobatan TB menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya fase

lanjutan (4 bulan atau lebih). Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal tiga macam obat pada

fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan. Pemberian paduan obat

ini bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraselular

dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk

mengurangi kemungkinan terjadinya relaps.1

Berbeda dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan dua atau tiga

kali dalam seminggu. Hal ini bertujun untuk mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang

lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari. Saat ini, paduan obat yang baku untuk

sebagian besar kasus TB pada anak adalah paduan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid. Pada

fase intensif diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamidm sedangkan pada fase lanjutan

hanya diberikan rifampisin dan isoniazid. Etambutol ditambahkan pada kasus berat seperti TB

milier, meningitis TB, TB tulang dan TB ekstra paru berat lainnya.1

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 22: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

22

Fixed Dose Combination (FDC)

Salah satu masalah dalam terapi TB adalah keteraturan pasien dalam menjalani

pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak. Untuk mengatasi hal tersebut,

dibuat suatu sediaan obat kombinasi dengan dosis yang telah ditentukan, yaitu FDC atau

kombinasi dosis tetap (KDT).1

Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB adalah sebagai berikut:1

1. Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan resep.

2. Meningkatkan penerimaan daan keteraturan pasien.

3. Memungkinkan petugas kesehatan untuk memberikan pengobatan standar dengan cepat.

4. Mempermudah pengelolaan obat.

5. Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB sehingga mengurangi resistensi terhadap obat

TB.

6. Mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan terjadinya kekambuhan.

7. Mempercepat dan mempermudah pengawasan menelan obat sehingga dapat mengurangi

beban kerja.

8. Mempermudah penentuan dosis berdasarkan BB.

Tabel 3. Dosis Kombinasi pada Tuberkulosis Anak

Sumber: Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI1

Berat Badan (Kg)2 Bulan

RHZ (75/50/150 mg)

4 Bulan

RH (75/50 mg)

5-9 1 tablet 1 tablet

10-14 2 tablet 2 tablet

15-19 3 tablet 3 tablet

20-32 4 tablet 4 tablet

Catatan: Bila BB >33 kg, dosis disesuaikan dengan obat yang biasa dipakai pada TB anak. Bila BB <5 kg sebaiknya dirujuk ke RS. Obat tidak boleh diberikan setengah dosis tablet. Perhitungan pemberian tablet di atas sudah memperhatikan kesesuaian dosis per kgBB.

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 23: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

23

Tips untuk Pembuatan Resep OAT2

1. Pastikan Anda paham tentang regimen pemberian OAT, yaitu:

a. Fase intensif 2 bulan pertama: harus 3 macam OAT (4 macam untuk TB berat): INH,

Rifampisin, Pirazinamid, (dan Etambutol).

b. Fase lanjutan bulan 3-6: INH dan Rifampisin (saja).

2. Setiap OAT harus dengan resep terpisah, tidak boleh dicampur dalam satu resep. Alasannya

adalah karena pencampuran ketiga OAT dalam waktu lama akan merusak bioavaibilitas

rifampisin, sehingga OAT tidak efektif. Harus cek dan ricek setelah pasien mendapat OAT

dari apotik, apakah peracikan OAT sesuai dengan instruksi dokter. Kadang-kadang ada

petugas apotek yang tetap meracik OAT dalam satu bungkus, tidak sesuai dengan resep yang

dibuat dokter.

3. Boleh juga memakai OAT dalam bentuk FDC, yaitu 3 atau 2 macam OAT yang telah

dicampur langsung oleh pabrik farmasi tertentu yang telah direkomendasi WHO, sehingga

bioavailabilitas rifampisin tidak rusak. FDC yang beredar sekarang adalah fase intensif:

Rimcure Paed, fase lanjutan: Rimactazid Paed. Perhatikan dosis pemberiannya dalam bentuk

rentang BB.

4. Kapan diperlukan pemberian vitamin B6?

a. Vitamnin B6 tidak direkomendasikan pada setiap pemberian OAT pada anak, kecuali

anak remaja dengan diet tidak adekuat, malnutrisi, dan pada bayi yang hanya minum ASI.

5. Buat resep OAT pertama kali untuk pemakaian 2 minggu sambil memantau efek samping

OAT.

2. Nonmedikamentosa

a. Pendekatan DOTS

Hal yang paling penting pada tatalaksana TB adalah keteraturan menelan obat.

Pasien TB biasanya telah menunjukka pernaikan beberapa minggu setelah pengobatan,

sehingga merasa telah sembuh dan tidak melanjutkan pengobatan.1

Keteraturan pasien dikatakan baik apabila pasien menalan obat sesuai dengan

dosis yang ditentukan dalam paduan pengobatan. Keteraturan menelan obat ini menjamin

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 24: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

24

keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya

untuk meningkatkan keraturan adalah melakukan pengawasan langsung terhadap

pengobatan (directly observed treatment). Directly observed treatment shortcourse

(DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasi oleh WHO dalam pelaksanaan

penanggulangan TB, dan telah di Indonesia sejak tahun 1995. Penanggulangan TB dengan

strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.1

Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen

yaitu:1

1) Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.

2) Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.

3) Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung

oleh pengawas menelan obat (PMO).

4) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

5) Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan

evaluasi program penanggulangan TB.

Kelima komponen DOTS di atas terutama untuk pasien TB dewasa, khususnya

pada butir dua dan lima. Butir dua menyatakan diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum

secara mikroskopis, yang pada anak sulit dilaksanakan. Sebagai gantinya, untuk diagnosis

TB pada anak digunakan uji tuberkulin. Butir lima pun sesuai dengan butir dua, sehingga

format pencatatan dan pelaporan dibuat untuk kelompok usia 15 tahun ke atas, sedangkan

format untuk kelompok usia 15 tahun ke bawah belum ada. Oleh sebab itu, diperlukan

format khusus untuk kelompok usia 15 tahun ke bawah yang saat ini sedang dalam proses

penyusunan.1

Syarat untuk menjadi PMO adalah sebagai berikut: dikenal, dipercaya, disetujui,

baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, serta harus disegani dan dihormati oleh

pasien, tempat tinggalnya dekat dengan pasien, bersedian membantu pasien dengan

sukarela, bersedia dilatih atau mendapatkan penyuluhan.1

Orang yang dapat menjadi PMO adalah petugas kesehatan, keluarga pasien, kader,

pasien yang sudah sembuh, tokoh masyarakat, serta guru sekolah atau petugas unit

kesehatan sekolah yang sudah dilatih strategi DOTS.1

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 25: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

25

Keterbatasan akses terhadap pelayanan DOTS yang berkualitas masih dijumpai

terutama pada masyarakat miskin dan rentan di perkotaan, populasi di rutan/lapas, dan

penduduk dikawasan terpencil, perbatasan dan kepulauan terutama di kawasan Indonesia

Timur khususnya. Masyarakat miskin di perkotaan mempunyai kendala sosial ekonomi

untuk dapat mengakses pelayanan DOTS. Sebagian besar rutan dan lapas belum

terintegrasi dalam program pengendalian TB dan belum melaksanakan upaya

pengendalian infeksi TB, sehingga akses pelayanan DOTS juga terbatas. Selain kelompok

masyarakat miskin-rentan tertentu, perhatian khusus perlu diberikan kepada Kawasan

Timur Indonesia secara umum, termasuk masyarakat yang tinggal di daerah terpencil di

wilayah tersebut. Papua khususnya memerlukan pendekatan spesifik terkait dengan

epidemi HIV yang meluas. Kesenjangan kuantitas dan kualitas SDM di provinsi tersebut

masih sangat lebar sehingga memerlukan investasi yang cukup besar untuk memenuhi

persyaratan ketenagaannya. Tantangan lain di kawasan ini adalah tingginya angka kasus

mangkir dikarenakan masalah akses serta tingginya biaya transportasi serta opportunity

cost.1

b. Sumber Penularan dan Case Finding

Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari

suumber penularannya yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber

penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan

anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan

radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan

sumbernya, perlu juga dilakukan pelacakan sentifugal yaitu mencari anak lain di

sekitarnya yang mungkin juga tertular dengan cara uji tuberkulin.1

Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak di

sekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB.

Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan

pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin.1

c. Aspek Edukasi dan Sosial Ekonomi

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 26: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

26

Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosioekonomi. Karena pengobatan

TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup

lama, maka biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga

penanganan gizi yang baik, meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin, dan

mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik, pengobatan dengan

medikamentosa saja tidak akan mencapai hasil yang optimal. Edukasi ditujukan

kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenal TB. Pasien TB anak

tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB anak tidak menular kepada orang

disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB

berat.1

Komplikasi

Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan

komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut:

1. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus Poncet’s arthropathy.8

2. Komplikasi lanjut: obstruksi jalan napas-SOFT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis),

kerusakan parenkim berat-SOPT/fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru,

sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.8

Pencegahan

1. Imunisasi BCG

Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 3 bulan, optimal umur 2 bulan.1,10

Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di

daerah insersi otot deltoid (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal,

ulkus tidak mengganggu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan

pada usia >3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB

anak yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan,

pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin, dan intensitas pemaparan infeksi.1

Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%.

Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB, dan

spondilitis TB pada anak. Imunisasi BCG relatif aman, jarang timbul efek samping

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 27: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

27

yang serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis

dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi BCG adalah kondisi imunokompromais,

misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi

prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai BB optimal.1

2. Kemoprofilaksis

Terdapat dua macam kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan sekunder.

Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB, sedangkan

kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB.1

Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari

dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB

menular, terutama dengan sputum BTA positif, tetapi belum terinfeksi. Obat diberikan

selama 6 bulan. Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin

ulang. Jika tetap negatif, profilaksis dilanjutkan hingga 6 bulan. Jika terjadi konversi

tuberkulin menjadi positif, evaluasi status TB pasien. Pada akhir bulan keenam pemberian

profilaksis, dilakukan uji tuberkulin, jika tetap negatif profilaksis dihentikan, jika terjadi

konversi tuberkulin menjadi positif, evaluasi status TB pasien.1

Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum

sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak

semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam

kelompok risiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan

imunokompromais. Contoh anak dengan imunokompromais adalah usia balita, menderita

morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama, usia remaja, dan

infeksi TB baru (konversi uji tuberkulin dalam waktu kurang dari 12 bulan). Lama

pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan.1

Tips untuk Edukasi Orangtua2

1. Pastikan orangtua memahami bahwa terapi OAT minimal 6 bulan dan tidak boleh terputus.

Oleh karena itu, sebelum OAT habis sudah harus kontrol kembali untuk mendapatkan OAT

selanjutnya.

2. Orangtua tidak perlu khawatir bila setelah memulai minum OAT buang kecil anak akan

berwarna merah.

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 28: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

28

3. Beritahu orangtua bahwa waktu yang paling baik minum OAT adalah pada saat perut

kosong, misalnya pagi hari bangun tidur. Minum sekaligus ketiga macam OAT dan baru

boleh makan atau minum susu 1 jam setelah minum OAT.

4. Ajak orangtua mengamati kemungkinan timbulnya gejala reaksi dan efek samping OAT,

seperti gatal-gatal, muntah, dan mata kuning. Segera hentikan dan bawa anak kembali ke

dokter.

5. Beritahu orangtau bahwa anak kecil dengan TB tidak perlu diasingkan/dikucilkan karena

tidak akan menularkan kepada anak lain.

Prognosis

Pada umumnya, prognosis tuberkulosis pada bayi, anak, dan remaja baik jika dikenali

sejak dini dan pengobatan yang efektif. Pada sebagian besar anak dengan TB paru, penyakit akan

sembuh total, dan hasil radiologis menjadi normal.8

Diagnosis Banding pada Kasus TB Paru Anak1,8

Tuberkulosis Pneumonia Bronkitis Asma Bronkial

Etiologi

Micobacterium

tuberculosis

M. pneumoniae, S.

pneumoniae, C.

pneumoniae, H.

influenza.

Respiratory

syncytial virus,

adenovirus,

rhinovirus,

parainfluenza virus.

sel-sel infamasi,

mediator kimia,

faktor kemotaktik.

Gejala Klinis

Demam, keringat

malam, batuk, berat

badan turun,

anoreksia, diare

persisten, pembesaran

kelenjar limfe

superfisialis.

Demam, mengigil,

takipnoe, batuk,

malaise, nyeri dada,

retraksi, mengi, stridor,

ronki kering.

Batuk, coryza,

rinorea, mengi,

ronki, demam,

retraksi.

Batuk, mengi, sesak,

napas cepat,

takikardia.

Tatalaksana

INH, rifampisin,

pirazinamid,

streptomisin,

etambutol, imunisasi

BCG, DOTS.

Ertitromisin,

azitromisin,

klaritromisin,

klindamisin, penisilin

G, vankomisin.

Saturasi oksigen,

rawat inap, injeksi

palivizumab.

Kontrol lingkungan,

kortikosteroid

inhalasi, formoterol,

teofilin,

omalizumab.

Penunjang Tuberkulin test, Biakan darah, Leukositosis, Spirometri, RAST,

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 29: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

29

aspirasi lambung,

radiologi, serologi,

PA, interferon.

radiologi, biopsi,

bronkoskopi.

ELISA, PCR,

radiologi

radiologi.

Kesimpulan

Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa.

Pada TB anak, permasalahan yang dihadapai adalah masalah diagnosis, pengobatan, dan

pencegahan.

Daftar Pustaka

1. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB. Pedoman nasional tuberkulosis anak. Edisi 2.

Jakarta: UKK Respirologi PP IDAI; 2007. Hal. 1-90.

2. Setyanto DB. Anak tersangka tb (to treat or not to treat). Dalam: Gunardi H dkk, penyunting.

Kumpulan Tips Pediatri, Edisi Ke-2. Jakarta; Badan Penerbit IDAI: 2011. hal. 282-310.

3. Unit Kerja Koordinasi Respirologi IDAI. Rekomendasi IDAI tentang tuberkulosis. 25 Februari 2014.

Diunduh 3 Juli 2014 Pukul 10.30 WIB.

http://idai.or.id/professional-resources/rekomendasi/tuberkulosis.html.

4. Sihombing H. 2012. Universitas Sumatera Utara. Diunduh 3 Juli 2014 Pukul 10.10 WIB

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33363/5/Chapter%20I.pdf.

5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. Riset kesehatan dasar, Riskesda

2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013. hal. 69-70.

6. Kemenkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Stop tb, terobosan menuju

akses universal, strategi nasional pengendalian tb di indonesia 2010-2014. Jakarta: Kemenkes RI;

2011. hal. 12-26.

7. Punnoose AR. Tuberculosis. The Journal of the American Medical Association. 2013;309(9):1.

http://jama.jamanetwork.com/solr/searchresults.aspx?

q=tuberculosis&fd_JournalID=67&f_JournalDisplayName=JAMA&SearchSourceType=24.

Diunduh 3 Juli 2014 Pukul 09.30 WIB.

8. Marcdante KJ, Behrman RE, Kliegman RM. Nelson essentials of pediatrics. Edisi 6. IDAI,

penerjemah. Siangapore: Saunders Elsevier; 2014. hal. 339-557.

9. Werdhani RA. Patofisiologi, diagnosis, dan klasifikasi tuberkulosis. Jakarta; Departemen Ilmu

Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI. Diunduh 3 Juli 2014 Pukul 11.54 WIB.

http://staff.ui.ac.id/system/files/users/retno.asti/material/patodiagklas.pdf.

10. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jadwal imunisasi IDAI 2014. 22 April 2014. Diunduh 7 Juni 2014

Pukul 17.46 WIB.

Universitas Kristen Krida Wacana

Page 30: PBL Blok 18 Tuberkulosis Anak

30

http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal/imunisasi/idai/2014.

Universitas Kristen Krida Wacana